Klasifikasi Benign Paroxysmal Positional Vertigo terbagi atas dua jenis, yaitu:
a. Benign Paroxysmal Positional Vertigo Kanalis Posterior
Benign Paroxysmal Positional Vertigo kanalis posterior ini paling
seringterjadi, dimana tercatat bahwa BPPV tipe ini 85 sampai 90% dari kasus
BPPV. Penyebab paling sering terjadi yaitu kanalitiasis. Hal inidikarenakan
debris endolimfe yang terapung bebas cenderung jatuh kekanal posterior karena
kanal ini adalah bagian vestibulum yang berada padaposisi yang paling bawah
saat kepala pada posisi berdiri ataupun berbaring (Imai T, et al, 2016).
b. Benign Paroxysmal Positional Vertigo Kanalis Horizontal (Lateral)
Benign Paroxysmal Positional Vertigo kanalis horizontal pertama
kalidiperkenalkan oleh McClure tahun 1985 dengan karakteristik
vertigoposisional yang diikuti nistagmus horizontal berubah arah. Arah
nistagmushorizontal yang terjadi dapat berupa geotropik (arah gerakan fase
cepat ke Universitas Sumatera Utara arah telinga di posisi bawah) atau
apogeotropik (arah gerakan fase cepatkearah telinga di posisi atas) selama
kepala dipalingkan ke salah satu sisidalam posisi telentang. Nistagmus geotropik
terjadi karena adanyaotokonia yang terlepas dari utrikulus dan masuk ke dalam
lumen posteriorkanalis horizontal (kanalolitiasis), sedangkan nistagmus
apogeotropikterjadi karena otokonia yang terlepas dari utrikulus menempel pada
kupulakanalis horizontal (kupulolitiasis) atau karena adanya fragmen otokonia
didalam lumen anterior kanalis horizontal (kanalolitiasis apogeotropik) (Imai T,
et al, 2016).
Pada umumnya BPPV melibatkan kanalis posterior, tetapi beberapa
tahunterakhir terlihat peningkatan laporan insiden BPPV kanalis horizontal.
Pasien dengankeluhan dan gejala yang sesuai dengan BPPV, namun tidak sesuai
dengan kriteriadiagnostik BPPV kanalis posterior harus dicurigai sebagai BPPV
kanalis horizontal (Imai T, et al, 2016).
F. PATOFISIOLOGI
Reseptor yang berfungsi sebagai penerima informasi untuk sistem vestibular terdiri
dari vestibulum, proprioseptik dan mata,serta integrasi dari ketiga reseptor terkait
dengan batang otak serta serebelum.Vertigo timbul jika terdapat gangguan alat
keseimbangan tubuh yangmengakibatkan ketidakcocokan antara posisi tubuh
(informasi aferen) yangsebenarnya dengan apa yang dipersepsi oleh susunan saraf
pusat (pusatkesadaran). Susunan aferen yang terpenting dalam sistem ini adalah
susunanvestibuler atau keseimbangan, yang secara terus menerus menyampaikan
impulsnya ke pusat keseimbangan. Susunan lain yang berperan ialah sistem optikdan
pro-prioseptik, jaras-jaras yang menghubungkan nukleivestibularis dengan nuklei
N.III,IV dan VI, susunan vestibuloretikularis, dan vestibulospinalis.Informasi yang
berguna untuk keseimbangan tubuh akan ditangkap oleh reseptor vestibuler, visual,
dan proprioseptik; reseptor vestibuler memberikan kontribusipaling besar, yaitu lebih
dari 50 % disusul kemudian reseptor visual dan yangpaling kecil kontribusinya adalah
proprioseptik.
Dalam kondisi fisiologis/normal, informasi yang tiba di pusatintegrasi alat
keseimbangan tubuh berasal dari reseptor vestibuler, visual danproprioseptik kanan
dan kiri akan diperbandingkan, jika semuanya dalam keadaan sinkron dan wajar, akan
diproses lebih lanjut. Respons yang muncul berupa penyesuaian otot-otot mata dan
penggerak tubuh dalam keadaan bergerak.Di samping itu orang menyadari posisi
kepala dan tubuhnya terhadap lingkungan sekitar. Jika fungsi alat keseimbangan tubuh
di perifer atau sentraldalam kondisi tidak normal/ tidak fisiologis, atau ada rangsang
gerakan yanganeh atau berlebihan, maka proses pengolahan informasi akan
terganggu,akibatnya muncul gejala vertigo dan gejala otonom. (Muhammad amin
dkk.2020)
F.PATHWAY
Peranan neurotrasmisi dan perubahan-perubahan biomulekoler yang terjadi pada proses
adaptasi, belajar dan daya ingat
Rangsangan gerakan yang aneh/tidak sesuai dengan pola gerakan yang telah tersimpan
stress
sekresi CRF
Vertigo
Intake nutrisi
Risiko Cedera
Defisit Nutrisi
hipovolemia
G. KOMPLIKASI
1. Ciderafisik
Pasiendengan vertigo ditandai dengan kehilangan keseimbangan akibat
terganggunya saraf VIII (Vestibularis), sehingga pasien tidak mampu
mempertahankandiriuntuktetapberdiridanberjalan.
2. Kelemahan otot
Pasien yang mengalami vertigo seringkali tidak melakukan aktivitas.Mereka
lebih sering untuk berbaring atau tiduran, sehingga berbaring yang terlalu lama
dan gerak yang terbatas dapat menyebabkan kelemahan otot.
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan CT-scan atau MRI kepala dapat menunjukkan kelainan tulang atau
tumor yang menekan saraf. Jika diduga infeksi maka bisa diambil contoh cairan dari
telinga atau sinus atau dari tulang belakang.
2. Pemeriksaan angiogram, dilakukankarena diduga terjadi penurunan aliran darah ke
otak. Pemeriksaan ini bertujuan untuk melihat adanya sumbatan pada pembuluhdarah
yang menujukeotak.
3. Pemeriksaankhusus : ENG, Audiometridan BAEP, psikiatrik.
4. Pemeriksaantambahan : EEG, EMG, EKG, laboratorium, radiologik.
5. Pemeriksaanfisik :mata, alat keseimbangan tubuh, neurologik, otologik,
pemeriksaanfisikumum (Kang 2014).
E. PENATALAKSANAAN
a. Farmakologi
1) Antihistamin (dimenhidrinat, difenhidramin, meksilin, siklisin)
a) Dimenhidrinat lama kerja tini ialah 4–6 jam. Obat dapat diberi per oral
atau parenteral (suntikan intramuskular dan intravena), dengan dosis 25
mg-50 mg (1 tablet), 4 kali sehari.
b) Difenhidramin HCl. Lama aktivitas obat ini ialah 4–6 jam, diberikan
dengan dosis 25 mg (1 kapsul) – 50 mg, 4 kali sehari.
3) Lakukan latihan ini 3 kali pada pagi, siang dan malam hari masing-masing
diulang 5 kali serta dilakukan selama 2 minggu atau 3 minggu dengan
latihan pagi dan sore hari.
6) Lakukan latihan ini 3 kali pada pagi, siang dan malam hari masing-masing
diulang 5 kali serta dilakukan selama 2 minggu atau 3 minggu dengan
latihan pagi dan sore hari.
I. Diagnose keperawatan
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad soepardi, efiaty dan Nurbaiti.(2012). Buku ajar ilmu kesehatan telingahidung
tenggorokkepala leher edisi ke lima. Jakarta : Gaya Baru
Amin Muhammad dkk.2020.pengalaman pasien vertigo wilayah kerja puskesmas lingkar
timur.jurnal kesmas. Asclepius.vol 2 no 1.
Mardjono M. & Sidharta P., 2008. Neurologi Klinis Dasar, Dian Rakyat, Jakarta.
Nagel, P., Gurkov, R. 2012. Dasar-dasar Ilmu THT. Alih bahasa Dany, F. Jakarta : EGC
Smeltzer, S.C. & Bare, B.G., 2011. Buku ajar keperawatan medical-bedah Brunner &
Suddarth, vol:3, EGC, Jakarta