Anda di halaman 1dari 6

Distribusi Batimetri Ikan Notothenioid

Annisa Nur Fatimah1, Devida Thalia Salsabella1, Christopher Clement1*, Michael Ronaldi1, dan
Nabila Desiana Permatasari1
1
Departemen Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga, Surabaya, Indonesia

*Corresponding author: christopher.clement-2018@fst.unair.ac.id

Abstrak
Distribusi suatu organisme pada lokasi tertentu dipengaruhi oleh berbagai faktor di antaranya
adalah faktor fisika dan kimia lingkungan serta faktor bawaan biologis organisme tersebut. Dalam
makalah ini dilakukan suatu studi jurnal dengan tujuan untuk mengetahui distribusi dari organisme
perairan yang dipengaruhi oleh batimetri (kedalaman). Batimetri merupakan ukuran kedalaman
daerah perairan laut yang diukur dari atas permukaan air sampai ke dasar laut sehingga distribusi
yang diamati berdasarkan suatu nilai batimetrik merupakan distribusi verikal atau altitudinal.
Distribusi batimetri di perairan laut dibagi menjadi zona litoral, zona neritik, zona pelagik, zona
abyssal, dan zona hadal. Dimana terdapat dua faktor yang mempengaruhi yaitu faktor primer dan
sekunder. Dalam penulisan ini dilakukan sebuah studi mengenai faktor batimetrik terhadap
distribusi ikan Notothenioid yang sebagian besar menghuni perairan Antartika dan sub-Antartika,
namun juga dapat ditemukan di daerah non-Antartika. Penelitian oleh Eastman (2017) berhasil
mengamati perseberan vertikal ikan Notothenioid di berbagai kedalaman perairan. Hasil penelitian
menunjukan ikan Notothenioid mampu hidup di perairan dangkal non-Antartika dan pada perairan
yang lebih dalam karena dapat beradaptasi dengan temperatur yang rendah dan cahaya yang sedikit
selain itu ikan ini diuntungkan karena dapat menyimpan energi akibat tidak adanya swim bladder.

Kata kunci: Distribusi, batimetri, Notothenioid.

PENGANTAR
Distribusi organisme dapat dikatakan sebagai cara di mana suatu takson biologis diatur secara
spasial (Turner, 2006). Oleh karena itu setiap organisme dalam habitatnya selalu dipengaruhi oleh
berbagai hal yang ada disekelilingnya atau juga disebut sebagai faktor pembatas. Organisme hidup
akan bereaksi terhdap variasi lingkungan sehingga akan membentuk hubungan nyata antara
lingkungan dan organisme. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi distribusi organisme dapat
berupa faktor fisika dan kimia lingkungan serta sifat biologis organisme tersebut (Odum, 1993).
Pada habitat perairan seperti laut, distribusi organisme dapat bergantung dari batimetri. Batimetri
dapat dikatakan sebagai petunjuk tinggi rendahnya dasar laut. Batimetri sendiri tebentuk karena
pengaruh besarnya arus dan transport sedimen yang terjadi pada suatu dasar laut. Semakin tinggi
kemiringan batimetri pada dasar laut, semakin besar pula kecepatan arus yang terjadi (Widyanto
dkk., 2014).
Distribusi batimetri organisme laut dapat dipengaruhi oleh kemampuan masing-masing
organisme untuk mentoleransi faktor-faktor lingkungan seperti cahaya, temperatur, dan kecepatan
arus. Habitat suatu organisme juga dapat mempengaruhi distribusi batimetri di laut. Ikan-ikan yang
hidup di daerah Antartika akan lebih mungkin untuk hidup di laut dalam dari pada ikan yang hidup
di daerah non-Antartika karena Antartika memiliki kondisi yang hampir mirip dengan kondisi laut
dalam. Hal tersebut memungkinkan ikan-ikan yang hidup di daerah Antartika dapat beradaptasi
dengan mudah sesuai dengan kondisi laut dalam (Marshall, 1971 dalam Eastman, 2017).
Eastman (2017) melakukan penelitian distribusi batimetri ikan Notothenioid di perairan yang
berada di lingkungan non-Antartika, sub-Antartika, dan Antartika. Ikan Notothenioid sering
dikaitkan dengan superbenua yang pernah ada selama era Neoproterozoikum hingga periode
Jurasik yaitu Gondwana. Diverifikasi dari karakteristiknya ikan Notothenioid berkaitan dengan
dengan fragmentasi Gondwana dan isolasi Antartika di mana mereka berevolusi secara in situ di
perairan sekitar benua (Near dkk., 2015). Saat ini masih ada peninggalan notothenioid Percophis
brasiliensis pada kedalaman laut dengan kisaran 5–75 m. Mereka menghuni perairan tenggara
Amerika Selatan, kemungkinan mirip dengan kedalaman pantai dangkal yang ditempati oleh
leluhur Notothenioid itu sendiri. Baru-baru ini banyak bukti dan pendekatan yang telah
memperkuat alasan untuk menyimpulkan bahwa notothenioid atau komponennya, adalah contoh
radiasi adaptif (Janko dkk, 2011). Menurut Eastman (2017), distribusi batimetri Notothenioid
kurang mendapat perhatian dibandingkan aspek morfologi, fisiologis dan ekologi radiasinya.
Berdasarkan pemaparan tersebut, dapat dirumuskan masalah, yaitu: 1) Apa itu distribusi
batimetri? 2) Apa saja faktor mempengaruhi distribusi batimetri? 3) Bagaiman distribusi batimetri
ikan Notothenioid dalam habitatnya di perairan?
Sedangkan, hipotesis dari penulisin ini adalah, Ikan Nototheinoid terdistribusi secara batimetri
berdasarkan habitatnya. Sebagian besar Nototheinoid non-Antartika hidup di laut paling dangkal
dan yang hidup di Antartika di laut dalam sedangkan Nototheinoid sub-Antartika berada di
kedalaman antar keduanya.

METODE
Metode yang digunakan yaitu dengan menggunakan metode studi literatur. Metode studi
literatur merupakan metode dengan kegiatan berupa pengumpulan data dengan mengambil data
dari berbagai pustaka, membaca, mencatat, serta mengolah bahan yang sesuai dengan materi yang
akan dikaji (Melfianora, 2019). Dilakukan telaah terhadap beberapa literatur terkait batimetri.
Hasil telaah dari berbagai literatur ini akan digunakan untuk mengetahui distribusi batimetri ikan
Nototheinoid ebagai alah satu contohnya.

PEMBAHASAN
Pada habitat perairan, salah satu faktor yang mempengaruhi distribusi organisme adalah
batimetri. Batimetri atau kedalaman air laut merupakan ukuran kedalaman daerah perairan laut
yang diukur dari atas permukaan air sampai ke dasar laut. Informasi batimetri dapat digunakan
sebagai penggambaran kondisi struktur dan bentuk dasar perairan dari suatu daerah. Oleh karena
itu batimetri dibutuhkan suatu pemetaan. Teknologi pemetaan batimetri terus berkembang. Pada
awalnya, pemetaan ini menggunakan hasil pengukuran dengan tali yang diberi pemberat namun
perhitungan ini kurang akurat karena dapat dipengaruhi arus dalam. Kemudian teknik ini
mengalami perkembangan menggunakan echo saunder dengan prinsip gelombang suara yang
dapat merambat pada air (Setiawan dkk, 2014).
Distribusi batimetri merupakan persebaran organisme secara vertikal atau altitudinal mulai dari
dalam laut hingga permukaan laut. Faktor primer yang mempengaruhi distribusi batimetri adalah
cahaya yang akan mempengaruhi pasokan makanan, suhu, dan substrat yang mendukung
kehidupan organisme. Sedangkan faktor sekunder yang mempengaruhi distribusi batimetri yaitu
salinitas dan peningkatan tekanan air yang berhubungan dengan kedalaman air. Dalam distribusi
batimetri tersebut dapat terjadi distribusi lokal yang dipengaruhi oleh gelombang air laut, tipe dasar
laut, salinitas, dan kedalaman.
Distribusi batimetri di perairan laut dibagi menjadi zona litoral, zona neritik, zona pelagik, zona
abyssal, dan zona hadal. Zona litoral merupakan wilayah dasar laut antara pasang tertinggi dan
surut terendah yang dipengaruhi oleh berbagai variasi faktor lingkungan yang dalam waktu
singkat. Zona neritik merupakan kolom air paling atas pada laut yang terletak di atas paparan benua
dan memiliki batas kedalaman 20-50 m. Zona pelagik merupakan wilayah kolom air di atas dasar
laut. Zona pelagik secara vertikal dibagi menjadi 5 bagian yaitu epipelagik yang merupakan daerah
photic dengan kedalaman 0-200 m, sedangkan empat lainnya merupakan daerah aphotic yaitu
mesophelagik pada kedalaman 200-1.000 m, bathypelagik pada kedalaman 1.000-2.000 m,
abyssalpelagik pada kedalaman 4.000-6.000 m dan hadalapelagic pada kedalaman 6.000-10.000
m (Wiadnya, 2012). Zona abyssal merupaka wilayah laut dalam dengan kedalaman lebih dari 1800
m sedangkan zona hadal merupakan wilayah laut dalam dengan kedalaman lebih dari 5000 m.
Penelitian yang dilakukan oleh Eastman (2017) menjelaskan mengenai faktor batimerik
terhadap distribusi ikan Notothenioid. Ikan Notothenioid sebagian besar menghuni perairan
antartika dan sub-antartika, namun juga dapat ditemukan di daerah non-antartika. Ikan
Notothenioid memiliki larva yang hidup pada zona pelagik pada permukaar air yang dapat
mengalami pergeseran ontogenik akibat kedalam laut. Beberapa ikan Notothenioid yang mendiami
laut dalam seperti Dissostichus mawsoni yang dewasa diketahui dapat mencapai kedalaman 12 m
untuk mencari makan.
Nybelin (1947) pertama kali menyusun rentang kedalaman laut yang pada daerah dimana
Notothenioid masih bisa bertahan hidup dan menetapkan beberapa spesies sebagai euribatik.
Griffiths dkk. (2014), menjelaskan bahwa keanekaragaman spesies Notothenioid maksimum di
paparan Antartika paling besar pada kedalaman 300–600 m dibandingkan pada kedalaman 100–
200 m di tempat lain di dunia. Keanekaragaman spesies Notothenioid maksimum berada pada
kedalaman 250-350 m di Antartika Barat dan 500-550 m di Antartika Timur. Notothenioid
Antartika ditemukan dari perairan pantai yang dangkal hingga kedalaman 1500–2000 m, dengan
beberapa spesies mencapai 2.100–3.000 m. Sedangkan, delapan puluh enam persen dasar laut
Samudra Selatan memiliki kedalaman 1000 m. Laut dalam biasanya dibatasi oleh kedalaman 1000
m (Angel, 1997) dan ikan laut dalam memiliki rata-rata kedalaman maksimum pada atau di bawah
kedalaman tersebut.
Josep (2017) meneliti batimetri 124 spesies Notothenioid dalam tiga daerah perairan. Sebanyak
80 % dari keseluruhan spesies hidup pada kedalaman <1.000 m, 15 % hidup pada kedalaman 1000-
2000 m, dan 5 % dapat hidup pada kedalaman 2000-2941 m. Notothenioid yang hidup pada
perairan dangkal lebih banyak ditemukan di daerah perairan non-Antartika karena 61 % dari 31
spesies yang ditemukan di perairan ini hidup di bawah kedalaman 100 meter. Pada perairan sub-
Antartika, sebanyak 21 % dari 33 spesies yang ditemukan hidup di kedalam 100 meter. Sedangkan
pada perariran antartika hanya ditemukan dua spesies yang berada di kedalam kurang dari 100 m
yaitu Trematomus borchgrevinki dan T. brachysoma. Secara garis besar, keanekaragaman spesies
ikan Notothenioid pada ketiga daerah perairan dan pada kedalaman yang berbeda terangkum pada
grafik di gambar 1.1
Gambar 1.1. Grafik Hubungan Antara Jumlah Spesies terhadap
Kedalaman pada Setiap Jenis Perairan (Eastman, 2017)

Gambar tersebut menunjukkan bahwa keanekaragaman spesies Notothenioid non-Antartik naik


pada kedalaman 50 m dan turun sebesar 50% terus menurun di kedalaman 500-1000 m. Spesies
Notothenioid sub-Antartik memiliki keanekaragaman spesies pada kedalaman 100 m dengan
rentang keanekaragaman maksimum pada 100-300 m dan turun perlahan hingga kedalaman 900
m dan terdapat 2-3 spesies dapat hidup pada kedalaman 2400 m. Sedangkan kenekaragaman
spesies Notothenioid Antartik naik pada kedalaman 500 m dan turun pada kedalaman 1200 karena
ketiadaan beberapa spesies dan dilanjutkan pada kedalaman 2000-2100 sebelum menyisakan 1-2
spesies saja.
Secara khusus, Eastman (2017) menjabarkan rangkuman spesies dalam setiap kedalaman
tertentu di setiap daerah perairan pada gambar 1.2.

Gambar 1.2. Gambar Rangkuman Spesies yang Ditemukan pada Setiap


Kedalaman pada Tiga Jenis Perairan (Eastman, 2017)
Sejauh ini, Bathydraconidae merupakan satu-satunya famili yang hidup di kedalaman rata-rata
maksium sedalam 1.165 m. Bathydraco scotiae merupakan spesies Bathydraconidae yang hidup
paling dalam yaitu pada kedalaman 2.950 m, lebih dalam dari Bathydraco antarticus yang hidup
di kedalaman 2400. Jika dibandingkan dengan dua daerah lainnya, Notothenioid non-Antartika
rata-rata hidup pada kedalaman 192 dengan jarak kedalaman 0-902 m. Sedangkan Notothenioid
sub-Antartika yang dapat hidup pada kedalam 0-2400 memiliki rata-rata kedalaman 963 m. Hal
ini sekali lagi menunjukkan bahwa Notothenioid hidup pada kedalaman yang paling dalam dan
tersebar secara vertikal.
Sebanyak 27 % dari 97 spesies Notothenioid di habitat sub-Antartika dan Antarika mampu
beradaptasi dengan baik pada kedalaman maksimum lebih dari 1.000 m. Hal ini menunjukkan
bahwa spesies Notothenioid mampu hidup pada laut yang lebih dalam sehingga memiliki adaptasi
yang baik untuk mengatasi temperature yang rendah, kekurangan cahaya, dan rendahnya
produktivitas. Notothenioid diuntungkan karena dapat menyimpan energi yang diakibatkan tidak
adanya swim bladder. Perubahan pedomorfik berupa berkurangnya kepadatan tulang dan
akumulasi lipid yang dihasilkan oleh daya apung netral atau mendekati netral memungkinkan ikan
Notothenioid memiliki jangkauan lebih besar pada kolom air.
Adaptasi metabolik dan lokomotor untuk hidup di bawah kondisi Antartika sama dengan
adaptasi hidup di laut dalam, namun adaptasi untuk mengatur tekanan hidrostatis memerlukan
stabilisasi protein. Ada kemungkinan bahwa adaptasi terhadap tekanan hidrostatik terjadi
bersamaan dengan euribatik yang dialami oleh banyak Notothenioid Antartika. Adaptasi lain pada
Notothenioid mengenai ketahanan beku terjadi seperti peningkatan kadar osmolit termetilamina
oksida organik yang memiliki kemampuan untuk menstabilkan protein dan berfungsi sebagai
piezolit (Yancey dan Siebenaller, 2015). Apapun cara yang terlibat dalam toleransi ikan ini
terhadap tekanan hidrostatik dan aspek lain dari kehidupan di laut dalam, Notothenioid yang dapat
hidup pada spektrum kedalaman yang luas adalah contoh lain dari potensi adaptif yang
menakjubkan dari subclade percomorph dari ikan berduri (acanthomorph) yang menyusun hampir
setengah dari semua keanekaragaman ikan (Naer dkk., 2013).

KESIMPULAN
Distribusi organisme batimetri didasarkan pada kedalaman perairan. Sebagai contoh, Ikan
Notothenioid hidup di perairan dangkal ditemukan di daerah non-Antartika dan ada yang
ditemukan di kedalaman 3000 m di daerah Antartika.

DAFTAR PUSTAKA
Angel MV. 1997. What is the deep-sea? In: Randall DJ, Farrell AP (eds) Deep-sea fishes, vol 16.
Fish Physiology. Academic Press, San Diego, pp 1–41
DeWitt HH. 1971. Coastal and deep-water benthic fishes of the Antarctic. In: Bushnell VC (ed)
Antarctic map folio series, Folio 15. American Geographical Society, New York, pp 1–10
Eastman, J. T. 2017. Bathymetric distributions of notothenioid fishes. Polar Biology, 40(10),
2077-2095.
Gregory S, Collins MA, & Belchier M. 2017. Demersal fish communities of the shelf and slope of
South Georgia and Shag Rocks (Southern Ocean). Polar Biol 40:107–121.
Griffiths HJ. 2010. Antarctic marine biodiversity—what do we know about the distribution of life
in the Southern Ocean? PLoS ONE5(8): e11683.
Griffiths HJ, Van de Putte A, & Danis B. 2014. Data distribution: patterns and implications. In:
De Broyer C, Koubbi P, Griffiths HJ, Raymond B, Udekem d’Acoz C et al (eds)
Biogeographic atlas of the Southern Ocean. Scientific Committee on Antarctic Research,
Cambridge, pp 16–26
Janko K, Marshall C, Musilova´ Z, Van Houdt J, Couloux A, Cruaud C, & Lecointre G. 2011.
Multilocus analyses of an Antarctic fish species flock (Teleostei, Notothenioidei,
Trematominae): phylogenetic approach and test of the early-radiation event. Mol Phylogen
Evol 60:305–316.
Marshall. 1971. Exploration in the Life of Fishes. Cambridge: Harvard University Press.
Melfianora. 2019. Penulisan Karya Tulis Ilmiah dengan Studi Literatur. Open Science Framework,
1–3. osf.io/efmc2
Near, T. J., Dornburg, A., Eytan, R. I., Keck, B. P., Smith, W. L., Kuhn, K. L., ... & Wainwright,
P. C. (2013). Phylogeny and tempo of diversification in the superradiation of spiny-rayed
fishes. Proceedings of the national Academy of sciences, 110(31), 12738-12743.
Nybelin O. 1947. Antarctic fishes. Sci Results Norweg Antarct Exped 1927-1928 et sqq No 26:1–
76.
Odum E. P. 1993. Dasar-dasar Ekologi Yogyajarta: Gadjah Mada University Press.
Setiawan, K. T., Osawa, T., & Nuarsa, I. W. 2014. Aplikasi algoritma Van Hengel dan Spitzer
untuk ekstraksi informasi batimetri menggunakan data landsat. In Seminar Nasional
Penginderaan Jauh (pp. 222-230).
Turner, W. R. 2006. Interactions among spatial scales constrain species distributions in fragmented
urban landscapes. Ecology and Society, 11(2).
Wiadnya, D. G. R. 2014. Kawasan Konservasi Perairan Dan Pengelolaan Perikanan Tangkap Di
Indonesia.
Widyanto, P., Muslim, M., Suseno, H., & Makmur, M. 2014). Pengaruh Batimetri Perairan
Terhadap Distribusi Plutonium-239/240 (239/240pu) Dalam Sedimen Di Perairan
Gresik. Journal of Oceanography, 3(3), 448-453.
Yancey, P. H., & Siebenaller, J. F. 2015. Co-evolution of proteins and solutions: protein adaptation
versus cytoprotective micromolecules and their roles in marine organisms. The Journal of
experimental biology, 218(12), 1880-1896.

Anda mungkin juga menyukai