Anda di halaman 1dari 117

PENUGASAN REMIDI BAHASA INDONESIA 3B KEBIDANAN

TUGAS BAHASA INDONESIA

DISUSUN OLEH:

AINUN ISLAMIAH

18.2.045

PROGRAM STUDI DIII KEBIDANAN

INSTITUT TEKNOLOGI, SAINS, DAN KESEHATAN RS Dr. SOEPRAOEN

KESDAM V BRAWIJAYA MALANG

TAHUN 2020
Bahasa Melayu mulai dipakai di kawasan Asia Tenggara sejak abad ke-7.
Bukti yang menyatakan hal tersebut ialah dengan ditemukannya prasasti di
Kedukan Bukit yang berangka 683 M (Palembang); prasasti Talang Tuwo yang
berangka 684 M (Palembang); berangka 688 M (Jambi). Prasasti-prasasti
tersebut bertuliskan huruf Pranagari berbahasa Melayu Kuno. Bahasa Melayu
Kuno tidak hanya dipakai pada zaman Sriwijaya. Hal tersebut dibuktikan dengan
ditemukannya prasasti di Gandasuli, Jawa Tengah, yang berangka 832 M dan di
Bogor, ditemukan prasasti yang berangka 942 M. Kedua prasasti tersebut ditulis
dengan menggunakan bahasa Melayu Kuno. Awal penamaan bahasa Indonesia
sebagai jati diri bangsa bermula dari peristiwa Sumpah Pemuda pada 38
Oktober. Pada Kongres Pemuda di Jakarta, dicanangkan lah penggunaan
bahasa Indonesia sebagai bahasa untuk negara Indonesia pasca-kemerdekaan.
Soekarno memilih bahasa Melayu dengan dialek Riau untuk dijadikan sebagai
bahasa Indonesia dan tidak memilih bahasanya sendiri, yaitu bahasa Jawa yang
sebenarnya merupakan bahasa mayoritas pada saat itu. Keputusan Kongres
Bahasa Indonesia II di Medan, antara lain menyatakan bahwa bahasa Indonesia
berasal dari bahasa Melayu. Bahasa Indonesia tumbuh dan berkembang dari
bahasa Melayu yang sejak zaman dahulu sudah digunakan sebagai bahasa
penghubung (lingua franca) bukan hanya di Nusantara, melainkan juga hampir di
seluruh Asia Tenggara. Bahasa Indonesia dinyatakan kedudukannya sebagai
bahasa negara pada 18 Agustus 1945 ketika Undang-Undang Dasar 1945
disahkan. Dalam Undang-Undang Dasar 1945, disebutkan bahwa bahasa
negara ialah bahasa Indonesia (Bab XV, Pasal 36). Selain berkedudukan
sebagai bahasa negara atau bahasa nasional, bahasa Indonesia juga
berkedudukan sebagai budaya dan bahasa persatuan. Sebagai budaya, bahasa
Indonesia memiliki ciri-ciri khusus yang membedakannya dengan budaya-budaya
daerah lainnya. Sementara itu, bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan
terlihat jelas dari fungsi bahasa Indonesia itu sendiri yang menjadi pemersatu
beraneka ragam suku bangsa yang ada di Indonesia. Bahasa Indonesia juga
dipakai sebagai alat untuk menyampaikan ilmu pengetahuan kepada berbagai
kalangan dan pada berbagai tingkat pendidikan. Komunikasi pada berbagai
kegiatan masyarakat telah memanfaatkan bahasa Indonesia, di samping bahasa
daerah, sebagai wahana dan peranti untuk membangun kesepahaman,
kesepakatan, dan persepsi yang memungkinkan terjadinya kelancaran
pembangunan masyarakat di berbagai bidang.
Bahasa Indonesia ragam ilmiah merupakan salah satu bahasa Indonesia
yang digunakan dalam menulis karya ilmiah. Bahasa Indonesia ragam ilmiah
memiliki karakteristik cendekia, lugas dan jelas, menghindari kalimat
fragmentaris, bertolak dari gagasan, formal dan objektif, ringkas dan padat, dan
konsisten. Bahasa Indonesia bersifat cendekia menunjukkan bahwa bahasa
Indonesia itu mampu digunakan secara tepat untuk mengungkapkan hasil
berpikir logis, yakni mampu membentuk pernyataan yang tepat dan seksama.
Ragam bahasa yang digunakan dalam suasana akrab (santai) biasanya
mempunyai kelainan jika dibandingkan dengan bahasa yang dipakai dalam
suasana resmi. Brenstein menamakan kedua ragam bahasa yang terakhir ini
masing-masing sebagai ragam ringkas (restricted code) dan ragam lengkap
(elaborate code). Menggunakan bahasa Indonesia ragam ilmiah dalam menulis
dan presentasi ilmiah berarti memanfaatkan potensi bahasa Indonesia untuk
memaparkan fakta, konsep, prinsip, teori, atau gabungan dari keempat hal
tersebut secara hasil penelitian secara tertulis dan lisan.

Kaidah makna dalam pemilihan kata mengacu kepada persyaratan


ketepatan pemilihan kata sebagai lambang objek pengertian atau konsep-konsep
yang meliputi berbagai aspek. Jadi, makna adalah hubungan antara bentuk
bahasa dan objek atau sesuatu yang diacunya. Ada dua jenis makna yang
terpenting di antaranya adalah makna denotatif atau makna leksikal dan makna
konotatif atau makna gramatikal. Pemakaian kata dan istilah dalam karya ilmiah
harus memperhatikan kebenaran dan kebaikannya. Pemakaian kata dan
pemakaian istilah yang dibentuk harus berdasarkan aturan pembentukan kata
dan istilah bahasa Indonesia. Untuk memperoleh kemahiran menulis, maka
seorang penulis perlu banyak membaca naskah/tulisan para penulis yang baik.
Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah
harus digunakan sebagai pedoman dalam penulisan karya ilmiah.

Kalimat adalah satuan bahasa terkecil yang dapat mengungkapkan


pikiran yang utuh. Pikiran yang utuh itu dapat diekspresikan dalam bentuk lisan
atau tulisan. Dari sudut kelengkapan pikiran, kalimat biasanya minimal terdiri atas
predikat dalam suatu pernyataan, selain ditentukan pula oleh situasi
pembicaraan. Batasan pengertian kalimat tersebut kiranya cukup sebagai
pegangan untuk memahami sebuah kalimat dalam bahasa Indonesia. Di dalam
penulisan laporan (tulisan ragam ilmiah) penulis dituntut untuk memiliki
kemampuan dalam penyusunan kalimat baku dan kalimat efektif. Kebakuan
kalimat ditandai oleh adanya penerapan kaidah atau norma kalimat bahasa
Indonesia baku. Keefektifan kalimat ditandai oleh ketepatan kalimat untuk
mewakili gagasan penulis dan sanggup menimbulkan gagasan yang sama tepat
dalam pikiran pembaca. Penulis laporan yang baik dituntut agar menguasai jenis
kalimat dan cara membentuk kalimat efektif. Pembentukan kalimat efektif
mensyaratkan penguasaan terhadap tata bahasa Indonesia, kreativitas dalam
penggunaan kata, dan daya nalar yang baik. Penguasaan atas tata bahasa
Indonesia akan menghindarkan penulis dari ketidakcermatan dalam menilai
kelengkapan gagasan di dalam kalimat dan kepaduan antarunsur pembentuk
kalimat. Kreativitas dalam penggunaan kata akan mempermudah penulis dalam
pembuatan variasi kalimat dan penghematan kata. Kemudian, daya nalar yang
baik akan memungkinkan penulis dalam pembuatan kalimat yang masuk akal.

Pernalaran adalah suatu proses berpikir manusia untuk menghubung-


hubungkan data atau fakta yang ada sehingga sampai pada suatu simpulan.
Data atau fakta yang akan dinakar itu boleh benar boleh juga tidak. Jika data
yang disampaikan salah, pernalaran yang dihasilkan tentu saja tidak benar juga.
Akan tetapi, bila data yang disampaikan benar, tetapi cara penyimpulannya
(pernalaran) tidak benar, akan dihasilkan simpulan yang tidak absah. Jadi,
simpulan yang dihasilkan lewat pernalaran itu haruslah benar dan absah. Untuk
dapat menghasilkan simulan yang benar dan logis penulis harus belajar proses
pernalaran.

Bahasa, dilihat dari sarananya, dapat dibedakan menjadi dua, yaitu


bahasa lisan dan bahasa tulis. Bahasa lisan adalah bahasa yang diucapkan atau
dituturkan, yakni berupa pidato atau percakapan. Selanjutnya, bahasa tulis
adalah bahasa yang dituliskan atau dicetak, yaitu berupa suatu karangan.
Berkaitan dengan hal itu, dalam bahasa lisan paragraf merupakan bagian dari
suatu tuturan dan dalam bahasa tulis paragraf merupakan bagian dari suatu
karangan. Dalam hal bentuk paragraf pada umumnya terdiri atas sejumlah
kalimat. Sejumlah kalimat itu kait – mengait, sehingga membentuk satu satuan.
Lebih lanjut, dalam hal makna paragraf itu merupakan satuan informasi yang
memiliki ide pokok sebagai pengendalian. Jadi, dengan singkat dapat dinyatakan
bahwa paragraf adalah bagian dari suatu karangan atau tuturan yang terdiri atas
sejumlah kalimat yang mengungkapkan satuan informasi dengan ide pokok
sebagai pengendalian.

Macam-macam tulisan itu sangat mempengaruhi sistematika dan


pemakaian bahasanya. Pada umunya, tulisan dikelompokkan atas tulisan
(nonfiksi) dan (fiksi). Dalam kaitan dengan teknik penyajian, tulisan nonfiksi
dibedakan atas tulisan ilmiah, tulisan ilmiah populer, dan tulisan populer.
Karangan ilmiah merupakan salah satu bentuk karangan nonfiksi. Untuk itu,
haruslah disusun dengan mengikuti kriteria penyusunan karangan yang baku.
Paling tidak ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan karangan
ilmiah. Pertama, topik yang dibahas adalah faktual dan kedua cara penyajian
yang serius/formal. Untuk itu, dalam penyajiannya haruslah memperhatikan
kriteria logis, sistematis, dan lugas.
RANGKUMAN BUKU BAHASA INDONESIA UNTUK PERGURUAN TINGGI

SUBTANSI KAJIAN DAN PENERAPANNYA

OLEH:
LELYANA MOLEYANDA (182063)

DOSEN PEMBIMBING:
M.MASYUR BAICUNI, M.Pd

PROGRAM D3 KEBIDANAN
ITSK RS dr. SOEPRAOEN KESDAM V/BRW MALANG
TA 2020/2021
BAB I
KEDUDUKAN BAHASA INDONESIA

Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu dan termasuk ke


dalam rumpun Bahasa Austronesia. Bahasa Indonesia telat digunakan
sebagai lingua franca di Nusantara sejak abad awal penanggalan modern,
paling tidak dalam bentuk informalnya. Bahasa melayu mulai digunakan di
kawasan Asia Tenggara sejak abad ke -7. Bukti yang menyatakan hal
tersebut ialah dengan ditemukan prasasti di Kedukan bukit yang brangka 683
M (Palembang), prasasti Talang Tuwo yang berangka 684 M (Palembang),
prasasti kota kapur yang berangka 686 M (Bangka barat), dan Karang Brahi
yang berangka 688 M (Jambi). Prasasti-prasasti tersebut bertuliskan huruf
pranagari berbahasa melayu kuno. Bahasa melayu kuno tidak hanya dipakai
pada zaman Sriwijaya. Hal tersebut dibuktikan dengan ditemukannya
prasasti di gandasuli, Jawa Tengah, yang berangka 832 M dan di Bogor,
di8temukan prasasti yang berangka 942 M. Kedua prasasti tersebut juga
ditulis dengan menggunakan bahasa Melayu Kuno
Awal mula penamaan Bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa
bermula dai peristiwa Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Pada
kongres pemuda kedua di Jakarta, dicanangkanlah penggunaan bahasa
Indonesia sebagai bahasa untuk Negara Indonesia pasca kemerdekaan.
Soekarno memilih bahasa melayu dengan dialek Riau untuk dijadikan
sebagai bahasa Indonesia dan tidak memilih bahasa sendiri, yaitu bahasa
Jawa yang sebenarnya merupakan bahasa mayoritas pada saat itu.
Keputusan Kongres Bahas Indonesia II di Medan, antara lain
menyatakan bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu Bahasa
Indonesia Tumbuh dan Berkembang dari bahasa Melayu yag sejak zaman
dahuku sudah digunakan sebagai bahasa penghubung (lingua franca) bukan
hanya di Nusantar, melainkan juga hampir di seluruh Asia Tenggara.
Baha Indonesia dinyatakan Kedudukannya sebagai bahasa negara
pada 18 Agustus 1945 ketika Undang-undang Dasar 1945 disahkan. Dalam
Undang-Undang Dasar 1945, disebutkan bahwa bahasa negara ialah bahasa
Indonesia (Bab XV, Pasal 36).
Selain Berkedudukan sebagai bahasa negara atau bahasa nasional.
Bahasa Indonesia juga bekedudukan sebagai budaya dan bahasa persatuan.
Sebagai budaya, bahasa Indonesia memiliki ciri-ciri khusus yang
membedakannya dengan budaya-budaya saerah lainnya sementara itu,
bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan terlihat jelas dari fungsi bahasa
Indonesia itu sendiri yang menjadi pemersatu beraneka ragam suku bangsa
yang ada di Indonesia.
Bahasa Indonesia jugs dipakai sebagai alat untuk menyampakan ilmu
pengetahuan kepada berbagai kalangan dan pada berbagai tingkat
pendidikan
Komunikasi pada berbagai kegiatan masyarakat telah memanfaatkan
bahasa Iindonesia, di samping bahaa daera, sebagai wahana dan peranti
untuk membangun kesepahaman, kesepakatan, dan persepsi yang
memungkinkan terjadinya kelancaran pembangunan masyarakat di berbagai
bidang.
BAB II
BERBICARA UNTUK KEPERLUAN AKADEMIK

Berbcara dalam kegiatan akademik atau ilmiah menggunakan bahasa


Indonesia yang baik dan benar serta memerlukan persiapan serta
keterampilan. Kemampuan ini tidaklah dicapai begitu saja, tetapi memerlukan
suatu latihan dan bimbingan yang intensif. Pada hakikatnya, kegiatan ilmiah
ialah kegiatan yang didasarkan pada hal-hal yang bersifat ilmiah atau ilmu
pengetahuan.
Berbicara dalam kegiatan ilmiah harus bersifat jelas dan tepat yang
memungkinkan proses penyampaian pesan bersifat reproduktif dan
impersonal. Reproduktif, artinya penerima pesan harus menerima pesan
yang benar-benar sma dengan yang dimaksud oleh pembicara. Dalam
komunikasi ilmiah, tidak boleh ada penafsiran lain, selain isi yang dikandung
pesan tersebut, impersonal, artinya kata ganti perorangan harus dihilangkan
dan diganti dengan kata ganti yang universal, misalnya peneliti atau ilmuwan.
Persiapan-persiapan penyajian uraian lisan dapat dilihat melalui
langkah-langkah berikut:
1. Meneliti masalah, meliputi:
a. Menentukan maksud
b. Menganalisis pendengaran dan situasi, dan
c. Memilih dan menyampaikan topic
2. Menyusun uraian, meliputi:
a. Mengumpulkan bahan
b. Membuat kerangka uraian
c. Menguraikan secara mendetail
3. Mengadakn latihan, meliputi berlatih dengan suara nyaring
Aspek-aspek penggunaan bahasa Indonesia ketika berbicara dalam
situasi
formal:
1. Menggunakan bahasa baku: bahasa yang dignakan harus sesuai dengan
bahasa yang umum dipakai masyarakat (audensi)
2. Menggunakanbahasa yang sesuai dengan tingkat pendidikan dan
kemampuan audensi, seorangoembicara harus dapat membedakan siapa
teman bicara atau audensi sehingga bahasa yang digunakan pun dapat
disesuakan agar dapat dipahami
3. Menggunakan bahasa yang etidak menyinggung prasaan pendengaran
atau audensi
4. Menggunakan bahasa yang efektif
5. Menggunakan istilah yang relevan dengan topic yang dibahas
6. Memerhatikan informasi atau pesan yang benar dan bermanfaat bagi
pendengar atau audensi
BAB III
MEMBACA UNTUK MENULIS

Membaca merupakan kegiatan yang sangat kompleks yang


melibatkan beberapa keahlian. Keahlian yang paling mendukung untuk
menjadi pembaca yang baik ialah memiliki ketajaman pikiran dan
pengetahuan kebahasaan (dalam hal in, penguasaan semantic dan
kemampuan menginterprestasikan bahasa bacaan yang sesuai dengan
pikiran penulis). Menurut Anderson (1972), membaca ialah suatu proses
untuk memahami yang tersirat dalam yang tersurat, melihat pikiran yang
terkandung di dalam kata-kata yang tertulis. Menurut finochiro dan
bonomo (1973:119) mengatakan bahwa membaca ialah memetik seta
memahami arti atau makna yang terkandung di dalam bahan tertulis.
Membaca ialah proses memahami pesan tertulis yang menggunakan
bahasa tertentu yang disampaikan oleh penulis kepada pembacanya.
Pandangan-pandangan terhadap membaca, yaitu:
1. Membaca sebagai proses pengenalan symbol bunyi yang tercetak
2. Membaca sebagai proes pengenalan symbol tulis yang tercetak, yang
diikuti pemahaman makna tersuratnya
3. Membaca tidak hanya merupakan pemahaman dan pengenalan
symbol tercetak saja, tetapi sebagai proses pengolahan bahan tulis
untuk mendapatkan pemahaman dan manfat yang menyeluruh
(Olson,1982:11)

Tujuan membaca menurut Aderson (1972:214). Antara lain:


1. Membaca untuk menemukan atau mengetahui temuan-temuan yang
telah dilakukan oleh sang tokoh, membaca seperti ini disebut
membaca untuk memperoleh perincian atau fakta-fakta (reading for
details or facts)
2. Membaca untuk mengetahui mengapa suatu hal merupakan topic
yang baik dan menarik, masalah yang terdapat didalam cerita, apa
yang dipelajari atau dialami sang tokoh, dan merangkum hal-hal yang
dilakukan oleh sang tokoh untuk mencapai tujuannya (reading for
main ideas)
3. Membaca untuk menemukan atau mengetahui apa yang terjadi pada
setiap bagian cerita, apa yang terjadi mula-mula, kedua, dan ketiga
untuk mengetahui urutan atau susunan organisasi cerita (reading for
sequence or organization)
4. Membaca untuk menemukan serta mengetahui serta mengetahui
mengapa tokoh merasakan seperti yang digambarkan, apa yang
hendak doperlihatkan oleh pengarangan kepada para pembaca, dan
kualitas-kualitas tokoh yang membuat mereka berhasil atau gagal ini
disebut membaca untuk menyimpulkan atau inferensi(reading for
inference)
5. Membaca untuk menemukan serta mengetahui apa yang tidak biasa
atau tidak wajar mengenai seorang tokoh, apa yang lucu dalam cerita,
atau apakah cerita itu benar atau tidak benar. Ini disebut membaca
untuk mengelompokan atau membaca untuk mengklasifikasi (reading
to classify)
6. Membaca untuk menemukan apakah tokoh berhasil atau hidup
dengan ukuran-ukuran tertentu, apakah kita ingin berbuat seperti
yang diperbuat ata bekerja seperti cara sang tokoh bekerja dalam
cerita itu. Ini disebut membaca untuk menilai atau membaca untuk
mengevaluasi (reading to evaluate)
7. Membaca untuk menemukan bagaimana tokoh berubah,bagaimana
hidupnya berbeda dari kehidupan yang kenal, bagaimaa dua cerita
mempunyai persamaan, bagaimana sang tokoh menyerupai
pembaca. Ini disebut membaca untuk membandingkan atau
mempertentangkan (reading to compere or to contrast).

Pemahaman bacaan ialah kegiatan memindahkan pemikiran penulis


ke dala pikiran pembaca. Menurut Fry(1963:24), kegiatan ini memerlukan
suasana tenang untuk mencapai tingkat pemahaman yang tinggi. Semi
(1978:41) mengatakan bahwa untuk memahami ide ide dan informasi
yang ada dalam bacaan, yang paling ditekankan ialah aktivitas
mental(pikiran).

Beberapa keunggulan internet adalah:


1. Konektivitas dan jangkauan global yang tidak mengenai ruang,
waktu dan biokrasi.
2. Akses 24 jam. Akses internet tidak dibatasi dengan waktu
karena dunia maya tidak pernah terlelap tidur. Perbedaan
zona waktu dan ruang tidak dikenal dalam menjelajahi
internet.
3. Kecepatan untuk mendapatkan informasi dan berkomunikasi
melalui internet. Pencarian informasi melalui internet jauh lebih
cepat dibandingkan dengan pencarian secara manual.
Kecepatan pencaraian informasi melalui internet dewasa ini
sangat beragan, bergantung pda jenis perangkat (hardware)
yang digunakan dan bandwidth yang dipilih pengguna.
4. Interaktivitas dan fleksibelitas komunikasi dapat anda lakukan
secara interaktif(two ways communication), misalnya dengan
fasilitas chatting. Di samping itu, anda dapat mengikuti
perkembangan informasi teranyar dalam waktu cepat

Beberapa kelemahan internet ialah:


1. Ancaman virus yang selalu berkembang seiring dengan
perkembangan teknologi computer maupun perkembangan
internet itu sendiri, berbagai virus telah berkembang dan
penyebarannya pun bervariativ
2. Ancaman peretas (hacker) yang mengincar data-data pribadi
anda untuk kemudian disalahgunakan. Salah satunya dengan
cara pishing
3. Pengguna internet harus memerhatikan reliablitas dan validitas
informasi yang ditemukan di internet. Dari sekian banyak
informasi dengan beredar di internet, belum tentu semuanya
benar dan dapat dipercaya.
BAB IV
MENULIS

Menulis merupakan suatu kegiatan untuk menciptakan suatu catatan atau


informasi pada suatu media dengan menggunakan aksara. Menulis baisa dilakukan
di atas kertas dengan menggunakan alat-alat, seperti pena atau penulis. Pada
awalnya, menulis dilakukan dengan menggunakan gambar, contohnya tulisan
hieroglif(hieroglyph) pada zaman mesir kuno.

Makalah adalah karya tulis yang memuat pemikiran tentang suatu masalah
atau topic tertentu yang ditulis secara sistematis dan runtut dengan disertai analisis
yang logis dan objektif. Makalah ditulis untuk memenuhi tugas terstruktur yang
diberikan oleh pengajar atau ditulis atas inisiatif sendiri untuk disajikan dalam forum
ilmiah.

Penentuan pokok masalah yang akan dibahas dalam makalah harus


berhubungan dengan disiplin ilmu yang akan dikembangkan menjadi profesi
mahasiswa yang bersangkutan. Pokok masalah dapat berupa hal-hal yang
berhubungan dengan bidang studi yang merupakan mata kuliah komponen jurusan
dan falkutas. Setelah pokok masalah ditentukan, kerangka makalah/garis besar isi
makalah dibuat. Kerangka makalah/garis besar isi makalah belum tentu persis sama
dengan daftar isi. Kerangka makalah berfungsi agar penulisan dapat sistematis dan
runtut.

Topic dapat dikembangka dan bermanfaat untuk dijadikan makalah.


Misalnya, ali-ali mengatakan topic:”upacara pagi setia senin,”akan lebih bermanfaat
jika penulisan topic ”latihan kepemimpinan disekolah,” alasannya upacar pagi
dianggap disekolah, latihan kepemimpinan disekolah dianggap jarang dan memilih
manfaat yang cukup banyak.

Topic harus menarik perhatian pembaca dan menarik minat penulis.


Tentunya, masalah tersebut disesuaikan dengan konteks permasalahan yang
berkembang dan kemampuan penulis. Missalnya, makalah berkaitan dengan 28
oktober, apakah topic yang diangkat terkait dengan ”bahasa indnesia” atau “perana
pemuda”.

Topik yang dipilih harus dikuasai dan tidak terlalu dianggap asing. Misalnya,
siswa program IPS jarang memilih atau mengakat topic tentang IPA.

 Makalah memiliki ciri:


1. Logis, artinya keterangan, uraian, pandangan, dan pendapat dapat dikaji,
dibuktikan, dan diterima secara rasional.
2. Objektif, artinya mengemukakan keterangan dan penjelasan dan apa
adanya.
3. Sistematis, artinya keterangan apa yang disampaikan disusun secara runtut
da berkesinambungan
4. Jelas, artinya keterangan, pendapatan, dan pandangan yang dikemukakan
jelas dan tidak membingunkan.
5. Kebenaran dapat diuji, artinya pernyataan, pandangan yang dikemukakan
jelas dan tidak membingungkan
6. Kebenaran dapat diuji, artinya pernyataan, pandanganm serta keterangan
yang dipapaprkan dapat diuji berdasarkanpernyataan yang sesungguhnya

Menulis ikhtisar, synopsis, dan ringkasan dari senuah buku atau karangan
yang panjang dapat diumpamakan sebagai memangkas pohon sehingga yang
tertinggal hanya batang, cabang-cabang, dan ranting-ranting yang terpenting
beserta daun-daun yang diperlukan sehingga tampak bahwa esensi pohon masih
dipertahankan. Walaupun bentuknya ringkas, tetapi pikiran pengaranng dan
pendekatan yang asli tetap dipertahankan. Tujuan dari pembuatan ikhtisar,
sipnopsis, dan ringkasan adalah sebagai suatu usaha meningkatkan pembaca
dalam membaca buku.

Artikel jurnal adalah karangan ilmiah dalam bidang ilmu tertentu yang
ditertibkan dalam sebuah jurnal yang khusus menerbitkan bidang kajian ilmu
tersebut. Artikel jurnal diklasifikasi ke dalam 2 kategori. Pertama, artikel ilmiah
yang bertujuan untuk membuka forum diskusi, argumentasi, analisis dan sintesi
jumlah pendapat dan temuan para ahli dan pemerhati kajian ilmu tertentu yang
sama-sama ditekuninya. Jenis artikel ini mengajikan kajian hasil analisis suatu
topic tanpa mengaitkannya dengan hasil penelitian. Kesimpulan atau penutup
terkait dengan ketajaman dan kedalaman analisis kritis penulisnya. Kedua, artikel
yang berisi kajian hasil penelitian. Kesimpulan artukel jenis kedua ini terkait
dengan variabel bebas dan variabel yang terikat yang diteliti.

Skripsi adalah karya tulis akademik hasil studi atau penelitian yang ditulis dan
disusun secara sistematis berdasarkan metode ilmia, baik melalui penelitian
induktif maupun deduktif yang dilakukan mahasiswa, dibawah pengawasan dosen
pembimbing. Sekripsi juga merupakan salah satu syarat akademik yang harus
dipenuhi untuk memperoleh gelar sastra 1 (S-1). Skripsi disusun berdasarkan
kerangka pemikiran yang seluruhnya sama dan mengacu kepada teori orang lain
yang telah ditemukan sebelumnya. Penelulis hanya mengacu dan menggunakan
teori-teori tersebut dalam bentuk kerangka pemikiran yang sama untuk menjawab
masalh penelitian atau mengujih hipotesisnya. Data yang dikumpulkanpun
analisis dengan menggunkan metode yang sederhana (Deskriptif, linear,
univariate,bifariate).

Tesis adalah karya tulis akademik hasil studi yang dilakukan secara mandiri
dan ditulis serta disusun secarasistematis berdasarkan metode ilmiah, baik
melalu penelitian induktif maupun deduktif yang dilakukan oleh mahasiswa, di
bawah pengawasan dosen pembimbing. Tesis merupakan salah satu syarat
akademik yang harus dipenuhi untuk mendapatkan gelar megister atau strata (S-
2). Tesis ini dibuat berdasarkan hasil penelitian dengan cakupan penelitian yang
lebih luas (bila dibandingkan dengan skripsi). Tesis disusun berdasarkan
kerangka pemikiran yang telah dikembangan dan mengacu kepada teori orang
lain yang telah ditemukan sebelumnya. Data yang dikumpulkan kemudian
dianalisis dengan menggunakan metode yang medium (bivariate, multivariate)
Disertasi adalah karya tulis akademik hasil studi atau penelitian yang lebih
mendalam yang dilakukan secara mandiri serta resensi baru bagi sumbangan
baru bagi perkembangan ilmu dan pengetahuan, atau penemuan jawaban baru
bagi masalah-masalah yang sementara telah diketahui jawabanya atau
mengajukan pertanyaan-pertanyaan baru terhadap hal-hal yang dipandang telah
mapan dibidang ilmu, pengetahuan teknologi, dan seniyang dilakukan oleh calon
doctor (S-3) dibawah pengawasan promotornya. Disertasi disusun berdasarkan
kerangka pemikiran baru yang mengacu kepada teori-teori orang lain yang telah
ditemukan sebelumnya, tetapi kerangka pemikiran tersebut diformulasikan sendiri
oelh penulisnya (aspek orisinalitas). Data yang telah dikumpulkan akan dianalisis
dengan menggunakan metode yang lebih kompleks (multivariate).

Karangan ilmu popular ditulis untuk mengkomunikasikan sejarah, penemuan,


perkembangan baru, apilkasi, atau juga isu kontroversial seputar bidang IPTEK.
Kepada masyarakat awam agar mereka dapat mengikuti perkembangan IPTEK.
Karangan ilmia popular ditukis dengan gaya informal, anekdot, personal, serta
menghibur. Karangan ilmiah popular ditulis dengan kalimat-kalimat singkat dan
sederhana serta mudah dibaca.karangan ilmiah popular seringkali dilengkapi
dengan berbagi ilustrasi, gambar, dan foto.
BAB V
PENULISAN KARYA ILMIAH

Karya ilmiah merupakan karya tulis yang isinya berusaha memaparkan suatu
pembahasan secara ilmiah yang dilakukan oleh seorang penulis atau peneliti untuk
memberitahukan sesuatu secara logis dan sistematis kepada pembaca. Karya lmiah
biasanya ditulis untuk mencari jawaban mengenai suatu hal dan untuk membuktikab
kebenaran suatu hal yang terdapat di dalam objek tulisan. Adapun ciri-ciri karya
ilmiah sebagai berikut:
a. Logis: segala keterangan yang disajikan dapat diterima oleh akal sehat.
b. Sistematis: segala hal yang dikemukakan disusun dalam urutan yang
memperlihatkan adanya kesinambungan.
c. Objektif: segala keterangan yang dikemukakan adalah apa adanya
d. Lengkap: segi-segi masalah yang diungkapkan dikupas selengkap-
lengkapnya
e. Lugas: pembicaraan langsung kepada hal pokok.
f. Seksama: berusaha menghindarkan diri dari segala kesalahan betapa pun
kecilnya
g. Jelas: segala keterangan yang ditemukan dapat mengungkapkan maksud
secara jernih
h. Empris: kebenarannya dapat diuji
i. Terbuka: konsep atau pandangan keilmuwan dapat mengungkapkan maksud
secara jernih
j. Berlaku umum: semua simpulnya berlaku bagi semua populasinya
k. Penyajian karya ilmiah menggunakan ragam bahasa ilmiah dan bahasa tulis
yang lazim
l. Tuntas: masalah dikupas secara mendalam dan selengkap-lengkapnya
Persyaratan bagi sebuah tulisan untuk dianggap sebagai karya ilmiah adalah
sebagai berikut (Brotowidjojo, 1988:15-16):
a. Karya ilmiah menyajikan fakta objektif secara sistematis atau runut
b. Aplikasi hokum alam pada situasi spesifik
c. Karya ilmiah disusun secara cermat, tepat, benar, jujur, dan tidak bersifat
terkaan. Dalam pengertian “jujur”, terkandung sikap etis penulisan ilmiah,
yakni penyebutan rujukan dan kutipan yang jelas.
d. Karya ilmiah disusun secara sistematis: setiap langkah direncanakan secara
terkendali, terkonsep, dan sesuai prosedur.
e. Karya ilmiah menyajikan rangkaian sebab akibat dengan pemahaman dan
alasan induktif yang mendorong pembaca untuk menarik kesimpulan
f. Karya ilmiah mengandung pandangan yang disertai dukungan dan
pembuktian berdasarkan suatu hipotesis
g. Karya ilmiah ditulis secara tulus. Hal ini berarti karya ilmiah hanya
mengandung kebenaran factual sehingga tidak akan memancing pertayaan
yang bernada ragu. Penulis karya ilmiah tidak boleh memanipulasi fakta,
tidak bersifat ambisius, dan berprasangka. Penyajiaannya tidak boleh bersifat
emotif
h. Karya ilmiah pada dasarbya bersifat ekspositoris. Jika pada akhirnya timbul
kesan argumentasi dan persuasi, maka hal itu ditimbulkan oleh penyusunan
kerangka karangan yang cermat. Dengan demikian, fakta dan hokum alam
yang diterapakan pada situasi spesifik tersebut dibiarkan berbicara sendiri.
Pembaca dibiarkan mrngambil kesimpulan sendiri berupa pembenaran dan
keyakinan akan kebenaran karya ilmiah tersebut.

Laras ilmiah popular merupakan sebuah tulisan yang bersifat ilmiah, tetapi
diungkapkan dengan penuturan yang mudah dimengerti. Karya ilmiah popular tidak
selalu merupakan hasil prnilitian ilmiah.
BAB VI
BENTUK KARANGAN DAN TATA CARA PENULISAN

Karangan yang brtujuan memberikan informasi, penjelasan, keterangan, atau


pemahan termasuk kedalam golongan pemaparan. Hasilnya disebut paparan
atau eksposisi. Karangan yang bertujuan meyakinkan pembaca, membuktikan
pendapat atau pendirian pribadi, atau membujuk pihak lain agar pendapat
pribadinya diterima termasuk kedalam golongan pembahasan. Hasilnya disebut
bahasan persuasi atau argumentasi. Karangan yang sifatnya bercerita, baik
berdasarkan pengamatan maupun perekaan tergolong kedalam katagori
pengisahan.hasilnya disebut kisahan atau narasi. Karangan yang
menggambarkan bentuk, rupa, sifat, rasa atau corak objek pengamatan termasuk
kedalam golongan pemerian . hasilnya disebutperian atau deskripsi.

Ejaan ialah tatacara penulisan menurut ukuran yang baku. Termasuk


didalam ejaan adalah penggunakan huruf: penulisan huruf capital dan huruf
miring, penulisan kata dasar, kata turunan, kata ulang, gabungan kata, kata
depan dan partikel lain, penulisan angka dan bilangan, serta penulisan unsur
serapan atau pungutan.

Penulisan kata yang lazim, yaitu kata yang telah dikenal oleh masyarakat.
Kata yang lazim(seiring sejalan dengan kata yang baku), yakni dengan kata yang
baik dan resmi. Dengan demikian, kata yang tidak resmi kemunculannya dalam
penulisan ilmiah harus dihindari.

Istilah ialah kata atau gabungan kata dengan cermat mengungkapan makna
konsep, proses, keadaan, atau sifat yang khas dalam bidang pengetahuan
tertentu(Moeliono,2001).dilihat dari segi makna, istilah bersifat monosemantis.
Artinya, hubungan antara suatu kata atau ungkapan dan maknanya tidak bersifat
ganda dan terikat pada bidang ilmu yang memakainya. Istilah dapat dibentuk dari
bahasa Indonesia dan bahasa Melayu, bahasa serumpung dan bahasa daerah,
bahasa asing(terutama bahasa Inggris).
BAB VII
PENALARAN DAN KARANGAN

Dalam karangan paparan dan persuasi, peranan logika sangat penting.


Logika artinya bernalar. Penalaran (reasoning) ialah proses pengambilan
kesimpulan(conclusion, inference) dari bahan bukti atau petunjuk (evidence),
artaupun dianggap bahan bukti atau petunjuk. Secara umum, ada 2 jalan untuk
mengambil kesimpulan: penalaran induktif dan deduktif.
Penalaran deduktif dapat ditafsirkan sebagai penalaran yang berawal pada
yang khusus atau yang spesifik dan berakhir pada yang umum. Kesimpulan induktif
selalu berupa generalisasi atau perumuman, artinya pernyataan tersebut selalu
meliputi sejumlah besar peristiwa khusus. Penalaran deduktif merupakan kebalikan
dari proses bernalar induktif. Penalaran deduktif, yaitu proses bernalar dari yang
bersifat general atau umum ke hal-hal yang bersifat spesifik atau khusus. Dengan
kata lain, proses yang diawali dengan penyajian dari berbagai konsep yang umum
ke konsep yang khusus(simpulan)
Salah nalar adalah gagasan, perkiraan, kepercayaan, atau kesimpulan yang
keliru atau sesat. Pada salah nalar, kita tidak mengikuti tata cara pemikiran dengan
tepat. Telah atas kesalahan membantu kita menemukan logika yang tidak masuk
akal dalam tulisan. Terdapat 10 macam salah nalar yang dapat ditemukan di dalam
karangan, yaitu dedukasi yang salah, generalisasi yang terlalu luas, pemikiran “jika
tidak…,tentu…” salah nilai atas penyebabnya, analogi yang salah, penyampingan
masalah, pembenaran pokok masalah lewat pokok sampingan, argumentasi ad-
huminem, imbauan pada keahlihan yang disangsikan, dan nonseguitur.
BAB VIII
STRUKTUR PARAGRAF
Paragraf atau ilmiah merupakan sekumpulan kalimat yang saling berkaitan.
Paragraf juga disebut sebagai karangan singkat karena dalam bentuk inilah
penulis menuangkan ide atau pikirannya sehingga membentuk suatu topic atau
tema pembicaraan. Terdapat beberapa unsur kalimat,yaitu kalimat pengantar
(prolog), kalimat utama dalam (main sentence), kalimat penjelas (deskriptif
sentence), dan satu kesatuan yang dapat membentuk suatu gagasan.
 Ciri-ciri paragraf :
a. Kalimat pertama dimulai setelah 5 atau 6 ketukan spasi dari pinggir
kiri kertas.
b. Penulis yang mengikuti pola lurus penuh (full_block style), peniulisan
paragraf baru ditandai dengan jarak atau spasi yang agak renggang
dengan paragraf sebelumnya.
c. Mengembangkan sebuah pikiran utama (main idea) yang dilukiskan
dalam kalimat topic (Pijono Widjono H,S., 2008 : 174).
d. Mengembangkan kalimat yang berfungsi sebagai pendukung
gagasan utama.
e. Menggunakan kalimat penjelas atau keterangan yang logis dengan
memperhatikan aspek keutuhan (peranti penghubung antar kalimat)
dan kepaduan (kelogisan dari sisi keutuhan makna).
f. Mengemukakan informasi yang mendukung gagasan pokok berupa
ilustrasi, contoh, dan detail rincian-rincian yang kongkret serta
digunakan secara efektif (Alek, 2009:134).
 Fungsi paragraf sebagai berikut :
a. Menandai pembukaan gagasan atau ide baru, dan dapat berupa
pengembangan lebih lanjut dari ide atau gagasan utama (main idea)
sebelumnya
b. Menandau hal-hal penting dari uraian atau penjelasan pada
paragraph sebelumnya
c. Mengekspresikan gagasan tertulis dengan memberi bentuk suatu
pikiran dan perasaan kedalam serangkaian kalimat yang tersusun
secara logis dalam suatu kesatuan
d. Menandai peralian (pergantian) gagasan baru bagi karangan yang
terdiri dari beberapa paragraf (ganti pikiran)
e. Memudahkan pemahaman bagi pembacanya
f. Memudahkan pengembangan topic karangan kedalam satuan-satuan
unit pikiran yang lebih kecil
g. Memudahkan pengendalian atau pengontrolan gagasan utama
(Wijono H.S., 2008:174), dan
h. Memudahkan perujukan atau pengacuan dalam membaca atau
pengutipan ( Alek, 2009:127).
 Paragraf yang baik harus memenuhi persyaratn berikut:
a. Kejelasan (cela rity): uraian yang dikemukakan didalam paragaf
memiliki kejelesan antar komponen atau satuan bahasa yang
digunakan secara seimbang sehingga alur piker penulis dapat diikuti
dan mudah dimengerti.
b. Ketertarikan (interes) aspek ketertariakan ini mendapat perhatian
tersendiri bagi pembaca, sebab bukan tidak mungkin apa yangditulis
tidak akan dibaca jika topic atau pokok persoalan yang ditulis tidak
membangkitkan minat dan hasrat pembaca untuk membacanya.
c. Kesatuan (unity): penulis perluh memperhatikan kefokusan dan
keutuhan paragraf melaluhi jalinan kalimat demi kalimat dalam
menjelaskan kalimat utama, kalimat-kalimat oendukung tidak terpisah
atau bertolak belakang dengan ide utama yang dikembangkan.
d. Koherensi (Cohernce): suatu rangkaian fakta dan gagasan yang
teratur dan tersusun secara logis.
e. Kelengkapan (completenss): paragraf dianggap lengkap apabila telah
melakukan apa yang dikehendaki oleh penuulisnya.
f. Kebenaran (correctness): maksud dari syarat ini berkaitan dengan
berbagain akspek bahasa, seperti kebenaran penggunaan tata
bahasa (grammar) dan struktur kalimat (sentence structures)
sehingga membantu pembaca memahami isi dan pesan yang
disampaikan didalam paragraf agar terhindar dari kesalah pahaman
(misununderstanding).

Bedasarkan sifat dan tujuannya, paragraf dapat dibedahkan menjadi paragraf


pembuka (berfungsi untuk membuka atau menghantarkan karangan tersebut, atau
pengantar pokok pikiran dalam bagian karangan tersebut), paragraf penghubung
(semua pragraf yang terdapat diantara paragraf pembuka dan paragraf penutup),
paragraf peralihan (pernyataan penyimpulan paragraf sebelumnya dan jiga
pengantar bagi pargraf selanjutnya), dan paragraf penutup (berfungsi untuk
mengakhiri karangan atau bagian karangan).

Paragraf dapat dikembangka dengan cara:

a. Pertentangan: pengembangan paragraf dengan cara pertentangan


biasanya menggunakan ungkapan ungkapan, seperti berbeda dari,
bertentangan, sedangkan, hal lainnya dengan, akan tetapi, dan bertolak
belakang dari.
b. Perbandingan: pengembangan paragraf dengan cara perbandingan
biasanya menggunakan ungkapan, serupa dengan, seperti halnya
demikian juga, sama dengan, sedangkan, dam sementara itu.
c. Analogi: pengembangan pargraf dengan cara analogi dilakukan dengan
cara kiasan.
d. Contoh-contoh: kata seperti, misalnya, dan contohnya adalah ungkapan-
ungkapan yang lazim digunakan dalam pengembangan paragraph
dengan cara memberi contoh
e. Sebab akibat: pengembangan pargraf dengan cara sebab akibat
dilakukan jika dengan menerangkan suatu kejadian, baik dari segi
penyebab maupun dari segi akibat.
f. Definisi: kata-kata yang sering digunakan dalam pola pengembangan
paragraf ini adalah: adalah, yaitu, dan merupakan
g. Klasifikasi: pengembangan paragraf dengan cara klasifikasi adalah
pengembangan paragraf melalui pengelompokan berdasarkan ciri-ciri
terentu. Atau ungkapan yang lazim digunakan, yaitu dibagi menjadi,
digolongkan menjadi, terbagi menjadi, dan mengklasifikasikan.
BAB IX
DIKSI

Diksi adalah kemampuan untuk secara tepat membedakan nuansa-


nuansa makna dari gagasan yang imgin disampaikan dan memilih kata
atau bentuk yang sesuai dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki
kelompok masyarakat pendengar atau pembaca. Selanjutnya, keraf
(2006) mengatakan diksi mencakup kata-kata yang dipakai untk
menyampaikan suatu gagasan, cara menggabungkan kata yang tepat,
dan gaya yang paling baik digunakan dalam situasi tertentu. Diksi yang
cermat dan kuat berkursng nilainya karena pemakaian ungkapan klise,
yakni frasa yang sudah terlalu sering digunakan penulis yang tidak
berdaya cipta dan yang malas berpikir. Pidato dan uraian tidak jarang
terbentuk dari uraian ungkapan yang berulang-ulang muncul dalam
karangan yang sejenis.
Untuk mewujudkan dsn menghidupkan karangan, penulis dapat
menggunakan majas (figure of speech) yang dalam buku pelajaran
bahasa secara salah kapra disebut gaya bahasa.
Majas mampu mengimbau indera pembaca karena sering kali lebih
konkret daripada ungkapan harfiah. Jenis majar yang sering digunakan
adalah:
1. Majas perbandingan:
a. Perumpamaan ialah perbandingan dua hal yang hakikatnya
berlainan dan yang dengan sengaja kita anggap sama.
Perumpamaan secara eksplisit dijelakan oleh pemakaian kata
seperti, bagi, ibarat, impamane, bak, dan laksana.
b. Kiasan atau metafora ialah perbandingan yang implisit-tanpa kata
seperti atau bagi-di antara dua hal yang berbeda
c. Penginsanan atau personifikasi ialah jenis majas yang melekatkan
sifat-sifat insani kepada barang yang tidak bernyawa dan ide yang
abstrak
2. Majas pertentangan:
a. Hiperbola ialah ungkapan yang melebihkan-lebihkan apa yang
sebernarnya dimaksudkan. Hal yang dilebih-lebihkan misalnya
jumlah,ukuran, atau sifatnya.
b. Litotes (understatement) ialah majas yang dalam
pengungkapannya menyatakan sesuatu yang positif dengan
bentuk yang negative atau bertentangan. Litotes mengurangi atau
melemahkan kekuatan pernyataan yang sebenarnya.
c. Ironi ialah majas yang menyatakan makna yang bertentangan
dengan tujuan mengolok-olok
3. Majas pertautan:
a. Metonimia merupakam pemakaian nama ciriatau nama hal yang
ditautkan dengan barang atau hal.
b. Sinekdoke ialah majas yang menyebutkan nama bagian sebagai
pengganti nama keseluruhannya atau sebaliknya.
c. Kilatan menunjuk secara tidak langsung kepada suatu peristiwa
atau tokoh berdasarkan pra-anggapan adanya pengetahuan
bersama yang dimiliki oleh pengarang dan pembaca serta adanya
kemampuan pasa pembaca untuk menangkap pengacuan.
d. Eufemisme ialah ungkapan yang lebih halus sebagai pengganti
ungkapan yang dirasa kaar, merugikan, atau tidak
menyenangkan.

Pemakaian idiom tidak terkena kaidah ekonomi bahasa yang sering


dianjurkan kepada penulis dan wartawan sehubungan dengan usaha
penghematan kata dalam tulisan. Ekonomi bahasa yang dapat menunjang
diksi yang kuat lebh banyak berhubungan dengan kecermatan dan ketepatan
dalam pemilihan dan pemakaian kata.
BAB X
STRUKTUR DAN GAYA KALIMAT

Kalimat adalah satuan atau perasaan yang dinyatakan dengan subjek dan
predikat yang dirakit secara logis. Dalam karangan, kalimat merupakan satuan yang
terkecil; dalam analisis gramatikal, kalimat merupakan satuan yang terbesar, di
samping yang lebih kecil, yaitu frasa dan klausa. Kalimat menjelaskan pikiran dan
perasaan pembicara atau penulis. Jenis pikiran dan perasaan berbeda-beda dan
alasan berkmunikasi juga berbeda-beda sehingga jenis kalimat pun berbeda-beda.
Penggolongan kalimat dapat didasarkan pada maksud, struktur, dan bentuk
retorikannya. Kalimat menurut maksudnya:
a. Kalimat pernyataan (kalimat deklaratif)
b. Kalimat petanyaan (kalimat interogatif)
c. Kalimat perintah dan permintaan (kalimat imperative)
d. Kalimat seruan (kalimat ekslamatif)
Menurut strukturnya, kalimat berjenis tunggal (simpleks) dan majemuk
(kompleks),
Gagasan tunggal dinyatakan dalam kalimat tunggal, sementara gagasan yang
bersegi-segi diungkapkan dengan kalimat majemuk:
1. Kalimat tunggal (simpleks) adalah kalimat yang sekurang-kurangnya
terbentuk dari satu subjek dan satu predikat
2. Kalimat majemuk dapat bersifat setara (koordinatif), tidak setara
(subardinatif), ataupun campuran ( koordinatif-subardinatif)
a. Kalimat majemuk setara terdiri atas 2 suku kalimat atau lebih yang bebas.
Tanda koma memisahkan suku kalimat jika subjeknya bebeda, kata
penghubungnya menunjukan pertentangan, atau jika suku kalimat
tersebut panjang-panjang
b. Kalimat majemuk tak setara (beringkat) terdiri atas satu kalimat yang
bebas dan satu atau lebih suku kalimat yang terikat
c. Kalimat majemuk campuran terdiri dari dua suku bebas atau lebih dari
satu suku terikat atau lebih
Jenis kalimat berdasarkan bentuk retorikanya berarti rancangan, gaya, tata
susunan, atau arsitektur kalimatnya memiliki efek tertentu terhadap pendengar atau
pembacanya. Kalimat yang secara gramatikal sudah baik belum tentu memuaskan
dari sudut retorikanya. Menurut bentuk retorikanya, kalimat dapat digolongkan
menjadi kalimat yang melepas (loose sentence, induk-anak), kalimat yang
berklimaks (periodic sentence, anak-induk), dan kalimat yang berimbang (setara
atau campuran).
a. Kalimat yang melepas (loose sentence) dimulai dengan struktur S-P (atau
suku induk) yang diikuti oleh unsur-unsur tambahan yang sifatnya manasuka
b. Kalimat yang berklimaks (periodic sentence) dimulai dengan unsur tambahan
yang kemudian diikuti oleh struktur utama (atau suku induk) sehingga
membangun ketegangan.
c. Kalimat yang berimbang (balanced sentence) ialah kalimat majemuk setara
atau campuran yang strukturnya memperlihatkan kesejajaran.

Keaktifan kalimat diukur dari sudut pandang banyak atau sedikitnya kalimat
tersebut berhasil mencapai sasaran komunikasinya. Kalimat yang efektif dapat
meyakinkan dan menarik perhatian pendengar atau pembaca karena memiliki ciri:
1. Keutuhan: kalimat yang baik mempunyai kesatuan strukturnya dan kesatuan
logika yang jalin-menjalin. Kesatuan struktur diperoleh dengan adanya subjek
dan predikat
2. Perpautan dalam kalimat menyakut masalah pertalian di atara unsur-
unsurnya. Pertalian tersebut dapat dijelaskan oleh penataan, frasa, dan suku
kalimat yang tepat. Perpautan tersebut akan leboh nyata jika:
a. Pemakaian kata ganti diperhatikan
b. Gagasan yang sejajar dituangkan ke dalam bangun yang sejajar
c. Sudut pandang (ragam,orang) tetap atau dipertahankan
3. Penegasan ialah ciri yang berupa pemusatan pikiran pada bagian kalimat
yang terpentig. Penegasan dapat dicapai dengan pengubahan urutan yang
lazim, pengulangan, pemilihan ragam tertentu (pasif atau aktif), atau dengan
menggunakan pungtuasi khusus.
4. Ekonomi ialah penghematan dalam pemakaian kata. Hal itu tidak berati
bahwa kata yang perlu atau yang menambahkan nilai artistik boleh
dihilangkan. Maksudnya ialah pembuangan kata yang mubazir dan
konstruksi yang berlebit
5. Variasi. Kelincahan pikiran dan bahasa dinyatakan juga boleh variasi bentuk
kalimat yang berurutan. Cara-cara yang dapat dilakukan untuk untuk
menunjukan kelincahan pikiran dan bahasa dalam suatu kalimat dengan:
a. Pemakaian berbagai jenis kalimat menurut struktur gramatikal dan
retorika
b. Pemakaian pemakain kalimat yang panjangnya berbeda-beda, dan
c. Pemakaian urutan unsur kalimat yang berselang-seling.
BAB XI
EJAAN

Pemahaman ejaan merupakan suatu aspek penting dalam mendukung penggunaan


bahasa Indonesia yang baik dan benar. Ejaan adalah keseluruhan peraturan yang
melambangkan bunyi ujaran, pemisahan dan penggambungkan kata, penulisan kata, huruf,
dan tanda baca. Perkembangan ejaan di Indonesia diawali dengan ejaa van Ophuijese.
Ejaan van Ophuijeseb ditetapkan sebagai ejaan bahasa melayu pada 1901. Ciri khas yang
menonjol yang menonjol ialah penggunaan huruf j untuk menuliskan kata-kata yang
menggunakan huruf y.
Setelah mengalami perkembangan, kedudukan ejaan van Ophuijsen tergantikanoleh
ejaan Soewandi. Ejaan Soewandi atau ejaan republik ditetapkan sebgai sebagai pengganti
ejaan van Ophuijsen pada 19 maret 1947. Ejaan bahasa Indonesia yang disempurnakan
adalah peraturan penggunaan bahasa Indonesia yang diperlakukan sejak 1972 hingga saat
ini. Adapun aturan penggunaan bahasa Indonesia menurut ejaan ini adalah sebagai berikut.
RESUME BAHASA INDONESIA UNTUK PERGURUAN TINGGI
KARYA Dr. R. KUNJANA RAHARDI, M. Hum.
Tugas
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Bahasa Indonesia

Oleh:
Ni Putu Widya Putri L
NIM: 182068

PROGRAM STUDI DIII KEBIDANAN

INSTITUT TEKNOLOGI, SAINS DAN KESEHATAN RS dr.SOEPRAOEN

KESDAM V/ BRAWIJAYA MALANG

TAHUN 2020

RESUME “BAHASA INDONESIA UNTUK PERGURUAN TINGGI”


KARYA Dr. R. KUNJANA RAHARDI, M. Hum.
1. Pengantar
Buku dengan judul “Bahasa indonesia untuk perguruan tinggi” karya Dr. R.
KUNJANA RAHARDI, M. Hum. sangatlah penting untuk dipelajari, khususnya bagi
mahasiswa untuk mempermudah memahami bahasa indonesia secara baik dan benar
sesuai dengan kaidah ejaan yang telah disempurnakan.   Beliau adalah dosen luar
biasa di Fakultas Ekonomi Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Buku ini dicetak oleh Penerbit
Erlangga pada tahun 2009.
Buku ini disusun dalam 7 bab, yang masing-masing diperinci menjadi sub-subbab
yang lebih terperinci. Di awal setiap bab disajikan rumusan kompetensi dasar dan rumusan
standar kompetensi untuk para mahasiswa mempelajari isi setiap isi bab.
Paper ini merupakan tugas dari mata kuliah Bahasa Indonesia. Penulis meresume
setiap bab buku ini. Pemahaman buku ini masih perlu banyak penjelasan karena
keterbatasan penulis terhadap beberapa  istilah yang perlu dipahami secara tepat.
2. Resume Bab Satu:  jati diri bahasa
2.1 Arti Bahasa
          Bahasa,masyarakat, dan budaya adalah tiga etnis yang erat berpadu. Sosok bahasa
sering disebut penanda (prevoir) eksistensi budaya dari masyarakat yang bersangkutan.
Masyarakat yang maju budayanya pasti juga berkembang baik entitas bahasanya. Bahasa
yang baik juga dapat menunjukkan keberadaan masyarakat. Maka, bahasa sering pula
disebut cermin masyarakatnya.
          Entitas bahasa bersifat unik, khas, dan tidak dimiliki bahasa-bahasa lainnya.
Anderson (1972) menyebutkan delapan prinsip dasar yang merupakan hakekat bahasa,
yaitu :
a. Merupakan alat komunikasi
b. Bersifat kesemestaan
c. Bersifat kemanusiaan
d. Berkaitan dengan masyarakat dan budaya
e. Memiliki makna konvensional
f. Bersifat vocal
g. Merupakan symbol arbitrer
h. Merupakan system
2.2 Fungsi bahasa
          Bahasa memiliki fungsi beragam, yaitu :
1. Fungsi instrumental adalah bahasa dapat digunakan untuk melayani lingkungannya.
2. Fungsi regulasi adalah bahasa digunakan untuk mengatur serta mengendalikan
orang-orang sebagai warga masyarakat
3. Fungsi representasional adalah menggambar atau mempresentasikan sesuatu.
4. Fungsi interaksional adalah bahwa bahasa dapat digunakan untuk menjamin
terjadinya interaksi, memantapkan komunikasi, dan mengukuhkan komunikasi dan
interaksi antar warga masyarakat itu sendiri.
5. Fungsi personal adalah bahasa dapat digunakan untuk mengekspresikan maksud-
maksud pribadi atau personal
6. Fungfi heuristic adalah bahasa digunakan untuk mempelajari pengetahuan, mencari
ilmu, mengembangkan tekhnologi, dan menyampaikan rumusan-rumusan yang
bersifat pertanyaan.
7. Fungsi imajinatif adalah fungsi bahasa yang berkenaan dengan penciptaan imajinasi.
8. Dari beberapa fungsi diatas, yang paling utama adalah fungsi interaksional, karena
bahasa menjadi piranti utama dalam berkomunikasi dan interaksi antar sesama.

2.3  Ragam bahasa


          Bahasa Indonesia memiliki ragam bahasa yang tidak sedikit jumlahnya.
1.   Ragam bahasa berdasarkan waktunya
Dalam konteks waktu, bahasa dapat diperinci menjadi :
1.    Bahasa ragam lama atau kuno
2.    Bahasa ragam baru atau modern
3.    Bahasa ragam kontemporer, yakni ragam bahasa yang banyak mencuat akhir-akhir ini.
Dengan bahasa laras lama atau bahasa ragam kuno dapat dilacak keberadaan atau
eksistensi berikut makna sejumlah dokumen kuno, aneka prasasti, dan tulisan-tulisan yang
tertuang dalam piranti yang masih sangat sederhana itu.
Selanjutnya, setelah ragam bahasa kuno adalah bahasa dalam ragam baru. Dengan ragam
baru bahasa itu dimungkinkan terjadi pula inovasi-inovasi kebahasaan yang baru. Dengan
bahasa ragam baru pula perkembangan masa depannya akan dapat diprediksikan.
Dalam banyak literatur memang sama sekali tidak ditemukan ragam bahasa kontemporer.
Adapun yang dimaksud adalah entitas bahsa dalam wujud perkembangannya yang
sekarang ini, yang telah melahirkan bentuk-bentuk kebahasaan baru yang cenderung
mengabaikan kaidah-kaidah kebahasaan yang sudah ada itu.
Selain ditandai penyimpangan-penyimpangan aturan kebahasaan, bahasa kontemporer juga
cenderung tidak peduli dengan pembedaan fungsi bahasa dalam kaitan dengan kedudukan
sebagaimana telah disampaikan  dibagian depan.

2.       Ragam bahasa berdasarkan medianya


          Jika dilihat dari dimensi medianya, bahasa dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu :
a)    Bahasa ragam lisan
b)   Bahasan ragam tulis
          Bahasa ragam lisan lazimnya ditndai dan ditentukan oleh penggunaan aksen-aksen
bicara atau penekanan –penekanan tertentu dalam aktifitas bertutur, pemakaian intonasi
atau lagu kalimat tertentu.
          Bahasa ragam lisan selanjutnya dapat diperici menjadi dua, yakni (a) bahasa ragam
lisan baku dan (b) bahasa ragam lisan tidak baku. Bahasa ragam lisan baku kelihatan
seperti orang sedang ceramah, presentasi, dan lain-lain. Bahasa ragam lisan tidak baku
juga kelihatan seperti ngobrol dengan santai.
          Selanjutnya yang dimaksud dengan bahasa ragam tulis bahasa yang hanya tepat
muncul dalam konteks tertulis.

3.       Ragam bahasa berdasarkan pesan komunikasinya


          Apabila didasarkan pada kandungan pesan komunikasinya, bahasa dapat dibedakan
menjadi :
a) Bahasa ragam ilmiah
b) Bahasa ragam sastra
c) Bahasa ragam pidato
d) Bahasa ragam berita 
Ragam ilmiah biasanya digunakan dalam dua manifestasi, yakni dalam karya ilmiah
akademis dan dalam karya ilmiah popular. Karya ilmiah akademis di perguruan tinggi
biasanya akaln meliputi artikel ilmiah, makalah ilmiyah, jurnal ilmiah, surat-menyurat, dan
lain-lain. Adapun karya ilmiah populer bias meliputi esai-esai ilmiah populer,  catatan-catatan
ilmiah populer, opini-opini di media massa, dan lain-lain.

3. Resume Bab Dua:  Ihwal diksi


3.1 Peranti-peranti diksi
1.    Peranti kata berdenotasi dan berkonotasi
Kata berdenotasi
          Dalam studi linguistic ditegaskan bahwa kata yangtidak mengandung makna
tambahan atau perasaan tambahan makna tertentu disebut denotasi. Jadi makna denotasi
dapat disebut makna yang sebenarnya, seperti peranti duduk yang namanya “kursi”, maka
peranti , untuk duduk itu disebut sebagai “kursi”. Kata “kursi” dalam hal ini memiliki makna
apa adanya.

  Kata berkonotasi
      Kata berkonotasi ialah makna kias, bukan makna sebenarnya. Makna konotasi memiliki
nuansa makna subjektif dan cendeerung digunakan dalam situasi tidak formal, seperti
“dengan memanjatkat puji syukur kepada…..”, pemakaian kata “memanjatkan” dalam
kalimat tersebut jelas sekali menggunakan makna konotasi bukan denotasi.

2.    Peranti kata bersinonim dan berantonim


     Kata “bersinonim” berarti kata sejenis, sepadan, sejajar, serumpun, dan memiliki arti
sama. Secara lebih gampang dapat dikatakan bahwa sinonim sesungguhnya ada
persamaan makna kata. Adapun yang dimaksud adalah dua kata atau lebih yang berbeda
bentuknya, ejaannya, pengucapan atau lafaldnya, tetapi memiliki makna sama atau hampir
sama, contoh: hamil dan mengandung, kedua bentuk tersebut dapat dikatakan bersinonim
karena bentuknya berbeda tetapi maknanya sama.
     Kata “berantonim” berlawanan dengan kata “bersinonim”. Bentuk kebahasaan tertentu
akan dapat dikatakan berantonim jika bentuk itu memiliki makna yang tidak sama atau
berlawanan. Seperti contoh kata “panas dan dingin”, kedua kata tersebut mempunyai makna
yang berlawanan.
3.    Peranti kata bernilai Rasa
     Diksi atau pilihan kata juga mengajarkan untuk senantiasa menggunakan kata-kata yang
bernilai rasa dengan cermat, guna untuk mengindahkan kata-kata. Bahasa juga perlu dalam
pemakaiannya lebih di perhatikan dan di pertimbangkan, agar dapat menyangkut dengan
konteksnya.
4.    Peranti kata konkret dan abstrak
     Kata-kata konkret adalah kata-kata yang menunjukkan pada objek yang dapat dipilih,
didengar, dirasakan, diraba, atau dicium. Kata-kata konkret lebih mudah dipahami daripada
kata-kata abstrak
     Kata-kata abstrak menunjuk pada konsep atau gagasan. Kata-kata abstrak sering dipakai
untuk mengungkapkan gagasan yang cenderung rumit. Kata abstrak digunakan untuk
membuat deskripsi,beberapa juga untuk narasi.
5.    Peranti keumuman dan kekhususan kata
     Kata umum adalah kata yang perlu dijabarkan lebih lanjut dengan kata yang sifatnya
khusus untuk mendapatkan perincian lebih baik. Kata umum lebih tepat digunakan untuk
argumentasi atau persuasi, karena dalam pemakaian yang disebutkan terakhin itu akan
dibuka kemungkinan-kemungkinan penafsiran yang lebih luas, yang lebih umum, yang lebih
komprehensif sebagai imbangan kata-kata umum adalah kata-kata khusus.
     Dalam banyak hal, kata-kata khusus memang merupakan kebalikan kata-kata umum.
Kata-kata khusus cenderung digunakan dalam konteks terbatas, maka lazim pula dipahami
bahwa kata-kata khusus adalah kata-kata yang sempit ruang lingkupnya, terbatas konteks
pemakaiannya.
6.    Peranti kelugasan kata
     Diksi juga mengajarkan kita ihwal kata-kata lugas, apa adanya.  Kata-kata lugas adalah
kata-kata yang sekaligus juga ringkas , tidak merupakan frasa panjang, tidak mendayu-
dayu, dan sama sekali tidak berbelit-belit. Ketika konteks pemakaian kebahasaan itu adalah
untuk menyatakan kebasi-basian dan kesantunan, sudah barang tentu pemakaian bentuk-
bentuk kebahasaan yang lugas itu tidak tepat.
7.    Peranti penyempitan dan perluasan makna kata
     Sebuah kata dapat dikatakan mengalami penyempitan makna apabila didalam kurun
waktu tertentu maknanya bergeser dari semula yang luas ke makna yang sempit atau
sangat terbatas.
     Sebagai imbangan dari penyempitan makna kata adalah perluasan makna kata. Sebuah
makna kebebasan dikatakan akan meluas jika dalam kurun waktu ternentu maknanya akan
bergeser dari yang semula sempit ke makna yang lebih luas.
8.    Peranti keaktifan dan kepasifan kata
     Dalam kerangka diksi atau pemilihan kata yang dimaksud dengan kata-kata aktif adalah
kata-kata yanga banyak digunakan oleh tokoh masyarakat.
     Pemakaian bahasa kontemporer yang terjadi sekarang ini banyak menjadi bukti
sekaligus saksi akan banyak dilahirkannya kata-kata yang baru, kata-kata yang semula tidak
pernah digunakan itu.
     Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kata-kata yang semula tidak pernah digunakan
akan menjadi aktif jika digunakan.
9.    Peranti ameliorasi dan peyorasi
     Ameliorasi adalah proses perubahan makna dari yang lama ke yang baru ketika bentuk
yang baru dianggap dan dirasakan lebih tinggi dan lebih tepat nilai rasa serta konotasinya
dibandingkan dengan yang lama.
     Sebagai imbangan dari ameliorasi adalah peyorasi. Maksudnya adalah perubahan
makna dari yang baru ke yang lama ketika yang lama dianggap masih tetap lebih tinggi dan
lebih tetap nilai rasa serta konotasinya dibandingkan dengan makna yang baru.
10. Peranti kesenyawaan kata
     Bentuk idiomatis  atau bentuk bersenyawa, sesuai dengan namanya, tidak dapat
dipisahkan begitu saja oleh siapapun. Dikatakan sebagai bentuk senyawa karena bentuk
demikian itu sudah sangat erat hubungan antara satu dengan dengan yang lainnya. Jadi
didalam konstruksi idiomatis kata yang satu dengan kata yang lainnya itu berhubungan erat,
lekat, dan tidak dapat dipisahkan oleh alasan apapun juga.
11. Peranti kebakuan dan ketidakbakuan kata
     Bentuk baku hadir karena adanya pembakuan bentuk-bentuk kebahasaan. Pembakuan
bahasa demikian itu pada gilirannya akan menjadikan bangsa Indonesia semakin
bermartabat.
     Bilamana bahasa baku tersebut digunakan oleh masyarakat internasional, maka jadilah
bahasa itu bahasa yang berharkat dan bermartabat tinggi.
3.2 Ihwal peristilahan
          Istilah dapat didefinisikan sebagai kata atau gabungan kata yang dapat dengan
cermat mengungkapkan makna konsep, proses, keadaan, atau sifat yang khas dibidang
kehidupan dan cabang ilmu pengetahuan tertentu. Istilah itu sendiri dibedakan ke dalam dua
jenis, yaitu istilah yang sifatnya khusus dan istilah yang sifatnya umum.
          Bentuk-bentuk kebebasan yang hanya lazim digunakan dalam bidang tertentu dapat
dikatakan sebagai bentuk-bentuk yang sifatnya khusus. Sebagail imbangan dari kata-kata
yang sifatnya khusus adalah kata-kata yang sifatnya umum yaitu kata-kata yang memiliki
kandungan makna yang banyak dan bermacam-macam .

4. Resume Bab Tiga : Ihwal Kalimat


4.1   Kelas kata
                   Kata dalam bahasa Indonesia yang jumlahnya luar biasa banyak itu mustahil
dapat dipelajari dengan mudah kalau tidak di kelas-kelaskan terlebih  dahulu. Nah, hasil dari
pengelaskataan atau pengelompokan kata-kata itulah yang kemudian lazim disebut dengan
kelas kata.
1.    Verba
           Verba atau kata kerja lazimnya dapat didefinisikan dengan menggunakan tiga macam cara.
a) Dengan mencermati bentuk morfologisnya
b) Dengan mencermati perilaku sintaksisnya
c) Dengan mencermati perilaku semantisnya
d) Berdasarkan ciri morfologisnya, verba didalam bahasa Indonesia dapat dibedakan
menjadi :
e) Verba dasar atau verba yang tidak berafiks
f) Verba berafiks
g) Verba yang merupakan perulangan atau reduplikasi
h) Verba yang merupakan bentuk majemuk
i) Berdasarkan fungsinya atau sering disebut sebagai perilaku sintaksisnya, verba
dapat dibedakan menjadi :
j) Verba yang menduduki fungsi subjek
k) Verba yang menduduki posisi keterangan
l) Verba yang menduduki posisi objek
m) Dari sisi pembentukannya, verba juga dapat dibentuk dari nomina. Verba atau kata
kerja yang demikian ini disebut sebagai verba denominal, misalnya “berbudaya dan
mencangkul” yang dibentuk dari dasar nomina “budaya dan cangkul”. Selain itu ada
juga verba adjektifa, contoh mengakhiri dan mengawali.
2.    Adjektiva
                   Adjektiva lazim disebut juga kata sifat. Dari dimensi wujud atau bentuknya dapat
dikenali adjektifa dasar, seperti cantik, adil.
                   Adjektiva dari dimensi bentuknya merupakan gabungan atau perpaduan dua
adjektiva, misalnya cantik jelita dan aman sentausa.
     Adjektifa dapat didampingi dengan kata-kata berikut, sangat, agak, lebih, paling.
3.    Nomina
                   Nomina disebut juga kata benda. Dari dimensi bentuknya, nomina dapat
dibedakan menjadi dua, yakni nomina dasar dan nomina bentukan atau turunan. Nomina
dasar ialah nomina yang belum mendapatkan imbuhan apapun, contoh : buku, meja, rumah.
Nomina turunan ialah nomina yang sudah mendapatkan imbuhan.
4.    Pronominal
          Pronominal disebut juga sebagai kata ganti. Dikatakan sebagai kata ganti karena
sesungguhnya pronomina itu berfungsi menggantikan nomina yang menjadi antesedennya.
                   Dari sisi bentuknya, nomina dapat dibedakan menjadi :
a) Nomina persona
b) Nomina penunjuk
c) Nomina penanya
d) Nomina persona dapat menunjukkan orang, baik dalam hitungan tunggal maupun
banyak. Tunggal : saya, aku, daku, dan –ku. Jamak : kami, kamu, kalian, mereka.
e) Selain menunjukkan pada persona, pronominal juga dapat nomina penunjuk,
seperti : itu, ini, sana, sini. Pronominal dapat juga berfungsi sebagai pronominal
penanya, misalnya : mengapa, lenapa, bagaimana.
5.    Numeralia
                   Numeralia sering disebut juga kata bilangan. Kata itu digunakan untuk
menghitung jumlah orang, binatang, barang, dan juga sebuah konsep.
                   Dalam bahasa Indonesia dibedakan dua macam numeralia, yaitu numeralia
pokok dan numeralia tingkat. Numeralia pokok digunakan untuk menjawab pertanyaan
“berapa”, sedangkan numeralia tingkat digunakan untuk menjawab pertanyaan “kebrapa”.
6.    Adverbial
                   Adverbia sering disebut juga kata keterangan. Dapat dikatakan keterangan
karena kata-kata itu memberikan keterangan pada verba, adjektiva, nomina predikatif, atau
pada kata kalimat secara keseluruhan.
                   Dari dimensi bentuknya, terdapat dua macam adverbia dlam bahasa Indonesia,
yakni :
- Adverbia monomorfemis
- Adverbia polimorfemis
                   Dikatakan sebagai adverbia monomorfemis karena adverbial itu hanya terdiri
dari satu bentuk, seperti sangat, hanya, segera, agak, akan. Dapat dikatakan adverbia
polimorfemis karena bentuknya lebih dari satu morfem, misalnya belum tentu, jangan-
jangan, lebih-lebih, mula-mula.
                   Dari sisi perilaku sintaksisnya, adverbial dapat merupakan kata yang
mendahului kata yang diterngkan, seperti pada “puisi itu sangat indah”, kata sangat adalah
adverbia dan tugasnya adalah menjelaskan “indah” yang berada dibelakangnya.
4.2   Frasa
Frasa atau kelompok kata adalah satuan gramatikal yang berupa gabungan kata dan
hubungan kata itu bersifat nonprediktif. Yang perlu digaris bawahi dalam pembahasan frasa
ialah  hubungan antar kata dan kata yang lain di dalam kata tersebut.
Secara umum, frasa atau kelompok kata itu dapat dibedakan menjadi dua, yakni frasa
eksosentris dan frasa endosentris. Frasa eksosentris  tidak memiliki perilaku sintaksis yang
sama dengan semua komponennya, contoh : dengan sabar, dengan baik, dari rumah, pada
hari. Frasa endosentris ialah frasa yang seluruh bagiannya memiliki perilaku sintaksis yang
sama dengan perilaku  salah satu komponen tersebut. Frasa endosentris dapat dibedakan
menjadi dua, yakni frasa endosentris tunggal dan frasa endosentris jamak. Contoh frasa
endosentris tunggal ialah fendi anak bapak kunjana yang masaih kecil itu senang membuat
puisi. Contoh frasa endosentris jamak ialah saya tetap mencintainya, baik kaya maupun
miskin.
Frasa endosentris tunggal dapat dibedakan menjadi menjadi frasa berikut ini, yaitu :
1. Frasa nominal
a. Frasa yang terdiri dari nomina sebagai induk atau sebagai pusat dan unsure
lain yang yang berupa adjektifa, verba, numeralia, dan lain-lain. Contoh :
kursi rotan, kawan seperjuangan, sosok yang terpandang, wanita cantik jelita.
2. Frasa verba
b. Frasa verba merupakan gabungan antara verba dengan verba, verba dengan
adverbia atau yang lainnya. Contoh :pergi ke jakarta, berangkat tidur, tidur
dengan nyenyak.
3. Frasa adjektiva
c. Frasa adjektiva ialah frasa yang merupakan gabungan antara adjektifa
dengan komponen yang lainnya, sedangkan frasa yang lainnya berfungsi
sebagai penjelas. Contoh : panas terik, agak sulit, cantik sekali, cerdik
cendekia.
4. Frasa numeralia
d. Frasa numeralia ialah frasa yang merupakan gabungan antara numeralia
dengan unsur-unsur lainnya. Di dalam konstruksi frasa itu, numeralialah yang
menjadi induk atau frasanya. Contoh : dua puluh, dua ekor, dua lusin.
5. Frasa preposisional
e. Frasa preposisional ialah frasa yang induknya adalah preposisi. Contoh : dari,
oleh, dan untuk.
4.3   Klausa
1. Pengertian klausa
a. Klausa adalah suatu kebahasaan yang merupakan gabungan kelompok kata
yang setidaknya terdiri dari atas subjek dan predikat. Klausa bersifat
predikatif dan berpotensi untuk dijadikan kalimat.
2. Klausa pada kalimat majemuk setara
3. Klausa-klausa didalam kalimat majemuk setara masing-masing dapat berdiri sendiri
sebagai kalimat.
Hubungan antar kalimat di dalam kalimat majemuk setara dapat dibedakan menjadi tiga,
yakni :
- hubungan koordinatif yang sifatnya aditif
- hubungan koordinatif yang sifatnya adversative
- hubungan koordinatif yang sifatnya alternative
              Jenis yang pertama bersifat menambahkan, bersifat menjumlahkan, dan lazimnya
menggunakan konjungsi dan, serta, bersama. Jenis yang kedua ialah adversatif, arinya
bertentangan. Konjungsi yang lazim digunakan ialah tetapi, melainkan, dan sedangkan.
Jenis yang ketiga ialah bersifat alternative atau pilihan, maksudnya ialah bahwa kalausa
yang dihubungkan itu merupakan pilihan bagi klausa yang disampaikan sebelumnya.
Konjungsi yang lazim digunakan ialah atau atau ataukah seperti pada kalimat berikut, “Aku
harus tetap berbohong untuk menyimpan rahasia, ataukah harus berterus terang saja?”
3.    Klausa pada kalimat majemuk bertingkat
             Hubungan antar antar klausa pada kalimat majemuk bertingkat bersifat subordinatif ,
maksunya klausa yang satu berinduk atau menjadi sub bagi klausa yang lainnya. Klausa
yang satu menjadi atasan, dan klausa yang lainnya menjadi bawahan, atau klausa yang
satu menjadi induk, sedangkan klausa yang lainnya menjadi anaknya. Hubungan klausa
demikianlah yang disebut dengan hubungan yang bersifat hierarkis atau subordinatif.
             Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sebagian kalimat majemuk bertingkat
yang diawali oleh konjungsi subordinatif itu pasti adalah anak kalimatnya, bukan induk
kalimatnya. Konjungsi itu memiliki hubungan makna yang bermacam-macam. Ada konjungsi
yang menyatakan sebab, seperti karena, sebab, lantaran,. Bentuk olehk karea, karenanya,
karena itu, oleh karena itu, jangan pernah dianggap sebagai konjungsi subordinatif dalam
bahasa Indonesia.
4.4 Kalimat
1.    Pengertian kalimat
            Kalimat dapat dipahami sebagai satuan bahasa terkecil yang dapat digunakan untuk
menyampaikan ide atau gagasan. Pakar berbeda menyatakan bahwa kalimat adalah satuan
bahasa yang secara relative berdiri sendiri, mempunyai intonasi akhir, dan secara actual
dan potensial terdiri atas klausa.
            Jadi, tidak salah pula kalau di katakan bahwa sesungguhnya sebuah kalimat
membicarakan hubungan antara klausa yang satu dan yang lainnya.
2.    Unsur-unsur kalimat
A.    Subjek
  Unsur pembentuk kalimat yang harus disebut pertama disini adalah subjek. Dalam kalimat,
subjek tidak selalu berada di depan. Ada kalanya berada di belakang predikat, teruama
kalimat yang berdiatesis pasif.
  Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mengetahui kebera subjek kalimat.
  Cara yang pertama adalah dengan menggunakan pertanyaan, siapa + yang + predikat
apabila subjek itu adalah subjek orang, atau apa + yang + predikat bilamana yang menjadi
subjek itu bukan orang. Contoh : Tuti sudah dikawinkan dengan pria pilihan ayahnya. Jika
formulasi demikian diterapkan, maka maka pertanyaannya akan berbunyi “siapa yang sudah
dikawinkan dengan pria pilihan ayahnya? “. Jawabannya adalah “Tuti”. Maka, subjek
kaliamat itu adalah “Tuti”.
B.    Predikat
  Sama-sama menjadi unsure dalam sebuah kalimat, predikat memiliki karakter yang tidak
sama dengan subjek. Akan tetapi, kejatian sebuah subjek menjadi jelas juga karena ada
subjek kalimatnya.
  Cara yang paling mudah untuk mengidentifikasi predikat kalimat adalah dengan
menggunakan formula pertanyaan “bagaimana atau mengapa”. Bilamana dicermati dari
dimensi maknanya, bagian kalimat yang memberikan informasi ihwal pertanyaan
“bagaimana dan mengapa” adalah predikat itu. Contoh : dia bukan mahasiswa kampus itu
lagi sejak 2008. Jadi jelas, bagian kalimat yang mengikuti penegasi “tidak” dan “bukan” inilah
predikat kalimatnya.
C.    Objek
  Dalam banyak hal dapat dikatakan bahwa objek kalimat berlawanan dengan subjek
kalimat. Objek kalimat hanya dimungkinkan hadir apabila predikat kalimat tersebut
merupakan verba atau kata kerja yang sifatnya transitif.
  Dengan demikian, dapat dikatakan pula bahwa objek kalimat itu tidak akan hadir di dalam
kalimat apabila :
1.    Tidak terdapat dalam kalimat pasif
2.    Kalimat itu merupakan kalimat dengan
verba instransitif.
        Contoh :
         Fendi dilahirkan di yogjakarta
         Bukunya bernilai sangat tinggi
                      D.   Pelengkap
                Dalam kalimat pasif, pelengkap tidak dapat menempati fungsi subjek. Pada
posisi yang sama, objek dapat menempatinya. Maka inilah sesungguhnya
perbedaan mendasar antara objek dan pelengkap.
  Contoh :        ~ Ibu member saya baju baru
                     ~ Fendi berjualan buku cerita.
E.    Keterangan
                       Keterangan adalah unsure kalimat yang sifatnya tidak wajib hadir. Berbeda
dengan subjek, predikat, objek, dan pelengkap yang sifatnya wajib hadir.
Adapun fungsinya adalah untuk menambahkan informasi pada kalimat itu.
3.       Sruktur kalimat
a.    Struktur kalimat dasar
Kalimat dasar,atau kalimat tunggal, atau kalimat sederhana ialah kalimat yang hanya
memiliki satu subjek dan satu predikat. Kalimat dasar dapat berwujud tiga macam, yaitu
kalimat tunggal murni, seperti pada bentuk, “Adik tidur”. Kailmat dasar dapat juga berupa
kalimat yang diperluas dengan keterangan tertentu, misalnya adik menangis di belakan
kebun. Sekalipun bentuk bahasanya panjang, karena kalimat tersebut hanya terdiri dari satu
subjek dan predikat.
b.    Stuktur kalimat majemuk
Kalimat majemuk jenis yang pertama adalah kalmiat majemuk setara. Konstruksi
kalimat majemuk setara sesungguhnya sangat sederhana, yakni hanya beberapa kalimat
dasar atau kalimat tunggal yang kemudian digabungkan dengan konjungsi atau kata
penghubung.
Adapun konjungsinya ialah dan, atau, sedangkan, tetapi, dan melainkan. Contoh:
adik sedang tidur, sedangkan ibu sedang memasak di dapur.
4.    Kalimat efektif
a.    Definisi kalimat efektif
Kalimat efktif  adalah kalimat yang tidak cukup dipahami hanya sebagai satuan
kebhasaan terkecil yang dapat digunakan untuk mengungkapkan ide atau gagasan yang
utuh.
Demikian pula dalam konteks tuturan lisan, sebuah tuturan yang efektif itu harus
dapat membangkitkan kembali gagasan yang dimiliki oleh pendengar.
b.    Prinsip-prinip efektifitas kalimat
Prinsip utama yaitu bahwa kalimat itu harus disusun dengan mempertimbangkan dan
memperhitungkan kesepadanan bentuk atau kesepadanan setrukturnya. Contoh : adik kecil
yang menangis.
                
                
5. Resume Bab Empat:  Ihwal Paragraf
5.1 Pengertian paragraph
Paragraf ialah segala sesuatu yang lazim terdapat didalam karangan atau tulisan,
sesuai dengan prinsip dan tata kerja karang-mengarang dan tulis-menulis terdapat pula
dalam paragraf.
5.2 Ide utama dan kalimat utama dalam paragraph
Perlu digaris bawahi, sebuah paragraph muthlak harus memiliki ide pokok, ide pokok
itulah pengendali dari bangunan paragraf itu.
Jadi, kalimat utama atau kalimat pokok paragraph itu harus berisi ide utama dari
paragraph yang bersangkutan. Ambil saja contoh, ide pokok paragraf yang berbunyi
”lambatnya penelitian”, maka ide pokok paragraph itu dapat dikemas menjadi sebuah
kalimat utama yang berbunyi  “ lalmbatnya penelitian di Indonesia disebabkan oleh
rendahnya insentif bagi para peneliti.
1.    Kalimat utama diawal paragraph
Kalimat utama diawal  paragraf yaitu perincian dan jabaran bagi kalimat utama
tersebut akan menyertainya pada kalimat yang berikutnya. Alur pikiran yang
diterapkan dalam paragraph dengan kalimat utama yang berada diawal paragraph
yang demikian ini adalah alur piker deduktif.
2.    Kalimat utama di akhir paragraph
Kalimat pokok yang tempatnya di akhir paragraph terlebih dahulu di awali dengan
kalimat-kalimat penjelas. Nah, pada akhir paragraph, semua yang telah disajikan di
dalam bagian awal hingga pertengahan paragraph itu kemudian disimpulkan di akhir
paragraph.
3.   Kalimaat utama di dalam paragraph
Paragraph jenis demikian ini, ada yang menyutnya sebagai paragraph ineratif.
Jadi, didalam paragraph tersebut kalimat utama yang terdapat di tengah paragraph ini
diibaratkan sebagai puncak. Kalimat-kalimat yang berada diawal paragraph itu dapat
dikatakan sebagai awal-awal menuju puncak, menuju klimaks paragraph, sedangkan
kalimat-kalimat yang berada setelah kalimat-kalimat itu, sekalipun merupakan kalimat
penjelas, derajatnya semakin lemah.
4.    Kalimat utama di awal dan di akhir paragraph
      Paragraph yang kalimat utamanya di awal dan di akhir paragraph demikian ini disebut
sebagai paragraph yang beralur pikir abduktif.
a.    Kalimat penjelas
Dapat dikatakan sebagai kalimat penjelas karena tugas dari kalimat itu me      mang
menjelaskan dan menjadi lebih lanjut ide pokok dan kalimat utama yang terdapat dalam
paragraph tersebut. Jadi kalimat penjelas yang baik sesungguhnya akan menjadi penentu
pokok dari benar-benar baik dan tuntasnya paragraph tersebut.
1.    Kalimat penjelas mayor
Kalimat penjelas mayor adalah kalimat penjelas yang utama. Kalimat penjelas yang
utama itu bertugas menjelaskan secara langsung ide pokok dan kalimat utama yang
terdapat didalam paragraph itu.
2.    Kalimat penjelas minor
Dikatakan sebagai kalimat penjelas minor karena kalimat penjelas itu tidak secara
langsung menjelaskan ise pokok dan kalimat utama paragraph. Jadi seuah kalimat penjelas
minor yang telah menjelaskan secara lansung kalimat penjelas utama tertentu tidak serta
merta dapat digunakan untuk menjelaskan kalimat penjelas utama yang lain.
5.    Kalimat penegas
Dalam konteks pemakaian paragraph, kehadiran sebuah kalimat penegas didalam
paragraph, menjadi sangat lebih dipentingkan oleh penulis. Satu hal yang juga yang juga
harus dicatat oleh para penyusun paragraph, dan para penulis pada umumnya kalimat
penegas demikian itu bukanlah ide pokok dan kalimat pokok baru.

6. Resume Bab lima: Ihwal karya ilmiyah akademik


6.1 Ihwal karangan ilmiah
Menulis bagi banyak orang memang sangat tidak mudah. Bagi sementara orang yang
lain lagi justru terjadi sebalinya, menulis adalah sesuatu yang mudah dan sangat
menyenangkan. Berkaitan dengan hal ini, sesungguhnya ihwal kebiasaan membaca
memiliki peran dan pengaruh yang sangat besar dalam menjadikan orang merasakan
mudah ataukah sulit di dalam aktifitas menulis itu.
6.2         Lebih mengenali karangan ilmiah
Bias dikatakan sebagai hal yang ilmiah karena sesungguhnya dimensi-dimensi keilmuan
menjadi kandungan pokoknya dalam tulisan. Secara khusus dapat dijelaskan lebih lanjut
bahwa yang dimaksud dengan ilmiah itu berkaitan sangat erat dengan dimensi-dimensi
berikuti ini.
1.     Fakta/data sebagai dasar
Sebuah tulisan akan dapat dianggap sebagai hal yang sifatnya ilmiah karena dapat
dasar pokoknya adalah data atau fakta. Jadi, setiap tulisan ilmiah itu bahan pokoknya
adalah data atau fakta. Data bagi sebuah karya ilmiah harus berkualifikasi sempurna.
2.                            Pemikiran analisis dan konklusi logis.
Sebuah karangan ilmiah juga harus memenuhi ketiga dimensi kelogisan di dalam
tiga hal, yakni pemikiran atau penalarannya, analisis atau pembahasannya, dan penarikan
kesimpulan.
          Nah, apabila dimensi ilmiah demikian sudah semuanya di lakukan, maka jadilah
karangan ilmiah dengan tulisan yang berkualitas baik, bahkan boleh pula dikatakan
sempurna.
3.                            Objektif dan tidak berpihak
Salah satu yang harus di perhatikan dan ternyata sangat penting di dalam sebuah
karangan ilmiah adalah bahwa pembahasan atau analisis yang dilakukan harus benar-benar
objektif.
          Dalam hal ini, yang dimaksud adalah kebenaran ilmiah. Maka, analisis yang harus
dilakukan tidak boleh bersifat subjektif, melainkan harus objektif.
4.                            Akurat dan sistematis
          Semua yang disajikan dalam karya ilmiah itu harus bersifat sistemik dan sistematik.
Adapun yang dimaksud dengan sistemik itu ialah bahwa karya ilmiah harus sepenuhnya
mengacu kepada system atau tata cara ilmiah tertentu yang sifatnya konvensional dan
sekaligus universal.
Selanjutnya dapat dikatakan sistematis apabila pengaturan dan penataannya runtut
sesuai dengan urutan yang berlaku umum sebagai karya ilmiah.
5.                            Tidak emosional
Karya ilmiah tidak boleh bernuansa emosional. Maka bahasa yang digunakan juga
tidak boleh penuh dengan nuansa dan perasaan yang penuh dengan keharuan dan syarat
dengan permohonan maaf. Lazimnya pula, bahasa yang emosional itu disajikan dengan
nuansa kata yang berbelit- belit, tidak langsung pada persoalan atau sasarannya.

6.3  Asas-asas menulis karangan ilmiah


1.            Kejelasan (clarity)
Karangan ilmiah harus konkret dan jelas. Tidak boleh bersifat samar-samar, tidak
boleh kabur, dan tidak boleh di wilayah abu-abu.
2.            Ketepatan (accuracy)
Karangan ilmiah menjunjung tinggi keakuratan. Hasil penelitian ilmiah dan cara penyajian
hasil penelitian itu haruslah tepat atau akurat, penulis atau peneliti harus sangat cermat,
sangat teliti, dan tidak boleh sembrono.
3.            Keringkasan (brevity)
Karangan ilmiah haruslah ringkas. Ringkas tidak sama dengan pendek. Jadi, karangan
ilmiah itu tidak boleh menghamburkan kata-kata , tidak boleh mengulang-ulang ide yang
telah di ungkapkan, dan tidak berputar-putar dalam mengungkapkan maksud atau gagasan.
6.4        Kerangka karangan
Dengan rumusan tama karangan yang baik, kalimat tesis yang baik, judul karangan
yang baik, tujuan karangan yang jelas, akan dapat dijamin lahirnya karangan atau tulisan
yang baik pula.
Secara umum, kerangka karangan dapat dianggap sebagai rencana penulisan yang
mengandung ketentuan bagaimana kita akan menyusun sebuah karangan.
                             I.                Pendahuluan
1.            Latar belakang membahas…….
2.            Masalah merumuskan…….
3.            Tujuan berisi upaya……
                           II.                Masalah remaja
1.            Pergaulan bebas
2.            Ketergantungan obat
3.            ….
                         III.                Penutup
1.            Kesimpulan
2.            Saran.
7. Resume Bab Enam:  Ihwal resensi
7.1        Resensi
1.    Pengertian resensi
Resensi umumnya dipahami sebagai alasan dan penilaian terhadap sebuah karya.
Karya tersebut dapat bermacam-macam, mungki film, mungkin buku, karya seni, atau
mungkin pela produk teknologi.
Hal yang perlu di perhatikan dalam meresensi yaitu : tingkat keahlian, pengalaman dan
cakrawala pandang penulisnya, analisis di dalam penyajian materinya, analisis
kebahasaannya, ketajaman dan kekuatan topic serta pembahasannya, kekuatan
ekspresinya, kekuatan intelektualnya.
Tujuan pokoknya ialah agar pembaca tertarik untuk membaca secara langsung buku
yang sedang diresensi tersebut.
2.    Pertimbangan
Di depan sudah disampaikan bahwa dalam resensi tidak boleh hanya menyampaikan
kekurangan buku yang sedang diresensinya. Akan tetapi, harus menunjukkan dimensi-
dimensi positifnya dari bukku yang diresensi tersebut.
Secara khusus penulis hendak menegaskan bahwa pertimbangan-pertimbangan yang
harus dibuat oleh peresensi itu dapat mencakup keinginan pengarangnya, kepentingan dari
pembaca, dan materi atau esensi dari karya yang sedang diresensi tersebut.
3.    Prinsip resensi
Beberapa hal berikut yang harus di pertimbangkan dan di perhatikan dalam membuat
resensi :
1. Bahasa yang digunakan harus jelas, tegas, tajam , akurat
2. Pilihan kata yang digunakan harus baik, tepat, tidak konotatif
3.   Format dan isi reseni harus disesuaikan dengan kompetensi, minat, dan motifasi
pembaca.
4.   Objek seimbang dan proporsional dalam menyampaikan timbangan terhadap buku atau
hasil karya.
4.    Unsur-unsur reseni
Berikut ini disajikan beberapa unsure yang harus dijadikan pertimbangan dalam resensi :
1. Estetika perwajahan karya yang sedang diresensi
2.   Latar balakang penulisan dan pengalaman penulis
3.   Tema dan judul dikaitkan dengan minat pembacanya
4.   Penyajian dan sistematika karya yang sedang diresensi
5.   Deskripsi teknis buku atau karya yang sedang diresensi
6.   Jenis buku atau karya yang sedang diresensi
7.   Keunggulan buku atau karya yang sedang diresensi
8.   Kelemahan buku yang atau karya yang sedang diresensi
7.2        Kajian pustaka dan landasan teori
Sebagai kajian pustaka untuk kajian ini sengaja hanya dicermati dua karya
linguirelevan, yakni :
1.    Kajian lapoliwa (1988)
2.    Kajian rahardi (2006)
Hal perkajian pertama adalah bahwa imperative bahasa Indonesia dapat dibedakan menjadi
: Perintah, Suruhan, desakan, permintaan, saran, ajakan, tawaran, persilan, harapan,
kehendak, keinginan, laran kutukan, dan ucapan performatif.
Temuan rahardi menginspirasi untuk segera menemukan makna-makna sosiopragmatik
imperative, sehingga dapat kajian pragmatic yang telah dilakukan sebelumnya.
7.3        Metodologi
Langkah pertama yang harus dilakukan dalalm kajian ini adalah menyediakan data,
sehingga data itu benar-benar siap untuk dikenai metode dan teknik-teknik analisis data.
Data penelitian yang dimaksud pada dasarnya merupakan bahan jadi penelitian, bukan
bahan mentah penelitian. Namun sebelum melakukukan analisis, data yang telah disediakan
dengan sungguh baik kemudian dikelompokkan terlebih dahulu. Klasifikasi data dilakukan
untuk mendapatkan tipe-tipe data, yang selanjutnya mempermudah proses analisis data
pada tahapan berikutnya.
Untuk penyediaan data digunakan 3 macam metode, yaitu : metode simak, metode
cakap, dan metode survey. Metode simak lazim disebut metode pngamatan atau observasi.
Metode cakap dapat pula disejajarkan dengan metode wawancara. Masing-maing metode
penyediaan data itu didalam penerapannya masih dijabarkan kedalam tekni-teknik
penyediaan data yang menjadi bawahannya.
7.4        Pembahasan
Setelah menganalisis data, masuk pada tahap pembahasan. Pembahasan disini
membahas hasil jadi penelitian. Perlu di garis bawahi, bahwa membahas suatu penelitian
harus berdasarkan fakta, tidak boleh di karang sendiri, karena dari penelitian itu butuh bukti
fakta.
7.5       Simpulan
Sejalan dengan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka
teori, dan pembahasan datanya, maka hal-hal berikut dapat dinyatakan sebagai simpulan.
Simpulan disini hanya mengambil garis besarnya saja.

8. Resume Bab Tujuh:  Ihwal teknis ejaan


8.1 Pedoman teknis ejaan
1.     Bentuk kebahasaan yang harus diikuti tanda koma (,) dalam penulisannya.
Agaknya, Paling tidak,
Akan tetapi, Sebaliknya,
Akhirnya, Sesudahnya,
Akibatnya, Sementara itu,
Artinya, Adapun,
Biarpun begitu, Sungguhpun begitu,
Biarpun demikian, Tambahan lagi,
Oleh sebab itu, Sungguhpun demikian,
Sebagai kesimpulan, Maka dari itu,

2.    Bentuk yang didahului dengan tanda koma (,) dalam penulisannya dan letaknya dalam
kalimat.
…, padahal
…, sedangkan
…, seperti
…, misalnya
…, contohnya
…, antara lain
…, di antaranya
…, yaitu
…, yakni
…, ialah
…, adalah
…, pasalnya
3.      Bentuk-bentuk kebahasaan yang tidak didahului tanda koma, khususnya apabila bentuk
kebahasaan itu diikuti anak kalimat.
…bahwa…
…maka…
…sehingga…
…sebab…
…jika…
…kalau…
…apabila…

4.    Bentuk-bentuk kebahasaan yang didahului tanda koma, khususnya apabila bentuk
kebahasaan itu diikuti induk kalimat.
…, bahwa…
…, maka…
…, karena…
…, sehingga…
…, sebab…
…, jika…
…, kalau…
…, apabila…
…, bilamana…

5.    Bentuk- bentuk kebahasaan yang harus hadir berpasangan karena merupakan konjungsi
korelatif.
Baik…maupun
Bukan…melainkan
Tidak…tetapi
Antara…dan
Tidak hanya…tetapi juga

6.    Bentuk-bentuk kebahasaan yang harus hadir berpasangan karena merupakan idiom atau
bentuk senyawa.
Sesuai dengan
Terkait dengan
Seirama dengan
Berkaitan dengan
Bertalian dengan
Dbandingkan dengan

7.    Bentuk-bentuk kebahasaan yang tidak boleh hadir karena berkaitan dengan dimensi
kedaerahan dan kellisahan.
Gimana mangkanya
Gitu Karenanya
Slama Haturkan
Nggak Menghaturkan
Peduli amat Wilayah pemukiman
Ini kali Penduluan
Ini hari Pembaharuan
Ketawa Nampak

8.    Bentuk-bentuk kebahasaan yang salah karena merupakan hasil dari analogi bentuk-bentuk
kebahasaan yang salah.
Lelenisasi Neonisasi
Listrikisasi Konblokisasi
Selokanisasi Teleponisasi
Sengonisasi Jatinisasi
Turinisasi Abatisasi
Kuningisasi Semprotisasi
Hitamisasi Wesenisasi
Lampunisasi Pompanisasi

9.    Bentuk- bentuk yang keliru karena merupakan hasil dari analogi nomina dan verba yang
tidak benar.
Koordinir Mengorganisir
Mengkoordinir Terorganisir
Dikoordinir Dramatisir
Terkoordinir Mendramatisir
Legalisir Didramatisir
Dilegalisir Realisirs
Proklamir dipolitisir

10. Bentuk-bentuk kebahasaan yang salah karena ketidakcermatan dalam penulisan.


Pungkir kusus
Dipungkiri Ihlas
Mempungkiri Akhli
Jadual Husus
Gladi Apotik
Gladi resik Apotiker
Panutan Fikiran
Antri Difikirkan
Mengantri Faham
Prosen Difahami
Diprosenkan Kwitansi
Prosentase dikwitansikan

11. Bentuk kebahasaan yang salah karena adanya anggapan yang salah ihwal penulisan
gabungan kata.
Beritahu tanggungjawab
Lipatganda Terimakasih
Kerjasama Keretaapi
Garisbawah Rumahsakit
Sebarluas Suratkabar
Tandatangan

12.   Bentuk jadian yang salah akibat adanya anggapan gabungan kata yang salah.
Memberitahu Sebarluaskan
Beritahukan Bertandatangani
Berlipatganda Tandatangani
Bekerjasama tandatangankan
Digarisbawah Berterimakasih
Tersebarluas Terimakasihi

13.   Bentuk kebahasaan yang salah akibat pemahaman morfofonemik yang salah.
Memproduksi Memerhatiakn

Memromosikan Mempesona

Memproses Mengkomunikasikan

Memraktikkan Mengkoordinir

Memrakarsai Memunyai

14.   Bentuk kebahasaan yang salah karena adanya kesalahkaprahan.


Berkesinambungan Menyuci
Disini Menyoblos
Disana Maka itu
Diketemukan Merubah
Sampai ketemu kembali Tersebut diatas
Seperti misalnya Nampak
Seperti contohnya Silahkan

15.   Bentuk kebahasaan yang salah akibat kegandaan konjungsi kalimat.


Jika…maka Manakala…maka
Karena…maka Meskipun…tetapi
Kalau…maka Meskipun…namun
Sehingga…maka Walaupun…tetapi
Bila..maka Kendatipun…namun

16.   Bentuk “di” ditulis serangkai apabila kata yang mengikutinya adalah ‘verba’ atau ‘kata
kerja’. Bentuk ‘di’ ditulis tidak serangkai dengan kata yang mengikutinya apabila kata itu
merupakan nomina atau kata benda. Bentuk ‘di samping’ dan ‘disamping’ berbeda, karena
yang satu bermakna ‘di sebelah’, sedangkan yang satunya bermakna ‘selain’ atau ‘kecuali’.
Dipukul Di meja
Ditendang Di kursi
Dipikir Di halaman
Dibangun Di kelas
Dipasang Di gedung
Dikawal Di kolam
Dipakai Di luar

17.   Bentuk ‘ke’ harus ditulis dengan kata yang mengikutinya apabila diikuti kata bilangan
atau numeralia. Selain itu, ‘ke’ juga harus ditulis serangakai dengan ‘luar’ kalau merupakan
kebalikan dari kata ‘masuk’. Adapaun ‘ke’ pada ‘ke luar’ ditulis tidak serangkai dengan
bentuk itu merupakan lawan dari bentuk ‘ke dalam’.
Kedua
Ketiga
Keempat
Keluar
Kekasih
Ketua
Kemari

18.   Bentuk ‘pun’ harus ditulis serangkai dengan kata yang mendahuluinya, apabila ‘pun’
tersebut sudah merupakan satu kesatuan dengan bentuk kebahasaan yang mendahuluinya.
Adapun ‘pun’ harus ditulis terpisah dengan kata yang mendahuluinya, apabila ‘pun’
berfungsi ‘menyangatkan’ atau ‘mengeraskan makna’. Bentuk ‘sekalipun’ bermakna ‘sekali
saja’ atau ‘meskipun sekali’ atau ‘walaupun sekali’. Penulisan ‘sekali pun’ dalalm makna
yang terakhir ini harus ditulis tidak serangkai.
19.   Kata gabung yang salah satu bagiannya tidak dapat berdiri sendiri sebagai kata harus
dituliskan serangkai dengan bentuk kebahasaan yang  mengikutinya. Misal: intrakurikuler,
ekstrakurikuler, perikemanusiaan.
20.   Kata gabung dasar yang bagian-bagiannya tidak sangat erat hubungannya. Sehingga
tidak dapat disatukan menjadi satu. Misal: tanggung jawab, kerja sama, daya guna.
21.Bentuk ‘sebagai berikut’ dalam penggunaannya dapat diakhiri dengan tanda titik (.)
digunakan apabila yang menyertai adalah kalimat-kalimat, dan dapat pula diakhiri dengan
tanda titik dua (:) digunakan apabila perincian yang menyertainya adalah kata, frasa, atau
klausa.

22. Ihwal bentuk ‘adalah’, ‘ialah’, ‘yakni’, dan ‘yaitu’.

Bentuk-bentuk kebahasaan itu dalam perincian yang bersifat mendatar atau horizontal,
maupun vertikal, tidak perlu diikuti dengan tanda titik dua (:).
Misal:
a.        Tiga persoalan yang  harus diatasi secepatnya, yakni (a) sulit dijangkau, (b) sulit dicari,
(c) sulit ditemukan.

b.        Tiga persoalan mendasar yang harus diatasi secepatnya, yakni

a.        Sulit dijangkau,

b.        Sulit dicari, dan

c.        Sulit ditemukan.

      Bentuk ‘ialah’ digunakan untuk mendefinisikan sesuatu, sedangkan bentuk ‘adalah’
digunakan untuk menegaskan hubungan subjek kalimat dengan unsur penjelas yang
mengikutinya.
23.   Ihwal tanda hubung (-) dan tanda pisah (−)
Tanda hubung (-) digunakan dalam bentuk ulang dan dituliskan diantara bentuk yang
diulang tersebut, sedangkan tanda pisah (−) digunakan untuk menyatakan maksud ‘hingga’
atau ‘sampai dengan’.
24. Ihwal bentuk ‘tiap-tiap’, ‘setiap’, ‘masing-masing’, ‘sesuatu’ dan ‘seseorang’. Diantara
bentuk-bentuk kebahasaan di atas itu, yang dapat diikuti oleh nomina adalah ‘tiap-tiap’  atau
‘setiap’.
25.   Ihwal ‘sementara’, ‘sementara itu’, dan ‘adapun’.
Bentuk ‘sementara itu’ dan ‘adapun’ berkedudukan sebagai konjungsi antar kalimat
.konjungsi antar kalimat demikian itu harus ditulis dengan tanda koma yang menyertainya.
Bentuk ‘sedangkan’ adalah konjungsi intrakalimat, bukan antar kalimat. Contoh-contoh
berikut ini salah dan harus dihindari pemakaiannya.
a.  Sementara kalangan akan segera datang menyusul.

b.  Adapun masalah-masalah kelembagaan cenderung diabaikan.

c.  Sementara para mahasiswa  tidak diperkenankan masuk kampus.

Bentuk kebahasaan yang benar adalah sebagai berikut:


a.  Beberapa kalangan akan segera datang menyusul.

b.  Adapun masalah-masalah kelembagaan cenderung diabaikan.

c.  Sementara itu, para mahasiswa tidak diperkenankan masuk kampus.

26.   Ihwal ‘seperti’, ‘misalnya’, ‘contohnya’, ‘antara lain’

Bentuk-bentuk kebahasaan ini dianggap sebagai konjungsi yang tugasnya adalah


memerinci sekaligus pembatas. Contoh:  Lambatnya mengatasi masalah itu dipengaruhi
oleh banyak hal, misalnya terbatasnya keuangan, kurangnya sumber daya manusia.

1.     Simpulan

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa buku ini terdiri dari tujuh bab.

a.      Bab 1 jati diri bangsa yang di dalamnya membahas tentang  arti bahasa, fungsi bahasa, dan
ragam bahasa, dengan ini diharapkan pembaca agar mengetahui apa arti bahasa yang
sebenarnya.

b.      Bab 2 ihwal diksi yang di dalamnya membahas peranti-peranti  diksi, ihwal peristilahan,
aneka kasus diksi.

c.      Bab 3 ihwal kalimat berisi tentang kelas kata, frasa, klausa, dan kalimat, dengan mempelajari
bab ini pembaca akan diperkenalkan bagaimana cara membuat kalimat yang efektif.

d.      Bab 4 ihwal paragraf di dalamnya membahas pengertian paragraf itu sendiri, ide utama dan
kalimat utama, kalimat penjelas, kalimat penegas, unsur-unsur pengait paragraf, prinsip
kepaduan bentuk dan makna paragraf, jenis dan cara pengembangan paragraf.

e.      Bab 5 ihwal karya ilmiah akademik di dalamnya membahas karangan ilmiah, asas-asas
karangan ilmiah, tema karangan, judul karangan, kalimat tesis, kerangka karangan, model-
model berpikir, ihwal latar belakang masalah dan rumusan masalah, ihwal tujuan penulisan,
ihwal hipotesis, ihwal abstrak, cara kerja penyusunan karangan ilmiah, empat langkah
penyediaan data, aspek-aspek dalam analisis data, berpikir linear dalam karangan ilmiah.
f.          Bab 6 ihwal resensi di dalamnya membahas pengertian, pertimbangan dalam meresensi,
prinsip resensi, unsur-unsur resensi.

g.      Bab 7 ihwal teknis ejaan, dalam bab ini dibahas tentang teknis-teknis ejaan yang benar dan
sesuai dengan ejaan yang telah disempurnakan. 
TUGAS REMIDIAL MATA KULIAH BAHASA INDONESIA
RESUME BUKU BAHASA INDONESIA UNTUK PERGURUAN TINGGI

OLEH :
Adek Satura Fibia Amarylis
NIM.18.2.044

DOSEN MATA KULIAH :


M. Masyur Baicuni, M.Pd

INSTITUT TEKNOLOGI SAINS DAN KESEHATAN


RS dr. SOEPRAOEN KESDAM V/BRAWIJAYA
MALANG
2020
ADEK SATURA FIBIA AMARYLIS

NIM.182044

3B PRODI D-III KEBIDANAN

RESUME “BAHASA INDONESIA UNTUK PERGURUAN TINGGI”


KARYA Dr. R. KUNJANA RAHARDI, M. Hum.

DATA BUKU
JUDUL : Bahasa Indonesia Untuk Perguruan Tinggi
PENULIS : Dr. R. Kunjana Rahardi, M. Hum
Penerbit : Erlangga
Tebal : 233 Halaman
1. Pengantar
Buku dengan judul “Bahasa indonesia untuk perguruan tinggi” karya Dr. R.
KUNJANA RAHARDI, M. Hum. sangatlah penting untuk dipelajari, khususnya bagi
mahasiswa untuk mempermudah memahami bahasa indonesia secara baik dan
benar sesuai dengan kaidah ejaan yang telah disempurnakan.  Beliau adalah dosen
luar biasa di Fakultas Ekonomi Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Buku ini dicetak
oleh Penerbit Erlangga pada tahun 2009.
Buku ini disusun dalam 7 bab, yang masing-masing diperinci menjadi sub-
subbab yang lebih terperinci. Di awal setiap bab disajikan rumusan kompetensi dasar
dan rumusan standar kompetensi untuk para mahasiswa mempelajari isi setiap isi
bab.
Paper ini merupakan tugas dari mata kuliah Bahasa Indonesia. Penulis
meresume setiap bab buku ini. Pemahaman buku ini masih perlu banyak penjelasan
karena keterbatasan penulis terhadap beberapa  istilah yang perlu dipahami secara
tepat.

2. Resume Bab Satu:  jati diri bahasa


2.1 Arti Bahasa
Bahasa, masyarakat, dan budaya adalah tiga etnis yang erat berpadu.
Sosok bahasa sering disebut penanda (prevoir) eksistensi budaya dari
masyarakat yang bersangkutan. Masyarakat yang maju budayanya pasti juga
berkembang baik entitas bahasanya. Bahasa yang baik juga dapat menunjukkan
keberadaan masyarakat. Maka, bahasa sering pula disebut cermin
masyarakatnya.
Entitas bahasa bersifat unik, khas, dan tidak dimiliki bahasa-bahasa
lainnya. Anderson (1972) menyebutkan delapan prinsip dasar yang merupakan
hakekat bahasa, yaitu :
a. Merupakan alat komunikasi
b. Bersifat kesemestaan
c. Bersifat kemanusiaan
d. Berkaitan dengan masyarakat dan budaya
e. Memiliki makna konvensional
f. Bersifat vocal
g. Merupakan symbol arbitrer
h. Merupakan system
2.2 Fungsi bahasa
Bahasa memiliki fungsi beragam, yaitu :
a. Fungsi instrumental adalah bahasa dapat digunakan untuk melayani
lingkungannya.
b. Fungsi regulasi adalah bahasa digunakan untuk mengatur serta mengendalikan
orang-orang sebagai warga masyarakat.
c. Fungsi representasional adalah menggambar atau mempresentasikan sesuatu.
d. Fungsi interaksional adalah bahwa bahasa dapat digunakan untuk menjamin
terjadinya interaksi, memantapkan komunikasi, dan mengukuhkan komunikasi
dan interaksi antar warga masyarakat itu sendiri.
e. Fungsi personal adalah bahasa dapat digunakan untuk mengekspresikan
maksud-maksud pribadi atau personal.
f. Fungfi heuristic adalah bahasa digunakan untuk mempelajari pengetahuan,
mencari ilmu, mengembangkan tekhnologi, dan menyampaikan rumusan-
rumusan yang bersifat pertanyaan.
g. Fungsi imajinatif adalah fungsi bahasa yang berkenaan dengan penciptaan
imajinasi.
Dari beberapa fungsi diatas, yang paling utama adalah fungsi interaksional, karena
bahasa menjadi piranti utama dalam berkomunikasi dan interaksi antar sesama.

2.3 Ragam bahasa


Bahasa Indonesia memiliki ragam bahasa yang tidak sedikit jumlahnya.
a. Ragam bahasa berdasarkan waktunya
Dalam konteks waktu, bahasa dapat diperinci menjadi :
a) Bahasa ragam lama atau kuno
b) Bahasa ragam baru atau modern
c) Bahasa ragam kontemporer, yakni ragam bahasa yang banyak mencuat
akhir-akhir ini.
Dengan bahasa laras lama atau bahasa ragam kuno dapat dilacak keberadaan
atau eksistensi berikut makna sejumlah dokumen kuno, aneka prasasti, dan tulisan-
tulisan yang tertuang dalam piranti yang masih sangat sederhana itu.
Selanjutnya, setelah ragam bahasa kuno adalah bahasa dalam ragam baru.
Dengan ragam baru bahasa itu dimungkinkan terjadi pula inovasi-inovasi
kebahasaan yang baru. Dengan bahasa ragam baru pula perkembangan masa
depannya akan dapat diprediksikan.
Dalam banyak literatur memang sama sekali tidak ditemukan ragam bahasa
kontemporer. Adapun yang dimaksud adalah entitas bahsa dalam wujud
perkembangannya yang sekarang ini, yang telah melahirkan bentuk-bentuk
kebahasaan baru yang cenderung mengabaikan kaidah-kaidah kebahasaan yang
sudah ada itu.
Selain ditandai penyimpangan-penyimpangan aturan kebahasaan, bahasa
kontemporer juga cenderung tidak peduli dengan pembedaan fungsi bahasa dalam
kaitan dengan kedudukan sebagaimana telah disampaikan  dibagian depan.
b. Ragam bahasa berdasarkan medianya
Jika dilihat dari dimensi medianya, bahasa dapat dikelompokkan menjadi
dua, yaitu :
a) Bahasa ragam lisan
b) Bahasan ragam tulis
Bahasa ragam lisan lazimnya ditndai dan ditentukan oleh penggunaan
aksen-aksen bicara atau penekanan –penekanan tertentu dalam aktifitas
bertutur, pemakaian intonasi atau lagu kalimat tertentu.
Bahasa ragam lisan selanjutnya dapat diperici menjadi dua, yakni (a)
bahasa ragam lisan baku dan (b) bahasa ragam lisan tidak baku. Bahasa
ragam lisan baku kelihatan seperti orang sedang ceramah, presentasi, dan
lain-lain. Bahasa ragam lisan tidak baku juga kelihatan seperti ngobrol
dengan santai. Selanjutnya yang dimaksud dengan bahasa ragam tulis
bahasa yang hanya tepat muncul dalam konteks tertulis.
c. Ragam bahasa berdasarkan pesan komunikasinya
Apabila didasarkan pada kandungan pesan komunikasinya, bahasa dapat
dibedakan menjadi :
a) Bahasa ragam ilmiah
b) Bahasa ragam sastra
c) Bahasa ragam pidato
d) Bahasa ragam berita
Ragam ilmiah biasanya digunakan dalam dua manifestasi, yakni dalam karya
ilmiah akademis dan dalam karya ilmiah popular. Karya ilmiah akademis di
perguruan tinggi biasanya akaln meliputi artikel ilmiah, makalah ilmiyah, jurnal
ilmiah, surat-menyurat, dan lain-lain. Adapun karya ilmiah populer bias meliputi
esai-esai ilmiah populer,  catatan-catatan ilmiah populer, opini-opini di media
massa, dan lain-lain.
3. Resume Bab Dua:  Ihwal diksi
3.1 Peranti-peranti diksi
1. Peranti kata berdenotasi dan berkonotasi
a. Kata berdenotasi
Dalam studi linguistic ditegaskan bahwa kata yangtidak mengandung
makna tambahan atau perasaan tambahan makna tertentu disebut denotasi.
Jadi makna denotasi dapat disebut makna yang sebenarnya, seperti peranti
duduk yang namanya “kursi”, maka peranti , untuk duduk itu disebut sebagai
“kursi”. Kata “kursi” dalam hal ini memiliki makna apa adanya.
b. Kata berkonotasi
Kata berkonotasi ialah makna kias, bukan makna sebenarnya. Makna
konotasi memiliki nuansa makna subjektif dan cendeerung digunakan dalam
situasi tidak formal, seperti “dengan memanjatkat puji syukur kepada…..”,
pemakaian kata “memanjatkan” dalam kalimat tersebut jelas sekali
menggunakan makna konotasi bukan denotasi.
2. Peranti kata bersinonim dan berantonim
Kata “bersinonim” berarti kata sejenis, sepadan, sejajar, serumpun, dan
memiliki arti sama. Secara lebih gampang dapat dikatakan bahwa sinonim
sesungguhnya ada persamaan makna kata. Adapun yang dimaksud adalah dua
kata atau lebih yang berbeda bentuknya, ejaannya, pengucapan atau lafaldnya,
tetapi memiliki makna sama atau hampir sama, contoh: hamil dan mengandung,
kedua bentuk tersebut dapat dikatakan bersinonim karena bentuknya berbeda
tetapi maknanya sama.
Kata “berantonim” berlawanan dengan kata “bersinonim”. Bentuk kebahasaan
tertentu akan dapat dikatakan berantonim jika bentuk itu memiliki makna yang
tidak sama atau berlawanan. Seperti contoh kata “panas dan dingin”, kedua kata
tersebut mempunyai makna yang berlawanan.
3. Peranti kata bernilai Rasa
Diksi atau pilihan kata juga mengajarkan untuk senantiasa menggunakan
kata-kata yang bernilai rasa dengan cermat, guna untuk mengindahkan kata-
kata. Bahasa juga perlu dalam pemakaiannya lebih di perhatikan dan di
pertimbangkan, agar dapat menyangkut dengan konteksnya.
4. Peranti kata konkret dan abstrak
Kata-kata konkret adalah kata-kata yang menunjukkan pada objek yang
dapat dipilih, didengar, dirasakan, diraba, atau dicium. Kata-kata konkret lebih
mudah dipahami daripada kata-kata abstrak
Kata-kata abstrak menunjuk pada konsep atau gagasan. Kata-kata abstrak
sering dipakai untuk mengungkapkan gagasan yang cenderung rumit. Kata
abstrak digunakan untuk membuat deskripsi,beberapa juga untuk narasi.
5. Peranti keumuman dan kekhususan kata
Kata umum adalah kata yang perlu dijabarkan lebih lanjut dengan kata yang
sifatnya khusus untuk mendapatkan perincian lebih baik. Kata umum lebih tepat
digunakan untuk argumentasi atau persuasi, karena dalam pemakaian yang
disebutkan terakhin itu akan dibuka kemungkinan-kemungkinan penafsiran yang
lebih luas, yang lebih umum, yang lebih komprehensif sebagai imbangan kata-
kata umum adalah kata-kata khusus.
Dalam banyak hal, kata-kata khusus memang merupakan kebalikan kata-kata
umum. Kata-kata khusus cenderung digunakan dalam konteks terbatas, maka
lazim pula dipahami bahwa kata-kata khusus adalah kata-kata yang sempit
ruang lingkupnya, terbatas konteks pemakaiannya.
6. Peranti kelugasan kata
Diksi juga mengajarkan kita ihwal kata-kata lugas, apa adanya.  Kata-kata
lugas adalah kata-kata yang sekaligus juga ringkas , tidak merupakan frasa
panjang, tidak mendayu-dayu, dan sama sekali tidak berbelit-belit. Ketika
konteks pemakaian kebahasaan itu adalah untuk menyatakan kebasi-basian dan
kesantunan, sudah barang tentu pemakaian bentuk-bentuk kebahasaan yang
lugas itu tidak tepat.
7. Peranti penyempitan dan perluasan makna kata
Sebuah kata dapat dikatakan mengalami penyempitan makna apabila
didalam kurun waktu tertentu maknanya bergeser dari semula yang luas ke
makna yang sempit atau sangat terbatas.
Sebagai imbangan dari penyempitan makna kata adalah perluasan makna
kata. Sebuah makna kebebasan dikatakan akan meluas jika dalam kurun waktu
ternentu maknanya akan bergeser dari yang semula sempit ke makna yang lebih
luas.
8. Peranti keaktifan dan kepasifan kata
Dalam kerangka diksi atau pemilihan kata yang dimaksud dengan kata-kata
aktif adalah kata-kata yanga banyak digunakan oleh tokoh masyarakat.
Pemakaian bahasa kontemporer yang terjadi sekarang ini banyak menjadi
bukti sekaligus saksi akan banyak dilahirkannya kata-kata yang baru, kata-kata
yang semula tidak pernah digunakan itu.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kata-kata yang semula tidak pernah
digunakan akan menjadi aktif jika digunakan.
9. Peranti ameliorasi dan peyorasi
Ameliorasi adalah proses perubahan makna dari yang lama ke yang baru
ketika bentuk yang baru dianggap dan dirasakan lebih tinggi dan lebih tepat nilai
rasa serta konotasinya dibandingkan dengan yang lama.
Sebagai imbangan dari ameliorasi adalah peyorasi. Maksudnya adalah
perubahan makna dari yang baru ke yang lama ketika yang lama dianggap
masih tetap lebih tinggi dan lebih tetap nilai rasa serta konotasinya dibandingkan
dengan makna yang baru.
10. Peranti kesenyawaan kata
Bentuk idiomatis  atau bentuk bersenyawa, sesuai dengan namanya, tidak
dapat dipisahkan begitu saja oleh siapapun. Dikatakan sebagai bentuk senyawa
karena bentuk demikian itu sudah sangat erat hubungan antara satu dengan
dengan yang lainnya. Jadi didalam konstruksi idiomatis kata yang satu dengan
kata yang lainnya itu berhubungan erat, lekat, dan tidak dapat dipisahkan oleh
alasan apapun juga.
11. Peranti kebakuan dan ketidakbakuan kata
Bentuk baku hadir karena adanya pembakuan bentuk-bentuk kebahasaan.
Pembakuan bahasa demikian itu pada gilirannya akan menjadikan bangsa
Indonesia semakin bermartabat.
Bilamana bahasa baku tersebut digunakan oleh masyarakat internasional,
maka jadilah bahasa itu bahasa yang berharkat dan bermartabat tinggi.

3.2 Ihwal peristilahan


Istilah dapat didefinisikan sebagai kata atau gabungan kata yang dapat dengan cermat
mengungkapkan makna konsep, proses, keadaan, atau sifat yang khas dibidang kehidupan
dan cabang ilmu pengetahuan tertentu. Istilah itu sendiri dibedakan ke dalam dua jenis, yaitu
istilah yang sifatnya khusus dan istilah yang sifatnya umum.
Bentuk-bentuk kebebasan yang hanya lazim digunakan dalam bidang tertentu dapat
dikatakan sebagai bentuk-bentuk yang sifatnya khusus. Sebagail imbangan dari kata-kata
yang sifatnya khusus adalah kata-kata yang sifatnya umum yaitu kata-kata yang memiliki
kandungan makna yang banyak dan bermacam-macam .

4. Resume Bab Tiga : Ihwal Kalimat


4.1 Kelas kata
Kata dalam bahasa Indonesia yang jumlahnya luar biasa banyak itu mustahil dapat
dipelajari dengan mudah kalau tidak di kelas-kelaskan terlebih  dahulu. Nah, hasil dari
pengelaskataan atau pengelompokan kata-kata itulah yang kemudian lazim disebut dengan
kelas kata.
a. Verba
Verba atau kata kerja lazimnya dapat didefinisikan dengan menggunakan tiga
macam cara.
a) Dengan mencermati bentuk morfologisnya
b) Dengan mencermati perilaku sintaksisnya
c) Dengan mencermati perilaku semantisnya
Berdasarkan ciri morfologisnya, verba didalam bahasa Indonesia dapat
dibedakan menjadi :
a) Verba dasar atau verba yang tidak berafiks
b) Verba berafiks
c) Verba yang merupakan perulangan atau reduplikasi
d) Verba yang merupakan bentuk majemuk
Berdasarkan fungsinya atau sering disebut sebagai perilaku sintaksisnya, verba
dapat dibedakan menjadi :
a) Verba yang menduduki fungsi subjek
b) Verba yang menduduki posisi keterangan
c) Verba yang menduduki posisi objek
Dari sisi pembentukannya, verba juga dapat dibentuk dari nomina. Verba atau
kata kerja yang demikian ini disebut sebagai verba denominal, misalnya “berbudaya
dan mencangkul” yang dibentuk dari dasar nomina “budaya dan cangkul”. Selain itu
ada juga verba adjektifa, contoh mengakhiri dan mengawali.
b. Adjektiva
Adjektiva lazim disebut juga kata sifat. Dari dimensi wujud atau bentuknya
dapat dikenali adjektifa dasar, seperti cantik, adil.
Adjektiva dari dimensi bentuknya merupakan gabungan atau perpaduan dua
adjektiva, misalnya cantik jelita dan aman sentausa.
     Adjektifa dapat didampingi dengan kata-kata berikut, sangat, agak, lebih, paling.
c. Nomina
Nomina disebut juga kata benda. Dari dimensi bentuknya, nomina dapat
dibedakan menjadi dua, yakni nomina dasar dan nomina bentukan atau turunan.
Nomina dasar ialah nomina yang belum mendapatkan imbuhan apapun, contoh :
buku, meja, rumah. Nomina turunan ialah nomina yang sudah mendapatkan
imbuhan.

d. Pronominal
Pronominal disebut juga sebagai kata ganti. Dikatakan sebagai kata ganti
karena sesungguhnya pronomina itu berfungsi menggantikan nomina yang menjadi
antesedennya.
Dari sisi bentuknya, nomina dapat dibedakan menjadi :
a) Nomina persona
b) Nomina penunjuk
c) Nomina penanya
Nomina persona dapat menunjukkan orang, baik dalam hitungan tunggal maupun
banyak. Tunggal : saya, aku, daku, dan –ku. Jamak : kami, kamu, kalian, mereka.
Selain menunjukkan pada persona, pronominal juga dapat nomina penunjuk,
seperti : itu, ini, sana, sini. Pronominal dapat juga berfungsi sebagai pronominal
penanya, misalnya : mengapa, lenapa, bagaimana.
e. Numeralia
Numeralia sering disebut juga kata bilangan. Kata itu digunakan untuk
menghitung jumlah orang, binatang, barang, dan juga sebuah konsep.
Dalam bahasa Indonesia dibedakan dua macam numeralia, yaitu numeralia
pokok dan numeralia tingkat. Numeralia pokok digunakan untuk menjawab
pertanyaan “berapa”, sedangkan numeralia tingkat digunakan untuk menjawab
pertanyaan “kebrapa”.
f. Adverbial
Adverbia sering disebut juga kata keterangan. Dapat dikatakan keterangan
karena kata-kata itu memberikan keterangan pada verba, adjektiva, nomina
predikatif, atau pada kata kalimat secara keseluruhan.
Dari dimensi bentuknya, terdapat dua macam adverbia dlam bahasa
Indonesia, yakni :
a) Adverbia monomorfemis
b)  Adverbia polimorfemis
                   Dikatakan sebagai adverbia monomorfemis karena adverbial itu hanya terdiri
dari satu bentuk, seperti sangat, hanya, segera, agak, akan. Dapat dikatakan adverbia
polimorfemis karena bentuknya lebih dari satu morfem, misalnya belum tentu, jangan-
jangan, lebih-lebih, mula-mula.
                   Dari sisi perilaku sintaksisnya, adverbial dapat merupakan kata yang
mendahului kata yang diterngkan, seperti pada “puisi itu sangat indah”, kata sangat adalah
adverbia dan tugasnya adalah menjelaskan “indah” yang berada dibelakangnya.

4.2 Frasa
Frasa atau kelompok kata adalah satuan gramatikal yang berupa gabungan kata dan
hubungan kata itu bersifat nonprediktif. Yang perlu digaris bawahi dalam pembahasan frasa
ialah  hubungan antar kata dan kata yang lain di dalam kata tersebut.
Secara umum, frasa atau kelompok kata itu dapat dibedakan menjadi dua, yakni frasa
eksosentris dan frasa endosentris. Frasa eksosentris  tidak memiliki perilaku sintaksis yang
sama dengan semua komponennya, contoh : dengan sabar, dengan baik, dari rumah, pada
hari. Frasa endosentris ialah frasa yang seluruh bagiannya memiliki perilaku sintaksis yang
sama dengan perilaku  salah satu komponen tersebut. Frasa endosentris dapat dibedakan
menjadi dua, yakni frasa endosentris tunggal dan frasa endosentris jamak. Contoh frasa
endosentris tunggal ialah fendi anak bapak kunjana yang masaih kecil itu senang membuat
puisi. Contoh frasa endosentris jamak ialah saya tetap mencintainya, baik kaya maupun
miskin.
Frasa endosentris tunggal dapat dibedakan menjadi menjadi frasa berikut ini, yaitu :
a. Frasa nominal
Frasa yang terdiri dari nomina sebagai induk atau sebagai pusat dan unsure
lain yang yang berupa adjektifa, verba, numeralia, dan lain-lain. Contoh : kursi
rotan, kawan seperjuangan, sosok yang terpandang, wanita cantik jelita.
b. Frasa verba
Frasa verba merupakan gabungan antara verba dengan verba, verba dengan
adverbia atau yang lainnya. Contoh :pergi ke jakarta, berangkat tidur, tidur dengan
nyenyak.
c. Frasa adjektiva
Frasa adjektiva ialah frasa yang merupakan gabungan antara adjektifa
dengan komponen yang lainnya, sedangkan frasa yang lainnya berfungsi sebagai
penjelas. Contoh : panas terik, agak sulit, cantik sekali, cerdik cendekia.
d. Frasa numeralia
Frasa numeralia ialah frasa yang merupakan gabungan antara numeralia
dengan unsur-unsur lainnya. Di dalam konstruksi frasa itu, numeralialah yang
menjadi induk atau frasanya. Contoh : dua puluh, dua ekor, dua lusin.
e. Frasa preposisional
Frasa preposisional ialah frasa yang induknya adalah preposisi. Contoh : dari,
oleh, dan untuk.

4.3   Klausa
a. Pengertian klausa
Klausa adalah suatu kebahasaan yang merupakan gabungan kelompok
kata yang setidaknya terdiri dari atas subjek dan predikat. Klausa bersifat
predikatif dan berpotensi untuk dijadikan kalimat.
b. Klausa pada kalimat majemuk setara
Klausa-klausa didalam kalimat majemuk setara masing-masing dapat
berdiri sendiri sebagai kalimat.
Hubungan antar kalimat di dalam kalimat majemuk setara dapat
dibedakan menjadi tiga, yakni :
a) Hubungan koordinatif yang sifatnya aditif
b) Hubungan koordinatif yang sifatnya adversative
c) Hubungan koordinatif yang sifatnya alternative
Jenis yang pertama bersifat menambahkan, bersifat menjumlahkan, dan
lazimnya menggunakan konjungsi dan, serta, bersama. Jenis yang kedua ialah
adversatif, arinya bertentangan. Konjungsi yang lazim digunakan ialah tetapi,
melainkan, dan sedangkan. Jenis yang ketiga ialah bersifat alternative atau
pilihan, maksudnya ialah bahwa kalausa yang dihubungkan itu merupakan
pilihan bagi klausa yang disampaikan sebelumnya. Konjungsi yang lazim
digunakan ialah atau atau ataukah seperti pada kalimat berikut, “Aku harus
tetap berbohong untuk menyimpan rahasia, ataukah harus berterus terang
saja?”
c. Klausa pada kalimat majemuk bertingkat
Hubungan antar antar klausa pada kalimat majemuk bertingkat bersifat
subordinatif , maksunya klausa yang satu berinduk atau menjadi sub bagi
klausa yang lainnya. Klausa yang satu menjadi atasan, dan klausa yang
lainnya menjadi bawahan, atau klausa yang satu menjadi induk, sedangkan
klausa yang lainnya menjadi anaknya. Hubungan klausa demikianlah yang
disebut dengan hubungan yang bersifat hierarkis atau subordinatif.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sebagian kalimat majemuk
bertingkat yang diawali oleh konjungsi subordinatif itu pasti adalah anak
kalimatnya, bukan induk kalimatnya. Konjungsi itu memiliki hubungan makna
yang bermacam-macam. Ada konjungsi yang menyatakan sebab, seperti
karena, sebab, lantaran,. Bentuk olehk karea, karenanya, karena itu, oleh
karena itu, jangan pernah dianggap sebagai konjungsi subordinatif dalam
bahasa Indonesia.

4.4 Kalimat
a. Pengertian kalimat
Kalimat dapat dipahami sebagai satuan bahasa terkecil yang dapat
digunakan untuk menyampaikan ide atau gagasan. Pakar berbeda menyatakan
bahwa kalimat adalah satuan bahasa yang secara relative berdiri sendiri,
mempunyai intonasi akhir, dan secara actual dan potensial terdiri atas klausa.
Jadi, tidak salah pula kalau di katakan bahwa sesungguhnya sebuah kalimat
membicarakan hubungan antara klausa yang satu dan yang lainnya.
b. Unsur-unsur kalimat
a) Subjek
Unsur pembentuk kalimat yang harus disebut pertama disini adalah
subjek. Dalam kalimat, subjek tidak selalu berada di depan. Ada kalanya
berada di belakang predikat, teruama kalimat yang berdiatesis pasif.
Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mengetahui kebera
subjek kalimat.
Cara yang pertama adalah dengan menggunakan pertanyaan, siapa +
yang + predikat apabila subjek itu adalah subjek orang, atau apa + yang +
predikat bilamana yang menjadi subjek itu bukan orang. Contoh : Tuti sudah
dikawinkan dengan pria pilihan ayahnya. Jika formulasi demikian diterapkan,
maka maka pertanyaannya akan berbunyi “siapa yang sudah dikawinkan
dengan pria pilihan ayahnya? “. Jawabannya adalah “Tuti”. Maka, subjek
kaliamat itu adalah “Tuti”.
b) Predikat
Sama-sama menjadi unsure dalam sebuah kalimat, predikat memiliki
karakter yang tidak sama dengan subjek. Akan tetapi, kejatian sebuah
subjek menjadi jelas juga karena ada subjek kalimatnya.
Cara yang paling mudah untuk mengidentifikasi predikat kalimat
adalah dengan menggunakan formula pertanyaan “bagaimana atau
mengapa”. Bilamana dicermati dari dimensi maknanya, bagian kalimat yang
memberikan informasi ihwal pertanyaan “bagaimana dan mengapa” adalah
predikat itu. Contoh : dia bukan mahasiswa kampus itu lagi sejak 2008. Jadi
jelas, bagian kalimat yang mengikuti penegasi “tidak” dan “bukan” inilah
predikat kalimatnya.
c) Objek
Dalam banyak hal dapat dikatakan bahwa objek kalimat berlawanan
dengan subjek kalimat. Objek kalimat hanya dimungkinkan hadir apabila
predikat kalimat tersebut merupakan verba atau kata kerja yang sifatnya
transitif.
Dengan demikian, dapat dikatakan pula bahwa objek kalimat itu tidak
akan hadir di dalam kalimat apabila :
1. Tidak terdapat dalam kalimat pasif
2. Kalimat itu merupakan kalimat dengan verba instransitif.
Contoh :
1) Fendi dilahirkan di yogjakarta
2) Bukunya bernilai sangat tinggi
d) Pelengkap
Dalam kalimat pasif, pelengkap tidak dapat menempati fungsi subjek.
Pada posisi yang sama, objek dapat menempatinya. Maka inilah
sesungguhnya perbedaan mendasar antara objek dan pelengkap.
Contoh :
1. Ibu member saya baju baru
2. Fendi berjualan buku cerita.
e) Keterangan
Keterangan adalah unsure kalimat yang sifatnya tidak wajib hadir.
Berbeda dengan subjek, predikat, objek, dan pelengkap yang sifatnya wajib
hadir. Adapun fungsinya adalah untuk menambahkan informasi pada
kalimat itu.
c. Sruktur kalimat
a) Struktur kalimat dasar
Kalimat dasar,atau kalimat tunggal, atau kalimat sederhana ialah
kalimat yang hanya memiliki satu subjek dan satu predikat. Kalimat dasar
dapat berwujud tiga macam, yaitu kalimat tunggal murni, seperti pada bentuk,
“Adik tidur”. Kailmat dasar dapat juga berupa kalimat yang diperluas dengan
keterangan tertentu, misalnya adik menangis di belakan kebun. Sekalipun
bentuk bahasanya panjang, karena kalimat tersebut hanya terdiri dari satu
subjek dan predikat.
b) Stuktur kalimat majemuk
Kalimat majemuk jenis yang pertama adalah kalmiat majemuk setara.
Konstruksi kalimat majemuk setara sesungguhnya sangat sederhana, yakni
hanya beberapa kalimat dasar atau kalimat tunggal yang kemudian
digabungkan dengan konjungsi atau kata penghubung.
Adapun konjungsinya ialah dan, atau, sedangkan, tetapi, dan
melainkan. Contoh: adik sedang tidur, sedangkan ibu sedang memasak di
dapur.
d. Kalimat efektif
a) Definisi kalimat efektif
Kalimat efktif  adalah kalimat yang tidak cukup dipahami hanya
sebagai satuan kebhasaan terkecil yang dapat digunakan untuk
mengungkapkan ide atau gagasan yang utuh.
Demikian pula dalam konteks tuturan lisan, sebuah tuturan yang
efektif itu harus dapat membangkitkan kembali gagasan yang dimiliki oleh
pendengar.
b) Prinsip-prinip efektifitas kalimat
Prinsip utama yaitu bahwa kalimat itu harus disusun dengan
mempertimbangkan dan memperhitungkan kesepadanan bentuk atau
kesepadanan setrukturnya. Contoh : adik kecil yang menangis.
          
5. Resume Bab Empat:  Ihwal Paragraf
5.1 Pengertian paragraph
Paragraf ialah segala sesuatu yang lazim terdapat didalam karangan atau
tulisan, sesuai dengan prinsip dan tata kerja karang-mengarang dan tulis-menulis
terdapat pula dalam paragraf.

5.2 Ide utama dan kalimat utama dalam paragraph


Perlu digaris bawahi, sebuah paragraph muthlak harus memiliki ide pokok,
ide pokok itulah pengendali dari bangunan paragraf itu.
Jadi, kalimat utama atau kalimat pokok paragraph itu harus berisi ide utama
dari paragraph yang bersangkutan. Ambil saja contoh, ide pokok paragraf yang
berbunyi ”lambatnya penelitian”, maka ide pokok paragraph itu dapat dikemas
menjadi sebuah kalimat utama yang berbunyi  “ lalmbatnya penelitian di Indonesia
disebabkan oleh rendahnya insentif bagi para peneliti.
a. Kalimat utama diawal paragraph
Kalimat utama diawal  paragraf yaitu perincian dan jabaran bagi kalimat
utama tersebut akan menyertainya pada kalimat yang berikutnya. Alur pikiran
yang diterapkan dalam paragraph dengan kalimat utama yang berada diawal
paragraph yang demikian ini adalah alur piker deduktif.

b. Kalimat utama di akhir paragraph


Kalimat pokok yang tempatnya di akhir paragraph terlebih dahulu di awali
dengan kalimat-kalimat penjelas. Nah, pada akhir paragraph, semua yang telah
disajikan di dalam bagian awal hingga pertengahan paragraph itu kemudian
disimpulkan di akhir paragraph.
c. Kalimaat utama di dalam paragraph
Paragraph jenis demikian ini, ada yang menyutnya sebagai paragraph
ineratif. Jadi, didalam paragraph tersebut kalimat utama yang terdapat di tengah
paragraph ini diibaratkan sebagai puncak. Kalimat-kalimat yang berada diawal
paragraph itu dapat dikatakan sebagai awal-awal menuju puncak, menuju
klimaks paragraph, sedangkan kalimat-kalimat yang berada setelah kalimat-
kalimat itu, sekalipun merupakan kalimat penjelas, derajatnya semakin lemah.
d. Kalimat utama di awal dan di akhir paragraph
Paragraph yang kalimat utamanya di awal dan di akhir paragraph demikian ini
disebut sebagai paragraph yang beralur pikir abduktif.
e. Kalimat penjelas
Dapat dikatakan sebagai kalimat penjelas karena tugas dari kalimat itu me     
mang menjelaskan dan menjadi lebih lanjut ide pokok dan kalimat utama yang
terdapat dalam paragraph tersebut. Jadi kalimat penjelas yang baik
sesungguhnya akan menjadi penentu pokok dari benar-benar baik dan
tuntasnya paragraph tersebut.
a) Kalimat penjelas mayor
Kalimat penjelas mayor adalah kalimat penjelas yang utama. Kalimat
penjelas yang utama itu bertugas menjelaskan secara langsung ide pokok
dan kalimat utama yang terdapat didalam paragraph itu.
b) Kalimat penjelas minor
Dikatakan sebagai kalimat penjelas minor karena kalimat penjelas itu
tidak secara langsung menjelaskan ise pokok dan kalimat utama paragraph.
Jadi seuah kalimat penjelas minor yang telah menjelaskan secara lansung
kalimat penjelas utama tertentu tidak serta merta dapat digunakan untuk
menjelaskan kalimat penjelas utama yang lain.
f. Kalimat penegas
Dalam konteks pemakaian paragraph, kehadiran sebuah kalimat
penegas didalam paragraph, menjadi sangat lebih dipentingkan oleh penulis.
Satu hal yang juga yang juga harus dicatat oleh para penyusun paragraph,
dan para penulis pada umumnya kalimat penegas demikian itu bukanlah ide
pokok dan kalimat pokok baru.
6. Resume Bab lima: Ihwal karya ilmiyah akademik
6.1 Ihwal karangan ilmiah
Menulis bagi banyak orang memang sangat tidak mudah. Bagi sementara orang yang
lain lagi justru terjadi sebalinya, menulis adalah sesuatu yang mudah dan sangat
menyenangkan. Berkaitan dengan hal ini, sesungguhnya ihwal kebiasaan membaca
memiliki peran dan pengaruh yang sangat besar dalam menjadikan orang merasakan
mudah ataukah sulit di dalam aktifitas menulis itu.
6.2 Lebih mengenali karangan ilmiah
Biasa dikatakan sebagai hal yang ilmiah karena sesungguhnya dimensi-dimensi
keilmuan menjadi kandungan pokoknya dalam tulisan. Secara khusus dapat dijelaskan lebih
lanjut bahwa yang dimaksud dengan ilmiah itu berkaitan sangat erat dengan dimensi-
dimensi berikuti ini.
a. Fakta/data sebagai dasar
Sebuah tulisan akan dapat dianggap sebagai hal yang sifatnya ilmiah karena
dapat dasar pokoknya adalah data atau fakta. Jadi, setiap tulisan ilmiah itu
bahan pokoknya adalah data atau fakta. Data bagi sebuah karya ilmiah harus
berkualifikasi sempurna.
b. Pemikiran analisis dan konklusi logis.
Sebuah karangan ilmiah juga harus memenuhi ketiga dimensi kelogisan di
dalam tiga hal, yakni pemikiran atau penalarannya, analisis atau
pembahasannya, dan penarikan kesimpulan.
Nah, apabila dimensi ilmiah demikian sudah semuanya di lakukan, maka
jadilah karangan ilmiah dengan tulisan yang berkualitas baik, bahkan boleh pula
dikatakan sempurna.
c. Objektif dan tidak berpihak
Salah satu yang harus di perhatikan dan ternyata sangat penting di dalam
sebuah karangan ilmiah adalah bahwa pembahasan atau analisis yang
dilakukan harus benar-benar objektif.
Dalam hal ini, yang dimaksud adalah kebenaran ilmiah. Maka, analisis yang
harus dilakukan tidak boleh bersifat subjektif, melainkan harus objektif.
d. Akurat dan sistematis
Semua yang disajikan dalam karya ilmiah itu harus bersifat sistemik dan
sistematik. Adapun yang dimaksud dengan sistemik itu ialah bahwa karya ilmiah
harus sepenuhnya mengacu kepada system atau tata cara ilmiah tertentu yang
sifatnya konvensional dan sekaligus universal.
Selanjutnya dapat dikatakan sistematis apabila pengaturan dan penataannya
runtut sesuai dengan urutan yang berlaku umum sebagai karya ilmiah.
e. Tidak emosional
Karya ilmiah tidak boleh bernuansa emosional. Maka bahasa yang digunakan
juga tidak boleh penuh dengan nuansa dan perasaan yang penuh dengan keharuan
dan syarat dengan permohonan maaf. Lazimnya pula, bahasa yang emosional itu
disajikan dengan nuansa kata yang berbelit- belit, tidak langsung pada persoalan
atau sasarannya.

6.3  Asas-asas menulis karangan ilmiah


a. Kejelasan (clarity)
Karangan ilmiah harus konkret dan jelas. Tidak boleh bersifat samar-samar,
tidak boleh kabur, dan tidak boleh di wilayah abu-abu.
b. Ketepatan (accuracy)
Karangan ilmiah menjunjung tinggi keakuratan. Hasil penelitian ilmiah dan
cara penyajian hasil penelitian itu haruslah tepat atau akurat, penulis atau
peneliti harus sangat cermat, sangat teliti, dan tidak boleh sembrono.
c. Keringkasan (brevity)
Karangan ilmiah haruslah ringkas. Ringkas tidak sama dengan pendek. Jadi,
karangan ilmiah itu tidak boleh menghamburkan kata-kata , tidak boleh
mengulang-ulang ide yang telah di ungkapkan, dan tidak berputar-putar dalam
mengungkapkan maksud atau gagasan.

6.4 Kerangka karangan
Dengan rumusan tama karangan yang baik, kalimat tesis yang baik, judul karangan yang
baik, tujuan karangan yang jelas, akan dapat dijamin lahirnya karangan atau tulisan yang
baik pula.
Secara umum, kerangka karangan dapat dianggap sebagai rencana penulisan yang
mengandung ketentuan bagaimana kita akan menyusun sebuah karangan.
I. Pendahuluan
1. Latar belakang membahas…….
2. Masalah merumuskan…….
3. Tujuan berisi upaya……
II. Masalah remaja
1. Pergaulan bebas
2. Ketergantungan obat
III. Penutup
1. Kesimpulan
2. Saran.
7. Resume Bab Enam:  Ihwal resensi
7.1Resensi
a. Pengertian resensi
Resensi umumnya dipahami sebagai alasan dan penilaian terhadap sebuah
karya. Karya tersebut dapat bermacam-macam, mungki film, mungkin buku, karya
seni, atau mungkin pela produk teknologi.
Hal yang perlu di perhatikan dalam meresensi yaitu : tingkat keahlian,
pengalaman dan cakrawala pandang penulisnya, analisis di dalam penyajian
materinya, analisis kebahasaannya, ketajaman dan kekuatan topic serta
pembahasannya, kekuatan ekspresinya, kekuatan intelektualnya.
Tujuan pokoknya ialah agar pembaca tertarik untuk membaca secara
langsung buku yang sedang diresensi tersebut.
b. Pertimbangan
Di depan sudah disampaikan bahwa dalam resensi tidak boleh hanya
menyampaikan kekurangan buku yang sedang diresensinya. Akan tetapi, harus
menunjukkan dimensi-dimensi positifnya dari bukku yang diresensi tersebut.
Secara khusus penulis hendak menegaskan bahwa pertimbangan-
pertimbangan yang harus dibuat oleh peresensi itu dapat mencakup keinginan
pengarangnya, kepentingan dari pembaca, dan materi atau esensi dari karya
yang sedang diresensi tersebut.
c. Prinsip resensi
Beberapa hal berikut yang harus di pertimbangkan dan di perhatikan dalam
membuat resensi :
a) Bahasa yang digunakan harus jelas, tegas, tajam , akurat
b) Pilihan kata yang digunakan harus baik, tepat, tidak konotatif
c) Format dan isi reseni harus disesuaikan dengan kompetensi, minat, dan
motifasi pembaca.
d) Objek seimbang dan proporsional dalam menyampaikan timbangan terhadap
buku atau hasil karya.
d. Unsur-unsur reseni
Berikut ini disajikan beberapa unsure yang harus dijadikan pertimbangan
dalam resensi :
a) Estetika perwajahan karya yang sedang diresensi
b) Latar balakang penulisan dan pengalaman penulis
c) Tema dan judul dikaitkan dengan minat pembacanya
d) Penyajian dan sistematika karya yang sedang diresensi
e) Deskripsi teknis buku atau karya yang sedang diresensi
f) Jenis buku atau karya yang sedang diresensi
g) Keunggulan buku atau karya yang sedang diresensi
h) Kelemahan buku yang atau karya yang sedang diresensi

7.2 Kajian pustaka dan landasan teori


Sebagai kajian pustaka untuk kajian ini sengaja hanya dicermati dua karya linguirelevan,
yakni :
a. Kajian lapoliwa (1988)
b. Kajian rahardi (2006)
Hal perkajian pertama adalah bahwa imperative bahasa Indonesia dapat
dibedakan menjadi : Perintah, Suruhan, desakan, permintaan, saran, ajakan,
tawaran, persilan, harapan, kehendak, keinginan, laran kutukan, dan ucapan
performatif.
Temuan rahardi menginspirasi untuk segera menemukan makna-makna
sosiopragmatik imperative, sehingga dapat kajian pragmatic yang telah dilakukan
sebelumnya.

7.3 Metodologi
Langkah pertama yang harus dilakukan dalalm kajian ini adalah menyediakan data,
sehingga data itu benar-benar siap untuk dikenai metode dan teknik-teknik analisis data.
Data penelitian yang dimaksud pada dasarnya merupakan bahan jadi penelitian, bukan
bahan mentah penelitian. Namun sebelum melakukukan analisis, data yang telah disediakan
dengan sungguh baik kemudian dikelompokkan terlebih dahulu. Klasifikasi data dilakukan
untuk mendapatkan tipe-tipe data, yang selanjutnya mempermudah proses analisis data
pada tahapan berikutnya.
Untuk penyediaan data digunakan 3 macam metode, yaitu : metode simak, metode
cakap, dan metode survey. Metode simak lazim disebut metode pngamatan atau observasi.
Metode cakap dapat pula disejajarkan dengan metode wawancara. Masing-maing metode
penyediaan data itu didalam penerapannya masih dijabarkan kedalam tekni-teknik
penyediaan data yang menjadi bawahannya.

7.4 Pembahasan
Setelah menganalisis data, masuk pada tahap pembahasan. Pembahasan
disini membahas hasil jadi penelitian. Perlu di garis bawahi, bahwa membahas suatu
penelitian harus berdasarkan fakta, tidak boleh di karang sendiri, karena dari
penelitian itu butuh bukti fakta.

7.5 Simpulan
Sejalan dengan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka
teori, dan pembahasan datanya, maka hal-hal berikut dapat dinyatakan sebagai simpulan.
Simpulan disini hanya mengambil garis besarnya saja.

8. Resume Bab Tujuh:  Ihwal teknis ejaan


8.1 Pedoman teknis ejaan
1. Bentuk kebahasaan yang harus diikuti tanda koma (,) dalam penulisannya.
Agaknya, Paling tidak,
Akan tetapi, Sebaliknya,
Akhirnya, Sesudahnya,
Akibatnya, Sementara itu,
Artinya, Adapun,
Biarpun begitu, Sungguhpun begitu,
Biarpun demikian, Tambahan lagi,
Oleh sebab itu, Sungguhpun demikian,
Sebagai kesimpulan, Maka dari itu,

2. Bentuk yang didahului dengan tanda koma (,) dalam penulisannya dan letaknya
dalam kalimat.
…, padahal
…, sedangkan
…, seperti
…, misalnya
…, contohnya
…, antara lain
…, di antaranya
…, yaitu
…, yakni
…, ialah
…, adalah
…, pasalnya

3. Bentuk-bentuk kebahasaan yang tidak didahului tanda koma, khususnya


apabila bentuk kebahasaan itu diikuti anak kalimat.
…bahwa…
…maka…
…sehingga…
…sebab…
…jika…
…kalau…
…apabila…
4. Bentuk-bentuk kebahasaan yang didahului tanda koma, khususnya apabila
bentuk kebahasaan itu diikuti induk kalimat.
…, bahwa…
…, maka…
…, karena…
…, sehingga…
…, sebab…
…, jika…
…, kalau…
…, apabila…
…, bilamana…

5. Bentuk- bentuk kebahasaan yang harus hadir berpasangan karena merupakan


konjungsi korelatif.
Baik…maupun
Bukan…melainkan
Tidak…tetapi
Antara…dan
Tidak hanya…tetapi juga

6. Bentuk-bentuk kebahasaan yang harus hadir berpasangan karena


merupakan idiom atau bentuk senyawa.
Sesuai dengan
Terkait dengan
Seirama dengan
Berkaitan dengan
Bertalian dengan
Dbandingkan dengan

7. Bentuk-bentuk kebahasaan yang tidak boleh hadir karena berkaitan dengan


dimensi kedaerahan dan kellisahan.
Gimana mangkanya
Gitu Karenanya
Slama Haturkan
Nggak Menghaturkan
Peduli amat Wilayah pemukiman
Ini kali Penduluan
Ini hari Pembaharuan
Ketawa Nampak

8. Bentuk-bentuk kebahasaan yang salah karena merupakan hasil dari analogi


bentuk-bentuk kebahasaan yang salah.
Lelenisasi Neonisasi
Listrikisasi Konblokisasi
Selokanisasi Teleponisasi
Sengonisasi Jatinisasi
Turinisasi Abatisasi
Kuningisasi Semprotisasi
Hitamisasi Wesenisasi
Lampunisasi Pompanisasi

9. Bentuk- bentuk yang keliru karena merupakan hasil dari analogi nomina dan
verba yang tidak benar.
Koordinir Mengorganisir
Mengkoordinir Terorganisir
Dikoordinir Dramatisir
Terkoordinir Mendramatisir
Legalisir Didramatisir
Dilegalisir Realisirs
Proklamir dipolitisir

10. Bentuk-bentuk kebahasaan yang salah karena ketidakcermatan dalam


penulisan.
Pungkir kusus
Dipungkiri Ihlas
Mempungkiri Akhli
Jadual Husus
Gladi Apotik
Gladi resik Apotiker
Panutan Fikiran
Antri Difikirkan
Mengantri Faham
Prosen Difahami
Diprosenkan Kwitansi
Prosentase dikwitansikan

11. Bentuk kebahasaan yang salah karena adanya anggapan yang salah ihwal
penulisan gabungan kata.
Beritahu tanggungjawab
Lipatganda Terimakasih
Kerjasama Keretaapi
Garisbawah Rumahsakit
Sebarluas Suratkabar
Tandatangan

12. Bentuk jadian yang salah akibat adanya anggapan gabungan kata yang salah.
Memberitahu Sebarluaskan
Beritahukan Bertandatangani
Berlipatganda Tandatangani
Bekerjasama tandatangankan
Digarisbawah Berterimakasih
Tersebarluas Terimakasihi

13. Bentuk kebahasaan yang salah akibat pemahaman morfofonemik yang salah.
Memproduksi Memerhatiakn

Memromosikan Mempesona

Memproses Mengkomunikasikan

Memraktikkan Mengkoordinir
Memrakarsai Memunyai

14. Bentuk kebahasaan yang salah karena adanya kesalahkaprahan.


Berkesinambungan Menyuci
Disini Menyoblos
Disana Maka itu
Diketemukan Merubah
Sampai ketemu kembali Tersebut diatas
Seperti misalnya Nampak
Seperti contohnya Silahkan

15. Bentuk kebahasaan yang salah akibat kegandaan konjungsi kalimat.


Jika…maka Manakala…maka
Karena…maka Meskipun…tetapi
Kalau…maka Meskipun…namun
Sehingga…maka Walaupun…tetapi
Bila..maka Kendatipun…namun

16. Bentuk “di” ditulis serangkai apabila kata yang mengikutinya adalah ‘verba’ atau
‘kata kerja’. Bentuk ‘di’ ditulis tidak serangkai dengan kata yang mengikutinya
apabila kata itu merupakan nomina atau kata benda. Bentuk ‘di samping’ dan
‘disamping’ berbeda, karena yang satu bermakna ‘di sebelah’, sedangkan yang
satunya bermakna ‘selain’ atau ‘kecuali’.
Dipukul Di meja
Ditendang Di kursi
Dipikir Di halaman
Dibangun Di kelas
Dipasang Di gedung
Dikawal Di kolam
Dipakai Di luar

17. Bentuk ‘ke’ harus ditulis dengan kata yang mengikutinya apabila diikuti kata
bilangan atau numeralia. Selain itu, ‘ke’ juga harus ditulis serangakai dengan
‘luar’ kalau merupakan kebalikan dari kata ‘masuk’. Adapaun ‘ke’ pada ‘ke luar’
ditulis tidak serangkai dengan bentuk itu merupakan lawan dari bentuk ‘ke
dalam’.
Kedua
Ketiga
Keempat
Keluar
Kekasih
Ketua
Kemari

18. Bentuk ‘pun’ harus ditulis serangkai dengan kata yang mendahuluinya, apabila
‘pun’ tersebut sudah merupakan satu kesatuan dengan bentuk kebahasaan yang
mendahuluinya. Adapun ‘pun’ harus ditulis terpisah dengan kata yang
mendahuluinya, apabila ‘pun’ berfungsi ‘menyangatkan’ atau ‘mengeraskan
makna’. Bentuk ‘sekalipun’ bermakna ‘sekali saja’ atau ‘meskipun sekali’ atau
‘walaupun sekali’. Penulisan ‘sekali pun’ dalalm makna yang terakhir ini harus
ditulis tidak serangkai.
19. Kata gabung yang salah satu bagiannya tidak dapat berdiri sendiri sebagai kata
harus dituliskan serangkai dengan bentuk kebahasaan yang  mengikutinya.
Misal: intrakurikuler, ekstrakurikuler, perikemanusiaan.
20. Kata gabung dasar yang bagian-bagiannya tidak sangat erat hubungannya.
Sehingga tidak dapat disatukan menjadi satu. Misal: tanggung jawab, kerja
sama, daya guna.
21. Bentuk ‘sebagai berikut’ dalam penggunaannya dapat diakhiri dengan tanda titik
(.) digunakan apabila yang menyertai adalah kalimat-kalimat, dan dapat pula
diakhiri dengan tanda titik dua (:) digunakan apabila perincian yang
menyertainya adalah kata, frasa, atau klausa.
Ihwal bentuk ‘adalah’, ‘ialah’, ‘yakni’, dan ‘yaitu’.
Bentuk-bentuk kebahasaan itu dalam perincian yang bersifat mendatar atau
horizontal, maupun vertikal, tidak perlu diikuti dengan tanda titik dua (:).
Misal:
a. Tiga persoalan yang  harus diatasi secepatnya, yakni (a) sulit dijangkau,
(b) sulit dicari, (c) sulit ditemukan.
b. Tiga persoalan mendasar yang harus diatasi secepatnya, yakni a) Sulit
dijangkau, b) Sulit dicari, dan c) Sulit ditemukan.
22. Bentuk ‘ialah’ digunakan untuk mendefinisikan sesuatu, sedangkan bentuk
‘adalah’ digunakan untuk menegaskan hubungan subjek kalimat dengan unsur
penjelas yang mengikutinya.
23. Ihwal tanda hubung (-) dan tanda pisah (−)
Tanda hubung (-) digunakan dalam bentuk ulang dan dituliskan diantara
bentuk yang diulang tersebut, sedangkan tanda pisah (−) digunakan untuk
menyatakan maksud ‘hingga’ atau ‘sampai dengan’.
24. Ihwal bentuk ‘tiap-tiap’, ‘setiap’, ‘masing-masing’, ‘sesuatu’ dan ‘seseorang’.
Diantara bentuk-bentuk kebahasaan di atas itu, yang dapat diikuti oleh nomina
adalah ‘tiap-tiap’  atau ‘setiap’.
25. Ihwal ‘sementara’, ‘sementara itu’, dan ‘adapun’.
Bentuk ‘sementara itu’ dan ‘adapun’ berkedudukan sebagai konjungsi antar
kalimat .konjungsi antar kalimat demikian itu harus ditulis dengan tanda koma
yang menyertainya. Bentuk ‘sedangkan’ adalah konjungsi intrakalimat, bukan
antar kalimat. Contoh-contoh berikut ini salah dan harus dihindari
pemakaiannya.
a. Sementara kalangan akan segera datang menyusul.
b. Adapun masalah-masalah kelembagaan cenderung diabaikan.
c. Sementara para mahasiswa  tidak diperkenankan masuk kampus.
Bentuk kebahasaan yang benar adalah sebagai berikut:
a. Beberapa kalangan akan segera datang menyusul.
b. Adapun masalah-masalah kelembagaan cenderung diabaikan.
c. Sementara itu, para mahasiswa tidak diperkenankan masuk kampus.
26. Ihwal ‘seperti’, ‘misalnya’, ‘contohnya’, ‘antara lain’
Bentuk-bentuk kebahasaan ini dianggap sebagai konjungsi yang tugasnya
adalah memerinci sekaligus pembatas. Contoh:  Lambatnya mengatasi masalah
itu dipengaruhi oleh banyak hal, misalnya terbatasnya keuangan, kurangnya
sumber daya manusia.

9. Simpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa buku ini terdiri dari tujuh bab.
a. Bab 1 jati diri bangsa yang di dalamnya membahas tentang  arti bahasa, fungsi
bahasa, dan ragam bahasa, dengan ini diharapkan pembaca agar mengetahui
apa arti bahasa yang sebenarnya.
b. Bab 2 ihwal diksi yang di dalamnya membahas peranti-peranti  diksi, ihwal
peristilahan, aneka kasus diksi.
c. Bab 3 ihwal kalimat berisi tentang kelas kata, frasa, klausa, dan kalimat, dengan
mempelajari bab ini pembaca akan diperkenalkan bagaimana cara membuat
kalimat yang efektif.
d. Bab 4 ihwal paragraf di dalamnya membahas pengertian paragraf itu sendiri, ide
utama dan kalimat utama, kalimat penjelas, kalimat penegas, unsur-unsur
pengait paragraf, prinsip kepaduan bentuk dan makna paragraf, jenis dan cara
pengembangan paragraf.
e. Bab 5 ihwal karya ilmiah akademik di dalamnya membahas karangan ilmiah,
asas-asas karangan ilmiah, tema karangan, judul karangan, kalimat tesis,
kerangka karangan, model-model berpikir, ihwal latar belakang masalah dan
rumusan masalah, ihwal tujuan penulisan, ihwal hipotesis, ihwal abstrak, cara
kerja penyusunan karangan ilmiah, empat langkah penyediaan data, aspek-
aspek dalam analisis data, berpikir linear dalam karangan ilmiah.
f. Bab 6 ihwal resensi di dalamnya membahas pengertian, pertimbangan dalam
meresensi, prinsip resensi, unsur-unsur resensi.
g. Bab 7 ihwal teknis ejaan, dalam bab ini dibahas tentang teknis-teknis ejaan yang
benar dan sesuai dengan ejaan yang telah disempurnakan. 

RANGKUMAN BUKU

PENGANTAR SEMANTIK BAHASA INDONESIA

Oleh : Viki Maria Latip (182081)


Secara garis besar struktur internal bahasa dikaji oleh berbagai
cabang ilmu bahasa. Fonologi mempelajari seluk beluk sistem bunyi
bahasa. Morfologi mengkaji perihal kata dan proses pembentukannya.
Sintaksis menelaah bagai mana satuan-satuan kata disusun untuk
menghasilkan satuan lingual yang lebih besar. Semantik yang menjadi
telaah buku ini bertugas membahas aspek-aspek kemaknaan satuan-satuan
kebahasaan, baik yang bersifat leksikal maupun gramatikal. Dari sekian
banyak elemen internal bahasa, makna merupakan salah satu aspek yang
belum banyak digali oleh para peneliti bahasa. Hal ini disebabkan
kurangnya kepustakaan yang mampu memberi wawasan dan dasar-dasar
yang kokoh mengenai konsep- konsep semantik di dalam ilmu bahasa.
Buku Pengantar Semantik Bahasa indonesia ini diharapkan mampu mengatasi kekurangan itu.
Dengan demikian, gairah untuk mengkaji persoalan-persoalan semantik yang ada di dalam bahasa
Indonesia dan bahasa-bahasa daerah di Indonesia dapat ditumbuhkan sehingga aspek-aspek
kebudayaanya yang tercermin dalam makna kebahasaan dapat diungkapkan dipahami secara lebih
utuh. Buku pengantar ini sabermanfaat bagi pelajar, mahasiswa, guru, dan dosen serta pemerhati
bahasa.

Pada bab awal buku di dalamnya menguraikan tentang sifat-sifat bahasa manusia dan
pemerolehan bahasa manusia, dijelaskan beberapa sifat bahasa di antara bahasa bersifat
konvensioanal dan bersifat unik yaitu bahwa bahasa indonesia memiliki ciri khas yang spesifik,
susunan kata dalam kalimat sangat mempengaruhi makna. Pemakaian bahasa indonesia meliputi
aneka macam tanda yang di dalamnya terbagi menjadi 1) tanda alamiah, 2) tanda konvensioanl, 3)
tanda linguistik, kemudian bahasa indonesia juga dapat dipakai dalam bahasa lisan maupun bahasa
tulis serta komunikasi nonverbal yang meliputi tanda nonverbal auditif dan tanda nonverbal visual.
Pada ranah dimensinya bahasa indonesia memiliki batasan makna, denotasi dan konotasi, relasi
makna, makna leksikal dan makna gramatikal, homonimi dan polisemi serta makna kalimat dan
makna tuturan.

Pada buku ini dijelaskan juga pada bab ke-4 peran simantis yaitu pada kalimat dan proposisi,
analisis kalimat dan analisis semantik, dan peran semantis itu sendiri terbagi menjadi empat
diantaranya 1) predikat bervalensi kosong 2) predikat bervalensi satu 3) predikat bervalensi dua 4)
perubahan valensi. Kemduian penulis juga menerangkan tentang relasi leksikal dimana mencakup
bahasan medan makna, medan makna jarak dan biji dalam bahasa jawa dan bali, hiponimi, sinonimi,
dan antonimi, lebih lanjut penulis menjelaskan antonimi biner dan nonbiner, antonimi kosok balen,
kesejajaran dan kesalingan, serta pengungkapan jumlah tak tentu. Berlanjut pada bab ke-6 penulis
menjabarkan tentang predikat transisi dan predikat tranfers, sedangkan untuk perihal pengacuan
terdapat beberapa poin yang penting untuk dibahas mulai dari referen dan satuan ekspresi, ekstensi
dan intensi, dan aneka jenis refren yang terbagi menjadi 3 yaitu 1) referen unik dan tak unik 2) referan
konkret dan referen abstrak 3) referen terhitung dan tak terhitung, kemudian terdapat juga aneka cara
pengacuan seperti pengacuan generik, nongenerik, dan takrifm nontakrif serta deiksis anafora.

Setelah membahas perihal pengacuan, pembahasan berlanjur pada klausa pernyataan, klausa
pertanyaan dan ambiguitas gramitikal yang termuat dalan bab ke-8 pada buku ini. Pada bab ke-9
penulis memberikan bahasan yang berkaitan tentang tindak tutur, didalamnya termuat beberapa poin
diataranya tutur asertif, performatif, dan verdikatif. Pembahasan aspek di jelaskan pada bab ke-10
mengenai aspek generik dan nongenerik tindak tutur tindak fatis sampai pada aspek perfektif dan
aspek progresif., kemudian untuk faktivitas, implikasi dan modalitas menjelaskan tentang verba faktif,
verba implikatif dan modalitas. Dijelaskan juga verba sikap, pemungkinan, pencegahan dan persepsi,
sedangkan pada makna dan proses morfologis dijabarkan pada proses formal dan pembentukan kata,
kemudian di poin yang kedua dijelaskan juga relasi semantik dan proses pembentukan kata. Terakhir
penulis dalam buku ini membahas tentang relasi makna dan reduplikasi yang diantara lain membahas
perulangan nomina, perulangan verba, dan perulangan adjektiva. Penulis juga menuliskan
bibiliography untuk melihat sumber yang digunakan untuk merujuk dalam penulisan buku, serta yang
terakhir penulis memberikan tulisan tentang riwayat hidup.

Terimakasih. Semoga bermanfaat 

PENUGASAN REMIDI BAHASA INDONESIA


Victoria Viadolorosa Valentine
182080
3B KEBIDANAN
A. Arti Bahasa
Bahasa,masyarakat, dan budaya adalah tiga etnis yang erat berpadu. Sosok bahasa
sering disebut penanda (prevoir) eksistensi budaya dari masyarakat yang bersangkutan.
Masyarakat yang maju budayanya pasti juga berkembang baik entitas bahasanya. Bahasa
yang baik juga dapat menunjukkan keberadaan masyarakat. Maka, bahasa sering pula
disebut cermin masyarakatnya.
Entitas bahasa bersifat unik, khas, dan tidak dimiliki bahasa-bahasa lainnya.
Anderson (1972) menyebutkan delapan prinsip dasar yang merupakan hakekat bahasa,
yaitu :
a) Merupakan alat komunikasi
b) Bersifat kesemestaan
c) Bersifat kemanusiaan
d) Berkaitan dengan masyarakat dan budaya
e) Memiliki makna konvensional
f) Bersifat vocal
g) Merupakan symbol arbitrer
h) Merupakan system
2 Fungsi bahasa
Bahasa memiliki fungsi beragam, yaitu :
a) Fungsi instrumental adalah bahasa dapat digunakan untuk melayani lingkungannya.
b) Fungsi regulasi adalah bahasa digunakan untuk mengatur serta mengendalikan orang-
orang sebagai warga masyarakat
c) Fungsi representasional adalah menggambar atau mempresentasikan sesuatu.
d) Fungsi interaksional adalah bahwa bahasa dapat digunakan untuk menjamin terjadinya
interaksi, memantapkan komunikasi, dan mengukuhkan komunikasi dan interaksi antar
warga masyarakat itu sendiri.
e) Fungsi personal adalah bahasa dapat digunakan untuk mengekspresikan maksud-
maksud pribadi atau personal
f) Fungfi heuristic adalah bahasa digunakan untuk mempelajari pengetahuan, mencari
ilmu, mengembangkan tekhnologi, dan menyampaikan rumusan-rumusan yang bersifat
pertanyaan.
g) Fungsi imajinatif adalah fungsi bahasa yang berkenaan dengan penciptaan imajinasi.
h) Dari beberapa fungsi diatas, yang paling utama adalah fungsi interaksional, karena
bahasa menjadi piranti utama dalam berkomunikasi dan interaksi antar sesama.
3 Ragam bahasa
Bahasa Indonesia memiliki ragam bahasa yang tidak sedikit jumlahnya.
1. Ragam bahasa berdasarkan waktunya
Dalam konteks waktu, bahasa dapat diperinci menjadi :
a) Bahasa ragam lama atau kuno
b) Bahasa ragam baru atau modern
c) Bahasa ragam kontemporer, yakni ragam bahasa yang banyak mencuat akhir-akhir
ini.
Dengan bahasa laras lama atau bahasa ragam kuno dapat dilacak keberadaan atau
eksistensi berikut makna sejumlah dokumen kuno, aneka prasasti, dan tulisan-tulisan yang
tertuang dalam piranti yang masih sangat sederhana itu.
Selanjutnya, setelah ragam bahasa kuno adalah bahasa dalam ragam baru. Dengan ragam
baru bahasa itu dimungkinkan terjadi pula inovasi-inovasi kebahasaan yang baru. Dengan
bahasa ragam baru pula perkembangan masa depannya akan dapat diprediksikan.
Dalam banyak literatur memang sama sekali tidak ditemukan ragam bahasa kontemporer.
Adapun yang dimaksud adalah entitas bahsa dalam wujud perkembangannya yang
sekarang ini, yang telah melahirkan bentuk-bentuk kebahasaan baru yang cenderung
mengabaikan kaidah-kaidah kebahasaan yang sudah ada itu.
Selain ditandai penyimpangan-penyimpangan aturan kebahasaan, bahasa kontemporer juga
cenderung tidak peduli dengan pembedaan fungsi bahasa dalam kaitan dengan kedudukan
sebagaimana telah disampaikan dibagian depan.
2. Ragam bahasa berdasarkan medianya
Jika dilihat dari dimensi medianya, bahasa dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu :
a) Bahasa ragam lisan
b) Bahasan ragam tulis
Bahasa ragam lisan lazimnya ditndai dan ditentukan oleh penggunaan aksen-aksen
bicara atau penekanan –penekanan tertentu dalam aktifitas bertutur, pemakaian intonasi
atau lagu kalimat tertentu.
Bahasa ragam lisan selanjutnya dapat diperici menjadi dua, yakni (a) bahasa ragam
lisan baku dan (b) bahasa ragam lisan tidak baku. Bahasa ragam lisan baku kelihatan
seperti orang sedang ceramah, presentasi, dan lain-lain. Bahasa ragam lisan tidak baku
juga kelihatan seperti ngobrol dengan santai.
Selanjutnya yang dimaksud dengan bahasa ragam tulis bahasa yang hanya tepat
muncul dalam konteks tertulis.
3. Ragam bahasa berdasarkan pesan komunikasinya
Apabila didasarkan pada kandungan pesan komunikasinya, bahasa dapat dibedakan
menjadi :
a) Bahasa ragam ilmiah
b) Bahasa ragam sastra
c) Bahasa ragam pidato
d) Bahasa ragam berita
Ragam ilmiah biasanya digunakan dalam dua manifestasi, yakni dalam karya ilmiah
akademis dan dalam karya ilmiah popular. Karya ilmiah akademis di perguruan tinggi
biasanya akaln meliputi artikel ilmiah, makalah ilmiyah, jurnal ilmiah, surat-menyurat, dan
lain-lain. Adapun karya ilmiah populer bias meliputi esai-esai ilmiah populer, catatan-catatan
ilmiah populer, opini-opini di media massa, dan lain-lain.

B. Peranti-peranti diksi
1. Peranti kata berdenotasi dan berkonotasi
a) Kata berdenotasi
Dalam studi linguistic ditegaskan bahwa kata yangtidak mengandung makna
tambahan atau perasaan tambahan makna tertentu disebut denotasi. Jadi makna denotasi
dapat disebut makna yang sebenarnya, seperti peranti duduk yang namanya “kursi”, maka
peranti , untuk duduk itu disebut sebagai “kursi”. Kata “kursi” dalam hal ini memiliki makna
apa adanya.
b) Kata berkonotasi
Kata berkonotasi ialah makna kias, bukan makna sebenarnya. Makna konotasi memiliki
nuansa makna subjektif dan cendeerung digunakan dalam situasi tidak formal, seperti
“dengan memanjatkat puji syukur kepada…..”, pemakaian kata “memanjatkan” dalam
kalimat tersebut jelas sekali menggunakan makna konotasi bukan denotasi.
2. Peranti kata bersinonim dan berantonim
Kata “bersinonim” berarti kata sejenis, sepadan, sejajar, serumpun, dan memiliki arti
sama. Secara lebih gampang dapat dikatakan bahwa sinonim sesungguhnya ada
persamaan makna kata. Adapun yang dimaksud adalah dua kata atau lebih yang berbeda
bentuknya, ejaannya, pengucapan atau lafaldnya, tetapi memiliki makna sama atau hampir
sama, contoh: hamil dan mengandung, kedua bentuk tersebut dapat dikatakan bersinonim
karena bentuknya berbeda tetapi maknanya sama.
Kata “berantonim” berlawanan dengan kata “bersinonim”. Bentuk kebahasaan tertentu
akan dapat dikatakan berantonim jika bentuk itu memiliki makna yang tidak sama atau
berlawanan. Seperti contoh kata “panas dan dingin”, kedua kata tersebut mempunyai makna
yang berlawanan.
3. Peranti kata bernilai Rasa
Diksi atau pilihan kata juga mengajarkan untuk senantiasa menggunakan kata-kata yang
bernilai rasa dengan cermat, guna untuk mengindahkan kata-kata. Bahasa juga perlu dalam
pemakaiannya lebih di perhatikan dan di pertimbangkan, agar dapat menyangkut dengan
konteksnya.
4. Peranti kata konkret dan abstrak
Kata-kata konkret adalah kata-kata yang menunjukkan pada objek yang dapat dipilih,
didengar, dirasakan, diraba, atau dicium. Kata-kata konkret lebih mudah dipahami daripada
kata-kata abstrak
Kata-kata abstrak menunjuk pada konsep atau gagasan. Kata-kata abstrak sering dipakai
untuk mengungkapkan gagasan yang cenderung rumit. Kata abstrak digunakan untuk
membuat deskripsi,beberapa juga untuk narasi.
5. Peranti keumuman dan kekhususan kata
Kata umum adalah kata yang perlu dijabarkan lebih lanjut dengan kata yang sifatnya
khusus untuk mendapatkan perincian lebih baik. Kata umum lebih tepat digunakan untuk
argumentasi atau persuasi, karena dalam pemakaian yang disebutkan terakhin itu akan
dibuka kemungkinan-kemungkinan penafsiran yang lebih luas, yang lebih umum, yang lebih
komprehensif sebagai imbangan kata-kata umum adalah kata-kata khusus.
Dalam banyak hal, kata-kata khusus memang merupakan kebalikan kata-kata umum.
Kata-kata khusus cenderung digunakan dalam konteks terbatas, maka lazim pula dipahami
bahwa kata-kata khusus adalah kata-kata yang sempit ruang lingkupnya, terbatas konteks
pemakaiannya.
6. Peranti kelugasan kata
Diksi juga mengajarkan kita ihwal kata-kata lugas, apa adanya. Kata-kata lugas adalah
kata-kata yang sekaligus juga ringkas , tidak merupakan frasa panjang, tidak mendayu-
dayu, dan sama sekali tidak berbelit-belit. Ketika konteks pemakaian kebahasaan itu adalah
untuk menyatakan kebasi-basian dan kesantunan, sudah barang tentu pemakaian bentuk-
bentuk kebahasaan yang lugas itu tidak tepat.
7. Peranti penyempitan dan perluasan makna kata
Sebuah kata dapat dikatakan mengalami penyempitan makna apabila didalam kurun
waktu tertentu maknanya bergeser dari semula yang luas ke makna yang sempit atau
sangat terbatas.
Sebagai imbangan dari penyempitan makna kata adalah perluasan makna kata. Sebuah
makna kebebasan dikatakan akan meluas jika dalam kurun waktu ternentu maknanya akan
bergeser dari yang semula sempit ke makna yang lebih luas.
8. Peranti keaktifan dan kepasifan kata
Dalam kerangka diksi atau pemilihan kata yang dimaksud dengan kata-kata aktif adalah
kata-kata yanga banyak digunakan oleh tokoh masyarakat.
Pemakaian bahasa kontemporer yang terjadi sekarang ini banyak menjadi bukti
sekaligus saksi akan banyak dilahirkannya kata-kata yang baru, kata-kata yang semula tidak
pernah digunakan itu.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kata-kata yang semula tidak pernah digunakan
akan menjadi aktif jika digunakan.
9. Peranti ameliorasi dan peyorasi
Ameliorasi adalah proses perubahan makna dari yang lama ke yang baru ketika bentuk
yang baru dianggap dan dirasakan lebih tinggi dan lebih tepat nilai rasa serta konotasinya
dibandingkan dengan yang lama.
Sebagai imbangan dari ameliorasi adalah peyorasi. Maksudnya adalah perubahan
makna dari yang baru ke yang lama ketika yang lama dianggap masih tetap lebih tinggi dan
lebih tetap nilai rasa serta konotasinya dibandingkan dengan makna yang baru.
10. Peranti kesenyawaan kata
Bentuk idiomatis atau bentuk bersenyawa, sesuai dengan namanya, tidak dapat
dipisahkan begitu saja oleh siapapun. Dikatakan sebagai bentuk senyawa karena bentuk
demikian itu sudah sangat erat hubungan antara satu dengan dengan yang lainnya. Jadi
didalam konstruksi idiomatis kata yang satu dengan kata yang lainnya itu berhubungan erat,
lekat, dan tidak dapat dipisahkan oleh alasan apapun juga.
11. Peranti kebakuan dan ketidakbakuan kata
Bentuk baku hadir karena adanya pembakuan bentuk-bentuk kebahasaan. Pembakuan
bahasa demikian itu pada gilirannya akan menjadikan bangsa Indonesia semakin
bermartabat.
Bilamana bahasa baku tersebut digunakan oleh masyarakat internasional, maka jadilah
bahasa itu bahasa yang berharkat dan bermartabat tinggi.
3.2 Ihwal peristilahan
Istilah dapat didefinisikan sebagai kata atau gabungan kata yang dapat dengan
cermat mengungkapkan makna konsep, proses, keadaan, atau sifat yang khas dibidang
kehidupan dan cabang ilmu pengetahuan tertentu. Istilah itu sendiri dibedakan ke dalam dua
jenis, yaitu istilah yang sifatnya khusus dan istilah yang sifatnya umum.
Bentuk-bentuk kebebasan yang hanya lazim digunakan dalam bidang tertentu dapat
dikatakan sebagai bentuk-bentuk yang sifatnya khusus. Sebagail imbangan dari kata-kata
yang sifatnya khusus adalah kata-kata yang sifatnya umum yaitu kata-kata yang memiliki
kandungan makna yang banyak dan bermacam-macam .

C. Kalimat
1 Kelas kata
Kata dalam bahasa Indonesia yang jumlahnya luar biasa banyak itu mustahil dapat
dipelajari dengan mudah kalau tidak di kelas-kelaskan terlebih dahulu. Nah, hasil dari
pengelaskataan atau pengelompokan kata-kata itulah yang kemudian lazim disebut dengan
kelas kata.
1. Verba
Verba atau kata kerja lazimnya dapat didefinisikan dengan menggunakan tiga
macam cara.
a) Dengan mencermati bentuk morfologisnya
b) Dengan mencermati perilaku sintaksisnya
c) Dengan mencermati perilaku semantisnya
Berdasarkan ciri morfologisnya, verba didalam bahasa Indonesia dapat dibedakan menjadi :
a) Verba dasar atau verba yang tidak berafiks
b) Verba berafiks
c) Verba yang merupakan perulangan atau reduplikasi
d) Verba yang merupakan bentuk majemuk
Berdasarkan fungsinya atau sering disebut sebagai perilaku sintaksisnya, verba dapat
dibedakan menjadi :
a) Verba yang menduduki fungsi subjek
b) Verba yang menduduki posisi keterangan
c) Verba yang menduduki posisi objek
Dari sisi pembentukannya, verba juga dapat dibentuk dari nomina. Verba atau kata kerja
yang demikian ini disebut sebagai verba denominal, misalnya “berbudaya dan mencangkul”
yang dibentuk dari dasar nomina “budaya dan cangkul”. Selain itu ada juga verba adjektifa,
contoh mengakhiri dan mengawali.
2. Adjektiva
Adjektiva lazim disebut juga kata sifat. Dari dimensi wujud atau bentuknya dapat
dikenali adjektifa dasar, seperti cantik, adil.
Adjektiva dari dimensi bentuknya merupakan gabungan atau perpaduan dua
adjektiva, misalnya cantik jelita dan aman sentausa.
Adjektifa dapat didampingi dengan kata-kata berikut, sangat, agak, lebih, paling.
3. Nomina
Nomina disebut juga kata benda. Dari dimensi bentuknya, nomina dapat
dibedakan menjadi dua, yakni nomina dasar dan nomina bentukan atau turunan. Nomina
dasar ialah nomina yang belum mendapatkan imbuhan apapun, contoh : buku, meja, rumah.
Nomina turunan ialah nomina yang sudah mendapatkan imbuhan.
4. Pronominal
Pronominal disebut juga sebagai kata ganti. Dikatakan sebagai kata ganti karena
sesungguhnya pronomina itu berfungsi menggantikan nomina yang menjadi antesedennya.
Dari sisi bentuknya, nomina dapat dibedakan menjadi :
a) Nomina persona
b) Nomina penunjuk
c) Nomina penanya
Nomina persona dapat menunjukkan orang, baik dalam hitungan tunggal maupun banyak.
Tunggal : saya, aku, daku, dan –ku. Jamak : kami, kamu, kalian, mereka.
Selain menunjukkan pada persona, pronominal juga dapat nomina penunjuk, seperti : itu, ini,
sana, sini. Pronominal dapat juga berfungsi sebagai pronominal penanya, misalnya :
mengapa, lenapa, bagaimana.
5. Numeralia
Numeralia sering disebut juga kata bilangan. Kata itu digunakan untuk menghitung
jumlah orang, binatang, barang, dan juga sebuah konsep.
Dalam bahasa Indonesia dibedakan dua macam numeralia, yaitu numeralia pokok
dan numeralia tingkat. Numeralia pokok digunakan untuk menjawab pertanyaan “berapa”,
sedangkan numeralia tingkat digunakan untuk menjawab pertanyaan “kebrapa”.
6. Adverbial
Adverbia sering disebut juga kata keterangan. Dapat dikatakan keterangan karena
kata-kata itu memberikan keterangan pada verba, adjektiva, nomina predikatif, atau pada
kata kalimat secara keseluruhan.
Dari dimensi bentuknya, terdapat dua macam adverbia dlam bahasa Indonesia,
yakni :
a) Adverbia monomorfemis
b) Adverbia polimorfemis
Dikatakan sebagai adverbia monomorfemis karena adverbial itu hanya terdiri dari
satu bentuk, seperti sangat, hanya, segera, agak, akan. Dapat dikatakan adverbia
polimorfemis karena bentuknya lebih dari satu morfem, misalnya belum tentu, jangan-
jangan, lebih-lebih, mula-mula.
Dari sisi perilaku sintaksisnya, adverbial dapat merupakan kata yang
mendahului kata yang diterngkan, seperti pada “puisi itu sangat indah”, kata sangat adalah
adverbia dan tugasnya adalah menjelaskan “indah” yang berada dibelakangnya.

2 Frasa
Frasa atau kelompok kata adalah satuan gramatikal yang berupa gabungan kata dan
hubungan kata itu bersifat nonprediktif. Yang perlu digaris bawahi dalam pembahasan frasa
ialah hubungan antar kata dan kata yang lain di dalam kata tersebut.
Secara umum, frasa atau kelompok kata itu dapat dibedakan menjadi dua, yakni frasa
eksosentris dan frasa endosentris. Frasa eksosentris tidak memiliki perilaku sintaksis yang
sama dengan semua komponennya, contoh : dengan sabar, dengan baik, dari rumah, pada
hari. Frasa endosentris ialah frasa yang seluruh bagiannya memiliki perilaku sintaksis yang
sama dengan perilaku salah satu komponen tersebut. Frasa endosentris dapat dibedakan
menjadi dua, yakni frasa endosentris tunggal dan frasa endosentris jamak. Contoh frasa
endosentris tunggal ialah fendi anak bapak kunjana yang masaih kecil itu senang membuat
puisi. Contoh frasa endosentris jamak ialah saya tetap mencintainya, baik kaya maupun
miskin.
Frasa endosentris tunggal dapat dibedakan menjadi menjadi frasa berikut ini, yaitu :
1. Frasa nominal
Frasa yang terdiri dari nomina sebagai induk atau sebagai pusat dan unsure lain yang
yang berupa adjektifa, verba, numeralia, dan lain-lain. Contoh : kursi rotan, kawan
seperjuangan, sosok yang terpandang, wanita cantik jelita.
2. Frasa verba
Frasa verba merupakan gabungan antara verba dengan verba, verba dengan
adverbia atau yang lainnya. Contoh :pergi ke jakarta, berangkat tidur, tidur dengan nyenyak.
3. Frasa adjektiva
Frasa adjektiva ialah frasa yang merupakan gabungan antara adjektifa dengan
komponen yang lainnya, sedangkan frasa yang lainnya berfungsi sebagai penjelas. Contoh :
panas terik, agak sulit, cantik sekali, cerdik cendekia.
4. Frasa numeralia
Frasa numeralia ialah frasa yang merupakan gabungan antara numeralia dengan
unsur-unsur lainnya. Di dalam konstruksi frasa itu, numeralialah yang menjadi induk atau
frasanya. Contoh : dua puluh, dua ekor, dua lusin.
5. Frasa preposisional
Frasa preposisional ialah frasa yang induknya adalah preposisi. Contoh : dari, oleh,
dan untuk.

3 Klausa
1. Pengertian klausa
Klausa adalah suatu kebahasaan yang merupakan gabungan kelompok kata yang
setidaknya terdiri dari atas subjek dan predikat. Klausa bersifat predikatif dan berpotensi
untuk dijadikan kalimat.
2. Klausa pada kalimat majemuk setara
Klausa-klausa didalam kalimat majemuk setara masing-masing dapat berdiri sendiri sebagai
kalimat.
Hubungan antar kalimat di dalam kalimat majemuk setara dapat dibedakan menjadi tiga,
yakni :
a) hubungan koordinatif yang sifatnya aditif
b) hubungan koordinatif yang sifatnya adversative
c) hubungan koordinatif yang sifatnya alternative
Jenis yang pertama bersifat menambahkan, bersifat menjumlahkan, dan lazimnya
menggunakan konjungsi dan, serta, bersama. Jenis yang kedua ialah adversatif, arinya
bertentangan. Konjungsi yang lazim digunakan ialah tetapi, melainkan, dan sedangkan.
Jenis yang ketiga ialah bersifat alternative atau pilihan, maksudnya ialah bahwa kalausa
yang dihubungkan itu merupakan pilihan bagi klausa yang disampaikan sebelumnya.
Konjungsi yang lazim digunakan ialah atau atau ataukah seperti pada kalimat berikut, “Aku
harus tetap berbohong untuk menyimpan rahasia, ataukah harus berterus terang saja?”
3. Klausa pada kalimat majemuk bertingkat
Hubungan antar antar klausa pada kalimat majemuk bertingkat bersifat subordinatif ,
maksunya klausa yang satu berinduk atau menjadi sub bagi klausa yang lainnya. Klausa
yang satu menjadi atasan, dan klausa yang lainnya menjadi bawahan, atau klausa yang
satu menjadi induk, sedangkan klausa yang lainnya menjadi anaknya. Hubungan klausa
demikianlah yang disebut dengan hubungan yang bersifat hierarkis atau subordinatif.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sebagian kalimat majemuk bertingkat
yang diawali oleh konjungsi subordinatif itu pasti adalah anak kalimatnya, bukan induk
kalimatnya. Konjungsi itu memiliki hubungan makna yang bermacam-macam. Ada konjungsi
yang menyatakan sebab, seperti karena, sebab, lantaran,. Bentuk olehk karea, karenanya,
karena itu, oleh karena itu, jangan pernah dianggap sebagai konjungsi subordinatif dalam
bahasa Indonesia.

4 Kalimat
1. Pengertian kalimat
Kalimat dapat dipahami sebagai satuan bahasa terkecil yang dapat digunakan untuk
menyampaikan ide atau gagasan. Pakar berbeda menyatakan bahwa kalimat adalah satuan
bahasa yang secara relative berdiri sendiri, mempunyai intonasi akhir, dan secara actual
dan potensial terdiri atas klausa.
Jadi, tidak salah pula kalau di katakan bahwa sesungguhnya sebuah kalimat
membicarakan hubungan antara klausa yang satu dan yang lainnya.
2. Unsur-unsur kalimat
A. Subjek
Unsur pembentuk kalimat yang harus disebut pertama disini adalah subjek. Dalam kalimat,
subjek tidak selalu berada di depan. Ada kalanya berada di belakang predikat, teruama
kalimat yang berdiatesis pasif.
Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mengetahui kebera subjek kalimat.
Cara yang pertama adalah dengan menggunakan pertanyaan, siapa + yang + predikat
apabila subjek itu adalah subjek orang, atau apa + yang + predikat bilamana yang menjadi
subjek itu bukan orang. Contoh : Tuti sudah dikawinkan dengan pria pilihan ayahnya. Jika
formulasi demikian diterapkan, maka maka pertanyaannya akan berbunyi “siapa yang sudah
dikawinkan dengan pria pilihan ayahnya? “. Jawabannya adalah “Tuti”. Maka, subjek
kaliamat itu adalah “Tuti”.
B. Predikat
Sama-sama menjadi unsure dalam sebuah kalimat, predikat memiliki karakter yang tidak
sama dengan subjek. Akan tetapi, kejatian sebuah subjek menjadi jelas juga karena ada
subjek kalimatnya.
Cara yang paling mudah untuk mengidentifikasi predikat kalimat adalah dengan
menggunakan formula pertanyaan “bagaimana atau mengapa”. Bilamana dicermati dari
dimensi maknanya, bagian kalimat yang memberikan informasi ihwal pertanyaan
“bagaimana dan mengapa” adalah predikat itu. Contoh : dia bukan mahasiswa kampus itu
lagi sejak 2008. Jadi jelas, bagian kalimat yang mengikuti penegasi “tidak” dan “bukan” inilah
predikat kalimatnya.

C. Objek
Dalam banyak hal dapat dikatakan bahwa objek kalimat berlawanan dengan subjek
kalimat. Objek kalimat hanya dimungkinkan hadir apabila predikat kalimat tersebut
merupakan verba atau kata kerja yang sifatnya transitif.
Dengan demikian, dapat dikatakan pula bahwa objek kalimat itu tidak akan hadir di dalam
kalimat apabila :
1. Tidak terdapat dalam kalimat pasif
2. Kalimat itu merupakan kalimat dengan
verba instransitif.
Contoh :
Fendi dilahirkan di yogjakarta
Bukunya bernilai sangat tinggi
D. Pelengkap
Dalam kalimat pasif, pelengkap tidak dapat menempati fungsi subjek. Pada posisi
yang sama, objek dapat menempatinya. Maka inilah sesungguhnya perbedaan mendasar
antara objek dan pelengkap.
Contoh : Ibu member saya baju baru
Fendi berjualan buku cerita.
E. Keterangan
Keterangan adalah unsure kalimat yang sifatnya tidak wajib hadir. Berbeda
dengan subjek, predikat, objek, dan pelengkap yang sifatnya wajib hadir. Adapun fungsinya
adalah untuk menambahkan informasi pada kalimat itu.
3. Sruktur kalimat
a. Struktur kalimat dasar
Kalimat dasar,atau kalimat tunggal, atau kalimat sederhana ialah kalimat yang hanya
memiliki satu subjek dan satu predikat. Kalimat dasar dapat berwujud tiga macam, yaitu
kalimat tunggal murni, seperti pada bentuk, “Adik tidur”. Kailmat dasar dapat juga berupa
kalimat yang diperluas dengan keterangan tertentu, misalnya adik menangis di belakan
kebun. Sekalipun bentuk bahasanya panjang, karena kalimat tersebut hanya terdiri dari satu
subjek dan predikat.
b. Stuktur kalimat majemuk
Kalimat majemuk jenis yang pertama adalah kalmiat majemuk setara. Konstruksi kalimat
majemuk setara sesungguhnya sangat sederhana, yakni hanya beberapa kalimat dasar atau
kalimat tunggal yang kemudian digabungkan dengan konjungsi atau kata penghubung.
Adapun konjungsinya ialah dan, atau, sedangkan, tetapi, dan melainkan. Contoh: adik
sedang tidur, sedangkan ibu sedang memasak di dapur.
4. Kalimat efektif
a. Definisi kalimat efektif
Kalimat efktif adalah kalimat yang tidak cukup dipahami hanya sebagai satuan kebhasaan
terkecil yang dapat digunakan untuk mengungkapkan ide atau gagasan yang utuh.
Demikian pula dalam konteks tuturan lisan, sebuah tuturan yang efektif itu harus dapat
membangkitkan kembali gagasan yang dimiliki oleh pendengar.
b. Prinsip-prinip efektifitas kalimat
Prinsip utama yaitu bahwa kalimat itu harus disusun dengan mempertimbangkan dan
memperhitungkan kesepadanan bentuk atau kesepadanan setrukturnya. Contoh : adik kecil
yang menangis.

D. Paragraf
1 Pengertian paragraph
Paragraf ialah segala sesuatu yang lazim terdapat didalam karangan atau tulisan, sesuai
dengan prinsip dan tata kerja karang-mengarang dan tulis-menulis terdapat pula dalam
paragraf.
2 Ide utama dan kalimat utama dalam paragraph
Perlu digaris bawahi, sebuah paragraph muthlak harus memiliki ide pokok, ide pokok itulah
pengendali dari bangunan paragraf itu.
Jadi, kalimat utama atau kalimat pokok paragraph itu harus berisi ide utama dari paragraph
yang bersangkutan. Ambil saja contoh, ide pokok paragraf yang berbunyi ”lambatnya
penelitian”, maka ide pokok paragraph itu dapat dikemas menjadi sebuah kalimat utama
yang berbunyi “ lalmbatnya penelitian di Indonesia disebabkan oleh rendahnya insentif bagi
para peneliti.
1. Kalimat utama diawal paragraph
Kalimat utama diawal paragraf yaitu perincian dan jabaran bagi kalimat utama tersebut
akan menyertainya pada kalimat yang berikutnya. Alur pikiran yang diterapkan dalam
paragraph dengan kalimat utama yang berada diawal paragraph yang demikian ini adalah
alur piker deduktif.
2. Kalimat utama di akhir paragraph
Kalimat pokok yang tempatnya di akhir paragraph terlebih dahulu di awali dengan kalimat-
kalimat penjelas. Nah, pada akhir paragraph, semua yang telah disajikan di dalam bagian
awal hingga pertengahan paragraph itu kemudian disimpulkan di akhir paragraph.
3. Kalimaat utama di dalam paragraph
Paragraph jenis demikian ini, ada yang menyutnya sebagai paragraph ineratif. Jadi, didalam
paragraph tersebut kalimat utama yang terdapat di tengah paragraph ini diibaratkan sebagai
puncak. Kalimat-kalimat yang berada diawal paragraph itu dapat dikatakan sebagai awal-
awal menuju puncak, menuju klimaks paragraph, sedangkan kalimat-kalimat yang berada
setelah kalimat-kalimat itu, sekalipun merupakan kalimat penjelas, derajatnya semakin
lemah.
4. Kalimat utama di awal dan di akhir paragraph
Paragraph yang kalimat utamanya di awal dan di akhir paragraph demikian ini disebut
sebagai paragraph yang beralur pikir abduktif.
a. Kalimat penjelas
Dapat dikatakan sebagai kalimat penjelas karena tugas dari kalimat itu me mang
menjelaskan dan menjadi lebih lanjut ide pokok dan kalimat utama yang terdapat dalam
paragraph tersebut. Jadi kalimat penjelas yang baik sesungguhnya akan menjadi penentu
pokok dari benar-benar baik dan tuntasnya paragraph tersebut.
1. Kalimat penjelas mayor
Kalimat penjelas mayor adalah kalimat penjelas yang utama. Kalimat penjelas yang utama
itu bertugas menjelaskan secara langsung ide pokok dan kalimat utama yang terdapat
didalam paragraph itu.
2. Kalimat penjelas minor
Dikatakan sebagai kalimat penjelas minor karena kalimat penjelas itu tidak secara langsung
menjelaskan ise pokok dan kalimat utama paragraph. Jadi seuah kalimat penjelas minor
yang telah menjelaskan secara lansung kalimat penjelas utama tertentu tidak serta merta
dapat digunakan untuk menjelaskan kalimat penjelas utama yang lain.
5. Kalimat penegas
Dalam konteks pemakaian paragraph, kehadiran sebuah kalimat penegas didalam
paragraph, menjadi sangat lebih dipentingkan oleh penulis. Satu hal yang juga yang juga
harus dicatat oleh para penyusun paragraph, dan para penulis pada umumnya kalimat
penegas demikian itu bukanlah ide pokok dan kalimat pokok baru.

6. Resume Bab lima: Ihwal karya ilmiyah akademik

E. karangan ilmiah
Menulis bagi banyak orang memang sangat tidak mudah. Bagi sementara orang
yang lain lagi justru terjadi sebalinya, menulis adalah sesuatu yang mudah dan sangat
menyenangkan. Berkaitan dengan hal ini, sesungguhnya ihwal kebiasaan membaca
memiliki peran dan pengaruh yang sangat besar dalam menjadikan orang merasakan
mudah ataukah sulit di dalam aktifitas menulis itu.
Lebih mengenali karangan ilmiah
Bisa dikatakan sebagai hal yang ilmiah karena sesungguhnya dimensi-dimensi keilmuan
menjadi kandungan pokoknya dalam tulisan. Secara khusus dapat dijelaskan lebih lanjut
bahwa yang dimaksud dengan ilmiah itu berkaitan sangat erat dengan dimensi-dimensi
berikuti ini.
1. Fakta/data sebagai dasar
Sebuah tulisan akan dapat dianggap sebagai hal yang sifatnya ilmiah karena dapat dasar
pokoknya adalah data atau fakta. Jadi, setiap tulisan ilmiah itu bahan pokoknya adalah data
atau fakta. Data bagi sebuah karya ilmiah harus berkualifikasi sempurna.
2. Pemikiran analisis dan konklusi logis.
Sebuah karangan ilmiah juga harus memenuhi ketiga dimensi kelogisan di dalam tiga hal,
yakni pemikiran atau penalarannya, analisis atau pembahasannya, dan penarikan
kesimpulan.
Nah, apabila dimensi ilmiah demikian sudah semuanya di lakukan, maka jadilah
karangan ilmiah dengan tulisan yang berkualitas baik, bahkan boleh pula dikatakan
sempurna.
3. Objektif dan tidak berpihak
Salah satu yang harus di perhatikan dan ternyata sangat penting di dalam sebuah karangan
ilmiah adalah bahwa pembahasan atau analisis yang dilakukan harus benar-benar objektif.
Dalam hal ini, yang dimaksud adalah kebenaran ilmiah. Maka, analisis yang harus
dilakukan tidak boleh bersifat subjektif, melainkan harus objektif.
4. Akurat dan sistematis
Semua yang disajikan dalam karya ilmiah itu harus bersifat sistemik dan sistematik.
Adapun yang dimaksud dengan sistemik itu ialah bahwa karya ilmiah harus sepenuhnya
mengacu kepada system atau tata cara ilmiah tertentu yang sifatnya konvensional dan
sekaligus universal.
Selanjutnya dapat dikatakan sistematis apabila pengaturan dan penataannya runtut sesuai
dengan urutan yang berlaku umum sebagai karya ilmiah.
5. Tidak emosional
Karya ilmiah tidak boleh bernuansa emosional. Maka bahasa yang digunakan juga tidak
boleh penuh dengan nuansa dan perasaan yang penuh dengan keharuan dan syarat
dengan permohonan maaf. Lazimnya pula, bahasa yang emosional itu disajikan dengan
nuansa kata yang berbelit- belit, tidak langsung pada persoalan atau sasarannya.
6.3 Asas-asas menulis karangan ilmiah
1. Kejelasan (clarity)
Karangan ilmiah harus konkret dan jelas. Tidak boleh bersifat samar-samar, tidak boleh
kabur, dan tidak boleh di wilayah abu-abu.
2. Ketepatan (accuracy)
Karangan ilmiah menjunjung tinggi keakuratan. Hasil penelitian ilmiah dan cara penyajian
hasil penelitian itu haruslah tepat atau akurat, penulis atau peneliti harus sangat cermat,
sangat teliti, dan tidak boleh sembrono.
3. Keringkasan (brevity)
Karangan ilmiah haruslah ringkas. Ringkas tidak sama dengan pendek. Jadi, karangan
ilmiah itu tidak boleh menghamburkan kata-kata , tidak boleh mengulang-ulang ide yang
telah di ungkapkan, dan tidak berputar-putar dalam mengungkapkan maksud atau gagasan.
4. Kerangka karangan
Dengan rumusan tama karangan yang baik, kalimat tesis yang baik, judul karangan yang
baik, tujuan karangan yang jelas, akan dapat dijamin lahirnya karangan atau tulisan yang
baik pula.
Secara umum, kerangka karangan dapat dianggap sebagai rencana penulisan yang
mengandung ketentuan bagaimana kita akan menyusun sebuah karangan.
I. Pendahuluan
1. Latar belakang membahas…….
2. Masalah merumuskan…….
3. Tujuan berisi upaya……
II. Masalah remaja
1. Pergaulan bebas
2. Ketergantungan obat
3. ….
III. Penutup
1. Kesimpulan
2. Saran.

F. resensi
1 Resensi
1. Pengertian resensi
Resensi umumnya dipahami sebagai alasan dan penilaian terhadap sebuah karya.
Karya tersebut dapat bermacam-macam, mungki film, mungkin buku, karya seni, atau
mungkin pela produk teknologi.
Hal yang perlu di perhatikan dalam meresensi yaitu : tingkat keahlian, pengalaman dan
cakrawala pandang penulisnya, analisis di dalam penyajian materinya, analisis
kebahasaannya, ketajaman dan kekuatan topic serta pembahasannya, kekuatan
ekspresinya, kekuatan intelektualnya.
Tujuan pokoknya ialah agar pembaca tertarik untuk membaca secara langsung buku yang
sedang diresensi tersebut.
2. Pertimbangan
Di depan sudah disampaikan bahwa dalam resensi tidak boleh hanya
menyampaikan kekurangan buku yang sedang diresensinya. Akan tetapi, harus
menunjukkan dimensi-dimensi positifnya dari bukku yang diresensi tersebut.
Secara khusus penulis hendak menegaskan bahwa pertimbangan-pertimbangan yang harus
dibuat oleh peresensi itu dapat mencakup keinginan pengarangnya, kepentingan dari
pembaca, dan materi atau esensi dari karya yang sedang diresensi tersebut.
3. Prinsip resensi
Beberapa hal berikut yang harus di pertimbangkan dan di perhatikan dalam membuat
resensi
a) Bahasa yang digunakan harus jelas, tegas, tajam , akurat
b) Pilihan kata yang digunakan harus baik, tepat, tidak konotatif
c) Format dan isi reseni harus disesuaikan dengan kompetensi, minat, dan motifasi
pembaca.
d) Objek seimbang dan proporsional dalam menyampaikan timbangan terhadap buku
atau hasil karya.

4. Unsur-unsur reseni
Berikut ini disajikan beberapa unsure yang harus dijadikan pertimbangan dalam resensi :
a) Estetika perwajahan karya yang sedang diresensi
b) Latar balakang penulisan dan pengalaman penulis
c) Tema dan judul dikaitkan dengan minat pembacanya
d) Penyajian dan sistematika karya yang sedang diresensi
e) Deskripsi teknis buku atau karya yang sedang diresensi
f) Jenis buku atau karya yang sedang diresensi
g) Keunggulan buku atau karya yang sedang diresensi
h) Kelemahan buku yang atau karya yang sedang diresensi
2 Kajian pustaka dan landasan teori
Sebagai kajian pustaka untuk kajian ini sengaja hanya dicermati dua karya linguirelevan,
yakni :
1. Kajian lapoliwa (1988)
2. Kajian rahardi (2006)
Hal perkajian pertama adalah bahwa imperative bahasa Indonesia dapat dibedakan
menjadi : Perintah, Suruhan, desakan, permintaan, saran, ajakan, tawaran, persilan,
harapan, kehendak, keinginan, laran kutukan, dan ucapan performatif.
Temuan rahardi menginspirasi untuk segera menemukan makna-makna sosiopragmatik
imperative, sehingga dapat kajian pragmatic yang telah dilakukan sebelumnya.
3. Metodologi
Langkah pertama yang harus dilakukan dalalm kajian ini adalah menyediakan data,
sehingga data itu benar-benar siap untuk dikenai metode dan teknik-teknik analisis data.
Data penelitian yang dimaksud pada dasarnya merupakan bahan jadi penelitian, bukan
bahan mentah penelitian. Namun sebelum melakukukan analisis, data yang telah disediakan
dengan sungguh baik kemudian dikelompokkan terlebih dahulu. Klasifikasi data dilakukan
untuk mendapatkan tipe-tipe data, yang selanjutnya mempermudah proses analisis data
pada tahapan berikutnya.
Untuk penyediaan data digunakan 3 macam metode, yaitu : metode simak, metode cakap,
dan metode survey. Metode simak lazim disebut metode pngamatan atau observasi. Metode
cakap dapat pula disejajarkan dengan metode wawancara. Masing-maing metode
penyediaan data itu didalam penerapannya masih dijabarkan kedalam tekni-teknik
penyediaan data yang menjadi bawahannya.
4. Pembahasan
Setelah menganalisis data, masuk pada tahap pembahasan. Pembahasan disini
membahas hasil jadi penelitian. Perlu di garis bawahi, bahwa membahas suatu penelitian
harus berdasarkan fakta, tidak boleh di karang sendiri, karena dari penelitian itu butuh bukti
fakta.
5. Simpulan
Sejalan dengan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka
teori, dan pembahasan datanya, maka hal-hal berikut dapat dinyatakan sebagai simpulan.
Simpulan disini hanya mengambil garis besarnya saja.

G. teknis ejaan
1 Pedoman teknis ejaan
1. Bentuk kebahasaan yang harus diikuti tanda koma (,) dalam penulisannya.
Agaknya,
Paling tidak,
Akan tetapi,
Sebaliknya,
Akhirnya,
Sesudahnya,
Akibatnya,
Sementara itu,
Artinya,
Adapun,
Biarpun begitu,
Sungguhpun begitu,
Biarpun demikian,
Tambahan lagi,
Oleh sebab itu,
Sungguhpun demikian,
Sebagai kesimpulan,
Maka dari itu,

2. Bentuk yang didahului dengan tanda koma (,) dalam penulisannya dan letaknya dalam
kalimat.
…, padahal
…, sedangkan
…, seperti
…, misalnya
…, contohnya
…, antara lain
…, di antaranya
…, yaitu
…, yakni
…, ialah
…, adalah
…, pasalnya

3. Bentuk-bentuk kebahasaan yang tidak didahului tanda koma, khususnya apabila bentuk
kebahasaan itu diikuti anak kalimat.
…bahwa…
…maka…
…sehingga…
…sebab…
…jika…
…kalau…
…apabila…

4. Bentuk-bentuk kebahasaan yang didahului tanda koma, khususnya apabila bentuk


kebahasaan itu diikuti induk kalimat.
…, bahwa…
…, maka…
…, karena…
…, sehingga…
…, sebab…
…, jika…
…, kalau…
…, apabila…
…, bilamana…

5.Bentuk- bentuk kebahasaan yang harus hadir berpasangan karena merupakan konjungsi
korelatif.
Baik…maupun
Bukan…melainkan
Tidak…tetapi
Antara…dan
Tidak hanya…tetapi juga

6. Bentuk-bentuk kebahasaan yang harus hadir berpasangan karena merupakan idiom atau
bentuk senyawa.
Sesuai dengan
Terkait dengan
Seirama dengan
Berkaitan dengan
Bertalian dengan
Dbandingkan dengan

7. Bentuk-bentuk kebahasaan yang tidak boleh hadir karena berkaitan dengan dimensi
kedaerahan dan kellisahan.
Gimana
mangkanya
Gitu
Karenanya
Slama
Haturkan
Nggak
Menghaturkan
Peduli amat
Wilayah pemukiman
Ini kali
Penduluan
Ini hari
Pembaharuan
Ketawa
Nampak

8. Bentuk-bentuk kebahasaan yang salah karena merupakan hasil dari analogi bentuk-
bentuk kebahasaan yang salah.
Lelenisasi
Neonisasi
Listrikisasi
Konblokisasi
Selokanisasi
Teleponisasi
Sengonisasi
Jatinisasi
Turinisasi
Abatisasi
Kuningisasi
Semprotisasi
Hitamisasi
Wesenisasi
Lampunisasi
Pompanisasi

9. Bentuk- bentuk yang keliru karena merupakan hasil dari analogi nomina dan verba yang
tidak benar.
Koordinir
Mengorganisir
Mengkoordinir
Terorganisir
Dikoordinir
Dramatisir
Terkoordinir
Mendramatisir
Legalisir
Didramatisir
Dilegalisir
Realisirs
Proklamir
dipolitisir

10. Bentuk-bentuk kebahasaan yang salah karena ketidakcermatan dalam penulisan.


Pungkir
kusus
Dipungkiri
Ihlas
Mempungkiri
Akhli
Jadual
Husus
Gladi
Apotik
Gladi resik
Apotiker
Panutan
Fikiran
Antri
Difikirkan
Mengantri
Faham
Prosen
Difahami
Diprosenkan
Kwitansi
Prosentase
dikwitansikan

11. Bentuk kebahasaan yang salah karena adanya anggapan yang salah ihwal penulisan
gabungan kata.
Beritahu
tanggungjawab
Lipatganda
Terimakasih
Kerjasama
Keretaapi
Garisbawah
Rumahsakit
Sebarluas
Suratkabar
Tandatangan

12. Bentuk jadian yang salah akibat adanya anggapan gabungan kata yang salah.
Memberitahu
Sebarluaskan
Beritahukan
Bertandatangani
Berlipatganda
Tandatangani
Bekerjasama
tandatangankan
Digarisbawah
Berterimakasih
Tersebarluas
Terimakasihi

13. Bentuk kebahasaan yang salah akibat pemahaman morfofonemik yang salah.
Memproduksi
Memerhatiakn
Memromosikan
Mempesona
Memproses
Mengkomunikasikan
Memraktikkan
Mengkoordinir
Memrakarsai
Memunyai

14. Bentuk kebahasaan yang salah karena adanya kesalahkaprahan.


Berkesinambungan
Menyuci
Disini
Menyoblos
Disana
Maka itu
Diketemukan
Merubah
Sampai ketemu kembali
Tersebut diatas
Seperti misalnya
Nampak
Seperti contohnya
Silahkan

15. Bentuk kebahasaan yang salah akibat kegandaan konjungsi kalimat.


Jika…maka
Manakala…maka
Karena…maka
Meskipun…tetapi
Kalau…maka
Meskipun…namun
Sehingga…maka
Walaupun…tetapi
Bila..maka
Kendatipun…namun
16. Bentuk “di” ditulis serangkai apabila kata yang mengikutinya adalah ‘verba’ atau ‘kata
kerja’. Bentuk ‘di’ ditulis tidak serangkai dengan kata yang mengikutinya apabila kata itu
merupakan nomina atau kata benda. Bentuk ‘di samping’ dan ‘disamping’ berbeda, karena
yang satu bermakna ‘di sebelah’, sedangkan yang satunya bermakna ‘selain’ atau ‘kecuali’.
Dipukul
Di meja
Ditendang
Di kursi
Dipikir
Di halaman
Dibangun
Di kelas
Dipasang
Di gedung
Dikawal
Di kolam
Dipakai
Di luar

17. Bentuk ‘ke’ harus ditulis dengan kata yang mengikutinya apabila diikuti kata bilangan
atau numeralia. Selain itu, ‘ke’ juga harus ditulis serangakai dengan ‘luar’ kalau merupakan
kebalikan dari kata ‘masuk’. Adapaun ‘ke’ pada ‘ke luar’ ditulis tidak serangkai dengan
bentuk itu merupakan lawan dari bentuk ‘ke dalam’.
Kedua
Ketiga
Keempat
Keluar
Kekasih
Ketua
Kemari

18. Bentuk ‘pun’ harus ditulis serangkai dengan kata yang mendahuluinya, apabila ‘pun’
tersebut sudah merupakan satu kesatuan dengan bentuk kebahasaan yang mendahuluinya.
Adapun ‘pun’ harus ditulis terpisah dengan kata yang mendahuluinya, apabila ‘pun’
berfungsi ‘menyangatkan’ atau ‘mengeraskan makna’. Bentuk ‘sekalipun’ bermakna ‘sekali
saja’ atau ‘meskipun sekali’ atau ‘walaupun sekali’. Penulisan ‘sekali pun’ dalalm makna
yang terakhir ini harus ditulis tidak serangkai.
19. Kata gabung yang salah satu bagiannya tidak dapat berdiri sendiri sebagai kata harus
dituliskan serangkai dengan bentuk kebahasaan yang mengikutinya. Misal: intrakurikuler,
ekstrakurikuler, perikemanusiaan.
20. Kata gabung dasar yang bagian-bagiannya tidak sangat erat hubungannya. Sehingga
tidak dapat disatukan menjadi satu. Misal: tanggung jawab, kerja sama, daya guna.
21.Bentuk ‘sebagai berikut’ dalam penggunaannya dapat diakhiri dengan tanda titik (.)
digunakan apabila yang menyertai adalah kalimat-kalimat, dan dapat pula diakhiri dengan
tanda titik dua (:) digunakan apabila perincian yang menyertainya adalah kata, frasa, atau
klausa.
Ihwal bentuk ‘adalah’, ‘ialah’, ‘yakni’, dan ‘yaitu’.
Bentuk-bentuk kebahasaan itu dalam perincian yang bersifat mendatar atau horizontal,
maupun vertikal, tidak perlu diikuti dengan tanda titik dua (:).
Misal:
a. Tiga persoalan yang harus diatasi secepatnya, yakni (a) sulit dijangkau, (b) sulit
dicari, (c) sulit ditemukan.
b. Tiga persoalan mendasar yang harus diatasi secepatnya, yakni
a. Sulit dijangkau,
b. Sulit dicari, dan
c. Sulit ditemukan.
Bentuk ‘ialah’ digunakan untuk mendefinisikan sesuatu, sedangkan bentuk ‘adalah’
digunakan untuk menegaskan hubungan subjek kalimat dengan unsur penjelas yang
mengikutinya.
23. Ihwal tanda hubung (-) dan tanda pisah (−)
Tanda hubung (-) digunakan dalam bentuk ulang dan dituliskan diantara bentuk yang
diulang tersebut, sedangkan tanda pisah (−) digunakan untuk menyatakan maksud ‘hingga’
atau ‘sampai dengan’.
24. Ihwal bentuk ‘tiap-tiap’, ‘setiap’, ‘masing-masing’, ‘sesuatu’ dan ‘seseorang’. Diantara
bentuk-bentuk kebahasaan di atas itu, yang dapat diikuti oleh nomina adalah ‘tiap-tiap’ atau
‘setiap’.
25. Ihwal ‘sementara’, ‘sementara itu’, dan ‘adapun’.
Bentuk ‘sementara itu’ dan ‘adapun’ berkedudukan sebagai konjungsi antar kalimat
.konjungsi antar kalimat demikian itu harus ditulis dengan tanda koma yang menyertainya.
Bentuk ‘sedangkan’ adalah konjungsi intrakalimat, bukan antar kalimat. Contoh-contoh
berikut ini salah dan harus dihindari pemakaiannya.
a. Sementara kalangan akan segera datang menyusul.
b. Adapun masalah-masalah kelembagaan cenderung diabaikan.
c. Sementara para mahasiswa tidak diperkenankan masuk kampus.
Bentuk kebahasaan yang benar adalah sebagai berikut:
a. Beberapa kalangan akan segera datang menyusul.
b. Adapun masalah-masalah kelembagaan cenderung diabaikan.
c. Sementara itu, para mahasiswa tidak diperkenankan masuk kampus.
26. Ihwal ‘seperti’, ‘misalnya’, ‘contohnya’, ‘antara lain’
Bentuk-bentuk kebahasaan ini dianggap sebagai konjungsi yang tugasnya adalah
memerinci sekaligus pembatas. Contoh: Lambatnya mengatasi masalah itu dipengaruhi
oleh banyak hal, misalnya terbatasnya keuangan, kurangnya sumber daya manusia.

1. Simpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa buku ini terdiri dari tujuh bab.
a. Bab 1 jati diri bangsa yang di dalamnya membahas tentang arti bahasa, fungsi
bahasa, dan ragam bahasa, dengan ini diharapkan pembaca agar mengetahui apa arti
bahasa yang sebenarnya.
b. Bab 2 ihwal diksi yang di dalamnya membahas peranti-peranti diksi, ihwal
peristilahan, aneka kasus diksi.
c. Bab 3 ihwal kalimat berisi tentang kelas kata, frasa, klausa, dan kalimat, dengan
mempelajari bab ini pembaca akan diperkenalkan bagaimana cara membuat kalimat yang
efektif.
d. Bab 4 ihwal paragraf di dalamnya membahas pengertian paragraf itu sendiri, ide
utama dan kalimat utama, kalimat penjelas, kalimat penegas, unsur-unsur pengait paragraf,
prinsip kepaduan bentuk dan makna paragraf, jenis dan cara pengembangan paragraf.
e. Bab 5 ihwal karya ilmiah akademik di dalamnya membahas karangan ilmiah, asas-
asas karangan ilmiah, tema karangan, judul karangan, kalimat tesis, kerangka karangan,
model-model berpikir, ihwal latar belakang masalah dan rumusan masalah, ihwal tujuan
penulisan, ihwal hipotesis, ihwal abstrak, cara kerja penyusunan karangan ilmiah, empat
langkah penyediaan data, aspek-aspek dalam analisis data, berpikir linear dalam karangan
ilmiah.
f. Bab 6 ihwal resensi di dalamnya membahas pengertian, pertimbangan dalam
meresensi, prinsip resensi, unsur-unsur resensi.
g. Bab 7 ihwal teknis ejaan, dalam bab ini dibahas tentang teknis-teknis ejaan yang benar
dan sesuai dengan ejaan yang telah disempurnakan.

Daftar Pustaka

Rahardi, R. kunjana, Dr. 2009, Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi.


Jakarta: Erlangga.

Nama : Devia Andiana Siqy

NIM : 182053

Tugas : merangkum buku Bahasa Indonesia Keilmuan untuk Perguruan Tinggi oleh
Drs.H.khaerudin Kurniawan, M.Pd. tahun 2012.
Bahasa indonesia sebagai salah satu perwujudan budaya bangsa memiliki sejarah
perkembangan yang unik, yakni lahir mendahului kemerdekaan bangsa Indonesia. Bahasa
Indonesia telah digunakan sebagai salah satu sarana meletakkan dasar kesadaran kolektif
bangsa Indonesia terhadap nilai-nilai persatuan dan kesatuan bangsa. Sejarah
perkembangan bahasa Indonesia tidak terlepas dari perkembangan bahasa Melayu yang
disesuaikan dengan kebudayaan masyarakat dan perkembangan zaman. Sejak abad VII,
bahasa Melayu mempunyai peranan penting dalam pergaulan antar suku bangsa di seluruh
nusatara. Bahasa Melayu (kuno) dipakai sebagai bahasa resmi oleh kerajaan Sriwijaya.
Bahasa yang digunakan bahasa perhubungan ( lingua franca) komunikasi. Oleh karena itu,
bahasa Melayu mempunyai daerah penyebaran yang sangat luas melalui komunikasi,
perdagangan, penyiaran agama dan lain-lain.

Bahasa melayu digunakan untuk kepentingan hubungan surat menyurat atau


mengadakan penjanjian dengan raja dan tetua anak negeri. Bahasa Melayu telah naik
tingkat dari bahasa pergaulan menjadi bahasa resmi kedua pemerintah Hindia-Belanda.
Kaidah yang ada pada bahasa Melayu mudah menyesuaikan diri dengan tuntutan
masyarakat dan kemajuan teknologi modern.

Bahasa Melayu memiliki watak yang sesuai dengan aspirasi bahasa Indonesia yang
berjuang ke arah kehidupan masyarakat bangsa yang demokratis dan egaliter. Bahasa
daerah yang satu dengan yang lain tidak terjadi persaingan bahasa menjadi dasar
pembentukan bahasa Indonesia untuk mencapai kedudukan sebagai bahasa nasional.
Perkembangan bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan Indonesia atau bahasa nasional
akhrnya terlepas dari perkembangan bahasa Melayu sebagai bahasa daerah.

Kedudukan bahasa Indonesia terdiri dari bahasa nasional (persatuan) dan bahasa
negara (resmi) tercantum dalam butir ketiga sumpah pemuda “ menjunjung bahasa
persatuan, bahasa Indonesia” tercetus pada tangal 28 Oktober 1928 serta dalam UUD 1945
Bab XV pasal 36 yang menyatakan “ bahasa negara ialah bahasa Indonesia. Dalam
kedudukan sebagai bahasa negara bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa resmi
kenegaraan, bahasa pengantar dalam pendidikan, alat perhubungan pada tingkat nasional
untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional serta
kepentingan pemerintah dan alat pembangunan kebudayaan, ilmu pengetahuan dan
teknologi (Halim, 1976:23-24).
Nama : Teviani Dwi Nuryani
Nim : 182079
Kelas : 3B Kebidanan

TUGAS BAHASA INDONESIA


“BAHASA INDONESIA UNTUK PERGURUAN TINGGI”
KARYA Dr. R. KUNJANA RAHARDI, M. Hum.

1. Pengantar
Buku dengan judul “Bahasa indonesia untuk perguruan tinggi” karya Dr. R.
KUNJANA RAHARDI, M. Hum. sangatlah penting untuk dipelajari, khususnya bagi
mahasiswa untuk mempermudah memahami bahasa indonesia secara baik dan benar
sesuai dengan kaidah ejaan yang telah disempurnakan. Buku ini dicetak oleh Penerbit
Erlangga pada tahun 2009.
Buku ini disusun dalam 7 bab, yang masing-masing diperinci menjadi sub-subbab
yang lebih terperinci. Di awal setiap bab disajikan rumusan kompetensi dasar dan
rumusan standar kompetensi untuk para mahasiswa mempelajari isi setiap isi bab.

2. Resume Bab I : Jati Diri Bahasa


2.1 Arti Bahasa
Bahasa,masyarakat, dan budaya adalah tiga etnis yang erat berpadu. Sosok
bahasa sering disebut penanda (prevoir) eksistensi budaya dari masyarakat yang
bersangkutan. Masyarakat yang maju budayanya pasti juga berkembang baik entitas
bahasanya. Bahasa yang baik juga dapat menunjukkan keberadaan masyarakat.
Maka, bahasa sering pula disebut cermin masyarakatnya.
Entitas bahasa bersifat unik, khas, dan tidak dimiliki bahasa-bahasa lainnya.
Anderson (1972) menyebutkan delapan prinsip dasar yang merupakan hakekat
bahasa, yaitu :
a) Merupakan alat komunikasi
b) Bersifat kesemestaan
c) Bersifat kemanusiaan
d) Berkaitan dengan masyarakat dan budaya
e) Memiliki makna konvensional
f) Bersifat vocal
g) Merupakan symbol arbitrer
h) Merupakan system

2.2 Fungsi Bahasa


Bahasa memiliki fungsi beragam, yaitu :
a) Fungsi instrumental adalah bahasa dapat digunakan untuk melayani
lingkungannya.
b) Fungsi regulasi adalah bahasa digunakan untuk mengatur serta
mengendalikan orang-orang sebagai warga masyarakat
c) Fungsi representasional adalah menggambar atau mempresentasikan
sesuatu.
d) Fungsi interaksional adalah bahwa bahasa dapat digunakan untuk menjamin
terjadinya interaksi, memantapkan komunikasi, dan mengukuhkan
komunikasi dan interaksi antar warga masyarakat itu sendiri.
e) Fungsi personal adalah bahasa dapat digunakan untuk mengekspresikan
maksud-maksud pribadi atau personal
f) Fungsi heuristic adalah bahasa digunakan untuk mempelajari pengetahuan,
mencari ilmu, mengembangkan tekhnologi, dan menyampaikan rumusan-
rumusan yang bersifat pertanyaan.
g) Fungsi imajinatif adalah fungsi bahasa yang berkenaan dengan penciptaan
imajinasi.
Dari beberapa fungsi diatas, yang paling utama adalah fungsi interaksional, karena
bahasa menjadi piranti utama dalam berkomunikasi dan interaksi antar sesama.

2.3 Ragam Bahasa


Bahasa Indonesia memiliki ragam bahasa yang tidak sedikit jumlahnya.
1. Ragam bahasa berdasarkan waktunya
Dalam konteks waktu, bahasa dapat diperinci menjadi :
a. Bahasa ragam lama atau kuno
b. Bahasa ragam baru atau modern
c. Bahasa ragam kontemporer, yakni ragam bahasa yang banyak mencuat
akhir-akhir ini.
Dengan bahasa laras lama atau bahasa ragam kuno dapat dilacak
keberadaan atau eksistensi berikut makna sejumlah dokumen kuno, aneka prasasti,
dan tulisan-tulisan yang tertuang dalam piranti yang masih sangat sederhana itu.
Selanjutnya, setelah ragam bahasa kuno adalah bahasa dalam ragam baru.
Dengan ragam baru bahasa itu dimungkinkan terjadi pula inovasi-inovasi
kebahasaan yang baru. Dengan bahasa ragam baru pula perkembangan masa
depannya akan dapat diprediksikan.
Dalam banyak literatur memang sama sekali tidak ditemukan ragam bahasa
kontemporer. Adapun yang dimaksud adalah entitas bahsa dalam wujud
perkembangannya yang sekarang ini, yang telah melahirkan bentuk-bentuk
kebahasaan baru yang cenderung mengabaikan kaidah-kaidah kebahasaan yang
sudah ada itu.
Selain ditandai penyimpangan-penyimpangan aturan kebahasaan, bahasa
kontemporer juga cenderung tidak peduli dengan pembedaan fungsi bahasa dalam
kaitan dengan kedudukan sebagaimana telah disampaikan dibagian depan.
2. Ragam bahasa berdasarkan medianya
Jika dilihat dari dimensi medianya, bahasa dapat dikelompokkan menjadi dua,
yaitu :
a) Bahasa ragam lisan
b) Bahasan ragam tulis
Bahasa ragam lisan lazimnya ditndai dan ditentukan oleh penggunaan aksen-
aksen bicara atau penekanan –penekanan tertentu dalam aktifitas bertutur,
pemakaian intonasi atau lagu kalimat tertentu.
Bahasa ragam lisan selanjutnya dapat diperici menjadi dua, yakni (a) bahasa
ragam lisan baku dan (b) bahasa ragam lisan tidak baku. Bahasa ragam lisan baku
kelihatan seperti orang sedang ceramah, presentasi, dan lain-lain. Bahasa ragam
lisan tidak baku juga kelihatan seperti ngobrol dengan santai.
Selanjutnya yang dimaksud dengan bahasa ragam tulis bahasa yang hanya
tepat muncul dalam konteks tertulis.
3. Ragam bahasa berdasarkan peta komunikasinya
Apabila didasarkan pada kandungan pesan komunikasinya, bahasa dapat
dibedakan menjadi :
a) Bahasa ragam ilmiah
b) Bahasa ragam sastra
c) Bahasa ragam pidato
d) Bahasa ragam berita
Ragam ilmiah biasanya digunakan dalam dua manifestasi, yakni dalam karya
ilmiah akademis dan dalam karya ilmiah popular. Karya ilmiah akademis di
perguruan tinggi biasanya akaln meliputi artikel ilmiah, makalah ilmiyah, jurnal ilmiah,
surat-menyurat, dan lain-lain. Adapun karya ilmiah populer bias meliputi esai-esai
ilmiah populer, catatan-catatan ilmiah populer, opini-opini di media massa, dan lain-
lain.
3. Resume Bab II : Ihwal Diksi
3.1 Peranti-peranti diksi
a. Peranti kata berdenotasi dan berkonotasi
1) Kata berdenotasi
Dalam studi linguistic ditegaskan bahwa kata yangtidak mengandung makna
tambahan atau perasaan tambahan makna tertentu disebut denotasi. Jadi
makna denotasi dapat disebut makna yang sebenarnya, seperti peranti duduk
yang namanya “kursi”, maka peranti , untuk duduk itu disebut sebagai “kursi”.
Kata “kursi” dalam hal ini memiliki makna apa adanya.
2) Kata berkonotasi
Kata berkonotasi ialah makna kias, bukan makna sebenarnya. Makna konotasi
memiliki nuansa makna subjektif dan cendeerung digunakan dalam situasi
tidak formal, seperti “dengan memanjatkat puji syukur kepada…..”, pemakaian
kata “memanjatkan” dalam kalimat tersebut jelas sekali menggunakan makna
konotasi bukan denotasi.
b. Peranti kata bersinonim dan berantonim
Kata “bersinonim” berarti kata sejenis, sepadan, sejajar, serumpun, dan memiliki
arti sama. Secara lebih gampang dapat dikatakan bahwa sinonim sesungguhnya
ada persamaan makna kata. Adapun yang dimaksud adalah dua kata atau lebih
yang berbeda bentuknya, ejaannya, pengucapan atau lafaldnya, tetapi memiliki
makna sama atau hampir sama, contoh: hamil dan mengandung, kedua bentuk
tersebut dapat dikatakan bersinonim karena bentuknya berbeda tetapi maknanya
sama.
Kata “berantonim” berlawanan dengan kata “bersinonim”. Bentuk kebahasaan
tertentu akan dapat dikatakan berantonim jika bentuk itu memiliki makna yang
tidak sama atau berlawanan. Seperti contoh kata “panas dan dingin”, kedua kata
tersebut mempunyai makna yang berlawanan.
c. Peranti kata bernilai Rasa
Diksi atau pilihan kata juga mengajarkan untuk senantiasa menggunakan kata-
kata yang bernilai rasa dengan cermat, guna untuk mengindahkan kata-kata.
Bahasa juga perlu dalam pemakaiannya lebih di perhatikan dan di pertimbangkan,
agar dapat menyangkut dengan konteksnya.
d. Peranti kata konkret dan abstrak
Kata-kata konkret adalah kata-kata yang menunjukkan pada objek yang dapat
dipilih, didengar, dirasakan, diraba, atau dicium. Kata-kata konkret lebih mudah
dipahami daripada kata-kata abstrak
Kata-kata abstrak menunjuk pada konsep atau gagasan. Kata-kata abstrak sering
dipakai untuk mengungkapkan gagasan yang cenderung rumit. Kata abstrak
digunakan untuk membuat deskripsi,beberapa juga untuk narasi.
e. Peranti keumuman dan kekhususan kata
Kata umum adalah kata yang perlu dijabarkan lebih lanjut dengan kata yang
sifatnya khusus untuk mendapatkan perincian lebih baik. Kata umum lebih tepat
digunakan untuk argumentasi atau persuasi, karena dalam pemakaian yang
disebutkan terakhin itu akan dibuka kemungkinan-kemungkinan penafsiran yang
lebih luas, yang lebih umum, yang lebih komprehensif sebagai imbangan kata-
kata umum adalah kata-kata khusus.
Dalam banyak hal, kata-kata khusus memang merupakan kebalikan kata-kata
umum. Kata-kata khusus cenderung digunakan dalam konteks terbatas, maka
lazim pula dipahami bahwa kata-kata khusus adalah kata-kata yang sempit ruang
lingkupnya, terbatas konteks pemakaiannya.
f. Peranti kelugasan kata
Diksi juga mengajarkan kita ihwal kata-kata lugas, apa adanya. Kata-kata lugas
adalah kata-kata yang sekaligus juga ringkas , tidak merupakan frasa panjang,
tidak mendayu-dayu, dan sama sekali tidak berbelit-belit. Ketika konteks
pemakaian kebahasaan itu adalah untuk menyatakan kebasi-basian dan
kesantunan, sudah barang tentu pemakaian bentuk-bentuk kebahasaan yang
lugas itu tidak tepat.
g. Peranti penyempitan dan perluasan makna kata
Sebuah kata dapat dikatakan mengalami penyempitan makna apabila didalam
kurun waktu tertentu maknanya bergeser dari semula yang luas ke makna yang
sempit atau sangat terbatas.
Sebagai imbangan dari penyempitan makna kata adalah perluasan makna kata.
Sebuah makna kebebasan dikatakan akan meluas jika dalam kurun waktu
ternentu maknanya akan bergeser dari yang semula sempit ke makna yang lebih
luas.
h. Peranti keaktifan dan kepasifan kata
Dalam kerangka diksi atau pemilihan kata yang dimaksud dengan kata-kata aktif
adalah kata-kata yanga banyak digunakan oleh tokoh masyarakat.
Pemakaian bahasa kontemporer yang terjadi sekarang ini banyak menjadi bukti
sekaligus saksi akan banyak dilahirkannya kata-kata yang baru, kata-kata yang
semula tidak pernah digunakan itu.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kata-kata yang semula tidak pernah
digunakan akan menjadi aktif jika digunakan.
i. Peranti ameliorasi dan peyorasi
Ameliorasi adalah proses perubahan makna dari yang lama ke yang baru ketika
bentuk yang baru dianggap dan dirasakan lebih tinggi dan lebih tepat nilai rasa
serta konotasinya dibandingkan dengan yang lama.
Sebagai imbangan dari ameliorasi adalah peyorasi. Maksudnya adalah perubahan
makna dari yang baru ke yang lama ketika yang lama dianggap masih tetap lebih
tinggi dan lebih tetap nilai rasa serta konotasinya dibandingkan dengan makna
yang baru.
j. Peranti kesenyawaan kata
Bentuk idiomatis atau bentuk bersenyawa, sesuai dengan namanya, tidak dapat
dipisahkan begitu saja oleh siapapun. Dikatakan sebagai bentuk senyawa karena
bentuk demikian itu sudah sangat erat hubungan antara satu dengan dengan yang
lainnya. Jadi didalam konstruksi idiomatis kata yang satu dengan kata yang lainnya
itu berhubungan erat, lekat, dan tidak dapat dipisahkan oleh alasan apapun juga.
k.Peranti kebakuan dan ketidakbakuan kata
Bentuk baku hadir karena adanya pembakuan bentuk-bentuk kebahasaan.
Pembakuan bahasa demikian itu pada gilirannya akan menjadikan bangsa
Indonesia semakin bermartabat.
Bilamana bahasa baku tersebut digunakan oleh masyarakat internasional, maka
jadilah bahasa itu bahasa yang berharkat dan bermartabat tinggi.

3.2 Ihwal Peristilahan


Istilah dapat didefinisikan sebagai kata atau gabungan kata yang dapat dengan
cermat mengungkapkan makna konsep, proses, keadaan, atau sifat yang khas
dibidang kehidupan dan cabang ilmu pengetahuan tertentu. Istilah itu sendiri
dibedakan ke dalam dua jenis, yaitu istilah yang sifatnya khusus dan istilah yang
sifatnya umum.
Bentuk-bentuk kebebasan yang hanya lazim digunakan dalam bidang tertentu
dapat dikatakan sebagai bentuk-bentuk yang sifatnya khusus. Sebagail imbangan
dari kata-kata yang sifatnya khusus adalah kata-kata yang sifatnya umum yaitu kata-
kata yang memiliki kandungan makna yang banyak dan bermacam-macam .
4. Resume Bab III : Ihwal Kalimat
4.1 Kelas kata
Kata dalam bahasa Indonesia yang jumlahnya luar biasa banyak itu mustahil
dapat dipelajari dengan mudah kalau tidak di kelas-kelaskan terlebih dahulu. Nah,
hasil dari pengelaskataan atau pengelompokan kata-kata itulah yang kemudian lazim
disebut dengan kelas kata.
a. Verba
Verba atau kata kerja lazimnya dapat didefinisikan dengan menggunakan tiga
macam cara.
1) Dengan mencermati bentuk morfologisnya
2) Dengan mencermati perilaku sintaksisnya
3) Dengan mencermati perilaku semantisnya
Berdasarkan ciri morfologisnya, verba didalam bahasa Indonesia dapat dibedakan
menjadi :
1) Verba dasar atau verba yang tidak berafiks
2) Verba berafiks
3) Verba yang merupakan perulangan atau reduplikasi
4) Verba yang merupakan bentuk majemuk
Berdasarkan fungsinya atau sering disebut sebagai perilaku sintaksisnya, verba
dapat dibedakan menjadi :
1) Verba yang menduduki fungsi subjek
2) Verba yang menduduki posisi keterangan
3) Verba yang menduduki posisi objek
Dari sisi pembentukannya, verba juga dapat dibentuk dari nomina. Verba atau
kata kerja yang demikian ini disebut sebagai verba denominal, misalnya “berbudaya
dan mencangkul” yang dibentuk dari dasar nomina “budaya dan cangkul”. Selain itu
ada juga verba adjektifa, contoh mengakhiri dan mengawali.
b. Adjektiva
Adjektiva lazim disebut juga kata sifat. Dari dimensi wujud atau bentuknya dapat
dikenali adjektifa dasar, seperti cantik, adil.
Adjektiva dari dimensi bentuknya merupakan gabungan atau perpaduan dua
adjektiva, misalnya cantik jelita dan aman sentausa.
Adjektifa dapat didampingi dengan kata-kata berikut, sangat, agak, lebih, paling.
c. Nomina
Nomina disebut juga kata benda. Dari dimensi bentuknya, nomina dapat
dibedakan menjadi dua, yakni nomina dasar dan nomina bentukan atau turunan.
Nomina dasar ialah nomina yang belum mendapatkan imbuhan apapun, contoh :
buku, meja, rumah. Nomina turunan ialah nomina yang sudah mendapatkan
imbuhan.
d. Pronominal
Pronominal disebut juga sebagai kata ganti. Dikatakan sebagai kata ganti karena
sesungguhnya pronomina itu berfungsi menggantikan nomina yang menjadi
antesedennya.
Dari sisi bentuknya, nomina dapat dibedakan menjadi :
1) Nomina persona
2) Nomina penunjuk
3) Nomina penanya
Nomina persona dapat menunjukkan orang, baik dalam hitungan tunggal maupun
banyak. Tunggal : saya, aku, daku, dan –ku. Jamak : kami, kamu, kalian, mereka.
Selain menunjukkan pada persona, pronominal juga dapat nomina penunjuk,
seperti : itu, ini, sana, sini. Pronominal dapat juga berfungsi sebagai pronominal
penanya, misalnya : mengapa, lenapa, bagaimana.
e. Numeralia
Numeralia sering disebut juga kata bilangan. Kata itu digunakan untuk
menghitung jumlah orang, binatang, barang, dan juga sebuah konsep.
Dalam bahasa Indonesia dibedakan dua macam numeralia, yaitu numeralia pokok
dan numeralia tingkat. Numeralia pokok digunakan untuk menjawab pertanyaan
“berapa”, sedangkan numeralia tingkat digunakan untuk menjawab pertanyaan
“kebrapa”.
f. Adverbial
Adverbia sering disebut juga kata keterangan. Dapat dikatakan keterangan karena
kata-kata itu memberikan keterangan pada verba, adjektiva, nomina predikatif,
atau pada kata kalimat secara keseluruhan.
Dari dimensi bentuknya, terdapat dua macam adverbia dlam bahasa Indonesia,
yakni :
 Adverbia monomorfemis
 Adverbia polimorfemis
Dikatakan sebagai adverbia monomorfemis karena adverbial itu hanya terdiri dari
satu bentuk, seperti sangat, hanya, segera, agak, akan. Dapat dikatakan adverbia
polimorfemis karena bentuknya lebih dari satu morfem, misalnya belum tentu,
jangan-jangan, lebih-lebih, mula-mula.
Dari sisi perilaku sintaksisnya, adverbial dapat merupakan kata yang mendahului
kata yang diterngkan, seperti pada “puisi itu sangat indah”, kata sangat adalah
adverbia dan tugasnya adalah menjelaskan “indah” yang berada dibelakangnya.

4.2 Frasa
Frasa atau kelompok kata adalah satuan gramatikal yang berupa gabungan kata
dan hubungan kata itu bersifat nonprediktif. Yang perlu digaris bawahi dalam
pembahasan frasa ialah hubungan antar kata dan kata yang lain di dalam kata
tersebut.
Secara umum, frasa atau kelompok kata itu dapat dibedakan menjadi dua, yakni
frasa eksosentris dan frasa endosentris. Frasa eksosentris tidak memiliki perilaku
sintaksis yang sama dengan semua komponennya, contoh : dengan sabar, dengan
baik, dari rumah, pada hari. Frasa endosentris ialah frasa yang seluruh bagiannya
memiliki perilaku sintaksis yang sama dengan perilaku salah satu komponen tersebut.
Frasa endosentris dapat dibedakan menjadi dua, yakni frasa endosentris tunggal dan
frasa endosentris jamak. Contoh frasa endosentris tunggal ialah fendi anak bapak
kunjana yang masaih kecil itu senang membuat puisi. Contoh frasa endosentris jamak
ialah saya tetap mencintainya, baik kaya maupun miskin.
Frasa endosentris tunggal dapat dibedakan menjadi menjadi frasa berikut ini, yaitu :
a. Frasa nominal
Frasa yang terdiri dari nomina sebagai induk atau sebagai pusat dan unsure lain
yang yang berupa adjektifa, verba, numeralia, dan lain-lain. Contoh : kursi rotan,
kawan seperjuangan, sosok yang terpandang, wanita cantik jelita.
b. Frasa verba
Frasa verba merupakan gabungan antara verba dengan verba, verba dengan
adverbia atau yang lainnya. Contoh :pergi ke jakarta, berangkat tidur, tidur dengan
nyenyak.
c. Frasa adjektiva
Frasa adjektiva ialah frasa yang merupakan gabungan antara adjektifa dengan
komponen yang lainnya, sedangkan frasa yang lainnya berfungsi sebagai
penjelas. Contoh : panas terik, agak sulit, cantik sekali, cerdik cendekia.
d. Frasa numeralia
Frasa numeralia ialah frasa yang merupakan gabungan antara numeralia dengan
unsur-unsur lainnya. Di dalam konstruksi frasa itu, numeralialah yang menjadi
induk atau frasanya. Contoh : dua puluh, dua ekor, dua lusin.
e. Frasa preposisional
Frasa preposisional ialah frasa yang induknya adalah preposisi. Contoh : dari,
oleh, dan untuk.

4.3 Klausa
a. Pengertian klausa
Klausa adalah suatu kebahasaan yang merupakan gabungan kelompok kata
yang setidaknya terdiri dari atas subjek dan predikat. Klausa bersifat predikatif
dan berpotensi untuk dijadikan kalimat.
b. Klausa pada kalimat majemuk setara
Klausa-klausa didalam kalimat majemuk setara masing-masing dapat berdiri
sendiri sebagai kalimat.
Hubungan antar kalimat di dalam kalimat majemuk setara dapat dibedakan
menjadi tiga, yakni :
 hubungan koordinatif yang sifatnya aditif
 hubungan koordinatif yang sifatnya adversative
 hubungan koordinatif yang sifatnya alternative
Jenis yang pertama bersifat menambahkan, bersifat menjumlahkan, dan lazimnya
menggunakan konjungsi dan, serta, bersama. Jenis yang kedua ialah adversatif,
arinya bertentangan. Konjungsi yang lazim digunakan ialah tetapi, melainkan, dan
sedangkan. Jenis yang ketiga ialah bersifat alternative atau pilihan, maksudnya
ialah bahwa kalausa yang dihubungkan itu merupakan pilihan bagi klausa yang
disampaikan sebelumnya. Konjungsi yang lazim digunakan ialah atau atau
ataukah seperti pada kalimat berikut, “Aku harus tetap berbohong untuk
menyimpan rahasia, ataukah harus berterus terang saja?”
c. Klausa pada kalimat majemuk bertingkat
Hubungan antar antar klausa pada kalimat majemuk bertingkat bersifat
subordinatif , maksunya klausa yang satu berinduk atau menjadi sub bagi klausa
yang lainnya. Klausa yang satu menjadi atasan, dan klausa yang lainnya menjadi
bawahan, atau klausa yang satu menjadi induk, sedangkan klausa yang lainnya
menjadi anaknya. Hubungan klausa demikianlah yang disebut dengan hubungan
yang bersifat hierarkis atau subordinatif.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sebagian kalimat majemuk
bertingkat yang diawali oleh konjungsi subordinatif itu pasti adalah anak
kalimatnya, bukan induk kalimatnya. Konjungsi itu memiliki hubungan makna yang
bermacam-macam. Ada konjungsi yang menyatakan sebab, seperti karena,
sebab, lantaran,. Bentuk olehk karea, karenanya, karena itu, oleh karena itu,
jangan pernah dianggap sebagai konjungsi subordinatif dalam bahasa Indonesia.

4.4 Kalimat
a. Pengertian kalimat
Kalimat dapat dipahami sebagai satuan bahasa terkecil yang dapat
digunakan untuk menyampaikan ide atau gagasan. Pakar berbeda menyatakan
bahwa kalimat adalah satuan bahasa yang secara relative berdiri sendiri,
mempunyai intonasi akhir, dan secara actual dan potensial terdiri atas klausa.
Jadi, tidak salah pula kalau di katakan bahwa sesungguhnya sebuah kalimat
membicarakan hubungan antara klausa yang satu dan yang lainnya.
b. Unsur-unsur kalimat
1. Subjek
Unsur pembentuk kalimat yang harus disebut pertama disini adalah subjek. Dalam
kalimat, subjek tidak selalu berada di depan. Ada kalanya berada di belakang
predikat, teruama kalimat yang berdiatesis pasif.
Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mengetahui kebera subjek
kalimat.
Cara yang pertama adalah dengan menggunakan pertanyaan, siapa + yang +
predikat apabila subjek itu adalah subjek orang, atau apa + yang + predikat
bilamana yang menjadi subjek itu bukan orang. Contoh : Tuti sudah dikawinkan
dengan pria pilihan ayahnya. Jika formulasi demikian diterapkan, maka maka
pertanyaannya akan berbunyi “siapa yang sudah dikawinkan dengan pria pilihan
ayahnya? “. Jawabannya adalah “Tuti”. Maka, subjek kaliamat itu adalah “Tuti”.
2. Predikat
Sama-sama menjadi unsure dalam sebuah kalimat, predikat memiliki karakter
yang tidak sama dengan subjek. Akan tetapi, kejatian sebuah subjek menjadi jelas
juga karena ada subjek kalimatnya.
Cara yang paling mudah untuk mengidentifikasi predikat kalimat adalah dengan
menggunakan formula pertanyaan “bagaimana atau mengapa”. Bilamana
dicermati dari dimensi maknanya, bagian kalimat yang memberikan informasi
ihwal pertanyaan “bagaimana dan mengapa” adalah predikat itu. Contoh : dia
bukan mahasiswa kampus itu lagi sejak 2008. Jadi jelas, bagian kalimat yang
mengikuti penegasi “tidak” dan “bukan” inilah predikat kalimatnya.
3. Objek
Dalam banyak hal dapat dikatakan bahwa objek kalimat berlawanan dengan
subjek kalimat. Objek kalimat hanya dimungkinkan hadir apabila predikat kalimat
tersebut merupakan verba atau kata kerja yang sifatnya transitif.
Dengan demikian, dapat dikatakan pula bahwa objek kalimat itu tidak akan hadir
di dalam kalimat apabila :
a. Tidak terdapat dalam kalimat pasif
b. Kalimat itu merupakan kalimat dengan
verba instransitif.
Contoh :
Fendi dilahirkan di yogjakarta
Bukunya bernilai sangat tinggi
4. Pelengkap
Dalam kalimat pasif, pelengkap tidak dapat menempati fungsi subjek. Pada posisi
yang sama, objek dapat menempatinya. Maka inilah sesungguhnya perbedaan
mendasar antara objek dan pelengkap.
Contoh :
Ibu member saya baju baru
Fendi berjualan buku cerita.
5. Keterangan
Keterangan adalah unsure kalimat yang sifatnya tidak wajib hadir. Berbeda
dengan subjek, predikat, objek, dan pelengkap yang sifatnya wajib hadir. Adapun
fungsinya adalah untuk menambahkan informasi pada kalimat itu.
c. Sruktur kalimat
1. Struktur kalimat dasar
Kalimat dasar,atau kalimat tunggal, atau kalimat sederhana ialah kalimat yang
hanya memiliki satu subjek dan satu predikat. Kalimat dasar dapat berwujud tiga
macam, yaitu kalimat tunggal murni, seperti pada bentuk, “Adik tidur”. Kailmat
dasar dapat juga berupa kalimat yang diperluas dengan keterangan tertentu,
misalnya adik menangis di belakan kebun. Sekalipun bentuk bahasanya panjang,
karena kalimat tersebut hanya terdiri dari satu subjek dan predikat.
2. Stuktur kalimat majemuk
Kalimat majemuk jenis yang pertama adalah kalmiat majemuk setara. Konstruksi
kalimat majemuk setara sesungguhnya sangat sederhana, yakni hanya beberapa
kalimat dasar atau kalimat tunggal yang kemudian digabungkan dengan konjungsi
atau kata penghubung.
Adapun konjungsinya ialah dan, atau, sedangkan, tetapi, dan melainkan. Contoh:
adik sedang tidur, sedangkan ibu sedang memasak di dapur.
d. Kalimat efektif
1. Definisi kalimat efektif
Kalimat efktif adalah kalimat yang tidak cukup dipahami hanya sebagai
satuan kebhasaan terkecil yang dapat digunakan untuk mengungkapkan ide atau
gagasan yang utuh.
Demikian pula dalam konteks tuturan lisan, sebuah tuturan yang efektif itu harus
dapat membangkitkan kembali gagasan yang dimiliki oleh pendengar.
2. Prinsip-prinip efektifitas kalimat
Prinsip utama yaitu bahwa kalimat itu harus disusun dengan
mempertimbangkan dan memperhitungkan kesepadanan bentuk atau
kesepadanan setrukturnya. Contoh : adik kecil yang menangis.

5. Resume Bab IV: Ihwal Paragraf


5.1 Pengertian paragraph
Paragraf ialah segala sesuatu yang lazim terdapat didalam karangan atau
tulisan, sesuai dengan prinsip dan tata kerja karang-mengarang dan tulis-menulis
terdapat pula dalam paragraf.

5.2 Ide utama dan kalimat utama dalam paragraph


Perlu digaris bawahi, sebuah paragraph muthlak harus memiliki ide pokok, ide
pokok itulah pengendali dari bangunan paragraf itu.
Jadi, kalimat utama atau kalimat pokok paragraph itu harus berisi ide utama dari
paragraph yang bersangkutan. Ambil saja contoh, ide pokok paragraf yang berbunyi
”lambatnya penelitian”, maka ide pokok paragraph itu dapat dikemas menjadi sebuah
kalimat utama yang berbunyi “ lalmbatnya penelitian di Indonesia disebabkan oleh
rendahnya insentif bagi para peneliti.
a. Kalimat utama diawal paragraph
Kalimat utama diawal paragraf yaitu perincian dan jabaran bagi kalimat utama
tersebut akan menyertainya pada kalimat yang berikutnya. Alur pikiran yang
diterapkan dalam paragraph dengan kalimat utama yang berada diawal paragraph
yang demikian ini adalah alur piker deduktif.
b. Kalimat utama di akhir paragraph
Kalimat pokok yang tempatnya di akhir paragraph terlebih dahulu di awali dengan
kalimat-kalimat penjelas. Nah, pada akhir paragraph, semua yang telah disajikan
di dalam bagian awal hingga pertengahan paragraph itu kemudian disimpulkan di
akhir paragraph.
c. Kalimaat utama di dalam paragraph
Paragraph jenis demikian ini, ada yang menyutnya sebagai paragraph ineratif.
Jadi, didalam paragraph tersebut kalimat utama yang terdapat di tengah
paragraph ini diibaratkan sebagai puncak. Kalimat-kalimat yang berada diawal
paragraph itu dapat dikatakan sebagai awal-awal menuju puncak, menuju klimaks
paragraph, sedangkan kalimat-kalimat yang berada setelah kalimat-kalimat itu,
sekalipun merupakan kalimat penjelas, derajatnya semakin lemah.
d. Kalimat utama di awal dan di akhir paragraph
Paragraph yang kalimat utamanya di awal dan di akhir paragraph demikian ini
disebut sebagai paragraph yang beralur pikir abduktif.
1. Kalimat penjelas
Dapat dikatakan sebagai kalimat penjelas karena tugas dari kalimat itu me
mang menjelaskan dan menjadi lebih lanjut ide pokok dan kalimat utama yang
terdapat dalam paragraph tersebut. Jadi kalimat penjelas yang baik
sesungguhnya akan menjadi penentu pokok dari benar-benar baik dan
tuntasnya paragraph tersebut.
 Kalimat penjelas mayor
Kalimat penjelas mayor adalah kalimat penjelas yang utama. Kalimat penjelas
yang utama itu bertugas menjelaskan secara langsung ide pokok dan kalimat
utama yang terdapat didalam paragraph itu.
 Kalimat penjelas minor
Dikatakan sebagai kalimat penjelas minor karena kalimat penjelas itu tidak
secara langsung menjelaskan ise pokok dan kalimat utama paragraph. Jadi
seuah kalimat penjelas minor yang telah menjelaskan secara lansung kalimat
penjelas utama tertentu tidak serta merta dapat digunakan untuk menjelaskan
kalimat penjelas utama yang lain.
e. Kalimat penegas
Dalam konteks pemakaian paragraph, kehadiran sebuah kalimat penegas didalam
paragraph, menjadi sangat lebih dipentingkan oleh penulis. Satu hal yang juga
yang juga harus dicatat oleh para penyusun paragraph, dan para penulis pada
umumnya kalimat penegas demikian itu bukanlah ide pokok dan kalimat pokok
baru.

6. Resume Bab V : Ihwal karya ilmiyah akademik


6.1 Ihwal karangan ilmiah
Menulis bagi banyak orang memang sangat tidak mudah. Bagi sementara orang
yang lain lagi justru terjadi sebalinya, menulis adalah sesuatu yang mudah dan
sangat menyenangkan. Berkaitan dengan hal ini, sesungguhnya ihwal kebiasaan
membaca memiliki peran dan pengaruh yang sangat besar dalam menjadikan orang
merasakan mudah ataukah sulit di dalam aktifitas menulis itu.

6.2 Lebih mengenali karangan ilmiah


Bias dikatakan sebagai hal yang ilmiah karena sesungguhnya dimensi-dimensi
keilmuan menjadi kandungan pokoknya dalam tulisan. Secara khusus dapat
dijelaskan lebih lanjut bahwa yang dimaksud dengan ilmiah itu berkaitan sangat erat
dengan dimensi-dimensi berikuti ini.
a. Fakta/data sebagai dasar
Sebuah tulisan akan dapat dianggap sebagai hal yang sifatnya ilmiah karena dapat
dasar pokoknya adalah data atau fakta. Jadi, setiap tulisan ilmiah itu bahan
pokoknya adalah data atau fakta. Data bagi sebuah karya ilmiah harus berkualifikasi
sempurna.
b. Pemikiran analisis dan konklusi logis.
Sebuah karangan ilmiah juga harus memenuhi ketiga dimensi kelogisan di dalam tiga
hal, yakni pemikiran atau penalarannya, analisis atau pembahasannya, dan
penarikan kesimpulan.
Nah, apabila dimensi ilmiah demikian sudah semuanya di lakukan, maka jadilah
karangan ilmiah dengan tulisan yang berkualitas baik, bahkan boleh pula dikatakan
sempurna.
c. Objektif dan tidak berpihak
Salah satu yang harus di perhatikan dan ternyata sangat penting di dalam sebuah
karangan ilmiah adalah bahwa pembahasan atau analisis yang dilakukan harus
benar-benar objektif.
Dalam hal ini, yang dimaksud adalah kebenaran ilmiah. Maka, analisis yang harus
dilakukan tidak boleh bersifat subjektif, melainkan harus objektif.
d. Akurat dan sistematis
Semua yang disajikan dalam karya ilmiah itu harus bersifat sistemik dan sistematik.
Adapun yang dimaksud dengan sistemik itu ialah bahwa karya ilmiah harus
sepenuhnya mengacu kepada system atau tata cara ilmiah tertentu yang sifatnya
konvensional dan sekaligus universal.
Selanjutnya dapat dikatakan sistematis apabila pengaturan dan penataannya runtut
sesuai dengan urutan yang berlaku umum sebagai karya ilmiah.
e. Tidak emosional
Karya ilmiah tidak boleh bernuansa emosional. Maka bahasa yang digunakan juga
tidak boleh penuh dengan nuansa dan perasaan yang penuh dengan keharuan dan
syarat dengan permohonan maaf. Lazimnya pula, bahasa yang emosional itu
disajikan dengan nuansa kata yang berbelit- belit, tidak langsung pada persoalan
atau sasarannya.

6.3 Asas-asas menulis karangan ilmiah


a. Kejelasan (clarity)
Karangan ilmiah harus konkret dan jelas. Tidak boleh bersifat samar-samar, tidak
boleh kabur, dan tidak boleh di wilayah abu-abu.
b. Ketepatan (accuracy)
Karangan ilmiah menjunjung tinggi keakuratan. Hasil penelitian ilmiah dan cara
penyajian hasil penelitian itu haruslah tepat atau akurat, penulis atau peneliti harus
sangat cermat, sangat teliti, dan tidak boleh sembrono.
c. Keringkasan (brevity)
Karangan ilmiah haruslah ringkas. Ringkas tidak sama dengan pendek. Jadi,
karangan ilmiah itu tidak boleh menghamburkan kata-kata , tidak boleh mengulang-
ulang ide yang telah di ungkapkan, dan tidak berputar-putar dalam mengungkapkan
maksud atau gagasan.

6.4 Kerangka karangan


Dengan rumusan tama karangan yang baik, kalimat tesis yang baik, judul
karangan yang baik, tujuan karangan yang jelas, akan dapat dijamin lahirnya
karangan atau tulisan yang baik pula.
Secara umum, kerangka karangan dapat dianggap sebagai rencana penulisan yang
mengandung ketentuan bagaimana kita akan menyusun sebuah karangan.
I. Pendahuluan
1. Latar belakang membahas…….
2. Masalah merumuskan…….
3. Tujuan berisi upaya……
II. Masalah remaja
1. Pergaulan bebas
2. Ketergantungan obat
3. ….
III. Penutup
1. Kesimpulan
2. Saran.

7. Resume Bab V: Ihwal resensi


7.1 Resensi
a. Pengertian resensi
Resensi umumnya dipahami sebagai alasan dan penilaian terhadap sebuah karya.
Karya tersebut dapat bermacam-macam, mungki film, mungkin buku, karya seni,
atau mungkin pela produk teknologi.
Hal yang perlu di perhatikan dalam meresensi yaitu : tingkat keahlian, pengalaman
dan cakrawala pandang penulisnya, analisis di dalam penyajian materinya, analisis
kebahasaannya, ketajaman dan kekuatan topic serta pembahasannya, kekuatan
ekspresinya, kekuatan intelektualnya.
Tujuan pokoknya ialah agar pembaca tertarik untuk membaca secara langsung buku
yang sedang diresensi tersebut.
b. Pertimbangan
Di depan sudah disampaikan bahwa dalam resensi tidak boleh hanya menyampaikan
kekurangan buku yang sedang diresensinya. Akan tetapi, harus menunjukkan
dimensi-dimensi positifnya dari bukku yang diresensi tersebut.
Secara khusus penulis hendak menegaskan bahwa pertimbangan-pertimbangan
yang harus dibuat oleh peresensi itu dapat mencakup keinginan pengarangnya,
kepentingan dari pembaca, dan materi atau esensi dari karya yang sedang diresensi
tersebut.
c. Prinsip resensi
Beberapa hal berikut yang harus di pertimbangkan dan di perhatikan dalam membuat
resensi :
1. Bahasa yang digunakan harus jelas, tegas, tajam , akurat
2. Pilihan kata yang digunakan harus baik, tepat, tidak konotatif
3. Format dan isi reseni harus disesuaikan dengan kompetensi, minat, dan motifasi
pembaca.
4. Objek seimbang dan proporsional dalam menyampaikan timbangan terhadap buku
atau hasil karya.
d. Unsur-unsur reseni
Berikut ini disajikan beberapa unsure yang harus dijadikan pertimbangan dalam
resensi :
1. Estetika perwajahan karya yang sedang diresensi
2. Latar balakang penulisan dan pengalaman penulis
3. Tema dan judul dikaitkan dengan minat pembacanya
4. Penyajian dan sistematika karya yang sedang diresensi
5. Deskripsi teknis buku atau karya yang sedang diresensi
6. Jenis buku atau karya yang sedang diresensi
7. Keunggulan buku atau karya yang sedang diresensi
8. Kelemahan buku yang atau karya yang sedang diresensi

7.2 Kajian pustaka dan landasan teori


Sebagai kajian pustaka untuk kajian ini sengaja hanya dicermati dua karya
linguirelevan, yakni :
a. Kajian lapoliwa (1988)
b. Kajian rahardi (2006)
Hal perkajian pertama adalah bahwa imperative bahasa Indonesia dapat dibedakan
menjadi : Perintah, Suruhan, desakan, permintaan, saran, ajakan, tawaran, persilan,
harapan, kehendak, keinginan, laran kutukan, dan ucapan performatif.
Temuan rahardi menginspirasi untuk segera menemukan makna-makna
sosiopragmatik imperative, sehingga dapat kajian pragmatic yang telah dilakukan
sebelumnya.

7.3 Metodologi
Langkah pertama yang harus dilakukan dalalm kajian ini adalah menyediakan
data, sehingga data itu benar-benar siap untuk dikenai metode dan teknik-teknik
analisis data. Data penelitian yang dimaksud pada dasarnya merupakan bahan jadi
penelitian, bukan bahan mentah penelitian. Namun sebelum melakukukan analisis,
data yang telah disediakan dengan sungguh baik kemudian dikelompokkan terlebih
dahulu. Klasifikasi data dilakukan untuk mendapatkan tipe-tipe data, yang
selanjutnya mempermudah proses analisis data pada tahapan berikutnya.
Untuk penyediaan data digunakan 3 macam metode, yaitu : metode simak,
metode cakap, dan metode survey. Metode simak lazim disebut metode pngamatan
atau observasi. Metode cakap dapat pula disejajarkan dengan metode wawancara.
Masing-maing metode penyediaan data itu didalam penerapannya masih dijabarkan
kedalam tekni-teknik penyediaan data yang menjadi bawahannya.
7.4 Pembahasan
Setelah menganalisis data, masuk pada tahap pembahasan. Pembahasan disini
membahas hasil jadi penelitian. Perlu di garis bawahi, bahwa membahas suatu
penelitian harus berdasarkan fakta, tidak boleh di karang sendiri, karena dari
penelitian itu butuh bukti fakta.

7.5 Simpulan
Sejalan dengan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
kerangka teori, dan pembahasan datanya, maka hal-hal berikut dapat dinyatakan
sebagai simpulan. Simpulan disini hanya mengambil garis besarnya saja.

8. Resume Bab VII : Ihwal teknis ejaan


8.1 Pedoman teknis ejaan
a. Bentuk kebahasaan yang harus diikuti tanda koma (,) dalam penulisannya.
Agaknya, Paling tidak,
Akan tetapi, Sebaliknya,
Akhirnya, Sesudahnya,
Akibatnya, Sementara itu,
Artinya, Adapun,
Biarpun begitu, Sungguhpun begitu,
Biarpun demikian, Tambahan lagi,
Oleh sebab itu, Sungguhpun demikian,
Sebagai kesimpulan, Maka dari itu,

b. Bentuk yang didahului dengan tanda koma (,) dalam penulisannya dan letaknya
dalam kalimat.
…, padahal
…, sedangkan
…, seperti
…, misalnya
…, contohnya
…, antara lain
…, di antaranya
…, yaitu
…, yakni
…, ialah
…, adalah
…, pasalnya

c. Bentuk-bentuk kebahasaan yang tidak didahului tanda koma, khususnya apabila


bentuk kebahasaan itu diikuti anak kalimat.
…bahwa…
…maka…
…sehingga…
…sebab…
…jika…
…kalau…
…apabila…

d. Bentuk-bentuk kebahasaan yang didahului tanda koma, khususnya apabila bentuk


kebahasaan itu diikuti induk kalimat.
…, bahwa…
…, maka…
…, karena…
…, sehingga…
…, sebab…
…, jika…
…, kalau…
…, apabila…
…, bilamana…

e. Bentuk- bentuk kebahasaan yang harus hadir berpasangan karena merupakan


konjungsi korelatif.
Baik…maupun
Bukan…melainkan
Tidak…tetapi
Antara…dan
Tidak hanya…tetapi juga

f. Bentuk-bentuk kebahasaan yang harus hadir berpasangan karena merupakan


idiom atau bentuk senyawa.
Sesuai dengan
Terkait dengan
Seirama dengan
Berkaitan dengan
Bertalian dengan
Dbandingkan dengan

g. Bentuk-bentuk kebahasaan yang tidak boleh hadir karena berkaitan dengan


dimensi kedaerahan dan kellisahan.
Gimana mangkanya
Gitu Karenanya
Slama Haturkan
Nggak Menghaturkan
Peduli amat Wilayah pemukiman
Ini kali Penduluan
Ini hari Pembaharuan
Ketawa Nampak

h. Bentuk-bentuk kebahasaan yang salah karena merupakan hasil dari analogi


bentuk-bentuk kebahasaan yang salah.
Lelenisasi Neonisasi
Listrikisasi Konblokisasi
Selokanisasi Teleponisasi
Sengonisasi Jatinisasi
Turinisasi Abatisasi
Kuningisasi Semprotisasi
Hitamisasi Wesenisasi
Lampunisasi Pompanisasi

i. Bentuk- bentuk yang keliru karena merupakan hasil dari analogi nomina dan verba
yang tidak benar.
Koordinir Mengorganisir
Mengkoordinir Terorganisir
Dikoordinir Dramatisir
Terkoordinir Mendramatisir
Legalisir Didramatisir
Dilegalisir Realisirs
Proklamir dipolitisir
j. Bentuk-bentuk kebahasaan yang salah karena ketidakcermatan dalam penulisan.
Pungkir kusus
Dipungkiri Ihlas
Mempungkiri Akhli
Jadual Husus
Gladi Apotik
Gladi resik Apotiker
Panutan Fikiran
Antri Difikirkan
Mengantri Faham
Prosen Difahami
Diprosenkan Kwitansi
Prosentase dikwitansikan

k. Bentuk kebahasaan yang salah karena adanya anggapan yang salah ihwal
penulisan gabungan kata.
Beritahu tanggungjawab
Lipatganda Terimakasih
Kerjasama Keretaapi
Garisbawah Rumahsakit
Sebarluas Suratkabar
Tandatangan

l. Bentuk jadian yang salah akibat adanya anggapan gabungan kata yang salah.
Memberitahu Sebarluaskan
Beritahukan Bertandatangani
Berlipatganda Tandatangani
Bekerjasama tandatangankan
Digarisbawah Berterimakasih
Tersebarluas Terimakasihi

m. Bentuk kebahasaan yang salah akibat pemahaman morfofonemik yang salah.


Memproduksi Memerhatiakn
Memromosikan Mempesona
Memproses Mengkomunikasikan
Memraktikkan Mengkoordinir
Memrakarsai Memunyai

n. Bentuk kebahasaan yang salah karena adanya kesalahkaprahan.


Berkesinambungan Menyuci
Disini Menyoblos
Disana Maka itu
Diketemukan Merubah
Sampai ketemu kembali Tersebut diatas
Seperti misalnya Nampak
Seperti contohnya Silahkan

o. Bentuk kebahasaan yang salah akibat kegandaan konjungsi kalimat.


Jika…maka Manakala…maka
Karena…maka Meskipun…tetapi
Kalau…maka Meskipun…namun
Sehingga…maka Walaupun…tetapi
Bila..maka Kendatipun…namun
p. Bentuk “di” ditulis serangkai apabila kata yang mengikutinya adalah ‘verba’ atau
‘kata kerja’. Bentuk ‘di’ ditulis tidak serangkai dengan kata yang mengikutinya
apabila kata itu merupakan nomina atau kata benda. Bentuk ‘di samping’ dan
‘disamping’ berbeda, karena yang satu bermakna ‘di sebelah’, sedangkan yang
satunya bermakna ‘selain’ atau ‘kecuali’.
Dipukul Di meja
Ditendang Di kursi
Dipikir Di halaman
Dibangun Di kelas
Dipasang Di gedung
Dikawal Di kolam
Dipakai Di luar

q. Bentuk ‘ke’ harus ditulis dengan kata yang mengikutinya apabila diikuti kata
bilangan atau numeralia. Selain itu, ‘ke’ juga harus ditulis serangakai dengan ‘luar’
kalau merupakan kebalikan dari kata ‘masuk’. Adapaun ‘ke’ pada ‘ke luar’ ditulis
tidak serangkai dengan bentuk itu merupakan lawan dari bentuk ‘ke dalam’.
Kedua
Ketiga
Keempat
Keluar
Kekasih
Ketua
Kemari

r. Bentuk ‘pun’ harus ditulis serangkai dengan kata yang mendahuluinya, apabila
‘pun’ tersebut sudah merupakan satu kesatuan dengan bentuk kebahasaan yang
mendahuluinya. Adapun ‘pun’ harus ditulis terpisah dengan kata yang
mendahuluinya, apabila ‘pun’ berfungsi ‘menyangatkan’ atau ‘mengeraskan
makna’. Bentuk ‘sekalipun’ bermakna ‘sekali saja’ atau ‘meskipun sekali’ atau
‘walaupun sekali’. Penulisan ‘sekali pun’ dalalm makna yang terakhir ini harus
ditulis tidak serangkai.
s. Kata gabung yang salah satu bagiannya tidak dapat berdiri sendiri sebagai kata
harus dituliskan serangkai dengan bentuk kebahasaan yang mengikutinya. Misal:
intrakurikuler, ekstrakurikuler, perikemanusiaan.
t. Kata gabung dasar yang bagian-bagiannya tidak sangat erat hubungannya.
Sehingga tidak dapat disatukan menjadi satu. Misal: tanggung jawab, kerja sama,
daya guna.
u. Bentuk ‘sebagai berikut’ dalam penggunaannya dapat diakhiri dengan tanda titik (.)
digunakan apabila yang menyertai adalah kalimat-kalimat, dan dapat pula diakhiri
dengan tanda titik dua (:) digunakan apabila perincian yang menyertainya adalah
kata, frasa, atau klausa.
Ihwal bentuk ‘adalah’, ‘ialah’, ‘yakni’, dan ‘yaitu’.
Bentuk-bentuk kebahasaan itu dalam perincian yang bersifat mendatar atau
horizontal, maupun vertikal, tidak perlu diikuti dengan tanda titik dua (:).
Misal:
1. Tiga persoalan yang harus diatasi secepatnya, yakni (a) sulit dijangkau, (b)
sulit dicari, (c) sulit ditemukan.
2. Tiga persoalan mendasar yang harus diatasi secepatnya, yakni
3. Sulit dijangkau,
4. Sulit dicari, dan
5. Sulit ditemukan.
Bentuk ‘ialah’ digunakan untuk mendefinisikan sesuatu, sedangkan bentuk
‘adalah’ digunakan untuk menegaskan hubungan subjek kalimat dengan unsur
penjelas yang mengikutinya.
v. Ihwal tanda hubung (-) dan tanda pisah (−)
Tanda hubung (-) digunakan dalam bentuk ulang dan dituliskan diantara bentuk
yang diulang tersebut, sedangkan tanda pisah (−) digunakan untuk menyatakan
maksud ‘hingga’ atau ‘sampai dengan’.
w. Ihwal bentuk ‘tiap-tiap’, ‘setiap’, ‘masing-masing’, ‘sesuatu’ dan ‘seseorang’.
Diantara bentuk-bentuk kebahasaan di atas itu, yang dapat diikuti oleh nomina
adalah ‘tiap-tiap’ atau ‘setiap’.
x. Ihwal ‘sementara’, ‘sementara itu’, dan ‘adapun’.
Bentuk ‘sementara itu’ dan ‘adapun’ berkedudukan sebagai konjungsi antar
kalimat .konjungsi antar kalimat demikian itu harus ditulis dengan tanda koma
yang menyertainya. Bentuk ‘sedangkan’ adalah konjungsi intrakalimat, bukan
antar kalimat. Contoh-contoh berikut ini salah dan harus dihindari pemakaiannya.
1. Sementara kalangan akan segera datang menyusul.
2. Adapun masalah-masalah kelembagaan cenderung diabaikan.
3. Sementara para mahasiswa tidak diperkenankan masuk kampus.
Bentuk kebahasaan yang benar adalah sebagai berikut:
1. Beberapa kalangan akan segera datang menyusul.
2. Adapun masalah-masalah kelembagaan cenderung diabaikan.
3. Sementara itu, para mahasiswa tidak diperkenankan masuk kampus.
y. Ihwal ‘seperti’, ‘misalnya’, ‘contohnya’, ‘antara lain’
Bentuk-bentuk kebahasaan ini dianggap sebagai konjungsi yang tugasnya adalah
memerinci sekaligus pembatas. Contoh: Lambatnya mengatasi masalah itu
dipengaruhi oleh banyak hal, misalnya terbatasnya keuangan, kurangnya sumber
daya manusia.

Anda mungkin juga menyukai