Anda di halaman 1dari 7

Tugas Pengembangan Obat

Sejarah Penemuan Kina

Kina merupakan alkaloid ditemukan dalam kulit pohon cinchona. Kina telah digunakan untuk
mengobati malaria (penyakit berulang yang ditandai dengan menggigil parah dan demam).
Penemuan dari Kina.
 1400-an. Kina diambil dari sisi timur Pegunungan Andes. Bubuk kering kulit pohon kina
(Quina) digunakan penduduk Indian Quechua Peru (asli Amerika Selatan) untuk
mengobati demam, demam ini yang lebih dikenal dengan malaria.
 1640: kina diperkenalkan di Kedokteran eropa: Countess Chinchon sembuh dari Malaria.
Jesuit adalah yang pertama untuk membawa Kina ke Eropa.
 1681: kina diterima sebagai Zat Antimalaria
 1820: Sampel Kina diisolasi: Pelletier dan Caventou untuk menunjukkan kinin yang
senyawa aktif terhadap malaria, untuk Administrasi akurat dosis obat untuk pasien,
pabrik pertama ekstraksi kina di Paris
 1849. Adolf Strecker mengidentifikasi rumus yang benar untuk kinin C20H24N2O2
 1850-1908 Sejak itu, beberapa laboratorium dilakukan percobaan untuk memahami
konektivitas dan mengidentifikasi kelompok-kelompok yang berbeda functional
 1856 : Perkin mensintesis quinin
 1908 : Rabe konektivitas Molekuler
 1918 : Rabe Rekonstruksi Kina dari Quinotoxine
 1944 : Woodward Sintesis Total Doering Formal
 1970 : Hoffmann-La Roche Sintesis Total, Gates Sintesis Jumlah
 1972 : Taylor Total Sintesis
 1897 : Mass Spectrometry
 1903 : Kromatografi
 1912 : X-Ray Kristalografi
 1945 : NMR
 2001 : Stork Total Sintesis
 2004 : Jacobsen dan Sintesis Total Kobayashi

Tumbuhan Kina (Chincona sp.) merupakan bahan baku farmasi yang sangat dinilai dan
terkenal luas sebagai salah satu jenis tanaman obat-obatan berkhasiat dan sudah lama digunakan
sebagai obat anti malaria. Khasiat tanaman ini, sabagai anti malaria berasal dari senyawa
alkaloid kuinina (alkaloid chincona) terutama senyawa kuinina (C20H24N2O2), kuinidina (isomer
dari kuinina), sinkonina (C19H22N2O), dan sinkonidina (isomer dari sinkonina). Hampir
keseluruhan bagian tanaman kina (akar, batang, daun, dan kulit) mengandung senyawa alkaloid
kiunina tersebut dalam persentase yang berbeda.
Alkaloid merupakan sebuah golongan senyawa basa bernitrogen yang kebanyakan
heterosiklik dan terdapat ditumbuhan. Golongan alkaloid mempunyai peran dalam menghambat
kerja enzim (mampu bersifat sebagai antibiotik).

Menurut pakar dan para ahli, kina termasuk kedalam kelas Magnoliopsida. Terdapat 25
jenis kina yang umumnya berasal dari lembah pegunungan Andes. Kina tergolong pohon yang
selalu berdaun hijau, tingginya lebih kurang 5-15 meter (MMI. 1980). Tidak semua jenis kina
dapat memproduksi kinin (senyawa alkaloid), malahan banyak yang sebenarnya tidak
mengandung kinin sama sekali (Higuchi, 1961).

Di Indonesia terdapat 11 spesies kina, namun baru dua spesies yang memiliki nilai
ekonomi dan keunggulan seperti Cinchona succirubra (tahan terhadap penyakit akar) dan
Cinchona Ledgeriana Moens (memiliki kandungan kinin yang tinggi), dimana mempunyai 25
macam kandungan senyawa alkaloid (Dalimoenthe (2013), dari Pusat Penelitian Teh dan Kina
Gambung).

Alkaloid yang sudah dimanfaatkan sampai saat ini adalah kinin (C2OH24O2N2), kinidin
(C2OH24O2N2), sinkonin (C19H22ON2), dan sinkonidin (C19H22ON2). Empat jenis alkoloid
tersebut banyak ditemukan di dalam kulit batang sedangkan pada bagian lain ditemukan dalam
jumlah relatif sedikit.

Di Indonesia, saluran pemasaran kina melalui satu jalur dan proses produksinya ditangani
oleh dua unit produksi, yang mana kedua unit produksi itu masing-masingnya berdiri sebagai
perusahaan terpisah. Perkebunan-perkebunan kina menjadi unit yang bertugas menghasilkan
kulit kina kering, sedangkan untuk garam kina berasal dari kulit kina kering yang diolah dan
diproduksi oleh unit PT Kimia Farma Bandung dan di ekspor ke mancanegara
Proses Sintesis Kina

Upaya untuk mempertahankan kelestarian tanaman obat dan pemanfaatannya, yang


seiring dengan perkembangan ilmu bioteknologi dicoba satu cara terbaru dalam memproduksi
senyawa alkaloid sinkona dan turunannya dengan memanfaatkan mikroba endopfit yang hidup
dalam tanaman tersebut. Mikroba enoifit adalah mikroba yang hidup di dalam tanaman
sekurangnya selama periode tertentu dari siklus hidupnya dapat membentuk koloni dalam
jaringan tanaman tanpa membahayakan inangnya.
Meskipun penelitian mengenai endofitik telah telah dimulai sejak lama, tetapi
penggunaan mikroba endofit untuk memproduksi senyawa bioaktif masih sedikit. Mikroba
endofit diisolasi dari jaringan tanaman dan ditumbuhkan pada medium fermentasi dengan
komposisi tertentu. Di dalam medium fermentasi tersebut mikroba endofit menghasilkan
senyawa sejenis seperti yang terkandung pada tanaman inang dengan bantuan aktivitas enzim.
Mikroba endofitik tumbuh dan memproduksi senyawa metabolit sekunder lebih lambat pada
medium buatan daripada medium di dalam tanaman inangnya, oleh karena itu sangat penting
untuk merancang media lokasi maupun pertumbuhannya yang sesuai.

Kina disintesis dari triptofan melalui 16 tahap dengan menggunakan membutuhkan 16


enzim untuk menghasilkan Kina. Dalam proses sintesis perlu dilakukan penambahan zat induser
yang diinokulasikan secara bersama-sama dengan mediumnya. Zat induser adalah suatu zat yang
memiliki komponen nutrisi yang serupa dengan dengan tanaman inangnya dan dapat
menstimulasi pertumbuhan mikroba endofit dalam memproduksi senyawa bioaktif sebagai hasil
metabolisme sekunder.
Aplikasi Kuinina

Kina akan menghambat proteolisis hemoglobin dan polimerase heme. Kedua enzim
tersebut diperlukan untuk memproduksi pigmen yang dapat membantu mempertahankan hidup
plasmodium tersebut. Kina akan menghambatan aktivitas heme polimerase tersebut sehingga
terjadi penumpukan substrat yang bersifat sitotoksik yaitu heme. Sehingga menghambat sintesis
protein, RNA dan DNA, maka akan mencegah pencernaan hemoglobin oleh parasit dan dengan
demikian mengurangi suplai asam amino yang diperlukan untuk kehidupan parasit.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2002. Produksi Alkaloid Kuinina Oleh Beberapa Mikroba Endofit dengan Penambahan
Induser. Majalah Famasi Indonesia.
Anonim. http://www.scribd.com/search?query=sintesis+kuinin. 31 Maret 2011.
Simanjuntak, P, Titi Parwati, Bustanussalam, Titik K. Prana, Ohashi K. Dan Shibuya, 2002.
Biochemical Character of Endophyte Microbes Isolated From Chincona Plants, Proceeding
Seminar on JSPS-NCRT/DOST/LIPI/VCC Large Scale Cooperative Research in the Field of
Biothecnology, in Bangkok, hailand Nov.2001.
Song,Y. 1998. Isolation and Cultivation of Endophytic Fungi, Asian Network of Mocrobial
Reseacher, Gajah Mada University, Yogyakarta

Malaria
Malaria merupakan salah satu penyakit menular yang re-emerging, karena ± 35%
penduduk Indonesia tinggal di daerah endemis malaria. Menurut survai kesehatan rumah tangga
(SKRT) tahun 1995 diperkirakan setiap tahunnya terdapat 15 juta kasus malaria dan 30.000
orang di antaranya meninggal dunia. Sejak empat tahun terakhir angka kesakitan malaria
menunjukkan kecenderungan yang mengkhawatirkan. Peningkatan kasus diakibatkan adanya
perubahan lingkungan, mobilitas penduduk, dan meningkatnya resistensi terhadap obat anti
malaria.
Menurunnya sensitifitas dapat timbul akibat pengobatan yang terus menerus dan tidak
adekuat, sehingga terjadi mutasi parasit, di samping itu juga diduga dibawa dari daerah yang
resisten. Dalam tiga puluh tahun terakhir, P. falciparum telah resisten terhadap obat anti malaria
yang ada. Resistensi klorokuin juga sudah terjadi terhadap P. vivax dan telah dilaporkan dari
Papua New Guinea, India, Myanmar, dan Indonesia. Akibatnya pengobatan malaria harus
disesuaikan dengan kondisi geografis tiap negara.
Obat anti malaria dapat dibagi berdasarkan aktifitas obat pada stadium parasit sebagai berikut:

1. Skizontosida jaringan untuk profilaksis kausal bekerja pada awal siklus eritrositik setelah
berkembang di hati. Primakuin dan pirimetamin merupakan obat jenis ini. Namun sangat
sulit untuk menduga infeksi malaria sebelum dijumpainya gejala klinis sehingga
pengobatan tipe ini lebih bersifat teori dari pada praktek.
2. Skizontisida jaringan untuk mencegah relaps bekerja pada bentuk hipnozoit dari P. vivax
dan P. ovale di hati dan digunakan untuk pengobatan radikal sebagai obat anti relaps.
Obat utama yang termasuk dalam kelompok ini adalah primakuin, tetapi pirimetamin
juga mempunyai aktifitas serupa
3. Skizontosida darah membunuh parasit pada siklus eritrositik, yang berhubungan dengan
penyakit akut disertai gejala klinis. Obatnya adalah kuinin, klorokuin, meflokuin,
halofantrin, sulfadoksin, dan pirimetamin yang mempunyai efek terbatas.
4. Gametositosida bekerja dengan menghancurkan bentuk seksual semua spesies
Plasmodium malaria di darah sehingga mencegah transmisi parasit ke tubuh nyamuk.
Obatnya adalah primakuin untuk keempat spesies Plasmodium serta klorokuin dan kuinin
untuk P. vivax, P.malariae, dan P. ovale.
5. Sporontosida bekerja dengan menghambat perkembangan ookista dalam tubuh nyamuk
sehingga mencegah terjadinya transmisi lebih lanjut. Obat golongan ini adalah primakuin
dan kloroguanid.

Dari sekian banyak jenis obat anti malaria, yang tersedia di Indonesia hanyalah
klorokuin, sulfadoksin– pirimetamin, kina, primakuin, dan artemeter. Departemen Kesehatan
mempunyai kebijakan untuk dapat memantau obat yang tepat dan benar. Hal ini berdasarkan
pada obat anti malaria yang tersedia, jenis dan beratnya malaria, resistensi daerah tersebut, serta
fasilitas laboratorium. Kebijaksanaan ini bertujuan untuk menghambat timbulnya resistensi
terhadap obat anti malaria yang disebabkan kesalahan penggunaan obat.7

Kuinin adalah alkaloid utama dari kulit pohon kina, sejenis pohon yang ditemukan di
Amerika Selatan. Calancha, seorang Rahib dari Lima Peru pertama kali menulis kegunaan
pengobatan dengan tepung kina pada demam yang berulang pada awal tahun 1633. Pada tahun
1820, Pelletier dan Caventou memisahkan kinin dan kinkonin dari cinchona. Hingga sekarang
kina diperoleh secara utuh dari sumber alam disebabkan sulitnya mensintesa kompleks
molekulnya.4
Kina bekerja sebagai skizontosida darah dan gametositosida terhadap P. vivax dan P.
malariae Karena kina merupakan suatu basa lemah, konsentrasinya tinggi di vakuola makanan
pada P. falciparum. Obat ini bekerja dengan menghambat hemepolimerase, sehingga
mengakibatkan penumpukan zat sitotoksik yaitu heme. Sebagai skizontosida, kina kurang efektif
dan lebih toksik dibanding klorokuin, tetapi kina mempunyai tempat tersendiri dalam
penanganan malaria berat di daerah P. falciparum resisten terhadap klorokuin.

Kuinin mudah diabsorbsi pada pemberian secara oral atau intra muskular. Kadar puncak
dalam plasma dicapai 1-3 jam setelah pemberian oral dan waktu paruh sekitar 11 jam. Pada
malaria akut volume distribusi kuinin yang berikatan dan klirensnya menurun, serta waktu
paruhnya meningkat sejalan dengan keparahan penyakit. Dosis pemeliharaan harus diturunkan
bila pengobatan lebih dari 48 jam. Obat ini dimetabolisme di hati dan hanya 10% diekskresi
secara utuh di urin. Tidak dijumpai penumpukan efek toksik pada pemberian yang lama.

Kuinin berpotensi toksik; tipe dari gejala efek samping kuinin disebut cinchonism dan
biasanya ringan pada dosis terapi namun bisa berat pada dosis yang lebih besar. Penurunan
fungsi nervus VIII dan gangguan penglihatan bisa dijumpai. Kuinin menstimulasi sekresi insulin
dan dapat menyebabkan hipoglikemia yang tidak terdeteksi sehingga dapat menyebabkan
kematian. Dianjurkan untuk memonitor kadar gula darah dalam 4-6 jam setelah pemberian
kuinin. Keadaan hipoglikemia ini dapat berulang walaupun pasien telah diberikan dekstrosa 25%
atau 50%, sehingga pencegahan dengan infus dekstrosa 10% sangat dianjurkan. Hipoglikemia
yang resisten akibat pemberian kuinin dapat diatasi dengan pemberian injeksi octreotide 50
μg/subkutan setiap 6-8 jam.4,6

Hipersensitifitas pada pasien yang mengalami ruam, angioedem, gangguan pendengaran


dan penglihatan merupakan indikasi untuk menghentikan pengobatan. Obat ini
dikontraindikasikan pada kasus dengan tinitus dan neuritis optikus. Pemberian pada pasien
dengan fibrilasi atrial harus hati-hati. Perdarahan merupakan indikasi relatif untuk menghentikan
pengobatan. Obat ini tidak boleh diberikan pada pasien myasthenia gravis.4

Kuinin tersedia dalam bentuk tablet dan kapsul berisi 300 dan 600 mg basa. Juga tersedia
dalam bentuk injeksi mengandung 300 mg/ml. Dosis oral adalah 10 mg/kg berat badan/8 jam
selama 4 hari pertama dan dilanjutkan 15 mg/kg berat badan/8 jam selama 4 hari kedua.
Intra vena 20 mg/kg berat badan dalam > 4 jam dan dilanjutkan 10 mg/kg dalam > 4 jam
(pemberian dalam NaCl 0,9%/Dekstrosa 5%) diberikan setiap 8 jam sehingga pasien dapat
minum obat atau selama 5-7 hari.

 Kakkilaya BS. Antimalarial drugs. Dr.B.S. Kakkilaya’s Malaria Web Site. Didapat dari:
URL: http:// www.geocities.com/HotSprings/Resort/5403/Antimalarial
 Tracy JW, Webster LT. Drugs Used in Chemotherapy of Protozoa Infections. Dalam:
Hardman JG, Gilman AG, Limbird LE. Penyunting. Goodman & Gilman’s The
Pharmacological Basis of Therapheutics. Edisi ke-9. New York: Mc Milan, 1996. h. 965-
85.
 Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia 2000. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI; 2001. h. 37-46.
 Santoso SS, Rukmono B, Pribadi W, Soesanto SS, Sudarti. Pengetahuan, pengalaman,
Pandangan, dan Pola Pencarian Pengobatan tentang Penyakit Malaria di Daerah
Hiperendemik Mimika Timur Irian Jaya. Buletin Penelit. Kesehat. 1994; 22:24-38.
 Luxemburger C. Treatment of Malaria in Young Children. J Pediatr Obstet Gynecol
1999; 5-9.
 Kakkilaya BS. Antimalarial drugs. Dr.B.S. Kakkilaya’s Malaria Web Site. Didapat dari:
URL: http:// www.geocities.com/HotSprings/Resort/5403/Antimalarial
 Pribadi W, Sungkar S. Malaria. Balai Penerbit FakultasKedokteran Universitas Indonesia
Jakarta, 1994. h. 15-24.

Anda mungkin juga menyukai