Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Degradasi kimia atau fisika dari komponen obat-obatan
kemungkinan dapat mengubah efek farmakologis obat tersebut,
menghasilkan perubahan efikasi dan resiko terjadinya toksisitas.
Sediaan farmasi yang digunakan dalam terapi penyakit tertentu
didasarkan atas efikasi dan keamanannya, sediaan tersebut harus stabil
dengan kualitas terjaga hingga waktu penggunaannya atau hingga
tanggal kadaluarsa yang ditetapkan. Sehingga pengetahuan akan faktor-
faktor yang mempengaruhi stabilitas obat-obatan dan pengatasannya
merupakan jaminan dalam menjaga kualitas obat (Yoshioka, 2002).
Berkurangnya kadar obat karena reaksi kimia yang menyebabkan
penurunan protein obat merupakan hal yang paling dimengerti dan
paling banyak dipelajari tentang ketidakstabilan obat. Salah satu reaksi
kimia yang menyebabkan degradasi obat-obatan adalah reaksi
hidrolisis. Hidrolisis merupakan suatu proses solvolisis dimana molekul
obat bereaksi dengan molekul air menghasilkan produk pecahan dari
konstitusi kimia yang berbeda. Obat-obatan dengan gugus ester dan
amida merupakan yang paling rentan mengalami reaksi hidrolisis
(Yoshioka, 2002).

B. RUMUSAN MASALAH
1. Pengertian degradasi hidrolisis?
2. Gugus fungsi yang mudah mengalami hidrolisis?
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi hidrolisis ?
4. Mekanisme degradasi hidrolisis terjadi?
5. Contoh obat yang mengalami hidrolisis?
6. Apa akibat dari degradasi hidrolisis?
7. Cara pencegahan dan solusi hidrolisis?

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. DEFINISI DEGRADASI HIDROLISIS


Degradasi adalah suatu reaksi perubahan kimia atau peguraian
senyawa menjadi lebih sederhana secara bertahap. Sedangkan
Hidrolisis adalah reaksi kimia yang memecah molekul air (H2O)
menjadi kation hidrogen (H+) dan anion hidroksida (OH-) melalui
suatu proses kimia. Proses ini biasanya digunakan untuk memecah
polimer tertentu, terutama yang dibuat melalui polimerisasi tumbuh
bertahap (step- growth polimerization) (Cairns, 2004).
Degradasi hidrolisis adalah suatu perubahan kimia atau
penguraian suatu senyawa menjadi lebih sederhana secara bertahap
diakibatkan pecahnya molekul air air (H2O) menjadi kation hidrogen
(H+) dan anion hidroksida (OH-).
Hidrolisis ester dan amida terjadi sebagai serangan nukleofilik
pada karbon gugus karbonil dan pemecahan lebih lanjut ikatan
tunggal karbon- oksigen atau karbon-nitrogen. Karbon pada gugus
karbonil lebih positif daripada yang diperkirakan akibat tingginya
elektronegativitas oksigen yang didekatnya. Pembagian elektron-
elektron ikatan yang tidak seimbang menyebabkan terjadinya
polarisasi ikatan sehingga karbon bermuatan positifparsial (δ+) ,
sedangkan oksigen bermuatan negattif parsial (δ-) (Prayoga, 2009).
Reaksi hidrolisis berjalan cukup lambat, tetapi dengan adanya
asam atau basa, laju reaksi meningkat dan dapat terjadi dekomposisi
yang signifikan. Harus diingat bahwa setiap obat merupakan amin,
yang bisa dibuat menjadi terlarutkan air melalui pembentukan garam
kloridanya. Garam-garam basa lemah dan asam mineral kuat bersifat
asam melalui hidrolisis parsial dan H+ yang terbentuk melalui
hidrolisis garam dapat mengkatalisis reaksi hidrolisis di dalam obat
itu sendiri. Sama halnya dengan obat-obatan yang merupakan garam

2
asam lemah dengan basa kuat bersifat basa di dalam larutan dan OH-
yang dihasilkan melalui hidrolisis parsial garam tersebut dapat
bertindak sebagai katalis dan menyebabkan terjadinya dekomposisi.
Mekanisme hidrolisis dapat dikatalis oleh asam dan basa
(Cairns,2004).

B. GUGUS FUNGSI YANG MENGALAMI HIDROLISIS

1. Hidrolisis Ester
Banyak obat-obatan mengandung gugus ester. Gugus ini
biasanya dibentuk dari asam karboksilat, karbomat, sulfomat
dengan berbagai jenis alkohol. Gugus ini terhidrolisis melalui
reaksi nukleofilik attack dari ion hidroksida di dalam air
(Yoshioka,2002).

Gambar 1. Hidrolisis senyawa golongan ester

Laju hidrolisis tergantung gugus-gugus pada R1 dan R2,


dimana grup gugus akseptor-elektron akan meningkat laju
hidrolisis sedangkan gugus donor-elektron akan menghambat
laju hidrolisis. Penggantian atom hidrogen dengan halogen
akseptor-elektron seperti Cl, juga meningkatkan laju
dekomposisi. Faktor sterik juga berperan penting, gugus yang
besar (bulky) baik pada R1 maupun R2 akan menurunkan laju
dekomposisi. Sebagai contoh, substitusi gugus iso-propil dengan
gugus n-propil pada R2 menurunkan laju dekomposisi lima kali
lebih rendah (Yoshioka,2002).
Serangan terhadap gugus ester juga dipengaruhi oleh

3
adanya muatan pada atom C tetangga. Laju hidrolisis dari semua
jenis ester yang berikatan dengan poli (butilen tartrat) tidaklah
sama. Ikatan ester yang berdekatan dengan muatan negatif
kurang reaktif untuk menyebabkan serangn ion hidroksida
daripada gugus ester yang berjauhan dengan muatan negatif
karboksilat (Yoshioka,2002).

2. Hidrolisis Amida
Ikatan amida merupakan ikatan yang umum ditemukan
dalam molekul obat. Ikatan amida kurang rentan mengalami
hidrolisis dibanding ikatan ester karena karbon karbonil pada
amida kurang elektrofilik (ikatan karbon dengan nitrogen
dianggap sebagai ikatan ganda) dan gugus amin sebagai leaving
group, merupakan leaving group lemah. Obat-obatan seperti
paracetamol, kloramfenikol, linkomisin, indometacin, dan
sulfacetamida semuanya dikenal menghasilkan amina dan asam
melalui reaksi hidrolisis (Yoshioka,2002).

Gambar 2. Hidrolisis senyawa golongan amida

3. Hidrolisis β-Laktam

Antibiotik golongan laktam seperti penisilin dan


sefalosporin, yang merupakan amida siklis atau laktam,
mengalami pemecahan cincin siklik karena reaksi
hidrolisis(Yoshioka, 2002).

4
Antibiotik β-Laktam termasuk penisilin dan safalosporin,
mengalami reaksi hidrolisis yang cepat dibanding senyawa amida
lainnya. Hal ini paling banyak disebabkan faktor elektronik,
konformasi rantai cincin (cincin 4 inti bergabung dengan cincin
5/6 inti), dan karakter ikatan ganda yang lebih rendah diantara
karbon pada karbonil dengannitrogen amida (Yoshioka, 2002).
Pemecahan cincin β-Laktam merupakan reaksi hidrolisis
dengan katalis basa oleh air. Kemungkinan melibatkan reaksi
elektrofilik pada gugus karbonil dan nukleofilik pada atom
nitrogen pada cincin β-Laktam (Servais, 2001). Turunan asam
karboksilat seperti amida diketahui rentan terhadap serangan
bahan-bahan nukleofilik. Nukleofilik dan basa dapat bertindak
sebagai salah satu katalis pemindahan hasil pada pecahnya cincin
β-Laktam (Connor, 1992).

C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Hidrolisis

Kecepatan reaksi hidrolisis dipengaruhi oleh factor intrinsik


seperti struktur molekuler, dan faktor lingkungan meliputi suhu
(apabila suhu naik 10oC maka hidrolisis naik dua kali lipat), pH
larutan (H+ dan OH- bersifat mengkatalis atau mempercepat putus
rantai. pH kestabilan suatu obat adalah pada titik minimum saat log
K minimum), jenis buffer, kekuatan ionik, cahaya, oksigen,
kelembaban dan bahan tambahan (Yoshioka, 2002).

5
D. Mekanime Reaksi Hidrolisis
Reaksi Hidrolisis terjadi ketika suatu asam bertemu dengan basa
yang akan menghasilkan garam dan air yang merubah pH dari
campuran tersebut. Dalam reaksi hidrolisis, terjadi penarikan H+ dan
OH- dari senyawa asam dan basa. H+ dan OH- berikatan menjadi air.
Sedangkan pembentuk senyawa asam dan basa yang lain bersatu
membentuk dari garam campuran asam basa tersebut. Garam tersebut
dapat bersifat asam atau basa atau netral tergantung dari sifat-sifat para
campurannya apakan asam kuat, asam lemah, basa kuat, basa lemah
(Prayoga, 2009).
Contohnya ketengikan disebabkan oleh adanya perubahan yang
terjadi dari reaksi dengan oksigen di udara sehingga disebut ketengikan
oksidatif. Off flavour dihasilkan oleh reaksi hidrolisis yang dikatalis
oleh enzim sehingga disebut ketengikan hidrolisis. Reaksi hidrolisis dan
efek absorpsi dapat dikurangi dengan penyimpanan dingin, transportasi
yang baik, pengemasan yang hati-hati dan sterilisasi sementara
ketengikan oksidatif tidak dapat dikurangi dengan merendahkan
temperatur ruang penyimpanan (Prayoga, 2009).
Pada reaksi hidrolisis akan dihasilkan gliserida dan asam lemak
bebas dengan rantai pendek (C4 - C12). Akibat yang ditimbulkan dari
reaksi ini adalah terjadinya perubahan bau dan rasa dari minyak atau
lemak, yaitu timbulnya rasa tengik. Ketengikan hirdrolisis disebabkan
oleh hidrolisis trigliserida, adanya uap air dan pembebasan asam lemak
bebas. Dalam reaksi hidrolisis, lemak dan minyak akan diubah menjadi
asam-asam lemak bebas dan gliserol. Reaksi hidrolisis mengakibatkan
kerusakan lemak dan minyak. Ini terjadi karena terdapat terdapat
sejumlah air dalam lemak dan minyak tersebut (Djatmiko dan
Pandjiwidjaja, 1984).
Kerusakan lemak yang utama adalah timbulnya bau dan rasa
tengik yang disebut proses ketengikan. Hal ini disebabkan oleh proses
otooksidasi radikal asam lemak tidak jenuh dalam minyak. Oto oksidasi
dimulai dengan pembentukan faktor-faktor yang dapat mempercepat

6
reaksi seperti cahaya, panas, peroksida lemak atau hidroperoksida,
logam-logam berat, dan enzim- enzim lipoksidase (Prayoga, 2009).

E. Contoh Obat Yang Mengalami Hidrolisis


 Penisilin
Antibiotika Penisilin (dan untuk ini sefalosporin) merupakan
amida siklik yang mudah terhidrolisis. Ikatan amida yang normal
lebih resisten terhadap hidrolisis dibandingkan dengan ester. Tetapi
pada penisilin, amida tersiklisasi menjadi cincin β-Laktam dengan
empat anggota. Sudut ikatan pada cincin ini mendekati 90o,
berlawanan dengan amida rantai terbuka yang sudut ikatannya
adalah 120o (karbon hibrid sp2). Sudut ikatan yang tidak lazim pada
cincin β-Laktam ini menunjukkan cincin tersebut sangat mudah
dibuka oleh nukleofil, terutama air (Cairns, 2004).
Efek penisilin dibentuk oleh geometri sistem cincin bisiklik
terpadu. Cincin β-Laktam dan tiazolidin penisilin tidak berada pada
bidang yang sama (sesungguhnya, kedua cincin ini hampir tegak
lurus satu sama lain), sehingga mencegah efek resonansi pada amida
siklik, yang menyebabkan atom karbon karbonil jauh lebih δ+dari
yang diperkirakan, sehingga lebih besar kemungkinan mengalami
serangan nukleofilik. Struktur penisilin (ampisilin) dan hasil
dekomposisinya, asam penisiloat Cairns, 2004).

Penisilin asampenisiloat

Gambar 4. Struktur penisilin dan asam penisiloat.

7
Antibiotik penisilin dan sefaloporin tidak cukup stabil untuk
disediakan dalam bentuk terlarut di dalam larutan berair. Kedua
antibiotika tersebut tersedia dalam bentuk serbuk kering, yang
direkonstitusi sesaat sebelum disalurkan oleh farmasis. Larutan
(suspensi) yang disalurkan harus disimpan didalam lemari es dan
dibuang setelah 7 hari. Produk cincin terbuka (asam penisiloat) tidak
aktif sebagai antibiotika (Cairns, 2004).

 Kloramfenikol
Kloramfenikol mempunyai rumus kimia yang cukup sederhana
yaitu 1-(p- nitrofenil)-2-dikloroasetamido-1,3-propandiol.

Gambar 5. Struktur kimia kloramfenikol


Antibiotik ini bersifat unik diantara senyawa alam karena
adanya gugus nitrobenzen dan antibiotik ini merupakan turunan
asam dikloroasetat. Bentuk yang aktif secara biologis yaitu bentuk
levonya. Zat ini larut sedikit dalam air (1:400) dan relatif stabil.
Kloramfenikol diinaktivasi oleh enzim yang ada dalam bakteri
tertentu. Disini terjadi reduksi gugus nitro dan hidrolisis ikatan
amida; juga terjadi asetilasi.
Berbagai turunan kloramfenikol berhasil disintesis akan
tetapi tidak ada senyawa yang khasiatnya melampaui khasiat
kloramfenikol. Kloramfenikol adalah salah satu antibiotik yang
secara kimiawi diketahui paling stabil dalam segala pemakaian.
Kloramfenikol memiliki stabilitas yang sangat baik pada suhu kamar
dan kisaran Ph 2sampai 7,stabilitas maksimumnya dicapai pada pH

8
6. Pada suhu 25 C dan pH 6, memiliki waktu paruh hampir 3
tahun. Yang menjadi penyebab utama terjadinya degradasi
kloramfenikol dalam media air adalah pemecahan hidrolitik pada
lingkaran amida. Laju reaksinya berlangsung di bawah orde pertama
dan tidak tergantung pada kekuatan ionik media (Connors, 1992).
Berlangsungnya hidrolisis kloramfenikol terkatalisis asam
umum atau basa umum, tetapi pada kisaran pH 2 sampai 7, laju
reaksinya tidak tergantung pH. Spesies pengkatalisasi adalah asam
umum atau basa umum yang terdapat pada larutan dapar yang
digunakan; khususnya pada ion monohidrogen fosfat, asam asetat
tidak terdisosiasi, serta ion asam monohidrogen dan dihidrogen sitrat
dapat mengkatalisis proses degradasi. Di bawah pH 2, hidrolisis
terkatalisis ion hidrogen spesifik memegang peranan besar pada
terjadinya degradasi kloramfenikol. Obat ini sangat tidak stabil
dalam suasana basa, dan reaksinya terlihat terkatalisis baik asam
maupun basa spesifik (Connors,1992).
Jalur utama degradasi kloramfenikol adalah hidrolisis ikatan
amida, membentuk amida yang sesuai dan asam dikloroasetat
(Connors, 1992).

Gambar 6. Jalur utama degradasi kloramfenikol

Degradasi kloramfenikol lewat dehalogenasi tidak


menjadi bagian yang berperan dalam gambaran degradasi total,
setidaknya di bawah pH 7. (Connors, 1992). Laju degradasi
tergantung secara linier pada konsentrasi dapar, spesies dapar
beraksi sebagai asam umum dan basa umum. Laju hidrolisis

9
kloramfenikol tidak tergantung kekuatan ionik, dan tidak
terpengaruh oleh konsentrasi ion dihidrogen fosfat, dengan
demikian aktivitas katalisisnya dianggap berasal dari aksi ion
monohidrogen fosfat sebagai katalisis basa umum. (Connors,
1992).

 Aspirin
Aspirin merupakan senyawa ester fenil yang tersubstitusi.
Sebagaimana bentuk ester aromatik pada umumnya. Aspirin
mempunyai gugus rawan yang sangat peka, dengan kata lain,
aspirin relatif tidak stabil terhadap pengaruh hidrolisis dan proses
pemindahan hasil yang lain, profil laju pH nya terkesan sebagai
reaksi hidrolisis terhatifis asam spesifik dan basa spesifik.
Ditambah bentuk kurva yang sigmoid sebagai hasil dari hidrolisis
antar aspirin (Gisvold, wilson 1982).
Aspirin merupakan senyawa bersifat asam yang dapat
disintetis dari asam salisilat yang diisolasikan dengan asetil
klorida atau anhidrida asam asetat yang persamaan reaksi
kimianya (Gisvold, wilson 1982).

 Ceftazidime
Ceftazidime merupakan turunan sefalosporin generasi
ketiga. Ceftazidime memiliki spektrum aktivitas yang luas, dan
peningkatan aktivitas terhadap Pseudomonas aeruginosa. Obat ini
biasanya digunakan untuk pengobatan infeksi saluran empedu,
tulang dan persendian, cystic fibrosis (infeksi saluran pernafasan),
endophthalmitis, infeksi saluran nafas akut, melioidosis,
meningitis, peritonitis, pneumonia, dan infeksi saluran kemih.
Namun seperti turunan sefalosporin lainnya, ceftazidime relatif
tidak stabil dalam media air. Gugus β-laktam tidak stabil dalam
air karena rentan terhidrolisis baik dengan katalis asam ataupun
basa (Servais, 2001).

10
Gambar 8. Struktur molekul ceftazidime

Gambar 9. Stabilitas ceftazidime dengan variasi suhu. (A) pengaruh


waktu inkubasi (larutan 12 %). (B) pengaruh kadar obat dalam
larutan (24 h). (C) pengaruh pH (larutan 12 %, inkubasi 24 h).

Hasil penelitian Servais (2001), (Gambar 9) menunjukkan


semakin tinggi suhu semakin cepat pula sediaan terdegradasi (A).
Batas suhu larutan pada infusi kontinyu ceftazidime menurut
Baririan (2003) dan Servais (2001) berturut-turut tidak boleh lebih
dari 29,1oC dan 25oC. Dengan meningkatnya suhu, maka akan
meningkatkan jumlah tumbukan molekul obat. Jumlah tumbukan per
satuan waktu akan sebanding dengan laju reaksi hidrolisis obat
(Connors, 1992). Suhu yang lebih tinggi menyebabkan kadar obat di
bawah 90 %. Sesuai dengan batas yang ditetapkan USP, sediaan
intravena yang dapat diterima secara klinis harus mengandung ≥ 90
% dari komponen yang tercantum. Sehingga penting pada

11
pemberiaan ini untuk menjaga suhu ruang tetap sejuk atau jika
menggunakan pompa bermotor pasien hendaknya menghindari
aktivitas berlebih di ruang terbuka terutama pada saat musim panas.
Kecepatan hidrolisis ceftazidime pada larutan dengan pH yang
berbedamenunjukkan laju reaksi semakin menigkat seiring
peningkatan pH. Menurut Servais (2001) pH dari larutan tidak boleh
lebih dari 10, pada pH tersebut terjadi degradasi dengan sangat cepat
(Gambar 9 C). Akumulasi dari produk alkali hasil degradasi
kemungkinan menyebabkan peningkatan pH sehingga meningkatkan
laju hidrolisis (Al- Omari,dkk,2000).

Ceftazidime relatif stabil pada pH yang sedikit asam.


Perubahan dari pH mungkin menyebabkan perubahan pada
konformasi struktural yang memicu terbentuknya rintangan sterik
pada daerah yang reaktif sehingga laju reaksi relatif tidak terjadi
peningkatan. Meskipun ada penelitian yang mengatakan sediaan
infusi ceftazidime mampu bertahan hingga 2 hari pada suhu 30oC p
ada pH 4-6,5. Namun kondisi itu tidak bisa ditemukan dalam
aplikasi klinis. Kondisi perobaan kemungkinan menggunakan
larutan yang lebih encer tidak seperti komdisi klinis yang
memerlukan konsentrasi tinggi agar kadar obat selalu diatas MIC.
Selain itu, sediaan dilarutkan dengan media buffer kondisi ini tidak
umum ditemukan di rumah sakit dan percobaan yang dilakukan
tidak dengan khusus menyesuaikan dengan kondisi yang sebenarnya
di rumah sakit ( Al-Omari, dkk, 2000).

Besarnya kadar ceftazidime pada larutan juga mempengaruhi


laju reaksi hidrolisis. Seperti dijelaskan di awal kecepatan reaksi
hidrolisis dipengaruhi oleh faktor intrinsik seperti struktur
molekuler. Menurut Baririan (2003) secara intrinsik, β-laktam tidak
stabil dalam air karena rentan terhidrolisis baik dengan katalisis
asam ataupun basa. Ketidakstabilan ini juga kemungkinan
meningkat seiring meningkatnya kadar obat dalam larutan. Hal ini

12
dikarenakan terjadinya tumbukan intra dan intermolekuler. Semakin
banyak molekul dalam larutan semakin besar pula kemungkinan
terjadinya tumbukan yang akan meningkatkan laju degradasi
(Servais, 2001).

Hasil penelitian Favetta (2001) terhadap stabilitas ceftazidime


pada dua media infus berbeda yaitu dekstrosa 5% dan NaCl 0,9%
menunjukkan, rata-rata sediaan ceftazidime lebih stabil dalam media
NaCl 0,9%. Hal ini kemungkinan disebabkan konsentrasi media
dekstrosa yang lebih tinggi. Kadar yang tinggi menyebabkan resiko
terjadinya tumbukan intermolekuler lebih besar. Sehingga laju
degradasi lebih cepat (Servais, 2001).

Gambar 10. Jalur degradasi ceftazidime ditentukan dengan


HPLC-MS

 Diazepam

13
Gambar 11. Struktur Kimia Diazepam

Diazepam merupakan obat golongan benzodiazepin yang


digunakan untuk mengatasi gejala kecemasan berupa rasa takut,
gelisah, cemas yang mungkin timbul dari penyebab yang tidak
diketahui. Diazepam merupakan ansiolitik yang paling banyak
digunakan. Obat ini telah menggantikan barbiturat dalam
pengobatan ansietas karena diazepam lebih efektif dan aman.
Namun semakin luasnya pemakaian obat ini justru menimbulkan
berbagai penyalahgunaan. Diazepam menimbulkan ketergantungan
psikologik dan fisik jika diberikan dengan dosis tinggi dan
berkepanjangan. Namun penghentian mendadak obat ini dapat
menimbulkan gejala putus obat.

Dalam molekul air diazepam mengalami hidrolisis melalui


pembukaan cincin antara membentuk 2-metil-amino-5-
klorobenzofenon dan glisin.

I
I

14
II

III IV

Degradasi dari sejumlah turunan benzodiazepine, termasuk


diazepam, dalam formulasi injeksi, system pelarut C dalam tabel 1,
telah dipelajari oleh Carstensen dkk karena benzofenon merupakan
produk dekomposisi yang utama, sejumlah kecil turunan karboisitril
dan turunan akridon juga teramati pada suhu tinggi; laju
pembentukan senyawa-senyawa ini pada suhu kamar adalah 1/10
sampai 1/100 kalinya benzofenon. Diazepam memiliki substituent
gugs metil pada posisi-1 dan karenanya menjadi lebih stabil
disbanding berbagai 1,4-benzodiazepin yang lain (Hoffmann,2008).

Telah disebutkan sebelumnya bahwa diazepam dapat


mengalami degradasi melalui reaksi hidrolisis. Jika terhidrolisis,
diazepam akan menghasilkan benzofenon sebagai produk utama.
Sehingga untuk mengatasi atau menghindari degradasi dari

15
diazepam oleh hidrolisis dapat dilakukan dengan cara, antara lain :

1) jika diazepam dalam bentuk sediaan padat, kelembaban dari


sediaan dibatasi dan diminimalkan sehingga kemungkinan
adanya reaksi hidrolisis yang dipicu oleh air dapat
diminimalisir; seperti menghindari metode granulasi basah,
penyalutan tablet, menghindari pemakaian eksipien yang
bersifat menyerap air (Hoffmann, 2008).

2) jika diazepam dalam bentuk larutan, pH larutan dijaga pada


pH dimana diazepam stabil yakni sekitar pH 5. Penjagaan pH
tersebut dapat dilakukan dengan pemakaian larutan dapar yang
sesuai sehingga dapat mempertahankan pH optimal sediaan
(Hoffmann, 2008).

 Enalapril Maleat, Quinapril Maleat, dan


Senyawa Golongan Benzimidazole

Obat-obat golongan ACE inhibitor dapat digunakan sebagai


monoterapi pada hipertensi esensial dan hipertensi renovaskuler,
adapun contoh dari obat-obatan tipe ini adalah enalapril maleat dan
quinapril (Tjay dan Kirana, 2007). Enalapril maleat, ‘12angiotensin-
converting enzyme (ACE) inhibitor adalah 1-{N-[(s)-1-carboxyl-3-
phenyl-propyl]-L-alanyl-}-l- proline1-ethil ester (Al-Omari, 2000).
Adapun struktur kimia dari enalapril maleat adalah sebagai berikut:

Quinapril hidroklorida termasuk dalam kelas dipeptide


angiotensin convering enzyme inhibitor (ACE). Seperti ACE
inhibitor yang lainnya, quinapril hidroklorida dalam bentuk

16
farmasinya juga bersifat tidak stabil, terutama terhadap
kelembaban dan suhu. Berdasarkan struktur kimia dari quinapril
hidroklorida :

Obat-obatan yang paling sering digunakan dalam kasus


cacingan termasuk kedalam golongan benzimidazol, dimana
contoh yang paling terkenal didunia adalah Albendazol (ALB),
Febendazol (FEN), dan Mebendazol (MEB). Obat golongan
benzimidazol menghambat uptake glukosa secara irreversible
sehingga menyebabkan kehabisan glikogen pada parasit (Ragno,
2006).

Gambar 18. Struktur Kimia Albendazol (ALB)

Gambar 19. Struktur Febendazol (FEN)

Gambar 20. Struktur Mebendazol (MEB)

17
Al-Omari (2000) melakukan uji stabilitas enalapril maleat
dalam eksipien yang berbeda yaitu eksipien yang bersifat asam
(asam palmitat trigliserida) dan eksipien yang bersifat basa
(sodium bikarbonat) terhadap pengaruh pH dan kelembaban.
Enalapril maleat dalam bentuk tunggal atau dengan adanya asam
palmitat trigliserida bentuk degradan yang utama adalah 21%
diketopiperazin sedangkan bentuk lainnya 2,6% enalaprilat melalui
reaksi dehidrasi dan dilanjutkan dengan intramolekul siklisasi.
Kemungkinan degradasi yang terjadi disebabkan oleh interaksi
antara zat aktif (enalapril maleat) dengan eksipiennya. Sedangkan
enalapril maleat dalam eksipien basa (sodium bikarbonat)
menghasilkan degradan utama enalaprilat (14,9%) dan
diketopiperazin dalam konsentrasi yang lebih kecil (0,1%) melalui
reaksi hidrolisis. Dimana reaksi hidrolisis ini terjadi pada gugus
ester yang terdapat dalam enalapril maleat menjadi gugus asam
karboksilat (enalaprilat) kemungkinan disebabkan serangan
nukleofilik katalis basa. Dalam reaksi ini, yang menjadi ujung
tombak adalah ion hidroksida (OH). Gugus asli terpolarisasi karena
oksigen terhadap karbon relatif bersifat elektronegatif. Maka disini
sebagai langkah pertama darireaksi, nukleofil OH akan menyerang
gugus asli atom karbon (Connors, 1992).

Adapun reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut :

18
Gambar : Reaksi hidrolisis enalapril maleat pada suasana basa
(eksipien basa).

Sementara itu Stainsz (2006) juga melakukan uji stabilitas


yang hampir sama terhadap quinapril hidroklorida terhadap
eksipien dengan sifat yang berbeda (eksipien dengan sifat asam
dan basa) dibawah kondisi yang sama (pH dan kelembaban).
Pada penelitian ini terjadi reaksi siklisasi dari quinapril
hidroklorida pada eksipien yang bersifat asam menjadi
diketopiperazin. Sementara itu pada eksipien yang bersifat basa,
terjadi reaksi hidrolisis quinapril hidroklorida menjadi
quinaprilat. Dimana reaksi hidroisis ini juga terjadi pada gugus
ester quinapril hidroklorida akibat serangan nukleofilik katalis
basa menjadi asam karboksilat pada quinaprilat. Dalam reaksi ini,
yang menjadi ujung tombak adalah ion hidroksida (OH-). Gugus
asil terpolarisasi karena oksigen terhadap karbon relatif bersifat
elektronegatif. Maka disini sebagai langkah pertama dari reaksi
nukleofil OH- akan menyerang gugus asil atom karbon (Connors,
1992). Adapun reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut:

Gambar : Reaksi Hidrolisis Quinapril Hidroklorida pada


suasana basa (eksipien basa).

Ragno (2006) melakukan uji stabilitas terhadap tiga macam

19
obat cacingan yang berasal dari golongan benzimidazol yaitu
Albendazol (ALB), Febendazol (FEN), Mebendazol (MEB)
dengan katalis cahaya dan suhu yang ekstrim, dimana ketiga
sampel ini dilarutkan terlebih dahulu dalam pelarut etanol.
Didapatkan hasil bahwa sampel dalam etanolmengalami
hidrolisis terhadap pengaruh cahaya saja (photodegradation) dan
tidak mengalami hidrolisis terhadap pengaruh suhu
(thermaldegradation). Diduga bahwa hidrolisis yang terjadi akibat
adanya pengaruh air dalam pelarut etanol dengan cahaya sebagai
katalis. Adapun tahapan reaksi yang terjadi yaitu pertama-tama
senyawa induk (sampel) mengalami reaksi demetilasi pada gugus
esternya kemudian dilanjutkan dengan terjadinya reaksi
dekarboksilasi (Connors, 1992). Tahapan reaksinya dapat dilihat
pada gambar:

Gambar : Reaksi Hidrolisis (Demetilasi dan


Dekarboksilasi) Albendazol (ALB), Febendazol (FEN),
Mebendazol (MEB) dengan katalis cahaya

F. AKIBAT DARI DEGRADASI HIDROLISIS

1. Pada lemak, menyebabkan perubahan bau dann rasa minyak


(ketengikan).
2. Pada, obat akan mengurangi kadar serta khasiat terapeutiknya.
3. Kerusakan asam lemak dan minyak.

20
G. Cara Mencegah Hidrolisis
1. Mengetahui pH dimana stabilitas maksimumnya
2. Penggunaan larutan dapar pada konstanta seminimal mungkin
3. Penyimpanan dilakukan pada temperatur kamar
4. Mengontrol kadar air
5. Kompleksasi, laju hidrolisis dapat dipengaruhi dengan
pembentukan kompleks.
6. Surfaktan, meningkatkan kestabilan sediaan.
7. Modifikasi struktur kimia, penambahan substituen tertentu
menyebabkan penurunan laju hidrolisis.
8. Garam dan ester, mengurangi kelarutan sediaan melalaui
pembentukan garam atau ester yang sukar larut.
Jenis pelarut, penggantian air sebagian atau seluruhnya dengan
pelarut yang konstanta dielektriknya lebih rendah menyebabkan
kecepatan hidrolisis ester menurun

21
BAB III
KESIMPULAN

Hidrolisis merupakan salah satu penyebab terjadinya degradasi,


sebab didalam sediaan farmasi, air seringkali digunakan sebagai pelarut
dan beberapa obat yang mengandung gugus ester ataupun amida dalam
air. Reaksi hidrolisis dapat dibuat dengn memodifikasi bentuk sediaan
misalnya suspensi kering.
Gugus fungsi yang mudah mengalami hidrolisis adalah ester,
amida, dan laktam.
Reaksi hidrolisis dipengaruhi oleh struktur molekuler, dan faktor
lingkungan meliputi suhu, pH larutan, jenis buffer, kekuatan ionik,
cahaya, oksigen, kelembaban dan bahan tambahan.
Cara mencegah hidrolisis antara lain mengetahui pH dimana
stabilitas maksimumnya, penggunaan larutan dapar pada konstanta
seminimal mungkin, penyimpanan dilakukan pada temperatur kamar,
menggunakan pelarut bahan air.
Solusi hidrolisis antara lain formulasi obat pada pH stabilitas
optimum, penambahan pelarut non air, mengontrol kadar air, obat
dibuat dalam bentuk sediaan solid (padat).
Contoh obat yang mengalami hidrolisis yaitu penisilin,
kloramfenikol, aspirin, ceftadizime, diazepam, enalapril maleat,
quinapril maleat, dan senyawa golongan benzimidazole.

22
DAFTAR PUSTAKA

Al- Omari, M.M., M.K Abdelah, A.A. Badwan, and A.M.Y. Jaber. 2000.
Effect of the drug matrix on the stability of enalapril maleate in tablet
formulations. Journal of Pharmaceutical and Biomedical Analysis 25
(2001) 893-902.

Cairns, Donald, 2004, Intisari Kimia Farmasi, EGC, Jakarta.

Connors, K.A, 1992, Stabilitas Kimiawi Sediaan Farmasi, jilid 1,


Penterjemah: Drs. Didik Gunawan, IKIP Press, Semarang.

Djatmiko, B dan A. Pandjiwidjaja, 1984, Tehnologi Minyak dan Lemak I,


IPB, Bogor.

Gisvold, Wilson, 1982, Kimia Farmasi dan Medicine Organik Edisi VIII
Bagian II, Semarang Press, Semarang.

Harkness, Richard, 1989, Interaksi Obat, Bandung, ITB Press.

Hoffmann-La Roche, 2008, Product Monograph Valium


(Diazepam),

Meadowpine Boulevard, Mississauga, Ontario.


Prayoga, K.J, 2009, Stabilitas Obat, Universitas Udayana, Bali.

Ragno G.A, dkk, 2006, Photo-and Thermal –Stability Studies on


Benzimidazol Anthelmintics by HPLC and GCMS, Chem. Pharm,
Bull, 54(6) 802-806.
Servais, H and Paul M. Tulkens, 2001, Stability and Compatibility of
Ceftadizim e administered by Continous Infusion to Intensive care
Patient. America n Society for Microbiology, Antimicrobial Agents
And Chemotherapy, p.26 43-2647 Vol. 45, No.9.

23
Shaikh, R.H, and Ali A.S 1996. Stability Of Pharmaceutical
Formulations, Pakistan Journal of Pharmaceutical Sciences Vol.9(2),
July 1996, pp.83-86.

Yoshioka S and VJ Stella, 2002, Stability of Drugs and Dossage Form,


New York, Boston, Dordecht, Lond on, Moscow : kluwer Academic
Publisher.

24

Anda mungkin juga menyukai