Anda di halaman 1dari 23

ASUHAN KEPERAWATAN ANAK PADA AN.

X DENGAN GANGGUAN
SISTEM INTEGUMEN AKIBAT SCABIES DI RS. X

PROPOSAL KARYA TULIS ILMIAH


Di Anjurkan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Karya Tulis Ilmiah Pada Program Studi
Diploma III Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kota Sukabumi

Oleh :
Helma Cahya Alfarisa
32722001D19040

PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SUKABUMI
2021
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat
dan karunia-nya, sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan proposal ini yang berjudul
“Asuhan Keperawatan Pada An X Dengan Gangguan Sistem Integumen Akibat Scabies Di RS
X”. Ucapan terimakasih kami sampaikan kepada dosen yang telah memberikan penugasan ini,
sehingga kami dapat memahami lebih mendalam mengenai mata kuliah Keperawatan Anak.
Proposal ini diajukan guna memenuhi salah satu tugas Keperawatan Anak. Kami
menyadari banyak sekali keterbatasan dalam penyusunan proposal ini, sehingga kritik dan saran
yang membangun sangat diharapkan guna perbaikan dimasa mendatang . oleh karena itu kami
mengharapkan pembenahan pikiran, saran, dan kritikan yang konstruktif demi kesempurnaan
penyusunan proposal selanjutnya.
Semoga dengan proposal yang sederhana ini dapat memenuhi harapan kita semua dan
memberikan manfaat sehingga dapat menambah ilmu pengetahuan.

Sukabumi, 2021

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................


DAFTAR ISI ..................................................................................................
BAB 1 PENDAHULUAN ..............................................................................
1.1...............................................................................................................Latar Belakang
..............................................................................................................
1.2...............................................................................................................Batasan Masalah
1.3...............................................................................................................Rumusan Masalah
1.4...............................................................................................................Tujuan Penulisan
1.4.1. Tujuan Umum ..........................................................................
1.4.2. Tujuan Khusus .........................................................................
1.5...............................................................................................................Manfaat Penulisan
1.5.1. Bagi Penulis .............................................................................
1.5.2. Bagi STIKES Sukabumi ..........................................................
1.5.3. Bagi Rumah Sakit ....................................................................
BAB II TINJAUAN TEORI ..........................................................................
2.1. Konsep Scabies .........................................................................................
2.1.1. Definisi .............................................................................................
2.1.2. Etiologi .............................................................................................
2.1.3. Patogenesis .......................................................................................
2.1.4. Penatalaksanaan ...............................................................................
2.1.5. Cara Penularan .................................................................................
2.1.6. Pencegahan ......................................................................................
2.1.7. Manifestasi Klinis ............................................................................
2.1.8. Klasifikasi ........................................................................................
2.1.9. Patofisiologi .....................................................................................
2.2. Konsep Anak .............................................................................................
2.2.1. Konsep Tumbuh Kembang Anak Usia Sekolah ..............................
2.2.2. Tahap Tumbuh Kembang Anak Usia Sekolah ................................
2.2.3. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Tumbuh Kembang Anak .....
2.3. Konsep Asuhan Keperawatan ...................................................................
2.3.1. Pengkajian ........................................................................................
2.3.2. Pola Fungsi Kesehatan .....................................................................
2.3.3. Diagnosa Keperawatan ....................................................................
2.3.4. Intervensi Keperawatan ...................................................................
2.3.5. Implementasi Keperawatan ..............................................................
2.3.6. Evaluasi Keperawatan ......................................................................
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ....................................................
3.1 Rancangan Studi Kasus .............................................................................
3.2 Subyek Studi Kasus
3.3 Fokus Studi Kasus .....................................................................................
3.4 Definisi Operasional ..................................................................................
3.5 Lokasi dan Waktu Studi Kasus ..................................................................
3.6 Metode Pengumpulan Data ........................................................................
3.7 Analisis Data Dan Penyajian Data .............................................................
3.8 Etik Studi Kasus .........................................................................................
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Scabies menurut WHO merupakan suatu penyakit signifikan bagi kesehatan masyarakat
karena merupakan kontributor yang substansial bagi morbiditas dan mortalitas global.
Prevalensi scabies di seluruh dunia dilaporkan sekitar 300 juta kasus pertahunnya
(Nugraheni, 2016).

Scabies merupakan infeksi parasit pada kulit yang disebabkan oleh Sarcoptes scabei var
hominis. Insiden scabies di negara berkembang menunjukkan siklus fluktuasi atau
peningkatan. Distribusi, prevalensi, dan insiden penyakit infeksi parasit pada kulit ini
tergantung dari area dan populasi yang diteliti. Penelitian di suatu kota miskin di Bangladesh
menunjukkan bahwa semua anak usia dari 6 tahun menderita scabies, serta di pengungsian
Sierra Leone ditemukan 86% anak pada usia 5-9 tahun terinfeksi Sarcoptes scabei.

Penyakit ini tersebar hampir diseluruh dunia terutama pada daerah tropis dan penyakit ini
endemis di beberapa negara berkembang. Di beberapa wilayah lebih dari 50% anak-anak
terinfestasi Sarcoptes scabiei. Scabies masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia.
Prevalensi penyakit scabies di Indonesia adalah sekitar 6-27% dari populasi umum dan
cenderung lebih tinggi pada anak-anak dan remaja (Sungkar,1997 cit Ma’rufi, 2005).
Beberapa faktor yang berperan dalam penyebaran scabies adalah : kondisi pemukiman yang
padat, hygiene perorangan yang jelek, social ekonomi yang rendah, kebersihan lingkungan
yang kurang baik, serta perilaku yang tidak mendukung kesehatan (Ma’rufi, 2005). Pada
daerah yang berhawa dingin dan higiene sanitasi yang kurang bagus banyak ditemukan
kasus scabies.

Di Indonesia pada tahun 2011 didapatkan jumlah penderita scabies sebesar 6.915.135
(2,9%) dari jumlah penduduk 238.452.952 jiwa. Jumlah ini mengalami peningkatan pada
tahun 2012 yang jumlah penderita scabies diperkirakan sebesar 3,6 % dari jumlah penduduk
(Depkes RI, 2012). Pada hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, dikabupaten
Jember jenis kelamin laki-laki terkena scabies lebih besar dari pada perempuan ditunjukkan
dengan hasil penelitian laki-laki 24,89% dan perempuan 5,82% (zaelany, 2017), di Padang
terdapat kejadian scabies 24,6% (Gayatri, 2013), di Yogyakarta 54,7% (Ghazali & Hilma,
2014). Sedangkan di Boyolali penyakit scabies merupakan urutan ke 10 penyakit menular
pada tahun 2009. Penderita scabies diwilayah Boyolali tercatat sebanyak 2.654 kasus. Hal
tersebut diantaranya karena disebabkan adanya penemuan penderita scabies secara aktif di
beberapa desa endemis di wilayah Kabupaten Boyolali (Dinkes Boyolali, 2011).

Penyakit scabies disebabkan oleh tungau Sarcoptes scabiei akan berkembang pesat jika
kondisi lingkungan buruk dan tidak didukung dengan perilaku hidup bersih dan sehat.
Sarcoptes scabiei menyebabkan rasa gatal pada bagian kulit seperti sela jari, siku,
selangkangan. Scabies banyak menyerang pada orang yang hidup dengan kondisi personal
hygiene di bawah standar atau buruk, sosial ekonomi rendah, kepadatan penduduk, dan
perkembangan demografik serta ekologik.

1.2 Batasan Masalah


Masalah padaa kasus ini dibatasi pada Asuhan Keperawatan Pada Anak dengan penyakit
Scabies di RSUD X.
1.3 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, maka penulis mengambil rumusan masalah dari studi kasus
tersebut yaitu “Asuhan Keperawatan pada An. X dengan gangguan integritas kulit akibat
Scabies di RSUD X.
1.4 Tujuan
1.4.1 Tujuan Umum
Penulis mampu memperoleh pengalaman secara nyata dalam melakukan Asuhan
Keperawatan pada klien yang mengalami gangguan integritas kulit akibat Scabies.
1.4.2 Tujuan Khusus
Dalam melaksanakan Asuhan Keperawatan diharapkan mahasiswa :
a. Mampu melakukan pengkajian pada klien dengan penyakit scabies.
b. Mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada klien dengan penyakit scabies.
c. Mampu membuat rencana keperawatan pada klien dengan penyakit scabies.
d. Mampu membuat implementasi keperawatan pada klien dengan penyakit
Scabies.
e. Mampu mengevaluasi asuhan keperawatan pada klien dengan penyakit Scabies.
f. Mampu melakukan pendokumentasian tindakan asuhan keperawatan.
1.5 Manfaat Penulisan
1.5.1 Bagi Penulis
Diharapkan dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan bagi penulis dan juga dapat
menambahkan pengalaman baru dalam melakukan penyusunan Proposal Karya Tulis Ilmiah.
1.5.2 Bagi STIKES
Dengan adanya penelitian ini, dapat menambahkan masukan dan sejumlah referensi
untuk kegiatan belajar mengajar dan untuk diperpustakaan khususnya mengenai Asuhan
Keperawatan anak dengan gangguan integritas kulit akibat scabies.
1.5.3 Bagi RSUD X
Sebagai bahan pertimbangan oleh pihak institusi pelayanan untuk membuat suatu
kebijakan dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan dan penanganan Asuhan
Keperawatan Pada Anak dengan gangguan integritas kulit akibat scabies.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Dasar Penyakit Scabies
2.1.1 Definisi

Scabies adalah penyakit kulit menular yang disebabkan oleh tungau (kutu/mite) yang
bernama Sarcoptes scabei, filum Arthopoda, kelas Arachnida, ordo Ackarina, super famili
Sarcoptes.” Pada manusia oleh S. scabiei var hormonis, pada babi oleh S. Scabiei var suis, pada
kambing oleh S. Scabiei var caprae, pada biri-biri oleh S. Scabiei var ovis. Scabies menyebabkan
tanda kemerahan pada kulit dan akan di temukan pada jari jari, kaki, leher, bahu, bawah ketiak,
bahkan daerah kelamin. Gambaran scabies yang terlihat meliputi kemerahan disertai 10 dengan
benjolan yang kecil. Scabies menular dari kontak secara langsung antara kulit ke kulit, serta
kontak seksual (Tosepu,2016).
Scabies adalah salah satu kondisi dermatologis yang paling umum, yang menyebabkan
sebagian besar penyakit kulit di Negara berkembang. Secara global, diperkirakan memengaruhi
lebih dari 200 juta orang setiap saat, meskipun diperlukan upaya lebih lanjut untuk menilai beban
penyakit ini. (WHO, 2017).
2.1.2 Etiologi
Menurut Djuanda (2013), Sarcoptes scabiei termasuk filum arthopoda, kelas arachnida,
ordo ackarima, super family sarcoptes. Pada manusia disebut Sarcoptes Scabiei var hominis.
Selain itu terdapat Sarcoptes Scabiei yang lain, misalnya pada kambing dan babi.
Nama Sarcoptes scabiei adalah turunan dari kata Yunani yaitu sarx yang berarti kulit dan
koptein yang berarti potongan dan kata latin scabere yang berarti untuk menggaruk. Secara
harfiah skabies berarti gatal pada kulit sehingga muncul aktivitas menggaruk kulit yang gatal
tersebut. Saat ini istilah skabies berarti lesi kulit yang muncul oleh aktivitas tungau (Cordoro et
al. 2012).
Ciri morfologi tungau skabies antara lain berukuran 0.2-0.5mm, berbentuk oval, cembung
dan datar pada sisi perut (Chowsidow 2006). Tungau dewasa mempunyai empat pasang tungkai
yang terletak pada toraks. Toraks dan abdomen menyatu membentuk idiosoma, segmen abdomen
tidak ada atau tidak jelas (Krantz 1978). Menurut Bandi et al (2012) terdapat 15 varietas atau
strain tungau yang telah diidentifikasi dan dideskripsikan secara morfologi maupun dengan
pendekatan molekuler.
2.1.3 Patogenesis
Kelainan kulit dapat disebabkan tidak hanya oleh tungau skabies, tetapi juga oleh
penderita sendiri akibat garukan. Gatal yang terjadi disebabkan oleh sensitisasi terhadap sekret
dan ekskret tungau yang memerlukan waktu kurang lebih satu bulan setelah infestasi. Pada saat
itu kelainan kulit menyerupai dermatitis dengan ditemukannya papul, vesikel, urtika dan lain-
lain. Dengan garukan dapat timbul erosi, ekskoriasi, krusta dan infeksi sekunder (Djuanda,
2010).
2.1.4 Penatalaksanaan Skabies
Menurut Sudirman (2006), penatalaksanaan skabies dibagi menjadi 2 bagian :
a. Penatalaksanaan secara umum.
Pada pasien dianjurkan untuk menjaga kebersihan dan mandi secara teratur setiap
hari. Semua pakaian, sprei, dan handuk yang telah digunakan harus dicuci secara teratur
dan bila perlu direndam dengan air panas. Demikian pula dengan anggota keluarga yang
beresiko tinggi untuk tertular, terutama bayi dan anak-anak, juga harus dijaga
kebersihannya dan untuk sementara waktu menghindari terjadinya kontak langsung.
Secara umum meningkatkan kebersihan lingkungan maupun perorangan dan
meningkatkan status gizinya. Beberapa syarat pengobatan yang harus diperhatikan :
1. Semua anggota keluarga harus diperiksa dan semua harus diberi pengobatan
secara serentak.
2. Hygiene perorangan : penderita harus mandi bersih, bila perlu menggunakan sikat
untuk menyikat badan. Sesudah mandi pakaian yang akan dipakai harus disetrika.
3. Semua perlengkapan rumah tangga seperti bangku, sofa, sprei, bantal, kasur,
selimut harus dibersihkan dan dijemur dibawah sinar matahari selama beberapa
jam.
b. Penatalaksanaan secara khusus
Dengan menggunakan obat-obatan (Djuanda, 2010), obat-obat anti skabies yang
tersedia dalam bentuk topikal antara lain :
1. Belerang endap (sulfur presipitatum), dengan kadar 4-20% dalam bentuk
salep atau krim. Kekurangannya ialah berbau dan mengotori pakaian dan
kadang-kadang menimbulkan iritasi. Dapat dipakai pada bayi berumur
kurang dari 2 tahun.
2. Emulsi benzil-benzoas (20-25%), efektif terhadap semua stadium,
diberikan setiap malam selama tiga hari. Obat ini sulit diperoleh, sering
memberi iritasi, dan kadangkadang makin gatal setelah dipakai.
3. Gama benzena heksa klorida (gameksan = gammexane) kadarnya 1%
dalam krim atau losio, termasuk obat pilihan karena efektif terhadap
semua stadium, mudah digunakan, dan jarang memberi iritasi.
Pemberiannya cukup sekali, kecuali jika masih ada gejala diulangi
seminggu kemudian.
4. Krotamiton 10% dalam krim atau losio juga merupakan obat pilihan,
mempunyai dua efek sebagai anti skabies dan anti gatal. Harus dijauhkan
dari mata, mulut, dan uretra.
5. Permetrin dengan kadar 5% dalam krim, kurang toksik dibandingkan
gameksan, efektifitasnya sama, aplikasi hanya sekali dan dihapus setelah
10 jam. Bila belum sembuh diulangi setelah seminggu. Tidak anjurkan
pada bayi di bawah umur 12 bulan. Evaluasi hasil dilihat dari penurunan
infeksi (tingkat kesembuhan) yaitu 2 minggu setelah dilakukan
pengobatan.
Dengan memperhatikan pemilihan dan cara pemakain obat, serta syarat
pengobatan dapat menghilangkan faktor predisposisi (antara lain hiegene), maka
penyakit ini memberikan prognosis yang baik (Djuanda, 2010).

2.1.5 Cara Penularan


1. kontak langsung ( kontak kulit dengan kulit ), misalnya berjabat tangan, tidur
bersama, dan berhubungan seksual.
2. kontak tak langsung ( melalui benda ), misalnya pakaian, handuk, sprei, bantal
dan lai – lain. Penularannya biasanya oleh Sarcoptes Scabiei betina yang
sudah dibuahi atai kadang kadang oleh bentuk larva. Dikenal pula Sarcoptes
Scabiei var. animalis yang kadang – kadang dapat menulari manusia, terutama
pada mereka yang banyak memelihara binatang peliharaan (Djuanda, 2013).
2.1.6 Pencegahan
Cara pencegahan penyakit skabies adalah dengan :
1. Mandi secara teratur dengan menggunakan sabun.
2. Mencuci pakaian, sprei, sarung bantal, selimut dan lainnya secara teratur
minimal 2 kali dalam seminggu.
3. Menjemur kasur dan bantal minimal 2 minggu sekali.
4. Tidak saling bertukar pakaian dan handuk dengan orang lain.
5. Hindari kontak dengan orang-orang atau kain serta pakaian yang dicurigai
terinfeksi tungau skabies.
6. Menjaga kebersihan rumah dan berventilasi cukup.
Menjaga kebersihan tubuh sangat penting untuk menjaga infestasi parasit. Sebaiknya
mandi dua kali sehari, serta menghindari kontak langsung dengan penderita,
mengingat parasit mudah menular pada kulit. Walaupun penyakit ini hanya
merupakan penyakit kulit biasa, dan tidak membahayakan jiwa, namun penyakit ini
sangat mengganggu kehidupan sehari-hari. Bila pengobatan sudah dilakukan secara
tuntas, tidak menjamin terbebas dari infeksi ulang, langkah yang dapat diambil
adalah sebagai berikut :
a. Cuci sisir, sikat rambut dan perhiasan rambut dengan cara merendam di cairan
antiseptik.
b. Cuci semua handuk, pakaian, sprei dalam air sabun hangat dan gunakan
seterika panas untuk membunuh semua telurnya, atau dicuci kering.
c. Keringkan peci yang bersih, kerudung dan jaket, serta hindari pemakaian
bersama sisir, mukena atau jilbab (Depkes, 2007).
2.1.7 Manifestasi Klinis
1. Pruritus nokturna, artinya gatal pada malam hari yang disebabkan karena
aktivitas tungau ini lebih tinggi pada suhu yang lebih lembab dan panas.
2. Penyakit ini menyerang manusia secara kelompok, misalnya dalam sebuah
keluarga biasanya seluruh anggota keluarga terkena infeksi. Begitu pula dalam
sebuah perkampungan yang padat penduduknya, serta kehidupan di pondok
pesantren, sebagian besar tetangga yang berdekatan akan diserang oleh tungau
tersebut. Dikenal keadaan hiposensitisasi, yang seluruh anggota keluarganya
terkena, tetapi tidak memberikan gejala. Penderita ini bersifat sebagai
pembawa (carrier).
3. Adanya terowongan (kunikulus) pada tempat-tempat predileksi yang bewarna
putih keabu-abuan, berbentuk garis lurus atau berkelok, ratarata panjang satu
cm, pada ujung terowongan itu ditemukan papul atau vesikel. Jika timbul
infeksi sekunder ruam kulitnya menjadi polimorf (pustul, ekskoriasi, dan lain-
lain). Tempat predileksinya biasanya merupakan tempat dengan stratum
korneum yang tipis, yaitu sela-sela jari tangan, pergelangan tangan, siku
bagian luar, lipat ketiak bagian depan, aerola mame (wanita), umbilicus,
bokong, genetalia eksterna (pria), dan perut bagian bawah. Pada bayi dapat
menyerang telapak tangan dan telapak kaki.
4. Menemukan tungau, merupakan hal yang paling diagnostik dapat ditemukan
satu atau lebih stadium hidup tungau ini.
5. Gejala yang ditunjukkan adalah warna merah, iritasi dan rasa gatal pada kulit
yang umumnya muncul disela-sela jari, siku, selangkangan dan lipatan paha,
dan muncul gelembung berair pada kulit. (Mawali dalam Tolibi, 2000).
2.1.8 Klasifikasi Scabies
Pada umunya semua jenis penyakit memiliki jenis dan klasifikasinya masing-
masing, berikut klasifikasi scabies berdasarkan yang dipaparkan oleh
Nanda(2014) yaitu :
1. Scabies pada orang bersih yaitu ditandai dengan lesi berupa papul dan
terowongan yang sedikit jumlahnya sehingga jarang dijumpai.
2. Scabies nodular, yaitu lesi berupa nodus coklat kemerahan yang gatal. Nodus
biasanya terdapat didaerah tertutup, terutama pada genetila laki-laki. Nodus
ini timbul sebagai reaksi hipersensitivitas terhadap tungau scabies.
3. Scabies pada bayi dan anak, yaitu lesi scabies pada anak dapat mengenai
seluruh tubuh termasuk seluruh kepala, leher, telapak tangan dan kaki dan
sering terjadi infeksi sekunder impetigo sehingga terowongan jarang
ditemukan.
4. Scabies terbaring ditempat tidur, yaitu kelainan yang sering menyerang
penderita penyakit kronis dan pada orang yang lanjut usia yang terpaksa harus
tinggal ditempat tidur terus. Sehingga orang itu dapat menderita scabies
dengan lesi yang terbatas.
5. Scabies Norwegia atau scabies krustosa, ini ditandai dengan lesi yang luas
dengan krusta, skuama generaisata dan hyperkeratosis yang tebal. Tempat
predileksi biasanya kulit kepala yang berambut, telinga, bokong, siku, lutut,
telapak tangan dan kaki yang disertai distrofi kuku, namun rasa gatal tidak
terlalu menonjol tetapi sangat menular akrena jumlah tungau yang
menginfeksi sangat banyak.
2.1.9 Patofisiologi
Kutu skabies dapat menyebabkan gejala transien pada manusia, tetapi
mereka bukan penyebab infestasi persisten. Cara penularan yang paling efisien
adalah melalui kontak langsung dan lama dengan seorang individu yang
terinfeksi. Kutu skabies dapat bertahan hingga tiap hari pada kulit manusia
sehingga media seperti tempat tidur atau pakaian merupakan sumber alternative
untuk terjadinya suatu penularan.
Siklus hidup dari kutu berlangsung 30 hari dan dihabiskan dalam
epidermis manusia. Setelah melakukan kopulasi, kutu jantan akan mati dan kutu
betina akan membuat liang ke dalam lapisan kulit dan meletakkan total 60-90
telur. Telur yang menetas membutuhkan 10 hari untuk menjadi larva dan kutu
dewasa.
Kurang dari 10 % dari telur yang dapat menghasilkan kutu dewasa. Kutu
skabies kemudian bergerak melalui lapisan atas kulit dengan mengeluarkan
protease yang mendegradasi stratum korneum. Scybala (kotoran) yang tertinggal
saat mereka melakukan perjalanan melalui epidermis, menciptakan kondisi klinis
lesi yang diakui sebagai liang. Populasi pasien tertentu dapat rentan terhadap
penyakit skabies, termasuk pasien dengan gangguan immunodefisiensi primer dan
penurunan respons imun sekunder terhadap terapi obat, dan gizi buruk
(Mutaqqin,2011).
2.2 Konsep Anak
2.2.1 Konsep Tumbuh Kembang Anak Usia Sekolah
Pertumbuhan berkaitan dengan adanya perubahan dalam besar, jumlah,
ukuran atau dimensi tingkat sel, organ maupun individu, bersifat kuantitatif
sehingga bisa diukur dengan ukuran berat (gram, pound, kilogram), dan dapat
diukur dalam ukuran panjang (cm, meter) (Sulistyo, 2011). Menurut
Soetjiningsih dan Ranuh (2015) pertumbuhan juga perubahan yang bersifat
kuantitatif karena bertambah banyak jumlah, ukuran, dimensi pada tingkat sel,
organ, sistem organ maupun individu. Misalnya, anak bertambah besar bukan
saja secara fisik, melainkan juga ukuran dan struktur organ tubuh dan otak. Otak
anak semakin tumbuh terlihat dari kapasitasnya untuk belajar lebih besar,
mengingat, dan mempergunakan akalnya semakin meningkat. Anak tumbuh
baik secara fisik maupun mental.
Perkembangan adalah bertambahnya kemampuan dalam struktur dan fungsi
tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang tersistem dengan organ memenuhi
fungsinya masing-masing. Termasuk juga perkembangan emosi, intelektual, dan
tingkah laku sebagai hasil sosialisasi atau interaksi dengan lingkungannya
(Sulistyo, 2011).
Menurut Wong (2009) perkembangan adalah perubahan dan perluasan secara
bertahap, perkembangan tahap kompleksitas dari yang lebih rendah ke yang
lebih tinggi, peningkatan dan perluasan kapasitas seseorang melalui
pertumbuhan. Potter & Perry (2010) juga menjelaskan bahwa perkembangan
adalah aspek kemajuan dari adaptasi terhadap lingkungan yang bersifat
kualitatif. Contoh dari perubahan kualitatif ini adalah peningkatan kapasitas
fungsional, dan penguasaan terhadap beberapa keterampilan. Perubahan
kualitatif yang dapat dilihat untuk anak usia 3-5 tahun adalah anak ikut serta
dalam percakapan dengan orangtua mereka.
Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa
pertumbuhan dan perkembangan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan
dan saling berkaitan. Pertumbuhan adalah kemampuan bertambahnya jumlah sel
sehingga dapat diukur dengan satuan sedangkan perkembangan merupakan
suatu hal dengan semakin bertambahnya kemampuan diri dalam struktur dan
fungsi tubuhnya yang berpengaruh terhadap kehidupan selanjutnya.
2.2.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tumbuh Kembang
Menurut Cahyaningsih (2011), faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan
dan perkembangan secara umum terdapat dua faktor utama, yaitu :
a. Faktor genetik Faktor genetik atau keturunan adalah modal dasar dalam mencapai
hasil akhir proses tumbuh kembang anak. Melalui genetik yang terkandung
didalam sel telur yang telah dibuahi, dapat menentukan kualitas dan kuantitas
pertumbuhan. Faktor genetik antara lain adalah jenis kelamin, suku bangsa,
keluarga, umur, dan kelainan genetik.
b. Faktor lingkungan Lingkungan yang cukup baik akan memungkinkan
tercapainya potensi bawaan sedangkan yang kurang baik akan menghambatnya.
Lingkungan ini merupakan lingkungan bio-fisik-psiko-sosial yang mempengaruhi
individu setiap hari, mulai dari konsepsi sampai akhir hayat.
Faktor lingkungan yang mempengaruhi anak pada waktu masih didalam
kandungan (faktor prenatal). Faktor lingkungan prenatal yang berpengaruh
terhadap tumbuh kembang janin mulai dari konsepsi sampai lahir, antara lain
adalah :
a. Gizi ibu pada waktu hamil Gizi ibu yang kurang terpenuhi sebelum terjadinya
kehamilan maupun pada saat hamil, akan beresiko melahirkan bayi dengan berat
badan lahir rendah (BBLR), tidak sedikit juga beresiko lahirnya janin dengan
cacat bawaan bahkan kematian bayi. Disamping itu dapat menyebabkan hambatan
pertumbuhan otak janin, anemia pada bayi baru lahir, infeksi dan abortus pada
kehamilan.
b. Toksin atau zat kimia Masa organogenesis adalah masa yang sangat peka
terhadap zat-zat teratogen. Misalnya obat-obatan seperti obat-obatan antikanker.
Demikian pula dengan ibu hamil perokok berat atau peminum alkohol akan
menyebabkan bayi lahir dengan BBLR, lahir mati, cacat atau retardasi mental.
Keracunan logam berat pada ibu hamil, misalnya karena makan ikan yang
terkontaminasi merkuri dapat menyebabkan gangguan pada pusat syaraf bayi
sehingga mengganggu perkembangannya.
c. Endokrin Hormon-hormon yang mungkin berperan pada pertumbuhan janin
adalah somatotropin, hormone tiroid, dan insulin. Cacat bawaan sering terjadi
pada ibu dengan diabetes yang hamil dan tidak mendapatkan pengobatan pada
trimester 1 kehamilan dan kekurangan yodium pada waktu hamil.
d. Infeksi Infeksi intrauterine yang sering menyebabkan cacat bawaan adalah
TOURCH (Toxoplasmosis, Rubella, Cytomegalovirus, Herves, Simplex).
Sedangkan infeksi lainnya yang juga dapat menyebabkan penyakit pada janin
adalah varisela, malaria, polio, campak, dan HIV.
e. Stress Stress yang dialami ibu pada waktu hamil dapat mempengaruhi tumbuh
kembang janin yang dapat menyebabkan cacat bawaan,dan kelainan kejiwaan.
Menurut Sulistyo (2011), faktor lingkungan postnatal yang mempengaruhi
tumbuh kembang anak secara umum adalah sebagai berikut:
a. Lingkungan biologis
1. Ras atau suku bangsa Pertumbuhan somatik juga dipengaruhi oleh ras atau suku
bangsa. Bangsa kulit putih atau ras Eropa memiliki pertumbuhan somatik yang lebih
tinggi daripada ras atau bangsa Asia.
2. Jenis kelamin Contohnya adalah saat masa pubertas, keadaan pertumbuhan dan
perkembangan anak laki-laki lebih cepat dibandingkan dengan anak wanita. Tidak
jarang, anak laki-laki yang seumuran dengan anak wanita memiliki gestur tubuh
lebih tinggi dibandingkan dengan wanita. Hal tersebut merupakan salah satu tanda
bahwa saat pubertas tumbuh dan kembang anak laki-laki lebih cepat.
3. Umur Umur berkaitan dengan tahap perkembangannya. Masa balita disebut
sebagai masa kritis. Asupan gizi pada balita pun juga harus diperhatikan, selain itu
pemberian stimulus juga tidak kalah pentingnya, karena masa balita merupakan
dasar pembentukan kepribadian anak. Sehingga diperlukan perhatian khusus.
4. Gizi Makanan memegang peranan penting dalam pertumbuhan dan
perkembanan anak, dimana kebutuhan anak berbeda dengan orang dewasa, karena
makan bagi anak dibutuhkan juga untuk pertumbuhan dan perkembangan.
5. Perawatan kesehatan Perawatan kesehatan teratur, tidak saja apabila anak sakit,
namun pemerikasaan kesehatan dan menimbang anak secara rutin setiap bulan, akan
menunjang pada pertumbuhan dan perkembangan anak. Oleh karena itu pemanfaatan
fasilitas pelayanan kesehatan dianjurkan untuk dilakukan secara menyeluruh, yang
mencakup aspek promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.
6. Kepekaan terhadap penyakit Dengan pemberian imunisasi dasar lengkap, maka
diharapkan anak terhindar dari penyakit-penyakit yang sering menyebabkan cacat atau
kematian.
7. Penyakit kronis Anak yang menderita penyakit menahun akan mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangannya, yaitu dapat menghambat pertumbuhan dan
perkembangan sesuai dengan usianya.
b. Faktor fisik
1. Cuaca dan keadaan geografis suatu daerah Musim kemarau yang panjang
atau adanya bencana alam lainnya, dapat berdampak pada tumbuh kembang anak
contohnya sebagai akibat gagalnya panen, sehingga banyak anak yang
kekurangan gizi.
2. Sanitasi Sanitasi lingkungan memiliki peran yang cukup dominan dalam
penyediaan lingkungan yang mendukung kesehatan anak dan tumbuh
kembangnya. Apabila kebersihan kurang terjaga dapat mengakibatkan diare dan
deman berdarah pada anak. Apabila anak mengalami sakit, maka dapat
menghambat pertumbuhan dan perkembangannya.
c. Faktor psikososial
1. Stimulasi Stimulasi merupakan hal yang penting dalam tumbuh kembang
anak. Anak yang mendapat stimulasi yang terarah dan teratur akan lebih cepat
berkembang dibandingkan dengan anak yang kurang atau tidak mendapatkan
stimulus.
2. Motivasi belajar Motivasi belajar dapat ditimbulkan sejak dini, dengan
memberikan lingkungan yang kondusif untuk belajar, misalnya adanya sekolah
yang tidak terlau jauh, buku-buku, suasana yang tenang serta sarana lainnya.
3. Penghargaan atau hukuman yang wajar Apabila anak berbuat baik, maka
seharusnya diberi pujian atau reward, misalnya juga dengan ciuman, belaian, tepuk
tangan dan sebagainya. Pujian tersebut akan menimbulkan motivasi yang kuat bagi
anak untuk mengulangi tingkah lakunya. Dan memberikan nasihat atau ganjaran
yang wajar apabila anak melakukan hal yang tidak baik. Sehingga anak tahu mana
yang baik dan mana yang tidak baik.
4. Kelompok sebaya Untuk proses sosialisasi dengan lingkungannya anak
memerlukan teman sebaya. Namun, perhatian orang tua tetap dibutuhkan untuk
memantau dengan siapa anak tersebut bergaul.
5. Stress Stress pada anak juga berpengaruh terhadap tumbuh kembangnya,
misalnya anak akan menarik diri, rendah diri, terlambat bicara dan nafsu makan
menurun.
6. Sekolah Pendidikan yang baik dapat meningkatkan pertumbuhan
perkembangan anak.
7. Cinta dan kasih sayang Anak memerlukan kasih sayang dan perlakuan yang
adil dari orangtuanya, agar kemudian hari menjadi anak yang tidak sombong dan
dapat memberikan kasih sayangnya pula kepada sesama. Sebaliknya kasih sayang
yang diberikan secara berlebihan yang menjurus kearah memanjakan, akan
menghambat bahkan mematikan perkembangan kepribadian anak. Akibatnya anak
akan menjadi manja, kurang mandiri, boros, angkuh, dan kurang bisa menerima
kenyataan.
8. Kualitas interaksi anak orangtua Interaksi timbal balik antara anak dan
orangtua, akan menimbulkan keakraban dalam keluarga. Anak akan terbuka
kepada orangtuanya, sehingga komunikasi bisa dua arah dan segala permasalahan
dapat dipecahkan bersama karena adanya kedekatan dan kepercayaan antara
orangtua dan anak.
d. Faktor keluarga dan adat istiadat
1. Pekerjaan atau pendapatan keluarga Pendapatan keluarga yang memadai akan
menunjang tumbuh kembang anak karena orangtua dapat menyediakan semua
kebutuhan anak, baik yang primer maupun yang sekunder.
2. Pendidikan ayah dan ibu Pendidikan orangtua merupakan salah satu faktor
yang penting dalam tumbuh kembang anak. Karena dengan pendidikan yang baik,
maka orangtua dapat menerima segala informasi dari luar terutama tentang cara
pengasuhan anak yang baik, bagaimana menjaga kesehatan anaknya, pendidikannya
dan sebagainya.
3. Stabilitas rumah tangga Keharmonisan rumah tangga mempengaruhi tumbuh
kembang anak. Tumbuh kembang anak akan berbeda pada keluarga yang harmonis
dibandingkan dengan mereka yang kurang harmonis.
4. Kepribadian ayah dan ibu Kepribadian ayah dan ibu yang terbuka tentu
pengaruhnya berbeda terhadap tumbuh kembang anak, bila dibandingkan dengan
mereka yang berkepribadian tertutup.
2.2.3 Tahap Tumbuh Kembang Anak Usia Sekolah
Tahapan tumbuh kembang anak secara garis besar dibagi menjadi dua,
yaitu :
a. Tahap tumbuh kembang usia 0-6 tahun, terdiri atas masa pranatal mulai embrio
(mulai konsepsi -8 minggu) dan masa fetus (9 minggu sampai lahir), serta masa
pascanatal mulai dari masa neonatus (0-28 hari), masa bayi (29 hari-1 tahun), masa
anak (1-2 tahun), dan masa prasekolah (3-6 tahun).
b. Tahap tumbuh kembang usia 6 tahun ke atas, terdiri atas masa sekolah (6-12
tahun) dan masa remaja (12-18 tahun).
c. Tahapan tumbuh kembang anak usia sekolah Tahapan ini dimulai sejak anak
berusia 6 tahun sampai organ-organ seksualnya masak. Kematangan seksual ini
sangat bervariasi baik antar jenis kelamin maupun antar budaya berbeda (Irwanto,
2002). Berdasarkan pembagian tahapan perkembangan anak, ada dua masa
perkembangan pada anak usia sekolah, yaitu pada usia 6-9 tahun atau masa kanak-
kanak tengah dan pada usia 10-12 tahun atau masa kanak-kanak akhir. Setelah
menjalani masa kanak-kanak akhir, anak akan memasuki masa remaja. Pada usia
sekolah, anak memiliki karakteristik yang berbeda dengan anak-anak yang usianya
lebih muda. Perbedaan ini terlihat dari aspek fisik, mental-intelektual, dan sosial-
emosial anak (Gunarsa, 2006).
Pertumbuhan fisik pada anak usia sekolah tidak secepat pada masamasa
sebelumnya. Anak akan tumbuh antara 5-6 cm setiap tahunnya. Pada masa ini,
terdapat perbedaan antara anak perempuan dan anak laki-laki. Namun, pada usia
10 tahun ke atas pertumbuhan anak laki-laki akan menyusul ketertinggalan
mereka. Perbedaan lain yang akan terlihat pada aspek fisik antara anak laki-laki
dan perempuan adalah pada bentuk otot yang dimiliki. Anak laki-laki lebih berotot
dibandingkan anak perempuan yang memiliki otot lentur (Gunarsa, 2006).
Kemampuan anak sekolah dasar dalam menggunakan fisiknya atau sering
disebut kemampuan motorik terlihat lebih menonjol dibandingkan usia
sebelumnya. Kemampuan motorik pada anak dibagi menjadi dua, yaitu
kemampuan motorik kasar dan kemampuan motorik halus.kemampuan motorik
kasar dan halus yang dimiliki oleh anak merupakan syarat mutlak untuk dapat
memasuki dunia sekolah. Mereka akan mempelajari ketrampilan-ketrampilan dasar
untuk menguasai pelajaran-pelajaran di sekolah. Kemampuan motorik halus anak
pada uisa sekolah berkembang dengan pesat. Anak sudah dapat menggunakan
fisiknya untuk menggunakan alat-alat yang membutuhkan ketrampilan motorik
halus, seperti alat tulis (Gunarsa, 2006).
Perkembangan moral berkaitan dengan kemampuan anak dalam memahami
mengenai mana yang benar dan salah serta apa yang boleh dan tidak. Kemampuan
ini berkembang tahap demi tahap sesuai dengan pertambahan usia anak. sebelum
mencapai usia 11 tahun, anak akn berada pada tahap eksternal mortalitas. Pada
tahap ini anak akan sangat kaku memegang aturan dan tidak mau melanggarnya
karena akn mendapatkan sanksi. Tahap ini juga ditandai ketidaktahuan anka
mengenai sumber dari aturan yang ada. Jika ditanya aturan itu dari mana, anak
akan menjawab bahwa peraturan dari Tuhan atau ayah. Ketika memasuki usia 11
tahun, anak sudah memahami bahwa aturan adalah hasil kesepakatan. Pada
tahapan ini dapat dikatakan anak telah memasuki tahapan internal moralitas
(Gunarsa, 2006).
Dibandingkan anak prasekolah, anak usia sekolah dapat mengingat lebih
banyak. Mereka mampu menghubungkan antara informasi yang baru dan
informasi yang dimiliki sebelumnya. Kelebihan dalam ingatan ini disebabkan oleh
beberapa aspek, seperti kapasitas ingatan jangka pendek. Kapasitas ingatan jangka
pendek anak bertambah seiring bertambahnya usia. Hal lain yang menyebabkan
anak usia sekolah memiliki daya ingat yang lebih banyak yaitu pengetahuan
mengenai strategi dalm mengingat, seperti pengulangan (rehearsal) materi-materi
yang akan diingat, sedangkan anak usia prasekolah mengingat sebuah informasi
tanpa melakukan pengulangan-pengulangan (Gunarsa, 2006).
Ciri khas kehidupan sosial-emosional anak sekolah dasar adalah menghabiskan
waktu dengan lingkungan sekolah dan teman-temannya. Anak membutuhkan
lingkungan yang lebih luas dan bergaul dengan lebih banyak orang. Karena
keinginan yang sangat besar untuk diterima menjadi bagian dari kelompok serta
keinginan yang besar untuk membentuk kelompok-kelompok, masa sekolah
disebut juga masa gang age. Ciri-ciri anak sekolah dalam kegiatan
berkelompoknya terlihat dari cara-cara mereka menggunakan istilah-istilah dalam
kelompok mereka. Walaupun demikian, anak tetap mengharapkan kedekatan
dengan orang tua meskipun dengan bentuk yang berbeda denagan anak yang
usianya lebih muda (Gunarsa, 2006).
2.2.4 Faktor Pengaruh Tumbuh Kembang Anak
Menurut Hidayat (2005) dalam proses pertumbuhan dan perkembangan pada
anak setiap individu akan mengalami siklus berbeda setiap kehidupan manusia.
Peristiwa tersebut dan secara cepat maupun lambat tergantung dari individu atau
lingkungan. Proses percepatan dan perlambatan tersebut dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor, di antaranya :
a. Faktor Heraditer Merupakan faktor yang dapat diturunkan sebagai
dasar dalam mencapai tumbuh kembang anak di samping faktor lain. Yang termasuk
faktor herediter adalah bawaan, jenis kelamin, ras, suku bangsa. Faktor ini dapat
ditentukan dengan intensitas dan kecepatan dalam pembelahan sel telur, tingkat
sensitivitas jaringan terhadap rangsangan, umur pubertas, dan berhentinya
pertumbuhan tulang (Hidayat, 2005).
Pada pertumbuhan dan perkembangan anak pada jenis laki-laki setelah lahir
akan cenderung lebih cepat atau tinggi pertumbuhan tinggi badan dan berat badan
dibandingkan dengan anak perempuan akan bertahan sampai usia tertentu mengingat
anak perempuan akan mengalami pubertas lebih dahulu dan kebanyakan anak
perempuan akan mengalami pertumbuhan yang lebih tinggi dan besar ketika masa
pubertas dan begitu juga sebaliknya di saat anak laki-laki mencapai pubertas maka
laki-laki akan cenderung lebih besar (Hidayat, 2005).
Ras atau suku bangsa juga memiliki peran dalam pertumbuhan dan
perkembangan. Hal ini dapat dilihat pada suku bangsa tertentu memiliki
kecenderungan lebih besar atau tinggi seperti bangsa Asia cenderung lebih pendek
dan kecil dibandingkan dengan bangsa Eropa atau lainya (Hidayat, 2005).
a. Faktor Lingkungan Merupakan faktor yang memegang peran
penting dalam menentukan tercapai dan tindakan potensi yang sudah dimiliki. Yang
termasuk faktor lingkungan ini dapat meliputi lingkungan pranatal, lingkungan yang
masih dalam kandungan dan lingkunagn post natal yaitu lingkungan setelah bayi
lahir (Hidyat, 2005).
1. Linkungan Pranatal Merupakan lingkungan dalam kandungan,
mulai konsepsi lahir yang meliputi gizi pada waktu ibu hamil, lingkungan mekanis
seperti posisi janin dalam uterus, zat kimia atau toxin seperti penggunaan obat-
obatan, alkohol atau kebiasaan merokok ibu hamil, hormonal seperti adanya hormon
somatrotopin, plasenta tiroid, insulin dan lain-lain yang berpengaruh pada
pertumbuhan janin. Faktor lingkungan yang lain adalah radiasi yang dapat
menyebabkan kerusakan pada organ otak janin. Infeksi dalam kandungan juga akan
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan bayi demikian juga stres yang dapat
mempengaruhi kegagalan tumbuh kembang. Faktor imunitas akan mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan janin sebab dapat menyebabkan terjadinya abortus,
selain itu juga kekurangn oksigen pada janin akan mempengaruhi gangguan dalam
plasenta yang dapat menyebabkan bayi berat badan lahir rendah (Hidayat, 2005).
2. Lingkungan Postanal Selain faktor lingkungan intra uteri terdapat
lingkungan setelah lahir yang juga dapat mempengaruhi tumbuh kembang anak
seperti, budaya lingkungan, sosial ekonomi keluarga, nutrisi, iklim atau cuaca,
olahraga, dan setatus kesehatan (Hidayat, 2005).
b. Budaya Lingkungan
Budaya lingkungan dalam hal ini adalah masyarakat dapat mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan anak dalam dalam memahami atau mempersiapkan
pola hidup sehat.hal ini dapat terlihat apabila kehidupan atau perilaku mengikuti
budaya yang ada kemungkinan besar dapat menghambat dalam aspek pertumbuhan
dan perkembangan. Sebagai contoh anak yang dalam usia tumbuh kembang
membutuhkan makanan yang bergizi, maka tentu akan mengganggu atau
menghambat pada masa tumbuh kembang (Hidayat, 2005).
c. Status Sosial Ekonomi Status sosial ekonomi juga dapat
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak. Hal ini dapat terlihat anak
dengan sosial ekonomi tinggi, tentunya pemenuhan kebutuhan gizi sangat cukup
baik dibandingkan dengan anak dengan sosial ekonomi rendah. Demikian juga
dengan status pendidikan keluarga, misalnya tingkat pendidikan rendah akan sulit
untuk menerima arahan dalam pemenuhan gizi danmereka sering tidak mau atau
tidak meyakini pentingnya pemenuhan kebutuhan gizi atau pentingnya pelayannan
kesehatan lain yang menunjang dalam pembantu pertumbuhan dan perkembangan
anak (Hidayat, 2005).
d. Nutrisi Salah satu komponen yang penting dalam menunjang
keberlangsungan proses pertumbuhan dan perkembangan yang menjadi kebutuhan
untuk tumbuh dan berkembang selama pertumbuhan, terdapat zat gizi yang
diperlukan seperti protein, karbohidrat, lemak, mineral, vitamin, dan air. Kebutuhan
ini sangat diperlukan pada masa-masa tersebut, apabila kebutuhan tersebut tidak atau
kurang terpenuhi maka akan menghambat pertumbuhan dan perkembangan
(Hidayat, 2005).
e. Ikilim atau Cuaca Iklim atau cuaca ini berperan dalam
pertumbuhan dan perkembangan. Hal ini dapat dilihat pada musim tertentu pula
terkadang kesulitan mendapatkan makanan yang bergizi seperti saat musim kemarau
penyedian sumber air bersih atau sumber makanan sangat kesulitan (Hidayat, 2005).
f. Olah Raga atau Latihan Fisik Hal ini dapat memacu perkembangan
anak,karena dapat meningkatkan stimulasi perkembangan otot dan pertumbuhan sel.
Kemudian pula dalam aspek sosial, anak dapat mudah melakukan interaksi dengan
temanya sesuai dengan olahraganya (Hidayat, 2005).
g. Posisi Anak dalam Keluarga Hal ini dapat mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan. Hal ini juga dapat dilihat pada anak pertama atau
tunggal, dalam aspek perkembangansecara umum kemampuan intelektual lebih
menonjol dan cepat berkembang karena sering berinteraksi dengan orang dewasa,
akan tetapi dalam perkembangan motoriknya kadang-kadang telambat karena tidak
ada stimulasi yang biasanya dilakukan saudara kandungnya. Kemudian juga pada
anak kedua atau berada di tengah kecenderunagan orang tua yang merasa bisa dalam
merawat anak lebih percaya diri sehingga kemampuan untuk beradaptasi anak lebih
cepat dan mudah, akan tetapi dalam perkembangan intelektual biasanya trekadang
kurang apabila dibandingkan dengan anak pertama, kecenderungan tersebut juga
tergantung pada keluarga (Hidayat, 2005).
h. Status Kesehatan Hal ini dapat berpengaruh dalam pencapaian
pertumbuhan dan perkembangan. Hal ini juga dapat dilihat apabila anak dalam
kondisi sehat dan sejahtera maka percepatan untuk tumbuh kembang sangat mudah,
akan tetapi apabila status kesehatan kurang maka maka akan terjadi perlambatan
(Hidyat, 2005).
i. Faktor Hormonal Faktor ini berperan dalam tumbuh kembang anak
antara lain : somatrotopin yang berperan dalam mempengaruhi pertumbuhan
tinggi badan dengan menstimulasi metabolisme tubuh, sedangkan glukokortikoid
yang mempunyai fungsi menstimulasi pertumbuhan sel interstisial dari testis untuk
memproduksi testosteron dan ovarium untuk memproduksi estrogen selanjutnya
hormon tersebut akan menstimulasi perkembangan seks baik pada anak laki-laki
maupun perepuan yang sesuai dengan dengan peran hormonya (Hidayat, 2005).
2.3 Konsep Asuhan Keperawatan Anak
2.3.1 Pengkajian
Pengkajian merupakan awal interaksi antara perawat dan pasien. Dengan
pengkajian didapatkan data yang nantinya akan mendukung proses
perawatan dan pengobatan. Dengan pengkajian yang baik dan benar.
a. Identitas pasien
Biasanya meliputi nama anak, umur, jenis kelamin (L dan P
pervalensinya sama), suku bangsa, no register, tanggal masuk rumah
sakit.
b. Riwayat kesehatan
1. Keluhan utama
Pada pasien scabies terdapat lesi dikulit bagian punggung dan
merasakan gatal terutama pada malam hari.
2. Riwayat kesehatan sekarang
Pasien mulai merasakan gatal yang memanas dan kemudian menjadi
edema karena garukan akibat rasa gatal yang hebat.
3. Riwayat kesehatan dahulu
Pasien pernah masuk rumah sakit karena alergi
4. Riwayat kesehatan keluarga
Dalam keluarga pasien ada yang menderita penyakit seperti yang
pasien alami yaitu kurap atau kudis.
2.3.2 Pola fungsi kesehatan
a. Pola persepsi terhadap kesehatan
Apabila sakit, pasien bisa beli obat di toko obat terdekat atau apabila
terjadi perubahan pasien memaksakan diri ke puskesmas atau rumah
sakit terdekat.
b. Pola aktivitas latihan
Aktivitas latihan selama sakit :
- Aktivitas 0 1 2 3 4
- Makan
- Mandi
- Berpakaian
- Eliminasi
- Mobilisasi di tempat tidur
c. pol a istirahat tidur
Pasien scabies terjadi gangguan pola tidur akibat gatal yang hebat pada
malam hari.
d. Pola nutrisi metabolik
Tidak ada gangguan dalam nutrisi metaboliknya.
e. Pola eliminasi
Klien BAB 1x sehari, dengan konsisten lembek, warna kuning bau khas
dan BAK 4-5x sehari, dengan bau khas warna kuning jernih.
f. Pola kognitif perseptual
Saat pengkajian pasien dalam keadaan sadar, bicara jelas, pendengaran
dan penglihatan normal.
g. Pola peran hubungan
h. Pola konsep diri
i. Pola seksual reproduksi
Pasien pasien scabies mengalami gangguan pada seksual reproduksinya.
j. Pola koping
- Masalah utama yang terjadi selama pasien sakit, pasien selalu
merasa gatal.
- Kehilangan atau perubahan yang terjadi.
- Perubahan yang terjadi pasien malas untuk beraktivitas sehari –
hari.
- Takut terhadap kekerasan : tidak.
- Pandangan terhadap masa depan.
- Pasien optimis untuk sembuh.
2.3.3 Diagnosa Keperawatan Scabies
Diagnosa keperawatan merupakan suatu penilaian pasien mengenai respon
klinis terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang dialaminya.
Baik yang berlangsung actual atau potensial. Diagnosa keperawatan
bertujuan untuk mengidentifikasi respon pasien individu, keluarga dan
komunitas terhadap situasi yang berkaitan dengan kesehatan.
Menurut diagnosa yang muncul pada pasien penderita scabies yang telah
disesuaikan dengan :
Menurut NANDA (2018-2020)
1. Kerusakan integritas kulit/jaringan (D 0129)
2. Gangguan pola tidur (D 0055)
3. Gangguan rasa nyaman (D 0074)
2.3.4 Perencanaan Intervensi Keperawatan
1. Kerusakan integritas kulit
Tujuan : Diharapkan lapisan kulit passion terlihat kembali normal.
dengan kriteria hasil :
- Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan, ( sensasi,
elastisitas, temperature, hidrasi, pigmentasi )
- Tidak ada luka atau lesi pada kulit
- Perfusi jaringan baik.
Intervensi :
- Anjurkan pasien menggunakan pakaian yang longgar
- Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering
- Monitor kulit akan adanya kemerahan
- Mandikan pasien dengan sabun dan air hangat
2. Gangguan Pola Tidur
Tujuan : kebutuhan pola tidur pasien terpenuhi.
dengan kriteria hasil :
- Jumlah jam tidur dalam batas normal.
- Pola tidur, kualitas dalam batas normal.
- Perasaan segar sesudah tidur atau istirahat.
- Mampu mengidentifikasi hal – hal yang meningkatkan tidur.
Intervensi :
- Kaji tidur pasien.
- Berikan kenyamanan pada pasien ( kebersihan tempat tidur
pasien ).
- Kolaborasikan dengan dokter pemberian obat analgetik.
- Catat banyaknya pasien terbangun pada malam hari.
- Berikan lingkungan yang nyaman dan kurangi kebisingan.
3. Gangguan Rasa Nyaman
Tujuan : Diharapkan pasien merasa lebih nyaman.
Dengan kriteria hasil :
- Mampu mengontrol kecemasan.
- Status lingkungan yang nyaman.
- Kualitas tidur dan istirahat yang adekuat.
- Status kenyamanan meningkat.
Intervensi :
- Gunakan pendekatan yang menenangkan.
- Temani pasien untuk memberikan keamanan dan mengurangi
rasa takut.
- Dorong keluarga untuk menemani anak.
2.3.5 Implementasi Keperawatan
Implementasi merupakan tahap ketika perawat mengaplikasikan rencana
keperawatan ke dalam bentuk intervensi keperawatan guna membantu pasien
mencapai tujuan yang telah di tetapkan.
2.3.6 Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan yang merupakan
perbandingan yang sistematis dan terencana antara hasil akhir yang teramati
dan tujuan atau kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan.
1) Evaluasi Formatif
Hasil observasi dan analisa perawat terhadap respon pasien segera pada
saat setelah dilakukan tindakan keperawatan. Ditulis pada catatan
perawatan, dilakukan setiap selesai melakukan tindakan keperawatan.
2) Evaluasi Sumatif
SOAP Rekapitulasi dan kesimpulan dari observasi dan analisa status
kesehatan sesuai waktu pada tujuan. Ditulis pada catatan perkembangan
yang merupakan rekapan akhir secara paripurna, catatan naratif,
penderita pulang atau pindah.
BAB III
METODE STUDI KASUS
3.1 Rancangan Studi Kasus
Studi kasus ini adalah studi untuk mengeksplorasi masalah asuhan keperawatan pada klien
yang mengalami Scabies dengan Kerusakan Integritas Kulit di RS X.
3.2 Subyek Studi Kasus
3.3 Fokus Studi
3.4 Definisi Operasional
3.5 Lokasi dan Waktu Studi Kasus
3.5.1 Lokasi Studi Kasus
Lokasi studi kasus ini akan dilaksanakan di ruang X RSUD X Kota/Kabupaten
Sukabumi
3.5.2 Waktu Studi Kasus
waktu studi kasus akan dilaksanakan selama 7 hari.
3.6 Metode Pengumpulan Data
3.7 Instrumen Studi Kasus
3.8 Analisa Data dan Penyajian Data
3.9 Etik dan Studi Kasus

Anda mungkin juga menyukai