Anda di halaman 1dari 22

1

HIDROLISIS

Degradasi kimia atau fisika dari komponen obat-obatan kemungkinan


dapat mengubah efek farmakologis obat tersebut, menghasilkan perubahan
efikasi dan resiko terjadinya toksisitas. Sediaan farmasi yang digunakan dalam
terapi penyakit tertentu didasarkan atas efikasi dan keamanannya, sediaan
tersebut harus stabil dengan kualitas terjaga hingga waktu penggunaannya atau
hingga tanggal kadaluarsa yang ditetapkan. Sehingga pengetahuan akan faktor-
faktor yang mempengaruhi stabilitas obat-obatan dan pengatasannya
merupakan jaminan dalam menjaga kualitas obat (Yoshioka, 2002).
Berkurangnya kadar obat karena reaksi kimia yang menyebabkan
penurunan protein obat merupakan hal yang paling dimengerti dan paling
banyak dipelajari tentang ketidakstabilan obat. Salah satu reaksi kimia yang
menyebabkan degradasi obat-obatan adalah reaksi hidrolisis. Hidrolisis
merupakan suatu proses solvolisis dimana molekul obat bereaksi dengan
molekul air menghasilkan produk pecahan dari konstitusi kimia yang berbeda.
Obat-obatan dengan gugus ester dan amida merupakan yang paling rentan
mengalami reaksi hidrolisis (Yoshioka, 2002).

1. Definisis hidrolisis ?
2. Gugus fungsi yang mudah mengalami hidrolisis ?
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi hidrolisis ?
4. Cara pencegahan dan solusi hidrolisis ?
5. Contoh obat yang mengalami hidrolisis ?

BAB II

PEMBAHASAN
2

A. HIDROLISIS
1. Definisi Hidrolisis
Hidrolisis adalah reaksi kimia yang memecah molekul air (H2O)
menjadi kation hidrogen (H+) dan anion hidroksida (OH-) melalui suatu
proses kimia. Proses ini biasanya digunakan untuk memecah polimer
tertentu, terutama yang dibuat melalui polimerisasi tumbuh bertahap (step-
growth polimerization) (Cairns, 2004).
Hidrolisis ester dan amida terjadi sebagai serangan nukleofilik pada
karbon gugus karbonil dan pemecahan lebih lanjut ikatan tunggal karbon-
oksigen atau karbon-nitrogen. Karbon pada gugus karbonil lebih positif
daripada yang diperkirakan akibat tingginya elektronegativitas oksigen yang
didekatnya. Pembagian elektron-elektron ikatan yang tidak seimbang
menyebabkan terjadinya polarisasi ikatan sehingga karbon bermuatan
positifparsial (δ+) , sedangkan oksigen bermuatan negattif parsial (δ-)
(Prayoga, 2009).
Reaksi hidrolisis berjalan cukup lambat, tetapi dengan adanya asam
atau basa, laju reaksi meningkat dan dapat terjadi dekomposisi yang
signifikan. Harus diingat bahwa setiap obat merupakan amin, yang bisa
dibuat menjadi terlarutkan air melalui pembentukan garam kloridanya.
Garam-garam basa lemah dan asam mineral kuat bersifat asam melalui
hidrolisis parsial dan H+ yang terbentuk melalui hidrolisis garam dapat
mengkatalisis reaksi hidrolisis di dalam obat itu sendiri. Sama halnya
dengan obat-obatan yang merupakan garam asam lemah dengan basa kuat
bersifat basa di dalam larutan dan OH- yang dihasilkan melalui hidrolisis
parsial garam tersebut dapat bertindak sebagai katalis dan menyebabkan
terjadinya dekomposisi. Mekanisme hidrolisis dapat dikatalis oleh asam dan
basa (Cairns, 2004).

2. Gugus Fungsi yang Mudah Mengalami Hidorlisis


a. Hidrolisis Ester
Banyak obat-obatan mengandung gugus ester. Gugus ini biasanya
dibentuk dari asam karboksilat, karbomat, sulfomat dengan berbagai
jenis alkohol. Gugus ini terhidrolisis melalui reaksi nukleofilik attack
dari ion hidroksida di dalam air (Yoshioka, 2002).
3

Gambar 1. Hidrolisis senyawa golongan ester

Laju hidrolisis tergantung gugus-gugus pada R1 dan R2, dimana


grup gugus akseptor-elektron akan meningkat laju hidrolisis sedangkan
gugus donor-elektron akan menghambat laju hidrolisis. Penggantian
atom hidrogen dengan halogen akseptor-elektron seperti Cl, juga
meningkatkan laju dekomposisi. Faktor sterik juga berperan penting,
gugus yang besar (bulky) baik pada R1 maupun R2 akan menurunkan
laju dekomposisi. Sebagai contoh, substitusi gugus iso-propil dengan
gugus n-propil pada R2 menurunkan laju dekomposisi lima kali lebih
rendah (Yoshioka, 2002).
Serangan terhadap gugus ester juga dipengaruhi oleh adanya
muatan pada atom C tetangga. Laju hidrolisis dari semua jenis ester yang
berikatan dengan poli (butilen tartrat) tidaklah sama. Ikatan ester yang
berdekatan dengan muatan negatif kurang reaktif untuk menyebabkan
serangn ion hidroksida daripada gugus ester yang berjauhan dengan
muatan negatif karboksilat (Yoshioka, 2002).

b. Hidrolisis Amida
Ikatan amida merupakan ikatan yang umum ditemukan dalam
molekul obat. Ikatan amida kurang rentan mengalami hidrolisis
dibanding ikatan ester karena karbon karbonil pada amida kurang
elektrofilik (ikatan karbon dengan nitrogen dianggap sebagai ikatan
ganda) dan gugus amin sebagai leaving group, merupakan leaving group
lemah. Obat-obatan seperti paracetamol, kloramfenikol, linkomisin,
indometacin, dan sulfacetamida semuanya dikenal menghasilkan amina
dan asam melalui reaksi hidrolisis (Yoshioka, 2002).

Gambar 2. Hidrolisis sennyawa golongan amida


4

c. Hidrolisis β-Laktam
Antibiotik golongan laktam seperti penisilin dan sefalosporin, yang
merupakan amida siklis atau laktam, mengalami pemecahan cincin siklik
karena reaksi hidrolisis(Yoshioka, 2002).

Gambar 3. Hidrolisis pada cincin β-Laktam


Antibiotik β-Laktam termasuk penisilin dan safalosporin,
mengalami reaksi hidrolisis yang cepat dibanding senyawa amida
lainnya. Hal ini paling banyak disebabkan faktor elektronik, konformasi
rantai cincin (cincin 4 inti bergabung dengan cincin 5/6 inti), dan
karakter ikatan ganda yang lebih rendah diantara karbon pada karbonil
dengannitrogen amida (Yoshioka, 2002).
Pemecahan cincin β-Laktam merupakan reaksi hidrolisis dengan
katalis basa oleh air. Kemungkinan melibatkan reaksi elektrofilik pada
gugus karbonil dan nukleofilik pada atom nitrogen pada cincin β-Laktam
(Servais, 2001). Turunan asam karboksilat seperti amida diketahui rentan
terhadap serangan bahan-bahan nukleofilik. Nukleofilik dan basa dapat
bertindak sebagai salah satu katalis pemindahan hasil pada pecahnya
cincin β-Laktam (Connor, 1992).

3. Faktor-Faktor yang Memperngaruhi Hidrolisis

Kecepatan reaksi hidrolisis dipengaruhi oleh faktor intrinsik seperti


struktur molekuler, dan faktor lingkungan meliputi suhu (apabila suhu naik
10oC maka hidrolisis naik dua kali lipat), pH larutan (H+ dan OH- bersifat
mengkatalis atau mempercepat putus rantai. pH kestabilan suatu obat adalah
pada titik minimum saat log K minimum), jenis buffer, kekuatan ionik,
cahaya, oksigen, kelembaban dan bahan tambahan (Yoshioka, 2002).

4. Cara Mencegah Hidrolisis


a. Mengetahui pH dimana stabilitas maksimumnya
b. Penggunaan larutan dapar pada konstanta seminimal mungkin
c. Penyimpanan dilakukan pada temperatur kamar
d. Menggunakan pelarut bahan air (Yoshioka, 2002).
5

5. Solusi Hidrolisis
a. Formulasi obat pada pH stabilitas optimum
b. Penambahan pelarut non air
c. Mengontrol kadar air
d. Obat dibuat dalam bentuk sediaan solid (padat) (Yoshioka, 2002).

B. MEKANISME REAKSI HIDROLISIS

Reaksi Hidrolisis terjadi ketika suatu asam bertemu dengan basa yang
akan menghasilkan garam dan air yang merubah pH dari campuran tersebut.
Dalam reaksi hidrolisis, terjadi penarikan H+ dan OH- dari senyawa asam dan
basa. H+ dan OH- berikatan menjadi air. Sedangkan pembentuk senyawa asam
dan basa yang lain bersatu membentuk dari garam campuran asam basa
tersebut. Garam tersebut dapat bersifat asam atau basa atau netral tergantung
dari sifat-sifat para campurannya apakan asam kuat, asam lemah, basa kuat,
basa lemah (Prayoga, 2009).
Contohnya ketengikan disebabkan oleh adanya perubahan yang terjadi
dari reaksi dengan oksigen di udara sehingga disebut ketengikan oksidatif. Off
flavour dihasilkan oleh reaksi hidrolisis yang dikatalis oleh enzim sehingga
disebut ketengikan hidrolisis. Reaksi hidrolisis dan efek absorpsi dapat
dikurangi dengan penyimpanan dingin, transportasi yang baik, pengemasan
yang hati-hati dan sterilisasi sementara ketengikan oksidatif tidak dapat
dikurangi dengan merendahkan temperatur ruang penyimpanan (Prayoga,
2009).
Pada reaksi hidrolisis akan dihasilkan gliserida dan asam lemak bebas
dengan rantai pendek (C4 - C12). Akibat yang ditimbulkan dari reaksi ini
adalah terjadinya perubahan bau dan rasa dari minyak atau lemak, yaitu
timbulnya rasa tengik. Ketengikan hirdrolisis disebabkan oleh hidrolisis
trigliserida, adanya uap air dan pembebasan asam lemak bebas. Dalam reaksi
hidrolisis, lemak dan minyak akan diubah menjadi asam-asam lemak bebas dan
gliserol. Reaksi hidrolisis mengakibatkan kerusakan lemak dan minyak. Ini
terjadi karena terdapat terdapat sejumlah air dalam lemak dan minyak tersebut
(Djatmiko dan Pandjiwidjaja, 1984).
Kerusakan lemak yang utama adalah timbulnya bau dan rasa tengik yang
disebut proses ketengikan. Hal ini disebabkan oleh proses otooksidasi radikal
asam lemak tidak jenuh dalam minyak. Otooksidasi dimulai dengan
pembentukan faktor-faktor yang dapat mempercepat reaksi seperti cahaya,
panas, peroksida lemak atau hidroperoksida, logam-logam berat, dan enzim-
enzim lipoksidase (Prayoga, 2009).
6

C. CONTOH OBAT YANG MENGALAMI HIDROLISIS


1. Penisilin
Antibiotika Penisilin (dan untuk ini sefalosporin) merupakan amida
siklik yang mudah terhidrolisis. Ikatan amida yang normal lebih resisten
terhadap hidrolisis dibandingkan dengan ester. Tetapi pada penisilin, amida
tersiklisasi menjadi cincin β-Laktam dengan empat anggota. Sudut ikatan
pada cincin ini mendekati 90o, berlawanan dengan amida rantai terbuka
yang sudut ikatannya adalah 120o (karbon hibrid sp2). Sudut ikatan yang
tidak lazim pada cincin β-Laktam ini menunjukkan cincin tersebut sangat
mudah dibuka oleh nukleofil, terutama air (Cairns, 2004).
Efek penisilin dibentuk oleh geometri sistem cincin bisiklik terpadu.
Cincin β-Laktam dan tiazolidin penisilin tidak berada pada bidang yang
sama (sesungguhnya, kedua cincin ini hampir tegak lurus satu sama lain),
sehingga mencegah efek resonansi pada amida siklik, yang menyebabkan
atom karbon karbonil jauh lebih δ+ dari yang diperkirakan, sehingga lebih
besar kemungkinan mengalami serangan nukleofilik. Struktur penisilin
(ampisilin) dan hasil dekomposisinya, asam penisiloat Cairns, 2004).

Penisilin asam penisiloat


Gambar 4. Struktur penisilin dan asam penisiloat.

Antibiotik penisilin dan sefaloporin tidak cukup stabil untuk


disediakan dalam bentuk terlarut di dalam larutan berair. Kedua antibiotika
tersebut tersedia dalam bentuk serbuk kering, yang direkonstitusi sesaat
sebelum disalurkan oleh farmasis. Larutan (suspensi) yang disalurkan harus
disimpan didalam lemari es dan dibuang setelah 7 hari. Produk cincin
terbuka (asam penisiloat) tidak aktif sebagai antibiotika (Cairns, 2004).
2. Kloramfenikol
Kloramfenikol mempunyai rumus kimia yang cukup sederhana yaitu 1-(p-
nitrofenil)-2-dikloroasetamido-1,3-propandiol.

Gambar 5. Struktur kimia kloramfenikol


Antibiotik ini bersifat unik diantara senyawa alam karena adanya
7

gugus nitrobenzen dan antibiotik ini merupakan turunan asam dikloroasetat.


Bentuk yang aktif secara biologis yaitu bentuk levonya. Zat ini larut sedikit
dalam air (1:400) dan relatif stabil. Kloramfenikol diinaktivasi oleh enzim
yang ada dalam bakteri tertentu. Disini terjadi reduksi gugus nitro dan
hidrolisis ikatan amida; juga terjadi asetilasi (Cairns, 2004).
Berbagai turunan kloramfenikol berhasil disintesis akan tetapi tidak
ada senyawa yang khasiatnya melampaui khasiat kloramfenikol.
Kloramfenikol adalah salah satu antibiotik yang secara kimiawi diketahui
paling stabil dalam segala pemakaian. Kloramfenikol memiliki stabilitas
yang sangat baik pada suhu kamar dan kisaran pH 2 sampai 7, stabilitas
o
maksimumnya dicapai pada pH 6. Pada suhu 25 C dan pH 6, memiliki
waktu paruh hampir 3 tahun. Yang menjadi penyebab utama terjadinya
degradasi kloramfenikol dalam media air adalah pemecahan hidrolitik pada
lingkaran amida. Laju reaksinya berlangsung di bawah orde pertama dan
tidak tergantung pada kekuatan ionik media (Connors, 1992).
Berlangsungnya hidrolisis kloramfenikol terkatalisis asam umum atau
basa umum, tetapi pada kisaran pH 2 sampai 7, laju reaksinya tidak
tergantung pH. Spesies pengkatalisasi adalah asam umum atau basa umum
yang terdapat pada larutan dapar yang digunakan; khususnya pada ion
monohidrogen fosfat, asam asetat tidak terdisosiasi, serta ion asam
monohidrogen dan dihidrogen sitrat dapat mengkatalisis proses degradasi.
Di bawah pH 2, hidrolisis terkatalisis ion hidrogen spesifik memegang
peranan besar pada terjadinya degradasi kloramfenikol. Obat ini sangat
tidak stabil dalam suasana basa, dan reaksinya terlihat terkatalisis baik asam
maupun basa spesifik (Connors, 1992).
Jalur utama degradasi kloramfenikol adalah hidrolisis ikatan amida,
membentuk amida yang sesuai dan asam dikloroasetat (Connors, 1992).

Gambar 6. Jalur utama degradasi kloramfenikol

Degradasi kloramfenikol lewat dehalogenasi tidak menjadi bagian


yang berperan dalam gambaran degradasi total, setidaknya di bawah pH 7.
(Connors, 1992). Laju degradasi tergantung secara linier pada konsentrasi
dapar, spesies dapar beraksi sebagai asam umum dan basa umum. Laju
hidrolisis kloramfenikol tidak tergantung kekuatan ionik, dan tidak
terpengaruh oleh konsentrasi ion dihidrogen fosfat, dengan demikian
8

aktivitas katalisisnya dianggap berasal dari aksi ion monohidrogen fosfat


sebagai katalisis basa umum. (Connors, 1992).
3. Aspirin
Aspirin merupakan senyawa ester fenil yang tersubstitusi.
Sebagaimana bentuk ester aromatik pada umumnya. Aspirin mempunyai
gugus rawan yang sangat peka, dengan kata lain, aspirin relatif tidak stabil
terhadap pengaruh hidrolisis dan proses pemindahan hasil yang lain, profil
laju pH nya terkesan sebagai reaksi hidrolisis terhatifis asam spesifik dan
basa spesifik. Ditambah bentuk kurva yang sigmoid sebagai hasil dari
hidrolisis antar aspirin (Gisvold, wilson 1982).

Aspirin merupakan senyawa bersifat asam yang dapat disintetis dari


asam salisilat yang diisolasikan dengan asetil klorida atau anhidrida asam
asetat yang persamaan reaksi kimianya (Gisvold, wilson 1982).

O
OH C
O
CH3 C O C CH3
+ O H2SO4 + CH3COOH
COOH CH3 C
O COOH

Gambar 7. Reaksi kimia aspirin

4. Ceftazidime
Ceftazidime merupakan turunan sefalosporin generasi ketiga.
Ceftazidime memiliki spektrum aktivitas yang luas, dan peningkatan
aktivitas terhadap Pseudomonas aeruginosa. Obat ini biasanya digunakan
untuk pengobatan infeksi saluran empedu, tulang dan persendian, cystic
fibrosis (infeksi saluran pernafasan), endophthalmitis, infeksi saluran nafas
akut, melioidosis, meningitis, peritonitis, pneumonia, dan infeksi saluran
kemih. Namun seperti turunan sefalosporin lainnya, ceftazidime relatif tidak
stabil dalam media air. Gugus β-laktam tidak stabil dalam air karena rentan
terhidrolisis baik dengan katalis asam ataupun basa (Servais, 2001).

Gambar 8. Struktur molekul ceftazidime


9

Gambar 9. Stabilitas ceftazidime dengan variasi suhu. (A) pengaruh waktu inkubasi
(larutan 12 %). (B) pengaruh kadar obat dalam larutan (24 h). (C) pengaruh pH
(larutan 12 %, inkubasi 24 h).

Hasil penelitian Servais (2001), (Gambar 9) menunjukkan semakin


tinggi suhu semakin cepat pula sediaan terdegradasi (A). Batas suhu larutan
pada infusi kontinyu ceftazidime menurut Baririan (2003) dan Servais
(2001) berturut-turut tidak boleh lebih dari 29,1oC dan 25oC. Dengan
meningkatnya suhu, maka akan meningkatkan jumlah tumbukan molekul
obat. Jumlah tumbukan per satuan waktu akan sebanding dengan laju reaksi
hidrolisis obat (Connors, 1992). Suhu yang lebih tinggi menyebabkan kadar
obat di bawah 90 %. Sesuai dengan batas yang ditetapkan USP, sediaan
intravena yang dapat diterima secara klinis harus mengandung ≥ 90 % dari
komponen yang tercantum. Sehingga penting pada pemberiaan ini untuk
menjaga suhu ruang tetap sejuk atau jika menggunakan pompa bermotor
pasien hendaknya menghindari aktivitas berlebih di ruang terbuka terutama
pada saat musim panas. Kecepatan hidrolisis ceftazidime pada larutan
dengan pH yang berbedamenunjukkan laju reaksi semakin menigkat seiring
peningkatan pH. Menurut Servais (2001) pH dari larutan tidak boleh lebih
dari 10, pada pH tersebut terjadi degradasi dengan sangat cepat (Gambar 9
C). Akumulasi dari produk alkali hasil degradasi kemungkinan
menyebabkan peningkatan pH sehingga meningkatkan laju hidrolisis (Al-
Omari,dkk, 2000).

Ceftazidime relatif stabil pada pH yang sedikit asam. Perubahan dari


pH mungkin menyebabkan perubahan pada konformasi struktural yang
memicu terbentuknya rintangan sterik pada daerah yang reaktif sehingga
laju reaksi relatif tidak terjadi peningkatan. Meskipun ada penelitian yang
mengatakan sediaan infusi ceftazidime mampu bertahan hingga 2 hari pada
suhu 30oC p ada pH 4-6,5. Namun kondisi itu tidak bisa ditemukan dalam
aplikasi klinis. Kondisi perobaan kemungkinan menggunakan larutan yang
lebih encer tidak seperti komdisi klinis yang memerlukan konsentrasi tinggi
agar kadar obat selalu diatas MIC. Selain itu sediaan dilarutkan dalam
media dengan buffer, kondisi ini tidak umum ditemukan di rumah sakit dan
10

pecobaan yang dilakukan tidak dengan khusus menyesuaikan dengan


kondisi yang sebenarnya di rumah sakit (Al-Omari,dkk, 2000).

Besarnya kadar ceftazidime pada larutan juga mempengaruhi laju


reaksi hidrolisis. Seperti dijelaskan di awal kecepatan reaksi hidrolisis
dipengaruhi oleh faktor intrinsik seperti struktur molekuler. Menurut
Baririan (2003) secara intrinsik, β-laktam tidak stabil dalam air karena
rentan terhidrolisis baik dengan katalisis asam ataupun basa. Ketidakstabilan
ini juga kemungkinan meningkat seiring meningkatnya kadar obat dalam
larutan. Hal ini dikarenakan terjadinya tumbukan intra dan intermolekuler.
Semakin banyak molekul dalam larutan semakin besar pula kemungkinan
terjadinya tumbukan yang akan meningkatkan laju degradasi (Servais,
2001).

Hasil penelitian Favetta (2001) terhadap stabilitas ceftazidime pada


dua media infus berbeda yaitu dekstrosa 5% dan NaCl 0,9% menunjukkan,
rata-rata sediaan ceftazidime lebih stabil dalam media NaCl 0,9%. Hal ini
kemungkinan disebabkan konsentrasi media dekstrosa yang lebih tinggi.
Kadar yang tinggi menyebabkan resiko terjadinya tumbukan intermolekuler
lebih besar. Sehingga laju degradasi lebih cepat (Servais, 2001).

Hasil identifikasi dengan spektroskopi massa yang dilakukan oleh


Servais (2001) menunjukkan adanya 2 produk hasil degradasi ceftazidime,
yaitu [(2-amino-4-thiazolyl) (1-carboxy-1-methylethoxy) imino] acetyl-
ethanal dan pyridine. Ini mengindikasi adanya dua jalur degradasi (Gambar
10). Reaksi ini akibat pemecahan rantai atom C3 dan pemecahan cincin β-
laktam (Shaikh and Ali, 1996). Sebagian besar dipengaruhi oleh suhu dan
sebagian lainnya oleh pemecahan cincin β-laktam. Ciftazidime memiliki
gugus piridinium pada rantai C3 yang merupakan gugus kationik, sifat
umum dari gugus ini sangat rentan terhadap instabilitas dan telah diketahui
mampu melepaskan piridin akibat degradasi secara kimiawi. Piridin
merupakan senyawa dengan toksisitas moderat, namun juga bisa berakibat
fatal. Keracunan kronisnya dapat menyebabkan diare, anoreksia, dan
kelelahan. Selain itu piridin juga diketahui bisa menyebabkan depresi
kejiwaan (Viaene, 2002).

Sesuai dengan USP, kadar piridin dalam larutan ceftazidime untuk


infusi intravena tidak boleh melebihi 1,1 mg/ml. hasil pengujian dari Viaene
(2002) menunjukkan larutan ceftazidime pada suhu 37oC melepaskan lebih
dari yang disyaratkan USP setelah 8 jam. Pada suhu 25oC, piridin yang
dilepaskan melebihi batas pada kisaran 16-24 jam tergantung konsentrasi
dari larutan, semakin tinggi kadar ceftazidime dalam larutan semakin cepat
pula piridin yang dilepaskan. Hasil penelitian Servais (2001) degradasi 10%
11

ceftazidime pada larutan 5,8% selama 24 jam, hanya membebaskan 0,5


mg/ml piridin. Hal ini mengindikasikan pelepasan piridin tergantung pada
tiga hal yaitu suhu, waktu dan konsentrasi. Pemecahan β-laktam dianggap
berbahaya karena menghasilkan asam penisilat yang reaktif dengan albumin
menghasilkan hapten, alergen yang poten (Shaikh and Ali, 1996).

Gambar 10. Jalur degradasi ceftazidime ditentukan dengan HPLC-MS


5. Diazepam

Gambar 11. Struktur Kimia Diazepam

Diazepam merupakan obat golongan benzodiazepin yang digunakan


untuk mengatasi gejala kecemasan berupa rasa takut, gelisah, cemas yang
mungkin timbul dari penyebab yang tidak diketahui. Diazepam merupakan
ansiolitik yang paling banyak digunakan. Obat ini telah menggantikan
12

barbiturat dalam pengobatan ansietas karena diazepam lebih efektif dan


aman. Namun semakin luasnya pemakaian obat ini justru dapat
menimbulkan terjadinya penyalahgunaan obat. Diazepam juga bisa
menyebabkan ketergantungan psikologik dan fisik jika diberikan dengan
dosis tinggi dan dalam jangka panjang, namun penghentian mendadak
pemakaian obat ini dapat menimbulkan gejala putus obat (Hoffmann, 2008).
Dalam larutan air, diazepam mengalami hidrolisis melalui pembukaan
cincin antara membentuk 2-metil-amino-5-klorobenzofenon dan glisin.

II

III IV

Struktur antara sebagaimana diusulkan oleh Han dkk dihasilkan


dari pemecahan ikatan 4,5-azometin dari diazepam, di dukung oleh Nakano
dkk menggunakan contoh bahan (II) [2-glisil-(metal)-amino-5-
klorobenzofenon]. Reaksi ini bersifat bolak balik dan tergantung pH. Pada
13

pH dibawah pKa, kinetika degradasi diazepam berlangsung bifasik; pada


harga pH lebih tinggi, resiklisasi II terjadi cepat dan kinetika degradasinya
berkarakter monofase (Hoffmann, 2008).

Degradasi dari sejumlah turunan benzodiazepine, termasuk diazepam,


dalam formulasi injeksi, system pelarut C dalam tabel 1, telah dipelajari
oleh Carstensen dkk karena benzofenon merupakan produk dekomposisi
yang utama, sejumlah kecil turunan karboisitril dan turunan akridon juga
teramati pada suhu tinggi; laju pembentukan senyawa-senyawa ini pada
suhu kamar adalah 1/10 sampai 1/100 kalinya benzofenon. Diazepam
memiliki substituent gugs metil pada posisi-1 dan karenanya menjadi lebih
stabil disbanding berbagai 1,4-benzodiazepin yang lain (Hoffmann, 2008).

Tablet diazepam relative stabil; dengan kandungan lembab tablet di


atas 5%, dekomposisi baru diketahui setelah disimpan pada suhu 80C
selama 53 hari. Penyimpanan suppositoria diazepam bebas air selama 12
minggu pada suhu 35C menghasilkan dekomposisi sebesar 1,30% (10).
Hilangnya diazepam dari larutan melalui penyerapan komponen bahan
penolong dan wadah yang digunakan pada pemberian parenteral telah
dilaporkan oleh sejumlah peneliti (11-14) (Hoffmann, 2008).

Profil laju pH hidrolisis diazepam pada suhu 80˚C diberikan pada


gambar dibawah ini.

Gambar 12. Profil Laju- pH pada hidrolisis suhu 80˚C = 1


14

Kedua langkah reaksi diperlihatkan. Untuk langkah reaksi pertama


(ditandai k1), ketidak- berlangsungan reaksi yang teramati pada harga ph di
atas pKa dikarenakan terjadinya resiklisasi senyawa II sangat mudah
menjadi bentuk basa. Data laju – ph cocok dengan persamaan k= kH2O fHS
dengan kH2O = 1,5 x 10-3 det-1. Data laju – ph untuk langkah reaksi kedua
(diberi label k2), dan untuk langkah reaksi tunggal pada harga ph lebih
tinggi, cocok dengan persamaan k = kH [H+]fHS + kH’ [H+]fs + kOH [OH-]fs,
dengan harga kH = 7,5 x 10-5 M-1 detik-1, kH’ = 1,8 x 10-3 M-1 detik-1, dan kOH
= 1,3 X 10-3 M-1 detik-1. Tetapan laju orde pertama yang teramati ( untuk
hidrolisis diazepam pada suhu 80˚C) dilaporkan lebih kecil dari 1,7 x 10-7
detik-1 pada kisaran pH 4,0 sampai 7,9 sesuai dengan waktu paro di atas 47
hari. Mayer dkk. melaporkan stabilitas maksimum diazepam dalam larutan
air kira – kira pada pH 5 (Harkness, 1989).

Energi aktivasi dikesan untuk hidrolisis diazepam dalam larutan air


dan berbagai sistem campuran pelarut diberikan dalam Tabel 1. Plot
Arrhenius (untuk hidrolisis diazepam dalam larutan air di bawah kondisi
asam dan basa) diperhatikan dalam gambar 13. Data laju untuk pH asam
untuk langkah reaksi yang lebih cepat diberi tanda k1 pada gambar 14.

Gambar 13. Profil laju pH hidrolisis diazepam pada suhu 800C = 1,0
15

Gambar 14. Plot Arrhenius hidrolisis diazepam pada pH 0,93 . Tanda panah
berdiri menunjukkan titik suhu kamar

Diekstrapolasikan ke suhu kamar, tetapan laju hidrolisis diazepam


adalah k = 1,41 x 10-5 detik-1 pada pH= 0,93 dan k = 2,95 x 10-8 detik-1 pada
pH 10,18 sesuai dengan t1/2 masing-masing 0,57 dan 272 hari. Plot arrhenius
hidrolisis diazepam dalam sistem campuran pelarut C (Tabel 1) yang mirip
dengan komposisi formulasi parenteral diazepam yang dipasarkan diberikan
dalam Gambar 15. Diekstrapolasikan ke suhu kamar, tetapan lajunya k =
5,55 x 10-11 detik-1 (Harkness, 1989).

Tabel 1. Energi aktivasi dikesan untuk degradasi diazepam

Sistem Komposisi Pelarut pH Ea (kkal/mol) Pustaka


Pelarut
A Larutan air didapar 0,93 18,4a 3
22,7b
B Polietilen glikol 400C 10,18 17,2 4
Etanol 6,95 19,8
Air 6,17 18,4
- d
C Propilen glikol 40% 22,7 7
Etanol
Benzil alkohol
Air secukupnya (q.s)
16

d
D Polietilen glikol 200 - 23,3e 8
40%
Etanol 10%
Benzil alkohol 1,5%
Asam benzoat 0,2%
Natrium benzoat 9,8%
Air secukupnya (q.s)
Keterangan :

a : untuk persamaan (2)

b : untuk persamaan (4)

c : persen komposisi tidak diberikan

d : tidak diberikan

e : dihitung dari data yang diberikan dalam pustaka

Gambar 15. Plot arrhenius untuk degradasi diazepam dalam sistem pelarut
yang terdiri atas propilen glikol 40% , etanol 10%, benzil alkohol 1,5%, dan
air secukupnya. Tanda panah menunjukkan titik suhu kamar. Waktu paruh
diazepam 20 – 100 jam. ( untuk metabolit aktif, yaitu antara 36 – 200 jam ).
17

Telah disebutkan sebelumnya bahwa diazepam dapat mengalami


degradasi melalui reaksi hidrolisis. Jika terhidrolisis, diazepam akan
menghasilkan benzofenon sebagai produk utama. Sehingga untuk mengatasi
atau menghindari degradasi dari diazepam oleh hidrolisis dapat dilakukan
dengan cara, antara lain :

1) jika diazepam dalam bentuk sediaan padat, kelembaban dari sediaan


dibatasi dan diminimalkan sehingga kemungkinan adanya reaksi
hidrolisis yang dipicu oleh air dapat diminimalisir; seperti menghindari
metode granulasi basah, penyalutan tablet, menghindari pemakaian
eksipien yang bersifat menyerap air (Hoffmann, 2008).

2) jika diazepam dalam bentuk larutan, pH larutan dijaga pada pH dimana


diazepam stabil yakni sekitar pH 5. Penjagaan pH tersebut dapat
dilakukan dengan pemakaian larutan dapar yang sesuai sehingga dapat
mempertahankan pH optimal sediaan (Hoffmann, 2008).

6. Enalapril Maleat, Quinapril Maleat, dan Senyawa Golongan


Benzimidazole
Obat-obat golongan ACE inhibitor dapat digunakan sebagai
monoterapi pada hipertensi esensial dan hipertensi renovaskuler, adapun
contoh dari obat-obatan tipe ini adalah enalapril maleat dan quinapril (Tjay
dan Kirana, 2007). Enalapril maleat, ‘12angiotensin-converting enzyme
(ACE) inhibitor adalah 1-{N-[(s)-1-carboxyl-3-phenyl-propyl]-L-alanyl-}-l-
proline1-ethil ester (Al-Omari, 2000). Adapun struktur kimia dari
enalapril maleat adalah sebagai berikut :

Gambar 16. Struktur Kimia Enalapril Maleat.

Quinapril hidroklorida termasuk dalam kelas dipeptide angiotensin


convering enzyme inhibitor (ACE). Seperti ACE inhibitor yang lainnya,
quinapril hidroklorida dalam bentuk farmasinya juga bersifat tidak stabil,
terutama terhadap kelembaban dan suhu. Berdasarkan struktur kimia dari
quinapril hidroklorida :

Gambar 17. Struktur Kimia Quinapril Hidroklorida


18

Obat-obatan yang paling sering digunakan dalam kasus cacingan


termasuk kedalam golongan benzimidazol, dimana contoh yang paling
terkenal didunia adalah Albendazol (ALB), Febendazol (FEN), dan
Mebendazol (MEB). Obat golongan benzimidazol menghambat uptake
glukosa secara irreversible sehingga menyebabkan kehabisan glikogen pada
parasit (Ragno, 2006).

Gambar 18. Struktur Kimia Albendazol (ALB)

Gambar 19. Struktur Febendazol (FEN)

Gambar 20. Struktur Mebendazol (MEB)

Al-Omari (2000) melakukan uji stabilitas enalapril maleat dalam


eksipien yang berbeda yaitu eksipien yang bersifat asam (asam palmitat
trigliserida) dan eksipien yang bersifat basa (sodium bikarbonat) terhadap
pengaruh pH dan kelembaban. Enalapril maleat dalam bentuk tunggal atau
dengan adanya asam palmitat trigliserida bentuk degradan yang utama
adalah 21% diketopiperazin sedangkan bentuk lainnya 2,6% enalaprilat
melalui reaksi dehidrasi dan dilanjutkan dengan intramolekul siklisasi.
Kemungkinan degradasi yang terjadi disebabkan oleh interaksi antara zat
aktif (enalapril maleat) dengan eksipiennya. Sedangkan enalapril maleat
dalam eksipien basa (sodium bikarbonat) menghasilkan degradan utama
enalaprilat (14,9%) dan diketopiperazin dalam konsentrasi yang lebih kecil
(0,1%) melalui reaksi hidrolisis. Dimana reaksi hidrolisis ini terjadi pada
gugus ester yang terdapat dalam enalapril maleat menjadi gugus asam
karboksilat (enalaprilat) kemungkinan disebabkan serangan nukleofilik
katalis basa. Dalam reaksi ini, yang menjadi ujung tombak adalah ion
hidroksida (OH). Gugus asli terpolarisasi karena oksigen terhadap karbon
relatif bersifat elektronegatif. Maka disini sebagai langkah pertama dari
19

reaksi, nukleofil OH akan menyerang gugus asli atom karbon (Connors,


1992).

Adapun reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut :

Gambar 21. Reaksi hidrolisis enalapril maleat pada suasana basa (eksipien
basa)

Sementara itu Stainsz (2006) juga melakukan uji stabilitas yang


hampir sama terhadap quinapril hidroklorida terhadap eksipien dengan sifat
yang berbeda (eksipien dengan sifat asam dan basa) dibawah kondisi yang
sama (pH dan kelembaban). Pada penelitian ini terjadi reaksi siklisasi dari
quinapril hidroklorida pada eksipien yang bersifat asam menjadi
diketopiperazin. Sementara itu pada eksipien yang bersifat basa, terjadi
reaksi hidrolisis quinapril hidroklorida menjadi quinaprilat. Dimana reaksi
hidroisis ini juga terjadi pada gugus ester quinapril hidroklorida akibat
serangan nukleofilik katalis basa menjadi asam karboksilat pada quinaprilat.
Dalam reaksi ini, yang menjadi ujung tombak adalah ion hidroksida (OH-).
Gugus asil terpolarisasi karena oksigen terhadap karbon relatif bersifat
elektronegatif. Maka disini sebagai langkah pertama dari reaksi nukleofil
OH- akan menyerang gugus asil atom karbon (Connors, 1992). Adapun
reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut :

Gambar 22. Reaksi Hidrolisis Quinapril Hidroklorida pada suasana basa


(eksipien basa)
20

Ragno (2006) melakukan uji stabilitas terhadap tiga macam obat


cacingan yang berasal dari golongan benzimidazol yaitu Albendazol (ALB),
Febendazol (FEN), Mebendazol (MEB) dengan katalis cahaya dan suhu
yang ekstrim, dimana ketiga sampel ini dilarutkan terlebih dahulu dalam
pelarut etanol. Didapatkan hasil bahwa sampel dalam etanol mengalami
hidrolisis terhadap pengaruh cahaya saja (photodegradation) dan tidak
mengalami hidrolisis terhadap pengaruh suhu (thermaldegradation). Diduga
bahwa hidrolisis yang terjadi akibat adanya pengaruh air dalam pelarut
etanol dengan cahaya sebagai katalis. Adapun tahapan reaksi yang terjadi
yaitu pertama-tama senyawa induk (sampel) mengalami reaksi demetilasi
pada gugus esternya kemudian dilanjutkan dengan terjadinya reaksi
dekarboksilasi (Connors, 1992). Tahapan reaksinya dapat dilihat pada
gambar :

Gambar 8. Reaksi Hidrolisis (Demetilasi dan Dekarboksilasi) Albendazol


(ALB), Febendazol (FEN), Mebendazol (MEB) dengan katalis cahaya
21

KESIMPULAN

1. Hidrolisis merupakan salah satu penyebab terjadinya degradasi, sebab didalam


sediaan farmasi, air seringkali digunakan sebagai pelarut dan beberapa obat
yang mengandung gugus ester ataupun amida dalam air. Reaksi hidrolisis dapat
dibuat dengn memodifikasi bentuk sediaan misalnya suspensi kering.
2. Gugus fungsi yang mudah mengalami hidrolisis adalah ester, amida, dan
laktam.
3. Reaksi hidrolisis dipengaruhi oleh struktur molekuler, dan faktor lingkungan
meliputi suhu, pH larutan, jenis buffer, kekuatan ionik, cahaya, oksigen,
kelembaban dan bahan tambahan.
4. Cara mencegah hidrolisis antara lain mengetahui pH dimana stabilitas
maksimumnya, penggunaan larutan dapar pada konstanta seminimal mungkin,
penyimpanan dilakukan pada temperatur kamar, menggunakan pelarut bahan
air.
5. Solusi hidrolisis antara lain formulasi obat pada pH stabilitas optimum,
penambahan pelarut non air, mengontrol kadar air, obat dibuat dalam bentuk
sediaan solid (padat).
6. Contoh obat yang mengalami hidrolisis yaitu penisilin, kloramfenikol, aspirin,
ceftadizime, diazepam, enalapril maleat, quinapril maleat, dan senyawa
golongan benzimidazole.
22

DAFTAR PUSAKA

Al- Omari, M.M., M.K Abdelah, A.A. Badwan, and A.M.Y. Jaber. 2000. Effect of
the drug matrix on the stability of enalapril maleate in tablet formulations.
Journal of Pharmaceutical and Biomedical Analysis 25 (2001) 893-902.
Cairns, Donald, 2004, Intisari Kimia Farmasi, EGC, Jakarta.
Connors, K.A, 1992, Stabilitas Kimiawi Sediaan Farmasi, jilid 1, Penterjemah:
Drs. Didik Gunawan, IKIP Press, Semarang.
Djatmiko, B dan A. Pandjiwidjaja, 1984, Tehnologi Minyak dan Lemak I, IPB,
Bogor.
Gisvold, Wilson, 1982, Kimia Farmasi dan Medicine Organik Edisi VIII Bagian
II, Semarang Press, Semarang.
Harkness, Richard, 1989, Interaksi Obat, Bandung, ITB Press.
Hoffmann-La Roche, 2008, Product Monograph Valium (Diazepam),
Meadowpine Boulevard, Mississauga, Ontario.
Prayoga, K.J, 2009, Stabilitas Obat, Universitas Udayana, Bali.
Ragno G.A, dkk, 2006, Photo-and Thermal –Stability Studies on Benzimidazol
Anthelmintics by HPLC and GCMS, Chem. Pharm, Bull, 54(6) 802-806.
Servais, H and Paul M. Tulkens, 2001, Stability and Compatibility of Ceftadizim e
administered by Continous Infusion to Intensive care Patient. America n
Society for Microbiology, Antimicrobial Agents And Chemotherapy, p.26
43-2647 Vol. 45, No.9.
Shaikh, R.H, and Ali A.S 1996. Stability Of Pharmaceutical Formulations,
Pakistan Journal of Pharmaceutical Sciences Vol.9(2), July 1996, pp.83-86.
Yoshioka S and VJ Stella, 2002, Stability of Drugs and Dossage Form, New
York, Boston, Dordecht, Lond on, Moscow : kluwer Academic Publisher.

Anda mungkin juga menyukai