Struktur Aljabar Internet Modul
Struktur Aljabar Internet Modul
ISBN
978-602-0834-40-5
Judul Buku
Struktur Grup
Penulis
Dr. Muhamad Ali Misri, M.Si.
Editor
Reza Oktiana Akbar, M.Pd.
Di Terbitkan oleh:
(CV.CONFIDENT)
Hak Cipta ada pada penulis dan dilindungi Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2002, Pasal 2, Ayat (1) dan Pasal 72 Ayat (1) dan (2) tentang Hak Cipta.
Dilarang memperbanyak buku ini, tanpa ijin dari penulis dan penerbit
Confident.
PRAKATA
iii
membandingkan struktur grup. Bagian ini menjadi penting karena tidak semua
grup berukuran hingga dan tidak semua grup sudah terklasifikasi. Untuk dapat
mengetahui struktur grup yang seperti itu diperlukan homomorfisma. Selain
itu, pada bagian ini disajikan Teorema Cayley dan teorema dasar
homomorfisma. Kedua teorema ini menjadi puncak bahasan dalam buku ini.
Dengan Teorema Cayley, kita dapat membandingkan semua struktur dengan
struktur grup simetri. Struktur semua grup akan sama dengan struktur suatu
subgrup dari grup simetri.
Penulis menyadari bahwa dalam buku ini masih terdapat banyak
kekurangan. Untuk itu, saran-saran dari semua pihak sangat diperlukan demi
sempurnanya buku ini. Akhirnya, penulis ucapkan terima kasih kepada semua
pihak sehingga buku ini bisa dinikmati pembaca.
iv
DAFTAR ISI
v
Riwayat Hidup Penulis ....................................................................................... 97
vi
DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR GAMBAR
ix
BAB 1
PENDAHULUAN
1
𝓟 𝓠 ¬𝓟 𝓟∨𝓠 𝓟∧𝓠 𝓟→𝓠 𝓟↔𝓠
T T F T T T T
T F F T F F F
F T T T F T F
F F T F F T T
Tabel 1.1 Kebenaran bentuk pernyataan
Jika 𝒫, 𝒬;
𝒫 mengakibatkan 𝒬;
𝒫 syarat cukup bagi 𝒬 ( artinya 𝒫 cukup untuk membuat 𝒬 terjadi);
𝒬 jika 𝒫;
𝒬 syarat perlu bagi 𝒫 ( artinya jika 𝒫 terjadi, maka 𝒬 harus terjadi);
𝒬 bilamana 𝒫.
Saya lapar;
Saya makan;
Saya tidak lapar;
Saya tidak makan;
Saya lapar tetapi tidak makan;
Saya makan atau saya lapar;
Jika saya lapar, saya makan;
Saya lapar jika dan hanya jika saya tidak makan.
2
Ketika kita membolehkan anak kita pergi ke rumah temannya meskipun
ia belum membereskan kamarnya, kita tidak berbohong. Jadi, pernyataan
secara keseluruhan tetap benar meskipun antesedennya salah.
Ketika kita tidak membolehkan anak kita pergi ke rumah temannya
karena ia belum membereskan kamarnya, kita juga tidak berbohong. Implikasi
tersebut menjadi benar. Jadi, ketika antesedennya salah dan konklusinya juga
salah, pernyataan secara keseluruhan menjadi benar.
Ketika anak kita telah membereskan kamarnya tetapi kita tidak
membolehkannya pergi ke rumah temannya, kita berbohong. Jadi, ketika
antesedennya benar tetapi konklusinya salah, implikasinya menjadi salah.
Suatu bentuk pernyataan disebut tautologi jika nilai kebenaran bentuk
pernyataan tersebut pada tabel kebenaran semuanya “T”. Sebaliknya, suatu
bentuk pernyataan disebut kontradiksi jika nilai kebenaran bentuk
pernyataan tersebut pada tabel kebenaran semuanya “F”. Dua bentuk
pernyataan 𝒫 dan 𝒬 disebut ekuivalen (secara logis), ditulis: 𝒫 ⇔ 𝒬, jika 𝒫 ↔
𝒬 adalah tautologi. Perlu diperhatikan bahwa tanda ⇔ bukan penghubung
logika dan dengan demikian, 𝒫 ⇔ 𝒬 bukan bentuk pernyataan. Ia hanya
bermakna bahwa 𝒫 ↔ 𝒬 adalah tautologi.
Contoh 1.4 Pandang bentuk pernyataan 𝒫 → 𝒬 dan bentuk pernyataan ¬𝒫 ∨
𝒬. Dua bentuk pernyataan tersebut ekuivalen, ditulis: (𝒫 → 𝒬) ⇔ (¬𝒫 ∨ 𝒬),
mengingat bentuk pernyataan (𝒫 → 𝒬) ↔ (¬𝒫 ∨ 𝒬) suatu tautologi. Untuk lebih
jelasnya, perhatikan Tabel 1.2.
𝓟 𝓠 ¬𝓟 ¬𝓟 ∨ 𝓠 𝓟 → 𝓠 (𝓟 → 𝓠) ↔ (¬𝓟 ∨ 𝓠)
T T F T T T
T F F F F T
F T T T T T
F F T T T T
Tabel 1.2 Kebenaran (𝒫 → 𝒬) ↔ (¬𝒫 ∨ 𝒬)
Sifat 1.1
Dua bentuk pernyataan 𝒫 dan 𝒬 ekuivalen jika dan hanya jika kedua
bentuk pernyataan tersebut memiliki nilai kebenaran yang sama.
Contoh 1.5 Perhatikan Tabel 1.2. Nilai kebenaran ¬𝒫 ∨ 𝒬 pada kolom 4 sama
dengan nilai kebenaran 𝒫 → 𝒬 pada kolom 5. Untuk itu, kedua bentuk
pernyataan tersebut ekuivalen.
3
Sifat 1.2
Misalkan 𝒫 dan 𝒬 dua buah pernyataan. Berikut ini tautologi.
1. ¬(𝒫 ∨ 𝒬) ↔ (¬𝒫 ∧ ¬𝒬);
2. ¬(𝒫 ∧ 𝒬) ↔ (¬𝒫 ∨ ¬𝒬);
3. (𝒫 → 𝒬) ↔ (¬𝒫 ∨ 𝒬);
4. ¬(𝒫 → 𝒬) ↔ (𝒫 ∧ ¬𝒬);
5. ¬(¬𝒫) ↔ 𝒫.
Sifat 1.2 dapat ditunjukkan dengan tabel kebenaran. Silakan coba buktikan
sebagai bagian latihan. Selanjutnya perhatikan sifat berikut.
Sifat 1.3
Misalkan 𝒫, 𝒬 dan ℛ tiga buah pernyataan. Berikut ini tautologi.
1. Sifat 𝑑𝑖𝑠𝑡𝑟𝑖𝑏𝑢𝑡𝑖𝑓
a. (𝒫 ∧ (𝒬 ∨ ℛ)) ↔ ((𝒫 ∧ 𝒬) ∨ (𝒫 ∧ ℛ));
b. (𝒫 ∨ (𝒬 ∧ ℛ)) ↔ ((𝒫 ∨ 𝒬) ∧ (𝒫 ∨ ℛ))
2. Sifat 𝑎𝑠𝑜𝑠𝑖𝑎𝑡𝑖𝑓
a. (𝒫 ∨ (𝒬 ∨ ℛ)) ↔ ((𝒫 ∨ 𝒬) ∨ ℛ);
b. (𝒫 ∧ (𝒬 ∧ ℛ)) ↔ ((𝒫 ∧ 𝒬) ∧ ℛ)
3. Sifat 𝑘𝑜𝑚𝑢𝑡𝑎𝑡𝑖𝑓
a. (𝒫 ∨ 𝒬) ↔ (𝒬 ∨ 𝒫);
b. (𝒫 ∧ 𝒬) ↔ (𝒬 ∧ 𝒫).
Dengan mengacu pada Sifat 1.2, diperoleh ¬(𝒫 ∨ 𝒬) ⇔ (¬𝒫 ∧ ¬𝒬), ¬(𝒫 ∧
𝒬) ⇔ (¬𝒫 ∨ ¬𝒬), (𝒫 → 𝒬) ⇔ (¬𝒫 ∨ 𝒬), ¬(𝒫 → 𝒬) ⇔ (𝒫 ∧ ¬𝒬) dan ¬(¬𝒫) ⇔ 𝒫.
Sementara itu, dari Sifat 1.3 diperoleh, (𝒫 ∧ (𝒬 ∨ ℛ)) ⇔ ((𝒫 ∧ 𝒬) ∨ (𝒫 ∧ ℛ)), (𝒫 ∨
(𝒬 ∧ ℛ)) ⇔ ((𝒫 ∨ 𝒬) ∧ (𝒫 ∨ ℛ)), (𝒫 ∨ (𝒬 ∨ ℛ)) ⇔ ((𝒫 ∨ 𝒬) ∨ ℛ), (𝒫 ∧ (𝒬 ∧ ℛ)) ⇔
((𝒫 ∧ 𝒬) ∧ ℛ), (𝒫 ∨ 𝒬) ⇔ (𝒬 ∨ 𝒫) dan (𝒫 ∧ 𝒬) ⇔ (𝒬 ∧ 𝒫).
Misalkan 𝒫 dan 𝒬 dua pernyataan. Bentuk pernyataan ¬𝒬 → ¬𝒫 disebut
kontrapositif implikasi 𝒫 → 𝒬. Bentuk pernyataan 𝒬 → 𝒫 disebut konvers
implikasi 𝒫 → 𝒬. Sementara itu, bentuk pernyataan ¬𝒫 → ¬𝒬 disebut invers
implikasi 𝒫 → 𝒬. Jelas implikasi dan kontrapositifnya ekuivalen, implikasi dan
konversnya tidak ekuivalen, sementara implikasi dan inversnya juga tidak
ekuivalen. Silakan perhatikan tabel kebenaran berikut.
𝓟 𝓠 𝓟→𝓠 ¬𝓟 → ¬𝓠 ¬𝓠 → ¬𝓟 𝓠→𝓟
T T T T T T
T F F T F T
F T T F T F
F F T T T T
Tabel 1.3 Kebenaran kontrapositif, konvers dan invers 𝒫 → 𝒬
4
2 + 3 = 5, saya akan berlibur ke Bali”. Implikasi tersebut tidak pernah
ditemukan dalam bahasa.
Contoh 1.7 Perhatikan kalimat “jika saya selesai mengerjakan tugas lebih
awal, saya akan menjemputmu sebelum makan siang”. Kalimat tersebut
berbentuk implikasi 𝒫 → 𝒬 dengan 𝒫 “saya selesai mengerjakan tugas lebih
awal” dan 𝒬 “saya akan menjemputmu sebelum makan siang.” Interpretasi
umum yang menyatakan bahwa bentuk ¬𝒫 → ¬𝒬: “jika saya belum selesai
mengerjakan tugas lebih awal, saya tidak akan menjemputmu sebelum makan
siang” adalah benar, bukan disebabkan oleh implikasi 𝒫 → 𝒬. Untuk lebih
jelasnya, perhatikan Tabel 1.4. Pada tabel ini terlihat bahwa ¬𝒫 → ¬𝒬 ⇎ 𝒫 →
𝒬. Bahasa memang tidak setepat logika.
𝓟 𝓠 ¬𝓟 ¬𝓠 𝓟→𝓠 ¬𝓟 → ¬𝓠
T T F F T T
T F F T F T
F T T F T F
F F T T T T
Tabel 1.4 Kebenaran ¬𝒫 → ¬𝒬
Latihan 1.1
1. Apakah kalimat berikut proposisi?
a. Jumlah dua bilangan prima adalah genap.
b. 3 + 4 = 7.
c. 𝑥 + 𝑦 ≤ 10.
d. Apakah sedang hujan?
e. Ayo kemari!
f. 𝑛 bilangan prima.
g. Roti terbuat dari singkong.
2. Negasikan bentuk pernyataan berikut!
a. Jika saya muslim, saya salat lima waktu.
b. Jika suatu bilangan tidak terbagi oleh dua, bilangan tersebut bukan
genap.
c. Hidup sebagai muslim atau mati syahid.
d. Saya seorang mahasiswa sementara ia bukan.
e. Saya muslim jika dan hanya jika saya melaksanakan rukun iman dan
rukun Islam.
3. Carilah kontrapositif, konvers dan invers dari implikasi berikut.
a. Jika saya muslim, saya salat lima waktu.
b. Jika suatu bilangan tidak terbagi oleh dua, bilangan tersebut bukan
genap.
4. Pandang implikasi 𝒫 → 𝒬.
a. Tulis negasi dari konvers implikasi tersebut dalam bentuk yang
sesederhana mungkin!
5
b. Tulis negasi dari kontrapositif implikasi tersebut dalam bentuk yang
sesederhana mungkin!
c. Tulis negasi dari invers implikasi tersebut dalam bentuk yang
sesederhana mungkin!
5. Lengkapi implikasi berikut ini jika memang diperlukan sehingga nilai
kebenarannya dapat ditentukan! Selanjutnya tentukan nilai kebenarannya
menggunakan tabel kebenaran.
a. Jika 𝑥 ≥ 2 maka 𝑥 2 ≥ 4.
b. Jika 𝑥 2 ≥ 4 maka 𝑥 ≥ 2.
c. Jika 𝑥 2 ≤ 4 maka 𝑥 ≤ 2.
d. Jika (𝑥 + 𝑥)(𝑥 − 𝑥) = 𝑥(𝑥 − 𝑥) maka 𝑥 = 0.4.
6
¬ (∀𝑥, (𝒫(𝑥) → ¬𝒬(𝑥))) ⇔ ∃𝑥, ¬(𝒫(𝑥) → ¬𝒬(𝑥))
⇔ ∃𝑥, ¬(¬𝒫(𝑥) ∨ ¬𝒬(𝑥))
⇔ ∃𝑥, (𝒫(𝑥) ∧ 𝒬(𝑥))
Negasi tersebut terlihat pada langkah terakhir yaitu ∃𝑥, (𝒫(𝑥) ∧ 𝒬(𝑥)), artinya
terdapat mahasiswa yang berprestasi tetapi menyontek. Bisa juga diartikan
ada mahasiswa berprestasi yang nyontek.
Ada hal penting yang perlu diperhatikan di sini. Pada kalimat
“Mahasiswa yang berprestasi pantang menyontek”, kuantor tidak diberikan
secara jelas. Ketika menemukan kalimat yang seperti itu, berikanlah kuantor
umum.
Latihan 1.2
1. Pandang kalimat “untuk setiap 𝑥 memenuhi 𝒫(𝑥) → 𝒬(𝑥)”.
a. Tuliskan konversi kalimat tersebut?
b. Tuliskan inversi kalimat tersebut?
c. Tuliskan kontrapositif kalimat tersebut?
2. Negasikan kalimat-kalimat berikut!
a. Untuk semua 𝑥 bilangan riil, 𝑥 2 ≥ 0.
b. Setiap bilangan bulat ganjil tidak sama dengan nol.
c. Ada 𝑥 sehingga 𝑓(𝑥) > 0.
d. Untuk setiap 𝑥 ada 𝑦 demikian sehingga 𝑥𝑦 = 1.
e. Ada 𝑦 demikian sehingga 𝑥𝑦 = 0 untuk setiap x.
f. Jika 𝑥 ≠ 0, maka ada 𝑦 demikian sehingga 𝑥𝑦 = 1.
g. Jika 𝑥 > 0, maka 𝑥𝑦 2 ≥ 0 untuk setiap 𝑦.
h. Untuk setiap 𝜀 > 0, terdapat 𝛿 > 0 sehingga jika 𝑥 bilangan real yang
memenuhi |𝑥 − 1| < 𝛿, maka |𝑥 2 − 1| < 𝜀.
i. Untuk setiap bilangan real 𝑀, terdapat bilangan real 𝑁 sehingga
|𝑓(𝑛)| > 𝑀 untuk semua 𝑛 > 𝑁.
3. Putuskan apakah pernyataan (3) benar, jika pernyataan (1) dan (2)
semuanya benar, atau sebaliknya. Sertai jawaban dengan alasan yang tepat
dan benar. Ketiga pernyataan tersebut adalah
(1) Jika 𝑙 bilangan asli, maka ada bilangan real 𝑚 sehingga 𝑚 > 𝑙;
(2) setiap bilangan real 𝑚 kurang dari 𝑡;
(3) bilangan real 𝑡 bukan bilangan asli.
7
membentuk teorema, pernyataan puncak. Untuk membuktikan teorema
kadang diperlukan pernyataan yang disebut lemma. Pernyataan yang
dihasilkan dari teorema disebut akibat. Dalam buku ini pernyataan lema,
teorema dan akibat disebut sifat.
Hampir semua sifat dinyatakan dalam bentuk implikasi. Sifat yang tidak
dinyatakan dalam bentuk implikasi dapat dirubah ke dalam bentuk implikasi
yang ekuivalen. Perubahan bentuk mestinya mengacu pada aturan yang sudah
dibahas pada subbab sebelumnya. Untuk menentukan kebenaran suatu sifat,
diperlukan teknik-teknik dalam pembuktiannya. Ada enam teknik yang biasa
digunakan dalam pembuktian, yaitu: metode pembuktian langsung, metode
kontraposisi, pembuktian dengan kontradiksi, pembuktian dengan induksi,
metode konstruksi dan pembuktian pernyataan biimplikasi.
Ada beberapa langkah dalam menuliskan bukti pernyataan. Pertama
kenali dahulu masalahnya sehingga menjadi paham. Langkah berikutnya
merancang rencana dan merealisasikannya dengan menuliskan bukti tersebut.
Terakhir lihat kembali bukti yang telah ditulis tersebut sehingga tidak
ditemukan lagi kesalahan. Jika bukti yang ditulis tersebut telah benar,
tambahkan kotak kecil ∎ pada akhir bukti. Ada juga yang menggunakan 𝑄. 𝐸. 𝐷
sebagai pengganti ∎. Kata “𝑄. 𝐸. 𝐷” sendiri merupakan singkatan dari quod erat
demonstrandum, yang berarti “telah didemonstrasikan (ditunjukkan)”.
Metode Pembuktian Langsung. Metode pembuktian ini sangat
bergantung pada kaidah logika dasar dalam penarikan kesimpulan yang
disebut modus ponen: jika ℛ suatu pernyataan yang bernilai benar dan begitu
juga dengan bentuk implikasi “ℛ ⟶ 𝒮”, maka pernyataan 𝒮 bernilai benar.
Untuk menunjukkan bentuk pernyataan implikasi “jika 𝒫 maka 𝒬” benar,
menggunakan pembuktian langsung, dimulai dengan mengasumsikan premis
atau hipotesis 𝒫 benar. Selanjutnya temukan sederetan pernyataan
𝒫1 , 𝒫2 , ⋯ , 𝒫n−1 , 𝒫n dan pastikan setiap implikasi 𝒫 ⟶ 𝒫1 , 𝒫1 ⟶ 𝒫2 , 𝒫2 ⟶ 𝒫3 , ⋯,
𝒫n−1 ⟶ 𝒫n dan 𝒫n ⟶ 𝒬 adalah benar. Dengan menggunakan kaidah modus
ponen, diperoleh konklusi 𝒬 benar. Sederetan implikasi tadi tidak lain adalah
informasi yang diberikan dalam pernyataan implikasi yang akan dibuktikan,
baik tersirat maupun tidak. Untuk lebih jelasnya, perhatikanlah langkah-
langkah pembuktian Sifat 1.4.
Sifat 1.4
Misalkan 𝑥 bilangan bulat. Jika 𝑥 ganjil maka 𝑥 2 juga ganjil.
8
diketahui, masalah dalam pembuktian telah dikuasai sehingga nyaman untuk
melanjutkannya. Apa konklusi yang hendak diperlihatkan? Konklusi tersebut
ialah “𝑥 2 bilangan bulat ganjil” dan tentunya dapat dipahami mengingat
definisi bilangan bulat ganjil telah dipahami.
Bukti. Ambil 𝑥 sembarang bilangan bulat ganjil. Tentu saja pengambilan
tersebut mengakibatkan adanya bilangan bulat 𝑛 sehingga 𝑥 = 2𝑛 + 1. Untuk
itu,
𝑥 2 = (2𝑛 + 1)2 = (2𝑛)2 + 4𝑛 + 1 = 2(2𝑛2 + 2𝑛) + 1.
Dengan memisalkan 𝑚 = 2𝑛2 + 2𝑛, diperoleh 𝑥 2 = 2𝑚 + 1 dan 𝑚 bilangan
bulat. Akibatnya, 𝑥 2 juga ganjil. ∎
Metode Kontraposisi. Misalkan akan menunjukkan pernyataan
implikasi “jika 𝒫 maka 𝒬” benar. Mengingat setiap implikasi ekuivalen dengan
kontraposisinya, dengan metode ini, kita tinggal membuktikan “jika ¬𝒬 maka
¬𝒫” benar. Jika terbukti benar, kesimpulannya bahwa implikasi “jika 𝒫 maka
𝒬” juga benar. Sebagai contoh, pembuktian Sifat 1.4, menggunakan metode
kontraposisi, dilakukan dengan membuktikan pernyataan kontraposisinya:
“Misalkan 𝑥 bilangan bulat. Jika 𝑥 2 genap maka 𝑥 genap”.
Dengan membuktikan pernyataan ini benar, pernyataan “Misalkan 𝑥 bilangan
bulat. Jika 𝑥 ganjil maka 𝑥 2 ganjil” juga benar.
Pembuktian dengan Kontradiksi. Misalkan akan menunjukkan
pernyataan implikasi “jika 𝒫 maka 𝒬” benar, menggunakan pembuktian
dengan kontradiksi. Pembuktian menggunakan cara ini, dimulai dengan
mengasumsikan premis atau hipotesis 𝒫 benar dan menerapkan kalimat
pembuka dengan mengasumsikan bahwa ¬𝒬 benar. Selanjutnya temukan
pernyataan yang menunjukan bahwa ¬𝒬 → 𝒮 dengan 𝒮 suatu pernyataan yang
salah, sebagai pertentangan. Akibatnya, pernyataan ¬𝒬 haruslah salah.
Pernyataan ¬𝒬 salah terjadi tepatnya saat pernyataan 𝒬 benar. Untuk itu,
pernyataan 𝒬 benar dan pernyataan “jika 𝒫 maka 𝒬” terbukti benar. Bukti Sifat
1.5 menggunakan Pembuktian dengan kontradiksi.
Sifat 1.5
√2 bukan bilangan rasional.
9
Bukti. Andaikan √2 bilangan rasional. Akibatnya, ada 𝑎 dan 𝑏 keduanya
bilangan bulat dan 𝑏 tak nol yang memenuhi √2 = 𝑎𝑏. Jika faktor persekutuan
bilangan bulat 𝑎 dan 𝑏 tidak ada, maka ia memenuhi √2𝑏 = 𝑎. Dengan
memberikan kuadrat pada kedua ruas, hasil tadi berubah menjadi 2𝑏 2 = 𝑎2
yang mengakibatkan 𝑎2 genap. Menurut Sifat 1.4, 𝑎 harus genap. Untuk itu,
ada 𝑚 bilangan bulat sehingga 𝑎 = 2𝑚 dan diperoleh 2𝑏 2 = 𝑎2 = (2𝑚)2 = 4𝑚2 .
Dengan membagi kedua ruas oleh dua, diperoleh 𝑏 2 = 2𝑚2 yang artinya 𝑏 2
genap. Kembali gunakan Sifat 1.4, sehingga diperoleh bahwa 𝑏 juga genap.
Jadi, faktor persekutuan 𝑎 dan 𝑏 adalah 2. Pernyataan tersebut kontradiksi
dengan pernyataan “𝑎 dan 𝑏 tidak memiliki faktor persekutuan”. Artinya,
pengandaian bahwa “√2 bilangan rasional” pasti salah dan dengan demikian
bukti telah lengkap. ∎
Pembuktian dengan Induksi. Pernyataan 𝒫(𝑛) benar untuk setiap 𝑛
bilangan cacah jika memenuhi
10
a. Setiap bilangan ganjil itu prima.
b. Setiap bilangan prima itu ganjil.
c. Untuk setiap bilangan real 𝑥, memenuhi 𝑥 2 > 0.
1
d. Untuk setiap bilangan real 𝑥 ≠ 0, memenuhi 𝑥 > 0.
3. Misalkan 𝑛 suatu bilangan bulat. Tunjukan bahwa jika 𝑛2 habis dibagi 3,
maka 𝑛 habis dibagi 3!
4. Tunjukkan pernyataan berikut ini benar!
a. √3 bukan bilangan rasional!
b. Akar bilangan bulat tidak dapat berbentuk 3𝑘 + 2 untuk suatu 𝑘
bilangan bulat!
c. sin2 𝑥 ≤ |sin 𝑥| untuk semua 𝑥 ∈ ℝ!
d. Jika 𝑥 dan 𝑦 dua buah bilangan real maka |𝑥 + 𝑦| ≤ |𝑥| + |𝑦|!
5. Misalkan 𝑛 bilangan asli, 𝑎0 , 𝑎1 , ⋯ , 𝑎𝑛 ∈ ℝ dan 𝑎𝑛 ≠ 0. Tunjukan bahwa suku
banyak 𝑝(𝑥) = 𝑎𝑛 𝑥 𝑛 + 𝑎𝑛−1 𝑥 𝑛−1 + ⋯ + 𝑎0 memiliki hampir 𝑛 buah akar yang
berbeda!
1.4 Himpunan
Keberadaan definisi yang baik sangat diperlukan dalam mengkaji
konsep apa pun sebagai pendukung keberadaan konsep tersebut. Akan tetapi,
dengan adanya keterbatasan bahasa, tidak memungkinkan untuk
mendefinisikan semua konsep. Untuk itu, muncul istilah konsep primitif.
Konsep ini tidak memerlukan definisi dalam memahaminya dan dijadikan
sebagai titik awal dalam mendefinisikan konsep lain dalam kajian matematika.
Konsep himpunan merupakan salah satunya.
Untuk membantu memahami dan menggunakan konsep himpunan,
perhatikan fakta berikut ini.
1. Hanya ada satu himpunan tanpa anggota, yakni himpunan hampa atau
himpunan kosong, ditulis: ∅.
2. Misalkan 𝑆 suatu himpunan yang memiliki anggota. Tanda 𝑎 ∈ 𝑆, dibaca:
“unsur 𝑎 anggota 𝑆” atau “𝑎 anggota 𝑆” atau “unsur a di 𝑆”, atau ”𝑎 di 𝑆”
atau “unsur 𝑎 milik 𝑆”, atau “𝑎 milik 𝑆”. Sementara itu, tanda 𝑎 ∉ 𝑆, dibaca:
“unsur 𝑎 bukan anggota 𝑆” atau “𝑎 bukan anggota 𝑆” atau “unsur a tidak di
𝑆”, atau”𝑎 tidak di 𝑆” atau “unsur 𝑎 bukan milik 𝑆”, atau “𝑎 bukan milik 𝑆”
3. Himpunan dinyatakan dengan mendaftarkan anggotanya atau dengan
menuliskan sifat anggotanya. Saat menyatakan himpunan dengan
mendaftarkan anggotanya, setiap anggota dipisahkan dengan tanda koma
dan diapit oleh tanda kurung kurawal buka dan tutup, contohnya {1, 2, 3}.
Sementara itu, untuk menyatakan himpunan dengan menuliskan sifat
anggotanya. Misalkan 𝒫(𝑥) sifat unsur 𝑥. Himpunan semua unsur 𝑥 yang
mempunyai sifat 𝒫(𝑥) atau himpunan semua 𝑥 yang memenuhi 𝒫(𝑥),
ditulis: { 𝑥 | 𝒫(𝑥)}. Contohnya: {𝑥 | 𝑥 bilangan asli kurang dari 4 }.
11
4. Himpunan selalu terdefinisi dengan baik. Artinya, jika 𝑆 suatu himpunan
dan 𝑎 suatu unsur maka berlaku 𝑎 ∈ 𝑆 atau 𝑎 ∉ 𝑆. Contohnya, misalkan 𝑇
himpunan bilangan prima. Tentu saja setiap kali mengambil sembarang
bilangan, bilangan tersebut masuk ke kelompok prima atau bukan prima
dan tidak ada yang tidak masuk ke salah satunya.
Berikut ini beberapa tanda himpunan yang sudah umum dan sebagian
digunakan dalam buku ini.
12
𝐵}. Kedua konsep itu akan digunakan pada buku ini, misalnya untuk konsep
saling lepas dan partisi himpunan.
Misalkan 𝑆 suatu himpunan. Bilangan |𝑆|, lebih dikenal dengan istilah
kardinal, menyatakan banyaknya anggota 𝑆. Himpunan 𝑆 disebut hingga jika
memuat 𝑛 buah anggota berbeda, ditulis: |𝑆| = 𝑛, untuk suatu 𝑛 ∈ ℕ. Jika
sebaliknya, himpunan 𝑆 disebut tak hingga. Dua himpunan A dan B disebut
ekuivalen jika kedua himpunan tersebut kardinalnya sama besar, ditulis:
|𝐴| = |𝐵|. Dua himpunan A dan B disebut saling lepas (terpisah) jika tidak
beririsan, ditulis: 𝐴 ∩ 𝐵 = ∅.
Definisi 1.1
Misalkan 𝑆 dan 𝐻 dua buah himpunan. Himpunan 𝐻 disebut
subhimpunan 𝑆 jika setiap anggota 𝐻 juga menjadi anggota 𝑆,
ditulis: 𝐻 ⊆ 𝑆 atau 𝑆 ⊇ 𝐻.
13
Banyaknya anggota himpunan kuasa atas 𝑆 , ditulis: |2𝑆 |, adalah 2|𝑆| .
Dengan menerapkannya pada koleksi 2𝑆 , kita peroleh |2𝑆 | = 2|𝑆| = 23 = 8.
Definisi 1.2
Misalkan 𝑆 suatu himpunan tak hampa dan 𝔓 koleksi subhimpunan
𝑆. Koleksi 𝔓 disebut partisi himpunan 𝑆 jika memenuhi tiga syarat
berikut.
1. Untuk setiap 𝐴 ∈ 𝔓, 𝐴 tidak hampa,
2. ⋃𝐴∈𝔓 𝐴 = 𝑆, dan
3. untuk setiap 𝐴, 𝐵 ∈ 𝔓, jika 𝐴 ∩ 𝐵 ≠ ∅ maka 𝐴 = 𝐵.
Pada Gambar 1.2(a), ketiga sel terlihat saling lepas, sedangkan pada
Gambar 1.2(b), tampak adanya irisan. Garis putus-putus pada gambar di atas
menunjukkan irisan kedua sel.
14
Contoh 1.12. Misalkan 𝐴𝑛 = [−𝑛, 𝑛] untuk setiap 𝑛 ∈ ℕ. Koleksi 𝔄 = {𝐴𝑛 |𝑛 ∈ ℕ}
tidak membentuk partisi himpunan ℝ. Akan tetapi, jika 𝐵𝑛 = [𝑛, 𝑛 + 1) maka
koleksi 𝔅 = {𝐵𝑛 |𝑛 ∈ ℤ} membentuk partisi himpunan ℝ.
Koleksi 𝔄 bukan partisi himpunan ℝ mengingat syarat (3) tidak
terpenuhi: 𝐴1 ∩ 𝐴2 ≠ ∅ padahal 𝐴1 ≠ 𝐴2 . Sebaliknya, koleksi 𝔅 memenuhi semua
syarat partisi, seperti uraian berikut ini. Jelas 𝐵𝑛 ≠ ∅ untuk semua 𝑛 ∈ ℤ.
Perhatikan bahwa
⋃ 𝐵=⋃ 𝐵𝑛 = ⋃ [𝑛, 𝑛 + 1) = ℝ
𝐵∈𝔅 𝑛∈ℤ 𝑛∈ℤ
Latihan 1.4
1. Misalkan 𝑆 suatu himpunan dan 𝑎 suatu unsur. Manakah pernyataan
berikut yang benar?
a. 𝑎 ⊆ 𝑆 atau 𝑎 ⊈ 𝑆.
b. Jika 𝑇 suatu himpunan, maka 𝑆 ∈ 𝑇 atau 𝑆 ∉ 𝑇.
2. Misalkan 𝑆 suatu himpunan. Manakah pernyataan berikut yang benar?
a. 𝑆 ∈ 2𝑆 .
b. ∅ ⊆ 2𝑆 .
c. ∅ = 2∅ .
d. {∅} = 2∅ .
e. Jika 𝑎 ∈ 𝑆 maka {𝑎} ⊆ 2𝑆 .
3. Nyatakan himpunan berikut dengan cara mendaftarkan setiap anggotanya!
a. {𝑥 ∈ ℝ | 𝑥 2 = 3}.
b. {𝑚 ∈ ℤ | 𝑚2 = 3}.
c. {𝑚 ∈ ℤ | 𝑚𝑛 = 60 untuk suatu 𝑛 ∈ ℤ}.
d. {𝑚 ∈ ℤ | 𝑚2 − 𝑚 ≤ 20}.
4. Misalkan 𝑆 = {1, 2, 3, 4}
a. Tentukan koleksi subhimpunan sejati dari 𝑆!
b. Tentukan koleksi subhimpunan tak sejati dari 𝑆!
c. Tentukan himpunan kuasa atas 𝑆 dan berapa nilai kardinalnya!
d. Beri contoh partisi himpunan 𝑆!
15
𝑆1 = 𝑆2 = ⋯ = 𝑆𝑛 = 𝑆, maka 𝑆1 × 𝑆2 × ⋯ × 𝑆𝑛 = 𝑆 × 𝑆 × ⋯ × 𝑆 = 𝑆 𝑛 . Unsur
(𝑎1 , 𝑎2 , ⋯ 𝑎𝑛 ) ∈ 𝑆 𝑛 disebut pasangan terurut n-unsur pada himpunan 𝑆.
Definisi 1.3
Misalkan 𝐴 dan 𝐵 dua buah himpunan tak hampa. Suatu himpunan
ℛ disebut relasi dari 𝐴 ke 𝐵 jika ℛ tidak hampa dan ℛ ⊆ 𝐴 × 𝐵.
Relasi dari himpunan 𝐴 ke 𝐴 disebut relasi pada 𝐴.
16
Unsur (𝑥, 𝑦) ∈ = artinya 𝑥 = 𝑦. Sebaliknya, (𝑥, 𝑦) ∉ = artinya 𝑥 ≠ 𝑦 untuk semua
𝑥, 𝑦 ∈ 𝑆.
1.5.1 Relasi ekuivalen
Relasi ekuivalen ialah relasi pada suatu himpunan yang bersifat
refleksif, simetris dan transitif. Secara formal, definisi relasi ekuivalen
diberikan oleh definisi berikut.
Definisi 1.4
Misalkan ∼ suatu relasi pada himpunan 𝑆. Relasi ∼ disebut
ekuivalen jika untuk setiap 𝑥, 𝑦, 𝑧 ∈ 𝑆 memenuhi tiga sifat berikut.
1. Refleksif: 𝑥 ∼ 𝑥.
2. Simetris: jika 𝑥 ∼ 𝑦, maka 𝑦 ∼ 𝑥.
3. Transitif: jika 𝑥 ∼ 𝑦 dan 𝑦 ∼ 𝑧, maka 𝑥 ∼ 𝑧.
Contoh 1.14.
a. Untuk suatu himpunan tak hampa 𝑆, relasi kesamaan ′ = ′ yang
didefinisikan sebagai subhimpunan {(𝑥, 𝑥) |𝑥 ∈ 𝑆} dari 𝑆 × 𝑆 merupakan
relasi ekuivalen.
b. Relasi ~ pada himpunan ℤ yang didefinisikan oleh 𝑥 ~ 𝑦 jika dan hanya jika
𝑥𝑦 ≥ 0, merupakan relasi ekuivalen.
c. Relasi ~ pada himpunan ℝ yang didefinisikan oleh 𝑥 ~ 𝑦 jika dan hanya jika
𝑥 − 𝑦 ∈ ℤ, merupakan relasi ekuivalen.
Sifat 1.6
Jika ∼ suatu relasi ekuivalen pada himpunan tak hampa 𝑆 maka
himpunan tersebut terpartisi dengan
𝑎 = {𝑥 ∈ 𝑆 |𝑥 ∼ 𝑎}
17
terlihat bahwa 𝑎 ≠ ∅. (2) ⋃𝑎∈𝔓 𝑎 = ⋃𝑎∈𝑆{𝑥 ∈ 𝑆 |𝑥 ∼ 𝑎} = {𝑎|𝑎 ∈ 𝑆} = 𝑆. (3). Ambil
𝑎, 𝑏 ∈ 𝔓. Misalkan ada 𝑦 ∈ 𝑎 ∩ 𝑏, akan ditunjukkan bahwa 𝑎 = 𝑏.
Ambil 𝑥 ∈ 𝑎. Berdasarkan definisi ∼, kita mendapatkan 𝑥 ∼ 𝑎. Selain itu,
mengingat 𝑦 ∈ 𝑎 ∩ 𝑏, kita memperoleh 𝑦 ∈ 𝑎 dan 𝑦 ∈ 𝑏. Itu artinya 𝑦 ∼ 𝑎 dan
𝑦 ∼ 𝑏. Mengingat ∼ bersifat simetris dan transitif, kita memperoleh 𝑎 ∼ 𝑏 dan
mengakibatkan 𝑥 ∼ 𝑏. Dengan demikian, 𝑥 ∈ 𝑏 sehingga 𝑎 ⊆ 𝑏. Sebaliknya,
ambil 𝑥 ∈ 𝑏. Berdasarkan definisi, kita memperoleh 𝑥 ∼ 𝑏. Selain itu,
mengingat 𝑦 ∈ 𝑎 ∩ 𝑏, diperoleh 𝑎 ∼ 𝑏 dan mengakibatkan 𝑏 ∼ a. Karena ∼
bersifat transitif, kita memperoleh 𝑥 ∼ 𝑎 dan dengan demikian 𝑏 ⊆ 𝑎. Uraian
tersebut menunjukan bahwa 𝑎 = 𝑏.∎
Setiap sel partisi yang dihasilkan oleh relasi ekuivalen disebut kelas
ekuivalen. Perhatikan kembali sifat di atas. Sel partisi 𝑎 dan 𝑏 termasuk kelas
ekuivalen dari himpunan 𝑆.
Misalkan 𝑟 dan 𝑠 dua buah bilangan bulat. Bilangan bulat 𝑟 disebut
terbagi oleh 𝑠, ditulis: 𝑠 | 𝑟, jika terdapat bilangan bulat 𝑞 yang memenuhi 𝑟 =
𝑞𝑠. Jika 𝑟 terbagi oleh 𝑠, kita sebut 𝑠 membagi 𝑟 atau 𝑠 faktor dari 𝑟 atau 𝑟
kelipatan 𝑠. Sebaliknya, jika 𝑟 tidak terbagi oleh 𝑠 cukup kita tulis: 𝑠 ∤ 𝑟.
Dengan memperhatikan adanya bilangan 2 sehingga memenuhi 8 = 4 ⋅ 2,
diperoleh 4 | 8. Sebaliknya, 3 ∤ 8. Bilangan bulat 𝑝 disebut prima jika 𝑝 > 1 dan
𝑝 tidak terbagi oleh bilangan asli lain selain 1 dan dirinya sendiri. Bilangan 3
adalah prima karena faktornya hanya 1 dan 3.
Misalkan 𝑎 | 𝑏. Pemisalan ini mengakibatkan adanya suatu 𝑞 sehingga
𝑏 = 𝑞𝑎. Mengingat −𝑏 = −𝑞𝑎 = (−𝑞)𝑎, diperoleh 𝑎 | (−𝑏). Oleh karena itu, jika
𝑎 | 𝑏, maka 𝑎 | (−𝑏). Selanjutnya, misalkan 𝑚 | 𝑎 dan 𝑚 | 𝑏. Akibatnya ada 𝑞 dan
𝑠 yang memenuhi 𝑎 = 𝑞𝑚 dan 𝑏 = 𝑠𝑚. Mengingat ada 𝑞 + 𝑠 ∈ ℤ sehingga 𝑎 + 𝑏 =
𝑞𝑚 + 𝑠𝑚 = (𝑞 + 𝑠)𝑚, kita dapat menyimpulkan 𝑚 | (𝑎 + 𝑏). Selain itu,
mengingat ada 𝑞 − 𝑠 ∈ ℤ sehingga 𝑎 − 𝑏 = 𝑞𝑚 − 𝑠𝑚 = (𝑞 − 𝑠)𝑚, kita juga
menyimpulkan 𝑚 | (𝑎 − 𝑏). Jadi, jika 𝑚 | 𝑎 dan 𝑚 | 𝑏 maka 𝑚 | (𝑎 + 𝑏) dan
𝑚 | (𝑎 − 𝑏).
Definisi 1.5
Misalkan 𝑛 bilangan asli. Bilangan bulat 𝑎 dan 𝑏 disebut kongruen
𝒎𝒐𝒅𝒖𝒍𝒐 𝑛, ditulis: 𝑎 ≡ 𝑏 (𝑚𝑜𝑑 𝑛), jika 𝑛 | (𝑎 − 𝑏).
Contoh 1.15. Pilih buah bilangan bulat 6 dan 12. Akibatnya, 12 ≡ 6 (𝑚𝑜𝑑 3)
karena 3 | (12 − 6). Di sisi lain, 12 ≢ 6 (𝑚𝑜𝑑 5) karena 5 ∤ (12 − 6).
Misalkan 𝑎 ≡ 𝑏 (𝑚𝑜𝑑 𝑛). Akibatnya ada 𝑞 ∈ ℤ sehingga 𝑎 − 𝑏 = 𝑞𝑛 karena
𝑛 | (𝑎 − 𝑏). Jadi, 𝑎 = 𝑏 + 𝑞𝑛. Begitu juga sebaliknya, jika ada 𝑞 ∈ ℤ sehingga 𝑎 =
𝑏 + 𝑞𝑛, maka berlaku 𝑎 ≡ 𝑏 (𝑚𝑜𝑑 𝑛). Dengan demikian, 𝑎 ≡ 𝑏 (𝑚𝑜𝑑 𝑛) jika dan
hanya jika ada 𝑞 ∈ ℤ sehingga 𝑎 = 𝑏 + 𝑞𝑛.
18
Sifat 1.7
Kongruen 𝑚𝑜𝑑𝑢𝑙𝑜 𝑛 merupakan relasi ekuivalen pada himpunan
bilangan bulat, untuk setiap bilangan asli 𝑛.
19
𝑘 + 𝑞𝑛 = 𝑎
⇔ 𝑘 + 𝑞𝑛 = 𝑙 + 𝑟𝑛
⇔ 𝑘 = (𝑙 + 𝑟𝑛) − 𝑞𝑛
⇔ 𝑘 = 𝑙 + (𝑟 − 𝑞)𝑛
Akibatnya, untuk setiap 𝑘̅, 𝑙 ̅ ∈ ℤ𝑛 dengan 𝑘̅ = 𝑙 ̅ mengakibatkan adanya unsur
𝑠 = 𝑟 − 𝑞 ∈ ℤ yang memenuhi 𝑘 = 𝑙 + 𝑠𝑛. Dengan kata lain, pada ℤ𝑛 berlaku 𝑙 ̅ =
̅̅̅̅̅̅̅̅
𝑙 + 𝑠𝑛 untuk 𝑠 ∈ ℤ. Ini berarti bahwa dua unsur yang saling kongruen
dimasukkan pada kelas kongruen yang sama.
1.5.2 Pemetaan
Suatu relasi yang memasangkan unsur 𝑎 anggota himpunan 𝐴 dengan
unsur 𝑏 anggota himpunan 𝐵 yang ditetapkan secara khusus yakni setiap 𝑎 ∈ 𝐴
dipasangkan tepat satu dengan 𝑏 ∈ 𝐵 kita namakan pemetaan. Ada juga yang
menyebut pemetaan dengan fungsi. Secara formal, definisi pemetaan yaitu
sebagai berikut.
Definisi 1.6
Suatu relasi dari 𝑆 ke 𝑇 disebut pemetaan dari 𝑆 ke 𝑇 jika relasi itu
memasangkan setiap anggota 𝑆 tepat satu dengan anggota 𝑇.
Himpunan 𝑆 disebut domain dan himpunan 𝑇 disebut 𝒌𝒐𝒅𝒐𝒎𝒂𝒊𝒏.
Pemetaan dari 𝑆 ke 𝑆 disebut pemetaan pada 𝑆.
𝛼
1 𝑥
2 𝑦
3 𝑧
S T
Gambar 1.3
Pemetaan 𝛼 dari himpunan 𝑆 ke himpunan 𝑇
Contoh 1.16. Misalkan 𝑆 = {1,2 3} dan 𝑇 = {𝑥, 𝑦, 𝑧}. Jika kita buat 𝛼(1) = 𝑥;
𝛼(2) = 𝑧; dan 𝛼(3) = 𝑦, relasi 𝛼 suatu pemetaan mengingat setiap anggota 𝑆
20
dipasangkan tepat satu dengan anggota 𝑇. Relasi 𝛼 dapat dilihat pada Gambar
1.3. Kita juga bisa mendefinisikan relasi 𝛽 dengan 𝛽(1) = 𝑥, 𝛽(2) = 𝑥, dan
𝛽(3) = 𝑦. Relasi 𝛽 yang semacam ini masih pemetaan.
𝛽
1 𝑥
2 𝑦
3 𝑧
S T
Gambar 1.4
Pemetaan 𝛽 dari himpunan 𝑆 ke himpunan 𝑇
1 𝑥
2 𝑦
3 𝑧
S T
Gambar 1.5
Relasi bukan pemetaan
Definisi 1.7
Misalkan 𝛼 dan 𝛽 dua buah pemetaan dengan 𝛼, 𝛽: 𝑆 ⟶ 𝑇 . Pemetaan
𝛼 dan 𝛽 disebut sama jika 𝛼(𝑥) = 𝛽(𝑥) untuk semua 𝑥 ∈ 𝑆.
Pada Contoh 1.16, pemetaan 𝛼 ≠ 𝛽. Hal tersebut terjadi karena adanya unsur
2 ∈ 𝑆 sehingga mengakibatkan 𝛼(2) = 𝑧 ≠ 𝑥 = 𝛽(2).
Pemetaan pada suatu himpunan yang memasangkan setiap anggotanya
dengan diri sendiri disebut pemetaan identitas. Pemetaan identitas pada
himpunan 𝑆, ditulis: 𝜄: 𝑆 ⟶ 𝑆 dengan 𝜄(𝑥) = 𝑥 untuk setiap 𝑥 ∈ 𝑆 (𝜄 dibaca iota).
Untuk menandai 𝜄 sebagai pemetaan pada 𝑆, kita tambahkan huruf 𝑆 sebagai
indeks 𝜄 sehingga menjadi 𝜄𝑆 .
21
Jika diberikan 𝛼: 𝑆 ⟶ 𝑇 dan 𝐴 ⊆ 𝑆, maka 𝛼(𝐴) menyatakan himpunan
semua anggota 𝑇 yang menjadi peta anggota 𝐴 oleh pemetaan 𝛼, ditulis:
𝛼(𝐴) = {𝛼(𝑥) | 𝑥 ∈ 𝐴}.
Himpunan 𝛼(𝐴) disebut juga sebagai himpunan semua peta anggota 𝐴
pada 𝑇 oleh pemetaan 𝛼. Himpunan 𝛼(𝐴) juga bisa disebut dengan peta
subhimpunan 𝐴 pada himpunan 𝑇 oleh pemetaan 𝛼.
𝛼
A
𝛼(𝐴)
S T
Gambar 1.6 Peta subhimpunan 𝐴 oleh 𝛼
Contoh 1.17. Perhatikan kembali Contoh 1.16. Peta subhimpunan {1, 2} dan
{2, 3} secara beruntun yaitu: 𝛼({1, 2}) = {𝑥, 𝑧} dan 𝛽({2, 3}) = {𝑥, 𝑦}. Untuk lebih
jelasnya lihat Gambar 1.3 dan Gambar 1.4.
Misalkan 𝛼: 𝑆 ⟶ 𝑇 suatu pemetaan dan 𝑌 ⊆ 𝑇. Tanda 𝛼 −1 (𝑌)
menyatakan himpunan semua anggota 𝑆 yang dipasangkan dengan anggota 𝑌
oleh pemetaan 𝛼, ditulis:
𝛼 −1 (𝑌) = { 𝑥 ∈ 𝑆 ∣ 𝛼(𝑥) ∈ 𝑌}.
Jika unsur 𝑥 ∈ 𝑆 dipasangkan dengan 𝑦 ∈ 𝑇 oleh pemetaan 𝛼, maka
berlaku 𝛼 −1 (𝑦) = 𝑥. Pernyataan 𝛼 −1 (𝑦) = 𝑥 ekuivalen 𝛼(𝑥) = 𝑦. Pemetaan
𝛼 −1 (𝑦) tidak selalu ada untuk setiap 𝑦 ∈ 𝑇. Selain itu, ia juga tidak perlu
tunggal. Artinya 𝛼 −1 (𝑦) boleh lebih dari satu buah untuk suatu 𝑦 ∈ 𝑇
tergantung pemetaan 𝛼. Untuk itu, relasi 𝛼 −1 : 𝑇 ⟶ 𝑆 tidak selalu membentuk
pemetaan.
Definisi 1.8
Misalkan 𝛼: 𝑆 ⟶ 𝑇 suatu pemetaan. Pemetaan 𝛼 disebut 𝒔𝒖𝒓𝒋𝒆𝒌𝒕𝒊𝒇
(pada) jika 𝛼(𝑆) = 𝑇.
22
Contoh 1.18. Perhatikan pemetaan 𝛼: ℝ ⟶ ℝ dengan 𝛼(𝑥) = 𝑥 2 . Pemetaan 𝛼
tidak bersifat surjektif (pada) disebabkan semua bilangan real negatif tidak
mempunyai prapeta sehingga 𝛼(ℝ) ≠ ℝ. Akan tetapi, jika kodomain kita batasi
menjadi ℝ+ ∪ {0} sehingga 𝛼: ℝ ⟶ ℝ+ ∪ {0} dengan 𝛼(𝑥) = 𝑥 2 untuk setiap 𝑥 ∈
ℝ, maka pemetaan 𝛼 menjadi surjektif mengingat 𝛼(ℝ) = ℝ+ ∪ {0}.
Contoh 1.19. Perhatikan gambar berikut.
𝛾 𝜂
𝛾(𝑆) 𝜂(𝑆)
S T S T
Gambar 1.7
Pemetaan surjektif dan bukan surjektif
Definisi 1.9
Misalkan 𝛼: 𝑆 ⟶ 𝑇 suatu pemetaan. Pemetaan 𝛼 disebut 𝒊𝒏𝒋𝒆𝒌𝒕𝒊𝒇
(satu-satu) jika untuk setiap 𝑥, 𝑦 ∈ 𝑆 dengan 𝛼(𝑥) = 𝛼(𝑦)
mengakibatkan 𝑥 = 𝑦.
𝛽 𝛾
1 1 𝑎
𝑎
2 2 𝑏
𝑏
3 3 𝑐
S T S T
Gambar 1.8
Pemetaan satu-satu dan bukan satu-satu
23
Definisi 1.10
Dua buah himpunan, 𝑋 dan 𝑌, disebut mempunyai bilangan 𝑘𝑎𝑟𝑑𝑖𝑛𝑎𝑙
sama, ditulis: |𝑋| = |𝑌|, jika terdapat pemetaan 𝑏𝑖𝑗𝑒𝑘𝑡𝑖𝑓 di antara
kedua himpunan tersebut.
𝑓 𝑔
𝑥 𝑓(𝑥) 𝑔(𝑓(𝑥))
S T U
Gambar 1.9
Komposisi dua buah pemetaan 𝑓 dan 𝑔
Definisi 1.11
Komposisi pemetaan 𝑓: 𝑆 ⟶ 𝑇 dan 𝑔: 𝑇 ⟶ 𝑈, ditulis: 𝑔 ∘ 𝑓: 𝑆 ⟶ 𝑈,
didefinisikan sebagai berikut.
(𝑔 ∘ 𝑓)(𝑥) = 𝑔(𝑓(𝑥))
untuk setiap 𝑥 ∈ 𝑆.
24
Contoh 1.22. Pandang himpunan 𝑆 = {𝑥, 𝑦, 𝑧}, 𝑇 = {1, 2, 3} dan 𝑈 = {𝑎, 𝑏, 𝑐}.
Kemudian definisikan pemetaan 𝑓: 𝑆 ⟶ 𝑇 dengan 𝑓(𝑥) = 2, 𝑓(𝑦) = 3 dan 𝑓(𝑧) =
1. Definisikan juga pemetaan 𝑔: 𝑇 ⟶ 𝑈 dengan 𝑔(1) = 𝑐, 𝑔(2) = 𝑎 dan 𝑔(3) = 𝑏.
Komposisi pemetaan 𝑓 dan 𝑔 adalah sebagai berikut.
𝑔
𝑓
𝑥 1 𝑎
𝑦 2 𝑏
𝑧 3 𝑐
S T U
Gambar 1.10
Contoh komposisi pemetaan 𝑓 dan 𝑔
Sifat 1.8
Misalkan 𝑓: 𝑆 ⟶ 𝑇 dan 𝑔: 𝑇 ⟶ 𝑈 dua buah pemetaan.
a. Jika 𝑓 dan 𝑔 dua-duanya 𝑠𝑢𝑟𝑗𝑒𝑘𝑡𝑖𝑓 maka 𝑔 ∘ 𝑓 juga 𝑠𝑢𝑟𝑗𝑒𝑘𝑡𝑖𝑓
25
b. Jika 𝑓 dan 𝑔 dua-duanya 𝑖𝑛𝑗𝑒𝑘𝑡𝑖𝑓 maka 𝑔 ∘ 𝑓 juga 𝑖𝑛𝑗𝑒𝑘𝑡𝑖𝑓
c. Jika 𝑔 ∘ 𝑓 𝑠𝑢𝑟𝑗𝑒𝑘𝑡𝑖𝑓 maka 𝑔 juga 𝑠𝑢𝑟𝑗𝑒𝑘𝑡𝑖𝑓
d. Jika 𝑔 ∘ 𝑓 𝑖𝑛𝑗𝑒𝑘𝑡𝑖𝑓 maka 𝑓 juga 𝑖𝑛𝑗𝑒𝑘𝑡𝑖𝑓
Definisi 1.12
Pemetaan 𝑓: 𝑆 ⟶ 𝑇 disebut 𝒊𝒏𝒗𝒆𝒓𝒔 (balikan) pemetaan 𝑔: 𝑇 ⟶ 𝑆 jika
𝑔 ∘ 𝑓 = 𝜄𝑆 dan 𝑓 ∘ 𝑔 = 𝜄 𝑇 . pemetaan 𝑓 disebut dapat dibalik
(invertible) jika ia memiliki 𝑖𝑛𝑣𝑒𝑟𝑠 (balikan).
Contoh 1.24. Pemetaan 𝑓 pada Contoh 1.22 merupakan pemetaan yang dapat
dibalik (invertible). Balikan (invers) pemetaan 𝑓, adalah 𝑓 −1 : 𝑇 ⟶ 𝑆 yang
didefinisikan dengan 𝑓 −1 (1) = 𝑧, 𝑓 −1 (2) = 𝑥 dan 𝑓 −1 (3) = 𝑦.
26
Sifat 1.9
Suatu pemetaan dapat dibalik (memiliki inversnya) jika dan hanya
jika pemetaan tersebut 𝑏𝑖𝑗𝑒𝑘𝑡𝑖𝑓.
27
5. Misalkan 𝛼: 𝑆 ⟶ 𝑇 suatu pemetaan, 𝑋 ⊆ 𝑆 dan 𝑌 ⊆ 𝑆. Tunjukkan bahwa
pernyataan berikut ini benar!
a. Jika 𝑋 ⊆ 𝑌 maka 𝛼(𝑋) ⊆ 𝛼(𝑌).
b. 𝛼(𝑋 ∪ 𝑌) = 𝛼(𝑌) ∪ 𝛼(𝑌), dan
c. 𝛼(𝑋 ∩ 𝑌) ⊆ 𝛼(𝑌) ∩ 𝛼(𝑌)
6. Misalkan 𝛼: 𝑆 ⟶ 𝑇 suatu pemetaan, 𝑋 ⊆ 𝑇 dan 𝑌 ⊆ 𝑇. Tunjukkan bahwa
pernyataan berikut ini benar!
a. Jika 𝑋 ⊆ 𝑌 maka 𝛼 −1 (𝑋) ⊆ 𝛼 −1 (𝑌).
b. 𝛼 −1 (𝑋 ∪ 𝑌) = 𝛼 −1 (𝑌) ∪ 𝛼 −1 (𝑌), dan
c. 𝛼 −1 (𝑋 ∩ 𝑌) = 𝛼 −1 (𝑌) ∩ 𝛼 −1 (𝑌).
28
BAB 2
GRUP
Definisi 2.1
Misalkan ∗ suatu pemetaan dari 𝑆 × 𝑆 ke 𝑆 dengan (𝑎, 𝑏) ↦ 𝑎 ∗ 𝑏 untuk
setiap 𝑎, 𝑏 ∈ 𝑆. Pemetaan ∗ disebut operasi biner pada himpunan 𝑆.
29
itu, kali merupakan operasi pada ℤ+ . Sebaliknya, bagi bukan operasi pada ℤ+
𝑎
mengingat ada 𝑎, 𝑏 ∈ ℤ+ yang menyebabkan 𝑎⁄𝑏 = 𝑏 ∉ ℤ+ . Di sini ada dua
2
bilangan positif 𝑎 dan 𝑏 tetapi 𝑏 tidak habis membagi 𝑎, misalnya (2,3) ↦ 3 ∉
ℤ+ . Jumlah, (𝑎, 𝑏) ↦ 𝑎 + 𝑏, merupakan operasi pada himpunan bilangan asli ℤ+ .
Sama halnya dengan bagi, kurang juga bukan operasi pada ℤ+ .
Pada himpunan berhingga 𝑆, khususnya ketika 𝑆 hanya memiliki sedikit
anggota, operasi pada himpunan 𝑆 dapat disajikan dalam suatu tabel yang
dikenal dengan sebutan Tabel Cayley. Penamaan ini merujuk pada seorang
nama matematikawan Inggris Arthur Cayley yang hidup pada masa 1821 –
1895. Pada Tabel Cayley, kita letakkan nilai 𝑎 ∗ 𝑏 pada baris ke-𝑎 kolom ke-𝑏.
Contoh 2.2. Misalkan operasi ∗ pada himpunan {𝑎, 𝑏, 𝑐} disajikan pada tabel
berikut.
∗ 𝒂 𝒃 𝒄
𝒂 𝑎 𝑐 𝑐
𝒃 𝑏 𝑏 𝑏
𝒄 𝑐 𝑎 𝑎
Tabel 2.1 Operasi ∗ pada himpunan {𝑎, 𝑏, 𝑐}
30
Definisi 2.2
Suatu himpunan tak hampa disebut struktur aljabar (sistem
matematika) jika himpunan tersebut dilengkapi dengan operasi.
Pada hakikatnya, setiap struktur aljabar boleh memiliki lebih dari satu buah
operasi. Misalkan 𝑆 suatu himpunan serta ∗ dan ∘ dua buah operasi pada
himpunan 𝑆. Tanda (𝑆,∗) digunakan untuk menyatakan struktur aljabar 𝑆
(yang dilengkapi) dengan operasi ∗ sementara tanda (𝑆,∗ ,∘ ) atau (𝑆,∘ ,∗ )
digunakan untuk menyatakan struktur aljabar 𝑆 dengan dua buah operasi, ∗
dan ∘. Untuk selanjutnya, kata struktur digunakan sebagai pengganti kata
struktur aljabar sementara sistem sebagai pengganti kata sistem matematika.
Untuk menunjukkan sembarang himpunan tak hampa membentuk
struktur, tentu saja harus menunjukkan himpunan tersebut dilengkapi operasi.
Untuk itu, cukup menunjukkan bahwa operasinya terdefinisi dengan baik pada
himpunan tersebut.
Pada bahasan operasi telah dijelaskan bahwa jumlah merupakan operasi
pada himpunan bilangan bulat. Untuk itu, himpunan bilangan bulat
membentuk struktur dengan operasi +, ditulis: (ℤ , + ). Di sisi lain, himpunan
bilangan bulat juga membentuk struktur dengan operasi ×, ditulis: (ℤ , ×).
Dengan demikian, (ℤ , + , ×) merupakan struktur dengan dua buah operasi, +
dan ×.
Sekarang pandang himpunan ℤ𝑛 = {0̅, 1̅, … , ̅̅̅̅̅̅̅
𝑛 − 1 } dengan operasi
jumlah, ditulis: ⊕, dan operasi kali, ditulis: ⊙, pada ℤ𝑛 untuk suatu 𝑛 ∈ ℤ+
diberikan:
𝑎̅ ⊕ 𝑏̅ = ̅̅̅̅̅̅̅
𝑎 + 𝑏 untuk setiap 𝑎̅, 𝑏̅ ∈ ℤ𝑛 .
𝑎̅ ⊙ 𝑏̅ = ̅̅̅
𝑎𝑏 untuk setiap 𝑎̅, 𝑏̅ ∈ ℤ𝑛 .
Ambil unsur 𝑎̅1 , 𝑎̅2 , 𝑏̅1 , 𝑏̅2 ∈ ℤ𝑛 dengan 𝑎̅1 = 𝑎̅2 dan 𝑏̅1 = 𝑏̅2 . Pengambilan
unsur ini semua mengakibatkan adanya unsur 𝑞, 𝑟 ∈ ℤ yang memenuhi 𝑎1 =
𝑎2 + 𝑞𝑛 dan 𝑏1 = 𝑏2 + 𝑟𝑛. Dengan menggunakan penjumlahan kita peroleh
𝑎1 + 𝑏1 = (𝑎2 + 𝑞𝑛) + (𝑏2 + 𝑟𝑛)
= (𝑎2 + 𝑏2 ) + (𝑞 + 𝑟)𝑛
(𝑎1 + 𝑏1 ) − (𝑎2 + 𝑏2 ) = (𝑞 + 𝑟)𝑛
Dari hasil di atas kita dapatkan (𝑎1 + 𝑏1 ) − (𝑎2 + 𝑏2 ) kelipatan n, ini berarti
bahwa 𝑎1 + 𝑏1 ≡ 𝑎2 + 𝑏2 (mod n). Untuk itu, ̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅ 𝑎1 + 𝑏1 = ̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅
𝑎2 + 𝑏2 dan
mengakibatkan
𝑎̅1 ⊕ 𝑏̅1 = ̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅
𝑎1 + 𝑏1
= ̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅
𝑎2 + 𝑏2
= 𝑎̅2 ⊕ 𝑏̅2 .
31
Selanjutnya, ambil 𝑎̅, 𝑏̅ ∈ ℤ𝑛 . Perhatikan hasil berikut ini.
𝑎̅ ⊕ 𝑏̅ = ̅̅̅̅̅̅̅
𝑎+𝑏
= ̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅
(𝑎 + 𝑏) + 𝑞𝑛
∈ ℤ𝑛
Dua hasil tadi memperlihatkan bahwa operasi ⊕ terdefinisi dengan baik
pada himpunan ℤ𝑛 . Ini artinya himpunan ℤ𝑛 tidak lain struktur dengan operasi
⊕. Di sisi lain, himpunan ℤ𝑛 juga membentuk struktur dengan operasi ⊙.
Dengan demikian, jelaslah bahwa (ℤ𝑛 , ⊕, ⊙) struktur (sistem) bilangan bulat
𝒎𝒐𝒅 𝒏 (dibaca: modulo 𝑛). Khususnya, untuk 𝑛 = 12 kita mengenalnya dengan
sebutan struktur (sistem) bilangan jam. Operasi ⊕ untuk sistem bilangan jam
dapat dilihat pada Tabel 2.2 sementara untuk operasi ⊙ dapat dilihat pada
Tabel 2.3 berikut ini.
⊙ ̅
𝟎 ̅
𝟏 ̅
𝟐 ̅
𝟑 ̅
𝟒 ̅
𝟓 ̅
𝟔 𝟕̅ ̅
𝟖 ̅
𝟗 ̅̅̅̅
𝟏𝟎 ̅̅̅̅
𝟏𝟏
̅
𝟎 0̅ 0̅ 0̅ 0̅ 0̅ 0̅ 0̅ 0̅ 0̅ 0̅ 0̅ 0̅
̅
𝟏 ̅0 ̅1 ̅2 ̅3 ̅4 ̅5 ̅6 ̅7 ̅8 ̅9 ̅10
̅̅̅ ̅̅
11̅̅
̅
𝟐 0̅ 2̅ 4̅ 6̅ 8̅ ̅̅
10̅̅ 0̅ 2̅ 4̅ 6̅ 8̅ ̅̅
10̅̅
̅
𝟑 0̅ 3̅ 6̅ 9̅ 0̅ 3̅ 6̅ 9̅ 0̅ 3̅ 6̅ 9̅
̅
𝟒 0̅ 4̅ 8̅ 0̅ 4̅ 8̅ 0̅ 4̅ 8̅ 0̅ 4̅ 8̅
̅
𝟓 ̅0 ̅5 ̅10
̅̅̅ ̅3 ̅8 ̅1 ̅6 ̅11
̅̅̅ ̅4 ̅9 2̅ 7̅
̅
𝟔 0̅ 6̅ 0̅ 6̅ 0̅ 6̅ 0̅ 6̅ 0̅ 6̅ 0̅ 6̅
̅
𝟕 0̅ 7̅ 2̅ 9̅ 4̅ ̅̅̅̅
11 6̅ 1̅ 8̅ 3̅ ̅̅̅̅
10 5̅
̅
𝟖 0̅ 8̅ 4̅ 0̅ 8̅ 4̅ 0̅ 8̅ 4̅ 0̅ 8̅ 4̅
̅
𝟗 ̅0 ̅9 ̅6 ̅3 ̅0 ̅9 ̅6 ̅3 ̅0 ̅9 6̅ 3̅
̅̅̅̅
𝟏𝟎 0̅ ̅̅
10̅̅ 8̅ 6̅ 4̅ 2̅ 0̅ ̅10
̅̅̅ 8̅ 6̅ 4̅ 2̅
̅̅̅̅
𝟏𝟏 0̅ ̅̅̅̅ 10
11 ̅̅̅̅ 9̅ 8̅ 7̅ 6̅ 5̅ 4̅ 3̅ 2̅ 1̅
Tabel 2.3 Operasi ⊙ pada himpunan bilangan jam 12-an
32
Untuk selanjutnya, jika operasi yang dimaksud jelas, maka penulisan (𝑆,
∗) cukup dengan 𝑆 saja. Untuk itu, struktur bilangan bulat (ℤ , + , ×) cukup
ditulis dengan struktur ℤ. Berikut ini disajikan beberapa istilah terkait
struktur dan operasinya.
Definisi 2.3
Misalkan ∗ operasi pada struktur 𝑆. Operasi ∗ disebut bersifat
asosiatif jika untuk setiap 𝑎, 𝑏, 𝑐 ∈ 𝑆 memenuhi (𝑎 ∗ 𝑏) ∗ 𝑐 = 𝑎 ∗
(𝑏 ∗ 𝑐).
Definisi 2.4
Misalkan ∗ operasi pada struktur 𝑆 dan 𝑒 ∈ 𝑆. Unsur e disebut
identitas struktur 𝑆 jika 𝑒 ∗ 𝑎 = 𝑎 ∗ 𝑒 = 𝑎 untuk setiap 𝑎 ∈ 𝑆.
Sifat 2.1
Unsur identitas setiap struktur senantiasa tunggal.
Bukti. Misalkan 𝑒, 𝑓 ∈ 𝑆 dua buah unsur identitas dan ∗ operasi pada 𝑆. Karena
𝑒 identitas, ia memenuhi sifat 𝑒 ∗ 𝑓 = 𝑓. Dengan cara yang sama 𝑓 juga
memenuhi sifat 𝑒 ∗ 𝑓 = 𝑒. Dua hal ini mengakibatkan 𝑓 = 𝑒 ∗ 𝑓 = 𝑒. Hasil
terakhir ini meyakinkan kita bahwa unsur identitas setiap struktur bersifat
tunggal.∎
Definisi 2.5
Misalkan ∗ operasi pada struktur 𝑆 dan 𝑎, 𝑏 ∈ 𝑆. Unsur 𝑏 disebut
invers (balikan) 𝑎 jika 𝑎 ∗ 𝑏 = 𝑏 ∗ 𝑎 = 𝑒.
Sifat 2.2
Misalkan 𝑆 suatu struktur, 𝑒 identitas 𝑆 dan 𝑎 ∈ 𝑆 memiliki balikan.
Jika operasi pada struktur 𝑆 asosiatif maka balikan 𝑎 tunggal.
33
Bukti. Misalkan 𝑏 dan 𝑐 dua buah balikan unsur 𝑎 terhadap operasi ∗, tentu
saja 𝑎 ∗ 𝑏 = 𝑏 ∗ 𝑎 = 𝑒 = 𝑎 ∗ 𝑐 = 𝑐 ∗ 𝑎. Sementara itu, mengingat operasi ∗
asosiatif, kita memperoleh unsur 𝑏 = 𝑏 ∗ 𝑒 = 𝑏 ∗ (𝑎 ∗ 𝑐) = (𝑏 ∗ 𝑎) ∗ 𝑐 = 𝑒 ∗ 𝑐 = 𝑐
seperti yang diinginkan. ∎
Definisi 2.6
Misalkan ∗ operasi pada struktur 𝑆. Operasi ∗ disebut bersifat
komutatif jika untuk setiap unsur 𝑎, 𝑏 ∈ 𝑆 memenuhi 𝑎 ∗ 𝑏 = 𝑏 ∗ 𝑎.
Operasi jumlah dan kali pada struktur bilangan bulat bersifat komutatif
sementara operasi perkalian matriks pada struktur matriks 2𝑥2 yang
determinannya tidak nol tidak komutatif.
Misalkan 𝑆 himpunan tak hampa, 𝑀(𝑆) himpunan semua pemetaan pada
𝑆 dan ∘ menyatakan komposisi pemetaan. Di sini (𝑓 ∘ 𝑔)(𝑥) = 𝑓(𝑔(𝑥)) untuk
setiap 𝑥 ∈ 𝑆. Jelas ∘ operasi pada himpunan 𝑀(𝑆) sehingga 𝑀(𝑆) membentuk
struktur dengan operasi itu. Berikut ini sifat komposisi sebagai suatu operasi.
Sifat 2.3
Misalkan 𝑆 himpunan tak hampa, 𝑀(𝑆) himpunan pemetaan pada 𝑆
dan ∘ menyatakan operasi komposisi.
a. Operasi komposisi pada 𝑀(𝑆) bersifat asosiatif dan 𝑖𝑆 ∈ 𝑀(𝑆)
adalah identitas.
b. Komposisi pada 𝑁 = {𝑓 ∈ 𝑀(𝑆)|𝑓 dapat dibalik} merupakan
operasi yang bersifat asosiatif dan 𝑖𝑆 ∈ 𝑁adalah identitas.
Latihan 2.1
1. Jelaskan apakah ∗ merupakan operasi pada bilangan bulat jika untuk
setiap 𝑎, 𝑏 ∈ ℤ, diberikan:
34
a. 𝑎∗𝑏 = 𝑎𝑏 + 1
b. 𝑎∗𝑏 = (𝑎 + 𝑏)/2
c. 𝑎∗𝑏 =𝑏
d. 𝑎∗𝑏 = 𝑎𝑏 2
e. 𝑎∗𝑏 = 𝑎2 + 𝑏 2
f. 𝑎∗𝑏 = 2𝑎𝑏
g. 𝑎∗𝑏 =3
h. 𝑎∗𝑏 = √𝑎𝑏
∗ 𝒂 𝒃 𝒄 𝒅
𝒂 𝑎 𝑏 𝑑
𝒃 𝑐
𝒄 𝑐 𝑑 𝑎 𝑏
𝒅 𝑎
Definisi 2.7
Suatu struktur (𝐺, ∗) disebut grup jika memenuhi aksioma berikut.
1. Operasi ∗ pada 𝐺 bersifat asosiatif:
untuk setiap 𝑥, 𝑦, 𝑧 ∈ 𝐺 berlaku sifat (𝑥 ∗ 𝑦) ∗ 𝑧 = 𝑥 ∗ (𝑦 ∗ 𝑧)
2. Adanya unsur identitas, ditulis: 𝑒, pada 𝐺:
untuk setiap 𝑥 ∈ 𝐺 ada 𝑒 ∈ 𝐺 sehingga berlaku 𝑥 ∗ 𝑒 = 𝑒 ∗ 𝑥 = 𝑥
3. Setiap anggota 𝐺 mempunyai invers:
untuk setiap 𝑥 ∈ 𝐺 ada 𝑎 ∈ 𝐺 invers 𝑥 sehingga berlaku 𝑥 ∗ 𝑎 = 𝑎 ∗
𝑥 = 𝑒.
35
terapkan Definisi 2.7. Berdasarkan definisi ini, setiap grup senantiasa memiliki
anggota, setidaknya unsur identitas.
Pandang struktur ℤ𝑛 untuk suatu 𝑛 ∈ ℤ+ . Kemudian ambil tiga buah
unsur 𝑎̅, 𝑏̅, 𝑐̅ ∈ ℤ𝑛 . Perhatikanlah kesamaan berikut ini!
Definisi 2.8
Suatu grup disebut komutatif jika operasi pada grup tersebut
bersifat komutatif.
36
Untuk memudahkan bekerja dengan grup, ada beberapa sifat dasar grup
yang perlu kita kuasai. Selain itu, penulisan hasil operasi 𝑎 dan 𝑏 yang
sebelumnya ditulis 𝑎 ∗ 𝑏 mulai sekarang cukup dituliskan 𝑎𝑏 saja sementara
invers 𝑎 ditulis: 𝑎−1 .
Sifat 2.4
Misalkan 𝐺 suatu grup. Untuk setiap 𝑥, 𝑦 ∈ 𝐺 berlaku (𝑥 −1 )−1 = 𝑥 dan
(𝑥𝑦)−1 = 𝑦 −1 𝑥 −1 .
Begitu juga untuk himpunan bilangan rasional tak nol akan memenuhi
−1
(2−1 )−1 = (12) = 11⁄2 = 2 dan
(6)−1 = (2 × 3)−1 = (3)−1 (2)−1 = (13)(12) = 16.
37
Sifat 2.5
Misalkan 𝑆 suatu struktur asosiatif. Jika 𝑆 memiliki identitas kiri 𝑒
dan untuk setiap 𝑥 ∈ 𝑆 terdapat 𝑢 ∈ 𝑆 sehingga 𝑢𝑥 = 𝑒 maka 𝑆 grup.
Sifat 2.6
Misalkan 𝑆 suatu struktur asosiatif. Struktur 𝑆 membentuk grup jika
dan hanya jika untuk setiap 𝑥, 𝑦 ∈ 𝑆 terdapat secara tunggal 𝑎, 𝑏 ∈ 𝑆
yang memenuhi 𝑎𝑥 = 𝑦 dan 𝑥𝑏 = 𝑦.
38
𝑎′ = 𝑎′ (𝑥𝑥 −1 )
= (𝑎′ 𝑥)𝑥 −1
= (𝑎𝑥)𝑥 −1
= 𝑎(𝑥𝑥 −1 )
= 𝑎
dan
′
𝑏′ = (𝑥 −1 𝑥)𝑏′
= 𝑥 −1 (𝑥𝑏′)
= 𝑥 −1 (𝑥𝑏)
= (𝑥 −1 𝑥)𝑏
= 𝑏
Jadi, 𝑎′ = 𝑎 dan 𝑏 ′ = 𝑏 dan dengan demikian unsur 𝑎 dan 𝑏 tunggal.
(⇐). Misalkan 𝑆 struktur asosiatif dan untuk setiap 𝑥, 𝑦 ∈ 𝑆 terdapat
secara tunggal 𝑎, 𝑏 ∈ 𝑆 yang memenuhi 𝑎𝑥 = 𝑦 dan 𝑥𝑏 = 𝑦. Akan ditunjukkan
bahwa 𝑆 grup.
Ambil satu unsur 𝑧 ∈ 𝑆. Untuk itu, terdapat 𝑒 ∈ 𝑆 yang memenuhi 𝑒𝑧 = 𝑧.
Selanjutnya akan ditunjukkan bahwa 𝑒 identitas kiri.
Ambil 𝑥 ∈ 𝑆. Ini mengakibatkan ada 𝑏 ∈ 𝑆 yang memenuhi 𝑧𝑏 = 𝑥
sehingga kita memperoleh 𝑒𝑥 = 𝑒(𝑧𝑏) = (𝑒𝑧)𝑏 = 𝑧𝑏 = 𝑥. Karena untuk setiap
𝑥 ∈ 𝑆 berlaku 𝑒𝑥 = 𝑥, kita menyimpulkan 𝑒 identitas kiri 𝑆.
Selanjutnya, untuk setiap x ∈ S, terdapat a ∈ S yang memenuhi ax = e.
Berdasarkan Sifat 2.5, 𝑆 suatu grup. ∎
Sifat 2.6 di atas sebenarnya sudah biasa digunakan dalam kehidupan
sehari-hari. Misalnya, ketika berbicara mengenai sistem bilangan bulat dengan
operasi jumlah, saat bekerja dengan persamaan 𝑎 + 𝑥 = 𝑦. Setiap kita
mengambil dua buah bilangan bulat 𝑥 dan 𝑦, selalu diperoleh bilangan 𝑎,
dengan cara mengurangkan dua buah bilangan bulat tersebut, 𝑎 = 𝑦 − 𝑥. Begitu
juga ketika dihadapkan dengan struktur bilangan rasional tak nol yang
dilengkapi operasi kali (×), kita mempunyai persamaan 𝑎 × 𝑥 = 𝑦. Untuk itu,
setiap kita mengambil dua buah bilangan rasional tak nol 𝑥 dan 𝑦, selalu kita
𝑦
temukan bilangan 𝑎, yaitu 𝑎 = 𝑥 .
Sifat berikut ini ditimbulkan akibat adanya sifat di atas, untuk lebih
jelasnya mari kita perhatikan.
Sifat 2.7
Unsur identitas dan unsur balikan (invers) pada grup senantiasa
tunggal.
39
Bukti. Misalkan 𝐺 suatu grup. Ambil 𝑥 ∈ 𝐺. Berdasarkan Sifat 2.6, ada unsur
identitas 𝑒 ∈ 𝐺 yang bersifat tunggal memenuhi 𝑒𝑥 = 𝑥 = 𝑥𝑒 dan ada 𝑥 −1 ∈ 𝐺
secara tunggal sehingga 𝑥 −1 𝑥 = 𝑒 = 𝑥𝑥 −1 . ∎
Suatu grup disebut memenuhi hukum pembatalan kiri jika untuk
setiap unsur 𝑥, 𝑦, 𝑧 ∈ 𝐺 dengan 𝑥𝑦 = 𝑥𝑧 mengakibatkan 𝑦 = 𝑧. Di sisi lain, suatu
grup disebut memenuhi hukum pembatalan kanan jika untuk setiap unsur
𝑥, 𝑦, 𝑧 ∈ 𝐺 dengan 𝑦𝑥 = 𝑧𝑥 mengakibatkan 𝑦 = 𝑧. Grup disebut memenuhi
hukum pembatalan jika memenuhi pembatalan kiri maupun kanan.
Sifat 2.8
Setiap grup senantiasa memenuhi hukum pembatalan kiri maupun
pembatalan kanan.
1. Perhatikan soal no. 1 pada Latihan 2.1! Mana saja yang merupakan grup
dan yang bukan?. Lengkapi jawaban dengan alasan yang tepat!
2. Misalkan 𝑆 himpunan semua bilangan real selain −1 dan ∗ operasi pada 𝑆
yang didefinisikan dengan
𝑎 ∗ 𝑏 = 𝑎 + 𝑏 + 𝑎𝑏.
Tunjukkan bahwa (𝑆, ∗) suatu grup!
3. Tunjukkan bahwa ℤ4 × ℤ2 = {(𝑎, 𝑏) | 𝑎 ∈ ℤ4 , 𝑏 ∈ ℤ2 } grup dengan operasi
yang didefinisikan oleh
40
(𝑎, 𝑏)(𝑐, 𝑑) = (𝑎 ⊕ 𝑐, 𝑏 ⊕ 𝑑)
untuk setiap 𝑎, 𝑐 ∈ ℤ4 dan 𝑏, 𝑑 ∈ ℤ2 .
4. Misalkan 𝐺 suatu grup. Tunjukkanlah pernyataan berikut benar!
a. 𝑎𝑏 = 𝑏𝑎 jika dan hanya jika 𝑎−1 𝑏 −1 = 𝑏 −1 𝑎−1 untuk setiap 𝑎, 𝑏 ∈ 𝐺.
b. 𝑎𝑏 = 𝑏𝑎 jika dan hanya jika (𝑎𝑏)2 = 𝑎2 𝑏 2 untuk setiap 𝑎, 𝑏 ∈ 𝐺.
c. Grup 𝐺 komutatif jika dan hanya jika (𝑎𝑏)−1 = 𝑎−1 𝑏 −1 untuk setiap
𝑎, 𝑏 ∈ 𝐺.
5. Hanya ada satu cara untuk melengkapi tabel berikut sehingga {𝑎, 𝑏, 𝑐}
membentuk grup terhadap operasi ∗. Lengkapilah dan jelaskan kenapa hal
tersebut terjadi!
∗ 𝒂 𝒃 𝒄
𝒂 𝑏
𝒃
𝒄
Definisi 2.9
Misalkan 𝐺 suatu grup dan 𝐻 ⊆ 𝐺. Subhimpunan 𝐻 disebut subgrup
𝐺, ditulis: 𝐻 ≤ 𝐺, jika 𝐻 membentuk grup dengan operasi yang sama
pada 𝐺.
41
Contoh 2.8. Berikut ini disajikan beberapa contoh subgrup.
1. Untuk operasi jumlah, grup bilangan bulat dapat dipandang sebagai
subgrup dari grup bilangan real.
2. Untuk operasi kali, {1, −1} membentuk subgrup dari himpunan bilangan
real tak nol.
3. Setiap grup merupakan subgrup dari dirinya sendiri.
4. Jika 𝑒 identitas grup 𝐺, maka {𝑒} subgrup dari 𝐺.
Sifat 2.9
Misal G suatu grup dan 𝐻 subgrup 𝐺.
a. Jika 𝑓 identitas 𝐻 dan 𝑒 identitas 𝐺, maka 𝑓 = 𝑒
b. Jika 𝑥 ∈ 𝐻, maka invers 𝑥 di 𝐻 sama dengan invers 𝑥 di 𝐺.
Bukti. (𝑎). Misalkan 𝐺 suatu grup dengan unsur identitasnya 𝑒 dan 𝐻 subgrup
𝐺 dengan unsur identitas 𝑓. Mengingat 𝑓 identitas 𝐻, akibatnya 𝑓𝑓 = 𝑓. Selain
itu, karena 𝑓 ∈ 𝐻 ⊆ 𝐺, ada 𝑓 −1 ∈ 𝐺 sehingga 𝑓 −1 𝑓 = 𝑓 𝑓 −1 = 𝑒. Dengan
demikian, diperoleh bahwa
𝑓 −1 (𝑓𝑓) = 𝑓 −1 𝑓
(𝑓 −1 𝑓)𝑓 = 𝑒
𝑒𝑓 = 𝑒
𝑓 = 𝑒
(b). Ambil 𝑥 ∈ 𝐻. Karena 𝐻 subgrup, tentunya terdapat 𝑎 ∈ 𝐻 invers 𝑥 di
𝐻 sehingga 𝑥𝑎 = 𝑎𝑥 = 𝑒. Selain itu, 𝐻 ⊆ 𝐺 mengakibatkan 𝑥 ∈ 𝐺 dan dengan
demikian ada 𝑏 ∈ 𝐺 invers 𝑥 di 𝐺 sehingga 𝑥𝑏 = 𝑏𝑥 = 𝑒. Akan kita tunjukkan
bahwa 𝑎 = 𝑏. Dengan menggunakan Sifat 2.7 diperoleh bahwa 𝑎 = 𝑏. ∎
Sifat 2.10
Misalkan 𝐺 suatu grup dan 𝐻 subhimpunan 𝐺. 𝐻 subgrup 𝐺 jika dan
hanya jika
a) Subhimpunan 𝐻 tidak hampa;
b) setiap unsur 𝑥, 𝑦 ∈ 𝐻 memenuhi 𝑥𝑦 ∈ 𝐻; dan
42
c) setiap unsur 𝑥 ∈ 𝐻 memenuhi 𝑥 −1 ∈ 𝐻.
Sifat 2.11
Misalkan 𝐺 suatu grup dan 𝐻 subhimpunan 𝐺. Subhimpunan 𝐻
membentuk subgrup 𝐺 jika dan hanya jika subhimpunan 𝐻 tidak
hampa dan setiap unsur 𝑥, 𝑦 ∈ 𝐻 memenuhi 𝑥𝑦 −1 ∈ 𝐻.
Bukti. (⇒). Misalkan 𝐺 suatu grup dan 𝐻 subgrup 𝐺. Berdasarkan Sifat 2.10,
diperoleh 𝐻 tidak hampa. Ambil 𝑥, 𝑦 ∈ 𝐻. Dengan alasan yang sama diperoleh
𝑥𝑦 ∈ 𝐻 dan 𝑥 −1 , 𝑦 −1 ∈ 𝐻 dan mengakibatkan 𝑥𝑦 −1 ∈ 𝐻.
(⇐). Misalkan 𝐺 suatu grup dan 𝐻 subhimpunan 𝐺 yang memenuhi sifat
𝐻 tidak hampa dan setiap unsur 𝑥, 𝑦 ∈ 𝐻 memenuhi 𝑥𝑦 −1 ∈ 𝐻. Akan
ditunjukkan 𝐻 subgrup 𝐺.
43
Mengingat subhimpunan 𝐻 tidak hampa dan setiap unsur 𝑥, 𝑦 ∈ 𝐻
memenuhi 𝑥𝑦 −1 ∈ 𝐻, tentu saja ada ℎ ∈ 𝐻 yang memenuhi 𝑒 = ℎℎ−1 ∈ 𝐻.
Selanjutnya, untuk setiap 𝑥 ∈ 𝐻 mengakibatkan 𝑥 −1 = 𝑒𝑥 −1 ∈ 𝐻. Terakhir,
ambil unsur 𝑥, 𝑦 ∈ 𝐻. Mengingat 𝑦 −1 ∈ 𝐻, hal tersebut mengakibatkan 𝑥𝑦 =
𝑥(𝑦 −1 )−1 ∈ 𝐻. Berdasarkan Sifat 2.10, diperoleh 𝐻 subgrup 𝐺.∎
Latihan 2.3
44
Perhatikan tabel Cayley untuk operasi ⊕ pada ℤ3 berikut ini.
⊕ ̅
𝟎 ̅
𝟏 ̅
𝟐
̅
𝟎 0̅ 1̅ 2̅
̅
𝟏 1̅ 2̅ 0̅
̅
𝟐 2̅ 0̅ 1̅
Tabel 2.4 Operasi ⊕ pada grup ℤ𝟑
Pada Tabel 2.4 terlihat bahwa ketiga syarat tabel Cayley telah terpenuhi.
Seperti halnya grup, anggota grup juga memiliki orde. Sebelum bahasan
orde unsur disajikan, perhatikan terlebih dahulu definisi berikut ini.
Definisi 2.10
Misalkan 𝐺 suatu grup, 𝑎 ∈ 𝐺 dan 𝑛 ∈ ℕ. Pangkat ke-𝑛 unsur 𝑎,
ditulis: 𝑎𝑛 , didefinisikan sebagai operasi n buah unsur 𝑎, ditulis:
𝑎0 = 𝑒, 𝑎1 = 𝑎, 𝑎2 = 𝑎𝑎, …, 𝑎𝑛 = 𝑎𝑎⏟ … 𝑎.
𝑛
Sementara itu, pangkat ke- −𝑛 unsur 𝑎, ditulis: 𝑎−𝑛 , didefinisikan
sebagai operasi n buah unsur 𝑎−1 , ditulis:
𝑎−𝑛 = (𝑎−1 )𝑛 = ⏟
(−𝑎)(−𝑎) … (−𝑎).
𝑛
𝑎𝑛 = 𝑎 + 𝑎 + ⋯ + 𝑎 = 𝑛𝑎 dan
𝑎 −𝑛 = (𝑎−1 )𝑛 = (−𝑎) + (−𝑎) + ⋯ + (−𝑎) = 𝑛(−𝑎).
Definisi 2.11
Misalkan 𝐺 suatu grup dan 𝑎 ∈ 𝐺. Bilangan asli terkecil 𝑛 disebut
orde 𝑎, ditulis: 𝑜(𝑎), jika memenuhi 𝑎𝑛 = 𝑒. Ketika tidak ada 𝑛 yang
memenuhi, orde 𝑎 disebut tak hingga.
Contoh 2.9. Pandang grup (ℤ6 ,⊕). Himpunan ℤ6 = {0̅, 1̅, 2̅, 3̅, 4̅, 5̅}. Orde grup ℤ6 ,
yaitu: |ℤ6 | = 6. Orde unsur 2̅, 𝑜(2̅) = 3. Hal tersebut terjadi karena 3 bilangan
asli terkecil yang mengakibatkan 2̅3 = 2̅ ⊕ 2̅ ⊕ 2̅ = 6̅ = 0̅. Mengingat 6 > 3,
walaupun 2̅6 = 2̅ ⊕ 2̅ ⊕ 2̅ ⊕ 2̅ ⊕ 2̅ ⊕ 2̅ = ̅̅
12̅̅ = 0̅, 6 bukan orde unsur 2̅.
Contoh 2.10. Pandang grup bilangan bulat, ℤ, dengan operasi jumlah. Orde
grup ℤ, yaitu: |ℤ| = ∞. Sementara itu, orde unsur 1 ∈ ℤ, yaitu: 𝑜(1) = ∞. Hal ini
disebabkan tidak ada 𝑛 ∈ ℤ+ yang membuat 𝑛 = ⏟ 1 + 1 + ⋯ + 1 = 1𝑛 = 𝑒ℤ = 0.
𝑛
45
Latihan 2.4
46
BAB 3
GRUP SIMETRI
Simetri berasal dari dua akar kata dalam bahasa Yunani, yaitu: syn dan
metry. Kata syn artinya bersama, berbarengan, serentak, satu sama lain atau
sekalian. Sementara kata metry artinya pengukuran atau ukuran. Menurut
kamus besar bahasa Indonesia, simetri berarti seimbang atau selaras: bentuk
ukuran dan sebagainya.
Simetri sendiri secara istilah dapat diartikan sebagai gerakan yang tidak
dapat dilacak atau dideteksi. Gerakan tersebut bisa berupa pencerminan,
rotasi, gabungan keduanya maupun gerakan lainnya yang menyebabkan
perubahan posisi benda tidak dapat dilacak. Dalam hal ini, tidak melakukan
gerakan (posisi semula) termasuk simetri. Simetri demikian disebut identitas.
Simetri identitas didapat dengan cara melakukan rotasi 00 , mengingat rotasi
tersebut merupakan posisi awal. Simetri yang diperoleh melalui pencerminan
disebut dengan simetri lipat sementara yang melalui rotasi disebut simetri
putar. Benda disebut simetris jika memiliki simetri yang tidak hanya berupa
simetri identitas. Banyak sekali bangun simetris yang dapat kita jumpai di
sekitar kita.
Susunan benda-benda identik juga tidak dapat dilacak jika dilakukan
gerakan pada susunan benda-benda tersebut. Gerakan pada susunan ini dapat
dilakukan dengan memindahkan langsung, memutar, mencerminkan, dan lain
sebagainya. Untuk itu, susunan benda identik tersebut juga disebut simetri.
Setiap gerakan yang diberikan pada benda, menimbulkan perubahan posisi
benda tersebut. Secara umum, susunan anggota himpunan disebut dengan
permutasi himpunan. Dalam hal ini, tentu saja semua anggota harus masuk
dalam setiap bentuk susunan.
3.1 Permutasi
Secara informal, permutasi himpunan tidak lain susunan anggota
himpunan tersebut. Untuk dapat memahami pernyataan itu, perhatikanlah
contoh berikut.
Contoh 3.1. Ada enam permutasi yang mungkin pada himpunan 𝑆 = {1,2,3}.
123 132 213 231 312 321
47
Semua permutasi ini dapat dipandang sebagai pemetaan bijektif dari
himpunan 𝑆 ke 𝑆, yaitu dengan cara memetakan 1 ke unsur pertama, 2 ke unsur
ke-2 dan 3 ke unsur ke-3 pada setiap permutasi. Pemetaan bijektif yang
dimaksud adalah sebagai berikut.
Permutasi 1 2 3 dapat dipandang sebagai pemetaan 𝜎1 : 𝑆 ⟶ 𝑆 seperti terlihat di
bawah ini.
𝜎1
1 1
2 2
3 3
S S
𝜎2
1 1
2 2
3 3
S S
𝜎3
1 1
2 2
3 3
S S
48
Permutasi 2 3 1 dapat dipandang sebagai pemetaan 𝜎4 : 𝑆 ⟶ 𝑆 seperti terlihat di
bawah ini.
𝜎4
1 1
2 2
3 3
S S
𝜎5
1 1
2 2
3 3
S S
𝜎6
1 1
2 2
3 3
S S
Setelah mencermati uraian di atas, jelas bahwa permutasi tidak lain pemetaan
bijektif. Untuk selanjutnya, mengingat permutasi suatu pemetaan, permutasi
dapat dinyatakan dengan menggunakan tanda pemetaan, yakni dengan
menggunakan huruf kecil (lower case) latin atau abjad Yunani. Untuk
49
membedakan dengan pemetaan pada umumnya, permutasi pada buku ini
ditulis menggunakan huruf kecil (lower case) Yunani.
Definisi 3.1
Misalkan 𝑆 himpunan tak hampa, 𝑀(𝑆) himpunan pemetaan pada 𝑆,
∘ menyatakan komposisi pemetaan pada 𝑀(𝑆) dan 𝜎 ∈ 𝑀(𝑆).
Pemetaan 𝜎 disebut permutasi pada 𝑆 jika 𝜎 bijektif.
1 2 3 −1 1 2 3 1 2 3 −1 1 2 3
𝜎1−1 = ( ) =( ), 𝜎2−1 = ( ) =( ),
1 2 3 1 2 3 1 3 2 1 3 2
50
1 2 3 −1 1 2 3 1 2 3 −1 1 2 3
𝜎3−1 = ( ) =( ), 𝜎4−1 = ( ) =( ),
2 1 3 2 1 3 2 3 1 3 1 2
1 2 3 −1 1 2 3 1 2 3 −1 1 2 3
𝜎5−1 = ( ) =( ), 𝜎6−1 = ( ) =( ).
3 1 2 2 3 1 3 2 1 3 2 1
51
Pengambilan awal pada langkah pertama tidak harus dimulai dari 1, bisa
dimulai dari anggota 𝑆 yang mana saja.
Contoh 3.2. Perhatikan himpunan 𝑆 = {1, 2, 3, 4, 5}. Pilih permutasi pada 𝑆,
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
misalnya 𝜌 = ( ) dan 𝜏 = ( ). Bentuk siklus
3 4 5 2 1 2 4 1 5 3
permutasi 𝜌 = (1 3 5)(2 4) dan 𝜏 = (1 2 4 5 3).
Untuk mendapatkan bentuk siklus permutasi 𝜌 dalam Contoh 3.2
perhatikan penjelasan berikut ini.
1 2 3 4 5
= 1 3 5 2 4
3 4 5 2 1
Pada Gambar 3.1, terlihat jelas permutasi 𝜌 memiliki dua siklus yang
saling lepas, sedangkan permutasi 𝜏 hanya memiliki satu siklus.
Penulisan unsur dalam satu siklus tidak harus selalu dimulai dari unsur
pertama dalam rangkaian barisan unsur pada siklus tersebut, seperti dalam
penjelasan langkah-langkah pembentukan siklus. Misalkan siklus (1 3 5),
memetakan 1 ↦ 3 ↦ 5, bisa ditulis dengan (3 5 1). Dalam gambar siklus
terlihat jelas kesamaan tersebut. Dua siklus yang saling lepas bersifat
komutatif. Untuk itu, 𝜌 = (1 3 5)(2 4) = (2 4)(1 3 5) mengingat siklus
(1 3 5) dan (2 4) saling lepas.
Contoh 3.3. Semua permutasi dalam Contoh 3.1 dapat dituliskan kembali
menjadi bentuk siklus. Perhatikan dahulu penjelasan berikut ini.
1 2 3
𝜎1 = ( ) = (1)(2)(3) = (1) = (2) = (3),
1 2 3
52
1 2 3
𝜎2 = ( ) = (1)(2 3) = (2 3),
1 3 2
1 2 3
𝜎3 = ( ) = (1 2)(3) = (1 2),
2 1 3
1 2 3
𝜎4 = ( ) = (1 2 3),
2 3 1
1 2 3
𝜎5 = ( ) = (1 3 2),
3 1 2
1 2 3
𝜎6 = ( ) = (1 3)(2) = (1 3).
3 2 1
Berdasarkan penjelasan ini, diperoleh bahwa 𝜎1 = (1), 𝜎2 = (2 3), 𝜎3 = (1 2),
𝜎4 = (1 2 3), 𝜎5 = (1 3 2) dan 𝜎6 = (1 3)(2).
Siklus dengan panjang dua disebut transposisi. Siklus (1 2), (1 3) dan
(2 3) pada Contoh 3.3 merupakan transposisi. Pada contoh itu, permutasi
𝜎2 , 𝜎3 dan 𝜎6 ditulis sebagai komposisi satu buah transposisi. Selanjutnya,
perhatikan permutasi 𝜎4 dan 𝜎5
𝜎4 = (1 2 3) = (1 3)(1 2),
𝜎5 = (1 3 2) = (1 2)(1 3),
permutasi 𝜎4 dan 𝜎5 keduanya ditulis sebagai komposisi dua transposisi.
Permutasi 𝜎4 ditulis sebagai komposisi dua transposisi (1 3)(1 2). Permutasi 𝜎5
ditulis sebagai komposisi dua transposisi (1 2)(1 3). Sisanya, Permutasi 𝜎1 =
(1) = (1 2)(1 2) = (1 3)(1 3) = (2 3)(2 3). Permutasi 𝜎1 dapat ditulis sebagai
komposisi dua buah transposisi yang sama. Hal tersebut terjadi karena balikan
transposisi adalah dirinya sendiri.
Tidak semua permutasi dapat dituliskan sebagai komposisi dari
transposisi-transposisi yang saling lepas. Meskipun demikian, setiap permutasi
bisa dituliskan sebagai komposisi dari beberapa transposisi. Secara umum,
siklus yang memuat 𝑘 unsur dapat dituliskan sebagai komposisi 𝑘 − 1
transposisi.
(𝑎1 𝑎2 ⋯ 𝑎𝑘−1 𝑎𝑘 ) = (𝑎1 𝑎𝑘 )(𝑎1 𝑎𝑘−1 ) ⋯ (𝑎1 𝑎2 )
Latihan 3.1
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
Misalkan permutasi 𝛼 = ( ) dan 𝛽 = ( )
3 5 4 1 2 4 3 1 5 2
53
4. Apakah permutasi 𝛼 dan 𝛽 yang diperoleh pada soal No.1 sudah dalam
siklus transposisi? Jika tidak, apakah masih bisa dituliskan dalam
transposisi?
5. Tentukan invers dan orde permutasi 𝛼 dan 𝛽!
54
1 2 ⋯ 𝑛
𝜎𝜏 = ( )
𝜎𝜏(1) 𝜎𝜏(2) ⋯ 𝜎𝜏(𝑛)
1 2 ⋯ 𝑛
= (𝜎(𝜏(1)) 𝜎(𝜏(2)) ⋯ 𝜎(𝜏(𝑛)))
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
Contoh 3.4. Misalkan 𝜌 = ( ) dan 𝜏 = ( ). Sebelum
3 4 5 2 1 2 4 1 5 3
menentukan komposisi 𝜌𝜏, ikuti dahulu penjelasan berikut.
1 2 3 4 5
𝜌𝜏 = ( )
𝜌(𝜏(1)) 𝜌(𝜏(2)) 𝜌(𝜏(3)) 𝜌(𝜏(4)) 𝜌(𝜏(5))
1 2 3 4 5
= ( )
4 2 3 1 5
= (1 4)(2)(3)(5)
= (1 4)
55
∘ (𝟏) (𝟏 𝟐)
(𝟏) (1) (1 2)
(𝟏 𝟐) (1 2) (1)
Tabel 3.1 Operasi ∘ pada grup simetri 𝑆2
∘ (𝟏) (𝟏 𝟐) (𝟏 𝟑) (𝟐 𝟑) (𝟏 𝟐 𝟑) (𝟏 𝟑 𝟐)
(𝟏) (1) (1 2) (1 3) (2 3) (1 2 3) (1 3 2)
(𝟏 𝟐) (1 2) (1) (1 3 2) (1 2 3) (2 3) (1 3)
(𝟏 𝟑) (1 3) (1 2 3) (1) (1 3 2) (1 2) (2 3)
(𝟐 𝟑) (2 3) (1 3 2) (1 2 3) (1) (1 3) (1 2)
(𝟏 𝟐 𝟑) (1 2 3) (1 3) (2 3) (1 2) (1 3 2) (1)
(𝟏 𝟑 𝟐) (1 3 2) (2 3) (1 2) (1 3) (1) (1 2 3)
Tabel 3.2 Operasi ∘ pada grup simetri 𝑆3
Latihan 3.2
1 2 3 4 1 2 3 4
1. Misalkan 𝛼 = ( ) dan 𝛽 = ( ). Hitunglah
1 4 3 2 3 1 4 2
a. 𝛼 ∘ 𝛽 c. 𝛼 −1 e. 𝛼 −1 ∘ 𝛽 −1 g. (𝛼 ∘ 𝛽)−1
b. 𝛽 ∘ 𝛼 d. 𝛽 −1 f. 𝛽 −1 ∘ 𝛼 −1 h. (𝛽 ∘ 𝛼)−1
2. Tunjukkan bahwa siklus dengan panjang 𝑘 di 𝑆𝑛 memiliki orde 𝑘!
3. Tulis semua permutasi di 𝑆4 !
a. Tentukan invers setiap permutasi di 𝑆4 !
b. Berapa banyak permutasi di 𝑆4 yang memetakan 4 ke 4?
4. Tunjukkan bahwa grup simetri 𝑆𝑛 bukan grup komutatif jika 𝑛 > 2!
5. Misalkan 𝐻 = {𝛼 ∈ 𝑆𝑛 ∣ 𝛼(1) = 1, 𝛼(𝑛) = 𝑛}. Tunjukkan bahwa 𝐻 subgrup 𝑆𝑛 !
56
r
1 2
𝑔2 𝑔1
3
𝑔3
Segitiga disebut sama kaki jika hanya dua sisi saja yang sama panjang,
dari tiga sisi yang dimilikinya. Segitiga disebut sembarang jika tidak ada sisi
yang sama panjang. Himpunan simetri lipat dan putar (pencerminan) pada
segitiga merupakan subgrup 𝑆3 . Subgrup ini disebut grup permutasi pada
segitiga.
Pertama kita mulai dari segitiga sama sisi seperti terlihat pada Gambar
3.2. Pada gambar tersebut terlihat sumbu-sumbu untuk mendapatkan simetri
pada segitiga sama sisi. Ada enam buah simetri yang diperoleh dari segitiga
sama sisi.
Tiga buah simetri diperoleh dari hasil pencerminan. Permutasi (1 2)
diperoleh dari pencerminan melalui sumbu 𝑔3 . Permutasi (1 3) diperoleh dari
pencerminan melalui sumbu 𝑔2 . Permutasi (2 3) diperoleh dari pencerminan
melalui sumbu 𝑔1 . Tiga buah simetri sisanya didapat dari hasil rotasi.
Permutasi (1) menyatakan posisi awal. Permutasi ini dihasilkan dari rotasi 0∘ .
Permutasi (1 2 3) dan (1 3 2) diperoleh dari rotasi melalui sumbu 𝑟 sebesar
120∘ dan 240∘ .
Simetri yang dihasilkan dari pencerminan disebut simetri lipat
sementara simetri yang dihasilkan dari rotasi disebut simetri putar. Himpunan
semua simetri ini bersama dengan operasi komposisi permutasi membentuk
grup permutasi. Grup ini sama dengan grup (𝑆3 ,∘). Operasi komposisi pada grup
ini terlihat pada Tabel 3.2.
Selanjutnya simetri pada segitiga sama kaki, silakan lihat Gambar 3.3.
Pada pada gambar tersebut terlihat sumbu-sumbu untuk mendapatkan simetri
pada segitiga sama kaki. Berbeda dengan segitiga sama sisi, segitiga sama kaki
hanya memiliki dua buah simetri. Simetri pertama berupa permutasi (1 3),
diperoleh dari pencerminan melalui sumbu 𝑔2 . Simetri sisanya berupa
permutasi (1), didapat dari hasil rotasi 0∘ (posisi awal). Operasi komposisi pada
grup ini terlihat pada Tabel 3.3.
57
r
1 2
𝑔2
3
∘ (𝟏) (𝟏 𝟑)
(𝟏) (1) (1 3)
(𝟏 𝟑) (1 3) (1)
Tabel 3.3 Operasi ∘ pada grup permutasi segitiga sama kaki
Terakhir segitiga sembarang. Untuk segitiga jenis ini, hanya ada satu
buah permutasi yang dihasilkan dari rotasi 0∘ (posisi awal), permutasi
identitas. Untuk itu, grup permutasi yang diperoleh berupa grup identitas,
subgrup sejati dari 𝑆3 .
1 3
58
1800 dan 2700 . Dengan demikian, diperoleh delapan buah simetri pada bujur
sangkar.
1
2
4
3
4
3
59
Permutasi pada persegi panjang berjumlah empat buah. Permutasi itu adalah
(1), (1 2)(3 4), (1 3)(2 4) dan (1 4)(2 3). Permutasi (1) dan (1 3)(2 4) tidak
lain simetri putar sementara (1 2)(3 4) dan (1 4)(2 3) simetri lipat. Semua
simetri ini membentuk subgrup 𝑆4 .
1 3
∘ (𝟏) (𝟏 𝟑) (𝟐 𝟒) (𝟏 𝟑)(𝟐 𝟒)
(𝟏) (1) (1 3) (2 4) (1 3)(2 4)
(𝟏 𝟑) (1 3) (1) (1 3)(2 4) (2 4)
(𝟐 𝟒) (2 4) (1 3)(2 4) (1) (1 3)
(𝟏 𝟑)(𝟐 𝟒) (1 3)(2 4) (2 4) (1 3) (1)
Tabel 3.6 Operasi ∘ pada grup permutasi belah ketupat
60
Simetri berikutnya pada jajar genjang. Jajar genjang tidak memiliki simetri
lipat tetapi masih memiliki dua simetri putar. Simetri ini berupa permutasi (1)
dan (1 3)(2 4). Untuk lebih jelasnya perhatikan Gambar 3.8 berikut ini.
1 2
4 3
∘ (𝟏) (𝟏 𝟑)(𝟐 𝟒)
(𝟏) (1) (1 3)(2 4)
(𝟏 𝟑)(𝟐 𝟒) (1 3)(2 4) (1)
Tabel 3.7 Operasi ∘ pada grup permutasi jajar genjang
2 1
61
∘ (𝟏) (𝟏 𝟑)
(𝟏) (1) (1 3)
(𝟏 𝟑) (1 3) (1)
Tabel 3.8 Operasi ∘ pada grup permutasi layang-layang
Kedua simetri pada trapesium sama kaki berupa permutasi (1) dan
(1 2)(3 4). Operasi pada grup permutasi yang diberikan oleh trapesium sama
kaki dapat dilihat pada Tabel 3.9.
∘ (𝟏) (𝟏 𝟐)(𝟑 𝟒)
(𝟏) (1) (1 2)(3 4)
(𝟏 𝟐)(𝟑 𝟒) (1 2)(3 4) (1)
Tabel 3.9 Operasi ∘ pada grup permutasi trapesium sama kaki
Latihan 3.3
62
BAB 4
GRUP SIKLIS
Pada subbab orde grup dan anggota grup telah dibahas mengenai
pangkat bulat anggota grup. Misalkan 𝐺 suatu grup dan 𝑎 ∈ 𝐺. Himpunan
semua pangkat bulat unsur 𝑎, ditulis: 〈𝑎〉, yaitu:
〈𝑎〉 = {𝑎𝑛 | 𝑛 ∈ ℤ}
adalah subgrup 𝐺.
Jelas 〈𝑎〉 subhimpunan 𝐺. Subhimpunan 〈𝑎〉 tidak hampa karena 𝑎 = 𝑎1 ∈
〈𝑎〉. Selanjutnya, ambil 𝑥, 𝑦 ∈ 〈𝑎〉. Akibatnya, 𝑥 = 𝑎 𝑛1 untuk suatu 𝑛1 ∈ ℤ dan 𝑦 =
𝑎𝑛2 untuk suatu 𝑛2 ∈ ℤ. Mengingat kedua akibat tersebut dan 𝑛1 + 𝑛2 ∈ ℤ,
diperoleh 𝑥𝑦 = 𝑎𝑛1 𝑎𝑛2 = 𝑎 (𝑛1 +𝑛2 ) ∈ 〈𝑎〉. Subhimpunan 〈𝑎〉 membentuk
substruktur mengingat subhimpunan tersebut tidak hampa dan tertutup
terhadap operasi yang sama pada 𝐺. Perhatikan untuk setiap 𝑥 = 𝑎 𝑛1 , ada 𝑥 −1 =
𝑎−𝑛1 yang memenuhi 𝑥 −1 𝑥 = 𝑥𝑥 −1 = 𝑒. Semua alasan tersebut menunjukkan
subhimpunan 〈𝑎〉 subgrup 𝐺.
Contoh 4.1. Pandang grup (𝑆3 ,∘) yaitu:
𝑆3 = {(1), (1 2), (1 3), (2 3), (1 2 3), (1 3 2)}.
Ambil salah satu unsur di 𝑆3 katakanlah (1 2 3). Permutasi (1 2 3)0 =
(1 2 3)3 = (1), (1 2 3)1 = (1 2 3) dan (1 2 3)2 = (1 3 2). Dengan demikian,
didapatkan himpunan
〈(1 2 3)〉 = {(1), (1 2 3), (1 3 2)}
Definisi 4.1
Misalkan 𝐺 suatu grup. Grup 𝐺 disebut siklis jika 𝐺 = 〈𝑎〉 untuk
suatu 𝑎 ∈ 𝐺. Unsur 𝑎 disebut pembangun grup 𝐺. Jika 𝐻 ⊆ 𝐺 dan
63
𝐻 = 〈𝑏〉 untuk suatu 𝑏 ∈ 𝐻 maka 𝐻 disebut subgrup siklis dari 𝐺
(subgrup yang dibangun oleh unsur 𝑏).
Contoh 4.2. Grup bilangan bulat dengan operasi jumlah merupakan grup siklis
yang dibangun oleh 1 atau −1. Akibatnya, grup bilangan bulat dapat ditulis
menjadi ℤ = 〈1〉 = 〈−1〉. Berikutnya contoh subgrup. Subhimpunan 〈(1 2 3)〉
subgrup siklis dari grup 𝑆3 .
Sifat 4.1
Setiap grup siklis merupakan grup komutatif.
Algoritme Pembagian
Untuk setiap 𝑚 dan 𝑛 dua bilangan bulat dengan 𝑛 > 0, ada secara
tunggal dua buah bilangan bulat 𝑞 dan 𝑟 yang memenuhi
𝑚 = 𝑛𝑞 + 𝑟, 0 ≤ 𝑟 < 𝑛.
Sifat 4.2
Misalkan 𝐺 suatu grup. Jika grup 𝐺 siklis berorde hingga dan 𝐻 ≤ 𝐺,
subgrup 𝐻 siklis.
Sifat 4.3
Misalkan 𝐺 grup. Jika untuk setiap 𝑎 ∈ 𝐺 ada bilangan bulat berbeda
𝑟 dan 𝑠 sehingga 𝑎𝑟 = 𝑎 𝑠 , maka
a. ada bilangan asli terkecil 𝑛 sehingga berlaku 𝑎𝑛 = 𝑒.
64
b. jika 𝑡 suatu bilangan bulat maka 𝑎𝑡 = 𝑒 jika dan hanya jika 𝑛
membagi 𝑡.
c. unsur 𝑒 = 𝑎0 , 𝑎, 𝑎2 , ..., 𝑎𝑛−1 semuanya berbeda satu sama lain dan
〈𝑎〉 = {𝑒, 𝑎, 𝑎2 , ..., 𝑎𝑛−1 }.
𝑎𝑛 = 𝑎(𝑟−𝑠) = 𝑎𝑟 𝑎−𝑠 = 𝑎0 = 𝑒.
Begitu juga untuk sebaliknya, 𝑠 > 𝑟. Selanjutnya, andaikan ada 𝑚
bilangan asli dengan 𝑚 < 𝑛 dan memenuhi 𝑎𝑚 = 𝑒. Mengingat 𝑎𝑛 = 𝑒 = 𝑎𝑚 ,
tentu saja diperoleh 𝑛 = 𝑚. Ini kontradiksi dengan pengandaian tadi. Jadi
haruslah berlaku 𝑛 ≤ 𝑚. Dengan demikian, benar bahwa 𝑛 bilangan asli
terkecil.
𝑏. Misalkan 𝐺 suatu grup dan 𝑛 membagi 𝑡 untuk suatu 𝑛, 𝑡 ∈ ℤ. Ingat
kembali, 𝑛 membagi 𝑡 artinya ada 𝑝 ∈ ℤ sehingga 𝑡 = 𝑝𝑛. Ambil 𝑎 ∈ 𝐺, akibatnya
diperoleh
𝑎𝑡 = 𝑎𝑃𝑛 = (𝑎𝑛 )𝑝 = 𝑒 𝑝 = 𝑒.
Sekarang kita buktikan arah sebaliknya. Misalkan 𝐺 suatu grup dan
untuk suatu unsur 𝑡 ∈ ℤ berlaku 𝑎𝑡 = 𝑒. Akan ditunjukkan bahwa 𝑛 membagi 𝑡.
Ambil 𝑡 ∈ ℤ dengan 𝑎𝑡 = 𝑒. Berdasarkan algoritma pembagian, ada bilangan
bulat 𝑞 dan 𝑟 sehingga memenuhi 𝑡 = 𝑛𝑞 + 𝑟 dengan 0 ≤ 𝑟 < 𝑛. Oleh karena itu,
diperoleh bahwa:
𝑎𝑡 = 𝑎𝑛𝑞+𝑟
𝑒 = 𝑎𝑛𝑞 𝑎𝑟
𝑎0 = (𝑎𝑛 )𝑞 𝑎𝑟
𝑎0 = 𝑒 𝑞 𝑎𝑟
𝑎0 = 𝑎𝑟
sehingga 𝑟 = 0. Jadi 𝑡 = 𝑛𝑞 atau dengan kata lain 𝑛 membagi 𝑡.
c. Ambil 𝑎𝑢 , 𝑎𝑣 ∈ 𝐺 dengan 𝑢, 𝑣 ∈ ℤ, 0 ≤ 𝑢 < 𝑛 dan 0 ≤ 𝑣 < 𝑛 sehingga 𝑢 ≠
𝑣. Akan kita tunjukkan bahwa 𝑎𝑢 ≠ 𝑎𝑣 . Misalkan 𝑢 ≥ 𝑣 sehingga 𝑎𝑢 = 𝑎𝑣 .
Akibatnya, 𝑎𝑢−𝑣 = 𝑎𝑢 𝑎−𝑣 = 𝑎𝑣 𝑎−𝑣 = 𝑒 dengan 𝑢 − 𝑣 ≥ 0. Berdasarkan (b), 𝑛
membagi 𝑢 − 𝑣, artinya ada bilangan 𝑞 yang memenuhi 𝑢 − 𝑣 = 𝑞𝑛. Karena 𝑢 −
𝑣 < 𝑛, haruslah 𝑞 = 0 dan 𝑢 − 𝑣 = 0. Jadi 𝑢 = 𝑣. Dengan demikian, jelas bahwa
setiap unsur 𝑒 = 𝑎0 , 𝑎, 𝑎2 , ..., 𝑎𝑛−1 semuanya berbeda satu sama lain.
Sekarang kita tunjukkan bahwa 〈𝑎〉 = {𝑒, 𝑎, 𝑎2 , ..., 𝑎𝑛−1 }. Ambil 𝑎𝑚 ∈ 〈𝑎〉.
Berdasarkan algoritma pembagian, ada bilangan bulat 𝑞 dan 𝑟 sehingga
memenuhi 𝑚 = 𝑛𝑞 + 𝑟 dengan 0 ≤ 𝑟 < 𝑛. Dengan demikian,
𝑎𝑚 = 𝑎𝑛𝑞+𝑟 = (𝑎𝑛 )𝑞 𝑎𝑟 = 𝑒 𝑞 𝑎𝑟 = 𝑎𝑟 .
65
Jadi, 𝑚 = 𝑟 < 𝑛 atau dapat ditulis 𝑚 = 1, 2, … , 𝑛 − 1. Oleh karena itu,
〈𝑎〉 = {𝑒, 𝑎, 𝑎2 , ..., 𝑎𝑛−1 }.∎
Definisi 4.2
Misalkan 𝑚 dan 𝑛 dua buah bilangan bulat tak nol. Bilangan asli 𝑑
disebut faktor persekutuan terbesar dari 𝑚 dan 𝑛, ditulis: 𝑑 =
𝐹𝑃𝐵(𝑚, 𝑛), jika memenuhi
1. 𝑑 | 𝑚 dan 𝑑 |𝑛 dan
2. jika 𝑐 bilangan bulat sehingga 𝑐 | 𝑚 dan 𝑐 | 𝑛, maka 𝑐 | 𝑑.
Sifat 4.4
Faktor persekutuan terbesar bilangan bulat tak nol 𝑚 dan 𝑛, yaitu
𝐹𝑃𝐵(𝑚, 𝑛), dapat dinyatakan sebagai kombinasi linier dari 𝑚 dan 𝑛:
𝐹𝑃𝐵(𝑚, 𝑛) = 𝑚𝑞 + 𝑛𝑟, untuk suatu 𝑞, 𝑟 ∈ ℤ.
Sifat 4.5
Jika 𝑟 dan 𝑠 relatif prima serta 𝑟 | 𝑠𝑚 maka 𝑟 | 𝑚.
Bukti. Bilangan bulat 𝑟 dan 𝑠 relatif prima artinya terdapat bilangan bulat 𝑣
dan 𝑤 sehingga 1 = 𝑣𝑟 + 𝑤𝑠. Dengan mengalikan bilangan bulat 𝑚 pada
masing-masing ruas, kita memperoleh hasil berikut ini.
𝑚 = 𝑣𝑟𝑚 + 𝑤𝑠𝑚
Selain itu, mengingat 𝑟 | 𝑠𝑚, diperoleh 𝑟 | 𝑣𝑟𝑚 dan 𝑟 | 𝑤𝑠𝑚. Akibatnya,
mengingat 𝑟 membagi ruas kanan, tentu saja 𝑟 | 𝑚.∎
Sifat 4.6
Jika unsur 𝑎 anggota suatu grup maka 𝑜(𝑎) = |〈𝑎〉|.
Pada grup (ℤ6 ,⊕), orde subgrup siklis 〈2̅〉 = {0̅, 2̅, 4̅}, yaitu: |〈2̅〉| = 3.
Perhatikan Contoh 2.9 untuk melihat cara mendapatkan nilai 𝑜(2̅). Pada
contoh tersebut terlihat 𝑜(2̅) = 3. Akibatnya, 𝑜(2̅) = 3 = |〈2̅〉|.
Latihan 4.1
66
4. Apakah setiap grup siklis itu hingga?
5. Apakah orde setiap grup siklis itu hingga?
67
BAB 5
GRUP FAKTOR
Pada bagian ini, kita akan mempelajari cara membentuk grup dari grup
yang ada. Anggota grup bentukan ini berupa koset-koset subgrup dari grup
yang sudah ada tadi. Tidak semua subgrup, himpunan koset-kosetnya dapat
membentuk grup. Subgrup yang himpunan koset-kosetnya membentuk grup
hanya berupa subgrup normal. Grup bentukan ini disebut grup faktor
(kuosien).
Relasi ini tidak lain relasi ekuivalen. Untuk lebih jelasnya, perhatikan bukti
berikut ini.
Ambil 𝑎 ∈ 𝐺. Mengingat 𝐻 subgrup dari 𝐺, diperoleh 𝑒𝐻 = 𝑒𝐺 = 𝑒 dan
mengakibatkan 𝑎𝑎−1 = 𝑒𝐺 = 𝑒𝐻 = 𝑒 ∈ 𝐻. Menurut ketentuan di atas, 𝑎 ~ 𝑎 dan
dengan kata lain relasi ~ bersifat refleksif. Kemudian kita ambil 𝑏 ∈ 𝐺 sehingga
𝑎 ~ 𝑏. Karena 𝑎𝑏 −1 ∈ 𝐻 dan 𝐻 subgrup 𝐺, 𝑏𝑎 −1 = (𝑏 −1 )−1 𝑎−1 = (𝑎𝑏 −1 )−1 ∈ 𝐻.
Jadi 𝑏 ~ 𝑎 dan dengan demikian relasi ~ bersifat simetris. Terakhir, kita ambil
unsur 𝑐 ∈ 𝐺 sehingga 𝑎 ~ 𝑏 dan 𝑏 ~ 𝑐. Karena 𝑎𝑏 −1 ∈ 𝐻, 𝑏𝑐 −1 ∈ 𝐻 dan 𝐻 subgrup
dari 𝐺 kita mendapatkan 𝑎𝑐 −1 = 𝑎𝑒𝑐 −1 = 𝑎(𝑏 −1 𝑏)𝑐 −1 = (𝑎𝑏 −1 )(𝑏𝑐 −1 ) ∈ 𝐻. Jadi
𝑎 ~ 𝑐 dan dengan demikian relasi ~ ini bersifat transitif. Terlihat jelas tiga
syarat relasi ekuivalen terpenuhi oleh relasi ~ ini.
Relasi ekuivalen ~ pada 𝐺 membuat grup 𝐺 terpartisi menjadi kelas-
kelas ekuivalen. Misalkan 𝑎 ∈ 𝐺, kelas ekuivalen yang memuat 𝑎 berupa
himpunan 𝑎̅ = {𝑏 ∈ 𝐺 | 𝑏 ~ 𝑎}. Ketika 𝑏 ~ 𝑎, kita dapatkan 𝑏𝑎 −1 = ℎ untuk suatu
ℎ ∈ 𝐻 karena 𝑏𝑎 −1 ∈ 𝐻. Dengan kata lain 𝑏 = 𝑏𝑒 = 𝑏(𝑎−1 𝑎) = (𝑏𝑎 −1 )𝑎 = ℎ𝑎. Ini
berakibat pada 𝑎̅. Dengan memasukkan hasil tadi, kelas 𝑎̅ menjadi seperti
berikut.
𝑎̅ = {𝑏 ∈ 𝐺 | 𝑏 ~ 𝑎}
= {ℎ𝑎 | ℎ ∈ 𝐻}
= 𝐻𝑎
69
Kelas ekuivalen 𝑎̅ = 𝐻𝑎 disebut koset kanan subgrup 𝐻 yang memuat
unsur 𝑎 ∈ 𝐺. Himpunan semua koset kanan subgrup 𝐻 merupakan partisi grup
𝐺. Jadi, koset kanan subgrup 𝐻 merupakan kelas ekuivalen milik partisi yang
dihasilkan oleh relasi ekuivalen ~ pada grup 𝐺.
Seperti halnya koset kanan, kita pun bisa mendapatkan koset kiri
subgrup 𝐻 dengan cara mengganti relasi pada 𝐺 menjadi
𝑎 ~ 𝑏 jika dan hanya jika 𝑎 −1 𝑏 ∈ 𝐻 untuk setiap 𝑎, 𝑏 ∈ 𝐺.
Koset kiri ini tidak lain kelas ekuivalen 𝑎̅ = 𝑎𝐻. Himpunan koset kiri
sama dengan partisi grup 𝐺. Jika grup 𝐺 bersifat komutatif, tentu saja koset
kiri akan sama dengan koset kanan, ditulis: 𝑎𝐻 = 𝐻𝑎.
Berikut ini definisi formal koset kiri dan kanan subgrup suatu grup.
Definisi 5.1
Misalkan 𝐺 suatu grup, 𝐻 subgrup 𝐺 dan 𝑎 ∈ 𝐺. Subhimpunan 𝑎𝐻 =
{𝑎ℎ | ℎ ∈ 𝐻} disebut sebagai koset kiri 𝐻 yang memuat 𝑎 dan
subhimpunan 𝐻𝑎 = {ℎ𝑎 | ℎ ∈ 𝐻} disebut sebagai koset kanan 𝐻 yang
memuat 𝑎.
Sebelum kita membahas sifat-sifat koset, mari kita perhatikan contoh koset
berikut ini. Pandang sistem bilangan bulat, ℤ, sebagai grup dengan operasi
tambah dan 𝐻 = 〈2〉 subgrup siklis yang dibangun oleh 2. Ambil 𝑎 ∈ ℤ. Koset
𝐻𝑎 = 𝐻 + 𝑎 karena operasi pada grup ℤ berupa jumlah. Sebelum menentukan
koset, perhatikan dahulu kesamaan berikut ini.
〈2〉 = {2𝑚 | 𝑚 ∈ ℤ}
⏟+ 2 + ⋯ + 2 |
= {2 𝑚 ∈ ℤ}
𝑚
= {2𝑚 | 𝑚 ∈ ℤ}
= 2ℤ
Jelas terlihat subgrup 𝐻 = 2ℤ. Sekarang baru kita cari semua koset kanan 𝐻.
Kita mulai dari 𝑎 = 0.
𝐻+0 = 2ℤ + 0
= {2𝑚 + 0 | 𝑚 ∈ ℤ}
= {⋯ , −4, −2, 0, 2, 4, ⋯ }
𝐻+1 = 2ℤ + 1
= {2𝑚 + 1 | 𝑚 ∈ ℤ}
= {⋯ , −3, −1, 1, 3, 5, ⋯ }
70
𝐻+2 = 2ℤ + 2
= {2𝑚 + 2 | 𝑚 ∈ ℤ}
= {2(𝑚 + 1) | 𝑚 ∈ ℤ}
= {2𝑘 |𝑘 = 𝑚 + 1 ∈ ℤ}
= 𝐻+0
𝐻+3 = 2ℤ + 3
= {2𝑚 + 3 | 𝑚 ∈ ℤ}
= {⋯ , −3, −1, 1, 3, 5, ⋯ }
= 𝐻+1
𝐻 + 0 = 𝐻 = 2ℤ tidak lain himpunan bilangan bulat genap dan 𝐻 + 1 =
2ℤ + 1 himpunan bilangan bulat ganjil. Subgrup 𝐻 hanya memiliki dua buah
koset kanan, yakni: 𝐻 dan 𝐻 + 1, karena koset-koset kanan lainnya sama
dengan salah satu dari kedua koset kanan ini. Koset kiri 𝐻 = 2ℤ, sama dengan
koset kanan yaitu 0 + 𝐻 = 𝐻 = 2ℤ dan 1 + 𝐻 = 1 + 2ℤ = 2ℤ + 1.
Misalkan grup 𝐺 = 𝑆3 dan subgrup 𝐻 = {(1), (1 3)}. Untuk semua anggota
𝑆3 , yaitu: (1), (1 2), (1 3), (2 3), (1 2 3), (1 3 2), kita memperoleh koset kanan 𝐻.
𝐻(1) = {(1)(1), (1 3)(1)} = {(1), (1 3)}
𝐻(1 2) = {(1)(1 2), (1 3)(1 2)} = {(1 2), (1 2 3)}
𝐻(1 3) = {(1)(1 3), (1 3)(1 3)} = {(1 3), (1)}
𝐻 (2 3) = {(1)(2 3), (1 3)(2 3)} = {(2 3), (1 3 2)}
𝐻(1 2 3) = {(1)(1 2 3), (1 3)(1 2 3)} = {(1 2 3), (1 2)}
𝐻(1 3 2) = {(1)(1 3 2), (1 3)(1 3 2)} = {(1 3 2), (2 3)}
Dari semua koset kanan yang diperoleh ini, ada beberapa yang sama. Berikut
ini daftar koset-koset yang sama tadi.
𝐻(1) = 𝐻(1 3) = {(1), (1 3)}
𝐻(1 2) = 𝐻(1 2 3) = {(1 2), (1 2 3)}
𝐻(2 3) = 𝐻(1 3 2) = {(2 3), (1 3 2)}
Dengan demikian, subgrup 𝐻 = {(1), (1 3)} hanya memiliki tiga buah koset
kanan: 𝐻(1), 𝐻(1 2) dan 𝐻(2 3).
Untuk dapat memahami koset dengan lebih baik lagi, kita cermati sifat-
sifat koset berikut ini.
Sifat 5.1
Misalkan 𝐺 suatu grup, 𝐻 subgrup 𝐺 dan 𝑎, 𝑏 ∈ 𝐺. Pernyataan berikut
ekuivalen.
1. 𝑎𝑏 −1 ∈ 𝐻
2. 𝑎 = ℎ𝑏 untuk suatu ℎ ∈ 𝐻
3. 𝑎 ∈ 𝐻𝑏
4. 𝐻𝑎 = 𝐻𝑏
71
Bukti. (1 ⟹ 2). Misalkan 𝐻 subgrup 𝐺 dan 𝑎𝑏 −1 ∈ 𝐻 untuk 𝑎, 𝑏 ∈ 𝐺. Unsur 𝑎
dapat ditulis menjadi 𝑎 = 𝑎(𝑏 −1 𝑏) = (𝑎𝑏 −1 )𝑏 = ℎ𝑏 mengingat 𝑎𝑏 −1 = ℎ untuk
suatu ℎ ∈ 𝐻.
(2 ⟹ 3). Jika 𝐻𝑏 = {ℎ𝑏 | ℎ ∈ 𝐻} dan 𝑎 = ℎ𝑏 untuk suatu ℎ ∈ 𝐻, jelas 𝑎 ∈
𝐻𝑏.
(3 ⟹ 4). Jelas 𝐻𝑎 ⊆ 𝐻𝑏 karena untuk setiap 𝑥 ∈ 𝐻𝑎 mengakibatkan 𝑥 =
ℎ1 𝑎 = ℎ1 (ℎ2 𝑏) = (ℎ1 ℎ2 )𝑏 = ℎ3 𝑏 ∈ 𝐻𝑏 dengan ℎ3 = ℎ1 ℎ2 ∈ 𝐻. begitu juga, 𝐻𝑏 ⊆ 𝐻𝑎
karena untuk setiap 𝑦 ∈ 𝐻𝑏 mengakibatkan
𝑦 = ℎ1 𝑏 = ℎ1 (ℎ2−1 𝑎) = (ℎ1 ℎ2−1 )𝑎 = ℎ3 𝑏 ∈ 𝐻𝑏
dengan ℎ3 = ℎ1 ℎ2−1 ∈ 𝐻.
(4 ⟹ 1). Misalkan 𝐻𝑎 = 𝐻𝑏. Karena 𝑎 ∈ 𝐻𝑎, tentu saja 𝑎 ∈ 𝐻𝑎 = 𝐻𝑏 dan
mengakibatkan unsur 𝑎 dapat ditulis menjadi 𝑎 = ℎ𝑏 untuk suatu ℎ ∈ 𝐻
sehingga 𝑎𝑏 −1 = ℎ ∈ 𝐻 ∎.
Berdasarkan sifat di atas, yaitu: jika 𝑏 ∈ 𝐻𝑎 maka 𝐻𝑎 = 𝐻𝑏, setiap koset
kanan dapat ditulis dengan lebih dari satu cara. Begitu juga dengan koset kiri,
dapat dituliskan lebih dari satu cara pula.
Sifat 5.2
Misalkan 𝐺 suatu grup dan 𝐻 subgrup 𝐺. Jika orde subgrup 𝐻 hingga,
|𝐻| = |𝐻𝑎| untuk setiap 𝑎 ∈ 𝐺.
72
Mengingat adanya pemetaan bijektif dari 𝐻 ke 𝐻𝑎, kita simpulkan bahwa
|𝐻| = |𝐻𝑎| untuk semua 𝑎 ∈ 𝐺, begitu juga untuk koset kiri. ∎
Definisi 5.2
Misalkan 𝐺 suatu grup dan 𝑁 subgrup 𝐺. Subgrup 𝑁 disebut normal
jika 𝑁𝑔 = 𝑔𝑁 untuk setiap 𝑔 ∈ 𝐺.
Contoh 5.1. Pandang grup bilangan bulat ℤ dengan operasi jumlah dan
subgrup 2ℤ = {… , −2, 0, 2, … }. Koset kanan 2ℤ hanya ada dua buah yaitu 2ℤ dan
73
2ℤ + 1. Begitu juga koset kiri 2ℤ hanya ada dua buah, yaitu 2ℤ dan 1 + 2ℤ.
Perhatikan bahwa 2ℤ + 1 = 1 + 2ℤ. Jadi, subgrup 2ℤ normal.
Misalkan 𝐺 suatu grup. Grup 𝐺 disebut sederhana jika subgrup
normalnya hanya subgrup {𝑒𝐺 } dan grup 𝐺 itu sendiri. Jelas grup bilangan bulat
ℤ dengan operasi jumlah seperti dalam Contoh 5.1 bukan grup sederhana. Di
sisi lain, grup ℤ2 sederhana untuk operasi jumlah. Selain itu, grup simetri 𝑆1
dan 𝑆2 juga sederhana seperti penjelasan dalam Contoh 3.5.
Sifat 5.4
Misalkan 𝐺 suatu grup dan 𝑁 subgrup 𝐺. Subgrup 𝑁 normal jika dan
hanya jika 𝑔𝑛𝑔−1 ∈ 𝑁 untuk setiap 𝑛 ∈ 𝑁 dan 𝑔 ∈ 𝐺.
74
3. Jika 𝐾 dan 𝐿 keduanya subgrup normal 𝐺, tunjukkan 𝐾 ∩ 𝐿 juga subgrup
normal 𝐺
4. Misalkan 𝐾 dan 𝑁 keduanya subgrup 𝐺. Tunjukkan pernyataan berikut ini
benar
a. Jika 𝑁 normal di 𝐺, 𝑁 ∩ 𝐾 subgrup normal 𝐾
b. Jika 𝑁 normal di 𝐺, 𝑁𝐾 = {𝑛𝑘 ∣ 𝑛 ∈ 𝑁, 𝑘 ∈ 𝐾} subgrup 𝐺.
c. Jika 𝑁 dan 𝐾 keduanya normal di 𝐺, 𝑁𝐾 subgrup normal.
5. Jika 𝑁 dan 𝐾 keduanya normal di 𝐺 yang memenuhi 𝐾 ∩ 𝑁 = 〈𝑒〉, tunjukkan
bahwa 𝑛𝑘 = 𝑘𝑛 untuk semua 𝑛 ∈ 𝑁 dan 𝑘 ∈ 𝐾.
6. Misalkan 𝐺 suatu grup yang semua subgrupnya normal. Tunjukkan bahwa
jika 𝑎, 𝑏 ∈ 𝐺, ada bilangan bulat 𝑘 yang memenuhi 𝑎𝑏 = 𝑏𝑎𝑘 .
75
Subgrup normal 𝑁 tidak lain identitas struktur 𝐺 ⁄𝑁 mengingat 𝑁𝑁𝑎 = 𝑁𝑎 dan
𝑁𝑎𝑁 = 𝑁𝑎 untuk setiap 𝑁𝑎 ∈ 𝐺 ⁄𝑁 . Sementara itu, koset 𝑁𝑎 −1 ∈ 𝐺 ⁄𝑁 menjadi
invers koset 𝑁𝑎 ∈ 𝐺 ⁄𝑁 disebabkan
𝑁𝑎−1 𝑁𝑎 = 𝑁(𝑎−1 𝑎) = 𝑁 = 𝑁(𝑎𝑎 −1 ) = 𝑁𝑎𝑁𝑎 −1
Melihat semua itu, struktur 𝐺 ⁄𝑁 dengan operasi koset tidak lain grup.
Grup semacam ini disebut grup faktor (kuosien).
Definisi 5.3
Misalkan 𝐺 suatu grup dan 𝑁 subgrup normal 𝐺. Grup faktor dari
grup 𝐺 oleh 𝑁, ditulis: 𝐺 ⁄𝑁, adalah himpunan semua koset kanan 𝑁
di 𝐺 dengan operasi koset sebagai berikut.
(𝑁𝑎)(𝑁𝑏) = 𝑁(𝑎𝑏) untuk setiap 𝑁𝑎, 𝑁𝑏 ∈ 𝐺 ⁄𝑁
Contoh 5.2. Pandang grup bilangan bulat ℤ dengan operasi jumlah dan
subgrup 〈2〉 = {2𝑧 | 𝑧 ∈ ℤ} = {2𝑧 | 𝑧 ∈ ℤ} = 2ℤ. Jelas subgrup 2ℤ normal sehingga
kita dapat membentuk grup faktor dari ℤ oleh 2ℤ. Anggota grup ini semua koset
kanan subgrup 2ℤ, yaitu: koset 2ℤ dan 2ℤ + 1. Berikut ini operasi pada grup
faktor ℤ⁄2ℤ = {2ℤ, 2ℤ + 1}.
𝟐ℤ 𝟐ℤ + 𝟏
𝟐ℤ 2ℤ 2ℤ + 1
𝟐ℤ + 𝟏 2ℤ + 1 2ℤ
Tabel 5.1 Operasi koset pada grup ℤ⁄2ℤ
76
lebih jelasnya, mari kita perhatikan operasi pada grup 𝑆3 ⁄𝑁 seperti pada
berikut ini.
𝑵 𝑵(𝟏 𝟐)
𝑵 𝑁 𝑁(1 2)
𝑵(𝟏 𝟐) 𝑁(1 2) 𝑁
Tabel 5.2 Operasi pada grup 𝑆3 ⁄𝑁
Latihan 5.2
77
BAB 6
HOMOMORFISMA GRUP
Pada bagian ini, kita pelajari alat pembanding dua struktur grup, yaitu
homomorfisma grup. Dengan homomorfisma kita dapat mengetahui apa yang
dimiliki oleh dua buah grup yang strukturnya sama. Alat ini sangat penting
dalam mempelajari struktur grup. Khususnya, ketika kita bekerja pada suatu
grup berukuran besar dan rumit. Kita bisa gunakan homomorfisma sehingga
kita memperoleh subgrup berukuran kecil dan sederhana, tetapi masih
memiliki beberapa sifat esensial dari suatu grup besar dan rumit tersebut. Peta
dari homomorfisma serta subgrup berukuran kecil dan sederhana tersebut
memberikan gambaran tentang grup besar dan rumit yang kita kaji.
Definisi 6.1
Misalkan 𝐺 dan 𝐻 dua buah grup. Pemetaan 𝜙: 𝐺 ⟶ 𝐻 disebut
homomorfisma jika 𝜙(𝑔1 𝑔2) = 𝜙(𝑔1 ) 𝜙(𝑔2 ) untuk setiap 𝑔1 , 𝑔2 ∈ 𝐺.
79
pemetaan 𝜆: ℤ ⟶ ℤ𝑛 dengan 𝜆(𝑧) = 𝑧̅ untuk setiap 𝑧 ∈ ℤ. Pemetaan 𝜆 seperti ini
tentu saja homomorfisma mengingat untuk setiap 𝑦, 𝑧 ∈ ℤ memenuhi
𝜆(𝑦 + 𝑧) = ̅̅̅̅̅̅̅
𝑦+𝑧
= 𝑦̅ ⊕ 𝑧̅
= 𝜆(𝑦) ⊕ 𝜆(𝑧)
Contoh 6.3. Semua pemetaan berikut homomorfisma.
𝑥 1 2 𝑥
1. Pemetaan 𝑓 ((𝑦)) = (3 1) (𝑦) dari grup (ℝ2 , +) ke grup (ℝ3 , +).
2 4
2. Pemetaan 𝛼 dari grup (ℤ, +) ke grup (2ℤ, +) dengan 𝛼(𝑧) = 2𝑧 untuk setiap
𝑧 ∈ ℤ.
3. Pemetaan 𝛽 dari grup (ℝ+ , ⋅) ke grup (ℝ, +) dengan 𝛽(𝑥) = 𝑙𝑜𝑔10(𝑥), untuk
setiap 𝑥 ∈ ℝ+ .
4. Pemetaan 𝛾(𝑥) = 𝑒𝐻 , pemetaan yang mengaitkan setiap unsur 𝑥 ∈ 𝐺 ke
unsur identitas grup 𝐻.
Sifat 6.1
Jika 𝐺 dan 𝐻 dua buah grup serta pemetaan 𝜙: 𝐺 ⟶ 𝐻 suatu
homomorfisma, pernyataan berikut benar.
a. 𝜙(𝑒𝐺 ) = 𝑒𝐻
b. 𝜙(𝑔−1 ) = 𝜙 −1 (𝑔) untuk setiap 𝑔 ∈ 𝐺
c. 𝜙(𝑔𝑛 ) = 𝜙 𝑛 (𝑔) untuk setiap 𝑔 ∈ 𝐺, 𝑛 ∈ ℤ
d. 𝜙(𝐺), peta homomorfik 𝐺, subgrup 𝐻
80
(𝑐). Ambil 𝑥 ∈ 𝐺, 𝑛 ∈ ℤ. Untuk menunjukkan 𝜙(𝑥 𝑛 ) = 𝜙 𝑛 (𝑥), kita bagi
menjadi tiga kasus, yaitu 𝑛 < 0, 𝑛 = 0 dan 𝑛 > 0. Untuk kasus 𝑛 = 0, jelas
karena 𝜙(𝑥 0 ) = 𝜙(𝑒𝐺 ) = 𝑒𝐻 = 𝜙 0 (𝑥).
Selanjutnya, untuk kasus 𝑛 > 0 kita gunakan induksi matematika.
Untuk 𝑛 = 1 tidak ada yang perlu kita buktikan. Misalkan untuk 𝑛 > 1 berlaku
𝜙(𝑥 𝑛−1 ) = 𝜙 𝑛−1 (𝑥).
𝜙(𝑥 𝑛 ) = 𝜙(𝑥 𝑛−1 𝑥)
= 𝜙(𝑥 𝑛−1 )𝜙(𝑥)
= 𝜙 𝑛−1 (𝑥)𝜙(𝑥)
= 𝜙 𝑛 (𝑥)
Terakhir untuk kasus 𝑛 < 0 atau 𝑛 = −|𝑛|. Kita memperoleh
Definisi 6.2
Misalkan 𝐺 dan 𝐻 semuanya grup serta 𝜙: 𝐺 ⟶ 𝐻 suatu
homomorfisma. Himpunan semua unsur di 𝐺 yang dipetakan oleh 𝜙
ke identitas 𝐻 disebut inti homomorfisma, ditulis: 𝐼𝑛𝑡𝑖(𝜙).
𝐼𝑛𝑡𝑖(𝜙) = {𝑥 ∈ 𝐺 | 𝜙(𝑥) = 𝑒𝐻 }
Contoh 6.4. Pandang 𝜃: ℝ ⟶ ℝ+ dengan 𝜃(𝑥) = 𝑒 𝑥 seperti dalam Contoh 6.1.
Himpunan 𝐼𝑛𝑡𝑖(𝜃) = {0}. Hal ini terjadi disebabkan karena 𝑥 = 𝑙𝑛 𝑒 𝑥 = 𝑙𝑛 𝜃(𝑥) =
𝑙𝑛 1 = 0.
81
Sifat 6.2
Misalkan 𝐺 dan 𝐻 dua buah grup serta 𝜙: 𝐺 ⟶ 𝐻 suatu pemetaan.
Jika pemetaan 𝜙 homomorfisma maka 𝐼𝑛𝑡𝑖(𝜙) subgrup 𝐺.
Bukti. Berdasarkan Definisi 6.2, jelas 𝐼𝑛𝑡𝑖(𝜙) ⊆ 𝐺. Di sisi lain, menurut Sifat
6.1(a), 𝐼𝑛𝑡𝑖(𝜙) ≠ ∅. Sekarang ambil 𝑥, 𝑦 ∈ 𝐼𝑛𝑡𝑖(𝜙). Akibatnya, kita memperoleh
𝜙(𝑥) = 𝑒𝐻 dan 𝜙(𝑦) = 𝑒𝐻 . Perhatikan bahwa
𝜙(𝑥𝑦 −1 ) = 𝜙(𝑥)𝜙(𝑦 −1)
= 𝜙(𝑥)𝜙 −1 (𝑦)
= 𝑒𝐻 𝑒𝐻−1
= 𝑒𝐻
Dengan demikian 𝑥𝑦 −1 ∈ 𝐼𝑛𝑡𝑖(𝜙) dan ini melengkapi bukti kita, yakni
𝐼𝑛𝑡𝑖(𝜙) subgrup 𝐺.∎
Sifat 6.3
Misalkan 𝐺 dan 𝐻 dua buah grup serta 𝜙: 𝐺 ⟶ 𝐻 suatu pemetaan.
Jika pemetaan 𝜙 homomorfisma maka 𝐼𝑛𝑡𝑖(𝜙) subgrup normal 𝐺.
82
Berdasarkan sifat pemetaannya, homomorfisma grup terbagi menjadi
tiga bagian yaitu: monomorfisma, epimorfisma dan isomorfisma. Suatu
homomorfisma disebut monomorfisma jika ia bersifat satu-satu (injektif).
Suatu homomorfisma disebut epimorfisma jika ia bersifat pada (surjektif).
Terakhir, homomorfisma disebut isomorfisma jika ia bersifat satu-satu dan
pada (bijektif).
Contoh 6.5. Homomorfisma 𝜃 dalam Contoh 6.1 tidak lain monomorfisma.
Homomorfisma 𝜆 dalam Contoh 6.2 merupakan epimorfisma yang bukan
monomorfisma sementara homomorfisma 𝛾 dalam Contoh 6.3(4) merupakan
homomorfisma yang bukan monomorfisma maupun epimorfisma.
Contoh 6.6. Dalam Contoh 6.3(2) telah disebutkan pemetaan 𝛼 dari grup
(ℤ, +) ke grup (2ℤ, +) dengan 𝛼(𝑧) = 2𝑧 untuk setiap 𝑧 ∈ ℤ suatu homomorfisma.
Sekarang kita tunjukkan 𝛼 bijektif. Ambil 𝑦 ∈ 2ℤ. Untuk suatu 𝑧 ∈ ℤ, kita
memperoleh 𝑦 = 2𝑧 = 𝛼(𝑧) dan mengakibatkan 𝛼 bersifat surjektif. Sekarang
ambil 𝑣, 𝑤 ∈ ℤ dengan 𝛼(𝑣) = 𝛼(𝑤). Mengingat 2𝑣 = 2𝑤 tentu saja 𝑣 = 𝑤. Jadi
homomorfisma ini bersifat injektif. Mengingat homomorfisma 𝛼 bijektif, tentu
saja isomorfisma. ∎
Sifat 6.4
Misalkan 𝐺 dan 𝐻 dua buah grup serta 𝜙: 𝐺 ⟶ 𝐻 suatu
homomorfisma grup. Homomorfisma 𝜙 suatu monomorfisma jika dan
hanya jika 𝐼𝑛𝑡𝑖(𝜙) = {𝑒𝐺 }.
Definisi 6.3
Kedua grup 𝐺 dan 𝐻 disebut isomorfik, ditulis: 𝐺 ≅ 𝐻, jika ada
isomorfisma dari grup 𝐺 ke grup 𝐻.
83
Contoh 6.7. Perhatikan kembali Contoh 6.6. Dalam contoh ini, ℤ ≅ 2ℤ
mengingat ada isomorfisma 𝛼: ℤ ⟶ 2ℤ.
Contoh 6.8. Pandang grup ℤ3 = {0̅, 1̅, 2̅} dengan operasi jumlah modulo ⊕ dan
grup 〈(1 2 3)〉 = {(1), (1 2 3), (1 3 2)} dengan operasi komposisi ∘ seperti terlihat
pada tabel Cayley berikut.
⊕ 𝟎 ̅ 𝟏
̅ 𝟐̅ ∘ (𝟏) (𝟏 𝟐 𝟑) (𝟏 𝟑 𝟐)
𝟎̅ 0̅ 1̅ 2̅ (1) (1) (1 2 3) (1 3 2)
𝟏̅ 1̅ 2̅ 0̅ (1 2 3) (1 2 3) (1 3 2) (1)
̅ ̅
𝟐 2 0 1̅ ̅ (1 3 2) (1 3 2) (1) (1 2 3)
Tabel 6.1 Operasi ⊕ pada ℤ𝟑 dan Operasi ∘ pada 〈(1 2 3)〉
𝜂
0̅ (1)
1̅ (1 2 3)
2̅ (1 3 2)
ℤ3 〈(1 2 3)〉
Sifat 6.5
Misalkan 𝐺 dan 𝐻 dua buah grup. Jika 𝐺 ≅ 𝐻 maka pernyataan
berikut benar.
a. |𝐺| = |𝐻|
b. Jika 𝐺 memiliki subgrup berorde 𝑛, maka 𝐻 juga memilikinya
c. Jika 𝑜(𝑎) = 𝑛 maka 𝑜(𝜙(𝑎)) = 𝑛 untuk setiap 𝑎 ∈ 𝐺 dan 𝜙: 𝐺 ⟶ 𝐻
suatu isomorfisma.
84
Bukti. (a). Misalkan 𝐺 dan 𝐻 dua buah grup dengan 𝐺 ≅ 𝐻. Akibatnya,
ada pemetaan isomorfisma 𝜙: 𝐺 ⟶ 𝐻. Tentu saja pemetaan 𝜙 ini bersifat
bijektif. Akhirnya, menurut Definisi 1.10, |𝐺| = |𝐻| sesuai yang ingin kita
buktikan.
(b). Misalkan 𝐺 dan 𝐻 dua buah grup dengan 𝐺 ≅ 𝐻. Misalkan K subgrup
𝐺 dengan |𝐾| = 𝑛 dan pemetaan 𝜙: 𝐺 ⟶ 𝐻 isomorfisma. Ada dua alasan
penyebab 𝜙(𝐾) = {𝜙(𝑎) ∣ 𝑎 ∈ 𝐾} membentuk subgrup 𝐻. Pertama, 𝜙(𝐾) ≠ ∅.
Tentu ini disebabkan adanya 𝑒𝐻 = 𝜙(𝑒𝐾 ) ∈ 𝜙(𝐾) mengingat 𝜙 suatu
homomorfisma. Kedua, 𝜙(𝑎)𝜙 −1 (𝑏) = 𝜙(𝑎𝑏 −1 ) ∈ 𝜙(𝐾) karena 𝜙 homomorfisma
dan 𝑎𝑏 −1 ∈ 𝐾 untuk setiap 𝑎, 𝑏 ∈ 𝐾. Selanjutnya tinggal menunjukkan |𝜙(𝐾)| =
𝑛. Batasi domain 𝜙 menjadi 𝐾. Pembatasan ini mengakibatkan 𝜙: 𝐾 ⟶ ϕ(𝐾)
masih tetap isomorfisma. Dengan menggunakan hasil (𝑎), kita memperoleh
|𝜙(𝐾)| = |𝐾| = 𝑛. Jadi ada 𝜙(𝐾) subgrup 𝐻 berorde 𝑛.
Sifat 6.6
Misalkan 𝐺 dan 𝐻 dua buah grup yang isomorfik.
a. Jika 𝐺 komutatif maka 𝐻 komutatif.
b. Jika 𝐺 siklis maka 𝐻 siklis.
Bukti. (a). Misalkan 𝐺 dan 𝐻 dua buah grup yang isomorfik serta grup 𝐺
komutatif. Bentuk pemetaan isomorfisma 𝜙: 𝐺 ⟶ 𝐻. Ambil 𝑥, 𝑦 ∈ 𝐺 dengan 𝑥𝑦 =
𝑦𝑥. Mengingat pemetaan 𝜙 suatu homomorfisma, kita memperoleh
𝜙(𝑥)𝜙(𝑦) = 𝜙(𝑥𝑦) = 𝜙(𝑦𝑥) = 𝜙(𝑦)𝜙(𝑥)
untuk setiap 𝜙(𝑦), 𝜙(𝑥) ∈ 𝐻 atau dengan kata lain grup 𝐻 komutatif.
(b). Misalkan 𝐺 dan 𝐻 dua buah grup yang isomorfik serta grup 𝐺 siklis.
Bentuk pemetaan isomorfisma 𝜙: 𝐺 ⟶ 𝐻. Ambil 𝑥 ∈ 𝐺 sehingga 𝐺 = 〈𝑥〉 =
85
{𝑥 𝑛 | 𝑛 ∈ ℤ}. Berdasarkan Sifat 6.1, kita memperoleh 𝜙 𝑛 (𝑥) = 𝜙(𝑥 𝑛 ) sehingga
diperoleh hasil berikut ini.
𝜙(𝐺) = 𝜙(〈𝑥〉)
𝑛
= 𝜙({ 𝑥 | 𝑥 ∈ 𝐺, 𝑛 ∈ ℤ})
= {𝜙(𝑥 𝑛 ) | 𝑥 ∈ 𝐺, 𝑛 ∈ ℤ}
= {𝜙 𝑛 (𝑥) | 𝜙(𝑥) ∈ 𝐻, 𝑛 ∈ ℤ}
Sifat 6.7
Isomorfik suatu relasi ekuivalen.
Bukti. bentuk relasi ≅ pada himpunan koleksi semua grup sebagai berikut.
Untuk setiap grup 𝐺 dan 𝐻,
𝐺 ≅ 𝐻 jika dan hanya jika ada isomorfisma 𝜙: 𝐺 ⟶ 𝐻
Untuk menunjukkan relasi ≅ ekuivalen, akan kita tunjukkan relasi ini
memenuhi sifat refleksif, simetris dan transitif.
Misalkan 𝐺 grup. Bentuk pemetaan 𝜙: 𝐺 ⟶ 𝐺 dari grup 𝐺 terhadap dirinya
sendiri dengan 𝜙(𝑥) = 𝑥 untuk setiap 𝑥 ∈ 𝐺. Mudah untuk menunjukkan
pemetaan ini isomorfisma sehingga 𝐺 ≅ 𝐺 atau dengan kata lain ≅ bersifat
refleksif.
Misalkan 𝐻 grup dan 𝐺 ≅ 𝐻. Untuk itu, ada isomorfisma 𝜙: 𝐺 ⟶ 𝐻.
Karena 𝜙 bijektif, menurut Sifat 1.9, tentu saja ada 𝜙 −1 : 𝐻 ⟶ 𝐺 yang bijektif.
Ambil 𝑘, 𝑙 ∈ 𝐻 dengan 𝜙 −1 (𝑘) = 𝑥 dan 𝜙 −1 (𝑙) = 𝑦. Pengambilan ini
mengakibatkan 𝜙(𝑥) = 𝑘 dan 𝜙(𝑦) = 𝑙 sehingga kita memperoleh 𝜙(𝑥𝑦) =
𝜙(𝑥)𝜙(𝑦) = 𝑘𝑙. Mengingat pemetaan bijektif 𝜙 −1 memenuhi 𝜙 −1 (𝑘𝑙) = 𝑥𝑦 =
𝜙 −1 (𝑘)𝜙 −1 (𝑙), tentu saja 𝜙 −1 suatu isomorfisma. Ini artinya 𝐻 ≅ 𝐺. Jadi ≅
bersifat simetris.
Misalkan 𝐾 grup serta 𝐺 ≅ 𝐻 dan 𝐻 ≅ 𝐾. Pemisalan ini mengakibatkan
adanya 𝜙: 𝐺 ⟶ 𝐻 dan 𝜆: 𝐻 ⟶ 𝐾 suatu isomorfisma sehingga 𝜆 ∘ 𝜙: 𝐺 ⟶ 𝐾
bersifat bijektif berdasarkan Sifat 1.8. Ambil unsur 𝑥, 𝑦 ∈ 𝐺. Karena 𝜙 dan 𝜆
suatu homomorfisma, kita memperoleh hasil berikut ini.
(𝜆 ∘ 𝜙)(𝑥𝑦) = 𝜆(𝜙(𝑥𝑦))
= 𝜆(𝜙(𝑥)𝜙(𝑦))
= 𝜆(𝜙(𝑥))𝜆(𝜙(𝑦))
= (𝜆 ∘ 𝜙)(𝑥)(𝜆 ∘ 𝜙)(𝑦)
86
Akibatnya komposisi 𝜆 ∘ 𝜙 suatu isomorfisma dan menimbulkan 𝐺 ≅ 𝐾.
Dengan kata lain, relasi ≅ bersifat transitif. Uraian semua itu menunjukkan
relasi ≅ ekuivalen. ∎
87
𝜙(𝑎𝑏)(𝑥) = 𝜆𝑎𝑏 (𝑥)
= (𝑎𝑏)𝑥
= 𝑎(𝑏𝑥)
= 𝜆𝑎 (𝑏𝑥)
= 𝜆𝑎 (𝜆𝑏 (𝑥))
= (𝜆𝑎 ∘ 𝜆𝑏 )(𝑥)
= (𝜙(𝑎) ∘ 𝜙(𝑏))(𝑥)
𝜙(𝑎𝑏) = 𝜙(𝑎) ∘ 𝜙(𝑏)
Mengingat 𝜙(𝑎𝑏) = 𝜙(𝑎) ∘ 𝜙(𝑏), pemetaan 𝜙 suatu homomorfisma.
Terakhir akan ditunjukkan 𝜙 pemetaan bijektif. Ambil sembarang unsur
𝑔 ∈ 𝐼𝑛𝑡𝑖(𝐺). Ini artinya 𝜙(𝑔) = 𝑖𝐺 dengan 𝜙(𝑔)(𝑥) = 𝑖(𝑥) = 𝑥 untuk setiap 𝑥 ∈ 𝐺
dan 𝑖 ∈ 𝑆𝑖𝑚(𝐺) pemetaan identitas di 𝑆𝑖𝑚(𝐺). Di sisi lain, 𝜙(𝑔)(𝑥) = 𝜆𝑔 (𝑥) = 𝑔𝑥.
Untuk itu, 𝑔𝑥 = 𝑥 untuk setiap 𝑥 ∈ 𝐺 dan mengakibatkan 𝑔 = 𝑔(𝑥𝑥 −1 ) =
(𝑔𝑥)𝑥 −1 = 𝑥𝑥 −1 = 𝑒𝐺 sehingga diperoleh 𝐼𝑛𝑡𝑖(𝐺) = {𝑒𝐺 }. Dengan demikian,
homomorfisma 𝜙 injektif berdasarkan Sifat 6.4. Jadi, 𝜙(𝐺) ≅ 𝐺 karena 𝜙(𝐺)
subgrup 𝐺.
Pandang grup dengan orde tiga ℤ3 = {0̅, 1̅, 2̅} dengan operasi ⊕. Menurut
Sifat 6.8, grup ini isomorfik dengan suatu subgrup 𝑆3 (grup permutasi pada ℤ3 ).
Bentuk pemetaan homomorfisma
𝜙: ℤ3 ⟶ 𝑆3
𝑎̅ ↦ 𝜆𝑎̅
Dengan 𝜆𝑎̅ (𝑥̅ ) = 𝑎̅ ⊕ 𝑥̅ untuk sehingga memenuhi
𝜙(𝑎̅)(𝑥̅ ) = 𝜆𝑎̅ (𝑥̅ )
= 𝑎̅ ⊕ 𝑥̅
= ̅̅̅̅̅̅̅
𝑎+𝑥 untuk setiap 𝑥̅ ∈ ℤ3 .
Dengan adanya pemetaan 𝜙(𝑎̅), kita dapatkan semua permutasi anggota
grup permutasi pada ℤ3 yaitu sebagai berikut.
Untuk 𝑎̅ = 0̅ kita memperoleh
𝜙(0̅)(0̅) = ̅̅̅̅̅̅̅
0+0 = 0̅
𝜙(0̅)(1̅) = ̅̅̅̅̅̅̅
0+1 = 1̅
̅ ̅ ̅̅̅̅̅̅̅
𝜙(0)(2) = 0 + 2 = 2̅
̅ ̅ 2̅)
Sehingga permutasi 𝜙(0̅) = (0 1
0̅ 1̅ 2̅
Untuk 𝑎̅ = 1̅ kita memperoleh
𝜙(1̅)(0̅) = ̅̅̅̅̅̅̅
1+0 = 1̅
𝜙(1̅)(1̅) = ̅̅̅̅̅̅̅
1+1 = 2̅
𝜙(1̅)(2̅) = ̅̅̅̅̅̅̅
1+2 = 0̅
88
̅ ̅ 2̅)
Sehingga permutasi 𝜙(1̅) = (0 1
1̅ 2̅ 0̅
Untuk 𝑎̅ = 2̅ kita memperoleh
𝜙(2̅)(0̅) = ̅̅̅̅̅̅̅
2+0 = 2̅
𝜙(2̅)(1̅) = ̅̅̅̅̅̅̅
2+1 = 0̅
𝜙(2̅)(2̅) = ̅̅̅̅̅̅̅
2+2 = 1̅
̅ ̅ 2̅).
Sehingga permutasi 𝜙(2̅) = (0 1
2̅ 0̅ 1̅
Akhirnya kita memperoleh semua permutasi pada ℤ3 , yaitu:
̅ ̅ ̅ ̅ ̅ 2̅) dan 𝜙(2̅) = (0̅ 1̅ 2̅)
𝜙(0̅) = (0 1 2), 𝜙(1̅) = (0 1
̅0 1̅ 2̅ 1̅ 2̅ 0̅ 2̅ 0̅ 1̅
Namun bila diperhatikan, semua permutasi ini masih belum
menggunakan notasi baku di dalam penulisannya. Untuk itu, kita perlu
menuliskan ulang dengan mengganti tanda 1̅ dengan 1, 2̅ dengan 2 dan 0̅
dengan 3 sehingga penulisan semua permutasi menjadi baku, yaitu:
1 2 3 1 2 3 1 2 3
𝜙(0̅) = ( ), 𝜙(1̅) = ( ) dan 𝜙(2̅) = ( )
1 2 3 2 3 1 3 1 2
dan jika ditulis dalam notasi siklus, permutasi-permutasi ini secara berurutan
menjadi
𝜙(0̅) = (1), 𝜙(1̅) = (1 2 3) dan 𝜙(2̅) = (1 3 2).
Dengan demikian kita memperoleh
𝜙(ℤ3 ) = {𝜙(𝑎̅) ∣ 𝑎̅ ∈ ℤ3 }
= {𝜙(0̅), 𝜙(1̅), 𝜙(2̅)}
= {(1), (1 2 3), (1 3 2)}
= 〈(1 2 3)〉
Mengingat 𝜙: ℤ3 ⟶ 𝜙(ℤ3 ) isomorfisma dan 𝜙(ℤ3 ) = 〈(1 2 3)〉 ≤ 𝑆3, untuk itu
dapat kita simpulkan bahwa ℤ3 ≅ 𝜙(ℤ3 ) = 〈(1 2 3)〉 ≤ 𝑆3 . Dengan kata lain, grup
ℤ3 isomorfik dengan grup permutasi 〈(1 2 3)〉 ≤ 𝑆3. Perhatikan kembali Tabel
6.1 dan Gambar 6.1.
Latihan 6.2
89
4. Misalkan 𝐺 grup komutatif dengan orde 𝑛, 𝑘 bilangan asli dan 𝑓: 𝐺 ⟶ 𝐺
dengan 𝑓(𝑎) = 𝑎𝑘 . Tunjukkan bahwa jika faktor persekutuan 𝑘 dan 𝑛 ialah
1, pemetaan 𝑓 suatu isomorfisma.
5. Misalkan 𝐺 grup siklis
a. Jika 𝐺 tak hingga, maka grup 𝐺 isomorf dengan grup jumlah ℤ.
b. Jika 𝐺 hingga dengan orde 𝑛, maka grup 𝐺 isomorf dengan grup jumlah
ℤ𝑛 .
Sifat 6.9
Jika 𝐺 suatu grup dan 𝑁 subgrup normal 𝐺, maka pemetaan
𝜂: 𝐺 ⟶ 𝐺 ⁄𝑁
𝑎 ↦ 𝑁𝑎 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑠𝑒𝑡𝑖𝑎𝑝 𝑎 ∈ 𝐺
Bukti. Jelas 𝜂 suatu pemetaan yang terdefinisi dengan baik karena untuk
setiap 𝑎, 𝑏 ∈ 𝐺 dengan 𝑎 = 𝑏 mengakibatkan 𝜂(𝑎) = 𝑁𝑎 = 𝑁𝑏 = 𝜂(𝑏). Pemetaan
𝜂 juga dan bersifat surjektif, karena untuk setiap 𝑦 = 𝑁𝑎 ∈ 𝐺 ⁄𝑁 ada unsur 𝑎 ∈
𝐺 sehingga 𝑦 = 𝑁𝑎 = 𝜂(𝑎). Perhatikan bahwa 𝜂(𝑎𝑏) = 𝑁(𝑎𝑏) = 𝑁𝑎𝑁𝑏 = 𝜂(𝑎)𝜂(𝑏)
untuk setiap 𝑎, 𝑏 ∈ 𝐺. Jadi, pemetaan 𝜂 juga homomorfisma. Dengan demikian,
pemetaan 𝜂 suatu epimorfisma.
Sekarang ambil 𝑎 ∈ 𝐼𝑛𝑡𝑖(𝜂). Pengambilan ini mengakibatkan 𝜂(𝑎) = 𝑁.
Mengingat 𝑁𝑎 = 𝜂(𝑎) = 𝑁, kita memperoleh 𝑎 ∈ 𝑁. Jadi 𝐼𝑛𝑡𝑖(𝜂) ⊆ 𝑁 karena
untuk setiap 𝑎 ∈ 𝐼𝑛𝑡𝑖(𝜂) mengakibatkan 𝑎 ∈ 𝑁. Sebaliknya, jika 𝑎 ∈ 𝑁, 𝑁𝑎 = 𝑁
dan hal ini mengakibatkan 𝜂(𝑎) = 𝑁𝑎 = 𝑁 sehingga kita memperoleh 𝑎 ∈
𝐼𝑛𝑡𝑖(𝜂). Jadi 𝑁 ⊆ 𝐼𝑛𝑡𝑖(𝜂) karena untuk setiap 𝑎 ∈ 𝑁 mengakibatkan 𝑎 ∈ 𝐼𝑛𝑡𝑖(𝜂).
Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa 𝐼𝑛𝑡𝑖(𝜂) = 𝑁, karena 𝐼𝑛𝑡𝑖(𝜂) ⊆ 𝑁
dan 𝑁 ⊆ 𝐼𝑛𝑡𝑖(𝜂).∎
Contoh 6.9. Bentuk pemetaan 𝜂: 𝑆3 ⟶ 𝑆3 ⁄𝑁 dengan subgrup normal 𝑁 =
〈(1 2 3)〉 = {(1), (1 2 3), (1 3 2)} seperti terlihat pada gambar berikut ini.
90
(1)
(1 2) 𝑁
(1 3)
(2 3)
(1 2 3) 𝑁(1 2)
(1 3 2)
𝑆3 𝑆3 /𝑁
𝜙: 𝐺 ⁄𝐾 ⟶ 𝐻
𝐾𝑎 𝜃(𝑎) untuk setiap 𝐾𝑎 ∈ 𝐺 ⁄𝐾
91
𝜙((𝐾𝑎)(𝐾𝑏)) = 𝜙(𝐾(𝑎𝑏))
= 𝜃(𝑎𝑏)
= 𝜃(𝑎)𝜃(𝑏)
= 𝜙(𝐾𝑎)𝜙(𝐾𝑏)
Jadi jelas 𝜙 homomorfisma atau dengan kata lain 𝜙 mengawetkan
operasi.
Ambil unsur 𝑦 ∈ 𝐻. Pemetaan 𝜃 surjektif mengakibatkan ada unsur 𝑎 ∈
𝐺 yang memenuhi 𝑦 = 𝜃(𝑎). Perhatikan bahwa 𝜙(𝐾𝑎) = 𝜃(𝑎) untuk setiap 𝐾𝑎 ∈
𝐺 ⁄𝐾 . Jadi pemetaan 𝜙 juga bersifat surjektif karena untuk setiap 𝑦 ∈ 𝐻 ada
𝐾𝑎 ∈ 𝐺 ⁄𝐾 sehingga memenuhi 𝑦 = 𝜙(𝐾𝑎). Terakhir, ambil unsur 𝐾𝑎, 𝐾𝑏 ∈ 𝐺 ⁄𝐾
dengan 𝜙(𝐾𝑎) = 𝜙(𝐾𝑏). Di sisi lain, kita tahu bahwa 𝜙(𝐾𝑎) = 𝜃(𝑎) dan 𝜙(𝐾𝑏) =
𝜃(𝑏) sehingga kita memperoleh 𝜃(𝑎) = 𝜃(𝑏). Perhatikan bahwa unsur 𝑎𝑏 −1 ∈ 𝐾
karena 𝜃(𝑎𝑏 −1 ) = 𝜃(𝑎)𝜃 −1 (𝑏) = 𝑒𝐻 dan 𝐼𝑛𝑡𝑖(𝜃) = 𝐾. Berdasarkan Sifat 5.1(4),
kita memperoleh 𝐾𝑎 = 𝐾𝑏 karena 𝑎𝑏 −1 ∈ 𝐾. Jadi terbukti 𝜙 satu-satu dan
dengan demikian terbukti ada isomorfisma dari 𝐺 ⁄𝐾 ke 𝐻, ditulis: 𝐺 ⁄𝐾 ≅ 𝐻. ∎
Misalkan 𝐺 dan 𝐻 dua buah grup. Jika kita membentuk pemetaan
epimorfisma 𝜃: 𝐺 ⟶ 𝐻 dengan 𝐼𝑛𝑡𝑖(𝜃) = 𝐾 seperti pada Sifat 6.10, maka akan
ada pemetaan isomorfisma 𝜙: 𝐺 ⁄𝐾 ⟶ 𝐻 sehingga 𝜙 ∘ 𝜂 = 𝜃 dengan 𝜂: 𝐺 ⟶ 𝐺 ⁄𝐾
suatu epimorfisma alami seperti pada gambar berikut.
Contoh 6.10. Pandang grup ℤ12 dan grup ℤ2 . Ambil 𝑎 ∈ ℤ, 𝑎̅12 ∈ ℤ12 dan 𝑎̅2 ∈ ℤ2 .
Kemudian definisikan pemetaan 𝜃, yaitu:
𝜃: ℤ12 ⟶ ℤ2
𝑎̅12 ↦ 𝑎̅2 untuk setiap 𝑎̅12 ∈ ℤ12
Ambil 𝑎̅12 , 𝑏̅12 ∈ ℤ12 dengan 𝑎̅12 = 𝑏̅12. Karena 12 | (𝑎 − 𝑏), tentu saja
2 | (𝑎 − 𝑏) dan ini mengakibatkan 𝜃(𝑎̅12 ) = 𝑎̅2 = 𝑏̅2 = 𝜃(𝑏̅12 ). Dengan demikian,
jelas pemetaan 𝜃 terdefinisi dengan baik. Sekarang perhatikan kesamaan
berikut ini.
92
Jadi 𝜃 suatu homomorfisma karena 𝜃(𝑎̅12 ⊕ 𝑏̅12 ) = 𝜃(𝑎̅12 ) ⊕ 𝜃(𝑏̅12 )
untuk setiap 𝑎̅12 , 𝑏̅12 ∈ ℤ12 . Ambil 𝑦̅ ∈ ℤ2 untuk suatu 𝑦 ∈ ℤ pilih 𝑦̅ = ̅̅̅̅̅̅̅̅̅
2𝑘 + 𝑦 ∈ ℤ12
dengan 0 ≤ 𝑘 ≤ 5 sehingga 𝑦̅2 = 𝜃(𝑦̅12 ). Jadi 𝜃 bersifat surjektif.
𝐼𝑛𝑡𝑖(𝜃) = {0̅12 , 2̅12 , 4̅12 , 6̅12 , 8̅12 , ̅10
̅̅̅12 } = 〈2̅12 〉
0̅ 2̅ 4̅
6̅ 8̅ 10
̅̅̅̅ 0̅
1̅
1̅ 3̅ 5̅
7̅ 9̅ ̅11
̅̅̅
ℤ12 /〈2̅〉 ℤ2
Latihan 6.3
93
DAFTAR PUSTAKA
95
RIWAYAT
HIDUP PENULIS
97
Hanni Garminia Y. Kedua pengalaman tersebut diperoleh ketika menjadi
mahasiswa doktor. Setelah menjadi doktor, penulis masih aktif meneliti sebagai
dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Penelitian “Kajian Modul P-B𝑒́ zout dan
Idealisasinya untuk Buku Ajar Mata Kuliah Teori Gelanggang Berbasis Riset”
dengan anggaran DIPA IAIN Syekh Nurjati Cirebon, dilakukan tahun 2016.
Saat ini penulis masih sedang melakukan penelitian tentang idealisasi modul
P-B𝑒́ zout dengan anggaran dana DIPA IAIN Syekh Nurjati Cirebon tahun 2017.
Berikut ini adalah beberapa makalah yang sedang dan telah dibuat serta
kegiatan ilmiah yang telah dilakukan peneliti enam tahun terakhir.
Hasil karya penelitian dalam bentuk makalah jurnal
1. Misri, M.A., Garminia, H., and Irawati (2016): A Note on B𝑒́ zout Modules.
Far East J. Math. Sci, Vol.99, No.11.
2. Misri, M.A (2016): Kajian Modul P-B𝑒́ zout dan Idealisasinya untuk Buku
Ajar Mata Kuliah Teori Gelanggang Berbasis Riset. EduMa, Vol. 5, No.
2.
3. Misri, M.A., Garminia, H., and Irawati (2013): Generalization of B𝑒́ zout
Modules, Far East J. Math. Sci, Vol.72, No.1.
4. Misri, M.A., Garminia, H., and Irawati (2012): Cyclic and Multiplication
P-B𝑒́ zout Modules, International Journal of Algebra, Vol. 6, No. 23.
Hasil karya penelitian yang dipresentasikan di konferensi/ seminar
1. Misri, M.A., Garminia, H., and Irawati (2015): Suatu sifat dari Modul
B𝑒́ zout, Seminar Nasional dan Workshop Aljabar dan Pembelajarannya,
FMIPA UNRAM, Mataram.
2. Misri, M.A., Garminia, H., and Irawati (2014): Modul Siklik P-B𝑒́ zout,
Seminar Nasional dan Workshop Aljabar dan Pembelajarannya, FMIPA
Unhas, Makassar.
3. Misri, M.A., Garminia, H., and Irawati (2013): Modul P-B𝑒́ zout 2, Seminar
Nasional dan Workshop Aljabar dan Pembelajarannya, UM, Malang.
4. Irawati, Misri, M.A., and Garminia, H. (2012): P-B𝑒́ zout Modules,
Internasional Conference: Mathematical Science and Applications, Abu
Dhabi University, Abu Dhabi-UEA.
5. Misri, M.A., Garminia, H., and Irawati (2012): Modul P-B𝑒́ zout, KNM XVI,
Unpad, Jatinangor.
6. Irawati, Misri, M.A., and Garminia, H. (2011): Generalization of B𝑒́ zout
Modules, International Conference in Mathematics and Application (ICMA),
University of Economics and Law (UEL), HCMC-Vietnam.
98