ESTETIKA BANAL: MENGENALI KEINDAHAN DALAM KEHIDUPAN SEHARI-
HARI DARI, MELALUI, DAN UNTUK MANUSIA
Studi kasus pengalaman estetik dalam film Lady Bird (2017) karya Greta Gerwig Faiz Abimanyu Wiguna Nomor urut 6 - 2006470501 faiz.abimanyu@ui.ac.id ABSTRAK Tulisan ini menjelaskan mengenai konsep estetika banal, sekaligus menawarkan banalitas atau yang banal sebagai suatu kategori estetis, yang dilatarbelakangi oleh ketidakcukupan estetika klasik/konvensional dalam menjelaskan pengalaman estetis yang dirasakan oleh manusia dalam kehidupannya sehari-hari. Penulis menyajikan selayang pandang mengenai estetika banal dan perkembangannya pada skena seni kontemporer barat dan skena fotografi lokal melalui sosok Erik Prasetya. Kemudian, penulis akan menceritakan pengalaman estetik pribadinya akan yang banal melalui studi kasus analisis film Lady Bird
(2017) karya Greta Gerwig. Dalam tesis akhir, penulis mengajukan estetika banal sebagai estetika yang ‘merakyat’; dalam arti estetika bana l merupakan sebuah pendekatan estetika yang mampu secara universal dan seutuhnya menggenggam pengalaman estetis yang dirasakan oleh semua umat manusia, terlepas dari dimana ia berada dan kelas sosialnya. Kata kunci: estetika banal, banalitas, estetika keseharian, vernakular, Erik Prasetya, Lady Bird I. LATAR BELAKANG: KETIDAKCUKUPAN PADA ESTETIKA YANG SUDAH ADA Apabila kita membicarakan mengenai estetika — yang dalam kultur populer biasanya lekat dengan filsafat keindahan dan kesenian (Suryajaya, 2016) — maka yang akan terlintas dalam pemikiran kita adalah karya-karya agung: lukisan-lukisan termasyhur, bangunan- bangunan megah, serta patung-patung yang dipahat sedemikian rupa sempurna. Saat kita diminta untuk mencari yang “ estetik ” , kebanyakan dari kita mungkin akan langsung terpanggil untuk mencarinya di museum, pameran seni, lanskap alam yang terkenal, taman- taman indah, serta tempat-tempat grandeur yang tidak dapat diakses oleh semua orang. Di kala kita harus memikirkan konsep-konsep dan kategori estetik dalam konteks filosofis, maka yang akan terpikir adalah konsep-konsep estetik klasik yang sudah ada: sublime, picturesque, beauty- ugly, catharsis , ugly, horror, disgust, pleasure-displeasure dan lain sebagainya — konsep estetik yang menurut saya terlalu konvensional, terlalu western-centric , terlampau tinggi secara idealistik, dan sejujurnya, tidak cukup untuk menggambarkan kepenuhan keindahan pada pengalaman manusia secara universal. Konsep estetika klasik-konvensional yang telah saya sebutkan saya berani katakan ‘tidak cukup’ karena konsepsi akan keindahannya ( beauty ) yang masih sangat kaku dan baku. Konsep-konsep estetika klasik ini berkembang bersama dengan peradaban barat, yang sangat mengagungkan standar-standar tertentu dalam keindahan seperti keteraturan, harmoni, kesempurnaan, ketepatan dan keseimbangan ukuran, dan lainnya. Dengan demikian, konsep estetis ini juga bersifat western-centric atau barat-sentris: yang dianggap “ indah ” adalah kebudayaan barat dan ras kulit putih, yang dilanggengkan melalui penindasan dan eksploitasi ras kulit berwarna di wilayah-wilayah koloni. Oleh karena itu, konsep-konsep estetis barat ini
2 ketika diterapkan dalam konteks skena dunia kedua atau ketiga akan cenderung bersifat orientalis dan menuntut standar-standar ideal penindas kepada yang tertindas. Selain itu, konsepsi estetis dan kesenian barat yang tumbuh bersama dengan feodalisme, monarkisme dan kapitalisme juga menciptakan sebuah kondisi dimana hal-hal yang estetik dan “ nyeni ” hanya dapat dinikmati oleh kalangan masyarakat kelas atas, dimana karya-karya seni biasanya disimpan dan ditampilkan di dalam istana, katedral dan tempat mewah lainnya. Sementara itu, masyarakat kalangan bawah sama sekali tidak memiliki akses terhadap estetika dan kesenian. Bahkan, kehidupan mereka dianggap tidak berharga dan sama sekali tidak memiliki nilai keindahan. Dari latar belakang historis inilah, saya merasa bahwa ada persoalan kelas dan akses pada pemahaman estetik klasik-konvensional yang berkembang bersama peradaban barat, menjadikannya tidak mencukupi untuk “ menggenggam ” sepenuhnya energi pengalaman dalam kehidupan manusia, khususnya di kalangan masyarakat kelas bawah dan skena masyarakat dunia kedua-ketiga poskolonial. Selain problem historis, konsep estetika yang sudah ada secara teoritis juga cenderung terlalu mempolarisasi spektrum estetika. Memang betul bahwa konsep estetika yang sudah ada tidak hanya mengenali keindahan, tetapi juga mengenali konsep-konsep yang bersifat negatif seperti displeasure, horror, disgust dan lain sebagainya. Tetapi, masalah dari konsep estetika yang terlampau biner ini adalah bahwa pada akhirnya estetika tidak mengenali atau mengapresiasi suatu skena atau objek yang moderat/biasa-biasa saja/ada di tengah-tengah. Konsep estetika yang ada hanyalah yang luar biasa, yaitu antara yang sangat indah atau yang sangat jelek, seperti dalam konsep beauty-ugly atau pleasure-displeasure . Lantas, kita membutuhkan sebuah konsep estetika baru yang mampu memahami perasaan keindahan dalam manusia secara penuh dan universal, termasuk objek atau skena yang paling biasa sekalipun. Fungsi inilah yang saya tawarkan dalam konsep estetika banal. II. ESTETIKA BANAL: BANALITAS SEBAGAI KATEGORI ESTETIK DAN SELAYANG PANDANG PERKEMBANGANNYA DALAM SENI KONTEMPORER BARAT Sebelum merumuskan banalitas sebagai kategori estetik — yang merupakan landasan dari proposal akan estetika banal ini —kita perlu mendefinisikan “estetika” secara terlepas dari seni dan keindahan konvensional. Maka disini saya mendefinisikan “estetika” melalui etimologinya, yaitu dari kata Yunani aisthetikos
yang artinya ‘berkenaan dengan persepsi’ (Suryajaya, 2016). Melalui definisi ini, kita dapat memehami estetika sebagai segala hal yang berkenaan dengan persepsi inderawi manusia, yang kemudian dapat kita konsepsikan melalui perasaan-perasaan yang ditimbulkannya. Perasaan-perasaan yang ditimbulkan oleh persepsi inderawi inilah yang saya sebut sebagai pengalaman estetis, yang bersamanya memiliki sebuah kategori estetik tersendiri. Inilah yang saya definisikan sebagai estetika. Dengan demikian, terdapat dua variabel yang saya gunakan dalam mendefinisikan estetika: persepsi inderawi partikular individu, serta perasaan dan properti mental lainnya yang ditimbulkan oleh persepsi inderawi tersebut. Bersamaan, kedua variabel tersebut membentuk pengalaman estetis. Dengan kata lain, pengalaman estetis menurut saya adalah keterhubungan antara perasaan individu dengan persepsi inderawinya. Keterhubungan ini memampukan manusia untuk mengenali apa yang estetik, dan yang estetik ini tidak harus selalu indah dalam suatu standar kaku. Selanjutnya, apa yang dimaksud dengan banalitas atau yang banal? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi V Daring, “banal” didefinisikan sebagai ‘kasar (tidak elok; biasa sekali ’. Maka secara harfiah sesuatu yang banal adalah sesuatu yang sangat biasa, bersifat kasar (apa adanya, tidak diperindah), tidak elok/indah, dan tidak memiliki muatan
3 apapun. Sekilas, definisi ini terkesan oxymoron atau kontradiktif dengan estetika yang berkenaan dengan keindahan dan kesenian. Tetapi perlu diingat bahwa dalam tulisan ini saya mendefinisikan estetika terlepas dari keindahan dan seni secara konvensional, melainkan melalui pendekatan pengalaman estetik dan perasaan manusia yang sudah saya jelaskan pada paragraf sebelumnya. Lantas, apa itu estetika banal? Bagaimana yang banal bisa menjadi kategori estetik? Bagaimana awal mula dan perkembangannya? Secara mudahnya saya akan mendefinisikannya seperti ini: estetika banal adalah terciptanya pengalaman estetis dari objek-objek dan skena yang sehari-hari, bersifat biasa sekali, seringkali tidak memanjakan mata, kasar dan apa adanya. Ricci (2021) menyadari permulaan tren akan estetika banal pada seni kontemporer. Pada seni populer-kontemporer pasca gerakan Avant Garde , dimana konsepsi akan keindahan yang kaku mulai luntur dan bergerak kepada tren yang lebih relatif-subyektif, kita seringkali melihat sebuah karya senin yang sangat biasa saja, sehingga kita mempertanyakan apabila karya tersebut benar-benar merupakan karya seni. Seringkali juga, kita akan merasa bahwa kita mampu menciptakan karya yang serupa (saking banalnya). “Masa yang seperti ini disebut seni? Aku juga bisa buat sendiri di rumah!” menjadi salah satu ekspresi yang sering kita denga r dalam skena apresiasi seni kontemporer. Ricci mengidentifikasi bahwa kecenderungan dalam seni kontemporer ini — dimana karya-karya seni dianggap sangat banal dan dekat dengan pengalaman keseharian kita sehingga kita merasa dapat menciptakannya sendiri — berasal dari praktik seni kontemporer yang mulai meninggalkan teknik artistik dan mulai secara sengaja menggunakan objek-objek yang sangat biasa sebagai mediumnya. Marcel Duchamp , “ Fountain ” , 1917, foto oleh Alfred Stieglitz. (Sumber: https://magazine.artland.com/the-aesthetic-of-the-banal-in- contemporary-art/, diakses pada 16 Juni 2021)
Apabila kita telusuri fenomena ini dari awal, saya rasa kita dapat setuju bahwa tren ini dipelopori oleh Marcel Duchamp, yang pada 1917 di New York mengirimkan sebuah urinoar untuk pameran Society of Independent Artists yang berjudul Fountain (Ricci, 2021). Karya ini dianggap sebagai pelopor dari gerakan Avant Garde, yang berciri gebrakan kebaruan dalam seni dan menantang norma-norma konvensional yang berlaku saat itu. Pemilihan urinoar sebagai objek seni menurut Duchamp berasal dari hasratnya untuk bereksperimen dengan selera, dimana ia sengaja memilih objek yang paling sedikit kemungkinannya untuk disukai/dianggap indah, yakni urinoar (Rucci, 2021). Gebrakannya ini lantas menjadi pembuka