Anda di halaman 1dari 8

IKTIOTOKSIN

Mohammad Aghistni Rahman/C14170109


Budidaya Perairan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Insitut Pertanian Bogor

Abstrak

Tidak hanya hewan darat yang memilki bisa, hewan akuatik pun ada yang memiliki bisa yang
biasa disebut sebagai iktiotoksin. Terdapat tiga jenis iktiotoksin yang perlu diketahui yaitu,
ciguatoksin, tetradotoksin, dan iktioakantotoksin. Iktiotoksin juga mempunyai dua sifat yaitu
venomous dan poisonous. Venomous mereupakan sifat racun yang bersifat menyerang dan sebagai
alat pertahanan diri, sedangkan poisonous merupakan sifat racun yang hanya berfungsi sebagai
pertahanan diri, bisa yang dihasilkan suatu organisme dikatakan beracun apabila dikonsumsi.
Percobaan ini menggunakan metode perlakuan darah ikan sidat dengan dosis 1 mL; 1,2 mL; 1,4 mL;
1,6 mL; 1,8 mL; dan 2 mL yang disuntikkan ke ikan nila dewasa uji dan hitung waktu perubahan
tingkah laku ikan nila tersebut. Hasil menunjukkan bahwa ikan nila yang sudah berukuran dewasa
mati dengan dosis lebih dari 1,6 mL injeksi darah ikan sidat. Praktikum dilakukan pada hari Senin, 22
April 2019 pukul 15.00-18.00 di Laboratorium Fisiologi Hewan Air, Departemen Manajemen
Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Kata kunci: Ikan Nila, Ikan Sidat, Iktiotoksin

Abstract

Not only land animals have the ability, even aquatic animals can have what is commonly
called iktiotoksin. There are three types of ichthotoxins that need to be known, namely, ciguatoxin,
tetradotoxin, and iktioakantoksin. Iktiotin also has two properties, namely venomous and poisonous.
Venomous is an attacking nature of poisons and as a means of self-defense, while poisonous is a toxic
property that only functions as a self-defense, can be produced by an organism to be said to be toxic
if consumed. This experiment used the eel blood treatment method with a dose of 1 mL; 1.2 mL; 1.4
mL; 1.6 mL; 1.8 mL; and 2 mL which was injected into the test of adult tilapia and calculated the
change in behavior of the tilapia. The results showed that tilapia, which had grown in size with a
dose of more than 1.6 mL of eel blood injection. Practicum is conducted on Monday, April 22, 2019
15.00-18.00 at the Laboratory of Aquatic Physiology, Department of Aquatic Resources
Management, Faculty of Fisheries and Marine Sciences, IPB University.
Keywords: Eel, Ichthyotoxic, Tilapia.

Kelompok 2 – Yulianti
Latar Belakang
Organisme hewan umumnya memiliki caranya masing-masing dalam
mempertahankan diri dari musuh dan predator lainnya. Dalam tubuh organisme tersebut
terkandung senyawa kimiawi hasil metabolisme yang digunakan sebagai upaya untuk
mempertahankan kelangsungan hidupnya. Senyawa tersebut biasa diketahui dengan sebutan
metabolit sekunder. Potensi senyawa metabolit sekunder yang ada merupakan pustaka
kimiawi (chemical library) yang dapat dieksplorasi dan dijadikan rujukan untuk kajian upaya
pemanfaatannya (Estella et al. 2018). Tidak hanya hewan darat yang memilki bisa, hewan
akuatik pun ada yang memiliki bisa yang biasa disebut sebagai iktiotoksin.
Salah satu komoditas perikanan yang bernilai ekonomis tinggi serta teridentifikasi
dapat berdampak meracuni organisme lainnya ialah ikan sidat Anguilla bicolor bicolor.
Dalam skala di pasar internasional, seperti Jepang, Hongkong, Italia, Jerman, dan beberapa
negara lain ikan sidat paling digemari. Negara konsumen terbesar ikan sidat adalah Jepang
yang mengkonsumsi ikan sidat sekitar 120.000 ton setiap tahunnya, sedangkan produksi
dalam negerinya hanya kurang dari 18%. Jepang mengimpor sidat dari China dan Taiwan,
dengan demikian Indonesia berpotensi besar untuk mengekspor ikan sidat. Pemanfaatannya
untuk budidaya ikan sidat masih sangat rendah, padahal Indonesia mempunya potensi ikan
sidat yang tinggi. Selama ini elver yang melimpah diekspor dan dibudidayakan di luar negeri,
sedangkan pemanfaatan potensi elver sidat untuk budidaya masih sangat rendah padahal lebih
menguntungkan jika kita bisa mengolahnya sendiri (Lennox eet al. 2018).
Ikan nila (Oreochromis niloticus) merupakan salah satu komoditas budidaya pada air
tawar yang unggul karena dapat memenuhi kebutuhan protein hewani serta memiliki daging
yang lezat. Ikan nila juga merupakan ikan yang tidak menyulitkan untuk dibudidaya karena
mampu beradaptasi pada kondisi lingkungan dengan kisaran salinitas yang cukup tinggi
(García-Trejo et al. 2016). Praktikum ini bertujuan untuk mengamati dampak iktiotoksik
yang dihasilkan dalam darah ikan sidat (Anguilla sp.) melalui injeksi terhadap ikan nila
(Oreochromis niloticus).

Tujuan
Praktikum ini dilaksanakan dengan tujuan akhir yaitu mengetahui dampak iktiotoksik
yang dihasilkan suatu ikan terhadap ikan uji lain dari spesies yang berbeda.

Metode Percobaan
Waktu dan Tempat
Praktikum ini diselenggarakan pada hari Senin 22 April 2019, pukul 15.00 WIB
sampai dengan 18.00 WIB bertempat di Laboratorium Fisiologi Hewan Air, Departemen
Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB.

Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang difungsikan pada penelitian ini ialah rancangan acak
lengkap (RAL), rancangan ini merupakan rancangan yang paling mendasar dari rancangan
percobaan lainnya. RAL memiliki ketepatan tinggi terhadap hasil penelitian apabila
penelitian bersifat homogen seperti kondisi lingkungan yang sama dan terkontrol, selain itu
pemberian perlakuan pada penelitian yang terbatas.

Prosedur Percobaan
Sediakan alat-alat yang diperlukan untuk praktikum seperti akuarium beserta
aeratornya. Isi akuarium dengan media hidup ikan yaitu air secukupnya, ambil ikan uji yang
digunakan yaitu ikan nila (Oreochromis niloticus). Masukkan ikan nila kedalam akuarium,
jangan lupa untuk memasang aerator setelah ikan sudah ada di akuarium. Ambil darah ikan

Kelompok 2 – Yulianti
sidat sebagai toksik yang akan dinjeksikan ke dalam tubuh ikan nila. Darah ikan sidat yang
telah diambil dicampur dengan zat pengental yaitu koagulan. Siapkan alat suntik atau syringe,
ambil darah sidat sejumlah volume yang sudah ditentukan dengan syrige. Ambil ikaan nila
dari akuarium lalu suntikan darah sidat pada bagian dorsal ikan nila. Simpan kembali ikan
nila pada akuarium dan lihat reaksi yang terjadi pada ikan beberapa saat. Catat waktu yang
dibutuhkan sampai ikan mati atau hidup kembali apabila terjadi.

Pengambilan Data
Data dari praktikum yang telah dilaksanakan diperoleh berdasarkan pengamatan
terhadap dosis racun yang diberikan serta waktu yang dihabiskan sampai ikan mati dan hidup
kembali. Berikut penjabaran parameter beserta komponennya (Tabel 1).

Tabel 1 parameter biologi ikan yang diambil.


Parameter Satuan Alat/Metode Lokasi Pengamatan
Dosis racun Ml Laboratorium
Syringe
Waktu Mati dan hidup menit Laboratorium
Stopwatch
kembali

Parameter yang Diukur


Terdapat beberapa parameter analisa daya hidup ikan nila setelah diinjeksi darah ikan
sidat sebagai media racun. Parameter yang diukur diantaranya yaitu dosis racun yang
diberikan serta waktu yang diperlukan sampai ikan nila mati karena injeksi racun dan dapat
hidup kembali apabila mampu. Dosis racun yang diberikan berbeda-beda sehingga akan
diperoleh data waktu yang berbeda-beda pula.

Analisis Data
Proses penganalisisan data parameter biologi hasil praktikum dilakukan dengan
metode statistik, memanfaatkan sidik ragam (ANOVA) Rancangan Acak Lengkap (RAL)
yang diatur dalam program Excel 2017 for Windows.

Hasil dan Pembahasan


Hasil
120

100

80
SR %

60

40

20

0
1 1,2 1.4 1.6 1,8 2

Perlakuan
Grafik 1 Kelangsungan hidup ikan nila berdasarkan dosis racun yang diberikan.

Kelompok 2 – Yulianti
Data yang ditunjukan pada grafik diatas memberi informasi mengenai tingkat
kelangsungan hidup (Survival Rate) ikan nila berdasarkan dosis injeksi darah sidat yang
diberikan. Berdasarkan grafik tersebut ikan nila yang diberi perlakuan dosis racun sebanyak 1
ml; 1,2 ml; dan 1,4 ml tidak didapati adanya kematian yang artinya nilai kelangsungan
hidupnya 100%. Derajat kelangsungan hidup diperoleh sebesar kurang lebih 50% oleh
kelompok ikan nila yang diberi dosis racun sebanyak 1,6 ml. Terdapat dua kelompok
perlakuan ikan nila yang tidak diperoleh ketahanan hidup pada ikan, yaitu ikan nila yang
diberi dosis racun sejumlah 1,8 ml dan 2 ml yang berarti nilai survival rate sama dengan 0%.

Pembahasan
Ikan sidat (Anguilla bicolor) merupakan salah satu ikan budidaya yang memiliki nilai
ekonomis tinggi juga kandungan gizi yang tergolong baik. Kandungan energi ikan sidat
mencapai 270 kkal/100 g, Kandungan vitamin A sidat mencapai 4700 IU/100 g tujuh kali
lipat lebih banyak dari telur ayam, serta 45 kali lipat dari susu sapi. Vitamin B1 yang terdapat
pada ikan sidat setara dengan 25 kali lipat kandungan vitamin B1 susu sapi dan vitamin B2
sidat sama dengan 5 kali lipat kandungan vitamin B2 susu sapi. Apabila dibandingkan dengan
ikan salmon, sidat mengandung DHA (Decosahexaenoic acid, untuk pertumbuhan anak)
sebanyak 1.337 mg/100 gram sementara ikan salmon hanya 820 mg/100 gram atau tenggiri
748 mg/100 gram. Sidat memiliki kandungan EPA (Eicosapentaenoic Acid) sebesar 742
mg/100 gram sementara salmon hanya 492 mg/100 gram atau tenggiri 409 mg/100 gram
(2014). Kandugan gizi yang terkandung dalam daging ikan sidat ternyata berbanding terbalik
sifatnya dengan darah yang dimiliki ikan sidat. Darah ikan sidat bersifat racun terhadap
organisme yang terinjeksi secara in vivo, oleh karena itu ikan ini bersifat iktiotoksik (Yoshida
et al. 2008).
Iktiotoksin terbagi atas tiga pengelompokan jenis yaitu, pertama ciguatoksin yang
merupakan kandungan racun yang berasal dari makroalga. Ikan tersebut memakan makroalga
yang beracun sehingga racun tersebut terakumulasi dalam tubuh ikan hingga ke rantai
makanan tertinggi. Jenis iktiotoksin yang kedua yaitu tetradotoksin merupakan jenis racun
untuk menyerang atau pertahanan diri. Jenis iktiotoksin terakhir yaitu racun yang terdapat
pada patil ikan lele. Racun ini dapat menyebabkan neurotoksin yaitu kejang-kejang,
kelumpuhan, ataupun gangguan pernapasan. Iktiotoksin juga mempunyai dua sifat yaitu
venomous dan poisonous. Venomous ialah suatu racun yang bersifat menyerang dan berguna
sebagai alat pertahanan diri, sedangkan poisonous merupakan racun yang hanya bersifat
untuk mempertahankan diri, bisa yang dihasilkan suatu organisme dikatakan beracun apabila
dikonsumsi (Lago et al. 2015).
Contoh ikan lain yang memiliki iktiotoksin adalah ikan buntal. Toksisitas ikan buntal
terkait erat dengan adanya racun yang mampu melumpuhkan (tetrodotoksin dan saksitoksin).
Ikan buntal memiliki kandungan metabolit sekunder seperti racun tetrodotoksin (TTX).
Racun ini biasanya digunakan sebagai alat pertahanan diri dari serangan predator.
Tetrodotoksin dapat digunakan sebagai obat anastesi lokal (dapat memblok syaraf). Tingkat
toksisitas ikan buntal bervariasi tergantung pada jenis organ tubuh, geografi, musim, dan
jenis kelamin. Racun TTX pada ikan betina lebih tinggi daripada jantan karena di ovarium
terdeteksi TTX lebih banyak bila dibandingkan dengan testis ikan (Arakawa et al. 2010).
Darah ikan sidat mengandung eritrosit dan leukosit. Eritrosit sel darah merah atau
eritrosit merupakan sel yang paling banyak jumlahnya dalam tubuh organisme. Menurut
Docan et al. (2010), tingginya jumlah eritrosit menandakan ikan dalam keadaan stres.
Leukosit merupakan salah satu komponen sel darah yang berfungsi sebagai pertahanan
nonspesifik yang akan melokalisasi dan mengeleminasi patogen. Leukosit terdiri dari
limposit, monosit, dan neutrofil. Monosit merupakan parameter mononuklear yang

Kelompok 2 – Yulianti
berhubungan dengan sistem imun non spesifik yang bekerja sama dengan komponen imun
lainnya seperti neutrofil, limfosit, interleukin, mast sel, dan makrofag. Limfosit merupakan
sel yang berfungsi mengenali berbagai antigen, baik intraseluler maupun ekstraseluler. Sel ini
sangat berperan dalam sistem imun spesifik. Neutrofil berhubungan dengan pertahanan tubuh
terhadap infeksi bakteri dan proses peradangan kecil lainnya, serta menjadi sel yang pertama
hadir ketika terjadi infeksi di suatu tempat. Dengan sifat fagositik yang mirip dengan
makrofaga, neutrofil menyerang patogen dengan serangan respiratori menggunakan berbagai
macam substansi beracun yang mengandung bahan pengoksidasi kuat (Dotta et al. 2014).
Berdasarkan hasil praktikum iktiotoksin ini yang memanfaatkan darah ikan sidat
yang diinjeksikan kedalam ikan nila menyatakan bahwa darah ikan sidat bersifat racun.
Beberapa kelompok perlakuan ikan nila yang diberikan dosis darah sidat diatas rata-rata
mengalami kematian masal. Hal serupa dinyatakan oleh Yoshida et al. (2008), dalam
literaturnya menyatakan bahwa darah ikan sidat bersifat racun pada pembuluh darah
organisme hidup.

Kesimpulan dan Saran


Kesimpulan
Berdasarkan praktikum kali ini dapat ditarik kesimpulan bahwa darah ikan sidat
bersifat iktiotoksin dan dapat menyebabkan kematian bagi organisme yang terinjeksi racun
tersebut dalam tubuhnya. Ikan nila yang berukuran dewasa mati ketika disuntikan darah ikan
sidat dalam dosis lebih 1,6 ml pada tubuhnya. Praktikum ini memberikan informasi mengenai
dosis racun yang dapat mematikan ikan nila dan berapa lama waktu yang dibutuhkan sampai
ikan nila tersebut mati.

Saran
Praktikum akan lebih baik lagi apabila spesies ikan sampel yang digunakan lebih
divariasikan baik komoditas air laut maupun air tawar, supaya dapat membandingkan dan
memperoleh pengetahuan yang lebih mengenai perbedaan pada setiap spesiesnya. Dapat juga
diamati parameter lainnya yang mempengaruhi kelangsungan hidup ikan.

Kelompok 2 – Yulianti
Daftar Pustaka

*, T.T.AJITH KUMAR
*, T.T.AJITH KUMAR
*, T.T.AJITH KUMAR
1
1
1
2
2
2
AND N.B.DHAYANITHI
AND N.B.DHAYANITHI
AND N.B.DHAYANITHI
Arakawa O, Hwang D F, Taniyama S, Takatani T. 2010. Toxins of Pufferfish That Cause
Human Intoxications. Coastal Environmental and Ecosystem Issues of the East China
Sea. 227–244.
Docan A, Cristea V, Dediu L, Grecu I. 2010. Haematological response of the European
catfish Silurus glanis reared at different densities in flow-through production system.
Archiva Zootechnica. 13(2): 63-70.
Dotta, Ledic-Neto, Gonçalves, Brum, Maraschin, Martins M L. 2014. Acute inflammation
and hematological response in Nile tilapia fed supplemented diet with natural extracts
of propolis and Aloe barbadensis. Brazil Journal Biology. 75(2): 491-496.
Estella T F, Jessica P K, Joseph N, Nono N B, Evrard N, Omgba T Y, Grace M, Bathelemy
N, Kaba N, Fokunang C. 2018. Evaluation of the Toxicity of Secondary Metabolites
in Aqueous Extracts of Ficus thonningii Blume in Wistar rats. American Journal of
Ethnomedicine. 5(2):1-13.
García-Trejo T F, Peña-Herrejon G A, Soto-Zarazúa G M, Mercado-Luna A, Alatorre-
Jácome O, Rico-García E. 2016. Effect of stocking density on growth performance
and oxygen consumption of Nile tilapia (Oreochromis niloticus) under greenhouse
conditions. Latin American Journal of Aquatic Research. 44(1): 177-183.
Lago J, Rodríguez L P, Blanco L, Vieites J M, Cabado A G. 2015. Tetrodotoxin, an
Extremely Potent Marine Neurotoxin: Distribution, Toxicity, Origin and
Therapeutical Uses. Marine Drugs. 13:6384-6406.
Lennox R J, Økland F, Mitamura H, Cooke S J, Thorstad E B. 2018. European eel Anguilla
anguilla compromise speed for safety in the early marine spawning migration. ICES
Journal of Marine Science. 1-8.

Kelompok 2 – Yulianti
R.GANESHAMURTHY
R.GANESHAMURTHY
R.GANESHAMURTHY
Yoshida M, Sone S, Shiomi K. 2008. Purification and Characterization of a Proteinaceous
Toxin from the Serum of Japanese Eel Anguilla japonica. Protein J. 27:450–454.

Kelompok 2 – Yulianti
Lampiran

Screeenshot Jurnal

Kelompok 2 – Yulianti

Anda mungkin juga menyukai