Anda di halaman 1dari 25

ASUHAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

DENGAN KASUS VERTIGO

DI KELURAHAN JATI KOTA PROBOLINGGO

Dosen Pembimbing : Erna Handayani, S.Kep.Ns,M.Kep

Disusun oleh :

Anil Ahillah

NIM. 14201.09.17005

PROGRAM STUDI SARJANA ILMU KEPERAWATAN

STIKES HAFSHAWATY PESANTREN ZAINUL HASAN GENGGONG

PROBOLINGGO

2021
LEMBAR PENGESAHAN

ASUHAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

DENGAN KASUS VERTIGO

DI KELURAHAN JATI KOTA PROBOLINGGO

Mengetahui,

Probolinggo, 5 Februari 2021

Mahasiswa

(Anil Ahillah)

Pembimbing Akademik

(Erna Handayani, S.Kep.Ns,M.Kep)


I. Anatomi dan Fisiologis

1. Telinga Bagian Luar


Bagian ini merupakan bagian luar dari Telinga manusia yang terdiri
dari daun telinga dan saluran luar telinga.
a. Daun Telinga (Pinna)
Daun Telinga atau disebut juga dengan Pinna adalah bagian telinga terluar
yang melekat secara external di kepala. Fungsi Daun Telinga ini adalah
mengumpulkan suara, memperkuatnya dan mengarahkan suara atau bunyi
tersebut ke saluran telinga.
b. Saluran Telinga (Auditory Canal)
Saluran Telinga atau Liang Telinga, disebut juga dengan Auditory Canal
adalah struktur silindris berbentuk tabung berongga yang menghubungkan
telinga luar ke telinga tengah. Saluran Telinga ini terdiri dari tulang rawan
(cartilage) dan jaringan berserat yang dapat mengeluarkan zat lilin dan
kotoran telinga dengan tujuan untuk membantu membersihkan saluran
telinga ini dan juga untuk melindungi telinga dari bakteri, serangga, dan
organisme lain yang mungkin memasuki telinga. Fungsi saluran atau liang
telinga ini adalah untuk menyalurkan suara atau bunyi ke telinga bagian
tengah.
2. Telinga Bagian Tengah
Telinga Bagian Tengah terdiri dari beberapa bagian, diantaranya adalah
Eardrum (gendang telinga dan tulang-tulang pendengaran seperti Malleus
(tulang martil), Incus (tulang landasan), Stapes (tulang sanggurdi) dan
Eustachian tube (saluran Pendengaran).
a. Gendang Telinga (Eardrum)
Gendang Telinga atau disebut juga Tympanic Membrane (membran
timpani) adalah bagian yang memisahkan telinga luar dengan telinga
tengah. Gelombang suara yang diterima menyebabkan membran ini
bergetar dan getaran ini ditransmisikan ke tiga tulang kecil (ossicle) di
telinga tengah. Tiga tulang itu adalah malleus, incus, dan stapes. Dengan
kata lain, fungsi Gendang Telinga atau Membran Timpani adalah merespon
suara yang diterimanya dengan cara menggetarkannya.
b. Malleus (Tulang Martil)
Malleus adalah tulang kecil yang menghubungkan gendang telinga dengan
incus (tulang landasan). Berbentuk seperti palu, malleus mentransmisikan
sinyal getaran yang diterima dari gendang telinga ke incus. Bentuk tulang
Malleus ini seperti sebuah Martil atau Palu sehingga sering disebut juga
sebagai Tulang Martil. Fungsi Tulang Martil ini adalah menghantarkan
getaran suara dari gendang telinga (eardrum) ke tulang landasan (incus).
c. Incus (Tulang Landasan) – Incus atau tulang landasan adalah tulang yang
menghubungkan Tulang Martil (Malleus) dengan Tulang Sanggurdi
(Stapes). Tulang Incus ini berbentuk seperti landasan sehingga disebut juga
dengan Tulang Landasan. Fungsi Tulang Landasan atau Tulang Incus ini
adalah mentransmisikan getaran suara dari Tulang Martil (Malleus) ke
Tulang Sanggurdi (Stapes).
d. Stapes (Tulang Sanggurdi) – Stapes atau Tulang Sanggurdi adalah tulang
terkecil dan teringan dalam tubuh manusia yang menyerupai sanggurdi
kuda. Stapes atau Tulang Sanggurdi ini menghubungkan Incus (Tulang
Landasan) dengan Tingkap Oval (Oval Window). Tingkap oval adalah
lubang yang menghubungkan telinga bagian tengah dengan telinga bagian
dalam. Fungsi Tulang sanggurdi adalah menerima getaran suara dari tulang
landasan dan kemudian diantar ke membran di telinga dalam melalui
tingkap oval.
e. Eustachian Tube (Tabung Pendengaran) – Tabung pendengaran juga
disebut tabung Eustachius adalah rongga yang menghubungkan struktur
telinga tengah dengan bagian belakang tenggorakan. Fungsi Tabung
pendengaran atau tabung Eustachius ini adalah membantu mengalirkan
lendir dari telinga tengah dan menyamakan tekanan di dalam dan di luar
telinga.
3. Telinga Bagian Dalam
Telinga Bagian Dalam atau disebut juga Auris interna adalah bagian
terdalam dari struktur telinga. Fungsi Telinga Bagian Dalam ini adalah
mendeteksi suara/bunyi dan menjaga keseimbangan. Telinga Bagian Dalam
pada dasarnya terdiri dari dua bagian utama yaitu Bony Labirynth (tulang
labirin yang menonjol) dan Membran Labyrinth.
a. Bony Labyrinth
Bony Labyrinth atau disebut juga Labirin Tulang adalah rongga berlubang
di dalam telinga bagian dalam yang terdiri dari tulang yang dilapisi dengan
Periosteum sedangkan Membran Labyrinth atau Labirin Membran
membentang di dalam Labirin Tulang. Di antara kedua lapisan tersebut
terdapat lapisan cairan Perilimfe. Bony Labirynth terdiri dari beberapa
bagian yaitu Vestibule, Koklea (Cochlea) dan kanal setengah lingkaran
(Semicircular canals).
b. Vestibule
Vestibule atau Vestibular adalah bagian yang menghubungkan Koklea
dengan Semisirkular atau Kanal Setengah Lingkaran. Fungsi Vestibular
adalah menjaga keseimbangan posisi kepala terhadap gaya gravitasi dan
merespon perubahan kedudukan tubuh. Vestibular menggunakan sejenis
cairan dan sel pendeteksi atau sel rambut yaitu Sakula dan Utrikula untuk
merespon perubahan kedudukan tubuh ini.
c. Cochlea (Koklea)
Koklea adalah saluran berbentuk spiral seperti cangkang siput yang
membentuk 2/3 putaran mengitari pusat tulang yang disebut dengan
modiolus. Fungsi Koklea adalah mengubah getaran suara menjadi persepsi
pendengaran. Struktur ini berisi kompartemen berisi cairan yang merasakan
perubahan tekanan. Organ Korti dalam koklea mengandung serabut saraf
yang memanjang membentuk saraf pendengaran. Sel-sel sensorik dalam
organ Korti membantu mengubah getaran suara menjadi impuls saraf yang
ditransmisikan ke sistem saraf pusat (otak).
d. Semicircular canals (Kanal Setengah Lingkaran)
Kanal setengah lingkaran atau Kanal Semisirkularis adalah saluran
penghubung di dalam telinga yang terdiri dari tiga buah saluran setengah
lingkaran yang berbeda yaitu saluran semisirkular horizontal, saluran
semisirkular vertikal superior dan saluran semisirkular vertikal posterior.
Fungsi Kanal Setengah Lingkaran atau Semicircular ini adalah membantu
menjaga keseimbangan dengan mendeteksi gerakan kepala.

II. Definisi
Vertigo adalah adanya sensasi gerakan atau gerakan dari tubuh atau
lingkungan sekitarnya dengan gejala lain yang disebabkan oleh gangguan alat
keseimbangan tubuh oleh berbagai keadaan atau penyakit dengan demikian
vertigo bukan suatu gejala pusing berputar saja, tetapi merupakan suatu kumpulan
gejala atau satu sindrom yang terdiri dari gejala somatic (nistagmus, untoble),
otonomik (pucat, peluh dingin, mual dan muntah dizziness lebih mencerminkan
keluhan rasa gerakan yang umum tidak spesifik, rasa goyah, kepala ringan dan
perasaan yang sulit dilukiskan sendiri oleh penderitanya. Pasien sering
menyebutkan sensasi ini sebagai nggliyer, sedangkan giddiness berarti dizziness
atau vertigo yang berlangsung singkat (Sutarni , Rusdi & Abdul, 2019).

III. Etiologi
Tubuh merasakan posisi dan mengendalikan keseimbangan melalui organ
keseimbangan yang terdapat di telinga bagian dalam. Organ ini memiliki saraf
yang berhubungan dengan area tertentu di otak. Vetigo bisa disebabkan oleh
kelainan di dalam telinga, di dalam saraf yang menghubungkan telinga dengan
otak dan di dalam otaknya sendiri. Vertigo juga bisa berhubungan dengan
kelainan penglihatan atau perubahan tekanan darah yang terjadi secara tibatiba.
Penyebab umum dari vertigo: (Israr, 2012).
1. Keadaan lingkungan
Motion sickness (mabuk darat, mabuk laut)
2. Obat-obatan
a. Alkohol
b. Gentamisin
3. Kelainan sirkulasi
Transient ischemic attack (gangguan fungsi otak sementara karena
berkurangnya aliran darah ke salah satu bagian otak) pada arteri vertebral dan
arteri basiler
4. Kelainan di telinga
a. Endapan kalsium pada salah satu kanalis semisirkularis di dalam telinga
bagian dalam (menyebabkan benign paroxysmal positional vertigo)
b. Infeksi telinga bagian dalam karena bakteri.
c. Herpes zoster
d. Labirintitis (infeksi labirin di dalam telinga)
e. Peradangan saraf vestibuler
f. Penyakit Meniere
5. Kelainan neurologis
a. Sklerosis multipel
b. Patah tulang tengkorak yang disertai cedera pada labirin, persarafannya atau
keduanya
c. Tumor otak
d. Tumor yang menekansarafvestibularis.

IV. Manifestasi Klinis


Perasaan berputar yang kadang-kadang disertai gejala sehubungan dengan
reaksi dan lembab yaitu mual, muntah, rasa kepala berat, nafsu makan turun,
lelah, lidah pucat dengan selaput putih lengket, nadi lemah, puyeng (dizziness),
nyeri kepala, penglihatan kabur, tinitus, mulut pahit, mata merah, mudah
tersinggung, gelisah, lidah merah dengan selaput tipis.

V. Klasifikasi
Klasifikasi Benign Paroxysmal Positional Vertigo terbagi atas dua jenis, yaitu:
1. Benign Paroxysmal Positional Vertigo Kanalis Posterior
Benign Paroxysmal Positional Vertigo kanalis posterior ini paling
seringterjadi, dimana tercatat bahwa BPPV tipe ini 85 sampai 90% dari kasus
BPPV. Penyebab paling sering terjadi yaitu kanalitiasis. Hal inidikarenakan
debris endolimfe yang terapung bebas cenderung jatuh kekanal posterior
karena kanal ini adalah bagian vestibulum yang berada padaposisi yang paling
bawah saat kepala pada posisi berdiri ataupun berbaring (Imai T, et al, 2016).
2. Benign Paroxysmal Positional Vertigo Kanalis Horizontal (Lateral)
Benign Paroxysmal Positional Vertigo kanalis horizontal pertama
kalidiperkenalkan oleh McClure tahun 1985 dengan karakteristik
vertigoposisional yang diikuti nistagmus horizontal berubah arah. Arah
nistagmushorizontal yang terjadi dapat berupa geotropik (arah gerakan fase
cepat ke Universitas Sumatera Utara arah telinga di posisi bawah) atau
apogeotropik (arah gerakan fase cepatkearah telinga di posisi atas) selama
kepala dipalingkan ke salah satu sisidalam posisi telentang. Nistagmus
geotropik terjadi karena adanyaotokonia yang terlepas dari utrikulus dan
masuk ke dalam lumen posteriorkanalis horizontal (kanalolitiasis), sedangkan
nistagmus apogeotropikterjadi karena otokonia yang terlepas dari utrikulus
menempel pada kupulakanalis horizontal (kupulolitiasis) atau karena adanya
fragmen otokonia didalam lumen anterior kanalis horizontal (kanalolitiasis
apogeotropik) (Imai T, et al, 2016).
Pada umumnya BPPV melibatkan kanalis posterior, tetapi beberapa
tahunterakhir terlihat peningkatan laporan insiden BPPV kanalis horizontal.
Pasien dengankeluhan dan gejala yang sesuai dengan BPPV, namun tidak
sesuai dengan kriteriadiagnostik BPPV kanalis posterior harus dicurigai
sebagai BPPV kanalis horizontal (Imai T, et al, 2016).

VI. Patofisiologi
Reseptor yang berfungsi sebagai penerima informasi untuk sistem
vestibular terdiri dari vestibulum, proprioseptik dan mata,serta integrasi dari
ketiga reseptor terkait dengan batang otak serta serebelum.Vertigo timbul jika
terdapat gangguan alat keseimbangan tubuh yangmengakibatkan ketidakcocokan
antara posisi tubuh (informasi aferen) yangsebenarnya dengan apa yang dipersepsi
oleh susunan saraf pusat (pusatkesadaran). Susunan aferen yang terpenting dalam
sistem ini adalah susunanvestibuler atau keseimbangan, yang secara terus menerus
menyampaikan impulsnya ke pusat keseimbangan. Susunan lain yang berperan
ialah sistem optikdan pro-prioseptik, jaras-jaras yang menghubungkan
nukleivestibularis dengan nuklei N.III,IV dan VI, susunan vestibuloretikularis,
dan vestibulospinalis.Informasi yang berguna untuk keseimbangan tubuh akan
ditangkap oleh reseptor vestibuler, visual, dan proprioseptik; reseptor vestibuler
memberikan kontribusipaling besar, yaitu lebih dari 50 % disusul kemudian
reseptor visual dan yangpaling kecil kontribusinya adalah proprioseptik.
Dalam kondisi fisiologis/normal, informasi yang tiba di pusatintegrasi alat
keseimbangan tubuh berasal dari reseptor vestibuler, visual danproprioseptik
kanan dan kiri akan diperbandingkan, jika semuanya dalam keadaan sinkron dan
wajar, akan diproses lebih lanjut. Respons yang muncul berupa penyesuaian otot-
otot mata dan penggerak tubuh dalam keadaan bergerak.Di samping itu orang
menyadari posisi kepala dan tubuhnya terhadap lingkungan sekitar. Jika fungsi
alat keseimbangan tubuh di perifer atau sentraldalam kondisi tidak normal/ tidak
fisiologis, atau ada rangsang gerakan yanganeh atau berlebihan, maka proses
pengolahan informasi akan terganggu,akibatnya muncul gejala vertigo dan gejala
otonom. (Muhammad amin dkk.2020)
Ada beberapa teori yang berusaha menerangkan kejadian
ketidakseimbangan tubuh :
1. Teori rangsang berlebihan (overstimulation)
Teori ini berdasarkan asumsi bahwa rangsang yang berlebihan menyebabkan
hiperemi kanalissemisirkularis sehingga fungsinya terganggu; akibatnya akan
timbul vertigo, nistagmus, mual dan muntah.
2. Teori konflik sensorik
Menurut teori ini terjadi ketidakcocokan masukan sensorik yang berasal dari
berbagai reseptor sensorik perifer yaitu antara mata/visus, vestibulum dan
proprioseptik, atau ketidakseimbangan/asimetri masukan sensorik dari sisi kiri
dan kanan. Ketidakcocokan tersebut menimbulkan kebingungan sensorik di
sentral sehingga timbul respons yang dapat berupa nistagmus (usaha koreksi
bola mata), ataksia atau sulit berjalan (gangguan vestibuler, serebelum) atau
rasa melayang, berputar (yang berasal dari sensasi kortikal). Berbeda dengan
teori rangsang berlebihan, teori ini lebih menekankan gangguan proses
pengolahan sentral sebagai penyebab.
3. Teori neural mismatch
Teori ini merupakan pengembangan teori konflik sensorik; menurut teori ini
otak mempunyai memori/ingatan tentang pola gerakan tertentu; sehingga jika
pada suatu saat dirasakan gerakan yang aneh/tidak sesuai dengan pola gerakan
yang telah tersimpan, timbul reaksi dari susunan saraf otonom. Jika pola
gerakan yang baru tersebut dilakukan berulang-ulang akan terjadi mekanisme
adaptasi sehingga berangsur-angsur tidak lagi timbul gejala.
4. Teori otonomik
Teori ini menekankan perubahan reaksi susunan saraf otonom sebagai usaha
adaptasi gerakan/perubahan posisi, gejala klinis timbul jika sistim simpatis
terlalu dominan, sebaliknya hilang jika sistim parasimpatis mulai berperan
5. Teori neurohumoral
Di antaranya teori histamin (Takeda), teori dopamin (Kohl) dan teori serotonin
(Lucat) yang masing-masing menekankan peranan neurotransmiter tertentu
dalam mempengaruhi sistim saraf otonom yang menyebabkan timbulnya gejala
vertigo.
6. Teori sinap
Merupakan pengembangan teori sebelumnya yang meninjau peranan
neurotransmisi dan perubahan-perubahan biomolekuler yang terjadi pada
proses adaptasi, belajar dan daya ingat. Rangsang gerakan menimbulkan stres
yang akan memicu sekresi CRF (corticotropinreleasingfactor), peningkatan
kadar CRF selanjutnya akan mengaktifkan susunan saraf simpatik yang
selanjutnya mencetuskan mekanisme adaptasi berupa meningkatnya aktivitas
sistim saraf parasimpatik. Teori ini dapat menerangkan gejala penyerta yang
sering timbul berupa pucat, berkeringat di awal serangan vertigo akibat
aktivitas simpatis, yang berkembang menjadi gejala mual, muntah dan
hipersalivasi setelah beberapa saat akibat dominasi aktivitas susunan saraf
parasimpatis (sri utami dkk.2018.)

VII. Pathway

Ketidak seimbangan telinga tengah

Pembengkakan rongga enolimfatikus

Sistem keseimbangan tubuh (vestibuler)


terganggu

Vertigo

Tekanan intra karnial Tekanan pada otot Tinitus


leher

Gangguan pola tidur Cemas/ansietas


Mual dan muntah

Nyeri akut Koping invdividu


Intake cairan
tidak efektif

Defisit nutrisi
VIII. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan CT-scan atau MRI kepala dapat menunjukkan kelainan tulang
atau tumor yang menekan saraf. Jika diduga infeksi maka bisa diambil contoh
cairan dari telinga atau sinus atau dari tulang belakang.
2. Pemeriksaan angiogram, dilakukankarena diduga terjadi penurunan aliran
darah ke otak. Pemeriksaan ini bertujuan untuk melihat adanya sumbatan pada
pembuluhdarah yang menujukeotak.
3. Pemeriksaankhusus : ENG, Audiometridan BAEP, psikiatrik.
4. Pemeriksaantambahan : EEG, EMG, EKG, laboratorium, radiologik.
5. Pemeriksaanfisik :mata, alat keseimbangan tubuh, neurologik, otologik,
pemeriksaanfisikumum (Kang 2014).

IX. Penatalaksanaan
1. Farmakologi
a. Antihistamin (dimenhidrinat, difenhidramin, meksilin, siklisin)
1) Dimenhidrinat lama kerja tini ialah 4–6 jam. Obat dapat diberi per oral
atau parenteral (suntikan intramuskular dan intravena), dengan dosis 25
mg-50 mg (1 tablet), 4 kali sehari.
2) Difenhidramin HCl. Lama aktivitas obat ini ialah 4–6 jam, diberikan
dengan dosis 25 mg (1 kapsul) – 50 mg, 4 kali sehari.
3) Senyawa betahistin (suatu analog antihistamin):
a) Betahistin Mesylate dengan dosis 12 mg, 3 kali sehari per
oral
b) Betahistin HCl dengan dosis 8-24 mg, 3 kali sehari.
Maksimum 6 tablet dibagi dalam beberapa dosis.
b. Kalsium Antagonis
Cinnarizine, mempunyai khasiat menekan fungsi vestibular dan dapat
mengurangi respons terhadap akselerasi angular dan linier. Dosis biasanya
ialah 15-30 mg, 3 kali sehari atau 1 x 75 mg sehari.
2. Non Farmakologi
a. Pasien dilakukan latihan vestibular (vestibular exercise) dengan metode Brand
Daroff.
b. Pasien duduk tegak dipinggir tempat tidur dengan kedua tungkai tergantung,
dengan kedua mata tertutup baringkan tubuh dengan cepat ke salah satu sisi,
pertahankan selama 30 detik. Setelah itu duduk kembali. Setelah 30 detik,
baringkan dengan cepat ke sisi lain. pertahankan selama 30 detik, lalu duduk
kembali.
c. Lakukan latihan ini 3 kali pada pagi, siang dan malam hari masing-masing
diulang 5 kali serta dilakukan selama 2 minggu atau 3 minggu dengan latihan pagi
dan sore hari.
d. Pasien dilakukan latihan vestibular (vestibular exercise) dengan metode Brand
Daroff.
e. Pasien duduk tegak dipinggir tempat tidur dengan kedua tungkai tergantung,
dengan kedua mata tertutup baringkan tubuh dengan cepat ke salah satu sisi,
pertahankan selama 30 detik. Setelah itu duduk kembali. Setelah 30 detik,
baringkan dengan cepat ke sisi lain. pertahankan selama 30 detik, lalu duduk
kembali.
f. Lakukan latihan ini 3 kali pada pagi, siang dan malam hari masing-masing
diulang 5 kali serta dilakukan selama 2 minggu atau 3 minggu dengan latihan pagi
dan sore hari.
g. Epley manuver untuk pengobatan dari posterior canal BPPV (benigh paroxysmal
positional vertigo), vertigo posisional paroksismal benigna, adapun Langkah-
langkanya:
1) 1 dan 2 dari manuver Epley adalah langkah-langkah tes Dix-Hallpike positif.
Setelah memegang selama 20 detik di posisi 2, kepala berubah 90 ke arah yang
tidak terpengaruh.

2) Setelah menahan selama 20 detik di posisi 3, kepala beralih lagi ke posisi yang
hampir menghadap ke bawah dengan tubuh yang juga beralih untuk
mengakomodasi gerakan kepala.

3) Setelah memegang selama 20 detik di posisi 4, pasien dibawa ke posisi duduk.


4) Pergerakan materi otolit dalam labirin digambarkan dengan setiap langkah,
memperlihatkan. Bagaimana otoliths dipindahkan dari kanal semikirit ke ruang
depan.

Dari American Academy of Neuroloay. Neuroloay

X. Komplikasi
1. Ciderafisik
Pasiendengan vertigo ditandai dengan kehilangan keseimbangan akibat
terganggunya saraf VIII (Vestibularis), sehingga pasien tidak mampu
mempertahankandiriuntuktetapberdiridanberjalan.
2. Kelemahan otot
Pasien yang mengalami vertigo seringkali tidak melakukan aktivitas.Mereka
lebih sering untuk berbaring atau tiduran, sehingga berbaring yang terlalu lama
dan gerak yang terbatas dapat menyebabkan kelemahan otot.

XI. Askep Teori


1. PENGKAJIAN
a. Keluhan utama
Keluhan yang dirasakan pasien pada saat dilakukan pengkajian.
b. Riwayat kesehatan sekarang
Riwayat penyakit yang diderita pasien saat masuk rumah sakit. Pada pasien
vertigo tanyakan adakah pengaruh sikap atau perubahan sikap terhadap
munculnya vertigo, posisi mana yang dapat memicu vertigo.
c. Riwayat kesehatan yang lalu
Adakah riwayat trauma kepala, penyakit infeksi dan inflamasi dan penyakit
tumor otak. Riwayat penggunaan obat vestibulotoksik missal antibiotik,
aminoglikosid, antikonvulsan dan salisilat.
d. Riwayat kesehatan keluarga
Adakah riwayat penyakit yang sama diderita oleh anggota keluarga lain atau
riwayat penyakit lain baik
e. Aktivitas /Istirahat
 Letih, lemah, malaise
 Keterbatasan gerak
 Ketegangan mata, kesulitan membaca
 Insomnia, bangun pada pagi hari dengan disertai nyeri kepala.
 Sakit kepala yang hebat saat perubahan postur tubuh, aktivitas (kerja) atau
karena perubahan cuaca.
f. Sirkulasi
 Riwayat hypertensi
 Denyutan vaskuler, misal daerah temporal.
 Pucat, wajah tampak kemerahan.
g. IntegritasEgo
 Faktor-faktor stress emosional/lingkungan tertentu
 Perubahan ketidakmampuan, keputusasaan, ketidakberdayaan depresi
 Kekhawatiran, ansietas, peka rangsangan selama sakit kepala
 Mekanisme refresif/dekensif (sakit kepala kronik).
h. Makanan dan cairan
 Makanan yang tinggi vasorektiknya misalnya kafein, coklat, bawang,keju,
alkohol, anggur, daging, tomat, makan berlemak, jeruk, saus,hotdog,
MSG(pada migrain).
 Mual/muntah, anoreksia (selama nyeri)
 Penurunan berat badan5.
i. Neurosensoris
 Pening, disorientasi (selama sakit kepala)
 Riwayat kejang, cedera kepala yang baru terjadi, trauma, stroke.
 Aura ; fasialis, olfaktorius, tinitus.
 Perubahan visual, sensitif terhadap cahaya/suara yang keras, epitaksis.
 Parastesia, kelemahan progresif/paralysis satu sisi tempore
 Perubahan pada pola bicara/pola pikir
 Mudah terangsang, peka terhadap stimulus.
 Penurunan refleks tendon dalam
 Papiledema.
j. Nyeri/ kenyamanan
 Karakteristik nyeri tergantung pada jenis sakit kepala, misal
migrain,ketegangan otot, cluster, tumor otak, pascatrauma, sinusitis.
 Nyeri, kemerahan, pucat pada daerah wajah.
 Fokus menyempit
 Fokus pada diri sendiri
 Respon emosional / perilaku tak terarah seperti menangis, gelisah.
 Otot-otot daerah leher juga menegang, frigiditas vokal.
k. Keamanan
 Riwayat alergi atau reaksi alergi
 Demam (sakit kepala)
 Gangguan cara berjalan, parastesia, paralisis
 Drainase nasal purulent (sakit kepala pada gangguan sinus).
l. Interaksi social
 Perubahan dalam tanggung jawab/peran interaksi sosial yang berhubungan
dengan penyakit.
m. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum
Pemeriksaan Persistem
1) Sistem persepsi sensor
Adakah rasa tidak stabil, disrientasi, osilopsia yaitu suatu ilusi bahwa benda
yang diam tampak bergerak maju mundur.
2) Sistem Persarafan
Adakah nistagmus berdasarkan beberapa pemeriksaan baik manual maupun
dengan alat.
3) Sistem Pernafasan
Adakah gangguan pernafasan.
4) Sistem Kardiovaskuler
Adakah terjadi gangguan jantung.
5) Sistem Gastrointestinal
Adakah Nausea dan muntah
6) Sistem integument
7) Sistem Reproduksi
8) Sistem Perkemihan
a. Pola Fungsi Kesehatan
1) Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan
Adakah kecemasan yang dia lihatkan oleh kurangnya pemahaman pasien dan
keluarga mengenai penyakit, pengobatan dan prognosa.
2) Pola aktivitas dan latihan
Adakah pengaruh sikap atau perubahan sikap terhadap munculnya vertigo,
posisi yang dapat memicu vertigo.
3) Pola nutrisi metabolism
Adakah nausea dan muntah
4) Pola eliminasi
5) Pola tidur dan istirahat
6) Pola Kognitif dan perseptual
Adakah disorientasi dan asilopsia
1) Persepsi diri atau konsep diri
2) Pola toleransi dan koping stress
3) Pola sexual reproduksi
4) Pola hubungan dan peran
5) Pola nilai dan kenyakin .
DAFTAR PUSTAKA

Arsyad soepardi, efiaty dan Nurbaiti.(2012). Buku ajar ilmu kesehatan telingahidung
tenggorokkepala leher edisi ke lima. Jakarta : Gaya Baru
Amin Muhammad dkk.2020.pengalaman pasien vertigo wilayah kerja puskesmas lingkar
timur.jurnal kesmas. Asclepius.vol 2 no 1.

Brunner, Suddarth. 2015. Buku Ajar keperawtanmedikalbedah, edisi 8 vol.3.EGC. Jakarta

Imai T, et al. Classification, diagnostic criteria and management of benign paroxysmal


positional vertigo. Auris Nasus Larynx (2016),
http://dx.doi.org/10.1016/j.anl.2016.03.013

Lumban Tobing. S.M, 2003, Vertigo Tujuh Keliling, Jakarta : FK UI

Mardjono M. & Sidharta P., 2008. Neurologi Klinis Dasar, Dian Rakyat, Jakarta.
Nagel, P., Gurkov, R. 2012. Dasar-dasar Ilmu THT. Alih bahasa Dany, F. Jakarta : EGC

PPNI. 2017. Standart Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI) : Jakarta

PPNI. 2018. Standart Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI) : Jakarta

PPNI. 2019. Standart Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI) : Jakarta

Santosa, Budi. 2013.DiagnosisKeperawatanDevinisi&Klasifikasi NANDA 2015-2017.


Jakarta: Prima Medika

Sjamsuhidayat& Jong.(2015).Buku Ajar IlmuBedah.Edisi 3.Jakarta:EGC

Smeltzer, S.C. & Bare, B.G., 2011. Buku ajar keperawatan medical-bedah Brunner &
Suddarth, vol:3, EGC, Jakarta

Utami sri.malueka ghazali rusdy.gofir abdul.2018.bunga rampai vertigo.gajah mada uversity


pres: yogyakarta.ISBN :978-602-386-013-5
SATUAN ACARA PENYULUHAN

MANAJEMEN NYERI NON FARMOKOLOGI

Disusun oleh :

Anil Ahillah

NIM. 14201.09.17005

PROGRAM STUDI SARJANA ILMU KEPERAWATAN

STIKES HAFSHAWATY PESANTREN ZAINUL HASAN GENGGONG

PROBOLINGGO

2021
LEMBAR PENGESAHAN

Penyuluhan tentang manajemen nyeri non farmakologi untuk mengatasi nyeri pada
klien dan keluarga klien.

Disusun oleh :

Anil Ahillah

14201.09.17005

Mahasiswa Sarjana Keperawatan disahkan sebagai bukti laporan praktek di Kelurahan Jati
Kota probolinggo pada tanggal 4 Februari 2021

Mengetahui

Mahasiswa

(Anil Ahillah)

Pembimbing Akademik

(Erna Handayani, S.Kep.Ns,M.Kep)


DAFTAR HADIR PENYULUHAN

No Nama Paraf
Satuan Acara Penyuluhan (SAP)

Manajemen Nyeri

Topik Penyuluhan : Manajemen Nyeri Non Farmokologi

Pokok Bahasan : Manajemen nyeri pada klien vertigo

Waktu : 1X30 menit (Pukul :10.00 WIB)

Hari : Rabu, 4 Februari 2021

Tempat : Rumah Ny A di Kelurahan Jati Kota Probolinggo

Penyuluh : Anil Ahillah

Sasaran : Klien dan Keluarga Klien

I. Tujuan Instruksional Umum (TIU)


Setelah dilakukan pendidikan kesehatan klien diharapkan mampu mengontrol
nyeri secara nonfarmakologi.
II. Tujuan Instruksi Khusus (TIK)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan / pendidikan kesehatan selama 1 x 30
menit klien diharapkan mampu :
1. Mengetahui pengertian dari nyeri
2. Mengetahui klasifikasi nyeri
3. Mengetahui tanda dan gejala nyeri
4. Menjelaskan manajemen nyeri secara nonfarmakologi
III. Media
Leaflet
IV. Metode
1. Metode
2. Diskusi
V. Pelaksanaan
No Acara Waktu Kegiatan Penyuluhan Media Yang
Digunakan
1. Pembukaan 5 menit 1. Salam -
2. Pembukaan
3. Doa
2. Penyampaian 20 menit 1. Ceramah Leaflet
materi 2. Diskusi
3. Evaluasi
3. Penutup 5 menit 1. Salam -
2. Penutup
3. Doa

VI. Evaluasi
1. Evaluasi dilaksanakan selama proses dan pada akhir kegiatan penkes dengan
memberikan pertanyaan secara lisan sebagai berikut:
a. Jelaskan kembali pengertian nyeri
b. Menyebutkan tujuan
2. Kriteria evaluasi
a. Evaluasi struktur
1) Menyiapkan SAP
2) Menyiapkan materi dan media
3) Kontrak waktu dengan sasaran
4) Menyiapkan tempat
5) Menyiapkan pertanyaan
b. Menyiapkan proses
1) Sasaran memperhatikan dan mendengarkan selama penkes berlangsung
2) Sasaran aktif bertanya bila ada hal yang belum dimengerti
3) Sasaran memberi jawaban atas pertanyaan pemberi materi
4) Sasaran tidak meninggalkan tempat saat penkes berlangsung
5) Tanya jawab berjalan dengan baik
c. Evaluasi hasil
1) Penkes dikatakan berhasil apabila sasaran mampu menjawab pertanyaan 80%
lebih dengan benar
2) Penkes dikatakan cukup berhasil/ cukup baik apabila sasaran mampu
menjawab pertanyaan antara 50-80% dengan benar
3) Penkes dikatakan kurang berhasil/ tidak baik apabila sasaran hanya mampu
menjawab kurang dari 50% dengan benar
VII. Materi
1. Pengertian
Nyeri merupakan sensasi tidak menyenangkan yang terjadi bila kita mengalami
cedera atau kerusakan pada tubuh kita. Nyeri dapat terasa sakit, panas, gemetar,
kesemutan seperti terbakar, tertusuk, atau ditikam.
2. Klasifikasi Nyeri
a. Nyeri akut (< 6 bulan)
Nyeri akut biasanya terjadi secara tiba- tiba dan umumnya berkaitan dengan
cedera spesifik. Nyeri akut merupakan nyeri yang berlangsung dari beberapa
detik hingga enam bulan.
b. Nyeri kronik
Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau menetap sepanjang suatu periode
waktu. Nyeri kronik merupakan nyeri yang dirasakan selama lebih dari 6
bulan.
3. Tanda dan Gejala Nyeri
a. Suara
1) Menangis
2) Merintih
3) Menarik/ menghembuskan nafas
b. Ekspresi Wajah
1) Meringis
2) Menggigt lidah , mengatupkan gigi
3) Tertutup rapat/membuka mata atau mulut
4) Menggigit bibir
c. Pergerakan Tubuh
1) Kegelisahan
2) Mondar-mandir
3) Gerakan menggosok atau berirama
4) Bergerak melindungi tubuh
5) Otot tegang
d. Interaksi Sosial
1) Menghindari percakapan dan kontak sosial
2) Berfokus aktivitas untuk mengurangi nyeri
3) Disorientasi waktu

Manajemen Nyeri Nonfarmakologi


1. Distraksi
Distraksi adalah teknik untuk mengalihkan perhatian terhadap hal – hal lain sehingga
lupa terhadap nyeri yang dirasakan. Contoh :
a. Membayangkan hal – hal yang menarik dan indah
b. Membaca buku, Koran sesuai dengan keinginan
c. Menonton TV
d. Medengarkan musik, radio, dll
2. Relaksasi
Teknik relaksasi memberi individu control diri ketika terjadi rasa tidak nyaman atau
nyeri, stres fisik dan emosi pada nyeri Sejumlah teknik relaksasi dapat dilakukan
untuk mengendalikan rasa nyeri ibu dengan meminimalkan aktivitas simpatik dalam
system saraf otonom .
Tahapan relaksasi nafas dalam adalah sebagai berikut :
1. Ciptakan lingkungan yang tenang
2. Usahakan tetap rileks dan tenang
3. Menarik nafas dalam dari hidung dan mengisi paru-paru dengan udara melalui
hitungan 1,2,3
4. Perlahan-lahan udara dihembuskan melalui mulut sambil merasakan ekstrimitas
atas dan bawah rileks
5. Anjurkan bernafas dengan irama normal 3 kali
6. Menarik nafas lagi melalui hidung dan menghembuskan melalui mulut secara
perlahan-lahan
7. Membiarkan telapak tangan dan kaki rileks
8. Usahakan agar tetap konsentrasi / mata sambil terpejam
9. Pada saat konsentrasi pusatkan pada daerah yang nyeri
10. Anjurkan untuk mengulangi prosedur hingga nyeri terasa berkurang
11. Ulangi sampai 15 kali, dengan selingi istirahat singkat setiap 5 kali.
DAFTAR PUSTAKA

Smeltzer & Bare. (2015). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.
Suddarth & Brunner. (2017). Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta: EGC.
Tamsuri, A. (2015). Konsep dan Penatalaksanaan Nyeri. Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai