Anda di halaman 1dari 106

TF2101 MATEMATIKA REKAYASA

Hermawan K. Dipojono, Ph.D, IPU


ST (TF-ITB), Ir (ITB), MSEE (Hawaii), Ph.D (Ohio State)
Profesor (ITB)

November 30, 2020

1/1
Teorema Fundamental

Teorema Fundamental Kalkulus:


Z b Z b
df
dx = df = f (b) − f (a)
a dx a

Teorema Fundamental Gradient:


Z b Z b
~
(∇Φ) · d` = dΦ = Φ(b) − Φ(a)
a a

2/1
Teorema Fundamental

Teorema Fundamental Divergensi (hukum Gauss):


Z I
~
(∇ · F) dV = F~ · d~S
V ~
S

Teorema Fudamental Curl (Teorema Stokes):


Z I
~ ~
(∇ × F) · dS = ~ · d~
F `
~
S C

3/1
Teorema Fundamental

z
I 
∂Fx ∂Fy
~ · d~S =
F +
H G ~
S ∂x ∂y

D C ∂Fz
+ dxdydz
∂z
(x0 , y 0 , z 0 ) y ~ dV
=∇·F
E n
F X I I
A B lim ~ ~
F · dS = ~ · d~S
F
n→∞ ~
Si ~
S
x i=1

n
X Z
lim ~ dVi =
∇·F ~ dV
∇·F
n→∞ V
i=1
I Z
∴ ~ · d~S =
F ~ dV
∇·F
~
S V

4/1
Hukum Gauss & Teorema Stokes

z
Diketahui B ~ = yz~ax + xz~ay +
D(1, 1, 2)
xy~az dan permukaan tertutup
berbentuk piramida seperti di
gambar. Tunjukkanlah bahwa
O C(0, 2, 0)
y
I Z
~ ~
B · dS = ∇·B~ dV
D1 ~
S V
I Z
A(2, 0, 0) B(2, 2, 0)
~ ~
B · d` = ∇×B ~ · d~S
C ~
S
x
dengan lintasan tertutup C adalah A → B → D → A.

5/1
Hukum Gauss & Stokes
z
D(1, 1, 2)
~ · d~
B ` = (~ax yz + ~ay xz + ~az xy)
· (~ax dx + ~ay dy + ~az dz)
= yz dx + xz dy + xy dz
O C(0, 2, 0)
y
I Z
~ · d~
B `= ~ · d~
B `
C
D1 Z AB Z
A(2, 0, 0) B(2, 2, 0) + ~ · d~
B `+ ~ ·~
B `
BD DA

x
Z 2 Z Z
~ · d~
B `= xz dy + (yz dx + xz dy + xy dz) + (yz dx + xz dy + xy dz)
0
| {z } | {z } | {z }
A→B B→D D→A

Persamaan garis melalui titik A(x1 , y1 , z1 ) sejajar dengan vektor a~ax + b~ay adalah

x − x1 y − y1
= ; z = z1
a b

6/1
Hukum Gauss & Stokes
Persamaan garis yang melalui titik
z (x1 , y1 , z1 ) dan sejajar dengan vektor
a~ax + b~ay + c~az adalah
D(1, 1, 2)
x − x1 y − y1 z − z1
= =
a b c

sehingga garis BD adalah 2 − x = 2 −


O C(0, 2, 0) y = z/2 dan garis AD adalah x − 1 =
y
1 − y = (2 − z)/2. Karena AB berada
di bidang z = 0 maka
D1
A(2, 0, 0) B(2, 2, 0) Z 2
xz dy = 0
x |
0
{z }
A→B
Z Z 1 Z 1 Z 2
(yz dx + xz dy + xy dz) = x(4 − 2x) dx + y(4 − 2y) dy + (2 − z/2)2 dz
2 2 0
| {z }
B→D

2 3 1
 1
1 3 2
    
2
2x2 − x + 2y 2 − y 3 + 4z − z 2 +

= z
3 2 3 2 12 0
=2

7/1
Hukum Gauss & Stokes

z Selanjutnya suku ketiga dilakukan sep-


anjang garis D −→ A atau x − 1 =
D(1, 1, 2) 1 − y = 1 − z/2 sehingga diperoleh
Z
(yz dx + xz dy + xy dz) =
| {z }
O C(0, 2, 0) D→A
y Z 2
(2 − x)(4 − 2x) dx
1
D1 Z 0 Z 0  z z
A(2, 0, 0) B(2, 2, 0)
+ (2 − y)2y dy + 2− dz
1 2 2 2
x = −2
I
∴ ~ · d~
B ` = 2 + (−2) = 0
C

8/1
Hukum Gauss & Stokes

Selanjutnya perhatikan bahwa


  Z
~ = ∂ ∂ ∂ ~ dV = 0
∇·B ~ax + ~ay + ~az ·(~ax yz + ~ay xz + ~az xy) = 0 =⇒ ∇·B
∂x ∂y ∂z V

Perhatikanlah bahwa di sini kita telah membuktikan bahwa


I Z
~ ~
B · dS = ∇·B~ dV
~
S V

dengan permukaan ~S adalah permukaan yang menyelubungi


volume V.

9/1
Hukum Gauss & Stokes


~ax ~ay ~az
~
∂ ∂ ∂

∇ × B = ∂x ∂y ∂z


yz xz xy
=0

Mengingat ∇ × B~ = 0 maka ~ ∇ × B ~ · d~S = 0 untuk ~S adalah


R
S
bidang ABDA. Hasil ini ternyata sama dengan C B ` dengan
~ · d~
H

kontur C adalah kontur yang melingkupi bidang atau permukaan


ABDA. Jadi dapat disimpulkan
Z I
∇×B ~ · d~S = B~ · d~
`
~
S C

dengan permukaan ~S dibatasi oleh kontur C. Persamaan ini


dikenal dengan Hukum Stokes.
10 / 1
Teorema Green

Dari hukum Gauss dapat dituliskan bahwa


Z I
~
∇ · F dV = ~ · d~S
F
V ~
S

untuk sembarang medan vektor F ~ dan ~S adalah vektor permukaan


yang menyelubungi volume V. Jika dapat dituliskan F ~ = Φ1 ∇Φ2
maka
Z I
∇ · Φ1 ∇Φ2 dV = ~nS · Φ1 ∇Φ2 dS
V ~
S
Z I
Φ1 ∇2 Φ2 + (∇Φ1 ) · (∇Φ2 ) = (1)
 
~nS · Φ1 ∇Φ2 dS
V ~
S

Persamaan (1) disebut persamaan Green pertama.

11 / 1
Contoh-contoh

Jika Φ1 dan Φ2 pada persamaan (1) dipertukarkan dan hasilnya


diperkurangkan dengan persamaan (1) tersebut maka akan
diperoleh
Z I
2
 
Φ1 ∇ Φ2 − Φ2 ∇Φ1 dV = ~nS · [Φ1 ∇Φ2 − Φ2 ∇Φ1 ] dS
V ~
S
(2)

Persamaan (2) disebut persamaan kedua Green atau lebih dikenal


sebagai persamaan Green.

12 / 1
Kasus Khusus 1

Jika sembarang medan vektor F(x,


~ y, z) dapat dituliskan sebagai
gradien sebuah fungsi medan skalar Φ(x, y, z) atau berarti bahwa
~
F(x, y, z) = ∇Φ(x, y, z) maka konsekuensinya adalah
~ = ∇ × ∇Φ = 0
∇×F

Medan vektor seperti ini disebut juga sebagai medan irrotasional,


medan dengan curl sama dengan nol. Padahal berdasarkan
teorema fundamental gradien
Z b
(∇Φ) · d` = Φ(b) − Φ(a)
a

akibatnya adalah bahwa


I I
~
F · d` = (∇Φ) · d` = 0
C C

13 / 1
Kasus Khusus 1

Integral lintasan tertutup medan irrotasional akan sama dengan


nol. Medan vektor ini dapat diperoleh dari gradien medan skalar
konservatif. Integral lintasan tertutup medan konservatif sama
dengan nol. Hal ini sudah kita kenal sebelumnya di fisika dasar.
Bagaimana dengan divergensi medan irrotasional ini?
~ = ∇ · ∇Φ = ∇2 Φ
∇·F

Untuk c = konstanta 6= 0 maka ∇2 Φ = c disebut persamaan


Poisson. Sedangkan jika c = 0 maka ∇2 Φ = 0 disebut persamaan
Laplace.

14 / 1
Kasus Khusus 2

Jika pada kasus khusus 1 mempunyai ciri curl sama dengan nol
maka dalam kasus khusus kedua mempunyai ciri divergensi sama
dengan nol. Maka medan vektor sembarang F(x,
~ y, z) dengan ciri
∇ · F = 0 disebut medan solenoidal. Dalam hal ini curl nya tidak
~
boleh sama dengan nol (yang akan berarti tidak ada medan vektor
sama sekali). Dengan demikian maka
~
∇ × F(x, y, z) = ~J(x, y, z)

Medan vektor ~J(x, y, z) merupakan sumber vortex dari F(x,


~ y, z).
Kita tahu dengan mudah bahwa untuk sembarang medan vektor A ~
dapat diperoleh ∇ · ∇ × A = 0.
~

15 / 1
Kasus Khusus 2

Jelas bahwa ∇ × A~ merupakan medan solenoidal sehingga dapat


dituliskan bahwa
~ =∇×A
F ~

Medan vektor A
~ disebut juga sebagai potensial vektor karena
mempunyai peran yang sama dengan peran potensial skalar Φ.
Dengan demikian diperoleh
~ = ∇∇ · A
∇×∇×A ~ − ∇2 A
~ = ~J

Jika ∇ · A
~ = 0 maka akan diperoleh bentuk yang lebih sederhana

~ = −~J
∇2 A

16 / 1
Kasus Khusus 2

Dengan demikian medan vektor A ~ merupakan solusi dari


persamaan Poisson vektor. Artinya, setiap komponen dari A
~ akan
memenuhi persamaan Poisson skalar. Sebagai contoh

∇2 Ax = −Jx

17 / 1
Sistem Koordinat Lengkung Orthogonal: Silindris

D dr

S A

P dz

C
R B
r dφ
Dalam sistem koordinat silindris titik
Q(x, y, z) koordinat Q(x, y, z) dapat dinyatakan
dengan Q(r, φ, z) dengan x = 2 cos φ,
y = r sin φ dan r = x2 + y 2 .
p

18 / 1
Sistem Koordinat Lengkung Orthogonal: Spheris

Perhatikanlah elemen bola berjari-jari r:


H

θ0 E BF = dr
dr
D
A
F G = (r + dr)dφ
F E = (r + dr)dθ
r
C OA = r; A(x, y, z)
dθ G p
r = x2 + y 2 + z 2
B F
x = r sin θo cos φo
y = r sin θo sin φo
φ0 y
dφ z = r cos θo

19 / 1
Sistem Koordinat Lengkung Orthogonal

u3

E
F
B u1
C
D
h3 du3 G
u2 h1 du1
A h2 du2
O

20 / 1
Sistem Koordinat Lengkung Orthogonal

Perhatikanlah paralelepipedum seperti di gambar yang sisi-sisinya


berimpit dengan u1 = konstan atau u2 = konstan atau
u3 = konstan. Elemen-elemen sisi-sisinya dapat dinyatakan dengan
d`1 = h1 du1 , d`2 = h2 du2 dan d`3 = h3 du3 dengan h1 , h2 , h3
adalah faktor pengali yang tepat, dan mungkin saja sebagai fungsi
dari u1 , u2 , u3 . Sebagai contoh untuk sistem koordinat silindris
(r, φ, z) maka h1 = 1, h2 = r, h3 = 1 mengingat elemen sisi-
sisinya disepanjang lengkungan r, φ, z adalah dr, rdφ, dan dz.
Elemen volumenya adalah h1 h2 h3 du1 du2 du3 .

21 / 1
Sistem Koordinat Lengkung Orthogonal: Gradien

Diketahui fungsi skalar Φ(u1 , u2 , u3 ). Sesuai dengan definisi maka


∇Φ merupakan sebuah vektor yang komponennya di suatu arah
adalah turunan arah (directional derivative) dari Φ pada arah
tersebut. Maka komponen dalam arah u1 adalah
∂Φ 1 ∂Φ
(∇Φ)1 = =
∂`1 h1 ∂u1
sehingga operator gradien dapat dituliskan secara lengkap

~a1 ∂Φ ~a2 ∂Φ ~a3 ∂Φ


∇Φ = + +
h1 ∂u1 h2 ∂u2 h3 ∂u3

22 / 1
Sistem Koordinat Lengkung Orthogonal: Divergensi

Untuk menghitung divergensi dari suatu medan vektor F ~ perlu kita


hitung aliran keluar netto per satuan volume dengan limit volume
mendekati nol. Misal komponen-komponen dari F ~ adalah
~a1 F1 , ~a2 F2 , dan ~a3 F3 . Maka aliran keluar melewati permukaan
OABCO adalah
1 ∂
Flux1 = −F1 h2 h3 du2 du3 + (F1 h2 h3 ) du1 du2 du3
2 ∂u1
sedangkan fluks untuk permukaan DEF GD adalah
1 ∂
Flux2 = F1 h2 h3 du2 du3 + (F1 h2 h3 ) du1 du2 du3
2 ∂u1

23 / 1
Sistem Koordinat Lengkung Orthogonal: Divergensi

Jika dijumlahkan aliran termasuk dua pasangan lainnya maka fluks


netto adalah
 
∂ ∂ ∂
Fluksnetto = (h2 h3 F1 ) + (h3 h1 F2 ) + (h1 h2 F3 ) du1 du2 du3
∂u1 ∂u2 ∂u3

sehingga berdasarkan definisi divergensi (yaitu aliran keluar netto


per satuan volume yang mendekati nol) maka dapat diperoleh
 
~ = 1 ∂ ∂ ∂
∇·F (h2 h3 F1 ) + (h3 h1 F2 ) + (h1 h2 F3 )
h1 h2 h3 ∂u1 ∂u2 ∂u3

24 / 1
Sistem Koordinat Lengkung Orthogonal: Curl

Komponen 1 dari curl dapat diperoleh dengan menghitung sirkulasi


di seputar lintasan OABCO dan dibagi dengan luas permukaan
yang ditutup oleh sirkulasi itu. Jadi dapat diperoleh
Z A Z C

F2 d`2 + F2 d`2 = −
(F2 h2 ) du2 du3
O B ∂u3
Z B Z O

F3 d`3 + F3 d`3 = (F3 h3 ) du2 du3
A C ∂u 2
 

~
 1 ∂ ∂
∴ ∇×F = (F3 h3 ) − (F2 h2 )
1 h2 h3 ∂u2 ∂u3

25 / 1
Sistem Koordinat Lengkung Orthogonal: Curl

Dengan menggunakan permutasi siklis dapat dituliskan operator


curl dalam koordinat lengkung adalah
 
~ ~a1 ∂ ∂
∇×F= (F3 h3 ) − (F2 h2 )
h2 h3 ∂u2 ∂u3
 
~a2 ∂ ∂
+ (F1 h1 ) − (F3 h3 )
h3 h1 ∂u3 ∂u1
 
~a3 ∂ ∂
+ (F2 h2 ) − (F1 h1 ) (3)
h1 h2 ∂u1 ∂u2

26 / 1
Sistem Koordinat Lengkung Orthogonal: Curl

Persamaan (3) dapat dituliskan dalam bentuk determinan sebagai


berikut
h1~a1 h2~a2 h3~a3


1
~ (4)
∂ ∂ ∂

∇×F=
∂u ∂u ∂u
h1 h2 h3
1 2 3


h F h F h F
1 1 2 2 3 3

27 / 1
Sistem Koordinat Lengkung: Cartesian {~ax , ~ay , ~az }

(x, y, z) {~ax , ~ay , ~az }


u1 = x u2 = y u3 = z
h1 = 1 h2 = 1 h3 = 1

∂Φ ∂Φ ∂Φ
∇Φ = ~ax + ~ay + ~az
∂x ∂y ∂z
~ ∂Fx ∂Fy ∂Fz
∇·F = + +
∂x ∂y ∂z
     
~ ∂Fz ∂Fy ∂Fx ∂Fz ∂Fy ∂Fx
∇×F = ~ax − + ~ay − + ~az −
∂y ∂z ∂z ∂x ∂x ∂y
∂2Φ ∂2Φ ∂2Φ
∇2 Φ = 2
+ 2
+
∂x ∂y ∂z 2

28 / 1
Sistem Koordinat Lengkung: Silindris {~ar , ~aφ , ~az }

(r, φ, z) {~ar , ~aφ , ~az }


u1 = r u2 = φ u3 = z
h1 = 1 h2 = r h3 = 1

∂Φ 1 ∂Φ ∂Φ
∇Φ = ~ar + ~aφ + ~az
∂r r ∂φ ∂z
~ 1 ∂ 1 ∂Fφ ∂Fz
∇·F = (rFr ) + +
r ∂r r ∂φ ∂z
     
~ 1 ∂Fz ∂Fφ ∂Fr ∂Fz 1 ∂(rFφ ) 1 ∂Fr
∇×F = ~ar − + ~aφ − + ~az −
r ∂φ ∂z ∂z ∂r r ∂r r ∂φ
1 ∂2Φ ∂2Φ
 
1 ∂ ∂Φ
∇2 Φ = r + 2 +
r ∂r ∂r r ∂φ2 ∂z 2

29 / 1
Sistem Koordinat Lengkung: Bola {~ar , ~aθ , ~aφ }

(r, θ, φ) {~ar , ~aθ , ~aφ }


u1 = r u2 = θ u3 = φ
h1 = 1 h2 = r h3 = r sin θ

∂Φ 1 ∂Φ ~aφ ∂Φ
∇Φ = ~ar + ~aθ +
∂r r ∂θ r sin θ ∂φ
~ 1 ∂ 2 1 ∂ 1 ∂Fφ
∇·F = (r Fr ) + (sin θ Fθ ) +
r2 ∂r r sin θ ∂θ r sin θ ∂φ
   
~ ~ar ∂ ∂Fθ ~aθ 1 ∂Fr ∂
∇×F = (Fφ sin θ) − + − (rFφ )
r sin θ ∂θ ∂θ r sin θ ∂φ ∂r
 
~aφ ∂ ∂Fr
+ (rFθ ) −
r ∂r ∂θ
∂2Φ
   
1 ∂ ∂Φ 1 ∂ ∂Φ 1
∇2 Φ = r 2
+ sin θ + 2
r2 ∂r ∂r r2 sin θ ∂θ ∂θ r sin2 θ ∂φ2

30 / 1
Persoalan Syarat-syarat Batas: Solusi ∇Φ = 0

Dalam sistem koordinat silinder (r, φ, z) atau {~ar , ~aφ , ~az }


persamaan Laplace untuk suatu medan skalar Φ(r, φ, z) dapat
dituliskan sebagai

1 ∂ ∂Φ 1 ∂2Φ ∂2Φ
∇2 Φ = r + 2 + =0 (5)
r ∂r ∂r r ∂φ2 ∂z 2
Φ = f (r)g(φ)h(z)
1 d df f h d2 g d2 h
gh r + 2 + f g =0
r dr dr r dφ2 dz 2

Persamaan ini dibagi dengan f gh dan dikalikan r2 akan


menghasilkan

31 / 1
Persoalan Syarat-syarat Batas

−ν 2
z }| {
1 d2 g
   2 
r d df 1d h
r + 2
+r 2
=0 (6)
f dr dr g dφ h dz 2

Suku kedua adalah sebuah fungsi dari φ saja, dan oleh karena itu
dapat mengakomodasi untuk semua harga-harga r, φ, z hanya jika
suku ini adalah konstanta. Jadi kita dapatkan

d2 g
+ ν 2g = 0 (7)
dφ2

di mana ν 2 merupakan sebuah konstanta pemisahan.

32 / 1
Persoalan Syarat-syarat Batas

Dalam banyak kasus praktis seluruh rentang 0 ≤ φ ≤ 2π


digunakan, dan karena Φ harus berharga tunggal, yaitu
Φ(2π) = Φ(0), maka ν harus merupakan bilangan bulat n. Dengan
demikian solusi persamaan untuk g adalah

g = B1 sin nφ + B2 cos nφ atau (8)


g = B1 ejnφ
+ B2 e −jnφ
(9)

yaitu jika ν = n. Sudah barang tentu persamaan-persamaan di


atas masih merupakan solusi meskipun n bukan bilangan bulat.

33 / 1
Persoalan Syarat-syarat Batas

Suku kedua pada persamaan (6) sekarang dapat diganti dengan


−ν 2 . Dengan menggunakan substitusi dan kemudian membaginya
dengan r2 akan menghasilkan

−kz2
z }| {
2 1 d2 h
 
1 d df ν
r − 2 + =0 (10)
rf dr dr r h dz 2

Setiap suku pada persamaan ini merupakan fungsi dengan sebuah


variabel saja dan harus sama dengan konstanta. Konsekuensinya
adalah bahwa
d2 h
2
+ kz2 h = 0 (11)
dz
 2 
1 d df ν
r − + k 2
z f =0 (12)
r dr dr r2

34 / 1
Persoalan Syarat-syarat Batas

Persamaan (11) merupakan jenis persamaan yang telah kita


ketahui sebelumnya dan mempunyai solusi dalam bentuk

h = C1 sin kz z + C2 cos kz z (13)

atau jika kz = jΓ dan Γ adalah riil maka

h = C1 sinh Γz + C2 cosh Γz (14)

Persamaan (12) merupakan fungsi Bessel, dan dua buah solusinya


yang saling independen disebut solusi Bessel jenis pertama dan
jenis kedua dengan order ν. Dalam kasus khusus di mana kz = 0
maka solusinya menjadi fungsi sederhana dalam r. Kita akan
memperhatikan kasus ini terlebih dahulu.

35 / 1
Persoalan Syarat-syarat Batas

Kasus kz = 0: Jika potensial tidak mempunyai variasi terhadap z,


konstanta pemisahan kz = 0 dan persamaan (12) menjadi

1 d df ν2
r − 2f = 0 (15)
r dr dr r
Marilah kita kaji bersama apakah sebuah fungsi sederhana seperti
f = rα merupakan solusi. Substitusi ke dalam persamaan (15)
akan memberikan hasil
1 d drα
− ν 2 rα−2 = α2 − ν 2 rα−2 = 0

r
r dr dr
Jadi rα merupakan sebuah kemungkinan solusi dengan catatan
bahwa α = ±ν.

36 / 1
Persoalan Syarat-syarat Batas

Sebuah solusi umum Φ dalam hal ini adalah (untuk


ν = 0, f = Ao ln r)

X
Φ= [ rn (An sin nφ + Bn cos nφ) + Ao ln r
n=1
+ r−n (Cn sin nφ + Dn cos nφ)


di sini kita telah memilih ν = n dan An , Bn , Cn , Dn adalah


konstanta-konstanta.

37 / 1
Persoalan Syarat-syarat Batas

Kasus kz 6= 0: Jika kz 6= 0 maka fungsi f (r) adalah sebuah solusi


persamaan Bessel orde n yaitu ν = n

ν2
 
1 d df
r + Γ2 − 2 f = 0 (16)
r dr dr r

di mana kita telah memilih kz = jΓ. Substitusi sebuah deret


pangkat untuk r ke dalam persamaan ini akan menunjukkan
bahwa kedua solusi itu bersifat independen

(−1)m (Γr/2)n+2m
(17)
X
Jn (Γr) =
m!(n + m)!
m=0

38 / 1
 
2 Γr
Yn (Γr) = γ + ln Jn (Γr)
π 2

1 X (n − m − 1)! 2 n−2m
 

π m! Γr
m=0

(−1)m (Γr/2)n+2m

1 X 1 1 1
− 1 + + + ··· + +1
π m!(n + m)! 2 3 m
m=0

1 1 1
+ + + ··· + (18)
2 3 n+m

di mana γ = 0, 5772. Persamaan (17) mendefinisikan fungsi Bessel


jenis pertama order n dan persamaan (18) mendefinisikan fungsi
Bessel jenis kedua orde n. Tabel dari harga harga fungsi-fungsi ini
tersedia dalam berbagai Tabel Matematika.

39 / 1
1

J0 (x)
0.5 J1 (x)

−0.5 J2 (x)
−2 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22
x

40 / 1
Fungsi Bessel jenis pertama orde n :


X (−1)m (Γr/2)n+2m
Jn (Γr) =
J(x) or Y (x) m=0
m!(n + m)!
1

Fungsi Bessel jenis kedua orde n :


0.75

0.5
 
0.25 2 Γr
Yn (Γr) = γ + ln Jn (Γr)
π 2
2.5 5 7.5 10 12.5 15 17.5 20
−0.25 x ∞
1 X (n − m − 1)!
 n−2m
2
−0.5 −
π m=0 m! Γr
−0.75

−1 1 X (−1)m (Γr/2)n+2m

J0 (x) J1 (x) π m=0 m!(n + m)!
J2 (x) Y0 (x) 
Y1 (x) Y2 (x) 1 1 1
1+ + + ··· + +1
2 3 m

1 1 1
+ + + ··· +
2 3 n+m

41 / 1
Problema Syarat-syarat Batas

Sebagaimana dapat dilihat pada persamaan (18), fungsi Yo (Γr)


mempunyai titik singuler logaritmis di titik r = 0. Untuk problema
yang melibatkan titik asal, fungsi ini tidak akan termasuk ke dalam
solusi kecuali jika sebuah sumber garis berada di titik asal. Untuk
n > 0, Yn mempunyai sebuah singuler dengan order r−n . Untuk
harga-harga r yang besar, fungsi Bessel akan menjadi fungsi
sinusoidal teredam (lihat Gambar):
r
2 π nπ 
(19)

lim Jn (Γr) = cos Γr − −
r→∞ Γrπ 4 2
r
2 π nπ 
(20)

lim Yn (Γr) = sin Γr − −
r→∞ Γrπ 4 2

42 / 1
Problema Syarat-syarat Batas

Jika kz adalah riil, maka Γ adalah imajiner (ingat bahwa kz = jΓ).


Dalam hal ini dua buah solusi persamaan Bessel masih diberikan
oleh persamaan (17) dan (18). Meskipun demikian, untuk
mudahnya, sebuah simbol baru akan digunakan untuk menyatakan
fungsi Bessel dengan argumen imajiner, yaitu

In (x) = j −n Jn (jx) = j n Jn (−jx) (21)


π
Kn (x) = j n+1 [Jn (jx) + jYn (jx)] (22)
2
Fungsi-fungsi In dan Kn didefinisikan sehingga mereka adalah riil
jika x adalah riil. In disebut fungsi Bessel yang telah dimodifikasi
jenis pertama dan Kn adalah fungsi Bessel yang telah dimodifikasi
jenis kedua.

43 / 1
Problema Syarat-syarat Batas

Pada definisi Kn sebuah kombinasi linier Jn (jx) dan Yn (jx) dipilih


agar Kn (x) merupakan sebuah fungsi eksponensial yang meluruh
untuk harga-harga yang besar. Jika harga x amat besar maka
harga-harga asimtotis dari In dan Kn adalah
ex
lim In (x) = √ (23)
x→∞ 2πx
r
π −x
lim Kn (x) = e (24)
x→∞ 2x

Perlu diingatkan di sini bahwa fungsi-fungsi tersebut di atas tidak


pernah sama dengan nol dan hanya Kn (x) adalah tertentu (habis)
di titik tak hingga.

44 / 1
Problema Syarat-syarat Batas

Rumus-rumus Diferensiasi
dJo (Γr)
Jo0 (Γr) = = −J1 (Γr) (25)
d(Γr)
xJn0 (x) = nJn (x) − xJn+1 (x) (26)

di mana x ditulis untuk menyatakan Γr.


Rumus Rekurensi
2n
Jn (x) = Jn+1 (x) + Jn−1 (x) (27)
x
Jika Jn−1 dan Jn diketahui maka dengan rumus rekurensi ini
dapat ditentukan harga Jn+1 . Rumus-rumus ini juga berlaku jika
Jn diganti Yn .

45 / 1
Problema Syarat-syarat Batas

Integral
Z
x h
xJn (αx)Jn (βx) dx = βJn (αx)Jn−1 (βx)
α2 − β 2
(28)
i
−α Jn−1 (αx) Jn (βx)

di mana α 6= β, dan juga

x2 h 2
Z i
xJn2 (αx) dx = Jn (αx) − Jn−1 (αx)Jn+1 (αx)
2
x2 n2
   
02 2
= Jn (αx) + 1 − 2 2 Jn (αx)
2 α x
(29)

46 / 1
Problema Syarat-syarat Batas

Fungsi Bessel mempunyai sifat orthogonalitas yang memungkinkan


sebuah fungsi sembarang f (r) yang terdefinisi dalam selang
0 ≤ r ≤ a diekspansi ke dalam bentuk deret sejenis deret Fourier.
Fungsi f (r) sekurang-kurangnya harus piecewise continous jika
ekspansi itu diharapkan sahih. Misal Γmn , di mana
m = 1, 2, 3, · · · , merupakan barisan harga-harga Γ yang
menyebabkan Jo (Γa) = 0; atau dengan kata lain Γnm a adalah
akar ke mth dari Jn (x) = 0. Untuk dua akar sembarang dari
Jn (x) = 0, katakanlah Γnm dan Γns kita dapatkan:

n2
   
1 d dJn (Γnm r) 2
Jn (Γns r) r + Γnm − 2 Jn (Γnm r) = 0
r dr dr r
n2
   
1 d dJn (Γns r) 2
Jn (Γnm r) r + Γns − 2 Jn (Γns r) = 0
r dr dr r

47 / 1
Problema Syarat-syarat Batas

Kurangkan kedua persamaan ini, kalikan dengan r, dan


integrasikan variabel r dalam selang 0 ≤ r ≤ a akan menghasilkan
Z a
2 2
(Γnm − Γns ) rJn (Γnm r)Jn (Γnm r)Jn (Γns r) dr
0
Z a
d dJn (Γns r)
= Jn (Γnm r) r
0 dr dr

d dJn (Γnm r)
−Jn (Γns r) r dr
dr dr

Integrasikan parsial sisi kanan dari persamaan di atas akan


menghasilkan

48 / 1
Problema Syarat-syarat Batas

Z a
(Γ2nm − Γ2ns ) rJn (Γnm r)Jn (Γns r)dr
0
dJn (Γnm r) a
 
dJn (Γns r)
= r Jn (Γnm 2) − Jn (Γns r)
dr dr 0
Z a  
dJn (Γns r) dJn (Γnm r) dJn (Γnm r) dJn (Γns r)
− r − dr
0 dr dr dr dr

Integran di sisi kanan sama dengan nol. Demikian pula, suku-suku


hasil integrasi sama dengan nol karena r = 0 pada limit harga
rendah dan untuk limit harga tinggi diperoleh
Jn (Γnm a) = Jn (Γns a) = 0.

49 / 1
Problema Syarat-syarat Batas

Jadi dapat kita lihat bahwa


Z a
rJn (Γnm r)Jn (Γns r) dr = 0 m 6= s (30)
0

Berdasarkan cara penurunan persamaan (??) maka juga akan


benar jika Γnm dan Γns sedemikian hingga

dJn (Γnm r) dJn (Γns r)


= =0 di titik r = a
dr dr
atau jika Γnm membuat Jn (Γnm a) = 0 dan Γns memenuhi
Jn0 (Γns r) = 0. Sifat-sifat orthogonalitas ini sangat mirip dengan
orthogonalitas fungsi-fungsi sinusoidal sin nx dan cos nx dalam
selang 0 ≤ x ≤ 2π.

50 / 1
Problema Syarat-syarat Batas

Ingat sifat-sifat orthogonalitas dari fungsi-fungsi sinusoidal:


Z a
nπx mπx
sin sin dx = 0 n 6= m
0 a a
Z a
nπx a
sin2 dx =
0 a 2

51 / 1
Contoh

Diketahui suatu silinder berjari-jari a dan panjang d. Sumbu


silinder berimpit dengan sumbu koordinat z. Di ujung z = d
diketahui bahwa Φ = Φo sedangkan diselubung lainnya diketahui
bahwa Φ = 0. Jika ditentukan bahwa medan potensial skalar
Φ(r, φ, z) di dalam silinder memenuhi persamaan Laplace maka
tentukanlah Φ(r, φ, z) tersebut.

52 / 1
Solusi

Solusi itu akan mempunyai bentuk Φ(r, φ, z) = f (r)g(φ)h(z).


Karena diketahui bahwa Φ di selubung lengkungnya berharga sama,
yaitu sama dengan nol, maka artinya Φ tidak tergantung pada φ
sehingga g(φ) sama dengan konstan. Selanjutnya mengingat Φ di
titik r = 0 mempunyai harga (bukan titik singuler) maka solusi
f (r) mempunyai bentuk Jo (Γr). Karena solusi harus berupa fungsi
r yang berharga nol di r = a maka yang dipilih bukanlah I − o
atau Ko mengingat kedua fungsi ini tidak pernah berharga nol.
Solusi h(z) harus berbentuk hiperbolik yang berbentuk sinh Γz
agar dapat memenuhi syarat Φ = 0 di z = 0. Karena Φ = 0 di
r = a maka dipilih Γom yang membuat Jo (Γa) = 0

53 / 1
Solusi

Jadi solusi umumnya akan berbentuk



(31)
X
Φ= Am J0 (Γ0m r) sinh Γ0m z
m=1

Konstanta Am ditentukan dari syarat bahwa Φ = Φ0 di


z = d, 0 ≤ r ≤ a. Maka untuk z = d diperoleh

X
Φ0 = Am J0 (Γ0m ) sinh Γ0m d
m=1

Kalikan kedua sisi dengan rJ0 (Γ0n r)dr dan integrasikan dalam
selang 0 ≤ r ≤ a maka diperoleh
Z a Z a
Φo rJo (Γ0n r)dr = An sinh Γ0n d rJ02 (Γ0n r) dr (32)
0 0

yaitu dengan memanfaatkan sifat orthogonalitas.


54 / 1
Solusi

Dari rumus integral untuk fungsi Bessel dapat diperoleh


" #a
dJ0 (Γ0n r) 2
Z a
r2

2 2
rJ0 (Γ0n r) dr = + J0 (Γ0n r)
0 2 d(Γ0n r)
0
a2 0 a2
= J02 (Γ0n a) = J12 (Γ0n a) (33)
2 2
Selanjutnya dengan menggunakan
Z
(Γx)(n+1) Jn (Γx)d(Γx) = (Γx)n+1 Jn+1 (Γx) (34)

dapat diperoleh
Z a a
Φ0
Φ0 rJ0 (Γ0n r) udr = 2 (Γ0n r)J1 (Γ0n r)
0 Γ0n 0
Φ0
= aJ1 (Γ0n a) (35)
Γ0n
55 / 1
Solusi

Gabungan antara (??) dan (??) memberikan solusi untuk An yaitu

2Φ0
An = (36)
Γ0n aJ1 (Γ0n a) sinh Γ0n d

AKhirnya substitusikan ke dalam persamaan (??) dapat diperoleh


solusi untuk Φ yaitu

J0 (Γ0n r) sinh Γ0n z
(37)
X
Φ = 2Φ0
Γ0n aJ1 (Γ0n a) sinh Γ0n d
n=1

56 / 1
Solusi

Jika diketahui bahwa Φ harus sama dengan nol di z = 0 dan z = d


maka h(z) harus dipilih dalam bentuk sin(mπz/d) untuk
m = 1, 2, · · · . Dalam hal ini maka fungsi Bessel yang harus
digunakan adalah salah satu dari I0 (mπr/d) atau K0 (mπr/d).
Namun hanya I0 yang mempunyai harga tertentu di r = 0.
Dengan demikian maka solusinya akan mempunyai bentuk
∞  mπr 
X mπz
Φ= Am I0 sin
d d
m=1

Selanjutnya jika diketahui di r = a diketahui misal Φ = V (z) maka


dapat ditentukan An .

57 / 1
Solusi

Jika Φ di r = a mempunyai ketergantungan terhadap φ maka


solusinya akan mempunyai bentuk
∞ X
∞   mπr  mπz
(38)
X 
Φ= Cnm cos nφ + Bn sin nφ In sin
d d
n=0 m=1

Dalam hal ini harus dilakukan integral dua kali untuk memperoleh
koefisien-koefisien Cnm dan Bn .

58 / 1
Koordinat Silang

Dalam koordinat silang persamaan Laplace untuk potensial skalar Φ dapat dituliskan
sebagai berikut
∂2Φ ∂2Φ ∂2Φ
2
+ 2
+ =0 (39)
∂x ∂y ∂z 2
Untuk menentukan apakah persamaan ini dapat dipisahkan atau tidak dalam koordinat
silang, kita asumsikan sebuah solusi Φ dalam bentuk perkalian sebagai berikut

Φ = f (x)g(y)h(z) (40)

di mana f, g, dan h merupakan fungsi-fungsi berturut-turut dalam x, y, dan z saja.


Substitusikan ke dalam persamaan (??) akan memberikan

ghf 00 + f hg 00 + f gh00 = 0

di mana f 00 = d2 f /dx2 , g 00 = d2 g/dy 2 , dan h00 = d2 h/dz 2 . Dibagi dengan f gh akan


diperoleh
f 00 g 00 h00
+ + =0 (41)
f g h

59 / 1
Koordinat Silang

Setiap suku merupakan fungsi satu variabel saja; misalnya, f 00 /f tergantung pada x
saja. Jika kita jaga y dan z konstan dan divariasikan x saja maka suku f 00 /f mungkin
juga akan bervariasi. Meskipun demikian, jumlah ketiga suku harus sama dengan nol,
dan oleh karena itu setiap suku harus sama dengan sebuah konstan agar persamaan
(??) memenuhi semua harga-harga sembarang dari x, y, dan z. Jadi kita harus
mempunyai persamaan-persamaan sebagi berikut

d2 f
+ kx2 f = 0 (42)
dx2
d2 g
+ ky2 g = 0 (43)
dy 2
d2 h
+ kz2 h = 0 (44)
dz 2

di mana kx , ky , dan kz adalah konstanta-konstanta pemisahan. Satu-satunya kendala


bagi ke tiga konstanta ini adalah bahwa

kx2 + ky2 + kz2 = 0 (45)

60 / 1
Koordinat Silang

Jika kx = 0 tetapi ky dan kz tidak sama dengan nol maka dari


persamaan (27) dapat diperoleh kz = ±jky . Bila kx = 0 maka
solusi untuk persamaan (??) adalah f = A1 x + A2 di mana A1
dan A2 merupakan sembarang konstanta. Solusi untuk persamaan
(??), dengan ky2 dipilih positif adalah
g = B1 sin ky y + B2 cos ky y
di mana B1 dan B2 adalah sembarang konstanta. Solusi ini dapat
dibuktikan melalui substitusi ke dalam persamaan (??). Mengingat
kz2 = −ky2 maka persamaan (??) menjadi
d2 h
− ky2 h = 0
dz 2
dengan sebuah solusi umum dalam bentuk
h = C1 sinh ky z + C2 cosh ky z
di mana C1 dan C2 merupakan konstanta-konstanta.
61 / 1
Koordinat Silang

Pada solusi di atas kita dapat juga menggunakan solusi dalam


bentuk eksponensial

g = B1 ejky y + B2 e−jky y
h = C1 eky z + C2 e−ky z

Berdasarkan teori kalkulus, setiap dua buah solusi independen


membentuk sebuah solusi umum untuk persamaan diferensial
parsial orde dua. Dalam kasus ini solusi untuk Φ adalah
Φ = f gh = (A1 x + A2 )(B1 sin ky y + B2 cos ky y)(C1 sinh ky z + C2 cosh ky z) (46)

Konstanta-konstanta pada persamaan (??) umumnya dapat


ditentukan dengan syarat-syarat batas. Jika ky2 dipilih sama
dengan konstanta berharga negatif maka fungsi hiperbolik akan
bertukar tempat dengan fungsi goniometrik.

62 / 1
Koordinat Silang

Jika kx = ky = 0 maka kz = 0 agar persamaan (27) dapat


dipenuhi. Dalam hal ini solusinya adalah dalam bentuk

Φ = (A1 x + A2 )(B1 y + B2 )(C1 z + C2 ) (47)

Jika kx dan ky kedua-duanya adalah konstanta-konstanta riil,


maka dari persamaan (27) dapat diperoleh

(48)
1/2
kz = ±j kx2 + ky2

Dalam hal ini solusi umumnya adalah


Φ = f gh = (A1 sin kx x+A2 cos kx x)(B1 sin ky y+B2 cos ky y)(C1 sinh |kz |z+C2 cosh |kz |z)
(49)
di mana |kz | = kx2 + ky2 . Variasi lain dari persamaan (??)
1/2

dapat diturunkan melalui permutasi siklis dari variabel-variabelnya.

63 / 1
CONTOH

z
Carilah solusi persamaan
H G Laplace Φ(x, y, z) di dalam se-
buah balok jika Φ(x, y, z) = 0
D C di semua sisinya kecuali
di sisi BF GC di mana
y Φ(x, y, z) = V (x, z). Panjang
E
F sisi-sisi AE = a, EF = b dan
A B EH = c (lihat Gambar).
x

64 / 1
SOLUSI

Syarat batas Φ = 0 pada dua buah bidang x = 0, a harus dipenuhi


untuk semua harga y dan z di bidang ini. Syarat ini dipenuhi jika
f (x) mempunyai harga nol di x = 0, a. Solusi untuk f (x)
mempunyai bentuk

f (x) = A1 x + A2 kx = 0
f (x) = A1 sin kx x + A2 cos kx x kx 6= 0

maka jelas bahwa solusi untuk kx = 0 hanya akan dipenuhi jika A1


dan A2 sama dengan nol. Dengan demikian solusi kedualah yang
harus dipilih. Agar f (x) sama dengan nol di x = 0 maka harus
dipilih A2 = 0. Dengan demikian maka

f (x) = A1 sin kx x

65 / 1
SOLUSI

Tetapi f (x) juga harus sama dengan nol untuk x = a yang berarti bahwa sin kx a = 0.
Keadaan ini memberikan harga kx sama dengan


kx = n = 1, 2, 3, · · ·
a

Fungsi sin(nπx/a) disebut eigenfunction dan nπ/a disebut sebagai eigenvalue.


Dengan demikian solusi umum untuk f (x) dapat dituliskan sebagai


nπx
(50)
X
f (x) = An sin
n=1
a

dengan An adalah konstanta-konstanta yang masih perlu dicari harganya.


Segala sesuatu yang digunakan untuk mendapatkan solusi f (x) dapat juga digunakan
untuk mencari h(z). Oleh karena itu tidak terlalu sulit untuk mendapatkan solusi
umum h(z) yang mempunyai harga nol di z = 0, c yaitu


mπz
(51)
X
h(z) = Bm sin m = 1, 2, 3, · · ·
m=1
c

66 / 1
SOLUSI

Jelas bahwa solusi f h ke nm memerlukan kx2 = (nπ/a)2 dan


kz2 = (mπ/c)2 . Harga ky yang terkait dihitung dengan
memperhatikan syarat

kx2 + ky2 + kz2 = 0

atau dengan demikian dapat diperoleh


 1/2
nπ 2  mπ 2
ky = ±j + = ±jΓnm
a c

Karena kx dan kz riil maka persoalan ini termasuk ke dalam jenis


kasus ke 3 dengan solusi umum seperti diberikan oleh persamaan
(??) Dari dua buah kemungkinan solusi sinh ky y dan cosh ky y
untuk g(y), fungsi sinus hiperbolis yang harus dipilih karena fungsi
inilah satu-satunya yang menjamin solusi akan sama dengan nol di
y = 0.
67 / 1
CONTOH

Dengan demikian bentuk solusi umum untuk Φ adalah

∞ X

nπ 2  mπ 2 1/2
 
nπx mπz
(52)
X
Φ= An Bm sin sin sinh + z
n=1 m=1
a c a c

Perhatikanlah bahwa persoalan syarat batas ini masuk dalam katagori kasus nomor 3.
Untuk menghitung koefisien-koefisien An dan Bm kita akan menggunakan syarat
batas terakhir di y = b. Dari persamaan (??) kita dapatkan

∞ X

nπx mπz
(53)
X
V (x, z) = Cnm sin sin
n=1 m=1
a c

di mana untuk kenyamanan analisis telah digunakan notasi

 1/2
nπ 2  mπ 2
Cnm = An Bm sinh + c
a c
= An Bm sinh Γnm c

68 / 1
SOLUSI

Fungsi-fungsi eigen sin(nπx/a) dan sin(mπ/c) yang muncul di


persamaan (??) mempunyai sifat orthogonalitas sehingga
memungkinkan harga Cnm untuk dihitung. Sifat orthogonalitas ini
akan memberikan harga nol untuk integral sebagai berikut:
Z a
nπx sπx
sin sin dx = 0 n 6= s (54)
0 a a
Z c
mπz sπz
sin sin dz = 0 m 6= s (55)
0 c c
Jika n = s atau m = s maka akan diperoleh
Z a
nπx a
sin2 dx = (56)
a 2
Z 0c
mπz b
sin2 dy = (57)
0 c 2
Sifat-sifat orthogonalitas yang mirip seperti di atas juga akan
ditemui untuk sistem koordinat lainnya.
69 / 1
SOLUSI

Jika kedua sisi persamaan (??) dikalikan dengan sin(sπx/a) dan


sin(tπz/c) di mana s dan t merupakan bilangan-bilangan bulat,
maka akan kita peroleh
Z aZ c
sπx tπz ac
V (x, z) sin sin dxdz = Cst (58)
0 0 a c 4

Persamaan (??) merupakan suatu deret Fourier 2-D untuk V (x, z)


dan dengan menggunakan sifat-sifat orthogonalitas dari
fungsi-fungsi eigen maka Cst dapat dihitung. Jika V (x, z)
diketahui maka persamaan (??) dapat dievaluasi.

70 / 1
SOLUSI

Misal diketahui bahwa V (x, z) mempunyai bentuk sebagai berikut:


πx πz
V (x, z) = V0 sin sin
a c
maka berdasarkan sifat orthogonalitas jelas bahwa semua harga
Cst akan sama dengan nol kecuali C11 yang berdasarkan
persamaan (??) akan mempunyai harga sama dengan V0 . Dengan
demikian solusi dari Φ adalah
πx πz sinh Γ11 y
Φ = C11 sin sin
a c sinh Γ11 b
V0 πx πz
= sin sin sinh Γ11 y (59)
sinh Γ11 b a c
di mana telah digunakan
 π 2  π 2
Γ211 = +
a c
71 / 1
SOLUSI
Seandainya diketahui bahwa V (x, z) mempunyai bentuk

πz
V (x, z) = V0 sin
c

maka semua Cst untuk t 6= 1 akan sama dengan nol. Maka dengan menggunakan
persamaan (??) harga Cst dapat dicari sebagai berikut

ac
Z a Z
sπxc πz
Cs1 = sin2
V0 sin dxdz
4 0 0 a c
Z a
Vab sπx
= sin dx
2 0 a
sπx a

V0 c a V0 c a
= − cos = (1 − cos sπ)
2 sπ a 0 2 sπ
V0 ac
= s = 1, 3, 5, · · ·

Dengan demikian Cs1 = 4V0 /sπ, dan solusi untuk Φ adalah


4V0 sπx πz sinh Γs1 y
(60)
X
Φ= sin sin
s=1,3,5,···
sπ a c sinh Γs1 b

72 / 1
Koordinat Bola

Pada koordinat bola persamaan Laplace dapat dituliskan menjadi

∂2Φ
   
1 ∂ ∂Φ 1 ∂ ∂Φ 1
∇2 Φ = 2 r2 + 2 sin θ + 2 2 =0
r ∂r ∂r r sin θ ∂θ ∂θ r sin θ ∂φ2
(61)
Seperti sebelumnya, kita asumsikan suatu solusi dalam bentuk
perkalian f (r)g(θ)h(φ). Substitusikan solusi ini ke dalam
persamaan (??) dan kemudian bagi dengan f gh/(r2 sin2 θ) akan
menghasilkan persamaan sebagai berikut

−n2
 z }|2 {
sin2 θ ∂
  
∂f sin θ ∂ ∂g 1∂ h
r2 + sin θ + =0 (62)
f ∂r ∂r g ∂θ ∂θ h ∂φ2

73 / 1
Koordinat Bola

Agar persamaan (??) sama dengan nol untuk semua harga


r, θ, dan φ maka harus dipenuhi syarat

∂2h
+ n2 h = 0 (63)
∂φ2

di mana n2 adalah konstanta pemisahan. Argumentasinya sama


dengan apa yang sudah dibahas dalam koordinat lainnya; perlu
dilihat di sini bahwa kedua suku pertaman pada persamaan (??)
adalah fungsi dari r dan θ saja sedangkan suku ketiga hanya fungsi
dari φ saja. Untuk problema yang melibatkan seluruh jelajah
0 ≤ φ ≤ 2π, konstanta n harus merupakan bilangan bulat,
sehingga h berharga tunggal, sehingga h(2π) = h(0). Solusi
persamaan (??) dengan demikian adalah

h(φ) = C1 cos nφ + C2 sin nφ (64)

74 / 1
Koordinat Bola

Gantikan suku (1/h)(∂ 2 h/∂φ2 ) dengan −n2 pada persamaan (??)


dan bagi selurunya dengan sin2 θ akan diperoleh hasil
−m(m+1)
z  }|  {
n2
 
1 ∂ ∂f 1 ∂ ∂g
r2 + sin θ − =0 (65)
f ∂r ∂r g sin θ ∂θ ∂θ sin2 θ

Suku pertama hanya merupakan fungsi dari r saja, sedangkan


suku-suku sisanya hanya merupakan fungsi θ saja. Penjumlahan itu
akan sama dengan nol untuk semua harga r dan θ jika setiap suku
sama dengan konstanta. Oleh karena itu kita dapat memilih
 
∂ 2 ∂f
r − m(m + 1)f = 0 (66)
∂r ∂r

di mana m(m + 1) adalah konstanta pemisahan. Bentuk m(m + 1)


dipilih untuk alasan-alasan yang akan dijelaskan kemudian.
75 / 1
Koordinat Bola

Dapat dengan mudah dibuktikan bahwa solusi persamaan (??)


akan mempunyai bentuk

f (r) = B1 rm + B2 r−(m+1) (67)

Berdasarkan persamaan-persamaan (??) dan (??) maka g(θ) harus


memenuhi persamaan diferensial sebagai berikut

n2
   
d dg
sin θ + m(m + 1) sin θ − g=0 (68)
dθ dθ sin θ

Persamaan ini disebut persamaan Legendre. Bentuk standard dari


persamaan ini dapat diturunkan dengan substitusi cos θ = u
sehingga diperoleh
d d du d
= = −(1 − u2 )1/2
dθ du dθ du

76 / 1
Koordinat Bola

Dengan demikian persamaan Legendre dapat dituliskan kembali


dalam bentuk
n2
 
d 2 dg(u)
(1 − u ) + m(m + 1) − g(u) = 0 (69)
du du 1 − u2
Solusi-solusi dari persamaan ini adalah fungsi-fungsi Legendre
terkait yang akan segera kita bahas secara singkat di sini.
Untuk keadaan khusus n = 0 persamaan di atas dapat dituliskan
kembali sebagai
d dg
(1 − u2 ) + m(m + 1)g = 0 (70)
du du
Jika konstanta pemisahan tidak dipilih dalam bentuk m(m + 1)
dengan m = 0, 1, 2, · · · , maka semua solusi persamaan-persamaan
(??) dan (??) menjadi tak hingga untuk u = 1 maupun u = −1
yaitu bila θ = 0, π. Solusi ini tidak cocok untuk problema fisis
yang melibatkan sumbu-sumbu polar.
77 / 1
Koordinat Bola

Sebagai sebuah persamaan diferensial orde dua, persamaan (??)


mempunyai dua buah solusi independen. Kedua solusi itu disebut
fungsi-fungsi Legendre jenis pertama, Pm o (u), dan jenis kedua

Qm (u). Jika m adalah bilangan bulat maka Pm


o o merupakan sebuah

polinomial hingga dalam u. Tetapi Qom mempunyai sebuah titik


singuler titik-titik θ = 0, π. Pada pembahasan berikut ini kita akan
mengasumsikan bahwa sumbu-sumbu polar termasuk dalam
wilayah yang kita amati dan tidak terdapat titik singuler di sana
sehingga fungsi-fungsi Legendre jenis kedua tidak perlu
diperhitungkan. Jika n 6= 0 maka solusi-solusi persamaan (??)
akan tetap tertentu di titik-titik pole dari Pm
n (u) di mana m dan n

adalah bilangan bulat positif.

78 / 1
Koordinat Bola

Polinomial-polinomial Pm
n dapat dicari dengan menggunakan persamaan sebagai

berikut
(1 − u2 )m/2 dn+m (u2 − 1)m
n
Pm (u) = (71)
2m m! dun+m
Sejumlah polinomial Legendre diberikan di bawah ini dan dapat dikonfirmasikan
dengan menggunakan persamaan (??) di atas

Poo = 1 (72)
1 d 2
P1o = (u − 1) = u = cos θ (73)
2 du
P2 = (3/2) cos2 θ − 1/2 = (3/4) cos 2θ + 1/4
o
(74)
P3o 3
= (1/2)(5 cos θ − 3 cos θ) (75)
P11 = sin θ (76)
P21 = (3/2) sin 2θ (77)
n
Pm =0 n>m (78)

Sifat-sifat orthogonalitas dari fungsi Legendre dapat diturunkan sebagaimana fungsi


Bessel yang telah dibahas sebelumnya.

79 / 1
Koordinat Bola

Dapat diperoleh sifat-sifat orthogonalitas sebagai berikut


Z 1 Z π
Pmn n
P` = n n
Pm P` sin θ dθ = 0 m 6= ` (79)
−1 0
Z 1 Z π
du dθ
n `
Pm Pm = n `
Pm Pm =0 n 6= ` (80)
−1 1 − u2 0 sin θ

Jika m = ` atau n = ` kita dapatkan


Z 1 Z π
2 (m + n)!
n 2
(Pm ) du = [Pmn
(cos θ)]2 sin θ dθ =
−1 0 2m + 1 (m − n)!
(81)
Dengan menggunakan rumus ini sebuah sembarang fungsi kontinu
g(θ) dapat diuraikan ke dalam bentuk sejenis deret Fourier dengan
suku-sukunya berupa polinomial Pmn.

80 / 1
Koordinat Bola

Solusi umum dari persamaan Laplace dalam koordinat bola,


berdasarkan asumsi-asumsi di atas, sekarang dapat dituliskan
sebagai
∞ X
X m  
Φ(r, θ, φ) = An cos nφ + Bn sin nφ
m=0 n=0

(82)
 
Cm rm + Dm r−(m+1) )Pm
n
(cos θ

Penjumlahan terhadap n berakhir di n = m karena untuk n > m


harga Pm n sama dengan nol. Koefisien-koefisien

An , Bn , Cm , dan Dm dapat ditentukan dari syarat-syarat batas


yang harus dipenuhi oleh Φ.

81 / 1
Contoh Kalkulus Vektor

Persamaan Navier-Stokes (Mekanika Fluida):

du 1
= −(u · ∇) · u − ∇p + γ∇2 u + f (83)
dt ρ

u adalah kecepatan, ρ adalah kerapatan (density), p adalah


tekanan, f adalah gaya, dan γ adalah viskositas. Hukum Fick
(perpindahan panas) yang menyatakan bahwa perpindahan panas
sebanding dengan negatif gradien temperatur:

q = −k∇T (84)

Dalam medan magnet dapat ditemui persamaan Maxwell

~
∂B
~ =−
∇×E (85)
∂t

82 / 1
83 / 1
84 / 1
85 / 1
86 / 1
87 / 1
88 / 1
89 / 1
90 / 1
91 / 1
92 / 1
93 / 1
94 / 1
95 / 1
96 / 1
97 / 1
98 / 1
99 / 1
100 / 1
101 / 1
102 / 1
103 / 1
104 / 1
105 / 1
106 / 1

Anda mungkin juga menyukai