Anda di halaman 1dari 15

1

BAB I
KEBAHASAAN

Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesia sebagaimana disebutkan dalam
Undang-Undang Dasar RI 1945, Pasal 36. Ia juga merupakan bahasa persatuan bangsa Indonesia
sebagaimana disiratkan dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.
Bahasa Indonesia diresmikan pada kemerdekaan Indonesia tahun 1945. Bahasa Indonesia
merupakan bahasa dinamis yang hingga sekarang terus menghasilkan kata-kata baru, baik melalui
penciptaan, maupun penyerapan dari bahasa daerah dan asing. Bahasa Indonesia adalah dialek
baku dari bahasa Melayu yang pokoknya dari bahasa Melayu Riau sebagaimana diungkapkan oleh
Ki Hajar Dewantara dalam Kongres Bahasa Indonesia I tahun 1939 di Solo, Jawa Tengah, "jang
dinamakan 'Bahasa Indonesia' jaitoe bahasa Melajoe jang soenggoehpoen pokoknja berasal dari
'Melajoe Riaoe', akan tetapi jang soedah ditambah, dioebah ataoe dikoerangi menoeroet
keperloean zaman dan alam baharoe, hingga bahasa itoe laloe moedah dipakai oleh rakjat di
seloeroeh Indonesia; pembaharoean bahasa Melajoe hingga menjadi bahasa Indonesia itoe
haroes dilakoekan oleh kaoem ahli jang beralam baharoe, ialah alam kebangsaan Indonesia".
atau sebagaimana diungkapkan dalam Kongres Bahasa Indonesia II 1954 di Medan, Sumatra
Utara, "...bahwa asal bahasa Indonesia ialah bahasa Melaju. Dasar bahasa Indonesia ialah
bahasa Melaju jang disesuaikan dengan pertumbuhannja dalam masjarakat Indonesia".
Secara sejarah, bahasa Indonesia merupakan salah satu dialek temporal dari bahasa Melayu
yang struktur maupun khazanahnya sebagian besar masih sama atau mirip dengan dialek-dialek
temporal terdahulu seperti bahasa Melayu Klasik dan bahasa Melayu Kuno. Secara sosiologis,
bolehlah kita katakan bahwa bahasa Indonesia baru dianggap "lahir" atau diterima keberadaannya
pada tanggal 28 Oktober 1928. Secara yuridis, baru tanggal 18 Agustus 1945 bahasa Indonesia
secara resmi diakui keberadaannya.

1. Sejarah
Bahasa Indonesia adalah varian bahasa Melayu, sebuah bahasa Austronesia yang
digunakan sebagai lingua franca di Nusantara kemungkinan sejak abad-abad awal penanggalan
modern. Bentuk bahasa sehari-hari ini sering dinamai dengan istilah Melayu Pasar. Jenis ini
sangat lentur sebab sangat mudah dimengerti dan ekspresif, dengan toleransi kesalahan sangat
besar dan mudah menyerap istilah-istilah lain dari berbagai bahasa yang digunakan para
penggunanya.
Bentuk yang lebih resmi, disebut Melayu Tinggi yang pada masa lalu digunakan oleh
kalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatera, Jawa, dan Semenanjung Malaya. Bentuk bahasa
ini lebih sulit karena penggunaannya sangat halus, penuh sindiran, dan tidak seekspresif Bahasa
Melayu Pasar.
Pemerintah kolonial Belanda melihat kelenturan Melayu Pasar dapat mengancam
keberadaan bahasa dan budaya. Belanda berusaha meredamnya dengan mempromosikan Bahasa
Melayu Tinggi, di antaranya dengan penerbitan karya sastra dalam Bahasa Melayu Tinggi oleh
Balai Pustaka. Tetapi Bahasa Melayu Pasar sudah digunakan oleh banyak pedagang dalam
berkomunikasi.

2. Melayu Kuno
Penyebutan pertama istilah "Bahasa Melayu" sudah dilakukan pada masa sekitar tahun
683-686 M, yaitu angka tahun yang tercantum pada beberapa prasasti berbahasa Melayu Kuno
dari Palembang dan Bangka. Prasasti-prasasti ini ditulis dengan aksara Pallawa atas perintah raja
Sriwijaya, kerajaan maritim yang berjaya pada abad ke-7 sampai ke-12. Wangsa Syailendra juga
meninggalkan beberapa prasasti Melayu Kuno di Jawa Tengah. Keping Tembaga Laguna yang
ditemukan di dekat Manila juga menunjukkan keterkaitan wilayah itu dengan Sriwijaya.
Berbagai batu bertulis (prasasti) yang ditemukan itu seperti:
1. Prasasti Kedukan Bukit di Palembang, tahun 683 M
2. Prasasti Talang Tuo di Palembang, tahun 684 M
3. Prasasti Kota Kapur di Bangka Barat, tahun 686 M
4. Prasasti Karang Brahi antara Jambi dan Sungai Musi, tahun 688 M
2

Yang kesemuanya beraksara Pallawa dan bahasanya bahasa Melayu Kuno memberi petunjuk
bahwa bahasa Melayu dalam bentuk bahasa Melayu Kuno sudah dipakai sebagai alat komunikasi
pada zaman Sriwijaya.
Prasasti-prasasti lain yang bertulis dalam bahasa Melayu Kuno juga terdapat di,
1. Jawa Tengah: Prasasti Gandasuli, tahun 832 M, dan Prasasti Manjucrigrha
2. Bogor, Prasasti Bogor, tahun 942 M

3. Bahasa Indonesia
Bahasa Melayu di Indonesia kemudian digunakan sebagai lingua franca (bahasa
pergaulan), namun pada waktu itu belum banyak yang menggunakannya sebagai bahasa ibu.
Bahasa ibu masih menggunakan bahasa daerah yang jumlahnya mencapai 360 bahasa.
Pada pertengahan 1800-an, Alfred Russel Wallace menuliskan di bukunya Malay
Archipelago bahwa "penghuni Malaka telah memiliki suatu bahasa tersendiri yang bersumber dari
cara berbicara yang paling elegan dari negara-negara lain, sehingga bahasa orang Melayu adalah
yang paling indah, tepat, dan dipuji di seluruh dunia Timur. Bahasa mereka adalah bahasa yang
digunakan di seluruh Hindia Belanda."
Jan Huyghen van Linschoten di dalam bukunya Itinerario menuliskan bahwa "Malaka
adalah tempat berkumpulnya nelayan dari berbagai negara. Mereka lalu membuat sebuah kota dan
mengembangkan bahasa mereka sendiri, dengan mengambil kata-kata yang terbaik dari segala
bahasa di sekitar mereka. Kota Malaka, karena posisinya yang menguntungkan, menjadi bandar
yang utama di kawasan tenggara Asia, bahasanya yang disebut dengan Melayu menjadi bahasa
yang paling sopan dan paling pas di antara bahasa-bahasa di Timur Jauh."
Pada awal abad ke-20, bahasa Melayu pecah menjadi dua. Di tahun 1901, Indonesia di
bawah Belanda mengadopsi ejaan Van Ophuijsen sedangkan pada tahun 1904 Malaysia di bawah
Inggris mengadopsi ejaan Wilkinson.
Bahasa Indonesia secara resmi diakui sebagai bahasa nasional pada saat Sumpah Pemuda
tanggal 28 Oktober 1928. Penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional atas usulan
Muhammad Yamin, seorang politikus, sastrawan, dan ahli sejarah. Dalam pidatonya pada Kongres
Nasional kedua di Jakarta, Yamin mengatakan bahwa : "Jika mengacu pada masa depan bahasa-
bahasa yang ada di Indonesia dan kesusastraannya, hanya ada dua bahasa yang bisa diharapkan
menjadi bahasa persatuan yaitu bahasa Jawa dan Melayu. Tapi dari dua bahasa itu, bahasa
Melayulah yang lambat laun akan menjadi bahasa pergaulan atau bahasa persatuan."
Selanjutnya perkembangan bahasa dan kesusastraan Indonesia banyak dipengaruhi oleh
sastrawan Minangkabau, seperti Marah Rusli, Abdul Muis, Nur Sutan Iskandar, Sutan Takdir
Alisyahbana, Hamka, Roestam Effendi, Idrus, dan Chairil Anwar. Sastrawan tersebut banyak
mengisi dan menambah perbendaharaan kata, sintaksis, maupun morfologi bahasa Indonesia.

4. Bahasa
Bahasa meliputi dua bidang:
1. bentuk (bunyi/arus ujaran) yang dihasilkan oleh alat ucap
2. arti atau makna, yang tersirat dalam arus bunyi
Batasan Bahasa adalah alat komunikasi antar anggota masyarakat, berupa lambang bunyi
suara yang bermakna, yang dihasilkan oleh alat – ucap manusia.

5. Bentuk dan Makna


Bentuk bahasa adalah bagian dari bahasa yang dapat diserap pancaindra entah dengan
mendengar atau membaca.
Bentuk bahasa dibagi menjadi dua bagian:
1. Unsur Segmental
Bagian dari bentuk bahasa yang dapat dibagi atas bagian-bagian (segmen-segmen) yang lebih
kecil. Unsus segmental bahasa secara hirarkis dari yang paling besar hingga yang paling kecil
adalah : Wacana, kalimat, klausa, kata, morfem, suku kata, dan fonem.
2. Unsur Suprasegmental
Unsur suprsegmental bahasa terdiri dari intonasi dan unsur-unsur bawahannya, yang
kehadirannya bergantung dari unsur segmental bahasa.
Unsur intonasi adalah tekanan, nada, durasi, perhentian.
3

Makna adalah isi yang terkandung di dalam bentuk-bentuk unsur segmental dan
suprasegmental, yang dapat menimbulkan reaksi tertentu. Reaksi ini dapat berupa makna leksikal,
makna sintaksis, dan makna wacana.

7. Fungsi Bahasa
1. Fungsi Secara Umum
a. bahasa untuk tujuan praktis, yaitu untuk mengadakan antar-hubungan dalam pergaulan
sehari-hari.
b. bahasa untuk tujuan artistik, yaitu manusia mengolah dan mempergunakan bahasa itu
dengan cara seindah-indahnya guna pemuasan rasa estetis manusia.
c. bahasa menjadi kunci mempelajari pengetahuan-pengetahuan lain.
d. bahasa untuk tujuan filologis, yaitu untuk mempelajari naskah-naskah tua dengan tujuan
menyelediki latar belakang sejarah manusia, serta perkembangan bahasa itu sendiri.

2. Fungsi Secara Khusus


a. sebagai alat untuk menjalankan administrasi negara
Fungsi ini tampak dalam surat-menyurat resmi, dalam peraturan-peraturan (PP), dan
undang-undang, dalam pidato kenegaraan dan pertemuan resmi
b. sebagai alat pemersatu pelbagai suku bangsa di Indonesia.
c. Sebagai alat pembinaan kebudayaan nasional (bahasa sebagai mediumnya)

8. Kedudukan dan Fungsi Bahasa


Bahasa Indonesia berkedudukan sebagai bahasa negara dan bahasa nasional. Sebagai
bahasa negara dituangkan di dalam pasal 36 UUD 1945, ia telah menjadi bahasa resmi negara
Indonesia. Sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai:
1. lambang kebanggaan nasional,
2. lambang identitas nasional,
3. alat pemersatu berbagai masyarakat yang berbeda-beda latar belakang sosial, budaya, dan
bahasa, dan
4. alat pemersatu hubungan antarbudaya dan antardaerah.

RINGKASAN
1. Bahasa yang baik adalah bahasa yang digunakan sesuai dengan norma kemasyarakatan
yang berlaku.
2. Bahasa yang benar adalah bahasa yang digunakan sesuai dengan aturan atau kaidah tata
bahasa baku.
3. Bahasa yang baik dan benar adalah bahasa yang digunakan sesuai dengan norma
kemasyarakatan dan kaidah tata bahasa baku.
4. Bentuk bahasa dibagi menjadi dua bagian:
a. Unsur Segmental
Bagian dari bentuk bahasa yang dapat dibagi atas bagian-bagian (segmen-segmen) yang
lebih kecil. Unsus segmental bahasa secara hirarkis dari yang paling besar hingga yang
paling kecil adalah : Wacana, kalimat, klausa, kata, morfem, suku kata, dan fonem.

b. Unsur Suprasegmental
Unsur suprsegmental bahasa terdiri dari intonasi dan unsur-unsur bawahannya, yang
kehadirannya bergantung dari unsur segmental bahasa.
5. Fungsi bahasa ada dua :
a. Fungsi Secara Umum
1) bahasa untuk tujuan praktis, yaitu untuk mengadakan antar-hubungan dalam
pergaulan sehari-hari.
2) bahasa untuk tujuan artistik, yaitu manusia mengolah dan mempergunakan bahasa
itu dengan cara seindah-indahnya guna pemuasan rasa estetis manusia.
3) bahasa menjadi kunci mempelajari pengetahuan-pengetahuan lain.
4) bahasa untuk tujuan filologis, yaitu untuk mempelajari naskah-naskah tua dengan
tujuan menyelediki latar belakang sejarah manusia, serta perkembangan bahasa itu
sendiri.
4

b. Fungsi Secara Khusus


1) sebagai alat untuk menjalankan administrasi negara
Fungsi ini tampak dalam surat-menyurat resmi, dalam peraturan-peraturan (PP), dan
undang-undang, dalam pidato kenegaraan dan pertemuan resmi
2) sebagai alat pemersatu pelbagai suku bangsa di Indonesia.
3) sebagai alat pembinaan kebudayaan nasional (bahasa sebagai mediumnya)

PERTANYAAN
1. Apakah yang dimaksud dengan bahasa?
2. Jelaskan fungsi bahasa secara umum!
3. Apakah manfaat dari mempelajari bahasa?
4. Jelaskan tujuan kita memperlajari bahasa!
5. Mengapa kita mempelajari bahasa Indonesia?
6. Berikan contoh bentuk dan makna bahasa Indonesia?
7. Jelaskan kedudukan dan fungís bahasa Indonesia!
8. Apa saja yang perlu kita pelajari dalam bahasa?
9. Sebagai kontribusi mata kuliah Bahasa Indonesia, apa saja yang perlu anda kuasai?
10. Mohon dirumuskan sebagai pembuktian bahwa bahasa berfungsi sebagai alat pemersatu dan
sebagai alat pembinaan kebudayaan!

BAB II
E J AA N

I. Ejaan dalam Bahasa Indonesia


1. Peristiwa-peristiwa penting yang berkaitan dengan perkembangan bahasa Indonesia
Perinciannya sebagai berikut:
a. Tahun 1896 disusunlah ejaan resmi bahasa Melayu oleh Van Ophuijsen yang dibantu oleh
Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim. Ejaan ini dimuat dalam
Kitab Logat Melayu.
b. Tahun 1908 pemerintah kolonial mendirikan sebuah badan penerbit buku-buku bacaan yang
diberi nama Commissie voor de Volkslectuur (Taman Bacaan Rakyat), yang kemudian pada
tahun 1917 diubah menjadi Balai Pustaka. Badan penerbit ini menerbitkan novel-novel, seperti
Siti Nurbaya dan Salah Asuhan, buku-buku penuntun bercocok tanam, penuntun memelihara
kesehatan, yang tidak sedikit membantu penyebaran bahasa Melayu di kalangan masyarakat.
c. Tanggal 16 Juni 1927 Jahja Datoek Kajo menggunakan bahasa Indonesia dalam pidatonya.
Hal ini untuk pertama kalinya dalam sidang Volksraad, seseorang berpidato menggunakan
bahasa Indonesia.
d. Tanggal 28 Oktober 1928 secara resmi Muhammad Yamin mengusulkan agar bahasa Melayu
menjadi bahasa persatuan Indonesia.
e. Tahun 1933 berdiri sebuah angkatan sastrawan muda yang menamakan dirinya sebagai
Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisyahbana.
f. Tahun 1936 Sutan Takdir Alisyahbana menyusun Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia.
g. Tanggal 25-28 Juni 1938 dilangsungkan Kongres Bahasa Indonesia I di Solo. Dari hasil
kongres itu dapat disimpulkan bahwa usaha pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia
telah dilakukan secara sadar oleh cendekiawan dan budayawan Indonesia saat itu.
h. Tanggal 18 Agustus 1945 ditandatangani Undang-Undang Dasar 1945, yang salah satu
pasalnya (Pasal 36) menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara.
i. Tanggal 19 Maret 1947 diresmikan penggunaan ejaan Republik sebagai pengganti ejaan Van
Ophuijsen yang berlaku sebelumnya.
j. Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1954 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia II di
Medan. Kongres ini merupakan perwujudan tekad bangsa Indonesia untuk terus-menerus
menyempurnakan bahasa Indonesia yang diangkat sebagai bahasa kebangsaan dan ditetapkan
sebagai bahasa negara.
5

k. Tanggal 16 Agustus 1972 H. M. Soeharto, Presiden Republik Indonesia, meresmikan


penggunaan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD) melalui pidato kenegaraan
di hadapan sidang DPR yang dikuatkan pula dengan Keputusan Presiden No. 57 tahun 1972.
l. Tanggal 31 Agustus 1972 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan Pedoman Umum
Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah resmi
berlaku di seluruh wilayah Indonesia (Wawasan Nusantara).
m. Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1978 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia III di
Jakarta. Kongres yang diadakan dalam rangka memperingati Sumpah Pemuda yang ke-50 ini
selain memperlihatkan kemajuan, pertumbuhan, dan perkembangan bahasa Indonesia sejak
tahun 1928, juga berusaha memantapkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia.
n. Tanggal 21-26 November 1983 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia IV di Jakarta.
Kongres ini diselenggarakan dalam rangka memperingati hari Sumpah Pemuda yang ke-55.
Dalam putusannya disebutkan bahwa pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia harus
lebih ditingkatkan sehingga amanat yang tercantum di dalam Garis-Garis Besar Haluan
Negara, yang mewajibkan kepada semua warga negara Indonesia untuk menggunakan bahasa
Indonesia dengan baik dan benar, dapat tercapai semaksimal mungkin.
o. Tanggal 28 Oktober s.d 3 November 1988 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia V di
Jakarta. Kongres ini dihadiri oleh kira-kira tujuh ratus pakar bahasa Indonesia dari seluruh
Indonesia dan peserta tamu dari negara sahabat seperti Brunei Darussalam, Malaysia,
Singapura, Belanda, Jerman, dan Australia. Kongres itu ditandatangani dengan
dipersembahkannya karya besar Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa kepada pencinta
bahasa di Nusantara, yakni Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Tata Bahasa Baku Bahasa
Indonesia.
p. Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1993 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia VI di
Jakarta. Pesertanya sebanyak 770 pakar bahasa dari Indonesia dan 53 peserta tamu dari
mancanegara meliputi Australia, Brunei Darussalam, Jerman, Hongkong, India, Italia, Jepang,
Rusia, Singapura, Korea Selatan, dan Amerika Serikat. Kongres mengusulkan agar Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa ditingkatkan statusnya menjadi Lembaga Bahasa
Indonesia, serta mengusulkan disusunnya Undang-Undang Bahasa Indonesia.
q. Tanggal 26-30 Oktober 1998 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia VII di Hotel
Indonesia, Jakarta. Kongres itu mengusulkan dibentuknya Badan Pertimbangan Bahasa.
2. Penyempurnaan Ejaan
Ejaan-ejaan untuk bahasa Melayu/Indonesia mengalami beberapa tahapan sebagai berikut:
2.1 Ejaan van Ophuijsen
Ejaan ini merupakan ejaan bahasa Melayu dengan huruf Latin. Charles Van Ophuijsen
yang dibantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim menyusun
ejaan baru ini pada tahun 1896. Pedoman tata bahasa yang kemudian dikenal dengan nama ejaan
van Ophuijsen itu resmi diakui pemerintah kolonial pada tahun 1901. Ciri-ciri dari ejaan ini yaitu:
1. Huruf ï untuk membedakan antara huruf i sebagai akhiran dan karenanya harus disuarakan
tersendiri dengan diftong seperti mulaï dengan ramai. Juga digunakan untuk menulis huruf
y seperti dalam Soerabaïa.
2. Huruf j untuk menuliskan kata-kata jang, pajah, sajang, dsb.
3. Huruf oe untuk menuliskan kata-kata goeroe, itoe, oemoer, dsb.
4. Tanda diakritik, seperti koma ain dan tanda trema, untuk menuliskan kata-kata ma’moer,
’akal, ta’, pa’, dsb.
2.2 Ejaan Republik
Ejaan ini diresmikan pada tanggal 19 Maret 1947 menggantikan ejaan sebelumnya. Ejaan
ini juga dikenal dengan nama ejaan Soewandi. Ciri-ciri ejaan ini yaitu:
1. Huruf oe diganti dengan u pada kata-kata guru, itu, umur, dsb.
2. Bunyi hamzah dan bunyi sentak ditulis dengan k pada kata-kata tak, pak, rakjat, dsb.
3. Kata ulang boleh ditulis dengan angka 2 seperti pada kanak2, ber-jalan2, ke-barat2-an.
4. Awalan di- dan kata depan di kedua-duanya ditulis serangkai dengan kata yang
mendampinginya.
2.3 Ejaan Melindo (Melayu Indonesia)
Konsep ejaan ini dikenal pada akhir tahun 1959. Karena perkembangan politik selama
tahun-tahun berikutnya, diurungkanlah peresmian ejaan ini.
2.4 Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (EYD)
6

Ejaan ini diresmikan pemakaiannya pada tanggal 16 Agustus 1972 oleh Presiden Republik
Indonesia. Peresmian itu berdasarkan Putusan Presiden No. 57, Tahun 1972. Dengan EYD, ejaan
dua bahasa serumpun, yakni Bahasa Indonesia dan Bahasa Malaysia, semakin dibakukan.
Perubahan:
Indonesia (pra-1972) Malaysia (pra-1972) Sejak 1972

tj Ch c
dj J j
ch Kh kh
nj Ny ny
sj Sh sy
j Y y
oe* U u
Catatan: Tahun 1947 "oe" sudah digantikan dengan "u".

II. Pembentukan Kata-kata Bahasa Indonesia


Ada banyak ragam pembentukan kata dalam bahasa Indonesia. Sebagian besar kata dibentuk
dengan cara menggabungkan beberapa komponen yang berbeda. Untuk memahami cara
pembentukan kata-kata tersebut kita sebaiknya mengetahui lebih dahulu beberapa konsep dasar
dan istilah seperti yang dijelaskan di bawah ini. Untuk mempersingkat dan memperjelas 
pembahasannya, kami menggunakan kata-kata yang tidak bersifat gramatikal atau teknis untuk
menjelaskan kata-kata tersebut sebanyak mungkin. Kami tidak membahas tentang infiks (sisipan
yang jarang digunakan), reduplikasi dan kata-kata majemuk yang berafiks. 
1. Definisi Istilah
Kata dasar (akar kata) = kata yang paling sederhana yang belum memiliki imbuhan, juga
dapat dikelompokkan sebagai bentuk asal (tunggal) dan bentuk dasar (kompleks), tetapi perbedaan
kedua bentuk ini tidak dibahas di sini.
a. afiks (imbuhan) = satuan terikat (seperangkat huruf tertentu) yang apabila
ditambahkan pada kata dasar akan mengubah makna dan membentuk kata baru. Afiks
tidak dapat berdiri sendiri dan harus melekat pada satuan lain seperti kata dasar. Istilah
afiks termasuk prefiks, sufiks dan konfiks.
b. prefiks (awalan) = afiks (imbuhan) yang melekat di depan kata dasar untuk
membentuk kata baru dengan arti yang berbeda.
c. sufiks (akhiran) = afiks (imbuhan) yang melekat di belakang kata dasar untuk
membentuk kata baru dengan arti yang berbeda.
d. konfiks (sirkumfiks / simulfiks) = secara simultan (bersamaan), satu afiks melekat di
depan kata dasar dan satu afiks melekat di belakang kata dasar yang bersama-sama
mendukung satu fungsi.
e. kata turunan (kata jadian) = kata baru yang diturunkan dari kata dasar yang
mendapat imbuhan.
f. keluarga kata dasar = kelompok kata turunan yang semuanya berasal dari satu kata
dasar dan memiliki afiks yang berbeda.

2. Afiks Bahasa Indonesia yang Umum


a. prefiks:  ber-, di-, ke-, me-, meng-, mem-, meny-, pe-, pem-, peng-, peny-, per-, se-,
ter-
b. sufiks:  -an, -kan, -i, -pun, -lah, -kah, -nya
c. konfiks:  ke - an, ber - an, pe - an, peng - an, peny - an, pem - an, per - an, se - nya
 
3. Penggunaan Afiks
Mempelajari proses pembentukan kata-kata dan metode pembubuhan afiks merupakan kunci
untuk memahami makna kata-kata turunan dan belajar membaca teks bahasa Indonesia. Sebagian
7

besar kata yang terdapat dalam surat kabar dan majalah Indonesia berafiks. Jika seseorang
mengerti makna kata dasar, ia dapat mengerti makna sebagian besar kata yang berasal
(diturunkan) dari kata dasar itu dengan menggunakan kaidah umum untuk masing-masing jenis
afiks.
Jika kita dapat menerima sedikit kekeliruan dalam penggunaan afiks, kita dapat
menyederhanakan pembahasan tentang afiks (imbuhan). Dalam mengklasifikasikan jenis kata
(nomina, verba, adjektiva, dan lain-lain) kami menggunakan kaidah pengklasifikasian kata
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Edisi Kedua - 1991) yang disusun dan diterbitkan oleh Pemerintah Indonesia.
Penjelasan di bawah adalah untuk menguraikan hasil penambahan afiks (imbuhan) kepada kata
dasar, bukan untuk menjelaskan bilamana afiks digunakan. Dalam pembahasan ini tidak diuraikan
tentang asal kata dasar (etimologi). Perlu diperhatikan bahwa penjelasan di bawah ini lebih
berhubungan dengan perbuatan (aksi) dalam suatu kalimat - siapa yang melakukan aksi itu, hasil
perbuatan, arah perbuatan atau tindakan dan apakah tindakan itu merupakan fokus utama dalam
kalimat atau bukan.

5. Aplikasi Afiks
ber- : menambah prefiks ini membentuk verba (kata kerja) yang sering kali mengandung arti
(makna) ‘mempunyai atau memiliki sesuatu’. Juga dapat menunjukkan keadaan atau kondisi
atribut tertentu. Penggunaan prefiks ini lebih aktif berarti ‘mempergunakan atau mengerjakan
sesuatu’. Fungsi utama prefiks "ber-" adalah untuk menunjukkan bahwa subyek kalimat
merupakan orang atau sesuatu yang mengalami perbuatan dalam kalimat itu. Banyak verba
dengan afiks "ber-" mempunyai kata yang sama dengan bentuk adjektiva dalam bahasa Inggris.
Sekitar satu dari tiap 44 kata yang tertulis dalam bahasa Indonesia memiliki prefiks ini. 
me-, meng-, menge-, meny, mem-: menambah salah satu dari prefiks ini membentuk verba yang
sering kali menunjukkan tindakan aktif di mana fokus utama dalam kalimat adalah pelaku, bukan
tindakan atau obyek tindakan itu. Jenis prefiks ini sering kali mempunyai arti ‘mengerjakan,
menghasilkan, melakukan atau menjadi sesuatu’. Prefiks ini yang paling umum digunakan dan
sekitar satu dari tiap 13 kata yang tertulis. Dalam bahasa Indonesia memiliki salah satu dari
prefiks ini.
di- : Prefiks ini mempunyai pertalian yang sangat erat dengan prefiks "me-." Prefiks "me-"
menunjukkan tindakan aktif sedangkan prefiks "di-" menunjukkan tindakan pasif, di mana
tindakan atau obyek tindakan adalah fokus utama dalam kalimat itu, dan bukan pelaku. Sekitar
satu dari tiap 40 kata yang tertulis dalam bahasa Indonesia memiliki prefiks ini. 
 pe- : Prefiks ini membentuk nomina yang menunjukkan orang atau agen yang melakukan
perbuatan dalam kalimat. Kata dengan prefiks ini juga bisa memiliki makna ‘alat yang dipakai
untuk melakukan perbuatan yang tersebut pada kata dasarnya’. Apabila kata dasarnya berupa
kata sifat, maka kata yang dibentuk dengan prefiks ini memiliki sifat atau karakteristik kata
dasarnya. Sekitar satu dari tiap 110 kata yang tertulis dalam bahasa Indonesia memiliki prefiks
ini. 
ter- : Sekitar satu dari tiap 54 kata yang tertulis dalam bahasa Indonesia memiliki prefiks ini.
Penambahan afiks ini menimbulkan dua kemungkinan.
(1) Jika menambahkan ke kata dasar adjektif, biasanya menghasilkan adjektif yang
menyatakan tingkat atau kondisi paling tinggi (ekstrim) atau superlatif. (misalnya: paling
besar, paling tinggi, paling baru, paling murah)
(2) Jika menambahkan ke kata dasar yang bukan adjektif, umumnya menghasilkan verba yang
menyatakan aspek perfektif, yaitu suatu perbuatan yang telah selesai dikerjakan. Afiks ini
juga bisa menunjukkan perbuatan spontanitas, yaitu suatu perbuatan yang terjadi secara
tiba-tiba atau tidak disengaja (misalnya aksi oleh pelaku yang tidak disebutkan, pelaku
tidak mendapat perhatian atau tindakan natural). Fokus dalam kalimat adalah kondisi
resultan tindakan itu dan tidak memfokuskan pada pelaku perbuatan atau bagaimana
kondisi resultan itu tercapai.
 se-: menambah prefiks ini dapat menghasilkan beberapa jenis kata. Prefiks ini sering dianggap
sebagai pengganti “satu” dalam situasi tertentu. Sekitar satu dari tiap 42 kata yang tertulis dalam
bahasa Indonesia memiliki prefiks ini.  Penggunaan paling umum dari prefiks ini adalah sebagai
berikut:
8

1. untuk menyatakan satu benda, satuan atau kesatuan (seperti “a” atau “the” dalam
Bahasa Inggris)
2. untuk menyatakan seluruh atau segenap
3. untuk menyatakan keseragaman, kesamaan atau kemiripan
4. untuk menyatakan tindakan dalam waktu yang sama atau menyatakan sesuatu yang
berhubungan dengan waktu
-an : menambah sufiks ini biasanya menghasilkan kata benda yang menunjukkan ‘hasil suatu
perbuatan’. Sufiks ini pun dapat menunjukkan ‘tempat, alat, instrumen, pesawat, dan
sebagainya’. Sekitar satu dari tiap 34 kata yang tertulis dalam bahasa Indonesia memiliki sufiks
ini. 
 -i : menambah sufiks ini akan menghasilkan verba yang menunjukkan ‘perulangan, pemberian
sesuatu atau menyebabkan sesuatu’. Sufiks ini sering digunakan untuk memindahkan perbuatan
kepada suatu tempat atau obyek tak langsung dalam kalimat yang mana tetap dan tidak mendapat
pengaruh dari perbuatan tersebut. Sufiks ini pun menunjukkan di mana dan kepada siapa tindakan
itu ditujukan. Sekitar satu dari tiap 70 kata yang tertulis dalam bahasa Indonesia memiliki sufiks
ini. 
 -kan: menambah sufiks ini akan menghasilkan kata kerja yang menunjukkan penyebab, proses
pembuatan atau timbulnya suatu kejadian. Fungsi utamanya yaitu untuk memindahkan perbuatan
verba ke bagian lain dalam kalimat. Sekitar satu dari tiap 20 kata yang tertulis dalam bahasa
Indonesia memiliki sufiks ini. 
-kah :  menambah sufiks ini menunjukkan bahwa sebuah ucapan merupakan pertanyaan dan
sufiks ini ditambahkan kepada kata yang merupakan fokus pertanyaan dalam kalimat. Sufiks ini
jarang digunakan.
 -lah : sufiks ini memiliki penggunaan yang berbeda dan membingungkan, tetapi secara singkat
dapat dikatakan bahwa sufiks ini sering digunakan untuk memperhalus perintah, untuk
menunjukkan kesopanan atau menekankan ekspresi. Hanya sekitar satu dari tiap 400 kata yang
tertulis dalam Bahasa Indonesia memiliki sufiks ini. 
 ke-an : Konfiks ini yang paling umum digunakan dan sekitar satu dari tiap 65 kata yang tertulis
dalam bahasa Indonesia memiliki konfiks ini. Konfiks ini adalah untuk:
 1. membentuk nomina yang menyatakan hasil perbuatan atau keadaan dalam pengertian umum
yang menyatakan hal-hal yang berhubungan dengan kata dasar
2. membentuk nomina yang menunjuk kepada tempat atau asal
3. membentuk adjektif yang menyatakan keadaan berlebihan
4. membentuk verba yang menyatakan kejadian yang kebetulan
. pe-an, peng-an, peny-an, pem-an : penggunaan salah satu dari keempat konfiks ini biasanya
menghasilkan suatu nomina yang menunjukkan proses berlangsungnya perbuatan yang ditunjuk
oleh verba dalam kalimat. Sekitar satu dari tiap 75 kata yang tertulis dalam bahasa Indonesia
memiliki konfiks ini. 
 per-an : menambah konfiks ini akan menghasilkan sebuah nomina yang menunjukkan hasil suatu
perbuatan (bukan prosesnya) dan dapat juga menunjukkan tempat. Artinya sering menunjuk
kepada suatu keadaan yang ditunjuk oleh kata dasar atau hasil perbuatan verba dalam kalimat.
Keadaan ini mirip dengan yang diperoleh dengan menggunakan konfiks “ke-an”, tetapi biasanya
kurang umum dan lebih konkrit atau spesifik. Sekitar satu dari tiap 108 kata yang tertulis dalam
bahasa Indonesia memiliki konfiks ini.
 se - nya : Konfiks ini seringkali muncul bersama-sama dengan kata dasar tunggal atau kata dasar
ulangan untuk membentuk adverbia yang menunjukkan suatu keadaan tertinggi yang dapat dicapai
oleh perbuatan kata kerja (misalnya: setinggi-tingginya = setinggi mungkin).
 -nya : Ada penggunaan “-nya” sebagai sufiks murni yang mengubah arti kata dasarnya, tetapi hal
ini merupakan konsep yang agak rumit dan kurang umum dan tidak dibahas di sini.  contoh:
biasanya = usually; rupanya = apparently
 -nya, -ku, -mu: satuan-satuan ini bukan merupakan afiks murni dan semuanya tidak dimasukkan
sebagai entri dalam kamus ini. Pada umumnya satuan-satuan ini dianggap sebagai kata ganti yang
menyatakan kepemilikan yang digabungkan dengan kata dasar yang mana tidak mengubah arti
kata dasar. Misalnya, kata “bukuku” = buku saya, “bukumu” = buku Anda, “bukunya” = buku dia
atau buku mereka. Selain sebagai kata ganti yang menyatakan kepemilikan, satuan “-nya” pun
dapat memiliki fungsi untuk menunjukkan sesuatu. Misalnya, “bukunya” berarti “buku itu”, bila
“-nya” berfungsi sebagai penunjuk.
9

Penggunaan “-nya” baik sebagai kata ganti maupun penunjuk (bukan sebagai sufiks murni) adalah
sangat umum dan sekitar satu dari tiap 14 kata tertulis dalam bahasa Indonesia memiliki satuan
ini. Penggunaan “-ku” dan “-mu” bervariasi sesuai dengan jenis tulisan. Dua jenis kata ganti ini
sangat umum digunakan dalam komik, cerpen dan tulisan tidak resmi lainnya, dan jarang
digunakan dalam tulisan yang lebih formal seperti surat kabar dan majalah berita

RINGKASAN
1. Ejaan yang berlaku di Indonesia
a. Ejaan van Ophuijsen
b. Ejaan Republik
c. Ejaan Melindo (Melayu Indonesia)
d. Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (EYD)
2. Ada empat masa/waktu penting dari hubungan kebudayaan Indonesia dengan dunia luar yang
meninggalkan jejaknya pada perbendaharaan kata bahasa Indonesia.
a. Hindu (antara abad ke-6 sampai 15 M)
b. Islam (dimulai dari abad ke-13 M)
c. Kolonial
d. Kemerdekaan
3. Pembebtukan kata bahasa Indonesia melalui afiksasi. Afiks bahasa Indonesia yang Umum:
a. prefiks:  ber-, di-, ke-, me-, meng-, mem-, meny-, pe-, pem-, peng-, peny-, per-, se-, ter-
b. sufiks:  -an, -kan, -i, -pun, -lah, -kah, -nya
c. konfiks:  ke - an, ber - an, pe - an, peng - an, peny - an, pem - an, per - an, se - nya

PERTANYAAN
A. Jawablah pertanyaan di bawah ini!
1. Apakah yang dimaksud dengan Jean?
2. Jelaskan kaidah pemakaian huruf kapital! Dan berikan contohnya!
3. Jelaskan kaidah penulisan pemerian! Dan berikan contohnya
4. Jelaskan kaidah penulisan gabungan kata! Dan berikan contohnya!
5. Jelaskan kaidah penulisan huruf miring! Dan berikan contohnya!

B. Cermatilah kata dan kalimat berikut!


Jika menurut anda salah betulkan, tetapi jika benar tulis sesuai aslinya!
1. 20 siswa SMP 13 tidak lulus ujian nasional.
Dua puluh siswa SMP 13 tidak lulus ujian nasional
...................................................................................................
2. Lima puluh orang diundang Pak Arif.
Pak Arif mengundang 50 orang
..................................................................................................
3. Malam semakin larut pekerjaan belum selesai juga.
Malam semakin larut; pekerjaan belum selesai juga.
.................................................................................................
4. Kami benci kebohongan.
Kami benci akan kebohongan
.................................................................................................
5. Dosen bercerita kajadian itu.
Dosen bercerita tentang kajadian itu.
..................................................................................................
10

BAB III
PERANAN DIKSI DALAM BERBAHASA

1. Tujuan
Setelah membahas pokok bahasan ini, mahasiswa dapat memahami dan menggunakan
berbagai jenis kata (diksi) kedalam berbagai kalimat dengan benar dan mengerjakannya dengan
konteks kebahasaan lainnya (paragraf dan wacana) dalam karangan.

2. Pengertian Diksi
Dalam KBBI (2002: 264) diksi diartikan sebagai pilihan kata yang tepat dan selaras dalam
penggunaannya untuk mengungkapkan gagasan sehingga diperoleh efek tertentu seperti yang
diharapkan. Dari pernyataan itu tampak bahwa penguasaan kata seseorang akan mempengaruhi
kegiatan berbahasanya, termasuk saat yang bersangkutan membuat karangan.
Setiap kata memiliki makna tertentu untuk membuat gagasan yang ada dalam benak
seseorang. Bahkan makna kata bisa saja “diubah” saat digunakan dalam kalimat yang berbeda.
Hal ini mengisyaratkan bahwa makna kata yang sebenarnya akan diketahui saat digunakan dalam
kalimat. Lebih dari itu, bisa saja menimbulkan dampak atau reaksi yang berbeda jika digunakan
dalam kalimat yang berbeda.
Berdasarkan hal itu dapat dikatakan bahwa diksi memegang tema penting sebagai alat
untuk mengungkapkan gagasan dengan mengharapkan efek agar sesuai.

3. Ketepatan dan Kesesuaian Penggunaan Diksi


Pemakaian kata mencakup dua masalah pokok, yakni pertama, masalah ketepatan
memiliki kata untuk mengungkapkan sebuah gagasan atau ide. Kedua, masalah kesesuaian atau
kecocokan dalam mempergunakan kata tersebut. Menurut Keraf (2002: 87) “Ketepatan pilihan
kata mempersoalkan kesanggupan sebuah kata untuk menimbulkan gagasan-gagasan yang tepat
pada imajinasi pembaca atau pendengar, seperti apa yang dipikirkan atau dirasakan oleh penulis
atau pembaca”. Masalah pilihan akan menyangkut makna kata dan kosakatanya akan memberi
keleluasaan kepada penulis, memilih kata-kata yang dianggap paling tepat mewakili pikirannya.
Ketepan makna kata bergantung pada kemampuan penulis mengetahui hubungan antara bentuk
bahasa (kata) dengan referennya.
Seandainya kita dapat memilih kata dengan tepat, maka tulisan atau pembicaraan kita akan
mudah menimbulkan gagasan yang sama pada imajinasi pembaca atau pendengar, seperti yang
dirasakan atau dipikirkan oleh penulis atau pembicara. Mengetahui tepat tidaknya kata-kata yang
kita gunakan, bisa dilihat dari reaksi orang yang menerima pesan kita, baik yang disampaikan
secara lisan maupun tulisan. Reaksinya bermacam-macam, baik berupa reaksi verbal, maupun
reaksi nonverbal seperti mengeluarkan tindakan atau perilaku yang sesuai dengan yang kita
ucapkan.
Agar dapat memilih kata-kata yang tepat, maka ada beberapa syarat yang harus
diperhatikan berikut ini.
a. Kita harus bisa membedakan secara cermat kata-kata denotatif dan konotatif; bersinonim
dan hampir bersinonim; kata-kata yang mirip dalam ejaannya, seperti: bawa-bawah,
koorperasi-korporasi, interfensi-interferensi, dan
b. Hindari kata-kata ciptaan sendiri atau mengutip kata-kata orang terkenal yang belum
diterima di masyarakat.
c. Waspadalah dalam menggunaan kata-kata yang berakhiran asing atau bersufiks bahasa
asing, seperti :Kultur-kultural, biologi-biologis, idiom-idiomatik, strategi-strategis, dan lain-
lain
d. Kata-kata yang menggunakan kata depan harus digubakan secara idiomatik, seperti kata
ingat harus ingat akan bukan ingat terhadap, membahayakan sesuatu bukan membahayakan
bagi, takut akan bukan takut sesuatu.
e. Kita harus membedakan kata khusus dan kata umum.
f. Kita harus memperhatikan perubahan makna yang terjadi pada kata-kata yang sudah
dikenal.
g. Kita harus memperhatikan kelangsungan pilihan kata.

4. Kata dan Gagasan


11

Dalam berkomunikasi, setiap orang menggunakan kata (bahasa). Para linguis sampai
sekarang masih memperbincangkannya karena belum ada batasan yang mutlak tentang itu. Istilah
kata bisa digunakan oleh para tatabahasawan tradisional. Menurut mereka, kata adalah satuan
bahasa yang memiliki satu pengertian atau kata adalah deretan huruf yang diapit oleh dua buah
spasi, dan mempunyai satu arti. Para tatabahasawan struktural, penganut aliran Bloomfield
menyebutnya morfem. Batasan kata yang dibuat Bloomfield sendiri, yakni kata adalah satuan
bebas terkecil (a minimal free form)(Chaer, 1994: 162-163)
Yang paling penting dari rangkaian kata-kata itu adalah pengertian yang tersirat di balik
kata-kata yang digunakan. Setiap orang yang terlibat dalam berkomunikasi harus saling
memahami atau saling mengerti, baik pembicara maupun pendengar, pengertian yang tersirat
dalam sebuah kata itu mengandung makna bahwa tiap kata mengungkapkan sebuah gagasan atau
sebuah ide. Dengan kata lain, kata adalah media yang digunakan untuk menyampaikan gagasan
atau ide kepada orang lain. Menurut Keraf (2002:21) ”Kata-kata ibarat”pakaian” yang dipakai
oleh pikiran kita. Tiap kata memiliki “jiwa”. Setiap anggota masyarakat harus mengetahui “jiwa”,
agar ia dapat menggerakkan orang lain dengan “jiwa” dari kata-kata yang dapat digunakannya.
Kata dengan gagasan mempunyai hubungan ketergantungan. Orang yang mempunyai
banyak gagasan pasti mempunyai banyak kata yang dikuasai seseorang, semakin banyak ide atau
gagasan yang bisa diungkapkannya. Orang yang banyak menguasai kosakata akan merasa mudah
dan lancar berkomunikasi dengan orang, lain. Sering kita tidak memahami pembicaraan orang
lain, karena kita tidak atau kurang menguasai kata-kata atau gagasan seperti yang dikuasai oleh
pembicara.
5. Pilihan Kata
Pilihan Kata atau diksi bukan hanya memilih kata-kata yang cocok dan tepat untuk
digunakan dalam mengungkapkan gagasan atau ide, tetapi juga menyangkut persoalan fraseologi
(cara memakai kata atau frase di dalam konstruksi yang lebih luas, baik dalam bentuk tulisan
maupun ujaran), ungkapan, dan gaya bahasa. Fraseologi mencakup persoalan kata-kata dalam
pengelompokan atau susunannya, atau menyangkut cara-cara yang khusus berbentuk ungkapan-
ungkapan. Pemilihan gaya bahasa yang akan digunakan pun merupakan kegiatan memilih kata
menyangkut gaya-gaya ungkapan secara individu.
Orang yang banyak menguasai kosakata akan lebih mudah memilih kata-kata yang tepat
untuk digunakan dalam menyampaikan gagasannya. Orang yang kurang banyak menguasai
kosakata terkadang tidak bisa menempatkan kata terutama yang bersinonim, seperti kata meneliti
sama artinya dengan kata menyelidiki, mengamati, dan menyidik. Kata-kata turunannya penelitian,
penyelidikan, pengamatan, dan penyidikan. Orang yang menguasai banyak kosakata tidak akan
menerima bahwa kata-kata tersebut mengandung arti yang sama, karena bisa menempatkan kata-
kata itu dengan cermat sesuai dengan konteksnya. Sebaliknya orang yang tidak menguasai
kosakata akan mengalami kesulitan karena tidak mengetahui ada kata yang lebih tepat, dan tidak
mengetahui ada perbedaan dari kata-kata yang bersinonim itu. Dengan demikian, menurut Keraf
(2002: 14) diksi :
a. Mencakup pengertian kata-kata yang fipakai untuk menyampaikan suatu gagasan, cara
menggabungkan kata-kata. Yang tepat, dan gaya yang paling baik digunakan dalam situasi
tertentu;
b. Diksi adalah kemampuan secara tepat membedakan nuansa-nuansa makna dari gagasan yang
ingin disampaikan, dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai dengan situasi dan
nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar atau pembaca; dan
c. Diksi yang tepat dan sesuai hanya dimungkinkan oleh penguasaan kosakata yang banyak.

6. Makna Kata dan Jenisnya


Kata yang merupakan satuan bebas terkecil mempunyai dua aspek, yakni aspek bentuk atau
ekspresi dan aspek isi atau makna. Bentuk bahasa adalah sesuatu yang dapat dicerna oleh
pancaindra, baik didengar maupun dilihat. Isi atau makna adalah segi yang menimbulkan reaksi
atau respon dalam pikiran pendengar atau pembaca karena rangsangan atau stimulus aspek bentuk
tadi. Kalau seseorng berkata, “pergi!” kepada kita, maka akan timbul reaksi dalam pikiran kita
diam sekarang”. Dengan demikian, kata pergi merupakan bentuk atau ekspresi dan isinya atau
maknanya merupakan reaksi seseorang atas perintah tadi.
Wujud reaksi itu bermacam-macam yakni berupa tindakan atau perilaku, berupa pengertian,
serta berupa pengertian dan tindakan. Hal ini bergantung pada apa yang didengarnya, dengan kata
12

lain respons akan muncul berdasarkan stimulusnya. Dalam berkomunikasi tidak hanya berhadapan
dengan kata, tetapi juga berhadapan dengan serangkaian kata yang mengusung amanat. Dengan
demikian, ada beberapa unsur yang terkandung dalam ujaran itu yaitu : pengertian, perasaan,
nada, dan tujuan. Keempat unsur ini merupakan usaha untuk memahami makna. Untuk lebih
kelasnya mari kita bahan satu persatu.
a. Pengertian merupakan landasan dasar untuk menyampaikan sesuatu kepada pendengar
atau pembaca dengan mengharapkan suatu perilaku;
b. Perasaan merupakan ekspresi pembicara terhadap pembicaraanya, hal ini berhubungan
dengan nilai rasa terhadap hal yang dikatakan pembicara;
c. Nada mencakup sikap pembicara atau penulis kepada pendengar pembacaanya; dan
d. Tujuan yaitu sesuatu yang ingin dicapai oleh pembicara atau penulis.
Makna kata merupakan hubungan antara bentuk dengan sesuatu yang diwakilinya atau
hubungan lambang bunyi dengan sesuatu yang di acunya. Kata kuda merupakan bentuk atau
ekspresi “sesuatu yang diacu oleh kata kuda” yakni “seeekor binatang yang tinggi-besar, larinya
kencang dan biasa ditunggangi”. Kedua istilah yang disebut referen. Hubungan antara bentuk dan
referen akan menimbulkan makna atau referensi.
Makna kata pada umumnya terbagi atas dua macam yakni makna denotatif dan makna
konotatif. Kata-kata yang bermakna denotatif biasa digunakan dalam bahasa ilmiah yang bersifat
tugas atau tidak menimbulkan interpretasi tambahan. Makn denotatif disebut juga dengan istilah;
makna denatasional, makna kognitif, makna konseptual, makna konseptual, makna ideasional,
makna referensial, atau makna proposional (Keraf, 2002:208). Disebut makna denotasional,
konseptual, referensial dan ideasional, karena makna itu mengacu pada referen, konsep atau ide
tertentu dari suatu referen. Disebut makna kognitif karena makna itu berhubungan dengan
kesadaran, pengetahuan dan menyangkut rasio manusia.
Karena adanya bermacam-macam makna, maka penulis harus hati-hati dalam memilih kata
yang digunakan. Sebenarnya memilih kata-kata bermakna denotatif lebih mudah daripada memilih
kata-kata bermakna konotatif. Seandainya ada kesalahan dalam penulisan denotasi, mungkin
karena adanya kekeliruan disebabkan oleh kata-kata yang mirip karena masalah ejaan. Kata-kata
yng mirip itu seperti : gajih-gaji, darah-dara, interferensi-interfensi, dan bawah-bawa. Untuk
lebih jelasnya, makna denotatif dapat dibedakan menjadi dua macam hubungan antara sebuah kata
dengan barang individual yang diwakilinya. Kedua, hubungan sebuah kata dengan ciri-ciri atau
perwatakan tertentu dari barang yang diwakilinya.
Makna konotatif atau sering juga disebut makna kiasan, makna konotasional, makna emotif,
atau makna evaluatif. Makna konotatif adalah suatu jenis makna di mana stimulus dan respons
mengandung nilai-nilai emosional. Kata-kata yang bermakna konotatif atau kiasan biasanya
dipakai pada pembicaraan atau karangan non-ilmiah, seperti: berbalas pantun, peribahasa,
lawakan, drama, prosa, puisi, dan lain-lain. Karangan non-ilmian sangat mementingkan nilai-nilai
estetika. Nilai estetika dibangun oleh bahasa figuratif dengan menggunakan kata-kata konotatif
agar penyampaian pesan atau amanat itu terasa indah. Pada karangan ini kurang memperhatikan
keakuratan informasi dan kelogisan makna. Dalam menyampaikan pesan ada dua macam cara.
Pertama, penyampaian pesan secara langsung. Penyampaian pesan secara langsung hampir sama
dengan penyampaian pesan (informasi). Dalam karangan tidak langsung harus menggunakan
bahasa figuratif dengan kata-kata konotatif. Kita tidak akan bisa langsung memahami pesan atau
amanat yang ingin disampaikan oleh pengarang kalau tidak mempunyai kemampuan
mengapresiasinya.
Berikut kata-kata denotasi dan konotasi:
- Dia cantik seperti ibunya (denotatif)
- Dia cantik bagaikan bunga (konotatif)
- Beliau telah wafat tiga tahun yang lalu (denotatif)
- Beliau telah mangkat tiga tahun yang lalu (konotatif)
- Kolam itu luasnya seratus meter persegi (denotatif)
- Kolam itu luas sekali (konotatif)
- Sebanyak seratus ribu orang yang menonton pertandingan sepak bola (denotatif)
- Membeludak penonton yang ingin menyaksikan pertandingan sepak bola (konotatif)

7. Kata Umum dan Kata Khusus


13

Kata umum adalah kata-kata yang pemakaian dan maknanya bersifat umum dan mencakup
bidang yang luas, sedangkan kata yang khusus adalah kata-kata yang pemakaian dan maknanya
terbatas pada suatu bidang tertentu.

Contoh : Kata Umum Kata Khusus


Miskin gelandangan, yatim piatu
Melihat menjenguk, menengok, melayat
menatap, menoleh, mengamati
Besar raya, akbar, agung
Contoh :
a. Saya ngin menjadi sarjana pendidikan, oleh karena itu sekarang kuliah di FKIP Uninus.
Saya ingin menjadi seorang hakim oleh karena itu sekarang kuliah Fakultas Hukum.
b. Orang tua kami anggota Korpri. (umum)
Ibu saya seorang guru SD. (khusus)

8. Perubahan Makna Kata


Bahasa bersifat dinamis sehingga dapat menimbulkan kesulitan bagi pemakai yang kurang
mengikuti perubahannya. Ketepatan suatu kata untuk mewakili atau melambangkan suatu benda,
peristiwa, sifat, dan keterangan, bergantung pada maknanya, yakni hubungan antara lambang
bunyi (bentuk/kata) dengan referennya.
Perubahan makna kata bukan hanya ditentukan oleh perubahan jaman (waktu), melainkan
juga disebabkan oleh tempat bahasa itu tumbuh dan berkembang. Makna bahasa mula-mula
dikenal oleh masyarakatnya, tetapi pada suatu waktu akan bergeser maknanya pada suatu wilayah
yang lain masih mempertahankan makna yang aslinya. Oleh karena itu, kita harus berhati-hati
dalam menggunakan atau memilih kata apalagi dalam hal-hal yang bersifat nasional (masalah
tempat), terkenal, dan sementara belangsung (masalah waktu)”. Para mahasiswa yang membuat
karya ilmiah, yang tulisannya bisa dibaca dalam taraf nasional, harus menggunakan kata yang
bersifat nasional, terkenal dan masih dipakai masyarakat.
Sebelum Perang dua Ke II kita mengenal kata daulat, dalam KBBI (2001: 240)
mengandung arti: “(1) berkat kebahagiaan (yang ada pada raja); bahgia; (2) kekuasaan;
pemerintah. Kata ini digunakan dalam kalimat ,”Penyerahan kedaulatan Republik Indonesia;
Negara Republik Indonesia yang merdeka berdaulat. Tetapi pada waktu revolusi fisik kata daulat
bermakna lain yakni, merebut hak dengan tidak sah, memecat dengan paksa. Misalnya: tanah-
tanah Belanda banyak yang didaulat oleh rakyat; gubernur itu didaulat tidak dipakai lagi,
sehingga kata itu hampir mati meskipun dalam KBBI masih tercantum tetapi sudah jarang
pemakainya.

9. Diksi dalam Kalimat


Diksi dalam kalimat adalah pilihan kata yang tepat untuk ditempatkan dalam kalimat
sesuai makna, kesesuaian, kesopanan, dan bisa mewakili maksud atau gagasan. Makna kata itu
secara leksikal banyak yang sama, tetapi penggunaanya tidak sama. Seperti kata penelitian,
penyelidikan. Kata-kata tersrbut bersinonim (mempunyai arti yang sama), tetapi tidak bisa
ditempatkan dalam kalimat yang sama. Contoh dalam kalimat; “Mahasiswa tingkat akhir harus
mengadakan penelitian untuk membuat karya ilmiah sebagai tugas akhir dalam studinya”,
”Penyelidikan kasus penggelapan uang negara sudah dimulai”; Berdasarkan pengamatan saya
situasi belajar di kelas A cukup kondusif; Berdasarkan hasil penyidikan polisi, ditemukan fakta-
fakta yang memperkuat dia menjadi tersangka. Keempat kata dalam kalimat-kalimat itu tidak bisa
ditukar. Seandainya ditukar, tidak akan sesuai sehingga akan membingungkan pendengar atau
pembaca. Dari segi kesopanan, kata mati, meninggal, gugur, mangkat, wafat, dan pulang ke
rahmatullah, dipilih berdasarkan jenis mahluk, tingkat sosial, dan waktu. Contoh : Kucing saya
mati setelah makan ikan busuk; Ayahnya meninggal tadi malam; Pahlawanku gugur di medan
laga; Beliau wafat 1425 H. Frase biasa dipakai dalam bewara kematian di surat kabar, seperti”…
telah pulang ke rahmatullah kakek Jauhari….”. dari segi makna, kata islam dan muslim sering
salah penggunaanya dalam kalimat. Kita pernah mendengar orang berkata, “Setelah menjadi Islam
dia rajin bersedekah”. Seharusnya, “Setelah masuk Islam dia rajin bersedekah”. Kalau mau
menggunakan kata menjadi maka selanjutnya harus menggunakan kata muslim. Contoh, “Setelah
menjadi muslim dia rajin bersedekah”. Islam adalah nama agama yang berarti lembaga, sedangkan
14

muslim adalah orang yang beragama Islam. Kata menjadi dapat dipasangkan dengan orangnya dan
kata masuk tepat dipasangkan dengan lembaganya.

RINGKASAN
1. Pengertian diksi adalah pilihan kata yang tepat dan selaras dalam penggunaannya untuk
mengungkapkan gagasan sehingga diperoleh efek tertentu seperti yang diharapkan.
2. Pengertian diksi menurut Gorys Keraf adalah :
a. Mencakup pengertian kata-kata yang fipakai untuk menyampaikan suatu gagasan, cara
menggabungkan kata-kata. Yang tepat, dan gaya yang paling baik digunakan dalam situasi
tertentu;
b. Diksi adalah kemampuan secara tepat membedakan nuansa-nuansa makna dari gagasan
yang ingin disampaikan, dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai dengan
situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar atau pembaca; dan
c. Diksi yang tepat dan sesuai hanya dimungkinkan oleh penguasaan kosakata yang banyak.
3. Dalam menggunakan diksi ada beberapa syarat yang harus diperhatikan, antara lain:
a. Kita harus bisa membedakan secara cermat kata-kata denitatif dan konotatif; bersinonim
dan hampir bersinonim; kata-kata yang mirip dalam ejaannya, seperti: bawa-bawah,
koorperasi-korporasi, interfensi-interferensi, dan
b. Hindari kata-kata ciptaan sendiri atau mengutip kata-kata orang terkenal yang belum
diterima di masyarakat.
c. Waspadalah dalam menggunaan kata-kata yang berakhiran asing atau bersufiks bahasa
asing, seperti :Kultur-kultural, biologi-biologis, idiom-idiomatik, strategi-strategis, dan
lain-lain
d. Kata-kata yang menggunakan kata depan harus digubakan secara idiomatik, seperti kata
ingat harus ingat akan bukan ingat terhadap, membahayakan sesuatu bukan
membahayakan bagi, takut akan bukan takut sesuatu.
e. Kita harus membedakan kata khusus dan kata umum.
f. Kita harus memperhatikan perubahan makna yang terjadi pada kata-kata yang sudah
dikenal.
g. Kita harus memperhatikan kelangsungan pilihan kata.

4. Ada empat unsur yang terkandung dalam ujaran. Empat unsur tersebut antara lain;
a. Pengertian merupakan landasan dasar untuk menyampaikan sesuatu kepada pendengar
atau pembaca dengan mengharapkan suatu perilaku;
b. Perasaan merupakan ekspresi pembicara terhadap pembicaraanya, hal ini berhubungan
dengan nilai rasa terhadap hal yang dikatakan pembicara;
c. Nada mencakup sikap pembicara atau penulis kepada pendengar pembacaanya; dan
d. Tujuan yaitu sesuatu yang ingin dicapai oleh pembicara atau penulis.

PERTANYAAN
1. Apakah yang dimaksud dengan diksi?
2. Di bawah ini ada beberapa kata dan kalimat, jika Anda anggap benar tulis sesuai aslinya dan
jika salah betulkan!
1. kenapa ……………………..
2. hipotesa ……………………..
3. nggak ……………………..
4. jum’at ……………………..
5. metoda …………………….
6. kwalitas …………………….
7. analisa …………………….
8. jadual …………………….
9. beaya …………………….
10. trampil …………………….
11. ijin …………………….
12. enerji ……………………
13. sistim …………………….
14. menejemen ……………………
15

15. sample ……………………

Anda mungkin juga menyukai