Anda di halaman 1dari 6

A.

MACAM-MACAM GANGGUAN PSIKOSOMATIS

Adapun macam - macam gangguan psikosomatis menurut Maramis (2004) dan


McQuade & Aickman (1991) adalah:

1. Gangguan kulit

a. Pruritus menyeluruh

Pruritus psikogenik menyeluruh yaitu merupakan pruritus yang tidak disertai


penyebab organik. Faktor psikosomatik sangat penting dalam kasus pruritus
somatoform dan perlu dipertimbangkan sebagai diagnosis banding ketika
menyelidiki penyebab yang mendasarinya. Pruritus dapat ditularkan secara
psikologis; induksi mental murni pruritus dimungkinkan ketika orang
berkonsentrasi pada nyamuk, kutu, atau serangga.

Seperti contohnya pruritus ani dan pruritus vulva.

b. Eksema

Stresor psikososial seperti masalah kehidupan dan beban psikis dianggap


sebagai faktor penting yang memicu eksaserbasi eksema. Gatal mungkin luas,
sehingga garukan refleksif kemudian menyebabkan kerusakan jaringan dan gatal-
gatal berikutnya. Lingkaran gatal-garuk yang terus menerus ini dianggap sebagai
kehilangan kendali dan sering disertai dengan perasaan bersalah yang luas.

c. Hiperhidrosis

Hiperhidrosis dipandang sebagai fenomena kecemasan yang diperantarai oleh


sistem saraf otonom. Ketakutan, kecemasan, perilaku menghindar dalam
pertemuan sosial, kemarahan dan ketegangan dapat menyebabkan meningkatnya
sekresi keringat, karena manusia memiliki 2 mekanisme berkeringat, yaitu termal
dan emosional. Berkeringat emosional terutama tampak pada telapak tangan,
telapak kaki dan aksila. Berkeringat termal paling jelas pada dahi, leher, punggung
tangan dan lengan bawah. Pasien memiliki respons penurunan hiperhidrosis yang
signifikan terhadap terapi psikofarmakologis.
2. Gangguan otot dan tulang

Gangguan psikosomatis yang sering menyerang otot dan tulang adalah


rematik, nyeri otot dan nyeri sendi.

a. Nyeri punggung bawah

Umumnya nyeri punggung bawah disebabkan oleh rupture diskus


intervertebrata, fraktur pada punggung, defek kongenital spina bawah, atau
ketegangan otot ligamentosa. Ketika gerakan fisik terbatas, hal ini dapat
menyebabkan tekanan psikologis, dan tekanan psikologis dapat memperburuk rasa
sakit. Keyakinan kesehatan pribadi dan strategi koping dapat memengaruhi tingkat
kesusahan dan perjalanan rasa sakit. Itu karena kerentanan psikologis tersebut
dapat mengubah otak dan mengintensifkan rasa sakit.. Terlebih distribusi nyeri
jarang mengikuti distribusi neuroanatomis normal dan lokasi serta intensitasnya
dapat bervariasi. Menurut Sarno, patofisiologi yang terlibat adalah vasospasme
pembuluh darah yang mendarahi otot, saraf, atau tendo yang terlibat. Vasospasme
diperantai oleh sistem saraf otonom yang sangat sensitive terhadap perubahan
emosi, stress emosional kronis, dan afek yang tidak disadari. Iskemia dan
kurangnya oksigen menyebabkan nyeri pada area yang terlibat. Hal ini
mengakibatkan ketegangan otot, kejang, dan nyeri punggung yang dialami pasien..

3. Gangguan saluran pernafasan

Gangguan psikosomatis yang sering menyerang saluran pernafasan yaitu,


sindroma hiperventilasi dan asma.

a. Asma Bronkial

Asma bronkial merupakan penyakit stres yang dapat dipicu oleh berbagai
stresor. Stresor psikososial, bekerja melalui sistem saraf pusat sebagai faktor
pemicu, menyebabkan gangguan pada sistem saraf otonom, sistem endokrin, dan
sistem kekebalan tubuh, serta mempengaruhi timbulnya dan proses asma.. Stimuli
emosi bersama dengan alergi penderita menimbulkan konstriksi bronkioli bila
sistem saraf vegetatif juga tidak stabil dan mudah terangsang. Pengobatan pada
pasien asmat harus melibatkan berbagai disiplin ilmu antara lain menghilangkan
stres, penyesuaian diri, menghilangkan alergi serta mengatur kerja sistem saraf
vegetatif dengan obat-obatan.

b. Sindrom Hiperventilasi
Sindroma hiperventilasi disebut juga dispneu nerveous (freud), pseudo asma,
distonia pulmonal (hochrein). Gambaran klinis berupa:
a. Biasanya berdurasi beberapa menit
b. Hampir selalu berulang dalam situasi stres emosional atau fisik yang hebat
biasanya bagian dari disfungsi kepribadian umum, terutama neurosis
kecemasan atau histeria.
c. Pasien dengan gangguan ini bernafas berlebihan untuk waktu yang singkat,
di mana mereka menyadari dispnea, ketidaknyamanan dada, palpitasi,
pusing, parestesia, dan, akhirnya pada beberapa, sinkop atau tetani.
d. Semua gejala ini cenderung meningkatkan kepanikan pasien dan
mempotensiasi hiperventilasi.

4. Gangguan kardiovaskular

Gangguan psikosomatis yang sering menyerang jantung dan pembuluh darah


adalah darah tinggi, sakit kepala vaskuler, sakit kepala vasosvastik, dan migrain.
Mekanisme yang terjadi pada psikosomatis dapat melalui rasa takut atau kecemasan
yang akan mempercepat denyutan jantung, meninggikan daya pompa jantung dan
tekanan darah, menimbulkan kelainan pada ritme dan EKG. Kehilangan semangat dan
putus asa mengurangi frekuensi, daya pompa jantung, dan tekanan darah.

Perubahan kardiovaskuker yang disebabkan oleh hiperaktivitas sistem saraf


pusat selama stres akut diwakili oleh: peningkatan jangka pendek nilai tekanan darah,
dimediasi melalui aktivasi reseptor alfa-adrenergik dan denyut jantung (HR) dengan
merangsang reseptor beta-adrenergik, endotel transien disfungsi, menurunkan ambang
batas untuk memicu aritmia jantung dan meningkatkan risiko infark miokard,
disfungsi ventrikel kiri, dan bahkan kematian mendadak.

Gejala-gejala yang sering didapati antara lain: takikardia, palpitasi, aritmia,


nyeri perikardial, napas pendek, lelah, merasa seperti akan pingsan, sukar tidur.
Gejala-gejala seperti ini sebagian besar merupakan manifestasi gangguan kecemasan.
Hal ini diakibatkan turunnya aliran serebral sehingga menyebabkan hipoksia serebral.

4. Gangguan saluran pencernaan

Gangguan psikosomatis yang sering menyerang saluran pencernaan adalah


sindroma asam lambung dan muntah-muntah.

a. Gastroesophageal Reflux Disease (GERD)

GERD merupakan gangguan esofagus yang paling lazim ditemukan dan


berperan pada sebagian besar konsumsi antacid yang dijual bebas. Berbagai faktor
psikososial, termasuk stres kronis, ketidakstabilan emosional, refluks asam
abnormal, dan obesitas, dikaitkan dengan manifestasi dan gejala GERD. Secara
khusus, ketidakstabilan emosional, termasuk depresi dan kecemasan, dikaitkan
dengan peningkatan risiko GERD. GERD memiliki gejala refluks khas (mulas dan
refluks) dan atipikal (nyeri dada, disfagia, dispepsia, asma, bronkitis, dan
pneumonia).

b. Ulkus Peptikum

Sejak pertengahan abad ke-20, stres telah dianggap sebagai penyebab utama
ulkus lambung. Studi juga menunjukkan bahwa subjek dengan gangguan
kecemasan, gangguan kepribadian, dan gangguan panik lebih mungkin untuk
memiliki ulkus lambung. Individu dengan neurotisisme atau dengan riwayat
pelecehan masa kanak-kanak juga lebih mungkin untuk memiliki ulkus lambung.
Ulkus lambung mengacu pada ulserasi mukosa yang meliputi lambung bagian
distal atau duodenum bagian proksimal. Studi-studi awal mengenai penyakit ulkus
lambung mengesankan bahwa faktor psikologis memiliki peranan di dalam
terbentuknya kerentanan ulkus, dimana selama kondisi stres, tingkat kortisol
biasanya meningkat yang dapat menyebabkan peningkatan tingkat sekresi asam
lambung. Faktor psikososial dapat terlibat di dalam ekspresi klinis gejala, mungkin
dengan mengurangi respons imun yang menimbulkan kerentanan terhadap infeksi
H. pylori.

c. Kolitis ulseratif
Colitis ulseratif adalah penyakit peradangan usus dengan penyebab yang tidak
diketahui yang terutama mengenai usus besar. Gejala yang dominan adalah diare
berdarah. Bukti menunjukkan bahwa sebagian besar pasien colitis ulseratif
menderita kecemasan dan depresi, persentase yang lebih dari dua kali lipat jika
dibandingkan dengan populasi yang sehat. Komorbiditas kecemasan dan depresi
yang diamati ini pada pasien colitis ulseratif telah membuat banyak peneliti dan
dokter percaya bahwa mungkin ada hubungan sebab akibat antara kecemasan,
depresi (faktor psikologis secara umum) dan gejala colitis ulseratif. Depresi dan
stress menimbulkan respon inflamasi yang berlebihan dan menurunkan imunitas
sehingga infeksi rentan terjadi.

d. Penyakit Chron

Penyakit Chron adalah penyakit peradangan usus yang terutama mengenai


usus halus dan kolon. Satu studi mengenai gejala psikiatrik (depresi dan
kecemasan) pada penyakit Chron sebelum onset gejala fisik menemukan angka
yang lebih tinggi daripada subjek kontrol dan subjek dengan kolitis ulseratif.

e. IBS (Irritable Bowel Syndrome)

Irritable bowel syndrome (IBS) adalah gangguan usus besar yang ditandai
dengan nyeri perut, kembung, diare, atau konstipasi berulang. Mengenali penyebab
dan cara mengatasi IBS dengan benar dapat membantu mengurangi frekuensi
kekambuhnya. Sebuah studi kohort menemukan bahwa 40,1% peserta IBD
memenuhi kriteria untuk diagnosis depresi dan 30,6% memenuhi kriteria untuk
kecemasan. Efek dari penyakit mental yang tidak diobati dapat memperburuk
perjalanan penyakit IBD. Hal ini diduga karena gangguan mental dapat
memengaruhi kinerja otak dan saraf pada saluran cerna, sehingga menjadi lebih
sensitif.
DAFTAR PUSTAKA

1. Absolon CM, Cottrell D, Eldrige SM, Glover MT. (1997).Psychological disturbance in


atopic eczema: the extent of the problem in school-aged children. Br J
Dermatol; 137: 241-5.
2. Ando’, A., Di Girolamo, M., Pignolo, C., Zennaro, A., Giromini, L., Minichino, A., …
Morese, R. (2019). Personality features and vulnerability to stress: a case study
on hyperhidrosis. Research in Psychotherapy: Psychopathology, Process and
Outcome, 22(1). doi:10.4081/ripppo.2019.344 
3. Gao, X., Tang, Y., Lei, N., Luo, Y., Chen, P., Liang, C., Duan, S. and Zhang, Y., (2021.
Symptoms of anxiety/depression is associated with more aggressive inflammatory
bowel disease. Scientific Reports, 11(1).
4. Groen J. J. (1979). The psychosomatic theory of bronchial asthma. Psychotherapy and
psychosomatics, 31(1-4), 38–48. https://doi.org/10.1159/000287312
5. GUZE, S. B. (1952). CHRONIC PSYCHOGENIC HYPERVENTILATION. Archives of
Neurology And Psychiatry, 67(4),
434. doi:10.1001/archneurpsyc.1952.0232016001800
6. Jang, S. H., Ryu, H. S., Choi, S. C., & Lee, S. Y. (2016). Psychological factors influence
the gastroesophageal reflux disease (GERD) and their effect on quality of life
among firefighters in South Korea. International journal of occupational and
environmental health, 22(4), 315–320.
https://doi.org/10.1080/10773525.2016.1235675
7. Lee, Y. B., Yu, J., Choi, H. H., Jeon, B. S., Kim, H. K., Kim, S. W., Kim, S. S., Park, Y.
G., & Chae, H. S. (2017). The association between peptic ulcer diseases and
mental health problems: A population-based study: a STROBE compliant
article. Medicine, 96(34), e7828. https://doi.org/10.1097/MD.0000000000007828
8. Suciu, M. and Cristescu, C., 2017. Psychosomatic Interrelations in Cardiovascular
Diseases and Their Consequences on Patient’s Quality of Life. Well-being and
Quality of Life - Medical Perspective,.
9. Schoultz, M., Atherton, I., Hubbard, G., & Watson, A. J. (2013). Assessment of causal
link between psychological factors and symptom exacerbation in inflammatory
bowel disease: a protocol for systematic review of prospective cohort
studies. Systematic reviews, 2, 8. https://doi.org/10.1186/2046-4053-2-8

Anda mungkin juga menyukai