Anda di halaman 1dari 17

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan salah satu indikator penting dalam

menilai derajat kesehatan. Kematian Ibu dapat digunakan dalam pemantauan

kematian terkait dengan kehamilan. Indikator AKI adalah jumlah kematian ibu

selama masa kehamilan, persalinan dan nifas yang disebabkan oleh kehamilan,

persalinan, dan nifas atau pengelolaannya tetapi bukan karena sebab-sebab lain seperti

kecelakaan atau terjatuh di setiap 100.000 kelahiran hidup.

Penurunan AKI di Indonesia terjadi sejak tahun 1991 sampai dengan 2007,

yaitu dari 390 menjadi 228. Namun demikian, SDKI tahun 2012 menunjukkan

peningkatan AKI yang signifikan yaitu menjadi 359 kematian ibu per 100.000

kelahiran hidup. AKI kembali menujukkan penurunan menjadi 305 kematian ibu per

100.000 kelahiran hidup berdasarkan hasil Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS)

2015. (Profil Kesehatan Indonesia 2016) Sedangjan target Global MDGs (Millenium

Development Goals) ke-5 adalah menurunkan AKI menjadi 102 per 100.000

kelahiran hidup pada tahun 2015. (infodatin)

Pada tahun 2012 Kementerian Kesehatan meluncurkan program Expanding

Maternal and Neonatal Survival (EMAS) dalam rangka menurunkan angka kematian

ibu dan neonatal sebesar 25%. Program ini dilaksanakan di provinsi dan kabupaten

dengan jumlah kematian ibu dan neonatal yang besar, yaitu Sumatera Utara, Banten,

Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan. Dasar pemilihan

provinsi tersebut disebabkan 52,6% dari jumlah total kejadian kematian ibu di

Indonesia berasal dari enam provinsi tersebut. Sehingga dengan menurunkan angka
kematian ibu di enam provinsi tersebut diharapkan akan dapat menurunkan angka

kematian ibu di Indonesia secara signifikan. Program EMAS berupaya menurunkan

angka kematian ibu dan angka kematian neonatal dengan cara : 1) meningkatkan

kualitas pelayanan emergensi obstetri dan bayi baru lahir minimal di 150 Rumah Sakit

PONEK dan 300 Puskesmas/Balkesmas PONED) dan 2) memperkuat sistem rujukan

yang efisien dan efektif antar puskesmas dan rumah sakit. (Profil Kesehatan Indonesia

2016)

Di Sumatera Barat, data kasus kematian Ibu meliputi kematian ibu hamil, ibu

bersalin dan ibu nifas pada tahun 2017, kasus kematian Ibu berjumlah 107 orang,

menurun jika dibanding tahun 2015 yaitu 111 orang. Adapun rincian kematian ibu

terdiri dari kematian ibu hamil 30 orang, kematian ibu bersalin 25 orang dan kematian

ibu nifas 52 orang.

Adapun Penyebab kematian ibu adalah komplikasi kehamilan seperti anemia,

hipertensi. Gangguan persalinan langsung misalnya perdarahan sebesar 28%, infeksi

sebesar 11%, eklampsia sebesar 24%, dan partus macet (lama) sebesar 5%.

Kemungkinan terjadinya kematian ibu dalam persalinan di puskesmas atau rumah

sakit karena kesiapan petugas, ketersediaan bahan, peralatan dan sikap petugas. Di

perjalanan diakibatkan sarana transportasi, tingkat kesulitan dan waktu tempuh, serta

kematian di rumah diakibatkan keputusan keluarga (pengetahuan, ketersediaan dana,

kesibukan keluarga dan sosial budaya) serta ketersedian transportasi (Lancet, 2005).

Penyebeb terbesar kematian ibu selama tahun 2010-2013 yaitu perdarahan.

Penyebab terbanyak selanjutnya yaitu hipertensi, infeksi dan abortus. Partus lama

merupakan penyumbang kematian ibu terendah. Sementara itu penyebab-penyebab

lain adalah penyebab kematian ibu secara tidak langsung, seperti penyakit kanker,

ginjal, jantung, tuberculosis atau penyakit lain yang diderita ibu. (Pusat Data dan
Informasi Kementerian Kesehatan RI, 2014).

Berdasarkan data laporan tahunan di Puskesmas Pauh, tidak adanya angka

kematian ibu pada tahun 2018 dimana terjadi penurunan dari tahun 2017 sebanyak 2

kasus. Oleh sebab itu penulis ber,aksud untuk mengetahui pencegahan angka

kematian ibu di wilayah kerja Puskesmas Pauh.

1.2 Rumusan Masalah

a. Bagaimana pelaksanaan Program penekanan Angka Kematian Ibu (AKI) di

Wilayah Kerja Pauh?

b. Bagaimana upaya penekanan Angka Kematian Ibu (AKI) di Wilayah Kerja Pauh?

c. Masalah apa yang ditemui dalam pelaksanaan program penekanan Angka Kematian

Ibu (AKI) di Wilayah Kerja Pauh?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui program untuk menekan Angka Kematian Ibu (AKI) di Wilayah

Kerja Pauh.

1.3.2 Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui pelaksanaan program untuk menekan Angka Kematian Ibu

(AKI) di Wilayah Kerja Pauh.

b. Untuk mengetahui pencegahan Kematian Ibu di Wilayah Kerja Pauh.

c. Untuk mengetahui masalah yang ditemui dalam pelaksanaan program untuk

menekan Angka Kematian Ibu (AKI) di Wilayah Kerja Pauh.


1.4 Metode Penelitian

Metode penulisan makalah ini berupa tinjauan pustaka yang merujuk kepada

berbagai literatur dan diskusi dengan pemegang program penekanan Angka Kematian

Ibu (AKI) di Puskesmas Pauh.


BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

I. Keadaan dan kecenderungan

Angka kematian ibu. Indonesia belum memiliki data statistik vital yang langsung
dapat menghitung angka Kematian Ibu (AKI). Estimasi AKI dalam Survei Demografi
dan Kesehatan Indonesia (SDKI) diperoleh dengan mengumpulkan informasi dari
saudara perempuan yang meninggal semasa kehamilan, persalinan, atau setelah
melahirkan. Tahun 1991, angka kematian ibu di Indonesia sebesar 390 per 100.000
kelahiran hidup.1 Meskipun hasil survei menunjukkan bahwa AKI di Indonesia telah
turun menjadi 307 per 100.000 kelahiran hidup antara 1998–2002 1, hal itu perlu
ditafsirkan secara hati-hati mengingat keterbatasan metode penghitungan yang
digunakan. Dari lima juta kelahiran yang terjadi di Indonesia setiap tahunnya,
diperkirakan 20.000 ibu meninggal akibat komplikasi kehamilan atau persalinan.2
AKI Kota Palembang berdasarkan Laporan Indikator Database 2005 UNFPA
6th Country Programme adalah 317 per 100.000 kelahiran, lebih rendah dari AKI
Propinsi Sumsel sebesar 467 per 100.000 kelahiran. Jumlah kematian ibu tahun 2009
di Kota palembang sebanyak 6 orang dengan penyebabnya yaitu preeklamsi dan
pendarahan. (sumber data Bidang Pelayanan Kesehatan Kota Palembang, 2009).
Sedangkan yang diharapkan tahun 2010 adalah 125/100.000 kelahiran hidup (sumber
data Depkes).3
Dengan kecenderungan seperti ini, pencapaian target MDG untuk menurunkan AKI
akan sulit bisa terwujud kecuali apabila dilakukan upaya yang lebih intensif untuk
mempercepat laju penurunannya.

AKI di negara lain. AKI di Indonesia masih relatif lebih tinggi jika dibandingkan
dengan negara negara anggota ASEAN. Risiko kematian ibu karena melahirkan di
Indonesia adalah 1 dari 65, dibandingkan dengan 1 dari 1.100 di Thailand.4
Disparitas. Seperti indikator kesehatan lain pada umumnya, terdapat perbedaan AKI
antarwilayah di Indonesia. Estimasi AKI menggunakan pendekatan PMDF
(proportion of maternal deaths of female reproductive age) tahun 1995 di lima
provinsi menunjukkan bahwa Jawa Tengah mempunyai AKI yang lebih rendah, yaitu
248, dibandingkan adalah Papua sebesar 1.025, Maluku sebesar 796, Jawa Barat
sebesar 686, dan NTT sebesar 554 per 100.000 kelahiran hidup.3

Penyebab kematian ibu. Adalah perdarahan, eklampsia atau gangguan akibat


tekanan darah tinggi saat kehamilan, partus lama, komplikasi aborsi, dan infeksi.
Perdarahan, yang biasanya tidak bisa diperkirakan dan terjadi secara mendadak,
bertanggung jawab atas 28 persen kematian ibu. Sebagian besar kasus perdarahan
dalam masa nifas terjadi karena retensio plasenta dan atonia uteri. Hal ini
mengindikasikan kurang baiknya manajemen tahap ketiga proses kelahiran dan
pelayanan emergensi obstetrik dan perawatan neonatal yang tepat waktu. Eklampsia
merupakan penyebab utama kedua kematian ibu, yaitu 24 persen kematian ibu di
Indonesia (rata-rata dunia adalah 12 persen)5. Pemantauan kehamilan secara teratur
sebenarnya dapat menjamin akses terhadap perawatan yang sederhana dan murah
yang dapat mencegah kematian ibu karena eklampsia.

Gambar 1. Distribusi Persentase Penyebab Kematian Ibu Melahirkan5

Aborsi yang tidak aman. Bertanggung jawab ter hadap 11 persen kematian ibu di
Indonesia (ratarata dunia 13 persen). Kematian ini sebenarnya dapat dicegah jika
perempuan mempunyai akses terhadap informasi dan pelayanan kontrasepsi serta
perawatan terhadap komplikasi aborsi. Data dari SDKI 2002–2003 menunjukkan
bahwa 7,2 persen kelahiran tidak diinginkan.4

Prevalensi pemakai alat kontrasepsi. Kontrasepsi modern memainkan peran


penting untuk menurunkan kehamilan yang tidak diinginkan. SDKI 2002–2003
menunjukkan bahwa kebutuhan yang tak terpenuhi (unmet need) dalam pemakaian
kontrasepsi masih tinggi, yaitu sembilan persen dan tidak mengalami banyak
perubahan sejak 1997. Angka pemakaian kontrasepsi (Contraceptive Prevalence
Rate) di Indonesia naik dari 50,5 persen pada 1992 menjadi 54,2 persen pada 20026
(Gambar 2 dan Tabel 1). Untuk indikator yang sama, SDKI 2002–2003 menunjukkan
angka 60.3 persen.4
Pertolongan persalinan oleh petugas kesehatan terlatih. Pola penyebab kematian
di atas menunjukkan bahwa pelayanan obstetrik dan neonatal darurat serta
pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih menjadi sangat penting dalam
upaya penurunan kematian ibu. Walaupun sebagian besar perempuan bersalin di
rumah, tenaga terlatih dapat membantu mengenali kegawatan medis dan membantu
keluarga untuk mencari perawatan darurat. Proporsi persalinan yang ditolong oleh
tenaga kesehatan terlatih terus meningkat dari 40,7 persen pada 1992 menjadi 68,4
persen pada 2002.7 Akan tetapi, proporsi ini bervariasi antarprovinsi dengan Sulawesi
Tenggara sebagai yang terendah, yaitu 35 persen, dan DKI Jakarta yang tertinggi,
yaitu 96 persen, pada 20028 (Tabel 2 dan 3). Proporsi ini juga berbeda cukup jauh
mengikuti tingkat pendapatan. Pada ibu dengan dengan pendapatan lebih tinggi, 89,2
persen kelahiran ditolong oleh tenaga kesehatan, sementara pada golongan
berpendapatan rendah hanya 21,39 persen. Hal ini menunjukkan tidak meratanya
akses finansial terhadap pelayanan kesehatan dan tidak meratanya distribusi tenaga
terlatih terutama bidan.

Penyebab tidak langsung. Risiko kematian ibu dapat diperparah oleh adanya anemia
dan penyakit menular seperti malaria, tuberkulosis (TB), hepatitis, dan HIV/AIDS.
Pada 1995, misalnya, prevalensi anemia pada ibu hamil masih sangat tinggi, yaitu 51
persen, dan pada ibu nifas 45 persen.10 Anemia pada ibu hamil mempuyai dampak
kesehatan terhadap ibu dan anak dalam kandungan, meningkatkan risiko keguguran,
kelahiran prematur, bayi dengan berat lahir rendah, serta sering menyebabkan
kematian ibu dan bayi baru lahir. Faktor lain yang berkontribusi adalah kekurangan
energi kronik (KEK). Pada 2002, 17,6 persen wanita usia subur (WUS) men derita
KEK.11 Tingkat sosial ekonomi, tingkat pendidikan, faktor budaya, dan akses terhadap
sarana kesehatan dan transportasi juga berkontribusi secara tidak langsung terhadap
kematian dan kesakitan ibu. Situasi ini diidentifikasi sebagai “3 T” (terlambat). Yang
pertama adalah terlambat deteksi bahaya dini selama kehamilan, persalinan, dan nifas,
serta dalam mengambil keputusan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan ibu dan
neonatal. Kedua, terlambat merujuk ke fasilitas kesehatan karena kondisi geografis
dan sulitnya transportasi. Ketiga, terlambat mendapat pelayanan kesehatan yang
memadai di tempat rujukan.

II. Tantangan

Meningkatnya kebutuhan. MDG menargetkan penurunan AKI sebesar tiga


perempat antara 1990 and 2015. Upaya ini menghadapi berbagai tantangan yang
cukup berat, seperti transisi demografi, desentralisasi kesehatan, pelayanan publik,
dan pendanaan. Sensus penduduk tahun 2000 menunjukkan bahwa jumlah penduduk
Indonesia 206 juta jiwa.12 Pada tahun 2015, jumlah penduduk Indonesia diperkirakan
meningkat menjadi 242 juta jiwa.13 Dengan kata lain, kebutuhan pelayanan kesehatan
akan meningkat.

Desentralisasi bidang kesehatan juga akan menjadi tantangan penting di tahun-


tahun mendatang. Perubahan peran dan tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah
belum secara jelas terdefinisikan dan dipahami. Institusi-institusi pemerintahan masih
perlu menyesuaikan diri dengan wewenangnya yang baru, sementara jaringan dan
koordinasi di setiap level administrasi perlu terus diperkuat. Dengan penganggaran
yang juga didesentralisasikan, daerah dengan kemampuan keuangan yang rendah akan
mengalami kesulitan untuk mengalokasikan anggaran kesehatannya karena harus pula
memperhatikan prioritas-prioritas pembangunan lain. Dalam hal ini, pusat dapat
memainkan peran penting untuk membantu kabupaten/kota dalam mengelola sumber
daya mereka. Setiap upaya dalam advokasi sangat penting untuk menjamin bahwa
komitmen untuk meningkatkan kesehatan ibu dapat dilaksanakan pada setiap
tingkatan.
Pelayanan kesehatan merupakan tantangan berikutnya yang perlu ditangani.
Termasuk di dalamnya adalah kualitas pelayanan yang disediakan oleh pemerintah
dan swasta serta penanganan disparitas akses pada kelompok rentan dan miskin. Data
terbaru menunjukkan bahwa jumlah bidan di desa (BDD) yang menyediakan
pelayanan bagi kelompok rentan dan miskin telah menurun. 14 Bagaimana mengatasi
situasi baru dan tidak terduga ini menjadi salah satu tantangan bagi pemerintah pusat,
provinsi, dan kabupaten. Keterbatasan sumber daya rumah tangga juga telah
menghambat akses terhadap pelayanan dasar. Karenanya, inovasi mekanisme yang
meringankan beban keuangan rumah tangga sangat diperlukan untuk menjamin akses
mereka terhadap pelayanan.

Koordinasi dan pendanaan pembangunan antar institusi dan lembaga donor sangat
krusial untuk menghindari terjadinya tumpang tindih dan terfragmentasinya program,
sehingga peningkatan kesehatan ibu lebih mudah dicapai. Keberlanjutan program juga
menjadi tantangan yang harus diatasi dalam tahun-tahun mendatang.

III. Upaya safe motherhood

Tahuin 1988 diadakan Lokakarya Kesejahteraan Ibu, yang merupakan


kelanjutan konferensi tentang kematian ibu di Nairobi setahuin sebelumnya.
Lokakarya bertujuan mengemukakan betapa kompleksnya masalah kematian ibu,
sehingga penanganannya perlu dilaksanakan berbagai sector dan pihak terkait. Pada
waktu itu ditandatangani kesepakatam oleh sejumlah 17 sektor. Sebagai koordinator
dalam upaya itu ditetapkan Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita ( sekarang
: Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan ).
Tahun 1990-1991, Departemen Kesehatan dibantu WHO, UNICEF, dan
UNDP melaksanakan Assessment Safe Motherhood. Suatu hasil dari kegiatan ini
adalah rekomendasi Rencana Kegiatan Lima Tahun. Departemen Kesehatan
menerapkan rekomendasi tersebut dalam bentuk strategi operasional untuk
mempercepat penurunan angka kematian ibu ( AKI ). Sasarannya adalah menurunkan
AKI dari 450 per 100.000 kelahiran hidup pada 1986, menjadi 225 pada tahun 2000.
Awal tahun 1996, Departemen Kesehatan mengadakan Lokakarya Kesehatan
Reproduksi, yang menunjukkan komitmen Indonesia untuk melaksanakan upaya
kesehatan resproduksi sebagaimana dinyatakan dalam ICPD di Kairo. Pada
pertengahan tahun itu juga, Menperta meluncurkan Gerakan Sayang Ibu, yaitu upaya
advokasi dan mobilisasi social untuk mendukung upaya percepatan penurunan AKI.

Intervensi Strategis Dalam Upaya Safe Motherhood

SAFE MOTHERHOOD

ASUHAN PERSALINAN PELAYAN


ANTE BERSIH DAN AN
KB OBSTETRI
NATAL AMAN
ESENSIAL

PELAYANAN KEBIDANAN
DASAR

PELAYANAN KESEHATAN PRIMER

PEMBERDAYAAN WANITA
Gambar 2. Empat pilar Safe Motherhood

Intervensi strategis dalam upaya safe motherhood dinyatakan sebagai empat pilar
safe motherhood, yaitu :
a. Keluarga berencana, yang memastikan bahwa setiap orang/pasangan
mempunyai akses ke informasi dan pelayanan KB agar dapat merencanakan
waktu yang tepat untuk kehamilan, jarak kehamilan dan jumlah anak. Dengan
demikian diharapkan tidak ada kehamilan yang tak diinginkan. Kehamilan
yang masuk dala, kategori “4 terlalu”, yaitu terlalu muda atau terlalu tua untuk
kehamilan, terlalu sering hamil dan terlalu banyak anak.
b. Pelayanan antenatal, untuk mencegah adanya komplikasi obstetrik bila
mungkin dan memastikan bahwa komplikasi dideteksi sedini mungkin serta
ditangani secara memadai.
c. Persalinan yang aman, memastikan bahwa semua penolong persalinan
mempunyai pengetahuan, keterampilan dan alat untuk memberikan
pertolongan yang aman dan bersih, serta memberikan pelayanan nifas kepada
ibu dan bayi
d. Pelayanan obstetrik esensial, memastikan bahwa pelayanan obstetrik untuk
resiko tinggi dan komplikasi tersedia bagi ibu hamil yang membutuhkannya.

Keempat intervensi strategis diatas perlu dilaksanakan lewat pelayanan


kesehatan dasar, dan bersendikan kesetaraan hak dan status bagi wanita.

Kebijaksanaan Departemen Kesehatan dalam penurunan AKI


Tingginya AKI di Indonesia yaitu 390 per 100.000 kelahiran hidup ( SDKI,
1994 ) tertinggi di ASEAN, menempatkan upaya penurunan AKI sebagai program
prioritas. Penyebab langsung kematian ibu di Indonesia, seperti halnya di negara lain
adalah pendarahan, infeksi, dan eklampsia. Ke dalam pendarahan dan infeksi sebagai
penyebab kematian, sebenarnya tercakup pula kematian akibat abortus terinfeksi dan
partus lama. Hanya sekitar 5% kematian ibu disebabkan oleh penyakit yang
memburuk akibat kehamilan, misalnya penyakit jantung dan infeksi yang kronis.
Selain itu, keadaan ibu sejak pra-hamil dapat berpengaruh terhadap
kehamilannya. Penyebab tak langsung kematian ibu ini antara lain adalah anemia,
kurang energi kronis ( KEK ) dan keadaan “4 terlalu” ( terlalu muda/tua, terlalu
sering, dan terlalu banyak ). Tahun 1995, kejadian anemia ibu hamil sekitar 51%, dan
kejadian resiko KEK pada ibu hamil ( lingkar / lengan atas kurang dari 23,5 cm )
sekitar 30%.
Lagipula, seperti dikemukakan diatas, kematian ibu diwarnai oleh hal-hal
nonteknis yang masuk kategori penyebab mendasar, seperti rendahnya status wanita,
ketidakberdayaannya dan tarif pendidikan yang rendah. Hal nonteknis ini ditangani
oleh sektor terkait diluar sektor kesehatan, sedangkan sector kesehatan lebih
memfokuskan intervensinya untuk mengatasi penyebab langsung dan tidak langsung
dari kematian ibu.
Dalam menjalankan fokus intervensinya itu Departemen Kesehatan tetap
memerlukan dukungan dari sektor dan pihak terkait lainnya. Kebijakan Departemen
Kesehatan tersebut dalam upaya mempercepat penurunan AKI pada dasarnya
mengacu kepada inventarisasi strategis “ Empat pilar Safe Mothehood “. Dewasa ini,
program keluarga berencana – sebagai pilar pertama – telah dianggap berhasil.
Namun, untuk mendukung upaya mempercepat penurunan AKI, diperlukan
penajaman sasaran agar kejadian “ 4 terlalu “ dan kehamilan yang tak diinginkan
dapat ditekan serendah mungkin. Akses terhadap pelayanan antenatal – sebagai pilar
kedua – cukup baik, yaitu 87% pada tahun 1997; namun mutunya masih perlu
ditingkatkan terus.. persalinan yang aman – sebagai pilar ketiga - yang dikategorikan
sebagai pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan, pada tahun 1997 baru
mempunyai 60%.
Untuk mencapai AKI sekitar 200 per 100.000 kelahiran hidup diperlukan
cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan sekitar angka 80%. Cakupan pelayanan
obstetrik esensial – sebagai pilar keempat – masih sangat rendah, dan mutunya belum
optimal. Mengingat kira-kira 90% kematian ibu terjadi di saat sekitar persalinan dan
kira-kira 95% penyebab kematian ibu adalah komplikasi obstetrik yang sering tak
dapat diperkirakan sebelumnya, maka kebijaksanaan Departemen Kesehatan untuk
mempercepat penurunan AKI adalah mengupayakan agar setiap persalinan ditolong
atau minimal didampingi oleh bidan, dan pelayanan obstetrik sedekat mungkin
kepada semua ibu hamil.
Salah satu upaya terobosan yang cukup mencolok untuk mencapai keadaan
tersebut adalah pendidikan sejumlah 54.120 bidan ditempatkan di desa selama
1989/1990 sampai 1996/1997. Dalam pelaksanaan operasional, sejak tahun 1994
diterapkan strategi berikut :
a. Penggerakan Tim Dati II ( Dinas Kesehatan dan seluruh jajarannya sampai ke
tingkat kecamatan dan desa, RS Dati II dan pihak terkait ) dalam upaya
mempercepat penurunan AKI sesuai dengan peran dan fungsinya masing-masing.
b. Pembinaan daerah yang intensif di setiap Dati II, sehingga pada akhir Pelita VII :
- Cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan mencapai 80% atau lebih.
- Cakupan penanganan kasus obstetrik ( resiko tinggi dan komplikasi
obstetrik ) minimal meliputi 10% seluruh persalinan.
- Bidan mampu memberikan pertolongan pertama pada kegawatdaruratan
obstetrik neonatal dan puskesmas sanggup memberikan pelayanan obstetrik-
neonatal esensial dasar ( PONED ), yang didukung oleh RS Dati II sebagai
fasilitas rujukan utama yang mampu menyediakan pelayanan obstetrik-
neonatal esensial komprehensif ( PONEK ) 24 jam; sehingga tercipta jaringan
pelayanan obstetrik yang mantap dengan bidan desa sebagai ujung
tombaknya.
c. Penerapan kendali mutu layanan kesehatan ibu, antara lain melalui penerapan
standar pelayanan, prosedur tetap, penilaian kerja, pelatihan klinis dan kegiatan
audit maternal-perinatal.
d. Meingkatkan komunikasi, informasi, dan esukasi ( KIE ) untuk mendukung
upaya percepatan penurunan AKI
e. Pemantapan keikutsertaan masyrakat dalam berbagai kegiatan pendukung untuk
mempercepat penurunan AKI.

Keterlibatan Lintas Sektor


Dalam mempercepat penurunan AKI, keterlibatan sector lain disamping
kesehatan sangat diperlukan. Berbagai bentuk keterlibatan lintas sector dalam upaya
penurunan AKI adalah sebagai berikut :
a. Gerakan Sayang Ibu ( GSI )
GSI dirintis oleh kantor Menperta pada tahun 1996 di 8 kabupaten perintis di 8
propinsi. Ruang lingkup kegiatan GSI meliputi advokasi dan mobilisasi social.
Dalam pelaksanaannya, GSI mempromosikan kegiatan yang berkaitan dengan
Kecamatan Sayang Ibu dan Rumah Sakit Sayang Ibu, unruk mencegah tiga
macam keterlambatan, yaitu :
- Keterlambatan di tingkat keluarga dalam mengenali tanda bahaya dan
membuat keputusan untuk segera mencari pertolongan.
- Keterlambatan dalam mencapai fasilitas pelayanan kesehatan
- Keterlambatan di fasilitas pelayanan kesehatan untuk mendapat pertolongan
yang dibutuhkan.

Kegiatan yang terkait dengan Kecamatan Sayang Ibu berusaha mencegah


keterlambatan pertama dan kedua, sedangkan kegiatan yang terkait dengan
Rumah Sakit Sayang Ibu adalah mencegah keterlambatan ketiga.
Pada tahun 1997 diadakan Rakornas GSI yang diadakan bersamaan
dengan Rakerkesnas. Pada saat itu pengalaman di 8 kabupaten perintis
diinformasikan ke wakil-eakil semua propinsi dan selanjutnya mereka diharapkan
akan melaksanakan kegiatan GSI. Sampai pertengahan 1998 upaya perluasan
kegiatan GSI masih terus dilaksanakan.
b. Kelangsungan hidup, perkembangan dan perlindungan ibu dan anak
Upaya yang dirintis sejak 1990 oleh Dirjen Pembangunan Daerah,
Depdagri, dengan bantuan UNICEF yang lebih dikenal sebagai upaya KHPPIA ini
bertujuan menghimpun koordinasi lintas sector dalam penentuan kegiatan dan
pembiayaan dari berbagai sumber dana, antara lain untuk menurunkan AKI dan
AKB. Kegiatan utamanya adalah koordinasi perencanaan kegiatan dari sector
terkait dalam upaya itu. Propinsi yang dilibatkan adalah mereka yang mendapat
bantuan UNICEF, namun pola ini akan diperluas oleh Depdagri ke semua
propinsi.
c. Gerakan Reproduksi keluarga Sehat ( GRKS )

GRKS dimulai oleh BKKBN sebagai kelanjutan dari Gerakan Sayang Ibu
Sehat Sejahtera. Gerakan ini intinya merupakan upaya promosi mendukung
terciptanya keluarga yang sadar akan pentingnya mengupayakan kegiatan
reproduksi. Di antara masalah yang dikemukakan adalah masalah kematian ibu.
Karena itu, promosi yang dilakukan melalui GRKS juga termasuk promosi untuk
kesejahteraan ibu.
Selain ketiga upaya lintas sector tersebut, masih ada perbagai kegiatan lain
yang dilaksanakan pihak terkait, seperti organisasi profesi, yaitu POGI, IBI,
Perinasia, PKK, dan pihak lain sesuai dengan peran dan fungsinya masing-masing
Pemantauan dan Evaluasi
Dalam memantau program kesehatan ibu, dewasa ini digunakan indicator
cakupan, yaitu : cakupan antenatal ( K1 untuk askes dan K4 untuk kelengkapan
layanan antenatal ), cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan dan cakupan kunjungan
neonatal/nifas. Untuk itu, sejak awal tahun 1990-an telah digunakan alat pantau
berupa Pemantauan Wilayah Setempat – Kesehatan Ibu dan Anak ( PWS-KIA ), yang
mengikuti jejak program imunisasi. Dengan adanya PWS-KIA, data cakupan layanan
program kesehatan ibu dapat diperoleh setiap tahunnya dari semua propinsi.
Walau demikian, disadari bahwa indikator cakupan tersebut cukup memberikan
gambaran untuk menilai kemajuan upaya menurunkan AKI. Mengingat bahwa
mengukur AKI, sebagai indicator dampak, secara berkala dalam waktu kurang dari 5-
10 trahun tidak realistis, maka para pakar dunia menganjurkan pemakaian indikator
praktis atau indikator outcome. Indicator tersebut antara lain :
a. Cakupan penanganan kasus obstetrik
b. Case fatality rate kasus obstetric yang ditangani.
c. Jumlah kematian absolute
d. Penyebaran fasilitas pelayanan obstetric yang mampu PONEK dan PONED
e. Persentase bedah sesar terhadap seluruh persalinan di suatu wilayah

Indikator gabungan tersebut akan lebih banyak digunakan dalam Repelita VII, agar
pemantauan dan evaluasi terhadap upaya penurunan AKI lebih tajam.

IV. Antenatal Care

Pelayanan antenatal adalah pelayanan kesehatan oleh tenaga kesehatan


untuk ibu selama masa kehamilannya, dilaksanakan sesuai dengan standar
pelayanan antenatal yang ditetapkan dalam Standar Pelayanan Kebidanan
(SPK). Pelayanan antenatal sesuai standar meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik
(umum dan kebidanan), pemeriksaan laboratorium rutin dan khusus, serta
intervensi umum dan khusus (sesuai risiko yang ditemukan dalam pemeriksaan).
Dalam penerapannya terdiri atas:

1. Timbang berat badan dan ukur tinggi badan.


2. Ukur tekanan darah.
3. Nilai Status Gizi (ukur lingkar lengan atas).
4. Ukur tinggi fundus uteri.
5. Tentukan presentasi janin dan denyut jantung janin (DJJ).
6. Skrining status imunisasi Tetanus dan berikan imunisasi Tetanus Toksoid 
(TT) bila diperlukan.
7. Pemberian Tablet zat besi minimal 90 tablet selama kehamilan.
8. Test laboratorium (rutin dan khusus).
9. Tatalaksana kasus
10. Temu wicara (konseling), termasuk Perencanaan Persalinan dan Pencegahan
Komplikasi (P4K) serta KB pasca persalinan.

Pemeriksaan laboratorium rutin mencakup pemeriksaan golongan darah,


hemoglobin, protein urine dan gula darah puasa. Pemeriksaan khusus dilakukan di
daerah prevalensi tinggi dan atau kelompok ber-risiko, pemeriksaan yang
dilakukan adalah hepatitis B, HIV, Sifilis, malaria, tuberkulosis, kecacingan dan
thalasemia.
Dengan demikian maka secara operasional, pelayanan antenatal disebut
lengkap apabila dilakukan oleh tenaga kesehatan serta memenuhi standar tersebut.
Ditetapkan pula bahwa frekuensi pelayanan antenatal adalah minimal 4 kali
selama kehamilan, dengan ketentuan waktu pemberian pelayanan yang dianjurkan
sebagai berikut :

- Minimal 1 kali pada triwulan pertama.

- Minimal 1 kali pada triwulan kedua.

- Minimal 2 kali pada triwulan ketiga.

Standar waktu pelayanan antenatal tersebut dianjurkan untuk menjamin


perlindungan kepada ibu hamil, berupa deteksi dini faktor risiko, pencegahan dan
penanganan komplikasi.

Tenaga kesehatan yang berkompeten memberikan pelayanan


antenatal kepada Ibu hamil adalah : dokter spesialis kebidanan, dokter, bidan dan
perawat.

Pertolongan Persalinan

Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan adalah pelayanan persalinan


yang aman yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang kompeten. Pada kenyataan
di lapangan, masih terdapat penolong persalinan yang bukan tenaga kesehatan dan
dilakukan di luar fasilitas pelayanan kesehatan. Oleh karena itu secara bertahap
seluruh persalinan akan ditolong oleh tenaga kesehatan kompeten dan diarahkan
ke fasilitas pelayanan kesehatan.

Pada prinsipnya, penolong persalinan harus memperhatikan hal-hal


sebagai berikut :

1. Pencegahan infeksi
2. Metode pertolongan persalinan yang sesuai standar.
3. Manajemen aktif kala III
4. Merujuk kasus yang tidak dapat ditangani ke tingkat pelayanan yang lebih
tinggi.
5. Melaksanakan Inisiasi Menyusu Dini (IMD).
6. Memberikan Injeksi Vit K 1 dan salep mata pada bayi baru lahir.

Tenaga kesehatan yang berkompeten memberikan pelayanan


pertolongan persalinan adalah : dokter spesialis kebidanan, dokter dan bidan.

Anda mungkin juga menyukai