Anda di halaman 1dari 2

Vitamin C adalah vitamin yang paling tidak stabil dari semua vitamin dan mudah

rusak selama pemprosesan dan penyimpanan. Laju kerusakan meningkat karena kerja logam,
terutama tembaga dan besi dan kerja enzim. Enzim yang mengandung tembaga atau besi
dalam gugus prostetiknya merupakan katalis yang efisien untuk penguraian asam askorbat.
Enzim yang paling penting dalam golongan ini adalah asam askorbat oksidase, fenolase,
sitokrom oksidase, dan peroksidase. Hanya asam askorbat oksidase yang terlibat reaksi
langsung antara enzim, substrat, dan oksigen molekul. Enzim yang lain mengoksidasi vitamin
secara tidak langsung. Fenolase mengkatalis oksidasi mono- dan dihidroksi fenol menjadi
kuinon. Kuinon bereaksi langsung dengan asam askorbat. Sitokrom oksidase mengoksidasi
sitokrom dan bereaksi dengan asam L-askorbat. Peroksidase bergabung dengan senyawa
fenol menggunakan hidrogen perosida untuk melakukan oksidasi (Deman, 1997). Vitamin C
stabil dalam keadaan kering tetapi dalam bentuk larutan mudah teroksidasi menjadi asam
dehidroaskorbat terutaman oleh pengaruh oksigen, cahaya, dan pH (larutan vitamin C paling
stabil pada pH dibawah4). Penyimpanan vitamin C dalam wadah tertutup rapat dan
terlindungi dari cahaya. Vitamin C tidak dapat bercampur dengan alkali, ion logam berat
terutama besi (III) dan tembaga (II), senyawa pengoksidasi, metanamin, fenilefrin
hidroklorida, pirilamin maleat, salisilamid, natrium nitrit, natrium salisilat, dan teobromin
salisilat (Wade, 2003). Vitamin C apabila terpapar oleh cahaya, terkena pemanasan dan
dalam suasana alkali dapat teroksidasi menjadi asam L-dehidroaskorbat. Selanjutnya 7 asam
L-dehidroaskorbat dioksidasi lebih lanjut akan terbentuk asam 2,3 diketogulonik, lalu dapat
menjadi asam oksalat dan 1-asam treonik. Reaksi vitamin C menjadi asam L-dehidroaskorbat
bersifat reversibel, sedangkan reaksireaksi yang lainnya tidak (Thurnmham et al., 2000).
Asam askorbat merupakan ester siklik. Dalam larutan air mudah teroksidasi
(reaksinya bolak-balik) membentuk asam dehidro-askorbat (Connors, dkk., 1986). Asam
askorbat bersifat sangat sensitif terhadap pengaruh-pengaruh luar yang menyebabkan
kerusakan seperti suhu, pH, oksigen, enzim, dan katalisator logam (Andarwulan dan
Koswara, 1989). Asam dehidro-askorbat dapat mengalami hidrolisis lebih lanjut membentuk
produk degradasi yang bereaksi tidak bolak-balik asam diketoglukonat dan asam oksalat.
Asam askorbat juga gampang mengalami degradasi di bawah kondisi an- aerob, membentuk
furfural dan karbon dioksida. Profil laju-pH bagi keduanya baik degradasi aerob maupun an-
aerob akan mencapai maksimal pada sekitar pH 4 (Connors, dkk., 1986). Suatu larutan asam
askorbat 5% dalam air memiliki pH 2.1-2.6, pH dari 10% larutan kalsium askorbat dalam air
adalah antara 6.8 dan 7.4, dan pH dari larutan natrium askorbat dalam air antara 7.0 dan 8.0
(Sweetman, 2005). Stabilitas maksimum terjadi dekat pH 3 dan pH 6. Stabilitas asam
askorbat dalam bentuk sediaan padat cukup baik, asal kelembabannya dikendalikan (Connors,
dkk., 1986).
Asam askorbat merupakan senyawa yang sangat mudah teroksidasi. Stabilitas asam
askorbat (padat) terhadap suhu melebur pada suhu lebih kurang 190°C. Asam askorbat
terhadap cahaya lambat laun warna menjadi gelap. Asam askorbat dalam keadaan kering
stabil di udara .Stabilitas asam askorbat (larutan) dalam larutan cepat teroksidasi. Stabil
terhadap pH : 2,1-2,6. Asam askorbat terhadap cahaya lambat laun warna menjadi gelap.
Banyak factor yang mempengaruhi stabilitas asam askorbat seperati pH, ion logam, suhu,
cahaya, dan oksigen. Asam askorbat yang beredar di pasaran sebagian besar berupa larutan
yang dalam Farmakope Indonesia V memiliki rentang pH 5,5-7,0.(Depkes, 1995) Sedangkan
larutan dengan pH > pKa asam askorbat yang berakibat pada penurunan stabilitas asam
askorbat . (Buettner and Jurkiewiez, 1996
)
Deman, J.M., 1997. In: Padmawinata, K (ed.). Kimia Makanan. Edisi 2. ITB press : Bandung. pp. 411-
413.

Wade, L. G., 2003. Organic Chemistry. Upper Suddle River: Pearson Education. Hal 77-84.

Thurnham, D. I., Bender D. A., Scott J., dan Halsted C.H., 2000. Water Soluble Vitamins, dalam
Human Nutritions and Dietatics (Garrrow J. S., James W. P. T., and Ralph A., eds) hal 249-257,
Harcourt Publishers Limited, United Kingdom

Andarwulan, N., dan Koswara, S. (1989). Kimia Vitamin. Jakarta: Rajawali Press. Halaman 26.

Connors, K.A., Amidon, G.L., dan Stella, V.J. (1986). Stabilitas Kimiawi Sediaan Farmasi. Edisi II. Jilid 1.
New York: John Wiley and Sons. Halaman 180- 181

Sweetman, S.C. (2005). Martindale The Complete Drug Reference. Thirty-fourth Edition.
Pharmaceutical Press: London. P. 1460.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1995, Farmakope Indonesia, Edisi IV, 606, Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta

Buettner, G.R., and Jurkiewiez, B.A., 1996. Catalytic Metals. Ascorbate and Free Radicals:
combinations to Avoid. Radiation Research Society. 532-541

Anda mungkin juga menyukai