Anda di halaman 1dari 31

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan, dengan jumlah pulau sekitar


17.508 pulau yang terdiri dari pulau besar dan kecil. Tiga per empat wilayahnya
adalah laut dengan panjang garis pantai 81.791 km, terpanjang kedua
setelah Kanada (Supriharyono, 2009). Berdasarkan UNCLOS (United
Nations Convention on the Law of the Sea) 1982, total luas wilayah laut
Indonesia yaitu 5,9 juta km2, terdiri atas 3,2 juta km2 perairan teritorial dan 2,7
juta km2 perairan Zona Ekonomi Eksklusif, luas perairan ini belum
termasuk landasan kontinen (continental shelf). Hal ini menjadikan
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia (Lasabuda, 2013). Perairan
laut Indonesia kaya akan berbagai biota laut baik flora maupun fauna. Demikian
luas serta keragaman jasad-jasad hidup di dalam yang semuanya membentuk
dinamika kehidupan di laut yang saling berkesinambungan (Nybakken 1986).
Melimpahnya kekayaan berbagai biodiversitas, berpotensi mampu menjaga
keseimbangan ekosistem alami maupun sebagai sumber daya hayati dan yang dapat
dimanfaatkan bagi kehidupan (Burhan, 2009).
Plankton merupakan salah satu sumber pakan alami bagi hewan-hewan laut,
kesuburan perairan juga dapat dilihat berdasarkan kelimpahan dan komposisi jenis
plankton (Mujiyanto dan Satria, 2011). Plankton dapat diartikan sebagai kumpulan
organisme yang hidup melayang atau mengapung di badan perairan yang tidak
mampu bergerak atau mampu bergerak sedikit dan tidak dapat berenang melawan
arus. Plankton dikelompokkan dalam dua golongan besar yaitu Fitoplankton dan
Zooplankton. Fitoplankton merupakan plankton nabati yang berperan sebagai
produsen utama di lautan, yang mampu menghasilkan oksigen dari hasil

1
fotosintesis, sedangkan Zooplankton merupakan konsumen tingkat satu di dalam
suatu perairan (Asriyana dan Yuliana, 2012).
Menurut Nybakken (1988), zooplankton hidup sangat beraneka ragam, yang
terdiri atas berbagai bentuk larva dan bentuk dewasa yang dimiliki hampir seluruh
filum hewan. Organisme ini menempati posisi penting dalam rantai makanan dan
jaring – jaring kehidupan di perairan. Dengan mengetahui keadaan plankton
(zooplankton termasuk didalamnya) di suatu perairan, maka akan diketahui kualitas
perairan. Dapat diketahui dengan melihat kelimpahan, keanekaragaman, dan
dominansi jenis zooplankton di perairan. Patterson (1998) menyatakan bahwa
komunitas plankton sangat sensitif pada perubahan lingkungan. Perubahan pada
struktur komunitas zooplankton (kelimpahan, keragaman, keanekaragaman, dan
dominansi) mengindikasikan bahwa perairan tersebut telah terjadi gangguan atau
terjadi perubahan – perubahan.
Pantai Tablolong merupakan daerah yang diperuntukan bagi kepentingan
objek wisata dan tempat dimana para nelayan mencari ikan maupun menanam
rumput laut. Pantai Tablolong dalam perkembangannya telah mengalami beberapa
perubahan lingkungan, salah satu contoh yaitu ekosistem terumbu karang yang
sudah mulai rusak secara perlahan-lahan akibat ulah manusia. Kondisi terumbu
karang di sekitar perairan tersebut 9% berada dalam kondisi sangat baik, kondisi
baik 20% dan rusak berat 71% (Anonimus, 2001). Terumbu karang merupakan
salah satu tempat di mana berbagai macam organisme mencari makan dan
melakukan berbagai macam aktivitas, salah satu contoh organismenya yaitu
zooplankton. Hal ini didukung dengan hasil penelitian dari Muhammad Chusnan
Ma’arif pada tahun 2018 mengenai Perbandingan Keanekaragaman dan
Kelimpahan Plankton Pada Ekosistem Terumbu Karang Alami dan Ekosistem
Terumbu Karang Buatan di Perairan Pasir Putih Situbondo. Metode yang digunakan
yaitu meode Purposive Random Sampling dengan penentuan 6 titik sampel, Stasiun
1 sampai 3 terdapat di lokasi ekosistem terumbu karang alami, stasiun 4 sampai 6
terdapat di lokasi ekosistem terumbu buatan. Dari hasil penelitian tersebut

2
ditemukan bahwa keanekaragaman dan kelimpahan plankton terbanyak khususnya
zooplankton di temukan di ekosistem terumbu karang alami, dengan jenis
zooplankton di ataranya Crustacea, Bivalvia, Gastropoda. Terkait dengan hal
tersebut maka saya ingin melakukan penelitian dengan judul ” Keanekaragaman
dan Kelimpahan Zooplankton Pada Ekosistem Terumbu Karang di Perairan
Pantai Tablolong, Kabupaten Kupang Barat “.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas maka yang menjadi
permasalahan dalam penelitian ini adalah :
1. Jenis zooplankton apa saja yang terdapat pada ekositem terumbu karang di
perairain Tablolong?
2. Bagaimanakah keanekaragaman zooplankton pada ekosistem terumbu karang di
perairain Tablolong?
3. Bagaimanakah nilai kelimpahan zooplankton pada ekosistem terumbu karang di
perairan Tablolong?
4. Bagaimana faktor lingkungan yang mempengaruhi keanekaragaman dan
kelimpahan zooplankton pada ekosistem terumbu karang di perairan pantai
Tablolong?
C. Tujuan
Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu :
1. Mengetahui jenis zooplankton yang terdapat pada ekositem terumbu karang di
perairain Tablolong
2. Mengetahui keanekaragaman zooplankton pada ekosistem terumbu karang di
perairain Tablolong
3. Mengetahui nilai kelimpahan zooplankton pada ekosistem terumbu karang di
perairan Tablolong

3
4. Mengetahui faktor lingkungan yang mempengaruhi keanekaragaman dan
kelimpahan zooplankton pada ekosistem terumbu karang di perairan pantai
Tablolong
D. Manfaat
Dapat memberikan informasi kepada masyarakat setempat mengenai
keanekaragaman dan kelimpahan zooplankton pada ekosistem terumbu karang dan
menambah wawasan bagi peneliti.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Klasifikasi Plankton
Plankton adalah organisme yang berukuran kecil (mikorskopis) yang
melayang – layang di kolom air. Kemampuan geraknya, kalaupun ada, sangat
terbatas hingga organisme tersebut selalu terbawah oleh arus. Plankton mempunyai
peranan penting dalam ekosistem laut, karena plankton menjadi bahan makanan
bagi berbagai jenis hewan laut lainnya (Nontji, 1987; Hutabarat dan Evans, 1986).
Berdasarkan keadaaan biologisnya, Newell (1977) menggolongkan plankton
menjadi dua kategori yaitu fitoplankton yang merupakan tumbuhan renik dan
zooplankton yang merupakan hewan – hewan yang umumnya renik.
Ada beberapa dari golongan plankton perenang aktif walaupun demikian
plankton tetap terombang-ambing oleh arus lautan (Hutabarat dan Evans, 2014).
Plankton berbeda dengan nekton, yang juga merupakan organisme pelagik, namun
dapat berenang cukup kuat sehingga dapat melawan gerakan masa air (Asriyana dan
Yuliana, 2012). Berbeda dengan Benthos (hewan dasar) yang hidup di wilayah
benthic (dasar lautan), nekton dan plankton hidup di wilayah epipelagic atau biasa
disebut dengan photic zone yaitu wilayah perairan yang mendapatkan suplai sinar
matahari (Delisa, 2012).
1. Fitoplankton
Fitoplankton adalah tumbuhan renik mikroskopis yang hidup mengambang
atau melayang di dalam laut dan selalu terbawa oleh arus (Nybakken, 1992).
Tumbuhan renik ini terdapat di laut, mulai dari tepi pantai, di muara sungai sampai
ke tengah samudera, dari perairan tropis yang hangat sampai ke perairan kutub yang
dingin. Dalam dimensi vertikal, tumbuhan renik ini terdapat mulai dari permukaan
laut sampai kedalaman dimana cahaya surya dapat menembus laut, yang bisa
mencapai kedalaman sampai sekitar 100-150 meter dibawah permukaan laut
(Nontji, 2017). Fitoplankton diartikan sebagai alga laut bersel tunggal yang mampu

5
bergerak dengan flagel (bulu cambuk) atau bergerak dengan cara mengikuti arus
(Verlencar dan Desai, 2004). Fitoplankton merupakan tumbuhan yang memiliki
ukuran 0,0001 mm sampai dengan 2 milimeter yang mampu bergerak ataupun
mengalir mengikuti arus dari permukaan air laut sampai dengan kedalaman 100
meter dibawah permukaan laut (Nybakken, 1992).
Fitoplankton mempunyai peranan penting di ekosistem pelagik yaitu sebagai
produsen primer (primary productivity) zat-zat organik. Fitoplankton mampu
membuat ikatan-ikatan organik yang kompleks dari bahan anorganik yang
sederhana (Hutabarat dan Evans, 2014). Fitoplankton merupakan alga ber sel
tunggal yang hidup sendiri (solitary) atau berkoloni (colonial). Komponen utama
fitoplankton di laut yaitu Diatom, Dinoflagellata, Coccolithophorids dan beberapa
flagellata lainnya (Zeitzschel, 1978).
Asriyana dan Yuliana (2012) menjelaskan ada lima kelompok besar
fitoplankton yang hidup di perairan, yaitu Cyanophyta (alga biru), Chlorophyta (alga
hijau), Chrysophyta (alga kuning), Phyrophyta dan Euglenophyta. Menurut Nybakken
(1992) Fitoplankton di bagi menjadi dua kelompok besar yaitu diatom dan
dinoflagelata.
2. Zooplankton
a. Pengertian Zooplankton
Zooplankton atau plankton hewani merupakan suatu organisme yang
berukuran kecil yang hidupnya terombang-ambing oleh arus di lautan bebas yang
hidupnya sebagai hewan. Zooplankton sebenarnya termasuk golongan hewan
perenang aktif, yang dapat mengadakan migrasi secara vertikal pada beberapa
lapisan perairan, tetapi kekuatan berenang mereka adalah sangat kecil jika
dibandingkan dengan kuatnya gerakan arus itu sendiri (Hutabarat dan Evans, 1986).
Zooplankton merupakan salah satu komponen dalam rantai makanan yang diukur
dalam kaitan dengan nilai produksi suatu ekosistem. Hal ini dikarenakan
zooplankton berperan ganda baik sebagai konsumen pertama maupun konsumen

6
kedua. Zooplankton adalah rantai penghubung di antara plankton dan nekton
(Pranoto, 2008).
Zooplankton merupakan suatu kelompok yang terdiri dari berbagai jenis
hewan yang sangat beragam termasuk protozoa, coelenterata, molusca, annelida,
dan crustacea. Kelompok ini mewakili hampir seluruh phylum yang terdapat di
Animal Kingdom. Beberapa organisme ini ada yang bersifat sebagai plankton dalam
seluruh masa hidupnya (holoplankton), misalnya yaitu Copepoda spp. Larva
maupun bentuk dewasa dari Crustacea sangat banyak dijumpai dalam kelompok
zooplankton. Kebalikannya, ada beberapa organisme dari zooplankton yang
sebagian masa hidupnya bersifat sebagai plankton (meroplankton). Kepiting (crab)
dan trisipan (bernacle) merupakan anggota dari hewan yang bersifat bentik di waktu
dewasa, namun larvanya mempunyai sifat sebagai plankton (Hutabarat dan Evans,
2014).
Sebagian zooplankton menggantungkan sumber nutrisinya pada materi
organic baik berupa fitoplankton maupun detritus (Barus 2002). Lebih lanjut
Copepoda memakan fitoplankton dengan cara menyaringnya di apendiks tertentu
yang mengelilingi mulut (maxillae), atau dengan menangkap fitoplankton
dengan apendiksnya. Protozoa juga merupakan kelompok zooplankton yang
banyak ditemukan pada sistem perairan.

b. Klasifikasi Zooplankton
1. Penggolongan berdasarkan daur hidup
Berdasarkan daur hidupnya zooplankton dibagi menjadi 3 kelompok. (Nontji,
2008) yaitu:
a) Holoplankton
Plankton yang seluruh daur hidupnya dijalani sebagai plankton, mulai
dari telur, larva, hingga dewasa. Antara lain Copepoda, Amfipoda.
b) Meroplankton

7
Plankton dari golongan ini menjalani kehidupannya sebagai plankton
hanya pada tahap awal dari daur hidup biota tersebut, yakni pada tahap
sebagai telur dan larva saja, beranjak dewasa ia akan berubah menjadi
nekton. Contohnya kerang dan karang.
c) Titoplankton
Tikoplankton sebenarnya bukanlah plankton yang sejati karena biota ini
dalam keadaan normalnya hidup di dasar laut sebagai bentos. Namun karena
gerakan air titoplankton bisa terangkat lepas dari dasar dan terbawa arus
mengembara sementara sebagai plankton. Contohnya Kumasea.

Gambar : karakteristik larva dari meroplankton : (a) larva dari Annelida


Platynereis; (B) kepiting pasir, Emerita analoga; (C) larva dari bryozoa; (D)
kecebong larva berkulit sessile; (E) pilidium larva cacing; (F) larva landak laut;
(G) ikan telur dengan embrio; (H) larva dari scaleworm; (I) larva siput; (J) larva
dari ophiuroidea; (K) larva nauplius dari teritip; (L) larva teritip; (M) planula
larva dari coelenterata; (N) medusa dari hydroid.

8
Gambar : Karakteristik holoplankton Crustasea: (a) euphausiid (Euphausia);
(b) ostracoda (Conchoecia); (c) copepoda (Calanus); (d) amphipod (Phronima)
dalam mantel kosong dari pelagis berkulit Salpa.

2. Penggolongan berdasarkan ukuran


Ukuran plankton sangat beranekaragam, dari yang sangat kecil hingga
ukuran yang besar. Nontji (2008) mengelompokkan plankton menjadi beberapa
kelompok, yaitu sebagai berikut:

a) Megaplankton (20-200 cm)


Plankton yang termasuk dalam kelompok ini umumnya adalah ubur-ubur.
Contohnya ubur-ubur Schyphomedusa.
b) Makroplankton (2-20 cm)
Plankton yang termasuk ke dalam kelompok ini umumnya masih berupa
larva. Contohnya adalah kelompok eusafid, sergestid dan pteropod.
c) Mesoplankton (0,2-20 mm)
Sebagian besar zooplankton berada dalam kelompok ini, seperti kopepod,
amfipod, ostrakod dan kaetognat, selain itu beberapa fitoplankton yang
berukuran besar juga masuk dalam kelompok ini, seperti Noticula.
d) Mikroplankton (20-200 μm)
Plankton yang termasuk ke dalam kelompok ini umumnya adalah
fitoplankton, seperti diatom dan dinoflageat.
e) Nanoplankton (2-20 μm)

9
Kelompok plankton yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah
kokolitoforid dan berbagai mikroflageat.
f) Pikoplankton (0,2-2 μm)
Plankton yang termasuk ke dalam kelompok ini umumnya adalah bakteri,
termasuk sianobakteri seperti Synechoccus.
g) Femtoplankton (˂ 0,2 μm)
Plankton yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah virioplankton atau
virus laut (marine virus).

3. Penggolongan berdasarkan sebaran horizontal


Plankton terdapat mulai dari lingkungan air tawar hingga ke tengah
samudra. Dari perairan tropis hingga ke perairan kutub. Nontji (2008)
berdasarkan sebaran horizontalnya plankton laut baik fitoplankton maupun
zooplankton dapat di bagi menjadi beberapa kelompok, diantaranya:
a) Plankton neritik
Plankton neritik hidup di perairan pantai dan payau dengan salinitas yang
relatif rendah. Komposisi plankton neritik merupakan campuran plankton
laut dan plankton perairan tawar. Contohnya: jenis kopepod seperti,
Labidocera muranoi.
b) Plankton Oseanik
Plankton oseanik hidup di perairan lepas pantai hingga ketengah
samudra. Karena itu plankton oseanik ditemukan pada perairan yang
bersalinitas tinggi. Luasnya lautan mengakibatkan banyaknya jenis plankton
yang tergolong dalam kelompok plankton oseanik ini.

4. Penggolongan berdasarkan sebaran vertical


Plankton hidup di laut mulai dari lapisan tipis di permukaan samapi pada
kedalaman yang sangat dalam. Nontji (2008) mengelompokkan plankton
menjadi beberapa kelompok, diantaranya:

10
a) Epiplankton
Epiplankton adalah plankton yang hidup di lapisan permukaan sampai
kedalaman sekitar 100 m. Plankton semacam ini disebut neuston.
Contohnya adalah Trichodesmium.
b) Mesoplankton
Mesoplankton adalah plankton yang hidup di lapisan tengah, pada
kedalaman sekitar 100-400 m. Pada lapisan ini sulit dijumpai fitoplankton.
Lapisan ini didominasi oleh zooplankton. Contohnya kelompok kopepod
seperti Eucheuta marina dan kelompok eusafid seperti Thynasopoda.
c. Distribusi Penyebaran Zooplankton
Zooplankton bermigrasi ke arah horizontal dan vertikal mengikuti
kelompok fitoplankton. Jika sudah mencapai tingkat kepadatan tertentu
perkembangan zooplankton akan berkurang dan memberi kesempatan pada
fitoplankton untuk tumbuh dan berkembang biak sehingga menghasilkan
konsetrasi yang tinggi (Nybakken, 1992).
Rangsangan utama yang mengakibatkan zooplankton melakukan migrasi
harian vertikal adalah cahaya. Pola yang umum tampak adalah zooplankton
terdapat di dekat permukaan laut pada malam hari, sedangkan menjelang dini
hari dan datangnya cahaya mereka bergerak lebih ke perairan yang dalam. Saat
tengah hari atau ketika intensitas cahaya matahari maksimal, zooplankton
berada pada kedalam paling jauh (Arinardi, 1997). Beberapa alasan zooplankton
melakukan migrasi vertikal adalah untuk menghindari pemangsaan oleh para
predator yang mendeteksi mangsa secara visual, mengubah posisi dalam kolom
air, dan sebagai mekanisme untuk meningkatkan produksi dan menghemat
energi (Nybakken, 1992).
d. Siklus Hidup Zooplankton
Secara umum, plankton terkecil memiliki siklus hidup terpendek: bakteri
dan flagelata umumnya berkembang biak dalam beberapa jam dalam satu hari.
Kebanyakan mesozooplankton memiliki siklus hidup beberapa minggu,

11
sedangkan makro dan meroplankton biasanya memiliki siklus hidup yang
mencakup beberapa bulan dan lebih lama (Suthers dan Rissik, 2009).
Banyak zooplankton menghabiskan seluruh siklus hidup mereka sebagai
bagian dari plankton (misalnya, copepoda, salps dan beberapa ubur-ubur) dan
disebut holoplankton. Meroplankton secara musiman berlimpah, terutama di
perairan pantai, hanya planktonik untuk bagian dari kehidupannya (biasanya
pada tahap larva). Kebanyakan dalam bentuk dewasa dan melayang selama
beberapa hari dalam seminggu sebelum mereka bermetamorfosis menjadi
bentik, atau nekton. Contoh meroplankton termasuk larva bulu babi, bintang
laut, krustasea, cacing laut dan sebagian besar ikan. Tahap kehidupan planktonik
dan sessile dari beberapa jenis zooplankton umum ditunjukkan pada gambar :

Gambar: Tahapan hidup (larva ke bentuk dewasa) dari copepoda khas, kijing dan
ubur-ubur
Siklus hidup copepoda umum meliputi enam tahapan nauplius (larva) dan
lima tahap copepoid (remaja) sebelum menjadi dewasa. Setiap tahap dipisahkan
oleh proses moulting dan sebagai perkembangan tahapan, batang copepoda
bersegmentasi. Jenis kelamin terpisah, sperma ditransfer dalam sper-matophore dari
jantan ke betina, dan telur tertutup dalam kantung sampai siap menetas. Waktu
perkembangan dari telur hingga dewasa biasanya dari urutan 2 sampai 6 minggu.
Secara signifikan dipengaruhi oleh suhu dan ketersediaan makanan. Rentang hidup
plankton dewasa mungkin bertahan sekitar satu sampai beberapa bulan. (Suthers
dan Rissik, 2009).

12
Brancles juga memiliki tahap nauplis yang dapat berenang secara bebas
diperairan, diikuti dengan tahap cyprid, larva cyprid, larva cyprid menetap di
substrat yang keras dan memastikan tinggal di wilayah yang cocok untuk
kelangsungan hidup brancles dan untuk mendapatkan pasangan. Setelah menetap,
cyprid melepaskan zat ke substrat untuk dapat menempel permanen pada substrat.
Suatu lapisan berkapur kemudian tumbuh dan mengelilingi tubuh. Organisme
dewasa memiliki jenis kelamin yang hermaprodit (masing-masing dengan kedua
bagian laki-laki dan perempuan) dan bereproduksi secara seksual oleh lintas
fertilisasi. Dewasa menyimpan telur yang telah dibuahi di dalam suatu tempurung
sampai mereka berkembang menjadi larva nauplis. Lebih dari 10.000 larva dapat
dilepaskan oleh satu organisme. (Suthers dan Rissik, 2009).
e. Kelimpahan Zooplankton
Bagian terbesar dari organisme zooplankton adalah anggota filum
Arthropoda dan hampir semuanya termasuk ke dalam kelas Crustacea.
Holoplankton yang paling umum ditemukan dilaut adalah cepopoda. Copepoda
merupakan zooplankton yang mendominasi di semua laut dan samudera, serta
merupakan herbivora utama dalam perairan bahari dan memiliki kemampuan
menentukan bentuk kurva populasi fitoplankton. Copepoda berperan sebagai mata
rantai yang sangat penting antara produksi primer fitoplankton dengan karnivora
besar dan kecil (Nybakken, 1992).
Kepadatan zooplankton sangat tergantung pada kepadatan fitoplankton,
karena fitoplankton adalah makanan bagi zooplankton, dengan demikian kuantitas
atau kelimpahan zooplankton akan tinggi di perairan yang tinggi kandungan
fitoplanktonnya (Arinardi, 1997).
Zooplankton merupakan organisme fototaksis negatif, zooplankton
melakukan gerakan naik dan turun secara berkala harian atau dikenal dengan
migrasi vertikal. Pada malam hari zooplankton naik kepermukaan perairan
sedangkam pada siang hari turun kelapisan bawah, sehingga pada siang hari jarang
ditemukan di permukaan (Sahlan 1982).

13
f. Peranan Zooplankton
Merupakan salah satu komponen dalam rantai makanan yang diukur
dalam kaitan dengan nilai produksi suatu ekosistem. Hal ini dikarenakan
zooplankton berperan ganda baik sebagai konsumen pertama maupun konsumen
kedua. Zooplankton adalah rantai penghubung di antara plankton dan nekton
(Pranoto, 2008).
Menurut Nybakken (1988), zooplankton hidup sangat beraneka ragam,
yang terdiri atas berbagai bentuk larva dan bentuk dewasa yang dimiliki hampir
seluruh filum hewan. Organisme ini menempati posisi penting dalam rantai
makanan dan jaring – jaring kehidupan di perairan. Kelimpahan zooplankton
akan menentukan kesuburan suatu perairan. Oleh karena itu, dengan mengetahui
keadaan plankton (zooplankton termasuk didalamnya) di suatu perairan, maka
akan di ketahui kualitas perairan tersebut.
Hal ini dapat diketahui dengan melihat kelimpahan, keanekaragaman,
keseragaman, dan dominansi jenis zooplankton di perairan tersebut. Patterson
(1998) menyatakan bahwa komunitas plankton sangat sensitif pada perubahan
lingkungan. Perubahan pada struktur komunitas zooplankton (kelimpahan,
keragaman, keanekaragaman, dan dominansi) mengindikasikan bahwa perairan
tersebut telah terjadi gangguan atau terjadi perubahan – perubahan.
g. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Zooplankton
a) Suhu
Suhu merupakan parameter fisika yang penting untuk kehidupan organisme
di perairan laut dan payau. Kenaikan suhu di atas toleransi organisme dapat
meningkatkan laju metabolisme, sepertiper tumbuhan, reproduksi dan aktifitas
organisme. Suhu sangat mempengaruhi organisme yang berada dalam suatu
perairan sebagai metabolisme organisme itu sendiri. Menurut Pescod (1983) di
lingkungan suatu organisme perairan, suhu sangat mempengaruhi
perkembangan atau hambatan organisme tersebut.

14
Menurut Arinardi (1997), suhu air di perairan Indonesia menunjukan ciri
khas perairan tropis yaitu umumnya relative tinggi dengan perbedaan sebaran
horizontal yang kecil (28-31 oC). Di perairan dimana terjadi upwelling, suhu air
permukaan dapat turun sampai 25 0C, namun di perairan pantai yang relative
dangkal,suhu air biasanya relative lebih tinggi dari pada yang di lepas pantai.
Pengaruh suhu pada plankton tidak seragam di seluruh perairan terhadap
masing – masing kelompo katau populasi. Pada telur yang sedang berkembang
dan larva dari hewanlaut, toleransi terhadap suhu air laut cenderung bertambah
ketika mereka menjadi lebih tua. Dalam perubahan suhu tersebut, pertumbuhan
larva di percepat oleh suhu yang lebih tinggi (Romimohtahto dan Juwana,
2001).
b) Salinitas
Salinitas adalah komposisi ion-ion dalam perairan (Wetzel, 1983). Ion-ion
yang terdapat dalam perairan laut terdiri dari enam elemen, yaitu klorin,
sodium, magnesium, sulfur, kalsium dan potassium. Menurut Andrews dkk,
(2003) salinitas atau kadar garam merupakan jumlah total material terlarut
dalam air. Salinitas dapat berfluktuasi karena pengaruh penguapan dan hujan.
Salinitas dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangbiakan
zooplankton, pada kisaran salinitas yang tidak sesuai berpengaruh terhadpa
tingkat kelangsungan hidupnya dan pada tingkat pertumbuhannya. Salinitas
yang ekstrim dapat menghambat pertumbuhan dan meningkatkan kematian
pada zooplankton (Odum, 1993). Menurut Sachlan (1982), pada salinitas 0-10
ppt hidup plankton air tawar, pada salinitas 10-20 ppt hidup plankton air payau,
sedangkan pada salinitas yang lebih besar dari 20 ppt hidup plankton air laut.
c) Oksigen Terlarut
Oksigen terlarut adalah gas untuk respirasi yang sering menjadi faktor
pembatas dalam lingkungan perairan. Ditinjau dari segi ekosistem, kadar
oksigen terlarut menentukan kecepatan metabolisme dan respirasi serta sangat
penting bagi kelangsungan dan pertumbuhan organisme air. Kandungan

15
oksigen terlarut akan berkurang dengan naiknya suhu dan salinitas (Sachlan,
1982; Nybakken, 1988).
Menurut Hutagalung dkk (1997), adanya kenaikan suhu air, respirasi
(khususnya malam hari), lapisan minyak di atas permukaan laut dan masuknya
limbah organic yang mudah terurai ke lingkungan laut dapat menurunkan kadar
oksigen dalam air laut.
Kadar oksigent terlarut (Dissolved oxygen, DO) dapat dijadikan ukuran
untuk menentukan mutu air. Kehidupan di air dapat bertahan jika ada oksigent
terlaut minimum sebanyak 5 mg oksigent setiap liter air (5 ppm). Selebihnya
bergantung kepada ketahanan organisme,derajat aktivitasnya, kehadiran
pencemar, suhu air dan sebagainya (Anwar, 2008).
d) pH
Setiap spesies memiliki kisaran toleransi yang berbeda terhadap pH. pH yang
ideal bagi kehidupan organisme akuatik termasuk makrozoobentos pada
umumnya berkisar antara 7 sampai 8,5. Kondisi perairan yang bersifat sangat
asam maupun sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup
organisme karena akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan
respirasi. Disamping itu pH yang sangat rendah akan menyebabkan mobilitas
berbagai senyawa logam berat yang bersifat toksik semakin tinggi yang
tentunya akan mengancam kelangsungan hidup organisme akuatik. Sementara
pH yang tinggi akan menyebabkan keseimbangan antara amonium dan
amoniak dalam air akan terganggu, dimana kenaikan pH diatasakan
meningkatkan konsentrasi amoniak yang juga bersifat sangat toksik
bagiorganisme (Barus, 2004).
e) Nitrat
Senyawa nitrogen dalam air laut terdapat dalam tiga bentuk utama yang
berada dalam keseimbangan yaitu amoniak, nitrit, dan nitrat. Menurut Boyd
(1982), tingkat toksitas amoniak tak berion berbeda-beda untuk tiap spesies,
tetapi ada kadar 0,6 mg/I dapat membahayakan organisme tersebut.

16
f) Fosfat
Merupakan bentuk fosfor yang dapat di manfaatkan oleh tumbuhan. fosfat
dalam perairan terdapat dalam bentuk senyawa anorganik terlarut dan
senyawa organik. Senyawa fosfat ini mengalami hidrolisis menjadi bentuk
ortofosfat (PO4) yang di manfaatkan langsung oleh fitoplankton dan algae.

B. Keanekaragaman Dan Kelimpahan Spesies


1. Keanekaragaman
Keanekaragaman adalah jumlah total spesies dalam suatu daerah tertentu
atau diartikan juga sebagai jumlah spesies yang terdapat dalam suatu area antar
jumlah total individu dari spesies yang ada dalam suatu komunitas. Hubungan ini
dapat dinyatakan secara numerik sebagai indeks keanekaragaman (Michael, 1994).
Selain itu, keanekaragaman spesies merupakan suatu karakteristik ekologi yang
dapat diukur dan khas untuk organisasi ekologi pada tingkat komunitas.
Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa keanekaragaman adalah
jumlah total spesies dari berbagai macam organisme yang berbeda dalam suatu
komunitas. Keanekaragaman spesies merupakan suatu karakteristik biologi yang
dapat diukur, yang khas untuk organisasi ekologi untuk tingkat komunitas. Selain
dari itu, keanekaragaman spesies merupakan karakteristik yang mencerminkan sifat
organisasi yang penting dalam berfungsinya suatu komunitas.
Keanekaragaman ditandai oleh banyaknya spesies yang membentuk suatu
komunitas, semakin banyak jumlah spesies maka semakin tinggi keanekaragaman
nya. Keanekaragaman spesies dinyatakan dalam indeks keanekaragaman. Indeks
keanekaragaman menunjukkan hubungan antara jumlah spesies dengan jumlah
individu yang menyusun suatu komunitas, nilai keanekaragaman yang tinggi
menunjukkan lingkungan yang stabil sedangkan nilai keanekaragaman yang rendah
menunjukkan lingkungan yang menyesakkan dan berubah-ubah (Heddy dan
Kurniati, 1996: 58 dalam Andriyansyah, 2013).

17
Keanekaragaman spesies memiliki dua komponen utama yaitu kekayaan
spesies (species richness) dan kelimpahan relatif (relative abundance). Sehingga
keanekaragaman spesies dalam suatu komunitas sangat berkaitan dengan
kelimpahan spesies tersebut dalam area tertentu. Selain itu, keanekaragaman spesies
merupakan suatu karakteristik ekologi yang dapat diukur dan khas untuk organisasi
ekologi pada tingkat komunitas. Keanekaragaman spesies suatu komunitas terdiri
dari berbagai macam organisme berbeda yang menyusun suatu komunitas.
(Campbell, 2010.).
Keanekaragaman pada suatu ekosistem berbeda-beda. Faktor yang
mempengaruhi keanekaragaman menurut Krebs (1978) adalah:
a) Waktu. Keragaman komunitas bertambah sejalan waktu, berarti komunitas tua
yang sudah lama berkembang, lebih banyak terdapat organisme dari pada
komunitas muda yang belum berkembang. Waktu dapat berjalan dalam ekologi
lebih pendek atau hanya sampai puluhan generasi.
b) Heterogenitas ruang. Semakin heterogen suatu lingkungan fisik semakin
kompleks komunitas flora dan fauna disuatu tempat tersebar dan semakin tinggi
keragaman jenisnya.
c) Kompetisi, terjadi apabila sejumlah organisme menggunakan sumber yang
sama yang ketersediannya kurang, atau walaupun ketersediannya cukup, namun
persaingan tetap terjadi juga bila organisme-organisme itu memanfaatkan
sumber tersebut, yang satu menyerang yang lain atau sebaliknya.
d) Pemangsaan, untuk mempertahankan komunitas populasi dari jenis persaingan
yang berbeda di bawah daya dukung masing-masing selalu memperbesar
kemunginan hidup berdampingan sehingga mempertinggi keragaman. Apabila
intensitas dari pemangsaan terlalu tinggi atau rendah dapat menurunkan
keragaman jenis.
e) Produktifitas, juga dapat menjadi syarat mutlak untuk keanekaragaman yang
tinggi.

18
2. Kelimpahan
Kelimpahan relatif adalah proporsi yang direpresentasikan oleh masing –
masing spesies dari seluruh individu dalam suatu komunitas (Campbell, 2010).
Kelimpahan adalah jumlah yang dihadirkan oleh masing-masing spesies dari
seluruh individu dalam komunitas (Campbell, 2010). Berdasarkan pengertian
tersebut dapat disimpulkan bahwa kelimpahan adalah jumlah atau banyaknya
individu pada suatu area tertentu dalam suatu komunitas.
Kelimpahan adalah jumlah individu yang menempati wilayah tertentu atau
jumlah individu suatu spesies per kuadrat atau persatuan volume. (Michael, 1994, h.
89). Selain itu, kelimpahan relatif adalah proporsi yang direpresentasikan oleh
masing-masing spesies dari seluruh individu dalam suatu komunitas (Campbell,
2010). Sementara Nybakken (1992) mendefinisikan kelimpahan sebagai
pengukuran sederhana jumlah spesies yang terdapat dalam suatu komunitas atau
tingkatan trofik.
Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa kelimpahan
adalah jumlah atau banyaknya individu pada suatu area tertentu dalam suatu
komunitas. Kelimpahan plankton sangat dipengaruhi adanya migrasi. Migrasi dapat
terjadi akibat dari kepadatan populasi, tetapi dapat pula disebabkan oleh kondisi
fisik lingkungan, misalnya perubahan suhu dan arus. (Susanti, 2010).
C. Terumbu Karang
1. Pengertian Terumbu Karang
Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem unik yang memiliki nilai
produktivitas yang tinggi. Menurut Supriharyono (2009) menjelaskan, bahwa
terumbu karang merupakan kumpulan binatang karang (reef corals), yang hidup di
dasar perairan, ang berupa batuan kapur (CaCO3), dan mempunyai kemampuan
yang cukup kuat untuk menahan gaya gelombang laut.
Ekosistem terumbu karang adalah unik karena umumnya hanya terdapat di
perairan tropis, sangat sensitive terhadap perubahan lingkungan hidupnya terutama
suhu, salinitas, sedimentasi, eutrofikasi dan memerlukan kualitas perairan alami

19
(Pristine). Demikian halnya dengan perubahan suhu lingkungan akibat pemanasan
global yang melanda perairan tropis di tahun (1998) telah menyebabkan pemutihan
karang (Coral bleaching) yang diikuti dengan kematian massal mencapai 90-95%.
Selama peristiwa pemutihantersebut, rata-rata suhu permukaan air di perairan
Indonesia adalah 2-3 0C di atas suhu normal (Djuhanda, 1981).
Secara saintifik, organisme yang membentuk terumbu karang adalah dari
famili cnidaria, termasuk kerang laut (corals), sea anemons, ubur-ubur, hydra, dan
sebagainya (Hutabarat dan Evans, 2014). Terumbu karang menjadi rumah bagi
sejenis organisme karnivora yang disebut sebagai polip. Satu koloni terumbu karang
dapat mengandung ribuan polip yang mampu menghasilkan kalsium karbonat dan
seterusnya membentuk struktur batu karang (Nybakken, 1992). Terumbu karang
membesar dengan cepat di dalam air yang jernih dan air yang dapat ditembus oleh
cahaya matahari. Terumbu karang dapat hidup subur pada suhu 200C hingga 280C
(Guntur dkk, 2012). Luas ekosistem terumbu karang sekitar 50.000 km2 atau 16,5%
dari luasan terumbu karang di dunia, yaitu seluas 255.300 km2, yang merupakan
pusat keanekaragaman hayati dunia dengan 70 genera dan 450 spesies.(Guntur dkk,
2012). Lebih dari 700 spesies penyusun ekosistem terumbu karang telah diteliti di
wilayah timur Indonesia dan merupakan 60% dari jenis karang dunia yang telah
berhasil didata (Prasetyo, 1997).
Sumberdaya terumbu karang dan segala kehidupan yang terdapat di
dalamnya merupakan salah satu kekayaan alam yang bernilai tinggi. Manfaat yang
terkandung di dalam ekosistem terumbu karang sangat besar dan beragam, baik
manfaat langsung, seperti pemanfaatan ikan dan biota lainnya, pariwisata bahari,
dan lain- lain, maupun manfaat tidak langsung, seperti penahan abrasi pantai,
pemecah gelombang, keanekaragaman hayati, sebagai tempat pengasuhan (nursery
ground), tempat mencari makan (feeding ground), dan sebagai tempat pemijahan
(spawning ground) bagi biota lainnya (Guntur dkk, 2012).
Terumbu karang (Coral reef) merupakan ekosistem yang khas di laut tropis,
tetapi ekosistem itu dapat pula dijumpai di beberapa daerah subtropis, walaupun

20
perkembangannya tidak sebaik di perairan lauttropis. Terumbu karang merupakan
masyarakat organisme yang hidup di dasar laut daerah tropis dan dibangun oleh
biota laut penghasil kapur khususnya karang dan alga penghasil kapur (CaCO3) dan
menjadi ekosistem yang cukup kuat menahan gelombang laut (Nybakken, 1992).
Terumbu karang (Coral reef) merupakan organisme yang hidup di dasar laut
dangkal terutama di daerah tropis. Terumbu adalah endapan-endapan masif yang
penting dari kalsium karbonat yang terutama dihasilkan oleh karang (filum cnidaria,
kelas anthozoa, ordo madreporia = scleractinia) dengan sedikit tambahan dari alga
berkapur dan organisme-organisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat, yang
mana termasuk hermatypic coral atau jenis-jenis karang yang mampu membuat
kerangka bangunan atau kerangka karang dari kalsium karbonat (Nybakken 1992).
Terumbu karang (coral reef)sebagai ekosistem dasar laut dengan penghuni
utama karang batu mempunyai arsitektur yang mengagumkan dan dibentuk oleh
ribuan hewan kecil yang disebut polip. Dalam bentuk sederhananya, karang terdiri
dari satu polip saja yang mempunyai bentuk tubuh seperti tabung dengan mulut
yang terletak di bagian atas dan dikelilingi oleh tentakel. Namun pada kebanyakan
spesies, satu individu polip karang akan berkembang menjadi banyak individu yang
disebut koloni (Sorokin, 1993).

2. Klasifikasi Terumbu Karang


Berdasarkan kemampuan memproduksi kapur maka karang dibedakan
menjadi dua kelompok yaitu karang hermatipik dan karang ahermatipik. Karang
hermatifik adalah karang yang dapat membentuk bangunan karang yang dikenal
menghasilkan terumbu dan penyebarannya hanya ditemukan didaerah tropis.
Karang ahermatipik tidak menghasilkan terumbu dan ini merupakan kelompok yang
tersebar luas diseluruh dunia. Perbedaan utama karang Hermatipik dan karang
ahermatipik adalah adanya simbiosis mutualisme antara karang hermatipik
denganzooxanthellae, yaitu sejenis algae unisular (Dinoflagellata unisular), seperti
Gymnodinium microadriatum, yang terdapat di jaringan-jaringan polip binatang

21
karang dan melaksanakan fotosistesis. Hasil samping dari aktivitas ini adalah
endapan kalsium karbonat yang struktur dan bentuk bangunannya khas. Ciri ini
akhirnya digunakan untuk menentukan jenis atau spesies binatang karang. Karang
hermatipik mempunyai sifat yang unik yaitu perpaduan antara sifat hewan dan
tumbuhan sehingga arah pertumbuhannya selalu bersifat fototeopik positif.
Umumnya jenis karang ini hidup di perairan pantai /laut yang cukup dangkal
dimana penetrasi cahaya matahari masih sampai ke dasar perairan tersebut.
Disamping itu untuk hidup binatang karang membutuhkan suhu air yang hangat
berkisar antara 25-32 0C (Nybakken, 1992).
Ada dua tipe karang, yaitu karang yang membentuk bangunan kapur
(hermatypic corals) dan yang tidak dapat membentuk bangunan karang
(ahermatypic corals). Hermatypic corals adalah koloni karang yang dapat
membentuk bangunan atau terumbu dari kalsium karbonat (CaCO3), sehingga
sering disebut pula reef building corals. Sedangkan ahermatypic coralsadalah koloni
karang yang tidak dapat membentuk terumbu (Supriharyono, 2007).
Hermatypic corals adalah hewan, yang dalam hidupnya bersimbiose dengan
algae (zooxanthellae) dan hidup di jaringan-jaringan polypkarang tersebut, serta
melaksanakan fotosintesa. Hasil samping dari aktivitas fotosintesa tersebut adalah
endapan kalsium karbonat (CaCO3), yang struktur dan bentuk bangunannya khas.
Ciri ini akhirnya digunakan untuk menentukan jenis atau spesies binatang karang.
Karena aktivitas fotosintesa tersebut, maka peran cahaya matahari adalah penting
sekali bagi hermatypic corals. Sehingga jenis binatang karang ini umumnya hidup
di perairan pantai/laut yang cukup dangkal, yang mana penetrasi cahaya matahari
masih sampai ke dassar perairan tersebut. Di samping itu, untuk hidupnya binatang
karang membutuhkan suhu air yang hangat, yaitu berkisar antara 25-320C
(Supriharyono, 2007). Adanya proses fotosintesa oleh alga menyebabkan
bertambahnya produksi kalsium karbonat dengan menghilangkan karbon dioksida
dan merangsang reaksi kimia sebagai berikut: Ca (HCO3) CaCO3+ H2CO3H2O +
CO2

22
Fotosintesa oleh alga yang bersimbiose membuat karang pembentuk
terumbu menghasilkan deposit cangkang yang terbuat dari kalsium karbonat, kira-
kira 10 kali lebih cepat dari pada karang yang tidak membentuk terumbu
(Ahermatipik) dan tidak bersimbiose dengan Zooxanthellae (Dahuri, 1999).
Selanjutnya Nybakken (1992) mengelompokkan terumbu karang menjadi tiga tipe
umum yaitu :
a. Terumbu karang tepi (Fringing reef/shore reef)
b. Terumbu karang penghalang (Barrier reef)
c. Terumbu karang cincin (atoll)
Diantara tiga struktur tersebut, terumbu karang yang paling umum dijumpai
di perairan Indonesia adalah terumbu karang tepi (Chou, 1984). Penjelasan ketiga
tipe terumbu karang sebagai berikut :
a. Terumbu karang tepi (Fringing reef) ini berkembang di sepanjang pantai dan
mencapai kedalaman tidak lebih dari 40 m. Terumbu karang ini tumbuh keatas
atau kearah laut. Pertumbuhan terbaik biasanya terdapat dibagian yang cukup
arus. Sedangkan diantara pantai dan tepi luar terumbu, karang batu cenderung
mempunyai pertumbuhaan yang kurang baik bahkan banyak mati karena sering
mengalamikekeringan dan banyak endapan yang datang dari darat.
b. Terumbu karang tipe penghalang (Barrief reef) terletak di berbagai jarak
kejauhan dari pantai dan dipisahkan dari pantai tersebut oleh dasar laut yang
terlalu dalam untuk pertumbuhan karang batu (40-70 m). Umumnya memanjang
menyusuri pantai dan biasanya berputar-putar seakan –akan merupakan
penghalang bagi pendatang yang datang dari luar. Contohnya adalah The Greaat
Barier reef yang berderet disebelah timur laut Australia dengan panjang 1.350
mil.
c. Terumbu karang cincin (atoll) yang melingkari suatu goba (laggon). Kedalaman
goba didalam atol sekitar 45m jarang sampai 100m seperti terumbu karang
penghalang. Contohnya adalah atol di Pulau Taka Bone Rate di Sulawesi Selatan.

23
3. Penyebaran dan Keanekaragaman Terumbu Karang
Secara taksonomi, terumbu karang dikenal memiliki 7500 spesies terumbu
dan menutupi area seluas 2 x 106 km2dilautan tropis sekeliling dunia. Sebagai
bentuk geologis yang masif, terumbu karang menyediakan perlindungan ombak
secara eksistensif sepanjang pesisir pantai, produksi biologis terumbu karang
menghasilkan komoditi pangan seperti ikan-ikan, molluska (Achituv dan Dubinsky,
1990).Seperti diutarakan sebelumnya bahwa karang tumbuh subur di perairan laut
tropis, walaupun ada di antaranya yang juga dijumpai di perairan laut
subtropis.Keanekaragaman karang berkurang dengan kenaikan derajat lintang.
Lebih lanjut dikatakan bahwa di dunia ini ada tiga (3) daerah pengelompokan
terumbu karang, dua di antaranya adalah di Indonesia Barat (Indo-Pacific) dan
karibia(Atlantic), dan ketiga terletak di sebelah selatan Samudera Hindia (Indo-
Pacific) (Ronsen,1971).
Indonesia memiliki keanekaragaman jenis yang sedikit tinggi dibandingkan
dengan yang terdapat di Samudera Hindia. secara umum jumlah spesies karang
(Reef Building Corals) yang tumbuh di Indo-Pacificcenderung lebih banyak
dibandingkan dengan di Atlantic (Supriharyono, 2007).Menurut Wells (1954) dan
Ronsen (1971) ada 88 genera karang (hermatypic scleractinian corals) yang hidup di
Indo-Pasific, dengan 700 spesies sedangkan di Atlantic tercatat hanyan ada 26
genera dan35 spesies. Namun sekitar 10 tahun kemudian, bersama Gureau, Wells
melaporkan adanya kenaikan jumlah spesies hermatypic coralssekitar 50% di
jamaika, yaitu sekitar 41-48 spesies (Goreau dan Wells, 1967).

24
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Waktu Dan Tempat Penelitian


Penelitian ini akan dilaksanakan di dua tempat, yaitu di Pantai Tablolong
dan di Laboratrium Dinas Pertanian Dan Perkebunan Kota Kupang, pada bulan Juli-
Agustus 2019

Gambar 3.1 Peta Lokasi Penelitian


B. Alat dan Bahan
Alat : Plankton net, refaktometer, thermometer, DO meter, Sedgwick-rafter, pH
meter, Pipet Tetes Kaca, Mikroskop Cahaya Nikon, Secchi disc, GPS (Global
Positioning System), Botol Sampel, , kertas label, tabung ukur berskla 20 ml, cool
boks, alat tulis menulis, kamera digital, tali rafia.
Bahan : Aquades, sampel air laut, lugol
C. Metode Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan metode acak terpilih
(Purposive Random Sampling). Pengamatan akan dilakukan berdasarkan
keterwakilan spasial wilayah perairan.
D. Prosedur Penelitian
1. Tahap Persiapan

25
Pada tahap ini akan dilakukan persiapan alat dan bahan serta studi literature
tentang kondisi wilayah penelitian.
2. Penentuan Stasiun Pengambilan Sampel
Pengamatan akan dilakukan berdasarkan keterwakilan spasial wilayah
perairan yang mencakup 2 titik stasiun pengambilan sampel. Stasiun 1 terdapat di
lokasi ekosistem terumbu karang yang dekat dengan lokasi penanaman rumput laut,
di stasiun tersebut akan dibuat 3sub stasiun pengamatan dengan jarak masing-
masingsub stasiun yaitu 3 m dan stasiun 2 terdapat di lokasi ekosistem terumbu
karang yang dekat dengan pemukiman penduduk, di stasiun tersebut juga akan
dibuat 3 sub stasiun pengamatan dengan jarak masing-masig sub stasiun yaitu 3 m.

Stasiun I (5m) Stasiun II (5m)


(Daerah Budidaya Rumpul Laut) (Dekat Pemukiman Penduduk)

10 m 10 m

10 m
3m
10 m

3m
100 meter

ggggggasasgsdhdjfndjd
Garis pantai

Ket : Area pengambilan sampel

Gambar 3.2 Area Pengambilan Sampel

26
3. Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel akan dilakukan pada pukul 06.00, pukul 18.00, dan pukul
20.00. Dengan kedalaman 5 m dan jarak dari masing-masing sub stasiun yaitu 3 m.
Sampel akan diambil 1 kali dalam 1 minggu selama 1 bulan.
4. Cara Pengambilan Sampel
a. Mengukur tali sesuai dengan kedalaman 5 m
b. Mengikat tali pada botol yang telah dimodifikasi dan diberi pemberat,
kemudian diturunkan pada kedalaman yang telah ditentukan untuk
mengambil air. Pada saat botol diturunkan tali yang diikat pada penutupnya
dikendorkan agar penutup botol tetap tertutup rapat sehingga air yang ada
dipermukaan tidak masuk ke dalam botol.
c. Setelah botol diturunkan sampai kedalaman yang sudah ditentukan, maka
tali yang mengikat penutup tabung ditarik sehingga airnya masuk. Bila botol
sudah penuh maka penutupnya ditutup kembali dengan cara, tali yang
mengikat tiang tabung segera ditarik ke atas sedangkan tali yang mengikat
penutup tabung dibiarkan kendor.
d. Botol yang sudah terisi air yang diambil dari kedalam 5 m, selanjutnya air
tersebut disaring dengan menggunkan plankton net.
e. Setelah disaring, kemudian diisi ke dalam botol fim yang sudah ditandai
dengan label yang sudah ditulis tanggal pengambilan, kedalaman, jam dan
stasiun
f. Sampel diawetkan dengan menggunakan formalin 4% sebanyak 2 tetes,
kemudian sampel disimpan di dalam kulkas pada suhu 15°C.
g. Pada saat akan mengidentifikasi sampel didiamkan selama 1 hari (24 jam)
untuk diambil endapannya.
5. Pengumpulan Data
Dalam tahap ini akan dilakukan pengukuran parameter pendukung baik
fisika maupun kimia perairan pada masing-masing stasiun pengamatan yang telah
ditentukan. Data hasil pengukuran yang diperoleh dalam kegiatan ini melalui dua

27
cara, yaitu pengukuran data langsung (in situ) dan analisis sampel di laboratorium.
Parameter yang akan diukur secara langsung (in situ) meliputi pH, suhu, salinitas,
Disolved Oxygen (DO), kecerahan, fosfat dan nitrat. Selain pengukuran langsung di
lapangan, terdapat sampel air laut yang akan di ambil untuk selanjutnya dianalisis
di laboratorium.
6. Identifikasi Plankton
Sampel yang diperoleh dari lapangan kemudian diidentifikasi dengan
dengan cara menuangkan sampel air laut sebanyak 15 ml ke dalam tabung ukur
berskala yang berukuran 20 ml. kemudian sampel tersebut didiamkan selama 1 hari
untuk diambil endapannya. Setelah didiamkan selama satu hari, air yang berada
diatas endapan tersebut dibuang dan diukur hasil endapannya sebanyak ±5 ml,
kemudian endapan tersebut dipindahkan dan ditambahkan air sebanyak ±5 ml.
setelah itu endapan tersebut diletakan di atas SRC dan kemudian diamati di bawah
mikroskop dengan perbesaran 5 x 10. Dan juga diidentifikasi dengan menggunakan
buku indentifikasi plankton Yamaji (1979) dan Shirota (1966) .
E. Analisis Data
Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara kuantitatif dan deskriptif
yaitu mengukur kelimpahan plankton (zooplankton) dan membandingkan data hasil
pengolahan dengan referensi yang ada.
1. Indeks Kelimpahan
Kelimpahan plankton (zooplankton) dapat dihitung menggunakan
rumus menurut Welch, (1952) :
N = (a x 1000) x c
V
Keterangan :
N = kelimpahan per liter
a = rerata cacah zooplankton dari semua hitungan dalam SRCC (Sedgewick
Rafter Caunting Cell) dengan kapasitas 1 ml
c = volume air tersaring (ml)

28
V = volume air disaring (L)
2. Indeks Keanekaragaman (H’)
Nilai indeks keanekaragaman digunakan untuk mengetahui tingkat
keanekaragaman zooplankton pada suatu populasi. Digunakan persamaan indeks
Shannon-Wiener sebagai berikut (Odum, 1993) :
H’ = - Σ [(ni/N) x ln (ni/N)]
Dimana :
H’ = indeks diversitas Sharon-Wiener
ni = jumlah individu jenis ke I
N = jumlah total individu
S = jumlah genus

Kisaran nilai indeks keanekaragaman dapat diklasifikasikan sebagai berikut :


H’ < 2,3 = tingkat keanekaragaman rendah
2,3 < H’ < 6,9 = tingkat keanekaragaman sedang
H’ > 6,9 = tingkat keanekaragaman tinggi
3. Indeks Dominansi
Indeks dominansi digunakan untuk melihat ada atau tidak adanya tingkat
dominansi oleh jenis tertentu pada komunitas plankton. Perhitungan indeks
dominansi dengan menggunakan Indeks Dominansi Simpson (Odum, 1993) dengan
rumus sebagai berikut :
C= Σ 𝑛𝑖 (ni-1) / N (N-1)
Keterangan :
C = Indeks dominansi Simpson
ni = Jumlah individu jenis ke-i
N = Jumlah total individu
S = Jumlah genus

29
DAFTAR PUSTAKA

Asriyana, dan Yuliana. 2012. Produktivitas Perairan. PT Bumi Aksara. Jakarta.

Barus, T. A. 2004. Pengantar Limnologi Studi Tentang Ekosistem Air Daratan. USU Press.
Medan.

Basmi, J. 1988. Perkembangan Komunitas Fitoplankton Sebagai Indikator Perubahan


Tingkat Kesuburan Kualitas Perairan. (tidak diterbitkan). Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan. IPB. Bogor.

Campbell, N.A & Reece, J.B. (2010). Biologi. Edisi 8 jilid 3. Terjemahan D. Tyas Wulandari.
Jakarta: Erlangga.

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan
Perairan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Fathurrohim, M. F. (2015). Kelimpahan dan Keanekaragaman Zooplankton di Situ Cisanti


Kecamatan Kertasari Kabupaten Bandung. Skripsi FKIP UNPAS Bandung: Tidak
diterbitkan.

Hutabarat, S dan Evan, S.M. 1986. Pengantar Oseanografi. Universitas Indonesia. Press.
Jakarta.

Hutabarat, S. dan S.M. Evans. 1986. Kunci Indentifikasi Zooplankton. Jakarta: Universitas
Indonesia.

Nontji, A. 2006. Tiada Kehidupan di Bui Tanpa Keberadaan Plankton. Pusat Penelitian
Oseanografi, Jakarta.

Nontji, A. 2007. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta.

Nontji, A. 2008. Plankton Laut. LIPI. Jakarta.

Nontji, A., 1993. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta

Nontji, A. 1987. Laut Nusantara.Penerbit Jembatan. Jakarta

Nybakken, 1988. Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologis. Penerbit PT. Gramedia,
Jakarta.

Nybakken, J. W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. PT. Gramedia. Jakarta.

30
Odum, E.P. 1983. Basic Ekology. Saunders College Publishing. University of Georgia.
New York.
Odum, E.P. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi ketiga . Gajah mada University Press.
Jogjakarta. H. 134-162.
Odum, E. P. 1971. Dasar – Dasar Ekologi. Gadjah mada University Press. Yogyakarta .
Interscience Publication. New York.

Prasetyo, D., dan Wawan. 2012. Pemetaan Terumbu Karang : Teori, Metode, dan Praktik.
Penerbit Ghalia Indonesia. Bogor.

Shirota, A., 1966. The Phytoplankton of South Vietnam. Vietnam.

Yamaji,I., 1979. Illustration of The Marine Plankton of Japan. Hoikusha Publishing. Japan.

Yuliana, Adiwilaga E M., Harris E., dan Pratiwi N. 2012. Hubungan antara Kelimpahan
Fitoplankton dengan Parameter Fisik-Kimiawi Perairan di Teluk Jakarta. Jurnal
Akuatik Vol.III (2) : 169-179.

31

Anda mungkin juga menyukai