Anda di halaman 1dari 2

Mufida Nugraheni

17/XII MIPA 3

LKS Halaman 74-75


1. Buatlah penafsiran dan interpretasi pengarang dalam kutipan novel tersebut dengan format sebagai berikut!
2. Bacalah artikel berikut untuk memudahkan Anda memperoleh data latar belakang sosial budaya yang terdapat
dalam novel kaitannya dengan pengarang!
3. Setelah Anda membaca teks tersebut, tulislah data yang Anda peroleh dari artikel tersebut! Kerjakan dalam
buku tugas!

Jawab :

Judul Buku : Dua Hati Bertemu

Penulis : N.H. Dini

Sinopsis : Novel ini menceritakan tentang Bu Suci yang mengajar di SD hampir 10 tahun di Purwodadi.
Namun, Bu Suci pindah ke Semarang karena suaminya dipindahtugaskan. Di Semarang, Bu Suci menggantikan guru
yang mendapat kecelakaan dan beliau juga mengajar kelas 3 sebanyak 2 buah. Pada hari pertama sampai hari ketiga,
kegiatan Bu Suci berjalan dengan lancar dan urusan rumah tangganya tak menemui masalah. Namun, pada hari
keempat, Bu Suci mempunyai seorang murid yang bernama Waskito yangdikenal sebagai murid yang kasar, kurang
ajar, nakal, dan sulit diatur. Setelah mendapat semua informasi, Bu Suci akhirnya mengerti perasaan Waskito.  Pada
suatu hari, Waskito mengamuk pada saat jam istirahat. Sejak saat itu, Bu Suci sering berada di kelas dan mengobrol
dengan Waskito. Setelah 1 bulan, sifat Waskito telah berubah. Nilai pada rapor dia berisi angka-angka normal. Pada
akhir tahun pelajaran, Waskito naik kelas. Kemudian, Budenya datang ke sekolah untuk berterima kasih kepada
kepala sekolah, guru-guru terutama Bu Suci yang telah memperbaiki sifat Waskito.

Nilai Dalam Cerita : Nilai Karakter: Mengajarkan agar dapat mengontrol emosi dengan lebih baik.
Juga agar bisa mengontrol cara mengeluarkan amarah. Nilai moral: Jangan
menyakiti orang lain meskipun sedang marah dan jangan mudah menyerah.

Pandangan Pengarang : Pengarang menghadirkan tokoh Waskio sebagai seorang yang memiliki ego
tinggi dan sulit mengontrol diri, tetapi bisa beribah kembali menjadi pribadi yang
lebih baik. Pengarang juga menghadirkan tokoh Bu Suci sebagai guru yang bisa
dipanut dan di contoh. Bu Suci sebagai guru yang bijak dan sabar dalam
mendidik murid muridnya.

Interpretasi Pengarang : Sangat setuju dengan pandangan pengarang. Tidak ada manusia yang sempurna,
semua mempunyai kelebihan dna kekurangan. Namun, dalam kekurangan itu
tetap ada kesempatan untuk menjadi sukses. Manusia bisa mendapatkan banyak
kesempatan asalkan mau menerima diri apa adanya dan mau berusaha
mengembangkan apa yang dimiliki.
Hal 76-77

2. Nilai dan sudut pandang pengarang


Nilai yang digunakan dalam kutipan tersebut adalah nilai social, agama, dan moral. Nilai social ditunjukan
pada sikap Atik dan Bu Antana yang ikut membantu para gerilyawan dengan bekerja di dapur umum. Nilai
social juga digambarkan dalam pergulatan batin Atik terhadap Teto, yang dikisahkan sebagai orang yang
dianggap “penghianat” oleh orang sebangsanya. Nilai Agama tertera pada kegiatan Atik dan Bu Antana
yang berdoa mendoakan Pak Antana. Nilai moral tampak dalam pandangan Bu Antana dan Larasati yang
dituliskan, “Sebab begitu mereka lalu tidak merasa sebagai pengemis yang hanya menerima pengayoman
tanpa imbalan.”

Sudut pandang yang digunakan adalah sudut pandang orang ketiga mahatau. Hal ini terbukti dengan
banyaknya kata kanti orang ketiga dan juga kemampuan mengetahui segala yang sedang terjadi dalam
cerita seperti apa yang sedang dirisaukan Atik dalam hatinya atau bagaimana pandangan Bu Antana dan
Atik tentang dapur umum meski tidak ada dialog yang membicarakan hal tersebut.
3. Pandangan Pengarang

Askpek Kehidupan Pandangan Pengarang


Pengaram memandang kehidupan social pada masa itu cukup
mencekam, tetapi para warga tetap saling membantu dan bergotong
royong. Terbukti pada kalimat “Daripada mereka tanpa guna di dalam
Sosial rumah kosong di dalam kota yang diduduki musuh dan setiap kali takut
diperkosa serdadu, lebih baik minta perlindungan kepada saudara-
saudara desa yang begitu baik menolong mereka dalam keadaan yang
paling pahit.
Aspek keagaaman digambarkan secara umum uleh penulis dalam
peristiwa Atik dan Bu Antana berdoa di makan Pak Antana “Maka pada
Keagamaan
sore hari itu, kedua wanita itu menuju ke kuburan untuk berdoa di
pemakamannya yang hanya diberi tanda dua tonggak kayu sengon.”
Tidak terlalu tampak unsur budaya yang ditampilkan dalam cerita ini,
tetapi ada beberapa hal yang bisa dikaitkan dengan kebudayaan atau
setidaknya hal yang sudah melekat pada masyarakat, yaitu pada kalimat,
Budaya “Bagi lelaki, apabila ia berwatak rusa raja atau bermuka banteng, soal
kalah dan menang sangatlah vital ....” ini menjelskan bahwa laki laki
jaman dahulu memandang kemenangan atau kejayaan sebagai lambang
dari kegagahan dan kekuatan.
Pandangan perjuangan zaman tersebut penuh kerja keras, yang secara
khusus adalah kiprah di dapur umum yang ditunjukan pada kalimat
“Tanpa dapur umum, perjuangan para gerilyawan mustahillah. Dan
selalu saja ada pekerjaan atau tugas mendadak yang lekas-lekas harus
diselesaikan.” Atau “Tugas di dapur berat secara fisik, tetapi dari segi
Perjuangan
penyegaran jiwa tak berat” hal lainnya adalah kerinduan dan keinginan
akan kemerdekaan RI yang sebenarnya yang tidak lagi berbentuk serikat.
Terbukti ketika mereka mendengar bahwa Presiden Sukarno dan seluruh
pemerintahan akan dipulangkan ke Yogya dan konferensi yang akan
membahas penyerahan kedaulatan Indonesia akan segera dilaksanakan.

Anda mungkin juga menyukai