Anda di halaman 1dari 30

Kehidupan Umat Islam di Korea Selatan

Selama ini Korea Selatan sangat terkenal dengan gelombang Hallyu, atau lebih beken dengan
Korean Pop/KPOP. Mulai dari girl band, boy band, hingga reality show Korsel digilai oleh
banyak orang Indonesia. Namun demikian, tidak ada salahnya kini, kita coba mengenal dan
mengetahui tentang penyebaran Islam di Negara Super Junior tersebut.

Dilansir dari islamawareness.com. cerita Islam di Korsel dimulai pada 1950 ketika terjadi Perang
Korea. Saat itu, kemiskinan, kesedihan dan juga kelaparan melanda, saat itu juga Islam mulai
masuk.

Masuknya Islam pertama kali dibawa oleh duo militer asal Turki yang bernama Zubercoch dan
Abdul Rahman. Selama tinggal di Korea, mereka membangun sebuah gubuk untuk beribadah.
Bersama anggota militer Turki lainnya, mereka menyebarkan Islam ke orang-orang setempat.

Sebagai langkah pertama pengukuhan Islam di Korea, para penganut muslim awal membentuk
sebuah masyarakat Muslim Korea yang pertama kali dipimpin oleh Muhammad Umar Kim Jin
Kyu, seorang muslim pribumi Korea.

Setelah terbentuk, beberapa pemimpin muslim Korea mulai diundang ke sejumlah Negara-
negara Islam Asia untuk menjalin silaturahmi. Bahkan, beberapa muslim juga banyak yang
menggali ilmu di Universitas Muslim di Malaysia dengan tujuan nantinya mereka dapat menjadi
pemimpin muslim baru dengan bekal Islam yang kuat.

Kedatangan Wakil Menteri Malaysia, Tun Abdul Razak pada 1963, membuahkan hasil sebuah
masjid dan dimulainya aktivitas dakwah. Namun bukanlah sebuah hal yang mudah untuk bisa
merealisasikan dakwah sebagai sebuah kegiatan muslim terbuka saat itu. Beberapa tantangan
jelas datang melanda.

Tetapi, muslim Korea tidak patah semangat dalam menyebarkan Islam dengan satu pegangan
teguh percaya kepada Allah SWT. Hasil, mereka mampu mendirikan sebuah yayasan yang diberi
nama Korean Muslim Foundation (KMF) yang diakui sah oleh negara dan secara resmi terdaftar
di Kementrian Budaya dan Informasi pada 1967. Mulai saat itulah, dakwah dapat berjalan lancar
dan terbuka.

Mimpi selanjutnya dari muslim Korea adalah pembangunan masjid pusat. Hal itu mulai
direalisasikan pada 1976. Dibukanya Masjid Pusat dan Pusat Islam merupakan satu titik balik
terpenting dalam sejarah muslim Korea.

Setidaknya, 55 wakil dari 20 negara ikut berpartisipasi dalam pembukaan masjid dan pusat Islam
tersebut. Dan yang lebih menakjubkan adalah pertambahan kuantitias muslim setelah dibukanya
dua monumen muslim tersebut.

Masjid Agung dan Pusat Islam bukan menjadi akhir perjuangan, setelahnya masih ada mimpi
selanjutnya yaitu melaksanakan naik haji sebagai rukun Islam kelima. Naik haji pertama
memang terjadi pada 1960 dipimpin oleh Haji Subri Seo Jung Gil, namun pada 1978 dan 1979,
jumlah muslim berangkat haji mencapai 130 jiwa. Kampanye naik haji muslim Korea disebut
juga Boom of Middle East yang berjalan antara tahun 1974-1980.

Kini, Muslim Korea memang masih menjadi komunitas minor, namun menurut arabnews.com,
Islam merupakan agama dengan penyebaran tercepat di Korea semenjak 1991. Masjid dan
aktivitas Islam sering menjadi pusat perhatian bagi warga Korea yang non-muslim. Tidak sedikit
dari mereka yang mengunjungi masjid terdekat untuk mengetahui Islam lebih banyak.

Sumber: http://dakwahsyariah.blogspot.com/2014/03/kehidupan-umat-islam-di-korea-
selatan.html#ixzz5YafJjj4M
Geliat Islam Di Korea Selatan
13

Magdalena – Selasa, 26 Rabiul Awwal 1430 H / 24 Maret 2009 16:30 WIB

Berita Terkait

 Dewan Islam Aljazair : Sikap Toleransi Fundamental Dalam Islam


 Orangtua Tristan Anderson Minta Tanggung Jawab Israel
 Sikap Yahudi AS Soal Opsi Militer ke Iran
 AKP Akan Menangkan Pemilu Lokal
 Mahasiswa Muslim di Australia Protes Penyatuan Ruang Ibadah

Komunitas Muslim di Korea Selatan adalah komunitas yang


kaya dengan keberagaman latar belakang etnis dan budaya. Komunitas Muslim di negeri yang
mayoritas penduduknya beragama Budha ini, kebanyakan adalah para pekerja asing dan imigran
dari berbagai negara Muslim, terutama dari kawasan Asia Tenggara dan Asia Selatan.

Sementara orang-orang asli Korea yang Muslim, kebanyakan adalah keturunan dari para mualaf
yang masuk Islam saat berlangsung Perang Korea. "Di sini adalah beberapa orang Korea. Yang
lainnya berasal dari Indonesia, Malaysia dan Uzbek. Ada juga beberapa Muslim asal AS. Muslim
disini sedikitnya berasal dari 12 sampai 14 negara di dunia," kata Haseeb Ahmad Khan,
pengusaha asal Pakistan yang sudah 10 tahun tinggal di Korea Selatan.

Menurut Haseeb, jumlah Muslim di Korea Selatan terus bertambah, terutama di kota besar
seperti Busan. Muslim di kota ini sudah membuka sekolah Islam sendiri. "Meski sekolahnya
kecil, cukup untuk mengakomodasi anak-anak mereka untuk mendapatkan pendidikan yang
Islami," ujar Haseeb.

Data dari Korea Muslim Federation (KMF) yang didirikan sejak tahun 1967 menyebutkan,
jumlah Muslim di Korea Selatan sekarang ini mencapai 120.000-130.000 orang, terdiri dari
Muslim Korea asli dan para warga negara asing. Jumlah orang Korea asli yang Muslim sekitar
45.000 orang, selebihnya didominasi pekerja migran asal Pakistan dan Bangladesh.

Sebagai kelompok masyarakat minoritas, masjid menjadi tempat penting bagi Muslim Korea
Selatan untuk saling bertemu dan bersilahturahim. Sepuluh tahun yang lalu, belum banyak
masjid di negara ini. Tapi sekarang, masjid-masjid sudah banyak tersebar hampir di seluruh kota
besar di Korea Selatan. Masjid terbesar adalah Masjid Sentral Seoul yang berlokasi di distrik
Itaewon.

"Kami punya lebih dari 10 masjid di kota-kota besar seperti Gwangju, Busan dan Daegu. Masjid
di sini bukan sekedar tempat salat tapi juga tempat berkumpul komunitas Muslim, terutama usai
salat Jumat. Mereka saling bercerita dan mendengarkan satu sama lain," imbuh Haseeb.

"Contohnya, jika ada jamaah yang sakit, mereka bersama-sama datang menjenguk ke rumah
sakit. Atau, jika ada yang butuh pertolongan, mereka akan mencari cara untuk bisa memberikan
bantuan," sambung Haseeb.

Masjid juga menjadi pusat informasi bagi warga Korea yang ingin belajar Islam. Masjid-masjid
di Korea Selatan menyediakan bahan-bahan bacaan dan audio yang diberikan gratis buat mereka
yang ingin mempelajari Islam.

Sekolah Islam pertama di Korea Selatan rencananya akan dibuka bulan Maret ini. Sekolah itu
dibiayai lewat dana hibah dari pemerintah Arab Saudi. Tahun 2008 lalu, Duta Besar Saudi di
Seoul sudah menyerahkan dana sebesar 500.000 dollar pada KMF untuk biaya pembangunan
sekolah.

Sebagai penghargaan atas bantuan Saudi, sekolah tersebut rencananya akan menggunakan nama
putera mahkota Saudi Pangeran Sultan Bin Abdul Aziz. Sekolah ini juga akan menerima siswa
non-Muslim. Selain memberikan mata pelajaran berdasarkan kurikulum pendidikan di Korea,
sekolah yang dibiayai Saudi ini juga akan memberikan pelajaran tambahan berupa bahasa Arab,
bahasa Inggris dan studi Islam.

Selain sekolah Islam, sejak tahun 2008 lalu, juga dibangun pusat kebudayaan Islam di kota
Seoul. Dengan adanya sekolah dan pusat kebudayaan Islam ini, diharapkan bisa memperluas
syiar Islam di Korea Selatan sekaligus meluruskan informasi-informasi bias tentang Islam dan
Muslim yang diterima oleh masyarakat negeri itu.(ln/iol)
Kehidupan sebagai Muslim di Korea
March 5, 2016 Maisya

Saya pernah mendengar beberapa orang berkomentar kira-kira seperti ini, “Yah… gitu deh, kalau
udah kelamaan tinggal di luar negeri (yang bukan mayoritas muslim – pen) lama-lama bisa jadi
liberal.”

Pertama, perlu dijelaskan liberal yang dimaksud itu seperti apa.

Kedua, sebenarnya saya tidak bermaksud membahas tentang liberal, moderat, maupun


konservatif. Islam adalah islam (baca: Don’t Call Me a Moderate Muslim).  Melalui tulisan ini,
saya sekadar ingin menceritakan pengalaman saya di Korea sebagai seorang muslim. Perjalanan
setiap orang itu unik dan berbeda antara satu dan lainnya. Dalam perjalanan itu pula ada proses
belajar, berpikir, dan pengalaman langsung yang tak tergantikan oleh sekadar teori. Bagi saya
sendiri, rasa toleransi dan memahami memang seringkali hadir dan tumbuh  ketika kita berada di
tempat di mana kita bukanlah mayoritas. Sayangnya, terkadang rasa toleransi dan memahami
lintas  agama (interfaith understanding) itu sering disalahartikan menjadi liberal, entah
maksudnya liberal yang bagaimana.

Be
rsama mahasiswa Malaysia dan Korea

Tinggal di Indonesia sejak lahir – di mana penduduknya mayoritas muslim – selama ini membuat
saya take anything for granted. Dari mulai makanan yang (mayoritas) halal, masjid dan mushala
yang mudah ditemukan (kecuali di daerah-daerah tertentu yang memang bukan mayoritas
muslim), jam istirahat kuliah dan kerja yang sesuai dengan waktu solat, dan lainnya. Rasa-
rasanya kehidupan sudah mendukung aktivitas ibadah kita sehari-hari. Bahkan saat bulan
Ramadhan, kebanyakan restoran tutup pada siang hari atau setidaknya menutup display
makanannya dengan tirai untuk menghargai muslim yang sedang berpuasa. Lihat, begitu
mudahnya hidup kita sebagai muslim.

Awal tahun 2007, waktu itu usia saya baru menginjak kepada dua. Iya, dulu saya masih muda
dan masih lucu-lucunya. Sekarang pun masih kok. Itu adalah kali pertama saya pergi
meninggalkan tanah air dan merantau ke negara asal kimchi. Korea dulu belum sepopuler
sekarang dan saya juga bukan penggila drama dan artis Korea. Jadi selain dari berselancar di
internet tentang kota dan universitas yang akan saya tuju, yaitu Daejeon dan Daejeon University,
saya tidak banyak tahu tentang Korea.

Jadi Pusat Perhatian di Bis

Sebagai newbie di kota Daejeon, alangkah senangnya saya ketika teman-teman Korea saya
mengajak jalan-jalan ke downtown. Di sana terdapat pertokoan, kafe dan restoran, serta pasar.
Pokoknya saya senang akan melihat keramaian karena selama ini baru mengenal area kampus
dan asrama yang lokasinya di perbukitan.

Untuk menuju downtown, kami naik bis dari depan kampus. Waktu itu saya masih membayar
ongkos bis dengan uang tunai karena belum punya kartu transportasi. Kartu ini semacam e-
money membuat perjalanan lebih mudah karena tinggal tap kartunya saja di tempat yang sudah
disediakan, jadi tidak perlu repot-repot mencari uang pecahan kecil setiap naik bis.

Pada awalnya, di bis hanya ada saya dan beberapa teman, kemudian penumpang terus bertambah
di beberapa halte selanjutnya. Saat mulai ramai, saya mulai merasa tidak nyaman. Bukan apa-
apa, saya merasa banyak mata tertuju kepada saya. “Ah, mungkin saya ge-er,” hibur saya pada
diri sendiri. Tetapi orang-orang itu memang benar-benar menatap ke arah saya. Lama-lama saya
tersadar, mungkin penampilan saya yang memakai jilbablah yang mengundang perhatian
mereka.

Saya risih dan sedikit sebal karena kejadian itu. Saat saya menyampaikan kepada salah satu
teman saya, Lee Bo-Ra, dia bilang mereka mungkin tidak bermaksud buruk. Karena tidak
banyak muslim yang ada di Daejeon kala itu, penampilan saya mungkin membuat mereka
penasaran. Itu saja. Saya pun berusaha untuk tidak mengambil hati.

Semakin lama, saya sudah semakin terbiasa menjadi ‘berbeda’ di tengah masyarakat Korea yang
mayoritas beragama Buddha dan Kristen, serta banyak pula yang tidak beragama. Rasa
penasaran mereka muncul karena ketidaktahuan. Jika mereka bertanya, saya pun tidak segan
untuk menjelaskan, apalagi setelah beberapa bulan, saya juga bisa berbahasa Korea meskipun
hanya percakapan yang sederhana.

Suatu hari, dalam perjalanan pulang dari tempat saya internship pada musim panas, saya
mempersilakan seorang ajumma (panggilan yang setara dengan ‘ibu’, bukan ibu kandung)
menempati tempat duduk saya. Waktu itu saya sedang naik bis menuju asrama. Ajumma itu pun
berterima kasih dan kemudian duduk. Saya berdiri di bis dan dikagetkan oleh seorang ajumma
lain yang memegang jilbab saya.

Saat saya berbalik ke arahnya, bukannya merasa bersalah, ia malah tersenyum dan bertanya,
“Indo?”

Saya menggeleng, “Bukan Indo, tapi Indonesia. In-do-ne-sia,” saya ulang agar ajumma itu
mendengar dengan jelas. Indo adalah sebutan orang Korea untuk India.

“Bukan Indo? Oh.. Hindu?” tanyanya lagi sambil menunjuk jilbab saya.

“Bukan. Saya muslim. Agama saya islam. I-sel-lam,” saya berusaha mengeja dengan ejaan
Korea: 이슬람.

“예쁘다,” katanya, yang berarti cantik. Ia memuji jilbab yang saya kenakan.

Dari situ saya lebih bisa berpikiran positif. Saat mereka memerhatikan dan menatap saya, bukan
berarti mereka membenci. Saya hanya sedikit asing di mata mereka.

Pada waktu berbeda, segerombol anak SMP pernah memanggil-manggil saya, “Arab.. Arab!”
Saya hanya menengok dan tersenyum. Terkadang saya juga prihatin sih pada pengetahuan umum

orang Korea.

Solat di sela-sela kuliah

Berbeda dengan saat di Indonesia, jadwal kuliah di Daejeon University (dan mungkin di kampus
Korea lainnya) tidak memperhitungkan waktu solat. Saat kuliah di UGM setidaknya kami
mendapat jeda perkuliahan pada waktu solat zuhur, ashar, dan maghrib. Pada saat berkuliah di
Daejeon, saya dan beberapa teman muslim harus meminta izin di tengah perkuliahan untuk pamit
solat beberapa menit.

Berada di negara dengan empat musim juga membuat waktu solat cukup berbeda antara pada
satu musim dan musim lainnya. Misalnya saja, saat musim dingin matahari terbenam lebih awal
sedangkan pada musim panas, matahari baru tenggelam sekitar pukul 8 malam. Hal ini
menyebabkan tidak ada kisaran waktu pasti untuk meminta izin solat saat kuliah.

Setelah mendapat izin untuk meninggalkan kelas sesaat, persoalan selanjutnya adalah
menemukan tempat untuk solat. Karena tidak ada mushala atau tempat khusus, kami meminta
izin kepada kantor internasional untuk dapat solat di suatu ruangan yang tak terpakai di kampus.
Kami bisa saja solat di asrama tetapi jaraknya cukup jauh dan akan memakan waktu. Kami
pasrah diberi ruangan apapun di kampus asalkan bersih dan layak untuk digunakan solat.
Untunglah kami kemudian diizinkan solat di suatu sudut di Student Lounge yang tidak terlalu
ramai. Ketika di Student Lounge ada beberapa mahasiswa yang belajar, biasanya mereka
menatap kami sambil heran. Mungkin dalam pikiran mereka, “Itu gerakan-gerakan apa ya?”
Hehe.
Kamu tidak minum soju?

Saat berada di tengah mayoritas masyarakat yang bukan muslim, saya harus sudah jelas dari
awal mengenai kebiasaan-kebiasaan (baca: kewajiban) saya sebagai seorang muslim, termasuk
perihal makan dan minum.  Sebut saja tentang tidak makan daging babi, hanya memakan daging
yang disembelih sesuai dengan ketentuan islam (oleh karenanya saya memilih makan sayur dan
protein yang aman seperti tahu, telur, dan ikan), dan tidak meminum minuman beralkohol.
Memang pada awalnya kebiasaan-kebiasaan ini mengundang banyak pertanyaan.

“Hah? Kamu tidak minum alkohol?” Mereka kaget saya belum pernah (dan tidak akan) mabuk-
mabukan.

“Kamu tidak makan babi? Kenapa? Padahal enak lho…” apalagi Korea punya sajian babi
istimewa yang bernama samgyeopsal.

Beruntung karena saya banyak memiliki teman yang dapat memahami kondisi saya. Jika ada
menu makanan yang tidak saya ketahui, mereka akan mengecek dulu apakah makanan itu
mengandung babi atau daging lainnya. Jika sedang pergi bersama saya, misalnya, mereka sering
‘berkorban’ untuk mencari restoran di mana saya bisa makan atau setidaknya memilih menu-
menu yang nondaging. Saya juga tidak keenakan sih dengan sikap mereka, saya sering
mempersilakan mereka makan apa saja yang mereka mau dan nanti saya akan mencari makanan
sendiri. Namun biasanya mereka yang meminta saya untuk makan bersama saja.
Ve

getarian bibimbap adalah salah satu menu yang bisa kami makan.
M
akan malam perpisahan bersama teman dan dosen.

Dalam hal minum-minum pun, mereka memahami bahwa saya tidak minum minuman
beralkohol.  Seperti diketahui, Korea terkenal dengan soju, yaitu arak yang berbahan dasar beras.
Kadar alkohol dalam soju beragam dari 20 – 45%. Teman-teman bahkan dosen-dosen saya
sering minum soju setelah makan. Soju bagaikan teh botol yang hampir selalu ada di setiap
restoran. Sementara itu, saya cukup senang dengan meminum air putih, apalagi restoran Korea
biasanya menyediakan air putih gratis yang bebas diisi ulang. Berbeda dengan restoran di
Indonesia yang biasanya menjual air mineral kemasan.

Berpuasa

Ramadhan yang saya jalani di Korea bertepatan dengan musim gugur. Kabar baiknya, waktu
solat pada musim ini hampir sama dengan di Indonesia sehingga untuk puasa pun kurang lebih
waktunya sama, yaitu sekitar 14 jam. Waktu itu saya tidak membayangkan bagaimana kalau
harus menjalani puasa pada musim panas (tujuh tahun kemudian saya merasakan berpuasa pada
musim panas saat tinggal di Belanda). Muslim yang tinggal di negara empat musim harus selalu
beradaptasi dengan perbedaan waktu setiap musimnya.

Untuk sahur, saya terkadang makan roti atau memanaskan makanan dari kantin asrama yang
saya bawa ke kamar pada malam sebelumnya (cerita mengenai pengalaman sahur juga saya
ceritakan di buku The Traveling Students). Jika saya hanya punya nasi, saya sudah senang bisa
makan nasi dengan kim atau lembaran rumput laut kering ala Korea (di Jepang dikenal dengan
sebutan nori).

Bisa dibilang ibadah puasa selama di Daejeon berjalan dengan lancar meskipun bukan tanpa
tantangan. Saya dan beberapa teman juga sempat mampir untuk ikut pengajian Ramadhan di
Islamic Center Daejeon (ceritanya pernah saya tulis di SINI) dan berbuka puasa bersama
muslimah di sana yang kebanyakan berasal dari Timur Tengah, India, dan Pakistan. Senang
sekali bisa makan daging dengan kuah kari buatan muslimah Pakistan. Maklum, saya jarang
makan daging selama di Korea. Hehe.

Salah satu pengalaman unik adalah ketika saya menginap di rumah teman Korea saya, yaitu Su-
jin Onni (onni adalah panggilan untuk kakak perempuan). Saya diundang tinggal di rumahnya
selama akhir pekan untuk merayakan Chuseok atau thanksgiving-nya Korea. Su-jin onni
memasak ikan dan lauk lezat lainnya untuk berbuka puasa dan menyiapkan makanan untuk sahur
meskipun ia tidak ikut bangun sahur malam harinya.

Baca juga: Chae-hun Belajar Bahasa Arab

Pada perayaan Chuseok, ada tradisi berziarah ke makam keluarga. Su-jin Onni dan keluarganya
akan pergi ke luar kota untuk berziarah dan mengunjungi keluarga di sana. Pagi itu, saat kami
bersiap-siap, tiba-tiba ayahnya mengagetkan saya.

“Icha, kamu belum makan ya?” tanyanya.

“Sudah. Tadi saya sudah makan,” jawab saya. Maksud saya adalah makan sahur.

“Tapi pagi ini belum makan kan?” tanyanya lagi.

“Saya puasa.”

“Kamu harus makan. Nanti di desa kita akan berjalan kaki menuju makam, kamu harus ada
tenaga,” kira-kira begitulah ucapan ayah Su-jin onni yang bersikeras menyuruh saya makan.

“Terima kasih. Saya kuat kok,” saya meyakinkan.

“Kalau kamu tidak mau makan, kita tidak jadi pergi,” ancamnya. Lho, kok jadi seperti ancaman
kepada anak kecil yang susah makan ya? Hehe.

Tampaknya ia belum memahami tentang konsep berpuasa. Untunglah Su-jin Onni membantu
menjelaskan. Saya tahu itu adalah wujud perhatian dan kekhawatiran orang tua kepada anaknya.
Apalagi saat itu mungkin saya dianggap seperti adik kecil karena usia saya terpaut enam tahun
dari Onni. Tetapi jika diingat-ingat lagi, lucu juga kami saling meyakinkan seperti orang
berkelahi. Akhirnya ayahnya melunak dan membiarkan saya tetap berpuasa. Selama perjalanan,

ia masih bertanya apakah saya haus dan lapar.


***

Foto:
blog

Setelah saya kembali ke Indonesia, saya menjadi tersadarkan bahwa kita hidup dalam
masyarakat yang begitu heterogen. Oleh karenanya, saya berusaha menghargai perbedaan yang
ada. Dengan teman-teman yang tidak seagama pun, saya menghormati kebiasaan atau ajaran
yang berbeda dengan apa yang saya anut. Ketika kita memberi ruang kepada orang beragama
lain untuk melakukan ibadah dan menjalankan ajarannya, bukan lantas kita menjadi penganut
agama itu kan? Saya selalu teringat banyak sekali orang baik di luar sana yang tetap menghargai
saya walau saya berbeda dan tetap mendukung dan memberi ruang kepada saya dalam
menjalankan ibadah. Alhamdulillah.

Setahun di Korea adalah pengalaman yang memperkaya diri saya baik sebagai seorang
Indonesia, pelajar, dan muslim. Saya belajar untuk bisa menempatkan diri, mandiri, menghargai
perbedaan, namun tetap memegang prinsip. Saya juga belajar untuk tidak berprasangka. Banyak
kejadian yang mengajarkan kepada saya bahwa kebaikan itu bersifat universal, melintasi warna
kulit, suku, agama, bahasa, dan sebagainya.

Siapa bilang tinggal di luar negeri itu enak? Justru meninggalkan Indonesia berarti meninggalkan
zona nyaman. Tetapi merantau seringkali memberikan banyak hikmah dan mengajarkan makna

rindu akan rumah. Merantau adalah perjalanan pulang.

Ps. Insya Allah saya juga akan menuliskan pengalaman sebagai muslim di Belanda.
Cerita tentang Islam dan Halal di Korea Selatan

Rinaldo

08 Nov 2016, 23:11 WIB





 0

13

Seoul Central Mosque atau Masjid Pusat Kota Seoul, Korea Selatan. (world buletin)

Liputan6.com, Seoul - Ada yang menarik dalam jamuan makan malam di sebuah hotel bintang
lima di Kota Seoul, Korea Selatan pada akhir Oktober lalu. Seorang pelayan menanyakan kepada
beberapa orang apakah akan menyajikan makanan halal atau tidak untuk santap malam.

Pertanyaan itu diajukan kepada anggota delegasi ASEAN Media People's Visit to Korea yang
berasal dari 10 negara anggota ASEAN, khususnya delegasi dari Malaysia, Brunei Darussalam,
dan Indonesia.
Bagi mereka yang memilih makanan halal, si pelayan kemudian memberikan beberapa alternatif
daftar sajian makan malam yang semuanya halal. Maka, makan malam itu pun menjadi penuh
warna karena makanan yang disajikan secara berurutan tak terlihat sama antara satu dengan yang
lainnya.

Liputan6.com yang ikut dalam kunjungan itu juga mendapati fakta bahwa dalam sejumlah
jamuan makan malam lainnya, pertanyaan tentang pilihan makanan halal atau tidak selalu
diajukan.

Bahkan, saat berada di Kota Busan, kota kedua terbesar di Korea Selatan, jamuan makan malam
yang difasilitasi Pemerintah Kota Busan hanya menyajikan makanan halal untuk seluruh anggota
delegasi.

Daftar menu halal di salah satu restoran di Kota Seoul, Korea Selatan. (Liputan6.com/Rinaldo)

Makanan halal bukanlah kejutan pertama bagi anggota delegasi yang beragama Islam. Di hari
pertama kunjungan, di dalam kamar hotel tempat kami menginap sudah tersedia kitab suci
Alquran, sajadah, serta kompas penunjuk arah kiblat.
Bahkan, di gedung K-Style Hub yang menjadi pusat layanan wisata serta informasi kuliner
Korea Selatan, tersedia musala yang bersih dan rapi di lantai 2. Dua ruangan kecil dipisah untuk
pria dan wanita yang akan menunaikan salat lima waktu di gedung yang beralamat di
Cheonggyecheon-ro, Jung-gu, Seoul itu.

Menurut salah seorang pemandu di gedung ini, Eun Hyun-sik disediakannya musala tersebut tak
lain untuk memenuhi kebutuhan pengunjung yang datang ke tempat itu.

"Pengunjung yang datang dari Indonesia, Malaysia dan negara Timur Tengah sering
menanyakan tempat mereka untuk salat," ujar Eun kepada Liputan6.com.

Alquran, sajadah serta penunjuk arah kiblat yang disediakan di salah satu hotel di Kota Seoul, Korea
Selatan. (Liputan6.com/Rinaldo)

Ucapan itu memang terbukti. Saat berkunjung ke gedung itu, Liputan6.com mendapati sejumlah
wanita berhijab asal Indonesia akan menunaikan salat zuhur.

"Saya dan teman-teman ke sini untuk belajar memasak makanan populer asal Korea, selain juga
mencari informasi tentang lokasi wisata yang asyik untuk dikunjungi. Kebetulan belum salat
zuhur dan diberitahu kalau di gedung ini ada musala," jelas Neni yang mengaku berasal dari
Bandung, Jawa Barat.
Tak bisa dipungkiri, upaya pemerintah Korea Selatan untuk mendekatkan diri pada seluk beluk
tentang Islam tak lepas dari banyaknya wisatawan dari negara berpenduduk muslim. Hal itu
diakui Eun.

"Bisa dilihat, setiap hari pasti ada wisatawan muslim yang datang ke Korea Selatan, sehingga
menjadi tugas kami untuk menyediakan semua keperluan mereka. Selain itu, Islam sendiri
sebenarnya bukan sesuatu yang asing buat warga Korea," tutur Eun.

2 dari 3 halaman

Awal Mula Islam di Korea

Sejatinya, Islam memang bukan sesuatu yang baru atau asing bagi warga Korea, karena umat
muslim sudah menapak wilayah itu sejak awal. Kehadiran Islam pertama kali bahkan bisa
ditelusuri pada abad ke-9 atau selama periode Dinasti Silla yang dianggap sebagai cikal bakal
bangsa Korea.

Hal itu dibuktikan dengan kedatangan pedagang serta pelaut Persia dan Arab. Catatan yang
menunjukkan adanya masyarakat muslim Timur Tengah di Silla adalah dengan keberadaan
patung-patung wali kerajaan dengan karakteristik khas Persia.

Mereka kemudian menetap secara permanen dan mendirikan desa-desa muslim. Seiring
berjalannya waktu, banyak di antara mereka kemudian menikah dengan wanita Korea.
Ruangan musala untuk laki-laki yang disediakan di Gedung K-Style Hub Kota Seoul, Korea Selatan.
(Liputan6.com/Rinaldo)

Hubungan perdagangan antara dunia Islam dan Semenanjung Korea dilanjutkan pada masa
Kerajaan Goryeo sampai abad ke-15. Pada era ini, setidaknya satu klan utama Korea, keluarga
Chang yang bermukim di Desa Toksu, mengklaim keturunannya dari keluarga muslim.

Bahkan, pada periode awal Dinasti Joseon, penanggalan Islam berfungsi sebagai dasar untuk
kalender kerajaan karena dinilai lebih akurat dibandingkan kalender China yang sudah ada.

Selaun itu, sebuah teks yang menggabungkan astronomi China dengan astronomi Islam,
dipelajari di Korea di bawah Dinasti Joseon pada masa Sejong yang Agung pada abad ke-15.

Meski demikian, dari sisi peningkatan populasi tak banyak perkembangan berarti. Muslim di
Korea tak bisa berkembang sebagaimana di negara Asia lainnya. Bahkan, tak ada organisasi
yang menyatukan umat muslim ketika itu hingga terjadinya Perang Korea.

3 dari 3 halaman
Turki dan Perang Korea

Perkembangan Islam sedikit berubah saat terjadinya Perang Korea (9150-1953). Ketika itu Turki
mengirim sejumlah besar pasukannya untuk membantu Korea Selatan di bawah perintah PBB
yang disebut Brigade Turki.

Selain berkontribusi di medan perang, Turki juga memberikan bantuan kemanusiaan dalam
mengoperasikan sekolah-sekolah selama perang untuk anak yatim yang menjadi korban perang.

Setelah perang usai, beberapa prajurit Turki yang bertugas di Korea Selatan sebagai Pasukan
Penjaga Perdamaian PBB mulai mengajarkan tentang Islam di Korea Selatan.

Contoh menu halal ala Korea yang disajikan kepada sejumlah jurnalis muslim dari negara ASEAN di Pulau
Geoje pada akhir Oktober lalu. (Liputan6.com/Rinaldo)

Perkembangan yang signifikan terjadi pada September 1955 ketika didirikannya Masyarakat
Muslim Korea (Korea Muslim Society/KMS). Langkah ini kemudian diikuti dengan pemilihan
Imam Besar serta pembangunan masjid pertama di Korea Selatan.

KMS yang terus tumbuh menata ulang organisasinya dan diputuskan berubah menjadi Federasi
Muslim Korea (Korea Muslim Federation/KMF) pada tahun 1967. Selanjutnya, Masjid Pusat
Seoul (Seoul Central Mosque) dibangun di kawasan Itaewon, Kota Seoul pada 1976.
Papan penunjuk arah Masjid Pusat Seoul, Korea Selatan. (iamproudtobemuslim.wordpress)

Masjid ini memiliki tiga lantai, yang memiliki fungsi berbeda. Di lantai pertama terdapat kantor
Federasi Muslim Korea dan ruang pertemuan, sedangkan ruang salat berada di lantai dua dan
tiga. Di tempat ini juga dibangun sebuah madrasah yang dijadikan sebagai lembaga pendidikan
Islam bagi anak-anak, Pusat Penelitian Kebudayaan Islam dan Organisasi Islam lainnya.

Pembangunan masjid pertama dan satu-satunya di Seoul ini kemudian berlanjut di Busan,
Anyang, Gwangju, Jeonju dan Daegu.

Berdasarkan data KMF, jumlah umat muslim di Korea Selatan saat ini mencapai 120.000-
130.000 orang, terdiri dari muslim Korea asli dan warga negara asing. Jumlah orang Korea asli
yang menganut agama Islam sekitar 45.000 orang, selebihnya didominasi pekerja migran asal
Pakistan dan Bangladesh.
Geliat Islam Di Korea Selatan
13

Magdalena – Selasa, 26 Rabiul Awwal 1430 H / 24 Maret 2009 16:30 WIB

Berita Terkait

 Dewan Islam Aljazair : Sikap Toleransi Fundamental Dalam Islam


 Orangtua Tristan Anderson Minta Tanggung Jawab Israel
 Sikap Yahudi AS Soal Opsi Militer ke Iran
 AKP Akan Menangkan Pemilu Lokal
 Mahasiswa Muslim di Australia Protes Penyatuan Ruang Ibadah

Komunitas Muslim di Korea Selatan adalah komunitas yang


kaya dengan keberagaman latar belakang etnis dan budaya. Komunitas Muslim di negeri yang
mayoritas penduduknya beragama Budha ini, kebanyakan adalah para pekerja asing dan imigran
dari berbagai negara Muslim, terutama dari kawasan Asia Tenggara dan Asia Selatan.

Sementara orang-orang asli Korea yang Muslim, kebanyakan adalah keturunan dari para mualaf
yang masuk Islam saat berlangsung Perang Korea. "Di sini adalah beberapa orang Korea. Yang
lainnya berasal dari Indonesia, Malaysia dan Uzbek. Ada juga beberapa Muslim asal AS. Muslim
disini sedikitnya berasal dari 12 sampai 14 negara di dunia," kata Haseeb Ahmad Khan,
pengusaha asal Pakistan yang sudah 10 tahun tinggal di Korea Selatan.

Menurut Haseeb, jumlah Muslim di Korea Selatan terus bertambah, terutama di kota besar
seperti Busan. Muslim di kota ini sudah membuka sekolah Islam sendiri. "Meski sekolahnya
kecil, cukup untuk mengakomodasi anak-anak mereka untuk mendapatkan pendidikan yang
Islami," ujar Haseeb.

Data dari Korea Muslim Federation (KMF) yang didirikan sejak tahun 1967 menyebutkan,
jumlah Muslim di Korea Selatan sekarang ini mencapai 120.000-130.000 orang, terdiri dari
Muslim Korea asli dan para warga negara asing. Jumlah orang Korea asli yang Muslim sekitar
45.000 orang, selebihnya didominasi pekerja migran asal Pakistan dan Bangladesh.

Sebagai kelompok masyarakat minoritas, masjid menjadi tempat penting bagi Muslim Korea
Selatan untuk saling bertemu dan bersilahturahim. Sepuluh tahun yang lalu, belum banyak
masjid di negara ini. Tapi sekarang, masjid-masjid sudah banyak tersebar hampir di seluruh kota
besar di Korea Selatan. Masjid terbesar adalah Masjid Sentral Seoul yang berlokasi di distrik
Itaewon.

"Kami punya lebih dari 10 masjid di kota-kota besar seperti Gwangju, Busan dan Daegu. Masjid
di sini bukan sekedar tempat salat tapi juga tempat berkumpul komunitas Muslim, terutama usai
salat Jumat. Mereka saling bercerita dan mendengarkan satu sama lain," imbuh Haseeb.

"Contohnya, jika ada jamaah yang sakit, mereka bersama-sama datang menjenguk ke rumah
sakit. Atau, jika ada yang butuh pertolongan, mereka akan mencari cara untuk bisa memberikan
bantuan," sambung Haseeb.

Masjid juga menjadi pusat informasi bagi warga Korea yang ingin belajar Islam. Masjid-masjid
di Korea Selatan menyediakan bahan-bahan bacaan dan audio yang diberikan gratis buat mereka
yang ingin mempelajari Islam.

Sekolah Islam pertama di Korea Selatan rencananya akan dibuka bulan Maret ini. Sekolah itu
dibiayai lewat dana hibah dari pemerintah Arab Saudi. Tahun 2008 lalu, Duta Besar Saudi di
Seoul sudah menyerahkan dana sebesar 500.000 dollar pada KMF untuk biaya pembangunan
sekolah.

Sebagai penghargaan atas bantuan Saudi, sekolah tersebut rencananya akan menggunakan nama
putera mahkota Saudi Pangeran Sultan Bin Abdul Aziz. Sekolah ini juga akan menerima siswa
non-Muslim. Selain memberikan mata pelajaran berdasarkan kurikulum pendidikan di Korea,
sekolah yang dibiayai Saudi ini juga akan memberikan pelajaran tambahan berupa bahasa Arab,
bahasa Inggris dan studi Islam.

Selain sekolah Islam, sejak tahun 2008 lalu, juga dibangun pusat kebudayaan Islam di kota
Seoul. Dengan adanya sekolah dan pusat kebudayaan Islam ini, diharapkan bisa memperluas
syiar Islam di Korea Selatan sekaligus meluruskan informasi-informasi bias tentang Islam dan
Muslim yang diterima oleh masyarakat negeri itu.(ln/iol)
Islam di Korea
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Jump to navigation Jump to search

Artikel atau bagian dari artikel ini diterjemahkan dari Islam di Korea di en.wikipedia.org. Isinya
memiliki ketidakakuratan. Selain itu beberapa bagian yang diterjemahkan masih memerlukan
penyempurnaan. Pengguna yang mahir dengan bahasa yang bersangkutan dipersilakan untuk
menelusuri referensinya dan menyempurnakan terjemahan ini, atau Anda juga dapat ikut
bergotong royong dalam ProyekWiki Perbaikan Terjemahan.
(Pesan ini dapat dihapus jika terjemahan dirasa sudah cukup tepat. Lihat pula: panduan penerjemahan
artikel)

Masjid di Seoul, Korea Selatan.

Artikel ini merupakan bagian dari seri

Islam menurut negara

Afrika[tampilkan]

Asia[tampilkan]

Eropa[tampilkan]

Amerika[tampilkan]

Oseania[tampilkan]
Kotak ini:

 lihat
 bicara
 sunting

Islam di Korea merupakan salah satu agama yang berkembang di Korea. Di Korea Selatan,
populasi Muslim terus meningkat sejak diperkenalkannya Islam tak lama setelah Perang Korea.
Komunitas Muslim (baik orang Korea dan warga asing) ini berpusat di sekitar Seoul, di mana
masjid besar yang pertama pada abad ke-20 dibangun pada tahun 1976 dengan menggunakan
dana dari Misi Islam Malaysia dan negara-negara Islam lainnya.

Selain kurang dari 30.000 umat Muslim asli Korea, telah terjadi pertumbuhan yang lambat tetapi
jelas dari imigrasi Asia Selatan, Timur Tengah (yaitu Irak), Indonesia dan Malaysia ke Korea
Selatan, mayoritas menjadi Muslim, selama 1990-an dan 2000-an, biasanya datang sebagai
tenaga kerja ekspatriat. Secara keseluruhan ada sampai 35.000 Muslim di Korea Selatan.[1]

Hal ini diyakini bahwa tidak ada kehadiran yang signifikan dari Islam di Korea Utara, di mana
kegiatan keagamaan otonom secara umum hampir tidak ada.

Daftar isi

 1 Sejarah
o 1.1 Tiga Kerajaan
o 1.2 Dinasti Goryeo
o 1.3 Dinast Joseon
 2 Pengenalan kembali abad ke-20
 3 Saat ini
 4 Catatan
o 4.1 Sumber
 5 Pranala luar

Sejarah

Tiga Kerajaan

Selama pertengahan abad ke-7, pedagang Muslim telah melintasi Asia Timur sejak Dinasti Tang
dan membentuk kontak dengan Silla, salah satu dari Tiga Kerajaan Korea.[2] Pada tahun 751,
seorang jenderal Cina keturunan Goguryeo, Gao Xianzhi, memimpin Pertempuran Talas untuk
Dinasti Tang terhadap kekhalifahan Abbasiyah namun dikalahkan. Referensi paling awal ke
Korea dalam kerja geografis non-Asia Timur muncul dalam General Survey of Roads and
Kingdoms oleh Ibnu Khurdadbih pada pertengahan abad ke-9.[3]
Kehadiran pertama Islam dapat diverifikasi di Korea berawal dari abad ke-9 selama periode Silla
Bersatu dengan kedatangan pedagang dan navigator Persia dan Arab. Menurut banyak geografer
Muslim, termasuk penjelajah dan ahli geografi Muslim Persia abad ke-9 Ibnu Khurdadhbih,
banyak dari mereka menetap secara permanen di Korea, mendirikan desa-desa Muslim.[4]
Beberapa catatan menunjukkan bahwa banyak dari pemukim berasal dari Irak.[5] Catatan lain
menunjukkan bahwa sejumlah besar dariSyiah faksi Alawi menetap di Korea.[6] Selanjutnya yang
menunjukkan adanya masyarakat Muslim Timur Tengah di Silla adalah patung-patung wali
kerajaan dengan karakteristik khas Persia.[7] Pada gilirannya, umat Islam banyak kemudian
menikah dengan wanita Korea. Beberapa asimilasi ke Buddhisme dan Shamanisme terjadi,
karena isolasi geografis Korea dari dunia Muslim.[8]

Dinasti Goryeo

Hubungan perdagangan antara dunia Islam dan semenanjung Korea dilanjutkan dengan kerajaan
Goryeo sampai abad ke-15. Akibatnya, sejumlah pedagang Muslim dari Timur Dekat dan Asia
Tengah menetap di Korea dan mendirikan keluarga di sana. Setidaknya satu klan utama Korea,
keluarga Chang keluarga dengan tempatnya di desa Toksu, mengklaim keturunannya dari
keluarga Muslim.[2] Beberapa Muslim Hui dari Cina juga tampaknya telah tinggal di kerajaan
Goryeo.[9] Pada 1154, Korea termasuk dalam atlas dunia geografer Arab Muhammad al-Idrisi,
Tabula Rogeriana. Peta tertua dunia Korea, Kangnido, menarik pengetahuan dari Kawasan Barat
dari karya geografi Islam.[10]

Kontak kecil dengan masyarakat mayoritas Muslim, khususnya Uighur, berjalan terus dan
semakin dekat. Satu kata untuk Islam dalam bahasa Korea, hoegyo (회교, 回敎) berasal dari
huihe (回紇), nama bahasa Tionghoa tua untuk Uyghur. Selama akhir periode Goryeo, ada
masjid di ibukota Gaeseong.[11] Selama kekuasaan Mongol di Korea, Mongol sangat bergantung
pada Uyghur untuk membantu mereka menjalankan kerajaan besar mereka karena orang Uighur
berpengalaman dalam mengelola jaringan perdagangan yang diperluas. Setidaknya dua orang
Uighur tinggal di Korea secara permanen dan menjadi nenek moyang dari dua klan Korea.[3][12]

Salah satu imigran Asia Tengah di Korea awalnya datang ke Korea sebagai asisten seorang putri
Mongol yang telah dikirim untuk menikahi Raja Chungnyeol. Dokumen Goryeo mengatakan
bahwa nama aslinya adalah Samga. Tetapi, setelah ia memutuskan untuk tinggal di Korea, raja
menganugerahinya nama Korea Jang Sun-nyeong. Jang menikah dengan seorang Korea dan
menjadi nenek moyang pendiri klan Deoksu Jang. Klannya menghasilkan banyak pejabat tinggi
dan cendekiawan Konfusianisme yang dihormati selama berabad-abad. Dua puluh lima generasi
kemudian, sekitar 30.000 warga Korea melihat kembali ke belakang Jang Sun-nyeong sebagai
leluhur dari klan mereka. Mereka sadar bahwa ia bukan penduduk asli Korea. Banyak yang
percaya bahwa ia adalah seorang Muslim Arab. Namun, tidak ada bukti pengaruh Islam pada
tradisi keluarga Deoksu Jang. Hal yang sama juga terjadi pada keturunan Asia Tengah lain yang
tinggal di Korea. Seorang Asia Tengah (mungkin Uighur) bernama Seol Son melarikan diri ke
Korea ketika Pemberontakan Serban Merah meletus menjelang akhir dari Dinasti Yuan. Dia juga
menikah dengan seorang Korea, menjadi leluhur klan Seol Gyeongju yang mengklaim sedikitnya
2.000 anggota di Korea saat ini tetapi tidak menunjukkan tanda-tanda khusus dari pengaruh
Muslim.[3]
Dinast Joseon

Pada periode awal Joseon, penanggalan Islam berfungsi sebagai dasar untuk kalender karena
reformasi untuk akurasi yang unggul di atas kalender Cina yang sudah ada.[3] Penerjemahan
Korea dari Huihui Lifa, sebuah teks yang menggabungkan astronomi Cina dengan astronomi
Islam, dipelajari di Korea di bawah Dinasti Joseon pada masa Sejong yang Agung pada abad ke-
15.[13] Tradisi astronomi Cina-Islam bertahan di Korea sampai awal abad ke-19.[14]

Namun, karena isolasi politik dan geografis Korea selama periode Joseon, Islam akhirnya lenyap
di Korea sampai diperkenalkan kembali pada abad ke-20. Hal ini diyakini bahwa banyak praktik-
praktik keagamaan dan ajaran tidak dapat bertahan.[3] Namun, pada abad ke-19, pemukim Korea
di Manchuria melakukan kontak kembali dengan Islam, ini menjadi Muslim Korea pertama pada
zaman modern.[15]

Catatan paling awal dari Muslim asli Korea berawal dari abad ke-19, ketika ada sebuah
komunitas Muslim yang signifikan yang menempatkan dirinya di Manchuria. Kelompok ini
meliputi keturunan pedagang Asia Tengah yang telah menetap di kota-kota Manchuria. Di
sanalah warga Korea asli pertama kali datang untuk menerima Islam sebagai agama mereka.
Namun, itu hanya setelah Perang Korea bahwa Islam mulai tumbuh secara signifikan di Korea.
Islam diperkenalkan ke Korea oleh Brigade Turki yang datang untuk membantu Korea selama
perang. Sejak itu, Islam telah terus tumbuh di Korea dan diadopsi oleh kalangan penduduk asli
Korea yang cukup signifikan.[16]

Pengenalan kembali abad ke-20

Selama Perang Korea, Turki mengirim sejumlah besar pasukannya untuk membantu Korea
Selatan di bawah perintah PBB, yang disebut Brigade Turki. Selain kontribusi mereka di medan
perang, Turki juga membantu dalam pekerjaan kemanusiaan, membantu mengoperasikan
sekolah selama waktu perang untuk anak yatim korban perang. Tak lama setelah perang,
beberapa orang Turki yang bertugas di Korea Selatan sebagai pasukan penjaga perdamaian PBB
mulai mengajar di Korea tentang Islam. Pada awal mengubahnya mendirikan Korea Muslim
Society pada tahun 1955, pada saat di mana masjid pertama di Korea Selatan didirikan.[15] Korea
Muslim Society tumbuh cukup besar untuk menjadi Korea Muslim Federation pada tahun 1967.
[3]

Saat ini

Pada tahun 1962, pemerintah Malaysia menawarkan hibah sebesar US $ 33.000 untuk sebuah
masjid yang akan dibangun di Seoul. Namun, rencana itu gagal karena inflasi. Tidak sampai
1970-an, ketika hubungan ekonomi Korea Selatan dengan banyak negara Timur Tengah
menonjol, menunjukkan bahwa minat terhadap Islam mulai bangkit kembali. Beberapa warga
Korea yang bekerja di Arab Saudi masuk Islam, ketika mereka menyelesaikan masa tugas kerja
mereka dan kembali ke Korea, mereka didukung sejumlah Muslim penduduk asli.[3] Masjid Pusat
Seoul akhirnya dibangun di Seoul lingkungan Itaewon pada tahun 1976. Saat ini ada juga masjid
di Busan, Anyang, Gwangju, Jeonju dan Daegu. Menurut Lee Hee-Soo (Yi Hui-su), Presiden
Korea Islam Institute, ada sekitar 40.000 Muslim yang terdaftar di Korea Selatan, dan sekitar
10.000 diperkirakan penganut yang sangat aktif.[17]

Korea Muslim Federation (KMF) mengatakan akan membuka sekolah dasar Islam pertama
bernama SD Pangeran Sultan Bin Abdul Aziz pada Maret 2009 dengan tujuan membantu
Muslim di Korea belajar tentang agama mereka melalui kurikulum sekolah resmi. Rencana
sedang dilakukan untuk membuka sebuah pusat budaya, sekolah menengah dan bahkan
universitas. Abdullah Al-Aifan, Duta Besar Arab Saudi di Seoul, menyerahkan $500.000 untuk
KMF atas nama pemerintah Arab Saudi.[18]

Jauh sebelum dibentuknya sekolah formal berupa SD, sebuah madrasah bernama Madrasah
Sultan Bin Abdul Aziz, telah berfungsi sejak tahun 1990 dan di situlah anak-anak diberi
kesempatan untuk belajar bahasa Arab, budaya Islam, dan Inggris.

Banyak Muslim Korea yang mengatakan gaya hidup mereka yang berbeda membuat mereka
lebih menonjol daripada yang lain dalam masyarakat. Namun, kekhawatiran terbesar mereka
adalah prasangka yang mereka rasakan setelah serangan 11 September pada tahun 2001.[19]

Dalam Arirang TV, sebuah stasiun TV Korea juga membuat laporan 9 menit pada Imam Hak
Ap-du dan Islam di Korea
PERKEMBANGAN ISLAM DI KOREA
Februari 15, 2013 sartikahinata

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Korea penuh kemiskinan, kesedihan dan penderitaan akibat dari Perang Korea yang meletus
pada 25 Juni 1950. Dalam reruntuhan perang, Islam mulai menanam bijinya oleh Saudara
Zubercoch dan Abdul Rahman yang berpartisipasi dalam Perang Korea sebagai anggota dinas
militer Angkatan Darat Turki Perserikatan Bangsa-Bangsa ditempatkan di Korea. Selama
pelayanan ia membangun sebuah gubuk Quonset digunakan sebagai Masjid, di mana ia
berkhotbah doktrin Islam kepada Rakyat Korea. Tentara Turki mengajarkan rakyat Korea di
Tenda Masjid dibangun di pengungsi desa ajaran monoteisme Islam selama Perang Korea,
sementara rakyat Korea mengabdikan diri pada kehidupan keagamaan dalam kegelapan berharap
untuk masa depan yang cerah dengan percaya kepada Allah.
B. Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini selain untuk memenuhi tugas mata kuliah sejarah
kebudayaan Islam, juga agar para mahasiswa mengetahui bagaimana proses masuknya Islam di
Korea serta perkembangannya.
C. Rumusan Masalah

1. Bagaimana proses masuknya Islam di Korea?


2. Bagaimana perkembangan Islam di Kora?

BAB II
PEMBAHASAN
PERKEMBANGAN ISLAM DI KOREA

A. Proses Masuknya Islam Di Korea


Dari jaman penjajahan Jepang, Itaewon telah menjadi daerah pemukiman utama bagi orang-
orang dari luar negeri. Pernah bertempat barak tentara Jepang, dan setelah 1945 senyawa besar di
distrik menjadi milik pasukan AS. Sekitarnya dikembangkan sebagai magnet bagi semua jenis
kegiatan pemukiman asing di Seoul.
Itaewon didominasi oleh sebuah bangunan yang jelas-jelas sebuah masjid. Bangunan yang
mengesankan ini adalah pengingat akan kebangkitan komunitas Muslim di sini.
Islam telah hadir di negara ini untuk waktu yang sangat lama. Pada abad 8 dan 9, pelaut dan
saudagar Arab sering mengarungi perairan pantai Selatan dan Asia Timur. Pada 845 disebutkan
kata ‘Korea’ dalam bukunya, dalam sebuah frase: ‘Di balik Cina, menyebrangi lautan, terdapat
negara berbukit-bukit yang disebut ‘Silla’, kaya emas. Muslim yang tiba di sana secara tak
sengaja sangat tertarik oleh karakternya sehingga mereka tinggal di sana selamanya dan tidak
mau pergi. Pada waktu itu sejumlah pedagang muslim membuat rumah mereka.
Beberapa Korea juga membuat epik perjalanan ke Barat. Catatan mengkonfirmasi bahwa dalam
727 biksu yang terkenal Heoch’o mengunjungi Timur Dekat Arab dalam perjalanan kembali dari
India.
Selama periode Koryo (918-1392) Kaesong, maka ibu kota negara, adalah rumah bagi komunitas
Muslim yang berkembang, dan ada masjid juga. Anggota dari salah satu marga, keluarga Chang
dari Toksu, masih ingat bahwa pendiri marga adalah seorang Muslim yang datang ke Korea pada
zaman Koryo. Namun, dinasti Yi, yang merebut kekuasaan pada 1392, jauh lebih introspektif
dari pendahulunya, sehingga awal ini hubungan dengan Timur Dekat secara bertahap layu.
Kebangkitan Islam terjadi selama Perang Korea. Perang itu terjadi sebagian besar oleh pasukan
AS, tetapi dengan dukungan dari negara-negara lain, di antaranya Turki, pada waktu itu sekutu
dekat Washington. Pasukan Turki termasuk yang paling banyak, sekitar 15.000 tentara, dan
merupakan pasukan non-Amerika yang terlatih untuk mengambil bagian dalam perang.
Turki membawa Islam kembali ke Korea. Mereka terbukti tidak hanya menjadi pejuang yang
baik tetapi juga berhasil menjadi pendakwah. Tenda mereka sebagai masjid yang awalnya
melayani para prajurit sendiri, akhirnya menjadi pusat utama aktivitas pendakwah. Turki
memperbolehkan dan mendorong orang Korea yang sudah memeluk Islam untuk ambil bagian
dalam ibadah. Turki juga terlibat dalam upaya kemanusiaan skala besar, yang meninggalkan
kesan mendalam di penduduk setempat.
Ketika perang selesai dan unit Turki kembali ke rumah, mereka tinggalkan komunitas Muslim
lokal yang kecil namun aktif. Masyarakat Muslim Korea diresmikan pada tahun 1955. Organisasi
ini, kemudian dinamai ulang Yayasan Islam Korea, menjadi organisasi utama untuk beriman di
sini. Anggota masyarakat dikirim ke luar negeri untuk pendidikan agama dan mencoba untuk
membangun masjid permanen dengan bantuan hibah pemerintah Malaysia, tetapi tidak mampu.
Doa diadakan di gedung darurat, dengan menara yang terbuat dari papan kayu dan besi frame.
B. Perkembangan Islam Di Korea
Secara kronologi, sejarah perkembangan dan kemajuan Islam di Korea sangat mendukung
perkembangan warga muslim Korea. Hal ini di awali oleh Imam Zubercoch dan Abdul Rahman
yang terlibat di dalam Perang Korea sebagai anggota pengaman tentara Turki telah
menyampaikan cahaya Islam dan ajaran Al-Qur’an untuk pertama kalinya di Korea pada bulan
September 1955, di mulainya Persatuan Komunitas Muslim Korea pada bulan oktober 1955,
disahkannya Yayasan Islam Korea oleh menteri Kebudayaan dan Komunikasi pada bulan maret
1967, pembinaan mesjid sentral Seoul pada Mei 1974, penerimaan hibah tanah seluas 1,500 m²
sebagai tapak pembinaan Masjid Sentral dari Almarhum Presiden Park Jung Hee pada bulan
desember 1974, di bukanya mesjid sementara di Busan pada desember 1976, mesjid sementara di
Yokri, Gwangju pada April 1978, Rombongan haji terbesar yang terdiri dari 132 orang adalah
yang pertama kalinya di dalam sejarah Korea pada oktober 1978, peresmian majelis mesjid Al
Fatah, Pusan pada september 1980. Peresmian mesjid Kwangju pada Juni 1981, perkemahan
W.A.M.Y. setiap tahun mulai Agustus 1983 sampai Agustus 1985, Peresmian Masjid Anyang
Rabita Al-Alam Al-Islami pada April 1986, Peresmian Masjid Abu Bakar As-Siddiq, Jeon-ju
pada september 1986, diadakannya Perkemahan Muslim Lokal W.A.M.Y pada Agustus 1987
dan 1988.
Tentunya Islam di Korea sangat bergeliat, hal ini dapat dicerminkan dari mulai banyaknya
masjid, mushalla, dan pusat-pusat pendidikan Islam yang berdiri di sana. Dilain hal, dalam
hubungan kerjasama antara Arab Saudi dan Federasi Muslim Korea akan mendirikan sekolah
Islam pertama yaitu sekolah dasar yang juga memiliki kurikulum yang resmi, dengan rencana
membuka SD tersebut pada bulan Maret 2009. Selain itu, menurut rencananya akan dibuka juga
pusat kebudayaan Islam, sekolah menengah dan bahkan universitas.
Warga Korea Selatan mulai bisa menerima Islam pada tahun 1980-an dikarenakan pada saat itu
orang Korea banyak yang bekerja di luar negeri khususnya di Timur Tengah sehingga selain
bekerja, mereka juga mempelajari Islam. Begitu kembali ke Korea, mereka menyebarkan agama
Islam kepada warga setempat. Dan sekarang warga Korea Selatan sudah mulai mengerti,
memahami sehingga agama Islam sangat berkesan.

Berdasarkan informasi dari berbagai sumber, sampai sekarang ada 9 buah mesjid yang ada di
Korea. Antara lain, masjid Mesjid Seoul, Mesjid Busan, Mesjid Bupyong, Mesjid Kwangju,
Mesjid Jeonju, Mesjid Anyang, Mesjid Ansan, Mesjid Cheonan , dan Mesjid Paju. Ada juga
beberapa Islam Center di Korea, seperti Daejon, Dongam Center, Daegu Center, Daegu (Al-
Amin Islamic Center), Gwangju Center, Macheon-Keoyeo Center, Jeju Center, Changwon
Center, Pochun Center, Dongdu Cheon Center, dan Suwon.
Persentase agama Islam di Korea, Korea Selatan menduduki rangking ke-25 berdasarkan jumlah
penduduk terbanyak diseluruh negara di dunia, dengan jumlah penduduk sekitar 48.447.000
jiwa, sedangkan untuk peringkat pertama tentunya masih di duduki oleh China dengan jumlah
penduduk sekitar 1.314.781.000 jiwa. Dan berdasarkan total penduduk yang memeluk agama
Islam disetiap negara di dunia, Korea Selatan menduduki peringkat ke- 108 dengan jumlah
pemeluk sekitar 194.000 jiwa, sedangkan untuk peringkat pertama diduduki oleh Indonesia
dengan jumlah penganut agama Islam sekitar 195.627.000 jiwa dari total penduduk 222.051.000
jiwa.
Jumlah pemeluk agama terbanyak di Korea Selatan adalah pemeluk agama Budha, dengan
jumlah pemeluk sebanyak 12.742.000 jiwa, agama Kristen sejumlah 5.668.000 jiwa, agama
Katholik sejumlah 7.945.000 jiwa, pemeluk Khonghucu dan Taois sejumlah 678.000 jiwa, dan
lainnya sejumlah 21.220.000 jiwa.
Dari persentase pemeluk agama di Korea diatas, disimpulkan bahwa dari total penduduk Korea
Selatan sebanyak 48.447.000 jiwa dipersentasekan sebanyak 0,4% warga Korea Selatan adalah
pemeluk agama Islam dengan jumlah 194.000 jiwa. Sedangkan jumlah pemeluk agama terbesar
adalah pemeluk agama Budha sebanyak 26,30% dengan jumlah 12.742.000 jiwa, agama
Khatolik 16,39% dengan jumlah 7.945.000 jiwa, Kristen 11,69% dengan jumlah 5.668.000 jiwa,
Konghucu dan Tao 1,39% dengan jumlah 678.000 jiwa, dan yang lainnya 43,80% dengan jumlah
21.220.000 jiwa.


BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN

Islam telah hadir di negara ini untuk waktu yang sangat lama. Pada abad 8 dan 9, pelaut dan
saudagar Arab sering mengarungi perairan pantai Selatan dan Asia Timur. Pada 845 disebutkan
kata ‘Korea’ dalam bukunya, dalam sebuah frase: ‘Di balik Cina, menyebrangi lautan, terdapat
negara berbukit-bukit yang disebut ‘Silla’, kaya emas. Muslim yang tiba di sana secara tak
sengaja sangat tertarik oleh karakternya sehingga mereka tinggal di sana selamanya dan tidak
mau pergi. Pada waktu itu sejumlah pedagang muslim membuat rumah mereka.
Kebangkitan Islam terjadi selama Perang Korea. Perang itu terjadi sebagian besar oleh pasukan
AS, tetapi dengan dukungan dari negara-negara lain, di antaranya Turki, pada waktu itu sekutu
dekat Washington. Pasukan Turki termasuk yang paling banyak, sekitar 15.000 tentara, dan
merupakan pasukan non-Amerika yang terlatih untuk mengambil bagian dalam perang.
Turki membawa Islam kembali ke Korea. Mereka terbukti tidak hanya menjadi pejuang yang
baik tetapi juga berhasil menjadi pendakwah. sejarah perkembangan dan kemajuan Islam di
Korea sangat mendukung perkembangan warga muslim Korea. Hal ini di awali oleh Imam
Zubercoch dan Abdul Rahman yang terlibat di dalam Perang Korea sebagai anggota pengaman
tentara Turki telah menyampaikan cahaya Islam dan ajaran Al-Qur’an untuk pertama kalinya di
Korea pada bulan September 1955.

Anda mungkin juga menyukai