Anda di halaman 1dari 9

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis fraktur dan dislokasi tulang
belakang adalah pemeriksaan Laboratorium, X-ray, CT-Scan, dan MRI.

1. Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan pada pasien dengan fraktur dan dislokasi
tulang belakang bertujuan untuk melihat adanya kerusakan organ akibat atau berkaitan
dengan fraktur dan dislokasi tulang belakang. Pemeriksaan yang dapat dilakukan antara
lain pemeriksaan darah lengkap, urinalisis, serum kimia, dan kalsium (Ghobrial, 2019).

Pemeriksaan darah lengkap bertujuan untuk melihat hemodinamik pasien. Pada urinalisis
diperhatikan juga apakah ada darah dalam urin yang disertai dengan peningkatan serum
kreatinin kinase yang menandakan adanya rhabdomyolysis pada pasien dengan fraktur
dan dislokasi tulang belakang (Goodrich, 2019) Pemeriksaan kalsium juga diperlukan
pada pasien dengan keganasan, untuk melihat adanya hiperkalsemia yang membutuhkan
perhatian medis (Goodrich, 2019).
2. Radiologi

a. Foto X-Ray

Figure 1 Radiografi Lateral, Fraktur L2 menunjukkan pola kompresi


ke bawah (panah kuning), perpindahan fragmen fraktur anterior
(panah putih) (Nadalo, 2018).

Pemeriksaan radiografi polos dapat menjadi salah satu pilihan pemeriksaan karena
tersedia banyak di sarana kesehatan dan cost effective. Hal yang dapat dilihat dari
pemeriksaan radiografi polos adalah identifikasi fraktur, estimasi pemendekan tulang,
dan kelurusan garis spinal. Pemeriksaan ini dilakukan secara rutin pada pasien dengan
keadaan tidak sadar akibat kecelakaan (Wong, 2013).

Fraktur kompresi dapat diklasifikasikan berdasarkan badan vertebra yang terlibat,


bentuk fraktur vertebra berdasarkan bagiannya adalah wedge shaped (anterior),
bikonkaf (tengah) atau crush (posterior) dengan berkurangnya tinggi pada bagian
vertebra sekurang-kurangnya 20% atau 4 mm dari baseline (Mccarthy, 2016).

b. Computerized Tomography

Figure 2 CT- scan potongan sagital, Fraktur corpus vertebra L1 anterior


dengan fragment displase ke kanalis spinalis (panah hitam). Fraktur meluas
ke processus spinosus (Panah kuning). Fraktur kedua pada corpus vertebra L3
terlihat pada segmen posterior.

CT scan digunakan untuk melihat adanya fraktur tersembunyi yang tidak dapat dilihat
dengan radiografi polos. Kekurangan dari CT-Scan adalah harganya yang cukup
mahal dan radiasi yang dipaparkan pada pasien (Wong, 2013).

CT Scan memiliki sensitivitas yang lebih tinggi dibandingkan radiografi polos dalam
mendiagnosis torakolumbar fraktur dengan jangkauan perbandingan radiografi polos
adalah 22% hingga 75% dan 95% hingga 100% untuk CT Scan (Sixta et al, 2012).
c. Magnetic Resonance Imaging

Magnetic resonance imaging (MRI) digunakan untuk membedakan antara fraktur


yang disebabkan oleh keganasan, serta melihat kelainan neurologis yang terjadi
secara sekunder akibat dari kompresi nerve roots dan spinal cords (Mccarthy, 2016).
MRI juga dapat melihat integritas dari ligamen tulang belakang (Wong, 2013).

Figure 3 MRI Sagital, Fraktur kompresi L2. Deformitas yang relatif kecil dari
korpus vertebra L2 terlihat, dengan angulasi ke depan kyphotic kurang dari 5°.
Fraktur kompresi dengan sedikit angulasi sering dikaitkan dengan trauma
ligamen posterior yang signifikan (panah).
Tatalaksana

Penatalaksanaan dari fraktur dan dislokasi tulang belakang memiliki beberapa prinsip yang perlu
diperhatikan seperti memelihara fungsi neurologis pasien, meminimalisir terjadinya kompresi
neurologi, stabilisasi tulang belakang, dan rehabilitasi. Hal ini dapat dicapai dengan tatalaksana
operatif maupun non-operatif. Untuk pasien trauma penanganan bisa dimulai dari tatalaksana
gawat darurat, konservatif dan pembedahan tergantung dari indikasinya (Ghobrial, 2019).

1. Tatalaksana Gawat Darurat


Tatalaksana awal pada pasien dengan trauma adalah stabilisasi pasien dengan
menggunakan protokol dari Advance Trauma Life Support (ATLS) yaitu
stabilisasi Airway, Breathing, Circulation dan imobilisasi.

2. Tatalaksana Konservatif
Indikasi dari tatalaksana konservatif pada fraktur tulang belakang menurut Spine
Working Group of the German Society for Orthopedics and Trauma

 Fraktur tipe A0

 Fraktur tipe A1 dengan deformitas kyphotic yang dapat diterima

 Fraktur tipe A2 tanpa cidera pada diskus atau fraktur dengan pergeseran

 Tidak terdapat informed consent untuk operasi

Farmakoterapi

Tatalaksana farmakoterapi yang digunakan pada pasien dengan fraktur dan dislokasi
tulang belakang adalah obat golongan anti nyeri dan steroid dosis tinggi. Penggunaan
obat golongan anti nyeri dapat menggunakan Pain Relief Ladder dari WHO. Terapi yang
digunakan adalah nonopioid analgesik, opioid, dan muscle relaxant (Spiegl, 2018).

a. Analgesik yang digunakan adalah nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs),


dan golongan coxibs.  Golongan opioid digunakan apabila terdapat nyeri yang berat
atau respon pasien yang tidak adekuat pada golongan obat nonopioid. Tatalaksana
untuk nyeri umumnya diberikan selama 6 minggu, dan jika tidak terdapat perbaikan
maka dapat dipertimbangkan untuk melakukan tatalaksana operasi (Spiegl, 2018).
b. Steroid dosis tinggi digunakan pada pasien dengan cidera spinal cord sedang hingga
berat yang berfungsi untuk meningkatkan fungsi motorik dan sensorik pada pasien.
Steroid yang dapat diberikan adalah methylprednisolone dalam 8 jam  setelah terjadi
cidera (Solomon, 2010). Tata cara pemberian adalah dengan memberikan 30 mg/kg
secara bolus, dengan dosis awitan 5.4 mg/kg/jam selama 23 jam berikutnya
(Ghobrial, 2019).

3. Pembedahan
Tujuan dari tatalaksana pembedahan adalah untuk dekompresi dari spinal cord
canal serta stabilisasi kolumna vertebra. Terdapat 3 pendekatan pada pembedahan fraktur
tulang belakang yaitu bagian anterior, posterolateral dan anterior. Pemilihan pendekatan
ini berdasarkan lokasi anatomi defek (Ghobrial, 2019).
Indikasi pembedahan seperti disebutkan Spiegl (2018) pada pasien dengan fraktur dan
dislokasi tulang belakang adalah:

 Terdapat defisit neurologis

 Fraktur tipe C dan tipe B

 Deformitas kifosis >15–20 derajat pada posisi normal

 Deformitas scoliosis >10 derajat

 Cidera pada diskus

 Nyeri yang tidak mengalami perbaikan setelah anti-nyeri

Pendekatan posterior dengan insisi midline dan laminektomi umumnya dilakukan pada


defek bagian posterior, namun teknik ini jarang dilakukan karena visual terhadap tubuh
vertebra tidak terlihat. Teknik ini dilakukan apabila tidak ada pertimbangan terhadap
dekompresi dari kanal spinalis (Ghobrial, 2019). Pendekatan superior merupakan
pendekatan yang paling sering digunakan pada fraktur dislokasi (Goodrich, 2019).
Pendekatan anterior merupakan pendekatan yang paling sering dilakukan karena
pendekatan ini memiliki akses terhadap tubuh vertebra pada seluruh ketinggian. Teknik
ini digunakan untuk cidera dekompresi yang disebabkan oleh fraktur corpus vertebra
seperti burst fracture, sagittal slice fracture, dan fraktur kompresi berat (Goodrich,
2019).

Teknik pembedahan yang paling sering digunakan pada fraktur kompresi adalah
vertebroplasty perkutaneus dan balloon kyphoplasty  karena tingkat komplikasi dan
invasive yang minim dibandingkan teknik lain. Nyeri yang dirasakan pasien akan
berkurang dalam 24 jam setelah dilakukan prosedur (Wong, 2013; Babb, 2015).

Vertebroplasty merupakan tindakan memasukkan cairan cement ke dalam tubuh vertebra


dengan menggunakan jarum, sedangkan kifoplasti merupakan tindakan memasukkan
balon ke dalam tubuh vertebra yang nantinya di inflasi dan cairan cement untuk
mengembalikan tinggi dari tulang belakang dan mengurangi nyeri (Mccarthy, 2016).

Komplikasi

Defisit neurologis sering meningkat beberapa jam atau hari pada trauma medula spinalis akut,
meskipun sudah mendapat terapi optimal. Salah satu tanda adanya kemunduran neurologis
adanya defisit sensoris. (Rizal et al, 2014). Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Leucht et
al., defisit neurologis umumnnya terjadi akibat fraktur pada bagian servikal (34.2%), yang
diikuti oleh torakal (26.5%) dan lumbar (19.8%) (Leucht, 2009).

Komplikasi akibat cidera spinal cord dapat menyebabkan paraplegia yang dapat menyebabkan


ulkus dekubitus di kemudian hari akibat imobilisasi yang berkepanjangan (Ghobrial, 2019).
Selain itu cedera spinal cord dapat menyebabkan ileus dan konstipasi (Goodrich, 2019).

Prognosis

Prognosis dari fraktur dan dislokasi tulang belakang bergantung pada kondisi neurologis pasien.
Pasien yang tidak memiliki defisit neurologis ataupun defisit neurologis sebagian memiliki
prognosis yang baik dibandingkan pasien dengan defisit neurologis komplit. Survival rate dari
pasien dengan lesi komplit dari spinal cord lebih rendah dibandingkan pasien dengan lesi
inkomplit( Vinas, 2018).

Lokasi dari cedera mempengaruhi nyeri dan kualitas hidup pasien. Cedera pada bagian lumbal
memiliki kualitas hidup yang lebih rendah serta nyeri yang lebih berat dibandingkan pasien
dengan cidera pada bagian torakal. Perkembangan dari nyeri yang dialami pasien juga berbeda,
pada defek bagian lumbal, nyeri yang dialami pasien akan lebih stabil dibandingkan torakal yang
mengalami perburukan seiring berjalannya waktu(Hansson, 2009).
Daftar Pustaka

Babb, A., Carlson, WO. 2015. Vertebral Compression Fractures : Treatment and Evaluation.

Ghobrial, G. 2019. Vertebral Fracture. Medscape. 2019. Available from:


https://emedicine.medscape.com/article/248236-overview

Goodrich, JA. 2019. Spine Dislocation. Medscape. 2019. Available from:


https://emedicine.medscape.com/article/1265365-overview

Hansson, T. 2009. The Prognosis for Pain, Disability, Activities of Daily Living and Quality of
Life after An Acute Osteoporotic Vertebral Body Fracture : Its Relation to Fracture Level, Type
of Fracture and Grade of Fracture Deformation.77–88.

Leucht, P., Fischer, K., Muhr, G., Mueller, EJ. 2009. Epidemiology of traumatic spine fractures.

Mccarthy, J., Davis, AMY., Grant, D., Medicine, F., Program, R. 2016. Diagnosis and
Management of Vertebral Compression Fractures.

Sixta et al. 2012. Screening for thoracolumbar spinal injuries in blunt trauma : An Eastern
Association for the Surgery of Trauma practice management guideline Identification of
References.

Solomon L, Warwick D, Nayagam S. 2010. Apley’s System of Orthopaedic and Fractures.


Ninth. Jamieson G, editor. London: Hodder Arnold

Spiegl UJ, Fischer K, Schmidt J, Schnoor J, Delank S, Josten C, et al. 2018. The Conservative
Treatment of Traumatic Thoracolumbar Vertebral Fractures.

Vinas F. 2018. Lumbar Spine Fractures and Dislocation. Medscape. 2018. Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/1264191-overview
Wong CC, Mcgirt MJ. 2013. Vertebral compression fractures : a review of current management
and multimodal therapy.

Anda mungkin juga menyukai