Radioterapi Dan Onkologi Indonesia
Radioterapi Dan Onkologi Indonesia
Radioterapi
& Onkologi
Indonesia
TINJAUAN PUSTAKA
Kematian Sel Akibat Radiasi
Isnaniah Hasan, H.M. Djakaria
LAPORAN KASUS
Peran Radiasi Eksterna pada Tata Laksana
Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma
Mirna Primasari, Sri Mutya Sekarutami , Marlinda Adham
Journal of
The Indonesian Radiation Oncology Society
Radioter Onkol Vol .4 Issue 2 Page Jakarta, ISSN
Indones 39-77 July 2013 2086-9223
Radioterapi
& Onkologi
Indonesia
Journal of The Indonesian Radiation Oncology Society
Pemimpin Umum
Soehartati A. Gondhowiardjo
Ketua Penyunting
Sri Mutya Sekarutami
Dewan Penyunting
Angela Giselvania Yoke Surpri Marlina Gregorius Ben Prayogi
Kartika Brohet Rima Novirianthy Lidya Meidania
Rhandyka Rafli
Desain Layout
Rima Novirianthy Yoke Surpri Marlina Rhandyka Rafli
Panduan Penulisan Artikel: Artikel yang diterima dalam bentuk penelitian, tinjauan pustaka, laporan kasus, editorial
dan komentar. Artikel diketik dengan huruf Times New Roman 11, spasi 1, margin
narrow, 1 kolom, maksimal 10 halaman untuk artikel pendek dan maksimal 15 halaman
untuk artikel panjang. Ukuran kertas A4 (210 x 297 mm) sesuai rekomendasi UNESCO.
Judul artikel harus singkat menggambarkan isi artikel, jumlah kata hendaknya tidak
lebih dari 15 kata. Penelitian, berisi hasil penelitian orisinil. Format terdiri dari
pendahuluan, metode penelitian, hasil, diskusi, kesimpulan dan daftar pustaka.
Pernyataan tentang conflict of interest dan ucapan terima kasih diperbolehkan bila akan
dimuat.
Tinjauan pustaka, berisi artikel yang membahas suatu bidang atau masalah yang baru
atau yang penting dimunculkan kembali (review) berdasarkan rujukan literatur. Format
menyangkut pendahuluan, isi, dan daftar pustaka.
Editorial, berisi topik-topik hangat yang perlu dibahas. Surat, berisi komentar,
pembahasan, sanggahan atau opini dari suatu artikel. Editorial dan surat diakhiri format
daftar pustaka sebagai rujukan literatur.
Abstrak wajib disertakan dalam setiap artikel, ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa
Inggris, maksimal 200 kata. Kata kunci berjumlah minimal 3 kata. Abstrak pada artikel
penelitian harus berisi tujuan penelitian/latar belakang, metode penelitian, hasil utama,
dan kesimpulan. Rujukan ditulis dengan gaya Vancouver, diberi nomor urut sesuai
dengan rujukan dalam teks artikel. Tabel dan gambar harus singkat dan jelas. Gambar
boleh berwarna maupun hitam putih. Judul tabel ditulis di atas tabel, catatan ditulis di
Volume
4i 4 Issue 2 July 2013 ISSN 2086-9223
Radioterapi
Radioterapi
& Onkologi
& Onkologi
Indonesia
Journal of The Indonesian Radiation Oncology Society Indonesia
Journal of The Indonesian Radiation Oncology Society
bawah tabel. Judul gambar ditulis di bawah gambar. Artikel dikirim melalui email:
onkologi.radiasi@gmail.com atau alamat penerbit. Artikel yang masuk menjadi hak
milik dewan redaksi. Artikel yang diterima untuk dipublikasikan maupun yang tidak
akan diinformasikan ke penulis.
*Catatan: bulan dan tanggal terbit jurnal (bila ada) dapat dituliskan setelah tahun
terbit jurnal tersebut
2. Buku
Penulis pribadi atau penulis sampai 6 orang:
Beyzadeoglu M, Ozyigit G, Ebruli C. Basic radiation oncology. Heidelberg
(Germany):Springer-Verlag;2010
Buku terjemahan:
Van der Velde CJH, Bosman FT, Wagener DJTh, penyunting. Onkologi ed 5
direvisi [Arjono, alih bahasa]. Yogyakarta: Panitia Kanker RSUP Dr. Sardjito;1999
*Catatan: penulis lebih dari 6 ditulis et al setelah penulis ke-6. Khusus bab dalam
buku harus ditulis judul bab dan halamannya.
3. Internet (Web)
National Cancer Institute. Cervical Cancer Treatment [internet].2009 [cited 2009 Jul
13]. Available from: http://www.cancer.gov/cancertopics/pdg/teratment/cervical/
healthprofessional.
Volume
4ii 4 Issue 2 July 2013 ISSN 2086-9223
Radioterapi
& Onkologi
Indonesia
Journal of The Indonesian Radiation Oncology Society
4. Tipe artikel jurnal yang perlu disebutkan (seperti abstrak, surat atau editorial):
Fowler JS. Novel radiotherapy schedules aid recovery of normal tissue after
treatment [editorial]. J Gastrointestin Liver Dis 2010;19(1):7-8
5. Organisasi
Sastroasmoro S, editor. Panduan pelayanan medis Departemen Radioterapi RSCM.
Jakarta:RSUP Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo;2007
8. Pertemuan Ilmiah
Makalah yang dipublikasikan:
Fowler JF. Dose rate effects in normal tissue. In: Mould RF, editor. Brachytherapy
2. Proceedings of Brachytherapy Working Conference 5th International Selectron
Users Meeting; 1998;The Hague, The Netherlands. Leersum, The Netherlands:
Nucletron International B.V.;1989.p.26-40
Alamat Penerbit: Sekretariat PORI, Departemen Radioterapi Lt.3 RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
Jl. Diponegoro 71, Jakarta Pusat, 10430 Tlp. (+6221) 3903306
Email: pori2000@cbn.net.id
No Rekening Bank Mandiri Cab Jakarta RSCM No. 122-0005699254 an. PORI
Volume
4iii 4 Issue 2 July 2013 ISSN 2086-9223
Radioterapi Radioterapi
& Onkologi & Onkologi
Indonesia Indonesia
Journal of The Indonesian Radiation Oncology Society Journal of The Indonesian Radiation Oncology Society
DAFTAR ISI
TINJAUAN PUSTAKA
Kematian Sel Akibat Radiasi 39-45
Isnaniah Hasan, H.M. Djakaria
LAPORAN KASUS
Peran Radiasi Eksterna pada Tata Laksana Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma 61-70
Mirna Primasari, Sri Mutya Sekarutam, Marlinda Adham
Volume
4iv 4 Issue 2 July 2013 ISSN 2086-9223
Tinjauan Pustaka
KEMATIAN SEL AKIBAT RADIASI
Isnaniah Hasan, H.M Djakaria
Departemen Radioterapi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
Abstrak / Abstract
Radiasi pengion adalah salah satu modalitas terapi kanker terpenting, disamping bedah dan
Informasi Artikel kemoterapi. Efek radiasi terhadap sistem biologi (radiobiologi) dibagi dalam tiga fase
Riwayat Artikel berdasarkan skala waktu, yakni fisika, kimia dan biologi. Pada tingkat seluler dan
molekuler, kematian sel terjadi karena energi radiasi dideposit pada inti sel DNA yang
Diterima Mei 2013 menyebabkan kerusakan rantai ganda DNA, kerusakan rantai tunggal DNA, pindah silang
Disetujui Juli 2013 DNA, dan kehilangan basa DNA. Pemahaman tentang mekanisme kematian sel telah
berubah dari kerusakan DNA secara langsung menjadi efek bystander.
Kata Kunci: Radiasi pengion, ker usakan r antai ganda DNA, ker usakan r antai tunggal
DNA, efek bystander.
Alamat Korespondensi
dr.Isnaniah Hasan
Departemen Radioterapi RSUPN Ionizing radiation was one of the most important cancer treatment modality, aside from
Dr. Cipto Mangunkusumo, surgery and chemotherapy. The effect of radiation on biological system (radiobiology) was
Fakultas Kedokteran Universitas classified based on time parameter, into three phases, namely physical, chemical, and
Indonesia, Jakarta biological phase. On cellular and molecular levels, cell death occur due to energy deposit
E mail: on DNA nuclei, resulting in DNA double strand breaks, DNA single strand break, DNA
hasanisnaniah@gmail.com crosslinking, and loss of DNA base. A shift of paradigm from DNA damage toward
bystander effect is the current focus on understanding cell death mechanism.
Keywords: Ionizing radiation, double strand breaks, single strand break, bystander effect.
Pendahuluan
Kematian Sel
4. Senesence
Nekrosis Sel membengkak, kerusakan awalnya terjadi pada sel membran, inti membentuk vakuol,
kromatin tidak memadat, organel hancur, pembengkakan mitokondria
Kematian mitosis Terjadi setelah atau selama mitosis, akibat kesalahan peleburan sel dan/atau pemisahan
kromosom. Kematian mitosis dapat menyebabkan apoptosis namun tidak bergantung pada
p-53
Senescence Sel senescence aktif secara metabolik tetapi sel tidak memiliki kemampuan untuk
membelah diri dan menunjukkan peningkatan ukuran sel. Dan proses sel tergantung pada
p-53
Autofagi Tipe kematian sel yang secara genetik diatur sebagai kematian sel terprogram dengan
memakan dirinya sendiri melalui pembentukan vakuola pada sitoplasma. Autofagi tidak
bergantung pada caspase dan p-53
ketidakstabilan genetik akibat dari efek bystander. Ketiga, efek bystander menyebabkan kematian
Adanya komunikasi gap-junctional intercellular sel. Radiasi eksterna konvensional memberikan dosis
meningkatkan jumlah sel yang mengalami kematian radiasi yang cukup tinggi pada tumor, sehingga efek
akibat efek bystander.11 bystander mungkin tidak terjadi; tetapi distribusi dosis
yang heterogen dapat menyebabkan beberapa bagian
Penelitian yang berhubungan dengan efek tumor menerima dosis radiasi yang rendah, sehingga
bystander masih terbatas, namun dari data yang ada efek bystander meningkat.11
kita dapat menarik kesimpulan bahwa terjadi 3 hal
akibat efek bystander, yaitu radiasi memicu terjadinya Kesimpulan
kanker, merusak jaringan sehat dan menyebabkan
kematian sel tumor.11 Kematian sel akibat radiasi dalam konteks
terapi kanker terjadi dalam beberapa waktu yang
Pertama, radiasi memicu terjadinya kanker berbeda, seringkali setelah melewati tiga atau empat kali
meskipun pada dosis radiasi yang rendah. Peningkatan siklus sel dan pada umumnya terjadi akibat double
paparan radiasi dosis rendah dapat meningkatkan dua strand break DNA. Sel-sel yang bertahan hidup akan
kali lipat angka kejadian kanker sekunder. Efek melanjutkan proliferasi sedangkan sel yang mati akibat
bystander dalam karsinogenesis yang memiliki dua kehilangan kemampuan reproduksinya. Kematian sel
peran yang berlawanan, disatu sisi membunuh tumor dapat terjadi dengan cara apoptosis, nekrosis, kematian
primer namun disisi lain meningkatkan kemungkinan mitosis, autofagi dan senescence. Pada umumnya
terjadinya kanker sekunder.11 kematian sel pada jaringan tumor akibat radiasi dengan
cara apoptosis.
Kedua, radiasi merusak jaringan sehat. Teori
efek bystander dapat merangsang kita untuk Mekanisme kematian sel akibat radiasi telah
mempelajari tentang positioning atau efek radiasi mengalami perubahan pandangan. Dahulu dianggap
terhadap kontralateral yang dapat digunakan untuk bahwa kematian sel terjadi jika radiasi langsung
mengurangi kerusakan akibat radiasi pada jaringan merusak DNA. Berbagai penelitian telah menemukan
sehat. Beberapa penelitian menjelaskan bahwa bahwa kematian sel dapat juga terjadi melalui efek
kerusakan jaringan sehat akibat efek bystander dapat bystander
terjadi secara langsung melalui komunikasi antar sel,
namun komunikasi ini jarang terjadi pada sel tumor.
Sifat ini memberi pengaruh baik pada jaringan sehat
maupun pada jaringan tumor. Dibutuhkan penelitian
lebih lanjut tentang peranan bystander pada jaringan
sehat pasca paparan radiasi dosis rendah.11
DAFTAR PUSTAKA
1. Mehta SR, Suhag VM, Semwal M, Sharma NM. 7. Wouters GB, Begg CA. Irradiation induced
Radiotherapy: Basic Concept and Recent damage and the DNA damage response. In :
Advances. MJAFI. 2010; 66: 158-162. Joiner M, Kogel DVA, ed. Basic Clinical
2. International atomic energy agency. Minimum Radiobiology. London: Hodder Arnold; 2009.
essential syllabus for radiobiology in Radiation pp.11-27.
Biology: A Handbook for Teacher and Student. 8. West MC, Gillian C. Genetics and genomics of
Vienna: International atomic energy agency; radiotherapy toxicity: towards prediction.
2010. pp.13-81. Genome Med. 2011 August 23; 3(8):52.
3. Joiner CM, Kogel DVJA, Steel GG. Introduction: 9. Beyzadeoglu M, Ozygit G, Ebruli C. Basic
the significance of radiobiology and radiotherapy radiation oncology. Heidelberg : Springer-
for cancer treatment. In : Joiner M, Kogel DVA, Verlag Berlin; 2010. pp.4-88.
editors. Basic Clinical Radiobiology. London: 10. Orrenius S, Nicotera P, Zhivotovsky B. Cell
Hodder Arnold; 2009. pp.1-10. Death Mechanism and Their Implication in
4. Hall JE, Cox DJ. Physical and Biologic Basis of Toxicology. Toxicol. Sci. 2011; 119 (1): 3-19.
Radiation Therapy. In : Cox JD, Ang KK, editors. 11. Prise MK, SchetttinoG, Folkard M, Held D
Physical and biologic basis of radiation therapy in Kathryn. New Insights on Cell Death from
Radiation oncology. 9th ed. Mosby; 2003. p.3-12 Radiation Exposure. Lancet Oncol. 2005; 6(7):
5. Ulsh AB. Review Article. Checking The 520-8.
Foundation : Recent Radiobiology And The 12. Wouters GB. Cell death after irradiation : how,
Linear No-Threshold Theory. Health Phys. 2010; when and why cell die. In : Joiner M, Kogel
99 (6):747-58. DVA, ed. Basic Clinical Radiobiology.4th ed.
6. Gunderson, Tepper. Scientific foundation of London: Hodder Arnold; 2009. pp.27-40.
radiation oncology in Clinical Radiation
Oncology. 3th edition. Philadephia: Elsevier
Saunders; 2012. p.25.
Prinsip Umum Reiradiasi
46 (N. Ariani, H.M. Djakaria)
Tinjauan Pustaka
PRINSIP UMUM PENATALAKSANAAN REIRADIASI
Novita Ariani, H.M. Djakaria
Departemen Radioterapi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
Abstrak / Abstract
Penatalaksanaan reiradiasi merupakan salah satu pilihan terapi yang cukup baik pada kasus
keganasan rekuren. Namun, banyak hal mendasar yang harus dijadikan pertimbangan
Informasi Artikel sebelum memutuskan untuk melakukan reiradiasi; berkaitan dengan efektivitas, kualitas
Riwayat Artikel hidup pasien, serta kemungkinan efek samping pada jaringan normal. Berbagai literatur
memberikan hasil yang bervariasi terhadap efektivitas reiradiasi, tetapi secara umum
Diterima Juni 2013 menyebutkan bahwa reiradiasi mampu laksana pada berbagai keganasan rekuren dengan
Disetujui Juli 2013 efek samping jaringan sehat yang bisa ditoleransi. Makalah ini menjelaskan prinsip-prinsip
umum yang menjadi pertimbangan sebelum dilakukan reiradiasi.
Kata kunci: Reiradiasi, prinsip-prinsip umum, keganasan rekuren.
Alamat Korespondensi: Reirradiation was one of the treatment choices, promising good result, for patients with
Dr. Novita Aryani recurrent malignancies. However, there were plenty of factors that must be taken into
Departemen Radioterapi RSUPN consideration before deciding to reirradiate the patient. These factors were related to
Dr. Cipto Mangunkusumo, effectitvity, patient’s quality of life, and the probability of acquiring side effects on normal
Fakultas Kedokteran tissue. Many literatures showed variation on the effectivity of reirradiation in recurrent
Universitas Indonesia, Jakarta malignancies. In general, reirradation was deemed feasible in some recurrent malignancies
E mail: with tolerable side effect on normal tissues. This article provides general principles that
novita_dr@yahoo.com must be considered before reirradiation.
Keywords : Reirradiation, general principles, recurrent malignancies.
Tabel 2. Dosis median dan kumulatif reiradiasi pada berbagai lokasi tumor mayor 2
Organ Jumlah Pasien Dosis Dosis pada Dosis NTD BED-2 / BED-3
Radioterapi Reiradiasi Kumulatif Kumulatif Kumulatif
Awal
mendapatkan reiradiasi hiperfraksinasi dan 17 pasien Rasio Terapeutik pada Reiradiasi Kombinasi
diterapi dengan fraksi satu kali setiap harinya, dengan Obat-obat Sitotoksik dan Agen Modifikasi
memberikan hasil median overall survival 8,3 bulan Lainnya
untuk semua pasien. Risiko kejadian nekrosis pada
tahun pertama setelah terapi ulang jumlahnya 22%. Penatalaksanaan reiradiasi dengan modifikasi
Secara statistik, tidak ada pengaruh yang bermakna modalitas terapi lainnya mempunyai implikasi klinis
fraksinasi terhadap overal survival, progression – free yang cukup baik. Kombinasi terapi radiasi dengan
survival, atau peningkatan komplikasi pada penelitian kemoterapi menunjukkan hasil yang lebih baik
ini, dengan power statistik yang terbatas.2,3,6,8 dibandingkan hanya menatalaksana dengan radioterapi
Namun demikian, pengambilan keputusan saja pada berbagai kasus keganasan (Gambar 1). Jenis-
mengenai apakah seseorang diradiasi kembali adalah jenis obat baru telah dikembangkan dan diperkenalkan
proses yang kompleks. Faktor-faktor yang harus di- dengan pesat untuk penggunaan klinis. Target dari obat
masukkan dalam perhitungan mencakup tipe jaringan -obat ini adalah pada satu atau lebih proses-proses yang
yang berisiko terhadap cedera, fraksinasi dosis dan in- berperan penting dalam patogenesis tumor. Obat-obat
terval dari radiasi yang sebelumnya, pengamatan ter- baru ini mengandung antibodi-antibodi spesifik yang
hadap perubahan – perubahan jaringan normal yang melawan faktor pertumbuhan atau reseptor-reseptornya
terjadi akibat radiasi sebelumnya, prognosis pasien, dan molekul-molekul kecil yang berperan dalam
penyebaran penyakit dan penyulit lainnya.5,6 pengaturan jaras transduksi sinyal dalam siklus sel,
transkripsi gen, survival sel kanker.4,5,7,9,11,19
Kemoterapi Konkuren dan Reiradiasi Hal yang penting yaitu mencapai keseim-
bangan yang baik antara kematian sel tumor dengan
Untuk kasus-kasus keganasan kepala dan leher, toksisitas pada jaringan normal, khususnya pada
konteks reiradiasi. Sebagai akibat dari radiasi sebe-
kombinasi reiradiasi dengan kemoterapi telah
lumnya.1,2,4,5 Kombinasi pemberian radiasi dengan mo-
menghasilkan peningkatan yang bermakna terhadap
dalitas lainnya selama ini diupayakan untuk mencapai
angka kesintasan bebas penyakit. Namun, pengaruhnya
angka keberhasilan terapi yang lebih baik, dengan
pada overall survival tidak begitu bermakna. Di sisi
kontrol lokal tercapai, serta meminimalisir toksisitas
lain, pada seri penelitian 81 pasien-pasien dengan
terhadap jaringan sekitar. Pasien-pasien kanker yang
kanker payudara rekuren mendapat terapi reiradiasi
mengalami rekurensi dan dipertimbangkan untuk
ditambah dengan kemoterapi didapatkan hubungan
mendapat terapi radiasi ulang harus diteliti lebih lanjut
dengan rendahnya kesintasan bebas penyakit lokal,
bagaimana efektifitas reiradiasi serta toleransi jaringan
meskipun 57% dari pasien-pasien mengalami respon
klinis komplet terhadap terapi tersebut. Data dari tumor sehat yang ikut terkena radiasi lagi. Sebagai hasil dari
di lokasi lain lainnya yang menggunakan kombinasi pengobatan sebelumnya yang seringkali telah dil-
kemoterapi-reiradiasi sebagai regimen penyelamatan akukan pembedahan dan pemberian kemoterapi, fungsi
dan kemampuan pemulihan jaringan serta organ telah
sangat terbatas. Secara umum, kemoterapi-reiradiasi
terganggu. Jika diketahui bahwa pasien memiliki mor-
bisa direkomendasikan didalam suatu lingkungan pe-
biditas yang berat dari terapi lini pertama maka tidak
natalaksanaan multidisiplin, dengan kewaspadaan dini
ditawarkan untuk mendapat reiradiasi, rasio terapeutik
dan monitoring terhadap potensi efek samping.2,4,5,7,9,11
akan berbeda dari seting awal. Dengan kata lain bahwa
strategi untuk meningkatkan kematian sel tumor oleh
radiasi ulang tanpa meningkatkan toksisitas yang berat
hal ini akan meningkatkan indeks terapi. 3,4,6,19.20
Gambar 1. Indeks Ter apeutik. (a). Indeks ter apeutik untuk ter api dengan r adiasi saja. Radiasi dengan dosis A akan member ikan
peluang kesembuhan tumor dan toksisitas jaringan normal (misalnya 50% kesembuhan vs. >10% toksisitas). (b). Jika radiasi dikombinasikan
dengan radioprotektor, dosis radiasi bisa ditingkatkan (dosis B) karena toksisitas jaringan normal bisa dikurangi ( kurva untuk toksisitas
jaringan bergeser kekanan ) (c). Jika radiasi dikombinasikan dengan radiosensitizer, peluang kesembuhan tumor meningkat ( kurva bergeser
ke kiri ). Radioprotektor dan radiosensitizer keduanya meningkatkan indeks terapeutik.4
50 Prinsip Umum Reiradiasi
(N. Ariani, H.M. Djakaria)
Pada penelitian – penelitian klinis reiradiasi, mesti dilakukan dibawah bantuan uji klinis (evidence
keadaannnya kompleks dengan biologi tumor yang het- based). Reiradiasi dinding dada telah dipakai untuk
erogen, perubahan fisiologis, parameter – parameter mentatalaksana residu mikroskopis dan gross tumor
microenvironment yang terjadi akibat pelaksanaan ra- dengan atau tanpa adanya metastasis. Hipertermi
dioterapi yang pertama seperti contohnya fibrosis dan sebaiknya digunakan untuk meningkatkan angka respon
kegagalan perfusi jaringan. Sudah ada anggapan bahwa untuk gross tumor. 6,7,8,9
sel-sel tumor pada manusia dengan kegagalan radioter- Telah dilakukan perhitungan antara kedua dosis
api ( kanker kepala dan leher ) adalah cenderung radio- radiasi awal maupun reiradiasi sebagai persentase dosis
resisten (Weichselbaum, et.al 1988 ). Diantara sel – sel toleransi ekivalen dengan dosis 2 Gy (EQD2tol). Garis
yang radioresisten berasal dari pasien – pasien yang di putus-putus menunjukkan toleransi jaringan residu jika
radiasi sebelumnya, secara bermakna lebih resisten tidak terjadi restitusi jangka panjang. Titik-titik hitam
dibanding pasien – pasien yang tidak diradiasi diatas garis putus-putus (pada kulit, paru-paru dan jan-
(Grenman, et.al 1991). Namun pada beberapa kasus tung) menunjukkan penyembuhan jangka panjang.
juga dijumpai tumor radiosensitif dari pasien-pasien Titik-titik hitam dibawah garis ( ginjal, buli-buli )
yang telah mendapat radiasi sebelumnya. 2,4,5,16,20 menunjukkan adanya pengurangan toleransi jaringan
Bukti pendukung dalam penggunaan terapi yang progresif sesaat setelah dilakukannya radiasi
kombinasi banyak didasarkan pada kombinasi radiasi awal.19
dengan kemoterapi. Dalam kenyataannya, profil farma-
kokinetik obat-obat anti kanker ditentukan oleh varia- Faktor Prognostik
bilitas yang mendasar dari masing-masing pasien,
dimana dua sampai tiga kali lipatnya bukanlah variasi Hanya sedikit penelitian yang mempunyai ana-
umum (Brunsvig, et.al 2007). Permasalahan ini lisis statistik dengan memasukkan prediktor prognosis
menghasilkan kompleksitas dengan pemberian dua atau pada hasil. Umur tidak menunjukkan pengaruh ter-
lebih obat-obatan secara simultan dan dalam konteks hadap kesintasan, begitu pula dengan ukuran dan lokasi
reiradiasi dikarenakan begitu heterogen tumor-tumor tumor. Keadaan umum pasien serta respon terapi
yang direiradiasi (seperti Gambar 2). Besarnya efek menunjukkan pengaruh terhadap hasil terapi reiradiasi.
terapi ini bisa jadi bervariasi dikarenakan tipe sel, kon- Selain itu, interval yang lebih panjang antara akhir ra-
disi kultur, obat-obatan, waktu pemaparan dan lain-lain. diasi pertama dengan reiradiasi menunjukkan pengaruh
4,19
yang bermakna terhadap kesintasan .3,15,20
Penelitian klinis pada berbagai lokasi reiradiasi
Hipertermia dan Reiradiasi mendapatkan hasil yang berbeda dari segi efektivitas
radiasi untuk lokal kontrol dan overall survival.
Reiradiasi untuk kanker payudara rekuren Beberapa penelitian menyatakan bahwa reiradiasi
dengan dosis radiasi total 60 Gy dan penambahan merupakan pilihan terapi yang mampu laksana dan
hipertermia dapat dilakukan pada sebagian besar pasien. memberikan hasil yang cukup menggembirakan baik
Terapi ini memiliki morbiditas lanjut yang masih dapat dari segi pengurangan gejala dan kualitas hidup. Na-
diterima dan meningkatkan prognosis pada pasien- mun di sisi lain pertimbangan untuk melakukan tinda-
pasien yang telah menjalani reseksi rekurensi sebe- kan ini perlu kehati-hatian yang lebih, mengingat risiko
lumnya. Publikasi terbanyak mengenai penggunaan toksisitas yang semakin meningkat pada jaringan sehat.
brakiterapi untuk memberikan radiasi parsial pada 2,4,10,13,16
payudara, tetapi penelitian RTOG menggunakan radiasi
eksterna konformal. Reiradiasi payudara tidak dianggap
sebagai terapi standar dan secara umum penggunaannya
penting mempertahankan status nutrisi yang adekuat, mesti didiskusikan sebagai manajemen alternatif yang
hidrasi, hemoglobin (Hb > 10 gr% ) dan diabetes serta dapat dilakukan. Kelompok yang direkomendasikan
hipertensi yang terkontrol. Kewaspadaan terhadap keterlibatan dalam persetujuan dan diskusi lebih
peringatan dini mestinya memungkinkan microenviron- diutamakan anggota keluarga dan perawat yang
ment jaringan untuk memperbaiki jaringan normal menangani.3,5,17
yang terkena reiradiasi.2.19 Rekam medik yang lengkap sebagai alat komu-
nikasi dengan penyedia layanan kesehatan lainnya
Monitoring Setelah Selesai Reiradiasi penting untuk mempertahankan pendekatan tim dalam
memberikan pelayanan optimal. Panduan departemen
Sehubungan dengan kelengkapan perencanaan dibutuhkan untuk dokumentasi memastikan tercapainya
terapi, suatu rencana perawatan mesti dirancang untuk jaminan mutu dan berguna untuk review retrospektif.
2,3,11
masing-masing pasien untuk kunjungan pemantauan
rutin dengan menginformasikan jika ada terjadi kom-
plikasi. Pemantauan rutin akan memberikan informasi
yang berguna; seperti respon terhadap reiradiasi, mor- Kesimpulan
biditas yang berhubungan dengan terapi, dan kualitas
hidup pasien. Data efek samping jangka panjang dan Penatalaksanaan reiradiasi pada kasus-kasus
kualitas hidup setelah terapi ulangan sangat langka. keganasan rekuren membutuhkan pertimbangan-
Dokumentasi yang detail tentang efek samping dan pertimbangan mendasar yang bertujuan untuk
pengukuran gejala-gejala dengan perangkat kesehatan optimalisasi hasil terapi. Berbagai publikasi saat ini
tervalidasi akan bermanfaat untuk masa yang akan menyatakan bahwa reiradiasi bisa dijadikan pilihan
datang.2,3,7 terapi pada beberapa kasus rekuren dengan mem-
berikan hasil yang cukup baik. Modalitas terapi kom-
Penilaian Kualitas Hidup binasi dianjurkan untuk menjadi pertimbangan pilihan
terapi dengan reiradiasi. Manajemen penatalaksanaan
Kualitas hidup berkaitan dengan kesehatan pasien dengan pertimbangan reiradiasi diawali dari
adalah pengukuran hasil yang secara umum diterima penetapan indikasi reiradiasi, work-up lengkap untuk
dalam evaluasi pengobatan keganasan. Berbagai macam restaging penyakit, perencanaan radiasi termasuk
perangkat yang tervalidasi telah digunakan untuk kombinasi modalitas lainnya yang bisa meningkatkan
mengevaluasi perubahan - perubahan dalam kualitas efek terapi, evaluasi selesai terapi termasuk follow-up
hidup pasien-pasien yang menjalani berbagai terapi. rutin yang harus dilakukan serta yang tidak kalah
Penilaian kualitas hidup untuk pasien-pasien yang pentingnya adalah informed consent dan pencatatan
menjalani reiradiasi merupakan sesuatu yang rumit dan rekam medis yang lengkap untuk komunikasi dan
akan berkaitan dengan banyak indikator.2,5 Schultz, et.al kepentingan medikolegal.
melaporkan bahwa indikator kualitas hidup
berpengaruh bermakna dengan konsekuensi fisiologis
penerimaan terapi. Karena antara keduanya pasien dan Daftar Pustaka
dokter sering memiliki estimasi yang berbeda terhadap
hasil terapi. Pengukuran hasil berdasarkan laporan 1. Nieder C, Langendijk JA. Normal tissue toler-
pasien sendiri terhadap kualitas hidup merupakan ance to reirradiation. In: C Nieder and J.A.
perangkat yang berarti untuk mengevaluasi keuntungan Langendijk, editor. Re-irradiation: New Frontier
reiradiasi. Karena belum adanya perangkat yang (Medical Radiology/Radiation Oncology).
tervalidasi secara spesifik untuk mengukur kualitas London: Springer-Verlag Berlin Heidelberg;
hidup yang terkait dengan kesehatan, penilaian pasien- 2011. pp.13-24.
pasien yang mendapat reiradiasi menggunakan 2. Joseph K, Tai P, Wu J, Levin W. A practical ap-
instrumen yang sudah tersedia dengan baik saat ini, proach and general principles of re-irradiation
seperti EORTC QLQ C30 atau FACT-G. 2 for in-field cancer recurrence. J Clin Oncol.
2010; 22:885-89.
Pertimbangan Etis dan Medikolegal 3. Nieder C, Baumann M. Fractionation concepts.
In: C Nieder and J.A. Langendijk, editor. Re-
Pasien yang ditawarkan reiradiasi tentunya irradiation: New Frontier (Medical Radiology/
memiliki pendapat pro dan kontra terhadap reiradiasi. Radiation Oncology). London: Springer-Verlag
Hal ini mungkin saja menimbulkan pertanyaan Berlin Heidelberg;2011: pp.25-38.
tentang : perjalanan penyakit tanpa terapi apapun, 4. Nieder C, Eisbruch A. Therapeutic ratio of
rasionalisasi reiradiasi dan potensi risiko efek samping reirradiation with cytotoxic drug and other
yang serius, efek reiradiasi terhadap lamanya survival response-modifying agent. In: C Nieder and J.A.
dan kualitas hidup. Reiradiasi juga dapat menimbulkan Langendijk, editor. Re-irradiation: New Frontier
komplikasi katastropik. Untuk mengatasi permasalahan (Medical Radiology/Radiation Oncology).
tersebut mesti dilakukan informed consent secara ter- London: Springer-Verlag Berlin Heidelberg;
buka terhadap keterbatasan pengetahuan terhadap efek- 2011. pp.50-70.
efek terapi dan konfirmasi pemahaman pasien terhadap 5. Creak AL, Harrington K, Nutting C. Treatment
potensi risiko reiradiasi. Ekspektasi yang salah of recurrent head and neck cancer : re-irradiation
mengenai keuntungan terapi mesti dihindarkan dan or chemotherapy? J Clin Oncol. 2005;17:138-47.
pada kebanyakan kasus, perawatan suportif paliatif
52 Prinsip Umum Reiradiasi
(N. Ariani, H.M. Djakaria)
6. Zee JV, Holt BV, Rietveid PJM, Helle PA, 15. Paulino AC, Mai WY, Chintagumpala M, Taher
Wijnmaalen AJ, Puten WLZ, et al. Reirradiation A, Teh BS. Radiation–induced malignant glio-
combined with hypertermia in recurrent breast ma: is there a role for reirradiation? Int J Radiat
cancer result in worthwhile local paliation. Brit J Oncol Biol Phys. 2008;71:1381-87.
Cancer 1999;79:483-9. 16. Nieder C, Milas L, Kian Ang K. Tissue toler-
7. O. Wall A, Small Jr. W. Breast Cancer. In: C ance to reirradiation. Seminar in Radiation On-
Nieder and J.A. Langendijk, editor. Re- cology. 2000;10:200-09.
irradiation: New Frontier (Medical Radiology/ 17. Son CH, Jimenez R, Niemerko A, Loeffler JS,
Radiation Oncology). London:Springer-Verlag Oh KS, Shih HA. Outcome after whole brain
Berlin Heidelberg; 2011: pp.143 –54. reirradiation in patients with brain metastases.
8. Ott OJ, Fietkau R. Hypertermia and reirradiation. Int J Radiat Oncol Biol Phys. 2012;1;82(2):167-
In: C Nieder and J.A. Langendijk, editor. Re- 72.
irradiation: New Frontier (Medical Radiology/ 18. Veninga T, Langendijk HA, Slotman BJ, Rutten
Radiation Oncology). London:Springer-Verlag EH, van der Kogel AJ, Prick MJ, et al. Reirradi-
Berlin Heidelberg; 2011. pp.39-48. ation of primary brain tumour; survival, clinical
9. Kouloulias VE, Dardoufas CE, Kouvaris JR, response and prognostic factors. Radiother
Gennatas CS, Polyzos AK, Gogas HJ, et al. Lip- Oncol. 2001;59:127-37.
osomal doxorubicin in conjunctional with reirra- 19. Dorr W, Stewart FA. Retreatment tolerance of
diation and lokal hyperthermia treatment in re- normal tissue. In: Michael Joiner and Albert van
current breast cancer: a phase I/II trial. Clin Can- der Kogel, editor. Basic Clinical Radiobiology.
cer Res. 2002;8:374-82. London: Edward Arnold; 2009. pp.259-70.
10. Nieder C, Grosu AL, Andratschke NH, Molls M. 20. Garofalo MC, Haraf DJ. Reirradiation: a poten-
Proposal of human spinal cord reirradiation dose tially curative approach to locally or regionally
based on data from 40 patients. Int J Radiat On- recurrent head and neck cancer. Curr Opinion.
col Biol Phys. 2005;61:851-55. Oncol. 2002;14:330-33.
11. Wurschmidt F, Dahle J, Petersen C, Wenzel C, 21. Abusaris H, Storchi PRM, Bradwijk RP, Nuyt-
Kretschmer M, Bastian C. Reirradiation of recur- tens JJ. Second re-irradiation: Efficacy, dose and
rent breast cancer with and without concurent toxicity in patients who received three course of
chemotherapy. Radiather Oncol. 2008;3:28-36. radiotherapy with overlapping fields. Radiother
12. Muller AC, Eckert F, Heinrich V, Bamberg M, Oncol. 2011;03:010.
Brucker S, Hehr T. Re-surgey and chest wall 22. Mayer R, Sminia P. Reirradiation tolerance of
reirradiation for recurrent breast cancer-a second the human brain. Int J Radiat Oncol Biol Phys.
curative approach. BMC Cancer. 2011;11:197. 2008;70:1350-60.
13. Maranzano E, Trippa F, Casale M, anselmo P, 23. Martinez FJA, Mateu JMM, Macia RC. The use-
Rossi R. Reirradiation of metastatic spinal cord fulness of reirradiation in the treatment of pelvic
compression : definitive result of two random- recurrence of rectal and gynaecological tumours.
ized trials. Radiother Oncol. 2011;98:234-37. Oncologia 2006; 29(10):405-11.
14. Sahgal A, Ma L, Weinberg V, Chao S, Chang 24. Ebara T, Tanio N, Etoh T, Shichi I, Honda A,
UK, Werner-Wasik M, et al. Reirradiation hu- Nakajima N, et al. Palliative re-irradiation for in
man spinal cord tolerance for stereotactic body -field recurrence after definitive radiotherapy in
radiotherapy. Int J Radiat Oncol Biol Phys. 2010; patients with primary lung cancer. Anticancer
8:1-10. Res 2007;27:531-34.
25. Kao J, Garofalo MC, Milano MT, Chmura SJ,
Citron JR, Haraf DJ. Re-irradiation of recurrent
and second primary head and neck malignan-
cies: a comprehensive review. Cancer Treatment
Rev 2003; 29:21-30.
Radioterapi & Onkologi Indonesia Vol 4(2) Jul 2013:53-60 53
Tinjauan Pustaka
HIPOFRAKSINASI PADA KANKER PAYUDARA STADIUM DINI
Elia Aditya B.K, Soehartati A. Gondhowiardjo
Departemen Radioterapi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
Abstrak / Abstract
Disiplin ilmu Onkologi Radiasi dan teknik radiasi mengalami kemajuan pesat dalam beberapa
Informasi Artikel dekade terakhir. Seiring dengan hal ini, radioterapi dengan menggunakan hipofraksinasi
Riwayat Artikel kembali menarik perhatian dan disebut sebagai suatu “re-emerging interest”.1,2 Studi-studi
yang dilakukan secara luas dan dalam follow-up jangka menengah menghasilkan suatu
Diterima Mei 2013 kesimpulan yang menunjukkan bahwa hipofraksinasi dan fraksinasi konvensional pada kanker
Disetujui Juli 2013 payudara memberikan hasil yang setara dalam hal kontrol tumor maupun efek samping. Hal
ini memungkinkan untuk dapat diadopsinya pemberian hipofraksinasi di dalam guideline
suatu institusi dan diterapkan di dalam aplikasi klinis sehari-hari.
Kata Kunci : kanker , payudar a, r adiasi, hipofr aksinasi
Alamat Korespondensi: Radiation oncology and radiation techniques have progressed rapidly in recent decades. In
Dr. Elia Aditya B.K. accordance with this, radiotherapy using large dose per fraction again attracted attention and
Departemen Radioterapi RSUPN was mentioned as a "re-emerging interest".1,2 Large randomized control study in the medium-
Dr. Cipto Mangunkusumo, term follow-up results in a conclusion that conventional fractionation and hypofractionation
Fakultas Kedokteran Universitas
in breast cancer treatment gives equivalent results in terms of tumor control and side effects.
Indonesia, Jakarta
E mail: This results bringing encouragement for radiotherapy using hypofractionation to be adopted
eliaaditya@gmail.com as an institutional guidelines and applied in everyday clinical applications.
Keywords : cancer, breast, radiation, hipofractination
fraksinasi dengan high dose per-fraction sempat Pada setting pasca mastektomi, penggunaan
memudar. Akan tetapi beberapa ahli radiobiologi tetap radiasi pada dinding dada maupun kelenjar getah
secara konsisten meneliti dasar teori yang dapat bening axilla memiliki peran penting. Cukup jelas
menerangkan peristiwa tersebut. Usaha tersebut bahwa mastektomi tanpa radiasi memiliki kontrol
membuahkan bukti-bukti yang menunjukkan perbedaan lokal-regional yang sudah cukup baik, untuk sebagian
antar jaringan dalam hal kepekaannya terhadap besar pasien dengan stadium I atau IIa (sampai dengan
perubahan fraksi. Konsep ini yang membawa T1 atau T2N0). Sebaliknya, pasien dengan stadium III
pemahaman mengenai nilai rasio alfa/beta. Seiring (T3 atau T4) memiliki probabilitas terjadinya rekurensi
dengan temuan-temuan mengenai nilai alfa/beta yang lokoregional setelah mastektomi yang cukup besar
rendah pada beberapa jenis kanker (termasuk kanker sehingga pemberian radioterapi akan memberikan
payudara), didukung dengan kemajuan ilmu onkologi benefit untuk angka survival dan menurunkan angka
radiasi dan munculnya teknik-teknik baru, maka kekambuhan.3
penelitian mengenai hipofraksinasi kembali menarik
perhatian.1
Tabel 1. Beberapa nilai rasio α/β pada berbagai jaringan normal dan tumor16
Jaringan Endpoint α/β Sumber
wewenang untuk mengambil keputusan yang paling yang baik, meskipun pada waktu itu Grubbe menunda
tepat untuk pasiennya. Dalam memutuskan dilakukan untuk mempublikasikannya. Grubbe menjadi seorang
atau tidaknya tindakan radiasi post-mastektomi, pionir Radioterapi, dan mendapatkan berbagai
sebaiknya dipertimbangkan juga faktor-faktor risiko penghargaan di bidang fisika maupun kedokteran. 8
lainnya seperti pathological stage II, status batas
sayatan dekat, adanya invasi limfovaskuler, usia muda, Pada waktu itu belum ada gagasan mengenai
diseksi aksila yang kurang adekuat, dan adanya ekstensi fraksinasi. Baru setelah 10 tahun sejak penemuan Emil
ekstrakapsular.3 Grubbe; Bergonie dan Tribondeau mengemukakan
dugaan mengenai adanya perbedaan respon dengan
Fraksinasi pada Radiasi Kanker Payudara dilakukannya fraksinasi.8,9 Dan pada tahun 1930,
penelitian empiris oleh Claude Regaud dan Henri
Pada saat pertama kali ditemukannya sinar-X, Coutard memberikan kesimpulan bahwa dengan
tidak ada yang mengetahui atau berpikir bahwa sinar-X membagi suatu dosis yang besar menjadi dosis-dosis
memiliki efek biologis yang begitu berguna dalam kecil, akan lebih bersifat mematikan untuk kanker, dan
terapi kanker.8 Kanker payudara adalah kasus keganasan lebih sedikit menimbulkan kerusakan terhadap jaringan
pertama yang dicoba untuk diterapi dengan sehat di sekitarnya.8
menggunakan sinar-X. 8 Kala itu seorang pemuda
bernama Emil Grubbe mencoba menggunakan sinar-X Studi dan Penerapan Klinis Hipofraksinasi pada
untuk mengobati kanker payudara yang rekuren.8,9 Kanker Payudara Stadium Dini
Saat itu masih dalam tahun 1895, yaitu pada Hipofraksinasi pada kanker payudara sudah
tahun yang sama di mana Wilhem Conrad Roentgent mulai dipublikasikan pada jurnal ilmiah pada tahun
menemukan sinar-X di dalam laboratoriumnya di 1991. Studi fase I oleh Brierley yang menggunakan
Jerman. Emil Grubbe masih menyelesaikan kuliahnya fraksinasi dengan dosis 48,75 Gy dalam 15 fraksi
sebagai mahasiswa kedokteran di Hahnemann Medical selama 39 hari yang diterapkan pada 133 sampel;
College of Chicago, dan dalam jangka waktu tidak lebih memberikan hasil kontrol lokal yang cukup baik, tetapi
dari 21 hari sejak penemuan sinar-X oleh Wilhem terdapat perubahan kosmetik yang signifikan pada
Conrad Roentgent, mahasiswa ini merakit sendiri pasien. 10
pesawat sinar-X pertama di Chicago, dan mencoba
memberikan sinar-X pada pasien kanker payudara yang Selanjutnya, banyak penelitian lain yang
sudah dioperasi berulang kali karena kekambuhan. bermunculan untuk mengetahui hipofraksinasi yang
Percobaannya ini ternyata membuahkan respon paliatif optimal pada kanker payudara; mulai dari 40 Gy/15
Hipofraksinasi Pada Kanker payudara Stadium Dini
56
(E. Aditya, S. Gondhowiardjo )
fraksi, 42 Gy/16 fraksi, 44 Gy/16 fraksi, 52 Gy /20 NSW Cancer Institute tidak memberikan penjelasan
fraksi, 57 Gy/16-17 fraksi, sampai pemberian lebih banyak mengenai pemilihan ini. 14
hipofraksinasi yang cukup bermakna yang dilakukan
oleh Martin dan Ortholan dengan dosis 32,5 Gy/5 fraksi Mengenai penambahan booster pada tumor
serta beberapa penelitian hipofraksinasi ekstrim lainnya bed, belum terdapat studi jangka panjang yang
yang masih dalam follow-up.10 Salah satu penelitian membandingkan outcome dari hipofraksinasi payudara
dengan jumlah sampel besar dan follow-up yang cukup tanpa booster dan dengan booster. Penulis hanya
panjang dilakukan oleh Standardization of Breast Radi- menemukan satu studi dengan jumlah sampel besar
otherapy (START) trial A dan trial B. Studi START trial dan dengan waktu follow-up sedang. Studi dari
A ini mengambil sampel 2.236 wanita dengan kanker Romestaing ini dilakukan terhadap 1.024 wanita yang
payudara stadium dini (pT1-3a pN0-1 M0) secara acak, secara random dimasukkan dalam kelompok
lalu dibagi dalam 3 kelompok: 41,6 Gy dalam 13 hipofraksinasi whole breast 20 x 2,25 Gy dengan
fraksi, 39 Gy dalam 13 fraksi, dan fraksinasi booster 4 x 2,5 Gy atau hanya whole breast 20 x 2,2
konvensional, dengan booster elektron dengan dosis 10 Gy saja.15 Hasil dari studi ini difollow-up dalam 5
Gy dalam 5 fraksi sesuai indikasi. Hasil dari penelitian tahun, dan memberikan hasil rekurensi lokal yang
ini memberikan kekambuhan lokal yang seimbang lebih rendah pada kelompok booster (p = 0.044),
antara fraksinasi konvensional dengan radiasi 41,6 Gy dengan relatif risk 0,3 (0,12-0,95), tanpa adanya
dalam 13 fraksi, serta terdapat peningkatan pada perbedaan hasil kosmetik yang berbeda pada kedua
kelompok 39 Gy dalam 13 fraksi (p= 0,027). Tidak ada kelompok.15
perbedaan dalam hal kesintasan hidup antara ketiga
kelompok perlakuan. 11 Dasar Hipofraksinasi pada Kanker Payudara
1970 anggapan yang berlaku di antara radiation Canada melakukan analisis statistik mengenai
oncologist pada saat itu adalah bahwa pemanjangan terjadinya rekurensi pada pasien dengan usia < 50
overall treatment time tidak menimbulkan perubahan tahun dibandingkan dengan > 50 tahun dan tidak
control lokal tumor. Bertentangan dengan hal ini, didapatkan perbedaan statistik yang bermakna (p=
beberapa eksperimen dalam tahun tahun berikutnya 0,67). Penelitian pada McMaster University ini
mulai menemukan bahwa sel klonogen mengalami sayangnya hanya memasukkan sebanyak 305 pasien
perubahan dalam tingkat proliferasi setelah beberapa berusia kurang dari 50 tahun dari total sampel sebanyak
minggu dimulainya radioterapi.2 1.234 pasien, sehingga intepretasi ini tidak dapat
diaplikasikan begitu saja. Penelitian-penelitian lain
Adanya faktor waktu yang berhubungan dengan belum ada yang melakukan perhatian khusus mengenai
respon tumor juga semakin ditunjukkan dengan adanya pengaruh usia terhadap hasil akhir penyinaran dengan
penelitian dari Withers et al. yang mengenai dampak hipofraksinasi, selain itu terbatasnya waktu follow-up
overall treatment time terhadap TCD 50, yang juga menjadi kendala. Atas dasar tersebut, ASTRO
disempurnakan lagi oleh Bentzen et al. pada tahun 1991. memberikan rekomendasi bahwa pemberian
Dalam penelitian ini juga disinggung adanya hipofraksinasi payudara sampai saat ini dianggap aman
keuntungan yang diperoleh dengan dilakukannya untuk pasien dengan usia di atas 50 tahun.10
pemendekan overall treatment time, yang terlepas dari
ada atau tidaknya perbedaan nilai rasio α/β.2 START trial memberikan batasan stadium T1-
2 N0-1 dan tidak memberikan batasan BCS maupun
Jika kita mengambil nilai rasio α/β untuk kanker mastektomi.11,12 Pasien-pasien dengan N0-1 yang
payudara sebesar 4,5 Gy, maka pada pemberian dosis memiliki risiko, dilakukan pemberian radiasi loko-
radiasi konvensional dengan 2 Gy/fraksi sebanyak 25 regional dengan dosis hipofraksinasi. Pada laporannya,
fraksi kita akan memberikan dosis sebesar 50 Gy. tidak didapatkan peningkatan efek samping paru,
Sedangkan pemberian dosis radiasi 42,5 Gy dalam 16 jantung, tulang iga, maupun plexus brachialis untuk
fraksi, kita akan memperoleh EQD2 sebesar 46,8 Gy. 10 kelompok-kelompok yang dilakukan hipofraksinasi.
Anggota-anggota dalam task group ASTRO tidak dapat
Kriteria Pasien untuk Hipofraksinasi Payudara mencapai kesepakatan untuk menentukan mengenai
status N (kelenjar getah bening) yang dianggap aman
Pada penelitian START trial A, tidak ada untuk dilakukan hipofraksinasi, demikian juga dalam
kriteria inklusi menyangkut usia, jenis operasi, maupun hal jenis operasi yang dilakukan (mastektomi atau
ada atau tidaknya kelenjar getah bening. Distribusi breast conserving surgery). Karena belum ada bukti
sampel pada ketiga kelompok perlakuan juga tidak keamanan tersebut, task group ASTRO menyarankan
menunjukkan adanya heterogenitas karakteristik sampel. hipofraksinasi payudara diberikan pada kasus kanker
Tabel 2 menunjukkan profil usia pada studi START A.11 payudara dengan kelenjar getah bening yang negatif
dan dilakukan BCS.10
START trial A menyertakan sampel dari semua
rentang usia, dan tidak mandapatkan adanya tumor Pengaruh hipofraksinasi payudara pada pasien
kontrol yang lebih buruk pada kelompok usia yang lebih yang dilakukan kemoterapi pre atau durante radiasi
muda selama masa follow-up. McMaster University juga belum diketahui dengan pasti. McMaster
Tabel 2. Distribusi Usia Sampel (START Trial A)
Fraksinasi
University Canada dalam follow-up 12 tahun juga akan terjadi pada hipofraksinasi payudara yang
menyatakan tidak terdapat perbedaan baik dalam hal menggunakan teknik 3D.10
kontrol tumor maupun efek lanjut radiasi selama
periode follow-up penelitian antara pasien yang Penjelasan yang lain menerangkan bahwa
diberikan kemo dan tidak.13 rasio α/β untuk jaringan paru, jantung dan jaringan
lunak serta kanker payudara hanya memiliki perbedaan
Sebagian besar anggota task group ASTRO yang minimal. Karena itu, perubahan dosis per fraksi
berpendapat bahwa kemoterapi tidak berpengaruh akan memberikan pengaruh yang sebanding antara
terhadap hasil akhir pemberian hipofraksinasi, tetapi tumor dan jaringan sehat di sekitarnya. ASTRO
terdapat sebagian kecil anggota yang kurang setuju sendiri berpendapat bahwa karena penjelasan-
dengan pernyataan tersebut karena sebagian besar penjelasan tersebut masih merupakan dugaan yang
sampel (65-90%) pada penelitian-penelitian yang ada belum terbukti sercara clinical trial, hipofraksinasi
tidak memiliki riwayat kemoterapi.10 Kesimpulan dari payudara sebaiknya dilakukan pada keadaan di mana
task group ASTRO memandang pemberian jantung tidak berada dalam primary field beam
hipofraksinasi bersamaan dengan pemberian kemoterapi tangensial atau apabila center tersebut dapat
maupun pada pasien dengan riwayat kemoterapi belum menggunakan teknik radiasi yang lebih canggih seperti
memiliki bukti keamanan, sehingga tidak dianjurkan field in field dan IMRT. 10
untuk pemakaian hipofraksinasi.
Institusi yang memberikan panduannya secara
Batasan Toleransi Organ at Risk (OAR) pada lebih rinci mengenai rekomendasi untuk mengevaluasi
Hipofraksinasi Payudara planning adalah NSW Cancer Institute. Panduan
tersebut diterjemahkan dalam Tabel 3.14
Penelitian-penelitian hipofraksinasi pada
umumnya mulai berjalan pada tahun 90-an dan dipantau Laporan-laporan Mengenai Efek Samping pada
sampai beberapa tahun. Penggunaan DVH belum Jaringan Normal
banyak dilakukan waktu itu, dan hanya sebagian kecil
pasien yang menggunakan teknik 3D. Dengan treatment Banyak penelitan yang mencoba
planning 2D, peneliti hanya melihat homogenitas pada membandingkan efek samping jaringan normal yang
isosenter saja. Sedikitnya studi yang menggunakan didapat oleh pasien kanker payudara yang dilakukan
Dose Volume Histogram (DVH) pada saat itu menjadi hipofraksinasi dan fraksinasi konvensional, sayangnya
kendala untuk melakukan evaluasi mengenai batasan validitas dari penelitian-penelitian tersebut masih
pasti untuk constraints organ at risk untuk pemberian dipertanyakan karena jangka waktu follow-up yang
hipofraksinasi payudara.10-13 belum adekuat. Walaupun demikian, pemantauan
mengenai efek samping akut maupun lambat pada
Radioterapi payudara menggunakan teknik 2D beberapa studi memang dilaporkan dengan cukup
terbukti lebih inferior dibandingkan dengan teknik 3D lengkap.
dalam hal toksisitas akut maupun lambat. Penggunaan
teknik 3D konformal dapat menurunkan risiko Penelitian dari McMaster University yang
komplikasi akut maupun lanjut pada radioterapi dengan melakukan follow-up selama 10 tahun untuk late effect
fraksinasi konvensional. Hal yang serupa seharusnya mendapatkan perubahan kosmetik pada 29% pada
Tabel 3. Tabel Batasan Dosis di Organ at Risk pada Hipofraksinasi Payudara
Paru Pada ketentuan yang dicantumkan berikut, volume paru adalah adalah
gabungan kedua paru.
Dosis rata-rata (mean dose) < 18,7 Gy; atau apabila mungkin < 13,4 Gy
Jaringan paru yang terkena < 3 cm pada setiap slice nya; atau apabila
mungkin < 2 cm
kelompok 50 Gy dan 30% pada kelompok 42,5 Gy. Hal ini menjadikan tantangan untuk institusi-
Perubahan kulit, jaringan subkutan, maupun kejadian institusi lainnya, terutama pada institusi yang sudah
fraktur costae yang terjadi pada kedua kelompok juga dapat menerapkan image based radiotherapy dengan
dilaporkan tidak signifikan berbeda.10-13 baik untuk dapat melakukan perubahan fraksinasi pada
kasus-kasus yang sesuai.
Penelitian – penelitian yang sudah ada
menunjukkan proporsi efek samping akut maupun lanjut Kesimpulan
yang setara antara kelompok fraksinasi konvensional
dibandingkan dengan kelompok hipofraksinasi. Studi Pemberian radioterapi pada kanker payudara
START A dan START B memberikan laporan stadium dini yang dilakukan BCS akan meningkatkan
penelitiannya dalam follow-up 5 dan 6 tahun. Peneliti kontrol lokal maupun angka kesintasan hidup. Selama
dari dua studi ini juga mengakui bahwa waktu follow-up ini pemberian radiasi pada jaringan payudara dilakukan
ini masih terlalu dini untuk menilai beberapa endpoint dengan fraksinasi konvensional 25 x 2 Gy dengan atau
late effect, sehingga pemantauan terhadap efek lanjut tanpa disertai dengan pemberian booster pada surgical
pada waktu follow-up berikutnya masih akan bed.
dilaporkan kembali.11,12 Penggunaan teknik yang lebih
canggih saat ini (3D, FIF, maupun IMRT) diharapkan Tatalaksana radiasi dengan menggunakan
dapat memperbesar peluang untuk memperoleh hipofraksinasi dapat diberikan pada kasus-kasus kanker
komplikasi lanjut yang lebih sedikit, baik pada payudara stadium dini yang dilakukan BCS. Karena
penggunaan fraksinasi konvensional maupun masih terbatasnya studi dan waktu follow-up, maka
hipofraksinasi. rekomendasi dari American Society for Radiation
Oncology baru dapat menganjurkan pemberian
Perubahan Guideline hipofraksinasi pada kasus dengan T1-2 N0, yang telah
dilakukan BCS, tanpa didahului dengan pemberian
Penelitian – penelitian yang sudah ada sampai kemoterapi. Dosis yang direkomendasikan oleh
saat ini membuat beberapa institusi berani untuk kebanyakan institusi adalah 42,5 Gy dalam 16 fraksi
memberikan perubahan pada guideline penatalaksanaan dengan atau tanpa penambahan booster 10 Gy dalam 4-
radioterapi payudara, walaupun karena terbatasnya data, 5 fraksi.
perubahan tata-laksana ini baru direkomendasikan untuk
kanker payudara stadium dini. A merican Society for Sampai saat ini, pemberian hipofraksinasi
Radiation Oncology dan NSW Cancer Institute payudara memberikan hasil kontrol lokal maupun
memberikan rekomendasi ini kurang lebih Juli 2011, kesintasan hidup yang seimbang dengan fraksinasi
serta Magellan Health Services Columbia pada Juni konvensional, dan tidak terbukti terdapat peningkatan
2012 dengan anjuran hipofraksinasi dengan regimen efek samping lanjut. Hal ini dapat menjadi tatalaksana
yang sama dengan ASTRO.10,14,17 terapi yang baru, dan sudah mulai direkomendasikan
oleh beberapa institusi, terutama pada pusat-pusat
radioterapi yang sudah dapat melakukan image based
radiation therapy dengan baik.
Daftar Pustaka
10. Smith BD, Bentzen SM, Correa C, Hahn CA, Har- 15. Romestaing P, Lehingue Y, Carrie C, Coquard R,
denbergh PH, Ibbott GS, et al. Fractionation For Montbarbon X, Ardiet JM, et al. Role of a 10-Gy
Whole Breast Irradiation: An American Society for boost in the conservative treatment of early breast
Radiation Oncology (ASTRO) Evidence-Based cancer: results of a randomized clinical trial in
Guideline. Int. J Radiat Oncol Biol Phys. Lyon, France. J Clin Oncol. 1997;15:963-968.
2011;81:59-68. 16. Bentzen SM, Joiner MC. The linear-quadratic
11. Bentzen SM, Agrawal RK, Aird EG, Barrett JM, approach in clinical practice. In: Joiner M, Kogel
Barrett-Lee PJ, Yarnold J, et al. The UK Avd, editors. Basic Clinical Radiobiology. 4th ed.
Standardisation of Breast Radiotherapy (START) London: Hodder Arnold; 2009.pp.12-34.
Trial A of Radiotherapy hypofractionation for 17. Pentecost M. Clinical guidelines for Breast
Treatment of Early Breast Cancer: a randomized Cancer. Columbia: National Imaging Associates,
trial. Lancet Oncology 2008;9(4):331-341. Inc.; 2012.
12. Bentzen SM, Agrawal RK, Aird EG, Barrett JM,
Barrett-Lee PJ, Yarnold J, et al. Th UK
Standardisation of Breast Radiotherapy (START)
Trial B of radiotherapy hypofractionation for
treatment of early breast cancer: a randomized trial.
Lancet . 2008;371:1098-1107.
13. Whelan TJ, Pignol J-P, Levine MN, Julian JA,
MacKenzie R, Parpia S , et al. Long-term Results
of Hypofractionated Radiation Therapy for Breast
Cancer. N Engl J Med..2010;362:513-520.
14. NSWCI. Radiation Oncology, Breast, Invasive
Breast Cancer. Adjuvant Conserved Breast
Irradiation, Short Course. New South Wales: eviQ
Cancer Treatment Online; 2011.
Peran Radiasi Eksterna pada Tata Laksana Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma
61 (M.Primasari, S.M. Sekarutami)
Laporan Kasus
Peran Radiasi Eksterna pada Tata Laksana
Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma
Mirna Primasari, Sri Mutya Sekarutami
Departemen Radioterapi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
Abstrak / Abstract
Radioterapi identik dengan terapi pada penyakit-penyakit keganasan, yang juga dapat
digunakan untuk terapi pada penyakit non keganasan. Radiasi eksterna pada penyakit non
Informasi Artikel keganasan cenderung diabaikan dan dilupakan karena masih banyak pilihan terapi lainnya,
Riwayat Artikel
meskipun demikian ternyata perannya untuk beberapa penyakit non keganasan amatlah pent-
Diterima : Mei 2013 ing untuk kita ketahui. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma (JNA) merupakan salah satu
contoh kasus penyakit non keganasan yang membutuhkan terapi radiasi eksterna, baik sebagai
Disetujui : Juni 2013
tindakan yang bertujuan kuratif definitif maupun paliatif.
Kata kunci: Radiasi Exter na, Juvenile Nasopharyngeal A ngiofibroma
Radiotherapy is usually identical with therapy for malignancy, which is also useful for some
Alamat Korespondensi: non malignancy diseases. The radiation therapy for non malignancy tends to be overlooked
Dr. Mirna Primasari
and forgotten because there are so many other options other than radiation, despite that in
Departemen Radioterapi RSUPN
Dr. Cipto Mangunkusumo, some cases or conditions, radiation therapy has a key role that we have to know. Juvenile
Fakultas Kedokteran Universitas nasopharyngeal angiofibroma (JNA) is one of the non malignancy cases which radiation ther-
Indonesia, Jakarta apy plays part in, whether for curative definitive intent or palliative.
E mail:
Keywords: external beam radiotherapy, non malignancy, juvenile nasopharyngeal angiofi-
mirnaprimasari.md@gmail.com
broma
adalah lesi dengan vaskularisasi banyak, tidak berkapsul, penambahan jumlah kromosom X, sangat mendukung
serta berasal dari jaringan mesenkimal. Kompresi ke proses patofisiologis JNA yang berhubungan dengan an-
jaringan normal di sekitarnya menghasilkan pseudokap- drogen sementara b-catenin berfungsi sebagai protein
sul dari jaringan fibrosa. Sifat dari JNA adalah jinak dan koaktivator dari reseptor androgen. Teori tersebut dit-
secara histopatologis terdiri dari stroma jaringan pen- ambah dengan efek mutasi gen b-catenin yang mening-
yambung dan matriks pembuluh darah yang strukturnya katkan ekspresi AR telah menjadi bagian penting dari
berdilatasi. Komponen pembuluh darah pada JNA minim penjelasan kejadian JNA pada laki-laki muda. Meskipun
unsur muskular pada lapisannya sehingga cenderung demikian, bagaimana JNA berawal, mekanisme sifat
rapuh dan mudah berdarah.5 Meskipun jinak dan tumbuh yang bifasik (komponen stromal dan vaskuler) – apakah
dengan lambat, tumor ini memiliki sifat yang agresif lo- hanya satu komponen saja yang berperan terhadap per-
kal serta dapat menyebabkan destruksi tulang luas, tumbuhan sementara yang lain hanya bystander ataukah
perdarahan intrakranial, deformitas wajah, epistaksis be- keduanya berproliferasi dan tumbuh bersama, serta in-
rat serta kebutaan.6 sidensi pada laki-laki; hingga saat ini belum ada teori
yang pasti.10
1. Insidens
Kejadian JNA kurang lebih 0,05% - 0,5% dari
semua tumor kepala leher dan merupakan tumor yang 3. Gejala Klinis
sering terdapat di daerah nasofaring.Pada umumnya ter- Gejala utama tersering adalah obstruksi nasal,
jadi pada anak laki-laki usia remaja/ muda. Usia rata-rata yaitu pada 90% dari pasien serta epistaksis spontan beru-
diagnosis adalah pada usia 15 tahun.5-9 lang sekitar 60%.4,5
Insidensi umum JNA kurang lebih 1:150.000.12 Gejala-gejala lain yang mungkin dapat timbul
Kejadian dominan pada remaja laki-laki atau laki-laki adalah keluar cairan dari hidung, nyeri, sinusitis,
dewasa muda usia 10-24 tahun.4 Beberapa kasus mes- gangguan di telinga seperti otitis media dan gangguan
kipun sangat jarang, terjadi pada laki-laki di atas usia 25 pendengaran.4
tahun dan pada beberapa remaja perempuan.10
Ketika terdapat ekstensi lokoregional ke dasar
kranium, dapat terjadi deformitas wajah, proptosis, dan
2. Etiologi dan histopatogenesis defisit nervus kranialis. Jafek, dkk.5 melaporkan kejadian
proptosis mencapai 20% dan neuropati kranial pada 33%
Etiologi dari JNA masih sulit dipahami.
dari 15 pasien dengan JNA yang melibatkan fossa krani-
Penelitian membuktikan bahwa tidak ada hubungan anta-
um media. Umumnya, gejala baru mulai muncul kurang
ra virus Epstein-Barr dan Human Herpes-8 dengan ke-
lebih 6-7 bulan sampai dengan 1 tahun.4-6
jadian JNA.11 Selektivitas jenis kelamin dari JNA dan
usia insidensi yang relatif muda memberi kesan keterli- Pada pemeriksaan fisik, selain khas dari segi usia
12
batan hormon. Kelainan hormon telah dilaporkan pada dan jenis kelamin, dapat juga ditemukan sekresi mukopu-
pasien dengan JNA, reseptor androgen dan estrogen rulen pada rongga hidung, massa berwarna kemerahan,
ditemukan pada jaringan tumor, namun keterlibatan hor- licin dan berbentuk bulat di daerah nasofaring, palatum
mon tersebut masih kontroversial. 12 Penelitian- molle sering terdorong ke arah inferior.6
penelitian terbaru kini ditujukan untuk menganalisis pe-
rubahan genetik dan molekuler, tetapi etiologi dan pato-
genesisnya masih belum diketahui hingga kini.10,12 4. Diagnosis
Penelitian imunohistokimia baru-baru ini menunjukkan Diagnosis secara klinis agak sulit dibedakan
bahwa V asular Endothelial Growth Factor (VEGF), dengan tumor sinonasal lainnya, dan sering terabaikan.
dengan Hypoxia Inducible Factor (HIF-1) sebagai kom- Diagnosis diferensial dari JNA antara lain: hemangioma,
ponen regulator transkripsi dan faktor proangiogenik polip khoana, karsinoma nasofaring, polip angiomatosa,
terdapat di sel stroma JNA, mendukung teori bahwa per- kista nasofaring, hemangioperisitoma, rhabdomyosarko-
tumbuhan pembuluh darah dikendalikan oleh faktor per- ma, khordoma.
tumbuhan yang berasal dari unsur stromal.10,12 Pada kasus karsinoma limfoepitelial rongga
Adanya mutasi b-catenin pada JNA dan ekspresi hidung, dilaporkan menyerupai angiofibroma juvenilis
b-catenin nuklear pada nukleus dari sel stromal men- baik dari gejala klinis maupun gambaran radiologis, se-
imbulkan hipotesis bahwa komponen stromal adalah hingga hanya dapat dibedakan setelah dilakukan
kunci dari elemen neoplastik pada JNA. pemeriksaan patologi anatomi pasca tindakan pem-
bedahan.13
Analisis genetik JNA mengklarifikasi beberapa
teori tentang abnormalitas genetik dan membuktikan Biopsi transnasal pada kecurigaan JNA tidak
adanya peran hormon androgen pada JNA. Kehilangan dianjurkan karena akan mencetuskan perdarahan dengan
sebagian atau seluruh kromosom Y serta didapatkannya cepat. Pemeriksaan penunjang dengan CT dan MRI ada-
gen A ndrogen Receptor (AR) sehubungan dengan lah pemeriksaan penunjang utama dalam menegakkan
Peranan Radiasi Eksterna Dalam Tatalaksana Juvenile Nasopharingeal Angiofibroma
63 (M. Primasari, S.M. Sekarutami)
diagnosis.6 CT lebih superior untuk mengevaluasi diakan suplai darah pada JNA.22 Tetapi, saat tumor ber-
struktur tulang dari dasar tengkorak, termasuk melihat tambah besar, suplai juga didapatkan dari cabang-cabang
erosi tulang, lebih spesifik untuk kedalaman invasi pada A.karotis interna ipsilateral serta A.karotis eksterna kon-
tulang sfenoid sebagai prediktor utama dari rekurensi tralateral.4
ataupun residu dari tindakan operatif.4
JNA merupakan tumor jinak yang invasif, mes-
Diagnosis dengan CT pada potongan koronal kipun awalnya timbul perdebatan mengenai pola penyeb-
akan menunjukkan adanya massa jaringan lunak pada aran dan lokasi timbulnya JNA. Awalnya JNA dianggap
rongga nasal posterior bersamaan dengan pembesaran berasal dari nasofaring, tetapi dari teori dan penelitian
foramen sfenopalatina dan erosi batas tulang posterior. ternyata JNA berasal dari kanalis pterygoid kemudian
Gambaran khas JNA disebut juga dengan tanda Holman- menyebar melalui foramen sfenopalatina, sinus sfenoid,
Miller, adalah melengkungnya dinding maksillaris poste- dan fossa pterygopalatina, kemudian ke daerah-daerah
rior ke arah anterior sehubungan adanya massa di rongga lain yang berdekatan melalui ketiga jalur tersebut. Kana-
pterygomaksillaris yang terlihat pada potongan aksial.6 lis pterygoid menghubungkan foramen lacerum dengan
fossa pterygopalatina.7
Pemeriksaan MRI digunakan untuk evaluasi
tambahan mengenai batas tumor dengan jaringan lunak Pemahaman mengenai pola penyebaran ini pent-
sekitarnya serta mengevaluasi adanya ekstensi ke sinus ing terutama untuk terapi dan mencegah rekurensi Untuk
kavernosus ataupun intrakranial. 6 lebih jelasnya mengenai pola invasi dari JNA, dapat
dilihat di gambar berikut (Gambar 2 dan 3).
Rekurensi dan tumor residu paling baik dilihat
dari MRI. Konfirmasi mengenai diagnosis JNA juga
dapat dilakukan dengan angiografi, yang juga sekaligus
dapat berfungsi sebagai terapi dengan metode embo-
lisasi. Dengan pemeriksaan angiografi dapat terlihat
suplai darah spesifik pada tumor.
Staging baru yang diusulkan ini berdasarkan Tabel 1. Staging Andrews (Modifikasi Fisch)4
kepada pemahaman bahwa semua tumor stadium I Stadium Deskripsi
dapat diangkat secara total dengan risiko rekurensi I Tumor terbatas di kavum nasi dan nasofaring
sangat rendah. Stadium II berhubungan rekurensi ren- II Ekstensi tumor ke fossa pterygopalatina, maksilla, sphe-
dah ketika teknik operatif yang baik dilakukan. Stadi- noid, atau sinus ethmoid.
um III memiliki risiko rekurensi lebih tinggi dan de- IIIA Ekstensi pada orbit atau fissa infraetmporal
rajat ekstensi intrakranial harus ditentukan dengan IIIB Stadium IIIA , dengan keterlibatam pergerakan kecil
tepat dan hati-hati. Stadium IV memerlukan pendeka- ekstradural.
tan multimodalitas mengingat reseksi komplet tidak IVA Intrakranial ekstradural besar atau ekstensi ekstradular
dimungkinkan. IVB Ekstensi ke sinus cavernosum, hipofisis, chiasma
optikum.
Stadium Chandler, dkk. (1984) Sessions, dkk. (1981) Radkowski, dkk. (1996) Revisi
Terbatas pada hidung
I A Sama dengan Sessions Hidung, rongga nasofaring,
atau rongga nasofaring
Terbatas di rongga nasofaring sinus ethmoid-sfenoid, atau
Meluas ke salah satu atau
B Sama dengan Sessions ekstensi minimal ke PMF
lebih sinus
Ekstensi minimal ke PMF
II A sampai okupasi penuh Sama dengan Sessions Sinus maksilla, okupasi penuh
PMF dari PMF, perluasan ke fossa
Tumor meluas ke kavum nasi
Dengan atau tanpa erosi kranii anterior, dan perluasan
B atau sinus sphenoid Sama dengan Sessions
tulang orbita terbatas pada fossa infratem-
ITF dengan atau tanpa Atau posterior lamina poral
C
pipi pterygoid
Erosi basis kranium, Perluasan ke dalam basis
III A Ekstensi intrakranial
minimal intracranial pterygoid atau sphenoid wing,
Tumor meluas ke antrum,
Erosis basis kranii, ekstensi lateral signifikan ke
sinus ethmoid, PMF, ITF,
intrakranial ekstensif, fossa infratemporal atau ke
B orbita, dan atau pipi
dengan/tanpa sinus lamina pterygoid atau orbita,
kavernosus obliterasi sinus kavernosus
Ekstensi intrakranial diantara
kelenjar hipofisis dan a.karotis
IV Tumor intrakranial interna, lokalisasi tumor, fossa
cerebri media, atau ekstensi
luas intrakranial
yang menderita karsinoma sel basal 14 tahun pasca radi- kurabilitas 85% pada terapi definitif sampai dengan
asi eksterna, atau sebanyak 6%.17 Komplikasi lain yang 100% pada radiasi ajuvan pasca operasi/ tumor residu
mungkin timbul dari radiasi adalah panhipopituitarisme, dan respons komplet dicapai dalam waktu 1-39 bulan
retardasi pertumbuhan, katarak, keratopati radiasi, nekro- (median 13 bulan).10,18
sis lobus temporal, sindrom akibat gangguan pada sistem
saraf pusat.4-6,17 Meskipun secara teori disebutkan mengenai ban-
yaknya komplikasi berat yang timbul setelah radiasi,
Teknik radiasi Konformal 3 Dimensi (3D-CRT) tetapi dari hasil penelitian yang sudah dilakukan tidak
atau Intensity Modulated Radiation Therapy (IMRT), didapatkan hal yang serupa seperti teori tersebut. Kom-
mungkin dapat menghasilkan tingkat kontrol lokal setara plikasi yang justru sering terjadi adalah inflamasi serta
dengan morbiditas yang lebih rendah.4,8 Teknik IMRT keringnya lapisan mukosa, xerostomia dan caries dentis
telah dilakukan untuk tatalaksana JNA ekstensif dan sebagai akibat dari xerostomia.10
rekuren, dan dilaporkan memberikan hasil yang baik.16
Efek lanjut cukup besar ( 32%) dilaporkan ter-
Pada teknik 3D-CRT dan IMRT yang dilakukan dapat pada sebuah studi yang dilakukan di Florida dari
di India, digunakan cakupan PTV 4-5 mm dengan kurva tahun 1975-2003.5
isodosis 95%. Dosis yang diterima tumor adalah 30-46
Gy, dengan margin tumor sebesar 20 Gy. Efek akut 6. Follow up
dilaporkan masih dalam batas aman, tidak ada yang men-
capai RTOG 3 atau 4. Sementara untuk efek lambat
dilaporkan 1 orang pasien dengan rhinitis persisten. Satu Follow up jangka panjang perlu dilakukan kare-
pasien meninggal sebulan setelah menyelesaikan radiasi na adanya kemungkinan rekurensi dan efek lanjut dari
karena epistaksis masif.9 radiasi. Angka rekurensi murni pasca reseksi total adalah
50% yang terjadi dalam kurun waktu Antara 2-4 tahun
IMRT mampu memberikan limitasi dosis pada ayau raya-rata 37 bulan pasca operasi.5
nervus optikus, chiasma optikum, brainstem, otak, me-
dulla spinalis, lensa, retina, mandibula dan parotis. Do- Kebanyakan rekurensi pasca operasi muncul da-
sis total yang diterima tumor adalah sebesar 34-45 Gy. lam waktu 12 bulan pertama dan follow up rutin dalam
Tumor mengecil dalam waktu 15 dan 40 bulan. Efek waktu tersebut amatlah penting karena masih dapat dil-
akut dilaporkan masih dalam batas aman, tidak ada yang akukan operasi revisi dengan morbiditas minimal. Pasien
mencapai RTOG 3 atau 4. Sementara untuk efek lambat yang menjalani penelitian terutama berada pada Stadium
dilaporkan 1 orang dengan rhinitis persisten. Satu pasien II dan
19
III klasifikasi Chandler, dengan beberapa stadium
meninggal sebulan setelah menyelesaikan radiasi karena IV.
epistaksis massif.9 Laki-laki usia remaja merupakan ciri utama JNA
Dengan IMRT dapat diberikan dosis yang lebih yang lebih ekstensif. Gejala yang timbul juga khas. Kelu-
besar dari 45 Gy dengan toksisitas minimal dibanding- han awal dari pasien adalah hidung sering tersumbat,
kan pada radiasi konvensional yang tidak memungkinkan dengan keluarnya ingus bercampur darah serta epistaksis
untuk dosis tinggi sehubungan dengan morbiditas tinggi berulang. Gejala yang dirasakan pasien sekitar bulan
akibat banyaknya dosis yang diterima jaringan normal.9 Juni-Juli 2012 berupa kelopak mata yang jatuh ke bawah
melibatkan fossa kranial dan infratemporal, tingkat reku-
Sebuah studi di Jepang terhadap pasien JNA rensi setelah operasi dapat mencapai 55%. Tingkat reku-
yang menolak tindakan operatif, dilakukan tindakan radi- rensi tercatat rendah, yaitu 15%, di Austria dikarenakan
asi menggunakan cyberknife dengan total dosis maksi- deteksi dini dari JNA, dan rata-rata pasien memiliki lesi
mum yang diterima sebesar 4.512 cGy dalam 3 kali tera- yang tidak ekstensif.20
pi. Hasil yang didapat cukup memuaskan, dengan nekro-
sis tumor 3 bulan setelah terapi dan hampir sepenuhnya Penelitian retrospektif di UCLA dari tahun 1960-
hilang setelah 7 bulan. Pada penelitian yang dilakukan 2000 menunjukkan rekurensi terjadi pada 4 dari 27
Cummings dan Reddy seperti disebutkan sebelumnya, pasien yang diterapi dengan menggunakan teknik kon-
juga didapatkan hasil yang memuaskan, dengan tingkat vensional dan 3D. Seratus persen rekurensi dan efek
lanjut terjadi pada teknik konvensional.21
Pada penelitian di Jepang dengan cyberknife,
follow up selama 2 tahun menunjukkan hasil yang
memuaskan, yaitu tidak ditemukan rekurensi maupun
efek lanjut yang berbahaya.12
Ilustrasi Kasus
Seorang pasien laki-laki usia 17 tahun dengan
keluhan kehilangan penciuman terutama sisi kiri,
Gambar 4. Treatment planning IMRT perdarahan berulang dari hidung. Kelopak mata kiri yang
Peranan Radiasi Eksterna Dalam Tatalaksana Juvenile Nasopharingeal Angiofibroma
67 (M. Primasari, S.M. Sekarutami)
Periode Jumlah Perluasan Penyakit Dosis Teknik Radiasi Jumlah Reku- Komplikasi
Waktu Pasien Radiasi rensi
1960- 14 14- perluasan intrakranial 3 -5,5 Gy Co-60 atau 2 1-panhipopituitarisme
1985 Akselerator
Linier
1986- 10 6-Fossa Pterygomaksillaris 36-40 Gy Co-60 atau 2 1-hambatan pertumbuhan
1998 dengan ekstensi intrakranial Akselerator
1- fossa pterygomaksilaris dan Linier (2 tidak
orbita tanpa perluasan intrakra- diketahui)
nial
terasa berat dan susah dibuka. Penglihatan kiri menjadi Dua minggu pasca radiasi eksterna, keluhan
buram. Rhinoskopi posterior dan nasoendoskopi perdarahan sudah tidak ada lagi, keluhan nyeri kepala
memperlihatkan massa nasofaring kemerahan berbenjol maupun gangguan penglihatan tidak ada.
yang rapuh mudah berdarah.
Konfirmasi dengan CT scan memperlihatkan
massa sinonasal dengan kesan malignan yang meluas Diskusi
hingga sinus maksilaris, ethmoidalis, dan sfenoidalis Keluhan sakit kepala dan gangguan penglihatan
mengisi rongga nasofaring kanan kiri, mendestruksi menimbulkan kecurigaan adanya keterlibatan sinus cav-
dinding medial sinus maksilaris dan menginfiltrasi ernosus, fissura superior orbita, dan invasi intrakranial.
parasella. Patologi anatomi mengkonfirmasi diagnosis
Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma T4bN0Mx Diagnosis kerja yang ditegakkan dari rhinoskopi
dan nasoendoskopi serta CT scan adalah suspek JNA
Pasien menjalani ekstirpasi massa dengan DD/ karsinoma nasofaring. Pada CT scan lebih cender-
perdarahan masif intraoperatif, sehingga tindakan ung/ mencurigai ke arah malignancy pada sinonasal.
dihentikan dan dilakukan pemasangan tampon dan
perawatan ICU. Pasien menjalani radiasi eksterna Pasien menjalani tindakan operatif pada hari
hemostasis 3DCRT 20 x 2 Gy, setelah evaluasi Senin, 10 September 2012, dengan metode pendekatan
perdarahan berhenti dilanjutkan dosis kuratif ajuvan secara terbuka. Pada tindakan tersebut didapatkan
sampai dengan 50 Gy. Kurva cakupan isodosis dapat perdarahan masif sehingga tindakan dihentikan kemudi-
dilihat di Gambar 5 dan treatment planning di Gambar 6. an ditampon Balloq dan tampon anterior. Pasien kemudi-
an dikonsulkan ke radioterapi hari Jumat, 14 September
2012 untuk dilakukan tindakan radiasi eksterna cito he-
mostasis sebelum rencana pelepasan tampon hari Senin,
17 September 2012. Pasien juga dikonsulkan ke radiologi
GTV, untuk dilakukan tindakan intervensi embolisasi.
PTV,
CTV Evaluasi dari radioterapi saat itu adalah tidak
Eye L memungkinkan untuk dilakukan tindakan radiasi hemo-
stasis hanya dengan 1 kali radiasi saja, karena dosis yang
diberikan akan menjadi sangat besar dan tidak efektif
Eye R Chiasma Optic serta banyak organ at risk/ jaringan sehat yang berpotensi
menerima dosis radiasi besar dengan tingkat morbiditas
Spinal Cord tinggi. Selain itu melihat ekstensi tumor ke intrakranial,
akan ada kemungkinan untuk dilakukan radiasi ajuvan
setelahnya. Radiasi eksterna cito hemostasis tidak diberi-
Gambar 5. Kur va cakupan isodosis. ( GTV: Gross kan pada saat itu karena pertimbangan-pertimbangan
Tumor Volume, PTV: Planning Target Volume, CTV: tersebut.
Clinical Target Volume)
Radioterapi & Onkologi Indonesia Vol 4(2) Jul 2013:61-70 68
Pada hari Senin, 17 September 2012 dilakukan dapat dilakukan tindakan pembedahan, maka pilihan ter-
pelepasan tampon dan perdarahan masih banyak sehing- api adalah melakukan tindakan operatif semaksimal
ga pasien ditampon kembali dan dikonsulkan ulang ke mungkin dan residu tumor diterapi dengan radiasi ekster-
radioterapi. na.24 Untuk komplikasi perdarahan masif yang terjadi,
dapat disarankan untuk embolisasi preoperatif sebe-
Dari hasil evaluasi, pasien kemudian direncana-
lumnya. Saat ini pasien sedang menjalani terapi radiasi
kan untuk menerima radiasi ajuvan cito pasca operasi
dengan efek akut yang dapat ditoleransi.
mengingat adanya ekstensi intrakranial yang tidak
memungkinkan untuk tindakan reseksi komplet. Dosis Dosis dan teknik radiasi yang diberikan sesuai
yang direncanakan adalah 40 Gy kemudian dievaluasi, dengan dosis dan teknik terbaik dari hasil penelitian. Be-
dengan teknik 3D konformal untuk sparing jaringan nor- sar dosis tidak menjadi faktor penentu rekurensi. Dengan
mal. teknik yang lebih konformal, dosis yang lebih besar
dapat diberikan dengan morbiditas minimal pada
Secara tatalaksana, tindakan pada JNA dengan
jaringan sehat sekitarnya.
lokasi atau posisi yang inoperable adalah indikasi radiasi
23
definitif, sementara pada tumor-tumor yang masih
Daftar Pustaka
1. Brady, L.W. Heilmann, H.P. Molls, Michael. 9. Kuppersmith RB, Teh BS, Donovan DT, Mai
Nieder, Carsten. Radiotherapy for Non Malignant WY, Chiu JK, Woo SY, et al. The use of intensity
Disorders. Germany: Springer-Verlag Berlin Heidel- modulated radiotherapy for the treatment of ex-
berg; 2008. tensive and recurrent juvenile angiofibroma. Int J
Pediatr Otorhinolaryngol. 2000; 52:261-68
2. Seegenschmiedt, Heinrich,M. In: Radiotherapy for
Non Malignant Disorders, editors: Brady, L.W. 10. Coutinho-Camillo CM, Brentani MM, Nagal MA.
Heilmann, H.P. Molls, Michael. Nieder, Carsten. Genetic alterations in juvenile nasopharyngeal
Germany: Springer-Verlag Berlin Heidelberg; 2008. angiofibromas. Head & Neck. 2008;30(3): 390-
3. Seegenschmiedt, Heinrich, M. Schäfer, Ulrich. Clin- 400.
ical Principles. In: Radiotherapy for Non Malignant 11. Carlos R, Thompson LDR, Netto AC, Pimenta
Disorders, editors: Brady, L.W. Heilmann, H.P. LGGS, Correia-Silva JdF, Gomes CC, Gomez RS.
Molls, Michael. Nieder, Carsten. Germany: Spring- Epstein-Barr Virus and Human Herpes Virus-8
er-Verlag Berlin Heidelberg; 2008. are not associated with juvenile nasopharyngeal
4. Blount A, Riley K, Woodworth BA. Juvenile Naso- angiofibroma. Head Neck Pathol.2008;2(3): 145–
9.
pharyngeal Angiofibroma. Otolaryngol Clin N Am
2011; 44:989-1004 12. Deguchi K, Fukuiwa T, Saito K, Kurono Y. Ap-
plication of cyberknife for the treatment of juve-
5. Roche PH, Paris J, Regis J, Moulin G, Zanaret M,
Thomassin JM, et al. Management of invasive juve- nile nasopharyngeal angiofibroma: a case report.
nile nasopharyngeal angiofibromas: the role of mul- Auris, Nasus, Larynx. 2002; 29:395-400
timodality approach. Neurosurgery. Oct 2007; 13. Kim YH, Kim BJ, Jang TY. Lymphoepithelial
61(4):768-77 carcinoma of the nasal cavity mimicking juvenile
6. Garça MF, Yuca SA, Yuca K. Juvenile Nasopharyn- angiofibroma. Auris Nasus Larynx. 2012; 39(5):
geal Angiofibroma. Review Article: Eur J Gen Med. 519–22
2010; 7(4):419-25 14. Carillo JF, Maldonado F, Albores O, Ramirez-
7. Liu ZF,Wang DH, Sun XC, Wang JJ, Hu L, Li H, et Ortega MC, Onate-Ocana LF. Juvenile Nasopha-
ryngeal Angiofibroma: Clinical factors associated
al. The site of origin and expansive routes of juve-
nile nasopharyngeal angiofibroma (JNA). Int J Pe- with recurrence, and proposal of a staging system.
diatric Otorhinolaryngol. 2011 (75):1088-92 Journal of Surgical Oncology. 2008;98:75–80.
8. Chakraborty S, Ghoshal S, Patil VM, Oinam AS, 15. Onerci M, Ogretmenoglu O, Yucel T. Juvenile
Sharma SC. Conformal Radiotherapy in The Treat- nasopharyngeal angiofibroma: a revised staging
ment of Advanced Juvenile Nasopharyngeal Angio- system. Rhinology. 2006; 44:39-45.
fibroma With Intracranial Extension: An Institution-
al Experience. Int. J Radiat Oncol Biol Phys. 2011;
80(5):1398–404
Radioterapi & Onkologi Indonesia Vol 4(2) Jul 2013:61-70 70
16. Park CK, Kim DG, Paek SH, Chung HT, Jung HW. 20. Scholtz AW, Appenroth E, Kammen-Jolly K,
Recurrent Juvenile nasopharyngeal angiofibroma Scholtz LU, Thumfart WF. Juvenile nasopharyngeal
treated with gamma knife surgery. J Korean Med angiofibroma: management and therapy. Laryngo-
Sci. 2006; 21: 773-7. scope.2001;111:681–7.
17. Marshall AH, Bradley PJ. Management dilemmas in 21. Lee JT, Chen P, Safa A, Juillard G, Calcaterra TC.
the treatment and follow-up of advanced juvenile The role of radiation in the treatment of advanced
nasopharyngeal angiofibroma. ORL J Otorhino- juvenile angiofibroma.Laryngoscope. 2002; 112:
laryngol Relat Spec. 2006;68:273–8. 1213-1220.
18. McAfee, William J, Morris, Christopher G, Amdur, 22. Nicolai P, Schreiber A, Vilaret AB. Review Article
Robert J, et al. Definitive radiotherapy for juvenile Juvenile Angiofibroma: Evolution of management.
nasopharyngeal angiofibroma. Am J Clin Oncol. Int J Pediatr. 2011: 2012:412-545
2006; 29(2):168-70. 23. Mattei TA, Nogueira GF, Ramina R. Juvenile Naso-
19. Hassan S, Abdullah J, Abdullah B, Jihan S, Jaafar H, pharyngeal Angiofibroma with intracranial exten-
Abdullah S. Appraisal of clinical profile and man- sion. Otolaryngol Head Neck Surg. 2011;
agement of juvenile nasopharyngeal angiofibroma in 145(3):498-504.
Malaysia. Malays J Med Sci. 2007; 14(1): 18–22.
Tatalaksana Radiasi pada Kanker Esofagus
71 (Annisa Febi Indarti, Sri Mutya Sekarutami)
Tinjauan Pustaka
Tatalaksana Radiasi Pada Kanker Esofagus
Annisa Febi Indarti, Sri Mutya Sekarutami
Departemen Radioterapi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
Abstrak / Abstract
Kanker esofagus merupakan keganasan pada saluran cerna dengan insidensi yang rendah,
Informasi Artikel namun memiliki angka mortalitas yang tinggi. Tatalaksan kanker esofagus mulai bergeser
Riwayat Artikel dari mengurangi gejala menjadi meningkatkan survival. Tatalaksana yang ada pada saat ini,
baik monomodalitas ataupun multimodalitas belum memberikan hasil yang memuaskan.
Diterima Mei 2013
Radiasi pada kanker esofagus dapat berperan sebagai terpai kuratif dan paliatif. Terapi
Disetujui Juni 2013 kuratif kanker esofagus akan memberikan hasil yang terbaik jika menggabungkan modalitas
bedah, radiasi dan kemoterapi.
Kata Kunci: kanker esophagus, r adioter api, kemor adiasi,
Alamat Korespondensi Esophageal cancer is a malignancy of the gastrointestinal tract with a low incidence, but
dr.Annisa Febi Indarti has a high mortality rate. Esophageal cancer treatments began to shift from reducing
Departemen Radioterapi RSUPN symptoms to an atempt to improve survival. Procedures available at this time, both
Dr. Cipto Mangunkusumo, multimodality and monomodalitas are not giving satisfactory results. Radiation in
Fakultas Kedokteran Universitas esophageal cancer may act as curative and palliative. Curative treatment of esophageal
Indonesia, Jakarta cancer will provide the best results when combining the modalities of surgery, radiation
E mail: and chemotherapy.
annisa.febi@gmail.com Keywords: Esophageal cancer , Radiotherapy, chemoradiation
5. Diagnostik
a . Manifestasi Klinis
Gejala klinis yang dilaporkan lebih dari 90%
pasien adalah disfagia dan penurunan berat badan, se-
mentara sekitar 50% mengeluhkan odinofagia (nyeri
menelan). Keluhan lain yang sering dijumpai adalah
kesulitan menelan, batuk yang tak kunjung sembuh
dan suara serak. Pasien dapat mengeluhkan kesulitan
menelan yang diawali dengan kesulitan menelan ma-
Gambar 2. Dr ainase limfatik esofagus 7 kanan padat (yang biasa dimakan pasien), kemudian
perubahan konsistensi makanan menjadi lunak dan
73 Radiasi pada Kanker Esofagus
(AF. Indarti, SM. Sekarutami)
lembut, hingga tidak dapat menelan sama sekali dan metastasis jauh masih sulit ditekan dengan berbagai
memuntahkan makanan kembali (obstruksi total). Dari pendekatan terapi, dan dijumpai lebih dari 50% pada
anamnesa, dapat pula digali factor-factor yang dapat follow-up pasien setelah terapi. Kebanyakan pasien,
memperburuk prognosis, riwayat merokok, konsumsi ditambah dengan status nutrisi yang umumnya
alkohol, nitrosamin maupun penyakit GERD. menurun, sulit menoleransi terapi multimodalitas, se-
mentara terapi monomodalitas memiliki angka keber-
Pada pemeriksaan fisik, massa di esofagus hasilan yang tidak memuaskan.
dapat tidak teraba dari luar. Perlu dilakukan pemerik-
saan limfadenopati, di regio colli dan supraklavikula. Arah pengobatan kanker esofagus saat ini ada-
Hal yang perlu dinilai dengan cermat adalah status nu- lah terapi multimodalitas, sesuai hasil-hasil studi yang
trisi pasien, karena penurunan status nutrisi pun perlu menunjukkan angka keberhasilan lebih baik
menjadi perhatian kita dalam tatalaksana kasus ini.7,8 dibandingkan terapi monomodalitas. Tatalaksana
kanker esofagus, dilakukan berdasarkan stadium, serta
b. Pemeriksaan Penunjang terdiri dari tiga modalitas utama, yaitu pembedahan,
Pemeriksaan penunjang untuk kanker esofagus kemoterapi dan radioterapi.
antara lain:
Laboratorium darah: darah perifer lengkap, kimia a. Pembedahan
darah, fungsi hati Pembedahan merupakan pilihan standar untuk
Esofagogram dengan barium tumor tahap awal. Namun sekitar 50% reseksi kuratif
Esofagoskopi, dapat sekaligus dilakukan biopsi sulit dilakukan karena ternyata kondisi tumor in-
CT-scan traoperatif lebih ekstensif daripada saat pemeriksaan
Dengan ambang batas penilaian suatu malignansi klinis. Median dari angka kesintasan pasien dengan
adalah 10 mm, CT scan memiliki akurasi 51 – 70% tumor yang resectable adalah 11 bulan.
dalam mendeteksi KGB mediastinum, sementara
dengan ambang batas penilaian suatu malignansi Teknik operasi yang umum dilakukan adalah
adalah 8 mm, CT scan memiliki akurasi 79% dalam esofagogastrostomi, atau esofagektomi dengan gastric
mendeteksi KGB di sekitar gaster dan celiac axis. pull-up. Laparotomi dapat sekaligus dikerjakan untuk
PET scan melihat perluasan di bawah diafragma bila ada
Peningkatan metabolisme glukosa oleh tumor men- kecurigaan ke arah sana. Pada tumor di daerah
jadi dasar mekanisme diagnostik dengan FDG servikal, mungkin dilakukan radical neck dissection
(fluoro-182-deoxyglucose) – PET. Terdapatnya sekaligus, terutama bila jenis tumor adalah karsinoma
peningkatan akumulasi analog glukosa (FDG) dapat sel skuamosa.
menunjukkan penyakit dalam tahap awal sebelum
terjadi perubahan struktural yang abnormal. FDG b. Kemoterapi
PET juga lebih superior dari CT scan dalam evalua- Kemoterapi tidak efektif sebagai modalitas
si metastasis jauh. tunggal. Penggunaan kemoterapi cisplatin-based dapat
Pemeriksaan penunjang lain sesuai indikasi: bone
memberikan respons pada 30 – 50% kasus, namun
scan, USG abdomen, dan lain-lain.6,8 umumnya bukan respons komplit. Kemoterapi dapat
diberikan bersama dengan radioterapi (kemoradiasi).
c. Penentuan Stadium
Sebagaimana keganasan lain, stadium sangat Kemoradiasi sebagai terapi definitif menjadi
menentukan tatalaksana. Penentuan stadium kanker pilihan pada kasus-kasus yang inoperabel. Terapi ini
esofagus yang umum digunakan saat ini adalah menurut memberikan local control dan overall survival yang
AJCC (American Joint Committee on Cancer).7 lebih superior daripada radiasi saja. Suatu studi oleh
Eastern Cooperative Oncology Group (ECOG) mem-
6. Prognosis bandingkan pemberian radiasi saja (60 Gy) dengan
kemoradiasi (RE 60 Gy bersama dengan 5-FU/
Kanker esofagus biasanya dijumpai sudah da- mitomycin- C). hasilnya, angka kesintasan 2 tahun
lam keadaan lanjut. Tujuh puluh lima persen pasien adalah 12% pada kelompok pasien yang mendapat ra-
terdapat limfadenopati, dengan angka kesintasan pasien diasi saja, dan 30% pada kelompok pasien yang
3%. Sementara pasien tanpa limfadenopati, mempunyai mendapat kemoradiasi, dengan median survival 14,9
angka kesintasan 42%. Sekitar 18 % pasien mengalami bulan berbanding 9,0 bulan, masing-masing kelompok.
metastasis jauh, terbanyak ke KGB abdominal (45%),
diikuti hepar (35%), paru (20%), KGB supraklavikula Kemoradiasi juga dapat diberikan preoperatif
(18%), tulang (9%) dan ke tempat lain. pada tumor-tumor yang dinilai resectable. Pemberian
kemoradiasi tidak mempengaruhi angka kesintasan,
Faktor-faktor yang dapat memperburuk progno- namun memperpanjang waktu rekurensi tumor. Se-
sis adalah laki-laki, usia >65 tahun, performance status mentara pemberian kemoradiasi postoperatif menun-
yang buruk dan penurunan status nutrisi yang berat.6,8 jukkan sedikit penurunan angka relaps dalam 5 tahun
(85% menjadi 70%), terutama pada pasien dengan N0,
7. Tatalaksana namun juga tidak memperbaiki angka kesintasan.8
hasil yang lebih baik, radiasi diberikan berbarengan Lapangan radiasi untuk tumor yang terletak di
dengan kemoterapi (kemoradiasi). Secara garis besar, 2/3 bawah esofagus (thoracic) harus mencakup seluruh
radiasi yang dapat dilakukan dalam tatalaksana kanker esofagus bagian thoracic dan KGB supraklavikula
esofagus adalah radiasi eksterna dan interna bilateral, dan batas bawahnya adalah esophagogastric
(brakiterapi). junction. Sementara untuk lesi di 1/3 inferior esofagus,
batas bawah harus mencakup celiac plexus. Pada kasus
i) Radiasi Eksterna dengan tumor di tengah atau atas dari esofagus bagian
Radiasi dapat diberikan dengan dua teknik, yai- thoracic, portal radiasi juga harus mencakup aksis
tu konvensional atau 3D-konformal (3D-CRT). Data KGB celiac, karena tingkat penyebarannya yang cukup
yang harus ada sebelum memulai perencanaan radiasi sering ke KGB tersebut.6,8
adalah penentuan lokasi tumor (gross atau tumor bed).
Hal ini mempengaruhi teknik yang dipilih serta penen- ii) Radiasi Interna/Brakiterapi
tuan lokasi subklinis serta aliran kelenjar getah bening Sebagai tambahan dari radiasi eksterna, dapat
yang harus dimasukkan dalam lapangan penyinaran. diberikan brakiterapi, tentunya dengan pertimbangan
Prinsip umum dari radiasi pada kanker esofagus adalah bahwa pasien adalah kandidat yang tepat (tidak ada
penentuan batas kranial dan kaudal dari tumor adalah 5 halangan secara teknis), dan pasien akan mendapatkan
cm dan batas secara radial (sekeliling tumor) 2 cm, ber- manfaat dari terapi ini. Salah satu panduan yang ada
dasarkan pola drainase limfatik esofagus, dari lapisan dan masih digunakan sampai saat ini adalah konsensus
mukosa ke lapisan muscularis propria yang sebagian yang dikeluarkan oleh American Brachytherapy Socie-
besar berbentuk longitudinal. ty (ABS).9 Menurut panduan tersebut, brakiterapi pada
kanker esofagus memiliki dua tujuan, yaitu definitif
Saat ini, teknik 3D-konformal lebih disukai dan paliatif.
karena berdasarkan gambaran CT scan, maka dapat
dilihat lebih jelas ekstensi tumor, keadaan jaringan di Kontraindikasi untuk brakiterapi menurut
sekitarnya maupun ada atau tidaknya pembesaran panduan ini adalah:
kelenjar getah bening. Namun pada tumor yang terletak Adanya keterlibatan trakeal atau bronkial
di esofagus daerah servikal atau pasca krikoid, dapat Lesi terletak di esofagus bagian servikal
diterapkan teknik konvensional. Batas kranial adalah Adanya stenosis
laring-faring dan batas bawah adalah subkarina, dengan Status performance yang buruk
portal radiasi opposing lateral atau oblik. Bila KGB
supraklavikula dan mediastinal bagian atas dianggap Pertimbangan lain yang masih kontroversial
memerlukan radiasi, maka dapat diberikan melalui por- dalam pemilihan pasien untuk brakiterapi adalah
tal anterior- posterior (AP). penilaian terhadap angka harapan hidup, kebanyakan
75 Radiasi pada Kanker Esofagus
(AF. Indarti, SM. Sekarutami)
ahli onkologi radiasi tidak memilih brakiterapi untuk Pasien menjalani radiasi 3D-CRT lokoregional
pasien dengan harapan hidup < 3 bulan. 50 Gy, 2 Gy per fraksi. Kemoradiasi konkuren dengan
cisplatin hanya bisa dilakukan satu kali karena
Brakiterapi dilakukan intrakaviter, dengan keadaan umum pasien memburuk. 2 minggu setelah
teknik HDR dan umumnya menggunakan Iridium-192. radiasi pasien mulai bisa menelan makanan cair dan
Pasien yang akan menjalani brakiterapi telah mendapat- lunak dengan disfagia Grade 1.
kan kemoradiasi dengan 5-FU dan radiasi eksterna
sebesar 45 – 50 Gy. Dosis yang dapat diberikan adalah Diskusi
10 Gy dalam 2 minggu, yaitu 2 x 5 Gy.9
Secara epidemiologi, risiko pasien ini untuk
8. Paliatif menderita kanker esofagus meningkat sesuai usianya,
yang akan memasuki dekade ke-6. Riwayat penyakit
Salvage surgery terutama bertujuan untuk me- GERD atau saluran pencernaan lain tidak ditemukan
nyingkirkan sebagian besar massa tumor, sehingga dari anamnesis, namun pasien pernah mendapat radiasi
mengurangi obstruksi, serta mencegah abses, pemben- untuk kanker payudara 10 tahun yang lalu. Suatu studi
tukan fistula maupun perdarahan dari massa tumor yang yang mempelajari dosis radiasi insidental lokoregional
besar. Teknik paliatif lain diantaranya intubasi intralu- kanker payudara yang diterima oleh esofagus, menun-
minal, terutama pada pasien yang debilitatif, dengan jukkan bahwa dosis median terbesar (38 Gy) diterima
fistula trakeoesofageal dan invasi tumor ke jaringan oleh esofagus bagian cervical sampai midesofagus,
vital sekitarnya. Dilatasi lumen esofagus sebanyak 15 karena bagian tersebut paling dekat dengan lapangan
mm sudah dapat mengurangi keluhan disfagia, dan di- supraklavikula dan mamaria interna.10 Namun penulis
latasi harus dilakukan setiap minggu atau bulan sesuai belum menemukan studi yang meneliti mengenai aso-
kondisi pasien, untuk memperbaiki gejala. Teknik lain siasi radiasi dada khususnya payudara dengan kejadian
yang tersedia adalah laser Nd:YAG kanker esofagus sebagai secondary malignancy.
(neodymium:yttrium-aluminum-garnet) dan photoirra-
diation dengan argon, bersamaan dengan presensitisasi Pasien mengalami penundaan radiasi selama 3
dengan derivat hematoporfirin intravena, teknik ini bulan karena alas an perujukan dan biaya. Jarak waktu
memiliki risiko yang minimal. yang cukup lama antara operasi dengan radiasi ten-
tunya meningkatkan angka rekurensi atau relaps lokal
Radiasi eksterna memberikan sampai 80% per- dan menurunkan angka kesintasan pasien.
baikan gejala nyeri dan disfagia, dengan regimen 30 Gy
dalam 2 minggu, 50 Gy dalam 5 minggu atau 60 Gy Dalam perencanaan radiasi pada kasus kanker
dalam 6 minggu.6,8 esofagus, sangat penting untuk diketahui lokasi tumor
(tumor bed bila pasca operasi), untuk menentukan tar-
Ilustrasi Kasus get radiasi serta ekstensi subklinis tumor, termasuk
aliran limfatik yang perlu dimasukkan dalam lapangan
seorang wanita 58 tahun dengan keluhan sulit radiasi.
menelan disertai dengan muntah. saat dilakukan
endoskopi selang hanya dapat masuk sejauh 20 cm Penentuan stadium pada kasus ini sulit, untuk
karena lumen yang sempit. Konfirmasi pada CTscan T, hasil CT scan maupun PA tidak menggambarkan
memperlihatkan penebalan dinding lumen pada 1/3 ekstensi tumor. Untuk N, data klinis menunjukkan N0
dital esofagus. Pasien menjalani Laparotomi dan reseksi pada colli dan supraklavikula (dari pemeriksaan fisik),
anastomosis gastroesofagostomi (gastric pull-up). sementara dari imaging hanya dapat dilihat nodal dae-
rah mediastinum dan hilar (tidak ditemukan limfade-
Hasil patologi anatomi memperlihatkan esofa- nopati), nodal daerah leher tidak terlihat. Untuk M,
gus proksimal dengan karsinoma sel skuamosa diferen- pemeriksaan yang sudah dilakukan adalah foto thorax,
siasi sedang. Batas-batas sayatan masih mengandung yaitu tidak ada tanda metastasis di paru.
tumor. Pasien direncanakan untuk radiasi ajuvan
poperasi. Dalam proses perujukan untuk radiasi NGT Pembahasan tumor board merekomendasikan
tidak bisa dipasang sehingga pasien menjalani operasi kemoradiasi 3D-CRT, target lokoregional. Lokal pada
jejunostomi sehingga intake pasien melalui tube ke jeju- tumor bed dengan batas kranial dan kaudal masing-
num. masing 2 cm, serta regional meliputi KGB Level II,
Level III, Level IV, supraklavikula, paratrakea dan Selama radiasi, pasien dirawat inap di Gedung
paraesofagus. Dosis total adalah 50 Gy, 2 Gy per fraksi . A RSCM. Pasien mendapat asupan nutrisi melalui se-
Dengan cisplatin sebagai chemosensitizer. lang jejunostomi, dan mendapat pemantauan gizi sela-
ma kemoterapi dan radiasi. Dengan demikian, di-
Radiasi eksterna dilakukan dengan teknik Batas harapkan keadaan nutrisi pasien terjaga.
kranial 5 cm dari tumor bed, batas kaudal sampai
subcarina. Lapangan radiasi dibagi 2: Pasien memiliki prognosis yang kurang baik
1. Lapangan atas, mencakup lapangan lokoregion- disebabkan oleh jenis histologi pada pasien ini adalah
al tumor bed dan KGB colli Level II, III, IV, karsinoma sel skuamosa, dimana angka penyebaran ke
paratrakea dan paraesofagus. Empat beam, 2 kelenjar getah bening dan metastasis jauhnya lebih
dari lateral dan 2 dari aksial. tinggi dibandingkan dengan jenis histologi lainnya.
2. Lapangan bawah, mencakup KGB paratrakea, Terdapat delay yang cukup panjang, sekitar 12
paraesofagus dan supraklavikula. Dua beam minggu, antara operasi dengan kemoradiasi Kemotera-
dari aksial. pi concurrent dengan radiasi hanya diberikan 1x, kare-
Arah beam diberikan secara sederhana, hanya na kondisi klinis pasien tidak memungkinkan
dari lateral dan aksial, dengan jumlah maksimal 4. Hal
ini bertujuan untuk mengurangi toksisitas akut pada Pemulihan kondisi fisik pasien mungkin akan
pasien. Namun penentuan lapangan radiasi tetap cukup lama, terutama bila pasien mengharapkan
dilakukan secara 3D berdasarkan gambaran CT scan, fungsi pencernaan bagian atas (oral-esofagus-gaster)
sehingga diharapkan lebih akurat. dapat kembali seperti semula. 1 bulan post-operasi,
terdapat striktur esofagus yang menyebabkan pasien
Kemoterapi hanya diberikan 1 kali pada awal tidak dapat menggunakan selang nasogastrik (NGT)
radiasi, karena kondisi pasien yang tidak memung- lagi, sehingga harus dilakukan jejunostomi. Sampai
kinkan selama radiasi selanjutnya, terutama karena akhir radiasi, beberapa percobaan untuk memasukkan
gangguan keseimbangan elektrolit. Hal ini tentunya air melalui mulut dan menelannya gagal, pasien masih
dapat meningkatkan kegagalan lokal, serta meningkat- terbatuk-batuk, sehingga selang jejunostomi harus di-
kan kemungkinan terjadinya metastasis jauh. Pada radi- pertahankan. Striktur mungkin memberat pasca radia-
asi awal (sekitar ke-3), pasien mengeluhkan sesak na- si, sehingga perlu dilakukan rehabilitasi medik untuk
pas. Hal ini mungkin disebabkan karena reaksi inflamasi latihan menelan.
pada mukosa saluran pernapasan yang dipicu radiasi.
Daftar Pustaka
UCAPAN TERIMAKASIH
Redaksi majalah Radioterapi & Onkologi Indonesia mengucapkan terimakasih dan penghargaan setinggi-
tingginya kepada Mitra Bestari atas kontribusinya pada penerbitan volume 4 Issue 2 tahun 2013 :
Prof. DR. Dr. Soehartati, Sp.Rad (K.) Onk.Rad Fak-Kedokteran Universitas Indonesia/
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Prof. Dr. H.M. Djakaria, Sp.Rad (K.) Onk.Rad Fak-Kedokteran Universitas Indonesia/
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta
INDEKS PENULIS
A
Annisa Febi Indarti Radiat Onkol Indones 2013;4(2): 71-77
E
Elia Aditya B. K Radiat Onkol Indones 2013;4(2):53-60
I
Isnaniah Hasan Radiat Onkol Indones 2013;4(2):39-45
M
Mirna Primasari Radiat Onkol Indones 2013;4(2):61-70
N
Novita Ariani Radiat Onkol Indones 2013;4(2):46-52