Anda di halaman 1dari 7

TUGAS STABILITAS OBAT

PENGARUH REAKSI OKSIDASI TERHADAP STABILITAS OBAT

Oleh :
Putu Rika Veryanti
0608505055

JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
2009
BAB I
PENDAHULUAN

Stabilitas obat didefinisikan sebagai kemampuan suatu produk obat atau kosmetik
untuk bertahan dalam batas spesifikasi yang ditetapkan sepanjang periode penyimpanan dan
penggunaan untuk menjamin identitas, kekuatan, kualitas dan kemurnian produk tersebut.
Kestabilan suatu obat dipengaruhi oleh beberapa factor, diantaranya adalah pH, suhu,
kelembaban, cahaya, oksigen, pelarut, chelating agent, dll. Aspek-aspek
aspek stabilitas obat seperti
aspek fisika, kimia, mikrobiologi, dan biotransformasi perlu dipertimbangkan di dalam
merancang suatu sediaan farmasi guna mencegah
mence timbulnya efek-efek
efek yang tidak diinginkan
seperti : hilangnya zat aktif, berubahnya senyawa aktif menjadi tidak aktif atau menjadi
senyawa toksik, hilangnya keseragaman
keseragaman kandungan, menurunnya status mikrobiologis,
hilangnya elegansi produk dan patient acceptability,, hilangnya kekedapan kemasan atau
menurunnya kualitas label.
Secara kimia senyawa obat dapat mengalami beberapa reaksi, salah satunya adalah
reaksi oksidasi yang dapat mempengaruhi kestabilan obat tersebut. Dalam arti sempit, yang
dimaksud dengan oksidasi adalah pengambilan oksigen dari udara. Reaksi oksidasi
merupakan reaksi pelepasan electron oleh suatu zat dan menyebabkan bertambahnya bilangan
oksidasi
idasi dari zat tersebut. Reaksi ini berperan penting dalam penguraian obat.
Reaksi oksidasi : Mg → Mg2+ + 2e-
Gugus fungsi yang mudah mengalami reaksi oksidasi adalah fenol, kalekol, eter, thiol,
thioleter, asam karboksilat, aldehid, dan nitrit.
Terjadinya
erjadinya degradasi obat selalu disertai dengan kinetika kimia yang meliputi laju
reaksi dan mekanisme reaksinya. Laju reaksi menggambarkan seberapa cepat reaktan
terpakai dan produk terbentuk . Secara matemetis, laju reaksi dinyatakan sebagai perubahan
p
kuantitas reaktan atau produk dalam selang waktu tertentu.
Laju reaksi suatu sediaan obat ditentukan oleh orde reaksi. Orde Reaksi adalah jumlah
atom atau molekul yang terlibat dalam reaksi yang konsentrasinya menentukan laju reaksi.
Orde reaksi dapat ditentukan dengan berbagai cara, yaitu dengan mensubstitusikan
konsentrasi zat yang diperoleh ke dalam persamaan orde reaksi, bila diperoleh harga k yang
relative konstan berarti reaksi berjalan pada orde tersebut, atau bias juga dengan membuat
grafik hubungan antara konsentrasi yang diperoleh terhadap t. Jika sesuai dengan salah satu
grafik, maka reaksi berjalan pada orde tersebut. Grafik yang digunakan adalah :
- Grafik orde nol : c vs t
- Grafik orde-satu : log c vs t
- Grafik orde-dua : 1/c vs t
Untuk reaksi umum, hukumlaju reaksi yang biasa digunakan adalah: v = k [A]x[B]y.
Dimana v = laju reaksi; k = konstanta laju reaksi; x, y = orde reaksi terhadap A dan B dan
x+y = total orde reaksi
Reaksi oksidasi pada suatu obat dapat terjadi karena adanya suhu yang tinggi.
Pengaruh suhu terhadap laju reaksi oksidasi dinyatakan dengan persamaan Arrhenius :
k = A. e-∆E/RT
dimana: log k = log A – ∆E/2,303 . 1/RT; k = tetapan laju reaksi; ∆E = energi aktifasi; R =
tetapan gas; dan T = temperature
Laju reaksi akan naik 2-3 kali untuk setiap kenaikan suhu 10oC. Dengan menentukan
harga k pada berbagai suhu dan menggambarkan 1/T vs log k, diperoleh ∆E dari kemiringan
garis dan A dari intersep. Persamaan Arrhenius tidak berlaku bagi reaksi
eksplosif, reaksi enzimatis, reaksi peragian.
BAB II
PEMBAHASAN

Dalam dunia farmasi, reaksi oksidasi dapat mempengaruhi kestabilan suatu senyawa /
obat. Dalam jurnal Kinetics of The Reaction of Ascorbic Acid and Dichloroindophenol :
Stopped Flow Kinetics disebutkan bahwa asam skorbat (Vitamin C) yang banyak terdapat
pada makanan mudah teroksidasi dengan adanya udara (oksigen) sehingga kadarnya sulit
untuk dipertahankan dalam bahan makanan seperti buah-buahan. Oksidasi vitamin C
menghasilkan asam dehidroaskorbat yang tidak memiliki efek farmakologi. Reaksi oksidasi
asam askorbat :

Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk menentukan orde reaksi, laju reaksi, dan
factor pre-exponential dari reaksi asam askorbat dengan 2,6 dichloroindophenol (DCIP).
Metode yang digunakan adalah flow injection analysis (Stopped Flow Technique) dengan
alat spektrofotometri. Dengan metode ini, reagen dicampur dengan cepat dan dialirkan
dengan syring ke dalam kuvet spektrofotometri kemudian dihentikan secara tiba-tiba. Waktu
terjadinya reaksi antara DCIP dan asam askorbat dicatatu. Metode ini didesign untuk
mempelajari kinetika reaksi DCIP-asam askorbat.
Dari metode tersebut, turunnya kadar DCIP setelah bereaksi dengan asam askorbat
dihitung secara matematis dengan rumus :
ௗ ஽஼ூ௉
= k (Vit C)p (DCIP)n
ௗ௧

Dimana p adalah orde reaksi Vitamin C dan n adalah orde reaksi DCIP. Untuk menentukan
orde reaksi DCIP digunakan persamaan berikut :
஽஼ூ௉
Orde reaksi 1 = ln ( (஽஼ூ௉)଴ ) = -k eff. t

Dimana k eff t = k (Vit C)p , (DCIP)0 adalah konsentrasi awal DCIP, dan (DCIP) adalah
konsentrasi DCIP saat t.
ଵ ଵ
Orde 2 = - = k eff t
஽஼ூ௉ (஽஼ூ௉)଴

Pada suhu ruangan, reaksi yang terjadi mengikuti hukum Arhenius, yaitu :
K eff = A e –Ea/RT
Dimana Ea adalah energy aktivasi, dan A adalah factor exponensial.
ିா௔
Ln k eff = ln + ln A
ோ்

Dalam percobaan ini untuk memperoleh nilai k digunakan rums Lambert-Beer


(Absorbansi DCIP = a.b.(DCIP)t). Jadi, dari persamaan-persamaan diatas akan dapat
ditentukan energy akyivasi (Ea), orde reaksi, dan laju reaksi dari asam askorbat.
David Stepensky dkk (2003) dalam penelitiannya yang berjudul Long-Term Stability
Study of L-Adrenaline Injections: Kinetics of Sulfonation and Racemization Pathways of
Drug Degradation mempelajari kinetika dari degradasi L-adrenaline yang melalui berbagai
jalur (reaksi oksidsi, raceminasi, dan sulfonasi) dan memperkirakan stabilitas L-Adrenalin
dalam jangka waktu yang lama. L-Adrnaline mudah terurai melalui raceminasi, sulfonasi, dan
oksidasi menghasilkan product yang tidak aktif (tidak dapat memberikan efek farmakologi).
Reaksi oksidasi Adrenaline menghasilkan adrenochrome dan adrenolotin. Reaksi tersebut
adalah sebagai berikut :
Metode yang digunkan dalam penelitian ini adalah HPLC dan Spektrofotometri UV-
Vis untuk mendeteksi L-adrenalin sedangkan product penguraiannya diidentifikasi
menggunakan Mass Spektrometri (MS).
Kinetika dari Adrenaline berubah akibat penyimpanan. Model kinetika yang
digunakan menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara kinetika penguraian
produk yang diproduksi sebelum dan sesudah tahun 1997. Kadar L-Adrenaline menurun
dengan cepat saat penyimpanan sedangkan produk penguraiannya cenderung meningkat
melalui reaksi oksidasi, raceminasi ataupun sulfonasi pada 8-10 tahun pertama kemudian
menurun setelahnya.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa L-Adrenaline dalam larutan menjadi
tidak aktif bila disimpan dalam jangka waktu yang lama, menghasilkan senyawa yang tidak
atif melalui raceminasi, reaksi sulfonasi (akibat adanya bahan tambahan) maupun melalui
reaksi oksidasi.
Contoh lain senyawa yang mudah mengalami oksidasi adalah senyawa dengan gugus
katekol seperti isoprenalin. Isoprenalin adalah agen simptomatik yang bekerja pada reseptor
beta adrenergic yang dapat menstimulasi system saraf pusat. Isoprenalin sangat mudah
dioksidasi oleh paparan sinar matahari atau udara. Hasil oksidasinya berupa senyawa
berwarna cokelat. Reaksi oksidasi isoprenalin menjadi senyawa kuinon :

Karena mudahnya isophrenalin teroksidasi, maka kadar isoprenaline dalam sediaan


farmasi akan menurun selama penyimpanan sehingga kadarnya perlu ditetapkan untuk
memonitor stabilitas isoprenaline dalam sedian tersebut. Untuk menetapkan kadar isoprenalin
telah dilakukan penelitian menggunakan metode volumetric dengan tekanan yang berbeda
pada pH 0,5 dan Kalium Nitrat 0,1 M sebagai elektrolit. Dari penelitian tersebut diperoleh
hasil bahwa elektrode berbanding lurus dengan konsentrasi isoprenalin.
Reaksi oksidasi yang terjadi pada obat-obat yang mudah teroksidasi seperti Vitamin
C, ephineprine, isoprenalin atau senyawa obat yang terutama mengandung gugus fenol dan
katekol, dapat dicegah dengan cara mengganti udara dengan gas inert, melarutkan zat dengan
pH yang sesuai, menggunakan pelarut bebas logam, menambahkan antioksidan, menghindari
cahaya, penyimpanan dilakukan pada suhu rendah dan tertutup rapat.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
• Reaksi oksidasi dapat mempengaruhi kestabilan obat karena dapat
mendegradasi obat tersebut.
• Vitamin C cepat rusak karena mudah teroksidasi dengan adanya oksigen atau
paparan cahaya matahari menghasilkan asam dehidroaskorbat.
• Adrenalin jika disimpan dalam jangka waktu yang lama (8-10 tahun) akan
terdegradasi menghasilkan adrenochrome dan adrenolotin yang tidak aktif
melalui reaksi oksidasi.
• Kadar Isoprenalin dalam sediaan farmasi dapat menurun karena teroksidasi
menjadi senyawa quinon.
• Laju reaksi menggambarkan seberapa cepat reaktan terpakai dan produk
terbentuk dan ditentukan oleh orde reaksi.
• Usaha pencegahan terjadinya reaksi oksidasi dapat dilakukan dengan cara
mengganti udara dengan gas inert, melarutkan zat dengan pH yang sesuai,
menggunakan pelarut bebas logam, menambahkan antioksidan, menghindari
cahaya, penyimpanan dilakukan pada suhu rendah dan tertutup rapat.

Anda mungkin juga menyukai