TUJUAN
Untuk membandingkan efek farmakologis dari infiltrasi anestesi lokal dengan dan tanpa
adrenalin di kaki belakang tikus.
III. METODE:
Tikus C:
A. Pendahuluan
Obat anestetik lokal digunakan secara lokal dan menghambat implus konduksi
saraf sensorik dari perifer ke SSP. Anestetik lokal menghilangkan sensasi (dan pada
konsentrasi tinggi, aktivitas motor) pada daerah tubuh terbatas tanpa menghasilkan
ketidaksadaran. Obat ini menghambat saluran natrium membran saraf. Serabut saraf tak
bermielin yang kecil, yang memacu implus untuk sakit, temperatur, dan aktivitas
autonomik, sangat sensitif terhadap kerja obat anestetik lokal.
Semua obat anestetik lokal terdiri dari grup rantai amino hidrofilik melalui
suatu grup penghubung yang panjangnya bervariasi ke suatu residu lipofilik aromatik.
Baik potensi maupun stoksisitas anestetik lokal meningkat sesuai dengan panjangnya
grup penghubung.
Efek samping adalah akibat dari absorpsi sistemik sejumlah toksik anestetik
lokal yang dipakai. Efek sistemik yang paling jelas adalah bangkitan kejang. Penambahan
vasokonstriktor epinefrin pada anestetik lokal, tingkat absorpsi menurun. Hal ini dapat
mengurangi toksisitas sistemik dan meningkatkan masa kerjanya.
B. Definisi
Anestesi lokal adalah obat yang digunakan untuk mencegah terjadinya rasa
nyeri (persepsi sensoris) dengan cara menghambat konduksi impuls pada saraf secara
reversibel pada daerah terbatas, tanpa menghilangkan kesadaran. Pada dosis besar selain
hambatan sensoris, anestesi lokal juga dapat menghambat saraf motorik dan otonom.
Salah satu beda anestesi lokal dan anestesi umum, ialah bahwa anestesi umum
hilangnya rasa pada daerah tidak terbatas dan disertai hilangnya kesadaran.
1. Toksisitas rendah
2. Tidak menimbulkan reaksi alergi
3. Efektif pada pemakaian secara suntikan maupun topikal
4. Dapat dikombinasikan dengan vasokonstriktor
5. Dapat larut dalam air dan stabil dalam penyimpanan dan sterilisasi
Bentuk basa non-ionik dari anestesi lokal mempunyai sifat larut dalam lemak
(lipofilik) sehingga dapat menembus sel membran saraf.
Kemudian di dalam saraf bentuk basa bebas non-ionik ini mengalami disosiasi
lagi menjadi bentuk ion (kation), dan bentuk ion inilah yang aktif yang mencegah
terjadinya depolarirasi, karena bentuk ion inilah akan berikatan dengan reseptor pada
kanal Na (teori reseptor spesifik). Mekanisme ini tidak berlaku bagi Benzokain karena
benzokain adalah suatu anestesi lokal berbentuk molekul yang tidak bermuatan.
Khasiat anestesi lokal pada daerah beradang akan menurun. Hal ini kemungkinan karena:
1. Epinefrin
2. Nor-epinefrin
3. Fenilefrin
4. Levonordefrin
Tujuan pemberian vasokonstriktor pada anestesi lokal adalah:
Pada pemberian anestesi lokal di daerah extremitas, misalnya: jari, hidung, penis
untuk menghindari ‘ischaemia’ setempat dan nekrosa
1. Golongan Ester:
a. Ester asam benzoat : kokain, nuperkain
b. Ester asam para amino benzoat: prokain, tetrakain, dll
2. Golongan Amida:
a. Silidin : lidokain, mepivakain, bupivakain,etidokain
b. Toluidin : prilokain
3. Golongan Keton : Diklonin
4. Lain-lain
Anestesi lokal selain menunjukkan efek pada saraf perifer, setelah diabsorpsi ke
sirkulasi darah akan memberi efek pada organ-organ tertentu:
1. Gejala Toksisitas
2. Reaksi Alergi
1. Kokain
2. Prokain
3. Tetrakain
4. Propoksikain
5. Lidokain
6. Mepivakain
7. Prilokain
8. Benzokain
9. Diklonin
10. Bupivakain
1. Anestesi permukaan
2. Anestesi Infiltrasi
3. Anestesi Blok saraf ( saraf tunggal dan lebih dari satu saraf)
V. TABEL HASIL PENGAMATAN
Catatan :
- : tidak sakit
+ : sedikit sakit
++ : sakit
+++ : sangat sakit
VI. PEMBAHASAN
a) Pada percobaan yang dilakukan oleh 5 kelompok dengan tikus A dengan tindakan di
kaki kanan disuntikkan 0,9% NaCl sebanyak 0,1 mL lalu di kaki kiri disuntikkan
liocaine sebanyak 0,1 mL kemudian diamati respon tikus tiap 5 menit selama 30
menit. Tikus menunjukkan respon pada kaki kanan merasakan sakit, rasa sakit paling
tinggi terjadi pada tikus A kelompok I dan V. Sedangkan pada kaki kiri tikus A rata-
rata setiap kelompok tikus mulai tidak merasakan sakit atau sudah mendapat efek
reaksi obat lidocaine pada menit ke-15. Namun tikus kelompok 1 pada waktu ke-30
menit kaki kiri yang telah mendapatkan perlakuan dengan lidocaine kembali
merasakan sakit yang artinya bahwa efek lidocaine pada kelompok tikus 1 telah
hilang pada waktu ke-30 menit
b) Kemudian dilakukan percobaan pada tikus B dengan tindakan pada kaki kanan
disuntikkan 0,9% NaCl sebanyak 0,1 mL lalu kaki kiri tikus B disuntikkan
lidocain+epinefrin sebanyak 0,1mL. Setelah itu diamati respon tikus tiap 5 menit
selama 30 menit, hasil yang didapatkan bahwa kaki kanan tikus B merasakan sakit
pada semua kelompok. Pada kaki kiri untuk kelompok II dan III mulai dari 5 menit
pertama sudah tidak merasakan sakit, sedangkan kelompok lain selama 10 menit
pertama masih sedikit merasakan sakit. Tetapi, pada semua kelompok tikus hingga
waktu ke-30 menit tetap tidak merasakan sakit. Hal tersebut membuktikan bahwa
kerja obat anestesi lokal yang ditambahkan adrenalin (epinefrin) lebih efektif bekerja
bahkan hingga durasi yang lama. Selain itu, efek kerja obat anestesi lokal
lidocaine+epinefrin lebih cepat hal itu terbukti pada kelompok tikus yang dalam 10
menit pertama sudah tidak bereaksi terhadap rasa nyeri.
c) Percobaan pada tikus C dilakukan pada saat terjadi radang. Tindakan yang dilakukan
yaitu pada kaki kanan disuntikkan 0,1 mL NaCl dan kaki kiti tikus C disuntikkan
suspense 5% ragi (caragenan) sebanyak 0,1 mL kemudian ditunggu selama 30 menit.
Setelah itu, ditusuk dan dicatat respon nya. Kemudin kembali disuntikkan 0,1 mL
lidokain+epinefrin pada daerah yang meradang dan dicatat responnya setiap 5 menit
selama 30 menit. Hasil yang didapatkan yaitu, semua kaki kanan tikus C pada tiap
kelompok merasakan sakit, tetapi rasa sakit yang paling ringan adalah pada kelompok
III. Sedangkan kaki kiri tikus C di semua kelompok tetap merasakan sakit tetapi tidak
separah kaki kanan. Hal ini membuktikan bahwa efek kerja obat lidocaine+epinefrin
tidak bereaksi terhadap daerah yang terjadi inflamasi/radang.
VII. PERTANYAAN DAN JAWABAN
PERTANYAAN
1. Apakah ada perbedaan onset dan durasi aksi antara anestesi lokal dengan dan tanpa
epinefrin? Jelaskan perbedaannya.
4. Apa efek yang Anda amati setelah pemberian lidocaine + epinefrin di area yang
meradang? Jelaskan mengapa itu terjadi!
JAWAB :
1. Onset anestesi local dengan epinefrin menunjukkan bahwa semua tikus di tiap
kelompok pada menit ke 30 tidak merasakan sakit sedangkan pada anestesi local tanpa
epinefrin terdapat tikus di kelompok V yang masih merasakan sakit di menit ke 30,
rasa sakit nya bahkan tidak berbeda jauh dari kaki kanan. Untuk perbedaan durasi,
pada anestesi local dengan epinefrin disimpulkan bahwa efek nya lebih cepat karena
ditemukan 2 kelompok yang dari menit ke-5 tikusnya sudah tidak merasakan sakit,
sedangkan anestesi local tanpa epinefrin durasi efek anestesi lebih lama bahkan masih
ada yang merasakan sakit pada menit ke-30.
2. Mekanisme primer dari anestesi local adalah memblok kanal natrium bergerbang-
tegangan (voltage gated channel sodium)
Membran Depolarisasi Ca
e sel terganggu ekstraseluler
meningkat
Memblok
kunduksi aksi Obat berinteraksi
potensial di kanal Na
4. Kaki kiri tikus C di semua kelompok tetap merasakan sakit tetapi tidak separah kaki
kanan. Hal ini terjadi karena saat adanya radang, juga terjadi infiltasi sel radang dalam
vaskularisasi. Sedangkan epinefrin bekerja secara vasokonstriktor. Hal ini sel radang
yang sedang berinfiltrasi menghambt kerja dari epinefrin.
VIII. KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat kita ambil dalam percobaan ini adalah anestesi lokal
yang ditambahkan adrenalin (epinefrin) dapat bekerja lebih efektif dibandingkan
anestesi lokal yang tidak diberi adrenalin (epinefrin). Onset dan durasi anestesi yang
diberikan adrenalin dapat bekerja dengan paruh waktu yang lama. Anestesi lokal yang
diberi adrenalin (epinefrin) tidak dapat bekerja dalam keadaan inflamasi karena saat
keadaan inflamasi, sel radang yang berinfiltrasi akan menghambat epinefrin yang
bekerja secara vasokonstriktor.
Cawson, R.A. R.G.Spector. A.M. Skelly. 1995. Basic Pharmacology and Clinical Drug
Use in Dentistry. Sixth edition. Churchill Livingstone.
Ganiswara, S.G. 1995. Farmakologi dan Terapi. Ed.4. Bag. Farmakologi Fak. Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta: Gaya Baru.
Neal, M.J. 1992. Medical Pharmacology at a Glance. Second edition. Blackwell Science.