Panduan Belajar
MODUL BAHAN
AJAR
PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM
(PPAM) KESEHATAN REPRODUKSI
(KESPRO) PADA KRISIS KESEHATAN
(SITUASI TANGGAP DARURAT BENCANA)
Address: Jl. Johar Baru V No. D13 Jakarta Pusat 10560 DKI Jakarta Indonesia
Phone. +6221 4247789, +6221 4226043
Fax. +6221 4244214
Email. ppibi@cbn.net.id / ppibi@ibi.or.id
Website: www.ibi.or.id
Buku Pegangan Mahasiswa
Panduan Belajar
MODUL BAHAN
AJAR
PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM)
KESEHATAN REPRODUKSI (KESPRO) PADA
KRISIS KESEHATAN
(SITUASI TANGGAP DARURAT BENCANA)
Kontributor:
1. Dr. Emi Nurjasmi, M.Kes PPIBI
2. Masyitha, SST, SKM, M.Kes PPIBI
3. Indra Supradewi, SKM, MKM PPIBI
4. Rizqi Amelia, AM.Keb PPIBI
5. Ribka Sebayang (Sub.Dit Kespro – Dit Bina Kes. Ibu Kemenkes)
6. Dr. Syarifudin (Pusat Penanggulangan Krisis Kemenkes)
7. Yopita Ratnasari, SST (Pusdiklatnakes – PPSDM Kes)
8. Willa Follona, SST, M. Kes (Poltekkes Jakarta III)
9. Herlyssa, SST, M.Kes (Poltekkes Jakarta III)
10. Herlina Mansur, SST (Akbid Sismadi)
11. Kusuma Dini, AmKeb, MKM (Akbid Sismadi)
12. Dr. Rosilawati Anggraini (UNFPA)
13. Yolanda Piliang (UNFPA)
Editor :
1. Indra Supradewi, SKM, MKM
2. Kusuma Dini, AmKeb, MKM
3. Lukmanul Hakim
A. MUATAN LOKAL
Penerapan modul ini dapat digunakan sebagai mata ajar baru berupa muatan lokal
(mulok) dengan beban 2 (dua) SKS dengan syarat diberikan kepada peserta didik di
semeter 5 (lima), dimana mahasiswi sudah memiliki pengetahuan pelayanan
kebidanan pada situasi normal.
Diharapkan setelah menyelesaikan modul ini, peserta didik dapat memposisikan
diri dalam memberikan pelayanan kebidanan “awal minimal” pada saat krisis dan
pelayanan kebidanan “paripurna” pada situasi normal.
Penerapan Modul Bahan Ajar PPAM Kespro pada Krisis Kesehatan (Situasi Tanggap
Darurat Bencana) sebagai mulok disarankan dilaksanakan di institusi yang
daerahnya “sering” terkena bencana alam seperti gempa, gunung meletus, banjir
atau bencana akibat konflik.
B. INSERTING
Modul ini juga dapat digunakan sebagai insert pada mata ajaran yang telah ada
seperti asuhan kebidanan, asuhan keluarga berencana dan kesehatan reproduksi
yang disampaikan pada akhir sesi mata ajar, sehingga peserta ajar dapat langsung
mengetahui perbedaan palayanan kebidanan di situasi normal dan pada saat krisis
terjadi.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat
taufik serta hidayah-Nya, maka Modul PPAM (Paket Pelayanan Awal Minimum) Kesehatan
Reproduksi pada Krisis Kesehatan dapat diselesaikan. Modul ini merupakan standar bagi
para pekerja kemanusiaan, yang secara garis besar menguraikan komponen kesehatan
reproduksi untuk mencegah kesakitan, kecacatan dan kematian terutama bagi kelompok
rentan yaitu perempuan, remaja, bayi dan anak pada krisis kesehatan dalam upaya
mengintegrasikan kesehatan reproduksi pada awal respon krisis tersebut.
Sehubungan dengan hal itu diperlukan adanya peningkatan pengetahuan dan
kemampuan bidan sejak di pendidikan (mahasiswa kebidanan) dalam penanganan
permasalahan di bidang kesehatan, khususnya untuk bidang kesehatan reproduksi pada
krisis kesehatan, sejak di pendidikan mahasiswa kebidanan.
Modul ini dikembangkan atas kerjasama antara IBI dengan UNFPA, oleh karena itu
kami mengucapkan terimakasih kepada UNFPA atas bantuan dan dukungannya serta
semua pihak yang telah berkontribusi dalam penyusunan modul ini. Kami menyadari
bahwa modul ini masih banyak kekurangannya untuk itu kami mohon masukan dan saran
guna penyempurnaan modul tersebut. Semoga modul ini bermanfaat dan dapat
diterapkan di Institusi Pendidikan.
PANDUAN PENGAJAR | MODUL BAHAN AJAR PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN
REPRODUKSI PADA KRISIS KESEHATAN
i
Kata Pengantar
SAMBUTAN
KETUA UMUM IKATAN BIDAN INDONESIA
Marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang senantiasa memberikan rahmat-Nya
kepada kita sekalian. Khususnya saat ini, dimana atas ridho-Nya IBI dapat menyelesaikan penyusunan
Modul/Bahan Ajar Paket Pelayanan Awal Minimal (PPAM) Kesehatan Reproduksi Pada Situasi Darurat
Bencana. Modul ini diharapkan dapat digunakan sebagai pedoman untuk pembekalan kepada
mahasiswa kebidanan yang nantinya akan berfungsi sebagai penyedia layanan kesehatan reproduksi
pada kondisi darurat di daerah bencana.
PPAM merupakan standar bagi para pekerja kemanusiaan yang secara garis besar menguraikan
komponen kesehatan reproduksi untuk mencegah kesakitan, kecacatan dan kematian terutama bagi
kelompok rentan yaitu perempuan, remaja, bayi dan anak pada situasi darurat bencana dalam upaya
mengintegrasikan kesehatan reproduksi pada awal respon bencana tersebut. Sehubungan dengan
hal itu diperlukan adanya peningkatan pengetahuan dan kemampuan bidan sejak di pendidikan
(mahasiswa kebidanan) dalam penanganan permasalahan di bidang kesehatan, khususnya untuk
bidang kesehatan reproduksi dalam kondisi darurat bencana.
Peran dan partisipasi IBI dan para anggotanya dalam pembangunan kesehatan masyarakat,
khususnya Kesehatan Ibu dan anak, Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi telah nyata serta
diakui oleh berbagai pihak baik pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat dan organisasi profesi
kesehatan lain. Selain pengakuan tersebut, peningkatan angka cakupan berbagai jenis pelayanan
bidan telah terbukti melalui data-data hasil penelitian lembaga terpercaya di Indonesia menunjukkan
eksistensi IBI dan bidan yang kuat dalam pembangunan kesehatan.
Pelayanan terhadap Ibu dan Anak akan selalu ada, dan tidak boleh diabaikan meskipun dalam
keadaan darurat bencana. Saya yakin Modul Bahan Ajar ini akan dapat berguna sebagai bahan ajar
dalam membekali bidan muda guna memastikan pelayanan KIA dan KB pada segala situasi termasuk
pada saat darurat bencana..
Akhirnya saya tidak lupa menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya
kepada sejawat anggota PPIBI utamanya kepada Kelompok Kerja PPAM yang telah bekerja untuk
menyusun dan menyempurnakan Modul Bahan Ajar ini serta kepada UNFPA atas dukungannya
sehingga modul ini dapat terwujud.
PANDUAN PENGAJAR | MODUL BAHAN AJAR PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN
REPRODUKSI PADA SITUASI TANGGAP DARURAT BENCANA
ii
GLOSARI
GLOSARI
Bencana
DAFTAR ISI
Halaman
Kata Pengantar i
C
Minimum (PPAM) Pada Krisis Kesehatan.
SILABUS K
Lampiran
Check List PPAM Kespro
Daftar Obat dan Alat Habis Pakai
DAFTAR ISI - MATERI
PANDUAN PENGAJAR | MODUL BAHAN AJAR PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM)
KESEHATAN REPRODUKSI PADA KRISIS KESEHATAN
iii
MATERI 1
A
Daftar Isi Materi 1
DAFTAR ISI
V. URAIAN MATERI
1. Definisi Kondisi Darurat dan Kesehatan Reproduksi ........................................3
2. Definisi PPAM ...................................................................................................5
3. PPAM sebagai kebutuhan.................................................................................8
4. Tujuan PPAM ....................................................................................................14
5. Komponen-komponen PPAM kesehatan reproduksi ......................................15
PANDUAN PENGAJAR | MODUL BAHAN AJAR PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN
REPRODUKSI PADA SITUASI TANGGAP DARURAT BENCANA
MATERI 1 :
KONSEP DAN KOMPONEN PAKET
PELAYANAN AWAL MINIMUM KESEHATAN REPRODUKSI
MATERI 1
PAKET PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM)
KESEHATAN REPRODUKSI (KESPRO) PADA KRISIS KESEHATAN
(SITUASI TANGGAP DARURAT BENCANA)
Paket Pelayanan Awal Minimum (PPAM) Kesehatan Reproduksi (Kespro) pada situasi
darurat bencana merupakan serangkaian kegiatan prioritas kesehatan reproduksi yang
harus dilaksanakan segera pada tahap awal bencana untuk menyelamatkan jiwa
khususnya pada kelompok perempuan dan remaja perempuan Pengabaian kesehatan
reproduksi pada situasi darurat bencana dapat berisiko terhadap kesakitan dan kematian
ibu, bayi dan anak, kekerasan seksual/perkosaan yang dapat berakibat trauma dan
penularan Infeksi menular seksual, Human Immunodeficiency Virus (HIV), kehamilan tidak
diharapkan (KTD), aborsi tidak aman, sehubungan dengan hal masalah yang mungkin
terjadi tersebut diperlukan PPAM sesuai dengan standar SPHERE
I. DESKRIPSI SINGKAT
Materi ini membahas tentang definisi PPAM, pentingnya PPAM Kesehatan Reproduksi
(Kespro), komponen-komponen dalam PPAM dan cara mengakses alat bantu dan
sumber daya untuk mendukung mengimplementasikan PPAM Kespro pada situasi
darurat bencana.
V. URAIAN MATERI
d. Kespro adalah keadaan fisik, mental, dan kesejahteraan social yang sempurna
dan bukan hanya ketiadaan penyakit dan kelemahan, namun dalam segala hal
yang berkaitan dengan sistem, proses, dan fungsi reproduksi. Sebagai implikasi
kesehatan reproduksi adalah setiap individu dapat memiliki kepuasan dalam
kehidupan seks yang aman dan mereka memiliki kemampuan, untuk
bereproduksi dan bebas untuk memutuskan apakah, kapan, dan seberapa
sering, juga termasuk kesehatan seksual, sebagai tujuan adalah peningkatan
hidup dan hubungan pribadi (ICPD, 1994)
2. Definisi PPAM
Dalam situasi fase akut emergency adalah kacau dan anda tidak bisa menyediakan
semua komponen kesehatan seksual dan reproduksi. Anda harus membatasi
intervensi pada kegiatan kesehatan seksual dan reproduksi yang penting untuk
menyelamatkan nyawa. Pelayanan kesehatan seksual dan reproduksi minimum
harus merupakan bagian pelayanan kesehatan dasar pada awal keadaan darurat,
kemudian didefinisikan menjadi PPAM.
Konsep PPAM dikenalkan tahun 1995 Kelompok Kerja Antar Lembaga (IAWG/Inter
Agency Working group) untuk kesehatan seksual dan reproduksi dalam situasi
darurat (dahulu ‘dalam situasi Pengungsian’), dibawah koordinasi UNHCR (lembaga
PBB untuk pengungsi) yang terdiri lebih dari 30 badan PBB, LSM, akademisi
internasional dan lembaga donor. Tugas utama kelompok ini adalah mengorganisir
dan memfasilitasi pelayanan kesehatan seksual dan reproduksi di seluruh situasi
pengungsian. WHO bertindak sebagai lembaga yang menyusun standar teknis
untuk kelompok ini. Bertahun-tahun lamanya, kelompok telah mengembangkan
beberapa alat bantu/tools. Dimulai dengan konsep PPAM untuk kesehatan seksual
dan reproduksi dalam situasi krisis, yang dikembangkan pada 1995 dan dijelaskan
dalam Pedoman Lapangan Antar Lembaga. Konsep PPAM mulai diperkenalkan di
Indonesia tahun 2003 dengan diterbitkannya buku pedoman nasional Kesehatan
Reproduksi bagi pengungsi.
Dalam kondisi daruat idealnya semua layanan Kespro harus tersedia, tapi jika tidak
memungkinkan, kita bisa memprioritaskan untuk layanan yang sangat penting
untuk penyelamatan nyawa melalui PPAM. Setelah situasi sudah
memungkinkan/stabil layanan Kespro komprehensif akan diberikan seperti
saat situasi normal. Kapan situasi dikatakan sudah stabil? Dapat menggunakan
indikator
PPAM untuk Kespro dalam kondisi bencana sudah masuk standard SPHERE edisi
tahun 2004 yaitu akses terhadap PPAM Kespro dalam kondisi darurat. Kebutuhan
Kespro berlanjut terutama selama krisis; ada beberapa masalah yang mungkin
dihadapi :
a. Dalam kondisi darurat terutama konflik, biasanya tidak ada hukum dan
aturan
yang berlaku dalam situasi pengungsian sehingga dapat meningkatkan resiko
terjadinya kekerasan seksual misalnya pada saat kerusuhan Jakarta tahun 1998
banyak sekali kasus perkosaan pada etnis tertentu. Cara mengatur camp
pengungsian juga meningkatkan resiko terjadinya kekerasan seksual misalnya
pengaturan tenda, penempatan toilet, penerangan, mekanisme distribusi
bantuan dll. Dalam kondisi darurat akan terjadi hilangnya kekuasaan dan
status laki-laki dan hilangnya pendapatan bagi perempuan yang menemukan
dirinya sendiri sebagai penanggungjawab tunggal rumah tangga, mudah
mengalami kekerasan seksual, perkosaan, penyiksaan seksual, dan paksaan
prostitusi.
b. Resiko untuk meningkatnya penularan HIV adalah karena meningkatnya resiko
kekerasan seksual. Selain itu pada situasi darurat, seringkali terjadi
peningkatan kebutuhan pelayanan kesehatan, tetapi tidak tercukupinya alat
dan bahan untuk menjamin tindakan kewaspadaan universal terhadap
penularan HIV/IMS. Lebih lanjut, sistem persediaan supply darah yang aman
biasanya terputus, sedangkan mungkin saja terjadi kebutuhan transfusi darah
yang lebih besar, khususnya dalam keadaan darurat yang kompleks.
Contoh kasus pasca gempa di Jogjakarta: ada bidan desa yang mendadak
setelah gempa menerima sekitar 20 pasien dengan luka dan cedera yang
banyak mengeluarkan darah dan membutuhkan pertolongan segera. Karena
bidan itu sendiri dan dia tidak memiliki peralatan yang cukup, maka bidan tsb
memakai alat menjahit yang sama untuk semua pasien tanpa memalui
standard sterilisasi alat. Jika salah satu saja dari pasien itu HIV positif, maka
resiko penularan akan sangat besar. Ini sangat mungkin terjadi jika skala
bencana sangat besar seperti di Aceh, dimana sistem kesehatan lumpuh, serta
peralatan dan bahan tidak tersedia.
c. Malnutrisi akan mengakibatkan anemia, yang akan meningkatkan resiko
perdarahan post partum. Jika ibu hamil tinggal di pengungsian dalam waktu
yang cukup lama, kemungkinan kebutuhan gizinya tidak terpenuhi misalnya
terjadi anemia, kurang gizi sehingga melahirkan bayi berat lahir rendah dll.
d. Dalam kondisi darurat akan tetap ada ibu hamil yang akan melahirkan kapan
saja 24 Jam/hari. Bahkan karena kondisi yang kacau, ibu yang belum
waktunya
melahirkan dapat melahirkan lebih cepat/premature karena harus berlari saat
mengungsi, dalam kondisi stress akibat bencana dll. Misalnya kasus ibu hamil
yang mendadak melahirkan premature saat gempa di Jogja karena isu tsunami.
Ibu hamil tsb sudah datang ke beberapa rumah sakit yang ternyata tidak bisa
menerima karena RS penuh dengan korban luka/trauma.
Selain ibu hamil yang akan melahirkan normal, secara statisitik 15-20% ibu
hamil akan mengalami komplikasi misalnya perdarahan, eklampsia dll. Ibu-ibu
yang mengalami komplikasi ini harus mendapat pertolongan segera.
Ketidaktersedianya layanan kegawatdaruratan kebidanan akan menyebabkan
resiko meningkatnya kematian ibu.
Kondisi toilet:
Toilet darurat di Manokwari, tidak terpisah laki Toilet di barak pengungsian Aceh
dan perempuan, tidak ada penerangan, tidak Cara mendesain toilet juga menetukan
bisa ditutup rapat dan dikunci. terhadap resiko terjadinya perkosaan.
Toilet yang aman adalah toilet yang:
1. Terpisah antara laki-laki dan perempuan
2. Memiliki penerangan yang cukup
3. Bisa dikunci
4. Ada patroli keamanan di sekitar toilet sehingga tetap aman apabila malam-
malam harus ke toilet
Di setiap situasi bencana selalu saja ada ibu-ibu yang melahirkan tanpa memandang
waktu dan tempat. Bahkan ada ibu-ibu yang meskipun belum waktunya melahirkan,
harus melahirkan lebih awal/prematur karena situasi yang kacau, harus mengungsi
dll.
Ibu yang melahirkan di mobil saat proses Ibu yang melahirkan tepat di saat terjadi gempa
evakuasi letusan gunung merapi kuat di Padang tahun 2009, bayinya diberi nama
Gempawati
Bayi kembar yang terpaksa tidur di lantai Seorang bidan di Aceh yang melahirkan di
beralas tikar di puskesmas saat terjadi gempa pengungsian setelah terjadi gempa dan tsunami
Padang tahun 2009 di Aceh
Biasanya saat terjadi pengungsian dan fasilitas kesehatan mengalami kerusakan, akan
dibuat pos-pos kesehatan darurat atau RS lapangan. Sebaiknya ada tenda layanan khusus
kesehatan reproduksi yang memastikan privacy dari pasien yang datang untuk
pemeriksaan kehamilan, melahirkan, mendapatkan layanan KB, mendapatkan pelayan
pasca perkosaan dll.
Kondisi RSUD Bantul setelah gempa Yogya, 2006 Pos kesehatan sementara pasca gempa
Padang 2009
4. TUJUAN PPAM
a. Mengidentifikasi koordinator kesehatan reproduksi
b. Mencegah dan menangani konsekuensi kekerasan seksual
c. Mengurangi penularan IMS/HIV
d. Mencegah peningkatan kesakitan dan kematian maternal serta neonatal
e. Merencanakan layanan Kesehatan Reproduksi komprehensif terintegrasi pada
layanan kesehatan primer, sesegera mungkin
5. KOMPONEN-KOMPONEN PPAM KESEHATAN REPRODUKSI
Komponen Kespro komprehensif diberikan pada kondisi normal, namun tidak
semua harus diberikan dalam kondisi darurat, tapi hanya fokus pada PPAM,
misalnya:
1. Safe motherhood atau Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) terdiri dari: Ante Natal
Care (ANC), Persalinan, Post Natal Care (PNC). Semuanya adalah penting, tapi
dalam kondisi darurat karena keterbatasan tenaga dan alat, prioritas diberikan
untuk persalinan karena kematian banyak terjadi saat proses
persalinan, T indakan pencegahan meningkatnya kesakitan dan kematian
maternal serta neonatal
a. Pelayananan kegawatdaruratan kebidanan dan neonatal tersedia
b. Terbentuknya Sistem rujukan 24 jam/7 hari
c. Kit persalinan bersih: terdiri dari peralatan sederhana seperti perlak,
sabun cuci tangan silet untuk memotong tali pusat, tali untuk mengikat tali
pusat dll. Kit persalinan bersih didistribusikan kepada ibu hamil yang akan
melahirkan dalam waktu dekat dengan pesan bahwa ibu hamil tetap harus
melahirkan di tenaga kesehatan. Kit ini hanya dipakai pada saat kondisi
darurat saja dimana ibu yang akan melahirkan tsb tidak bisa bertemu
bidan atau puskesmas karena bencana susulan, jalan terendam banjir dll.
Setidaknya ibu yang melahirkan itu memiliki alat yang bersih untuk
memotong tali pusat bayinya. Jadi kit persalinan bersih tidak
mempromosikan persalinan di rumah.
2. KB, layanan ginekologis, penghapusan Female Genital Mutilation (sunat
perempuan) dan praktek tradisional yang membahayakan tidak termasuk
PPAM. Tapi menyediakan alat kontrasepsi bagi yang sudah memakai KB
sebelum bencana adalah dianjurkan
3. Pencegahan IMS/HIV saat daruart fokus pada pencegahan penularan HIV,
dengan cara :
a. Pemberian Transfusi darah yang aman, Transfusi darah hanya diberikan
atas
indikasi, gunakan cairan pengganti darah selama masih memungkinkan,
Pilih donor dari golongan yang tidak beresiko, Darah yang akan
ditransfusikan harus di-screening/disaring terlebih dahulu untuk virus HIV,
Hepatitis B dan Syphillis
b. Diterapkannya standard kewaspadaan universal : Praktek pencegahan
infeksi harus diterapkan, karena dalam kondisi darurat ada kecenderungan
tenaga kesehatan untuk potong kompas, Alat dan bahan harus tersedia
secara mencukupi
c. Disediakan Kondom gratis tersedia. Menyediakan kondom bagi yang sudah
memakai kondom sebelumnya dan tidak didistribusikan secara luas,
misalnya disediakan di toilet, pos kesehatan dll
4. Pencegahan dan penanganan Kekerasan Berbasis Gender (GBV), dari
sekian
banyak jenis dari GBV, PPAM hanya fokus pada pencegahan dan penanganan
kekerasan seksual pada fase akut.
Mengingat isu kesehatan reproduksi sering terlupakan saat kondisi darurat
maka perlu ditunjuk koordinator kesehatan reproduksi karena pelayanan
kesehatan reproduksi memerlukan pendekatan multi-sektor. Jika system
cluster terbentuk maka koordinator harus melaporkan kondisi kesehatan
reproduksi kepada cluster kesehatan. Jika system cluster tidak terbentuk,
koordinator kesehatan reproduksi dapat melapor ke koordinator bidang
kesehatan. Sistem cluster adalah mekanisme kooridnasi yang akan diterapkan
untuk bencana berskala besar dengan melibatkan bantuan internasional dan
lembaga-lembaga yang bekerja dikelompokkan berdasarkan bidang
kerjanya/cluster. Koordinator kesehatan reproduksi yaitu dengan
menyelenggarakan pertemuan untuk mendiskusikan masalah kesehatan
reproduksi dan memastikan alat dan bahan untuk penerapan PPAM tersedia
serta memastikan cluster/sektor kesehatan untuk mengidentifikasi lembaga
yang memimpin pelaksanaan PPAM.
6. Cara mengakses dukungan alat bantu dan sumber daya PPAM Kespro
Banyak pedoman pelayanan kesehatan reproduksi dalam situasi darurat yang
dihasilkan dan oleh Kelompok Kerja Kesehatan Reproduksi dalam kondisi darurat/
Inter-Agency Working Group on RH in Emergency Situation (IAWG) dan telah
dipublikasikan dapat diakses secara bebas juga tersedia secara on line, dan
sebagian besar sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, seperti PPAM
kesehatan reproduksi, Inter-Agency Field Manual (IAFM), RH Kits for Emergency
Situation.
Buku Pedoman dalam bahasa Indonesia:
1. Buku Pedoman Paket Pelayanan Awal Minimum (PPAM) Kesehatan Reproduksi
pada Krisis Kesehatan – Kementerian Kesehatan edisi Tahun 2015
(berdasarkan buku pedoman internasional (IAWG) yang terbaru) | buku harus
dibaca saat pra-bencana karena lebih bersifat teori
2. Buku Kesehatan Reproduksi bagi pengungsi edisi tahun 2003
3. Buku Pedoman Praktis Kesehatan Reproduksi dalam kondisi darurat: berisi
langkah-langkah praktis yang harus dilakukan: dibaca dan dikuasai saat ada
tanda-tanda akan terjadi bencana: musim hujan, tanda-tanda gunung akan
meletus dll
4. Cheat sheet/lembar contekan: menjadi pegangan dan acuan saat terjadi
bencana
Selain menghasilkan konsep tentang PPAM dan buku pedoman antar lembaga,
IAWG juga mengembangkan kit kesehatan reproduksi untuk situasi darurat yang
merupakan supply/logistik untuk mendukung pelaksanaan PPAM, yaitu : Kit
kesehatan reproduksi. Kit kesehatan reproduksi sebetulnya adalah alat dan obat
untuk layanan kesehatan reproduksi yang ada di puskesmas dan RS tapi
sudah
dikemas secara khusus untuk dipergunakan saat kondisi darurat dan sesuai
tindakan yang akan dilakukan: no kit adalah sesuai dengan tindakan yang akan
dilakukan, misalnya kit no 6: adalah kit pertolongan persalinan dan semua alat dan
obat untuk menolong persalinan tersedia di kit no 6
Kit Kesehatan reproduksi dibagi menjadi 3 blok dengan jumlah target penduduk
tertentu, untuk periode selama 3 bulan. T idak semua kit harus dipesan
tapi berdasarkan kebutuhan saja. Untuk memesan kit kesehatan reproduksi tidak
perlu menghitung kebutuhan masing-masing obat dan alat melainkan hanya
membutuhkan data jumlah pengungsi.
Kit di blok 1 ditujukan untuk pengungsi sebanyak 10.000 orang selama 3 bulan.
Misalnya jumlah pengungsi adalah 50,000 orang, maka kit yang dibeli untuk blok 1
adalah : 50,000 : 10 = sebanyak 5 kit. Jika jumlah pengungsi 45,000 orang, tidak
bisa memesan sebanyak 4.5 kit, tapi harus membeli 5 kit dan akan dipakai untuk
waktu yang lebih lama dari 3 bulan. Kit tidak bisa dipesan sebanyak setengah paket
Kit di blok 2 diperuntukkan untuk jumlah pengungsi sebanyak 30,000 orang selama
3 bulan. Jika jumlah pengungsi sebanyak 50,000 orang berarti dibutuhkan kit
sebanyak 2 set Kemasan kit kesehatan reproduksi dilengkapi dengan kode warna
sesuai tindakan yang akan dilakukan.
Blok 2
Terdiri dari 5 kit, untuk fasilitas kesehatan dasar dan RS rujukan
(30,000 penduduk/3 bulan)
Blok 3
3. Dilengkapi juga dengan ala-alat tulis untuk mencatat data pasien dll
Supplai penting lainnya yang perlu diperhatikan misalnya KB dan hygiene
kit/individual kit, meski KB bukan merupakan PPAM (pencarian akseptor baru,
penyuluhan KB dll), tapi menyediakan alat kontrasepsi bagi yang sebelumnya
sudah memakai alat kontrasepsi (seperti suntik, pil dll) adalah penting untuk
mencegah kehamilan yang tidak dikehendaki. Perlindungan menstruasi
memungkinkan perempuan untuk berpartisipasi secara penuh dalam kehidupan
masyarakat dan menjaga keluarga mereka. Isi hygiene kit akan bisa disesuaikan
dengan kebutuhan.
VI. RANGKUMAN
Agar dapat bekerja dengan baik dalam situasi darurat penting memahami konsep inti
dari PPAM meliputi definisi, maksud dan tujuan PPAM kesehatan reproduksi,
komponen-komponen dalam PPAM dan cara mengakses informasi yang terkait
dengan PPAM kesehatan reproduksi dalam situasi darurat
Tabel perbedaan antara PPAM (saat fase tanggap darurat bencana) dengan Kesehatan
KEBIJAKAN KESEHATAN
REPRODUKSI PADA SITUASI
KRISIS/DARURAT BENCANA.
B
Daftar Isi Materi 2
DAFTAR ISI
PANDUAN PENGAJAR | MODUL BAHAN AJAR PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN
REPRODUKSI PADA SITUASI TANGGAP DARURAT BENCANA
MATERI 2 :
KEBIJAKAN KESEHATAN REPRODUKSI PADA KRISIS KESEHATAN
MATERI 2
KEBIJAKAN KESEHATAN REPRODUKSI
PADA KRISIS KESEHATAN (SITUASI TANGGAP DARURAT BENCANA)
I. DESKRIPSI SINGKAT
Materi ini membahas tentang kebijakan pemerintah tentang pelayanan Kespro pada
krisis kesehatan saat situasi tanggap darurat bencana, meliputi definisi Kespro, hak-
hak reproduksi, ruang lingkup, masalah Kespro, kebijakan dan strategi nasional
tentang pelayanan Kespro pada krisis kesehatan saat situasi tanggap darurat bencana
V. LANGKAH-LANGKAH PEMBELAJARAN
Berikut disampaikan langkah-langkah kegiatan dalam proses pembelajaran materi ini.
Langkah 1. Persiapan
1. Memastikan hand out power point digandakan (jika dibutuhkan)
2. Memastikan materi yang akan disampaikan telah dipelajari (dengan merujuk pada
bacaan yang dianjurkan pada bagian akhir sesi ini)
3. Memastikan perlengkapan pembelajaran seperti spidol, flipchart atau papan tulis
putih
4. Menguasai metode pembelajaran interaktif
5. Waktu yang diperlukan 90 menit
termasuk HIV/AIDS. Jika kita ingin mencapai target MDGs harus dipastikan kalau
layanan Kespro tersedia dalam kondisi apapun termasuk kondisi krisis/darurat.
4. Kebijakan dan Strategi Nasional tentang Pelayanan Kespro Pada Krisis Kesehatan
& Situasi Tanggap Darurat Bencana.
Kebijakan Kementerian Kesehatan dalam upaya meningkatkan akses dan kualitas
pelayanan kesehatan perempuan sesuai dengan siklus hidupnya yang dilakukan
dengan pendekatan Continum of Care. Yaitu penyediaan pelayanan mulai dari
proses kehamilan, persalinan, bayi baru lahir, anak-anak, remaja, dewasa dan
sampai lanjut usia.
Landasan hukum:
Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan RI no 64 tahun 2013: tentang
penanggulangan krisis kesehatan, Pelayanan Kespro masuk ke dalam
pelayanan kesehatan yang harus disediakan pada tahap tanggap darurat dan
pasca krisis
Pasal 22:
Pemenuhan kebutuhan kesehatan antara lain berupa sumber daya manusia
kesehatan, pendanaan, fasilitas untuk mengoperasionalkan system pelayanan
kesehatan yang meliputi pelayanan medic, obat dan perbekalan kesehatan,
gizi, pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan, kesehatan jiwa,
kesehatan reproduksi dan identifikasi korban sesuai kebutuhan.
undang tersebut terdapat dua pasal yang mengatur antara lain pasal 48 dan
pasal 55. Di dalam pasal 48, Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada
saat tanggap darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf (b)
meliputi:
a. Pengkajian secara cepat,tepat terhadap lokasi, kerusakan, dan sumber
daya;
b. Penentuan status keadaan darurat bencana;
c. Penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana;
d. Perlindungan prioritas untuk mendapatkan penyelamatan, evakuasi,
pengamanan, pelayanan kesehatan dan pemenuhan kebutuhan dasar;
e. Perlindungan terhadap kelompok rentan; dan
f. Pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital.
VII. RANGKUMAN
1. Sesuai peraturan menteri kesehatan, pelayanan kesehatan reproduksi pada situasi
bencana melalui penerapan PPAM sudah merupakan pelayanan kesehatan yang
harus diberikan sebagai bagian dari respon bencana bidang
kesehatan/penanggulangan krisis bidang kesehatan
2. Program Kespro pada Krisis Kesehatan & Situasi Tanggap Darurat Bencana
dilakukan melalui 3 tahap penanggulangan bencana (pra, saat dan paska
bencana).
3. Pada pra dan saat bencana perlu dipastikan adanya pelayanan Kespro sesuai
dengan kebutuhan.
4. Perlu advokasi, sosialisasi dan peningkatan kapasitas petugas dalam PPAM Kespro
di pusat maupun daerah.
IX. DAFTAR PUSTAKA
Kementerian Kesehatan. 2015. Buku Pedoman Paket Pelayanan Awal Minimum
(PPAM) Kesehatan Reproduksi pada Krisis Kesehatan
MEKANISME KOORDINASI
UNTUK IMPLEMENTASI PPAM
KESPRO PADA SITUASI
KRISIS/DARURAT BENCANA
C
Daftar Isi Materi 3
DAFTAR ISI
PANDUAN PENGAJAR | MODUL BAHAN AJAR PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN
REPRODUKSI PADA SITUASI TANGGAP DARURAT BENCANA
MATERI 3 :
MEKANISME KOORDINASI UNTUK IMPLEMENTASI PPAM
MATERI 3
MEKANISME KOORDINASI UNTUK IMPLEMENTASI
PAKET PELAYANAN AWAL MINUMUM (PPAM)
Banyak sekali tantangan yang akan kita hadapi saat bekerja di dalam situasi darurat
bencana, diantaranya proses kerja yang kompleks, banyak pihak yang terlibat dan
bekerja, diperlukan kemampuan dan keterampilan menyusun program yang efektif dan
dapat dipertanggungjawabkan serta kemampuan untuk melakukan koordinasi karena
untuk pelaksanaan PPAM memerlukan pendekatan multi sektoral. Dalam kondisi bencana
banyak sekali pihak yang terlibat dalam penanganan bencana sepeti pemerintah,
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), pihak swasta, media dll. Apabila bencana berskala
besar dapat juga melibatkan lembaga asing seperti PBB, LSM internasional dll. Untuk itu
perlu dipahami mengenai mekanisme koordinasi PPAM yang ada di Indonesia baik di
tingkat nasional maupun di daerah.
I. DESKRIPSI SINGKAT
Materi ini membahas tentang mekanisme koordinasi pada situasi darurat bencana,
yang berfokus pada mekanisme koordinasi untuk penerapan PPAM.
V. LANGKAH-LANGKAH PEMBELAJARAN
Berikut disampaikan langkah-langkah kegiatan dalam proses pembelajaran materi ini.
Bencana yang terjadi dapat bersifat Lokal, Daerah dan Nasional. Penanganan kondisi
bencana tingkat nasional dikoordinasikan oleh pemerintah pusat, yang presentasikan
oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sebagai sentral penanganan
bencana secara nasional. Pada leven bencana daerah ditingkat provinsi dan/atau
tingkat Kab/kota, sentral penanganan bencana di pegang oleh BNPB daerah
setempat.
Tingkat Pusat
PPK regional
Catatan:
• IBI selalu menjadi bagian rekomendasi pada setiap bidang.
• Daftar anggota tersebut adalah bersifat rekomendasi dan penentuannya
disesuaikan dengan kondisi di masing-masing daerah.
Tantanan untuk melakukan koordinasi pada kondisi bencana:
1. Proses yang kompleks/complicated
2. Banyak sekali pihak yang terlibat dan bekerja dalam kondisi darurat
bencana
3. Bagaimana menyusun program yang efektif dan dapat
dipertanggungjawabkan
Proses koordinasi itu seperti melakukan orchestra yang membutuhkan rantai komando
(konduktor) dan komunikasi dengan semua pihak yang terlibat.
1. Mekanisme koordinasi bencana
UU no 24 tahun 2007 tentang manajemen penanggulangan bencana mengatur
tentang pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) di tingkat
nasional dan pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) tingkat
propinsi dan kabupaten. BNPB bertanggung jawab untuk mengkoordinasikan kegiatan
penanggulangan bencana secara umum yang mencakup pencegahan bencana,
penanganan tanggap darurat dan rehabilitasi dan rekonstruksi. Penanganan bencana
dilaksanakan secara berjenjang dengan mempertimbangkan ketersediaan sumber
daya dan kemampuan pemerintah daerah.
2. Mekanisme koordinasi penanggulangan bencana bidang kesehatan
Penanggulangan bencana di bidang kesehatan adalah menjadi tanggung jawab dari
Pusat Penanggulangan Krisis (PPK) Kementerian Kesehatan dibawah koordinasi Badan
Nasional Penanggulangan Bencana di tingkat pusat.
Pusat Penanggungan Krisis Kesehatan telah mendirikan 9 regional dan 2 sub regional
untuk penanggulangan bencana di seluruh Indonesia. Regional PPKK berfungsi sebagai
unit fungsional di daerah yang ditunjuk untuk mempercepat dan mendekatkan fungsi
bantuan pelayanan kesehatan dalam penanggulangan kesehatan dan berfungsi
sebagai pusat pengendali bantuan kesehatan, pusat rujukan kesehatan dan pusat
informasi kesehatan.
Pusat Regional Penanganan Krisis Kesehatan berfungsi:
Sebagai pusat komando dan pusat informasi (media centre) kesiapsiagaan dan
penanggulangan kesehatan akibat bencana dan krisis kesehatan lainnya;
fasilitasi buffer stock logistik kesehatan (bahan, alat dan obat -obatan);
Menyiapkan dan menggerakkan Tim Reaksi Cepat dan bantuan SDM kesehatan
yang siap digerakkan di daerah yang memerlukan bantuan akibat bencana dan
krisis kesehatan lainnya;
Sebagai pusat networking antara 3 komponen kesehatan dalam regional
tersebut yaitu dinas kesehatan, fasilitas kesehatan dan perguruan tinggi.
Di tingkat pusat, PPKK bertanggung jawab untuk bidang kesehatan secara umum dan
berkoordinasi dengan sub direktorat Perlindungan Kespro di bawah Direktorat
Kesehatan Ibu. Di tingkat daerah, PPKK regional dan sub regional akan berkordinasi
dengan Dinas Kesehatan Propinsi atau Kabupaten.
Koordinator kespro adalah ketua dari tim siaga kespro yang berada di bawah tim
penanggulangan bencana bidang kesehatan dan bertanggung jawab kepada
koordinator tim penanggulangan krisis kesehatan di setiap jenjang administrasi.
Tim siaga kespro dibentuk di setiap provinsi dan kabupaten pada saat pra bencana
untuk menyusun dan melaksanakan rencana kesiapsiagaan serta melaksanakan
komponen PPAM kespro pada saat bencana. Tim siaga ini terdiri dari penanggung
jawab komponen kekerasan berbasis gender, pencegahan penularan HIV,
kesehatan maternal dan neonatal serta logistik.
Prinsip Dasar
1. Penanganan bencana dilaksanakan secara berjenjang dengan mempertimbangkan
ketersediaan sumber daya dan kemampuan pemerintah daerah.
2. Dalam hal terjadi bencana, maka tanggung jawab pertama penanganan kespro ada
pada tim kespro di tingkat Kabupaten/Kota.
3. Apabila masalah kespro yang timbul tidak dapat tertangani, tim siaga kespro
tingkat Kabupaten/Kota melaporkan ke tim siaga kespro di tingkat Provinsi dan jika
tidak tertangani, tim siaga kespro di tingkat Provinsi akan melaporkan ke tim siaga
kespro tingkat Pusat.
4. Pelaksanaan kegiatan tim siaga kespro terintegrasi dengan tim penanggulangan
bencana bidang kesehatan.
5. Apabila tim siaga kespro tingkat Kabupaten/Kota/Provinsi belum terbentuk, maka
tanggung jawab berada pada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota/Provinsi yaitu unit
yang bertanggung jawab untuk Kespro/Kesehatan Ibu dan Anak. Di tingkat Pusat,
tim siaga kespro berada di bawah Direktorat Bina Kesehatan Ibu, Subdirektorat
Bina Perlindungan Kespro.
Diskusi dengan seorang ibu di tempat pengungsian – Banjir Jakarta 2013
Berdasarkan mekanisme koordinasi PPAM yang telah dijelaskan di atas, maka tenaga
kesehatan yang memberikan pelayanan kespro dalam kondisi darurat di lapangan
harus berkoordinasi dengan Koordinator Kespro yang berada di Dinas kesehatan
tingkat propinsi ataupun di tingkat kabupaten tempat dimana mereka bekerja.
Sekelompok badan, organisasi, dan/atau lembaga yang bekerja sama untuk mencapai
tujuan bersama – untuk mengatasi kebutuhan pada sektor tertentu (seperti
kesehatan) di kenal dengan istilah Klaster.
Suatu “klaster” biasanya bersifat “kelompok sektoral” dan tidak perlu ada
pembedaan antarara keduanya terkait sasaran dan kegiatan mereka; tujuan mengisi
kesenjangan dan memastikan adanya kesiapan dan tanggap darurat yang sebanding
[IASC].
A. PENDEKATAN KLASTER
Pendekatan klaster merupakan salah satu dari tiga pilar utama reformasi bantuan
kemanusiaan, sementara dua lainnya adalah penguatan sistem Koordinator
Bantuan Kemanusiaan dan penguatan pembiayaan bantuan kemanusiaan melalui,
diantaranya, peningkatan permintaan dan Central Emergency Response Fund
(CERF). OCHA telah mengembangkan Humanitarian Coordination Support Section
(HCSS) yang beermarkas di Jenewa, untuk mendukung para HC dan mitra IASC
dalam mengimplementasikan reformasi dan memonitor kemajuan.
Pendekatan klaster merupakan cara untuk mengelola koordinasi dan kerja sama di
antara berbagai aktor bantuan kemanusiaan untuk memfasilitasi perencanaan
strategis bersama. Pada tingkat nasional, pendekatan ini:
1. Menjadi landasan sistem kepemimpinan dan akuntabilitas yang jelas pada tiap
sektor, di bawah kepemimpinan secara keseluruhan koordinator bantuan
kemanusiaan; dan
2. Memberikan kerangka kerja untuk kemitraan yang efektif di antara berbagai
aktor bantuan kemanusiaan internasional dan nasional pada tiap sektor.
a. Klaster Kesehatan, otorita kesehatan pusat dan mekanisme koordinasi yang ada
Lembaga pimpinan Klaster Kesehatan (CLA) berperan menjembatani antara
otorita kesehatan tingkat pusat dan daerah dan internasional serta aktor LSM
bantuan kesehatan. Tanggung jawab utama CLA adalah untuk memastikan bahwa
seluruh aktor bantuan kemanusiaan internasional memanfaatkan kapasitas
setempat dan bahwa mereka mengembangkan dan mempertahankan hubungan
yang diperlukan dengan pemerintah pusat dan daerah terkait (khususnya
Kementerian Kesehatan – Kemenkes) dan organisasi masyarakat madani daerah
yang terlibat dalam berbagai kegiatan terkait kesehatan.
Sifat dari hubungan ini tergantung pada situasi di tingkat pusat dan kemauan dan
kapasitas setiap organisasi tersebut untuk memimpin atau turut serta dalam
kegiatan kemanusiaan:
1. Di mana Kemenkes berada pada posisi kuat untuk memimpin seluruh
tanggap darurat bantuan kemanusiaan, maka klaster harus mengatur
tanggap darurat bantuan kemanusiaan dengan seluruh usaha pemerintah
pusat. Ini biasanya dilakukan menyusul terjadinya bencana alam.
2. Dalam kasus lainnya, khususnya dalam situasi konflik berkepanjangan,
kemauan atau kapasitas Pemerintah atau lembaga negara – termasuk
Kemenkes – untuk memimpin atau turut serta dalam kegiatan bantuan
kemanusiaan mungkin dipertanyakan, dan ini jelas akan berpengaruh
terhadap sifat hubungan yang mereka jalin dengan para aktor bantuan
kemanusiaan internasional. [IASC. Guidance note on using the cluster
approach to strengthen humanitarian response, 24 November 2006]
VII. RANGKUMAN
Mekanisme koordinasi merupakan proses yang rumit, banyak orang/lembaga yang
berkontribusi, namun demikian penanganan kespro dan seksual dalam situasi darurat
harus dilakukan secara efektif dan bertanggungjawab, untuk itu diperlukan
koordinator dengan kapasitas yang memadai seperti kepemimpinan bertanggung
jawab.
Pesan Kunci
1. Untuk penerapan PPAM diperlukan pendekatan multi sektoral dan koordniasi
dengan lembaga terkait
2. Koordinasi Kespro dilakukan oleh seorang koordinator kespro agar kegiatan
kespro pada situasi bencana terkoordinasi dengan baik.
3. Penanganan bencana dilaksanakan secara berjenjang dengan
mempertimbangkan ketersediaan sumber daya dan kemampuan pemerintah
daerah.
MATERI 4
KESEHATAN REPRODUKSI
REMAJA PADA SITUASI
KRISIS/DARURAT BENCANA
D
Daftar Isi Materi 4
DAFTAR ISI
V. LANGKAH-LANGKAH PEMBELAJARAN......................................................... 55
MATERI 4
KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA PADA KRISIS KESEHATAN
(SITUASI TANGGAP DARURAT BENCANA)
Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR) adalah merupakan salah satu komponen dari
kesehatan reproduksi. KRR bukan merupakan intervensi prioritas di dalam PPAM,
karena PPAM difokuskan pada kegiatan penyelamatan nyawa serta mencegah
kesakitan, kecacadan dan kematian. Meskipun KRR bukan merupakan bagian dari
PPAM, tapi pengetahuan dan pemahaman tentang isu KRR akan bermanfaat untuk
diterapkan pada situasi bencana apabila tersedia sumber daya manusia yang mencukupi
atau apabila situasi sudah mulai stabil. Menjadi dewasa merupakan periode yang penuh
tekanan dan tantangan , bagi remaja yang hidup didaerah pengungsian tekanan ini
bahkan lebih besar. Transisi dari masa kanak-kanak ke dewasa menjadi lebih sulit
karena tidak adanya tokoh panutan serta tidak berlakunya sistem sosial dan kultural
dimana mereka tinggal. Mereka mengalami trauma pribadi seperti konflik bersenjata,
kekerasan, rasa tidak aman, pelecehan seksual, cedera atau kehilangan anggota keluarga,
kehilangan sekolah dan pekerjaan, persahabatan serta dukungan keluarga dan
masyarakat.
I. DESKRIPSI SINGKAT
Modul ini membahas tentang KRR dalam situasi darurat bencana yang meliputi: remaja
pada situasi pengungsian, prinsip pelayanan kesehatan peduli remaja, menilai
kebutuhan kespro remaja, menanggapi kebutuhan KRR dan program berbasis
masyarakat dan pendidikan sebaya.
V. LANGKAH-LANGKAH PEMBELAJARAN
Jumlah jam yang digunakan dalam modul ini sebanyak 5 JPL @ 50 menit (T=2 JPL, P=
3 JPL). Untuk memudahkan proses pelatihan, digunakan langkah-langkah sebagai
berikut:
a. Dosen memperkenalkan diri (5 menit)
b. Dosen menyampaikan tujuan pembelajaran secara umum dan khusus (5 menit)
c. Dosen menggali pengalaman mahasiswa tentang Kespro remaja pada situasi
Darurat Bencana (20 menit)
d. Dosen menjelaskan tentang Kespro remaja pada situasi Darurat Bencana (90
menit).
e. Memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk membahas kasus tentang
Kespro remaja pada situasi Darurat Bencana (30 menit)
f. Dosen meminta mahasiswa untuk mempresentasikan analisis kasus yang diberikan
(120 menit)
kesehatan reproduksi Remaja (KRR) adalah merupakan salah satu komponen dari
kespro. KRR bukan merupakan intervensi prioritas di dalam PPAM, karena PPAM
difokuskan pada kegiatan penyelamatan nyawa serta mencegah kesakitan, kecacadan
dan kematian. Meskipun KRR bukan merupakan bagian dari PPAM, tapi pengetahuan
dan pemahaman tentang isu KRR akan bermanfaat untuk diterapkan pada situasi
bencana apabila tersedia sumber daya manusia yang mencukupi atau apabila situasi
sudah mulai stabil.
Remaja memiliki kebutuhan khusus disetiap situasi dan setiap kelompok umur
dimasyarakat, memiliki masalah dan kebutuhan yang berbeda.Pada situasi
pengungsian, dimana umumnya sulit untuk mendapatkan pelayanan Kespro dasar
untuk seluruh masyarakat, maka petugas kesehatan harus juga mempertimbangkan
dan memenuhi kebutuhan remaja apabila sumber daya manusia dan kondisi
memungkinkan atau ketika kondisi sudah mulai stabil. Remaja sangat fleksibel
memiliki sumberdaya dan energik, mereka dapat membantu sesamanya dengan
konseling pendidikan dan mereka dapat membantu petugas kesehatan sebagai tenaga
sukarela.
Di sisi lain, masyarakat yang terpengaruh oleh krisis mungkin terpapar dengan
kesempatan- kesempatan baru, termasuk akses terhadap pelayanan kesehatan yang
lebih baik, sekolah, dan belajar bahasa lain dan keterampilan baru yang mungkin
menempatkan remaja dalam posisi khusus yang mungkin tidak akan mereka miliki di
lingkungan non krisis. Remaja seringkali beradaptasi dengan mudah terhadap situasi
baru dan dapat belajar di lingkungan baru ini dengan cepat.
Para tenaga kespro, pengelola program kespro dan penyedia pelayanan pada situasi
bencana harus mempertimbangkan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan khusus dari
remaja yang sedang transisi ke masa dewasa bila sumber daya manusia dan kondisi
memungkinkan atau ketika kondisi sudah mulai stabil. Mereka secara khusus harus
mempertimbangkan remaja yang rentan, termasuk, anak yang menjadi kepala
keluarga, remaja yang sudah menjadi ibu dan gadis-gadis berusia muda yang memiliki
risiko yang tinggi terhadap eksploitasi seksual.
kegiatan seksual yang tidak aman dan mereka harus bertanggung jawab atas
kegiatan yang telah mereka lakukan
3. Perilaku remaja didaerah pengungsi mungkin tidak menjadi subjek perhatian
yang sama dengan situasi kondisi normal.
Perpisahan dari orang tua dan tradisi dapat menyebabkan situasi yang kurang
terkontrol secara social, hal ini menyebabkan resiko yang lebih tinggi terhadap
kehamilan remaja, infeksi menular seksual (IMS) penyalahgunaan obat,
kekerasan dan sebagainya.
4. Remaja tidak homogen
Kebutuhan remaja sangat bervariasi sesuai usia, jenis kelamin,
pendidikan,status pernikahan dan karakteristik psikososial. Remaja wanita
lebih rentan terhadap masalah kespro umum dari pada laki-laki dan mereka
menanggung hampir semua konsekuensinya.Remaja berusia 10-14 tahun
memiliki kebutuhan yang berbeda dengan kelompok yang berusia 16-18
tahun. Beberapa budaya mengharapkan pernikahan seorang gadis pada usia
14 tahun sedangkan menurut budaya lain hal ini tidak dapat diterima.
5. Remaja mengalami masa pubertas
Periode dalam perkenbangan remaja yang terjadi pada usia 10-12 tahun untuk
perempuan dan 12-15 tahun untuk laki-laki. pada masa ini terjadi pematangan
alat reproduksi yang ditandai dengan menstruasi pada perempuan dan mimpi
basah pada laki-laki. Petugas kesehatan dapat memberikan kejelasan untuk
menjaga kebersihan mereka (menganti pembalut, membersihkan kelamin saat
mandi) selama menstruasi dan menghindari kehamilan sebelum nikah.
6. Dinegara dengan tinggkat prevalensi IMS/HIV tinggi, remaja merupakan
kelompok yang paling rentan
Ketidakberdayaan perempuan atas kehidupan seksual dan reproduktif mereka
menyebabkan memiliki resiko yang lebih tinggi terhadap kehamilan yang tidak
diinginkan, aborsi yang tidak aman, infeksi IMS/HIV semua ini sering terjadi di
daerah pengungsian.
Para pemuda ini akan membantu mengungkap kebutuhan teman sebaya mereka
selama perancangan program dan dapat membantu implementasi kegiatan-
kegiatan seperti, pendidikan sebaya, monitoring pelayanan kesehatan yang peduli
remaja dan rujukan ke konselor untuk masalah kekerasan berbasis gender.
Pelayanan akan lebih dapat diterima jika pelayanan tersebut disesuaikan dengan
kebutuhan-kebutuhan yang diidentifikasi oleh remaja itu sendiri.
Pada saat yang sama karena usia yang relatif muda dan relatif tidak
berpengalaman mereka membutuhkan bimbingan sensitif dan menyakinkan, cara
yang paling baik untuk mendukung remaja berpatisipasi adalah dengan
mengembangkan kemitraan antara mereka dengan tenaga kesehatan dibawah
bimbingan dan tanggung jawab orang tua. Pelayanan peduli remaja akan lebih
diterima jika dirancang sesuai dengan ketersedian waktu mereka.
Prinsip lain yang perlu diingat sebagai berikut :
1. Petugas kesehatan harus 4S (senyum, salam, sapa, sabar) memahami hal-hal
sensitif, dan memiliki infomasi mengenai pelayanan untuk remaja. Tokoh
masyarakat dan orang tua dapat dilibatkan dalam mengembangan program
yang ditargetkan untuk remaja. Petugas kesehatan dengan budaya yang sama
akan lebih diterima dalam memberikan pelayanan dibandingkan dengan
petugas yang berasal dari luar.
2. Program yang disusun harus mendukung kepemimpinan dan komunikasi
sebaiknya dilakukan oleh dengan teman sebaya (peer educator) teman sebaya
dianggap sebagai sumber infomasi yang aman dan terpercaya.
3. Remaja harus dijamin mendapat penanganan kespro yang memadai serta
membutuhkan bantuan berupa pelayanan kespro khusus untuk kasus-kasus
kekerasan seksual dan aborsi yang tidak aman.
4. Remaja membutuhkan privasi, masalah yang membawa mereka ke petugas
kesehatan umumnya masalah yang membuat mereka merasa malu dan
bingung. Oleh sebab itu meraka membutukan ruangan konsultasi yang aman
dan nyaman ditempat pengungsian
5. Kerahasian harus dijamin. Petugas kesehatan harus menjamin kerahasian
ketika bekerja dengan remaja dan bersikap jujur mengenai masalah kesehatan
mereka. Informasi dapat menyebar dengan sangat cepat di kalangan remaja
dan jika kerahasiaan mereka dilanggar, bahkan satu kali saja, remaja tidak
akan lagi mendatangi pelayanan yang tersedia.
6. Remaja sebaiknya dilayani oleh petuga kesehatan dengan gender yang sama.
Jika memungkinkan, remaja harus dirujuk ke petugas dengan jenis kelamin
yang sama kecuali jika remaja tersebut meminta untuk bertemu dengan
petugas dari jenis kelamin berbeda. Pastikan bahwa remaja korban/ penyintas
kekerasan berbasis gender yang sedang mencari dukungan dan perawatan di
fasilitas kesehatan didampingi oleh pendamping perempuan ketika petugas
laki-laki merupakan satu-satunya petugas yang ada di ruang pemeriksaan.
Keberadaan pendamping ini sangat penting ketika korban adalah remaja putri
tetapi penting pula untuk memberikan pilihan ini kepada remaja putra yang
menjadi korban/ penyintas kekerasan berbasis gender.
Oleh sebab itu petugas kesehatan harus jeli terhadap perubahan fisik dan prilaku
remaja khususnya remaja pria.Selain Napza minum minuman keras juga sangat
berbahaya bagi kesehatan fisik dan psikis remaja pria, oleh sebab itu petugas
kesehatan seyogyanya mengenal tanda-tanda keracunan dari minuman keras.
VII. RANGKUMAN
Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR) adalah merupakan salah satu komponen dari
kespro. KRR bukan merupakan intervensi prioritas di dalam PPAM, karena PPAM
difokuskan pada kegiatan penyelamatan nyawa serta mencegah kesakitan,
kecacadan dan kematian. Meskipun KRR bukan merupakan bagian dari PPAM, tapi
pengetahuan dan pemahaman tentang isu KRR akan bermanfaat untuk diterapkan
pada situasi bencana apabila tersedia sumber daya manusia yang mencukupi atau
apabila situasi sudah mulai stabil.
Kedaruratan bencanadapat meningkatankan kerentanan remaja terhadap
kekerasan, kemiskinan, perpisahan dengan keluarga, kekerasan seksual dan
eksploitasi dan resiko lainnya. Tapi di sisi lain dapat memberikan kesempatan
baru termasuk akses terhadap pelayanan kesehatan yang lebih baik, sekolah, dan
belajar bahasa lain dan keterampilan baru yang mungkin menempatkan remaja
dalam posisi khusus yang mungkin tidak akan mereka miliki di lingkungan non
krisis.
Dalam melaksankan program KRR, para petugas Kespro harus memahami
pendekatan khusus untuk remaja dan melibatkan remaja pada setiap tahap
pelaksanaan program.
PENCEGAHAN PENULARAN
HIV DAN IMS PADA SITUASI
KRISIS/DARURAT BENCANA
E
Daftar Isi Materi 5
DAFTAR ISI
PANDUAN PENGAJAR | MODUL BAHAN AJAR PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN
REPRODUKSI PADA SITUASI TANGGAP DARURAT BENCANA
MATERI 5 :
PENCEGAHAN PENULARAN INFEKSI MENULAR SEKSUAL DAN HIV
PADA SITUASI KRISIS KESEHATAN
MATERI 5
PENCEGAHAN PENULARAN INFEKSI MENULAR SEKSUAL DAN HIV
PADA KRISIS KESEHATAN
Infeksi menular seksual (IMS) merupakan masalah kesehatan yang cukup besar di seluruh
dunia. IMS/ISR ditemukan di seluruh dunia. Namun, penyebaran dan prevalensi (umum
tidaknya penyakit itu) dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial dan ekonomi, biologi serta
perilaku. Karena itu beban IMS/ISR sangat beragam antara wilayah yang satu dengan
lainnya dan di antara komunitas satu dengan lainnya. Situasi bencana merupakan situasi
yang tidak pernah dapat diperkirakan sebelumnya. Ketika bencana terjadi penyebaran
infeksi menular seksual sangat mungkin terjadi.
I. DESKRIPSI SINGKAT
Modul ini membahas pencegahan penularan infeksi menular seksual dalam situasi
bencana yang meliputi: penularan HIV, IMS dan kekerasan seksual serta relevansinya
dengan situasi darurat bencana, kewaspadaan standar, penyediaan kondom gratis,
transfusi darah yang aman.
V. LANGKAH-LANGKAH PEMBELAJARAN
Agar proses pembelajaran dapat berhasil secara efektif, maka digunakan langkah-
langkah sebagai berikut :
a. Dosen memperkenalkan diri (5 menit)
b. Dosen menyampaikan tujuan pembelajaran secara umum dan khusus (5 menit)
c. Dosen menyajikan gambar-gambar tentang situasi darurat bencana serta infeksi
menular seksual yang terjadi (15 menit).
d. Dosen menggali pengalaman mahasiswa tentang infeksi menular seksual (15
menit)
e. Dosen menjelaskan tentang infeksi menular seksual (90 menit).
f. Memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk membahas kasus tentang infeksi
menular seksual secara berkelompok (30 menit)
g. Dosen meminta mahasiswa untuk mempresentasikan analisis kasus yang diberikan
(90 menit)
B. PENULARAN HIV
Rute penularan utama HIV adalah seks tak-terlindung, transmisi darah yang
terinfeksi dari ibu ke anak. Sementara mayoritas infeksi pada umumnya adalah
akibat dari seks tak-terlindung, namun proporsi rute transmisi bervariasi
tergantung wilayah.
Keterkaitan antara IMS dan HIV
IMS tertentu memfasilitasi penularan HIV: penderita ulkus genital lebih
mungkin terkena dan menularkan HIV. Chancroid dan sifilis merupakan
bakteri utama penyebab ulkus dan herpes genital merupakan virus yang
menjadi penyebab utama ulkus.
Keberadaan HIV dapat membuat orang lebih rentan terkena IMS: IMS yang
terkait dengan pengeluaran duh seperti klamidia, gonore dan trikomoniasis
juga memfasilitas penularan HIV. Penyakit-penyakit ini menstimulasi sistem
kekebalan tubuh untuk meningkatkan jumlah sel darah putih yang
merupakan target dan sumber HIV. Selain itu, inflamasi terkait dengan
penyakit dapat menyebabkan kerusakan mikroskopis pada mukosa genital
sehingga menjadi lokasi potensial masuknya HIV.
Keberadaan HIV meningkatkan keparahan sejumlah IMS dan resistensinya
terhadap terapi.
Saat bencana gempa, seorang petugas kesehatan di desa menerima beberapa korban
gempa yang luka-luka. Dia hanya memiliki satu set alat untuk menjahit luka pasien.
Petugas kesehatan terpaksa menangani semua pasien dengan alat yang sama tanpa
melakukan sterilisasi.
Hal ini juga terjadi di Unit Gawat Darurat (UGD) di Rumah Sakit yang menangani
korban dengan menggunakan alat jahit luka yang tidak steril, karena banyaknya
korban yang datang dan memerlukan pertolongan segera. Jika salah satu pasien itu
positif HIV, maka risiko untuk menularkan ke pasien yang lain sangat besar!!
Kondisi Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang Rusak dan Tidak Tersedianya Alat dan Bahan
yang Memadai Menyulitkan Penerapan Kewaspadaan Standar
Pencegahan penularan HIV pada situasi bencana dapat dilakukan dengan cara
berikut:
1. Memastikan diterapkannya praktek kewaspadaan standar
2. Memastikan tersedianya kondom gratis
3. Memastikan transfusi darah yang aman
C. KEWASPADAAN STANDAR
Kewaspadaan standar adalah langkah pengendalian infeksi yang mengurangi
risiko penularan patogen yang terbawa dalam darah melalui paparan
terhadap darah atau cairan tubuh di antara para pasien dan tenaga
kesehatan. Menurut prinsip “pencegahan standar”, darah dan cairan tubuh
dari semua orang harus dianggap sebagai terinfeksi HIV, terlepas dari
pengetahuan atau dugaan kita mengenai status orang tersebut. Tindakan
pencegahan standar dapat mencegah penyebaran infeksi seperti HIV,
Hepatitis B, Hepatitis C dan patogen-patogen lain di dalam lingkungan
perawatan kesehatan.
Catatan: Pastikan ketersediaan dan logistik sarung tangan yang cukup dan
berkelanjutan untuk melaksanakan semua kegiatan. JANGAN PERNAH
menggunakan kembali atau mensterilisasi ulang sarung tangan sekali pakai,
karena akan membuatnya menjadi berpori/ berlubang kecil.
c. Memakai pakaian pelindung, seperti baju atau celemek tahan air, untuk
melindungi dari kemungkinan terpercik darah atau cairan tubuh lain.
Petugas diwajibkan menggunakan masker dan pelindung mata di mana
ada kemungkinan terpapar darah dalam jumlah banyak.
Kondom Wanita
dengan 2 ring
Kemana staf kemanusiaan dapat memesan kondom?
Kondom merupakan salah satu metode perlindungan untuk mencegah penularan
HIV dan Infeksi Menular Seksual (IMS) lainnya. Dalam rangka menjamin
ketersediaan kondom diperlukan adanya koordinasi antara Dinas Kesehatan,
Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) atau lembaga lainnya yang menyediakan
layanan ini. Pastikan bahwa kondom tersedia sejak hari hari awal saat bencana.
Kondom hanya diberikan kepada masyarakat apabila tidak ada halangan budaya
dan masyarakat menggunakan sebelumnya. Pendistribusian kondom harus diikuti
dengan informasi tentang cara penggunaannya. Khusus untuk kondom
perempuan, sebaiknya tidak disediakan apabila masyakarat belum terpapar cara
penggunaannya.
Bagaimana kondom harus disediakan?
Di samping menyediakan kondom jika diminta, staf kemanusiaan harus
memastikan kondom dapat terlihat oleh populasi pengungsi internal dan
memberikan informasi bahwa kondom tersedia di berbagai lokasi. Kondom dapat
disediakan di fasilitas kesehatan (puskesmas, pos kesehatan, RS dll) dan di
beberapa lokasi lain yang sesuai seperti di tempat distribusi bantuan ataupun di
dalam toilet
Tempat penyediaan kondom di fasilitas kesehatan, toilet dan tempat lain yang sesuai
ATM kondom BKKBN
Merancang dan melaksanakan kampanye penyebarluasan kondom IEC yang tepat
sangat menghabiskan waktu dan sumberdaya, dan dengan demikian bukanlah
intervensi prioritas di awal situasi darurat. JANGAN mendistribusikan kondom
kepada populasi, yang dapat menjadi tak senonoh, atau melakukan kampanye
massal mengenai penyebarluasan kondom sebelum semua komponen PPAM
dilaksanakan, sewaktu program HIV/AIDS dan keluarga berencana yang lebih
mendalam dapat dirancang secara seksama.
Latihan:
1. Demonstrasi cara pemasangan kondom pria dan wanita
a. Dapat dilakukan melalui demostrasi langsung memakai dildo/penis buatan
dan model vagina
b. Dengan memutar video cara pemasangan kondom
Cara memakai kondom pria
VII. RANGKUMAN
Mengurangi penularan IMS/HIV merupakan tujuan ke 3 dari PPAM yang
dilakukan dengan memastikan transfusi darah yang aman, menekankan
untuk penerapan kewaspadaan standar, menjamin tersedianya kondom
gratis.
Penularan HIV dan IMS saling berhubungan.
Memastikan semua darah untuk transfusi harus dites untuk TTI
(transfusion trasmitted infection)/Penyakit yang ditularkan melalui
transfusi darah
Semua tempat layanan kesehatan harus menerapkan kewaspadaan standar
dari awal respon bencana
Prosedur praktek kerja aman, informasi P3K untuk paparan saat kerja dan
PPP harus tersedia untuk semua staf di layanan kesehatan
Strategi penyediaan dan distribusi kondom perlu diadaptasi dengan situasi
yang ada untuk membuatnya mudah diakses
IX.DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan, Buku pedoman nasional Kesehatan Reproduksi dalam
situasi bencana, 2014
Departemen Kesehatan RI dan UNFPA. 2008. Pedoman Praktis Kesehatan
Reproduksi pada Penanggulangan bencana di Indonesia. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI dan UNFPA.
Inter agency Working Group on Reproductive Health in Crises. 2010. Buku
Pedoman Lapangan Antar lembaga Kesehatan Reproduksi dalam Situasi
Darurat Bencana. Revisi untuk peninauan lapangan. Jakarta: Inter agency
Working Group on Reproductive Health in Crises.
Women Commision. 2007. Paket Pelayanan Awal Minimum Untuk Kesehatan
Reproduksi Dalam situasi Krisis. Modul pembelajaran jarak jauh. http://
www.womenscommission.org.
PENCEGAHAN KESAKITAN
DAN KEMATIAN MATERNAL
DAN NEONATAL PADA
SITUASI KRISIS/DARURAT
BENCANA
F
Daftar Isi Materi 6
DAFTAR ISI
PANDUAN PENGAJAR | MODUL BAHAN AJAR PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN
REPRODUKSI PADA SITUASI TANGGAP DARURAT BENCANA
MATERI 6 :
PENCEGAHAN KESAKITAN DAN KEMATIAN MATERNAL DAN NEONATAL
PADA KRISIS KESEHATAN
MATERI 6
PENCEGAHAN KESAKITAN DAN KEMATIAN MATERNAL DAN NEONATAL
PADA KRISIS KESEHATAN
Pencegahan kesakitan dan kematian maternal dan neonatal dalam situasi darurat
bencana merupakan salah satu topik yang akan dipelajari dalam Paket Pelayanann Awal
Minimum (PPAM) dalam situasi bencana. Angka Kematian Ibu di Indonesia masih tinggi.
Kondisi ini akan lebih buruk bila terjadi bencana, karena terganggunya sistem kesehatan.
Sampai saat ini data kasus kematian ibu pada daerah bencana belum terdokumentasi,
sehingga data yang digunakan sebagai rujukan adalah Angka Kematian Ibu pada situasi
normal.
I. DESKRIPSI SINGKAT
Modul ini membahas tentang Pencegahan kesakitan dan kematian maternal dan
neonatal dalam situasi bencana difokuskan pada pelayanan persalinan dengan
memastikan bahwa pelayananan kegawatdaruratan kebidanan dan neonatal tersedia,
dibangunnya sistem rujukan yang berfungsi serta penyediaan kit persalinan bersih jika
terpaksa harus melahirkan di rumah atau tempat lain di luar fasilitas kesehatan. Di
modul ini juga dibahas mengenai komponen lain dari kesehatan maternal dan
neonatal yaitu perawatan kehamilan/Ante Natal Care (ANC) dan perawatan nifas/Post
Natal Care
(PNC) yang akan diberikan apabila situasi sudah lebih stabil dan
memungkinkan.
Di seluruh dunia, 15% sampai dengan 20% ibu hamil akan mengalami komplikasi
selama kehamilan atau persalinan. Terdapat lebih dari 500.000 kematian ibu setiap
tahun dengan 99%-nya terjadi di negara-negara berkembang. Di Indonesia,
berdasarkan hasil Survey Demografi Kesehatan Indonesian (SDKI 2012) Angka
Kematian Ibu sebesar 359 per 100,000 kelahiran hidup, sedangkan angka kematian
bayi 32 per 1000 kelahiran hidup. Dari sekitar 130 juta bayi yang lahir setiap tahun,
sekitar 4 juta di antaranya meninggal dunia dalam empat minggu pertama
kehidupannya (periode neonatal). Sekitar 4 juta bayi juga meninggal saat lahir,
meninggal di dalam rahim selama tiga bulan terakhir kehamilan.
Sebagian besar angka kematian ibu pada saat kehamilan dan persalinan serta angka
kematian bayi baru lahir terjadi pada saat proses persalinan dan nifas. Dari analisa
penyebab kematian Ibu 2008 diperoleh data, 90% kematian ibu terjadi pada saat
persalinan dan segera setelah persalinan. Penyebab utama kematian ibu 1) Hipertensi
dalam Kehamilan (24%) 2) Komplikasi puerperum (8%) 3) Perdarahan (28%) 4) Abortus
(5%) 5) Partus macet / lama (5%) 6) infeksi (11%).
Grafik 6.1
Penyebab kematian Ibu di Indonesia
Grafik 6.2
Penyebab kematian Bayi di Indonesia
Meningtis, 4.5 %
Tidak diketahui
Penyebabnya 3.7 %
Kelainan Kongenital, 5.7 %
Diare, 15 %
Tetanus, 1.7 %
Pada kondisi bencana akan tetap ada ibu hamil yang akan melahirkan kapan
saja pada saat bencana sedang terjadi, pada saat proses evakuasi
maupunpada saat tinggal di pengungsian
Karena situasi kacau pada saat bencana, ibu yang belum waktunya
melahirkan juga dapat melahirkan lebih awal/prematur karena situasi yang
kacaudan harus menyelamatkan diri
Persyaratan apa yang dibutuhkan untuk sistem rujukan agar efektif bekerja
selama 24 jam dan 7 hari (24/7)?
1. Sistem rujukan harus memiliki transportasi sepanjang waktu. Misalnya,
apabila ada tenaga kesehatan yang meninggalkan kamp dan membawa serta
kendaraan atau ambulans bersamanya, ada transportasi yang
menggantikannya.
2. Sistem komunikasi harus dibangun agar apabila seorang wanita yang hendak
melahirkan dan mengalami komplikasi, seperti persalinan macet, maka ia
dapat mencapai fasilitas perawatan kesehatan. Dengan adanya sistem
komunikasi ini, tenaga kesehatan di lapangan bisa berkonsultasi dengan
tenaga yang lebih ahli apabila belum memungkinkan untuk merujuk pasien
karena faktor keamanan atau akses ke fasilitas rujukan yang terputus
Suatu sistem rujukan yang memadai memerlukan protokol rujukan yang rinci
yaitu bilamana dan kemana harus dirujuk serta pencatatan yang memadai dari
kasus-kasus yang dirujuk. Hal ini membutuhkan koordinasi, komunikasi,
kepercayaan dan saling pengertian antara bidan dan diantara puskesmas dengan
rumah sakit yang memiliki fasilitas yang lebih lengkap. Suatu sistem rujukan yang
efektif harus pula memperhitungkan keadaan keamanan, keadaan geografis dan
kesulitan transportasi.
Menyediakan kit persalinan bersih bagi ibu hamil yang terlihat dan penolong
persalinan
Pada bencana berskala besar seperti tsunami di Aceh, dimana banyak sekali
fasilitas kesehatan yang hancur dan tenaga kesehatan termasuk bidan yang
menjadi korban, tidak semua persalinan bisa dilakukan di fasilitas kesehatan
dan ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih. Untuk itu disediakan kit
persalinan bersih bagi ibu-ibu yang terpaksa melahirkan di rumah atau di
tempat selain fasilitas kesehatan.
Perawatan
Persalinan
Pelayanan persalinan merupakan pelayanan prioritas dalam kondisi bencana. Proses
melahirkan terdiri dari persalinan, kelahiran dan periode segera setelah kelahiran. Proses
ini harus terjadi di fasilitas kesehatan yang memastikan adanya privasi, aman, khusus dan
dilengkapi dengan pemenuhan alat serta petugas kesehatan yang kompeten yang
diperlukan dan transportasi serta komunikasi ke rumah sakit rujukan untuk
kegawatdarurat kebidanan dan neonatal.
Petugas kesehatan reproduksi harus memastikan bahwa semua fasilitas layanan memiliki
protokol klinis/Standar Operating Prosedur (SOP) serta tindakan kewaspadaan standard
terkait dengan penanganan limbah untuk cairan ketuban, darah dan plasenta. Mencuci
tangan dan kewaspadaan standard lainnya harus dilakukan
Hal yang perlu dilakukan pada pelayanan persalinan dalam kondisi bencana
adalah :
1. Menilai kemajuan persalinan dengan menggunakan Partograf. Partograf
harus digunakan untuk setiap kelahiran untuk memantau kemajuan persalinan,
kondisi ibu dan fetus secara ketat serta sebagai alat bantu pembuatan keputusan
untuk penanganan lebih lanjut dari rujukan.
2. Pencegahan perdarahan pasca melahirkan
Salah satu penyebab utama kematian ibu adalah perdarahan pasca persalinan.
Manajemen aktif kala tiga akan mengurangi risiko plasenta tertahan dan perdarahan
pasca melahirkan. Petugas kesehatan kompeten harus melakukan manajemen
aktif kala tiga ke semua ibu. Tata laksana ini mencakup:
a. Pemberian obat uterotonika (oksitosin), kepada ibu dalam waktu satu
menit setelah kelahiran bayi,
b. Peregangan tali pusat terkendali
c. Masase uterus dari luar setelah plasenta dilahirkan oksitosin merupakan
uterotonika yang direkomendasikan untuk pencegahan dan perawatatan
perdarahan pasca persalinan atonik. Perlu diperhatikan kesulitan untuk
memastikan praktek penyuntikan aman dan ada tidaknya lemari pendingin
untuk penyimpanan oksitosin . Karena oksitosin mengalami penurunan
keaktifitasannya jika disimpan di atas suhu.
3. Pelayanan kegawatdaruratan Maternal dan Neonatal
Selain perawatan esensial selama persalinan dan kelahiran, layanan PONED harus
dilakukan di tingkat pusat kesehatan masyarakat untuk menangani komplikasi
selama kelahiran termasuk masalah-masalah bayi baru lahir, atau menstabilkan ibu
sebelum dirujuk ke rumah sakit. Pastikan petugas kesehatan telah terampil tentang
prosedur penanganan kegawatdaruratan kebidanan dan neonatal Informasikan
protokol/ SOP
secara luas tentang obat-obatan, peralatan dan suplai tersedia di semua pusat
kesehatan.
4. Seperti halnya kedaruratan maternal, kedaruratan neonatal tidak selalu
dapat diprediksi. Misalnya, mungkin saja bayi tidak bernafas sehingga staf harus siap
untuk melakukan resusitasi neonatal di setiap persalinan. Lebih jauh lagi, komplikasi
ibu dapat menyebabkan bayi baru lahir terganggu secara bermakna sehingga
petugas kesehatan harus siap sebelum kelahiran terjadi.
5. Tanda bahaya pada kehamilan merupakan faktor penentu untuk melakukan
intervensi medis yang digunakan dalam menangani komplikasi kebidanan yang
merupakan penyebab utama kematian maternal di seluruh dunia. Menggambarkan
tanda bahaya terkait dengan layanan PONED dan PONEK. Sejumlah layanan penting
tidak disebutkan tetapi dimasukkan ke dalam tanda-tanda bahaya ini. Misalnya, saat
melakukan bedah sesar berarti tindakan anestesi/ pembiusan harus diberikan.
Apabila situasi sudah mulai stabil dan memungkinkan, bisa dilaksanakan pemberian
pelayanan kesehatan maternal dan neonatal yang lain seperti ANC dan PNC melalui
pelayanan kesehatan reproduksi komprehensif pada kondisi normal.
Antenatalcare
( A NC )
Jika tenaga kesehatan tersedia atau kondisi situasi sudah mulai stabil, ANC dapat dilakukan
sesuai dengan standar yang berlaku. Kunjungan ANC minimal dilakukan empat kali dengan
rincian sebagai berikut : kunjungan pertama di awal kehamilan sampai dengan usia,
kunjungan kedua di usia kandungan 24-28 minggu, kunjungan ketiga pada usia kandungan
32 minggu dan kunjungan keempat pada usia kandungan sekitar 36 minggu.
Tujuan Pelayanan Ante Natal adalah
untuk:
1. Me m pe r s i a pka n i bu h a mil ag a r d a p a t b e r s ali n dengan sehat dan
selamat, dan memperoleh bayi yang sehat melalui penyuluhan dan promosi kesehatan
selama kehamilan
2. Mengidentifikasi dan menangani masalah kesehatan yang ada serta komplikasi yang
terjadi selama kehamilan
3. Melakukan deteksi dan antisipasi dini kelainan janin
Beberapa Pelayanan antenatal yang dapat dilakukan secara terpadu dengan program lain
pada kondisi bencana adalah:
1. Pencegahan dan pengobatan malaria dalam kehamilan
Program ini terutama diperhatikan bagi daerah bencana yang endemis malaria.
Malaria merupakan penyebab dari 2-15% anemia pada ibu hamil di Afrika yang
menyebabkan peningkatan risiko kesakitan dan kematian maternal. Malaria juga
meningkatkan risiko aborsi spontan, lahir mati, lahir prematur dan bayi dengan berat
badan lahir rendah. Sekitar 3-8% dari semua kematian bayi dapat dilihat
hubungannya dengan infeksi malaria pada ibu.* Untuk mencegah malaria selama
kehamilan:
a. M e mb e rik an k e lamb u b e rin s e k t is id a (Insecticide-Treated Bed
Nets/ITN) d an
berikan dorongan kepada semua ibu hamil untuk tidur di bawah kelambu tersebut
pada kehamilan dan terus menggunakannya selama masa nifas bersama dengan
bayinya.
b. Melakukan screening bagi semua ibu hamil dengan menggunakan Rapid Diagostik
Test (RDT)
c. Berikan terapi bagi ibu hamil yang positif terinfeksi malaria sesuai standar yang
ada
d. Memberikan saran kepada ibu hamil untuk menghindari keluar setelah hari gelap
atau sebelum matahari terbit atauuntuk menggunakan repellent atau obat
nyamuk untuk membunuh atau mengusir nyamuk.
3. Skrining HIV untuk pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak (PPIA) -
Prevention of Mother to Child Transmission ( PMTCT)
Pelayanan ini dilakukan pada ibu hamil di daerah yang mempunyai resiko tinggi.
Sekitar 430.000 anak menjadi terkena infeksi baru HIV di tahun 2008 dengan le b
ih dari 90% di antaranya tertular melalui penularan ibu ke anak. Tanpa pengobatan,
sekitar setengah dari anak-anak yang terinfeksi ini akan meninggal dunia sebelum
ulang tahun mereka yang kedua.Pemeriksaan Tes HIV dan sifilis merupakan
pemeriksaan yang wajib ditawarkan kepada ibu hamil bersama pemeriksaan rutin
lainnya pada setiap kunjungan antenatal mulai kunjungan pertama(K1) hingga
menjelang persalinan.
6. Komplikasi kehamilan
Adanya kondisi bencana akan meningkatkan pengaruh pada kondisi fisik dan mental
wanita hamil, sehingga komplikasi pada kehamilan akan meningkat seperti:
a. Perdarahan saat kehamilan disebabkan oleh plasenta menutupi jalan lahir (
plasenta previa ) atau plasenta yang lepas sebelum bayi lahir ( solution plasenta ).
Pasien di diagnosis dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, jika memungkinkan
pemeriksaan penunjang (USG), prinsip penatalaksanaannya :
1) Mencegah kematian ibu
2) Menghentikan sumber perdarahan
3) Jika janin masih hidup mempertahankan dan mengusahakan janin lahir hidup
b. Hipertensi dalam kehamilan
Merupakan salah satu penyebab kematian pada ibu yang dapat menjadi, antara
lain :
1) Hipertensi saja
2) Preeklampsia apabila disertai dengan proteinuria dan atau odema
3) Eklampsia apabila disertai dengan proteinuri, dan atau odemen disertai
kejang.
Prinsipnya penatalaksaannya adalah melindungi ibu dari efek peningkatan
tekanan darah, mencegah progresivitas penyakit ( pemberian anti hipertensi
dan anti kejang), mengatasi dan menurunankan resiko pada janin, serta
melahirkan dengan cara yang paling aman ( pervaginam – perabdominam ).
c. Persalinan sebelum waktunya (Preterm)
Persalinan yang terjadi dengan usia kehamilan sebelum waktunya (sebelum usia
37 minggu) biasa dengan disertai bayi premature (berat lahir kurang dari 2500
gram). Prinsip penatalaksanaan menghadapi kehamilan preterm dapat meliputi
pencegahan (pemberian tokolitik), penanganan persalinan preterm dan
penanganan bayi-bayi belum cukup bulan. Dalam menghadapi komplikasi
kehamilan yang termasuk pelayanan kegawat daruratan kebidanan dan pelayanan
bayi baru lahir, ketersediaan tenaga kesehatan dan fasilitas sangatlah diperlukan
dan kemungkinan untuk merujuk ke pelayanan di tingkat yang lebih tinggi, untuk
itu diperlukan kerja sama lintas sektoral untuk mengatasi penanganan komplikasi
kehamilan pada situasi darurat bencana.
Pastikan adanya dukungan petugas kesehatan secara dini dan pemberian ASI
eksklusif serta diskusikan gizi yang sesuai untuk ibu. Tablet zat besi dan folat harus
dilanjutkan dan vitamin A serta minyak atau garam beryodium diberikan jika perlu.
Menyusui secara khusus merupakan hal penting dalam situasi bencana. Risiko terkait
dengan pemberian susu botol atau pengganti ASI sangat meningkat ketika kebersihan
sangat buruk, terlalu banyak orang dalam satu tempat dan akses terbatas terhadap
air.
Dalam situasi semacam ini, ASI mungkin merupakan satu-satunya sumber makanan
yang aman dan berkesinambungan untuk bayi. Kehangatan dan perawatan yang
diberikan selama menyusi juga merupakan hal penting bagi ibu dan bayi. Karena
menyusui juga merupakan aktifitas tradisional untuk ibu, menyusui dapat membuat
ibu percaya diri. oleh karena itu, penting sekali untuk mengawali pemberian ASI
dalam waktu satu jam setelah kelahiran, mendorong pemberian ASI eksklusif,
mendorong menyusui secara sering dan sesuai kebutuhan bayi (termasuk di malam
hari) dengan tidak membatasi periode dan frekuensi menyusui. Pemberian ASI setiap
kali bayi menginginkan selama enam bulan pertama juga merupakan salah satu cara
ber- KB selama menstruasi belum kembali dan tidak ada makanan lain diberikan
kepada bayi.
Dukung ibu dengan HIV positif untuk membuat keputusan berdasarkan informasi
mengenai cara pemberian asupan pada bayinya. Ibu yang diketahui HIV+ harus
diberikan OBAT ARV seumur hidup untuk menekan risiko penularan HIV lewat ASI.
Pastikan bahwa ibu HIV positif telah dikonseling dan memiliki akses terhadap terapi
ARV dan bayi dirawat setelah kelahiran. Di tempat-tempat ketika pemberian asupan
pengganti (dengan susu formula) memunculkan risiko tinggi untuk penyakit,
malnutrisi dan kematian, hasil akhir kesehatan bayi akan lebih baik jika ibu dengan
HIV menyusui bayinya.
Pada saat bencana skala besar, biasanya syarat AFASS sulit terpenuhi, Ibu yang telah
diketahui terinfeksi HIV (dan yang bayinya tidak terinfeksi HIV atau belum diketahui
status HIV-nya) harus menyusui bayinya secara eksklusif selama enam bulan pertama,
memperkenalkan makanan tambahan setelah masa tersebut dan melanjutkan
menyusui selama 12 bulan awal kehidupan.
(sumber: pedoman ANC terpadu, Kemenkes RI, 2010)
Pada kondisi normal dan darurat bencana, pelayanan kesehatan maternal dan
neonatal tetap harus diberikan secara berkualitas.
Pelayanan kesehatan maternal dan neonatal dikatakan berkualitas apabila
memenuhi persyaratan sbb:
Pelayanan dapat diakses dan terjangkau dari segi geografis maupun
biaya dan dapat diterima sesuai dengan budaya setempat
Pelayanan kegawatdaruratan maternal dan neonatal tersedia 24 jam
sehari dan 7 hari dalam seminggu
Pelayanan diberikan oleh tenaga kesehatan yang berkompeten dan terlatih
Tersedianya alat, obat-obatan dan bahan habis pakai yang sesuai standard
an dengan jumlah yang mencukupi
Pelayanan dan tindakan diberikan sesuai dengan SOP (Standar
Operasional
Procedure)
Kepuasan dari pelanggan atau klien atas pelayanan yang diberikan
Dalam situasi darurat bencana, asuhan bayi baru lahir merupakan bagian dari
PPAM. Asuhan bayi baru lahir normal mencakup:
a. Menjaga bayi tetap kering dan hangat serta memastikan kontak kulit ke kulit
dengan ibu.
b. Mendorong ibu untuk menyusui bayinya dalam rentang waktu satu jam setelah
melahirkan jika bayi dan ibu telah siap
c. Memantau perdarahan tali pusar, kesulitan bernafas, pucat dan sianosis secara
ketat
d. Berikan perawatan mata untuk mencegah optalmia neonatorum
e. Berikan imunisasi (Hepatitis B dan/atau BCG sesuai dengan protokol nasional)
VII. RANGKUMAN
1. Pada situasi darurat bencana, kesehatan maternal dan neonatal merupakan
komponen yang snagat penting untuk mencegah kesakitan dan kematian
2. Dari 3 komponen kesehatan maternal dan neonatal, diprioritaskan pada
pertolongan persalinan karena kematian banyak terjadi selama proses
persalinan
3. Tindakan yang harus dilakukan sebagia bagian dari PPAM adalah:
Memastikan tersedianya layanan kegawatdaruratan kebidanan dan
neonatal
Membangun system rujukan 24/7 untuk kegawatdaruratan kebinanan dan
neonatal (PONED dan PONEK)
Menyediakan kit persalinan bersih bagi ibu hamil yang terlihat dan
penolong persalinan
Menginformasikan kepada masyarakat tentang layanan yang tersedia
4. Komponen kesehatan maternal dan neonatal yang lain seperti Antenatal Care
(ANC) dan Post Natal Care (PNC) akan diberikan apabila situasi sudah lebih
stabil dan memungkinkan serta tersedianya sumber daya yang memadai
5. Pelayanan kesehatan maternal dan neonatal yang berkualitas adalah:
Pelayanan dapat diakses dan terjangkau dari segi geografis maupun biaya
dan dapat diterima sesuai dengan budaya setempat
Pelayanan kegawatdaruratan maternal dan neonatal tersedia 24 jam sehari
dan 7 hari dalam seminggu
Pelayanan diberikan oleh tenaga kesehatan yang berkompeten dan terlatih
Tersedianya alat, obat-obatan dan bahan habis pakai yang sesuai standard
an dengan jumlah yang mencukupi
Pelayanan dan tindakan diberikan sesuai dengan SOP (Standar Operasional
Procedure)
Adanya kepuasan dari pelanggan atau klien atas pelayanan yang diberikan
IX. DAFTAR PUSTAKA
Inter agency Working Group on Reproductive Health in Crises. 2010. Buku Pedoman
Lapangan Antar lembaga Kesehatan Reproduksi dalam Situasi Darurat Bencana.
Revisi untuk peninauan lapangan. Jakarta: Inter agency Working Group on
Reproductive Health in Crises.
1. Demonstrasi & praktek perawatan segera bayi bayi baru lahir dengan menggunakan
kit persalinan bersih 5 menit
PESAN PENTING
- Sekitar dua pertiga dari kematian bayi terjadi dalam 28 hari pertama
kehidupannya. Mayoritas dari kematian tsb adalah dapat dicegah dengan
tindakan-tindakan dasar awal yang dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan, ibu
ataupun anggota masyarakat.
- Kit persalinan bersih perlu untuk didistribusikan kepada semua ibu hamil yang
terlihat (6-9 bulan) meskipun dalam proses perpindahan, untuk dipakai oleh
penolong persalinan atau ibu itu sendiri, Ini harus ditekankan bahwa setidaknya
perempuan harus mendapatkan perawatan supportif selama proses kelahiran dan
tidak boleh ditinggalkan sendirian. Kit persalinan bersih dapat dibeli atau
diadakan secara lokal.
Kesehatan Maternal Neonatal - Group work station 2 (Hal 1 dari 2)
Kualitas Pelayanan dalam kesehatan maternal dan neonatal
1. Praktek: Cocokkan alat atau obat (atau gambar alat atau obat) yang ada di meja
dengan indikasi medis yang ada pada lembar kerja.
Oxytocin, 10 IU/ml
Extractor Vakum
Kiwi cup
Catatan:
PESAN PENTING
Layanan yang berkualitas dapat diartikan sebagai memberi layanan yang dibutuhkan oleh client
dengan cara menghormati client, kejujuran, memberikan informasi yang akurat, kompetensi
petugas yang memadai, kenyamanan bagi pasien dan hasil pelayananan yang memuaskan.
Element dari kualitas layanan meliputi:
- Ketersediaan (layanan tersedia dan tidak ada halangan hukum, prosedur atau logistic
yang membatasi ketersediaanya)
- Akses terhadap layanan (layanan dapat dijangkau, nyaman dan client diperlakukan
dengan hormat dan dihargai )
- Penerimaan: layanan dapat diterima secara social budaya oleh masyarakat dengan
menghormati keinginan dari client
- Pengorganisasian layanan — layanan Kesehatan Reproduksi dan seksual yang terintegrasi
dengan layanan kesehatan primer, system rujukan dan tersedianya layanan yang
berkesinambungan
- Kompentensi teknis — jumlah staff yang memadai dan berkualitas, adanya standard dan
protokol pelayanan maupun mekanisme supervisi.
- Fasilitas dan supplies – tersedianya alat, obat dan logistic dengan teknologi yang
memadai
- Hak-hak client — harus memperhatikan privacy; kerahasiaan; informed consent;
menghormati dan menjamin keselamatan client
Kualitas harus diukur dari sudut pengelola, pemberi layanan, dan client atau masyarakat
Contoh indicator layanan yang berkualitas:
- % dari fasilitas yang memiliki bangunan fisik yang memadai dengan ketersediaan alat dan
bahan yang cukup. Dapat dinilai dengan memakai check list saat melakukan supervise rutin
setiap 3 bulan.
- % dari petugas Kesehatan yang mematuhi protokol klinis/teknis, petugas yang member
informasi dengan memakai media KIE.
- Dapat diobservasi dengan menggunakan checklist saat melakukan supervisi
- % dari client yang merasa puas dengan layanan yang diberikan karena merasa dihormati,
dipelakukan dengan ramah dan sopan dan mendapatkan informasi yang dibutuhkan.
Informasi dapat diperoleh dari: exit interview (interview saat keluar dari tempat layanan)
MATERI 7
KELUARGA BERENCANA
PADA SITUASI
KRISIS/DARURAT BENCANA
G
Daftar Isi Materi 7
DAFTAR ISI
PANDUAN PENGAJAR | MODUL BAHAN AJAR PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN
REPRODUKSI PADA SITUASI TANGGAP DARURAT BENCANA
MATERI 7 :
KELUARGA BERENCANA PADA KRISIS KESEHATAN
MATERI 7
KELUARGA BERENCANA PADA SITUASI KRISI KESEHATAN
Keluarga Berencana (KB) memungkinkan pasangan usia subur mengatur jumlah anak yang
diinginkan. Pemakaian metode KB berpotensi untuk menghindari 32% dari semua
kematian Ibu dan hampir 10% kematian anak, sekaligus menurunkan angka kemiskinan
dan kelaparan. Selain itu, penggunaan metode KB berperan terhadap pemberdayaan
perempuan, pendidikan dan stabilitas ekonomi. Terkait dengan risiko kesehatan yang
berhubungan dengan kehamilan, infeksi menular seksual (IMS) termasuk Human
Immunodeficiency Virus (HIV), aborsi tak aman, seks tanpa pelindung dan seks tidak aman
merupakan faktor risiko kedua untuk kecacatan dan kematian pada masyarakat miskin di
dunia. Metode KB merupakan cara yang aman, efektif dan murah untuk disediakan.
Demikian pula dengan tingginya kebutuhan KB pada situasi darurat bencana (Buku
Pedoman Lapangan antar-Lembaga Kesehatan Reproduksi dalam Situasi Darurat Bencana,
2010).
I. DESKRIPSI SINGKAT
Modul ini membahas tentang KB pada situasi darurat bencana yang meliputi
pengertian dan tujuan KB dalam Situasi Darurat Bencana, Needs Assessment,
Layanan KB berkualitas tinggi, Perancangan layanan KB, Pengidentifikasian
Kebutuhan Sumber Daya Manusia (SDM), Pelaksanaan Komunikasi, Informasi dan
Edukasi (KIE), Pelaksanaan Pelayanan KB dan Pembuatan Perencanaan Logistik
Kontrasepsi dengan metoda kuliah interaktif, studi kasus, diskusi kelompok, dan role
play.
II. PEMBELAJARAN
A. Tujuan Pembelajaran Umum
Setelah mempelajari materi ini peserta didik mampu melaksanakan pelayanan KB
pada situasi darurat bencana.
B. Tujuan Pembelajaran Khusus
Setelah mempelajari materi ini peserta didik mampu:
Segera setelah situasi stabil, perempuan (dan pasangan mereka) mungkin ingin
memulai, mengganti atau menghentikan metode kontrasepsi. Sebelum suatu metode
KB digunakan harus dilakukan konseling KB dan harus secara realistis mencerminkan
metode yang ada karena layanan KB lengkap mungkin belum tersedia hingga tahap
selanjutnya dari program.
Jadi pada saat bencana, kita hanya focus untuk menyediakan kontrasepsi
bagi
pasangan yang sebelum bencana sudah menggunakan alat KB sebelumnya dan tidak
melakukan seluruh komponen dari program KB pada kondisi normal seperti pencarian
akseptor baru, penyuluhan KB, pelatihan dll seperti pada kondisi normal.
Lihat perbedaan komponen KB antara PPAM saat bencana dan Kesehatan
Reproduksi
Komprehensif saat situasi
stabil/normal:
Komponen PPAM Kesehatan Reproduksi
Komprehensif/normal
Keluarga Berencana Bukan merupakan komponen
PPAM
Menyediakan kontrasepsi Pengadaan alat
seperti kondom, pil, suntik kontrasepsi
dan IUD untuk memenuhi Melakukan pelatihan
kebutuhan untuk staff
Menyusun program KB
komprehensif
Memberikan penyuluhan
masyarakat
Setiap klien KB memiliki hak atas kerahasiaan dan privasi serta untuk secara sukarela
memilih suatu metode KB. Metode kontrasepsi umumnya digunakan oleh perempuan
tetapi laki-laki seringkali sebagai pengambil keputusan dalam keluarga. Oleh
karena
itu, para laki-laki tersebut harus menerima informasi yang tepat, dan didorong untuk
mampu berperan aktif dalam proses pengambilan keputusan berKB. Keterlibatan aktif
ini akan memastikan bahwa pengambilan keputusan ber-KB merupakan tanggung
jawab bersama, sehingga akan tercapai hasil yang maksimal.
POINT PENTING
Masalah dan kekhawatiran mengenai KB pada situasi darurat bencana mencakup:
• Keinginan untuk melanjutkan metode KB yang digunakan sebelum krisis terjadi
• Tekanan pada perempuan untuk melahirkan demi mengembalikan jumlah
populasi. Beberapa ibu ingin mengganti anaknya yang telah meninggal atau
hilang.
• Sejumlah ibu tidak ingin hamil dalam situasi tak stabil karena mereka mungkin
harus pindah lagi.
• Perpisahan keluarga.
• Kewenangan perempuan untuk mengontrol kesuburan mungkin terkikis oleh
perubahan sosial
• Kurangnya akses terhadap layanan KB menyebabkan meningkatnya KTD
dan kemungkinan aborsi yang tidak aman.
Lakukan diskusi dengan para laki-laki, perempuan (Termasuk para tokoh, penyedia
pengobatan tradisional, dukun bayi), remaja dan organisasi setempat, guna
memperoleh saran mengenai lokasi penyelenggaraan layanan, waktu pelayanan
kesehatan, tingkat privasi dan kerahasiaan yang diperlukan untuk memastikan
penggunaan layanan secara maksimal serta dapat diterima. Diskusi dapat
dilakukan untuk laki-laki secara terpisah dari para perempuan, tergantung pada
budaya dan norma-norma setempat Focus Group Discussion (FGD).
B. Apakah yang dimaksud dengan Pelayanan KB Berkualitas Tinggi?
Pelayanan KB berkualitas tinggi adalah pelayanan yang dapat memenuhi
kebutuhan pasangan usia subur dengan memberi kesempatan pada mereka untuk
membuat keputusan berdasarkan informasi, menyediakan metode kontrasep si
yang bisa dipilih, prosedur yang aman dan pelayanan yang berkesinambungan.
Petugas kesehatan harus memberikan informasi yang akurat dan lengkap kepada
klien sehingga baik perempuan maupun laki-laki yang datang dapat dengan suka
rela memilih metode kontrasep si yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing.
Seperti halnya semua layanan Kespro, semua orang yang terlibat dalam
pemberian layanan KB harus menghormati pendapat dan pilihan klien. Guna
memastikan penggunaan kontrasepsi yang berkesinambungan dan meningkatkan
penerimaan layanan KB, penyedia layanan harus berjenis kelamin sama dengan
klien, memiliki latarbelakang budaya yang sama dengan klien, serta memiliki
keterampilan berkomunikasi yang kuat.
Kompetensi Teknik
Tenaga kesehatan harus memiliki pengetahuan mengenai hal-hal berikut:
1. Metode kontrasepsi termasuk cara penggunaan metode secara benar,
keuntungan, kerugian metode serta efektivitas metode.
2. Cara kerja, efek samping, penanganan efek samping, komplikasi, serta tanda-
tanda bahaya.
3. Instruksi untuk penggunaan atau cara pemakaian
Keterampilan Administratif
Keterampilan administratif mencakup penyimpanan catatan, pengendalian
inventaris, dan pengawasan distributor berbasis masyarakat. Tekankan pada
keterampilan yang diperlukan untuk melakukan tugas-tugas ini, mengapa
keterampilan ini penting, dan bagaimana serta kapan tugas-tugas tersebut harus
dikerjakan.
Pada beberapa metode KB seperti pil, kondom dan suntik, klien harus memiliki
kontak berulang dengan penyedia pelayanan distribusi berbasis masyarakat atau
Bidan untuk memperoleh kontrasepsi. Ketika pengguna telah terbiasa dengan
suatu metode, kunjungan lanjutan dapat ditentukan sendiri oleh pengguna.
Sesering apapun frekuensi kunjungan lanjutan, klien harus diyakinkan mengenai
akses segera jika ia mengalami kesulitan. Ketika mengatur kunjungan lanjutan,
penyedia layanan KB harus peka terhadap kemampuan membaca klien dan
menggunakan alat bantu yang sesuai untuk memastikan bahwa informasi yang
disampaikan dipahami oleh klien.
Diagnosa Kehamilan
Diagnosa kehamilan sangat penting karena seorang penyedia pelayanan KB tidak
boleh memberikan metode KB kepada klien yang sedang hamil. Kemampuan
untuk mendiagnosa kehamilan fase awal akan bervariasi tergantung pada sumber
daya dan kondisi. Tes kehamilan yang dapat diandalkan akan sangat berguna
tetapi mungkin tidak tersedia. Pemeriksaan dalam, jika dilakukan oleh penyedia
layanan yang terampil akan memberikan hasil yang dapat diandalkan dalam
rentang waktu 8-10 minggu sejak hari pertama periode menstruasi terakhir. Jika
tak satu pun dari kedua pilihan tersebut dapat dilakukan, daftar periksa di
halaman berikut ini dapat digunakan oleh penyedia layanan, untuk meyakinkan
bahwa klien tidak sedang hamil.
G. Metode KB
Penyedia pelayanan KB harus mampu menjelaskan karakteristik setiap metode KB,
cara penggunaan, efektivitas, keamanan dan efek samping. Penyedia pelayanan
KB harus tahu bagaimana metode tersebut mempengaruhi penularan IMS dan
HIV, kecocokan untuk klien yang memiliki kebutuhan khusus (Seperti klien dengan
AIDS dan ibu menyusui) serta lama waktu antara penghentian metode KB dan
kembalinya kesuburan. Pastikan bahwa penyedia memiliki pengetahuan untuk
semua metode KB yang tersedia di tempatnya dan mampu menggunakan
informasi itu sesuai dengan tujuan reproduksi dari setiap klien.
Metode Kesuburan
Pemakaian metode kesuburan yang efektif mengharuskan perempuan
mengetahui cara mengidentifikasi waktu awal/mulai dan akhir masa subur dalam
siklus menstruasinya. Metode ini mencakup metode yang sesuai pada gejala-
gejala kesuburan, seperti mengukur suhu tubuh basal atau sekresi serviks harian
(Metode dua hari) atau metode yang didasarkan pada kalender yang dicatat setiap
hari dalam siklus menstruasi (Metode Hari Standar). Pemakaian metode ini
mengharuskan adanya kerjasama dari pasangan. Metode kesuburan cocok,
khususnya, untuk orang-orang yang tidak ingin menggunakan metode-metode
lain, karena alasan medis, alasan keagamaan atau keyakinan pribadi. Penyedia
layanan harus memberitahukan kepada pasangan bahwa metode ini tidak
melindungi mereka dari IMS, termasuk infeksi HIV, dan karena efektivitasnya yang
rendah maka metode ini tidak cocok jika kehamilan merupakan suatu risiko yang
tak bisa diterima untuk kesehatan ibu.
Kontrasepsi Hormonal
Kontrasepsi hormonal mengandung progestogen saja atau dikombinasikan dengan
estrogen untuk mencegah seorang perempuan berovulasi. Kontrasepsi ini mudah
diperoleh, sangat efektif dan mudah digunakan. Terdapat beberapa cara
pemberian (Oral/diminum, disuntikkan, susuk). Ketika seorang perempuan
memilih metode hormonal, ia harus mendapat konseling mengenai pemakaian
kontrasepsi yang benar, apa yang perlu dilakukan jika ada dosis yang terlewat dan
efek samping yang mungkin ditemui seperti perubahan dalam pola menstruasi.
Tabel 7.1
Perbandingan Metode Hormonal
Rata-rata Waktu Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Tunggu Hingga
Hamil Setelah
Menghentikan
Penggunaan
Metode
Privasi Tidak ada tanda Tidak ada tanda Patch mungkin Beberapa
fisik dari fisik dari terlihat oleh pasangan bias
pemakaian pemakaian pasangan atau merasakan
tetapi orang tetapi orang orang lain keberadaan
lain mungkin lain mungkin ring
menemukan menemukan
pilnya pilnya
Pertimbangan lain Persetujuan Persetujuan lisan Persetujuan Persetujuan
lisan dan dan konseling lisan plus lisan plus
konseling KB KB mengenai konseling KB konseling KB
mengenai bagaimana cara mengenai mengenai
penjelasan cara menggunakan pil bagaimana carabagaimana
menggunakan menggunakan cara dan
pil patch dan kapan
rotasinya memasang
dan melepas
ring
Keterampilan Terlatih untuk konseling ABPK (Alat Bantu Pengambil Keputusan) ber-
Penyedia Layanan KB
Tabel 7.2
Perbandingan Metode KB Suntik
Karakteristik Dmpa Net-En Suntik Bulanan
Metode Suntikan intramuskular Suntikan IM setiap Suntikan IM setiap 1
Penggunaan (IM) atau subkutan (SK) 2 bulan tahun.
setiap 3 bulan.
Mengandung Progestogen – depot Progestogen – Dua hormon:
medroksiprogesteron noretisteron progestogen dan
acetate eranthate estrogen.
Batas waktu Sampai 2 minggu terlalu Sampai 2 minggu Sampai 7 hari terlalu
untuk cepat atau 4 minggu terlalu cepat atau 2 cepat atau 7 hari
mengulang terlambat minggu terlambat. terlambat.
suntikan agar
efektif jika
klien datang
terlalu awal
atau
terlambat.
Teknik Suntikan intramusukular Suntikan IM yang Suntikan IM yang
Penyuntikan (IM) yang dalam di pinggul, dalam di pinggul, dalam di pinggul,
lengan atas atau bokong. lengan atas atau lengan atas, bokong
Suntikan subkutan (SK) bokong. atau paha luar.
DMPA tersedia dalam spuit
uniject. Suntikan Mungkin sedikit
IM dan SK harus diberikan lebih nyeri
sebagaimana dimaksud: dibandingkan
jika tidak maka tidak akan DMPA.
sepenuhnya efektif.
Tabel 7.3
Perbandingan KB Implant
Pola Menstruasi Dalam beberapa bulan pertama menstruasi lebih ringan Pengguna implanon
dan lebih pendek atau menstruasi menjadi tidak teratur lebih mungkin
dan berlangsung lebih dari 8 hari atau menstruasi jarang mengalami menstruasi
atau tidak ada. yang jarang atau Justru
Setelah sekitar satu tahun menstruasi lebih ringan dan tidak menstruasi.
lebih pendek, menstruasi tidak teratur dan jarang.
Waktu tunggu Tidak ada Tidak ada Tidak ada
rata-rata hingga
hamil setelah
menghentikan
penggunaan
metode
Ketersediaan Sedang dalam masa Diharapkan untuk Terutama tersedia di
penarikan. Norplant menggantikan Norplant pada Eropa dan Asia.
tidak lagi tahun 2011 Juga telah disetujui
disisipkan/dipakai pemakaian
nya di Amerika Serikat.
Pertimbangan Pengangkatan saja dan Konseling KB, inform concern Konseling KB, inform
lain konseling tentang serta kartu kunjungan untuk concern dan kartu
metode lain. kunjungan selanjutnya dalam kunjungan untuk
jangka waktu satu minggu kunjungan selanjutnya,
Harus melakukan inform untuk mengecek lokasi susuk dalam waktu satu
concern jika dan membuka perban. minggu untuk mengece
menggunakan metode- Menyediakan kartu efektivitas lokasi susuk dan
metode yang diberikan. untuk saat kadaluarsa Jadelle membuka perban.
dalam 5 tahun atau Sino- Memberikan kartu
Implant dalam waktu 4 tahun efektivitas untuk saat
kadaluarsa Implanon
dalam 3 tahun.
Keterampilan Terlatih dalam konseling KB dan sertifikasi pemasangan serta pelepasan susuk
penyedia
layanan
Sumber: Diadaptasi dari: Family Planning A Global Handbook for Providers. USAID
Metode dengan Penghalang
Metode kontrasepsi untuk mengatur jarak kehamilan dan jumlah anak dengan
cara mencegah sperma secara fisik agar tidak memasuki uterus. Metode KB yang
paling sering digunakan adalah kondom laki-laki dan perempuan. Kondom
merupakan metode KB satu-satunya yang melindungi terhadap kehamilan dan
IMS.
Metode KB lain seperti spermisida dan diafragma mungkin diminta oleh klien yang
sudah biasa dengan metode ini. Jika diminta, setiap upaya harus dilakukan untuk
menyediakan metode ini. Spermisida merupakan salah satu dari kontrasepsi yang
paling tidak efektif ketika digunakan secara tersendiri. Pemakaian spermisida
dalam frekuensi tinggi dapat meningkatkan kemungkinan tertular HIV pada klien-
klien berisiko tinggi seperti pekerja seks komersial.
Tabel 7.4
Membandingkan Kondom Laki-Laki dan Kondom Perempuan
Perbandingan Kondom Laki-laki dan Perempuan
Karakteristik Kondom Laki-Laki Kondom Perempuan
Cara Pemakaian Kondom dipasangkan pada penis Dimasukkan ke dalam vagina
laki-laki yang ereksi perempuan melapisi vagina secara
Ukuran pas pada penis longgar sehingga tidak menghamba
penis.
Kapan Segera sebelum hubungan seks Sampai 8 jam sebelum
digunakannya berhubungan seks.
Bahan Umumnya terbuat dari lateks Sebagian besar terbuat dari
(Kadang-kadang terbuat dari lapisan sintetik yang tipis
bahan sintetik atau membran (poliuretan atau nitril) Sejumlah
hewan*) model terbuat dari lateks.
* Kondom yang dibuat dari
membran hewan tidak
melindungi terhadap HIV
Sensasi selama Hubungan seks mungkin terasa Kondom yang terbuat dari lapisan
hubungan seks kurang sensitif. sintetik akan menghantarkan
panas sehingga hubungan seks
dapat terasa sangat sensitif dan
alami.
Suara saat Mungkin akan menimbulkan bunyi Mungkin akan menimbulkan
hubungan seks gesekan saat berhubungan seks suara gemerisik saat hubungan
seks.
Pelicin Klien dapat menambah pelicin: Klien dapat menambahkan
• Hanya yang berbahan dasar air pelicin:
atau silikon • Berbahan dasar air, silikon atau
• Diberikan di bagian luar kondom minyak.
• Sebelum dimasukkan, beri
pelicin di bagian luar kondom
• Sebelum dimasukkan, beri
pelicin di dalam kondom atau
pada penis
Robek atau lepas Cenderung untuk lebih sering Cenderung lebih sering lepas
robek dibandingkan dengan dibandingkan kondom laki-laki
kondom perempuan
Waktu melepas Penis harus dikeluarkan dari Penis dapat tetap berada di
vagina sebelum ereksi melemas dalam vagina setelah ereksi
melemas. Lepaskan kondom
perempuan sebelum klien
perempuan berdiri
Daerah yang Melindungi hampir seluruh penis Melindungi genitalia dalam dan
tertutup kondom dan genitalia internal perempuan luar perempuan dan dasar penis.
Efektivitas (Angka Sekitar 15 kehamilan per 100 Sekitar 21 kehamilan per 100
kehamilan pada perempuan yang pasangannya perempuan yang menggunakan
pemakaian yang menggunakan kondom laki- kondom perempuan selama tahun
umum) laki selama tahun pertama (jika pertama (jika digunakan dengan
digunakan dengan benar di semua benar untuk setiap hubungan
hubungan seks, sekitar 2 seksual, sekitar
kehamilan per 100 perempuan) 5 kehamilan per 100 perempuan).
Perlindungan Ketika digunakan secara konsisten Ketika digunakan secara konsisten
terhadap HIV dan benar, pemakaian kondom dan benar, pemakaian kondom
mencegah 80% hingga 95% perempuan mencegah penularan
penularan HIV yang akan terjadi HIV.
jika kondom tidak digunakan.
Cara menyimpan Simpan di tempat yang sejuk, Kondom plastik tidak rusak oleh
teduh dan kering panas, cahaya atau kelembaban
Pemakaian ulang Kondom tidak dapat dipakai Pemakaian ulang tidak
ulang direkomendasikan
Biaya dan Umumnya biaya rendah dan Biasanya lebih mahal dan kurang
ketersediaan kondom tersedia secara luas. tersedia dibandingkan kondom
laki-laki
Pertimbangan- Lakukan konseling dan Lakukan konseling dan
pertimbangan lain perlihatkan cara dan kapan perlihatkan cara dan kapan
kondom harus dipasang dan kondom harus
dilepas (idealnya dengan dipasang dan dilepas (idealnya
menggunakan model penis) dengan menggunakan model
vagina)
Keterampilan Terlatih dalam konseling KB, demonstrasi dan demonstrasi ulang.
Penyedia layanan
Sumber: Diadaptasi dari: Family Planning A Global Handbook for Providers. USAID
Jika seorang perempuan mengalami IMS baru setelah pemasangan IUD, ia tidak
secara khusus berisiko terkena PRP akibat IUD. Ia bisa terus menggunakan IUD
ketika ia sedang diobati untuk IMS. Pengangkatan IUD tidak ada manfaatnya dan
dapat membuat klien menanggung risiko kehamilan yang tidak diinginkan. Klien
harus dikonseling mengenai pemakaian kondom dan strategi lain untuk
menghindari tertular IMS.
Tabel 7.5
Perbandingan IUD
Membandingkan IUD
Karakteristik IUD dengan tembaga IUD Levonorgestrel
Pemasangan Memerlukan pelatihan Memerlukan pelatihan
spesifik tetapi lebih mudah spesifik dan unik, teknik
untuk memasang IUD ini pemasangan lebih sulit.
dibandingkan dengan IUD Klien mungkin mengalami
levonorgestrel lebih banyak rasa tak enak,
nyeri dan mual atau muntah
pada saat pemasangan
dibandingkan dengan IUD
dengan tembaga.
Biaya Lebih murah Lebih mahal
Pertimbangan lain Konseling KB, persetujuan lisan dan tertulis. Menyediakan
penjelasan mengenai bagaimana mengecek benang kepada
klien yang ingin melakukannya
Keterampilan Terlatih dalam konseling KB Terlatih dalam konseling
Penyedia layanan dan pemasangan serta KB dan pemasangan serta
pelepasan IUD tembaga pelepasan IUD
Sumber: Diadaptasi dari: Family Planning A Global Handbook for Providers. USAID
Kontrasepsi Darurat
Dua metode kontrasepsi darurat yang digunakan adalah:
• Pil kontrasepsi darurat
• IUD tembaga
Pil kontrasepsi darurat dapat mencegah kehamilan yang tidak diinginkan jika
digunakan dalam jangka waktu lima hari (120 jam) setelah seks tanpa pelindung.
Kontrasepsi darurat harus digunakan sesegera mungkin setelah hubungan seksual
tanpa pelindung dilakukan. Kontrasepsi darurat paling efektif ketika langsung
digunakan tetapi masih bisa efektif ketika digunakan lima hari setelah seks tanpa
pelindung.
Tabel 7.6
Sediaan Pil Kontrasepsi Darurat
ATURAN PENGGUNAAN PIL KONTRASEPSI DARURAT
a) Levonorgestrel: 1.5 mg Levonorgestrel dalam dosis tunggal (ini adalah sediaan yang
direkomendasikan karena lebih efektif dengan efek samping yang lebih sedikit); atau
b) Kalau pilihan pertama tidak tersedia dapat menggunakan pil KB yang ada di
puskemas/klinik dengan menggunakan pil kombinasi estrogen - progestogen (metode
Yuzpe):
Sebuah IUD yang mengandung tembaga dapat dipasang dalam jangka waktu
hingga lima hari setelah melakukan hubungan seks tanpa pelindung, sebagai
kontrasepsi darurat. Jika waktu ovulasi dapat diperkirakan, IUD yang mengandung
tembaga dapat dipasang lebih dari lima hari setelah hubungan seks tanpa
pelindung dilakukan, selama pemasangan tidak terjadi lebih dari lima hari setelah
ovulasi. Pilihan ini mungkin baik bagi para perempuan yang ingin menggunakan
IUD untuk seterusnya. Metode ini lebih efektif untuk mencegah kehamilan
dibandingkan dengan kontrasepsi darurat. Pastikan bahwa klien memenuhi syarat
untuk pemasangan IUD. Jika IUD dipasang sebagai kontrasepsi darurat setelah
pemerkosaan, pastikan bahwa pengobatan IMS presumtif (Berdasarkan dugaan)
perlu diberikan.
KB Pasca Persalinan
Seorang perempuan terlindung dari kehamilan selama periode nifas jika:
1. Perempuan tersebut menyusui secara penuh (bayi hanya menerima ASI atau,
sesekali, sejumlah vitamin tambahan, air, jus atau nutrien lain) atau hampir
secara penuh (lebih dari tiga perempat konsumsi bayi adalah ASI); dan
2. Belum mengalami menstruasi lagi; dan
3. Masa nifas belum enam minggu setelah persalinan
Metode ini disebut metode amenore laktasi. Efektivitasnya, sebagai metode yang
sering dipakai, adalah dua kehamilan per100 perempuan pada enam bulan
pertama. Setelah persalinan. Lakukan konseling kepada perempuan yang
menggunakan metode ini untuk juga menggunakan metode KB lain ketika mereka
mendekati bulan keenam masa nifas atau ketika salah satu dari kriteria diatas
berubah.
KB untuk ODHA
Dorong pemakaian kondom untuk semua orang HIV positif dalam upaya
melindungi mereka dari IMS dan untuk mencegah penularan HIV kepada pasangan
seksualnya. Jika seorang perempuan HIV positif memerlukan perlindungan
terhadap kehamilan yang lebih efektif, ia dapat menggunakan sebagian besar
metode kontrasepsi lain selain kondom, dengan pertimbangan-pertimbangan
sebagai berikut :
1. IUD tidak boleh dipasang pada klien perempuan yang mengalami infeksi
Gonorhea atau Klamidia atau jika ia memiliki risiko sangat tinggi tertular
infeksi-infeksi ini. Klien perempuan HIV positif yang secara klinis dalam keadaan
sehat (baik yang sedang menjalani Terapi Antiretro Viral (ARV) atau tidak)
dapat menggunakan IUD.
2. Jika seorang perempuan sedang mengkonsumsi Rifampicin untuk pengobatan
tuberkulosis, ia tidak boleh menggunakan pil KB, patch kombinasi, ring
kombinasi atau susuk karena efektivitas kontrasepsi mungkin akan berkurang.
3. Spermisida, baik secara tersendiri maupun dalam kombinasi, tidak boleh
digunakan untuk perempuan yang tertular HIV atau menderita AIDS.
4. Klien perempuan yang sedang menjalani ARV dan menggunakan metode
hormonal disarankan untuk menggunakan kondom juga karena sejumlah obat
ARV mengurangi efektivitas metode hormonal.
Keterlibatan Laki-laki dalam Program KB
Libatkan laki-laki dalam program KB untuk meningkatkan penerimaan program
didalam masyarakat dan meningkatkan pengakuan terhadap isu-isu kesehatan
reproduksi lain seperti pencegahan dan pengobatan IMS dan HIV.
Mempertimbangkan sudut pandang laki- laki dan motivasinya merupakan bagian
penting dari kegiatan program. Kontrasepsi yang digunakan oleh laki-laki
memungkinkan mereka untuk berbagi tanggung jawab KB dengan pasangannya.
Layanan KB mungkin perlu disesuaikan secara spesifik untuk memenuhi kebutuhan
klien laki-laki. Aktivitas-aktivitas untuk mendorong keterlibatan laki-laki mencakup
konseling pasangan, promosi kondom, waktu khusus untuk laki-laki difasilitas
kesehatan, sesi kelompok sebaya dan informasi kesehatan reproduksi dikelompok
sosial laki-laki.
VII. RANGKUMAN
KB bukan bagian dari PPAM tapi pastikan supplai dasar tersedia untuk akseptor KB
lanjutan/yang sudah memakai alat KB sebelum terjadi bencana agar tidak terputus.
Perlunya memastikan adanya berbagai metode pilihan Kontrasepsi. Unsur pemberian
layanan KB yang harus diperhatikan dalam situasi krisis; 1) Penilaian kebutuhan dan
sumber daya, 2) Supply dan logistik, 3) Standard dan protokol pelayanan, 4) Lokasi
pemberian layanan, dan 5) Sumber Daya Manusia: Pelatihan dan Supervisi.
2. Diskusikan 15 menit
• Bagaimana anda memastikan bahwa kondom tersedia pada fase awal krisis di
tempat anda?
• Bagaimana anda memonitor pengambilan kondom?
• Dengan menggunakan rumus di bawah ini, hitung berapa banyak kondom yang
harus dipesan untuk penduduk sejumlah 30,000 selama 3 bulan.
1. Asumsikan bahwa 20% dari penduduk adalah laki-laki yang aktif secara seksual
2. 20% dari mereka memakai kondom
3. Tiap pengguna kondom membutuhkan 12 kondom per bulan
4. Tambahkan 20% untuk cadangan
Catatan:
HIV/STI - Group Work Station 2 (Page 2 Of 2) Kondom
PESAN PENTING
- Jangan memesan kondom perempuan dalam kondisi darurat jika populasi belum
pernah terpapar dengan kondom perempuan.
- Kondom dapat tersedia dengan berbagai cara, tapi koordinator Kespro dan Seksual
harus kreatif dan memikirkan juga sensitivitas budaya setempat. Mereka harus
berdiskusi dengan para remaja laki-laki dan perempuan (Secara terpisah) dan
menanyakan pada mereka dimana tempat terbaik untuk mengambil kondom jika
masyarakat membutuhkannya.
- Penting untuk untuk mencatat berapa banyak kondom yang didistribusikan. Cek setiap
minggu berapa banyak kondom diambil dari tempat distribusi.
2. Diskusi
Pesan penting apa yang harus diberikan kepada pasien?
Klinik Mawar
Tel: 456 834
Jam buka
Senin 9.00 pagi– 3.00 sore Selasa
9.00 pagi– 3.00 sore Rabu 9.00
pagi– 3.00 sore
Jumat 9.00 pagi– 1.30 sore
Catatan:
HIV/STI - Group Work Station 3 (Hal 2 dari 2)
IMS dengan Pendekatan Sindrom
PENCEGAHAN DAN
PENANGANAN KEKERASAN
SEKSUAL BERBASIS GENDER
PADA SITUASI
KRISIS/DARURAT BENCANA
H
Daftar Isi Materi 8
DAFTAR ISI
PANDUAN PENGAJAR | MODUL BAHAN AJAR PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN
REPRODUKSI PADA SITUASI TANGGAP DARURAT BENCANA
MATERI 8 :
PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KEKERASAN SEKSUAL BERBASIS GENDER
PADA KRISIS KESEHATAN
MATERI 8
PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KEKERASAN SEKSUAL
BERBASIS GENDER PADA KRISIS KESEHATAN
Kekerasan Seksual berbasis gender dalam situasi bencana merupakan salah satu topik
yang akan dipelajari dalam Paket Pelayanan Awal Minimum (PPAM) pada situasi
bencana. Situasi bencana merupakan situasi yang tidak pernah dapat diperkirakan
sebelumnya. Ketika bencana terjadi, perempuan dan anak-anak merupakan kelompok
yang sangat beresiko untuk mengalami kekerasan seksual.
I. DESKRIPSI
Modul ini membahas tentang pencegahan dan penanganan kekerasan sesual berbasis
gender/Seksual Gender Basic Violence (SGBV) dalam situasi bencana yang meliputi:
definisi, alasan pentingnya SGBV, keterkaitan antara SGBV dan pelanggaran hak asasi
manusia penanggung jawab SGBV, akar masalah, faktor resiko dan konsekuensi dari
SGBV, klien yang beresiko, pelaku, waktu terjadinya situasi dan kondisi yang beresiko,
alasan tidak dilaporkan, pemantauan, tindakan pencegahan dan respon pada SGBV
yang membutuhkan tindakan yang terkoordinasi dan multisektor. dan mekanisme
penanganan kasus kekerasan seksual serta pedoman prinsip dalam penanganan SGBV
dalam situasi bencana.
II. TUJUAN
1. Tujuan Pembelajaran Umum
Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa mampu mengidentifikasi pencegahan
kekerasan berbasis gender pada situasi bencana.
2. Tujuan Pembelajaran Khusus
Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa mampu:
a. Menguraikan definisi kekerasan seksual berbasis gender
b. Mengidentifikasi tindakan yang termasuk kekerasan seksual
c. Menjelaskan alasan pentingnya SGBV, keterkaitan antara SGBV dan
pelanggaran hak asasi manusia
IV.BAHAN MATERI
1. Modul materi Pencegahan dan penanganan Kekerasan seksual berbasis
gender pada situasi bencana.
2. Petunjuk diskusi kelompok.
3. Laptop
4. LCD
5. Papan flipchart/papan tulis
6. Spidol
VI.URAIAN MATERI
Kekerasan berbasis gender (gender-based violence) adalah istilah yang digunakan
untuk merujuk pada suatu tindakan kekerasan yang terjadi pada seseorang
berdasarkan perbedaan status sosial yang berlaku (gender) antara pria dan wanita.
Tindakan kekerasan berbasis gender merupakan pelanggaran terhadap hak-hak asasi
manusia universal yang dilindungi oleh instrumen-instrumen dan konvensi-konvensi
internasional. Banyak aksi kekerasan berbasis gender dapat digolongkan sebagai aksi
melanggar hukum dan kriminal dalam kebijakan dan undang-undang nasional.
Kekerasan berbasis gender di seluruh dunia paling banyak menimpa kaum perempuan
dan anak-anak perempuan.
Istilah ‘kekerasan berbasis gender’ kerap digunakan secara bergantian dengan istilah
‘kekerasan terhadap perempuan’ dan ‘kekerasan berbasis gender dan seksual’. Istilah
‘kekerasan berbasis gender; menyoroti dimensi gender dari kekerasan tersebut;
dengan kata lain, hubungan antara status perempuan yang lebih rendah dalam suatu
masyarakat danmakin besarnya kemungkinan terjadi kekerasan terhadap mereka.
Namun, penting untuk diingat bahwa pria dan anak laki-laki juga bisa menjadi
korban/penyintas kekerasan berbasis gender, termasuk kekerasan seksual, terutama
ketika mereka mengalami penyiksaan dan/atau penahanan. Kekerasan berbasis gender
termasuk :
• Kekerasan seksual, di antaranya perkosaan, pelecehan seksual, ekspolitasi
seksual dan prostitusi
• Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)
• Kawin paksa dan kawin muda
• Kekerasan fisik
• Kekerasan psikis
• Kekerasan ekonomi
• Praktek-praktek tradisional yang membahayakan seperti mutilasi alat genital
perempuan/ sunat perempuan dll.
Kekerasan berbasis gender terjadi dalam berbagai bentuk dan cakupan di berbagai
budaya, negara dan wilayah. Kekerasan berbasis gender yang terjadi dalam situasi
darurat kemanusiaan umumnya jarang dilaporkan, akan tetapi kekerasan ini telah
banyak didokumentasikan selama terjadinya krisis kemanusiaan.
Konsekuensi kekerasan berbasis berbasis gender bisa terjadi sebagai akibat langsung
dari tindakan kekerasan atau bisa juga sebagai akibat dari efek jangka panjang:
• Konsekuensi fisik
Ada beragam mulai dari luka ringan sampai luka berat yang menimbulkan
kematian atau cacat permanen; kehamilan yang tidak diinginkan, aborsi tidak
aman dan komplikasi; hasil kehamilan yang tidak baik, termasuk keguguran,
berat badan lahir rendah dan kematian janin; infeksi penularan seksual,
termasuk HIV; penyakit radang panggul, ketidaksuburan, sindrom nyeri kronis;
infeksi saluran kemih.
• Konsekuensi psikologis termasuk:
gelisah, gangguan stres pasca trauma (PTSD/Post Trauma Stress Disorder);
depresi; perasaan rendah diri; tidak mampu mempercayai orang lain, takut,
peningkatan penyalahgunaan dan penggunaan obat-obatan; gangguan tidur;
sulit makan; disfungsi seksual; dan bunuh diri.
• Kekerasan berbasis gender juga sangat besar dampaknya pada kesehatan sosial
individu dan komunitas dalam hal stigma, isolasi dan penolakan (termasuk oleh
suami dan keluarga); kehilangan potensi pendapatan bagi perempuan;
gangguan pendidikan pada remaja; dan pembunuhan (misalnya pembunuhan
karena harga diri atau pembunuhan bayi perempuan).
Pada situasi bencana terjadi peningkatan risiko kekerasan berbasis gender karena:
a. Sistem perlindungan sosial terganggu: keluarga yang terpisah, sistem keamanan
di lingkungan tempat tinggal yang tidak berjalan.
b. Lemahnya aturan keamanan dan keselamatan pada saat terjadi konflik.
Fokus penanganan kekerasan seksual dalam Paket Pelayanan Awal Minimum (PPAM)
adalah pencegahan perkosaan, penyediaan perawatan medis bagi mereka yang
selamat dari perkosaan dan menjamin ketersediaan layanan psikososial mendasar.
Setelah situasi stabil dan seluruh komponen PPAM dilaksanakan, perhatian dapat
diarahkan pada pencegahan kekerasan berbasis gender dalam lingkup yang lebih
luas, termasuk kekerasan rumah tangga, pernikahan dini dan/atau yang dipaksakan,
mutilasi/pemotongan alat kelamin wanita, perdagangan wanita, gadis dan anak laki-
laki dan lain-lain.
Pada kondisi bencana, difokuskan pada kekerasan seksual karena:
1. Kekerasan seksual mengancam jiwa secara segera dan memiliki dampak
panjang
2. Kekerasan seksual memiliki konsekuensi negatif yang serius pada semua
tingkat
3. Respon efektif pada kekerasan seksual dapat mencegah kekerasan lebih
jauh
4. Pencegahan dan respon pada kekerasan seksual adalah bagian dari
standard minimum bidang kemanusiaan (SPHERE & PPAM)
Dalam situasi di mana kekerasan seksual terjadi di antara individu yang
seringkali bertemu, seperti anggota keluarga, mungkin diperlukan strategi
perlindungan tambahan.
Banyak prinsip hak asasi manusia yang dimuat di dalam instrumen hak asasi manusia
internasional menjadi pedoman bagi perlindungan dari kekerasan berbasis gender.
Prinsip-prinsip ini termasuk hak-hak bagi:
• Kehidupan, kemerdekaan dan keamanan manusia
Hak ini terancam ketika seseorang diperkosa atau mengalami mutasi alat genital
perempuan/sunat perempuan/female genital mutilation (FGM);
• Standar kesehatan fisik dan mental tertinggi yang dapat dicapai
Hak ini terhambat jika seseorang ditolak aksesnya untuk mendapatkan pelayanan
medis yang semestinya setelah mengalami perkosaan;
• Bebas dari penyiksaan atau kekejaman, serta hukuman atau perlakuan yang tidak
manusiawi atau merendahkan
FGM/sunat perempuan, perkosaan, kekerasan dalam rumah tangga yang sangat
buruk, serta penolakan akses layanan aborsi yang aman bagi perempuan yang
hamil karena perkosaan dan perdagangan manusia, merupakan suatu bentuk
penyiksaan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan;
• Bebas dari semua bentuk diskriminasi
Hak ini akan terhalang jika undang-undang gagal melindungi perempuan dan anak
perempuan dari kekerasan berbasis gender dan/atau jika mereka harus ditemani
oleh suami atau ayah untuk mendapatkan pelayanan medis akibat perkosaan.
Semua bentuk kekerasan terhadap perempuan merupakan diskriminasi terhadap
mereka;
• Memasuki perkawinan dengan persetujuan penuh dan bebas serta pemberian
hak-hak yang setara dalam perkawinan, selama perkawinan dan saat perceraian
kawin paksa merupakan pelanggaran hak ini;
Ini adalah gambar pohon SGBV. Pohon ini memiliki akar, batang dan cabang.
Cabang menunjukkan contoh SGBV, batang menunjukkan faktor yang
berkontribusi dan akar menunjukkan akar masalah atau penyebab yang
mendasari.
Akar penyebab semua bentuk SGBV tergantung pada sikap dan praktek
masyarakat dalam diskriminasi gender – peran, tanggung jawab, pembatasan,
hak istimewa dan kesempatan yang didapat individual berdasarkan jender.
Mengatasi akar masalah melalui kegiatan pencegahan membutuhkan tindakan
berkesinambungan dan jangka panjang dan perubahan terjadi dengan lambat
setelah priode waktu yang lama.
Faktor yang berkonstribusi adalah faktor menyebabkan GBV tetap ada atau
meningkatkan resiko SGBV dan mempengaruhi tipe dan tingkat SGBV pada
situasi apa saja. Faktor yang berkontribusi tidak menyebabkan SGBV meskipun
diasosiasikan dengan beberapa tindakan SGBV. Beberapa contoh:
penyalahgunaan alkohol atau obat adalah faktor yang berkontribusi, tapi tidak
semua pemabuk atau pecandu obat memukul istri mereka atau memperkosa
wanita.
Perang, pengungsian dan kehadiran penyerang bersenjata adalah semua faktor
yang berkontribusi, tapi tidak semua tentara memperkosa perempuan sipil.
Kemiskinan adalah faktor yang berkontribusi, tapi tidak semua wanita dan gadis
miskin akan dieksploitasi secara sexual atau menjadi pekerja seks.
Banyak faktor yang berkontribusi dapat dihapuskan atau dikurangi secara nyata
melalui kegiatan pencegahan.
Wanita dan gadis mungkin harus mengadakan perjalanan ke tempat distribusi yang
jauh untuk mendapatkan makanan, kayu bakar untuk memasak, bahan bakar dan
air. Tempat hidup mereka mungkin jauh dari kamar kecil dan fasilitas cuci. Tempat
untuk mereka tidur mungkin juga tidak terkunci dan tidak terlindung. Penerangan
mungkin kurang baik. Kamar kecil dan fasilitas cuci pria dan wanita mungkin tidak
dipisahkan. Semua situasi ini membuat wanita rentan terhadap serangan atau
perlakuan kejam.
Kurangnya perlindungan dari polisi dan tidak adanya hukum yang berlaku juga
memberi kontribusi pada meningkatnya kekerasan seksual. Petugas polisi, personil
militer, pekerja kemanusiaan, pengurus kamp atau pejabat pemerintah lain
mungkin saja terlibat dalam tindakan penyalahgunaan atau eksploitasi. Apabila
tidak ada organisasi independen, seperti UNHCR atau LSM, untuk menjamin
keamanan pribadi di dalam kamp, maka jumlah insiden seringkali meningkat. Yang
penting adalah pejabat pelindung wanita tersedia karena seringkali wanita dan
gadis lebih merasa nyaman apabila melaporkan soal perlindungan dan insiden
kekerasan kepada sesama wanita.
Mengapa insiden kekerasan seksual seringkali tidak dilaporkan?
Bahkan dalam kondisi non-krisis, kekerasan seksual seringkali tidak dilaporkan
sehubungan dengan berbagai faktor, termasuk takut dengan pembalasan, malu,
stigma, ketidakberdayaan, kurang mendapatkan dukungan, tidak dapat
diandalkannya layanan publik, kurangnya kepercayaan kepada layanan kesehatan
dan kurangnya kepercayaan diri dan tidak terbiasanya dengan layanan. Semua
situasi ini semakin menjadi-jadi dalam kondisi pengungsi internal, yang
meningkatkan kemungkinan insiden kekerasan seksual di antara populasi
berlangsung tanpa dilaporkan. Oleh sebab itu, menangani kekerasan seksual lebih
dari sekedar manajemen klinik, tetapi juga harus mencakup lingkungan di mana
wanita didukung dan dapat mengakses perawatan ini.
• Manajemen camp
Manajemen camp/barak/tenda: mengatur tempat tinggal khusus bagi
perempuan tanpa pendamping, anak-anak perempuan dan perempuan
sebagai kepala keluarga; menyediakan penerangan yang cukup di jalan-
jalan yang dilalui pada malam hari; barak pengungsian dibangun dengan
desain memadai yang menjamin secara fisik para pengungsi; mencegah
pengungsi tinggal bersama dalam satu ruangan dengan pengungsi lain yang
bukan keluarganya
• Kelompok masyarakat
Kelompok masyarakat: menyediakan petugas ronda yang selalu berkeliling
• Kesehatan
Kesehatan: memastikan petugas kesehatan memiliki jenis kelamin yang
sama pada setiap pemeriksaan medis. Dalam melakukan pemeriksaan fisik,
penyintas harus dipersiapkan dan jika ingin didampingi oleh anggota
keluarga atau teman, dapat diperbolehkan. Kerahasiaan sangat diperlukan.
Petugas yang menangani penyintas harus peka, bijaksana/hati-hati dan
penuh pengertian dan dapat berempati.
• Layanan masyarakat
• Polisi/keamanan
Fokus kunci pada saat ini adalah mencari cara untuk memberitahu masyarakat
mengenai keuntungan dan ketersediaan perawatan bagi mereka yang selamat
dari kekerasan seksual. Lalu, sewaktu hubungan yang lebih baik dapat dibina
dengan masyarakat dan lebih banyak yang memahami GBV dalam konteks lokal,
maka perencanaan kampanye informasi, pendidikan dan komunikasi (IEC) dan
dukungan masyarakat harus diadakan.
d. Non diskriminasi
Menyediakan akses pada pelayanan bagi perempuan, laki-laki, remaja
Memastikan pewawancara, penerjemah, dokter, petugas polisi,
petugas proteksi, pekerja sosial masyarakat dan lainnya memiliki jenis
kelamin sama dengan korban
VII. RANGKUMAN
Kekerasan seksual adalah pelanggaran HAM. Kekerasan seksual berbasis
gender/SGBV merupakan suatu kekerasan yang potensial terjadi dalam
situasi bencana. Diskriminasi dan ketidaksetaraan gender merupakan akar
masalah SGBV. Perempuan dan anak-anak merupakan kelompok yang
paling beresiko untuk mengalami kekerasan seksual pada situasi bencana.
PPAM difokuskan pada pencegahan dan penanganan kekerasan seksual.
Bentuk lain dari GBV akan ditangani setelah situasi sudah stabil.
Pencegahan dan penanganan kekerasan seksual pada sitausi bencana
membutuhkan pendekatan multi sector.
Pedoman prinsip harus dijalankan saat menangani kasus kekerasan seksual
IX. DAFTAR PUSTAKA
Inter agency Working Group on Reproductive Health in Crises. 2010. Buku
Pedoman Lapangan Antar lembaga Kesehatan Reproduksi dalam Situasi Darurat
Bencana. Revisi untuk peninauan lapangan. Jakarta: Inter agency Working Group
on Reproductive Health in Crises.
catatan
SGBV - Group work station 1 (Halaman 2 dari 2)
Mekanisme rujukan untuk korban perkosaan
Lembar kerja peserta
25 menit
2. Lakukan pertemuan koordinasi GBV
Lakukan sesuai peran anda dan diskusikan issue berikut ini:
- Prioritas intervensi yang mana yang dibutuhkan untuk mencegah dan respon terhadap
kekerasan seksual pada skenario?
- Siapakah yang bertanggung jawab untuk kegiatan tersebut?
- Kapan kegiatan tersebut harus sudah selesai dilaksanakan?
Catatan:
SGBV - Group work station 2 (Page 2 of 2)
Koordinasi antar lembaga untuk GBV
Lembar kerja peserta
PESAN PENTING
Handout peserta
Study kasus Nusantara - Khatulistiwa
(diadaptasi dari the ICRC HELP course)
Laporan
Setelah terjadinya pertikaian kekerasan antara pemberontak Patriot dengan tentara
pemerintah di Nusantara, sejumlah penduduk Nusantara yang tidak diketahui mengungsi
melintasi batas ke Negara Khatulistiwa. Setidaknya 20,000 pengungsi membuat
pemukiman dekat desa Karimun, sekitar 34 km dari perbatasan Nusantara. Pengungsi
mendapat limpahan sumber daya bagi yang bermukim di kabupaten Buah Pinang. Tidak
sanggup mengakomodasi kebutuhan pengungsi, pemerintah Khatulistiwa meminta
bantuan internasional. Dalam waktu bersamaan pemerintah Khatulistiwa mencoba
melakukan mediasi dengan 2 pihak yang terlibat dengan konflik Nusantara.
Pengungsi tinggal di penampungan sementara yang dibuat dari rumput ilalang, ranting
dan beberapa daun pisang. Air diperoleh dari sungai Alam tidak jauh dari camp, tetapi
ada masalah dengan sumber air. Laporan menunjukkan adanya sanitas yang buruk untuk
pengungsi, Oxfam sudah diminta untuk membuat Toilet/WC dan menyusun titik
distribusi air.
Ada masalah dengan bahan untuk memasak, tapi ada kayu dengan jarak sekitar 1 km,
dimana perempuan dapat pergi untuk mendapat kayu bakar. Pengungsi membawa
beberapa bahan makanan, tapi sudah habis. Penduduk lokal dan beberapa organisasi dari
Khatulistiwa mencoba membantu dan WFP telah memulai jalur pendistribusian makanan.
Masalah kesehatan di propinsi termasuk malaria, kolera, campak, tbc, HIV, meningitis,
diare, ISPA dan penyakit kulit. Meskipun belum ada survey yang dilakukan, nampaknya
malnutrisi merupakan masalah yang significant. Ada peningkatan kasus trauma karena
banyak orang datang dengan luka dan ada laporan tentang perkosaan , penculikan
perempuan, gadis remaja, anak laki-laki dan perempuan oleh laki-laki bersenjata.
Komplikasi kebidanan umum terjadi dan meskipun angka kematian ibu tidak diketahui, ini
dianggap cukup tinggi.
Ada beberapa pusat kesehatan dan pos kesehatan tersebar di sekitar 3 kabupaten di
propinsi Nagari. Pelatihan untuk pekerja Pelayanan Kesehatan Primer telah dilakukan di
Khatulistiwa beberapa tahun yang lalu, tapi jumlah yang sudah dilatih masih belum
memenuhi kebutuhan. Beberapa dukun bayi mendapat pelatihan sekitar 10 tahun yang
lalu. Beberapa organisasi mulai memberikan layanan kesehatan terbatas untuk pengungsi
(IRC, MSF, Betaland Red Cross, Islamic Relief). Sudah terjadi kekurangan obat dan
supplies yang cukup besar. Transportasi ke daerah ini memungkinkan dengan jalur darat,
kereta dan udara. Semua adalah problematis sekarang ini. Jalan sekitar Taruna terkena
banjir dan akses ke beberapa daerah terputus untuk beberapa hari. .
Tugas anda
Pagi ini pada pertemuan koordinasi antar lembaga anda mendapat informasi seperti di
atas dan diminta untuk mewakili organisasi anda dalam pertemuan koordinasi GBV. Anda
sekarang mengikuti pertemuan dengan focal point dari GBV dari sektor kesehatan dan
sektor lain untuk berdiskusi bagaimana melaksanakan intervensi yang sangat mendasar
untuk mencegah dan merespon kekerasan seksual untuk pengungsi di propinsi Gamma.
Lakukan pertemuan, pakailah tool matrik koordinasi GBV antar lembaga (IASC GBV
coordination matrix)
MATERI 8 :
PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KEKERASAN SEKSUAL BERBASIS GENDER
PADA KRISIS KESEHATAN
Matriks intervensi untuk mencegah dan merespon SGBV pada situasi kemanusiaan
dengan
Dan beri tanda informasi yang mana yang sama yang diminta pada kedua formulir
10 menit
2. Review:
Seorang korban perkosaan datang setelah 2 hari pasca kejadian ke klinik medis
dan meminta pengobatan untuk mencegah kehamilan dan AIDS.
PESAN PENTING
1. Dengan hati-hati baca dokumentasi yang dibawa oleh korban dan jangan tanyakan lagi
pertanyaan yang sudah dijawab kepada pemberi layanan
3. Dokumentasikan semua temuan secara hari-hati dan detail. Dokumen medis dapat
dipakai sebagai barang bukti di pengadilan.
MATERI 9
PERAWATAN PASCA
KEGUGURAN PADA
KRISIS/SITUASI DARURAT
I
Daftar Isi Materi 9
DAFTAR ISI
PANDUAN PENGAJAR | MODUL BAHAN AJAR PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN
REPRODUKSI PADA KRISIS KESEHATAN
MATERI 9 :
ASUHAN PASKA KEGUGURAN PADA KRISIS KESEHATAN
MATERI 9
ASUHAN PASKA KEGUGURAN
PADA TANGGAP DARURAT KRISIS KESEHATAN
Asuhan paska keguguran merupakan strategi untuk menurunkan kematian dan kesakitan
karena komplikasi yang diakibatkan oleh aborsi yang tidak aman dan aborsi spontan.
WHO melaporkan bahwa sekitar 13% dari kematian yang berhubungan dengan kehamilan
diseluruh dunia diakibatkan oleh aborsi yang tidak aman. Dibeberapa negara, kematian
akibat aborsi yang tidak aman mencapai 45% dari seluruh kematian maternal. Komplikasi
yang paling sering ditemukan adalah aborsi inkomplit, sepsis, perdarahan dan cedera
intra-abdominal, masalah kesehatan jangka panjang meliputi inflamasi pelvic kronis,
sumbatan tuba dan infertilitas sEkunder. Aborsi spontan atau keguguran dapat
menyebabkan terjadinya komplikasi sehingga membutuhkan pertolongan
kegawatdaruratan untuk menyelamatkan jiwa.
I. DESKRIPSI SINGKAT
Modul ini membahas tentang asuhan paska keguguran pada krisis kesehatan yang
meliputi: Pemberian konseling, Informed consent dan penilaian klinis, Melakukan
pencegahan infeksi, Upaya mengatasi rasa nyeri, Penatalaksanaan asuhan paska
keguguran, Penjelasan pencegahan tetanus serta mengatasi komplikasi, dan
Pemberian konseling paska keguguran serta tindak lanjut, dengan metode kuliah
interaktif, studi kasus, diskusi kelompok dan role play.
IV.BAHAN BELAJAR
1. Modul materi Asuhan Paska Keguguran pada Krisis Kesehatan.
2. Laptop
3. LCD
4. Kaset video
5. Papan plifchart/ papan tulis
6. Spidol
7. Skenario kasus
VI.URAIAN MATERI
Pada hakikatnya beberapa negara di dunia mengizinkan aborsi yang aman dan legal
dengan indikasi tertentu yang ditetapkan dengan peraturan di masing-masing negara.
Begitu pula dengan Indonesia, sejak berlakunya UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang
kesehatan maka aborsi dapat dilakukan dengan indikasi-indikasi yang telah ditentukan
(Keguguran Provokatus Medicinalis).
Indikasi keguguran provokatus medicinalis tertuang dalam 3 (tiga) Pasal dalam Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yaitu Pasal 75, Pasal 76 dan Pasal 77.
2. Penilaian Klinis
Penyedia layanan harus melakukan penilaian klinis yang menyeluruh meliputi:
riwayat kesehatan reproduksi yang teliti (termasuk riwayat kekerasan seksual),
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang lainnya bila tersedia dan penilaian
psikososial. Perempuan yang datang untuk perawatan aborsi yang tidak lengkap
atau komplikasi aborsi (perawatan paska aborsi) harus dilakukan penilaian
dengan hati-hati sekali, karena mungkin mengalami komplikasi yang mengancam
keselamatan jiwa. Oleh sebab itu harus dilakukan rujukan segera kerumah sakit
PONEK apabila perempuan tersebut tidak dapat ditangani puskesmas setempat,
namun sebelum melakukan rujukan kondisi pasien harus stabil.
Komplikasi yang serius sangat jarang terjadi tetapi penting untuk tenaga
kesehatan mengikuti perkembangan klien karena ada saja risiko yang dapat
terjadi seperti infeki atau perdarahan. Pastikan klien mempunyai akses ke
fasilitas gawat darurat selama masa paska keguguran. Jika klien membutuhkan
perawatan yang melebihi kemampuan fasilitas dimana ia dirawat maka stabilkan
kondisinya sebelum ia dipindahkan ke pelayanan rujukan yang lebih tinggi.
Perempuan dan anak perempuan pada krisis kesehatan sangat mungkin lebih
beresiko mengalami kehamilan yang tidak diinginkan, aborsi yang tidak aman dan
memerlukan akses ke pelayanan aborsi yang aman dan legal. Guna membantu
pemerintah, para pembuat rencana dan penyedia layanan mewujudkan komitmen
mereka terhadap hak dan kesehatan perempuan. WHO mengeluarkan petunjuk
teknis pada tahun 2003 untuk mendukung kapasitas sistem kesehatan agar dapat
memberikan perawatan aborsi yang aman dan asuhan paska keguguran
(Post
Abortion Care atau
PAC).
UNFPA dan WHO. 2008. Buku pedoman, RH Kit Antar Lembaga dalam Situasi Krisis.
Jakarta: UNFPA dan WHO.
1. Demostrasi AVM/Aspirasi Vakum Manual (Kit 8): pemasangan pada model panggul,
pembongkaran dan pemasangan kembali AVM (kalau AVM tidak tersedia, lanjutkan ke
point no 2)
CATATAN:
LAYANAN PASKA KEGUGURAN
Lembar Kerja Peserta
PESAN PENTING
- Aborsi yang tidak aman adalah penyumbang penting pada kesakitan dan kematian
maternal. Sampai 15% dari kematian terkait kehamilan di seluruh dunia adalah akibat
aborsi yang tidak aman dan di beberapa negara kematian akibat aborsi yang tidak
aman mungkin bertanggung jawab sampai 45% dari semua kematian maternal.
- Aborsi akan tetap terjadi meskipun dilarang secara hukum. Situasi dengan peraturan
hukum yang melarang aborsi, memiliki angka kematian maternal yang lebih tinggi
akibat aborsi yang tidak aman. Hal ini bahkan akan lebih besar pada krisis kesehatan.
J
Daftar Isi Materi 10
DAFTAR ISI
MATERI 10
LOGISTIK KESEHATAN REPRODUKSI
PADA KRISIS KESEHATAN (SITUASI TANGGAP DARURAT BENCANA)
Suplai dan logistik kesehatan reproduksi dalam situasi darurat bencana merupakan salah
satu topik yang akan dipelajari dalam Paket Pelayanann Awal Minimum (PPAM) dalam
situasi darurat bencana. Masa tanggap darurat dalam situasi bencana tidak akan terlepas
dari pengelolaan logistik. Selain sebagai support kebutuhan utama masyarakat
terkena dampak bencana juga jaminan pemulihan fungsi social masyarakat. Pentingnya
Pengelolaan tersebut sehingga perlu ada pedoman yang mengatur persediaan logistic
dalam keadaan darurat.
I. DESKRIPSI SINGKAT
Materi ini membahas tentang suplai logistik kesehatan reproduksi dalam situasi
darurat bencana yang meliputi: penjelasan tentang logistik untuk penerapan PPAM
yang terdiri dari bidan kit, Kit kesehatan reproduksi dan kit individual. Termasuk
bagaimana menghitung kebutuhan Kit kesehatan reproduksi, membuat dan
mendistribusikan Kit kesehatan reproduksi dalam situasi darurat bencana.
Koordinatorkesehatan reproduksi harus memiliki kemampuan mengkoordinasikan
pengelolaan logistik kesehatan reproduksi. Dimulai dari perencanaan kebutuhan,
pendistribusian dan monitoring serta evaluasi penggunaan logistik kesehatan
reproduksi dengan metoda kuliah interaktif, studi kasus, diskusi kelompok, dan
seminar.
Kit Individu
Kit individu merupakan paket berisi pakaian, perlengkapan kebersihan diri,
perlengkapan bayi, dll, yang disediakan untuk individu yang merupakan target
sasaran dari PPAM yaitu diberikan kepada perempuan usia subur, ibu hamil, ibu
bersalin dan bayi baru lahir. Kit ini dapat langsung diberikan dalam waktu 1-2 hari
saat bencana/tanggap darurat kepada pengungsi setelah melakukan estimasi
jumlah sasaran.
Terdapat 4 jenis kit individu yaitu:
Jenis barang yang terdapat di dalam kit individu bisa disesuaikan dengan
kebutuhan kesehatan reproduksi pengungsi serta anggaran yang tersedia. Kit di
diadakan dan disimpan di gudang sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Jika data riil tidak tersedia, maka perhitungan kebutuhan logistik untuk pelayanan
kesehatan reproduksi dapat menggunakan estimasi statistik sebagai berikut:
a. Jumlah wanita usia subur : 25% dari jumlah pengungsi (untuk menghitung kebutuhan pembalut
wanita)
b. Jumlah ibu hamil:
Jika data angka kelahiran kasar (CBR = Crude Birth Rate) tersedia gunakan CBR untuk
mengestimasikan jumlah ibu hamil.
Contoh:
Jumlah pengungsi : 10.000 jiwa
CBR: 35/1.000 kelahiran hidup
Estimasi jumlah ibu hamil selama 1 tahun: 35/1.000 x 10.000 = 350 ibu hamil
Estimasi jumlah ibu hamil per bulan: 350 : 12 bulan = 29 ibu hamil.
Jika data CBR tidak tersedia, estimasi jumlah ibu hamil adalah 4% dari jumlah pengungsi
Estimasi jumlah ibu hamil per bulan = 400 : 12 bulan = 33 ibu hamil
Ibu hamil yang akan mengalami komplikasi adalah 15-20% dari total jumlah ibu hamil
saat ini, dan 5-7% dari ibu hamil akan membutuhkan operasi sesar
Jumlah laki-laki yang aktif secara seksual: 20% dari pengungsi Dll.
Estimasi jumlah ibu hamil selama 1 tahun: 4% x 10.000 = 400 ibu hamil
Apabila masa tanggap darurat bencana telah lewat dan masih terdapat sisa alat, obat dan bahan habis pakai
dari kit kesehatan reproduksi maka harus diserahkan kepada Dinas Kesehatan setempat untuk diatur
pemanfaatannya sesuai dengan peraturan yangberlaku.
Gambar kit Kesehatan Reproduksi: Kit 0 -12
Kit 0 : Administrasi
Kit 9 : Jahitan Sobekan (Vagina dan Leher rahim ) dan kit pemeriksaan vagina
Logistik Kontrasepsi
Keluarga Berencana bukan merupakan bagian dari PPAM, tapi sangat penting untuk
memastikan kontrasepsi tersedia bagi pasangan yang sudah memakai alat kontrasepsi
sebelumnya untuk melanjutkan pemakaian KB.
Ada 2 kit di kit kesehatan reproduksi yang berupa alat kontrasepsi yaitu kit no 4:
kit kontrasepsi oral dan kit no 7 yaitu kit IUD.
Jumlah kit no 3 dan 7 yang dipesan adalah sesuai dengan jumlah pengungsi.
VII. RANGKUMAN :
Untuk penerapan PPAM diperlukan dukungan ketersediaan logistik
Logistik untuk penerapan PPAM terdiri dari:
o Individual kit
o Bidan Kit
o Kit Kesehatan Reproduksi
Koordinator kesehatan reproduksi harus dapat menghitung kebutuhan logistik
kesehatan reproduksi pada saat bencana berdasarkan perkiraan lamanya waktu
mengungsi.
kit kesehatan reproduksi terdiri dari alat dan obat yang sama dengan yang tersedia
di fasilitas pelayanan kesehatan. Perbedaannya adalah alat dan obat tersebut
sudah dikemas sehingga memudahkan petugas kesehatan dalam memberikan
pelayanan pada dalam penanggulangan bencana.
VIII. EVALUASI
Pada pelaksanaan evaluasi sesi, dosen/pengajr dapat menggali lebih dalam
pemahaman peserta didik dalam menangkap/menyerap materi yang diberikan.
Soal Cerita
Tugas anda
Pagi ini ada pertemuan koordinasi darurat antar lembaga. Anda diberi penjelasan
tentang kondisi seperti di atas dan diminta untuk membuat koordinasi Kesehatan
Reproduksi dan seksual bagi pengungsi di propinsi Aceh. Sebelum pertermuan
anda menemukan beberapa indikator.
Diskusikan langkah-langkah selanjutnya:
Laporan
Setelah terjadinya pertikaian kekerasan antara pemberontak Patriot dengan tentara
pemerintah di Nusantara, sejumlah penduduk Nusantara yang tidak diketahui mengungsi
melintasi batas ke Negara Khatulistiwa. Setidaknya 20,000 pengungsi membuat
pemukiman dekat desa Karimun, sekitar 34 km dari perbatasan Nusantara. Pengungsi
mendapat limpahan sumber daya bagi yang bermukim di kabupaten Buah Pinang. Tidak
sanggup mengakomodasi kebutuhan pengungsi, pemerintah Khatulistiwa meminta
bantuan internasional. Dalam waktu bersamaan pemerintah Khatulistiwa mencoba
melakukan mediasi dengan 2 pihak yang terlibat dengan konflik Nusantara.
Pengungsi tinggal di penampungan sementara yang dibuat dari rumput ilalang, ranting
dan beberapa daun pisang. Air diperoleh dari sungai Alam tidak jauh dari camp, tetapi
ada masalah dengan sumber air. Laporan menunjukkan adanya sanitas yang buruk untuk
pengungsi, Oxfam sudah diminta untuk membuat Toilet/WC dan menyusun titik
distribusi air.
Ada masalah dengan bahan untuk memasak, tapi ada kayu dengan jarak sekitar 1 km,
dimana perempuan dapat pergi untuk mendapat kayu bakar. Pengungsi membawa
beberapa bahan makanan, tapi sudah habis. Penduduk lokal dan beberapa organisasi dari
Khatulistiwa mencoba membantu dan WFP telah memulai jalur pendistribusian makanan.
Masalah kesehatan di propinsi termasuk malaria, kolera, campak, tbc, HIV, meningitis,
diare, ISPA dan penyakit kulit. Meskipun belum ada survey yang dilakukan, nampaknya
malnutrisi merupakan masalah yang significant. Ada peningkatan kasus trauma karena
banyak orang datang dengan luka dan ada laporan tentang perkosaan , penculikan
perempuan, gadis remaja, anak laki-laki dan perempuan oleh laki-laki bersenjata.
Komplikasi kebidanan umum terjadi dan meskipun angka kematian ibu tidak diketahui, ini
dianggap cukup tinggi..
Ada beberapa pusat kesehatan dan pos kesehatan tersebar di sekitar 3 kabupaten di
propinsi Nagari. Pelatihan untuk pekerja Pelayanan Kesehatan Primer telah dilakukan di
Khatulistiwa beberapa tahun yang lalu, tapi jumlah yang sudah dilatih masih belum
memenuhi kebutuhan. Beberapa dukun bayi mendapat pelatihan sekitar 10 tahun yang
lalu. Beberapa organisasi mulai memberikan layanan kesehatan terbatas untuk pengungsi
(IRC, MSF, Betaland Red Cross, Islamic Relief). Sudah terjadi kekurangan obat dan
supplies yang cukup besar. Transportasi ke daerah ini memungkinkan dengan jalur darat,
kereta dan udara. Semua adalah problematis sekarang ini. Jalan sekitar Taruna terkena
banjir dan akses ke beberapa daerah terputus untuk beberapa hari.
Tugas anda:
Pagi ini ada pertemuan koordinasi darurat antar lembaga. Anda diberi penjelasan tentang
kondisi seperti di atas dan diminta untuk membuat koordinasi Kesehatan Reproduksi dan
seksual bagi pengungsi di propinsi Nagari. Sebelum pertermuan anda menemukan
beberapa indikator.
Diskusikan langkah-langkah selanjutnya:
1. Assessment apa yang harus dilakukan?
2. Prioritas Kesehatan Reproduksi apa yang harus diutamakan?
3. Kit apa saja yang akan dipesan dan berapa banyak?
4. Hitung kebutuhan ruangan untuk penyimpanan (dalam meter kubik)
5. Buatlah rencana distribusi untuk masing-masing kit, kemana lokasi pengiriman,
menggunakan alat transportasi apa termasuk mengidentifikasi partner yang akan
diajak bekerja sama. Buat table rencana distribusi dengan petanya.
Lakukan diskusi selama 45 menit dan tulis hasilnya dalam kertas flipchat untuk
dipresentasikan (15 menit)
INDIKATOR KESEHATAN REPRODUKSI UNTUK Nusantara
Totalpopulasi 23300000
Rasio Jenis Kelamin(M:100F) 99,6% dari perempuan yang
berusia 15 – 49 24,6%
Persentase usia <5 tahun 20,1%
Totaltingkat kesuburan (perwanita) 7,1
IMStermasuk HIV/AIDS
Dewasa yang mengidap HIV/AIDS(%) 9%(desa)–22%(kota)
Pria (15-49)yang melaporkan mengalami uretritispada akhir tahun (%)
11.7%(desa)–18.7%(kota)
Indikator KB
Prevalensi KB (semua metode)(%dari wanita 15–49)15%(1995)
Gabungan metode kontrasepsi
Kondom 10%
Pil 7%
Injeksi/ Suntikan 28%
IUD0.4%
Sterilisasi Wanita 1%
Metode tradisional 53%
-----------o0o----------
LAMPIRAN
PANDUAN PENGAJAR | MODUL BAHAN AJAR PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN
d. Peralatan Pencahayaan
- Lampu Frontal dengan adaftor untuk 4 battery R6
- Battery, dry cell, R6, alkaline 1,5 V (10 buah)
- Kerosene stormlamp + extra socks
PANDUAN PENGAJAR | MODUL BAHAN AJAR PELAYANAN AWAL MINIMUM (PPAM) KESEHATAN
REPRODUKSI (KESPRO) PADA KRISIS KESEHATAN (SITUASI TANGGAP
DARURAT BENCANA)
2. Alat untuk
Persalinan Normal di Rumah (tidak ada tenaga kesehatan)
(Jika tidak ada tenaga kesehatan, ibu dibekali dengan kit persalinan normal (sama dengan sub kit
no. 2 UNFPA)
- Sabun
- Plastik
- Gunting (Razor Blade)
- Benang untuk mengikat umbilical cord
- Lembaran gambar instruksi (Pictorial Instruction Sheet)
- Kain Katun 2 M x 1M
4. Bahan – bahan
yang harus disiapkan ibu untuk melahirkan di rumah/fasilitas kesehatan
- Baju, sarung, celana dalam, handuk, kain penyeka (waslap)
- Sabun, baskom isi air matang, pembalut
- Handuk bersih dan selimut untuk bayi, topi bayi
- Kantong plastik atau pot tanah liat untuk ari – ari
- Keranjang sampah tertutup (jika melahirkan dirumah)
OBAT DAN BAHAN HABIS PAKAI
UNTUK KOMPLIKASI PERSALINAN (KEGAWATDARURATAN) PER ORANG
c. Infeksi : 5 kasus
Ampicillin 1 g – p.e 3 x5 = 15 botol
Ampicillin 500 mg p.o 20 x 5 = 100 Tablet
Fenobarbital 30 mg p.o 10 x 5 = 50 tablet
Oxitocin 1 x 5 = 5 ampul
Dextrose 5% 1 x 5 = 5 botol
Kotrimoksasol 20 x 5 = 100 tablet