Anda di halaman 1dari 17

RELEVANSI TEORI RONALD DWORKIN

UNTUK MENCIPTAKAN KEADILAN AGRARIA DI INDONESIA


Muh. Afif Mahfud1
1
Mahasiswa Ph.D Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
Email: afifmahfud4@gmail.com

Diserahkan : 27 Agustus 2019


Diterima : 30 Desember 2019

Kata kunci:
Relevansi, Ronald Dworkin's
Teori, Keadilan Agraria

Informasi Artikel Abstrak


Penegakan hukum yang berkaitan dengan Agraria secara tidak adil ditandai dengan ketidaksesuaian
kepemilikan sumber daya alam dan banyak konflik agraria. Ini adalah penelitian normatif,
menggunakan pendekatan konseptual dan data sekunder. Kemudian, data yang dikumpulkan
dianalisis secara kualitatif. Berdasarkan penelitian, pembacaan moral yang dinyatakan oleh Dworkin
sangat relevan untuk dilaksanakan menciptakan keadilan agraria di Indonesia karena aturan endorse-
nya harus ditafsirkan sesuai prinsip keadilan. Teori keadilan Dworkin sangat relevan dalam
menciptakan keadilan di Indonesia karena: (1) menekankan pentingnya partisipasi publik dan
pemahaman individu dalam membangun keadilan; (2) pengakuan atas keragaman publik; dan (3)
memberikan perhatian kepada orang-orang yang kurang beruntung.

I. Pendahuluan
Salah satu tujuan negara Indonesia adalah untuk memajukan kesejahteraan
masyarakat. Untuk mewujudkan tujuan tersebut sumber daya alam harus
dikendalikan oleh negara sebagai organisasi publik untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat yang disebut hak kontrol negara. Kata "hak" menunjukkan kewenangan yang
dimiliki oleh negara untuk mengatur dan mendistribusikan manfaat sumber daya
alam kepada masyarakat. (Julius Sembiring, 2016: 119). Hal ini disebabkan oleh
hubungan antar negara, warga negara sumber daya alam merupakan hal utama yang
tidak hanya menjadi dasar berdirinya negara Indonesia tetapi juga menentukan
eksistensi negara ini di masa depan dan mempengaruhi kesejahteraan masyarakat.
Oleh karena itu, pelaksanaan hak negara untuk mengendalikan harus dilakukan
berdasarkan keadilan sosial. (Nurma, 2016). Keadilan sosial memiliki dua dimensi,
yaitu dimensi material, di mana kondisi di mana semua orang mendapatkan manfaat
dan kebutuhan mereka terpenuhi untuk sumber daya alam. Selain itu, ada juga
dimensi immaterial yang merupakan kondisi di mana preferensi masyarakat
terpenuhi. Kombinasi material dan dimensi immaterial akan menciptakan
kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan kenyataan, kesejahteraan masyarakat dalam
konteks pengelolaan atau pemerataan sumber daya alam belum tercipta
(Suradi, 2007:5). Salah satu penyebabnya adalah ketidakadilan agraria yang terbukti
dari polarisasi kepemilikan sumber daya alam dalam satu orang atau badan usaha,
pengambilan alih hak masyarakat atas sumber daya alam, peran dan kehendak
masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam termasuk tanah. Berbagai kondisi
ini menyebabkan ketidakseimbangan dalam penguasaan pemanfaatan sumber daya
alam di masyarakat. Berdasarkan penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian Bogor, jumlah petani yang tidak memiliki lahan terus meningkat dari tahun
ke tahun baik di Jawa maupun di Jawa.

1 Mahasiswa Doktoral Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. email korespondensi:


afifmahfud4@gmail.com

Yustisia Volume 8 Nomor 3 (September-Desember 2019) Relevansi Ronald Dworkin... 385


©2019; Ini adalah Open Acces Research yang didistribusikan di bawah istilah Lisensi Atribusi
Creative Commons (https://Creativecommons.org/licences/by/4.0), yang memungkinkan
penggunaan, distribusi, dan reproduksi tanpa batas dalam media apa pun, asalkan karya asli
dikutip dengan benar.
di luar Jawa. (Bambang Winarso, 2017: 143). Hal yang ironis juga muncul dalam hasil
penelitian Badan Pusat Statistik pada tahun 2007 seperti dikutip oleh Dianto Bachriadi
dan Gunawan Wiradi bahwa jumlah petani yang memiliki lahan kurang dari 0,1
hektar pada tahun 1973 adalah 3,4% dari total populasi sementara pada tahun 2003
jumlahnya adalah 10,9%. Ini berarti bahwa semakin banyak orang memiliki kurang
dari 0,1 hektar lahan. (Dianto Bachriadi, 2011: 44). Pada tahun 2007, 0,2% penduduk
Indonesia menguasai 56% aset di Indonesia, 87% di antaranya berbentuk tanah (Joyo
Winoto, 2007: 2). Hal ini juga ditegaskan dalam ringkasan eksekutif Bank Dunia pada
tahun 2015 yang menyatakan bahwa hanya sejumlah kecil orang Indonesia yang
memiliki akses keuangan dan fisik seperti tanah di Indonesia (Vivi Alatas, 2016: 50).
Kurangnya kontrol sumber daya alam, terutama tanah, menyebabkan orang hidup
dalam kemiskinan dan ada ketidakseimbangan kekayaan di Indonesia. Padahal hak
atas tanah adalah hak dasar untuk dapat mengakses pangan, perumahan, dan
pembangunan.
Kondisi ini terjadi karena ada pengelolaan sumber daya alam sektoral, sehingga
terjadi kekompakan dalam pengelolaannya yang mengakibatkan potensi eksploitasi
sumber daya alam dan ketidakadilan bagi masyarakat yang hidupnya bergantung
pada sumber daya alam (Muhammad Ilham Arisaputra, 2016: 84), tumpang tindih
peraturan perundang-undangan. tumpang tindih dan tidak mengacu pada tujuan hak
untuk mengendalikan negara untuk kemakmuran terbesar rakyat dan diikuti oleh
paradigma perkembangan atau pembangunan yang meniadakan hak-hak masyarakat.
Satu hal penting yang menyebabkan munculnya ketidakadilan dalam pengelolaan
sumber daya alam adalah adanya undang-undang yang tidak progresif baik dalam
teks perundang-undangan maupun dalam penegakannya. Peraturan non-progresif
yang terkait dengan pengelolaan sumber daya alam disebabkan oleh regulator yang
mengadopsi pemahaman liberal dan kapitalis yang lebih cenderung memacu
pembangunan dan pertumbuhan ekonomi tetapi dengan mengorbankan hak rakyat
atas sumber daya alam. Politik hukum agraria bertentangan dengan tujuan hak untuk
mengendalikan negara, yaitu kemakmuran rakyat yang maksimal. Di sisi lain,
386 Yustisia Volume 8 Nomor 3 (September-Desember 2019) Relevansi Ronald
Dworkin...
penegakan hukum di Indonesia juga terpaku pada paradigma positivis yang terbukti
dari pembacaan hitam putih teks perundang-undangan dan cenderung menjadi
terompet undang-undang dan tidak didasarkan pada nilai keadilan. Undang-undang
yang dibacakan dalam warna hitam dan putih telah dinonaktifkan sejak lahir karena
tidak sesuai dengan nilai-nilai keadilan. Akibatnya, pengendalian sumber daya di
masyarakat semakin timpang dan potensi peningkatan kemiskinan semakin terbuka.
Dalam kondisi seperti itu, diperlukan perubahan dalam pembuatan dan penegakan
hukum di bidang sumber daya alam. Penegak hukum harus membaca atau
menafsirkan hukum dan peraturan berdasarkan nilai keadilan sehingga kesejahteraan
masyarakat dapat tercipta. Selain itu, distribusi sumber daya alam harus menyediakan
fasilitas bagi masyarakat yang kurang beruntung. Pembacaan teks atau interpretasi
undang-undang berdasarkan keadilan dan kepedulian terhadap kemudahan
masyarakat kurang beruntung yang diajukan oleh Ronald Dworkin. Untuk itu, penulis
akan menganalisis relevansi penggunaan teori Ronald Dworkin untuk menciptakan
keadilan agraria di Indonesia. Berdasarkan latar belakang di atas, dua masalah dapat
dirumuskan, yaitu: (1) Bagaimana relevansi penggunaan pembacaan moral yang
diusulkan oleh Dworkin dalam menciptakan keadilan agraria di Indonesia?. (2)
Bagaimana relevansi teori keadilan Dworkin untuk menciptakan keadilan agraria di
Indonesia?
II. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif terkait relevansi teori yang
dikemukakan Ronald Dworkin untuk menciptakan keadilan agraria di Indonesia.
Makalah ini menggunakan pendekatan konseptual yang bertujuan untuk memahami
pandangan dan doktrin yang berkaitan dengan objek analisis. Penelitian ini adalah
literatur penelitian atau literatur yang menggunakan data sekunder. Data yang
diperoleh kemudian akan dianalisis secara kualitatif.

III. Diskusi 1. Relevansi Menggunakan Bacaan Moral Ronald Dworkin untuk


Menciptakan Keadilan Agraria di Indonesia
Diskusi tentang membaca moral akan dimulai dengan diskusi tentang
pentingnya interpretasi dalam hukum karena membaca moral itu sendiri adalah
cara untuk menafsirkan hukum berdasarkan moralitas. Oleh karena itu, penafsiran
hukum merupakan hal yang penting bahkan sentral dalam proses penegakan
hukum. (Jerzy Wroblewski, 1969: 3) Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa hukum
tidak dapat ditegakkan tanpa interpretasi karena melalui interpretasi bahwa
undang-undang dapat diterapkan secara adil dan membumi. (Satjipto Rahardjo,
2009: 125) Interpretasi ini akan menentukan tindakan dan keputusan penegak
hukum karena tindakan tersebut merupakan perwujudan dari interpretasi dan
pemahaman manusia. Dalam hal ini, jika aparat penegak hukum hanya
menggunakan interpretasi gramatikal, penegak hukum akan bertindak mengikuti
teks undang-undang. Di sisi lain, aparat penegak hukum juga dapat melakukan
interpretasi atau interpretasi teleologis yang mengacu pada tujuan pembuatan
peraturan perundang-undangan.
Interpretasi teks undang-undang akan selalu dilakukan dalam proses
penegakan hukum. Hal ini disebabkan oleh teks undang-undang yang mungkin
tidak akan pernah dapat menangani semua masalah yang muncul di masa depan.
Oleh karena itu, penegak hukum harus selalu menafsirkan undang-undang untuk
Yustisia Volume 8 Nomor 3 (September-Desember 2019) Relevansi Ronald Dworkin... 387
menyelesaikan masalah yang ada. Menurut R.T. Manko, ada tiga alasan mengapa
interpretasi harus selalu dibuat dari teks undang-undang, yaitu: (Manko, 2016:
119). Pertama, bahasa hukum bertekstur terbuka atau membuka ruang untuk
interpretasi. Berdasarkan sifat ini, interpretasi teks hukum adalah sesuatu yang
tidak dapat dihindari. Kedua, teks hukum terkadang tidak dengan jelas
menyatakan tujuannya. Oleh karena itu, penting untuk menafsirkan hukum dan
peraturan sehingga mereka berada di bawah tujuan yang ingin dicapai. Ketiga,
undang-undang meskipun dibuat tetapi tidak dapat mencakup semua peristiwa
yang akan terjadi. Hal ini bahkan lebih relevan bila terkait dengan kondisi saat ini
di mana penegakan hukum juga dipengaruhi oleh pesatnya perkembangan
informasi. Dalam kondisi seperti itu, penegak hukum harus menafsirkan hukum
dan peraturan sehingga mereka tetap relevan dengan kasus yang dihadapi.
Deskripsi menunjukkan bahwa interpretasi penting dalam penegakan hukum dan
interpretasi teks adalah hukum yang akan mempengaruhi sikap dan keputusan
penegakan hukum. Memahami pentingnya peran interpretasi dalam penegakan
hukum, ada berbagai konsep dan teori yang diajukan oleh para ahli mengenai
interpretasi undang-undang termasuk Ronald Dworkin. Menurutnya, undang-
undang tersebut harus ditafsirkan secara moral atau moral.
Interpretasi atau pembacaan moral tidak lepas dari analisis hukum oleh
Dworkin yang selalu dikaitkan dengan akhlak. Berangkat dari ini, penulis penting
untuk mengekspresikan makna moral baik secara etimologis dan interpretasi
Dworkin tentang moralitas. Istilah moral, moralitas berasal dari kata Latin "mos"
(tunggal), "mores" (jamak) dan kata sifat moralis. Bentuk jamak dari mores berarti
kebiasaan, perilaku, dan kesopanan. Kata sifat moralis berarti amoralitas. (A
Gunawan, 1990: 93). Dalam pandangan Dworkin, moralitas memperlakukan orang
lain dengan benar. (Ronald Dworkin, 2011: 13). Hukum adalah cabang dari
moralitas politik. Dalam hal ini, teks undang-undang tidak hanya dilihat secara
tekstual tetapi di dalamnya ada moralitas. (Ronald Dworkin, 2005: 78). Dworkin
menempatkan hukum sebagai moralitas politik. (Ronald Dworkin, 1986: 97). Ini
sama dengan pendapat Peter Cane bahwa hukum adalah bagian dari moralitas
dan hukum dapat memastikan penegakan moralitas karena memiliki kekuatan
yang mengikat (Peter Cane, 2002: 2). Selain menempatkan hukum sebagai bagian
dari moralitas, Dworkin juga menempatkan keadilan sebagai bagian dari moralitas
politik dan bahkan keadilan adalah moralitas politik terbaik.
Pernyataan ini juga sejalan dengan pendapat Wojciech Sadurski bahwa
keadilan sangat penting bahkan nilai-nilai yang paling penting dalam masyarakat.
(Wojciech, 1985: 12) Hal ini membuat keadilan menjadi posisi sentral dalam
menafsirkan hukum. Dalam pandangannya, penafsiran hukum adalah kegiatan
menafsirkan atau menafsirkan yang didasarkan pada nilai-nilai moral. (Ronald
Dworkin, 2005: 7) Ini berarti undang-undang harus ditafsirkan secara moral atau
moral membaca. Dworkin menyatakan bahwa untuk menciptakan keadilan
seharusnya tidak hanya berpegang pada substansi undang-undang tetapi lebih
dari itu juga harus mematuhi prinsip-prinsip dalam kehidupan masyarakat prinsip
utamanya adalah keadilan. Prinsip-prinsip ini dapat ditemukan dalam perumusan
konstitusi termasuk prinsip keadilan itu sendiri. Hukum harus dinilai karena

388 Yustisia Volume 8 Nomor 3 (September-Desember 2019) Relevansi Ronald


Dworkin...
kesesuaiannya dengan keadilan dan bahkan interpretasi teks hukum juga harus
didasarkan pada nilai keadilan. (Ronald Dworkin, 2013: 121).
Penafsiran undang-undang moral yaitu keadilan sangat penting dilakukan
sekarang oleh hakim dalam hukum agraria mengingat banyaknya kasus di bidang
agraria yang selama ini mengorbankan masyarakat kecil. Berdasarkan penelitian
tahun 2008, ada 100 sengketa agraria yang melibatkan masyarakat adat dan suku
di pengadilan di Provinsi Sumatera Barat dan tidak satu pun dari kasus-kasus ini
memenangkan masyarakat adat. Selain itu, penafsiran hukum berdasarkan nilai-
nilai keadilan oleh hakim juga semakin penting untuk dilakukan saat ini
mengingat politik hukum sumber daya alam di Indonesia saat ini adalah
kapitalistik liberal yang berfokus pada penggunaan sumber daya alam dalam skala
besar bagi pemilik modal dan investor asing dan lupa bahkan mengorbankan
masyarakat di sekitar lokasi pemanfaatan alam tersebut. Sumber daya. Ini tidak
hanya menyebabkan ketidakadilan tetapi juga kemiskinan dan kerusakan
lingkungan. (Ahmad Nashih Lutfi, 2012: 143). Hal ini sejalan dengan penelitian
Emilianus SeseTobo yang menyatakan bahwa salah satu penyebab kemiskinan di
Flores adalah ketidakseimbangan struktur agraria. (Tobo Emilianus, 2016: 181).
Pemerintah, melalui kebijakan kapitalistik liberal, telah melihat sumber daya
alam sebagai komoditas ekonomi meskipun hubungan yang diciptakan antara
masyarakat dan sumber daya alam adalah hubungan sosial-budaya di mana ada
berbagai simbol dan kearifan lokal. (Husen Alting, 2013: 268). Menghadapi kondisi
tersebut, pemerintah cenderung memilih untuk memprioritaskan pembangunan
dan mengabaikan hubungan sosial budaya antara manusia dan sumber daya alam.
Dalam hal ini, para hakim harus menjunjung tinggi keadilan di bidang sumber
daya alam dengan membuat keputusan progresif dan tidak hanya berpegang pada
hukum dan peraturan, dan bahkan hakim harus kritis terhadap peraturan yang
merampas hak-hak masyarakat adat dan suku seperti Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan yang telah merampas hak-hak masyarakat adat
dan suku atas hutan mereka dengan mengkategorikannya sebagai hutan negara.
Selain itu, ada kebijakan negara yang melakukan nasionalisasi hukum adat tanah
masyarakat seperti yang terjadi di Deli. (OK Saidin, 2015: 28) Dalam kondisi seperti
itu, hakim harus menjadi tonggak sejarah untuk menciptakan keadilan agraria
melalui penafsiran undang-undang secara moral (pembacaan moral) dan
mencegah pengorbanan masyarakat dalam pemanfaatan sumber daya alam
melalui keputusan progresif.
Peran hakim dalam menciptakan keadilan agraria kini semakin penting
mengingat banyaknya konflik agraria di Indonesia. Berdasarkan laporan akhir
Konsorsium Pembaruan Agraria, pada tahun 2010 ada 106 konflik agraria di
Indonesia, jumlah itu meningkat menjadi 163 konflik agraria dan bahkan
menewaskan 22 petani atau penduduk pada tahun 2011. Pada tahun berikutnya,
198 konflik agraria dengan luas konflik mencapai 963.411,2 hektar dan juga
melibatkan 141.915 kepala keluarga. Dari tahun 2004 hingga 2012, jumlah konflik
agraria mencapai 618 konflik agraria, luas lahan yang menjadi objek konflik
mencapai 2.399.314,49 hektar dan melibatkan 731.342 rumah tangga (Laporan
Akhir Konsorsium Pembaruan Agraria 2012). "Keadilan Agraria untuk Rakyat
melalui Reforma Agraria"). Banyaknya konflik agraria yang bisa menjadi sengketa
agraria menjadi tantangan bagi hakim dalam menciptakan keadilan agraria. Dalam
Yustisia Volume 8 Nomor 3 (September-Desember 2019) Relevansi Ronald Dworkin... 389
menangani sejumlah besar kasus, hakim tidak hanya harus mematuhi hukum dan
peraturan tetapi harus mencapai nilai keadilan. Ini berarti bahwa hakim harus
membaca undang-undang secara moral atau moral membaca.
Buku Freedom's Law: The Moral Reading of the American Constitution,
dijelaskan bahwa dalam membaca atau menafsirkan secara moral teks hukum, dua
langkah harus diambil, yaitu (a). Memahami tujuan atau tujuan pembentukan
undang-undang. Dalam hal ini, pendekatan historis menjadi penting dalam
mengetahui tujuan pembentukan hukum, dan (b). Baca teks undang-undang
berdasarkan hukum sebagai integritas. Deskripsi hukum sebagai integritas tidak
dijelaskan dalam buku yang sama oleh Dworkin tetapi dijelaskan dalam buku
yang berbeda yaitu Kekaisaran Hukum. Buku ini menyatakan bahwa Hukum
sebagai Integritas menyangkal bahwa pernyataan hukum adalah laporan faktual
yang terbelakang tentang konvensionalisme atau program instrumental
pragmatisme hukum yang berwawasan ke depan. Ini menegaskan bahwa klaim
hukum adalah penilaian interpretatif dan karena itu menggabungkan elemen
terbelakang dan berwawasan ke depan.
Deskripsi menunjukkan bahwa hukum sebagai integritas, hukum ditafsirkan
dengan menggunakan penggabungan terbelakang dan berwawasan ke depan.
Tampak terbelakang dinyatakan karena pada tahap ini ingin diketahui tentang
proses pembuatan aturan dan substansi peraturan tersebut. Tampak terbelakang
identik dengan tahap pertama dari proses interpretasi adalah tahap pra
interpretatif. Dalam hal ini, hakim yang menangani perkara di bidang agraria
harus memperhatikan apa tujuan politik dan hukum yang ditempuh dalam
undang-undang. Hal ini penting karena jika suatu aturan telah menyebabkan
ketidakadilan hakim harus mengesampingkannya demi keadilan. (Radbruch, 2006:
6).
Tahap kedua adalah interpretatif yaitu melakukan interpretasi korespondensi
antara substansi undang-undang dengan nilai-nilai keadilan.
Dalam hal ini, kepatuhan terhadap nilai keadilan harus dilihat. Nilai keadilan
dapat diukur dari dua aspek, pertama, pemerataan sumber daya oleh masyarakat.
Kedua, kemudahan bagi orang-orang yang kurang beruntung atau yang kurang
mampu mengakses sumber daya alam. Jika ditemukan ketidaksesuaian dengan
nilai keadilan dan tidak layak diterapkan dalam suatu kasus yang konkret, hakim
harus melanjutkan ke tahap ketiga, tahap post interpretatif atau reforming, yaitu
tahapan pembentukan keputusan baru di bidang agraria berdasarkan nilai-nilai
keadilan.
Uraian di atas menunjukkan bahwa penggunaan pembacaan moral atau
membaca undang-undang tertentu berdasarkan moralitas membuat hakim dapat
membuat terobosan dalam menjatuhkan putusan dan menegakkan hukum
sehingga mengikuti nilai keadilan. Dalam hal ini, hakim tidak lagi hanya terompet
undang-undang tetapi dapat menghasilkan keputusan yang adil berdasarkan
refleksi dan penilaian mendalam baik latar belakang dan tujuan untuk
kompatibilitas hukum dan peraturan dengan nilai keadilan. Artinya, penegakan
hukum melalui interpretasi Ronald Dworkin akan menciptakan keadilan
substantif, bukan keadilan prosedural. Menurut Satjipto Rahardjo, melalui
pembacaan moral ini, hakim tidak hanya mengeja tetapi mencapai keadilan
390 Yustisia Volume 8 Nomor 3 (September-Desember 2019) Relevansi Ronald
Dworkin...
sebagai makna yang lebih dalam dari peraturan perundang-undangan (Satjipto
Rahardjo, 2007: 41). Dalam kondisi seperti itu, hakim bertanggung jawab untuk
merayakan hukum berdasarkan nilai conscientia,yaitu keadilan. Hal ini karena
hakim akan memberikan putusan dan hukuman dalam suatu perkara.
Membaca oleh Ronald Dworkin membuat keadilan dasar untuk menafsirkan
undang-undang dan membentuk keputusan. Hal ini konsisten dengan pendapat
Eskridge bahwa dalam menafsirkan berdasarkan keadilan, beberapa hal harus
dilakukan, pertama, penerjemah tidak hanya harus mempertimbangkan teks
undang-undang dan sejarah pembuatannya tetapi juga seluruh hukum yang
berkaitan dengan hukum agraria. Dalam hal ini, penerjemah harus menempatkan
hukum sebagai sesuatu yang terbuka dan tidak terisolasi (William N. Eksridge,
1989: 1016). Kedua, penerjemah harus memandang undang-undang sebagai
sesuatu yang dinamis, sehingga seorang penerjemah harus dapat memahami
dinamika dalam politik hukum di bidang agraria dan menilai kesesuaiannya
dengan nilai-nilai keadilan. Ketiga, penerjemah juga harus dapat memahami
kesadaran masyarakat tentang distribusi sumber daya alam atau agraria secara
adil. Hal ini mengikuti latar belakang pembentukan UU Agraria Nasional, yaitu
menciptakan uu agraria yang mengikuti kesadaran hukum masyarakat. Oleh
karena itu, hakim sebagai penerjemah harus mampu menangkap pemahaman
masyarakat tentang keadilan agraria dan menempatkan hak-hak masyarakat atas
sumber daya alam sebagai hak asasi manusia (Yance Arizona, 2010: 51)
Pemahaman masyarakat perlu dipertimbangkan karena pemahamannya berbeda
dengan hukum nasional. Menurut komunitas hukum adat, hukum itu ajaib, kas,
konkret dan fleksibel dalam suasana komunalistik masyarakat yang berbeda dari
hukum negara formal-legalistik yang bergantung pada peraturan hukum dan
bukti formal dan tertulis.

2. Relevansi Menggunakan Teori Keadilan Ronald Dworkin untuk Menciptakan


Keadilan Agraria di Indonesia
Menyatakan bahwa keadilan adalah cabang moralitas dan bahkan moralitas
politik terbaik. Hal ini juga sejalan dengan pernyataan berbagai pakar hukum
termasuk Bur Rasuanto yang menyatakan bahwa keadilan adalah nilai primer
tertinggi atau keutamaan keadilan (Rasuanto, 2005:6). Jimly Ashshiddiqie
menyebut keadilan sebagai norma tertinggi dalam kehidupan bernegara. (Jimly
Asshiddiqie, 2018: 147) Penempatan keadilan sebagai nilai tertinggi adalah karena
keadilan terkait kesejahteraan masyarakat atau pemerataan sumber daya agraria.
Mewujudkan keadilan di sektor agraria kini menjadi masalah besar bagi bangsa
ini. Hal ini karena ketimpangan agraria masih terjadi di Indonesia, baik
ketimpangan kepemilikan lahan maupun sumber daya alam lainnya, adanya
peraturan perundang-undangan yang tidak adil karena menghilangkan akses
masyarakat untuk menikmati sumber daya alam dan tidak adanya hak masyarakat
untuk berpartisipasi aktif dalam menentukan kebijakan publik. Berdasarkan
kondisi tersebut, sudah sepantasnya membuat kebijakan yang adil di bidang
sumber daya alam yang disebut keadilan agraria. Keadilan agraria dapat
didefinisikan sebagai suatu kondisi di mana struktur kepemilikan sumber daya
agraria tidak menunjukkan ketidakseimbangan kepemilikan sumber daya agraria
dan memberikan ruang bagi partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumber
daya alam (Fatimah, 2015: 119).
Yustisia Volume 8 Nomor 3 (September-Desember 2019) Relevansi Ronald Dworkin... 391
Untuk menciptakan kebijakan yang adil di bidang sumber daya alam banyak
ahli mengemukakan berbagai teori keadilan termasuk Ronald Dworkin dan yang
terbaru Peter A. Corning. Untuk Corning, keadilan melibatkan tiga hal: pertama,
barang dan jasa harus didistribusikan kepada semua orang berdasarkan
kebutuhan dasar mereka. Kedua, kelebihan atau surplus sumber daya setelah
kebutuhan dasar setiap orang terpenuhi harus didistribusikan berdasarkan jasa
atau usaha orang tersebut. Ketiga, semua orang harus berkontribusi pada upaya
untuk memenuhi kebutuhan bersama dengan kemampuan mereka. (Peter
Corning, 2012: 200). Teori Peter A Corning selaras dengan teori Ronald Dworkin
bahwa distribusi sumber daya yang adil harus memenuhi kebutuhan dasar semua
orang, tetapi ada perbedaan antara keduanya, yaitu Dworkin dalam teori
keadilannya juga membahas preferensi pribadi, yang mempertimbangkan
pemahaman dan keinginan individu dan dengan mempertimbangkan aspek
kontekstualitas. Keberadaan konsep ini juga membedakan teori keadilan Dworkin
dari teori keadilan yang diusulkan oleh John Rawls, meskipun ada juga titik
kesamaan, bagi orang-orang yang kurang beruntung harus diberi akses mudah ke
sumber daya. Pada titik ini, Dworkin menolak kesetaraan kesejahteraan yang tidak
memperhitungkan preferensi pribadi dan memilih kesetaraan sumber daya
sebagai dasar untuk membangun teori keadilan. Teori keadilan Dworkin inilah
yang akan menjadi landasan penulis dalam studi penciptaan keadilan agraria di
Indonesia. Menurut penulis, ide Ronald Dworkin tentang keadilan dalam
distribusi sumber daya dapat dibagi menjadi tiga pemahaman yang dijelaskan di
bawah ini.

1. Pentingnya Partisipasi Publik dan Pemahaman Individu dalam


Membangun Keadilan
Ide-ide utama Dworkin adalah bahwa penciptaan hukum yang adil harus
peka terhadap aspek budaya, sejarah dan tindakan individu yang kemudian
menjadi praktik sosial dalam masyarakat. Dalam konteks ini, untuk
mengetahui praktik sosial, pertama-tama harus mengetahui pemahaman
individu yang terlibat. (GunawanSetiardja, 1990: 97) Artinya, dalam membuat
undang-undang juga harus mencakup masyarakat atau individu yang terlibat.
Pernyataan ini sejalan dengan pendapat Wojciech Sadurski bahwa cara terbaik
untuk menafsirkan konsep moral adalah dengan mengetahui apa arti
masyarakat tentang konsep moral termasuk keadilan. Artinya, keadilan adalah
apa pun yang didefinisikan publik sebagai keadilan.
Partisipasi masyarakat penting karena keadilan dalam teks hukum dan
peraturan akan dibuat jika ada kesepakatan dari berbagai pemahaman
individu yang berbeda. Pembuatan undang-undang harus dilaksanakan secara
holistik di mana interpretasi yang berbeda atau pemahaman individu
dihasilkan dari nilai, pengalaman, dan tujuan yang berbeda disatukan tanpa
mengetahui hierarki dan subordinasi (berbagi konsep interpretatif). Inilah
yang dinyatakan Dworkin dengan keadilan sebagai interpretasi konstruktif.
Dworkin melalui keterangannya telah menunjukkan pentingnya melibatkan
individu dalam proses pembuatan undang-undang dan peraturan.

392 Yustisia Volume 8 Nomor 3 (September-Desember 2019) Relevansi Ronald


Dworkin...
Bagi Dworkin, masyarakat adalah anggota moral dari komunitas politik
yang memiliki hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan politik.
Setiap individu diharapkan dapat berperan dalam menjaga dan
mengembangkan nilai-nilai, tradisi, dan budaya yang mereka pegang. Ini
memiliki dua efek positif, pertama, setiap orang memiliki hak untuk memiliki
pandangan yang berbeda dalam pengambilan keputusan kolektif. Dalam
membuat keputusan ini prinsip abstraksi diadopsi, yaitu, para pihak memiliki
kebebasan untuk mengekspresikan pendapat mereka untuk melindungi diri
mereka sendiri dan mereka sendiri atau melakukan koreksi terhadap
peraturan yang mereka anggap tidak adil. Selain itu, setiap orang juga
memiliki hak untuk mengidentifikasi apa yang dia anggap sebagai hal-hal baik
dan cara-cara yang dapat diambil untuk mendapatkan kehidupan yang baik.
Pernyataan Dworkin juga sejalan dengan pernyataan Jenifer Trusted bahwa
manusia adalah agen moral yang memiliki kebebasan untuk memilih tindakan
mereka. (Jennifer Trusted, 1987: 1). Kedua, proses pengambilan keputusan
harus memperhatikan seluruh anggota masyarakat, terutama terkait distribusi
sumber daya yang diharapkan dapat membawa manfaat bagi semua pihak.
Ketiga, proses pengambilan keputusan harus memberikan kondisi yang
mendorong individu di dalamnya untuk sampai pada kesimpulan tentang
masalah yang ada berdasarkan penilaian individu reflektif. Berdasarkan hal
ini, setiap individu bebas untuk membuat pilihan berdasarkan keinginannya
dalam istilah relatif dan menentukan apa yang penting berharga dalam
hidupnya.
Pandangan Dworkin, keadilan sensitif terhadap karakter individu dan
tidak dapat diukur berdasarkan pendekatan kuantitatif tetapi keadilan hanya
dapat dihasilkan melalui pengambilan keputusan bersama antara anggota
masyarakat dan lembaga terkait. Kemudian, pengambilan keputusan bersama
juga penting untuk mengetahui penilaian masing-masing individu. Penting
untuk mengetahui dan mempelajari pemahaman individu yang peduli tentang
apa yang adil atau tidak adil, benar atau salah, baik atau jahat, ekspresi atau
komitmen pribadi yang membimbing hidup mereka.
Uraian di atas, keadilan dapat dibuat jika suatu aturan didasarkan pada
kesepakatan dengan pihak-pihak terkait yang tentu saja dalam prosesnya akan
ada berbagai pemahaman. Hubungan antara keadilan dan keragaman
pemahaman dijelaskan dalam diskusi tentang masyarakat yang didasarkan
pada prinsip keadilan. Dalam komunitas prinsip, hukum akan diciptakan,
dipilih, dimodifikasi, dikembangkan dan ditafsirkan dengan cara yang dengan
nilai-nilai keadilan dan menghormati keragaman dalam masyarakat.
Komunitas prinsip menghormati keberadaan masyarakat yang pluralistik
secara moral dan adanya berbagai pemahaman yang berbeda yang kemudian
dikompromikan untuk mengembangkan peraturan yang dapat
mengakomodasi keragaman tersebut. Ini berarti bahwa keragaman dalam
pemahaman dihargai secara moral oleh Ronald Dworkin.
Penekanan pada pentingnya partisipasi publik dan pemahaman individu
dalam menciptakan keadilan menjadi sangat relevan untuk diadopsi dan
diterapkan dalam hukum agraria nasional. (Vel J.A.C 2010: 46) Ada tiga
manfaat partisipasi publik, yaitu (1) menampung aspirasi mengenai kebijakan,
Yustisia Volume 8 Nomor 3 (September-Desember 2019) Relevansi Ronald Dworkin... 393
(2) memfasilitasi pemahaman masyarakat tentang substansi kebijakan yang
akan dibuat dan (3) merasa menjadi bagian dari kebijakan. Ironisnya, ada
undang-undang dan peraturan di Indonesia yang mengecualikan partisipasi
publik seperti Pasal 14 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang kemudian
melaksanakan konstitusi peradilan di Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia (Yance Arizona, 2011: 63). Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia Perkara Nomor 3/PUU-VII/2010 disebutkan bahwa
kurangnya ruang partisipasi publik bertentangan dengan konstitusi karena
merupakan bentuk pembungkaman hak-hak masyarakat dan tidak adanya
partisipasi publik akan menghilangkan hak-hak publik. Partisipasi publik
dalam mengembangkan kebijakan agraria harus partisipasi yang tulus dan
bukan partisipasi buatan. Partisipasi asli adalah partisipasi yang memberikan
ruang bagi masyarakat untuk menentukan keputusan atau kebijakan yang
akan dibuat daripada partisipasi semu yang hanya menempatkan masyarakat
sebagai objek yang tidak dapat mempengaruhi keputusan atau kebijakan yang
akan diambil.

2. Menghormati Keragaman Komunitas Budaya


Menyatakan bahwa peraturan harus memperhatikan kompleksitas yang
melekat dalam masyarakat termasuk aspek budaya (Ronald Dworkin, 2985: 3).
Ini karena seseorang yang dibesarkan oleh budaya yang berbeda akan
mengarah pada penilaian yang berbeda. Masalah keadilan adalah masalah
interpretasi sehingga sifat kontekstualnya dapat berbeda antara satu tempat
dan tempat lain dan pada satu waktu dan waktu lain. Bagi Dworkin,
penghormatan terhadap keragaman budaya menjadi penting di masyarakat
karena budaya tidak hanya psikologis tetapi juga terkait dengan etika. Dalam
buku Justice for Hedgehogs, etika didefinisikan sebagai menjalani kehidupan
dengan baik. Dworkin menempatkan keadilan sebagai parameter etika.
(Ronald Dworkin, 2000: 261) Kehidupan yang baik dan benar dalam
pandangannya sangat kontekstual. Dalam arti tertentu, hidup dianggap baik
tergantung pada budaya bangsa atau budaya suatu komunitas. Dalam hal ini,
setiap komunitas memiliki kehidupan etisnya sendiri karena memiliki budaya
yang berbeda. Untuk menciptakan keadilan, keragaman budaya dalam
masyarakat perlu diakomodasi dalam perumusan peraturan. Pernyataan di
atas juga mengikuti pendapat Amartya Sen bahwa keadilan tidak boleh
ditentukan oleh pihak berwenang karena keadilan harus didasarkan pada
kehendak rakyat dan bukan hasil spekulasi pemerintah (Amartya, 2009: 9).
Dalam konteks seperti itu, makna keadilan sosial yang diciptakan akan
mengikuti nilai-nilai dan pemahaman masyarakat. Akibatnya, pemikiran dan
nilai-nilai masyarakat yang kompleks harus dipertimbangkan dalam
mengambil keputusan sehingga keadilan dapat terwujud. Pikiran dan
penilaian setiap orang sangat diperlukan karena pikiran dan penilaian mereka
penting dalam memahami makna keadilan. Artinya, penilaian makna keadilan
sosial harus didasarkan pada keragaman sudut pandang. Berdasarkan
keragaman pemahaman masyarakat, dalam setiap kebijakan, pemerintah

394 Yustisia Volume 8 Nomor 3 (September-Desember 2019) Relevansi Ronald


Dworkin...
harus melakukan diskusi terbuka dan penelitian mendalam tentang suatu
kebijakan.
Dalam karyanya yang lain, Taking Right Seriously, disebutkan bahwa
penting untuk memahami peran tradisi bagi masyarakat yang bersangkutan
agar nantinya peraturan perundang-undangan tersebut dapat didukung oleh
masyarakat setempat. Penjelasan di atas menunjukkan bahwa peraturan
perundang-undangan harus kontekstual. Kontekstualitas ini berarti bahwa
keadilan sosial bukan hanya masalah distribusi tetapi jauh lebih luas dalam
lingkup, yaitu dimensi moral secara keseluruhan dalam aspek politik, ekonomi
dan aspek lain dari organisasi sosial. Oleh karena itu, peraturan perundang-
undangan harus menjadi cerminan pemahaman dan budaya masyarakat.
(Yanis Maladi, 2012: 436). Keragaman budaya dalam pandangan Dworkin
menunjukkan bahwa keadilan sangat kontekstual karena dipengaruhi oleh
ruang dan waktu. Dalam hal ini, hukum agraria yang adil harus peka terhadap
keragaman budaya masyarakat Indonesia atau yang dalam bahasa Werner
Mensky adalah budaya-spesifik. Mensky menyatakan bahwa keadilan sosial
harus mengikuti budaya masyarakat dan di sisi lain budaya masyarakat juga
harus mengikuti nilai keadilan. Demikian juga, hukum negara harus
didasarkan pada nilai keadilan dan memperhatikan budaya masyarakat.
Interaksi ketiga aspek ini akan menciptakan keadilan yang sempurna.
Keadilan sangat penting di Indonesia karena di Indonesia ada berbagai
masyarakat adat dan lokal yang memahami bahwa sumber daya alam tidak
hanya ekonomi tetapi juga sosial dan budaya. Dalam hal ini, pemahaman
masyarakat harus diperhitungkan dalam menciptakan kebijakan yang adil di
bidang sumber daya alam. Lilis Mulyani menyatakan bahwa dalam membuat
peraturan perundang-undangan atau putusan hakim, hakim harus
melaksanakan pentingnya hukum kontekstual atau mengikuti kondisi
ekonomi, sosial dan budaya masyarakat dan akan diterima dan dapat efektif di
masyarakat dan akan menciptakan keadilan yang sempurna bagi masyarakat.
Sri Mulyani, 2008: 69)

3. Kesetaraan Sumber Daya: Memberikan Perhatian kepada Masyarakat


kurang beruntung
Menyatakan bahwa keadilan dapat tercipta jika ada kesepakatan dengan
pihak terkait dan dapat menghormati keragaman budaya masyarakat. Hal
tersebut di atas memiliki banyak hal untuk dikatakan tentang pembuatan
kebijakan yang adil tetapi belum dibahas tentang makna keadilan itu sendiri.
Keadilan, pada akhirnya, adalah pemenuhan hak-hak individu. Menurutnya,
agar keadilan dapat tercipta penting untuk mematuhi prinsip kesetaraan
sumber daya. Kesetaraan sumber daya didasarkan pada prinsip egaliter
abstrak, yaitu, pemerintah berkewajiban untuk membuat kehidupan
masyarakat lebih baik dan menunjukkan perhatian yang sama terhadap
kehidupan setiap orang. Setiap orang yang menerima prinsip abstrak akan
menempatkan kesetaraan sebagai cita-cita politik dan masih mengakui
keragaman pemahaman dan budaya dalam masyarakat. Pendapat ini sangat
relevan untuk diterapkan kepada masyarakat kurang mampu dan masyarakat
hukum adat. Dalam konteks masyarakat adat dan suku, pemerintah harus

Yustisia Volume 8 Nomor 3 (September-Desember 2019) Relevansi Ronald Dworkin... 395


menyadari bahwa masyarakat adat dan suku memiliki hak adat, yaitu
kewenangan untuk mengelola wilayahnya secara mandiri.
Dworkin, kesetaraan sumber daya terkait dengan perlakuan terhadap
manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup dan perlindungan kepemilikan
mereka. Hal ini sejalan dengan pendapat Thomas Paine bahwa keadilan
agraria membutuhkan perlindungan kepemilikan masyarakat dan pemerataan
sumber daya alam bagi semua masyarakat (Thomas Paine, 1999: 87). Untuk
menciptakan keadilan, pertama-tama perlu dipahami bahwa masyarakat
memiliki hak yang harus dihormati sehingga peraturan yang tidak
menghormati hak-hak masyarakat harus dipertimbangkan untuk keberadaan
mereka. Bagian penting lain dari teori keadilan yang diusulkan oleh Dworkin
adalah penyelarasan orang-orang yang kurang beruntung. Dalam
pandangannya, orang memiliki kemampuan yang berbeda. Oleh karena itu,
diperlukan kebijakan yang berbeda untuk itu. Hal ini penting agar setiap
orang dapat memenuhi kebutuhan dasar mereka dan memanfaatkan peluang
yang ada. Untuk menjelaskan orang-orang yang kurang beruntung yang
disebutkan di atas, menulis akan mengacu pada kategori orang yang kurang
beruntung menurut Amartya Sen, yaitu (1) Keragaman pribadi; masyarakat
memiliki karakteristik yang berbeda baik dari segi usia, jenis kelamin,
disabilitas dan lain-lain yang membuat kebutuhan mereka sangat beragam
misalnya disabilitas atau orang sakit mungkin membutuhkan penghasilan
lebih untuk melakukan hal-hal dasar daripada orang sehat; (2) Keragaman
tingkat pendapatan dalam masyarakat. Dalam hal ini, orang-orang yang
kurang beruntung memiliki pendapatan rendah; (3) Keragaman dalam kondisi
sosial: Kondisi sosial sangat mempengaruhi akses ke layanan kesehatan dan
pendidikan; dan (4) Perbedaan pola perilaku masyarakat yang juga
mempengaruhi kesejahteraan masyarakat.
Perbedaan kemampuan masyarakat mengenai hal-hal dasar seperti di atas
sangat penting untuk menentukan pelayanan yang harus diberikan. Dalam hal
ini, layanan kepada kelompok-kelompok ini harus diberikan fasilitas. Menurut
Dworkin, adanya perlakuan yang sama atau lebih berat kepada masyarakat
kurang mampu akan menghasilkan ketidakadilan bencana yang lebih besar.
Perhatian terhadap orang-orang yang kurang beruntung adalah topik utama
Dworkin dalam bukunya Sovereign Virtue, yang menyatakan bahwa orang-
orang yang kurang beruntung membutuhkan lebih banyak perhatian dalam
distribusi sumber daya. Perhatian terhadap orang-orang yang kurang
beruntung adalah bentuk moral sedangkan distribusi sumber daya terkait
dengan aspek ekonomi. Sehubungan dengan hal ini, dinyatakan bahwa
landasan moral sangat penting bagi ekonomi yang bertujuan untuk
mewujudkan keadilan sosial. (Sri Edi Swasono, 2007: 36) Komunitas yang
kurang beruntung ini muncul karena defisit sumber daya yang pasti dan
bebas. Defisit sumber daya adalah kesenjangan antara sumber daya yang
dibutuhkan dan sumber daya yang dapat diperoleh. Defisit kebebasan adalah
suatu kondisi di mana seseorang terbatas untuk mendapatkan sesuatu karena
keterbatasan atau kondisi tertentu dibandingkan dengan apa yang dapat ia
capai dalam distribusi yang sama.

396 Yustisia Volume 8 Nomor 3 (September-Desember 2019) Relevansi Ronald


Dworkin...
Atasi dua masalah tersebut, Dworkin mengedepankan konsep perbaikan,
yaitu perbaikan orang yang mengalami defisit sumber daya dan juga defisit
kebebasan. Dalam konteks perbaikan, pemerintah harus memperhatikan
preferensi politik, yaitu sama-sama memperhatikan nasib setiap orang atas
kepemilikannya. Dengan demikian, setiap kebijakan distribusi yang dilakukan
pemerintah harus mempertimbangkan kondisi masyarakat kurang mampu.
Konsep perbaikan yang menekankan kenyamanan bagi mereka yang kurang
beruntung. Hal ini sejalan dengan tindakan afirmatif. Ashwini Despande
mendefinisikan tindakan afirmatif sebagai program bagi orang-orang yang
menderita ketidakadilan dan ketidaksetaraan. Menurut Sukirno, ada beberapa
prinsip kebijakan afirmatif, yaitu: (Sukirno, 2015: 333) Pertama, penelitian
sebelum membuat peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini, proses
pembentukan undang-undang harus dibentuk melalui partisipasi publik dan
mengakomodasi aspirasi rakyat. Kedua, prinsip penuntun yang berasal dari
Pancasila. Dalam hal ini, Pancasila, khususnya sila kelima harus menjadi batu
ujian dalam membuat peraturan perundang-undangan. Ketiga, keadilan sosial
yang merupakan tindakan afirmatif adalah keadilan yang berpihak kepada
masyarakat kurang mampu. Keempat, ada kesempatan yang sama untuk
mengakses fasilitas yang ada.
Pada deskripsi Ronald Dworkin di atas, kebijakan agraria yang adil harus
memberikan fasilitas bagi orang-orang yang kurang beruntung, mereka yang
mengalami defisit kebebasan dan defisit sumber daya dalam mengakses dan
mendapatkan perlindungan atas kepemilikan sumber daya alam mereka.
Fasilitas tersebut berupa pengolahan izin dan hak serta pemerataan sumber
daya alam kepada masyarakat kurang mampu. Artinya, dalam distribusi
sumber daya alam, ketimpangan kemampuan dalam masyarakat harus
minimal minimorum, situasi yang memberikan fasilitas maksimal bagi
masyarakat kurang mampu. Artinya, meskipun masyarakat dan korporasi
keduanya dapat menjadi subjek hak atas sumber daya alam, namun dalam
penyalurannya harus mengutamakan masyarakat kurang mampu (M. Yazis,
2013:47). Teori Ronald Dworkin sangat relevan dalam distribusi sumber daya
alam di Indonesia karena banyaknya masyarakat kurang mampu baik secara
ekonomi, pendidikan maupun aspek kehidupan lainnya.

IV. Kesimpulan
Dalam uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa: pertama, pembacaan moral yang
diajukan oleh Dworkin sangat relevan dalam menciptakan keadilan agraria di
Indonesia karena mendorong interpretasi teks hukum berdasarkan nilai keadilan.
Dalam konteks agraria, penting untuk melindungi hak-hak rakyat di tengah politik
hukum agraria Indonesia yang bersifat kapitalis-liberal yang tidak hanya tidak adil
tetapi juga menyebabkan kemiskinan di masyarakat dan memicu konflik agraria.
Kedua, teori keadilan Ronald Dworkin juga relevan dalam menciptakan keadilan
agraria karena (1) menekankan pentingnya partisipasi publik dalam membangun
keadilan; (2) menghormati keragaman budaya masyarakat; dan (3) memperhatikan
orang-orang yang kurang beruntung.
Penulis menyarankan pemerintah untuk membuat kebijakan agraria harus
membuka partisipasi publik dan juga memperhatikan orang-orang yang kurang
Yustisia Volume 8 Nomor 3 (September-Desember 2019) Relevansi Ronald Dworkin... 397
beruntung. Dalam proses penegakan hukum, penegak hukum, khususnya hakim,
harus membaca teks perundang-undangan secara moral dalam bentuk implementasi
nilai keadilan.

REFERENSI
Buku:
A Gunawan Setiardja. (1990). Dialektika Hukum dan Moral : Dalam Pembangunan
Masyarakat Indonesia. Yogyakarta - Kanisius.
Ahmad Nashih Luthfi (ed). (2012). Kebijakan, Konflik dan Perjuangan Agraria Indonesia
Awal Abad 21 : Hasil Penelitian Sistmatis STPN, 2012. Penerbit : Pusat Penelitian
dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional.
Amartya Sen. (2009). Gagasan keadilan. Massachusetts : The Belknap Press dari Harvard
University Press.
Dianto Bachriadi dan Gunawan Wiradi. (2011). Enam Dekade Ketimpangan Masalah
Penguasaan Tanah di Indonesia. Bandung - Pusat Sumber Daya Agraria (ARC),
Bina Desa, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).
Gunawan Setiardja. (1990). Dialektika Hukum dan Moral : Dalam Pembangunan
Masyarakat Indonesia. Yogyakarta - Kanisius.
Jennifer percaya. (1987) Prinsip Moral dan Nilai-Nilai Sosial London : Routledge dan
Kegan Paul.
Jimly Ashshiddiqie. (2018). Konstitusi Keadilan Sosial : Serial Gagasan Konstitusional
Negara Kesejahteraan Sosial Indonesia. Jakarta - Kompas.
Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi. Aktualisasi Masyarakat
Hukum Adat : Perspektif Hukum dan Keadilan Terkait dengan Status Masyarakat
Hukum Adat dan Hak-Hak Konstitusionalnya. Pusat Penelitian dan Pengkajian
Perkara, Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi Kepaniteraan dan
Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi RI
Menski, Werner. Hukum Komparatif dalam Konteks Global: Sistem Hukum Asia dan Afrika,
Edisi Kedua. Inggris :Cambridge University Press.
Peter Cane. (2002) Tanggung Jawab Dalam Hukum dan Moralitas. Oxford : Portland
Oregon.
Rasuanto, Bur. (2005). Keadilan Sosial : Pandangan Deontologis Rawls Dan Habermas (Dua
Teori Filsafat Politik Modern). Jakarta : Penerbit P.T. Gramedia Pustaka Utama.
Ronald Dworkin. (1985) Masalah Prinsip. Cambridge : Harvard University Press.
---------------------. (1986) Kekaisaran Hukum. Cambridge: Pers Belknap.
---------------------. (2000) Kebajikan Berdaulat: Teori dan Praktek Kesetaraan. Pers
Universitas Harvard.
---------------------. Hukum Kebebasan: Pembacaan Moral Konstitusi Amerika. London:
Oxford University Press.
---------------------. (2011) Keadilan untuk Landak. Cambridge: Pers Belknap.

398 Yustisia Volume 8 Nomor 3 (September-Desember 2019) Relevansi Ronald


Dworkin...
---------------------. (2013) Mengambil hak dengan serius. London - Bloomsbury
Academic.
Satjipro Rahardjo. (2009). Hukum Progresif : Sebuah Sintesa Hukum Indoensia.
Yogyakarta - Genta Publishing.
Satjipto Rahardjo. (2007). Mendudukkan Undang-Undang Dasar : Suatu Pembahasan
dari Optik Ilmu Hukum Umum. Semarang : Badan Penerbit Universitas
Diponegoro.
Satjipto Rahardjo. (2007). Mendudukkan Undang-Undang Dasar : Suatu Pembahasan
dari Optik Ilmu Hukum Umum. Semarang : Badan Penerbit Universitas
Diponegoro.
Wojciech Sadurski. (1985) Memberikan Gurun Karena: Keadilan Sosial dan Teori
Hukum. Holland: D. Reidel Publishing Company.
Yance Arizona (ed). (2010). Antara Teks dan Konteks : Dinamika Pengakuan Hukum
Terhadap Hak Masyarakat Adat Atas Sumber Daya Alam di Indonesia. Jakarta:
Huma.

Jurnal:
Bambang Winarso. Dinamika Pola Penguasaan Lahan Sawah di Wilayah Pedesaan di
Indonesia. Jurnal Penelitian Pertanian Terapan, Volume 12, Nomor 3, 2017.
Emilianus Yakob Sese Tolo. "Akumulasi Melalu Perampasan dan Kemiskinan di
Flores." Masyarakat: Jurnal Sosiologi, Volume 21, Nomor 2, 2016.
Fatimah. Reforma Agraria Dalam Konteks Peningkatan Akses Kaum Tani Miskin
Terhadap Penguasaan Tanah di Indonesia. Jurnal Hukum Samudera Keadilan, Vol.
10, No. 2 Juli-Desember 2015.
Husen Alting. Konflik Penguasaan Tanah di Maluku Utara : Rakyat Versus Penguasa
dan Pengusaha. Jurnal Dinamika Hukum Volume 13, Nomor 2 Mei 2013.
Jerzy Wroblewski. penalaran hukum dalam interpretasi hukum. Logique et Analyse,
Nouvelle Série, Volume 12, Number 45, Maret 1969.
Julius Sembiring. Hak Menguasai Negara Atas Sumber Daya Agraria. Bhumi Volume 2
Nomor 2 November 2016.
Lilis Mulyani. Pengelolaan Sumber Daya Alam Di Mata Mahkamah Konstitusi :
Analitis Kritis Atas Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Sumber Daya Alam.
Jurnal Masyarakat &Budaya, Volume 10 No. 2 Tahun 2008.
M. Yazid Fathoni. Konsep keadilan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya
alam menurut undang-undang pokok Agraria Tahun 1960. Jurnal IUS, Vol. 1
Nomor 1, April 2013.
Manko, R. T. Ideologi dan Interpretasi Hukum: Beberapa Pertimbangan Teoritis. Dalam
Nilai Konstitusional dalam Ruang Hukum Kontemporer,Volume I, 2016.
Michael Kirby. Interpretasi Hukum: Arti Makna. Tinjauan Hukum Universitas
Melbourne, Volume 35.
Muhammad Ilham Arisaputra. Access Reform Dalam Kerangka Reforma Agraria Untuk
Mewujudkan Keadilan Sosial. Perspektif, Vol. XXI No. 2 Tahun 2016 Edisi Mei.
Nurma Khusna Khanifa. Konstitusi Agraria Upaya Reforma Agraria Melalui Program
Yustisia Volume 8 Nomor 3 (September-Desember 2019) Relevansi Ronald Dworkin... 399
LARASITA Pensertifikatan Hak Milik Atas Tanah. Syariati, Jilid II No. 2, November
2016
O.K. Saidin. Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda Atas Tanah Konsesi
Kesultanan Deli (Studi Awal Hilangnya Hak-Hak Atas Sumber Daya Alam
Masyarakat Adat). Yustisia, Volume 4. No. 1, Januari – April 2015.
Peter A. Corning. The Fair Society: Saatnya Menulis Ulang Kontrak Sosial Seattle
Journal for Social Justice, Vol. 11, Edisi I, 2012.
Radbruch, Gustav. Statutory Lawlessness and Supra-Statutory Law (1946),
diterjemahkan oleh Bonnie Litschewski Paulson dan Stanley L. Paulson. Oxford
Journal of Legal Studies, Vol. 26, No. 1 (2006).
Sukirno. Kebijakan Afirmatif Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat
Hukum Adat. Jurnal Masalah-Masalah Hukum Jilid 44 No. 3, Juli 2015.
Suradi. Pembangunan Manusia, Kemiskinan dan Kesejahteraan Sosial : Kajian Tentang
Kebijakan Pembangunan Kesejahteraan Sosial di Nusa Tenggara Barat. Jurnal
Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol. 12, No. 03, 2007.
Vel, J.A.C. & Makambombu, S., (2010) 'Akses ke Keadilan Agraria di Sumba, Indonesia
Timur', Hukum, Keadilan Sosial &Global Development Journal (LGD), Vol.1, 2010.
William N Eskridge. Nilai-nilai Publik dalam Interpretasi Hukum. Tinjauan Hukum
Universitas Pennsylvania, Vol. 137, No. 4, April 1989.
Yance Arizona. Perkembangan Konstitusionalitas Penguasaan Negara Atas Sumber
Daya Alam Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi. Jurnal Konstitusi, Vol. 8, No. 3,
Juni 2011.
Yanis Maladi. Dominasi Negara Sebagai Sumber Konflik Agraria di Indonesia. Jurnal
Masalah-Masalah Hukum, Jilid 41, No. 3, Juli 2012.

Laporan Eksekutif, Kertas Kerja


Ashwini Deshpande. 2006. tindakan afirmatif di India dan AmerikaSerikat. Laporan
Pembangunan Dunia.
Imelda Saragih et.al. Kertas Posisi Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria dalam
Kerangka Reforma Agraria dengan Berbasis Hak Asasi Manusia. Jakarta : Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia.
Joyo Winoto. Reforma Agraria : Mandat Politik, Konstitusi dan Hukum dalam Rangka
Mewujudkan Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat. Pidato Disampaikan dalam
Rapat Senat Terbuka Universitas Gajah Mada, 22 November 2007.
Laporan Akhir Tahun 2012 Konsorsium Pembaruan Agraria. "Terkuburnya Keadilan
Agraria Bagi Rakyat Melalui Reforma Agraria"
Sri Edi Swasono. 2007. Indonesia Tidak Dijual: Sistem Ekonomi Nasional Untuk
Sebesar-Besar Kemakmuran Rakyat. Makalah Rapat Kerja Terbatas Kelompok
Kerja Khusus Dewan Ketahanan Nasional 20-21 November 2007.

Situs Web

400 Yustisia Volume 8 Nomor 3 (September-Desember 2019) Relevansi Ronald


Dworkin...
Paine, Thomas. 1999. Keadilan Agraria, edisi digital. Diakses dari http://piketty.pse.
ens.fr/files/Paine1795.pdf tanggal 9 Desember 2018 Pukul 11. 04 WIB.
Vivi Alatas et.al. 2016. Ketimpangan yang semakin lebar. Bank Dunia dan Australian
Aid. diakses dari http://pubdocs.worldbank.org/en/9864/ Indonesias-
RisingDivide-Bahasa-Indonesia.pdf.

Yustisia Volume 8 Nomor 3 (September-Desember 2019) Relevansi Ronald Dworkin... 401

Anda mungkin juga menyukai