Anda di halaman 1dari 43

‫ﰲ آداب ﻃﺎﻟﺐ اﻟﻌﻠﻢ‬

‫ﻟﻔﻀﻴﻠﺔ اﻟﺸﻴﺦ اﻟﻌﻼﻣﺔ ﳏﻤﺪ ﺑﻦ ﺻﺎﱀ اﻟﻌﺜﻴﻤﲔ‬


‫رﲪﻪ ﷲ ﺗﻌﺎﱃ‬

Adab dalam Menuntut Ilmu Syar'i


Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin

Dinukil dari kitab Kitabul Ilmi Edisi Indonesia Tuntunan Ulama Salaf Dalam
Menuntut Ilmu Syar’i Bab Adab dalam Menuntut Ilmu Syar'i Penerjemah Abu
Abdillah Salim bin Subaid Penerbit Pustaka Sumayyah Ebook compiled by
Akhukum fillah Abu Harun As Salafy reCompiled Ibnu Majjah abu Salsabiila,
dengan memberi baris pada beberapa teks Hadits

vv Menebar Ilmu dan Tegakkan Sunnah vv

Dapatkan > 580 eBook Islam di


www.ibnumajjah.com
Seorang penuntut ilmu harus berakhlak dengan berbagai adab santun. Kami
akan paparkan beberapa diantaranya:

‫ﻋﺰ وﺟﻞ‬ ‫ إﺧﻼص اﻟﻨﻴﺔ‬: ‫اﻷﻣﺮ اﻷول‬


1. Mengikhlaskan niat untuk Allah ‘Azza wa Jalla.

Tujuan dalam menuntut ilmu adalah untuk (mengharapkan) wajah Allah dan
untuk (memperoleh kebaikan) kehidupan akhirat. Allah telah menganjurkan dan
memberikan motivasi untuk menuntut ilmu di dalam firman-Nya,

ِ ِ ‫ﻓَﺎﻋﻠَﻢ أَﻧﱠﻪ ﻻ إِﻟَﻪ إِﻻ ا ﱠ و‬


َ ِ‫اﺳﺘَـ ْﻐﻔ ْﺮ ﻟ َﺬﻧْﺒ‬
‫ﻚ‬ ْ َُ َ ُ ْْ
"Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah yang haq untuk diibadahi
melainkan Allah dan mohonlah ampun atas dosamu." (Muhammad: 19)

Pujian terhadap ulama di dalam Al-Qur'an telah cukup dikenal. Apabila Allah
memuji sesuatu atau memerintahkannya, maka hal tersebut menjadi suatu
amaliah ibadah. Jika demikian maka dalam menuntut ilmu wajib untuk
mengikhlaskan diri hanya bagi Allah, yaitu dengan jalan seorang harus
meniatkan (mengharapkan) wajah Allah. Jika seseorang meniatkan dalam
menuntut ilmu syari'at itu untuk meraih ijazah yang akan dia gunakan untuk
mencapai suatu kedudukan ataupun status tertentu, maka sesungguhnya
Rasulullah bersabda,

‫ﺐ ﺑِِﻪ‬ ‫ﻴ‬‫ﺼ‬ِ ‫ﷲ ﻋﱠﺰ و ﺟ ﱠﻞ ﻻَ ﻳـﺘَـﻌﻠﱠﻤﻪ إِﻻﱠ ﻟِﻴ‬ ِ ‫ﻣﻦ ﺗَـﻌﻠﱠﻢ ِﻋ ْﻠﻤﺎ ِﳑﱠﺎ ﻳـﺒـﺘـﻐَﻰ ﺑِِﻪ وﺟﻪ‬
َ ْ ُ ُُ َ َ َ َ َ ُْ َ َ ُْ ً َ َ ْ َ
‫اﳉَﻨ ِﱠﺔ ﻳـَ ْﻮَم اﻟْ ِﻘﻴَ َﺎﻣﺔ‬
ْ ‫ف‬َ ‫ﺿﺎ ِﻣ َﻦ اﻟ ﱡﺪﻧْـﻴَﺎ َﱂْ َِﳚ ْﺪ َﻋ ْﺮ‬
ً ‫َﻋَﺮ‬
"Barangsiapa mempelajari ilmu yang diharapkan dengannya wajah Allah ‘Azza
wa Jalla, namun dia tidak mempelajarinya kecuali untuk mendapatkan harta
dunia maka dia tidak akan mencium wangi surga di Hari Kiamat."1

Maksudnya adalah mencium baunya. Dan ini merupakan ancaman yang keras.
Tapi jika ada seorang penuntut ilmu yang mengatakan saya ingin memperoleh
ijazah bukan lantaran ingin mendapatkan bagian dari harta dunia akan tetapi
sistem (yang ada) menjadikan ukuran seorang ulama adalah ijazahnya. Kami
katakan, jika seseorang berniat memperoleh ijazah dalam rangka memberi
kemanfaatan kepada orang lain baik dalam bidang pengajaran, administrasi,
atau dalam bidang lainnya maka hal tersebut merupakan niatan yang lurus,
tidak membahayakan dirinya sedikitpun, karena niatan tersebut benar.

Kita mengulas faktor keikhlasan di awal pembahasan adab-adab penuntut ilmu


tidak lain karena keikhlasan merupakan hal yang prinsipil. Maka penuntut ilmu
wajib meniatkan amalannya dalam rangka menunaikan perintah Allah. Karena
Allah memerintahkan dalam firman-Nya,

ِ ِ ‫ﻓَﺎﻋﻠَﻢ أَﻧﱠﻪ ﻻ إِﻟَﻪ إِﻻ ا ﱠ و‬


َ ِ‫اﺳﺘَـ ْﻐﻔ ْﺮ ﻟ َﺬﻧْﺒ‬
‫ﻚ‬ ْ َُ َ ُ ْْ
"Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah yang haq untuk diibadahi
melainkan Allah dan mohonlah ampun atas dosamu." (Muhammad: 19)

Allah memerintahkan untuk berilmu, maka jika engkau mempelajari ilmu berarti
engkau telah menunaikan perintah Allah Azza wajalla.

____________
Footnote:

1 HR. Ahmad juz 2 hal 338, Abu Dawud dalam Kitabul 'Ilmi Bab: Thalabul 'Ilmi
li Ghairillah, Ibnu Majah dalam Al-Muqaddimah Bab: Al-Intifa'u bil 'Ilmi wal
Amalihi bihi, Hakim dalam Al-Mustadrak juz 1 hal 160, Ibnu Abi Syaibah dalam
Mushannaf juz 8 hal. 543, Al-Ajuri dalam Akhlaqul 'Ulama hal. 142, Akhlaqul
Ahlil Qur 'an hal. 128 no. 57. Al-Hakim berkata, "Hadits shahih dan perawinya
tsiqah."
‫ رﻓﻊ اﳉﻬﻞ ﻋﻦ ﻧﻔﺴﻪ وﻋﻦ ﻏﲑﻩ‬:‫اﻷﻣﺮ اﻟﺜﺎﱐ‬ 2. Menghilangkan
kebodohan dari dirinya dan orang lain.

Ketika seseorang menuntut ilmu hendaknya diniatkan untuk menghilangkan


kebodohan dari dirinya dan orang lain. Karena asal muasal manusia adalah
bodoh. Dalil hal tersebut adalah firman Allah,

‫َﺧَﺮ َﺟ ُﻜ ْﻢ‬
‫أ‬ ‫ﱠ‬ ‫ا‬‫و‬ ‫ﻞ‬ ‫ﻌ‬ ‫ﺟ‬ ‫و‬ ‫ﺎ‬‫ﺌ‬‫ـ‬ ‫ﻴ‬‫ﺷ‬ ‫ن‬َ ‫ﻮ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﻠ‬
َ ‫ﻌ‬ ‫ـ‬ ‫ﺗ‬ ‫ﻻ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻜ‬ُ ِ
‫ﺎﺗ‬ ‫ﻬ‬‫ﻣ‬‫ﱠ‬ُ‫أ‬ ِ
‫ﻮن‬ ‫ﻄ‬
ُ ‫ﺑ‬ ‫ﻦ‬ ِ
‫ﻣ‬
ْ ُ َ َ َ َ َ ًَْ ُ ْ َ ْ َ ُْ
‫ﺼ َﺎر َواﻷﻓْﺌِ َﺪ َة ﻟَ َﻌﻠﱠ ُﻜ ْﻢ ﺗَ ْﺸ ُﻜُﺮو َن ﻟَ ُﻜ ُﻢ اﻟ ﱠﺴ ْﻤ َﻊ‬
َ ْ‫َواﻷﺑ‬
"Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan kamu tidak
mengetahui sesuatupun dan Allah memberikanmu pendengaran, penglihatan
dan hati agar kamu bersyukur." (An-Nahl: 78)

Realita membuktikan demikian, maka engkau harus meniatkan (dalam


menuntut ilmu adalah) untuk menghilangkan kebodohan dari dirimu. Dengan
demikian engkau akan mendapatkan rasa takut kepada Allah ‘Azza wa Jalla.

 َ‫ِﻣ ْﻦ ِﻋﺒَ ِﺎد ِﻩ اﻟْﻌُﻠَ َﻤﺎءُ إِﱠﳕَﺎ َﳜْ َﺸﻰ ا ﱠ‬


"Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya
hanyalah ulama." (Fathir: 28)

Jadi, engkau harus berniat menghilangkan kebodohan dari dirimu, karena


pada dasarnya dalam dirimu tersimpan kebodohan. Jika engkau belajar
engkau akan menjadi orang yang berilmu dan kebodohanmu akan hilang.

Demikian pula engkau meniatkan (dengan belajar itu) untuk menghilangkan


kebodohan dari umat ini. Hal tersebut dapat dicapai dengan ta'lim (proses
belajar mengajar) atau dengan berbagai macam cara agar orang lain bisa
menimba manfaat dari ilmumu.

Apakah termasuk syarat mengambil manfaat ilmu adalah dengan cara duduk
di masjid dalam suatu halaqah ataukah mengambil manfaat ilmu tersebut
pada semua kondisi?
Jawabnya: dengan (jawaban) kedua. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,

ً‫ﺑَـﻠِّﻐُﻮا َﻋ ِّﲏ َوﻟَ ْﻮ آﻳَﺔ‬


"Sampaikanlah dariku walaupun hanya satu ayat."2

Apabila engkau mengajarkan ilmu kepada seseorang kemudian orang itu


mengajarkan kepada orang lain, maka engkau akan mendapatkan pahala
dua orang. Apabila orang ketiga mengajarkan kepada orang lain, engkau
akan mendapatkan pahala tiga orang. Demikian seterusnya.

Tergolong perbuatan bid'ah apabila seseorang menunaikan suatu ibadah lalu


mengucapkan,

‫اﻟﻠﻬﻢ اﺟﻌﻞ ﺛﻮا ﺎ ﻟﺮﺳﻮل ﷲ‬


"Ya Allah, jadikan pahala ibadah ini untuk Rasulullah."

Sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang telah


mengajari dan menunjukimu, maka (secara otomatis) beliau akan
mendapatkan pahala seperti pahalamu.

Imam Ahmad rahimahullah berkata,

‫اﻟﻌﻠﻢ ﻻ ﻳﻌﺪﻟﻪ ﺷﻲء ﳌﻦ ﺻﺤﺖ ﻧﻴﺘﻪ‬


"Ilmu, tidak ada satu pun yang dapat menandinginya bagi orang yang lurus
niatnya."

Para muridnya bertanya, "Mengapa demikian?" Beliau menjawab,

‫ﻳﻨﻮي رﻓﻊ اﳉﻬﻞ ﻋﻦ ﻧﻔﺴﻪ وﻋﻦ ﻏﲑﻩ‬


"(Karena) ia berniat untuk menghilangkan kebodohan dari dirinya dan dari
orang lain."

Sebab pada dasarnya kebodohan melekat pada diri mereka sebagaimana


kebodohan itu merupakan sifat dasar yang melekat pada dirimu. Apabila
engkau belajar dalam rangka rnenghilangkan kebodohan dari umat ini berarti
engkau digolongkan dalam deretan orang yang berjihad di jalan Allah dan
menyebarkan agama-Nya.
____________
Footnote:

2 HR. Al-Bukhari dalam Kitabul Anbiya’ Bab: Maa Dzakara ‘an Bani Israil
3 ‫ اﻟﺪﻓﺎع ﻋﻦ اﻟﺸﺮﻳﻌﺔ‬:‫اﻷﻣﺮ اﻟﺜﺎﻟﺚ‬. Membela Syari'at.

Dengan menuntut ilmu ia juga mempunyai niat untuk membela syari'at (Islam).
Sebab kitab-kitab tidak dapat membela syari'at (secara langsung) dan
pembelaan syari'at ini tidak dapat dilakukan kecuali oleh orang yang
mengembannya. Jika seorang Ahlul Bid'ah datang ke suatu perpustakaan yang
dipenuhi berbagai macam kitab syari'at yang tidak terhitung jumlahnya, lalu dia
berbicara dengan kebid'ahan dan mengikrarkannya maka saya yakin tidak akan
ada satu kitab pun yang akan membantahnya. Lain halnya jika Ahlul Bid'ah
tersebut berbicara dengan kebid'ahannya di hadapan seorang yang berilmu
(ulama) untuk mengikrarkan kebid'ahannya, tentu penuntut ilmu tersebut akan
membantah dan menghabisi ucapannya dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Oleh
karena itu, seorang penuntut ilmu harus meniatkan belajarnya untuk membela
syari'at.

Pembelaan terhadap syari'at Islam tidak mampu dilakukan kecuali oleh orang-
orang yang memiliki senjata. Apabila kita memiliki berbagai macam senjata
yang telah memenuhi gudang persenjataan apakah senjata-senjata itu sanggup
dengan sendirinya menembakkan pelurunya kepada musuh? Ataukah tidak bisa
kecuali dengan orang yang menggerakkannya?

Jawabannya: perbuatan itu (menyerang musuh dengan senapan) tidak bisa


dilakukan kecuali oleh orang yang menggunakannya. Demikian juga dengan
ilmu. Sesungguhnya bid'ah yang baru akan terus muncul, terkadang terjadi
bid'ah-bid'ah yang tidak muncul pada zaman dahulu dan bid'ah-bid'ah tersebut
tidak terdapat dalam kitab-kitab (buku-buku), sehingga tidak mungkin
membela syari'at ini kecuali dilakukan oleh penuntut ilmu.

Oleh karena itu saya katakan, sesungguhnya termasuk hal-hal yang wajib untuk
diperhatikan oleh penuntut ilmu adalah masalah pembelaan syari'at ini. Dengan
demikian manusia berada dalam kondisi sangat butuh kepada ulama, dalam
rangka menghadapi tipu daya Ahlul Bid'ah dan segenap musuh-musuh Allah.
Hal itu tidaklah bisa terealisasi kecuali dengan ilmu syari'at yang bersumber dari
Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
4 ‫ رﺣﺎﺑﺔ اﻟﺼﺪر ﰲ ﻣﺴﺎﺋﻞ اﳋﻼف‬:‫اﻷﻣﺮ اﻟﺮاﺑﻊ‬. Berlapang dada dalam
masalah khilafiyah (perbedaan pendapat).

Hati seorang penuntut ilmu harus lapang dalam masalah perbedaan pendapat
yang bersumber dari proses ijtihad. Sebab masalah perbedaan pendapat di
kalangan ulama bisa jadi tergolong masalah yang tidak ada lagi tempat untuk
berijtihad dalam masalah tersebut. Sebab titik masalahnya sudah jelas
(gamblang) sehingga tidak seorangpun memperoleh udzur (alasan) untuk
menyelisihinya.

Bisa jadi masalah tersebut adalah masalah yang masih terbuka pintu ijtihad di
dalamnya, sehingga seseorang bisa diterima alasannya jika menyelisihi
(pendapat yang lain) dalam masalah itu. Bukan berarti ucapanmu akan menjadi
bumerang bagi orang yang menyelisihimu, sebab kalau kita menerima (konsep)
itu maka tentunya kita akan katakan dengan yang sebaliknya ucapannya (bisa)
menjadi bumerang atasmu. Berdasarkan hal tersebut, saya mengingatkan
bahwa akal tidak mempunyai tempat dalam masalah ini, sehingga orang-orang
tidak mempunyai kelonggaran untuk berselisih paham dalam masalah tersebut.

Adapun orang-orang yang menyelisihi jalan kaum Salaf seperti (dalam)


masalah-masalah aqidah, maka dalam masalah ini penyelisihan yang dilakukan
seseorang yang berbeda dengan yang diyakini oleh Salafus Shalih tidak bisa
ditolerir. Tapi pada masalah-masalah lain yang ada tempat bagi akal untuk
berperan di dalamnya, maka tidak sepatutnya untuk menjadikan perbedaan
pendapat tersebut sebagai bahan cemoohan pada orang lain. Dan tidak
sepatutnya untuk menjadikan hal tersebut sebagai pemicu terjadinya
permusuhan dan kebencian.

Para shahabat radhiyallahu ‘anhum, saling berbeda pendapat dalam banyak


masalah. Dan siapa yang ingin mengetahui perbedaan pendapat di kalangan
mereka hendaklah ia merujuk atsar-atsar yang menuturkan tentang (keadaan)
rnereka. Akan dijumpai adanya perbedaan pendapat dalam berbagai masalah.
Permasalahan mereka lebih besar dibandingkan dengan masalah-masalah yang
diangkat oleh orang-orang pada zaman ini sebagai isu-isu untuk berbeda
pendapat, sehingga orang-orang menjadikan perbedaan itu sebagai bentuk
pengkotak-kotakan massa. Mereka mengatakan, "Saya seide dengan Fulan,
saya satu haluan dengan Fulan." Seolah-olah masalah ini adalah masalah
penggolong-golongan (antara satu kelompok dengan kelompok lain). Ini adalah
suatu kekeliruan.
Contoh dari hal tersebut, ada seseorang mengatakan, "Jika engkau bangkit dari
ruku' janganlah engkau letakkan tangan kananmu di atas tangan kirimu, tapi
lepaskanlah kedua tanganmu ke arah sisi kedua belah pahamu. Jika engkau
tidak mengerjakannya maka engkau adalah mubtadi' (ahli bid'ah)."

Kalimat "mubtadi'" bukan suatu perkara yang remeh. Apabila ada orang yang
mengatakan itu padaku maka akan timbul ketidaksukaan dalam dadaku sebab
kita adalah manusia biasa.

Kita katakan, dalam permasalahan ini terdapat kelonggaran, seseorang


mungkin untuk meletakkan tangan kanan di atas tangan kirinya atau
melepaskan kedua tangannya. Oleh karenanya Imam Ahmad memberikan
alternatif untuk memilih apakah ia meletakkan tangan kanan di atas tangan
kirinya ataukah melepaskannya. Sebab perkara dalam persoalan ini cukup
longgar.

Tapi amalan manakah yang merupakan sunnah dalam masalah ini?


Jawabannya: Yang sunnah adalah engkau meletakkan tangan kananmu di atas
tangan kirimu jika engkau bangkit dari ruku', sebagaimana engkau
meletakkannya tatkala berdiri. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al-
Bukhari dari Sahal bin Sa'ad, beliau berkata,

ِ ‫َﻛﺎ َن اﻟﻨﱠﺎس ﻳـ ْﺆﻣﺮو َن أَ ْن ﻳﻀﻊ اﻟﱠﺮﺟﻞ اﻟْﻴ َﺪ اﻟْﻴﻤﲎ ﻋﻠَﻰ ِذر‬


‫اﻋ ِﻪ اﻟْﻴُ ْﺴَﺮى‬َ َ َ ُْ َ ُ ُ َ َ َ ُ َ ُ ُِ
‫ِﰲ اﻟ ﱠ‬
‫ﺼ َﻼة‬
"Dulu orang-orang menyuruh mereka yang mengerjakan shalat untuk
meletakkan tangan kanan di atas lengan kirinya."3

Silahkan engkau perhatikan, apakah beliau kehendaki hal itu (menaruh lengan
kanan di atas lengan kiri) ketika sujud, ketika ruku', ataukah ketika duduk?
Tidak, namun yang dikehendaki beliau adalah ketika dalam keadaan berdiri,
baik berdirinya itu sebelum ruku' atau sesudahnya.

Jadi kita wajib untuk tidak menjadikan perbedaan pendapat yang muncul di
kalangan ulama sebagai pemicu perpecahan dan persengketaan di antara umat
Islam. Sebab kita semua mendambakan kebenaran dan kita semua
menjalankan apa yang dipahami dari proses ijtihad mereka. Selama masih
sebatas itu, maka kita tidak diperkenankan untuk menjadikan hal tersebut
sebagai pemicu permusuhan dan perpecahan di antara ulama. Sebab perbedaan
pendapat itu senantiasa muncul di kalangan ulama, bahkan pada zaman Nabi
sekali pun. Kalau begitu, penuntut ilmu berkewajiban untuk bersatu padu dan
mereka tidak menjadikan perbedaan pendapat semacam ini sebagai sebab
untuk saling menjauhi dan saling membenci satu sama lain.
Sebaliknya, yang wajib jika engkau berbeda pendapat dengan rekanmu
berdasar kandungan dalil yang engkau pegang dan dia berbeda pendapat
denganmu berdasarkan dalil yang dia pegang, hal itu justru akan menjadikan
kalian berada di atas jalan yang sama dan kecintaan di antara kalian berdua
pun akan semakin bertambah.

Oleh karena itu kami merasa bersuka cita dan menyambut gembira terhadap
generasi muda kita yang memiliki kecenderungan besar untuk mengadakan
studi banding terhadap berbagai macam masalah dengan menyodorkan dalil-
dalil dan adanya kecenderungan besar untuk membangun ilmu mereka di atas
Kitabullah (Al-Qur'an) dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kami memandang bahwa fenomena tersebut merupakan pertanda baik dan


kabar gembira pun akan ia rasakan dengan dibukanya pintu-pintu ilmu dari
jalur-jalur yang benar. Dan kita tidak menghendaki mereka menjadikan
fenomena tersebut sebagai pemicu proses pengkotakan massa dan penanaman
kebencian. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya,

‫ﺖ ِﻣْﻨـ ُﻬ ْﻢ ِﰲ َﺷ ْﻲ ٍء‬ ‫ﺴ‬‫ﻟ‬


َ ‫ﺎ‬
َ ْ ًَ‫ﻌ‬‫ـ‬‫ﻴ‬‫ﺷ‬ِ ‫إِ ﱠن اﻟﱠ ِﺬﻳﻦ ﻓَـﱠﺮﻗُﻮا ِدﻳﻨَـﻬﻢ وَﻛﺎﻧُﻮا‬
َ ُْ َ
"Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka
(terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu
terhadap mereka." (Al-An'am: 159)

Kami tidak menyepakati perbuatan orang-orang yang menjadikan diri mereka


menjadi bergolong-golong dan masing-masing fanatik pada golongannya. Sebab
golongan Allah hanyalah satu. Kami pun memandang bahwa perbedaan paham
lain dan tidak pula mendorong mereka untuk menjatuhkan kehormatan
saudaranya.

Para penuntut ilmu wajib menjadi orang-orang yang bersaudara kendati mereka
berselisih paham dalam sebagian perkara furu' (cabang) dan hendaknya satu
sama lain mengajak dengan cara yang tenang dan bertukar pikiran (diskusi)
dengan tujuan mencari wajah Allah dan tercapainya target ilmu.

Dengan sikap lembut akan terjalin persatuan. Fenomena kerusakan dan sifat
arogan pada sebagian orang akan hilang. Terkadang hal tersebut sampai
menyeret mereka pada pertengkaran dan permusuhan. Dan itu tidak diragukan
lagi akan membuat musuh-musuh kaum muslimin bersorak gembira. Dan
perselisihan yang terjadi di antara umat Islam tergolong aspek yang paling
merugikan umat Islam sendiri. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

ُ ُ َ
‫اﺻِﱪُوا إِ ﱠن ا ﱠَ َﻣ َﻊ‬ ِ ‫وأ‬
ْ ‫ﺐ ِرﳛُ ُﻜ ْﻢ َو‬‫ﻫ‬َ
َ َ ‫ﺬ‬
ْ ‫ﺗ‬
َ‫و‬ ‫ا‬
‫ﻮ‬ ‫ﻠ‬
ُ ‫ﺸ‬
َ ‫ﻔ‬
ْ ‫ـ‬‫ﺘ‬
َ ‫ـ‬
َ ‫ﻓ‬ ‫ا‬
‫ﻮ‬ ‫ﻋ‬
ُ ‫ﺎز‬
َ َ‫ﻨ‬‫ـ‬َ‫ﺗ‬ ‫ﻻ‬‫و‬ ‫ﻪ‬
ُ ‫ﻟ‬
َ‫ﻮ‬‫ﺳ‬‫ر‬‫و‬ ‫ﱠ‬
َ ُ ََ َ ُ َ‫ا‬ ‫ا‬
‫ﻮ‬ ‫ﻴﻌ‬‫َﻃ‬
ِ ‫اﻟ ﱠ‬
َ ‫ﺼﺎﺑ ِﺮ‬
‫ﻳﻦ‬
"Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-
bantahan yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan
bersabarlah. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar." (Al-Anfal:
46)

Para shahabat radhiyallahu ‘anhum saling berbeda pendapat pada masalah-


masalah semacam ini. Tapi mereka tetap berada di atas satu hati, di atas cinta
kasih dan tetap bersatu. Bahkan saya akan katakan secara terus terang, apabila
seseorang berbeda pendapat denganmu dengan dalil yang dia pegang,
sebenarnya orang tersebut adalah mencocokimu. Sebab masing-masing dari
kalian berdua adalah pencari kebenaran. (Alasan) berikutnya, tujuan kalian pun
sama yaitu tercapainya target kebenaran yang berasal dari dalil.

Jika demikian halnya, maka orang tersebut tidak berbeda pendapat denganmu,
selama engkau mengakui bahwa dia berbeda pendapat denganmu dengan dalil
yang dia pegang. Lalu dimana (letak) perbedaan pendapatnya? Dengan cara ini
umat akan tetap bersatu padu, meskipun mereka berbeda pendapat dalam
beberapa masalah lantaran adanya dalil yang dipegang oleh masing-masing dari
mereka.

Adapun orang yang keras kepala dan membantah setelah tampak kebenaran,
maka tidak disangsikan lagi bahwa orang tersebut harus disikapi dengan cara
yang setimpal dengan perbuatannya setelah (tampak) pembangkangan dan
penyimpangannya. Setiap keadaan memiliki peringatan yang disesuaikan
dengan kondisinya.

____________
Footnote:

3 HR. Al-Bukhari dalam Kitab Shifatush Shalat Bab: Wadha 'al Yimna 'alal Yusra
(meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri) dan lafadznya dari Sahal bin
Sa'ad berkata: "Manusia disuruh untuk meletakkan tangan kanan di atas lengan
kiri dalam shalatnya."
‫ اﻟﻌﻤﻞ ﻟﻌﻠﻢ‬:‫اﻷﻣﺮ اﳋﺎﻣﺲ‬ 5. Mengamalkan ilmu.

Seorang penuntut ilmu hendaknya mengamalkan ilmunya, baik yang


berhubungan dengan perkara aqidah, akhlak, adab sopan santun dan
pergaulan dengan orang lain. Sebab amal adalah buah dan hasil ilmu.
Seorang pembawa ilmu bagaikan orang yang membawa senjata. Bisa jadi
ilmu tersebut membawa dampak positif bagi dirinya atau malah membawa
dampak negatif. Oleh karena itu telah tsabit (tetap) dari Nabi shallallahu
‘alahi wa sallam bahwa beliau bersabda,

 ‫ﻚ َواﻟْ ُﻘ ْﺮآ ُن‬


َ ‫ﻚ أ َْو َﻋﻠَْﻴ‬
َ َ‫ُﺣ ﱠﺠﺔٌ ﻟ‬
"Al-Qur'an itu bisa menjadi pembela bagimu atau menjadi bencana
bagimu."4

Menjadi pembela bagimu jika engkau mengamalkannya. Demikian pula


pengamalan hadits Nabi yang shahih dilakukan dengan cara membenarkan
berita dan menjalankan hukum-hukumnya.

Jika datang berita dari Allah dan Rasul-Nya maka benarkan dan ambillah
dengan penerimaan dan kepatuhan. Janganlah engkau katakan kenapa
begini atau bagaimana ini? Sebab cara penyikapan seperti itu bukan jalan
orang-orang beriman. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

‫ﻀﻰ ا ﱠُ َوَر ُﺳﻮﻟُﻪُ أ َْﻣًﺮا أَ ْن‬ ‫ﻗ‬


َ ‫ا‬ ‫ذ‬
َ ِ
‫إ‬ ٍ َ‫وﻣﺎ َﻛﺎ َن ﻟِﻤ ْﺆِﻣ ٍﻦ وﻻ ﻣ ْﺆِﻣﻨ‬
‫ﺔ‬
َ ُ َ ُ ََ
‫ﺿ ﱠﻞ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﻘ‬ ‫ـ‬‫ﻓ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻟ‬‫ﻮ‬ ‫ﺳ‬ ‫ر‬ ‫و‬ ‫ا‬ ‫ﺺ‬ِ ‫ﻌ‬ ِ‫اﳋِﻴـﺮةُ ِﻣﻦ أَﻣ ِﺮ‬
َ ْ َ َ َ
ُ ُ ََ َ ‫ﱠ‬ ْ َ ْ َ َ ْ ْ ْ َ َ ْ ‫ﻳَ ُﻜﻮ َن َﳍُُﻢ‬
‫ـ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻣ‬ ‫و‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻫ‬
‫ﺿﻼﻻ ُﻣﺒِﻴﻨًﺎ‬
َ
"Tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan
yang mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu
ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.
Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka
sesungguhnya dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata." (Al-Ahzab: 36)

Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam menceritakan kepada shahabatnya


beberapa perkara yang merupakan sesuatu yang aneh dan jauh dari
pemahaman mereka. Tetapi mereka tetap menerimanya. Mereka tidak
berkomentar kenapa atau bagaimana? Berbeda dengan penyikapan yang
dilakukan orang-orang belakangan dari umat ini.

Kita dapati salah seorang dari mereka jika diberitakan sebuah hadits Nabi
shallallahu ‘alahi wa sallam akalnya merasa bingung lalu kita temui orang
tersebut mengemukakan berbagai alternatif yang diharapkan dapat
menghilangkan kebingungannya. Dia menunjukkan keberatannya dan
sebaliknya tidak berusaha mencari kejelasan. Oleh karena itu dia akan
terhalang dari taufiq Allah, walau telah disampaikan hadits Rasulullah
kepadanya. la enggan menerima dan tunduk pada hadits tersebut. Saya
akan membawakan sebuah contoh tentang hal tersebut.

Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda,

‫ﲔ‬ ‫ﺣ‬ِ ‫ﻳـْﻨ ِﺰُل رﺑـﱡﻨَﺎ ﺗَـﺒﺎرَك وﺗَـﻌ َﺎﱃ ُﻛ ﱠﻞ ﻟَﻴـﻠَ ٍﺔ إِ َﱃ اﻟ ﱠﺴﻤ ِﺎء اﻟ ﱡﺪﻧْـﻴﺎ‬
َ َ َ ْ َ َ ََ َ َ
‫ﻴﺐ ﻟَ ُﻪ‬ ِ ‫ﻮل ﻣﻦ ﻳ ْﺪﻋ ِﻮﱐ ﻓَﺄَﺳﺘ‬
‫ﺠ‬ ‫ﻘ‬ ‫ـ‬ ‫ﻴ‬ ‫ـ‬ ‫ﻓ‬ ‫ﺮ‬ ِ
‫ﻵﺧ‬ ‫ا‬ ِ
‫ﻞ‬ ‫ﻴ‬‫ﱠ‬
َ ْ َ ُ َ َْ َ ُ ُ ُ َ ْ ْ‫ﺚ اﻟﻠ‬
ُ ُ‫ﻳَـْﺒـ َﻘﻰ ﺛـُﻠ‬
‫َوَﻣ ْﻦ ﻳَ ْﺴﺄَﻟُِﲏ ﻓَﺄ ُْﻋ ِﻄﻴَﻪُ َوَﻣ ْﻦ ﻳَ ْﺴﺘَـ ْﻐ ِﻔُﺮِﱐ ﻓَﺄَ ْﻏ ِﻔَﺮ ﻟَ ُﻪ‬
"Rabb kita turun ke langit dunia, tatkala tersisa sepertiga malam terakhir,
lain Dia berfirman: Barangsiapa berdo'a kepada-Ku Aku akan
mengabulkannya, barangsiapa meminta kepada-Ku Aku akan memberinya,
dan barangsiapa memohon ampun kepada-Ku Aku akan mengampuninya."5

Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam telah menuturkan hadits tersebut. Hadits itu
masyhur bahkan mutawatir (diriwayatkan dari banyak jalan). Tiada seorang
shahabat pun yang angkat bicara dan bertanya, wahai Rasulullah bagaimana
Allah turun? Apakah Arsy-Nya akan kosong ataukah tidak? Dan lain
sebagainya. Namun kita dapati sebagian orang memperbincangkan perkara
semacam ini, bagaimana Allah di atas Arsy-Nya sedangkan Dia turun ke
langit dunia? Dan lontaran-lontaran serupa yang mereka kemukakan.

Andai saja mereka mau menerima hadits ini lantas mereka mengatakan,
Allah ‘Azza wa Jalla bersemayam di atas Arsy-Nya. Sifat ketinggian termasuk
keharusan dari Dzat-Nya. Allah turun sebagaimana yang Dia subhanahu wa
ta’ala kehendaki. Tentunya syubhat-syubhat tersebut akan tersingkirkan dari
diri mereka. Mereka tidak lagi merasa bingung dengan perkara-perkara yang
diberitakan Nabi dari Rabb-nya.

Jika demikian halnya maka kita wajib menerima berita-berita ghaib dari Allah
dan Rasul-Nya dengan ketundukan dan kepasrahan. Kita pun tidak
menyangkalnya dengan apa yang terlintas dalam benak kita baik dari hal
yang bisa dirasakan oleh panca indera atau dengan perkara yang pernah kita
lihat. Sebab perkara yang ghaib berada di atas semua itu.
Contoh dalam masalah tersebut banyak sekali dan saya tidak ingin
memperpanjangnya. Sikap seorang mukmin terhadap hadits-hadits ini
hanyalah menerima dan tunduk dan mengatakan Maha Benar Allah dan
Rasul-Nya, sebagaimana Allah beritakan dalam firman-Nya,

ُ ‫أُﻧْ ِﺰَل إِﻟَْﻴ ِﻪ ِﻣ ْﻦ َرﺑِِّﻪ َواﻟْ ُﻤ ْﺆِﻣﻨُﻮ َن َآﻣ َﻦ اﻟﱠﺮ ُﺳ‬


 ‫ﻮل ِﲟَﺎ‬
"Rasul telah beriman kepada Al-Qur'an yang diturunkan kepadanya dari
Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman." (Al Baqarah: 285)

Aqidah (kita) wajib dibangun di atas Kitabullah dan Sunnah Rasulullah


shallallahu ‘alahi wa sallam. Hendaknya manusia mengetahui bahwa tiada
tempat bagi akal dalam hal tersebut. Saya tidak mengatakan tidak ada jalan
masuk bagi akal dalam masalah tersebut. Saya hanya mengatakan tidak ada
tempat bagi akal dalam masalah tersebut. Sebab apa yang disebuikan oleh
nash-nash tentang kesempurnaan Allah adalah sesuatu yang dipersaksikan
(diterima) oleh akal. Walaupun akal manusia tidak akan sanggup memahami
rincian kesempurnaan Allah. Namun akal bisa memahami bahwa Allah
pemilik segala kesempurnaan. Maka mengamalkan ilmu aqidah yang telah
Allah karuniakan adalah suatu keharusan. Demikian pula dari segi
peribadatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Sebagaimana kebanyakan kita telah mengetahui bahwa ibadah dibangun di


atas 2 prinsip dasar:

1. Ikhlas kepada Allah subhanahu wa ta’ala.


2. Mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam.

Oleh karena itu setiap orang (harus) membangun amalnya di atas Al-Qur'an
dan As-Sunnah. Tidak merekayasa bid'ah dalam agama Allah, baik dari asal
muasal ibadah tersebut maupun dalam sifatnya. Oleh karena itu kita katakan
bahwa suatu amalan ibadah harus ditentukan oleh syari'at baik dalam
bentuk, tempat, waktu maupun sebabnya. Ibadah harus benar-benar
ditentukan oleh syari'at dalam perkara-perkara ini seluruhnya. Jika ada
orang menetapkan sebuah sebab untuk beribadah kepada Allah tanpa
dilandasi dalil maka kita akan membantahnya dan kita katakan amalan ini
tidak diterima. Karena dia harus menetapkan bahwa sebab itu berasal dari
ibadah tersebut.

Seandainya seseorang mensyari'atkan suatu bentuk peribadatan yang tidak


pernah ditentukan oleh syari'at atau mendatangkan sesuatu yang ada pada
syari'at namun dengan bentuk yang ia rekayasa sendiri ataupun dengan
waktu yang ia tentukan sendiri, kita katakan bahwa ibadah tersebut akan
tertolak. Sebab ibadah harus dibangun di atas ajaran syari'at. Hal tersebut
merupakan konsekuensi dari ilmu yang telah Allah subhanahu wa ta’ala
ajarkan padamu. Janganlah engkau beribadah kepada Allah subhanahu wa
ta’ala melainkan dengan ajaran yang telah disyari'atkan-Nya. Para ulama
mengungkapkan:
‫إن اﻷﺻﻞ ﰲ اﻟﻌﺒﺎدات اﳊﻈﺮ ﺣﱴ ﻳﻘﻮم دﻟﻴﻞ ﻋﻠﻰ‬
‫اﳌﺸﺮوﻋﻴﺔ‬
Bahwa hukum asal ibadah adalah terlarang sampai ditemukan dalil yang
mensyari'atkannya.

Mereka berdalil dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala,

‫أ َْم َﳍُْﻢ ُﺷَﺮَﻛﺎءُ َﺷَﺮﻋُﻮا َﳍُْﻢ ِﻣ َﻦ اﻟ ِّﺪﻳ ِﻦ َﻣﺎ َﱂْ َْ َذ ْن ﺑِِﻪ ا ُﱠ‬
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang
mensyariatkan bagi mereka agama yang tidak diizinkan Allah." (Asy Syura':
21)

Mereka berdalil pula dengan sabda Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam yang
tsabit dalam Ash Shahih (riwayat Muslim) dari hadits Aisyah radhiyallahu
‘anha,

‫ﺲ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ أ َْﻣُﺮَ ﻓَـ ُﻬ َﻮ َردﱞ‬ ‫ﻴ‬َ‫ﻟ‬ ‫ﻼ‬


ً ‫ﻤ‬ ‫ﻋ‬
َ ْ َ َ َ َْ
َ ‫ﻞ‬ ِ ‫ﻣﻦ ﻋ‬
‫ﻤ‬
"Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami
maka amalan itu tertolak."6

Walaupun engkau ikhlas (ketika mengerjakannya) dan engkau ingin agar


ibadah tersebut sampai kepada Allah dan engkau ingin sampai pula pada
kemuliaan-Nya, akan tetapi jika hal itu dilakukan dengan cara yang tidak
disyari'atkan maka amalan itu akan tertolak. Jika engkau menghendaki
untuk sampai kepada Allah dari jaian yang tidak Allah tentukan sebagai jalan
pengantar kepada-Nya, maka amalan itu tertolak.

Jika demikian, maka seorang penuntut ilmu wajib untuk beribadah kepada
Allah subhanahu wa ta’ala dengan syari'at yang telah diajarkan oleh Allah
tanpa menambah dan mengurangi. Dia tidak mengatakan, "Sesungguhnya
perkara yang ingin saya tunaikan untuk beribadah kepada Allah adalah hal
yang cocok bagi jiwaku, tenang bagi hatiku dan lapang bagi dadaku." Dia
tidak mengatakan ungkapan seperti itu, walaupun kenyataannya memang
terjadi. Hendaklah ia menimbang amalan tersebut dengan timbangan
syari'at. Jika Al-Qur'an dan As-Sunnah telah mengakuinya, maka ia wajib
untuk menerima dengan mata dan kepalanya (mendengar dan mentaati).
Jika tidak, maka amalan buruk telah diperindah bagi orang itu. Allah
subhanahu wa ta’ala berfirman,

َ
ِ ‫أَﻓَﻤﻦ ُزﻳِﻦ ﻟَﻪ ﺳﻮء ﻋﻤﻠِ ِﻪ ﻓَـﺮآﻩ ﺣﺴﻨًﺎ ﻓَِﺈ ﱠن ا ﱠ ﻳ‬
‫ﻀ ﱡﻞ َﻣ ْﻦ ﻳَ َﺸﺎءُ َوﻳـَ ْﻬ ِﺪي َﻣ ْﻦ‬ َُ َ َ ُ َ ََ ُ ُ ُ َّ ْ َ
ُ‫ﻳَ َﺸﺎء‬
"Maka apakah orang yang dijadikan (setan) menganggap baik pekerjaannya
yang buruk lalu ia meyakini pekerjaan itu baik (sama dengan orang yang
tidak ditipu setan)? Maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang
dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya." (Fathir: 8)

Seorang penuntut ilmu juga harus mengaplikasikan ilmunya dalam perkara


akhlak dan pola interaksi dengan sesama. Ilmu syari'at mengajak kepada
semua budi pekerti yang iuhur, baik berupa sifat jujur, menepati janji dan
cinta kebaikan kepada orang-orang yang beriman. Sampai-sampai Nabi
shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda,

‫ﺐ ﻟِﻨَـ ْﻔ ِﺴﻪ‬
‫َﺧْﻴ ِﻪ َﻣﺎ ُِﳛ ﱡ‬
ِ‫ﺐ ﻷ‬
‫َﺣ ُﺪ ُﻛ ْﻢ َﺣ ﱠﱴ ُِﳛ ﱠ‬
‫أ‬ ‫ﻦ‬
َ ُ ُ
ِ‫ﻻَ ﻳـ ْﺆ‬
‫ﻣ‬
"Tidaklah beriman seorang di antara kalian sampai ia mencintai bagi
saudaranya apa yang ia cintai bagi dirinya."7

Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam juga bersabda,

‫اﳉَﻨﱠﺔَ ﻓَـ ْﻠﺘَﺄْﺗِِﻪ َﻣﻨِﻴﱠـﺘُﻪُ َوُﻫ َﻮ‬


ْ ‫ﺐ أَ ْن ﻳـَُﺰ ْﺣَﺰ َح َﻋ ْﻦ اﻟﻨﱠﺎ ِر َوﻳُ ْﺪ َﺧ َﻞ‬‫َﺣ ﱠ‬َ ‫َﻣ ْﻦ أ‬
‫ﺐ أَ ْن ﻳـُ ْﺆﺗَﻰ‬ ‫ُ ﱡ‬ ِ
‫ﳛ‬ ‫ي‬ ِ
‫ﺬ‬ ‫ﱠ‬
‫ﻟ‬ ‫ا‬ ِ
‫ﱠﺎس‬‫ﻨ‬‫اﻟ‬ ‫ﱃ‬ َ ِ
‫إ‬ ‫ت‬ِ ْ
‫ﺄ‬ ‫ﻴ‬‫ﻟ‬
ْ‫و‬ ‫ﺮ‬ِ ِ
‫ﺧ‬ ‫اﻵ‬ْ ‫م‬ِ‫ﻮ‬ ‫ـ‬ ‫ﻴ‬‫ﻟ‬
ْ ‫ا‬
‫و‬ ِ‫ﱠ‬ ِ ‫ﻦ‬ ‫ﻣ‬ِ‫ﻳـ ْﺆ‬
ََ َْ َ ُ ُ
‫إِﻟَْﻴ ِﻪ‬
"Barangsiapa ingin dijauhkan dari api neraka dan dimasukkan ke dalam
surga, maka hendaklah (ketika) datang kematiannya dia dalam keadaan
beriman kepada Allah dan Hari Akhir. Dan hendaklah ia mendatangi manusia
dengan apa yang ia pun suka jika hal itu didatangkan pada dirinya."8

Banyak manusia yang memiliki ghirah (semangat) dan cinta kepada


kebaikan, namun mereka berinteraksi dengan orang lain dengan akhlak yang
tidak baik. Kita jumpai orang itu mempunyai perangai yang keras dan kasar,
termasuk ketika berdakwah kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Kita dapati
orang tersebut menggunakan cara-cara yang kasar dan keras.

Perilaku ini menyalahi akhlak yang diperintahkan Allah. Ketahuilah bahwa


akhlak yang baik tergolong bentuk amalan yang dapat mendekatkan diri
kepada Allah. Orang yang paling pantas mengikuti Nabi dan yang paling
dekat kedudukannya di sisi Nabi adalah orang yang paling baik akhlaknya.
Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam,

ِ ‫ﱄ وأَﻗْـﺮﺑِ ُﻜﻢ ِﻣ ِﲏ َْﳎﻠِﺴﺎ ﻳـﻮم اﻟْ ِﻘﻴﺎﻣ ِﺔ أَﺣ‬


‫ﺎﺳﻨَ ُﻜ ْﻢ‬ ‫ﱠ‬ َ ِ
‫إ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻜ‬
ُ ِ
‫ﺒ‬ ‫َﺣ‬ ‫أ‬ ‫ﻦ‬ ِ ‫إِ ﱠن‬
‫ﻣ‬
َ َ َ َ َْ ً ّ ْ َ َ ْ َّ ْ
‫ﱄ َوأَﺑْـ َﻌ َﺪ ُﻛ ْﻢ ِﻣ ِّﲏ ﻳَـ ْﻮَم اﻟْ ِﻘﻴَ َﺎﻣ ِﺔ اﻟﺜـ ْﱠﺮَ ُرو َن‬
‫ﻀ ُﻜ ْﻢ إِ َﱠ‬
َ َ‫َﺧ َﻼﻗًﺎ َوإِ ﱠن أَﺑْـﻐ‬
ْ‫أ‬
‫ﻮل ا ﱠِ ﻗَ ْﺪ َﻋﻠِ ْﻤﻨَﺎ اﻟﺜـ ْﱠﺮَ ُرو َن‬ َ ‫ ﻗَﺎﻟُﻮا َ َر ُﺳ‬.‫َواﻟْ ُﻤﺘَ َﺸ ِّﺪﻗُﻮ َن َواﻟْ ُﻤﺘَـ َﻔْﻴ ِﻬ ُﻘﻮ َن‬
‫ اﻟْ ُﻤﺘَ َﻜِّﱪُو َن‬:‫ﺎل‬ َ َ‫َواﻟْ ُﻤﺘَ َﺸ ِّﺪﻗُﻮ َن ﻓَ َﻤﺎ اﻟْ ُﻤﺘَـ َﻔْﻴ ِﻬ ُﻘﻮ َن؟ ﻗ‬
"Sesungguhnya di antara orang yang paling cinta diantara kalian kepadaku
dan yang paling dekat di antara kalian kepadaku majelisnya pada Hari
Kiamat adalah orang yang paling baik akhlaknya. Sesungguhnya orang yang
paling aku benci dan yang paling jauh dariku pada Hari Kiamat adalah Ats-
Tsartsarun, Al-Mutasyaddiqun, dan Al-Mutafaihiqun. Para shahabat bertanya,
Wahai Rasulullah, kami telah mengetahui makna Al-Tasrtsarun yaitu orang
yang suka berteriak, sedang Al-Mutasyadiqun adalah orang yang banyak
cakap. Lalu apa itu Al-Mutafaihiqun? Maka beliau menjawab, Yaitu orang-
orang yang takabur."9

____________
Footnote:

4 HR. Muslim dalam Kitabul Wudhu’ Bab: Fadhul Wudhu’.

5 HR. Al-Bukhari dalam Kitabut Tahajud Bab: Ad-Du’a wash Shalat minal Lail
dan Muslim dalam Kitabus Shalatil Musafirin Bab: At-Targhib fi Du’a wadz
Dzikri fi Akhiri Lail.

6 HR. Muslim dalam Kitabul Aqdiyah Bab: Taqdhul Ahkamil Bathilah wa


Raddu Muhdatsatil Umur.

7 HR. Al-Bukhari dalam Kitabul Iman Bab: An-Yuhibba li Akhihi ma Yuhibbu li


Nafsihi dan Muslim Kitabul Iman Bab: Ad-Dalil ‘ala Anna min Khishalil Imani
An-Yuhibba li Akhihi ma Yuhibbu li Nafsihi minl Khairi.

8 Diriwayatkan oleh Muslim dalam Kitab Al-Imaroh Bab: Al-Amru bil Wafa 'ibi
Bai'atil Khulafail Awali fal Awali.

Nashnya berbunyi: Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, dia


berkata:
‫ﺻﻠﱠﻰ ا ﱠُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ِﰲ َﺳ َﻔ ٍﺮ ﻓَـﻨَـَﺰﻟْﻨَﺎ َﻣْﻨ ِﺰًﻻ ﻓَ ِﻤﻨﱠﺎ‬ ‫ﻮل ا ﱠِ‬ ‫ُﻛﻨﱠﺎ ﻣﻊ رﺳ ِ‬
‫َ‬ ‫ََ َُ‬
‫ﻀ ُﻞ َوِﻣﻨﱠﺎ َﻣ ْﻦ ُﻫ َﻮ ِﰲ َﺟ َﺸ ِﺮِﻩ إِ ْذ‬ ‫ﻣﻦ ﻳﺼﻠِﺢ ِﺧﺒﺎءﻩ وِﻣﻨﱠﺎ ﻣﻦ ﻳـْﻨـﺘَ ِ‬
‫َ ْ ُ ْ ُ َ َُ َ َ ْ َ‬
‫ﺼ َﻼ َة َﺟ ِﺎﻣ َﻌﺔً‬ ‫ﺻﻠﱠﻰ ا ﱠُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ اﻟ ﱠ‬ ‫ﻮل ا ﱠِ‬ ‫َ َدى ﻣﻨَ ِﺎدي رﺳ ِ‬
‫َ‬ ‫َُ‬ ‫ُ‬
‫ﺎل إِﻧﱠﻪُ َﱂْ ﻳَ ُﻜ ْﻦ‬ ‫ﺻﻠﱠﻰ ا ﱠُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻓَـ َﻘ َ‬ ‫ﻮل ا ﱠِ‬ ‫ﻓَﺎﺟﺘَﻤﻌﻨَﺎ إِ َﱃ رﺳ ِ‬
‫َ‬ ‫َُ‬ ‫ْ َْ‬
‫ﱯ ﻗَـْﺒﻠِﻲ إِﱠﻻ َﻛﺎ َن َﺣﻘﺎ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ أَ ْن ﻳَ ُﺪ ﱠل أُﱠﻣﺘَﻪُ َﻋﻠَﻰ َﺧ ِْﲑ َﻣﺎ ﻳَـ ْﻌﻠَ ُﻤﻪُ َﳍُْﻢ‬ ‫ﻧَِ ﱞ‬
‫َوﻳـُْﻨ ِﺬ َرُﻫ ْﻢ َﺷﱠﺮ َﻣﺎ ﻳَـ ْﻌﻠَ ُﻤﻪُ َﳍُْﻢ َوإِ ﱠن أُﱠﻣﺘَ ُﻜ ْﻢ َﻫ ِﺬ ِﻩ ُﺟﻌِ َﻞ َﻋﺎﻓِﻴَـﺘُـ َﻬﺎ ِﰲ أَﱠوِﳍَﺎ‬
‫ﻀ َﻬﺎ‬ ‫آﺧﺮﻫﺎ ﺑ َﻼء وأُﻣﻮر ﺗُـْﻨ ِﻜﺮوﻧَـﻬﺎ وَِﲡﻲء ﻓِْﺘـﻨﺔٌ ﻓَـﻴـﺮﻗِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬
‫َو َﺳﻴُ ُ َ َ َ ٌ َ ُ ٌ ُ َ َ ُ َ ُ َ ُ َ ْ ُ‬
‫ﻌ‬ ‫ـ‬‫ﺑ‬ ‫ﻖ‬ ‫ّ‬ ‫ﻴﺐ‬ ‫ﺼ‬
‫ﻒ‬ ‫ﺸ‬‫ﻮل اﻟْﻤ ْﺆِﻣﻦ ﻫ ِﺬ ِﻩ ﻣﻬﻠِ َﻜ ِﱵ ﰒُﱠ ﺗَـْﻨ َﻜ ِ‬ ‫ُ‬ ‫ﻘ‬‫ُ‬ ‫ـ‬ ‫ﻴ‬‫ـ‬‫َ‬‫ﻓ‬ ‫ﺔ‬
‫ُ‬ ‫ﻨ‬‫ـ‬‫ﺘ‬‫ﺑـﻌﻀﺎ وَِﲡﻲء اﻟْ ِْ‬
‫ﻔ‬
‫ُ‬ ‫ُ ُ َ ُْ‬ ‫َْ ً َ ُ َ َ‬
‫ﺐ أَ ْن ﻳـَُﺰ ْﺣَﺰ َح َﻋ ْﻦ‬ ‫َﺣ ﱠ‬ ‫ﻮل اﻟْﻤﺆِﻣﻦ ﻫ ِﺬ ِﻩ ﻫ ِﺬ ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬
‫َوَ ُ ْ َ ُ َ ُ ُ ْ ُ َ َ َ ْ َ‬
‫أ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻤ‬ ‫َ‬‫ﻓ‬ ‫ﻩ‬ ‫ُ‬ ‫ﻘ‬ ‫ـ‬ ‫ﻴ‬‫ـ‬‫َ‬‫ﻓ‬ ‫ﺔ‬‫ﻨ‬‫ـ‬‫ﺘ‬‫ﻔ‬ ‫ﻟ‬
‫ْ‬ ‫ا‬ ‫ﻲء‬ ‫ﲡ‬
‫اﳉَﻨﱠﺔَ ﻓَـ ْﻠﺘَﺄْﺗِِﻪ َﻣﻨِﻴﱠـﺘُﻪُ َوُﻫ َﻮ ﻳـُ ْﺆِﻣ ُﻦ ِ ﱠِ َواﻟْﻴَـ ْﻮِم ْاﻵ ِﺧ ِﺮ‬ ‫اﻟﻨﱠﺎ ِر َوﻳُ ْﺪ َﺧ َﻞ ْ‬
‫ﺐ أَ ْن ﻳـُ ْﺆﺗَﻰ إِﻟَْﻴ ِﻪ َوَﻣ ْﻦ َ ﻳَ َﻊ إِ َﻣ ًﺎﻣﺎ‬ ‫ﱠﺎس اﻟﱠ ِﺬي ُِﳛ ﱡ‬ ‫ت إِ َﱃ اﻟﻨ ِ‬ ‫وﻟْﻴﺄْ ِ‬
‫ََ‬
‫آﺧُﺮ‬ ‫ﺎء‬ ‫ﺟ‬ ‫ن‬ ‫ِ‬
‫ﺈ‬‫ﻓ‬ ‫ﺎع‬ ‫ﻄ‬ ‫ﺘ‬ ‫اﺳ‬ ‫ن‬ ‫ِ‬
‫إ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻌ‬ ‫َﻋﻄَﺎﻩ ﺻ ْﻔ َﻘﺔَ ﻳ ِﺪ ِﻩ وَﲦَﺮَة ﻗَـ ْﻠﺒِ ِﻪ ﻓَـ ْﻠﻴ ِ‬
‫ﻄ‬
‫ََ َ‬ ‫ْ‬ ‫َ‬ ‫َ‬
‫ُ ُْ ْ َ‬‫َ‬ ‫ْ‬ ‫ﻓَﺄ ْ ُ َ َ َ َ‬
‫ﺎﺿ ِﺮﺑُﻮا ﻋُﻨُ َﻖ ْاﻵ َﺧ ِﺮ‬ ‫ﻳـُﻨَﺎ ِزﻋُﻪُ ﻓَ ْ‬
‫‪"Dahulu kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam dalam suatu‬‬
‫‪perjalanan. Lalu kami singgah dalam suatu tempat. Maka di antara kami ada‬‬
‫‪yang memperbaiki tendanya, ada yang sedang keluar, dan ada yang sedang‬‬
‫‪berada di tempat pengembalaan ontanya. Ketika seorang juru panggil‬‬
‫‪Rasulullah menyeru: As-Sholah Jamiah, maka kami pun berkumpul menuju‬‬
‫‪Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam, maka Rasulullah shallallahu ‘alahi wa‬‬
‫‪sallam bersabda:‬‬

‫‪"Tiada seorang Nabi pun sebelumku melainkan dia akan menunjukkan‬‬


‫‪umatnya kepada kebaikan yang dia ketahui, dan memberi peringatan kepada‬‬
‫‪mereka dari kejelekan. Sesungguhnya pada umat ini akan selamat generasi‬‬
awalnya dan musibah akan menimpa generasi akhirnya dan berbagai perkara
yang akan kalian ingkari dan akan datang berbagai fitnah yang sebagian
melumatkan sebagian yang lainnya, dan akan datang fitnah lalu seorang
yang mukmin berkata: "Inilah kebinasaanku." Kemudian tampaklah fitnah
tersebut. Lalu datanglah fitnah itu maka seorang mukmin berkata: "Inilah,
inilah." Barangsiapa yang cinta untuk dijauhkan dari api neraka dan masuk
ke dalam surga, maka hendaklah ajal menjemputnya sedangkan ia dalam
keadaan beriman kepada Allah dan Hari Kiamat. Dan hendaklah melakukan
perkara yang disukai orang lain sebagaimana diapun menyukai bila
perbuatan itu dilakukan terhadapnya, Barangsiapa membai'at seorang
pemimpin, lalu ia memberikan bai'at dengan sepenuh hatinya, maka
hendaklah ia mentaatinya sekuat tenaga (sesuai dengan kesanggupannya).
Dan jika datang (pemimpin) yang lain (minta dibai’at) maka penggallah leher
orang itu.”

9 HR. At-Tirmidzi dalam Kitabul Birri wa Shilah Bab: Ma Jaafi Ma 'alil Akhlaq
dan Ahmad dengan lafadz: "Seungguhnya orang yang aku sukai adalah yang
paling bagus akhlaknya." Juz 2 hal. 189, Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah
juz 12 hal. 366, Al-Haitsami dalam Majma‘uz Zawaid, dia berkata: “Hadits ini
diriwayatkan oleh Ahmad dan Ath-Thabrani, para perawinya shahih.
6 ‫ اﻟﺪﻋﻮة إﱃ ﷲ‬:‫اﻷﻣﺮاﻟﺴﺎدس‬. Berdakwah kepada Allah ‘Azza wa Jalla.

Seorang penuntut ilmu hendaknya berdakwah kepada Allah Azza wajalla dengan
ilmunya. Ia berdakwah pada setiap kesempatan baik di masjid, di majelis-
majelis, di pasar, dan di setiap kesempatan. Setelah Allah mengangkat Nabi
shallallahu ‘alahi wa sallam sebagai Nabi dan Rasul, beliau tidak lantas duduk
(diam) di rumahnya akan tetapi beliau menyampaikan dakwah kepada manusia
dan melakukan mobilitas dakwah.

Saya tidak menghendaki penuntut ilmu hanya menjadi salinan-salinan kitab.


Namun saya menghendaki mereka menjadi ulama yang beramal (dengan ilmu
yang mereka miliki).
‫ اﳊﻜﻤﺔ‬:‫اﻷﻣﺮ اﻟﺴﺎﺑﻊ‬ 7. Dengan hikmah

Seorang penuntut ilmu hendaknya menghiasi dirinya dengan sifat hikmah.


Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

ِ ‫اﳊِ ْﻜﻤﺔَ ﻓَـ َﻘ ْﺪ أ‬


‫ُوﰐَ َﺧْﻴـًﺮا‬ ْ ‫ت‬
َ ‫ﺆ‬ْ ‫ـ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻣ‬‫و‬ ‫ﺎء‬‫ﺸ‬َ ‫ﻳ‬
ُ ْ ََ ُ َ ْ َ َ ‫ﻦ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺔ‬
َ ‫ﻤ‬‫ﻜ‬ْ ِ
‫اﳊ‬
ْ ‫ﰐ‬ِ‫ﻳـُ ْﺆ‬
َ
ِ ‫َﻛﺜِﲑا وﻣﺎ ﻳ ﱠﺬ ﱠﻛﺮ إِﻻ أُوﻟُﻮ اﻷﻟْﺒ‬
‫ﺎب‬ َ ُ َ ََ ً
“Allah menganugerahkan al-hikmah (kepahaman yang dalam tentang Al-
Qur'an dan As-Sunnah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa
yang dianugerahi al-hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia
yang banyak." (Al-Baqarah: 269)

(Maksud dari) al-hikmah adalah seorang penuntut ilmu selayaknya menjadi


pengayom bagi orang lain dengan akhlak dan budi pekerti yang ia tampilkan
dan membina orang lain dengan ajaran Islam. Dia berkomunikasi dengan
berbagai tipe manusia disesuaikan dengan situasi dan kondisi mereka. Jika
telah menempuh cara ini kita akan meraih banyak kebaikan. Sebagaimana
firman Allah ‘Azza wa Jalla,

‫ُوﰐَ َﺧْﻴـًﺮا َﻛﺜِ ًﲑا‬


ِ ‫اﳊِ ْﻜﻤﺔَ ﻓَـ َﻘ ْﺪ أ‬
َ ْ ‫ت‬ َ ‫َوَﻣ ْﻦ ﻳـُ ْﺆ‬
"Dan barangsiapa yang dianugerahi al-hikmah itu, ia benar-benar telah
dianugerahi karunia yang banyak." (Al-Baqarah: 269)

Al-Hakim (orang yang arif dan bijak) bisa menempatkan berbagai perkara
sesuai tempatnya. Sebab kata 'al-hakim' diambil dari kata 'al-ihkam' yang
bermakna sempuma. Melakukan sesuatu secara sempurna adalah dengan
menempatkan sesuatu pada tempatnya (secara tepat). Oleh karena itu
selayaknya bahkan wajib hukumnya bagi seorang penuntut ilmu menjadi
orang yang arif dan bijaksana dalam mengemban misi dakwah. Allah telah
menyebutkan beberapa tingkatan dalam berdakwah dalam firman-Nya,

‫ﱠ‬ ْ ْ
‫اﳊَ َﺴﻨَ ِﺔ َو َﺟ ِﺎد ْﳍُْﻢ ِ ﻟﱠِﱵ ِﻫ َﻲ‬
ْ ‫ِ ْﳊِ ْﻜ َﻤ ِﺔ َواﻟْ َﻤ ْﻮ ِﻋﻈَِﺔ‬ َ ِّ‫ْادعُ إِ َﱃ َﺳﺒِ ِﻴﻞ َرﺑ‬
‫ﻚ‬
‫َﺣ َﺴ ُﻦ‬
ْ‫أ‬
"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran
yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik." (An-Nahl: 125)

Allah menyebutkan tingkatan cara dakwah yang keempat dalam membantah


Ahlul Kitab, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

‫ﻳﻦ ﻇَﻠَ ُﻤﻮا ِﻣْﻨـ ُﻬ ْﻢ‬‫ﺬ‬ِ ‫ﺎب إِﻻ ِ ﻟﱠِﱵ ِﻫﻲ أَﺣﺴﻦ إِﻻ اﻟﱠ‬
ِ َ‫وﻻ ُﲡَ ِﺎدﻟُﻮا أ َْﻫﻞ اﻟْ ِﻜﺘ‬
َ ْ
َُ َ َ َ
"Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab melainkan dengan cara
yang baik kecuali dengan orang-orang yang dzalim di antara mereka." (Al-
Ankabut: 46)

Seorang penuntut ilmu memilih metode-metode dakwah yang paling


memungkinkan untuk bisa diterima (oleh obyek dakwah). Contoh hal
tersebut bisa ditemui pada jejak dakwah Rasulullah. (Suatu saat) datang
seorang Arab Badui lalu ia kencing di salah satu bagian masjid. Maka para
shahabat mendekati dan membentaknya, namun Nabi shallallahu ‘alahi wa
sallam melarang mereka. Tatkala orang Badui tersebut telah selesai dari
kencingnya Nabi pun memanggil dan bersabda kepadanya,

‫ إِﱠﳕَﺎ ِﻫ َﻲ‬،‫ﺼﻠُ ُﺢ ﻟِ َﺸ ْﻲ ٍء ِﻣ ْﻦ َﻫ َﺬا اﻟْﺒَـ ْﻮِل َوَﻻ اﻟْ َﻘ َﺬ ِر‬ ِ ِِ


ْ َ‫إِ ﱠن َﻫﺬﻩ اﻟْ َﻤ َﺴﺎﺟ َﺪ َﻻ ﺗ‬
ِ ‫ﺼ َﻼ ِة وﻗِﺮاء ِة اﻟْ ُﻘﺮ‬
‫آن‬ ‫ﱠ‬ ‫اﻟ‬
‫و‬ ‫ﻞ‬
‫ﱠ‬ ‫ﺟ‬ ‫و‬ ‫ﺰ‬‫ﱠ‬ ‫ﻋ‬ ِ ‫ﻟِ ِﺬ ْﻛ ِﺮ‬
‫ﷲ‬
ْ َََ َ ََ َ
Sesungguhnya masjid-masjid ini tidak layak sedikitpun untuk tempat buang"
air tidak pula untuk kotoran, masjid itu hanyalah sebagai tempat untuk
berzikir kepada Allah, tempat shalat dan membaca Al-Qur'an."10

Atau sebagaimana yang telah disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alahi wa


sallam. Apakah kamu pernah melihat cara yang lebih baik dari hikmah
seperti ini? Orang Badui ini pun menjadi lapang dadanya dan merasa puas,
,sehingga dia berkata

َ ‫اﻟﻠﱠ ُﻬ ﱠﻢ ْار َﲪِْﲏ َوُﳏَ ﱠﻤ ًﺪا َوَﻻ ﺗَـ ْﺮ َﺣ ْﻢ َﻣ َﻌﻨَﺎ أ‬


‫َﺣ ًﺪا‬
Ya Allah, berilah rahmat kepadaku dan kepada Muhammad dan janganlah"
".Engkau rahmati seorangpun selain kami

Kisah yang lain (diriwayatkan) dari Mu'awiyah bin Al-Hakam As-Sulami dia
,berkata
Ketika saya sedang shalat bersama Rasulullah maka ada seorang yang"
bersin lalu saya ucapkan Yarhamukallah' (semoga Allah merahmatimu). Maka
orang-orang pun mengarahkan pandangan mereka kepadaku. Saya katakan,
"Duhai ibuku kehilangan aku, ada apa kalian melihatku?" Mereka lalu
menepuk tangan ke paha-paha mereka. Ketika aku melihat mereka
menyuruh aku diam, akupun diam. Setelah Rasulullah shallallahu ‘alahi wa
sallam selesai shalat - dengan bapak dan ibuku! - sungguh aku belum
pernah melihat seorang pengajar pun yang lebih baik pengajarannya dari
beliau shallallahu ‘alahi wa sallam. Demi Allah beliau tidak membentakku,
tidak memukulku, dan tidak mencelaku. Beliau shallallahu ‘alahi wa sallam
,bersabda

ِ ‫ﺼﻠُ ُﺢ ﻓِ َﻴﻬﺎ َﺷﻲءٌ ِﻣ ْﻦ َﻛ َﻼِم اﻟﻨ‬


‫ﱠﺎس إِﱠﳕَﺎ ُﻫ َﻮ‬ َْ ‫ﻳ‬ ‫ﻻ‬َ ‫ة‬
َ ‫ﻼ‬َ ‫ﺼ‬
‫ﱠ‬ ‫اﻟ‬ ِ ‫إِ ﱠن ﻫ ِﺬ‬
‫ﻩ‬ َ
ْ
ِ ‫اﻟﺘﱠﺴﺒِﻴﺢ واﻟﺘﱠ ْﻜﺒِﲑ وﻗِﺮاءةُ اﻟْ ُﻘﺮ‬
‫آن‬ ْ َََُ َ ُ ْ
Sesungguhnya di dalam shalat ini tidak layak sedikitpun ada ucapan"
manusia. Sesungguhnya shalat hanyalah tasbih, takbir, dan membaca Al-
Qur'an."11

Dari sini kita dapati bahwa dakwah kepada Allah harus dilakukan dengan
.cara hikmah sebagaimana yang telah Allah ‘Azza wa jalla perintahkan

Contoh lainnya, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam pernah melihat seorang


laki-laki memakai cincin emas di tangannya (cincin emas hukumnya haram
dipakai oleh laki-laki). Maka Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam mencabut
,cincin itu dari tangannya dan melemparkannya. Beliau pun bersabda

‫ﻀ َﻌ َﻬﺎ ِﰲ ﻳَ ِﺪ ِﻩ؟‬
َُ‫ﻴ‬ ‫ـ‬
َ ‫ﻓ‬ ٍ
‫ر‬ َ ‫ﻦ‬ ِ ‫ﻳـﻌ ِﻤ ُﺪ أَﺣ ُﺪ ُﻛﻢ إِ َﱃ َﲨﺮٍة‬
‫ﻣ‬
ْ َْ ْ َ َْ
Salah seorang dari kalian sengaja mengambil bara api dari neraka dan"
menaruhnya di tangannya?"12

Tatkala Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam telah pergi ada seseorang berkata
kepadanya, "Ambillah cincin itu dan manfaatkanlah." Maka ia berkata, "Demi
Allah, saya tidak akan mengambil cincin yang telah dilemparkan oleh
”.Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam

Metode pembimbingan yang tersirat pada hadits ini (sifatnya) lebih keras.
Sebab setiap keadaan mempunyai peringatan yang sesuai dengan kondisi
tersebut. Demikianlah, setiap orang yang berdakwah kepada Allah
seyogyanya bisa menempatkan berbagai hal pada tempatnya (yang sesuai).
Dan hendaknya ia tidak memukul rata kondisi semua orang. Maksudnya
.adalah agar hal yang bermanfaat dapat tercapai
Coba kita perhatikan keadaan kebanyakan juru dakwah masa sekarang ini.
Kita jumpai sebagian mereka terbawa semangat sehingga banyak orang lari
menjauh dari seruan dakwahnya. Apabila ia menemui ada orang yang
melakukan perbuatan haram maka engkau akan dapati da'i tersebut
menegurnya dengan cara kasar dan keras sambil berkata, "Apakah engkau
"!tidak takut kepada Allah

Atau mengucapkan ungkapan-ungkapan yang serupa dengan itu sehingga


orang yang ditegur menjadi phobi darinya. Ini tindakan yang tidak baik.
Sebab tindakan tersebut akan direspon dengan tindakan yang sebaliknya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah memberikan penjelasan tatkala beliau
menukil ucapan Imam Asy-Syafi'i tentang pandangan beliau terhadap Ahli
.Kalam

,Imam Asy-Syafi'i rahimahullah berkata

‫ﺣﻜﻤﻲ ﰲ أﻫﻞ اﻟﻜﻼم أن ﻳﻀﺮﺑﻮا ﳉﺮﻳﺪ واﻟﻨﻌﺎل وﻳﻄﺎف ﻢ ﰲ‬


‫ وأﻗﺒﻞ ﻋﻠﻰ اﻟﻜﻼم‬،‫ ﻫﺬا ﺟﺰاء ﻣﻦ ﺗﺮك اﻟﻜﺘﺎب واﻟﺴﻨﺔ‬:‫اﻟﻌﺸﺎﺋﺮ وﻳﻘﺎل‬
Hukuman (yang aku tetapkan) kepada Ahli Kalam adalah agar mereka"
dipukul dengan pelepah daun kurma dan sandal sambil diarak keliling
kampung dan dikatakan bahwa ini hukuman orang yang meninggalkan Al-
".Kitab dan As-Sunnah dan condong kepada ilmu kalam

,Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata

Jika manusia melihat orang-orang tersebut (Ahli Kalam) ia akan dapati"


bahwa mereka pantas menerima apa yang dikatakan Imam Asy-Syafi'i dari
satu sisi. Tapi, kalau dia melihat mereka dari sudut pandang taqdir dan
kelabilan, sesungguhnya setan telah mengungkung dan mengalahkan
mereka, maka ia pun akan trenyuh dan kasihan pada mereka. Ia akan
memuji Allah sebab Dia telah menyelamatkannya dari musibah yang telah
menimpa mereka. Mereka mempunyai kecerdasan tapi tidak diberi kesucian,
mereka diberi pemahaman tapi tidak diberi ilmu, mereka diberi
pendengaran, penglihatan, dan hati tapi semua itu tidak berguna
".sedikitpun

Demikianlah, seyogyanya bagi kita wahai saudara-saudara seiman untuk


melihat para pelaku kemaksiatan dengan dua kacamata yaitu kacamata
syari'at dan kacamata taqdir. (Dengan) kacamata syari'at, kita tidak
terhalangi oleh celaan orang yang suka mencela dalam menjalankan perintah
Allah, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala tentang lelaki dan
,perempuan yang berzina

‫اﺣ ٍﺪ ِﻣْﻨـ ُﻬ َﻤﺎ ِﻣﺎﺋَﺔَ َﺟ ْﻠ َﺪ ٍة َوﻻ َْ ُﺧ ْﺬ ُﻛ ْﻢ ِِ َﻤﺎ‬


ِ ‫اﻟﱠﺰاﻧِﻴﺔُ واﻟﱠﺰِاﱐ ﻓَﺎﺟﻠِ ُﺪوا ُﻛ ﱠﻞ و‬
َ ْ َ َ
ِ‫رأْﻓَﺔٌ ِﰲ ِدﻳ ِﻦ ا ﱠ‬
َ
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap"
seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada
(keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah." (An-Nur: 2

Kitapun melihat mereka dengan kacamata taqdir, maka kita akan merasa
kasihan dan trenyuh melihat mereka. Kitapun hendaknya bermuamalah
(berinteraksi) dengan cara yang kita pandang sebagai cara yang paling dekat
.untuk tercapainya sasaran dan hilangnya hal yang tidak kita sukai

Inilah diantara sekian pengaruh dari seorang penuntut ilmu yang


(keadaannya) berbeda dengan orang jahil (bodoh) yang memiliki semangat
tanpa diimbangi dengan ilmu. Seorang penuntut ilmu wajib menjalankan misi
.dakwah kepada Allah dengan cara hikmah

____________
:Footnote

HR. Al-Bukhari dalam Kitabul Wudhu Bab: Shabbul Ma’i ‘alal Bauli fil 10
Masjidi (Menyiram Air Kencing yang ada di dalam Masjid) dan Muslim dalam
.(Kitabut Thaharah Bab: Wujubi Ghaslil Bauli (Wajibnya Mencuci Air Kencing

HR. Muslim dalam Kitabul Masajid wa Mawadhi'ush Shalat Bab: Tahrimul 11


.(Kalam fi Shalat (Larangan Berbicara saat Shalat

HR. Muslim dalam Kitabul Libas Bab: Tahrimul Khatami Dzahab 'ala Rijal 12
.((Haramnya Cincin Emas bagi Laki-laki
8 ‫ أن ﻳﻜﻮن اﻟﻄﺎﻟﺐ ﺻﺎﺑﺮاً ﻋﻠﻰ اﻟﻌﻠﻢ‬:‫اﻷﻣﺮ اﻟﺜﺎﻣﻦ‬. Bersabar dalam
menuntut ilmu.

Maksudnya terus (tekun) belajar, tidak berhenti, tidak pula merasa jemu,
namun dia harus terus belajar disesuaikan dengan kemampuan yang ia miliki. la
pun harus sabar dengan ilmu (yang ia cari) dan tidak merasa bosan. Seseorang
terkadang merasa letih dan meninggalkan suatu pekerjaan apabila ia
terhinggapi rasa jemu. Namun jika ia tetap menekuni ilmu maka ia akan meraih
pahala orang-orang yang sabar di satu sisi. Dan ia akan mendapatkan
kesudahan yang baik pada sisi lainnya. Simaklah firman Allah ‘Azza wa jalla
kepada Nabi-Nya,

‫ﻚ ِﻣ ْﻦ‬ َ ِ ِ ُ‫ﺐ ﻧ‬ ِ ِ ‫ﺗِْﻠﻚ ِﻣﻦ أَﻧْـﺒ‬


َ ‫ﺖ َوﻻ ﻗَـ ْﻮُﻣ‬‫ﻧ‬
ْ ‫أ‬ ‫ﺎ‬‫ﻬ‬‫ﻤ‬
َ َُ ْ َ‫ﻠ‬
َ ‫ﻌ‬‫ـ‬‫ﺗ‬
َ ‫ﺖ‬‫ﻨ‬ْ ‫ﻛ‬
ُ ‫ﺎ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻚ‬
َ ‫ﻴ‬
َ ْ َ‫ﻟ‬
َ ‫إ‬ ‫ﺎ‬ ‫ﻴﻬ‬ ‫ﻮﺣ‬ ‫ﻴ‬‫ﻐ‬
َ ‫ﻟ‬
ْ ‫ا‬
ْ َ ْ َ‫ﺎء‬
‫ﲔ‬ ِ ‫ﻗَـﺒ ِﻞ ﻫ َﺬا ﻓَﺎﺻِﱪ إِ ﱠن اﻟْﻌﺎﻗِﺒﺔَ ﻟِْﻠﻤﺘ‬
‫ﱠﻘ‬
َ ُ َ َ ْْ َ ْ
"Itu adalah di antara berita-berita penting tentang yang ghaib yang kami
wahyukan kepadamu (Muhammad); tidak pernah kamu mengetahuinya dan
tidak (pula) kaum sebelum ini. Maka bersabarlah sesungguhnya kesudahan
yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa." (Hud: 49)
9 ‫ اﺣﱰام اﻟﻌﻠﻤﺎء وﺗﻘﺪﻳﺮﻫﻢ‬: ‫اﻷﻣﺮ اﻟﺘﺎﺳﻊ‬. Menghormati dan menghargai
ulama.

Para penuntut ilmu berkewajiban menghormati dan menghargai para ulama dan
hendaknya mereka berlapang dada terhadap munculnya perbedaan pendapat
yang terjadi di kalangan ulama dan orang-orang selain mereka. Hendaknya pula
menanggapi hal itu dengan memberikan udzur kepada orang yang menempuh
jalan keliru menurut pandangan mereka. Ini merupakan titik point yang sangat
penting, sebab sebagian orang ada yang berusaha mencari-cari kesalahan dan
kekeliruan orang lain.

Sehingga mereka dapat mengambil sesuatu yang tidak pantas pada hak orang
tersebut dengan cara mencemarkan nama baiknya di hadapan manusia. Ini
termasuk kesalahan besar. Jika ghibah yang dilakukan kepada orang awam saja
tergolong dosa besar, maka dosa ghibah yang dilakukan terhadap seorang
ulama jauh lebih besar. Sebab dampak negatif perbuatan ghibah tersebut tidak
hanya dirasakan oleh ulama yang bersangkutan saja, tetapi juga terhadap diri
pribadinya sekaligus ilmu syari'at yang ia bawa.

Apabila orang-orang telah meremehkan seorang ulama yang menyebabkan


namanya jatuh dalam pandangan masyarakat, maka akan jatuh pula ucapan
ulama tersebut. Jika ulama tersebut mengucapkan al-haq (hakikat kebenaran)
dan menunjukkan kepadanya, maka orang yang melakukan ghibah terhadap
ulama tersebut akan menghalangi manusia dari ucapan ulama tersebut. Perkara
ini bahayanya besar sekali.

Saya katakan, para pemuda harus menyikapi perbedaan pendapat yang terjadi
di kalangan ulama dengan niat yang baik dan kesungguhan.

Mereka pun hendaknya dapat memaklumi kesalahan dan kekeliruan yang telah
mereka lakukan. Tidak ada penghalang kalau mereka melakukan perbincangan
dengan ulama-ulama tersebut dalam persoalan yang mereka yakini bahwa hal
itu adalah suatu kekeliruan, sehingga mereka dapat menjelaskan kepada ulama
tersebut apakah kekeliruan tersebut berasal dari mereka atau berasal dari
orang-orang yang menyatakan bahwa ulama-ulama tersebut yang keliru?!

Seseorang terkadang mengira bahwa ucapan ulama tersebut keliru, setelah


dilakukan diskusi akhirnya ia menerima kejelasan tentang kebenarannya. Kita
adalah manusia biasa.

‫ﱠ‬ ‫ﱠ‬
ِ‫اﳋﻄﱠﺎﺋ‬
َ َْ ‫آد َم َﺧﻄﱠﺎءٌ َو َﺧْﻴـُﺮ‬
‫ﲔ اﻟﺘﱠـ ﱠﻮاﺑُﻮ َن‬ َ ‫ُﻛ ﱡﻞ اﺑْ ِﻦ‬
"Setiap anak (keturunan) Adam pasti mempunyai kesalahan dan sebaik-baik
orang yang bersalah adalah orang yang bertaubat."13

Adapun orang-orang yang senang dengan ketergelinciran dan kekeliruan ulama


sehingga ia dapat mempublikasikan kepada manusia agar terjadi perpecahan,
sungguh perbuatan ini bukan jalan kaum Salaf. Demikian pula kesalahan dan
kekeliruan yang muncul dari para penguasa, kita tidak diperbolehkan untuk
menjadikan kesalahan dan kekeliruan tersebut sebagai dalih untuk mencela
mereka dalam segala hal lalu kita menutup mata dari kebaikan-kebaikan yang
telah mereka lakukan.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam kitab-Nya,

‫ﲔ ِﱠِ ُﺷ َﻬ َﺪاءَ ِ ﻟْ ِﻘ ْﺴ ِﻂ َوﻻ َْﳚ ِﺮَﻣﻨﱠ ُﻜ ْﻢ َﺷﻨَﺂ ُن‬ ِ


َ ‫ﻳﻦ َآﻣﻨُﻮا ُﻛﻮﻧُﻮا ﻗَـ ﱠﻮاﻣ‬ َ
ِ ‫أَﻳـﱡﻬﺎ اﻟﱠ‬
‫ﺬ‬ َ َ
‫ﻗَـ ْﻮٍم َﻋﻠَﻰ أَﻻ ﺗَـ ْﻌﺪﻟُﻮا‬
ِ
"Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang
selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan
janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu
untuk berlaku tidak adil." (Al-Maidah: 8)

Yaitu janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum menyeretmu untuk berlaku


tidak adil. Berlaku adil hukumnya wajib. Seseorang tidak dihalalkan untuk
mengambil ketergelinciran seorang penguasa, ulama atau selain mereka, lalu
menyebarluaskan kekeliruan tersebut kepada khalayak manusia. Setelah itu ia
membisu tidak menyebutkan kebaikan-kebaikan mereka. Sungguh ini bukan
tindakan yang adil.

Coba bandingkan hal di atas pada dirimu. Andaikan ada seseorang dikuasakan
kepadamu, kemudian orang itu menyebarluaskan ketergelinciran dan
kejelekanmu tapi menyembunyikan kebaikan-kebaikan dan jasamu. Tentunya
engkau akan menganggap orang tersebut telah berbuat jahat kepadamu.

Jika engkau telah melihat hal tersebut pada dirimu, maka wajib pula melihat hal
itu pada orang lain. Sebagaimana yang telah saya isyaratkan tadi, bahwa terapi
dari yang engkau kira sebagai suatu kesalahan adalah dengan jalan
menghubungi orang yang engkau pandang salah agar engkau bisa melakukan
diskusi dengan orang itu. Setelah diskusi maka akan jelas penyikapan yang
harus dilakukan. Betapa banyak manusia setelah diadakan diskusi ternyata
ucapannya benar yang kita telah mengira sebelumnya itu merupakan suatu
kekeliruan.

‫ﱡ‬ ْ ْ
‫ﻀﺎ‬
ً ‫ﻀﻪُ ﺑـَ ْﻌ‬ ِ ‫اﻟْﻤ ْﺆِﻣﻦ ﻟِْﻠﻤ ْﺆِﻣ ِﻦ َﻛﺎﻟْﺒـْﻨـﻴ‬
ُ ‫ﺎن ﻳَ ُﺸ ﱡﺪ ﺑـَ ْﻌ‬َُ ُ ُ ُ
"Seorang mukmin bagi mukmin lainnya bagaikan bangunan, satu sama lainnya
saling menguatkan."14

Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda,

‫اﳉَﻨﱠﺔَ ﻓَـ ْﻠﺘَﺄْﺗِِﻪ َﻣﻨِﻴﱠـﺘُﻪُ َوُﻫ َﻮ ﻳـُ ْﺆِﻣ ُﻦ‬


ْ ‫ﺐ أَ ْن ﻳـَُﺰ ْﺣَﺰ َح َﻋ ْﻦ اﻟﻨﱠﺎ ِر َوﻳُ ْﺪ َﺧ َﻞ‬
‫َﺣ ﱠ‬
َ ‫َﻣ ْﻦ أ‬
‫ﺐ أَ ْن ﻳـُ ْﺆﺗَﻰ إِﻟَْﻴ ِﻪ‬ ‫ﱠﺎس اﻟﱠ ِﺬي ُِﳛ ﱡ‬ ِ ‫ت إِ َﱃ اﻟﻨ‬ ِ ْ‫ِ ﱠِ واﻟْﻴـﻮِم ْاﻵ ِﺧ ِﺮ وﻟْﻴﺄ‬
ََ َْ َ
"Barangsiapa yang ingin dijauhkan dari api neraka dan masuk ke dalam surga,
maka hendaklah (ketika) datang kematiannya dia berada dalam keadaan
beriman kepada Allah dan Hari Akhir dan hendaklah ia mendatangi manusia dari
hal-hal yang ia pun suka kalau hal itu didatangkan pada dirinya."15

Inilah tindakan adil dan istiqamah.

____________
Footnote:

13 HR. Imam Ahmad juz 3 hal. 198 dan At-Tirmidzi dalam Kitab Shifatul
Qiyamah juz 4 hal. 569 no. 2499, Ibnu Majah dalam Kitabuz Zuhud Bab: Dzikru
Taubat, Ad-Darimi dalam Kitab Ar-Riqaq Bab Fit Taubah, Al-Baghawi dalam
Syarhus Sunnah juz 5 hal. 92, Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah juz 6 hal. 332, Al-
Hakim dalam Al-Mustadrak juz 4 hal. 273, Al-'Ajluni dalam Kasyful Khafa' juz 2
hal. 120. Al-Hakim berkata: "Sanad hadits ini shahih namun Al-Bukhari dan
Muslim tidak mengeluarkannya." (Al-Mustadrak juz 4 hal. 273). Berkata
Al-‘Ajluni: "Sanadnya kuat." Juz hal. 120.

14 HR. Al-Bukhari dalam Kitabul Masajid Bab: Tasybiqul Ashabi'i fil Masjidi wa
Ghairihi dan Muslim Kitabul Birri wa Shilah Bab: Tarahumil Mu'minin wa
Ta'athufihim wa Ta'adhudihim.

15 Telah lewat takhrij-nya (lihat footnote no. 8).


10 ‫ اﻟﺘﻤﺴﻚ ﻟﻜﺘﺎب واﻟﺴﻨﺔ‬:‫اﻷﻣﺮ اﻟﻌﺎﺷﺮ‬. Memegang teguh Al-Qur'an dan
As-Sunnah.

Para penuntut ilmu wajib untuk mencurahkan perhatian dalam menerima ilmu
dan menimba dari sumber-sumbernya. Seorang penuntut ilmu tidak akan
sukses jika tidak mengawali dengan sumber-sumber ilmu tersebut. Sumber-
sumber tersebut adalah:

Al-Qur'an Al-Karim

Seorang penuntut ilmu wajib mencurahkan perhatian pada Al-Qur'an baik dalam
membaca, menghafal, memahami, dan mengamalkannya. Al-Qur'an adalah tali
Allah yang kokoh dan merupakan dasar ilmu. Kaum Salafus Shalih benar-benar
mencurahkan perhatian yang maksimal kepada Al-Qur'an ini. Disebutkan
perkara-perkara yang menakjubkan tentang antusias (mereka) pada Al-Qur'an.

Engkau dapati salah seorang dari mereka telah hafal Al-Qur'an padahal usia
mereka masih tujuh tahun. Sebagian mereka hafal Al-Qur'an dalam jangka
waktu kurang dari satu bulan. Contoh-contoh tersebut menunjukkan besarnya
antusias mereka terhadap Al-Qur'an. Maka seorang penuntut ilmu wajib
mencurahkan perhatiannya pada Al-Qur'an, menghafalnya dengan dibimbing
seorang pengajar, karena Al-Qur'an diambil dari jalan talaqqiy (mengambil ilmu
langsung dari seorang guru).

Di antara hal-hal yang sangat disayangkan, terkadang kila menjumpai sebagian


penuntut ilmu tidak menghafal Al-Qur'an. Bahkan sebagian mereka tidak baik
(lancar) dalam membacanya. Fenomena ini merupakan kesaiahan fatal pada
metode pembelajaran. Oleh karenanya saya kembali mengingatkan bahwa para
penuntut ilmu wajib mencurahkan perhatiannya untuk menghafal Al-Qur'an,
mengamalkan, mendakwahkan dan memahaminya dengan pemahaman yang
sesuai dengan pemahaman As-Salaf Ash-Shalih.

Hadits Shahih

Hadits Shahih merupakan sumber kedua dalam syari'at Islam dan merupakan
penjabar Al-Qur'an Al-Karim. Seorang penuntut ilmu wajib menghimpun kedua
hal tersebut dan mencurahkan perhatian kepada keduanya. Ia wajib menghafal
hadits baik teks-teksnya maupun mempelajari sanad, matan-matan, dan
memilah (memisahkan) antara hadits shahih dan hadits dha'if (lemah).
Demikian pula memelihara hadits dilakukan dengan cara membela dan
membantah syubhat-syubhat yang dilontarkan para ahli bid'ah sekitar hadits
Nabi. Penuntut ilmu wajib memegang leguh Al-Qur'an dan hadits shahih. Bagi
penuntut ilmu keduanya bagaikan dua sayap burung, jika salah satu sayap
patah maka burung tersebut tidak bisa terbang. Oleh karena itu janganlah
engkau hanya mencurahkan perhatian pada hadits (semata) namun lalai
terhadap Al-Qur'an atau sebaliknya engkau mencurahkan perhatian pada Al-
Qur'an tapi melalaikan hadits.

Banyak di kalangan penuntut ilmu yang mencurahkan perhatiannya pada hadits


beserta syarh-syarh (penjelasan), para perawi (orang-orang yang meriwayatkan
hadits), dan musthalah-musthalah-nya dengan perhatian yang sempurna.

Namun jika engkau tanyakan kepadanya tentang satu ayat Al-Qur'an maka
engkau akan lihat penuntut ilmu itu tidak mengetahuinya. Ini merupakan
kesalahan yang besar (fatal). Al-Qur'an dan Al-Hadits harus menjadi dua sayap
bagimu, wahai penuntut ilmu.

Yang penting (juga) adalah ucapan ulama.

Engkau jangan meremehkan ucapan ulama serta mengabaikannya. Sebab


kedalaman ilmu mereka jauh di atasmu. Mereka memiliki kaidah-kaidah
syari'at, seluk-beluknya serta garis-garis ketentuan yang tidak engkau miliki.

Oleh karena itu ulama-ulama besar yang benar-benar ahli di bidangnya, apabila
mereka mempunyai pendapat yang mereka anggap unggul (kuat) mereka
mengatakan,

‫إن ﻛﺎن أﺣﺪ ﻗﺎل ﺑﻪ وإﻻ ﻓﻼ ﻧﻘﻮل ﺑﻪ‬


"Jika ada orang yang mengucapkannya (maka kami akan mengucapkan) dan
jika tidak maka kami tidak akan mengucapkannya."

Contohnya adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dengan


kedalaman ilmu dan keluasan pentelaahan beliau, apabila mengucapkan suatu
perkataan yang tidak beliau ketahui orang yang mengucapkannya maka beliau
berkata,

‫أ أﻗﻮل ﺑﻪ إن ﻛﺎن ﻗﺪ ﻗﻴﻞ ﺑﻪ‬


"Saya mengucapkan itu jika ucapan itu sudah pemah ada yang mengucapkan."

Beliau tidak mengambil (pendapat) dengan ra'yu (akal)-nya. Oleh karena itu
seorang penuntut ilmu wajib merujuk kepada Al-Qur'an dan hadits Rasul-Nya
shallallahu ‘alahi wa sallam dengan dibimbing para ulama. Merujuk kepada
Kitabullah (Al-Qur'an) dilakukan dengan menghafal, mempelajari, dan
mengamalkan isi kandungannya.

Allah ‘Azza wa jalla berfirman,

ِ ‫ﻚ ﻣﺒﺎرٌك ﻟِﻴ ﱠﺪﺑـﱠﺮوا آ ﺗِِﻪ وﻟِﻴـﺘَ َﺬ ﱠﻛﺮ أُوﻟُﻮ اﻷﻟْﺒ‬


‫ﺎب‬ َ ‫ﻴ‬
َْ‫ﻟ‬ِ‫ﺎب أَﻧْـَﺰﻟْﻨَﺎﻩُ إ‬
ٌ ‫ﺘ‬
َِ‫ﻛ‬
َ َ َ َ َ ُ َ َ َ ُ
"Ini adalah sebuah kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah
supaya mereka memperhatikan ayat-ayat-Nya dan supaya mendapatkan
pelajaran orang-orang yang berfikir." (Shaad: 29)

"Supaya mereka memperhatikan ayat-ayat." Yaitu merenungi ayat-ayat tersebut


yang mengantarkan pada pemahaman maknanya.

"Dan supaya mendapatkan pelajaran orang-orang yang berpikir." Yaitu


mendapatkan pelajaran (tadzakur) berupa beramal dengan Al-Qur'an tersebut.
Dengan hikmah inilah Al-Qur'an turun.

Jika Al-Qur'an turun untuk hikmah tersebut maka kita hendaknya merujuk
kepada Al-Qur'an agar bisa mempelajari kandungannya, mengetahui makna-
maknanya setelah itu merealisasikan ajaran yang dibawa. Demi Allah, sungguh
pada Al-Qur'an terdapat kebahagiaan kehidupan dunia dan akhirat kelak.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

ِ ِ
ُ‫ض َﻋ ْﻦ ذ ْﻛ ِﺮي ﻓَِﺈ ﱠن ﻟَﻪ‬
َ ‫ َوَﻣ ْﻦ أ َْﻋَﺮ‬.‫اي ﻓَﻼ ﻳَﻀ ﱡﻞ َوﻻ ﻳَ ْﺸ َﻘﻰ‬ َ ‫ﻓَ َﻤ ِﻦ اﺗﱠـﺒَ َﻊ ُﻫ َﺪ‬
‫ﺿْﻨ ًﻜﺎ َوَْﳓ ُﺸُﺮﻩُ ﻳـَ ْﻮَم اﻟْ ِﻘﻴَ َﺎﻣ ِﺔ أ َْﻋ َﻤﻰ‬
َ ً‫ﻴﺸﺔ‬ َ ِ‫َﻣﻌ‬
"Barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan
celaka. Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku maka sesungguhnya
baginya kehidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunnya pada Hari
Kiamat dalam keadaan buta." (Thaha: 123-124)

Oleh karena itu kita tidak mendapati satu orang pun yang lebih senang
kehidupannya, lebih lapang dadanya, dan lebih tentram hatinya dibandingkan
seorang mukmin meskipun ia miskin. Orang mukmin adalah orang yang paling
bahagia, tenang dan lapang dadanya. Bacalah jika kalian mau firman Allah
subhanahu wa ta’ala,

ُ َ
ِ ‫ﻣﻦ ﻋ ِﻤﻞ ﺻ‬
ً‫ﺎﳊًﺎ ِﻣ ْﻦ ذَ َﻛ ٍﺮ أ َْو أُﻧْـﺜَﻰ َوُﻫ َﻮ ُﻣ ْﺆِﻣ ٌﻦ ﻓَـﻠَﻨُ ْﺤﻴِﻴَـﻨﱠﻪُ َﺣﻴَﺎ ًة ﻃَﻴِّﺒَﺔ‬ َ َ َ َْ
‫َﺣ َﺴ ِﻦ َﻣﺎ َﻛﺎﻧُﻮا ﻳـَ ْﻌ َﻤﻠُﻮ َن‬ ْ ِ ‫َﺟَﺮُﻫ ْﻢ‬ ُ ‫َوﻟَﻨَ ْﺠ ِﺰﻳـَﻨـ‬
ْ ‫ﱠﻬ ْﻢ أ‬
"Barangsiapa mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam
keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya
kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka
dengan pahala yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan." (An-Nahl: 97)

Apakah kehidupan yang baik itu? Jawabannya: Kehidupan yang baik adalah
kelapangan dada dan ketenangan hati, meskipun keadaan seseorang sangat
kekurangan. Dia merasakan ketenangan dalam jiwa dan lapang dadanya. Nabi
shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda,

،‫َﺣ ٍﺪ إِﻻﱠ ﻟِْﻠ ُﻤ ْﺆِﻣ ِﻦ‬


َ ‫ﻷ‬ِ ‫ إِ ﱠن أَﻣﺮﻩ ُﻛﻠﱠﻪ ﻟَﻪ ﺧﻴـﺮ وﻟَﻴﺲ َذ َاك‬،‫ﻋﺠﺒﺎ ِﻷَﻣ ِﺮ اﻟْﻤﺆِﻣ ِﻦ‬
َ ْ َ ٌ ْ َ ُ ُ َُ ْ ْ ُ ْ ًَ َ
‫ﺻﺒَـَﺮ ﻓَ َﻜﺎ َن َﺧْﻴـٌﺮ‬ َ ُ‫ﺿﱠﺮاء‬ َ ‫ َوإِ َذا أ‬،ُ‫َﺻﺎﺑـَْﺘﻪُ َﺳﱠﺮاءُ َﺷ َﻜَﺮ ﻓَ َﻜﺎ َن َﺧْﻴـٌﺮ ﻟَﻪ‬
َ ُ‫َﺻﺎﺑـَْﺘﻪ‬ َ ‫إِ ْن أ‬
ُ‫ﻟَﻪ‬
"Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin, seluruh urusannya baik,
tidaklah hal itu didapati kecuali oleh seorang mukmin, jika tertimpa musibah ia
bersabar, hal itu baik baginya dan jika ia merasakan kesenangan ia bersyukur,
itupun baik baginya."16

Jika orang kafir tertimpa musibah apakah ia bersabar? Jawabannya: Tidak! Dia
akan sedih dan dunia terasa sempit baginya. Bisa jadi ia akan bunuh diri. Orang
mukmin akan bersabar dan menikmati lezatnya kesabaran, yaitu kelapangan
dan ketenangan. Oleh karena itu ia merasakan kehidupan yang baik. Maka yang
dimaksudkan firman Allah subhanahu wa ta’ala,

ً‫ﻓَـﻠَﻨُ ْﺤﻴِﻴَـﻨﱠﻪُ َﺣﻴَﺎ ًة ﻃَﻴِّﺒَﺔ‬


"Maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik." (An-
Nahl: 97); Yakni kehidupan yang baik dalam hati dan jiwa.

Sebagian ahli sejarah menceritakan kehidupan Al-Hafizh Ibnu Hajar


rahimahullah. Beliau adalah seorang Qadhi Mesir pada zamannya. Apabila beliau
berangkat ke tempat kerja, beliau mengendarai kereta yang ditarik beberapa
ekor kuda atau bighal (peranakan kuda dengan keledai) dalam suatu iring-
iringan. Suatu hari beliau melintasi seorang lelaki Yahudi penjual minyak di
Mesir (seorang penjual minyak biasanya berbaju kotor). Datanglah lelaki Yahudi
itu lalu menghentikan iring-iringan tersebut. Dia berkata kepada Al-Hafizh Ibnu
Hajar rahimahullah, "Sesungguhnya Nabi kalian bersabda,

‫اﻟ ﱡﺪﻧْـﻴَﺎ ِﺳ ْﺠ ُﻦ اﻟْ ُﻤ ْﺆِﻣ ِﻦ َو َﺟﻨﱠﺔُ اﻟْ َﻜﺎﻓِ ِﺮ‬


"Dunia adalah penjara bagi seorang mukmin dan surga bagi orang kafir."17

Anda adalah Qadhi bagi para Qadhi di Mesir. Anda berada dalam iring-iringan, di
dalam kesenangan, sedangkan saya - yaitu seorang Yahudi - dalam keadaan
tersiksa dan sengsara seperti ini."

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata, "Saya dengan kemewahan dan


kesenangan yang saya rasakan sekarang ini tergolong penjara apabila
dibandingkan dengan kesenangan surga. Sedangkan engkau dengan
kesengsaraan yang engkau rasakan sekarang ini tergolong surga bila
dibandingkan adzab neraka."

Lantas orang Yahudi tersebut mengucapkan "Asyhadu an laa Ilaha illallah wa


asyhadu anna Muhammadarrasulullah" (Saya bersaksi bahwa tiada Ilah yang
haq untuk diibadahi kecuali Allah dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah
utusan Allah), akhirnya ia masuk Islam.

Orang mukmin dalam kebaikan bagaimanapun keadaannya, dialah yang bisa


meraup keuntungan di dunia dan akhirat kelak. Sedangkan orang kafir berada
dalam keburukan dan dialah yang mendapat kerugian di dunia ini dan di akhirat
kelak. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

ِ‫ﺼ‬
ِ ‫ﺎﳊ‬
‫ﺎت‬ ‫ﱠ‬ ‫اﻟ‬ ‫ا‬
‫ﻮ‬ ‫ﻠ‬
ُ ِ ‫ إِﻻ اﻟﱠ ِﺬﻳﻦ آﻣﻨُﻮا وﻋ‬.‫ إِ ﱠن اﻹﻧْﺴﺎ َن ﻟَِﻔﻲ ﺧﺴ ٍﺮ‬.‫واﻟْﻌﺼ ِﺮ‬
‫ﻤ‬
َ ََ َ َ ُْ َ َْ َ
‫اﺻ ْﻮا ِ ﻟ ﱠ‬
‫ﺼ ِْﱪ‬ َ ‫اﺻ ْﻮا ِ ْﳊَ ِّﻖ َوﺗَـ َﻮ‬
َ ‫َوﺗَـ َﻮ‬
"Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian.
Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih, nasehat-
menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat-menasehati supaya
menetapi kesabaran." (Al-'Ashr: 1-3)

Orang-orang kafir dan orang-orang yang mengabaikan agama Allah serta


orang-orang yang binasa dalam kesenangan dan kemewahan, meskipun mereka
membangun dan memancang istana dengan harta benda dunia yang
berkilauan, pada hakikatnya mereka berada dalam neraka.

Sampai sebagian kaum Salaf berkata,


‫ﻟﻮ ﻳﻌﻠﻢ اﳌﻠﻮك وأﺑﻨﺎء اﳌﻠﻮك ﻣﺎ ﳓﻦ ﻓﻴﻪ ﳉﺎﻟﺪو ﻋﻠﻴﻪ ﻟﺴﻴﻮف‬
"Andai saja para raja dan anak-anak raja mengetahui kesenangan yang kita
rasakan, niscaya mereka akan menyerang kita dengan pedang mereka.

Adapun orang mukmin hidup senang dengan bermunajat kepada Allah dan
mengingat-Nya. Mereka meyakini ketentuan Allah dan taqdir-Nya. Jika mereka
ditimpa musibah, mereka bersabar dan jika mereka memperoleh kesenangan
mereka bersyukur Mereka berada dalam puncak kebahagiaan. Beda halnya
dengan orang-orang yang tamak pada dunia, keadaan mereka seperti
digambarkan Allah dalam firman Nya,

‫ﺿﻮا َوإِ ْن َﱂْ ﻳـُ ْﻌﻄَْﻮا ِﻣْﻨـ َﻬﺎ إِ َذا ُﻫ ْﻢ ﻳَ ْﺴ َﺨﻄُﻮ َن‬ ِ
ُ ‫ﻓَِﺈ ْن أ ُْﻋﻄُﻮا ﻣْﻨـ َﻬﺎ َر‬
"Jika mereka diberi sebahagian dari padanya, mereka bersenang hati dan jika
mereka tidak diberi sebahagian dari padanya dengan serta merta mereka
menjadi marah." (At-Taubah: 58)

Adapun merujuk kepada Sunnah Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam telah tsabit di
hadapan kita -Alhamdulillah- tetap terjaga. Para ulama memaparkan hadits
beliau dengan menjelaskan pula hadits-hadits yang didustakan atas nama
beliau. Alhamdulillah, Sunnah tetap terang dan terpelihara. Siapapun bisa
mengakses hadits Nabi, seperti dengan muraja'ah jika itu memungkinkan. Jika
tidak maka dengan bertanya kepada para ulama. Apabila ada orang bertanya,

"Bagaimana caranya anda bisa memadukan antara ucapan yang anda katakan
tadi dengan merujuk kepada Al-Qur'an dan hadits Rasulullah shallallahu ‘alahi
wa sallam padahal kita temui sebagian orang mengikuti kitab-kitab yang
disusun dalam berbagai madzhab seraya mengatakan, "Saya bermadzhab A,
saya bermadzhab B, saya bermadzhab C!!!" Sampai anda berfatwa kepada
seseorang lantas anda katakan kepadanya, "Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam
bersabda demikian." Lalu dia berkata, "Saya bermadzhab Hanafi, saya Maliki,
saya Hanbali……” Atau dengan ungkapan yang serupa."

Jawabannya, "Kita katakan kepada mereka: Kita semua mengucapkan "Asyhadu


Anlaa ilaha Illallah wa Asyhadu Anna Muhammadan Rasulullah" (Saya bersaksi
bahwa tiada Ilah yang berhak disembah melainkan Allah dan saya bersaksi
bahwa Muhammad adalah utusan Allah). Lalu apa makna syahadat
"Muhammadan Rasulullah?" Para ulama menyatakan bahwa makna syahadat
tersebut adalah mentaati apa yang beliau perintahkan, membenarkan apa yang
beliau beritakan dan menjauhkan diri dari apa yang beliau cegah dan larang
serta tidak beribadah kepada Allah kecuali dengan apa yang beliau syari'atkan,"

Jika ada orang yang mengatakan, "Saya bermadzhab A, saya bermadzhab B,


saya bermadzhab C," Maka kita katakan kepada orang tersebut, "Ini sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka janganlah engkau membantahnya
dengan ucapan siapapun."

Para imam madzhab juga melarang taqlid murni kepada mereka. Mereka
berkata, "Kapanpun kebenaran tampak maka wajib rujuk kepadanya."

Setelah itu kita katakan kepada orang yang membantah kita dengan madzhab A
dan B, "Kami dan anda bersyahadat bahwa Muhammad adalah Rasul Allah.
Konsekuensi syahadat ini agar kita mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam saja."

Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di hadapan kita jelas dan terang
tapi saya tidak bermaksud dengan ungkapan ini untuk meremehkan arti penting
merujuk pada kitab-kitab ahli fiqih dan kitab-kitab ulama lainnya. Bahkan
(sebaliknya), merujuk kepada kitab-kitab mereka untuk mengambil manfaat
dari mereka. Dan untuk mengenal metode mereka dalam ber-istinbat terhadap
hukum-hukum syari'at dari dalil-dalilnya termasuk perkara yang tidak mungkin
tercapai melainkan dengan merujuk kepada kitab-kitab tersebut.

Oleh karena kita dapati orang-orang yang tidak mendalami ilmu melalui didikan
para ulama, mereka terjerumus ke dalam banyak ketergelinciran sehingga
memandang suatu masalah dengan pandangan yang sempit dari apa yang
selayaknya mereka telaah. Mereka mengkaji -sebagai contoh- Shahih Al-
Bukhari lalu mereka berpendapat dengan hadits-hadits yang termaktub di
dalamnya padahal dalam hadits-hadits tersebut terdapat hukum yang sifatnya
umum dan khusus, mutlak (tidak terikat) dan muqayyad (terikat) dan apa yang
telah di-mansukh (dicabut pemberlakuannya). Tapi mereka tidak mendapatkan
petunjuk untuk mendapatkan hal tersebut. Maka terjadilah kesesatan yang
besar.

____________
Footnote:

16 HR. Muslim dalam Kitabuz Zuhud Bab: Al-mu’minu Amruhu kulluhu Khairun.

17 HR. Muslim dalam Kitabuz Zuhud.


11 ‫ اﻟﺘﺜﺒﺖ واﻟﺜﺒﺎت‬:‫اﻷﻣﺮ اﳊﺎدي ﻋﺸﺮ‬.Tatsabut (meneliti kebenaran) dan
Tsabat (konsisten)

Diantara adab yang seorang penuntut ilmu wajib berhias dengannya adalah
tatsabut dengan berita-berita yang akan dirujuk. Demikian pula dengan hukum
hukum yang akan ditetapkan. Apabila mengambil sebuah berita maka engkau
harus mengkonfirmasinya secara teliti lebih dahulu, apakah berita yang kau
ambil itu shahih atau tidak. Jika berita itu shahih, jangan lantas engkau
menetapkannya akan tetapi periksa dahulu hukumnya dengan teliti.

Boleh jadi berita yang engkau dengar dilandasi suatu kaidah ushul yang tidak
engkau ketahui, lantas engkau menghukumi bahwa itu keliru, padahal pada
kenyataannya hal itu bukan suatu kekeliruan. Lalu bagaimana solusi situasi
semacam ini? Solusinya adalah engkau menghubungi orang yang dinisbatkan
sebagai nara sumber berita itu, lalu engkau katakan, "Dinukil dari anda (berita)
ini dan itu, apakah ini benar?" Setelah itu engkau berdialog langsung
dengannya. Boleh jadi pada awalnya engkau tidak menyukai karena engkau
tidak mengetahui sebab penukilannya. Sehingga,

‫إذا ﻋﻠﻢ اﻟﺴﺒﺐ ﺑﻄﻞ اﻟﻌﺠﺐ‬


"Jika diketahui sebab, hilanglah keheranan (kebingungan)."

Maka terlebih dahulu harus dilakukan tatsabut (terhadap sumber berita), baru
kemudian menghubungi sumber berita itu. Engkau tanyakan kepadanya apakah
berita itu benar atau tidak, setelah itu berdiskusi dengan orang itu. Bisa jadi dia
yang benar maka engkau bisa merujuk kepadanya atau bisa jadi engkau yang
benar sehingga dia bisa merujuk kepadamu.

Ada perbedaan antara Tsabat dan tatsabut. Secara lafadz dua kata ini memiliki
kemiripan, namun berbeda dari segi makna.

Tsabat maknanya sabar dan tekun, tidak merasa jemu, tidak gelisah dan tidak
mengambil sedikit-sedikit dari setiap kitab atau sepotong-potong dari setiap
disiplin ilmu lalu meninggalkannya. Karena hal ini (justru) akan merugikan
penuntut ilmu itu sendiri. la menghabiskan waktu tanpa mendapat satu
manfaat. Contohnya, sebagian penuntut ilmu membaca pembahasan ilmu
nahwu, kadang dia membaca Al-Jurumiyah, kadang membaca kitab Qatrunada,
kadang membaca kitab Al-Alfiah. Demikian pula dengan pelajaran Al-Musthalah
(ilmu istilah-istilah hadits), sesekali membaca An-Nukhbah, sesekali membaca
Al-Alfiah Al-Iraqi.

Demikian pula dalam masalah fiqih, sesekali membaca Zaadul Mustaqni,


sesekali membaca Umdatul Fiqih, sesekali membaca Al-Mughni dan sesekali
membaca Syarah Al-Muhadzab. Demikian seterusnya pada seluruh kitab
(padahal belum ada yang diselesaikan secara tuntas).

Orang tipe ini sering kali tidak akan memperoleh ilmu. Kalaupun
memperolehnya, ilmu yang diperoleh adalah ilmu masa'il (yang berkaitan
dengan pembahasan masalah/kasus) bukan dalam hal ushul (konsep dasar
ilmu). Dan perolehan berbagai permasalahan bagaikan orang yang
mengumpulkan belalang satu demi satu.

Jadi, ta'sil (pengambilan konsep dasar ilmu), keteguhan serta kemantapan pada
suatu ilmu adalah sesuatu yang penting, lebih mantap dalam hubungannya
dengan kitab yang dibaca dan di-muraja'ah. Demikian juga lebih mantap dalam
hubungannya dengan para syaikh yang engkau ambil ilmunya.

Janganlah engkau menjadi pencicip ilmu (yang mengambil ilmu sepotong-


potong) pada tiap pekan sekali atau sebulan sekali dari seorang syaikh.
Tentukan terlebih dahulu syaikh (guru) yang akan engkau timba ilmunya.
Setelah engkau mengambil keputusan maka sabar dan tekunilah. Janganlah
engkau mengambil syaikh lain pada setiap bulan atau pekan. Sama saja apakah
engkau ambil syaikh itu dalam pelajaran fiqih dan terus kontinyu belajar
bersamanya dalam pelajaran fiqih, (engkau belajar) dengan syaikh yang lain
dalam pelajaran nahwu dan terus bersamanya dalam pelajaran nahwu.

Atau dengan syaikh lainnya dalam pembahasan aqidah dan tauhid dan terus
belajar bersamanya. Hal yang penting, hendaknya engkau terus belajar dan
jangan hanya menjadi sekedar pencicip (berbagai macam ilmu), seperti halnya
seorang lelaki yang hobi cerai. Setiap kali menikahi seorang wanita setelah
hidup bersamanya 7 hari, kemudian dia mentalaknya dan pergi mencari wanita
lain.

Tatsabut juga merupakan perkara yang penting, sebab terkadang orang yang
menukil berita mempunyai kehendak yang tidak baik. Dia menukil suatu berita
yang dapat mencemarkan nama baik orang yang diambil beritanya baik dengan
sengaja atau dengan tendensi tertentu. Terkadang mereka tidak berniat jahat
namun mereka memahaminya dengan sesuatu yang berbeda dengan makna
yang diinginkan. Oleh karena itu wajib tatsabut.

Apabila sesuatu yang dinukil tersebut telah tsabit dengan penyebutan sanadnya
maka sampailah giliran untuk berdiskusi dengan orang yang menukilkannya
sebelum menghukumi pernyataan tersebut, apakah hal itu benar atau tidak.
Sebab boleh jadi akan tampak kebenaran bagimu setelah dilakukan diskusi,
bahwa kebenaran berada di pihak orang yang dinukil ucapannya.
‫ اﳊﺮص ﻋﻠﻰ ﻓﻬﻢ ﻣﺮاد ﷲ ﺗﻌﺎﱃ وﻣﺮاد‬:‫اﻷﻣﺮ اﻟﺜﺎﱐ ﻋﺸﺮ‬
‫رﺳﻮﻟﻪ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ‬ 12. Berantusias memahami makna yang
dikehendaki Allah dan Rasul-Nya.

Masalah pemahaman termasuk perkara penting dalam menuntut ilmu.


Maksudnya pemahaman seperti yang dimaukan Allah dan Rasul-Nya.
Pasalnya banyak orang yang diberi ilmu namun mereka tidak diberi
kepahaman.

Tidaklah cukup engkau menghafal Al-Qur'an dan menghafal beberapa hadits


Rasulullah yang ringan (dalam menghafal) tanpa dibarengi dengan
pemahaman. Maka mau tidak mau engkau harus memahami sesuai dengan
apa yang diinginkan Allah dan Rasul-Nya. Betapa banyak terjadi kesalahan
yang dilakukan oleh orang-orang. Mereka berdalil dengan nash-nash (Al-
Qur'an dan As-Sunnah) tidak dengan apa yang dikehendaki Allah dan Rasul-
Nya sehingga muncul kesesatan.

Di sini saya ingin menegaskan suatu poin penting, yaitu bahwa kesalahan
dalam pemahaman boleh jadi jauh lebih berbahaya dibandingkan kesalahan
karena kejahilan (kebodohan). Sebab orang yang berbuat salah lantaran
kebodohan dia akan sadar bahwa dia bodoh sehingga dia akan belajar.

Tetapi orang yang pemahamannya salah dia meyakini bahwa dirinya adalah
orang pandai yang mencocoki kebenaran. Dia meyakini bahwa inilah yang
dimaukan Allah dan Rasul-Nya. Kami akan sajikan beberapa contoh agar
jelas bagi kila tentang pentingnya pemahaman.

Contoh pertama:

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam Surat Al-Anbiya' ayat 78-79,

‫ﺖ ﻓِ ِﻴﻪ َﻏﻨَ ُﻢ‬


ْ ‫ﺸ‬
َ ‫ﻔ‬َ ‫ـ‬
َ‫ﻧ‬ ‫ذ‬
ْ ِ
‫إ‬ ‫ث‬ِ ‫اﳊﺮ‬
َْْ ‫ﰲ‬ِ ِ
‫ﺎن‬ ‫َوَد ُاوَد َو ُﺳﻠَْﻴ َﻤﺎ َن إِ ْذ َْﳛ ُﻜ َﻤ‬
‫ﺎﻫﺎ ُﺳﻠَْﻴ َﻤﺎ َن َوُﻛﻼ آﺗَـْﻴـﻨَﺎ‬ ِ ِ ِ ِ ِ ِ
َ َ ْ ‫اﻟْ َﻘ ْﻮ َ ُ ُ ْ َ َ َ َ ﱠ‬
‫ﻨ‬‫ﻤ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻔ‬‫ـ‬ ‫ﻓ‬ . ‫ﻳﻦ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﺎﻫ‬ ‫ﺷ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﻜ‬ْ ‫ﳊ‬ ‫ﱠﺎ‬‫ﻨ‬‫ﻛ‬‫و‬ ‫م‬

‫ﱠ‬
َ َ‫اﳉِﺒ‬
‫ﺎل ﻳُ َﺴﺒِّ ْﺤ َﻦ َواﻟﻄﱠْﻴـَﺮ َوُﻛﻨﱠﺎ‬ ْ ‫ُﺣ ْﻜ ًﻤﺎ َو ِﻋ ْﻠ ًﻤﺎ َو َﺳ ﱠﺨ ْﺮَ َﻣ َﻊ َد ُاوَد‬
‫ﲔ‬ ِ‫ﺎﻋﻠ‬
ِ َ‫ﻓ‬
َ
"Dan (ingatlah kisah) Dawud dan Sulaiman, di waktu keduanya memberikan
keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing-
kambing kepunyaan kaumnya. Dan adalah Kami menyaksikan keputusan
yang diberikan oleh mereka itu, maka Kami telah memberikan pengertian
kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat); dan kepada masing-
masing telah Kami berikan hikmah dan ilmu dan telah Kami tundukkan
gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Dawud. Dan
Kamilah yang melakukannya."

Allah ‘Azza wa Jalla telah mengutamakan Sulaiman di atas Dawud dalam


perkara ini karena pemahaman yang beliau miliki.

"Maka kami telah memberikan pemahaman kepada Sulaiman." Tetapi tidak


ditemukan kekurangan ilmu (yang dimiliki) Dawud.

"Dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu."

Perhatikanlah ayat yang mulia ini tatkala Allah menyebutkan keistimewaan


yang dimiliki Sulaiman yaitu berupa pemahaman. Allah juga menyebutkan
keistimewaan yang dimiliki Dawud dalam Firman-Nya, "Dan Kami telah
tundukkan gunung-gunung, semua bertasbih kepada Dawud."

Penyebutan tersebut bermaksud agar terwujud keseimbangan (dari segi


keistimewaan atau keutamaan) dari tiap Nabi tersebut. Allah subhanahu wa
ta’ala menyebutkan hukum dan keilmuan yang dimiliki oleh keduanya.

Kemudian Allah menyebutkan keistimewaan yang dimiliki masing-masing


dibanding yang lainnya. Perkara tersebut menunjukkan kepada kita betapa
pemahaman memiliki kedudukan yang sangat urgen dan bahwa ilmu
bukanlah segalanya.

Contoh kedua:

Apabila engkau memiliki dua bejana, salah satu berisi air hangat sedangkan
bejana lain berisi air dingin membeku. Saat itu musim dingin. Lalu datanglah
seorang lelaki yang ingin mandi janabat (mandi besar). Ada sebagian orang
berkata, yang lebih utama adalah engkau memakai air dingin sebab
memakai air dingin terdapat kesulitan.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ﱡ‬
ِ ‫اﳋﻄَﺎ وﻳـﺮﻓَﻊ ﺑِِﻪ اﻟﺪﱠرﺟ‬
‫ ﻗَﺎﻟُﻮا‬،‫ﺎت‬ ْ ِِ‫أََﻻ أَدﻟﱡ ُﻜﻢ ﻋﻠَﻰ ﻣﺎ ﳝَْﺤﻮ ا ﱠ ﺑ‬
‫ﻪ‬
ََ ُ َْ َ َ َ ُ ُ َ َ ْ ُ
ِ ‫ إِﺳﺒﺎغُ اﻟْﻮﺿ‬:‫ﺎل‬
‫ﻮء َﻋﻠَﻰ اﻟْ َﻤ َﻜﺎ ِرِﻩ‬ َ ِ
َ ‫ﻮل ا ﱠ‬
‫ﻗ‬ َ ‫ﺑَـﻠَﻰ َ َر ُﺳ‬
ُ ُ َْ
"Maukah aku tunjukkan kepada kalian tentang sesuatu yang dengannya Allah
akan menghapus dosa-dosa dan mengangkat derajat kalian?" Mereka
berkata, "Mau, ya Rasululluh." Beliau bersabda, "Sempurnakanlah wudhu
walaupun dalam keadaan sulit."18

Maksudnya adalah menyempurnakan wudhu pada musim dingin. Apabila


engkau telah menyempurnakan wudhu dengan air dingin maka hal itu lebih
utama daripada wudhu dengan air hangat, yang sesuai dengan keadaan
cuaca.

Seseorang telah berfatwa bahwa menggunakan air dingin lebih utama. Dia
berdalil dengan hadits di atas. Apakah kesalahan tersebut terletak pada
ilmunya ataukah pada pemahamannya? Jawabannya, kesalahan itu terjadi
pada pemahaman karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ِ ‫إِﺳﺒﺎغُ اﻟْﻮﺿ‬
‫ﻮء َﻋﻠَﻰ اﻟْ َﻤ َﻜﺎ ِرِﻩ‬ ُ ُ َْ
"Sempurnakanlah wudhu walaupun dalam keadaan sulit". Beliau tidak
mengatakan, "Engkau pilih air dingin untuk berwudhu." Bedakan kedua
ungkapan tersebut. Kalau saja yang diungkapkan dalam hadits tersebut
adalah ungkapan kedua, tentunya kita katakan, "Ya, pilihlah air dingin." Akan
tetapi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Sempurnakanlah wudhu
walaupun dalam keadaan sulit."

Maksudnya, dinginnya air tidak menghalangi seseorang untuk


menyempurnakan wudhu. Selanjutnya kita katakan, "Apakah Allah
menghendaki kemudahan atau kesulitan bagi hamba-Nya?" Jawabannya
terdapat dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala,

‫ﻳﺪ ﺑِ ُﻜ ُﻢ اﻟْﻌُ ْﺴَﺮ‬


ُ ‫ﻳﺪ ا ﱠُ ﺑِ ُﻜ ُﻢ اﻟْﻴُ ْﺴَﺮ َوﻻ ﻳُِﺮ‬
ُ ‫ﻳُِﺮ‬
"Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu..." (Al-Baqarah: 185)

Dan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi,

‫ﻳﻦ ﻳُ ْﺴٌﺮ‬‫ﺪ‬ِّ ‫إِ ﱠن اﻟ‬


َ
"Sesungguhnya agama itu mudah."19

Saya katakan kepada penuntut ilmu, sesungguhnya perkara pemahaman ini


sangat penting. Kita wajib memahami apa yang Allah kehendaki dari para
hambanya. Apakah Allah hendak menyulitkan hamba-hamba-Nya dalam
pelaksanaan ritual ibadah ataukah Allah menghendaki kemudahan bagi
mereka?! Tidak disangsikan lagi bahwa Allah ‘Azza wa jalla menghendaki
kemudahan dan tidak menghendaki kesulitan bagi kita.

Inilah sebagian adab santun dalam menuntut ilmu. Adab-adab Ini


seyogyanya bisa memberikan pengaruh bagi ilmu yang dimiliki seorang
pelajar sehingga ia menjadi qudwah (teladan) yang baik dan menjadi da'i
yang mengajak kepada kebaikan dan bisa menjadi contoh dalam agama
Allah ‘Azza wa jalla. Dengan kesabaran dan keyakinan engkau akan meraih
keimaman (kepemimpinan) dalam agama ini. Sebagaimana Firman Allah
‘Azza wa jalla,

‫ﺻﺒَـُﺮوا َوَﻛﺎﻧُﻮا ِ َ ﺗِﻨَﺎ‬


َ ‫ﻟَ ﱠﻤﺎ‬ َ‫َو َﺟ َﻌ ْﻠﻨَﺎ ِﻣْﻨـ ُﻬ ْﻢ أَﺋِ ﱠﻤﺔً ﻳَـ ْﻬ ُﺪو َن ِ َْﻣ ِﺮ‬
‫ﻳُﻮﻗِﻨُﻮ َن‬
"Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin pemimpin yang memberi
petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan mereka meyakini
ayat-ayat Kami." (As-Sajdah: 24)

____________
Footnote:

18 HR. Muslim dalam Kitabut Thaharah Bab: Fadlu Isbaghil Wudhu ‘alal
Makarih.

19 HR. Al-Bukhari dalam Kitabul Iman Bab: Ad-Dinu Yusrun.

Akhir []

Anda mungkin juga menyukai