Disusun oleh :
Anil Ahillah
NIM. 14201.09.17005
PROBOLINGGO
2021
LEMBAR PENGESAHAN
Mengetahui,
Mahasiswa
(Anil Ahillah)
Pembimbing Akademik
II. Definisi
Vertigo adalah adanya sensasi gerakan atau gerakan dari tubuh atau
lingkungan sekitarnya dengan gejala lain yang disebabkan oleh gangguan alat
keseimbangan tubuh oleh berbagai keadaan atau penyakit dengan demikian
vertigo bukan suatu gejala pusing berputar saja, tetapi merupakan suatu kumpulan
gejala atau satu sindrom yang terdiri dari gejala somatic (nistagmus, untoble),
otonomik (pucat, peluh dingin, mual dan muntah dizziness lebih mencerminkan
keluhan rasa gerakan yang umum tidak spesifik, rasa goyah, kepala ringan dan
perasaan yang sulit dilukiskan sendiri oleh penderitanya. Pasien sering
menyebutkan sensasi ini sebagai nggliyer, sedangkan giddiness berarti dizziness
atau vertigo yang berlangsung singkat (Sutarni , Rusdi & Abdul, 2019).
III. Etiologi
Tubuh merasakan posisi dan mengendalikan keseimbangan melalui organ
keseimbangan yang terdapat di telinga bagian dalam. Organ ini memiliki saraf
yang berhubungan dengan area tertentu di otak. Vetigo bisa disebabkan oleh
kelainan di dalam telinga, di dalam saraf yang menghubungkan telinga dengan
otak dan di dalam otaknya sendiri. Vertigo juga bisa berhubungan dengan
kelainan penglihatan atau perubahan tekanan darah yang terjadi secara tibatiba.
Penyebab umum dari vertigo: (Israr, 2012).
1. Keadaan lingkungan
Motion sickness (mabuk darat, mabuk laut)
2. Obat-obatan
a. Alkohol
b. Gentamisin
3. Kelainan sirkulasi
Transient ischemic attack (gangguan fungsi otak sementara karena
berkurangnya aliran darah ke salah satu bagian otak) pada arteri vertebral dan
arteri basiler
4. Kelainan di telinga
a. Endapan kalsium pada salah satu kanalis semisirkularis di dalam telinga
bagian dalam (menyebabkan benign paroxysmal positional vertigo)
b. Infeksi telinga bagian dalam karena bakteri.
c. Herpes zoster
d. Labirintitis (infeksi labirin di dalam telinga)
e. Peradangan saraf vestibuler
f. Penyakit Meniere
5. Kelainan neurologis
a. Sklerosis multipel
b. Patah tulang tengkorak yang disertai cedera pada labirin, persarafannya atau
keduanya
c. Tumor otak
d. Tumor yang menekansarafvestibularis.
V. Klasifikasi
Klasifikasi Benign Paroxysmal Positional Vertigo terbagi atas dua jenis, yaitu:
1. Benign Paroxysmal Positional Vertigo Kanalis Posterior
Benign Paroxysmal Positional Vertigo kanalis posterior ini paling
seringterjadi, dimana tercatat bahwa BPPV tipe ini 85 sampai 90% dari kasus
BPPV. Penyebab paling sering terjadi yaitu kanalitiasis. Hal inidikarenakan
debris endolimfe yang terapung bebas cenderung jatuh kekanal posterior
karena kanal ini adalah bagian vestibulum yang berada padaposisi yang paling
bawah saat kepala pada posisi berdiri ataupun berbaring (Imai T, et al, 2016).
2. Benign Paroxysmal Positional Vertigo Kanalis Horizontal (Lateral)
Benign Paroxysmal Positional Vertigo kanalis horizontal pertama
kalidiperkenalkan oleh McClure tahun 1985 dengan karakteristik
vertigoposisional yang diikuti nistagmus horizontal berubah arah. Arah
nistagmushorizontal yang terjadi dapat berupa geotropik (arah gerakan fase
cepat ke Universitas Sumatera Utara arah telinga di posisi bawah) atau
apogeotropik (arah gerakan fase cepatkearah telinga di posisi atas) selama
kepala dipalingkan ke salah satu sisidalam posisi telentang. Nistagmus
geotropik terjadi karena adanyaotokonia yang terlepas dari utrikulus dan
masuk ke dalam lumen posteriorkanalis horizontal (kanalolitiasis), sedangkan
nistagmus apogeotropikterjadi karena otokonia yang terlepas dari utrikulus
menempel pada kupulakanalis horizontal (kupulolitiasis) atau karena adanya
fragmen otokonia didalam lumen anterior kanalis horizontal (kanalolitiasis
apogeotropik) (Imai T, et al, 2016).
Pada umumnya BPPV melibatkan kanalis posterior, tetapi beberapa
tahunterakhir terlihat peningkatan laporan insiden BPPV kanalis horizontal.
Pasien dengankeluhan dan gejala yang sesuai dengan BPPV, namun tidak
sesuai dengan kriteriadiagnostik BPPV kanalis posterior harus dicurigai
sebagai BPPV kanalis horizontal (Imai T, et al, 2016).
VI. Patofisiologi
Reseptor yang berfungsi sebagai penerima informasi untuk sistem
vestibular terdiri dari vestibulum, proprioseptik dan mata,serta integrasi dari
ketiga reseptor terkait dengan batang otak serta serebelum.Vertigo timbul jika
terdapat gangguan alat keseimbangan tubuh yangmengakibatkan ketidakcocokan
antara posisi tubuh (informasi aferen) yangsebenarnya dengan apa yang dipersepsi
oleh susunan saraf pusat (pusatkesadaran). Susunan aferen yang terpenting dalam
sistem ini adalah susunanvestibuler atau keseimbangan, yang secara terus menerus
menyampaikan impulsnya ke pusat keseimbangan. Susunan lain yang berperan
ialah sistem optikdan pro-prioseptik, jaras-jaras yang menghubungkan
nukleivestibularis dengan nuklei N.III,IV dan VI, susunan vestibuloretikularis,
dan vestibulospinalis.Informasi yang berguna untuk keseimbangan tubuh akan
ditangkap oleh reseptor vestibuler, visual, dan proprioseptik; reseptor vestibuler
memberikan kontribusipaling besar, yaitu lebih dari 50 % disusul kemudian
reseptor visual dan yangpaling kecil kontribusinya adalah proprioseptik.
Dalam kondisi fisiologis/normal, informasi yang tiba di pusatintegrasi alat
keseimbangan tubuh berasal dari reseptor vestibuler, visual danproprioseptik
kanan dan kiri akan diperbandingkan, jika semuanya dalam keadaan sinkron dan
wajar, akan diproses lebih lanjut. Respons yang muncul berupa penyesuaian otot-
otot mata dan penggerak tubuh dalam keadaan bergerak.Di samping itu orang
menyadari posisi kepala dan tubuhnya terhadap lingkungan sekitar. Jika fungsi
alat keseimbangan tubuh di perifer atau sentraldalam kondisi tidak normal/ tidak
fisiologis, atau ada rangsang gerakan yanganeh atau berlebihan, maka proses
pengolahan informasi akan terganggu,akibatnya muncul gejala vertigo dan gejala
otonom. (Muhammad amin dkk.2020)
Ada beberapa teori yang berusaha menerangkan kejadian
ketidakseimbangan tubuh :
1. Teori rangsang berlebihan (overstimulation)
Teori ini berdasarkan asumsi bahwa rangsang yang berlebihan menyebabkan
hiperemi kanalissemisirkularis sehingga fungsinya terganggu; akibatnya akan
timbul vertigo, nistagmus, mual dan muntah.
2. Teori konflik sensorik
Menurut teori ini terjadi ketidakcocokan masukan sensorik yang berasal dari
berbagai reseptor sensorik perifer yaitu antara mata/visus, vestibulum dan
proprioseptik, atau ketidakseimbangan/asimetri masukan sensorik dari sisi kiri
dan kanan. Ketidakcocokan tersebut menimbulkan kebingungan sensorik di
sentral sehingga timbul respons yang dapat berupa nistagmus (usaha koreksi
bola mata), ataksia atau sulit berjalan (gangguan vestibuler, serebelum) atau
rasa melayang, berputar (yang berasal dari sensasi kortikal). Berbeda dengan
teori rangsang berlebihan, teori ini lebih menekankan gangguan proses
pengolahan sentral sebagai penyebab.
3. Teori neural mismatch
Teori ini merupakan pengembangan teori konflik sensorik; menurut teori ini
otak mempunyai memori/ingatan tentang pola gerakan tertentu; sehingga jika
pada suatu saat dirasakan gerakan yang aneh/tidak sesuai dengan pola gerakan
yang telah tersimpan, timbul reaksi dari susunan saraf otonom. Jika pola
gerakan yang baru tersebut dilakukan berulang-ulang akan terjadi mekanisme
adaptasi sehingga berangsur-angsur tidak lagi timbul gejala.
4. Teori otonomik
Teori ini menekankan perubahan reaksi susunan saraf otonom sebagai usaha
adaptasi gerakan/perubahan posisi, gejala klinis timbul jika sistim simpatis
terlalu dominan, sebaliknya hilang jika sistim parasimpatis mulai berperan
5. Teori neurohumoral
Di antaranya teori histamin (Takeda), teori dopamin (Kohl) dan teori serotonin
(Lucat) yang masing-masing menekankan peranan neurotransmiter tertentu
dalam mempengaruhi sistim saraf otonom yang menyebabkan timbulnya gejala
vertigo.
6. Teori sinap
Merupakan pengembangan teori sebelumnya yang meninjau peranan
neurotransmisi dan perubahan-perubahan biomolekuler yang terjadi pada
proses adaptasi, belajar dan daya ingat. Rangsang gerakan menimbulkan stres
yang akan memicu sekresi CRF (corticotropinreleasingfactor), peningkatan
kadar CRF selanjutnya akan mengaktifkan susunan saraf simpatik yang
selanjutnya mencetuskan mekanisme adaptasi berupa meningkatnya aktivitas
sistim saraf parasimpatik. Teori ini dapat menerangkan gejala penyerta yang
sering timbul berupa pucat, berkeringat di awal serangan vertigo akibat
aktivitas simpatis, yang berkembang menjadi gejala mual, muntah dan
hipersalivasi setelah beberapa saat akibat dominasi aktivitas susunan saraf
parasimpatis (sri utami dkk.2018.)
VII. Pathway
Vertigo
Defisit nutrisi
VIII. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan CT-scan atau MRI kepala dapat menunjukkan kelainan tulang
atau tumor yang menekan saraf. Jika diduga infeksi maka bisa diambil contoh
cairan dari telinga atau sinus atau dari tulang belakang.
2. Pemeriksaan angiogram, dilakukankarena diduga terjadi penurunan aliran
darah ke otak. Pemeriksaan ini bertujuan untuk melihat adanya sumbatan pada
pembuluhdarah yang menujukeotak.
3. Pemeriksaankhusus : ENG, Audiometridan BAEP, psikiatrik.
4. Pemeriksaantambahan : EEG, EMG, EKG, laboratorium, radiologik.
5. Pemeriksaanfisik :mata, alat keseimbangan tubuh, neurologik, otologik,
pemeriksaanfisikumum (Kang 2014).
IX. Penatalaksanaan
1. Farmakologi
a. Antihistamin (dimenhidrinat, difenhidramin, meksilin, siklisin)
1) Dimenhidrinat lama kerja tini ialah 4–6 jam. Obat dapat diberi per oral
atau parenteral (suntikan intramuskular dan intravena), dengan dosis 25
mg-50 mg (1 tablet), 4 kali sehari.
2) Difenhidramin HCl. Lama aktivitas obat ini ialah 4–6 jam, diberikan
dengan dosis 25 mg (1 kapsul) – 50 mg, 4 kali sehari.
3) Senyawa betahistin (suatu analog antihistamin):
a) Betahistin Mesylate dengan dosis 12 mg, 3 kali sehari per
oral
b) Betahistin HCl dengan dosis 8-24 mg, 3 kali sehari.
Maksimum 6 tablet dibagi dalam beberapa dosis.
b. Kalsium Antagonis
Cinnarizine, mempunyai khasiat menekan fungsi vestibular dan dapat
mengurangi respons terhadap akselerasi angular dan linier. Dosis biasanya
ialah 15-30 mg, 3 kali sehari atau 1 x 75 mg sehari.
2. Non Farmakologi
a. Pasien dilakukan latihan vestibular (vestibular exercise) dengan metode Brand
Daroff.
b. Pasien duduk tegak dipinggir tempat tidur dengan kedua tungkai tergantung,
dengan kedua mata tertutup baringkan tubuh dengan cepat ke salah satu sisi,
pertahankan selama 30 detik. Setelah itu duduk kembali. Setelah 30 detik,
baringkan dengan cepat ke sisi lain. pertahankan selama 30 detik, lalu duduk
kembali.
c. Lakukan latihan ini 3 kali pada pagi, siang dan malam hari masing-masing
diulang 5 kali serta dilakukan selama 2 minggu atau 3 minggu dengan latihan pagi
dan sore hari.
d. Pasien dilakukan latihan vestibular (vestibular exercise) dengan metode Brand
Daroff.
e. Pasien duduk tegak dipinggir tempat tidur dengan kedua tungkai tergantung,
dengan kedua mata tertutup baringkan tubuh dengan cepat ke salah satu sisi,
pertahankan selama 30 detik. Setelah itu duduk kembali. Setelah 30 detik,
baringkan dengan cepat ke sisi lain. pertahankan selama 30 detik, lalu duduk
kembali.
f. Lakukan latihan ini 3 kali pada pagi, siang dan malam hari masing-masing
diulang 5 kali serta dilakukan selama 2 minggu atau 3 minggu dengan latihan pagi
dan sore hari.
g. Epley manuver untuk pengobatan dari posterior canal BPPV (benigh paroxysmal
positional vertigo), vertigo posisional paroksismal benigna, adapun Langkah-
langkanya:
1) 1 dan 2 dari manuver Epley adalah langkah-langkah tes Dix-Hallpike positif.
Setelah memegang selama 20 detik di posisi 2, kepala berubah 90 ke arah yang
tidak terpengaruh.
2) Setelah menahan selama 20 detik di posisi 3, kepala beralih lagi ke posisi yang
hampir menghadap ke bawah dengan tubuh yang juga beralih untuk
mengakomodasi gerakan kepala.
X. Komplikasi
1. Ciderafisik
Pasiendengan vertigo ditandai dengan kehilangan keseimbangan akibat
terganggunya saraf VIII (Vestibularis), sehingga pasien tidak mampu
mempertahankandiriuntuktetapberdiridanberjalan.
2. Kelemahan otot
Pasien yang mengalami vertigo seringkali tidak melakukan aktivitas.Mereka
lebih sering untuk berbaring atau tiduran, sehingga berbaring yang terlalu lama
dan gerak yang terbatas dapat menyebabkan kelemahan otot.
Arsyad soepardi, efiaty dan Nurbaiti.(2012). Buku ajar ilmu kesehatan telingahidung
tenggorokkepala leher edisi ke lima. Jakarta : Gaya Baru
Amin Muhammad dkk.2020.pengalaman pasien vertigo wilayah kerja puskesmas lingkar
timur.jurnal kesmas. Asclepius.vol 2 no 1.
Mardjono M. & Sidharta P., 2008. Neurologi Klinis Dasar, Dian Rakyat, Jakarta.
Nagel, P., Gurkov, R. 2012. Dasar-dasar Ilmu THT. Alih bahasa Dany, F. Jakarta : EGC
Smeltzer, S.C. & Bare, B.G., 2011. Buku ajar keperawatan medical-bedah Brunner &
Suddarth, vol:3, EGC, Jakarta
Disusun oleh :
Anil Ahillah
NIM. 14201.09.17005
PROBOLINGGO
2021
LEMBAR PENGESAHAN
Penyuluhan tentang manajemen nyeri non farmakologi untuk mengatasi nyeri pada
klien dan keluarga klien.
Disusun oleh :
Anil Ahillah
14201.09.17005
Mahasiswa Sarjana Keperawatan disahkan sebagai bukti laporan praktek di Kelurahan Jati
Kota probolinggo pada tanggal 4 Februari 2021
Mengetahui
Mahasiswa
(Anil Ahillah)
Pembimbing Akademik
No Nama Paraf
Satuan Acara Penyuluhan (SAP)
Manajemen Nyeri
VI. Evaluasi
1. Evaluasi dilaksanakan selama proses dan pada akhir kegiatan penkes dengan
memberikan pertanyaan secara lisan sebagai berikut:
a. Jelaskan kembali pengertian nyeri
b. Menyebutkan tujuan
2. Kriteria evaluasi
a. Evaluasi struktur
1) Menyiapkan SAP
2) Menyiapkan materi dan media
3) Kontrak waktu dengan sasaran
4) Menyiapkan tempat
5) Menyiapkan pertanyaan
b. Menyiapkan proses
1) Sasaran memperhatikan dan mendengarkan selama penkes berlangsung
2) Sasaran aktif bertanya bila ada hal yang belum dimengerti
3) Sasaran memberi jawaban atas pertanyaan pemberi materi
4) Sasaran tidak meninggalkan tempat saat penkes berlangsung
5) Tanya jawab berjalan dengan baik
c. Evaluasi hasil
1) Penkes dikatakan berhasil apabila sasaran mampu menjawab pertanyaan 80%
lebih dengan benar
2) Penkes dikatakan cukup berhasil/ cukup baik apabila sasaran mampu
menjawab pertanyaan antara 50-80% dengan benar
3) Penkes dikatakan kurang berhasil/ tidak baik apabila sasaran hanya mampu
menjawab kurang dari 50% dengan benar
VII. Materi
1. Pengertian
Nyeri merupakan sensasi tidak menyenangkan yang terjadi bila kita mengalami
cedera atau kerusakan pada tubuh kita. Nyeri dapat terasa sakit, panas, gemetar,
kesemutan seperti terbakar, tertusuk, atau ditikam.
2. Klasifikasi Nyeri
a. Nyeri akut (< 6 bulan)
Nyeri akut biasanya terjadi secara tiba- tiba dan umumnya berkaitan dengan
cedera spesifik. Nyeri akut merupakan nyeri yang berlangsung dari beberapa
detik hingga enam bulan.
b. Nyeri kronik
Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau menetap sepanjang suatu periode
waktu. Nyeri kronik merupakan nyeri yang dirasakan selama lebih dari 6
bulan.
3. Tanda dan Gejala Nyeri
a. Suara
1) Menangis
2) Merintih
3) Menarik/ menghembuskan nafas
b. Ekspresi Wajah
1) Meringis
2) Menggigt lidah , mengatupkan gigi
3) Tertutup rapat/membuka mata atau mulut
4) Menggigit bibir
c. Pergerakan Tubuh
1) Kegelisahan
2) Mondar-mandir
3) Gerakan menggosok atau berirama
4) Bergerak melindungi tubuh
5) Otot tegang
d. Interaksi Sosial
1) Menghindari percakapan dan kontak sosial
2) Berfokus aktivitas untuk mengurangi nyeri
3) Disorientasi waktu
Smeltzer & Bare. (2015). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.
Suddarth & Brunner. (2017). Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta: EGC.
Tamsuri, A. (2015). Konsep dan Penatalaksanaan Nyeri. Jakarta : EGC.