DISUSUN OLEH:
AINUN ISLAMIAH
18.2.045
TAHUN 2020
Bahasa Melayu mulai dipakai di kawasan Asia Tenggara sejak abad ke-7.
Bukti yang menyatakan hal tersebut ialah dengan ditemukannya prasasti di
Kedukan Bukit yang berangka 683 M (Palembang); prasasti Talang Tuwo yang
berangka 684 M (Palembang); berangka 688 M (Jambi). Prasasti-prasasti
tersebut bertuliskan huruf Pranagari berbahasa Melayu Kuno. Bahasa Melayu
Kuno tidak hanya dipakai pada zaman Sriwijaya. Hal tersebut dibuktikan dengan
ditemukannya prasasti di Gandasuli, Jawa Tengah, yang berangka 832 M dan di
Bogor, ditemukan prasasti yang berangka 942 M. Kedua prasasti tersebut ditulis
dengan menggunakan bahasa Melayu Kuno. Awal penamaan bahasa Indonesia
sebagai jati diri bangsa bermula dari peristiwa Sumpah Pemuda pada 38
Oktober. Pada Kongres Pemuda di Jakarta, dicanangkan lah penggunaan
bahasa Indonesia sebagai bahasa untuk negara Indonesia pasca-kemerdekaan.
Soekarno memilih bahasa Melayu dengan dialek Riau untuk dijadikan sebagai
bahasa Indonesia dan tidak memilih bahasanya sendiri, yaitu bahasa Jawa yang
sebenarnya merupakan bahasa mayoritas pada saat itu. Keputusan Kongres
Bahasa Indonesia II di Medan, antara lain menyatakan bahwa bahasa Indonesia
berasal dari bahasa Melayu. Bahasa Indonesia tumbuh dan berkembang dari
bahasa Melayu yang sejak zaman dahulu sudah digunakan sebagai bahasa
penghubung (lingua franca) bukan hanya di Nusantara, melainkan juga hampir di
seluruh Asia Tenggara. Bahasa Indonesia dinyatakan kedudukannya sebagai
bahasa negara pada 18 Agustus 1945 ketika Undang-Undang Dasar 1945
disahkan. Dalam Undang-Undang Dasar 1945, disebutkan bahwa bahasa
negara ialah bahasa Indonesia (Bab XV, Pasal 36). Selain berkedudukan
sebagai bahasa negara atau bahasa nasional, bahasa Indonesia juga
berkedudukan sebagai budaya dan bahasa persatuan. Sebagai budaya, bahasa
Indonesia memiliki ciri-ciri khusus yang membedakannya dengan budaya-budaya
daerah lainnya. Sementara itu, bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan
terlihat jelas dari fungsi bahasa Indonesia itu sendiri yang menjadi pemersatu
beraneka ragam suku bangsa yang ada di Indonesia. Bahasa Indonesia juga
dipakai sebagai alat untuk menyampaikan ilmu pengetahuan kepada berbagai
kalangan dan pada berbagai tingkat pendidikan. Komunikasi pada berbagai
kegiatan masyarakat telah memanfaatkan bahasa Indonesia, di samping bahasa
daerah, sebagai wahana dan peranti untuk membangun kesepahaman,
kesepakatan, dan persepsi yang memungkinkan terjadinya kelancaran
pembangunan masyarakat di berbagai bidang.
Bahasa Indonesia ragam ilmiah merupakan salah satu bahasa Indonesia
yang digunakan dalam menulis karya ilmiah. Bahasa Indonesia ragam ilmiah
memiliki karakteristik cendekia, lugas dan jelas, menghindari kalimat
fragmentaris, bertolak dari gagasan, formal dan objektif, ringkas dan padat, dan
konsisten. Bahasa Indonesia bersifat cendekia menunjukkan bahwa bahasa
Indonesia itu mampu digunakan secara tepat untuk mengungkapkan hasil
berpikir logis, yakni mampu membentuk pernyataan yang tepat dan seksama.
Ragam bahasa yang digunakan dalam suasana akrab (santai) biasanya
mempunyai kelainan jika dibandingkan dengan bahasa yang dipakai dalam
suasana resmi. Brenstein menamakan kedua ragam bahasa yang terakhir ini
masing-masing sebagai ragam ringkas (restricted code) dan ragam lengkap
(elaborate code). Menggunakan bahasa Indonesia ragam ilmiah dalam menulis
dan presentasi ilmiah berarti memanfaatkan potensi bahasa Indonesia untuk
memaparkan fakta, konsep, prinsip, teori, atau gabungan dari keempat hal
tersebut secara hasil penelitian secara tertulis dan lisan.
OLEH:
LELYANA MOLEYANDA (182063)
DOSEN PEMBIMBING:
M.MASYUR BAICUNI, M.Pd
PROGRAM D3 KEBIDANAN
ITSK RS dr. SOEPRAOEN KESDAM V/BRW MALANG
TA 2020/2021
BAB I
KEDUDUKAN BAHASA INDONESIA
Makalah adalah karya tulis yang memuat pemikiran tentang suatu masalah
atau topic tertentu yang ditulis secara sistematis dan runtut dengan disertai analisis
yang logis dan objektif. Makalah ditulis untuk memenuhi tugas terstruktur yang
diberikan oleh pengajar atau ditulis atas inisiatif sendiri untuk disajikan dalam forum
ilmiah.
Topik yang dipilih harus dikuasai dan tidak terlalu dianggap asing. Misalnya,
siswa program IPS jarang memilih atau mengakat topic tentang IPA.
Menulis ikhtisar, synopsis, dan ringkasan dari senuah buku atau karangan
yang panjang dapat diumpamakan sebagai memangkas pohon sehingga yang
tertinggal hanya batang, cabang-cabang, dan ranting-ranting yang terpenting
beserta daun-daun yang diperlukan sehingga tampak bahwa esensi pohon masih
dipertahankan. Walaupun bentuknya ringkas, tetapi pikiran pengaranng dan
pendekatan yang asli tetap dipertahankan. Tujuan dari pembuatan ikhtisar,
sipnopsis, dan ringkasan adalah sebagai suatu usaha meningkatkan pembaca
dalam membaca buku.
Artikel jurnal adalah karangan ilmiah dalam bidang ilmu tertentu yang
ditertibkan dalam sebuah jurnal yang khusus menerbitkan bidang kajian ilmu
tersebut. Artikel jurnal diklasifikasi ke dalam 2 kategori. Pertama, artikel ilmiah
yang bertujuan untuk membuka forum diskusi, argumentasi, analisis dan sintesi
jumlah pendapat dan temuan para ahli dan pemerhati kajian ilmu tertentu yang
sama-sama ditekuninya. Jenis artikel ini mengajikan kajian hasil analisis suatu
topic tanpa mengaitkannya dengan hasil penelitian. Kesimpulan atau penutup
terkait dengan ketajaman dan kedalaman analisis kritis penulisnya. Kedua, artikel
yang berisi kajian hasil penelitian. Kesimpulan artukel jenis kedua ini terkait
dengan variabel bebas dan variabel yang terikat yang diteliti.
Skripsi adalah karya tulis akademik hasil studi atau penelitian yang ditulis dan
disusun secara sistematis berdasarkan metode ilmia, baik melalui penelitian
induktif maupun deduktif yang dilakukan mahasiswa, dibawah pengawasan dosen
pembimbing. Sekripsi juga merupakan salah satu syarat akademik yang harus
dipenuhi untuk memperoleh gelar sastra 1 (S-1). Skripsi disusun berdasarkan
kerangka pemikiran yang seluruhnya sama dan mengacu kepada teori orang lain
yang telah ditemukan sebelumnya. Penelulis hanya mengacu dan menggunakan
teori-teori tersebut dalam bentuk kerangka pemikiran yang sama untuk menjawab
masalh penelitian atau mengujih hipotesisnya. Data yang dikumpulkanpun
analisis dengan menggunkan metode yang sederhana (Deskriptif, linear,
univariate,bifariate).
Tesis adalah karya tulis akademik hasil studi yang dilakukan secara mandiri
dan ditulis serta disusun secarasistematis berdasarkan metode ilmiah, baik
melalu penelitian induktif maupun deduktif yang dilakukan oleh mahasiswa, di
bawah pengawasan dosen pembimbing. Tesis merupakan salah satu syarat
akademik yang harus dipenuhi untuk mendapatkan gelar megister atau strata (S-
2). Tesis ini dibuat berdasarkan hasil penelitian dengan cakupan penelitian yang
lebih luas (bila dibandingkan dengan skripsi). Tesis disusun berdasarkan
kerangka pemikiran yang telah dikembangan dan mengacu kepada teori orang
lain yang telah ditemukan sebelumnya. Data yang dikumpulkan kemudian
dianalisis dengan menggunakan metode yang medium (bivariate, multivariate)
Disertasi adalah karya tulis akademik hasil studi atau penelitian yang lebih
mendalam yang dilakukan secara mandiri serta resensi baru bagi sumbangan
baru bagi perkembangan ilmu dan pengetahuan, atau penemuan jawaban baru
bagi masalah-masalah yang sementara telah diketahui jawabanya atau
mengajukan pertanyaan-pertanyaan baru terhadap hal-hal yang dipandang telah
mapan dibidang ilmu, pengetahuan teknologi, dan seniyang dilakukan oleh calon
doctor (S-3) dibawah pengawasan promotornya. Disertasi disusun berdasarkan
kerangka pemikiran baru yang mengacu kepada teori-teori orang lain yang telah
ditemukan sebelumnya, tetapi kerangka pemikiran tersebut diformulasikan sendiri
oelh penulisnya (aspek orisinalitas). Data yang telah dikumpulkan akan dianalisis
dengan menggunakan metode yang lebih kompleks (multivariate).
Karya ilmiah merupakan karya tulis yang isinya berusaha memaparkan suatu
pembahasan secara ilmiah yang dilakukan oleh seorang penulis atau peneliti untuk
memberitahukan sesuatu secara logis dan sistematis kepada pembaca. Karya lmiah
biasanya ditulis untuk mencari jawaban mengenai suatu hal dan untuk membuktikab
kebenaran suatu hal yang terdapat di dalam objek tulisan. Adapun ciri-ciri karya
ilmiah sebagai berikut:
a. Logis: segala keterangan yang disajikan dapat diterima oleh akal sehat.
b. Sistematis: segala hal yang dikemukakan disusun dalam urutan yang
memperlihatkan adanya kesinambungan.
c. Objektif: segala keterangan yang dikemukakan adalah apa adanya
d. Lengkap: segi-segi masalah yang diungkapkan dikupas selengkap-
lengkapnya
e. Lugas: pembicaraan langsung kepada hal pokok.
f. Seksama: berusaha menghindarkan diri dari segala kesalahan betapa pun
kecilnya
g. Jelas: segala keterangan yang ditemukan dapat mengungkapkan maksud
secara jernih
h. Empris: kebenarannya dapat diuji
i. Terbuka: konsep atau pandangan keilmuwan dapat mengungkapkan maksud
secara jernih
j. Berlaku umum: semua simpulnya berlaku bagi semua populasinya
k. Penyajian karya ilmiah menggunakan ragam bahasa ilmiah dan bahasa tulis
yang lazim
l. Tuntas: masalah dikupas secara mendalam dan selengkap-lengkapnya
Persyaratan bagi sebuah tulisan untuk dianggap sebagai karya ilmiah adalah
sebagai berikut (Brotowidjojo, 1988:15-16):
a. Karya ilmiah menyajikan fakta objektif secara sistematis atau runut
b. Aplikasi hokum alam pada situasi spesifik
c. Karya ilmiah disusun secara cermat, tepat, benar, jujur, dan tidak bersifat
terkaan. Dalam pengertian “jujur”, terkandung sikap etis penulisan ilmiah,
yakni penyebutan rujukan dan kutipan yang jelas.
d. Karya ilmiah disusun secara sistematis: setiap langkah direncanakan secara
terkendali, terkonsep, dan sesuai prosedur.
e. Karya ilmiah menyajikan rangkaian sebab akibat dengan pemahaman dan
alasan induktif yang mendorong pembaca untuk menarik kesimpulan
f. Karya ilmiah mengandung pandangan yang disertai dukungan dan
pembuktian berdasarkan suatu hipotesis
g. Karya ilmiah ditulis secara tulus. Hal ini berarti karya ilmiah hanya
mengandung kebenaran factual sehingga tidak akan memancing pertayaan
yang bernada ragu. Penulis karya ilmiah tidak boleh memanipulasi fakta,
tidak bersifat ambisius, dan berprasangka. Penyajiaannya tidak boleh bersifat
emotif
h. Karya ilmiah pada dasarbya bersifat ekspositoris. Jika pada akhirnya timbul
kesan argumentasi dan persuasi, maka hal itu ditimbulkan oleh penyusunan
kerangka karangan yang cermat. Dengan demikian, fakta dan hokum alam
yang diterapakan pada situasi spesifik tersebut dibiarkan berbicara sendiri.
Pembaca dibiarkan mrngambil kesimpulan sendiri berupa pembenaran dan
keyakinan akan kebenaran karya ilmiah tersebut.
Laras ilmiah popular merupakan sebuah tulisan yang bersifat ilmiah, tetapi
diungkapkan dengan penuturan yang mudah dimengerti. Karya ilmiah popular tidak
selalu merupakan hasil prnilitian ilmiah.
BAB VI
BENTUK KARANGAN DAN TATA CARA PENULISAN
Penulisan kata yang lazim, yaitu kata yang telah dikenal oleh masyarakat.
Kata yang lazim(seiring sejalan dengan kata yang baku), yakni dengan kata yang
baik dan resmi. Dengan demikian, kata yang tidak resmi kemunculannya dalam
penulisan ilmiah harus dihindari.
Istilah ialah kata atau gabungan kata dengan cermat mengungkapan makna
konsep, proses, keadaan, atau sifat yang khas dalam bidang pengetahuan
tertentu(Moeliono,2001).dilihat dari segi makna, istilah bersifat monosemantis.
Artinya, hubungan antara suatu kata atau ungkapan dan maknanya tidak bersifat
ganda dan terikat pada bidang ilmu yang memakainya. Istilah dapat dibentuk dari
bahasa Indonesia dan bahasa Melayu, bahasa serumpung dan bahasa daerah,
bahasa asing(terutama bahasa Inggris).
BAB VII
PENALARAN DAN KARANGAN
Kalimat adalah satuan atau perasaan yang dinyatakan dengan subjek dan
predikat yang dirakit secara logis. Dalam karangan, kalimat merupakan satuan yang
terkecil; dalam analisis gramatikal, kalimat merupakan satuan yang terbesar, di
samping yang lebih kecil, yaitu frasa dan klausa. Kalimat menjelaskan pikiran dan
perasaan pembicara atau penulis. Jenis pikiran dan perasaan berbeda-beda dan
alasan berkmunikasi juga berbeda-beda sehingga jenis kalimat pun berbeda-beda.
Penggolongan kalimat dapat didasarkan pada maksud, struktur, dan bentuk
retorikannya. Kalimat menurut maksudnya:
a. Kalimat pernyataan (kalimat deklaratif)
b. Kalimat petanyaan (kalimat interogatif)
c. Kalimat perintah dan permintaan (kalimat imperative)
d. Kalimat seruan (kalimat ekslamatif)
Menurut strukturnya, kalimat berjenis tunggal (simpleks) dan majemuk
(kompleks),
Gagasan tunggal dinyatakan dalam kalimat tunggal, sementara gagasan yang
bersegi-segi diungkapkan dengan kalimat majemuk:
1. Kalimat tunggal (simpleks) adalah kalimat yang sekurang-kurangnya
terbentuk dari satu subjek dan satu predikat
2. Kalimat majemuk dapat bersifat setara (koordinatif), tidak setara
(subardinatif), ataupun campuran ( koordinatif-subardinatif)
a. Kalimat majemuk setara terdiri atas 2 suku kalimat atau lebih yang bebas.
Tanda koma memisahkan suku kalimat jika subjeknya bebeda, kata
penghubungnya menunjukan pertentangan, atau jika suku kalimat
tersebut panjang-panjang
b. Kalimat majemuk tak setara (beringkat) terdiri atas satu kalimat yang
bebas dan satu atau lebih suku kalimat yang terikat
c. Kalimat majemuk campuran terdiri dari dua suku bebas atau lebih dari
satu suku terikat atau lebih
Jenis kalimat berdasarkan bentuk retorikanya berarti rancangan, gaya, tata
susunan, atau arsitektur kalimatnya memiliki efek tertentu terhadap pendengar atau
pembacanya. Kalimat yang secara gramatikal sudah baik belum tentu memuaskan
dari sudut retorikanya. Menurut bentuk retorikanya, kalimat dapat digolongkan
menjadi kalimat yang melepas (loose sentence, induk-anak), kalimat yang
berklimaks (periodic sentence, anak-induk), dan kalimat yang berimbang (setara
atau campuran).
a. Kalimat yang melepas (loose sentence) dimulai dengan struktur S-P (atau
suku induk) yang diikuti oleh unsur-unsur tambahan yang sifatnya manasuka
b. Kalimat yang berklimaks (periodic sentence) dimulai dengan unsur tambahan
yang kemudian diikuti oleh struktur utama (atau suku induk) sehingga
membangun ketegangan.
c. Kalimat yang berimbang (balanced sentence) ialah kalimat majemuk setara
atau campuran yang strukturnya memperlihatkan kesejajaran.
Keaktifan kalimat diukur dari sudut pandang banyak atau sedikitnya kalimat
tersebut berhasil mencapai sasaran komunikasinya. Kalimat yang efektif dapat
meyakinkan dan menarik perhatian pendengar atau pembaca karena memiliki ciri:
1. Keutuhan: kalimat yang baik mempunyai kesatuan strukturnya dan kesatuan
logika yang jalin-menjalin. Kesatuan struktur diperoleh dengan adanya subjek
dan predikat
2. Perpautan dalam kalimat menyakut masalah pertalian di atara unsur-
unsurnya. Pertalian tersebut dapat dijelaskan oleh penataan, frasa, dan suku
kalimat yang tepat. Perpautan tersebut akan leboh nyata jika:
a. Pemakaian kata ganti diperhatikan
b. Gagasan yang sejajar dituangkan ke dalam bangun yang sejajar
c. Sudut pandang (ragam,orang) tetap atau dipertahankan
3. Penegasan ialah ciri yang berupa pemusatan pikiran pada bagian kalimat
yang terpentig. Penegasan dapat dicapai dengan pengubahan urutan yang
lazim, pengulangan, pemilihan ragam tertentu (pasif atau aktif), atau dengan
menggunakan pungtuasi khusus.
4. Ekonomi ialah penghematan dalam pemakaian kata. Hal itu tidak berati
bahwa kata yang perlu atau yang menambahkan nilai artistik boleh
dihilangkan. Maksudnya ialah pembuangan kata yang mubazir dan
konstruksi yang berlebit
5. Variasi. Kelincahan pikiran dan bahasa dinyatakan juga boleh variasi bentuk
kalimat yang berurutan. Cara-cara yang dapat dilakukan untuk untuk
menunjukan kelincahan pikiran dan bahasa dalam suatu kalimat dengan:
a. Pemakaian berbagai jenis kalimat menurut struktur gramatikal dan
retorika
b. Pemakaian pemakain kalimat yang panjangnya berbeda-beda, dan
c. Pemakaian urutan unsur kalimat yang berselang-seling.
BAB XI
EJAAN
Oleh:
Ni Putu Widya Putri L
NIM: 182068
TAHUN 2020
Kata berkonotasi
Kata berkonotasi ialah makna kias, bukan makna sebenarnya. Makna konotasi memiliki
nuansa makna subjektif dan cendeerung digunakan dalam situasi tidak formal, seperti
“dengan memanjatkat puji syukur kepada…..”, pemakaian kata “memanjatkan” dalam
kalimat tersebut jelas sekali menggunakan makna konotasi bukan denotasi.
2. Bentuk yang didahului dengan tanda koma (,) dalam penulisannya dan letaknya dalam
kalimat.
…, padahal
…, sedangkan
…, seperti
…, misalnya
…, contohnya
…, antara lain
…, di antaranya
…, yaitu
…, yakni
…, ialah
…, adalah
…, pasalnya
3. Bentuk-bentuk kebahasaan yang tidak didahului tanda koma, khususnya apabila bentuk
kebahasaan itu diikuti anak kalimat.
…bahwa…
…maka…
…sehingga…
…sebab…
…jika…
…kalau…
…apabila…
4. Bentuk-bentuk kebahasaan yang didahului tanda koma, khususnya apabila bentuk
kebahasaan itu diikuti induk kalimat.
…, bahwa…
…, maka…
…, karena…
…, sehingga…
…, sebab…
…, jika…
…, kalau…
…, apabila…
…, bilamana…
5. Bentuk- bentuk kebahasaan yang harus hadir berpasangan karena merupakan konjungsi
korelatif.
Baik…maupun
Bukan…melainkan
Tidak…tetapi
Antara…dan
Tidak hanya…tetapi juga
6. Bentuk-bentuk kebahasaan yang harus hadir berpasangan karena merupakan idiom atau
bentuk senyawa.
Sesuai dengan
Terkait dengan
Seirama dengan
Berkaitan dengan
Bertalian dengan
Dbandingkan dengan
7. Bentuk-bentuk kebahasaan yang tidak boleh hadir karena berkaitan dengan dimensi
kedaerahan dan kellisahan.
Gimana mangkanya
Gitu Karenanya
Slama Haturkan
Nggak Menghaturkan
Peduli amat Wilayah pemukiman
Ini kali Penduluan
Ini hari Pembaharuan
Ketawa Nampak
8. Bentuk-bentuk kebahasaan yang salah karena merupakan hasil dari analogi bentuk-bentuk
kebahasaan yang salah.
Lelenisasi Neonisasi
Listrikisasi Konblokisasi
Selokanisasi Teleponisasi
Sengonisasi Jatinisasi
Turinisasi Abatisasi
Kuningisasi Semprotisasi
Hitamisasi Wesenisasi
Lampunisasi Pompanisasi
9. Bentuk- bentuk yang keliru karena merupakan hasil dari analogi nomina dan verba yang
tidak benar.
Koordinir Mengorganisir
Mengkoordinir Terorganisir
Dikoordinir Dramatisir
Terkoordinir Mendramatisir
Legalisir Didramatisir
Dilegalisir Realisirs
Proklamir dipolitisir
11. Bentuk kebahasaan yang salah karena adanya anggapan yang salah ihwal penulisan
gabungan kata.
Beritahu tanggungjawab
Lipatganda Terimakasih
Kerjasama Keretaapi
Garisbawah Rumahsakit
Sebarluas Suratkabar
Tandatangan
12. Bentuk jadian yang salah akibat adanya anggapan gabungan kata yang salah.
Memberitahu Sebarluaskan
Beritahukan Bertandatangani
Berlipatganda Tandatangani
Bekerjasama tandatangankan
Digarisbawah Berterimakasih
Tersebarluas Terimakasihi
13. Bentuk kebahasaan yang salah akibat pemahaman morfofonemik yang salah.
Memproduksi Memerhatiakn
Memromosikan Mempesona
Memproses Mengkomunikasikan
Memraktikkan Mengkoordinir
Memrakarsai Memunyai
16. Bentuk “di” ditulis serangkai apabila kata yang mengikutinya adalah ‘verba’ atau ‘kata
kerja’. Bentuk ‘di’ ditulis tidak serangkai dengan kata yang mengikutinya apabila kata itu
merupakan nomina atau kata benda. Bentuk ‘di samping’ dan ‘disamping’ berbeda, karena
yang satu bermakna ‘di sebelah’, sedangkan yang satunya bermakna ‘selain’ atau ‘kecuali’.
Dipukul Di meja
Ditendang Di kursi
Dipikir Di halaman
Dibangun Di kelas
Dipasang Di gedung
Dikawal Di kolam
Dipakai Di luar
17. Bentuk ‘ke’ harus ditulis dengan kata yang mengikutinya apabila diikuti kata bilangan
atau numeralia. Selain itu, ‘ke’ juga harus ditulis serangakai dengan ‘luar’ kalau merupakan
kebalikan dari kata ‘masuk’. Adapaun ‘ke’ pada ‘ke luar’ ditulis tidak serangkai dengan
bentuk itu merupakan lawan dari bentuk ‘ke dalam’.
Kedua
Ketiga
Keempat
Keluar
Kekasih
Ketua
Kemari
18. Bentuk ‘pun’ harus ditulis serangkai dengan kata yang mendahuluinya, apabila ‘pun’
tersebut sudah merupakan satu kesatuan dengan bentuk kebahasaan yang mendahuluinya.
Adapun ‘pun’ harus ditulis terpisah dengan kata yang mendahuluinya, apabila ‘pun’
berfungsi ‘menyangatkan’ atau ‘mengeraskan makna’. Bentuk ‘sekalipun’ bermakna ‘sekali
saja’ atau ‘meskipun sekali’ atau ‘walaupun sekali’. Penulisan ‘sekali pun’ dalalm makna
yang terakhir ini harus ditulis tidak serangkai.
19. Kata gabung yang salah satu bagiannya tidak dapat berdiri sendiri sebagai kata harus
dituliskan serangkai dengan bentuk kebahasaan yang mengikutinya. Misal: intrakurikuler,
ekstrakurikuler, perikemanusiaan.
20. Kata gabung dasar yang bagian-bagiannya tidak sangat erat hubungannya. Sehingga
tidak dapat disatukan menjadi satu. Misal: tanggung jawab, kerja sama, daya guna.
21.Bentuk ‘sebagai berikut’ dalam penggunaannya dapat diakhiri dengan tanda titik (.)
digunakan apabila yang menyertai adalah kalimat-kalimat, dan dapat pula diakhiri dengan
tanda titik dua (:) digunakan apabila perincian yang menyertainya adalah kata, frasa, atau
klausa.
Bentuk-bentuk kebahasaan itu dalam perincian yang bersifat mendatar atau horizontal,
maupun vertikal, tidak perlu diikuti dengan tanda titik dua (:).
Misal:
a. Tiga persoalan yang harus diatasi secepatnya, yakni (a) sulit dijangkau, (b) sulit dicari,
(c) sulit ditemukan.
Bentuk ‘ialah’ digunakan untuk mendefinisikan sesuatu, sedangkan bentuk ‘adalah’
digunakan untuk menegaskan hubungan subjek kalimat dengan unsur penjelas yang
mengikutinya.
23. Ihwal tanda hubung (-) dan tanda pisah (−)
Tanda hubung (-) digunakan dalam bentuk ulang dan dituliskan diantara bentuk yang
diulang tersebut, sedangkan tanda pisah (−) digunakan untuk menyatakan maksud ‘hingga’
atau ‘sampai dengan’.
24. Ihwal bentuk ‘tiap-tiap’, ‘setiap’, ‘masing-masing’, ‘sesuatu’ dan ‘seseorang’. Diantara
bentuk-bentuk kebahasaan di atas itu, yang dapat diikuti oleh nomina adalah ‘tiap-tiap’ atau
‘setiap’.
25. Ihwal ‘sementara’, ‘sementara itu’, dan ‘adapun’.
Bentuk ‘sementara itu’ dan ‘adapun’ berkedudukan sebagai konjungsi antar kalimat
.konjungsi antar kalimat demikian itu harus ditulis dengan tanda koma yang menyertainya.
Bentuk ‘sedangkan’ adalah konjungsi intrakalimat, bukan antar kalimat. Contoh-contoh
berikut ini salah dan harus dihindari pemakaiannya.
a. Sementara kalangan akan segera datang menyusul.
1. Simpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa buku ini terdiri dari tujuh bab.
a. Bab 1 jati diri bangsa yang di dalamnya membahas tentang arti bahasa, fungsi bahasa, dan
ragam bahasa, dengan ini diharapkan pembaca agar mengetahui apa arti bahasa yang
sebenarnya.
b. Bab 2 ihwal diksi yang di dalamnya membahas peranti-peranti diksi, ihwal peristilahan,
aneka kasus diksi.
c. Bab 3 ihwal kalimat berisi tentang kelas kata, frasa, klausa, dan kalimat, dengan mempelajari
bab ini pembaca akan diperkenalkan bagaimana cara membuat kalimat yang efektif.
d. Bab 4 ihwal paragraf di dalamnya membahas pengertian paragraf itu sendiri, ide utama dan
kalimat utama, kalimat penjelas, kalimat penegas, unsur-unsur pengait paragraf, prinsip
kepaduan bentuk dan makna paragraf, jenis dan cara pengembangan paragraf.
e. Bab 5 ihwal karya ilmiah akademik di dalamnya membahas karangan ilmiah, asas-asas
karangan ilmiah, tema karangan, judul karangan, kalimat tesis, kerangka karangan, model-
model berpikir, ihwal latar belakang masalah dan rumusan masalah, ihwal tujuan penulisan,
ihwal hipotesis, ihwal abstrak, cara kerja penyusunan karangan ilmiah, empat langkah
penyediaan data, aspek-aspek dalam analisis data, berpikir linear dalam karangan ilmiah.
f. Bab 6 ihwal resensi di dalamnya membahas pengertian, pertimbangan dalam meresensi,
prinsip resensi, unsur-unsur resensi.
g. Bab 7 ihwal teknis ejaan, dalam bab ini dibahas tentang teknis-teknis ejaan yang benar dan
sesuai dengan ejaan yang telah disempurnakan.
TUGAS REMIDIAL MATA KULIAH BAHASA INDONESIA
RESUME BUKU BAHASA INDONESIA UNTUK PERGURUAN TINGGI
OLEH :
Adek Satura Fibia Amarylis
NIM.18.2.044
NIM.182044
DATA BUKU
JUDUL : Bahasa Indonesia Untuk Perguruan Tinggi
PENULIS : Dr. R. Kunjana Rahardi, M. Hum
Penerbit : Erlangga
Tebal : 233 Halaman
1. Pengantar
Buku dengan judul “Bahasa indonesia untuk perguruan tinggi” karya Dr. R.
KUNJANA RAHARDI, M. Hum. sangatlah penting untuk dipelajari, khususnya bagi
mahasiswa untuk mempermudah memahami bahasa indonesia secara baik dan
benar sesuai dengan kaidah ejaan yang telah disempurnakan. Beliau adalah dosen
luar biasa di Fakultas Ekonomi Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Buku ini dicetak
oleh Penerbit Erlangga pada tahun 2009.
Buku ini disusun dalam 7 bab, yang masing-masing diperinci menjadi sub-
subbab yang lebih terperinci. Di awal setiap bab disajikan rumusan kompetensi dasar
dan rumusan standar kompetensi untuk para mahasiswa mempelajari isi setiap isi
bab.
Paper ini merupakan tugas dari mata kuliah Bahasa Indonesia. Penulis
meresume setiap bab buku ini. Pemahaman buku ini masih perlu banyak penjelasan
karena keterbatasan penulis terhadap beberapa istilah yang perlu dipahami secara
tepat.
d. Pronominal
Pronominal disebut juga sebagai kata ganti. Dikatakan sebagai kata ganti
karena sesungguhnya pronomina itu berfungsi menggantikan nomina yang menjadi
antesedennya.
Dari sisi bentuknya, nomina dapat dibedakan menjadi :
a) Nomina persona
b) Nomina penunjuk
c) Nomina penanya
Nomina persona dapat menunjukkan orang, baik dalam hitungan tunggal maupun
banyak. Tunggal : saya, aku, daku, dan –ku. Jamak : kami, kamu, kalian, mereka.
Selain menunjukkan pada persona, pronominal juga dapat nomina penunjuk,
seperti : itu, ini, sana, sini. Pronominal dapat juga berfungsi sebagai pronominal
penanya, misalnya : mengapa, lenapa, bagaimana.
e. Numeralia
Numeralia sering disebut juga kata bilangan. Kata itu digunakan untuk
menghitung jumlah orang, binatang, barang, dan juga sebuah konsep.
Dalam bahasa Indonesia dibedakan dua macam numeralia, yaitu numeralia
pokok dan numeralia tingkat. Numeralia pokok digunakan untuk menjawab
pertanyaan “berapa”, sedangkan numeralia tingkat digunakan untuk menjawab
pertanyaan “kebrapa”.
f. Adverbial
Adverbia sering disebut juga kata keterangan. Dapat dikatakan keterangan
karena kata-kata itu memberikan keterangan pada verba, adjektiva, nomina
predikatif, atau pada kata kalimat secara keseluruhan.
Dari dimensi bentuknya, terdapat dua macam adverbia dlam bahasa
Indonesia, yakni :
a) Adverbia monomorfemis
b) Adverbia polimorfemis
Dikatakan sebagai adverbia monomorfemis karena adverbial itu hanya terdiri
dari satu bentuk, seperti sangat, hanya, segera, agak, akan. Dapat dikatakan adverbia
polimorfemis karena bentuknya lebih dari satu morfem, misalnya belum tentu, jangan-
jangan, lebih-lebih, mula-mula.
Dari sisi perilaku sintaksisnya, adverbial dapat merupakan kata yang
mendahului kata yang diterngkan, seperti pada “puisi itu sangat indah”, kata sangat adalah
adverbia dan tugasnya adalah menjelaskan “indah” yang berada dibelakangnya.
4.2 Frasa
Frasa atau kelompok kata adalah satuan gramatikal yang berupa gabungan kata dan
hubungan kata itu bersifat nonprediktif. Yang perlu digaris bawahi dalam pembahasan frasa
ialah hubungan antar kata dan kata yang lain di dalam kata tersebut.
Secara umum, frasa atau kelompok kata itu dapat dibedakan menjadi dua, yakni frasa
eksosentris dan frasa endosentris. Frasa eksosentris tidak memiliki perilaku sintaksis yang
sama dengan semua komponennya, contoh : dengan sabar, dengan baik, dari rumah, pada
hari. Frasa endosentris ialah frasa yang seluruh bagiannya memiliki perilaku sintaksis yang
sama dengan perilaku salah satu komponen tersebut. Frasa endosentris dapat dibedakan
menjadi dua, yakni frasa endosentris tunggal dan frasa endosentris jamak. Contoh frasa
endosentris tunggal ialah fendi anak bapak kunjana yang masaih kecil itu senang membuat
puisi. Contoh frasa endosentris jamak ialah saya tetap mencintainya, baik kaya maupun
miskin.
Frasa endosentris tunggal dapat dibedakan menjadi menjadi frasa berikut ini, yaitu :
a. Frasa nominal
Frasa yang terdiri dari nomina sebagai induk atau sebagai pusat dan unsure
lain yang yang berupa adjektifa, verba, numeralia, dan lain-lain. Contoh : kursi
rotan, kawan seperjuangan, sosok yang terpandang, wanita cantik jelita.
b. Frasa verba
Frasa verba merupakan gabungan antara verba dengan verba, verba dengan
adverbia atau yang lainnya. Contoh :pergi ke jakarta, berangkat tidur, tidur dengan
nyenyak.
c. Frasa adjektiva
Frasa adjektiva ialah frasa yang merupakan gabungan antara adjektifa
dengan komponen yang lainnya, sedangkan frasa yang lainnya berfungsi sebagai
penjelas. Contoh : panas terik, agak sulit, cantik sekali, cerdik cendekia.
d. Frasa numeralia
Frasa numeralia ialah frasa yang merupakan gabungan antara numeralia
dengan unsur-unsur lainnya. Di dalam konstruksi frasa itu, numeralialah yang
menjadi induk atau frasanya. Contoh : dua puluh, dua ekor, dua lusin.
e. Frasa preposisional
Frasa preposisional ialah frasa yang induknya adalah preposisi. Contoh : dari,
oleh, dan untuk.
4.3 Klausa
a. Pengertian klausa
Klausa adalah suatu kebahasaan yang merupakan gabungan kelompok
kata yang setidaknya terdiri dari atas subjek dan predikat. Klausa bersifat
predikatif dan berpotensi untuk dijadikan kalimat.
b. Klausa pada kalimat majemuk setara
Klausa-klausa didalam kalimat majemuk setara masing-masing dapat
berdiri sendiri sebagai kalimat.
Hubungan antar kalimat di dalam kalimat majemuk setara dapat
dibedakan menjadi tiga, yakni :
a) Hubungan koordinatif yang sifatnya aditif
b) Hubungan koordinatif yang sifatnya adversative
c) Hubungan koordinatif yang sifatnya alternative
Jenis yang pertama bersifat menambahkan, bersifat menjumlahkan, dan
lazimnya menggunakan konjungsi dan, serta, bersama. Jenis yang kedua ialah
adversatif, arinya bertentangan. Konjungsi yang lazim digunakan ialah tetapi,
melainkan, dan sedangkan. Jenis yang ketiga ialah bersifat alternative atau
pilihan, maksudnya ialah bahwa kalausa yang dihubungkan itu merupakan
pilihan bagi klausa yang disampaikan sebelumnya. Konjungsi yang lazim
digunakan ialah atau atau ataukah seperti pada kalimat berikut, “Aku harus
tetap berbohong untuk menyimpan rahasia, ataukah harus berterus terang
saja?”
c. Klausa pada kalimat majemuk bertingkat
Hubungan antar antar klausa pada kalimat majemuk bertingkat bersifat
subordinatif , maksunya klausa yang satu berinduk atau menjadi sub bagi
klausa yang lainnya. Klausa yang satu menjadi atasan, dan klausa yang
lainnya menjadi bawahan, atau klausa yang satu menjadi induk, sedangkan
klausa yang lainnya menjadi anaknya. Hubungan klausa demikianlah yang
disebut dengan hubungan yang bersifat hierarkis atau subordinatif.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sebagian kalimat majemuk
bertingkat yang diawali oleh konjungsi subordinatif itu pasti adalah anak
kalimatnya, bukan induk kalimatnya. Konjungsi itu memiliki hubungan makna
yang bermacam-macam. Ada konjungsi yang menyatakan sebab, seperti
karena, sebab, lantaran,. Bentuk olehk karea, karenanya, karena itu, oleh
karena itu, jangan pernah dianggap sebagai konjungsi subordinatif dalam
bahasa Indonesia.
4.4 Kalimat
a. Pengertian kalimat
Kalimat dapat dipahami sebagai satuan bahasa terkecil yang dapat
digunakan untuk menyampaikan ide atau gagasan. Pakar berbeda menyatakan
bahwa kalimat adalah satuan bahasa yang secara relative berdiri sendiri,
mempunyai intonasi akhir, dan secara actual dan potensial terdiri atas klausa.
Jadi, tidak salah pula kalau di katakan bahwa sesungguhnya sebuah kalimat
membicarakan hubungan antara klausa yang satu dan yang lainnya.
b. Unsur-unsur kalimat
a) Subjek
Unsur pembentuk kalimat yang harus disebut pertama disini adalah
subjek. Dalam kalimat, subjek tidak selalu berada di depan. Ada kalanya
berada di belakang predikat, teruama kalimat yang berdiatesis pasif.
Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mengetahui kebera
subjek kalimat.
Cara yang pertama adalah dengan menggunakan pertanyaan, siapa +
yang + predikat apabila subjek itu adalah subjek orang, atau apa + yang +
predikat bilamana yang menjadi subjek itu bukan orang. Contoh : Tuti sudah
dikawinkan dengan pria pilihan ayahnya. Jika formulasi demikian diterapkan,
maka maka pertanyaannya akan berbunyi “siapa yang sudah dikawinkan
dengan pria pilihan ayahnya? “. Jawabannya adalah “Tuti”. Maka, subjek
kaliamat itu adalah “Tuti”.
b) Predikat
Sama-sama menjadi unsure dalam sebuah kalimat, predikat memiliki
karakter yang tidak sama dengan subjek. Akan tetapi, kejatian sebuah
subjek menjadi jelas juga karena ada subjek kalimatnya.
Cara yang paling mudah untuk mengidentifikasi predikat kalimat
adalah dengan menggunakan formula pertanyaan “bagaimana atau
mengapa”. Bilamana dicermati dari dimensi maknanya, bagian kalimat yang
memberikan informasi ihwal pertanyaan “bagaimana dan mengapa” adalah
predikat itu. Contoh : dia bukan mahasiswa kampus itu lagi sejak 2008. Jadi
jelas, bagian kalimat yang mengikuti penegasi “tidak” dan “bukan” inilah
predikat kalimatnya.
c) Objek
Dalam banyak hal dapat dikatakan bahwa objek kalimat berlawanan
dengan subjek kalimat. Objek kalimat hanya dimungkinkan hadir apabila
predikat kalimat tersebut merupakan verba atau kata kerja yang sifatnya
transitif.
Dengan demikian, dapat dikatakan pula bahwa objek kalimat itu tidak
akan hadir di dalam kalimat apabila :
1. Tidak terdapat dalam kalimat pasif
2. Kalimat itu merupakan kalimat dengan verba instransitif.
Contoh :
1) Fendi dilahirkan di yogjakarta
2) Bukunya bernilai sangat tinggi
d) Pelengkap
Dalam kalimat pasif, pelengkap tidak dapat menempati fungsi subjek.
Pada posisi yang sama, objek dapat menempatinya. Maka inilah
sesungguhnya perbedaan mendasar antara objek dan pelengkap.
Contoh :
1. Ibu member saya baju baru
2. Fendi berjualan buku cerita.
e) Keterangan
Keterangan adalah unsure kalimat yang sifatnya tidak wajib hadir.
Berbeda dengan subjek, predikat, objek, dan pelengkap yang sifatnya wajib
hadir. Adapun fungsinya adalah untuk menambahkan informasi pada
kalimat itu.
c. Sruktur kalimat
a) Struktur kalimat dasar
Kalimat dasar,atau kalimat tunggal, atau kalimat sederhana ialah
kalimat yang hanya memiliki satu subjek dan satu predikat. Kalimat dasar
dapat berwujud tiga macam, yaitu kalimat tunggal murni, seperti pada bentuk,
“Adik tidur”. Kailmat dasar dapat juga berupa kalimat yang diperluas dengan
keterangan tertentu, misalnya adik menangis di belakan kebun. Sekalipun
bentuk bahasanya panjang, karena kalimat tersebut hanya terdiri dari satu
subjek dan predikat.
b) Stuktur kalimat majemuk
Kalimat majemuk jenis yang pertama adalah kalmiat majemuk setara.
Konstruksi kalimat majemuk setara sesungguhnya sangat sederhana, yakni
hanya beberapa kalimat dasar atau kalimat tunggal yang kemudian
digabungkan dengan konjungsi atau kata penghubung.
Adapun konjungsinya ialah dan, atau, sedangkan, tetapi, dan
melainkan. Contoh: adik sedang tidur, sedangkan ibu sedang memasak di
dapur.
d. Kalimat efektif
a) Definisi kalimat efektif
Kalimat efktif adalah kalimat yang tidak cukup dipahami hanya
sebagai satuan kebhasaan terkecil yang dapat digunakan untuk
mengungkapkan ide atau gagasan yang utuh.
Demikian pula dalam konteks tuturan lisan, sebuah tuturan yang
efektif itu harus dapat membangkitkan kembali gagasan yang dimiliki oleh
pendengar.
b) Prinsip-prinip efektifitas kalimat
Prinsip utama yaitu bahwa kalimat itu harus disusun dengan
mempertimbangkan dan memperhitungkan kesepadanan bentuk atau
kesepadanan setrukturnya. Contoh : adik kecil yang menangis.
5. Resume Bab Empat: Ihwal Paragraf
5.1 Pengertian paragraph
Paragraf ialah segala sesuatu yang lazim terdapat didalam karangan atau
tulisan, sesuai dengan prinsip dan tata kerja karang-mengarang dan tulis-menulis
terdapat pula dalam paragraf.
6.4 Kerangka karangan
Dengan rumusan tama karangan yang baik, kalimat tesis yang baik, judul karangan yang
baik, tujuan karangan yang jelas, akan dapat dijamin lahirnya karangan atau tulisan yang
baik pula.
Secara umum, kerangka karangan dapat dianggap sebagai rencana penulisan yang
mengandung ketentuan bagaimana kita akan menyusun sebuah karangan.
I. Pendahuluan
1. Latar belakang membahas…….
2. Masalah merumuskan…….
3. Tujuan berisi upaya……
II. Masalah remaja
1. Pergaulan bebas
2. Ketergantungan obat
III. Penutup
1. Kesimpulan
2. Saran.
7. Resume Bab Enam: Ihwal resensi
7.1Resensi
a. Pengertian resensi
Resensi umumnya dipahami sebagai alasan dan penilaian terhadap sebuah
karya. Karya tersebut dapat bermacam-macam, mungki film, mungkin buku, karya
seni, atau mungkin pela produk teknologi.
Hal yang perlu di perhatikan dalam meresensi yaitu : tingkat keahlian,
pengalaman dan cakrawala pandang penulisnya, analisis di dalam penyajian
materinya, analisis kebahasaannya, ketajaman dan kekuatan topic serta
pembahasannya, kekuatan ekspresinya, kekuatan intelektualnya.
Tujuan pokoknya ialah agar pembaca tertarik untuk membaca secara
langsung buku yang sedang diresensi tersebut.
b. Pertimbangan
Di depan sudah disampaikan bahwa dalam resensi tidak boleh hanya
menyampaikan kekurangan buku yang sedang diresensinya. Akan tetapi, harus
menunjukkan dimensi-dimensi positifnya dari bukku yang diresensi tersebut.
Secara khusus penulis hendak menegaskan bahwa pertimbangan-
pertimbangan yang harus dibuat oleh peresensi itu dapat mencakup keinginan
pengarangnya, kepentingan dari pembaca, dan materi atau esensi dari karya
yang sedang diresensi tersebut.
c. Prinsip resensi
Beberapa hal berikut yang harus di pertimbangkan dan di perhatikan dalam
membuat resensi :
a) Bahasa yang digunakan harus jelas, tegas, tajam , akurat
b) Pilihan kata yang digunakan harus baik, tepat, tidak konotatif
c) Format dan isi reseni harus disesuaikan dengan kompetensi, minat, dan
motifasi pembaca.
d) Objek seimbang dan proporsional dalam menyampaikan timbangan terhadap
buku atau hasil karya.
d. Unsur-unsur reseni
Berikut ini disajikan beberapa unsure yang harus dijadikan pertimbangan
dalam resensi :
a) Estetika perwajahan karya yang sedang diresensi
b) Latar balakang penulisan dan pengalaman penulis
c) Tema dan judul dikaitkan dengan minat pembacanya
d) Penyajian dan sistematika karya yang sedang diresensi
e) Deskripsi teknis buku atau karya yang sedang diresensi
f) Jenis buku atau karya yang sedang diresensi
g) Keunggulan buku atau karya yang sedang diresensi
h) Kelemahan buku yang atau karya yang sedang diresensi
7.3 Metodologi
Langkah pertama yang harus dilakukan dalalm kajian ini adalah menyediakan data,
sehingga data itu benar-benar siap untuk dikenai metode dan teknik-teknik analisis data.
Data penelitian yang dimaksud pada dasarnya merupakan bahan jadi penelitian, bukan
bahan mentah penelitian. Namun sebelum melakukukan analisis, data yang telah disediakan
dengan sungguh baik kemudian dikelompokkan terlebih dahulu. Klasifikasi data dilakukan
untuk mendapatkan tipe-tipe data, yang selanjutnya mempermudah proses analisis data
pada tahapan berikutnya.
Untuk penyediaan data digunakan 3 macam metode, yaitu : metode simak, metode
cakap, dan metode survey. Metode simak lazim disebut metode pngamatan atau observasi.
Metode cakap dapat pula disejajarkan dengan metode wawancara. Masing-maing metode
penyediaan data itu didalam penerapannya masih dijabarkan kedalam tekni-teknik
penyediaan data yang menjadi bawahannya.
7.4 Pembahasan
Setelah menganalisis data, masuk pada tahap pembahasan. Pembahasan
disini membahas hasil jadi penelitian. Perlu di garis bawahi, bahwa membahas suatu
penelitian harus berdasarkan fakta, tidak boleh di karang sendiri, karena dari
penelitian itu butuh bukti fakta.
7.5 Simpulan
Sejalan dengan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka
teori, dan pembahasan datanya, maka hal-hal berikut dapat dinyatakan sebagai simpulan.
Simpulan disini hanya mengambil garis besarnya saja.
2. Bentuk yang didahului dengan tanda koma (,) dalam penulisannya dan letaknya
dalam kalimat.
…, padahal
…, sedangkan
…, seperti
…, misalnya
…, contohnya
…, antara lain
…, di antaranya
…, yaitu
…, yakni
…, ialah
…, adalah
…, pasalnya
9. Bentuk- bentuk yang keliru karena merupakan hasil dari analogi nomina dan
verba yang tidak benar.
Koordinir Mengorganisir
Mengkoordinir Terorganisir
Dikoordinir Dramatisir
Terkoordinir Mendramatisir
Legalisir Didramatisir
Dilegalisir Realisirs
Proklamir dipolitisir
11. Bentuk kebahasaan yang salah karena adanya anggapan yang salah ihwal
penulisan gabungan kata.
Beritahu tanggungjawab
Lipatganda Terimakasih
Kerjasama Keretaapi
Garisbawah Rumahsakit
Sebarluas Suratkabar
Tandatangan
12. Bentuk jadian yang salah akibat adanya anggapan gabungan kata yang salah.
Memberitahu Sebarluaskan
Beritahukan Bertandatangani
Berlipatganda Tandatangani
Bekerjasama tandatangankan
Digarisbawah Berterimakasih
Tersebarluas Terimakasihi
13. Bentuk kebahasaan yang salah akibat pemahaman morfofonemik yang salah.
Memproduksi Memerhatiakn
Memromosikan Mempesona
Memproses Mengkomunikasikan
Memraktikkan Mengkoordinir
Memrakarsai Memunyai
16. Bentuk “di” ditulis serangkai apabila kata yang mengikutinya adalah ‘verba’ atau
‘kata kerja’. Bentuk ‘di’ ditulis tidak serangkai dengan kata yang mengikutinya
apabila kata itu merupakan nomina atau kata benda. Bentuk ‘di samping’ dan
‘disamping’ berbeda, karena yang satu bermakna ‘di sebelah’, sedangkan yang
satunya bermakna ‘selain’ atau ‘kecuali’.
Dipukul Di meja
Ditendang Di kursi
Dipikir Di halaman
Dibangun Di kelas
Dipasang Di gedung
Dikawal Di kolam
Dipakai Di luar
17. Bentuk ‘ke’ harus ditulis dengan kata yang mengikutinya apabila diikuti kata
bilangan atau numeralia. Selain itu, ‘ke’ juga harus ditulis serangakai dengan
‘luar’ kalau merupakan kebalikan dari kata ‘masuk’. Adapaun ‘ke’ pada ‘ke luar’
ditulis tidak serangkai dengan bentuk itu merupakan lawan dari bentuk ‘ke
dalam’.
Kedua
Ketiga
Keempat
Keluar
Kekasih
Ketua
Kemari
18. Bentuk ‘pun’ harus ditulis serangkai dengan kata yang mendahuluinya, apabila
‘pun’ tersebut sudah merupakan satu kesatuan dengan bentuk kebahasaan yang
mendahuluinya. Adapun ‘pun’ harus ditulis terpisah dengan kata yang
mendahuluinya, apabila ‘pun’ berfungsi ‘menyangatkan’ atau ‘mengeraskan
makna’. Bentuk ‘sekalipun’ bermakna ‘sekali saja’ atau ‘meskipun sekali’ atau
‘walaupun sekali’. Penulisan ‘sekali pun’ dalalm makna yang terakhir ini harus
ditulis tidak serangkai.
19. Kata gabung yang salah satu bagiannya tidak dapat berdiri sendiri sebagai kata
harus dituliskan serangkai dengan bentuk kebahasaan yang mengikutinya.
Misal: intrakurikuler, ekstrakurikuler, perikemanusiaan.
20. Kata gabung dasar yang bagian-bagiannya tidak sangat erat hubungannya.
Sehingga tidak dapat disatukan menjadi satu. Misal: tanggung jawab, kerja
sama, daya guna.
21. Bentuk ‘sebagai berikut’ dalam penggunaannya dapat diakhiri dengan tanda titik
(.) digunakan apabila yang menyertai adalah kalimat-kalimat, dan dapat pula
diakhiri dengan tanda titik dua (:) digunakan apabila perincian yang
menyertainya adalah kata, frasa, atau klausa.
Ihwal bentuk ‘adalah’, ‘ialah’, ‘yakni’, dan ‘yaitu’.
Bentuk-bentuk kebahasaan itu dalam perincian yang bersifat mendatar atau
horizontal, maupun vertikal, tidak perlu diikuti dengan tanda titik dua (:).
Misal:
a. Tiga persoalan yang harus diatasi secepatnya, yakni (a) sulit dijangkau,
(b) sulit dicari, (c) sulit ditemukan.
b. Tiga persoalan mendasar yang harus diatasi secepatnya, yakni a) Sulit
dijangkau, b) Sulit dicari, dan c) Sulit ditemukan.
22. Bentuk ‘ialah’ digunakan untuk mendefinisikan sesuatu, sedangkan bentuk
‘adalah’ digunakan untuk menegaskan hubungan subjek kalimat dengan unsur
penjelas yang mengikutinya.
23. Ihwal tanda hubung (-) dan tanda pisah (−)
Tanda hubung (-) digunakan dalam bentuk ulang dan dituliskan diantara
bentuk yang diulang tersebut, sedangkan tanda pisah (−) digunakan untuk
menyatakan maksud ‘hingga’ atau ‘sampai dengan’.
24. Ihwal bentuk ‘tiap-tiap’, ‘setiap’, ‘masing-masing’, ‘sesuatu’ dan ‘seseorang’.
Diantara bentuk-bentuk kebahasaan di atas itu, yang dapat diikuti oleh nomina
adalah ‘tiap-tiap’ atau ‘setiap’.
25. Ihwal ‘sementara’, ‘sementara itu’, dan ‘adapun’.
Bentuk ‘sementara itu’ dan ‘adapun’ berkedudukan sebagai konjungsi antar
kalimat .konjungsi antar kalimat demikian itu harus ditulis dengan tanda koma
yang menyertainya. Bentuk ‘sedangkan’ adalah konjungsi intrakalimat, bukan
antar kalimat. Contoh-contoh berikut ini salah dan harus dihindari
pemakaiannya.
a. Sementara kalangan akan segera datang menyusul.
b. Adapun masalah-masalah kelembagaan cenderung diabaikan.
c. Sementara para mahasiswa tidak diperkenankan masuk kampus.
Bentuk kebahasaan yang benar adalah sebagai berikut:
a. Beberapa kalangan akan segera datang menyusul.
b. Adapun masalah-masalah kelembagaan cenderung diabaikan.
c. Sementara itu, para mahasiswa tidak diperkenankan masuk kampus.
26. Ihwal ‘seperti’, ‘misalnya’, ‘contohnya’, ‘antara lain’
Bentuk-bentuk kebahasaan ini dianggap sebagai konjungsi yang tugasnya
adalah memerinci sekaligus pembatas. Contoh: Lambatnya mengatasi masalah
itu dipengaruhi oleh banyak hal, misalnya terbatasnya keuangan, kurangnya
sumber daya manusia.
9. Simpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa buku ini terdiri dari tujuh bab.
a. Bab 1 jati diri bangsa yang di dalamnya membahas tentang arti bahasa, fungsi
bahasa, dan ragam bahasa, dengan ini diharapkan pembaca agar mengetahui
apa arti bahasa yang sebenarnya.
b. Bab 2 ihwal diksi yang di dalamnya membahas peranti-peranti diksi, ihwal
peristilahan, aneka kasus diksi.
c. Bab 3 ihwal kalimat berisi tentang kelas kata, frasa, klausa, dan kalimat, dengan
mempelajari bab ini pembaca akan diperkenalkan bagaimana cara membuat
kalimat yang efektif.
d. Bab 4 ihwal paragraf di dalamnya membahas pengertian paragraf itu sendiri, ide
utama dan kalimat utama, kalimat penjelas, kalimat penegas, unsur-unsur
pengait paragraf, prinsip kepaduan bentuk dan makna paragraf, jenis dan cara
pengembangan paragraf.
e. Bab 5 ihwal karya ilmiah akademik di dalamnya membahas karangan ilmiah,
asas-asas karangan ilmiah, tema karangan, judul karangan, kalimat tesis,
kerangka karangan, model-model berpikir, ihwal latar belakang masalah dan
rumusan masalah, ihwal tujuan penulisan, ihwal hipotesis, ihwal abstrak, cara
kerja penyusunan karangan ilmiah, empat langkah penyediaan data, aspek-
aspek dalam analisis data, berpikir linear dalam karangan ilmiah.
f. Bab 6 ihwal resensi di dalamnya membahas pengertian, pertimbangan dalam
meresensi, prinsip resensi, unsur-unsur resensi.
g. Bab 7 ihwal teknis ejaan, dalam bab ini dibahas tentang teknis-teknis ejaan yang
benar dan sesuai dengan ejaan yang telah disempurnakan.
RANGKUMAN BUKU
Pada bab awal buku di dalamnya menguraikan tentang sifat-sifat bahasa manusia dan
pemerolehan bahasa manusia, dijelaskan beberapa sifat bahasa di antara bahasa bersifat
konvensioanal dan bersifat unik yaitu bahwa bahasa indonesia memiliki ciri khas yang spesifik,
susunan kata dalam kalimat sangat mempengaruhi makna. Pemakaian bahasa indonesia meliputi
aneka macam tanda yang di dalamnya terbagi menjadi 1) tanda alamiah, 2) tanda konvensioanl, 3)
tanda linguistik, kemudian bahasa indonesia juga dapat dipakai dalam bahasa lisan maupun bahasa
tulis serta komunikasi nonverbal yang meliputi tanda nonverbal auditif dan tanda nonverbal visual.
Pada ranah dimensinya bahasa indonesia memiliki batasan makna, denotasi dan konotasi, relasi
makna, makna leksikal dan makna gramatikal, homonimi dan polisemi serta makna kalimat dan
makna tuturan.
Pada buku ini dijelaskan juga pada bab ke-4 peran simantis yaitu pada kalimat dan proposisi,
analisis kalimat dan analisis semantik, dan peran semantis itu sendiri terbagi menjadi empat
diantaranya 1) predikat bervalensi kosong 2) predikat bervalensi satu 3) predikat bervalensi dua 4)
perubahan valensi. Kemduian penulis juga menerangkan tentang relasi leksikal dimana mencakup
bahasan medan makna, medan makna jarak dan biji dalam bahasa jawa dan bali, hiponimi, sinonimi,
dan antonimi, lebih lanjut penulis menjelaskan antonimi biner dan nonbiner, antonimi kosok balen,
kesejajaran dan kesalingan, serta pengungkapan jumlah tak tentu. Berlanjut pada bab ke-6 penulis
menjabarkan tentang predikat transisi dan predikat tranfers, sedangkan untuk perihal pengacuan
terdapat beberapa poin yang penting untuk dibahas mulai dari referen dan satuan ekspresi, ekstensi
dan intensi, dan aneka jenis refren yang terbagi menjadi 3 yaitu 1) referen unik dan tak unik 2) referan
konkret dan referen abstrak 3) referen terhitung dan tak terhitung, kemudian terdapat juga aneka cara
pengacuan seperti pengacuan generik, nongenerik, dan takrifm nontakrif serta deiksis anafora.
Setelah membahas perihal pengacuan, pembahasan berlanjur pada klausa pernyataan, klausa
pertanyaan dan ambiguitas gramitikal yang termuat dalan bab ke-8 pada buku ini. Pada bab ke-9
penulis memberikan bahasan yang berkaitan tentang tindak tutur, didalamnya termuat beberapa poin
diataranya tutur asertif, performatif, dan verdikatif. Pembahasan aspek di jelaskan pada bab ke-10
mengenai aspek generik dan nongenerik tindak tutur tindak fatis sampai pada aspek perfektif dan
aspek progresif., kemudian untuk faktivitas, implikasi dan modalitas menjelaskan tentang verba faktif,
verba implikatif dan modalitas. Dijelaskan juga verba sikap, pemungkinan, pencegahan dan persepsi,
sedangkan pada makna dan proses morfologis dijabarkan pada proses formal dan pembentukan kata,
kemudian di poin yang kedua dijelaskan juga relasi semantik dan proses pembentukan kata. Terakhir
penulis dalam buku ini membahas tentang relasi makna dan reduplikasi yang diantara lain membahas
perulangan nomina, perulangan verba, dan perulangan adjektiva. Penulis juga menuliskan
bibiliography untuk melihat sumber yang digunakan untuk merujuk dalam penulisan buku, serta yang
terakhir penulis memberikan tulisan tentang riwayat hidup.
B. Peranti-peranti diksi
1. Peranti kata berdenotasi dan berkonotasi
a) Kata berdenotasi
Dalam studi linguistic ditegaskan bahwa kata yangtidak mengandung makna
tambahan atau perasaan tambahan makna tertentu disebut denotasi. Jadi makna denotasi
dapat disebut makna yang sebenarnya, seperti peranti duduk yang namanya “kursi”, maka
peranti , untuk duduk itu disebut sebagai “kursi”. Kata “kursi” dalam hal ini memiliki makna
apa adanya.
b) Kata berkonotasi
Kata berkonotasi ialah makna kias, bukan makna sebenarnya. Makna konotasi memiliki
nuansa makna subjektif dan cendeerung digunakan dalam situasi tidak formal, seperti
“dengan memanjatkat puji syukur kepada…..”, pemakaian kata “memanjatkan” dalam
kalimat tersebut jelas sekali menggunakan makna konotasi bukan denotasi.
2. Peranti kata bersinonim dan berantonim
Kata “bersinonim” berarti kata sejenis, sepadan, sejajar, serumpun, dan memiliki arti
sama. Secara lebih gampang dapat dikatakan bahwa sinonim sesungguhnya ada
persamaan makna kata. Adapun yang dimaksud adalah dua kata atau lebih yang berbeda
bentuknya, ejaannya, pengucapan atau lafaldnya, tetapi memiliki makna sama atau hampir
sama, contoh: hamil dan mengandung, kedua bentuk tersebut dapat dikatakan bersinonim
karena bentuknya berbeda tetapi maknanya sama.
Kata “berantonim” berlawanan dengan kata “bersinonim”. Bentuk kebahasaan tertentu
akan dapat dikatakan berantonim jika bentuk itu memiliki makna yang tidak sama atau
berlawanan. Seperti contoh kata “panas dan dingin”, kedua kata tersebut mempunyai makna
yang berlawanan.
3. Peranti kata bernilai Rasa
Diksi atau pilihan kata juga mengajarkan untuk senantiasa menggunakan kata-kata yang
bernilai rasa dengan cermat, guna untuk mengindahkan kata-kata. Bahasa juga perlu dalam
pemakaiannya lebih di perhatikan dan di pertimbangkan, agar dapat menyangkut dengan
konteksnya.
4. Peranti kata konkret dan abstrak
Kata-kata konkret adalah kata-kata yang menunjukkan pada objek yang dapat dipilih,
didengar, dirasakan, diraba, atau dicium. Kata-kata konkret lebih mudah dipahami daripada
kata-kata abstrak
Kata-kata abstrak menunjuk pada konsep atau gagasan. Kata-kata abstrak sering dipakai
untuk mengungkapkan gagasan yang cenderung rumit. Kata abstrak digunakan untuk
membuat deskripsi,beberapa juga untuk narasi.
5. Peranti keumuman dan kekhususan kata
Kata umum adalah kata yang perlu dijabarkan lebih lanjut dengan kata yang sifatnya
khusus untuk mendapatkan perincian lebih baik. Kata umum lebih tepat digunakan untuk
argumentasi atau persuasi, karena dalam pemakaian yang disebutkan terakhin itu akan
dibuka kemungkinan-kemungkinan penafsiran yang lebih luas, yang lebih umum, yang lebih
komprehensif sebagai imbangan kata-kata umum adalah kata-kata khusus.
Dalam banyak hal, kata-kata khusus memang merupakan kebalikan kata-kata umum.
Kata-kata khusus cenderung digunakan dalam konteks terbatas, maka lazim pula dipahami
bahwa kata-kata khusus adalah kata-kata yang sempit ruang lingkupnya, terbatas konteks
pemakaiannya.
6. Peranti kelugasan kata
Diksi juga mengajarkan kita ihwal kata-kata lugas, apa adanya. Kata-kata lugas adalah
kata-kata yang sekaligus juga ringkas , tidak merupakan frasa panjang, tidak mendayu-
dayu, dan sama sekali tidak berbelit-belit. Ketika konteks pemakaian kebahasaan itu adalah
untuk menyatakan kebasi-basian dan kesantunan, sudah barang tentu pemakaian bentuk-
bentuk kebahasaan yang lugas itu tidak tepat.
7. Peranti penyempitan dan perluasan makna kata
Sebuah kata dapat dikatakan mengalami penyempitan makna apabila didalam kurun
waktu tertentu maknanya bergeser dari semula yang luas ke makna yang sempit atau
sangat terbatas.
Sebagai imbangan dari penyempitan makna kata adalah perluasan makna kata. Sebuah
makna kebebasan dikatakan akan meluas jika dalam kurun waktu ternentu maknanya akan
bergeser dari yang semula sempit ke makna yang lebih luas.
8. Peranti keaktifan dan kepasifan kata
Dalam kerangka diksi atau pemilihan kata yang dimaksud dengan kata-kata aktif adalah
kata-kata yanga banyak digunakan oleh tokoh masyarakat.
Pemakaian bahasa kontemporer yang terjadi sekarang ini banyak menjadi bukti
sekaligus saksi akan banyak dilahirkannya kata-kata yang baru, kata-kata yang semula tidak
pernah digunakan itu.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kata-kata yang semula tidak pernah digunakan
akan menjadi aktif jika digunakan.
9. Peranti ameliorasi dan peyorasi
Ameliorasi adalah proses perubahan makna dari yang lama ke yang baru ketika bentuk
yang baru dianggap dan dirasakan lebih tinggi dan lebih tepat nilai rasa serta konotasinya
dibandingkan dengan yang lama.
Sebagai imbangan dari ameliorasi adalah peyorasi. Maksudnya adalah perubahan
makna dari yang baru ke yang lama ketika yang lama dianggap masih tetap lebih tinggi dan
lebih tetap nilai rasa serta konotasinya dibandingkan dengan makna yang baru.
10. Peranti kesenyawaan kata
Bentuk idiomatis atau bentuk bersenyawa, sesuai dengan namanya, tidak dapat
dipisahkan begitu saja oleh siapapun. Dikatakan sebagai bentuk senyawa karena bentuk
demikian itu sudah sangat erat hubungan antara satu dengan dengan yang lainnya. Jadi
didalam konstruksi idiomatis kata yang satu dengan kata yang lainnya itu berhubungan erat,
lekat, dan tidak dapat dipisahkan oleh alasan apapun juga.
11. Peranti kebakuan dan ketidakbakuan kata
Bentuk baku hadir karena adanya pembakuan bentuk-bentuk kebahasaan. Pembakuan
bahasa demikian itu pada gilirannya akan menjadikan bangsa Indonesia semakin
bermartabat.
Bilamana bahasa baku tersebut digunakan oleh masyarakat internasional, maka jadilah
bahasa itu bahasa yang berharkat dan bermartabat tinggi.
3.2 Ihwal peristilahan
Istilah dapat didefinisikan sebagai kata atau gabungan kata yang dapat dengan
cermat mengungkapkan makna konsep, proses, keadaan, atau sifat yang khas dibidang
kehidupan dan cabang ilmu pengetahuan tertentu. Istilah itu sendiri dibedakan ke dalam dua
jenis, yaitu istilah yang sifatnya khusus dan istilah yang sifatnya umum.
Bentuk-bentuk kebebasan yang hanya lazim digunakan dalam bidang tertentu dapat
dikatakan sebagai bentuk-bentuk yang sifatnya khusus. Sebagail imbangan dari kata-kata
yang sifatnya khusus adalah kata-kata yang sifatnya umum yaitu kata-kata yang memiliki
kandungan makna yang banyak dan bermacam-macam .
C. Kalimat
1 Kelas kata
Kata dalam bahasa Indonesia yang jumlahnya luar biasa banyak itu mustahil dapat
dipelajari dengan mudah kalau tidak di kelas-kelaskan terlebih dahulu. Nah, hasil dari
pengelaskataan atau pengelompokan kata-kata itulah yang kemudian lazim disebut dengan
kelas kata.
1. Verba
Verba atau kata kerja lazimnya dapat didefinisikan dengan menggunakan tiga
macam cara.
a) Dengan mencermati bentuk morfologisnya
b) Dengan mencermati perilaku sintaksisnya
c) Dengan mencermati perilaku semantisnya
Berdasarkan ciri morfologisnya, verba didalam bahasa Indonesia dapat dibedakan menjadi :
a) Verba dasar atau verba yang tidak berafiks
b) Verba berafiks
c) Verba yang merupakan perulangan atau reduplikasi
d) Verba yang merupakan bentuk majemuk
Berdasarkan fungsinya atau sering disebut sebagai perilaku sintaksisnya, verba dapat
dibedakan menjadi :
a) Verba yang menduduki fungsi subjek
b) Verba yang menduduki posisi keterangan
c) Verba yang menduduki posisi objek
Dari sisi pembentukannya, verba juga dapat dibentuk dari nomina. Verba atau kata kerja
yang demikian ini disebut sebagai verba denominal, misalnya “berbudaya dan mencangkul”
yang dibentuk dari dasar nomina “budaya dan cangkul”. Selain itu ada juga verba adjektifa,
contoh mengakhiri dan mengawali.
2. Adjektiva
Adjektiva lazim disebut juga kata sifat. Dari dimensi wujud atau bentuknya dapat
dikenali adjektifa dasar, seperti cantik, adil.
Adjektiva dari dimensi bentuknya merupakan gabungan atau perpaduan dua
adjektiva, misalnya cantik jelita dan aman sentausa.
Adjektifa dapat didampingi dengan kata-kata berikut, sangat, agak, lebih, paling.
3. Nomina
Nomina disebut juga kata benda. Dari dimensi bentuknya, nomina dapat
dibedakan menjadi dua, yakni nomina dasar dan nomina bentukan atau turunan. Nomina
dasar ialah nomina yang belum mendapatkan imbuhan apapun, contoh : buku, meja, rumah.
Nomina turunan ialah nomina yang sudah mendapatkan imbuhan.
4. Pronominal
Pronominal disebut juga sebagai kata ganti. Dikatakan sebagai kata ganti karena
sesungguhnya pronomina itu berfungsi menggantikan nomina yang menjadi antesedennya.
Dari sisi bentuknya, nomina dapat dibedakan menjadi :
a) Nomina persona
b) Nomina penunjuk
c) Nomina penanya
Nomina persona dapat menunjukkan orang, baik dalam hitungan tunggal maupun banyak.
Tunggal : saya, aku, daku, dan –ku. Jamak : kami, kamu, kalian, mereka.
Selain menunjukkan pada persona, pronominal juga dapat nomina penunjuk, seperti : itu, ini,
sana, sini. Pronominal dapat juga berfungsi sebagai pronominal penanya, misalnya :
mengapa, lenapa, bagaimana.
5. Numeralia
Numeralia sering disebut juga kata bilangan. Kata itu digunakan untuk menghitung
jumlah orang, binatang, barang, dan juga sebuah konsep.
Dalam bahasa Indonesia dibedakan dua macam numeralia, yaitu numeralia pokok
dan numeralia tingkat. Numeralia pokok digunakan untuk menjawab pertanyaan “berapa”,
sedangkan numeralia tingkat digunakan untuk menjawab pertanyaan “kebrapa”.
6. Adverbial
Adverbia sering disebut juga kata keterangan. Dapat dikatakan keterangan karena
kata-kata itu memberikan keterangan pada verba, adjektiva, nomina predikatif, atau pada
kata kalimat secara keseluruhan.
Dari dimensi bentuknya, terdapat dua macam adverbia dlam bahasa Indonesia,
yakni :
a) Adverbia monomorfemis
b) Adverbia polimorfemis
Dikatakan sebagai adverbia monomorfemis karena adverbial itu hanya terdiri dari
satu bentuk, seperti sangat, hanya, segera, agak, akan. Dapat dikatakan adverbia
polimorfemis karena bentuknya lebih dari satu morfem, misalnya belum tentu, jangan-
jangan, lebih-lebih, mula-mula.
Dari sisi perilaku sintaksisnya, adverbial dapat merupakan kata yang
mendahului kata yang diterngkan, seperti pada “puisi itu sangat indah”, kata sangat adalah
adverbia dan tugasnya adalah menjelaskan “indah” yang berada dibelakangnya.
2 Frasa
Frasa atau kelompok kata adalah satuan gramatikal yang berupa gabungan kata dan
hubungan kata itu bersifat nonprediktif. Yang perlu digaris bawahi dalam pembahasan frasa
ialah hubungan antar kata dan kata yang lain di dalam kata tersebut.
Secara umum, frasa atau kelompok kata itu dapat dibedakan menjadi dua, yakni frasa
eksosentris dan frasa endosentris. Frasa eksosentris tidak memiliki perilaku sintaksis yang
sama dengan semua komponennya, contoh : dengan sabar, dengan baik, dari rumah, pada
hari. Frasa endosentris ialah frasa yang seluruh bagiannya memiliki perilaku sintaksis yang
sama dengan perilaku salah satu komponen tersebut. Frasa endosentris dapat dibedakan
menjadi dua, yakni frasa endosentris tunggal dan frasa endosentris jamak. Contoh frasa
endosentris tunggal ialah fendi anak bapak kunjana yang masaih kecil itu senang membuat
puisi. Contoh frasa endosentris jamak ialah saya tetap mencintainya, baik kaya maupun
miskin.
Frasa endosentris tunggal dapat dibedakan menjadi menjadi frasa berikut ini, yaitu :
1. Frasa nominal
Frasa yang terdiri dari nomina sebagai induk atau sebagai pusat dan unsure lain yang
yang berupa adjektifa, verba, numeralia, dan lain-lain. Contoh : kursi rotan, kawan
seperjuangan, sosok yang terpandang, wanita cantik jelita.
2. Frasa verba
Frasa verba merupakan gabungan antara verba dengan verba, verba dengan
adverbia atau yang lainnya. Contoh :pergi ke jakarta, berangkat tidur, tidur dengan nyenyak.
3. Frasa adjektiva
Frasa adjektiva ialah frasa yang merupakan gabungan antara adjektifa dengan
komponen yang lainnya, sedangkan frasa yang lainnya berfungsi sebagai penjelas. Contoh :
panas terik, agak sulit, cantik sekali, cerdik cendekia.
4. Frasa numeralia
Frasa numeralia ialah frasa yang merupakan gabungan antara numeralia dengan
unsur-unsur lainnya. Di dalam konstruksi frasa itu, numeralialah yang menjadi induk atau
frasanya. Contoh : dua puluh, dua ekor, dua lusin.
5. Frasa preposisional
Frasa preposisional ialah frasa yang induknya adalah preposisi. Contoh : dari, oleh,
dan untuk.
3 Klausa
1. Pengertian klausa
Klausa adalah suatu kebahasaan yang merupakan gabungan kelompok kata yang
setidaknya terdiri dari atas subjek dan predikat. Klausa bersifat predikatif dan berpotensi
untuk dijadikan kalimat.
2. Klausa pada kalimat majemuk setara
Klausa-klausa didalam kalimat majemuk setara masing-masing dapat berdiri sendiri sebagai
kalimat.
Hubungan antar kalimat di dalam kalimat majemuk setara dapat dibedakan menjadi tiga,
yakni :
a) hubungan koordinatif yang sifatnya aditif
b) hubungan koordinatif yang sifatnya adversative
c) hubungan koordinatif yang sifatnya alternative
Jenis yang pertama bersifat menambahkan, bersifat menjumlahkan, dan lazimnya
menggunakan konjungsi dan, serta, bersama. Jenis yang kedua ialah adversatif, arinya
bertentangan. Konjungsi yang lazim digunakan ialah tetapi, melainkan, dan sedangkan.
Jenis yang ketiga ialah bersifat alternative atau pilihan, maksudnya ialah bahwa kalausa
yang dihubungkan itu merupakan pilihan bagi klausa yang disampaikan sebelumnya.
Konjungsi yang lazim digunakan ialah atau atau ataukah seperti pada kalimat berikut, “Aku
harus tetap berbohong untuk menyimpan rahasia, ataukah harus berterus terang saja?”
3. Klausa pada kalimat majemuk bertingkat
Hubungan antar antar klausa pada kalimat majemuk bertingkat bersifat subordinatif ,
maksunya klausa yang satu berinduk atau menjadi sub bagi klausa yang lainnya. Klausa
yang satu menjadi atasan, dan klausa yang lainnya menjadi bawahan, atau klausa yang
satu menjadi induk, sedangkan klausa yang lainnya menjadi anaknya. Hubungan klausa
demikianlah yang disebut dengan hubungan yang bersifat hierarkis atau subordinatif.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sebagian kalimat majemuk bertingkat
yang diawali oleh konjungsi subordinatif itu pasti adalah anak kalimatnya, bukan induk
kalimatnya. Konjungsi itu memiliki hubungan makna yang bermacam-macam. Ada konjungsi
yang menyatakan sebab, seperti karena, sebab, lantaran,. Bentuk olehk karea, karenanya,
karena itu, oleh karena itu, jangan pernah dianggap sebagai konjungsi subordinatif dalam
bahasa Indonesia.
4 Kalimat
1. Pengertian kalimat
Kalimat dapat dipahami sebagai satuan bahasa terkecil yang dapat digunakan untuk
menyampaikan ide atau gagasan. Pakar berbeda menyatakan bahwa kalimat adalah satuan
bahasa yang secara relative berdiri sendiri, mempunyai intonasi akhir, dan secara actual
dan potensial terdiri atas klausa.
Jadi, tidak salah pula kalau di katakan bahwa sesungguhnya sebuah kalimat
membicarakan hubungan antara klausa yang satu dan yang lainnya.
2. Unsur-unsur kalimat
A. Subjek
Unsur pembentuk kalimat yang harus disebut pertama disini adalah subjek. Dalam kalimat,
subjek tidak selalu berada di depan. Ada kalanya berada di belakang predikat, teruama
kalimat yang berdiatesis pasif.
Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mengetahui kebera subjek kalimat.
Cara yang pertama adalah dengan menggunakan pertanyaan, siapa + yang + predikat
apabila subjek itu adalah subjek orang, atau apa + yang + predikat bilamana yang menjadi
subjek itu bukan orang. Contoh : Tuti sudah dikawinkan dengan pria pilihan ayahnya. Jika
formulasi demikian diterapkan, maka maka pertanyaannya akan berbunyi “siapa yang sudah
dikawinkan dengan pria pilihan ayahnya? “. Jawabannya adalah “Tuti”. Maka, subjek
kaliamat itu adalah “Tuti”.
B. Predikat
Sama-sama menjadi unsure dalam sebuah kalimat, predikat memiliki karakter yang tidak
sama dengan subjek. Akan tetapi, kejatian sebuah subjek menjadi jelas juga karena ada
subjek kalimatnya.
Cara yang paling mudah untuk mengidentifikasi predikat kalimat adalah dengan
menggunakan formula pertanyaan “bagaimana atau mengapa”. Bilamana dicermati dari
dimensi maknanya, bagian kalimat yang memberikan informasi ihwal pertanyaan
“bagaimana dan mengapa” adalah predikat itu. Contoh : dia bukan mahasiswa kampus itu
lagi sejak 2008. Jadi jelas, bagian kalimat yang mengikuti penegasi “tidak” dan “bukan” inilah
predikat kalimatnya.
C. Objek
Dalam banyak hal dapat dikatakan bahwa objek kalimat berlawanan dengan subjek
kalimat. Objek kalimat hanya dimungkinkan hadir apabila predikat kalimat tersebut
merupakan verba atau kata kerja yang sifatnya transitif.
Dengan demikian, dapat dikatakan pula bahwa objek kalimat itu tidak akan hadir di dalam
kalimat apabila :
1. Tidak terdapat dalam kalimat pasif
2. Kalimat itu merupakan kalimat dengan
verba instransitif.
Contoh :
Fendi dilahirkan di yogjakarta
Bukunya bernilai sangat tinggi
D. Pelengkap
Dalam kalimat pasif, pelengkap tidak dapat menempati fungsi subjek. Pada posisi
yang sama, objek dapat menempatinya. Maka inilah sesungguhnya perbedaan mendasar
antara objek dan pelengkap.
Contoh : Ibu member saya baju baru
Fendi berjualan buku cerita.
E. Keterangan
Keterangan adalah unsure kalimat yang sifatnya tidak wajib hadir. Berbeda
dengan subjek, predikat, objek, dan pelengkap yang sifatnya wajib hadir. Adapun fungsinya
adalah untuk menambahkan informasi pada kalimat itu.
3. Sruktur kalimat
a. Struktur kalimat dasar
Kalimat dasar,atau kalimat tunggal, atau kalimat sederhana ialah kalimat yang hanya
memiliki satu subjek dan satu predikat. Kalimat dasar dapat berwujud tiga macam, yaitu
kalimat tunggal murni, seperti pada bentuk, “Adik tidur”. Kailmat dasar dapat juga berupa
kalimat yang diperluas dengan keterangan tertentu, misalnya adik menangis di belakan
kebun. Sekalipun bentuk bahasanya panjang, karena kalimat tersebut hanya terdiri dari satu
subjek dan predikat.
b. Stuktur kalimat majemuk
Kalimat majemuk jenis yang pertama adalah kalmiat majemuk setara. Konstruksi kalimat
majemuk setara sesungguhnya sangat sederhana, yakni hanya beberapa kalimat dasar atau
kalimat tunggal yang kemudian digabungkan dengan konjungsi atau kata penghubung.
Adapun konjungsinya ialah dan, atau, sedangkan, tetapi, dan melainkan. Contoh: adik
sedang tidur, sedangkan ibu sedang memasak di dapur.
4. Kalimat efektif
a. Definisi kalimat efektif
Kalimat efktif adalah kalimat yang tidak cukup dipahami hanya sebagai satuan kebhasaan
terkecil yang dapat digunakan untuk mengungkapkan ide atau gagasan yang utuh.
Demikian pula dalam konteks tuturan lisan, sebuah tuturan yang efektif itu harus dapat
membangkitkan kembali gagasan yang dimiliki oleh pendengar.
b. Prinsip-prinip efektifitas kalimat
Prinsip utama yaitu bahwa kalimat itu harus disusun dengan mempertimbangkan dan
memperhitungkan kesepadanan bentuk atau kesepadanan setrukturnya. Contoh : adik kecil
yang menangis.
D. Paragraf
1 Pengertian paragraph
Paragraf ialah segala sesuatu yang lazim terdapat didalam karangan atau tulisan, sesuai
dengan prinsip dan tata kerja karang-mengarang dan tulis-menulis terdapat pula dalam
paragraf.
2 Ide utama dan kalimat utama dalam paragraph
Perlu digaris bawahi, sebuah paragraph muthlak harus memiliki ide pokok, ide pokok itulah
pengendali dari bangunan paragraf itu.
Jadi, kalimat utama atau kalimat pokok paragraph itu harus berisi ide utama dari paragraph
yang bersangkutan. Ambil saja contoh, ide pokok paragraf yang berbunyi ”lambatnya
penelitian”, maka ide pokok paragraph itu dapat dikemas menjadi sebuah kalimat utama
yang berbunyi “ lalmbatnya penelitian di Indonesia disebabkan oleh rendahnya insentif bagi
para peneliti.
1. Kalimat utama diawal paragraph
Kalimat utama diawal paragraf yaitu perincian dan jabaran bagi kalimat utama tersebut
akan menyertainya pada kalimat yang berikutnya. Alur pikiran yang diterapkan dalam
paragraph dengan kalimat utama yang berada diawal paragraph yang demikian ini adalah
alur piker deduktif.
2. Kalimat utama di akhir paragraph
Kalimat pokok yang tempatnya di akhir paragraph terlebih dahulu di awali dengan kalimat-
kalimat penjelas. Nah, pada akhir paragraph, semua yang telah disajikan di dalam bagian
awal hingga pertengahan paragraph itu kemudian disimpulkan di akhir paragraph.
3. Kalimaat utama di dalam paragraph
Paragraph jenis demikian ini, ada yang menyutnya sebagai paragraph ineratif. Jadi, didalam
paragraph tersebut kalimat utama yang terdapat di tengah paragraph ini diibaratkan sebagai
puncak. Kalimat-kalimat yang berada diawal paragraph itu dapat dikatakan sebagai awal-
awal menuju puncak, menuju klimaks paragraph, sedangkan kalimat-kalimat yang berada
setelah kalimat-kalimat itu, sekalipun merupakan kalimat penjelas, derajatnya semakin
lemah.
4. Kalimat utama di awal dan di akhir paragraph
Paragraph yang kalimat utamanya di awal dan di akhir paragraph demikian ini disebut
sebagai paragraph yang beralur pikir abduktif.
a. Kalimat penjelas
Dapat dikatakan sebagai kalimat penjelas karena tugas dari kalimat itu me mang
menjelaskan dan menjadi lebih lanjut ide pokok dan kalimat utama yang terdapat dalam
paragraph tersebut. Jadi kalimat penjelas yang baik sesungguhnya akan menjadi penentu
pokok dari benar-benar baik dan tuntasnya paragraph tersebut.
1. Kalimat penjelas mayor
Kalimat penjelas mayor adalah kalimat penjelas yang utama. Kalimat penjelas yang utama
itu bertugas menjelaskan secara langsung ide pokok dan kalimat utama yang terdapat
didalam paragraph itu.
2. Kalimat penjelas minor
Dikatakan sebagai kalimat penjelas minor karena kalimat penjelas itu tidak secara langsung
menjelaskan ise pokok dan kalimat utama paragraph. Jadi seuah kalimat penjelas minor
yang telah menjelaskan secara lansung kalimat penjelas utama tertentu tidak serta merta
dapat digunakan untuk menjelaskan kalimat penjelas utama yang lain.
5. Kalimat penegas
Dalam konteks pemakaian paragraph, kehadiran sebuah kalimat penegas didalam
paragraph, menjadi sangat lebih dipentingkan oleh penulis. Satu hal yang juga yang juga
harus dicatat oleh para penyusun paragraph, dan para penulis pada umumnya kalimat
penegas demikian itu bukanlah ide pokok dan kalimat pokok baru.
E. karangan ilmiah
Menulis bagi banyak orang memang sangat tidak mudah. Bagi sementara orang
yang lain lagi justru terjadi sebalinya, menulis adalah sesuatu yang mudah dan sangat
menyenangkan. Berkaitan dengan hal ini, sesungguhnya ihwal kebiasaan membaca
memiliki peran dan pengaruh yang sangat besar dalam menjadikan orang merasakan
mudah ataukah sulit di dalam aktifitas menulis itu.
Lebih mengenali karangan ilmiah
Bisa dikatakan sebagai hal yang ilmiah karena sesungguhnya dimensi-dimensi keilmuan
menjadi kandungan pokoknya dalam tulisan. Secara khusus dapat dijelaskan lebih lanjut
bahwa yang dimaksud dengan ilmiah itu berkaitan sangat erat dengan dimensi-dimensi
berikuti ini.
1. Fakta/data sebagai dasar
Sebuah tulisan akan dapat dianggap sebagai hal yang sifatnya ilmiah karena dapat dasar
pokoknya adalah data atau fakta. Jadi, setiap tulisan ilmiah itu bahan pokoknya adalah data
atau fakta. Data bagi sebuah karya ilmiah harus berkualifikasi sempurna.
2. Pemikiran analisis dan konklusi logis.
Sebuah karangan ilmiah juga harus memenuhi ketiga dimensi kelogisan di dalam tiga hal,
yakni pemikiran atau penalarannya, analisis atau pembahasannya, dan penarikan
kesimpulan.
Nah, apabila dimensi ilmiah demikian sudah semuanya di lakukan, maka jadilah
karangan ilmiah dengan tulisan yang berkualitas baik, bahkan boleh pula dikatakan
sempurna.
3. Objektif dan tidak berpihak
Salah satu yang harus di perhatikan dan ternyata sangat penting di dalam sebuah karangan
ilmiah adalah bahwa pembahasan atau analisis yang dilakukan harus benar-benar objektif.
Dalam hal ini, yang dimaksud adalah kebenaran ilmiah. Maka, analisis yang harus
dilakukan tidak boleh bersifat subjektif, melainkan harus objektif.
4. Akurat dan sistematis
Semua yang disajikan dalam karya ilmiah itu harus bersifat sistemik dan sistematik.
Adapun yang dimaksud dengan sistemik itu ialah bahwa karya ilmiah harus sepenuhnya
mengacu kepada system atau tata cara ilmiah tertentu yang sifatnya konvensional dan
sekaligus universal.
Selanjutnya dapat dikatakan sistematis apabila pengaturan dan penataannya runtut sesuai
dengan urutan yang berlaku umum sebagai karya ilmiah.
5. Tidak emosional
Karya ilmiah tidak boleh bernuansa emosional. Maka bahasa yang digunakan juga tidak
boleh penuh dengan nuansa dan perasaan yang penuh dengan keharuan dan syarat
dengan permohonan maaf. Lazimnya pula, bahasa yang emosional itu disajikan dengan
nuansa kata yang berbelit- belit, tidak langsung pada persoalan atau sasarannya.
6.3 Asas-asas menulis karangan ilmiah
1. Kejelasan (clarity)
Karangan ilmiah harus konkret dan jelas. Tidak boleh bersifat samar-samar, tidak boleh
kabur, dan tidak boleh di wilayah abu-abu.
2. Ketepatan (accuracy)
Karangan ilmiah menjunjung tinggi keakuratan. Hasil penelitian ilmiah dan cara penyajian
hasil penelitian itu haruslah tepat atau akurat, penulis atau peneliti harus sangat cermat,
sangat teliti, dan tidak boleh sembrono.
3. Keringkasan (brevity)
Karangan ilmiah haruslah ringkas. Ringkas tidak sama dengan pendek. Jadi, karangan
ilmiah itu tidak boleh menghamburkan kata-kata , tidak boleh mengulang-ulang ide yang
telah di ungkapkan, dan tidak berputar-putar dalam mengungkapkan maksud atau gagasan.
4. Kerangka karangan
Dengan rumusan tama karangan yang baik, kalimat tesis yang baik, judul karangan yang
baik, tujuan karangan yang jelas, akan dapat dijamin lahirnya karangan atau tulisan yang
baik pula.
Secara umum, kerangka karangan dapat dianggap sebagai rencana penulisan yang
mengandung ketentuan bagaimana kita akan menyusun sebuah karangan.
I. Pendahuluan
1. Latar belakang membahas…….
2. Masalah merumuskan…….
3. Tujuan berisi upaya……
II. Masalah remaja
1. Pergaulan bebas
2. Ketergantungan obat
3. ….
III. Penutup
1. Kesimpulan
2. Saran.
F. resensi
1 Resensi
1. Pengertian resensi
Resensi umumnya dipahami sebagai alasan dan penilaian terhadap sebuah karya.
Karya tersebut dapat bermacam-macam, mungki film, mungkin buku, karya seni, atau
mungkin pela produk teknologi.
Hal yang perlu di perhatikan dalam meresensi yaitu : tingkat keahlian, pengalaman dan
cakrawala pandang penulisnya, analisis di dalam penyajian materinya, analisis
kebahasaannya, ketajaman dan kekuatan topic serta pembahasannya, kekuatan
ekspresinya, kekuatan intelektualnya.
Tujuan pokoknya ialah agar pembaca tertarik untuk membaca secara langsung buku yang
sedang diresensi tersebut.
2. Pertimbangan
Di depan sudah disampaikan bahwa dalam resensi tidak boleh hanya
menyampaikan kekurangan buku yang sedang diresensinya. Akan tetapi, harus
menunjukkan dimensi-dimensi positifnya dari bukku yang diresensi tersebut.
Secara khusus penulis hendak menegaskan bahwa pertimbangan-pertimbangan yang harus
dibuat oleh peresensi itu dapat mencakup keinginan pengarangnya, kepentingan dari
pembaca, dan materi atau esensi dari karya yang sedang diresensi tersebut.
3. Prinsip resensi
Beberapa hal berikut yang harus di pertimbangkan dan di perhatikan dalam membuat
resensi
a) Bahasa yang digunakan harus jelas, tegas, tajam , akurat
b) Pilihan kata yang digunakan harus baik, tepat, tidak konotatif
c) Format dan isi reseni harus disesuaikan dengan kompetensi, minat, dan motifasi
pembaca.
d) Objek seimbang dan proporsional dalam menyampaikan timbangan terhadap buku
atau hasil karya.
4. Unsur-unsur reseni
Berikut ini disajikan beberapa unsure yang harus dijadikan pertimbangan dalam resensi :
a) Estetika perwajahan karya yang sedang diresensi
b) Latar balakang penulisan dan pengalaman penulis
c) Tema dan judul dikaitkan dengan minat pembacanya
d) Penyajian dan sistematika karya yang sedang diresensi
e) Deskripsi teknis buku atau karya yang sedang diresensi
f) Jenis buku atau karya yang sedang diresensi
g) Keunggulan buku atau karya yang sedang diresensi
h) Kelemahan buku yang atau karya yang sedang diresensi
2 Kajian pustaka dan landasan teori
Sebagai kajian pustaka untuk kajian ini sengaja hanya dicermati dua karya linguirelevan,
yakni :
1. Kajian lapoliwa (1988)
2. Kajian rahardi (2006)
Hal perkajian pertama adalah bahwa imperative bahasa Indonesia dapat dibedakan
menjadi : Perintah, Suruhan, desakan, permintaan, saran, ajakan, tawaran, persilan,
harapan, kehendak, keinginan, laran kutukan, dan ucapan performatif.
Temuan rahardi menginspirasi untuk segera menemukan makna-makna sosiopragmatik
imperative, sehingga dapat kajian pragmatic yang telah dilakukan sebelumnya.
3. Metodologi
Langkah pertama yang harus dilakukan dalalm kajian ini adalah menyediakan data,
sehingga data itu benar-benar siap untuk dikenai metode dan teknik-teknik analisis data.
Data penelitian yang dimaksud pada dasarnya merupakan bahan jadi penelitian, bukan
bahan mentah penelitian. Namun sebelum melakukukan analisis, data yang telah disediakan
dengan sungguh baik kemudian dikelompokkan terlebih dahulu. Klasifikasi data dilakukan
untuk mendapatkan tipe-tipe data, yang selanjutnya mempermudah proses analisis data
pada tahapan berikutnya.
Untuk penyediaan data digunakan 3 macam metode, yaitu : metode simak, metode cakap,
dan metode survey. Metode simak lazim disebut metode pngamatan atau observasi. Metode
cakap dapat pula disejajarkan dengan metode wawancara. Masing-maing metode
penyediaan data itu didalam penerapannya masih dijabarkan kedalam tekni-teknik
penyediaan data yang menjadi bawahannya.
4. Pembahasan
Setelah menganalisis data, masuk pada tahap pembahasan. Pembahasan disini
membahas hasil jadi penelitian. Perlu di garis bawahi, bahwa membahas suatu penelitian
harus berdasarkan fakta, tidak boleh di karang sendiri, karena dari penelitian itu butuh bukti
fakta.
5. Simpulan
Sejalan dengan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka
teori, dan pembahasan datanya, maka hal-hal berikut dapat dinyatakan sebagai simpulan.
Simpulan disini hanya mengambil garis besarnya saja.
G. teknis ejaan
1 Pedoman teknis ejaan
1. Bentuk kebahasaan yang harus diikuti tanda koma (,) dalam penulisannya.
Agaknya,
Paling tidak,
Akan tetapi,
Sebaliknya,
Akhirnya,
Sesudahnya,
Akibatnya,
Sementara itu,
Artinya,
Adapun,
Biarpun begitu,
Sungguhpun begitu,
Biarpun demikian,
Tambahan lagi,
Oleh sebab itu,
Sungguhpun demikian,
Sebagai kesimpulan,
Maka dari itu,
2. Bentuk yang didahului dengan tanda koma (,) dalam penulisannya dan letaknya dalam
kalimat.
…, padahal
…, sedangkan
…, seperti
…, misalnya
…, contohnya
…, antara lain
…, di antaranya
…, yaitu
…, yakni
…, ialah
…, adalah
…, pasalnya
3. Bentuk-bentuk kebahasaan yang tidak didahului tanda koma, khususnya apabila bentuk
kebahasaan itu diikuti anak kalimat.
…bahwa…
…maka…
…sehingga…
…sebab…
…jika…
…kalau…
…apabila…
5.Bentuk- bentuk kebahasaan yang harus hadir berpasangan karena merupakan konjungsi
korelatif.
Baik…maupun
Bukan…melainkan
Tidak…tetapi
Antara…dan
Tidak hanya…tetapi juga
6. Bentuk-bentuk kebahasaan yang harus hadir berpasangan karena merupakan idiom atau
bentuk senyawa.
Sesuai dengan
Terkait dengan
Seirama dengan
Berkaitan dengan
Bertalian dengan
Dbandingkan dengan
7. Bentuk-bentuk kebahasaan yang tidak boleh hadir karena berkaitan dengan dimensi
kedaerahan dan kellisahan.
Gimana
mangkanya
Gitu
Karenanya
Slama
Haturkan
Nggak
Menghaturkan
Peduli amat
Wilayah pemukiman
Ini kali
Penduluan
Ini hari
Pembaharuan
Ketawa
Nampak
8. Bentuk-bentuk kebahasaan yang salah karena merupakan hasil dari analogi bentuk-
bentuk kebahasaan yang salah.
Lelenisasi
Neonisasi
Listrikisasi
Konblokisasi
Selokanisasi
Teleponisasi
Sengonisasi
Jatinisasi
Turinisasi
Abatisasi
Kuningisasi
Semprotisasi
Hitamisasi
Wesenisasi
Lampunisasi
Pompanisasi
9. Bentuk- bentuk yang keliru karena merupakan hasil dari analogi nomina dan verba yang
tidak benar.
Koordinir
Mengorganisir
Mengkoordinir
Terorganisir
Dikoordinir
Dramatisir
Terkoordinir
Mendramatisir
Legalisir
Didramatisir
Dilegalisir
Realisirs
Proklamir
dipolitisir
11. Bentuk kebahasaan yang salah karena adanya anggapan yang salah ihwal penulisan
gabungan kata.
Beritahu
tanggungjawab
Lipatganda
Terimakasih
Kerjasama
Keretaapi
Garisbawah
Rumahsakit
Sebarluas
Suratkabar
Tandatangan
12. Bentuk jadian yang salah akibat adanya anggapan gabungan kata yang salah.
Memberitahu
Sebarluaskan
Beritahukan
Bertandatangani
Berlipatganda
Tandatangani
Bekerjasama
tandatangankan
Digarisbawah
Berterimakasih
Tersebarluas
Terimakasihi
13. Bentuk kebahasaan yang salah akibat pemahaman morfofonemik yang salah.
Memproduksi
Memerhatiakn
Memromosikan
Mempesona
Memproses
Mengkomunikasikan
Memraktikkan
Mengkoordinir
Memrakarsai
Memunyai
17. Bentuk ‘ke’ harus ditulis dengan kata yang mengikutinya apabila diikuti kata bilangan
atau numeralia. Selain itu, ‘ke’ juga harus ditulis serangakai dengan ‘luar’ kalau merupakan
kebalikan dari kata ‘masuk’. Adapaun ‘ke’ pada ‘ke luar’ ditulis tidak serangkai dengan
bentuk itu merupakan lawan dari bentuk ‘ke dalam’.
Kedua
Ketiga
Keempat
Keluar
Kekasih
Ketua
Kemari
18. Bentuk ‘pun’ harus ditulis serangkai dengan kata yang mendahuluinya, apabila ‘pun’
tersebut sudah merupakan satu kesatuan dengan bentuk kebahasaan yang mendahuluinya.
Adapun ‘pun’ harus ditulis terpisah dengan kata yang mendahuluinya, apabila ‘pun’
berfungsi ‘menyangatkan’ atau ‘mengeraskan makna’. Bentuk ‘sekalipun’ bermakna ‘sekali
saja’ atau ‘meskipun sekali’ atau ‘walaupun sekali’. Penulisan ‘sekali pun’ dalalm makna
yang terakhir ini harus ditulis tidak serangkai.
19. Kata gabung yang salah satu bagiannya tidak dapat berdiri sendiri sebagai kata harus
dituliskan serangkai dengan bentuk kebahasaan yang mengikutinya. Misal: intrakurikuler,
ekstrakurikuler, perikemanusiaan.
20. Kata gabung dasar yang bagian-bagiannya tidak sangat erat hubungannya. Sehingga
tidak dapat disatukan menjadi satu. Misal: tanggung jawab, kerja sama, daya guna.
21.Bentuk ‘sebagai berikut’ dalam penggunaannya dapat diakhiri dengan tanda titik (.)
digunakan apabila yang menyertai adalah kalimat-kalimat, dan dapat pula diakhiri dengan
tanda titik dua (:) digunakan apabila perincian yang menyertainya adalah kata, frasa, atau
klausa.
Ihwal bentuk ‘adalah’, ‘ialah’, ‘yakni’, dan ‘yaitu’.
Bentuk-bentuk kebahasaan itu dalam perincian yang bersifat mendatar atau horizontal,
maupun vertikal, tidak perlu diikuti dengan tanda titik dua (:).
Misal:
a. Tiga persoalan yang harus diatasi secepatnya, yakni (a) sulit dijangkau, (b) sulit
dicari, (c) sulit ditemukan.
b. Tiga persoalan mendasar yang harus diatasi secepatnya, yakni
a. Sulit dijangkau,
b. Sulit dicari, dan
c. Sulit ditemukan.
Bentuk ‘ialah’ digunakan untuk mendefinisikan sesuatu, sedangkan bentuk ‘adalah’
digunakan untuk menegaskan hubungan subjek kalimat dengan unsur penjelas yang
mengikutinya.
23. Ihwal tanda hubung (-) dan tanda pisah (−)
Tanda hubung (-) digunakan dalam bentuk ulang dan dituliskan diantara bentuk yang
diulang tersebut, sedangkan tanda pisah (−) digunakan untuk menyatakan maksud ‘hingga’
atau ‘sampai dengan’.
24. Ihwal bentuk ‘tiap-tiap’, ‘setiap’, ‘masing-masing’, ‘sesuatu’ dan ‘seseorang’. Diantara
bentuk-bentuk kebahasaan di atas itu, yang dapat diikuti oleh nomina adalah ‘tiap-tiap’ atau
‘setiap’.
25. Ihwal ‘sementara’, ‘sementara itu’, dan ‘adapun’.
Bentuk ‘sementara itu’ dan ‘adapun’ berkedudukan sebagai konjungsi antar kalimat
.konjungsi antar kalimat demikian itu harus ditulis dengan tanda koma yang menyertainya.
Bentuk ‘sedangkan’ adalah konjungsi intrakalimat, bukan antar kalimat. Contoh-contoh
berikut ini salah dan harus dihindari pemakaiannya.
a. Sementara kalangan akan segera datang menyusul.
b. Adapun masalah-masalah kelembagaan cenderung diabaikan.
c. Sementara para mahasiswa tidak diperkenankan masuk kampus.
Bentuk kebahasaan yang benar adalah sebagai berikut:
a. Beberapa kalangan akan segera datang menyusul.
b. Adapun masalah-masalah kelembagaan cenderung diabaikan.
c. Sementara itu, para mahasiswa tidak diperkenankan masuk kampus.
26. Ihwal ‘seperti’, ‘misalnya’, ‘contohnya’, ‘antara lain’
Bentuk-bentuk kebahasaan ini dianggap sebagai konjungsi yang tugasnya adalah
memerinci sekaligus pembatas. Contoh: Lambatnya mengatasi masalah itu dipengaruhi
oleh banyak hal, misalnya terbatasnya keuangan, kurangnya sumber daya manusia.
1. Simpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa buku ini terdiri dari tujuh bab.
a. Bab 1 jati diri bangsa yang di dalamnya membahas tentang arti bahasa, fungsi
bahasa, dan ragam bahasa, dengan ini diharapkan pembaca agar mengetahui apa arti
bahasa yang sebenarnya.
b. Bab 2 ihwal diksi yang di dalamnya membahas peranti-peranti diksi, ihwal
peristilahan, aneka kasus diksi.
c. Bab 3 ihwal kalimat berisi tentang kelas kata, frasa, klausa, dan kalimat, dengan
mempelajari bab ini pembaca akan diperkenalkan bagaimana cara membuat kalimat yang
efektif.
d. Bab 4 ihwal paragraf di dalamnya membahas pengertian paragraf itu sendiri, ide
utama dan kalimat utama, kalimat penjelas, kalimat penegas, unsur-unsur pengait paragraf,
prinsip kepaduan bentuk dan makna paragraf, jenis dan cara pengembangan paragraf.
e. Bab 5 ihwal karya ilmiah akademik di dalamnya membahas karangan ilmiah, asas-
asas karangan ilmiah, tema karangan, judul karangan, kalimat tesis, kerangka karangan,
model-model berpikir, ihwal latar belakang masalah dan rumusan masalah, ihwal tujuan
penulisan, ihwal hipotesis, ihwal abstrak, cara kerja penyusunan karangan ilmiah, empat
langkah penyediaan data, aspek-aspek dalam analisis data, berpikir linear dalam karangan
ilmiah.
f. Bab 6 ihwal resensi di dalamnya membahas pengertian, pertimbangan dalam
meresensi, prinsip resensi, unsur-unsur resensi.
g. Bab 7 ihwal teknis ejaan, dalam bab ini dibahas tentang teknis-teknis ejaan yang benar
dan sesuai dengan ejaan yang telah disempurnakan.
Daftar Pustaka
NIM : 182053
Tugas : merangkum buku Bahasa Indonesia Keilmuan untuk Perguruan Tinggi oleh
Drs.H.khaerudin Kurniawan, M.Pd. tahun 2012.
Bahasa indonesia sebagai salah satu perwujudan budaya bangsa memiliki sejarah
perkembangan yang unik, yakni lahir mendahului kemerdekaan bangsa Indonesia. Bahasa
Indonesia telah digunakan sebagai salah satu sarana meletakkan dasar kesadaran kolektif
bangsa Indonesia terhadap nilai-nilai persatuan dan kesatuan bangsa. Sejarah
perkembangan bahasa Indonesia tidak terlepas dari perkembangan bahasa Melayu yang
disesuaikan dengan kebudayaan masyarakat dan perkembangan zaman. Sejak abad VII,
bahasa Melayu mempunyai peranan penting dalam pergaulan antar suku bangsa di seluruh
nusatara. Bahasa Melayu (kuno) dipakai sebagai bahasa resmi oleh kerajaan Sriwijaya.
Bahasa yang digunakan bahasa perhubungan ( lingua franca) komunikasi. Oleh karena itu,
bahasa Melayu mempunyai daerah penyebaran yang sangat luas melalui komunikasi,
perdagangan, penyiaran agama dan lain-lain.
Bahasa Melayu memiliki watak yang sesuai dengan aspirasi bahasa Indonesia yang
berjuang ke arah kehidupan masyarakat bangsa yang demokratis dan egaliter. Bahasa
daerah yang satu dengan yang lain tidak terjadi persaingan bahasa menjadi dasar
pembentukan bahasa Indonesia untuk mencapai kedudukan sebagai bahasa nasional.
Perkembangan bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan Indonesia atau bahasa nasional
akhrnya terlepas dari perkembangan bahasa Melayu sebagai bahasa daerah.
Kedudukan bahasa Indonesia terdiri dari bahasa nasional (persatuan) dan bahasa
negara (resmi) tercantum dalam butir ketiga sumpah pemuda “ menjunjung bahasa
persatuan, bahasa Indonesia” tercetus pada tangal 28 Oktober 1928 serta dalam UUD 1945
Bab XV pasal 36 yang menyatakan “ bahasa negara ialah bahasa Indonesia. Dalam
kedudukan sebagai bahasa negara bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa resmi
kenegaraan, bahasa pengantar dalam pendidikan, alat perhubungan pada tingkat nasional
untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional serta
kepentingan pemerintah dan alat pembangunan kebudayaan, ilmu pengetahuan dan
teknologi (Halim, 1976:23-24).
Nama : Teviani Dwi Nuryani
Nim : 182079
Kelas : 3B Kebidanan
1. Pengantar
Buku dengan judul “Bahasa indonesia untuk perguruan tinggi” karya Dr. R.
KUNJANA RAHARDI, M. Hum. sangatlah penting untuk dipelajari, khususnya bagi
mahasiswa untuk mempermudah memahami bahasa indonesia secara baik dan benar
sesuai dengan kaidah ejaan yang telah disempurnakan. Buku ini dicetak oleh Penerbit
Erlangga pada tahun 2009.
Buku ini disusun dalam 7 bab, yang masing-masing diperinci menjadi sub-subbab
yang lebih terperinci. Di awal setiap bab disajikan rumusan kompetensi dasar dan
rumusan standar kompetensi untuk para mahasiswa mempelajari isi setiap isi bab.
4.2 Frasa
Frasa atau kelompok kata adalah satuan gramatikal yang berupa gabungan kata
dan hubungan kata itu bersifat nonprediktif. Yang perlu digaris bawahi dalam
pembahasan frasa ialah hubungan antar kata dan kata yang lain di dalam kata
tersebut.
Secara umum, frasa atau kelompok kata itu dapat dibedakan menjadi dua, yakni
frasa eksosentris dan frasa endosentris. Frasa eksosentris tidak memiliki perilaku
sintaksis yang sama dengan semua komponennya, contoh : dengan sabar, dengan
baik, dari rumah, pada hari. Frasa endosentris ialah frasa yang seluruh bagiannya
memiliki perilaku sintaksis yang sama dengan perilaku salah satu komponen tersebut.
Frasa endosentris dapat dibedakan menjadi dua, yakni frasa endosentris tunggal dan
frasa endosentris jamak. Contoh frasa endosentris tunggal ialah fendi anak bapak
kunjana yang masaih kecil itu senang membuat puisi. Contoh frasa endosentris jamak
ialah saya tetap mencintainya, baik kaya maupun miskin.
Frasa endosentris tunggal dapat dibedakan menjadi menjadi frasa berikut ini, yaitu :
a. Frasa nominal
Frasa yang terdiri dari nomina sebagai induk atau sebagai pusat dan unsure lain
yang yang berupa adjektifa, verba, numeralia, dan lain-lain. Contoh : kursi rotan,
kawan seperjuangan, sosok yang terpandang, wanita cantik jelita.
b. Frasa verba
Frasa verba merupakan gabungan antara verba dengan verba, verba dengan
adverbia atau yang lainnya. Contoh :pergi ke jakarta, berangkat tidur, tidur dengan
nyenyak.
c. Frasa adjektiva
Frasa adjektiva ialah frasa yang merupakan gabungan antara adjektifa dengan
komponen yang lainnya, sedangkan frasa yang lainnya berfungsi sebagai
penjelas. Contoh : panas terik, agak sulit, cantik sekali, cerdik cendekia.
d. Frasa numeralia
Frasa numeralia ialah frasa yang merupakan gabungan antara numeralia dengan
unsur-unsur lainnya. Di dalam konstruksi frasa itu, numeralialah yang menjadi
induk atau frasanya. Contoh : dua puluh, dua ekor, dua lusin.
e. Frasa preposisional
Frasa preposisional ialah frasa yang induknya adalah preposisi. Contoh : dari,
oleh, dan untuk.
4.3 Klausa
a. Pengertian klausa
Klausa adalah suatu kebahasaan yang merupakan gabungan kelompok kata
yang setidaknya terdiri dari atas subjek dan predikat. Klausa bersifat predikatif
dan berpotensi untuk dijadikan kalimat.
b. Klausa pada kalimat majemuk setara
Klausa-klausa didalam kalimat majemuk setara masing-masing dapat berdiri
sendiri sebagai kalimat.
Hubungan antar kalimat di dalam kalimat majemuk setara dapat dibedakan
menjadi tiga, yakni :
hubungan koordinatif yang sifatnya aditif
hubungan koordinatif yang sifatnya adversative
hubungan koordinatif yang sifatnya alternative
Jenis yang pertama bersifat menambahkan, bersifat menjumlahkan, dan lazimnya
menggunakan konjungsi dan, serta, bersama. Jenis yang kedua ialah adversatif,
arinya bertentangan. Konjungsi yang lazim digunakan ialah tetapi, melainkan, dan
sedangkan. Jenis yang ketiga ialah bersifat alternative atau pilihan, maksudnya
ialah bahwa kalausa yang dihubungkan itu merupakan pilihan bagi klausa yang
disampaikan sebelumnya. Konjungsi yang lazim digunakan ialah atau atau
ataukah seperti pada kalimat berikut, “Aku harus tetap berbohong untuk
menyimpan rahasia, ataukah harus berterus terang saja?”
c. Klausa pada kalimat majemuk bertingkat
Hubungan antar antar klausa pada kalimat majemuk bertingkat bersifat
subordinatif , maksunya klausa yang satu berinduk atau menjadi sub bagi klausa
yang lainnya. Klausa yang satu menjadi atasan, dan klausa yang lainnya menjadi
bawahan, atau klausa yang satu menjadi induk, sedangkan klausa yang lainnya
menjadi anaknya. Hubungan klausa demikianlah yang disebut dengan hubungan
yang bersifat hierarkis atau subordinatif.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sebagian kalimat majemuk
bertingkat yang diawali oleh konjungsi subordinatif itu pasti adalah anak
kalimatnya, bukan induk kalimatnya. Konjungsi itu memiliki hubungan makna yang
bermacam-macam. Ada konjungsi yang menyatakan sebab, seperti karena,
sebab, lantaran,. Bentuk olehk karea, karenanya, karena itu, oleh karena itu,
jangan pernah dianggap sebagai konjungsi subordinatif dalam bahasa Indonesia.
4.4 Kalimat
a. Pengertian kalimat
Kalimat dapat dipahami sebagai satuan bahasa terkecil yang dapat
digunakan untuk menyampaikan ide atau gagasan. Pakar berbeda menyatakan
bahwa kalimat adalah satuan bahasa yang secara relative berdiri sendiri,
mempunyai intonasi akhir, dan secara actual dan potensial terdiri atas klausa.
Jadi, tidak salah pula kalau di katakan bahwa sesungguhnya sebuah kalimat
membicarakan hubungan antara klausa yang satu dan yang lainnya.
b. Unsur-unsur kalimat
1. Subjek
Unsur pembentuk kalimat yang harus disebut pertama disini adalah subjek. Dalam
kalimat, subjek tidak selalu berada di depan. Ada kalanya berada di belakang
predikat, teruama kalimat yang berdiatesis pasif.
Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mengetahui kebera subjek
kalimat.
Cara yang pertama adalah dengan menggunakan pertanyaan, siapa + yang +
predikat apabila subjek itu adalah subjek orang, atau apa + yang + predikat
bilamana yang menjadi subjek itu bukan orang. Contoh : Tuti sudah dikawinkan
dengan pria pilihan ayahnya. Jika formulasi demikian diterapkan, maka maka
pertanyaannya akan berbunyi “siapa yang sudah dikawinkan dengan pria pilihan
ayahnya? “. Jawabannya adalah “Tuti”. Maka, subjek kaliamat itu adalah “Tuti”.
2. Predikat
Sama-sama menjadi unsure dalam sebuah kalimat, predikat memiliki karakter
yang tidak sama dengan subjek. Akan tetapi, kejatian sebuah subjek menjadi jelas
juga karena ada subjek kalimatnya.
Cara yang paling mudah untuk mengidentifikasi predikat kalimat adalah dengan
menggunakan formula pertanyaan “bagaimana atau mengapa”. Bilamana
dicermati dari dimensi maknanya, bagian kalimat yang memberikan informasi
ihwal pertanyaan “bagaimana dan mengapa” adalah predikat itu. Contoh : dia
bukan mahasiswa kampus itu lagi sejak 2008. Jadi jelas, bagian kalimat yang
mengikuti penegasi “tidak” dan “bukan” inilah predikat kalimatnya.
3. Objek
Dalam banyak hal dapat dikatakan bahwa objek kalimat berlawanan dengan
subjek kalimat. Objek kalimat hanya dimungkinkan hadir apabila predikat kalimat
tersebut merupakan verba atau kata kerja yang sifatnya transitif.
Dengan demikian, dapat dikatakan pula bahwa objek kalimat itu tidak akan hadir
di dalam kalimat apabila :
a. Tidak terdapat dalam kalimat pasif
b. Kalimat itu merupakan kalimat dengan
verba instransitif.
Contoh :
Fendi dilahirkan di yogjakarta
Bukunya bernilai sangat tinggi
4. Pelengkap
Dalam kalimat pasif, pelengkap tidak dapat menempati fungsi subjek. Pada posisi
yang sama, objek dapat menempatinya. Maka inilah sesungguhnya perbedaan
mendasar antara objek dan pelengkap.
Contoh :
Ibu member saya baju baru
Fendi berjualan buku cerita.
5. Keterangan
Keterangan adalah unsure kalimat yang sifatnya tidak wajib hadir. Berbeda
dengan subjek, predikat, objek, dan pelengkap yang sifatnya wajib hadir. Adapun
fungsinya adalah untuk menambahkan informasi pada kalimat itu.
c. Sruktur kalimat
1. Struktur kalimat dasar
Kalimat dasar,atau kalimat tunggal, atau kalimat sederhana ialah kalimat yang
hanya memiliki satu subjek dan satu predikat. Kalimat dasar dapat berwujud tiga
macam, yaitu kalimat tunggal murni, seperti pada bentuk, “Adik tidur”. Kailmat
dasar dapat juga berupa kalimat yang diperluas dengan keterangan tertentu,
misalnya adik menangis di belakan kebun. Sekalipun bentuk bahasanya panjang,
karena kalimat tersebut hanya terdiri dari satu subjek dan predikat.
2. Stuktur kalimat majemuk
Kalimat majemuk jenis yang pertama adalah kalmiat majemuk setara. Konstruksi
kalimat majemuk setara sesungguhnya sangat sederhana, yakni hanya beberapa
kalimat dasar atau kalimat tunggal yang kemudian digabungkan dengan konjungsi
atau kata penghubung.
Adapun konjungsinya ialah dan, atau, sedangkan, tetapi, dan melainkan. Contoh:
adik sedang tidur, sedangkan ibu sedang memasak di dapur.
d. Kalimat efektif
1. Definisi kalimat efektif
Kalimat efktif adalah kalimat yang tidak cukup dipahami hanya sebagai
satuan kebhasaan terkecil yang dapat digunakan untuk mengungkapkan ide atau
gagasan yang utuh.
Demikian pula dalam konteks tuturan lisan, sebuah tuturan yang efektif itu harus
dapat membangkitkan kembali gagasan yang dimiliki oleh pendengar.
2. Prinsip-prinip efektifitas kalimat
Prinsip utama yaitu bahwa kalimat itu harus disusun dengan
mempertimbangkan dan memperhitungkan kesepadanan bentuk atau
kesepadanan setrukturnya. Contoh : adik kecil yang menangis.
7.3 Metodologi
Langkah pertama yang harus dilakukan dalalm kajian ini adalah menyediakan
data, sehingga data itu benar-benar siap untuk dikenai metode dan teknik-teknik
analisis data. Data penelitian yang dimaksud pada dasarnya merupakan bahan jadi
penelitian, bukan bahan mentah penelitian. Namun sebelum melakukukan analisis,
data yang telah disediakan dengan sungguh baik kemudian dikelompokkan terlebih
dahulu. Klasifikasi data dilakukan untuk mendapatkan tipe-tipe data, yang
selanjutnya mempermudah proses analisis data pada tahapan berikutnya.
Untuk penyediaan data digunakan 3 macam metode, yaitu : metode simak,
metode cakap, dan metode survey. Metode simak lazim disebut metode pngamatan
atau observasi. Metode cakap dapat pula disejajarkan dengan metode wawancara.
Masing-maing metode penyediaan data itu didalam penerapannya masih dijabarkan
kedalam tekni-teknik penyediaan data yang menjadi bawahannya.
7.4 Pembahasan
Setelah menganalisis data, masuk pada tahap pembahasan. Pembahasan disini
membahas hasil jadi penelitian. Perlu di garis bawahi, bahwa membahas suatu
penelitian harus berdasarkan fakta, tidak boleh di karang sendiri, karena dari
penelitian itu butuh bukti fakta.
7.5 Simpulan
Sejalan dengan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
kerangka teori, dan pembahasan datanya, maka hal-hal berikut dapat dinyatakan
sebagai simpulan. Simpulan disini hanya mengambil garis besarnya saja.
b. Bentuk yang didahului dengan tanda koma (,) dalam penulisannya dan letaknya
dalam kalimat.
…, padahal
…, sedangkan
…, seperti
…, misalnya
…, contohnya
…, antara lain
…, di antaranya
…, yaitu
…, yakni
…, ialah
…, adalah
…, pasalnya
i. Bentuk- bentuk yang keliru karena merupakan hasil dari analogi nomina dan verba
yang tidak benar.
Koordinir Mengorganisir
Mengkoordinir Terorganisir
Dikoordinir Dramatisir
Terkoordinir Mendramatisir
Legalisir Didramatisir
Dilegalisir Realisirs
Proklamir dipolitisir
j. Bentuk-bentuk kebahasaan yang salah karena ketidakcermatan dalam penulisan.
Pungkir kusus
Dipungkiri Ihlas
Mempungkiri Akhli
Jadual Husus
Gladi Apotik
Gladi resik Apotiker
Panutan Fikiran
Antri Difikirkan
Mengantri Faham
Prosen Difahami
Diprosenkan Kwitansi
Prosentase dikwitansikan
k. Bentuk kebahasaan yang salah karena adanya anggapan yang salah ihwal
penulisan gabungan kata.
Beritahu tanggungjawab
Lipatganda Terimakasih
Kerjasama Keretaapi
Garisbawah Rumahsakit
Sebarluas Suratkabar
Tandatangan
l. Bentuk jadian yang salah akibat adanya anggapan gabungan kata yang salah.
Memberitahu Sebarluaskan
Beritahukan Bertandatangani
Berlipatganda Tandatangani
Bekerjasama tandatangankan
Digarisbawah Berterimakasih
Tersebarluas Terimakasihi
q. Bentuk ‘ke’ harus ditulis dengan kata yang mengikutinya apabila diikuti kata
bilangan atau numeralia. Selain itu, ‘ke’ juga harus ditulis serangakai dengan ‘luar’
kalau merupakan kebalikan dari kata ‘masuk’. Adapaun ‘ke’ pada ‘ke luar’ ditulis
tidak serangkai dengan bentuk itu merupakan lawan dari bentuk ‘ke dalam’.
Kedua
Ketiga
Keempat
Keluar
Kekasih
Ketua
Kemari
r. Bentuk ‘pun’ harus ditulis serangkai dengan kata yang mendahuluinya, apabila
‘pun’ tersebut sudah merupakan satu kesatuan dengan bentuk kebahasaan yang
mendahuluinya. Adapun ‘pun’ harus ditulis terpisah dengan kata yang
mendahuluinya, apabila ‘pun’ berfungsi ‘menyangatkan’ atau ‘mengeraskan
makna’. Bentuk ‘sekalipun’ bermakna ‘sekali saja’ atau ‘meskipun sekali’ atau
‘walaupun sekali’. Penulisan ‘sekali pun’ dalalm makna yang terakhir ini harus
ditulis tidak serangkai.
s. Kata gabung yang salah satu bagiannya tidak dapat berdiri sendiri sebagai kata
harus dituliskan serangkai dengan bentuk kebahasaan yang mengikutinya. Misal:
intrakurikuler, ekstrakurikuler, perikemanusiaan.
t. Kata gabung dasar yang bagian-bagiannya tidak sangat erat hubungannya.
Sehingga tidak dapat disatukan menjadi satu. Misal: tanggung jawab, kerja sama,
daya guna.
u. Bentuk ‘sebagai berikut’ dalam penggunaannya dapat diakhiri dengan tanda titik (.)
digunakan apabila yang menyertai adalah kalimat-kalimat, dan dapat pula diakhiri
dengan tanda titik dua (:) digunakan apabila perincian yang menyertainya adalah
kata, frasa, atau klausa.
Ihwal bentuk ‘adalah’, ‘ialah’, ‘yakni’, dan ‘yaitu’.
Bentuk-bentuk kebahasaan itu dalam perincian yang bersifat mendatar atau
horizontal, maupun vertikal, tidak perlu diikuti dengan tanda titik dua (:).
Misal:
1. Tiga persoalan yang harus diatasi secepatnya, yakni (a) sulit dijangkau, (b)
sulit dicari, (c) sulit ditemukan.
2. Tiga persoalan mendasar yang harus diatasi secepatnya, yakni
3. Sulit dijangkau,
4. Sulit dicari, dan
5. Sulit ditemukan.
Bentuk ‘ialah’ digunakan untuk mendefinisikan sesuatu, sedangkan bentuk
‘adalah’ digunakan untuk menegaskan hubungan subjek kalimat dengan unsur
penjelas yang mengikutinya.
v. Ihwal tanda hubung (-) dan tanda pisah (−)
Tanda hubung (-) digunakan dalam bentuk ulang dan dituliskan diantara bentuk
yang diulang tersebut, sedangkan tanda pisah (−) digunakan untuk menyatakan
maksud ‘hingga’ atau ‘sampai dengan’.
w. Ihwal bentuk ‘tiap-tiap’, ‘setiap’, ‘masing-masing’, ‘sesuatu’ dan ‘seseorang’.
Diantara bentuk-bentuk kebahasaan di atas itu, yang dapat diikuti oleh nomina
adalah ‘tiap-tiap’ atau ‘setiap’.
x. Ihwal ‘sementara’, ‘sementara itu’, dan ‘adapun’.
Bentuk ‘sementara itu’ dan ‘adapun’ berkedudukan sebagai konjungsi antar
kalimat .konjungsi antar kalimat demikian itu harus ditulis dengan tanda koma
yang menyertainya. Bentuk ‘sedangkan’ adalah konjungsi intrakalimat, bukan
antar kalimat. Contoh-contoh berikut ini salah dan harus dihindari pemakaiannya.
1. Sementara kalangan akan segera datang menyusul.
2. Adapun masalah-masalah kelembagaan cenderung diabaikan.
3. Sementara para mahasiswa tidak diperkenankan masuk kampus.
Bentuk kebahasaan yang benar adalah sebagai berikut:
1. Beberapa kalangan akan segera datang menyusul.
2. Adapun masalah-masalah kelembagaan cenderung diabaikan.
3. Sementara itu, para mahasiswa tidak diperkenankan masuk kampus.
y. Ihwal ‘seperti’, ‘misalnya’, ‘contohnya’, ‘antara lain’
Bentuk-bentuk kebahasaan ini dianggap sebagai konjungsi yang tugasnya adalah
memerinci sekaligus pembatas. Contoh: Lambatnya mengatasi masalah itu
dipengaruhi oleh banyak hal, misalnya terbatasnya keuangan, kurangnya sumber
daya manusia.