Gangguan psikofisiologis, yang sebelumnya disebut gangguan psikosomatis, merupakan
penyakit fisik yang Sebagian disebabkan oleh faktor-faktor psikologis, terutama stress. Gangguan tersebut biasanya memengaruhi organ-organ yang berada dibawah kendali sistem saraf otonom, seperti sistem pernapasan, kardiovaskular, gastrointestinal, dan endokrin. Gangguan psikofisiologis tidak lagi muncul sebagai kategori diagnostik dalam DSM. Bahkan, para ahli diagnostik dapat menegakkan diagnosis tentang faktor-faktor psikologis yang memengaruhi kondisi medis kemudian mencatat kondisi tersebut pada aksis III. Perubahan ini mencerminkan semakin besarnya kesadaran bahwa stress kehidupan relevan dengan semua penyakit dan tidak terbatas pada apa yang sebelumnya dianggap sebagai psikosomatik. Ciri khas gangguan psikosomatis adalah adanya keluhan fisik yang berulang dalam jangka waktu lama, namun secara diagnosis fisik pasien dinyatakan baik-baik saja, tidak ada yang salah dengan tubuhnya. Umumnya keluhannya banyak, tidak hanya lambung atau dada, melainkan seluruh organ tubuh bisa merasa sakit. Bahkan pada kasus gangguan psikosomatis yang berat, penderita bisa mengalami gangguan pada mata, masalah kelamin dll. Ini yang disebut pseudoneurogical effect, yaitu tahapan di mana beban pikiran mempengaruhi sarafnya (Junaidi, 2012: 3).
- Perspektif Teoritis Gangguan Psikofisiologis
Berbagai teori etiologi gangguan psikofisiologis memiliki ciri dasar diathesis-stres, namun berbeda dalam hal apakah diathesis dijelaskan secara psikologis atau biologis. Teori-teori biologi mengatribusikan berbagai gangguan tertentu pada berbagai kelemahan organ tertentu, pada aktivitas sistem organ tertentu yang berlebihan dalam merespons stress, pada berbagai efek pemaparan terhadap hormon stress, atau pada perubahan dalam sistem kekebalan tubuh yang disebabkan stress. Teori-teori psikologis lebih berfokus pada faktor-faktor seperti kondisi emosional yang tidak disadari, karakteristik kepribadian, penilaian kognitif, dan berbagai gaya coping terhadap stress.
- Jenis Gangguan Psikofisiologis
1. Gangguan Kardiovaskular, yang terkait dengan jantung dan sistem peredaran darah, mencakup hipertensi esensial dan penyakit jantung koroner (PJK) yang tampaknya dipengaruhi oleh stress. Sementara kedua kondisi tersebut kompleks dan multisegi, etiologinya tampaknya mencakup kecenderungan merespons stress dengan peningkatan tekanan darah atau denyut jantung. 2. Asma, para individu yang menderita asma cenderung memiliki sistem pernapasan yang merespons alergen secara berlebihan atau yang melemah karena infeksi yang dialami sebelumnya. Meskipun demikian, faktor-faktor psikologis seperti kecemasan, kemarahan, depresi, dan kesenangan yang diantisipasi dapat melalui terciptanya emosionalitas dan menyebabkan serangan asma 3. Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS), sejak diidentifikasi pada tahun 1981 telah menjadi epidemi infeksi paling serius pada abad modern. AIDS merupakan suatu penyakit dimana sistem kekebalan tubuh sangat menurun karena HIV sehingga menyebabkan individu berisiko tinggi menderita penyakit fatal seperti sarkoma Kaposi, jenis kanker limpa yang jarang terjadi, dan berbagai macam infeksi jamur, virus, dan bakteri yang berbahaya. Fokus utama pencegahan adalah mengubah perilaku orang-orang, khususnya mendorong seks aman dan mencegah penggunaan satu jarum suntik secara bersama-sama pada para pengguna narkoba intravena.
- Penanganan Gangguan Psikofisiologis
Tujuan utama psikoterapi bagi gangguan ini adalah mengurangi kecemasan, depresi, atau kemarahan. Karena gangguan psikofisiologis benar-benar merupakan disfungsi fisik seperti tekanan darah yang tinggi disebabkan oleh faktor biologis atau seperti dalam hipertensi esensial yang berhubungan dengan stress psikologis, praktik-praktik psikoterapeutik yang baik memerlukan banyak konsultasi dengan dokter yang penanganannya biasanya mencakup pemberian obat-obatan. Para terapis yang berorientasi psikoanalisis menggunakan teknik-teknik seperti asosiasi bebas dan analisis mimpi yang digunakan bagi para pasien lain yang mengalami kecemasan, untuk membantu pasien menghadapi ketakutan-ketakutan yang berasal dari masa kecil. Para terapis behavioral dan kognitif menggunakan serangkaian prosedur untuk mengurangi kecemasan dan kemarahan seperti desentisasi sistematis, terapi rasional emotif, dan latihan asersi, tergantung pada sumber ketegangan. Contohnya, latihan relaksasi berhasil membantu anak-anak yang menderita asma mengeluarkan napas secara lebih kuat. (Lehrer dkk., 1994; Smyth dkk., 1998). Para peneliti di bidang pengobatan behavioral berusaha menemukan intervensi psikologis yang dapat meningkatkan kondisi fisiologis pasien dengan mengubah perilaku tidak sehat dan mengurangi stress dengan mengembangkan berbagai cara untuk membantu orang-orang menjadi relaks, mengurangi merokok, mengurangi makan makanan berlemak, dan melakukan berbagai tindakan yang dapat mencegah atau mengurangi keparahan penyakit dengan mematuhi berbagai rekomendasi dalam penanganan medis.