Anda di halaman 1dari 46

Volume 4 Issue 2 July 2013 ISSN 2086-9223

Radioterapi
& Onkologi
Indonesia
TINJAUAN PUSTAKA
Kematian Sel Akibat Radiasi
Isnaniah Hasan, H.M. Djakaria

Prinsip Umum Penatalaksanaan Reiradiasi


Novita Ariani, H.M. Djakaria

Hipofraksinasi Pada Kanker Payudara Stadium Dini


Elia Aditya B.K., Soehartati A. Gondhowiardjo

LAPORAN KASUS
Peran Radiasi Eksterna pada Tata Laksana
Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma
Mirna Primasari, Sri Mutya Sekarutami , Marlinda Adham

Tatalaksana Radiasi Pada Kanker Esofagus


Annisa Febi Indarti, Sri Mutya Sekarutami

Journal of
The Indonesian Radiation Oncology Society
Radioter Onkol Vol .4 Issue 2 Page Jakarta, ISSN
Indones 39-77 July 2013 2086-9223
Radioterapi
& Onkologi
Indonesia
Journal of The Indonesian Radiation Oncology Society

Tujuan dan Ruang Lingkup


Majalah Radioterapi & Onkologi Indonesia, Journal of the Indonesian Radiation Oncology Society (ISSN 2086-9223)
diterbitkan 2 kali dalam setahun. Tujuan diterbitkannya adalah untuk menyebarkan informasi dan meningkatkan perkembangan
ilmu onkologi radiasi di Indonesia. Ruang lingkupnya meliputi semua aspek yang berhubungan dengan onkologi radiasi, yaitu
onkologi molekuler, radiobiologi, kombinasi modalitas terapi (bedah-radioterapi-kemoterapi), onkologi pencitraan, fisika medis
radioterapi dan ilmu radiografi-radioterapi (Radiation Therapy Technology/RTT).

Pemimpin Umum
Soehartati A. Gondhowiardjo

Ketua Penyunting
Sri Mutya Sekarutami

Dewan Penyunting
Angela Giselvania Yoke Surpri Marlina Gregorius Ben Prayogi
Kartika Brohet Rima Novirianthy Lidya Meidania
Rhandyka Rafli

Mitra Bestari (peer-reviewer)


Soehartati A. Gondhowiardjo M. Djakaria Nana Supriana
K.R.M.T. Salugu Maesadji T. Setiawan Soetopo Misju Herlina

Desain Layout
Rima Novirianthy Yoke Surpri Marlina Rhandyka Rafli

Panduan Penulisan Artikel: Artikel yang diterima dalam bentuk penelitian, tinjauan pustaka, laporan kasus, editorial
dan komentar. Artikel diketik dengan huruf Times New Roman 11, spasi 1, margin
narrow, 1 kolom, maksimal 10 halaman untuk artikel pendek dan maksimal 15 halaman
untuk artikel panjang. Ukuran kertas A4 (210 x 297 mm) sesuai rekomendasi UNESCO.
Judul artikel harus singkat menggambarkan isi artikel, jumlah kata hendaknya tidak
lebih dari 15 kata. Penelitian, berisi hasil penelitian orisinil. Format terdiri dari
pendahuluan, metode penelitian, hasil, diskusi, kesimpulan dan daftar pustaka.
Pernyataan tentang conflict of interest dan ucapan terima kasih diperbolehkan bila akan
dimuat.

Tinjauan pustaka, berisi artikel yang membahas suatu bidang atau masalah yang baru
atau yang penting dimunculkan kembali (review) berdasarkan rujukan literatur. Format
menyangkut pendahuluan, isi, dan daftar pustaka.

Editorial, berisi topik-topik hangat yang perlu dibahas. Surat, berisi komentar,
pembahasan, sanggahan atau opini dari suatu artikel. Editorial dan surat diakhiri format
daftar pustaka sebagai rujukan literatur.

Abstrak wajib disertakan dalam setiap artikel, ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa
Inggris, maksimal 200 kata. Kata kunci berjumlah minimal 3 kata. Abstrak pada artikel
penelitian harus berisi tujuan penelitian/latar belakang, metode penelitian, hasil utama,
dan kesimpulan. Rujukan ditulis dengan gaya Vancouver, diberi nomor urut sesuai
dengan rujukan dalam teks artikel. Tabel dan gambar harus singkat dan jelas. Gambar
boleh berwarna maupun hitam putih. Judul tabel ditulis di atas tabel, catatan ditulis di

Volume
4i 4 Issue 2 July 2013 ISSN 2086-9223
Radioterapi
Radioterapi
& Onkologi
& Onkologi
Indonesia
Journal of The Indonesian Radiation Oncology Society Indonesia
Journal of The Indonesian Radiation Oncology Society

bawah tabel. Judul gambar ditulis di bawah gambar. Artikel dikirim melalui email:
onkologi.radiasi@gmail.com atau alamat penerbit. Artikel yang masuk menjadi hak
milik dewan redaksi. Artikel yang diterima untuk dipublikasikan maupun yang tidak
akan diinformasikan ke penulis.

Contoh penulisan rujukan:


1. Artikel Jurnal
Jurnal dengan volume tanpa nomor/issue, pengarang 6 orang atau kurang:
Swaaak-Kragten AT, de Wilt JHW, Schmitz PIM, Bontenbal M, Levendag PC.
Multimodality treatment for anaplastic thyroid carcinoma-treatment outcome in 75
patients. Radiother Oncol 2009;92:100-4

Jurnal dengan volume dan nomor:


Kadin ME. Latest lymphoma classification in skin deep. Blood 2005;105(10):3759

Jurnal suplemen dengan pengarang lebih dari 6 orang:


Aulitzky WE, Despres D, Rudolf G, Aman C, Peschel C, Huber C, et al.
Recombinant interferon beta in chronic myelogeneous leukemia. Semin Hematol
2005; 30 Suppl 3:S14-7

*Catatan: bulan dan tanggal terbit jurnal (bila ada) dapat dituliskan setelah tahun
terbit jurnal tersebut

2. Buku
Penulis pribadi atau penulis sampai 6 orang:
Beyzadeoglu M, Ozyigit G, Ebruli C. Basic radiation oncology. Heidelberg
(Germany):Springer-Verlag;2010

Penulis dalam buku yang telah diedit:


Perez CA, Kavanagh BD. Uterine cervix. In: Perez CA, Brady LW, Halperin EC,
Schmidt-Ullrich RK, editors. Principle and practice of radiation oncology 4 th ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;2004

Bab (chapter) dalam buku:


Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Kapita selekta kedokteran ed
3 jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2000. Bab 5, Ilmu bedah;p.281-409

Buku terjemahan:
Van der Velde CJH, Bosman FT, Wagener DJTh, penyunting. Onkologi ed 5
direvisi [Arjono, alih bahasa]. Yogyakarta: Panitia Kanker RSUP Dr. Sardjito;1999

*Catatan: penulis lebih dari 6 ditulis et al setelah penulis ke-6. Khusus bab dalam
buku harus ditulis judul bab dan halamannya.

3. Internet (Web)
National Cancer Institute. Cervical Cancer Treatment [internet].2009 [cited 2009 Jul
13]. Available from: http://www.cancer.gov/cancertopics/pdg/teratment/cervical/
healthprofessional.

Volume
4ii 4 Issue 2 July 2013 ISSN 2086-9223
Radioterapi
& Onkologi
Indonesia
Journal of The Indonesian Radiation Oncology Society

4. Tipe artikel jurnal yang perlu disebutkan (seperti abstrak, surat atau editorial):
Fowler JS. Novel radiotherapy schedules aid recovery of normal tissue after
treatment [editorial]. J Gastrointestin Liver Dis 2010;19(1):7-8

5. Organisasi
Sastroasmoro S, editor. Panduan pelayanan medis Departemen Radioterapi RSCM.
Jakarta:RSUP Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo;2007

6. Laporan Organisasi/Instansi/ Pemerintah


Prescribing, recording, and reporting photon beam therapy (supplemen to ICRU 50).
ICRU report. Bethesda, Maryland (US): International Comission of Radiation Units
and Measurements;1999. Report No.:62

7. Disertasi atau tesis


Soetopo S. Faktor angiogenesis VEGF-A dan MVD sebagai predictor perbandingan
daya guna radioterapi metode fraksinasi akselerasi dan konvensional pada
pengobatan karsinoma nasofaring [disertasi]. Bandung: Universitas Padjajaran;2008

8. Pertemuan Ilmiah
Makalah yang dipublikasikan:
Fowler JF. Dose rate effects in normal tissue. In: Mould RF, editor. Brachytherapy
2. Proceedings of Brachytherapy Working Conference 5th International Selectron
Users Meeting; 1998;The Hague, The Netherlands. Leersum, The Netherlands:
Nucletron International B.V.;1989.p.26-40

Makalah yang tidak dipublikasikan:


Kaanders H. Combined modalities for head and neck cancer. Paper presented at:
ESTRO Teaching Course on Evidence-Based Radiation Oncology: methodological
Basis and Clinical Application;2009 June 27- July 2;Bali, Indonesia

Penerbit : Perhimpunan Dokter Spesialis Onkologi Radiasi Indonesia (PORI)

Alamat Penerbit: Sekretariat PORI, Departemen Radioterapi Lt.3 RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
Jl. Diponegoro 71, Jakarta Pusat, 10430 Tlp. (+6221) 3903306
Email: pori2000@cbn.net.id
No Rekening Bank Mandiri Cab Jakarta RSCM No. 122-0005699254 an. PORI

Majalah Radioterapi dan Onkologi Indonesia dapat diakses di http://www.pori.go.id

Volume
4iii 4 Issue 2 July 2013 ISSN 2086-9223
Radioterapi Radioterapi
& Onkologi & Onkologi
Indonesia Indonesia
Journal of The Indonesian Radiation Oncology Society Journal of The Indonesian Radiation Oncology Society

DAFTAR ISI

TINJAUAN PUSTAKA
Kematian Sel Akibat Radiasi 39-45
Isnaniah Hasan, H.M. Djakaria

Prinsip Umum Penatalaksanaan Reiradiasi 46-52


Novita Ariani, H.M. Djakaria

Hipofraksinasi Pada Kanker Payudara Stadium Dini 53-60


Elia Aditya B.K, Soehartati A. Gondhowiardjo

LAPORAN KASUS

Peran Radiasi Eksterna pada Tata Laksana Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma 61-70
Mirna Primasari, Sri Mutya Sekarutam, Marlinda Adham

Tatalaksana Radiasi Pada Kanker Esofagus 71-77


Annisa Febi Indarti, Sri Mutya Sekarutami

Volume
4iv 4 Issue 2 July 2013 ISSN 2086-9223
Tinjauan Pustaka
KEMATIAN SEL AKIBAT RADIASI
Isnaniah Hasan, H.M Djakaria
Departemen Radioterapi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
Abstrak / Abstract
Radiasi pengion adalah salah satu modalitas terapi kanker terpenting, disamping bedah dan
Informasi Artikel kemoterapi. Efek radiasi terhadap sistem biologi (radiobiologi) dibagi dalam tiga fase
Riwayat Artikel berdasarkan skala waktu, yakni fisika, kimia dan biologi. Pada tingkat seluler dan
molekuler, kematian sel terjadi karena energi radiasi dideposit pada inti sel DNA yang
 Diterima Mei 2013 menyebabkan kerusakan rantai ganda DNA, kerusakan rantai tunggal DNA, pindah silang
 Disetujui Juli 2013 DNA, dan kehilangan basa DNA. Pemahaman tentang mekanisme kematian sel telah
berubah dari kerusakan DNA secara langsung menjadi efek bystander.
Kata Kunci: Radiasi pengion, ker usakan r antai ganda DNA, ker usakan r antai tunggal
DNA, efek bystander.
Alamat Korespondensi
dr.Isnaniah Hasan
Departemen Radioterapi RSUPN Ionizing radiation was one of the most important cancer treatment modality, aside from
Dr. Cipto Mangunkusumo, surgery and chemotherapy. The effect of radiation on biological system (radiobiology) was
Fakultas Kedokteran Universitas classified based on time parameter, into three phases, namely physical, chemical, and
Indonesia, Jakarta biological phase. On cellular and molecular levels, cell death occur due to energy deposit
E mail: on DNA nuclei, resulting in DNA double strand breaks, DNA single strand break, DNA
hasanisnaniah@gmail.com crosslinking, and loss of DNA base. A shift of paradigm from DNA damage toward
bystander effect is the current focus on understanding cell death mechanism.
Keywords: Ionizing radiation, double strand breaks, single strand break, bystander effect.

Hak cipta ©2013 Perhimpunan Dokter Spesialis Onkologi Radiasi Indonesia

Pendahuluan

Radiasi yang digunakan untuk pengobatan


kanker terdiri dari gelombang elektromagnetik/foton
(sinar-X dan sinar λ) dan partikel (alfa, proton dan
neutron). Radiasi partikel pada umumnya
menyebabkan ionisasi jaringan biologi secara langsung.
Hal ini disebabkan energi kinetik partikel dapat
langsung merusak struktur atom jaringan biologi yang
dilewatinya, dan mengakibatkan kerusakan kimia dan
biologi molekular. Lain halnya dengan radiasi partikel,
radiasi elektromagnetik mengionisasi secara tidak
langsung dengan cara membentuk elektron sekunder
terlebih dahulu untuk mengakibatkan kerusakan Gambar 1. Fase fisika, kimia, dan biologi kematian sel. 3
jaringan.1,2

Radiasi pada jaringan biologik dibagi menjadi Kerusakan DNA


tiga fase, yaitu fase fisika, kimia dan biologi. Radiasi
pengion foton yang mengenai jaringan biologi, pada Dengan kemampuannya mengionisasi dan
awalnya menyebabkan fase fisika dengan metode mengeksitasi inti atom sel, radiasi dapat menyebabkan
ionisasi dan eksitasi. Selanjutnya, terjadi fase kimia kerusakan sel dan target utamanya adalah kerusakan
dengan terbentuknya radikal bebas. Radikal bebas DNA. Meskipun relatif kecil, kerusakan DNA tetap
yang terbentuk mengakibatkan kerusakan biologi dapat menyebabkan kematian sel.2
dengan cara merusak DNA. Kerusakan DNA yang
tidak bisa diperbaiki akan menyebabkan kematian sel.3
Ionisasi dan eksitasi akan menyebabkan 100.000 ionisasi pada sel per Gy dosis radiasi
kerusakan DNA baik langsung maupun tidak langsung. terserap; yang menyebabkan seribu sampai tiga ribu
Kerusakan DNA secara langsung jika radiasi pengion crosslink DNA atau crosslink protein DNA, seribu
langsung mengenai DNA.4 Sepertiga kerusakan biologi kerusakan struktur DNA, 500-1000 SSB dan 25
akibat sinar x dan λ disebabkan oleh efek langsung, sampai 50 DSB. Mayoritas ionisasi tidak
dan efek langsung ini lebih dominan pada radiasi LET menyebabkan kerusakan DNA, dan hampir semua lesi
tinggi.2 Kerusakan DNA secara tidak langsung melalui pada DNA dapat diperbaiki melalui jalur perbaikan
pembentukan radikal bebas (atom dengan elektron tidak DNA. Kegagalan perbaikan atau kesalahan perbaikan
berpasangan) dan mempunyai efek sangat merusak DNA pada DSB dapat mematikan (letal) atau
terhadap DNA.4 menyebabkan mutasi.2

Respon kerusakan DNA akibat radiasi sangat


kompleks, tidak hanya melalui satu jalur tetapi
melibatkan banyak jalur yang saling berhubungan
untuk mengontrol efek radiasi pada sel. Sistem kontrol
ini dibagi dalam dua kelompok, yaitu sistem sensor
dan sistem efektor. Sistem sensor adalah sekelompok
protein yang bertugas mensurvei genom saat terjadi
kerusakan dan mengirimkan sinyal kerusakan tersebut
ke protein-protein lain untuk aktivasi jalur efektor.
Jalur efektor akan menentukan hasil akhir dari
kerusakan DNA, yang dapat berupa kematian sel,
perbaikan DNA, atau kerusakan checkpoint (hambatan
sementara atau permanen dari progresivitas sel dalam
siklus sel).7
Gambar 2. Efek langsung dan tidak langsung radiasi terhadap
DNA.5

Kerusakan DNA bisa berupa terputusnya rantai


tunggal DNA atau single strand breaks (SSB),
terputusnya rantai ganda DNA atau double strand
breaks (DSB), crosslink DNA, serta kehilangan basa
DNA. Beberapa kerusakan DNA masih dapat
diperbaiki, tetapi dapat juga mengalami kegagalan,
sehingga terjadilah kematian sel. Kerusakan DNA
melalui mekanisme DSB adalah yang paling penting,
sebab terjadi pemisahan rantai DNA sehingga sulit
diperbaiki. Sel yang gagal diperbaiki tidak langsung
mengalami kematian, tetapi mengalami beberapa
pembelahan sel (mitosis) terlebih dahulu.3

Gambar 4. Respon ker usakan DNA dapat dibagi menjadi


sensor dan efektor. Sensor terdiri dari kompleks protein yang
mengenali kerusakan DNA, yaitu MRA-ATM, Ku-DNA-PKcs
dan ATRIP-ATR. Protein protein ini memberikan sinyal kepada
protein protein yang lain untuk mengaktivasi jalur efektor. 7

Ketika DNA sel dirusak oleh radiasi, siklus


sel akan dihentikan oleh protein p-53. Kemudian,
dimulailah proses perbaikan DNA, lalu sel kembali ke
dalam siklus sel, sehingga proliferasi bisa berlanjut.
Jika DNA tidak dapat diperbaiki, sel akan mengalami
kematian (apoptosis). Pada dosis radiasi yang tinggi,
protein yang digunakan dalam mekanisme perbaikan
Gambar 3. Tipe kerusakan DNA yang terjadi akibat radiasi pengion
yaitu single strand break, double strand break, cross link DNA dan DNA juga ikut dirusak, sehingga perbaikan sel tidak
kerusakan basa.6 mungkin dilakukan. Sel akan kehilangan
kemampuannya untuk membelah diri, lalu mengalami
Kerusakan DNA akibat radiasi terjadi terutama kematian.7
pada area fokus pengelompokan ionisasi yang berjarak
beberapa nanometer dari DNA. Diperkirakan terjadi
Perbaikan DNA interfase sel kulit manusia berlangsung sekitar 22
jam; sedangkan total waktu siklus selnya adalah 24
Terdapat dua jalur perbaikan DSB DNA , yaitu jam. Interfase sendiri dibagi menjadi beberapa fase,
Non-Homologous End Joining (NHEJ) dan yakni:
Homologous Recombination (HR). Kedua jalur  Fase G1 (Gap 1)
perbaikan DNA ini saling melengkapi dan digunakan Fase ini terjadi setelah sitogenesis, dan proses
pada situasi yang berbeda. Homologous Recombination metabolik sel berlanjut. Sistem transportasi sel,
terjadi pada pada fase S dan G2 (saat proliferasi sel). sintesis, lisis, produksi organel, sintesis RNA
Jalur alternatif, yaitu NHEJ akan aktif saat jalur HR dan fungsi jaringan berlanjut pada tingkat yang
terhambat, contohnya karena mutasi gen.8 Perbaikan lebih tinggi.
oleh NHEJ dapat terjadi pada seluruh siklus sel, tetapi  Fase S (Sintesis)
dominan pada G1/S.2 Pada fase S terjadi pembentukan salinan DNA,
replikasi pasangan kromatin, sintesis protein, dan
Jalur HR menggunakan rantai homolog pada penggandaan sentromer.
rantai DNA yang tidak rusak di urutan yang sama
sebagai pola untuk memperbaiki DSB. Jalur NHEJ  Fase G2 (Gap 2)
menggabungkan ujung DSB, tanpa memerlukan urutan Pada G2 terjadi sintesis enzim untuk mitosis,
DNA yang homolog. Dibandingkan HR, proses NHEJ peningkatan jumlah organel, dan sintesis DNA.
lebih cepat tetapi kurang akurat, walaupun dapat Sintesis sentromer berakhir dan mulai dan
menyebabkan sel dapat bertahan hidup meski berpindah menuju kutub yang berlawanan.
mengalami mutasi. Kerusakan tipe DSB yang tidak
dapat diperbaiki menyebabkan kematian sel pada  Fase G0
mitosis selanjutnya.7 Sel memiliki mekanisme yang dapat melindungi
sel pada kondisi yang sulit. Sel akan
Jalur repair DNA melibatkan sensor, yaitu menghentikan sementara aktivitas selularnya.9
protein MRN (MRE11-RAD50-NBN). Protein MRN
mengontrol dan mengatur respon terhadap DSB, Waktu berlangsungnya setiap siklus sel
termasuk diantaranya aktivasi dari ATM. Aktivasi dari memiliki perbedaan dari sepuluh sampai empat puluh
ATM memfosforilasi Chk-2 sehingga tidak terjadi jam. Dari keseluruhan waktu berlangsungnya siklus
hambatan Cdk1-Cyclin B and Cdk2-Cyclin B. Proses sel, fase G1 memakan 30% diantaranya, fase S 50%,
ini akan menyebabkan siklus sel terhenti. ATM juga fase G2 15% dan fase M 5%. Fase G1 bisa berbeda dan
menfosforilasi p-53 untuk berespon terhadap DSB. lebih panjang pada populasi dengan proliferasi yang
ATR adalah protein lain yang direkrut oleh DSB dan lambat. Pada interfase, mayoritas sel berada pada fase
sinyalnya menyebabkan siklus sel terhenti. Sinyal G1 dan G0. Terdapat checkpoint pada batas G1/S dan
ATM/ATR menyebabkan apoptosis atau senescence G2/M yang memonitor ketepatan proses genetik.2
jika DSB gagal diperbaiki.8
Radiosensitivitas sel berbeda-beda, bergantung
pada fasenya dalam siklus sel. Pada umumnya, sel
yang berada pada fase S adalah yang paling
radioresisten, G2/M yang paling radiosensitif, dan di
tengahnya adalah fase G1. Kepadatan kromatin dan
kurangnya kemampuan untuk memperbaiki (jumlah
enzim untuk repair DNA yang kurang) dapat
menjelaskan tingginya radiosensitivitas pada G2/M.2

Kematian Sel

Dua tipe kematian sel berdasarkan perbedaan


morfologinya, yaitu kematian sel reproduktif dan
kematian sel interfase. Kematian sel reproduktif
berhubungan dengan siklus mitosis. Kematian interfase
tidak bergantung pada pembelahan sel dan terjadi
sebelum masuk ke fase mitosis. Kematian sel interfase
terjadi setelah sel beristirahat, membelah dan
Gambar 5. Jalur yang menggambarkan mekanisme respon sel ter- berdiferensiasi. Sel limfoid sangat sensitif terhadap
hadap radiasi.8 radiasi ionisasi dan tipe kematiannya termasuk
kematian interfase.10
Siklus Sel
Selain berdasarkan morfologinya, kematian sel
Siklus sel terdiri dari fase interfase dan mitosis. terjadi melalui berbagai cara. Tipe kematian sel
Pada interfase tidak terjadi pembelahan sel. Pembelahan berdasarkan cara/prosesnya dapat dibedakan menjadi:
sel terjadi pada fase mitosis. Interfase adalah fase
persiapan untuk melakukan kembali pembelahan sel
dan merupakan fase terpanjang. Sebagai contoh,
1. Apoptosis setelah radiasi, sel dapat mati karena apoptosis yang
terjadi selama proses mitosis, serta bisa tetap bertahan
Apoptosis adalah kematian sel terprogram yang hidup, atau mengalami kematian tanpa mitosis.
terjadi akibat kondisi di dalam sel itu sendiri, misalnya Mekanisme untuk mengontrol apoptosis menjadi hal
setelah kerusakan DNA, atau akibat rangsang dari luar. penting pada penatalaksanaan kanker.11
Apoptosis adalah kondisi normal dari berbagai proses
fisiologi untuk menjaga homeostasis. Dengan kata lain, 2. Autofagi
apoptosis digunakan organisme untuk membuang sel
yang sudah tidak diperlukan lagi oleh tubuh. Kegagalan Autofagi menggambarkan proses sel mencerna
dalam mengontrol apoptosis mengakibatkan berbagai bagian dari sitoplasmanya sendiri untuk menghasilkan
jenis penyakit, termasuk kanker.10 energi. Autofagi awalnya adalah mekanisme
pertahanan diri sel, yang pada akhirnya menyebabkan
Apoptosis terjadi melalui beberapa jalur, yaitu kematian sel. Pada autofagi tidak terjadi
jalur ekstrinsik yang dicetuskan dari proses ikatan penggembungan kromatin, tetapi terbentuk vakuol
dengan ligand kematian sel; dan jalur intrinsik yang autofagi yang besar pada sitoplasma.
dicetuskan oleh perubahan membran potensial
mitokondria melalui pengeluaran sitokrom-c dari Autofagi terjadi setelah penatalaksanaan
mitokondria ke dalam sitoplasma. Kedua jalur tersebut kanker, termasuk radiasi. Terdapat hubungan antara
akan menyebabkan aktivasi enzim caspase. Pada autofagi dan apoptosis karena autofagi ditemukan pada
umumnya radiasi menyebabkan apoptosis dengan sel yang gagal mengalami apoptosis dan autofagi
membuat perubahan pada mitokondria lalu diikuti dianggap sebagai kematian sel terprogram Tipe II
aktivasi enzim caspase. Proses apoptosis dapat berawal (apoptosis adalah tipe I).12
di mitokondria, melalui kerusakan DNA terlebih dahulu
atau akibat respon dari membran sel.1 3.Nekrosis

Nekrosis adalah kematian sel yang dapat


terjadi karena infeksi, inflamasi atau iskemia.
Kerusakan permeabilitas memicu aktivasi enzim yang
dapat menyebabkan terjadinya nekrosis dan ditandai
dengan pembengkakan sel, deformitas membran,
kerusakan organel dan pelepasan enzim lisosom yang
menyerang sel. Nekrosis merupakan proses pasif,
terjadi pada sel-sel yang telah melewati fase mitosis
dengan rantai DNA yang tidak bisa diperbaiki sehingga
menyebabkan kerusakan kromosom yang letal.
Nekrosis juga sering diobservasi pada sel tumor, dan
dapat terjadi karena kerusakan DNA akibat radiasi,
meskipun sampai saat ini belum jelas bagaimana
mekanisme terjadinya nekrosis pasca radiasi.12

4. Senesence

Sel yang mengalami senescence atau penuaan


Gambar 6. Apotosis. DNA dan membr an menjadi tar get setelah radiasi akan tetap mengalami metabolisme,
yang mencetuskan apoptosis dengan caraka kedua, yaitu tetapi kemampuannya untuk membelah diri telah
ceramide.11 berhenti secara permanen.12

Kerusakan DNA menyebabkan apoptosis 5. Kematian mitosis


melalui p-53 akibat peningkatan aktivasi protein pro-
apoptosis BAX. Namun, meskipun tanpa keterlibatan p- Proses ini terjadi ketika sel mengalami mitosis
53, jalur alternatif apoptosis juga dapat terjadi dengan yang tidak tepat akibat sel yang cacat. Sel dengan
cara peningkatan energi hanya pada membran sel kerusakan DNA yang tidak bisa diperbaiki; atau
meskipun meskipun hal ini masih kontroversial. mengalami kesalahan dalam perbaikan DNA, tetapi
Prosesnya melibatkan aktivasi ceramide melalui proses tetap menjalani mitosis. Hal ini sering terjadi pada sel
hidrolisis sphingomyelin menjadi ceramide oleh enzim yang diradiasi. Kematian sel dalam hal ini
acid sphingomyelinase. Ceramide adalah caraka kedua didefinisikan sebagai kehilangan kemampuan replikasi
yang dapat mengaktifkan apoptosis melalui stimulasi dan memisahkan materi genetik dengan benar atau
BAX yang kemudian akan terikat pada membran luar kehilangan materi genetik. Hal ini ditentukan oleh
mitokondria dan menyebabkan pengeluaran sitokrom-c besarnya bagian yang mengalami kerusakan kromosom
dan aktivasi caspase 3.11 setelah radiasi.12

Hubungan antara radiasi, apoptosis dan Beberapa checkpoint pada G2 mencegah


kesintasan sel klonogenik adalah kompleks, karena kematian mitosis. Checkpoint pada G2 diaktifkan
sebagai respon terhadap kerusakan DNA. Sel yang kematian sel akibat dari ketidakstabilan genom.11
menunjukkan defek pada checkpoint mengalami mitosis
yang prematur, atau mati setelah mengalami mitosis.12 Terdapat perubahan pola pikir mengenai efek
radiasi, yaitu sel dapat mengalami kerusakan genetik
Banyak sel yang tidak menunjukkan tanda- atau respon biologik dari radiasi tanpa mengalami
tanda kerusakan akibat radiasi sampai sel tersebut pajanan secara langsung dari sinar radiasi, tetapi berada
melakukan pembelahan diri. Setelah mendapat dosis di sekitar sel yang mendapat radiasi langsung. Hal ini
radiasi sebesar 10 Gy, sel dengan kerusakan yang letal dikenal sebagai efek bystander. Efek biologisnya tidak
mengalami kegagalan tumbuh yang permanen berhubungan langsung dengan besarnya energi radiasi
(senescence).2 pada DNA. Pada sebuah penelitian menggunakan
jaringan sehat tikus, dilakukan radiasi pada bagian
Pada umumnya, kematian sekunder pasca bawah paru tikus namun ternyata juga terjadi
mitosis terjadi pada hampir semua sel yang mendapat kerusakan pada bagian atas paru walaupun terlindung
radiasi; seperti sel limfosit, spermatosit, timosit dan dari radiasi.11
epitel kelenjer liur. Radiasi menyebabkan sel-sel
mengalami kematian interfase dengan cepat (dalam
beberapa jam). Kematian ini berhubungan dengan
biokimia dan karakteristik morfologi dari apoptosis.2

Mengapa beberapa sel mengalami apoptosis


dalam berapa jam setelah radiasi, sementara sel-sel
yang lainnya tidak terjadi demikian, hingga kini masih
belum jelas mekanismenya. Namun, mungkin
berhubungan dengan ekspresi protein proapoptosis yang
dipicu radiasi. Contohnya, pada sel hematopoietik,
radiasi dapat meningkatkan regulasi gen proapoptosis
(fas,bax dan caspase 3) dan menurunkan regulasi dari
gen anti apoptosis (bcl-2). Pada sel endotel, radiasi
menyebabkan perubahan sphingomyelin pada membran
sel yang selanjutnya memicu terjadinya apoptosis tanpa
kerusakan DNA. Ceramide dihasilkan oleh
sphingomyelin dengan bantuan enzim acid Gambar 7. Skema model kematian sel akibat r adiasi. 13
sphingomyelinase atau enzim ceramide synthase. Pada
respon radiasi, ceramide adalah caraka kedua yang
mengawali terjadinya apoptosis.2 Kerusakan langsung tidak terjadi pada efek
bystander. Kerusakan DNA terjadi akibat oksigen dan
Mengubah respon apoptosis pada tumor sel nitrogen reaktif. Perbaikan kerusakan ini membutuhkan
mungkin merupakan salah satu strategi untuk jalur perbaikan DSB. Perbaikan yang terjadi tidak
meningkatkan sensitivitas tumor terhadap radioterapi. sebanding dengan kerusakan, sebagai akibat kesalahan
Beberapa tumor mungkin terhindar dari apoptosis yang pengkodean pada DNA, sehingga terjadi akumulasi
diinduksi radiasi karena mutasi gen p-53 atau karena kerusakan akibat efek bystander yang akan
kurangnya ekspresi dan fungsi dari gen p-53.2 Jika sel mengakibatkan kesulitan siklus sel pada fase S.11
tetap bertahan hidup dan terus berproliferasi setelah
radiasi, kromosom yang tidak stabil ditemukan pada Efek bystander pertama kali diketahui pada
sel-sel keturunannya.2 tahun 1992 oleh penelitian yang dilakukan oleh
Nagasawa menggunakan sel epitel paru paru tikus.
Efek Bystander Meskipun hanya 1 persen kelompok sel yang mendapat
radiasi dengan partikel alfa, ternyata sekitar 30 persen
Selama 50 tahun para ahli biologi radiasi telah populasi sel mengalami kerusakan kromosom. Pada
mengembangkan ide bahwa mekanisme antara energi sel-sel yang mengalami kerusakan, ditemukan
yang dideposit pada sel tumor berhubungan dengan kerusakan sensor p-53.11
kemungkinan sel untuk tetap bertahan hidup. Pada
dasarnya, mekanisme ini telah menjadi dogma, yaitu Pada sinar dengan LET rendah juga terjadi
kerusakan pada DNA sel akibat radiasi akan terjadi efek bystander yang melibatkan faktor ekstraseluler sel
jika energi radiasi mengenai inti sel; sehingga terjadi normal dan sel tumor. Mothersill dan Seymour
kematian reproduksi sel.11 menemukan bahwa sel epitel bisa berkurang
kemampuan hidupnya, meski bukan sel tersebut yang
Gambar 7 menunjukkan bahwa dahulu, menjadi target radiasi. Efek yang sama juga terjadi
kerusakan yang langsung pada inti DNA dianggap pada sel-sel fibroblas manusia setelah terpapar radiasi
menyebabkan koloni sel aborsi, apoptosis atau mutasi sinar-X. Penelitian menunjukkan bahwa mutasi gen
non letal. Saat ini, terdapat paradigma baru, bahwa akan mengakibatkan kematian sel dan terjadi
target ekstranuklear tetap dapat mengakibatkan
Tabel 1. Tipe kematian sel setelah mendapat r adiasi.12

Tipe Kematian Karakteristik


Sel
Apoptosis Sel menyusut, kromatin memadat, DNA pecah, sel membran menggelembung

Nekrosis Sel membengkak, kerusakan awalnya terjadi pada sel membran, inti membentuk vakuol,
kromatin tidak memadat, organel hancur, pembengkakan mitokondria

Kematian mitosis Terjadi setelah atau selama mitosis, akibat kesalahan peleburan sel dan/atau pemisahan
kromosom. Kematian mitosis dapat menyebabkan apoptosis namun tidak bergantung pada
p-53
Senescence Sel senescence aktif secara metabolik tetapi sel tidak memiliki kemampuan untuk
membelah diri dan menunjukkan peningkatan ukuran sel. Dan proses sel tergantung pada
p-53
Autofagi Tipe kematian sel yang secara genetik diatur sebagai kematian sel terprogram dengan
memakan dirinya sendiri melalui pembentukan vakuola pada sitoplasma. Autofagi tidak
bergantung pada caspase dan p-53

ketidakstabilan genetik akibat dari efek bystander. Ketiga, efek bystander menyebabkan kematian
Adanya komunikasi gap-junctional intercellular sel. Radiasi eksterna konvensional memberikan dosis
meningkatkan jumlah sel yang mengalami kematian radiasi yang cukup tinggi pada tumor, sehingga efek
akibat efek bystander.11 bystander mungkin tidak terjadi; tetapi distribusi dosis
yang heterogen dapat menyebabkan beberapa bagian
Penelitian yang berhubungan dengan efek tumor menerima dosis radiasi yang rendah, sehingga
bystander masih terbatas, namun dari data yang ada efek bystander meningkat.11
kita dapat menarik kesimpulan bahwa terjadi 3 hal
akibat efek bystander, yaitu radiasi memicu terjadinya Kesimpulan
kanker, merusak jaringan sehat dan menyebabkan
kematian sel tumor.11 Kematian sel akibat radiasi dalam konteks
terapi kanker terjadi dalam beberapa waktu yang
Pertama, radiasi memicu terjadinya kanker berbeda, seringkali setelah melewati tiga atau empat kali
meskipun pada dosis radiasi yang rendah. Peningkatan siklus sel dan pada umumnya terjadi akibat double
paparan radiasi dosis rendah dapat meningkatkan dua strand break DNA. Sel-sel yang bertahan hidup akan
kali lipat angka kejadian kanker sekunder. Efek melanjutkan proliferasi sedangkan sel yang mati akibat
bystander dalam karsinogenesis yang memiliki dua kehilangan kemampuan reproduksinya. Kematian sel
peran yang berlawanan, disatu sisi membunuh tumor dapat terjadi dengan cara apoptosis, nekrosis, kematian
primer namun disisi lain meningkatkan kemungkinan mitosis, autofagi dan senescence. Pada umumnya
terjadinya kanker sekunder.11 kematian sel pada jaringan tumor akibat radiasi dengan
cara apoptosis.
Kedua, radiasi merusak jaringan sehat. Teori
efek bystander dapat merangsang kita untuk Mekanisme kematian sel akibat radiasi telah
mempelajari tentang positioning atau efek radiasi mengalami perubahan pandangan. Dahulu dianggap
terhadap kontralateral yang dapat digunakan untuk bahwa kematian sel terjadi jika radiasi langsung
mengurangi kerusakan akibat radiasi pada jaringan merusak DNA. Berbagai penelitian telah menemukan
sehat. Beberapa penelitian menjelaskan bahwa bahwa kematian sel dapat juga terjadi melalui efek
kerusakan jaringan sehat akibat efek bystander dapat bystander
terjadi secara langsung melalui komunikasi antar sel,
namun komunikasi ini jarang terjadi pada sel tumor.
Sifat ini memberi pengaruh baik pada jaringan sehat
maupun pada jaringan tumor. Dibutuhkan penelitian
lebih lanjut tentang peranan bystander pada jaringan
sehat pasca paparan radiasi dosis rendah.11
DAFTAR PUSTAKA

1. Mehta SR, Suhag VM, Semwal M, Sharma NM. 7. Wouters GB, Begg CA. Irradiation induced
Radiotherapy: Basic Concept and Recent damage and the DNA damage response. In :
Advances. MJAFI. 2010; 66: 158-162. Joiner M, Kogel DVA, ed. Basic Clinical
2. International atomic energy agency. Minimum Radiobiology. London: Hodder Arnold; 2009.
essential syllabus for radiobiology in Radiation pp.11-27.
Biology: A Handbook for Teacher and Student. 8. West MC, Gillian C. Genetics and genomics of
Vienna: International atomic energy agency; radiotherapy toxicity: towards prediction.
2010. pp.13-81. Genome Med. 2011 August 23; 3(8):52.
3. Joiner CM, Kogel DVJA, Steel GG. Introduction: 9. Beyzadeoglu M, Ozygit G, Ebruli C. Basic
the significance of radiobiology and radiotherapy radiation oncology. Heidelberg : Springer-
for cancer treatment. In : Joiner M, Kogel DVA, Verlag Berlin; 2010. pp.4-88.
editors. Basic Clinical Radiobiology. London: 10. Orrenius S, Nicotera P, Zhivotovsky B. Cell
Hodder Arnold; 2009. pp.1-10. Death Mechanism and Their Implication in
4. Hall JE, Cox DJ. Physical and Biologic Basis of Toxicology. Toxicol. Sci. 2011; 119 (1): 3-19.
Radiation Therapy. In : Cox JD, Ang KK, editors. 11. Prise MK, SchetttinoG, Folkard M, Held D
Physical and biologic basis of radiation therapy in Kathryn. New Insights on Cell Death from
Radiation oncology. 9th ed. Mosby; 2003. p.3-12 Radiation Exposure. Lancet Oncol. 2005; 6(7):
5. Ulsh AB. Review Article. Checking The 520-8.
Foundation : Recent Radiobiology And The 12. Wouters GB. Cell death after irradiation : how,
Linear No-Threshold Theory. Health Phys. 2010; when and why cell die. In : Joiner M, Kogel
99 (6):747-58. DVA, ed. Basic Clinical Radiobiology.4th ed.
6. Gunderson, Tepper. Scientific foundation of London: Hodder Arnold; 2009. pp.27-40.
radiation oncology in Clinical Radiation
Oncology. 3th edition. Philadephia: Elsevier
Saunders; 2012. p.25.
Prinsip Umum Reiradiasi
46 (N. Ariani, H.M. Djakaria)

Tinjauan Pustaka
PRINSIP UMUM PENATALAKSANAAN REIRADIASI
Novita Ariani, H.M. Djakaria
Departemen Radioterapi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
Abstrak / Abstract
Penatalaksanaan reiradiasi merupakan salah satu pilihan terapi yang cukup baik pada kasus
keganasan rekuren. Namun, banyak hal mendasar yang harus dijadikan pertimbangan
Informasi Artikel sebelum memutuskan untuk melakukan reiradiasi; berkaitan dengan efektivitas, kualitas
Riwayat Artikel hidup pasien, serta kemungkinan efek samping pada jaringan normal. Berbagai literatur
memberikan hasil yang bervariasi terhadap efektivitas reiradiasi, tetapi secara umum
 Diterima Juni 2013 menyebutkan bahwa reiradiasi mampu laksana pada berbagai keganasan rekuren dengan
 Disetujui Juli 2013 efek samping jaringan sehat yang bisa ditoleransi. Makalah ini menjelaskan prinsip-prinsip
umum yang menjadi pertimbangan sebelum dilakukan reiradiasi.
Kata kunci: Reiradiasi, prinsip-prinsip umum, keganasan rekuren.

Alamat Korespondensi: Reirradiation was one of the treatment choices, promising good result, for patients with
Dr. Novita Aryani recurrent malignancies. However, there were plenty of factors that must be taken into
Departemen Radioterapi RSUPN consideration before deciding to reirradiate the patient. These factors were related to
Dr. Cipto Mangunkusumo, effectitvity, patient’s quality of life, and the probability of acquiring side effects on normal
Fakultas Kedokteran tissue. Many literatures showed variation on the effectivity of reirradiation in recurrent
Universitas Indonesia, Jakarta malignancies. In general, reirradation was deemed feasible in some recurrent malignancies
E mail: with tolerable side effect on normal tissues. This article provides general principles that
novita_dr@yahoo.com must be considered before reirradiation.
Keywords : Reirradiation, general principles, recurrent malignancies.

Hak cipta ©2013 Perhimpunan Dokter Spesialis Onkologi Radiasi Indonesia

Pendahuluan efektivitas radiasi untuk bisa membunuh sel-sel kanker,


melindungi jaringan sehat disekitarnya dari efek
Perkembangan pengobatan penyakit keganasan samping radiasi yang bisa saja semakin berat karena
saat ini telah meningkatkan angka kesintasan hidup sudah ada pemberian radiasi sebelumnya. Untuk itu,
pasien-pasien kanker. Meski demikian, masih ada diperlukan pengetahuan radiofisika serta radiobiologi
pasien kanker yang telah menjalani terapi dan remisi mengenai bagaimana reiradiasi dapat dioptimalkan
komplit tetapi menderita kekambuhan, baik lokal untuk mencapai tujuan terapi dan meningkatkan
maupun penyebaran yang jauh. Secara umum, penyakit kualitas hidup pasien-pasien kanker yang mengalami
keganasan sangat berisiko untuk kambuh. Berbagai kekambuhan. 1,2,5,7,19
laporan kasus dalam jurnal-jurnal ilmiah menyatakan Reiradiasi menjadi penting dipahami karena
bahwa pada keadaan tertentu bisa dilakukan pemberian dalam praktek sehari-hari akan ditemukan kasus-kasus
radiasi ulang (reiradiasi) pada pasien-pasien kanker yang membutuhkan radiasi kembali karena kambuh.
yang mengalami kekambuhan.1,2,3,6 Kambuh dapat terjadi pada lokasi yang sama dengan
Dalam praktek klinik masih banyak pertanyaan lapangan radiasi sebelumnya, pada jarak yang dekat
dan kontroversi mengenai keputusan untuk melakukan dengan batas lapangan radiasi sebelumnya, atau
reirradiasi.2,3,5,10,15 Tulisan ini bertujuan untuk dengan metastasis (advanced disease).6,8,9 Pasien-pasien
menjelaskan berbagai hal yang terkait dengan yang sudah merasakan efektivitas radiasi tentunya
keputusan untuk melakukan reirradiasi pada mengharapkan radiasi kembali ini akan dapat mengatasi
kekambuhan (rekurensi) keganasan tertentu, kekambuhan penyakitnya.2,12,13 Pemaparan sederhana
bagaimana hasil yang telah didapatkan pada literatur, ini diharapkan bisa membantu kita memahami prinsip-
serta bagaimana efektifitas dan toksisitas yang terjadi prinsip umum tatalaksana reiradiasi.
akibat pemberian radiasi ulang ini. Penggunaan radiasi
kembali pada kasus-kasus kambuh perlu
mempertimbangkan berbagai hal terkait dengan
Radioterapi & Onkologi Indonesia Vol 4(2) Jul 2013:46-52 47

Indikasi Reiradiasi iv. radiasi awal ditoleransi dengan baik;


v. jarak rekurensi tumor dengan struktur vital;
Dibutuhkan pendekatan multidisiplin untuk vi. dokumentasi dosis atau fraksinasi radiasi
mempertimbangkan reiradiasi. Sebelum membuat sebelumnya;
keputusan, harus ditentukan terlebih dahulu indikasi vii. estimasi peluang survival jangka panjang.
reiradiasi. Terdapat dua indikasi reiradisi, yaitu : 2
1) Secara umum sebagai kontrol tumor rekuren; Pencitraan dan Delineasi Target
mengurangi nyeri, perdarahan dan efek massa,
ketika tidak ada lagi pilihan modalitas terapi Modalitas pencitraan yang sesuai, seperti CT,
yang lain. MRI atau PET-CT diperlukan untuk mendapatkan
2) Dengan tujuan tertentu: eradikasi tumor identifikasi yang akurat dari rekurensi. Teknik
(salvage therapy) atau untuk kontrol paliatif. konformal sangat direkomendasikan untuk
menghindari paparan terhadap jaringan normal
Penilaian Pasien semaksimal mungkin. Brakiterapi atau terapi sinar
proton merupakan alternatif potensial, bergantung
Penilaian yang teliti terhadap pasien penting kepada ketersediaan serta perencanaan secara klinis.
sebelum memutuskan reiradiasi, diantaranya : 2 Definisi volume target mesti didasarkan pada
1) Konfirmasi biopsi dari daerah yang mengalami International Commission on Radiation Units and
rekurensi; Measurement Reports (ICRU) 50 dan 62.2,5,11
2) Pemeriksaan lengkap untuk re-staging penyakit,
yang merupakan keharusan ketika menawarkan Fraksinasi Dosis Reiradiasi
reiradiasi dengan tujuan radikal.
Salah satu isu penting yang perlu diperhatikan
Kriteria eksklusi untuk pendekatan radikal seorang dokter spesialis onkologi radiasi ketika
adalah jika pasien memiliki keadaan seperti di bawah merencanakan reiradiasi adalah tambahan waktu untuk
ini. 2 perbaikan jaringan yang telah diradiasi sebelumnya.
a) Komorbiditi medis mayor. Kemampuan berbagai organ untuk perbaikan cedera
b) Gangguan pada pembuluh-pembuluh darah kecil. radiasi berhubungan dengan faktor biologi yang
c) Penyakit jaringan ikat (skleroderma). inheren, dan kontribusi relatif subunit radiasi terhadap
d) Reaksi akut dan lanjut yang bermakna saat fungsi keseluruhan organ masih dipertanyakan. 2,3,4,11,19
pelaksanaan radiasi awal. Prinsip untuk melakukan reiradiasi dapat dilihat pada
e) Metastasis. Tabel 1.
f) Rekurensi pada lapangan radiasi yang kurang Faktor-faktor klinis yang bermakna untuk
dari 3 bulan sejak penatalaksanaan awal. proses repair diantaranya : 2,5
g) Toleransi jaringan normal rendah . a. dosis total radiasi;
h) Kegagalan mendapatkan informed consent. b. besaran fraksinasi harian ;
c. volume jaringan yang diradiasi sebelumnya.
Faktor-faktor lain yang disebaiknya dijadikan Faktor-faktor lain yang perlu dipertimbangkan
pertimbangan ketika memikirkan reiradiasi radikal adalah : 2,4
adalah : 2,5 i. tujuan terapi;
i. status performa baik; ii. usia pasien;
ii. penyakit yang terlokalisir; iii. komorbiditas;
iii. interval bebas penyakit 6 bulan atau lebih setelah iv. dosis kumulatif keseluruhan waktu;
radioterapi awal; v. toksisitas terapi awal dan kemoterapi konkuren.
Tabel 1. Pr insip-prinsip reiradiasi: rekomendasi praktis secara umum.2
Pendekatan Multidisiplin.
Radiasi ulang ditawarkan bila tidak ada pilihan terapi lain yang lebih baik.
Tujuan : radikal atau kontrol gejala.
Konfirmasi biopsi dan penentuan stadium ulang harus dilakukan untuk tujuan radikal.
Informed consent sebelum penyinaran ulang.
Definisi volume target harus berdasarkan ICRU 50 dan 62.
Wajib dilakukan perhitungan Biological Equivalent Dose
Sangat disarankan untuk menggunakan teknik terbaru seperti radiasi konformal 3 dimensi (3DCRT) atau Intensity Modulated Radiation
Therapy (IMRT)
Fraksinasi harian dipertahankan secara konservatif, yaitu pada dosis 2 Gy. Hipofraksinasi dapat juga menjadi pilihan.
Pertahankan status nutrisi, hidrasi, hemoglobin ( > 10 g/dl) yang baik, termasuk komorbid lain seperti hipertensi dan diabetes mellitus
(jika ada).
Pemantauan berkala dengan memperhatikan respon radiasi, morbiditas yang berkaitan dengan radiasi, dan kualitas kehidupan pasien.
Dokumentasikan dengan lengkap dalam rekam medis dan pertahankan komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga, dan dokter
keluarga pasien.
48 Prinsip Umum Reiradiasi
(N. Ariani, H.M. Djakaria)

untuk kasus-kasus yang menjalani reiradiasi. Estimasi


Untuk setiap pasien yang menjalani reiradiasi, risiko mestinya diberikan untuk jangka pendek
khususnya dengan tujuan radikal, idealnya efek (contohnya 2 tahun), pernyataan risiko > 5% untuk
radiobiologi radiasi awal diketahui untuk memutuskan angka komplikasi grade 3+ (yaitu TD> 5/2) untuk
dosis radiasi yang digunakan. Model kuadrat linier menunjukkan peningkatan risiko yang dapat diterima.
merupakan perangkat yang sangat berguna untuk Hiperfraksinasi lebih sesuai untuk tujuan radikal,
menetapkan perencanaan dosis reiradiasi dimana khususnya untuk yang volume tumornya besar.
respon jaringan normal atau tumor terhadap radiasi Fraksinasi harian sebaiknya tetap seperti fraksi
dikarakterisasi oleh parameter tunggal, yaitu rasio α/β. konservatif (2 Gy) atau lebih rendah untuk terapi
2,11,19,20
Biologic Equivalent Dose (BED) awal dihitung radikal. 2,19,20
dengan konsep kuadrat linier, yaitu :
Hiperfraksinasi Reiradiasi
BED = nd ( 1+d/( α/β) )
Teknik fraksinasi dari total dosis radiasi
n = jumlah fraksinasi, d = dosis perfraksi (Gy), dan memberikan kontrol tumor yang lebih baik serta
rasio α/β menunjukkan kemampuan jaringan untuk toksisitas terhadap jaringan normal yang lebih rendah
memperbaiki cedera. dibandingkan dengan pemberian dosis tunggal yang
Tidak ada konsensus mengenai dosis ulangan besar. Sparing jaringan normal yang lebih baik
yang disepakati untuk reiradiasi. Data-data klinis yang disebabkan oleh perbaikan sublethal damage diantara
ada mengenai perbaikan cedera radiasi terbatas untuk pemberian fraksinasi. Efek menguntungkan, seperti
beberapa organ dan jaringan saja. Eisbruch dan reoksigenasi sel-sel tumor dan pengkondisian sel-sel
Dawson merekomendasikan ketentuan dosis baku tumor kembali kepada fase radiosensitif pada siklus sel
berdasarkan batasan dosis toleransi radiasi standar memberikan kontribusi pada tercapainya kontrol tumor
tanpa mempertimbangkan efek keseluruhan waktu yang lebih baik jika dibandingkan dengan penggunaan
perbaikan. Jones, et.al 2,20,24,25 melaporkan bahwa suatu dosis tunggal. Akan tetapi, terdapat kelemahan, yaitu
dosis ekuivalen dengan 60-80% dari BED asli secara waktu pelaksanaan terapi jangka panjang juga
umum dapat ditoleransi dengan baik oleh sebagian meningkatkan kejadian repopulasi sel-sel kanker.
3.16.17,19
besar pasien-pasien yang menjalani reiradiasi.
Toleransi jaringan normal kemungkinan Berbeda dengan pemberian radiasi pertama
terlampaui karena reiradiasi dan merupakan suatu kali, pada reiradiasi tidak dilakukan uji perbandingan
risiko toksisitas lebih tinggi yang harus diterima. antar regimen fraksinasi. Suatu penelitian retrospektif
Estimasi TD 5/5 konvensional terhadap risiko yang dilakukan oleh Bauman, et.al (1996) dengan
komplikasi pada 5 tahun tidak dapat diaplikasikan sampel 17 pasien tumor primer sistem saraf pusat yang

Tabel 2. Dosis median dan kumulatif reiradiasi pada berbagai lokasi tumor mayor 2

Organ Jumlah Pasien Dosis Dosis pada Dosis NTD BED-2 / BED-3
Radioterapi Reiradiasi Kumulatif Kumulatif Kumulatif
Awal

Otak 42 50 (50-60) 46 (6-55) 96 98,8 197,5


Otak 21 45 (52,5 – 57,5) 30 (24-40) 75 81,6 163,1
Otak 31 60 (46-60) 34,5 94,5 90,2 180,4
Korda Spinalis 44 30 (22,5 – 54) 22 (5,4 -39,6) 52 58 97
Korda Spinalis 8 38 (29-50) 30 (29-38) 68 69 115
Korda Spinalis 37 30 (16-66) 20 (20-55,8) 50 47 79
Paru 18 60 (30-80) 50 (30-70) 110 110 183,3
Paru 23 59 (32-66) 30 (6-38) 86 + _
Paru 13 66 (30-78) 51 (46-60) 117 117 195
Pelvis 59 50,4 (30 -55) 40,8; BID 91,2 82,6 137,7
Pelvis 24 50,4 (38-59,4) 39,6 (30-45) 90 86,4 143,9
Pelvis 43 50,4 (30-74) 34,8 (15-49,2); BID 85,8 77,6 129,3

Pelvis 60 50,4 (30 -74) 34,8 (15-49,2); 85,8 81.8 136,3


Payudara / 81 60 (19,6-82) 48 (14,4 – 72,5) 108 + +
Dinding Dada
Payudara / 18 50 (45-50) 50 100 100 166,7
Dinding Dada
Payudara / 12 60,8 (51,0-70,4) 50,40 (7,5-64,4 111,2 107,3 178,8
Dinding Dada
Radioterapi & Onkologi Indonesia Vol 4(2) Jul 2013:46-52 49

mendapatkan reiradiasi hiperfraksinasi dan 17 pasien Rasio Terapeutik pada Reiradiasi Kombinasi
diterapi dengan fraksi satu kali setiap harinya, dengan Obat-obat Sitotoksik dan Agen Modifikasi
memberikan hasil median overall survival 8,3 bulan Lainnya
untuk semua pasien. Risiko kejadian nekrosis pada
tahun pertama setelah terapi ulang jumlahnya 22%. Penatalaksanaan reiradiasi dengan modifikasi
Secara statistik, tidak ada pengaruh yang bermakna modalitas terapi lainnya mempunyai implikasi klinis
fraksinasi terhadap overal survival, progression – free yang cukup baik. Kombinasi terapi radiasi dengan
survival, atau peningkatan komplikasi pada penelitian kemoterapi menunjukkan hasil yang lebih baik
ini, dengan power statistik yang terbatas.2,3,6,8 dibandingkan hanya menatalaksana dengan radioterapi
Namun demikian, pengambilan keputusan saja pada berbagai kasus keganasan (Gambar 1). Jenis-
mengenai apakah seseorang diradiasi kembali adalah jenis obat baru telah dikembangkan dan diperkenalkan
proses yang kompleks. Faktor-faktor yang harus di- dengan pesat untuk penggunaan klinis. Target dari obat
masukkan dalam perhitungan mencakup tipe jaringan -obat ini adalah pada satu atau lebih proses-proses yang
yang berisiko terhadap cedera, fraksinasi dosis dan in- berperan penting dalam patogenesis tumor. Obat-obat
terval dari radiasi yang sebelumnya, pengamatan ter- baru ini mengandung antibodi-antibodi spesifik yang
hadap perubahan – perubahan jaringan normal yang melawan faktor pertumbuhan atau reseptor-reseptornya
terjadi akibat radiasi sebelumnya, prognosis pasien, dan molekul-molekul kecil yang berperan dalam
penyebaran penyakit dan penyulit lainnya.5,6 pengaturan jaras transduksi sinyal dalam siklus sel,
transkripsi gen, survival sel kanker.4,5,7,9,11,19
Kemoterapi Konkuren dan Reiradiasi Hal yang penting yaitu mencapai keseim-
bangan yang baik antara kematian sel tumor dengan
Untuk kasus-kasus keganasan kepala dan leher, toksisitas pada jaringan normal, khususnya pada
konteks reiradiasi. Sebagai akibat dari radiasi sebe-
kombinasi reiradiasi dengan kemoterapi telah
lumnya.1,2,4,5 Kombinasi pemberian radiasi dengan mo-
menghasilkan peningkatan yang bermakna terhadap
dalitas lainnya selama ini diupayakan untuk mencapai
angka kesintasan bebas penyakit. Namun, pengaruhnya
angka keberhasilan terapi yang lebih baik, dengan
pada overall survival tidak begitu bermakna. Di sisi
kontrol lokal tercapai, serta meminimalisir toksisitas
lain, pada seri penelitian 81 pasien-pasien dengan
terhadap jaringan sekitar. Pasien-pasien kanker yang
kanker payudara rekuren mendapat terapi reiradiasi
mengalami rekurensi dan dipertimbangkan untuk
ditambah dengan kemoterapi didapatkan hubungan
mendapat terapi radiasi ulang harus diteliti lebih lanjut
dengan rendahnya kesintasan bebas penyakit lokal,
bagaimana efektifitas reiradiasi serta toleransi jaringan
meskipun 57% dari pasien-pasien mengalami respon
klinis komplet terhadap terapi tersebut. Data dari tumor sehat yang ikut terkena radiasi lagi. Sebagai hasil dari
di lokasi lain lainnya yang menggunakan kombinasi pengobatan sebelumnya yang seringkali telah dil-
kemoterapi-reiradiasi sebagai regimen penyelamatan akukan pembedahan dan pemberian kemoterapi, fungsi
dan kemampuan pemulihan jaringan serta organ telah
sangat terbatas. Secara umum, kemoterapi-reiradiasi
terganggu. Jika diketahui bahwa pasien memiliki mor-
bisa direkomendasikan didalam suatu lingkungan pe-
biditas yang berat dari terapi lini pertama maka tidak
natalaksanaan multidisiplin, dengan kewaspadaan dini
ditawarkan untuk mendapat reiradiasi, rasio terapeutik
dan monitoring terhadap potensi efek samping.2,4,5,7,9,11
akan berbeda dari seting awal. Dengan kata lain bahwa
strategi untuk meningkatkan kematian sel tumor oleh
radiasi ulang tanpa meningkatkan toksisitas yang berat
hal ini akan meningkatkan indeks terapi. 3,4,6,19.20

Gambar 1. Indeks Ter apeutik. (a). Indeks ter apeutik untuk ter api dengan r adiasi saja. Radiasi dengan dosis A akan member ikan
peluang kesembuhan tumor dan toksisitas jaringan normal (misalnya 50% kesembuhan vs. >10% toksisitas). (b). Jika radiasi dikombinasikan
dengan radioprotektor, dosis radiasi bisa ditingkatkan (dosis B) karena toksisitas jaringan normal bisa dikurangi ( kurva untuk toksisitas
jaringan bergeser kekanan ) (c). Jika radiasi dikombinasikan dengan radiosensitizer, peluang kesembuhan tumor meningkat ( kurva bergeser
ke kiri ). Radioprotektor dan radiosensitizer keduanya meningkatkan indeks terapeutik.4
50 Prinsip Umum Reiradiasi
(N. Ariani, H.M. Djakaria)

Pada penelitian – penelitian klinis reiradiasi, mesti dilakukan dibawah bantuan uji klinis (evidence
keadaannnya kompleks dengan biologi tumor yang het- based). Reiradiasi dinding dada telah dipakai untuk
erogen, perubahan fisiologis, parameter – parameter mentatalaksana residu mikroskopis dan gross tumor
microenvironment yang terjadi akibat pelaksanaan ra- dengan atau tanpa adanya metastasis. Hipertermi
dioterapi yang pertama seperti contohnya fibrosis dan sebaiknya digunakan untuk meningkatkan angka respon
kegagalan perfusi jaringan. Sudah ada anggapan bahwa untuk gross tumor. 6,7,8,9
sel-sel tumor pada manusia dengan kegagalan radioter- Telah dilakukan perhitungan antara kedua dosis
api ( kanker kepala dan leher ) adalah cenderung radio- radiasi awal maupun reiradiasi sebagai persentase dosis
resisten (Weichselbaum, et.al 1988 ). Diantara sel – sel toleransi ekivalen dengan dosis 2 Gy (EQD2tol). Garis
yang radioresisten berasal dari pasien – pasien yang di putus-putus menunjukkan toleransi jaringan residu jika
radiasi sebelumnya, secara bermakna lebih resisten tidak terjadi restitusi jangka panjang. Titik-titik hitam
dibanding pasien – pasien yang tidak diradiasi diatas garis putus-putus (pada kulit, paru-paru dan jan-
(Grenman, et.al 1991). Namun pada beberapa kasus tung) menunjukkan penyembuhan jangka panjang.
juga dijumpai tumor radiosensitif dari pasien-pasien Titik-titik hitam dibawah garis ( ginjal, buli-buli )
yang telah mendapat radiasi sebelumnya. 2,4,5,16,20 menunjukkan adanya pengurangan toleransi jaringan
Bukti pendukung dalam penggunaan terapi yang progresif sesaat setelah dilakukannya radiasi
kombinasi banyak didasarkan pada kombinasi radiasi awal.19
dengan kemoterapi. Dalam kenyataannya, profil farma-
kokinetik obat-obat anti kanker ditentukan oleh varia- Faktor Prognostik
bilitas yang mendasar dari masing-masing pasien,
dimana dua sampai tiga kali lipatnya bukanlah variasi Hanya sedikit penelitian yang mempunyai ana-
umum (Brunsvig, et.al 2007). Permasalahan ini lisis statistik dengan memasukkan prediktor prognosis
menghasilkan kompleksitas dengan pemberian dua atau pada hasil. Umur tidak menunjukkan pengaruh ter-
lebih obat-obatan secara simultan dan dalam konteks hadap kesintasan, begitu pula dengan ukuran dan lokasi
reiradiasi dikarenakan begitu heterogen tumor-tumor tumor. Keadaan umum pasien serta respon terapi
yang direiradiasi (seperti Gambar 2). Besarnya efek menunjukkan pengaruh terhadap hasil terapi reiradiasi.
terapi ini bisa jadi bervariasi dikarenakan tipe sel, kon- Selain itu, interval yang lebih panjang antara akhir ra-
disi kultur, obat-obatan, waktu pemaparan dan lain-lain. diasi pertama dengan reiradiasi menunjukkan pengaruh
4,19
yang bermakna terhadap kesintasan .3,15,20
Penelitian klinis pada berbagai lokasi reiradiasi
Hipertermia dan Reiradiasi mendapatkan hasil yang berbeda dari segi efektivitas
radiasi untuk lokal kontrol dan overall survival.
Reiradiasi untuk kanker payudara rekuren Beberapa penelitian menyatakan bahwa reiradiasi
dengan dosis radiasi total 60 Gy dan penambahan merupakan pilihan terapi yang mampu laksana dan
hipertermia dapat dilakukan pada sebagian besar pasien. memberikan hasil yang cukup menggembirakan baik
Terapi ini memiliki morbiditas lanjut yang masih dapat dari segi pengurangan gejala dan kualitas hidup. Na-
diterima dan meningkatkan prognosis pada pasien- mun di sisi lain pertimbangan untuk melakukan tinda-
pasien yang telah menjalani reseksi rekurensi sebe- kan ini perlu kehati-hatian yang lebih, mengingat risiko
lumnya. Publikasi terbanyak mengenai penggunaan toksisitas yang semakin meningkat pada jaringan sehat.
brakiterapi untuk memberikan radiasi parsial pada 2,4,10,13,16
payudara, tetapi penelitian RTOG menggunakan radiasi
eksterna konformal. Reiradiasi payudara tidak dianggap
sebagai terapi standar dan secara umum penggunaannya

Gambar 3. Ringkasan Toler ansi J ar ingan terhadap Radiasi Ulang


Dari Berbagai Literatur 19

Strategi Suportif Selama Reiradiasi

Gambar 2. Skema Penelitian Reiradiasi Klinis 4 Pendekatan suportif untuk masing-masing


pasien terdiri dari pengawasan untuk mencegah kom-
plikasi reiradiasi, jika memungkinkan. Selama terapi,
Radioterapi & Onkologi Indonesia Vol 4(2) Jul 2013:46-52 51

penting mempertahankan status nutrisi yang adekuat, mesti didiskusikan sebagai manajemen alternatif yang
hidrasi, hemoglobin (Hb > 10 gr% ) dan diabetes serta dapat dilakukan. Kelompok yang direkomendasikan
hipertensi yang terkontrol. Kewaspadaan terhadap keterlibatan dalam persetujuan dan diskusi lebih
peringatan dini mestinya memungkinkan microenviron- diutamakan anggota keluarga dan perawat yang
ment jaringan untuk memperbaiki jaringan normal menangani.3,5,17
yang terkena reiradiasi.2.19 Rekam medik yang lengkap sebagai alat komu-
nikasi dengan penyedia layanan kesehatan lainnya
Monitoring Setelah Selesai Reiradiasi penting untuk mempertahankan pendekatan tim dalam
memberikan pelayanan optimal. Panduan departemen
Sehubungan dengan kelengkapan perencanaan dibutuhkan untuk dokumentasi memastikan tercapainya
terapi, suatu rencana perawatan mesti dirancang untuk jaminan mutu dan berguna untuk review retrospektif.
2,3,11
masing-masing pasien untuk kunjungan pemantauan
rutin dengan menginformasikan jika ada terjadi kom-
plikasi. Pemantauan rutin akan memberikan informasi
yang berguna; seperti respon terhadap reiradiasi, mor- Kesimpulan
biditas yang berhubungan dengan terapi, dan kualitas
hidup pasien. Data efek samping jangka panjang dan Penatalaksanaan reiradiasi pada kasus-kasus
kualitas hidup setelah terapi ulangan sangat langka. keganasan rekuren membutuhkan pertimbangan-
Dokumentasi yang detail tentang efek samping dan pertimbangan mendasar yang bertujuan untuk
pengukuran gejala-gejala dengan perangkat kesehatan optimalisasi hasil terapi. Berbagai publikasi saat ini
tervalidasi akan bermanfaat untuk masa yang akan menyatakan bahwa reiradiasi bisa dijadikan pilihan
datang.2,3,7 terapi pada beberapa kasus rekuren dengan mem-
berikan hasil yang cukup baik. Modalitas terapi kom-
Penilaian Kualitas Hidup binasi dianjurkan untuk menjadi pertimbangan pilihan
terapi dengan reiradiasi. Manajemen penatalaksanaan
Kualitas hidup berkaitan dengan kesehatan pasien dengan pertimbangan reiradiasi diawali dari
adalah pengukuran hasil yang secara umum diterima penetapan indikasi reiradiasi, work-up lengkap untuk
dalam evaluasi pengobatan keganasan. Berbagai macam restaging penyakit, perencanaan radiasi termasuk
perangkat yang tervalidasi telah digunakan untuk kombinasi modalitas lainnya yang bisa meningkatkan
mengevaluasi perubahan - perubahan dalam kualitas efek terapi, evaluasi selesai terapi termasuk follow-up
hidup pasien-pasien yang menjalani berbagai terapi. rutin yang harus dilakukan serta yang tidak kalah
Penilaian kualitas hidup untuk pasien-pasien yang pentingnya adalah informed consent dan pencatatan
menjalani reiradiasi merupakan sesuatu yang rumit dan rekam medis yang lengkap untuk komunikasi dan
akan berkaitan dengan banyak indikator.2,5 Schultz, et.al kepentingan medikolegal.
melaporkan bahwa indikator kualitas hidup
berpengaruh bermakna dengan konsekuensi fisiologis
penerimaan terapi. Karena antara keduanya pasien dan Daftar Pustaka
dokter sering memiliki estimasi yang berbeda terhadap
hasil terapi. Pengukuran hasil berdasarkan laporan 1. Nieder C, Langendijk JA. Normal tissue toler-
pasien sendiri terhadap kualitas hidup merupakan ance to reirradiation. In: C Nieder and J.A.
perangkat yang berarti untuk mengevaluasi keuntungan Langendijk, editor. Re-irradiation: New Frontier
reiradiasi. Karena belum adanya perangkat yang (Medical Radiology/Radiation Oncology).
tervalidasi secara spesifik untuk mengukur kualitas London: Springer-Verlag Berlin Heidelberg;
hidup yang terkait dengan kesehatan, penilaian pasien- 2011. pp.13-24.
pasien yang mendapat reiradiasi menggunakan 2. Joseph K, Tai P, Wu J, Levin W. A practical ap-
instrumen yang sudah tersedia dengan baik saat ini, proach and general principles of re-irradiation
seperti EORTC QLQ C30 atau FACT-G. 2 for in-field cancer recurrence. J Clin Oncol.
2010; 22:885-89.
Pertimbangan Etis dan Medikolegal 3. Nieder C, Baumann M. Fractionation concepts.
In: C Nieder and J.A. Langendijk, editor. Re-
Pasien yang ditawarkan reiradiasi tentunya irradiation: New Frontier (Medical Radiology/
memiliki pendapat pro dan kontra terhadap reiradiasi. Radiation Oncology). London: Springer-Verlag
Hal ini mungkin saja menimbulkan pertanyaan Berlin Heidelberg;2011: pp.25-38.
tentang : perjalanan penyakit tanpa terapi apapun, 4. Nieder C, Eisbruch A. Therapeutic ratio of
rasionalisasi reiradiasi dan potensi risiko efek samping reirradiation with cytotoxic drug and other
yang serius, efek reiradiasi terhadap lamanya survival response-modifying agent. In: C Nieder and J.A.
dan kualitas hidup. Reiradiasi juga dapat menimbulkan Langendijk, editor. Re-irradiation: New Frontier
komplikasi katastropik. Untuk mengatasi permasalahan (Medical Radiology/Radiation Oncology).
tersebut mesti dilakukan informed consent secara ter- London: Springer-Verlag Berlin Heidelberg;
buka terhadap keterbatasan pengetahuan terhadap efek- 2011. pp.50-70.
efek terapi dan konfirmasi pemahaman pasien terhadap 5. Creak AL, Harrington K, Nutting C. Treatment
potensi risiko reiradiasi. Ekspektasi yang salah of recurrent head and neck cancer : re-irradiation
mengenai keuntungan terapi mesti dihindarkan dan or chemotherapy? J Clin Oncol. 2005;17:138-47.
pada kebanyakan kasus, perawatan suportif paliatif
52 Prinsip Umum Reiradiasi
(N. Ariani, H.M. Djakaria)

6. Zee JV, Holt BV, Rietveid PJM, Helle PA, 15. Paulino AC, Mai WY, Chintagumpala M, Taher
Wijnmaalen AJ, Puten WLZ, et al. Reirradiation A, Teh BS. Radiation–induced malignant glio-
combined with hypertermia in recurrent breast ma: is there a role for reirradiation? Int J Radiat
cancer result in worthwhile local paliation. Brit J Oncol Biol Phys. 2008;71:1381-87.
Cancer 1999;79:483-9. 16. Nieder C, Milas L, Kian Ang K. Tissue toler-
7. O. Wall A, Small Jr. W. Breast Cancer. In: C ance to reirradiation. Seminar in Radiation On-
Nieder and J.A. Langendijk, editor. Re- cology. 2000;10:200-09.
irradiation: New Frontier (Medical Radiology/ 17. Son CH, Jimenez R, Niemerko A, Loeffler JS,
Radiation Oncology). London:Springer-Verlag Oh KS, Shih HA. Outcome after whole brain
Berlin Heidelberg; 2011: pp.143 –54. reirradiation in patients with brain metastases.
8. Ott OJ, Fietkau R. Hypertermia and reirradiation. Int J Radiat Oncol Biol Phys. 2012;1;82(2):167-
In: C Nieder and J.A. Langendijk, editor. Re- 72.
irradiation: New Frontier (Medical Radiology/ 18. Veninga T, Langendijk HA, Slotman BJ, Rutten
Radiation Oncology). London:Springer-Verlag EH, van der Kogel AJ, Prick MJ, et al. Reirradi-
Berlin Heidelberg; 2011. pp.39-48. ation of primary brain tumour; survival, clinical
9. Kouloulias VE, Dardoufas CE, Kouvaris JR, response and prognostic factors. Radiother
Gennatas CS, Polyzos AK, Gogas HJ, et al. Lip- Oncol. 2001;59:127-37.
osomal doxorubicin in conjunctional with reirra- 19. Dorr W, Stewart FA. Retreatment tolerance of
diation and lokal hyperthermia treatment in re- normal tissue. In: Michael Joiner and Albert van
current breast cancer: a phase I/II trial. Clin Can- der Kogel, editor. Basic Clinical Radiobiology.
cer Res. 2002;8:374-82. London: Edward Arnold; 2009. pp.259-70.
10. Nieder C, Grosu AL, Andratschke NH, Molls M. 20. Garofalo MC, Haraf DJ. Reirradiation: a poten-
Proposal of human spinal cord reirradiation dose tially curative approach to locally or regionally
based on data from 40 patients. Int J Radiat On- recurrent head and neck cancer. Curr Opinion.
col Biol Phys. 2005;61:851-55. Oncol. 2002;14:330-33.
11. Wurschmidt F, Dahle J, Petersen C, Wenzel C, 21. Abusaris H, Storchi PRM, Bradwijk RP, Nuyt-
Kretschmer M, Bastian C. Reirradiation of recur- tens JJ. Second re-irradiation: Efficacy, dose and
rent breast cancer with and without concurent toxicity in patients who received three course of
chemotherapy. Radiather Oncol. 2008;3:28-36. radiotherapy with overlapping fields. Radiother
12. Muller AC, Eckert F, Heinrich V, Bamberg M, Oncol. 2011;03:010.
Brucker S, Hehr T. Re-surgey and chest wall 22. Mayer R, Sminia P. Reirradiation tolerance of
reirradiation for recurrent breast cancer-a second the human brain. Int J Radiat Oncol Biol Phys.
curative approach. BMC Cancer. 2011;11:197. 2008;70:1350-60.
13. Maranzano E, Trippa F, Casale M, anselmo P, 23. Martinez FJA, Mateu JMM, Macia RC. The use-
Rossi R. Reirradiation of metastatic spinal cord fulness of reirradiation in the treatment of pelvic
compression : definitive result of two random- recurrence of rectal and gynaecological tumours.
ized trials. Radiother Oncol. 2011;98:234-37. Oncologia 2006; 29(10):405-11.
14. Sahgal A, Ma L, Weinberg V, Chao S, Chang 24. Ebara T, Tanio N, Etoh T, Shichi I, Honda A,
UK, Werner-Wasik M, et al. Reirradiation hu- Nakajima N, et al. Palliative re-irradiation for in
man spinal cord tolerance for stereotactic body -field recurrence after definitive radiotherapy in
radiotherapy. Int J Radiat Oncol Biol Phys. 2010; patients with primary lung cancer. Anticancer
8:1-10. Res 2007;27:531-34.
25. Kao J, Garofalo MC, Milano MT, Chmura SJ,
Citron JR, Haraf DJ. Re-irradiation of recurrent
and second primary head and neck malignan-
cies: a comprehensive review. Cancer Treatment
Rev 2003; 29:21-30.
Radioterapi & Onkologi Indonesia Vol 4(2) Jul 2013:53-60 53

Tinjauan Pustaka
HIPOFRAKSINASI PADA KANKER PAYUDARA STADIUM DINI
Elia Aditya B.K, Soehartati A. Gondhowiardjo
Departemen Radioterapi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
Abstrak / Abstract
Disiplin ilmu Onkologi Radiasi dan teknik radiasi mengalami kemajuan pesat dalam beberapa
Informasi Artikel dekade terakhir. Seiring dengan hal ini, radioterapi dengan menggunakan hipofraksinasi
Riwayat Artikel kembali menarik perhatian dan disebut sebagai suatu “re-emerging interest”.1,2 Studi-studi
yang dilakukan secara luas dan dalam follow-up jangka menengah menghasilkan suatu
 Diterima Mei 2013 kesimpulan yang menunjukkan bahwa hipofraksinasi dan fraksinasi konvensional pada kanker
 Disetujui Juli 2013 payudara memberikan hasil yang setara dalam hal kontrol tumor maupun efek samping. Hal
ini memungkinkan untuk dapat diadopsinya pemberian hipofraksinasi di dalam guideline
suatu institusi dan diterapkan di dalam aplikasi klinis sehari-hari.
Kata Kunci : kanker , payudar a, r adiasi, hipofr aksinasi

Alamat Korespondensi: Radiation oncology and radiation techniques have progressed rapidly in recent decades. In
Dr. Elia Aditya B.K. accordance with this, radiotherapy using large dose per fraction again attracted attention and
Departemen Radioterapi RSUPN was mentioned as a "re-emerging interest".1,2 Large randomized control study in the medium-
Dr. Cipto Mangunkusumo, term follow-up results in a conclusion that conventional fractionation and hypofractionation
Fakultas Kedokteran Universitas
in breast cancer treatment gives equivalent results in terms of tumor control and side effects.
Indonesia, Jakarta
E mail: This results bringing encouragement for radiotherapy using hypofractionation to be adopted
eliaaditya@gmail.com as an institutional guidelines and applied in everyday clinical applications.
Keywords : cancer, breast, radiation, hipofractination

Hak cipta ©2013 Perhimpunan Dokter Spesialis Onkologi Radiasi Indonesia

Pendahuluan Jika diselidiki lebih jauh, sebenarnya


penelitian-penelitian untuk mengetahui efek pemberian
Tatalaksana kanker payudara tidak dapat radiasi dengan high dose per-fraction telah sejak
dilepaskan dari peran radioterapi. Sudah sejak lama setengah abad yang lalu dilakukan oleh Regato dan
tatalaksana radioterapi berdampingan dengan bedah Buschke dengan melakukan pemberian radiasi pada
dilakukan sebagai tatalaksana standar kanker payudara, kanker kepala leher menggunakan radiasi dengan
bahkan sebelum dikembangkannya obat-obat fraksi besar diselingi periode istirahat antar fraksi,
kemoterapi. dibandingkan dengan fraksinasi kecil selama beberapa
minggu.1 Peneliti – peneliti lain juga menyusul untuk
Selama beberapa dekade terakhir tata cara melakukan modifikasi fraksinasi dengan desain-
pemberian radioterapi yang menjadi tatalaksana baku desainnya sendiri. Pada saat itu dasar – dasar
pada sebagian besar radiotherapy center di Indonesia radiobiologi belum terlalu banyak dipahami, dan
dilakukan dengan fraksinasi konvensional dengan gagasan mengenai konsep-konsep dasar fraksinasi
menggunakan dosis per-fraksi 1,8-2 Gy. masih baru dimunculkan.1

Pada perkembangannya, banyak institusi luar Karena masih minimnya penemuan-penemuan


negeri telah mulai menerapkan pemberian fraksinasi di bidang biologi molekuler, radiobiologi, fisika
dengan dosis lebih dari 2 Gy atau hipofraksinasi pada radiasi, dan teknik radiasi yang masih sederhana,
kasus-kasus kanker payudara stadium dini yang didasari studi– studi menggunakan hipofraksinasi pada masa itu
oleh studi-studi skala besar dan telah menjalani follow- banyak memberikan hasil yang kurang memuaskan,
up cukup lama sehingga ketertarikan untuk meneliti modifikasi
Hipofraksinasi Pada Kanker payudara Stadium Dini
54
(E. Aditya, S. Gondhowiardjo )

fraksinasi dengan high dose per-fraction sempat Pada setting pasca mastektomi, penggunaan
memudar. Akan tetapi beberapa ahli radiobiologi tetap radiasi pada dinding dada maupun kelenjar getah
secara konsisten meneliti dasar teori yang dapat bening axilla memiliki peran penting. Cukup jelas
menerangkan peristiwa tersebut. Usaha tersebut bahwa mastektomi tanpa radiasi memiliki kontrol
membuahkan bukti-bukti yang menunjukkan perbedaan lokal-regional yang sudah cukup baik, untuk sebagian
antar jaringan dalam hal kepekaannya terhadap besar pasien dengan stadium I atau IIa (sampai dengan
perubahan fraksi. Konsep ini yang membawa T1 atau T2N0). Sebaliknya, pasien dengan stadium III
pemahaman mengenai nilai rasio alfa/beta. Seiring (T3 atau T4) memiliki probabilitas terjadinya rekurensi
dengan temuan-temuan mengenai nilai alfa/beta yang lokoregional setelah mastektomi yang cukup besar
rendah pada beberapa jenis kanker (termasuk kanker sehingga pemberian radioterapi akan memberikan
payudara), didukung dengan kemajuan ilmu onkologi benefit untuk angka survival dan menurunkan angka
radiasi dan munculnya teknik-teknik baru, maka kekambuhan.3
penelitian mengenai hipofraksinasi kembali menarik
perhatian.1

Para klinisi juga berharap penerapan


hipofraksinasi pada pasien kanker payudara selain akan
meringankan beban kerja pesawat diharapkan juga akan
memberikan kenyamanan pada pasien. Fowler
mengungkapkan hal ini sebagai suatu ”re-emerging
interest”.1,2 Tulisan ini sendiri dimaksudkan untuk
membahas mengenai tatalaksana kanker payudara, yang
dalam satu dekade terakhir banyak diteliti dan saat ini
mulai banyak diterbitkan hasilnya dalam publikasi
ilmiah.

Peran Radioterapi Pada Kanker Payudara

Terapi multimodalitas menjadi pilihan untuk


penanganan kanker payudara saat ini. Bedah sebagai
terapi utama, berdampingan dengan radioterapi dan Gambar 1. Kejadian r ekur ensi pada payudar a dalam
kemoterapi menjadi terapi penting dalam manajemen follow-up selama 20 tahun pada kasus kanker payudara yang
kanker payudara.3,4 Bagi bidang radioterapi sendiri, diterapi dengan lumpektomi saja dibandingkan dengan
kurang lebih dua puluh lima persen pasien yang sedang lumpektomi ditambah dengan radioterapi.6
menjalani penyinaran pada suatu pusat radioterapi
adalah pasien kanker payudara.3 Seperti apa pemberian Studi lain ada juga yang tetap menganjurkan
radioterapi yang dilakukan juga bergantung dari adjuvant radioterapi setelah mastektomi pada
tatalaksana pembedahan yang telah direncanakan. metastasis 1 sampai 3 kelenjar getah bening.7
Penelitian dari Woodward et al.7 menunjukkan bahwa
Pada setting Breast Conserving Surgery (BCS), resiko rekurensi lokoregional setelah tindakan
maka dilakukan wide local excision dari tumor primer mastektomi dan pemberian kemoterapi hanya sekitar
dengan diseksi Kelenjar Getah Bening (KGB) sesuai 13% untuk pasien dengan stadium II dengan 1 sampai
indikasi kemudian dilanjutkan dengan tindakan 3 metastasis pada kelenjar getah bening, sedangkan
radioterapi. Terdapat banyak laporan penelitian BCS pada pasien yang ditambahkan radioterapi post
dan radiasi dengan follow-up yang cukup lama sampai mastektomi maka resiko rekurensi lokoregional
kurang lebih 10-15 tahun. Studi-studi ini memberikan menjadi hanya 3%.
data-data mengenai disease free survival dan overall National Comprehensive Cancer Network
survival dari BCS ditambah dengan radioterapi yang (NCCN) sendiri memberikan kriteria yang dapat
sebanding dengan tindakan mastektomi.3,5,6 dipakai untuk menentukan perlu atau tidaknya
pemberian radioterapi pasca mastektomi. Ukuran
Walaupun demikian, disimpulkan pula bahwa tumor yang lebih dari 5 cm, batas sayatan dekat, atau
pada payudara yang dilakukan lumpektomi disertai adanya metastasis pada satu atau lebih kelenjar getah
radiasi dibandingkan dengan lumpektomi tanpa radiasi, bening disarankan untuk diberikan radioterapi pasca
terdapat insiden kumulatif rekurensi lokal yang berbeda mastektomi dengan atau tanpa radioterapi pada
bermakna dalam follow-up selama 20 tahun.6 kelenjar getah bening axilla dan supra/infraclavicula.4
Guideline yang dikeluarkan oleh setiap institusi dapat
berbeda satu dengan yang lainnya, dan klinisi memiliki
Radioterapi & Onkologi Indonesia Vol 4(2) Jul 2013:53-60 55

Tabel 1. Beberapa nilai rasio α/β pada berbagai jaringan normal dan tumor16
Jaringan Endpoint α/β Sumber

Kulit Eritema 8.8 Turesson dan Thames

Eritema 12.3 Bentzen et al.

Deskuamasi 8 Chogule dan Supe

Mukosa mulut Mukositis 9.3 Denham et al.

Mukositis 15 Rezvani et al.

Plexus brachialis Plexopathy 3.5 Olsen et al.

Paru Pneumonitis 4 Bentzen et al.

Fibrosis (radiologis) 3.1 Dubray et al.

Medulla spinalis Myelopati 3.3 Dische et al.

Jantung Cardiopati 3 Sardaro et al.

Otot Gangguan gerak 3.5 Bentzen et al.

Kanker nasofaring 16 Lee et al.

Kanker kulit 8.5 Trott et al.

Kanker Prostat 1.1 Betzen dan Ritter

Melanoma 0.6 Bentzen et al.

Kanker Payudara 4.5 START trial.

wewenang untuk mengambil keputusan yang paling yang baik, meskipun pada waktu itu Grubbe menunda
tepat untuk pasiennya. Dalam memutuskan dilakukan untuk mempublikasikannya. Grubbe menjadi seorang
atau tidaknya tindakan radiasi post-mastektomi, pionir Radioterapi, dan mendapatkan berbagai
sebaiknya dipertimbangkan juga faktor-faktor risiko penghargaan di bidang fisika maupun kedokteran. 8
lainnya seperti pathological stage II, status batas
sayatan dekat, adanya invasi limfovaskuler, usia muda, Pada waktu itu belum ada gagasan mengenai
diseksi aksila yang kurang adekuat, dan adanya ekstensi fraksinasi. Baru setelah 10 tahun sejak penemuan Emil
ekstrakapsular.3 Grubbe; Bergonie dan Tribondeau mengemukakan
dugaan mengenai adanya perbedaan respon dengan
Fraksinasi pada Radiasi Kanker Payudara dilakukannya fraksinasi.8,9 Dan pada tahun 1930,
penelitian empiris oleh Claude Regaud dan Henri
Pada saat pertama kali ditemukannya sinar-X, Coutard memberikan kesimpulan bahwa dengan
tidak ada yang mengetahui atau berpikir bahwa sinar-X membagi suatu dosis yang besar menjadi dosis-dosis
memiliki efek biologis yang begitu berguna dalam kecil, akan lebih bersifat mematikan untuk kanker, dan
terapi kanker.8 Kanker payudara adalah kasus keganasan lebih sedikit menimbulkan kerusakan terhadap jaringan
pertama yang dicoba untuk diterapi dengan sehat di sekitarnya.8
menggunakan sinar-X. 8 Kala itu seorang pemuda
bernama Emil Grubbe mencoba menggunakan sinar-X Studi dan Penerapan Klinis Hipofraksinasi pada
untuk mengobati kanker payudara yang rekuren.8,9 Kanker Payudara Stadium Dini

Saat itu masih dalam tahun 1895, yaitu pada Hipofraksinasi pada kanker payudara sudah
tahun yang sama di mana Wilhem Conrad Roentgent mulai dipublikasikan pada jurnal ilmiah pada tahun
menemukan sinar-X di dalam laboratoriumnya di 1991. Studi fase I oleh Brierley yang menggunakan
Jerman. Emil Grubbe masih menyelesaikan kuliahnya fraksinasi dengan dosis 48,75 Gy dalam 15 fraksi
sebagai mahasiswa kedokteran di Hahnemann Medical selama 39 hari yang diterapkan pada 133 sampel;
College of Chicago, dan dalam jangka waktu tidak lebih memberikan hasil kontrol lokal yang cukup baik, tetapi
dari 21 hari sejak penemuan sinar-X oleh Wilhem terdapat perubahan kosmetik yang signifikan pada
Conrad Roentgent, mahasiswa ini merakit sendiri pasien. 10
pesawat sinar-X pertama di Chicago, dan mencoba
memberikan sinar-X pada pasien kanker payudara yang Selanjutnya, banyak penelitian lain yang
sudah dioperasi berulang kali karena kekambuhan. bermunculan untuk mengetahui hipofraksinasi yang
Percobaannya ini ternyata membuahkan respon paliatif optimal pada kanker payudara; mulai dari 40 Gy/15
Hipofraksinasi Pada Kanker payudara Stadium Dini
56
(E. Aditya, S. Gondhowiardjo )

fraksi, 42 Gy/16 fraksi, 44 Gy/16 fraksi, 52 Gy /20 NSW Cancer Institute tidak memberikan penjelasan
fraksi, 57 Gy/16-17 fraksi, sampai pemberian lebih banyak mengenai pemilihan ini. 14
hipofraksinasi yang cukup bermakna yang dilakukan
oleh Martin dan Ortholan dengan dosis 32,5 Gy/5 fraksi Mengenai penambahan booster pada tumor
serta beberapa penelitian hipofraksinasi ekstrim lainnya bed, belum terdapat studi jangka panjang yang
yang masih dalam follow-up.10 Salah satu penelitian membandingkan outcome dari hipofraksinasi payudara
dengan jumlah sampel besar dan follow-up yang cukup tanpa booster dan dengan booster. Penulis hanya
panjang dilakukan oleh Standardization of Breast Radi- menemukan satu studi dengan jumlah sampel besar
otherapy (START) trial A dan trial B. Studi START trial dan dengan waktu follow-up sedang. Studi dari
A ini mengambil sampel 2.236 wanita dengan kanker Romestaing ini dilakukan terhadap 1.024 wanita yang
payudara stadium dini (pT1-3a pN0-1 M0) secara acak, secara random dimasukkan dalam kelompok
lalu dibagi dalam 3 kelompok: 41,6 Gy dalam 13 hipofraksinasi whole breast 20 x 2,25 Gy dengan
fraksi, 39 Gy dalam 13 fraksi, dan fraksinasi booster 4 x 2,5 Gy atau hanya whole breast 20 x 2,2
konvensional, dengan booster elektron dengan dosis 10 Gy saja.15 Hasil dari studi ini difollow-up dalam 5
Gy dalam 5 fraksi sesuai indikasi. Hasil dari penelitian tahun, dan memberikan hasil rekurensi lokal yang
ini memberikan kekambuhan lokal yang seimbang lebih rendah pada kelompok booster (p = 0.044),
antara fraksinasi konvensional dengan radiasi 41,6 Gy dengan relatif risk 0,3 (0,12-0,95), tanpa adanya
dalam 13 fraksi, serta terdapat peningkatan pada perbedaan hasil kosmetik yang berbeda pada kedua
kelompok 39 Gy dalam 13 fraksi (p= 0,027). Tidak ada kelompok.15
perbedaan dalam hal kesintasan hidup antara ketiga
kelompok perlakuan. 11 Dasar Hipofraksinasi pada Kanker Payudara

START B mengambil 2.215 wanita, Hipofraksinasi adalah penggunaan dosis per


dimasukkan kedalam dua kelompok perlakuan. START fraksi di atas 2 Gy, dengan jumlah fraksinasi lebih
B menggunakan regimen fraksinasi yang berbeda, yaitu sedikit. Untuk sebagian besar jenis sel kanker,
40 Gy dalam 13 fraksi dibandingkan dengan fraksinasi hipofraksinasi dianggap memiliki rasio terapeutik
konvensional dengan booster 10 Gy dalam 5 fraksi. lebih rendah dibandingkan fraksinasi konvensional
Dalam follow up 6 tahun, diperoleh angka rekurensi dengan overall treatment time yang sama. Hal ini
lokal 3,3% pada kelompok fraksinasi konvensional, dan didasarkan dari rasio α/β untuk tumor yang cenderung
2% pada kelompok hipofraksinasi (p= 0,35), sedangkan lebih tinggi daripada late responding normal tissue.
overall survival 89% pada kelompok fraksinasi
konvensional dan 92% pada kelompok hipofraksinasi.12 Pada sebagian kecil kanker, terdapat
pengecualian yang memiliki rasio α/β yang rendah
Penelitian besar lainnya dilakukan oleh seperti contohnya melanoma maligna, liposarkoma,
McMaster University and Juravinski Cancer Center kanker payudara dan adenokarsinoma prostat. Pada
Canada, yang dilakukan oleh Whelan et al. melakukan kasus-kasus demikian, penggunaan hipofraksinasi
penelitian dalam follow-up 12 tahun terhadap 1.234 dapat memberikan hasil yang setara dengan
pasien dengan randomisasi pada 2 kelompok, yaitu: penggunaan fraksinasi konvensional, atau bahkan
kelompok dengan fraksinasi 42,5Gy dalam 16 fraksi dapat memberikan hasil yang lebih baik.2
dibandingkan dengan kelompok kontrol yang diberikan
fraksinasi konvensional. Dalam follow-up 12 tahun, Saat ini pemakaian hipofraksinasi menjadi
pasien yang diterapi dengan regimen fraksinasi 42,5Gy semakin menarik untuk diteliti, seiring dengan
dalam 16 fraksi mengalami rekurensi lokal sebesar berkembangnya teknik radiasi konfromal.2,16
6,2% sedangkan pada kelompok dengan fraksinasi Hipofraksinasi dengan dosis sedang sampai kurang
konvensional 6,7% tanpa perbedaan statistik yang lebih 3,5 Gy untuk tujuan kuratif banyak dipergunakan
bermakna. 13 pada clinical trial selama ini. Untuk mengurangi resiko
efek samping lanjut pada fraksinasi ini, digunakan total
Systematic review dari ASTRO task group juga dosis yang sedikit lebih rendah daripada fraksinasi
mempublikasikan pada tahun 2011 mengenai konvensional. Untuk tumor dengan nilai rasio α/β yang
rekomendasi pemberian hipofraksinasi kanker payudara tinggi, hal ini akan mengakibatkan turunnya angka
dengan dosis 42,5Gy dalam 16 fraksi dengan atau tanpa kontrol terhadap tumor.(2) Walaupun demikian, efek
booster memiliki efektivitas yang sama dengan negatif ini mungkin dapat terkompensasi dengan
fraksinasi konvensional.10 Guideline yang diterbitkan memendeknya overall treatment time.2
oleh Cancer Institute New South Wales (NSW) juga
memberikan rekomendasi dosis hipofraksinasi yang Selain nilai dari rasio α/β, faktor lain yang
sama, tapi NSW Cancer Institute memperbolehkan juga berpengaruh pada pemberian hipofraksinasi salah
penggunaan dosis alternatif 40 Gy dalam 15 fraksi. satunya adalah faktor waktu. Pada tahun 1960 dan
Radioterapi & Onkologi Indonesia Vol 4(2) Jul 2013:53-60 57

1970 anggapan yang berlaku di antara radiation Canada melakukan analisis statistik mengenai
oncologist pada saat itu adalah bahwa pemanjangan terjadinya rekurensi pada pasien dengan usia < 50
overall treatment time tidak menimbulkan perubahan tahun dibandingkan dengan > 50 tahun dan tidak
control lokal tumor. Bertentangan dengan hal ini, didapatkan perbedaan statistik yang bermakna (p=
beberapa eksperimen dalam tahun tahun berikutnya 0,67). Penelitian pada McMaster University ini
mulai menemukan bahwa sel klonogen mengalami sayangnya hanya memasukkan sebanyak 305 pasien
perubahan dalam tingkat proliferasi setelah beberapa berusia kurang dari 50 tahun dari total sampel sebanyak
minggu dimulainya radioterapi.2 1.234 pasien, sehingga intepretasi ini tidak dapat
diaplikasikan begitu saja. Penelitian-penelitian lain
Adanya faktor waktu yang berhubungan dengan belum ada yang melakukan perhatian khusus mengenai
respon tumor juga semakin ditunjukkan dengan adanya pengaruh usia terhadap hasil akhir penyinaran dengan
penelitian dari Withers et al. yang mengenai dampak hipofraksinasi, selain itu terbatasnya waktu follow-up
overall treatment time terhadap TCD 50, yang juga menjadi kendala. Atas dasar tersebut, ASTRO
disempurnakan lagi oleh Bentzen et al. pada tahun 1991. memberikan rekomendasi bahwa pemberian
Dalam penelitian ini juga disinggung adanya hipofraksinasi payudara sampai saat ini dianggap aman
keuntungan yang diperoleh dengan dilakukannya untuk pasien dengan usia di atas 50 tahun.10
pemendekan overall treatment time, yang terlepas dari
ada atau tidaknya perbedaan nilai rasio α/β.2 START trial memberikan batasan stadium T1-
2 N0-1 dan tidak memberikan batasan BCS maupun
Jika kita mengambil nilai rasio α/β untuk kanker mastektomi.11,12 Pasien-pasien dengan N0-1 yang
payudara sebesar 4,5 Gy, maka pada pemberian dosis memiliki risiko, dilakukan pemberian radiasi loko-
radiasi konvensional dengan 2 Gy/fraksi sebanyak 25 regional dengan dosis hipofraksinasi. Pada laporannya,
fraksi kita akan memberikan dosis sebesar 50 Gy. tidak didapatkan peningkatan efek samping paru,
Sedangkan pemberian dosis radiasi 42,5 Gy dalam 16 jantung, tulang iga, maupun plexus brachialis untuk
fraksi, kita akan memperoleh EQD2 sebesar 46,8 Gy. 10 kelompok-kelompok yang dilakukan hipofraksinasi.
Anggota-anggota dalam task group ASTRO tidak dapat
Kriteria Pasien untuk Hipofraksinasi Payudara mencapai kesepakatan untuk menentukan mengenai
status N (kelenjar getah bening) yang dianggap aman
Pada penelitian START trial A, tidak ada untuk dilakukan hipofraksinasi, demikian juga dalam
kriteria inklusi menyangkut usia, jenis operasi, maupun hal jenis operasi yang dilakukan (mastektomi atau
ada atau tidaknya kelenjar getah bening. Distribusi breast conserving surgery). Karena belum ada bukti
sampel pada ketiga kelompok perlakuan juga tidak keamanan tersebut, task group ASTRO menyarankan
menunjukkan adanya heterogenitas karakteristik sampel. hipofraksinasi payudara diberikan pada kasus kanker
Tabel 2 menunjukkan profil usia pada studi START A.11 payudara dengan kelenjar getah bening yang negatif
dan dilakukan BCS.10
START trial A menyertakan sampel dari semua
rentang usia, dan tidak mandapatkan adanya tumor Pengaruh hipofraksinasi payudara pada pasien
kontrol yang lebih buruk pada kelompok usia yang lebih yang dilakukan kemoterapi pre atau durante radiasi
muda selama masa follow-up. McMaster University juga belum diketahui dengan pasti. McMaster
Tabel 2. Distribusi Usia Sampel (START Trial A)

Fraksinasi

Usia (tahun): 50Gy/25 fraksi 41.6Gy/13 fraksi 39Gy/13 fraksi


20-29 5 4 3
30-39 38 40 38
40-49 116 136 129
50-59 280 283 286
60-69 215 192 194
70-79 87 85 78
80- 8 10 9
Kontrol tumor:
Loc-reg relapse (5ys) 3.6% 3.5% (p = 0.86) 5.2% (p = 0.027)
Distant relapse (5ys) 9.8% 9.5% (p = 0.64) 11.9% (p = 0.10)
Hipofraksinasi Pada Kanker payudara Stadium Dini
58
(E. Aditya, S. Gondhowiardjo )

University Canada dalam follow-up 12 tahun juga akan terjadi pada hipofraksinasi payudara yang
menyatakan tidak terdapat perbedaan baik dalam hal menggunakan teknik 3D.10
kontrol tumor maupun efek lanjut radiasi selama
periode follow-up penelitian antara pasien yang Penjelasan yang lain menerangkan bahwa
diberikan kemo dan tidak.13 rasio α/β untuk jaringan paru, jantung dan jaringan
lunak serta kanker payudara hanya memiliki perbedaan
Sebagian besar anggota task group ASTRO yang minimal. Karena itu, perubahan dosis per fraksi
berpendapat bahwa kemoterapi tidak berpengaruh akan memberikan pengaruh yang sebanding antara
terhadap hasil akhir pemberian hipofraksinasi, tetapi tumor dan jaringan sehat di sekitarnya. ASTRO
terdapat sebagian kecil anggota yang kurang setuju sendiri berpendapat bahwa karena penjelasan-
dengan pernyataan tersebut karena sebagian besar penjelasan tersebut masih merupakan dugaan yang
sampel (65-90%) pada penelitian-penelitian yang ada belum terbukti sercara clinical trial, hipofraksinasi
tidak memiliki riwayat kemoterapi.10 Kesimpulan dari payudara sebaiknya dilakukan pada keadaan di mana
task group ASTRO memandang pemberian jantung tidak berada dalam primary field beam
hipofraksinasi bersamaan dengan pemberian kemoterapi tangensial atau apabila center tersebut dapat
maupun pada pasien dengan riwayat kemoterapi belum menggunakan teknik radiasi yang lebih canggih seperti
memiliki bukti keamanan, sehingga tidak dianjurkan field in field dan IMRT. 10
untuk pemakaian hipofraksinasi.
Institusi yang memberikan panduannya secara
Batasan Toleransi Organ at Risk (OAR) pada lebih rinci mengenai rekomendasi untuk mengevaluasi
Hipofraksinasi Payudara planning adalah NSW Cancer Institute. Panduan
tersebut diterjemahkan dalam Tabel 3.14
Penelitian-penelitian hipofraksinasi pada
umumnya mulai berjalan pada tahun 90-an dan dipantau Laporan-laporan Mengenai Efek Samping pada
sampai beberapa tahun. Penggunaan DVH belum Jaringan Normal
banyak dilakukan waktu itu, dan hanya sebagian kecil
pasien yang menggunakan teknik 3D. Dengan treatment Banyak penelitan yang mencoba
planning 2D, peneliti hanya melihat homogenitas pada membandingkan efek samping jaringan normal yang
isosenter saja. Sedikitnya studi yang menggunakan didapat oleh pasien kanker payudara yang dilakukan
Dose Volume Histogram (DVH) pada saat itu menjadi hipofraksinasi dan fraksinasi konvensional, sayangnya
kendala untuk melakukan evaluasi mengenai batasan validitas dari penelitian-penelitian tersebut masih
pasti untuk constraints organ at risk untuk pemberian dipertanyakan karena jangka waktu follow-up yang
hipofraksinasi payudara.10-13 belum adekuat. Walaupun demikian, pemantauan
mengenai efek samping akut maupun lambat pada
Radioterapi payudara menggunakan teknik 2D beberapa studi memang dilaporkan dengan cukup
terbukti lebih inferior dibandingkan dengan teknik 3D lengkap.
dalam hal toksisitas akut maupun lambat. Penggunaan
teknik 3D konformal dapat menurunkan risiko Penelitian dari McMaster University yang
komplikasi akut maupun lanjut pada radioterapi dengan melakukan follow-up selama 10 tahun untuk late effect
fraksinasi konvensional. Hal yang serupa seharusnya mendapatkan perubahan kosmetik pada 29% pada
Tabel 3. Tabel Batasan Dosis di Organ at Risk pada Hipofraksinasi Payudara
Paru Pada ketentuan yang dicantumkan berikut, volume paru adalah adalah
gabungan kedua paru.
 Dosis rata-rata (mean dose) < 18,7 Gy; atau apabila mungkin < 13,4 Gy
 Jaringan paru yang terkena < 3 cm pada setiap slice nya; atau apabila
mungkin < 2 cm

Jantung Kurang dari 12 % jantung menerima 95 % isodosis; atau apabila mungkin


kurang dari 3% jantung menerima 95 % isodosis.
Jarak yang terkena maksimal adalah 11 mm, walaupun 23 mm sebenarnya
masih dapat diterima.
V25 Gy < 10 %

Medulla Dosis maksimal < 40 Gy (seharusnya tidak menjadi masalah)


Spinalis
Radioterapi & Onkologi Indonesia Vol 4(2) Jul 2013:53-60 59

kelompok 50 Gy dan 30% pada kelompok 42,5 Gy. Hal ini menjadikan tantangan untuk institusi-
Perubahan kulit, jaringan subkutan, maupun kejadian institusi lainnya, terutama pada institusi yang sudah
fraktur costae yang terjadi pada kedua kelompok juga dapat menerapkan image based radiotherapy dengan
dilaporkan tidak signifikan berbeda.10-13 baik untuk dapat melakukan perubahan fraksinasi pada
kasus-kasus yang sesuai.
Penelitian – penelitian yang sudah ada
menunjukkan proporsi efek samping akut maupun lanjut Kesimpulan
yang setara antara kelompok fraksinasi konvensional
dibandingkan dengan kelompok hipofraksinasi. Studi Pemberian radioterapi pada kanker payudara
START A dan START B memberikan laporan stadium dini yang dilakukan BCS akan meningkatkan
penelitiannya dalam follow-up 5 dan 6 tahun. Peneliti kontrol lokal maupun angka kesintasan hidup. Selama
dari dua studi ini juga mengakui bahwa waktu follow-up ini pemberian radiasi pada jaringan payudara dilakukan
ini masih terlalu dini untuk menilai beberapa endpoint dengan fraksinasi konvensional 25 x 2 Gy dengan atau
late effect, sehingga pemantauan terhadap efek lanjut tanpa disertai dengan pemberian booster pada surgical
pada waktu follow-up berikutnya masih akan bed.
dilaporkan kembali.11,12 Penggunaan teknik yang lebih
canggih saat ini (3D, FIF, maupun IMRT) diharapkan Tatalaksana radiasi dengan menggunakan
dapat memperbesar peluang untuk memperoleh hipofraksinasi dapat diberikan pada kasus-kasus kanker
komplikasi lanjut yang lebih sedikit, baik pada payudara stadium dini yang dilakukan BCS. Karena
penggunaan fraksinasi konvensional maupun masih terbatasnya studi dan waktu follow-up, maka
hipofraksinasi. rekomendasi dari American Society for Radiation
Oncology baru dapat menganjurkan pemberian
Perubahan Guideline hipofraksinasi pada kasus dengan T1-2 N0, yang telah
dilakukan BCS, tanpa didahului dengan pemberian
Penelitian – penelitian yang sudah ada sampai kemoterapi. Dosis yang direkomendasikan oleh
saat ini membuat beberapa institusi berani untuk kebanyakan institusi adalah 42,5 Gy dalam 16 fraksi
memberikan perubahan pada guideline penatalaksanaan dengan atau tanpa penambahan booster 10 Gy dalam 4-
radioterapi payudara, walaupun karena terbatasnya data, 5 fraksi.
perubahan tata-laksana ini baru direkomendasikan untuk
kanker payudara stadium dini. A merican Society for Sampai saat ini, pemberian hipofraksinasi
Radiation Oncology dan NSW Cancer Institute payudara memberikan hasil kontrol lokal maupun
memberikan rekomendasi ini kurang lebih Juli 2011, kesintasan hidup yang seimbang dengan fraksinasi
serta Magellan Health Services Columbia pada Juni konvensional, dan tidak terbukti terdapat peningkatan
2012 dengan anjuran hipofraksinasi dengan regimen efek samping lanjut. Hal ini dapat menjadi tatalaksana
yang sama dengan ASTRO.10,14,17 terapi yang baru, dan sudah mulai direkomendasikan
oleh beberapa institusi, terutama pada pusat-pusat
radioterapi yang sudah dapat melakukan image based
radiation therapy dengan baik.

Daftar Pustaka

1. Cox JD. Hypofractionation. Cancer.1985;55:2105 - 6. Fisher B, Anderson S, Bryant J, Margolese RG,


2111. Deutsch M, Fisher ER, et al. Twenty-year follow-
2. Baumann M, Gregoire V. Modified Fractionation. up of a randomized trial comparing total
In: Joiner M, Kogel Avd, editors. Basic Clinical mastectomy, lumpectomy, and lumpectomy plus
Radiobiology. 4 ed. London: Hodder Arnold; irradiation for the treatment of invasive breast
2009. pp. 135-147. cancer. N Engl J Med. 2002;16:1233.
3. Buchholz TA, Perez CA, Haffty BG. Principle and 7. Storm E, Woodward W, Katz A, Buchholz TA,
Practice of Radiation Oncology. In: Perez CA, Perkins GH, Jhingran A, et al. Clinical
editor. Early Stage Breast Cancer. Vol 1. 5th ed. investigation: regional node failure patterns in
Philadelphia: Lippincott WIlliams & WIlkins; breast cancer patients terated with mastectomy
2007.pp.1175-1291. without radiotherapy. Int. J Radiat Oncol Biol
4. NCCN. National Comprehensive Cancer Network Phys. 2005;63:1508-1513.
Clinical Practice Guidelines in Oncology Breast 8. Vujosevic B, Bokorov B. Radiotherapy: past and
Cancer. USA: National Comprehensive Cancer present. Arc Oncol. 2010;18:140-142.
Network; 2012. 9. Beyzadeouglu M, Ebruli C, Ozyigit G. Basic
5. NCI. Breast Cancer Treatment. General Radiation Oncology. In: Beyzadeoglu M, ed.
Information About Breast Cancer. USA: National Radiation Physics. Berlin Heidelberg: Springer;
Cancer Institute; 2012. 2010. pp. 1-70.
Hipofraksinasi Pada Kanker payudara Stadium Dini
60
(E. Aditya, S. Gondhowiardjo )

10. Smith BD, Bentzen SM, Correa C, Hahn CA, Har- 15. Romestaing P, Lehingue Y, Carrie C, Coquard R,
denbergh PH, Ibbott GS, et al. Fractionation For Montbarbon X, Ardiet JM, et al. Role of a 10-Gy
Whole Breast Irradiation: An American Society for boost in the conservative treatment of early breast
Radiation Oncology (ASTRO) Evidence-Based cancer: results of a randomized clinical trial in
Guideline. Int. J Radiat Oncol Biol Phys. Lyon, France. J Clin Oncol. 1997;15:963-968.
2011;81:59-68. 16. Bentzen SM, Joiner MC. The linear-quadratic
11. Bentzen SM, Agrawal RK, Aird EG, Barrett JM, approach in clinical practice. In: Joiner M, Kogel
Barrett-Lee PJ, Yarnold J, et al. The UK Avd, editors. Basic Clinical Radiobiology. 4th ed.
Standardisation of Breast Radiotherapy (START) London: Hodder Arnold; 2009.pp.12-34.
Trial A of Radiotherapy hypofractionation for 17. Pentecost M. Clinical guidelines for Breast
Treatment of Early Breast Cancer: a randomized Cancer. Columbia: National Imaging Associates,
trial. Lancet Oncology 2008;9(4):331-341. Inc.; 2012.
12. Bentzen SM, Agrawal RK, Aird EG, Barrett JM,
Barrett-Lee PJ, Yarnold J, et al. Th UK
Standardisation of Breast Radiotherapy (START)
Trial B of radiotherapy hypofractionation for
treatment of early breast cancer: a randomized trial.
Lancet . 2008;371:1098-1107.
13. Whelan TJ, Pignol J-P, Levine MN, Julian JA,
MacKenzie R, Parpia S , et al. Long-term Results
of Hypofractionated Radiation Therapy for Breast
Cancer. N Engl J Med..2010;362:513-520.
14. NSWCI. Radiation Oncology, Breast, Invasive
Breast Cancer. Adjuvant Conserved Breast
Irradiation, Short Course. New South Wales: eviQ
Cancer Treatment Online; 2011.
Peran Radiasi Eksterna pada Tata Laksana Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma
61 (M.Primasari, S.M. Sekarutami)

Laporan Kasus
Peran Radiasi Eksterna pada Tata Laksana
Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma
Mirna Primasari, Sri Mutya Sekarutami
Departemen Radioterapi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
Abstrak / Abstract
Radioterapi identik dengan terapi pada penyakit-penyakit keganasan, yang juga dapat
digunakan untuk terapi pada penyakit non keganasan. Radiasi eksterna pada penyakit non
Informasi Artikel keganasan cenderung diabaikan dan dilupakan karena masih banyak pilihan terapi lainnya,
Riwayat Artikel
meskipun demikian ternyata perannya untuk beberapa penyakit non keganasan amatlah pent-
 Diterima : Mei 2013 ing untuk kita ketahui. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma (JNA) merupakan salah satu
contoh kasus penyakit non keganasan yang membutuhkan terapi radiasi eksterna, baik sebagai
 Disetujui : Juni 2013
tindakan yang bertujuan kuratif definitif maupun paliatif.
Kata kunci: Radiasi Exter na, Juvenile Nasopharyngeal A ngiofibroma

Radiotherapy is usually identical with therapy for malignancy, which is also useful for some
Alamat Korespondensi: non malignancy diseases. The radiation therapy for non malignancy tends to be overlooked
Dr. Mirna Primasari
and forgotten because there are so many other options other than radiation, despite that in
Departemen Radioterapi RSUPN
Dr. Cipto Mangunkusumo, some cases or conditions, radiation therapy has a key role that we have to know. Juvenile
Fakultas Kedokteran Universitas nasopharyngeal angiofibroma (JNA) is one of the non malignancy cases which radiation ther-
Indonesia, Jakarta apy plays part in, whether for curative definitive intent or palliative.
E mail:
Keywords: external beam radiotherapy, non malignancy, juvenile nasopharyngeal angiofi-
mirnaprimasari.md@gmail.com
broma

Hak cipta ©2013 Perhimpunan Dokter Spesialis Onkologi Radiasi Indonesia

Pendahuluan mang ada pertimbangan atau rasionalisasi dari terapi


tersebut.1,2
Terapi radiasi untuk penyakit non keganasan
pertama kali dipelopori oleh Sokoloff pada tahun 1898 Mempertimbangkan penggunaan radiasi ek-
dan diterima penggunaannya di Eropa, meskipun be- sterna sebagai terapi pada penyakit non keganasan
lum diakui oleh Amerika dan dunia internasional. Tren bukanlah hal yang mudah. Faktor-faktor yang harus
terapi radiasi pada non keganasan muncul kembali dan dipertimbangkan kurang lebih sama dengan terapi pada
telah diakui dapat menjadi modalitas terapi yang san- keganasan: tujuan terapi, indikasi, evaluasi untuk
gat efektif. Penggunaan radioterapi dapat dibenarkan kemungkinan pilihan terapi lain, mempertimbangkan
untuk pertumbuhan invasif dan agresif dari tumor jinak kerugian/risiko radiasi dengan keuntungan terapi,
seperti tumor desmoid, kehilangan fungsional dan persetujuan interdisipliner untuk penggunaan terapi
faktor kosmetik seperti pada keloid dan orbitopati en- radiasi, serta pemberian terapi secara lege artis dan
dokrin, atau yang mengancam nyawa seperti hemangi- kontrol jangka panjang untuk penilaian hasil serta efek
oma hepar dan angiofibroma juvenilis. Banyak penya- samping terapi.3
kit non keganasan memiliki dampak yang besar ter-
hadap kualitas hidup pasien, terutama bila tidak ada
Tinjauan Pustaka
lagi modalitas terapi yang dapat digunakan, gagal, atau
menyebabkan lebih banyak efek samping. Radiasi ek- Istilah “Juvenile Nasopharyngeal Angiofibro-
sterna secara umum bukan terapi lini pertama untuk ma” pertama kali digunakan oleh Chaveau pada tahun
terapi non keganasan, tetapi dapat diterima jika me- 1906.4,5 Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma (JNA)
Radioterapi & Onkologi Indonesia Vol 4(2) Jul 2013:61-70 62

adalah lesi dengan vaskularisasi banyak, tidak berkapsul, penambahan jumlah kromosom X, sangat mendukung
serta berasal dari jaringan mesenkimal. Kompresi ke proses patofisiologis JNA yang berhubungan dengan an-
jaringan normal di sekitarnya menghasilkan pseudokap- drogen sementara b-catenin berfungsi sebagai protein
sul dari jaringan fibrosa. Sifat dari JNA adalah jinak dan koaktivator dari reseptor androgen. Teori tersebut dit-
secara histopatologis terdiri dari stroma jaringan pen- ambah dengan efek mutasi gen b-catenin yang mening-
yambung dan matriks pembuluh darah yang strukturnya katkan ekspresi AR telah menjadi bagian penting dari
berdilatasi. Komponen pembuluh darah pada JNA minim penjelasan kejadian JNA pada laki-laki muda. Meskipun
unsur muskular pada lapisannya sehingga cenderung demikian, bagaimana JNA berawal, mekanisme sifat
rapuh dan mudah berdarah.5 Meskipun jinak dan tumbuh yang bifasik (komponen stromal dan vaskuler) – apakah
dengan lambat, tumor ini memiliki sifat yang agresif lo- hanya satu komponen saja yang berperan terhadap per-
kal serta dapat menyebabkan destruksi tulang luas, tumbuhan sementara yang lain hanya bystander ataukah
perdarahan intrakranial, deformitas wajah, epistaksis be- keduanya berproliferasi dan tumbuh bersama, serta in-
rat serta kebutaan.6 sidensi pada laki-laki; hingga saat ini belum ada teori
yang pasti.10
1. Insidens
Kejadian JNA kurang lebih 0,05% - 0,5% dari
semua tumor kepala leher dan merupakan tumor yang 3. Gejala Klinis
sering terdapat di daerah nasofaring.Pada umumnya ter- Gejala utama tersering adalah obstruksi nasal,
jadi pada anak laki-laki usia remaja/ muda. Usia rata-rata yaitu pada 90% dari pasien serta epistaksis spontan beru-
diagnosis adalah pada usia 15 tahun.5-9 lang sekitar 60%.4,5
Insidensi umum JNA kurang lebih 1:150.000.12 Gejala-gejala lain yang mungkin dapat timbul
Kejadian dominan pada remaja laki-laki atau laki-laki adalah keluar cairan dari hidung, nyeri, sinusitis,
dewasa muda usia 10-24 tahun.4 Beberapa kasus mes- gangguan di telinga seperti otitis media dan gangguan
kipun sangat jarang, terjadi pada laki-laki di atas usia 25 pendengaran.4
tahun dan pada beberapa remaja perempuan.10
Ketika terdapat ekstensi lokoregional ke dasar
kranium, dapat terjadi deformitas wajah, proptosis, dan
2. Etiologi dan histopatogenesis defisit nervus kranialis. Jafek, dkk.5 melaporkan kejadian
proptosis mencapai 20% dan neuropati kranial pada 33%
Etiologi dari JNA masih sulit dipahami.
dari 15 pasien dengan JNA yang melibatkan fossa krani-
Penelitian membuktikan bahwa tidak ada hubungan anta-
um media. Umumnya, gejala baru mulai muncul kurang
ra virus Epstein-Barr dan Human Herpes-8 dengan ke-
lebih 6-7 bulan sampai dengan 1 tahun.4-6
jadian JNA.11 Selektivitas jenis kelamin dari JNA dan
usia insidensi yang relatif muda memberi kesan keterli- Pada pemeriksaan fisik, selain khas dari segi usia
12
batan hormon. Kelainan hormon telah dilaporkan pada dan jenis kelamin, dapat juga ditemukan sekresi mukopu-
pasien dengan JNA, reseptor androgen dan estrogen rulen pada rongga hidung, massa berwarna kemerahan,
ditemukan pada jaringan tumor, namun keterlibatan hor- licin dan berbentuk bulat di daerah nasofaring, palatum
mon tersebut masih kontroversial. 12 Penelitian- molle sering terdorong ke arah inferior.6
penelitian terbaru kini ditujukan untuk menganalisis pe-
rubahan genetik dan molekuler, tetapi etiologi dan pato-
genesisnya masih belum diketahui hingga kini.10,12 4. Diagnosis
Penelitian imunohistokimia baru-baru ini menunjukkan Diagnosis secara klinis agak sulit dibedakan
bahwa V asular Endothelial Growth Factor (VEGF), dengan tumor sinonasal lainnya, dan sering terabaikan.
dengan Hypoxia Inducible Factor (HIF-1) sebagai kom- Diagnosis diferensial dari JNA antara lain: hemangioma,
ponen regulator transkripsi dan faktor proangiogenik polip khoana, karsinoma nasofaring, polip angiomatosa,
terdapat di sel stroma JNA, mendukung teori bahwa per- kista nasofaring, hemangioperisitoma, rhabdomyosarko-
tumbuhan pembuluh darah dikendalikan oleh faktor per- ma, khordoma.
tumbuhan yang berasal dari unsur stromal.10,12 Pada kasus karsinoma limfoepitelial rongga
Adanya mutasi b-catenin pada JNA dan ekspresi hidung, dilaporkan menyerupai angiofibroma juvenilis
b-catenin nuklear pada nukleus dari sel stromal men- baik dari gejala klinis maupun gambaran radiologis, se-
imbulkan hipotesis bahwa komponen stromal adalah hingga hanya dapat dibedakan setelah dilakukan
kunci dari elemen neoplastik pada JNA. pemeriksaan patologi anatomi pasca tindakan pem-
bedahan.13
Analisis genetik JNA mengklarifikasi beberapa
teori tentang abnormalitas genetik dan membuktikan Biopsi transnasal pada kecurigaan JNA tidak
adanya peran hormon androgen pada JNA. Kehilangan dianjurkan karena akan mencetuskan perdarahan dengan
sebagian atau seluruh kromosom Y serta didapatkannya cepat. Pemeriksaan penunjang dengan CT dan MRI ada-
gen A ndrogen Receptor (AR) sehubungan dengan lah pemeriksaan penunjang utama dalam menegakkan
Peranan Radiasi Eksterna Dalam Tatalaksana Juvenile Nasopharingeal Angiofibroma
63 (M. Primasari, S.M. Sekarutami)

diagnosis.6 CT lebih superior untuk mengevaluasi diakan suplai darah pada JNA.22 Tetapi, saat tumor ber-
struktur tulang dari dasar tengkorak, termasuk melihat tambah besar, suplai juga didapatkan dari cabang-cabang
erosi tulang, lebih spesifik untuk kedalaman invasi pada A.karotis interna ipsilateral serta A.karotis eksterna kon-
tulang sfenoid sebagai prediktor utama dari rekurensi tralateral.4
ataupun residu dari tindakan operatif.4
JNA merupakan tumor jinak yang invasif, mes-
Diagnosis dengan CT pada potongan koronal kipun awalnya timbul perdebatan mengenai pola penyeb-
akan menunjukkan adanya massa jaringan lunak pada aran dan lokasi timbulnya JNA. Awalnya JNA dianggap
rongga nasal posterior bersamaan dengan pembesaran berasal dari nasofaring, tetapi dari teori dan penelitian
foramen sfenopalatina dan erosi batas tulang posterior. ternyata JNA berasal dari kanalis pterygoid kemudian
Gambaran khas JNA disebut juga dengan tanda Holman- menyebar melalui foramen sfenopalatina, sinus sfenoid,
Miller, adalah melengkungnya dinding maksillaris poste- dan fossa pterygopalatina, kemudian ke daerah-daerah
rior ke arah anterior sehubungan adanya massa di rongga lain yang berdekatan melalui ketiga jalur tersebut. Kana-
pterygomaksillaris yang terlihat pada potongan aksial.6 lis pterygoid menghubungkan foramen lacerum dengan
fossa pterygopalatina.7
Pemeriksaan MRI digunakan untuk evaluasi
tambahan mengenai batas tumor dengan jaringan lunak Pemahaman mengenai pola penyebaran ini pent-
sekitarnya serta mengevaluasi adanya ekstensi ke sinus ing terutama untuk terapi dan mencegah rekurensi Untuk
kavernosus ataupun intrakranial. 6 lebih jelasnya mengenai pola invasi dari JNA, dapat
dilihat di gambar berikut (Gambar 2 dan 3).
Rekurensi dan tumor residu paling baik dilihat
dari MRI. Konfirmasi mengenai diagnosis JNA juga
dapat dilakukan dengan angiografi, yang juga sekaligus
dapat berfungsi sebagai terapi dengan metode embo-
lisasi. Dengan pemeriksaan angiografi dapat terlihat
suplai darah spesifik pada tumor.

Gambar 2.A. Panah kecil adalah kanalis pter ygoid nor -


mal B. Massa di kanalis pterygoid menyebar melalui 3 jalur
utama, tampak pembesaran kanalis pterygoid.6

Beberapa sistem staging telah diusulkan, namun


hingga saat ini belum ada satupun yang menjadi standar
Gambar 1. Tanda Holman-miller6
universal. JNA diklasifikasikan berdasar dari ekstensi
tumor dan ekstensi intrakranial.7
Cabang distal dari Arteri maksillaris interna,
yang bercabang dari A.karotis eksterna, adalah pembuluh Carillo dkk.,14 juga mengusulkan suatu sistem
22
darah utama yang menyediakan suplai darah pada JNA. staging berdasarkan pola penyebaran dan ukuran. Sis-
tem tersebut memprediksikan faktor prognostik dan reku-
Pemeriksaan MRI digunakan untuk evaluasi
rensi yang mungkin terjadi. Sistem staging yang sering
tambahan mengenai batas tumor dengan jaringan lunak
digunakan adalah Andrews (modifikasi dari Fisch),
sekitarnya serta mengevaluasi adanya ekstensi ke sinus
6 Chandler, dan Radkowsi (modifikasi dari Session). Sis-
cavernosus ataupun intrakranial.
tem Andrews dapat dilihat pada Tabel 1, sementara per-
Rekurensi dan tumor residu paling baik dilihat bandingan berbagai staging dapat dilihat pada Tabel 2.
dari MRI. Konfirmasi mengenai diagnosis JNA juga
Onerci dkk.,15 mengusulkan staging dengan sis-
dapat dilakukan dengan angiografi, yang juga sekaligus
tem yang diperbarui mengingat klasifikasi sebelumnya
dapat berfungsi sebagai terapi dengan metode embo-
tidak memasukkan semua aspek dari ekstensi tumor, se-
lisasi. Dengan pemeriksaan angiografi dapat terlihat
bagai contoh fossa pterygomaksillaris merupakan daerah
suplai darah spesifik pada tumor. Cabang distal dari Ar-
awal invasi JNA, sehingga dimasukkan ke Stadium I,
teri maksillaris interna, yang bercabang dari arteri karotis
yang mana pada klasifikasi Andrews adalah Stadium 2
eksterna, adalah pembuluh darah utama yang menye-
dan pada Chandler menjadi Stadium 3.
Radioterapi & Onkologi Indonesia Vol 4(2) Jul 2013:61-70 64

Gambar 3. J alur invasi dar i J NA7

Staging baru yang diusulkan ini berdasarkan Tabel 1. Staging Andrews (Modifikasi Fisch)4
kepada pemahaman bahwa semua tumor stadium I Stadium Deskripsi
dapat diangkat secara total dengan risiko rekurensi I Tumor terbatas di kavum nasi dan nasofaring
sangat rendah. Stadium II berhubungan rekurensi ren- II Ekstensi tumor ke fossa pterygopalatina, maksilla, sphe-
dah ketika teknik operatif yang baik dilakukan. Stadi- noid, atau sinus ethmoid.
um III memiliki risiko rekurensi lebih tinggi dan de- IIIA Ekstensi pada orbit atau fissa infraetmporal
rajat ekstensi intrakranial harus ditentukan dengan IIIB Stadium IIIA , dengan keterlibatam pergerakan kecil
tepat dan hati-hati. Stadium IV memerlukan pendeka- ekstradural.
tan multimodalitas mengingat reseksi komplet tidak IVA Intrakranial ekstradural besar atau ekstensi ekstradular
dimungkinkan. IVB Ekstensi ke sinus cavernosum, hipofisis, chiasma
optikum.

Tabel 2. Per bandingan staging J NA 15

Stadium Chandler, dkk. (1984) Sessions, dkk. (1981) Radkowski, dkk. (1996) Revisi
Terbatas pada hidung
I A Sama dengan Sessions Hidung, rongga nasofaring,
atau rongga nasofaring
Terbatas di rongga nasofaring sinus ethmoid-sfenoid, atau
Meluas ke salah satu atau
B Sama dengan Sessions ekstensi minimal ke PMF
lebih sinus
Ekstensi minimal ke PMF
II A sampai okupasi penuh Sama dengan Sessions Sinus maksilla, okupasi penuh
PMF dari PMF, perluasan ke fossa
Tumor meluas ke kavum nasi
Dengan atau tanpa erosi kranii anterior, dan perluasan
B atau sinus sphenoid Sama dengan Sessions
tulang orbita terbatas pada fossa infratem-
ITF dengan atau tanpa Atau posterior lamina poral
C
pipi pterygoid
Erosi basis kranium, Perluasan ke dalam basis
III A Ekstensi intrakranial
minimal intracranial pterygoid atau sphenoid wing,
Tumor meluas ke antrum,
Erosis basis kranii, ekstensi lateral signifikan ke
sinus ethmoid, PMF, ITF,
intrakranial ekstensif, fossa infratemporal atau ke
B orbita, dan atau pipi
dengan/tanpa sinus lamina pterygoid atau orbita,
kavernosus obliterasi sinus kavernosus
Ekstensi intrakranial diantara
kelenjar hipofisis dan a.karotis
IV Tumor intrakranial interna, lokalisasi tumor, fossa
cerebri media, atau ekstensi
luas intrakranial

( Keterangan: PMF= Fossa Pterygomaksillaris , ITF= Fossa Infra Temporal)


Peranan Radiasi Eksterna Dalam Tatalaksana Juvenile Nasopharingeal Angiofibroma
65 (M. Primasari, S.M. Sekarutami)

Okupasi total dari fossa pterygomaksillaris men- c. Radioterapi


jadi Stadium II, karena daerah tersebut masih dapat di- Pemberian radioterapi pada kasus JNA, secara garis be-
akses dengan mudah. Pada keadaan dimana terdapat in- sar terbagi menjadi:5
vasi tulang, dimasukkan ke dalam Stadium III.Tingkat
kejadian invasi intrakranial kurang lebih sekitar 10-20%  Radioterapi ajuvan pasca operasi dengan residu tumor
dan lebih sering terjadi pada usia yang lebih muda.10,15 Pada tumor yang besar sehingga tidak memung-
kinkan untuk reseksi komplit (residu tumor).
5. Tata Laksana  Radioterapi Definitif
Tata laksana pada JNA memerlukan pendekatan Pada kasus dimana tidak dapat dilakukan tindakan
yang berbeda pada tiap stadiumnya, tergantung kepada pembedahan.
lokasi, esktensi dan besar tumor. Bahkan JNA dapat
 Radioterapi Emergency
mengalami regresi spontan tanpa terapi apapun ketika
pasien telah melewati usia remaja. Regresi spontan ini Radioterapi emergency pada keadaan perdarahan
telah didokumentasikan pada beberapa kasus.4 tumor yang mengancam jiwa.
 Radioterapi Paliatif
a. Embolisasi Mekanisme radiasi pada JNA masih belum
Embolisasi preoperatif pada JNA terbukti diketahui secara jelas. Secara sederhana dapat dijelaskan
menurunkan perdarahan serta membantu visualisasi yang bahwa JNA yang merupakan massa dengan vaskularisasi
lebih baik saat dilakukan pengangkatan tumor. Li dkk tinggi serta sebagian besar terdiri dari kapiler-kapiler
pada penelitian menemukan bahwa jumlah perdarahan hiperplastik, dengan proliferasi endotelial adalah kunci
dan transfusi darah pada pasien berkurang 50% pada tin- utama dimana efek radiasi berperan sehingga
dakan embolisasi preoperatif.4,5 Pada umumnya, embo- menghasilkan obliterasi vaskuler dan kemudian regresi
lisasi dilakukan terlebih dahulu sebelum tindakan operat- massa.16
if, kurang lebih 24-48 jam sebelumnya.4 Beberapa men- Penelitian pada JNA stadium lanjut dengan tera-
gusulkan 24-72 jam pre-operatif. pi radiasi definitif menunjukkan hasil yang baik, yaitu
4
Tindakan embolisasi ini tidak dapat dilakukan kontrol lokal antara 85%-91%. Reddy dkk., memberikan
pada semua tindakan pre-operatif karena selain keun- dosis 30-36 Gy pada 15 pasien dengan stadium III-IV
tungan yang disebutkan di atas, juga terdapat beberapa (klasifikasi Chandler) dengan kontrol lokal sebesar 85%,
kerugian seperti bukti bahwa embolisasi dapat mengaki- 2 pasien dengan pertumbuhan yang tidak berhenti me-
batkan defisit neurologis, stroke, kebutaan, bahkan dapat merlukan terapi pembedahan dan pada beberapa4 kasus
mengaburkan batas-batas tumor sehingga dapat me- regresi dapat terjadi 2 tahun atau lebih. Lee dkk., mem-
nyebabkan reseksi inkomplit dan rekurensi di kemudian berikan dosis 30-40 Gy dengan hasil 85% stabil dan
hari.4 Komplikasi yang tidak diharapkan tersebut men- mengalami regresi sementara 15% tidak 6
berespons dan
capai 20% dari semua tindakan embolisasi. 5 memerlukan terapi lainnya. Brian dkk., dan Cummings
6
dkk., memberikan dosis radiasi primer rata-rata 30-35
Untuk mengurangi perdarahan juga dapat dil- Gy (dalam 15 fraksi selama 3 minggu) dengan kontrol
akukan dengan anestesi umum hipotensif, koblasi radiof- lokal sebesar 80%.
rekuensi. Selain untuk mengurangi perdarahan, embo-
lisasi juga dapat digunakan sebagai tindakan terapeutik.5 Pendapat lain menyatakan bahwa dosis radiasi
eksterna pada residu tumor adalah 25-50 Gy dengan do-
sis rata-rata 40 Gy dan median 37,5 Gy, diberikan
b. Tindakan Operatif dengan dosis per fraksi 2 Gy/hari. Stereotactic Radiosur-
gery (SRS) dapat dilakukan pada reseksi inkomplit
Pengangkatan tumor merupakan modalitas terapi dengan catatan besar residu tidak melebihi diameter 3 cm
utama pada JNA stadium awal. Pembedahan dapat dil- dan tidak dekat dengan jalur optik. Dosis yang diterima
akukan secara terbuka ataupun endoskopik maupun kom- oleh margin tumor antara 14-16 Gy, yaitu 50% dari kur-
binasi keduanya dengan teknik pendekatan operasi yang va isodosis.5
berbeda-beda tergantung dari lokasi dan ekstensi tumor.
Meskipun jarang, radiasi dapat menyebabkan
Pendekatan secara endoskopik pada Stadium I efek lanjut, seperti keganasan sekunder pada daerah
dan II (Staging Andrews) pada beberapa pasien kepala leher.4-6,17 Keganasan sekunder yang sering
menghasilkan waktu rawat di rumah sakit yang lebih dilaporkan adalah karsinoma tiroid dan sarkoma.6
singkat, yaitu antara 33 jam-54 jam pasca operasi semen-
tara pada pendekatan terbuka dapat mencapai 5 hari.4 Reddy dkk.,4 mendapatkan 1 pasien yang men-
galami karsinoma sel basal. Transformasi tumor menjadi
ganas dengan peningkatan dosis radiasi juga sangat ja-
rang. Dari penelitian Reddy dkk.,4 hanya 1 dari 15 pasien
Radioterapi & Onkologi Indonesia Vol 4(2) Jul 2013:61-70 66

yang menderita karsinoma sel basal 14 tahun pasca radi- kurabilitas 85% pada terapi definitif sampai dengan
asi eksterna, atau sebanyak 6%.17 Komplikasi lain yang 100% pada radiasi ajuvan pasca operasi/ tumor residu
mungkin timbul dari radiasi adalah panhipopituitarisme, dan respons komplet dicapai dalam waktu 1-39 bulan
retardasi pertumbuhan, katarak, keratopati radiasi, nekro- (median 13 bulan).10,18
sis lobus temporal, sindrom akibat gangguan pada sistem
saraf pusat.4-6,17 Meskipun secara teori disebutkan mengenai ban-
yaknya komplikasi berat yang timbul setelah radiasi,
Teknik radiasi Konformal 3 Dimensi (3D-CRT) tetapi dari hasil penelitian yang sudah dilakukan tidak
atau Intensity Modulated Radiation Therapy (IMRT), didapatkan hal yang serupa seperti teori tersebut. Kom-
mungkin dapat menghasilkan tingkat kontrol lokal setara plikasi yang justru sering terjadi adalah inflamasi serta
dengan morbiditas yang lebih rendah.4,8 Teknik IMRT keringnya lapisan mukosa, xerostomia dan caries dentis
telah dilakukan untuk tatalaksana JNA ekstensif dan sebagai akibat dari xerostomia.10
rekuren, dan dilaporkan memberikan hasil yang baik.16
Efek lanjut cukup besar ( 32%) dilaporkan ter-
Pada teknik 3D-CRT dan IMRT yang dilakukan dapat pada sebuah studi yang dilakukan di Florida dari
di India, digunakan cakupan PTV 4-5 mm dengan kurva tahun 1975-2003.5
isodosis 95%. Dosis yang diterima tumor adalah 30-46
Gy, dengan margin tumor sebesar 20 Gy. Efek akut 6. Follow up
dilaporkan masih dalam batas aman, tidak ada yang men-
capai RTOG 3 atau 4. Sementara untuk efek lambat
dilaporkan 1 orang pasien dengan rhinitis persisten. Satu Follow up jangka panjang perlu dilakukan kare-
pasien meninggal sebulan setelah menyelesaikan radiasi na adanya kemungkinan rekurensi dan efek lanjut dari
karena epistaksis masif.9 radiasi. Angka rekurensi murni pasca reseksi total adalah
50% yang terjadi dalam kurun waktu Antara 2-4 tahun
IMRT mampu memberikan limitasi dosis pada ayau raya-rata 37 bulan pasca operasi.5
nervus optikus, chiasma optikum, brainstem, otak, me-
dulla spinalis, lensa, retina, mandibula dan parotis. Do- Kebanyakan rekurensi pasca operasi muncul da-
sis total yang diterima tumor adalah sebesar 34-45 Gy. lam waktu 12 bulan pertama dan follow up rutin dalam
Tumor mengecil dalam waktu 15 dan 40 bulan. Efek waktu tersebut amatlah penting karena masih dapat dil-
akut dilaporkan masih dalam batas aman, tidak ada yang akukan operasi revisi dengan morbiditas minimal. Pasien
mencapai RTOG 3 atau 4. Sementara untuk efek lambat yang menjalani penelitian terutama berada pada Stadium
dilaporkan 1 orang dengan rhinitis persisten. Satu pasien II dan
19
III klasifikasi Chandler, dengan beberapa stadium
meninggal sebulan setelah menyelesaikan radiasi karena IV.
epistaksis massif.9 Laki-laki usia remaja merupakan ciri utama JNA
Dengan IMRT dapat diberikan dosis yang lebih yang lebih ekstensif. Gejala yang timbul juga khas. Kelu-
besar dari 45 Gy dengan toksisitas minimal dibanding- han awal dari pasien adalah hidung sering tersumbat,
kan pada radiasi konvensional yang tidak memungkinkan dengan keluarnya ingus bercampur darah serta epistaksis
untuk dosis tinggi sehubungan dengan morbiditas tinggi berulang. Gejala yang dirasakan pasien sekitar bulan
akibat banyaknya dosis yang diterima jaringan normal.9 Juni-Juli 2012 berupa kelopak mata yang jatuh ke bawah
melibatkan fossa kranial dan infratemporal, tingkat reku-
Sebuah studi di Jepang terhadap pasien JNA rensi setelah operasi dapat mencapai 55%. Tingkat reku-
yang menolak tindakan operatif, dilakukan tindakan radi- rensi tercatat rendah, yaitu 15%, di Austria dikarenakan
asi menggunakan cyberknife dengan total dosis maksi- deteksi dini dari JNA, dan rata-rata pasien memiliki lesi
mum yang diterima sebesar 4.512 cGy dalam 3 kali tera- yang tidak ekstensif.20
pi. Hasil yang didapat cukup memuaskan, dengan nekro-
sis tumor 3 bulan setelah terapi dan hampir sepenuhnya Penelitian retrospektif di UCLA dari tahun 1960-
hilang setelah 7 bulan. Pada penelitian yang dilakukan 2000 menunjukkan rekurensi terjadi pada 4 dari 27
Cummings dan Reddy seperti disebutkan sebelumnya, pasien yang diterapi dengan menggunakan teknik kon-
juga didapatkan hasil yang memuaskan, dengan tingkat vensional dan 3D. Seratus persen rekurensi dan efek
lanjut terjadi pada teknik konvensional.21
Pada penelitian di Jepang dengan cyberknife,
follow up selama 2 tahun menunjukkan hasil yang
memuaskan, yaitu tidak ditemukan rekurensi maupun
efek lanjut yang berbahaya.12

Ilustrasi Kasus
Seorang pasien laki-laki usia 17 tahun dengan
keluhan kehilangan penciuman terutama sisi kiri,
Gambar 4. Treatment planning IMRT perdarahan berulang dari hidung. Kelopak mata kiri yang
Peranan Radiasi Eksterna Dalam Tatalaksana Juvenile Nasopharingeal Angiofibroma
67 (M. Primasari, S.M. Sekarutami)

Tabel 3. Hasil r adiasi dar i pasien dengan r adiasi pr imer . 21

Periode Jumlah Perluasan Penyakit Dosis Teknik Radiasi Jumlah Reku- Komplikasi
Waktu Pasien Radiasi rensi
1960- 14 14- perluasan intrakranial 3 -5,5 Gy Co-60 atau 2 1-panhipopituitarisme
1985 Akselerator
Linier
1986- 10 6-Fossa Pterygomaksillaris 36-40 Gy Co-60 atau 2 1-hambatan pertumbuhan
1998 dengan ekstensi intrakranial Akselerator
1- fossa pterygomaksilaris dan Linier (2 tidak
orbita tanpa perluasan intrakra- diketahui)
nial

3-Fossa pterygomaksilaris tanpa


perluasan ke orbita tanpa dan
intracranial, dengan asupan
pembuluh darah dari a.karotis
interna

1999- 3 3–perluasan intrakranial 36-40 Gy CT-Konformal 0 Tidak ada


2002

terasa berat dan susah dibuka. Penglihatan kiri menjadi Dua minggu pasca radiasi eksterna, keluhan
buram. Rhinoskopi posterior dan nasoendoskopi perdarahan sudah tidak ada lagi, keluhan nyeri kepala
memperlihatkan massa nasofaring kemerahan berbenjol maupun gangguan penglihatan tidak ada.
yang rapuh mudah berdarah.
Konfirmasi dengan CT scan memperlihatkan
massa sinonasal dengan kesan malignan yang meluas Diskusi
hingga sinus maksilaris, ethmoidalis, dan sfenoidalis Keluhan sakit kepala dan gangguan penglihatan
mengisi rongga nasofaring kanan kiri, mendestruksi menimbulkan kecurigaan adanya keterlibatan sinus cav-
dinding medial sinus maksilaris dan menginfiltrasi ernosus, fissura superior orbita, dan invasi intrakranial.
parasella. Patologi anatomi mengkonfirmasi diagnosis
Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma T4bN0Mx Diagnosis kerja yang ditegakkan dari rhinoskopi
dan nasoendoskopi serta CT scan adalah suspek JNA
Pasien menjalani ekstirpasi massa dengan DD/ karsinoma nasofaring. Pada CT scan lebih cender-
perdarahan masif intraoperatif, sehingga tindakan ung/ mencurigai ke arah malignancy pada sinonasal.
dihentikan dan dilakukan pemasangan tampon dan
perawatan ICU. Pasien menjalani radiasi eksterna Pasien menjalani tindakan operatif pada hari
hemostasis 3DCRT 20 x 2 Gy, setelah evaluasi Senin, 10 September 2012, dengan metode pendekatan
perdarahan berhenti dilanjutkan dosis kuratif ajuvan secara terbuka. Pada tindakan tersebut didapatkan
sampai dengan 50 Gy. Kurva cakupan isodosis dapat perdarahan masif sehingga tindakan dihentikan kemudi-
dilihat di Gambar 5 dan treatment planning di Gambar 6. an ditampon Balloq dan tampon anterior. Pasien kemudi-
an dikonsulkan ke radioterapi hari Jumat, 14 September
2012 untuk dilakukan tindakan radiasi eksterna cito he-
mostasis sebelum rencana pelepasan tampon hari Senin,
17 September 2012. Pasien juga dikonsulkan ke radiologi
GTV, untuk dilakukan tindakan intervensi embolisasi.
PTV,
CTV Evaluasi dari radioterapi saat itu adalah tidak
Eye L memungkinkan untuk dilakukan tindakan radiasi hemo-
stasis hanya dengan 1 kali radiasi saja, karena dosis yang
diberikan akan menjadi sangat besar dan tidak efektif
Eye R Chiasma Optic serta banyak organ at risk/ jaringan sehat yang berpotensi
menerima dosis radiasi besar dengan tingkat morbiditas
Spinal Cord tinggi. Selain itu melihat ekstensi tumor ke intrakranial,
akan ada kemungkinan untuk dilakukan radiasi ajuvan
setelahnya. Radiasi eksterna cito hemostasis tidak diberi-
Gambar 5. Kur va cakupan isodosis. ( GTV: Gross kan pada saat itu karena pertimbangan-pertimbangan
Tumor Volume, PTV: Planning Target Volume, CTV: tersebut.
Clinical Target Volume)
Radioterapi & Onkologi Indonesia Vol 4(2) Jul 2013:61-70 68

Pada hari Senin, 17 September 2012 dilakukan dapat dilakukan tindakan pembedahan, maka pilihan ter-
pelepasan tampon dan perdarahan masih banyak sehing- api adalah melakukan tindakan operatif semaksimal
ga pasien ditampon kembali dan dikonsulkan ulang ke mungkin dan residu tumor diterapi dengan radiasi ekster-
radioterapi. na.24 Untuk komplikasi perdarahan masif yang terjadi,
dapat disarankan untuk embolisasi preoperatif sebe-
Dari hasil evaluasi, pasien kemudian direncana-
lumnya. Saat ini pasien sedang menjalani terapi radiasi
kan untuk menerima radiasi ajuvan cito pasca operasi
dengan efek akut yang dapat ditoleransi.
mengingat adanya ekstensi intrakranial yang tidak
memungkinkan untuk tindakan reseksi komplet. Dosis Dosis dan teknik radiasi yang diberikan sesuai
yang direncanakan adalah 40 Gy kemudian dievaluasi, dengan dosis dan teknik terbaik dari hasil penelitian. Be-
dengan teknik 3D konformal untuk sparing jaringan nor- sar dosis tidak menjadi faktor penentu rekurensi. Dengan
mal. teknik yang lebih konformal, dosis yang lebih besar
dapat diberikan dengan morbiditas minimal pada
Secara tatalaksana, tindakan pada JNA dengan
jaringan sehat sekitarnya.
lokasi atau posisi yang inoperable adalah indikasi radiasi
23
definitif, sementara pada tumor-tumor yang masih

Gambar 6. Treatment planning


Peranan Radiasi Eksterna Dalam Tatalaksana Juvenile Nasopharingeal Angiofibroma
69 (M. Primasari, S.M. Sekarutami)

karena secara klinis sulit dibedakan dengan tumor/ kega-


Kontrol rutin berkala terutama dalam 1 tahun nasan di daerah sinonasal atau nasofaring lainnya. Pada
pertama untuk mencegah timbulnya rekurensi dan me- tatalaksana JNA, terapi utama adalah terapi pembedahan
mantau efek samping lanjut yang mungkin dapat terjadi. terutama pada stadium awal dimana reseksi total masih
Meskipun rekurensi besar dan efek samping lanjut pasca dapat dilakukan. Pada tumor dengan lokasi sulit di-
radiasi yang terjadi terutama adalah pada teknik konven- jangkau oleh tindakan pembedahan, ekstensi intrakranial
sional, tetapi kontrol rutin berkala untuk pemantauan ataupun residu, radiasi eksterna memegang peranan pent-
tetap harus dilakukan berkolaborasi dengan bagian THT. ing dimana tingkat kurabilitasnya cukup tinggi yaitu 85-
100% dengan efek samping lanjut yang masih dapat
ditoleransi serta rekurensi minimal.23
Kesimpulan
Diagnosis JNA memerlukan bantuan pemerik-
saan penunjang terutama CT, MRI ataupun angiografi

Daftar Pustaka

1. Brady, L.W. Heilmann, H.P. Molls, Michael. 9. Kuppersmith RB, Teh BS, Donovan DT, Mai
Nieder, Carsten. Radiotherapy for Non Malignant WY, Chiu JK, Woo SY, et al. The use of intensity
Disorders. Germany: Springer-Verlag Berlin Heidel- modulated radiotherapy for the treatment of ex-
berg; 2008. tensive and recurrent juvenile angiofibroma. Int J
Pediatr Otorhinolaryngol. 2000; 52:261-68
2. Seegenschmiedt, Heinrich,M. In: Radiotherapy for
Non Malignant Disorders, editors: Brady, L.W. 10. Coutinho-Camillo CM, Brentani MM, Nagal MA.
Heilmann, H.P. Molls, Michael. Nieder, Carsten. Genetic alterations in juvenile nasopharyngeal
Germany: Springer-Verlag Berlin Heidelberg; 2008. angiofibromas. Head & Neck. 2008;30(3): 390-
3. Seegenschmiedt, Heinrich, M. Schäfer, Ulrich. Clin- 400.
ical Principles. In: Radiotherapy for Non Malignant 11. Carlos R, Thompson LDR, Netto AC, Pimenta
Disorders, editors: Brady, L.W. Heilmann, H.P. LGGS, Correia-Silva JdF, Gomes CC, Gomez RS.
Molls, Michael. Nieder, Carsten. Germany: Spring- Epstein-Barr Virus and Human Herpes Virus-8
er-Verlag Berlin Heidelberg; 2008. are not associated with juvenile nasopharyngeal
4. Blount A, Riley K, Woodworth BA. Juvenile Naso- angiofibroma. Head Neck Pathol.2008;2(3): 145–
9.
pharyngeal Angiofibroma. Otolaryngol Clin N Am
2011; 44:989-1004 12. Deguchi K, Fukuiwa T, Saito K, Kurono Y. Ap-
plication of cyberknife for the treatment of juve-
5. Roche PH, Paris J, Regis J, Moulin G, Zanaret M,
Thomassin JM, et al. Management of invasive juve- nile nasopharyngeal angiofibroma: a case report.
nile nasopharyngeal angiofibromas: the role of mul- Auris, Nasus, Larynx. 2002; 29:395-400
timodality approach. Neurosurgery. Oct 2007; 13. Kim YH, Kim BJ, Jang TY. Lymphoepithelial
61(4):768-77 carcinoma of the nasal cavity mimicking juvenile
6. Garça MF, Yuca SA, Yuca K. Juvenile Nasopharyn- angiofibroma. Auris Nasus Larynx. 2012; 39(5):
geal Angiofibroma. Review Article: Eur J Gen Med. 519–22
2010; 7(4):419-25 14. Carillo JF, Maldonado F, Albores O, Ramirez-
7. Liu ZF,Wang DH, Sun XC, Wang JJ, Hu L, Li H, et Ortega MC, Onate-Ocana LF. Juvenile Nasopha-
ryngeal Angiofibroma: Clinical factors associated
al. The site of origin and expansive routes of juve-
nile nasopharyngeal angiofibroma (JNA). Int J Pe- with recurrence, and proposal of a staging system.
diatric Otorhinolaryngol. 2011 (75):1088-92 Journal of Surgical Oncology. 2008;98:75–80.

8. Chakraborty S, Ghoshal S, Patil VM, Oinam AS, 15. Onerci M, Ogretmenoglu O, Yucel T. Juvenile
Sharma SC. Conformal Radiotherapy in The Treat- nasopharyngeal angiofibroma: a revised staging
ment of Advanced Juvenile Nasopharyngeal Angio- system. Rhinology. 2006; 44:39-45.
fibroma With Intracranial Extension: An Institution-
al Experience. Int. J Radiat Oncol Biol Phys. 2011;
80(5):1398–404
Radioterapi & Onkologi Indonesia Vol 4(2) Jul 2013:61-70 70

16. Park CK, Kim DG, Paek SH, Chung HT, Jung HW. 20. Scholtz AW, Appenroth E, Kammen-Jolly K,
Recurrent Juvenile nasopharyngeal angiofibroma Scholtz LU, Thumfart WF. Juvenile nasopharyngeal
treated with gamma knife surgery. J Korean Med angiofibroma: management and therapy. Laryngo-
Sci. 2006; 21: 773-7. scope.2001;111:681–7.
17. Marshall AH, Bradley PJ. Management dilemmas in 21. Lee JT, Chen P, Safa A, Juillard G, Calcaterra TC.
the treatment and follow-up of advanced juvenile The role of radiation in the treatment of advanced
nasopharyngeal angiofibroma. ORL J Otorhino- juvenile angiofibroma.Laryngoscope. 2002; 112:
laryngol Relat Spec. 2006;68:273–8. 1213-1220.
18. McAfee, William J, Morris, Christopher G, Amdur, 22. Nicolai P, Schreiber A, Vilaret AB. Review Article
Robert J, et al. Definitive radiotherapy for juvenile Juvenile Angiofibroma: Evolution of management.
nasopharyngeal angiofibroma. Am J Clin Oncol. Int J Pediatr. 2011: 2012:412-545
2006; 29(2):168-70. 23. Mattei TA, Nogueira GF, Ramina R. Juvenile Naso-
19. Hassan S, Abdullah J, Abdullah B, Jihan S, Jaafar H, pharyngeal Angiofibroma with intracranial exten-
Abdullah S. Appraisal of clinical profile and man- sion. Otolaryngol Head Neck Surg. 2011;
agement of juvenile nasopharyngeal angiofibroma in 145(3):498-504.
Malaysia. Malays J Med Sci. 2007; 14(1): 18–22.
Tatalaksana Radiasi pada Kanker Esofagus
71 (Annisa Febi Indarti, Sri Mutya Sekarutami)

Tinjauan Pustaka
Tatalaksana Radiasi Pada Kanker Esofagus
Annisa Febi Indarti, Sri Mutya Sekarutami
Departemen Radioterapi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
Abstrak / Abstract
Kanker esofagus merupakan keganasan pada saluran cerna dengan insidensi yang rendah,
Informasi Artikel namun memiliki angka mortalitas yang tinggi. Tatalaksan kanker esofagus mulai bergeser
Riwayat Artikel dari mengurangi gejala menjadi meningkatkan survival. Tatalaksana yang ada pada saat ini,
baik monomodalitas ataupun multimodalitas belum memberikan hasil yang memuaskan.
 Diterima Mei 2013
Radiasi pada kanker esofagus dapat berperan sebagai terpai kuratif dan paliatif. Terapi
 Disetujui Juni 2013 kuratif kanker esofagus akan memberikan hasil yang terbaik jika menggabungkan modalitas
bedah, radiasi dan kemoterapi.
Kata Kunci: kanker esophagus, r adioter api, kemor adiasi,

Alamat Korespondensi Esophageal cancer is a malignancy of the gastrointestinal tract with a low incidence, but
dr.Annisa Febi Indarti has a high mortality rate. Esophageal cancer treatments began to shift from reducing
Departemen Radioterapi RSUPN symptoms to an atempt to improve survival. Procedures available at this time, both
Dr. Cipto Mangunkusumo, multimodality and monomodalitas are not giving satisfactory results. Radiation in
Fakultas Kedokteran Universitas esophageal cancer may act as curative and palliative. Curative treatment of esophageal
Indonesia, Jakarta cancer will provide the best results when combining the modalities of surgery, radiation
E mail: and chemotherapy.
annisa.febi@gmail.com Keywords: Esophageal cancer , Radiotherapy, chemoradiation

Hak cipta ©2013 Perhimpunan Dokter Spesialis Onkologi Radiasi Indonesia

Pendahuluan bantu meningkatkan angka kesintasan pada kanker


esofagus.3
Sejarah pengobatan kanker esofagus telah ter-
catat sejak zaman Mesir kuno, sekitar tahun 3000 Sebe- Kanker Esofagus
lum Masehi. Dalam beberapa abad terakhir, telah
berkembang proses diagnostik/visualisasi dan tatalaksa- 1. Epidemiologi
na penyakit ini, namun tidak meningkatkan angka
kesintasannya. Di era ini, arah tatalaksana kanker esofa- Keganasan pada esofagus adalah jenis kega-
gus adalah meningkatkan angka kesintasan, sekaligus nasan ke-8 terbanyak di dunia, dengan angka mortali-
diagnosis dini dari penyakit ini.1 tas yang terburuk setelah keganasan pada hepatobilier
dan pankreas. Kanker ini merupakan penyebab
Data WHO pada tahun 2008, kanker esofagus tersering ke-6 dari kematian akibat kanker. Dari se-
menempati urutan ke-8 kanker yang tersering dijumpai luruh keganasan pada saluran cerna, 5% adalah kanker
di dunia, dan merupakan penyebab ke-6 kematian akibat esofagus. Di Amerika, pada tahun 2009 terdiagnosa
kanker. Penyakit ini dua sampai empat kali lebih banyak 16.470 kasus kanker esofagus dengan estimasi angka
dijumpai pada laki-laki daripada perempuan. Kanker kematian 14,530. Insidensnya meningkat seiring usia,
esofagus adalah tumor dengan angka keganasan tinggi, dan memuncak pada dekade ke-6 dan 7. Median usia
prognosisnya buruk, serta angka kesintasan yang penderita kanker esofagus adalah 69 tahun, dengan
rendah.2 perbandingan laki-laki dan wanita adalah sekitar 3:1.
Penyakit ini banyak dijumpai di China, Iran, Afrika
Tatalaksana kanker esofagus pun mengalami Selatan, India dan Rusia.4,5
perubahan dari terapi tunggal (monomodalitas) menjadi
terapi kombinasi (multimodalitas), yaitu pembedahan, Lebih dari 90% kanker esofagus merupakan
radiasi dan kemoterapi. Dengan perkembangan radioter- karsinoma sel skuamosa dan adenokarsinoma. Sekitar
api, diharapkan kontribusi dari terapi radiasi dapat mem- tahun 1960an, adenokarsinoma, yang terkait dengan
Radioterapi & Onkologi Indonesia Vol 4(2) Jul 2013:70-76 72

rokok dan alkohol, mendominasi histologi kanker eso- 3. Faktor Risiko


fagus. Namun sejak tahun 2006, terjadi perubahan tren,
dimana kesadaran akan bahaya rokok dan alkohol mulai Jenis histologi dari kanker esofagus erat kai-
meningkat, sementara gaya hidup menyebabkan tannya dengan faktor risiko. Jenis Karsinoma sel skua-
meningkatnya angka obesitas dan penyakit refluks gas- mosa berkaitan dengan rokok dan alkohol, sindrom
troesofageal (GERD). Hal ini menyebabkan histologi Plummer-Vinson, trauma kaustik pada esofagus, ri-
terbanyak dari kanker esofagus adalah karsinoma sel wayat kanker kepala-leher sebelumnya, akalasia. In-
skuamosa.3 feksi HPV dihubungkan dengan ~20% kasus di daerah
insidens tinggi (China, Afrika, Jepang).
2. Anatomi
Jenis Adenokarsinoma berkaitan dengan obe-
Esofagus merupakan bagian dari saluran pen- sitas, penyakit refluks gastroesofageal (GERD), Bar-
cernaan yang berbentuk tabung dengan panjang sekitar rett’s esophagus, rendah konsumsi serat, status sosio-
25 cm. Bagian proksimal mulai dari m.cricopharyngeus ekonomi rendah.
sampai setinggi kartilago krikoid dilapisi epitel skuamo-
sa bertingkat berkeratin, sementara bagian distal (5-10 4. Patologi
cm) sampai gastroesophageal junction mungkin
mengandung elemen glandular. Jenis yang paling sering dijumpai adalah
karsinoma sel skuamosa, hampir 95% dari kanker eso-
Dalam tatalaksana kanker esofagus, penting fagus. Umumnya berdiferensiasi buruk dan berkeratin
untuk diketahui lokasi tumor. Secara umum, esofagus minimal, jenis ini mempunyai angka penyebaran ke
dibagi menjadi bagian servikal dan torasik. Bagian kelenjar getah bening dan metastasis jauh yang lebih
servikal dimulai dari m.cricopharyngeus (sekitar seting- tinggi daripada tipe lainnya. Angka kesintasannya ada-
gi C7 atau 15 cm dari insisor) sampai thoracic inlet lah 5 – 30%. Tipe lain yang menempati urutan kedua
(sekitar setinggi T3 atau 18 cm dari insisor). Sementara adalah adenokarsinoma, sekitar 3 – 5% dari keganasan
bagian torasik berlanjut sampai sekitar setinggi T10-11. pada esofagus. Jenis ini biasanya ditemukan pada lesi
Dari endoskopi, GE junction adalah bagian pertama kali yang terletak di bagian bawah dan dekat dengan
terlihat lipatan gaster, namun lokasinya lebih akurat esophagogastric junction, hanya 2% yang dijumpai di
dilihat secara histologi, yaitu junction skuamokolumnar. bagian ½ atas esofagus dan 8 – 10% di bagian ½
Titik acuan yang biasa digunakan saat endoskopi adalah bawah.
carina (sekitar 25 cm dari insisor) dan G.E junction
(sekitar 40 cm dari insisor). Selain klasifikasi tersebut, Adenokarsinoma umumnya berasal dari kelen-
AJCC (American Joint Committee on Cancer) membagi jar submukosa, dan memiliki prognosis yang lebih
esofagus menjadi 4 bagian, yaitu cervical, upper thorac- baik daripada karsinoma sel skuamosa. Adenokarsino-
ic, mid-thoracic dan lower thoracic (Gambar 2).6,7 ma terkait dengan riwayat rokok dan alkohol, serta
dapat berkembang dari esofagitis Barrett’s. Dahulu,
tumor jenis ini mendominasi jenis sel pada keganasan
esofagus, namun seiring meningkatnya kesadaran akan
bahaya rokok dan alkohol, maka jenis ini lebih jarang
dijumpai. Sementara pola hidup masa sekarang yang
banyak menimbulkan penyakit GERD, menonjolkan
karsinoma sel skuamosa menjadi histopatologi yang
paling banyak dijumpai pada keganasan esofagus.

Histopatologi lainnya adalah small cell, mela-


noma, adenoid kistik (cylindroma), karsinosarkoma,
pseudosarkoma, limfoma dan metastasis dari primer di
tempat lain. Small cell menunjukkan karakteristik neu-
roendokrin dan dapat mensekresi ADH, ACTH dan
kalsitonin, serta memiliki prognosis yang buruk. Tipe
mukoepidermoid sangat jarang ditemukan, umumnya
Gambar 1. Anatomi esofagus7 dijumpai pada usia tua dan lesi terletak di setengah
bawah dari esofagus.7

5. Diagnostik

a . Manifestasi Klinis
Gejala klinis yang dilaporkan lebih dari 90%
pasien adalah disfagia dan penurunan berat badan, se-
mentara sekitar 50% mengeluhkan odinofagia (nyeri
menelan). Keluhan lain yang sering dijumpai adalah
kesulitan menelan, batuk yang tak kunjung sembuh
dan suara serak. Pasien dapat mengeluhkan kesulitan
menelan yang diawali dengan kesulitan menelan ma-
Gambar 2. Dr ainase limfatik esofagus 7 kanan padat (yang biasa dimakan pasien), kemudian
perubahan konsistensi makanan menjadi lunak dan
73 Radiasi pada Kanker Esofagus
(AF. Indarti, SM. Sekarutami)

lembut, hingga tidak dapat menelan sama sekali dan metastasis jauh masih sulit ditekan dengan berbagai
memuntahkan makanan kembali (obstruksi total). Dari pendekatan terapi, dan dijumpai lebih dari 50% pada
anamnesa, dapat pula digali factor-factor yang dapat follow-up pasien setelah terapi. Kebanyakan pasien,
memperburuk prognosis, riwayat merokok, konsumsi ditambah dengan status nutrisi yang umumnya
alkohol, nitrosamin maupun penyakit GERD. menurun, sulit menoleransi terapi multimodalitas, se-
mentara terapi monomodalitas memiliki angka keber-
Pada pemeriksaan fisik, massa di esofagus hasilan yang tidak memuaskan.
dapat tidak teraba dari luar. Perlu dilakukan pemerik-
saan limfadenopati, di regio colli dan supraklavikula. Arah pengobatan kanker esofagus saat ini ada-
Hal yang perlu dinilai dengan cermat adalah status nu- lah terapi multimodalitas, sesuai hasil-hasil studi yang
trisi pasien, karena penurunan status nutrisi pun perlu menunjukkan angka keberhasilan lebih baik
menjadi perhatian kita dalam tatalaksana kasus ini.7,8 dibandingkan terapi monomodalitas. Tatalaksana
kanker esofagus, dilakukan berdasarkan stadium, serta
b. Pemeriksaan Penunjang terdiri dari tiga modalitas utama, yaitu pembedahan,
Pemeriksaan penunjang untuk kanker esofagus kemoterapi dan radioterapi.
antara lain:
 Laboratorium darah: darah perifer lengkap, kimia a. Pembedahan
darah, fungsi hati Pembedahan merupakan pilihan standar untuk
 Esofagogram dengan barium tumor tahap awal. Namun sekitar 50% reseksi kuratif
 Esofagoskopi, dapat sekaligus dilakukan biopsi sulit dilakukan karena ternyata kondisi tumor in-
 CT-scan traoperatif lebih ekstensif daripada saat pemeriksaan
Dengan ambang batas penilaian suatu malignansi klinis. Median dari angka kesintasan pasien dengan
adalah 10 mm, CT scan memiliki akurasi 51 – 70% tumor yang resectable adalah 11 bulan.
dalam mendeteksi KGB mediastinum, sementara
dengan ambang batas penilaian suatu malignansi Teknik operasi yang umum dilakukan adalah
adalah 8 mm, CT scan memiliki akurasi 79% dalam esofagogastrostomi, atau esofagektomi dengan gastric
mendeteksi KGB di sekitar gaster dan celiac axis. pull-up. Laparotomi dapat sekaligus dikerjakan untuk
 PET scan melihat perluasan di bawah diafragma bila ada
Peningkatan metabolisme glukosa oleh tumor men- kecurigaan ke arah sana. Pada tumor di daerah
jadi dasar mekanisme diagnostik dengan FDG servikal, mungkin dilakukan radical neck dissection
(fluoro-182-deoxyglucose) – PET. Terdapatnya sekaligus, terutama bila jenis tumor adalah karsinoma
peningkatan akumulasi analog glukosa (FDG) dapat sel skuamosa.
menunjukkan penyakit dalam tahap awal sebelum
terjadi perubahan struktural yang abnormal. FDG b. Kemoterapi
PET juga lebih superior dari CT scan dalam evalua- Kemoterapi tidak efektif sebagai modalitas
si metastasis jauh. tunggal. Penggunaan kemoterapi cisplatin-based dapat
 Pemeriksaan penunjang lain sesuai indikasi: bone
memberikan respons pada 30 – 50% kasus, namun
scan, USG abdomen, dan lain-lain.6,8 umumnya bukan respons komplit. Kemoterapi dapat
diberikan bersama dengan radioterapi (kemoradiasi).
c. Penentuan Stadium
Sebagaimana keganasan lain, stadium sangat Kemoradiasi sebagai terapi definitif menjadi
menentukan tatalaksana. Penentuan stadium kanker pilihan pada kasus-kasus yang inoperabel. Terapi ini
esofagus yang umum digunakan saat ini adalah menurut memberikan local control dan overall survival yang
AJCC (American Joint Committee on Cancer).7 lebih superior daripada radiasi saja. Suatu studi oleh
Eastern Cooperative Oncology Group (ECOG) mem-
6. Prognosis bandingkan pemberian radiasi saja (60 Gy) dengan
kemoradiasi (RE 60 Gy bersama dengan 5-FU/
Kanker esofagus biasanya dijumpai sudah da- mitomycin- C). hasilnya, angka kesintasan 2 tahun
lam keadaan lanjut. Tujuh puluh lima persen pasien adalah 12% pada kelompok pasien yang mendapat ra-
terdapat limfadenopati, dengan angka kesintasan pasien diasi saja, dan 30% pada kelompok pasien yang
3%. Sementara pasien tanpa limfadenopati, mempunyai mendapat kemoradiasi, dengan median survival 14,9
angka kesintasan 42%. Sekitar 18 % pasien mengalami bulan berbanding 9,0 bulan, masing-masing kelompok.
metastasis jauh, terbanyak ke KGB abdominal (45%),
diikuti hepar (35%), paru (20%), KGB supraklavikula Kemoradiasi juga dapat diberikan preoperatif
(18%), tulang (9%) dan ke tempat lain. pada tumor-tumor yang dinilai resectable. Pemberian
kemoradiasi tidak mempengaruhi angka kesintasan,
Faktor-faktor yang dapat memperburuk progno- namun memperpanjang waktu rekurensi tumor. Se-
sis adalah laki-laki, usia >65 tahun, performance status mentara pemberian kemoradiasi postoperatif menun-
yang buruk dan penurunan status nutrisi yang berat.6,8 jukkan sedikit penurunan angka relaps dalam 5 tahun
(85% menjadi 70%), terutama pada pasien dengan N0,
7. Tatalaksana namun juga tidak memperbaiki angka kesintasan.8

Secara umum, kanker esofagus masih dianggap c. Radiasi


sulit. Penerapan terapi kombinas (multimodalitas) be- Selama ini telah dilaporkan pemberian radiasi
lum menunjukkan hasil yang memuaskan, terutama da- secara neoadjuvan dan adjuvan konkuren dengan
lam locoregional failure dan angka kesintasan. Laju kemoterapi, maupun radiasi saja. Untuk mendapat
Radioterapi & Onkologi Indonesia Vol 4(2) Jul 2013:70-76 74

Tabel 1. Stadium kanker esofagus ber dasar kan AJ CC

Primary Tumor (T)


Tx Primary tumor cannot be assessed
T0 No evidence of primary tumor
T1 High-grade dysplasia**
T1a Tumor invades lamina propria or submucosa
T1b Invasion of lamina propria or muscularis mucosa
Invasion of submucosa
T2 Tumor invades muscularis propria
T3 Tumor invades adventitia
T4 Tumor invades adjacent structures
T4a Resectable tumor invading pleura, pericardium, or diaphragm
T4b Unresectable tumor invading other adjacent structures such as aorta, vertebral body, trachea etc.
*At least maximal dimension of tumor must be recorded; multiple tumors require the T(m) suffix.
**High-grade dysplasia includes all noninvasive neoplastic epithelia that was formerly called carcinoma in situ, a diagnosis that is no
longer used for columnar mucosa anywhere in the gastrointestinal tract

Regional Lymph Nodes (N)


Nx Regional lymph nodes cannot be assessed
N0 No regional lymph node metastasis
N1 Metastasis in 1-2 regional lymph nodes
N2 Metastasis in 3-6 regional lymph nodes
N3 Metastasis in seven or more regional lymph nodes
*Number must be recorded for total number of regional nodes sampled and total number of reported nodes with metastasis

Distant metastasis (M)


Mx MX: distant metastasis cannot be assessed
M0 M0: no distant metastasis
M1 M1: distant metastasis

hasil yang lebih baik, radiasi diberikan berbarengan Lapangan radiasi untuk tumor yang terletak di
dengan kemoterapi (kemoradiasi). Secara garis besar, 2/3 bawah esofagus (thoracic) harus mencakup seluruh
radiasi yang dapat dilakukan dalam tatalaksana kanker esofagus bagian thoracic dan KGB supraklavikula
esofagus adalah radiasi eksterna dan interna bilateral, dan batas bawahnya adalah esophagogastric
(brakiterapi). junction. Sementara untuk lesi di 1/3 inferior esofagus,
batas bawah harus mencakup celiac plexus. Pada kasus
i) Radiasi Eksterna dengan tumor di tengah atau atas dari esofagus bagian
Radiasi dapat diberikan dengan dua teknik, yai- thoracic, portal radiasi juga harus mencakup aksis
tu konvensional atau 3D-konformal (3D-CRT). Data KGB celiac, karena tingkat penyebarannya yang cukup
yang harus ada sebelum memulai perencanaan radiasi sering ke KGB tersebut.6,8
adalah penentuan lokasi tumor (gross atau tumor bed).
Hal ini mempengaruhi teknik yang dipilih serta penen- ii) Radiasi Interna/Brakiterapi
tuan lokasi subklinis serta aliran kelenjar getah bening Sebagai tambahan dari radiasi eksterna, dapat
yang harus dimasukkan dalam lapangan penyinaran. diberikan brakiterapi, tentunya dengan pertimbangan
Prinsip umum dari radiasi pada kanker esofagus adalah bahwa pasien adalah kandidat yang tepat (tidak ada
penentuan batas kranial dan kaudal dari tumor adalah 5 halangan secara teknis), dan pasien akan mendapatkan
cm dan batas secara radial (sekeliling tumor) 2 cm, ber- manfaat dari terapi ini. Salah satu panduan yang ada
dasarkan pola drainase limfatik esofagus, dari lapisan dan masih digunakan sampai saat ini adalah konsensus
mukosa ke lapisan muscularis propria yang sebagian yang dikeluarkan oleh American Brachytherapy Socie-
besar berbentuk longitudinal. ty (ABS).9 Menurut panduan tersebut, brakiterapi pada
kanker esofagus memiliki dua tujuan, yaitu definitif
Saat ini, teknik 3D-konformal lebih disukai dan paliatif.
karena berdasarkan gambaran CT scan, maka dapat
dilihat lebih jelas ekstensi tumor, keadaan jaringan di Kontraindikasi untuk brakiterapi menurut
sekitarnya maupun ada atau tidaknya pembesaran panduan ini adalah:
kelenjar getah bening. Namun pada tumor yang terletak  Adanya keterlibatan trakeal atau bronkial
di esofagus daerah servikal atau pasca krikoid, dapat  Lesi terletak di esofagus bagian servikal
diterapkan teknik konvensional. Batas kranial adalah  Adanya stenosis
laring-faring dan batas bawah adalah subkarina, dengan  Status performance yang buruk
portal radiasi opposing lateral atau oblik. Bila KGB
supraklavikula dan mediastinal bagian atas dianggap Pertimbangan lain yang masih kontroversial
memerlukan radiasi, maka dapat diberikan melalui por- dalam pemilihan pasien untuk brakiterapi adalah
tal anterior- posterior (AP). penilaian terhadap angka harapan hidup, kebanyakan
75 Radiasi pada Kanker Esofagus
(AF. Indarti, SM. Sekarutami)

ahli onkologi radiasi tidak memilih brakiterapi untuk Pasien menjalani radiasi 3D-CRT lokoregional
pasien dengan harapan hidup < 3 bulan. 50 Gy, 2 Gy per fraksi. Kemoradiasi konkuren dengan
cisplatin hanya bisa dilakukan satu kali karena
Brakiterapi dilakukan intrakaviter, dengan keadaan umum pasien memburuk. 2 minggu setelah
teknik HDR dan umumnya menggunakan Iridium-192. radiasi pasien mulai bisa menelan makanan cair dan
Pasien yang akan menjalani brakiterapi telah mendapat- lunak dengan disfagia Grade 1.
kan kemoradiasi dengan 5-FU dan radiasi eksterna
sebesar 45 – 50 Gy. Dosis yang dapat diberikan adalah Diskusi
10 Gy dalam 2 minggu, yaitu 2 x 5 Gy.9
Secara epidemiologi, risiko pasien ini untuk
8. Paliatif menderita kanker esofagus meningkat sesuai usianya,
yang akan memasuki dekade ke-6. Riwayat penyakit
Salvage surgery terutama bertujuan untuk me- GERD atau saluran pencernaan lain tidak ditemukan
nyingkirkan sebagian besar massa tumor, sehingga dari anamnesis, namun pasien pernah mendapat radiasi
mengurangi obstruksi, serta mencegah abses, pemben- untuk kanker payudara 10 tahun yang lalu. Suatu studi
tukan fistula maupun perdarahan dari massa tumor yang yang mempelajari dosis radiasi insidental lokoregional
besar. Teknik paliatif lain diantaranya intubasi intralu- kanker payudara yang diterima oleh esofagus, menun-
minal, terutama pada pasien yang debilitatif, dengan jukkan bahwa dosis median terbesar (38 Gy) diterima
fistula trakeoesofageal dan invasi tumor ke jaringan oleh esofagus bagian cervical sampai midesofagus,
vital sekitarnya. Dilatasi lumen esofagus sebanyak 15 karena bagian tersebut paling dekat dengan lapangan
mm sudah dapat mengurangi keluhan disfagia, dan di- supraklavikula dan mamaria interna.10 Namun penulis
latasi harus dilakukan setiap minggu atau bulan sesuai belum menemukan studi yang meneliti mengenai aso-
kondisi pasien, untuk memperbaiki gejala. Teknik lain siasi radiasi dada khususnya payudara dengan kejadian
yang tersedia adalah laser Nd:YAG kanker esofagus sebagai secondary malignancy.
(neodymium:yttrium-aluminum-garnet) dan photoirra-
diation dengan argon, bersamaan dengan presensitisasi Pasien mengalami penundaan radiasi selama 3
dengan derivat hematoporfirin intravena, teknik ini bulan karena alas an perujukan dan biaya. Jarak waktu
memiliki risiko yang minimal. yang cukup lama antara operasi dengan radiasi ten-
tunya meningkatkan angka rekurensi atau relaps lokal
Radiasi eksterna memberikan sampai 80% per- dan menurunkan angka kesintasan pasien.
baikan gejala nyeri dan disfagia, dengan regimen 30 Gy
dalam 2 minggu, 50 Gy dalam 5 minggu atau 60 Gy Dalam perencanaan radiasi pada kasus kanker
dalam 6 minggu.6,8 esofagus, sangat penting untuk diketahui lokasi tumor
(tumor bed bila pasca operasi), untuk menentukan tar-
Ilustrasi Kasus get radiasi serta ekstensi subklinis tumor, termasuk
aliran limfatik yang perlu dimasukkan dalam lapangan
seorang wanita 58 tahun dengan keluhan sulit radiasi.
menelan disertai dengan muntah. saat dilakukan
endoskopi selang hanya dapat masuk sejauh 20 cm Penentuan stadium pada kasus ini sulit, untuk
karena lumen yang sempit. Konfirmasi pada CTscan T, hasil CT scan maupun PA tidak menggambarkan
memperlihatkan penebalan dinding lumen pada 1/3 ekstensi tumor. Untuk N, data klinis menunjukkan N0
dital esofagus. Pasien menjalani Laparotomi dan reseksi pada colli dan supraklavikula (dari pemeriksaan fisik),
anastomosis gastroesofagostomi (gastric pull-up). sementara dari imaging hanya dapat dilihat nodal dae-
rah mediastinum dan hilar (tidak ditemukan limfade-
Hasil patologi anatomi memperlihatkan esofa- nopati), nodal daerah leher tidak terlihat. Untuk M,
gus proksimal dengan karsinoma sel skuamosa diferen- pemeriksaan yang sudah dilakukan adalah foto thorax,
siasi sedang. Batas-batas sayatan masih mengandung yaitu tidak ada tanda metastasis di paru.
tumor. Pasien direncanakan untuk radiasi ajuvan
poperasi. Dalam proses perujukan untuk radiasi NGT Pembahasan tumor board merekomendasikan
tidak bisa dipasang sehingga pasien menjalani operasi kemoradiasi 3D-CRT, target lokoregional. Lokal pada
jejunostomi sehingga intake pasien melalui tube ke jeju- tumor bed dengan batas kranial dan kaudal masing-
num. masing 2 cm, serta regional meliputi KGB Level II,

Tabel 2. Indikasi br akiter api pada kanker esofagus

Brakiterapi Definitif Brakiterapi Paliatif


Lesi unifokal di esofagus bagian thoracic Lesi di esofagus bagian thoracic
Histologi: adenokarsinoma atau karsinoma sel skuamosa
Panjang lesi < 10 cm Unresectable
Tidak ada perluasan ke intraabdomen maupun metastasis jauh Progresif atau rekuren setelah terapi awal
Sudah dijumpai metastasis jauh
Radioterapi & Onkologi Indonesia Vol 4(2) Jul 2013:70-76 76

Level III, Level IV, supraklavikula, paratrakea dan Selama radiasi, pasien dirawat inap di Gedung
paraesofagus. Dosis total adalah 50 Gy, 2 Gy per fraksi . A RSCM. Pasien mendapat asupan nutrisi melalui se-
Dengan cisplatin sebagai chemosensitizer. lang jejunostomi, dan mendapat pemantauan gizi sela-
ma kemoterapi dan radiasi. Dengan demikian, di-
Radiasi eksterna dilakukan dengan teknik Batas harapkan keadaan nutrisi pasien terjaga.
kranial 5 cm dari tumor bed, batas kaudal sampai
subcarina. Lapangan radiasi dibagi 2: Pasien memiliki prognosis yang kurang baik
1. Lapangan atas, mencakup lapangan lokoregion- disebabkan oleh jenis histologi pada pasien ini adalah
al tumor bed dan KGB colli Level II, III, IV, karsinoma sel skuamosa, dimana angka penyebaran ke
paratrakea dan paraesofagus. Empat beam, 2 kelenjar getah bening dan metastasis jauhnya lebih
dari lateral dan 2 dari aksial. tinggi dibandingkan dengan jenis histologi lainnya.
2. Lapangan bawah, mencakup KGB paratrakea, Terdapat delay yang cukup panjang, sekitar 12
paraesofagus dan supraklavikula. Dua beam minggu, antara operasi dengan kemoradiasi Kemotera-
dari aksial. pi concurrent dengan radiasi hanya diberikan 1x, kare-
Arah beam diberikan secara sederhana, hanya na kondisi klinis pasien tidak memungkinkan
dari lateral dan aksial, dengan jumlah maksimal 4. Hal
ini bertujuan untuk mengurangi toksisitas akut pada Pemulihan kondisi fisik pasien mungkin akan
pasien. Namun penentuan lapangan radiasi tetap cukup lama, terutama bila pasien mengharapkan
dilakukan secara 3D berdasarkan gambaran CT scan, fungsi pencernaan bagian atas (oral-esofagus-gaster)
sehingga diharapkan lebih akurat. dapat kembali seperti semula. 1 bulan post-operasi,
terdapat striktur esofagus yang menyebabkan pasien
Kemoterapi hanya diberikan 1 kali pada awal tidak dapat menggunakan selang nasogastrik (NGT)
radiasi, karena kondisi pasien yang tidak memung- lagi, sehingga harus dilakukan jejunostomi. Sampai
kinkan selama radiasi selanjutnya, terutama karena akhir radiasi, beberapa percobaan untuk memasukkan
gangguan keseimbangan elektrolit. Hal ini tentunya air melalui mulut dan menelannya gagal, pasien masih
dapat meningkatkan kegagalan lokal, serta meningkat- terbatuk-batuk, sehingga selang jejunostomi harus di-
kan kemungkinan terjadinya metastasis jauh. Pada radi- pertahankan. Striktur mungkin memberat pasca radia-
asi awal (sekitar ke-3), pasien mengeluhkan sesak na- si, sehingga perlu dilakukan rehabilitasi medik untuk
pas. Hal ini mungkin disebabkan karena reaksi inflamasi latihan menelan.
pada mukosa saluran pernapasan yang dipicu radiasi.

Untuk menyingkirkan kemungkinan progresi


tumor, dilakukan endoskopi dan tidak ditemukan
kelainan. Setelah radiasi ke-8, pasien sudah merasa
lebih nyaman dan keluhan sesak napas menghilang.

Gambar 3. Tr eatment planning pasien


77 Radiasi pada Kanker Esofagus
(AF. Indarti, SM. Sekarutami)

Daftar Pustaka

1. Eslick GD. Esophageal cancer: a historical per- 1943-1996: An Internal Population-Based


spective. Gastroenterol Clin North Am. 2009;38 Study of 414 Patients. Int J Radiat Oncol Biol
(1):1-15 Phys. 2013;86(4):694-701.
2. International Agency for Research on Cancer – 11. Barrett A, Dobbs J, Morris S, Roques T. Oe-
World Health Organization. GLOBOCAN 2008: sophagus and Stomach. In: Practical Radiother-
Factsheet – Oesophageal Cancer. 2008. apy Planning, 4th Ed. London: Macmillan UK,
3. Shridhar R, Almhanna K, Meredith KL, Biagioli 2009, pp.294-302.
MC, Chuong MD et al. Radiation therapy and 12. Tong DK, Law S, Kwong DL, Wei WI, Ng
Esophageal Cancer. Cancer Control. 2013; RW, Wong KH. Current Management of Cervi-
20(2):97-110. cal Esophageal Cancer. World J Surg. 2011;
4. Lin SH, Liao Z. PART VII Gastrointestinal: 35(3): 600-7.
Esophageal Cancer. In: Radiation Oncology: A 13. Vrieze O, Haustermans K, De Wever W, Lerut
Question-based Review. Philadelphia: Lippincott T, Von Cutsem E et al. Is There a Role for
Williams & Wilkins; 2011. pp.285-95. FGD-PET in Radiotherapy Planning in Esopha-
5. Kubicky CD, Chung HT, Nash MB. Esophageal geal Carcinoma?. Radiother Oncol. 2004;
73:269-75.
Cancer. In: Hansen EK, Roach III M. Handbook
14. Thirion P, Maillard E, Pignon J. Individual Pa-
eof Evidence-Based Radiation Oncology. New tient Data-based Meta-analysis Assessing The
York: Springer; 2010, pp.315-30. Effect of Preoperative Chemoradiotherapy in
6. Czito BG, Denittis AS, Willett CG. Esophageal Resectable Oesophageal Carcinoma. Int J Radi-
Cancer, in: Halperin E, Perez CA, Brady LW. at Oncol Biol Phys. 2008; 72:S71.
Perez and Brady’s Principles and Practice of Ra- 15. Tepper J, Krasna MJ, Niedzwiecki D, Hollis D,
diation Oncology, 5th Ed. Philadelphia: Lippincott Reed CE et al. Phase III Trial of Trimodality
Williams & Wilkins; 2008, pp.1131-1153. Therapy with Cisplatin, Fluorouracil, Radio-
7. Beyzadeoglu M, Ebruli C, Ozygit G. Esophageal therapy and Surgery Compared with Surgery
Cancer. In: Beyzadeoglu et al. Basic Radiation Alone for Esophageal Cancer: CALGB9781. J
Clin Oncol. 2008;26:1086-92.
Oncology. Berlin: Springer, 2010. Pp.455-467 16. Leong T, Everitt C, Yuen K, Condron S, Hui A
8. Chao KCS, Perez CA, Brady LW. Radiation On- et al. A Prospective Study to Evaluate The Im-
cology Management Decisions. 3rd Ed. Philadel- pact of FDG-PET on CT-based Radiotherapy
phia: Lippincott Williams & Wilkins; 2011. Treatment Planning for Esophageal Cancer.
pp.357-71 Radiother Oncol. 2006;78:254-61.
9. Gaspar LE, Naq S, Herskovic A, Mantrevadi R,
Speiser B. American Brachytherapy Society
(ABS) Consensus Guidelines for Brachytherapy
of Esophageal Cancer. Int J Radiat Oncol Biol
Phys. 1997; 38(1): 127-32.
10. Lamart S, Stovall M, Simon SL, Smith SA,
Weathers RE et al. Radiation Dose to The Esoph-
agus from Breast Cancer Radiation Therapy,
Radioterapi
Radioterapi
&&Onkologi
Onkologi
Indonesia
Indonesia
Journal of The
Journal Indonesian
of The Radiation
Indonesian Oncology
Radiation Society
Oncology Society

UCAPAN TERIMAKASIH

Redaksi majalah Radioterapi & Onkologi Indonesia mengucapkan terimakasih dan penghargaan setinggi-
tingginya kepada Mitra Bestari atas kontribusinya pada penerbitan volume 4 Issue 2 tahun 2013 :

Prof. DR. Dr. Soehartati, Sp.Rad (K.) Onk.Rad Fak-Kedokteran Universitas Indonesia/
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Prof. Dr. H.M. Djakaria, Sp.Rad (K.) Onk.Rad Fak-Kedokteran Universitas Indonesia/
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

INDEKS PENULIS

A
Annisa Febi Indarti Radiat Onkol Indones 2013;4(2): 71-77

E
Elia Aditya B. K Radiat Onkol Indones 2013;4(2):53-60

I
Isnaniah Hasan Radiat Onkol Indones 2013;4(2):39-45

M
Mirna Primasari Radiat Onkol Indones 2013;4(2):61-70

N
Novita Ariani Radiat Onkol Indones 2013;4(2):46-52

Volume 4 Issue 2 July 2013 ISSN 2086-9223

Anda mungkin juga menyukai