Anda di halaman 1dari 17

Tugas Individu:

PENGANTAR BIOTEKNOLOGI PERLINDUNGAN TANAMAN


(REVIEW JURNAL)

OLEH:

NAMA: AGUNG

STAMBUK: D1F119

KELAS : Ptp A

JURUSAN PROTEKSI TANAMAN


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2021
REVIEW JURNAL 1

Judul : PEMILIHAN PRIMER RAPD (RANDOM AMPLIFIED POLYMORPHIC DNA) PADA


PCR (POLYMERASE CHAIN REACTION) TANAMAN KAMBOJA (Plumeria sp)
Jurnal : JURNAL SIMBIOSIS
Volume dan :Vol.1 Hal.16-18
Halaman
Tahun : Maret 2016
Penulis : Vanesa Martida dan Made Pharmawati
Reviewer :ANGUNG
Tanggal :7 Desember 2021
Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk menentukan primer RAPD yang menghasilkan
Penelitian produk PCR yang jelas dan dapat digunakan untuk analisis lebih lanjut pada
kamboja
Latar Belakang Tanaman kamboja (Plumeria sp.) dengan variasi yang beragam banyak
ditemukan di Bali. Umumnya tanaman kamboja digunakan sebagai tanaman
hias. Bunga kamboja dimanfaatkan sebagai sarana upakara umat Hindu dan
bunga kamboja yang kering digunakan sebagai sarana aromaterapi, pengharum
sabun, dan pemeilihan primer produk spa. Manfaat lainnya adalah kandungan
zat tertentu pada bunga kamboja yang dapat digunakan sebagai obat (Wrasiati,
dkk., 2010).
Plumeria merupakan salah satu genus yang termasuk di dalam famili
Apocynaceae. Diperkirakan terdapat lebih dari 15.000 kultivar Plumeria sp. di
seluruh dunia yang sedang dikembangkan oleh pengoleksi dan pembudidaya
(Little, 2006). Keragaman kultivar kamboja perlu dianalisis secara molekuler
untuk keperluan pemuliaan tanaman kamboja. Salah satu teknik molekuler yang
dapat digunakan adalah metode RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA)
(Dwiatmini dkk., 2003).
Metode RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) merupakan suatu
aplikasi standar dari PCR (Polymerase Chain Reaction). Keuntungan metode
RAPD adalah relatif sederhana, membutuhkan kuantitas DNA yang sedikit (5 - 25
ng DNA) dalam setiap rantai PCR (Pandey et al., 1998). Metode RAPD memiliki
kemampuan yang cepat dalam mendeteksi polimorfisme pada sejumlah lokus
(Soemantri dkk., 2002). Pada analisis RAPD, perlu dilakukan pemilihan primer
yang dapat mengamplifikasi fragmen DNA dan menghasilkan polimorfisme.
Penelitian ini bertujuan menentukan primer RAPD yang dapat digunakan untuk
analisis keragaman kultivar kamboja.
Subjek Subjek dari penelitian ini adalah Random Amlified Polymorphic DNA
Penelitian menggunakan teknik Polymerase Chain Reaction pada tanaman kamboja
(Plumeria sp)
Metode Metode yang digunakan daam penelitian ini yaitu Metode ekstraksi DNA dimana
Penelian yang digunakan adalah metode CTAB yang telah dimodifikasi.
Metode -
Pengumpulan
Dan Analisis
Data
Langkah- Langkah-lang yang dilakukan dalam penelitian mengenai pemilihan primer RAPD
Langkah pada PCR terhadap tanaman kaboja ada dua Langkah diantaranya Ekstraksi dan
Penelitian Elektroforesis DNA serta PCR-RAPD (Polymerase Chain Reaction-Random
Amplified Polymophic DNA).
Hasil HASIL Ekstraksi DNA: Ekstraksi DNA Ekstraksi DNA Plumeria sp.
Penelitian sebanyak sembilan sampel menggunakan metode CTAB oleh Doyle dan
Doyle yang telah dimodifikasi dan dilanjutkan dengan purifikasi
menggunakan NucleoSpin® Gel dan PCR Clean Up Kit menghasilkan
DNA yang tampak mengol dengan konsentrasi berkisar antara 33 diamana
pada Gambar 1 menunjukan Hasil elektroforesis tujuh sampel Plumeria
sp. setelah purifikasi sebagai berikut:

 Plumeria acuminata Sudamala Bali


 P. acuminata Bali Mas
 P. acuminata Maroon
 P. alba Bali Hai Gold 5: Plumeria obtusa,
 Plumeria sp. Jack Purple
 Plumeria sp. ‘Madam Poni’, λ1: 100 ng lambda DNA λ2: 200 ng
lambda DNA.

HASIL PCR-RAPD (Polymerase Chain Reaction-Random Amplified


Polymophic DNA)

Dari tujuh primer yang dicoba, hanya 3 primer yang menghasilkan


produk PCR yaitu primer UBC-127 (Gambar 2a), UBC-250 (Gambar 2b)
(Gambar 2c).diamaan pada Gambar 2 menunjukan Visualisasi hasil PCR
sampel Plumeria sp. a)Primer UBC-127,b)Primer UBC-250 dan c.
Primer .OPH RAPD dicoba dalam reaksi RAPD untuk amplifikasi fragmen
DNA kamboja. ap primer disajikan pada enit. Sebagai size marker
digunakan (VC 100bp DNA Ladder Plus). dengan menggunakan sp.
sebanyak sembilan sampel menggunakan metode CTAB oleh Doyle dan
Doyle (1990) dan dilanjutkan dengan purifikasi oSpin® Gel dan PCR
Clean Up Kit hasilkan DNA yang tampak mengoles (Gambar 1) 33-
267ng/µl.

Pembahasan:

Ekstraksi DNA kamboja menggunakan buffer ekstraksi CTAB (Doyle


dan Doyle, 1990) dengan modifikasi (Pharmawati, 2009) yang dilanjutkan
dengan purifikasi menggunakan NucleoSpin® Gel dan PCR Clean Up Kit
menghasilkan pita DNA yang disertai dengan smear. Hal ini berarti telah
terjadi degradasi DNA. Kerusakan DNA genom dapat terjadi akibat
degradasi senyawa sekunder yang dilepaskan ketika sel dihancurkan atau
kerusakan akibat penanganan fisik. Keberadaan polisakarida dan metabolit
sekunder dalam sel tanaman sering menyulitkan dalam isolasi asam
nukleat (Wilkins and Smart, 1996).

Pada penelitian ini, PCR menggunakan konsentrasi sampel DNA


sebanyak 50 ng, konsentrasi MgCl2 1,6 µM, konsentrasi primer 3µM, dan
konsentrasi dNTP 0,1 mM. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Randriani, dkk. (2012), penggunaan konsentrasi DNA template sebanyak
50 ng berhasil mengamplifikasi 17 sampel kultivar jambu mete
menggunakan 24 primer dengan teknik Random Amplified Polymorphic
DNA. Penggunaan konsentrasi DNA sampel 50 ng juga dipergunakan oleh
Uslan dan Pharmawati (2015) pada analisis keragaman tanaman Faloak
menggunakan teknik PCR-RAPD.

Primer UBC-106, OPD-14, OPF-11 dan OPH-02 yang digunakan pada


penelitian ini tidak menghasilkan produk amplifikasi DNA pada tanaman
kamboja. Hal ini dapat disebabkan rendahnya kualitas DNA. Kemurnian
yang rendah, misalnya karena adanya metabolit sekunder, akan
menghambat penempelan primer pada susunan basa pada rantai DNA
(Padmalatha dan Prasad, 2006). Rendahnya konsistensi hasil PCR-RAPD
juga disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya penempelan primer
pada cetakan genom DNA tidak sempurna disebabkan karena tidak
tepatnya konsentrasi komponenkomponen PCR RAPD dan pengaruh
kualitas DNA templat (Pharmawati, 2009).

Keungulan Keungulan dari penelitian ini yaitu tidak memakan waktu yang cukup lama juga
Penelitian penelitian ini dapat memberiakan pemahan mengenai metode yang digunakan
pada pemilihan primer RAPD pada PCR terhadap tanaman kamboja
Kelemahan Kelemahan dari penelitian ini adalah tidak dicantumkan metode pengumpulan
penelitian data dan analisis data.
Kesimpulan Ekstraksi DNA dari daun kamboja yang dikeringkan dengan silica gel setelah
purifikasi menggunakan NucleoSpin® Gel dan PCR Clean Up Kit memiliki
konsentrasi DNA berkisar antara 33-267 ng/µl. Pada reaksi PCR-RAPD primer
UBC-127, UBC25, dan OPH-06 berhasil mengamplifikasi DNA tanaman kamboja
sehingga dapat digunakan untuk analisis lebih lanjut.

REVIEW JURNAL 2
Judul :OPTIMALISASI EKSTRAKSI DNA DAN PCR-RAPD PADA Grevillea spp.
(PROTEACEAE)
Jurnal : JURNAL BIOLOGI
Volume dan : Vol.13,No.1,Hal 12-16
Halaman
Tahun : 11 Mey 2009
Penulis : Pharmawati
Reviewer : ANGUNG
Tanggal : 8 Desember 2012
Tujuan Penelitian ini bertujuan menentukan metode untuk mendapatkan DNA dengan
Penelitian berat molekul tinggi dari daun Grevillea serta menentukan kondisi optimum
untuk reaksi PCR-RAPD
Latar Belakang Ekstraksi DNA merupakan prosedur rutin dalam analisis molekuler. Masalah-
masalah dalam ekstraksi DNA masih merupakan hal penting yang perlu diatasi.
Jumlah dan kualitas DNA hasil ekstraksi bervariasi tergantung dari spesies
tanaman sehingga mempengaruhi analisis lebih lanjut seperti hibridisasi DNA,
pemotongan DNA dengan enzim restriksi maupun analisis dengan polymerase
chain reaction (PCR). Random amplified polymorphic DNA (RAPD) merupakan
salah satu marka molekuler berbasis PCR yang banyak digunakan dalam
mengidentifikasi keragaman pada tingkat intraspesies maupun antarspesies
Teknik ini mendeteksi polimorfisme ruas nukleotida pada DNA dengan
menggunakan sebuah primer tunggal yang memiliki rangkaian nukleotida acak.
Pada reaksi PCR-RAPD ini, sebuah primer menempel pada DNA genomik pada
dua tempat berbeda dari DNA komplementer. Jika tempat penempelan primer
ini berada pada daerah yang dapat diamplifikasi, maka hasil DNA tertentu dapat
dihasilkan melalui amplifikasi siklus termal.
Grevillea merupakan anggota famili Proteaceae dan merupakan genus
terbesar dalam famili tersebut (Makinson, 2000). Analisis molekuler genus ini
belum banyak dilaporkan sehingga penelitian kearah genetika molekuler perlu
dilakukan. Tetapi, komposisi senyawa yang tepat pada daun Grevillea belum
diketahui, sehingga hasil ekstraksi DNA dapat berpengaruh terhadap hasil PCR.
Pada penelitian ini optimalisasi ektraksi DNA dilakukan dengan memodifikasi
metode ekstraksi. Selain itu dilakukan optimalisasi PCR-RAPD dengan melakukan
variasi pada konsentrasi komponen reaksi seperti konsentrasi DNA cetakan,
primer, MgCl2 maupun jumlah siklus termal untuk menghasilkan pola-pola PCR-
RAPD yang dapat dipercaya untuk analisis keanekaragaman dan hubungan
kekerabatan.
Subjek Subjek pada penellitian ini adalah Grevillea spp. (PROTEACEAE) dengan teknik
Penelitian optimalisasi ekstraksi DNA dan PCR-RAPD.
Metode Metode dari penelitian ini adalah Modifikasi dari metode ekstraksi DNA standar
Penelian dari Doyle dan Doyle dengan peningkatan konsentrasi EDTA (50 mM),
penambahan 2% (v/v) 2-mercaptoethanol, serta inkubasi selama 14-16 jam pada
suhu 55oC menghasilkan DNA dengan kualitas yang baik dan konsisten.
Amplifikasi DNA menggunakan teknik PCR-RAPD yang efisien dan konsisten
dapat diperoleh dengan kondisi komponen reaksi yang ideal .
Metode -
Pengumpulan
Dan Analisis
Data
Langkah- Langkah-langka yang dilakukan dalam penelitian ini yang pertama Ekstraksi
Langkah DNA,Langkah selanjutnya yaitu Visualisasi dan Penentuan Konsentrasi DNA dan
Penelitian Langkah yang terakhir adalah RAPD.
Hasil Tabel 1.Primer yang digunakan dan urutan basa primer
Penelitian
Nama Primer Urutan basa (5-3)
OPC6 GAACGGACTC
OPC8 TGGACCGGTG
OPC18 TGAGTGGGTG
OPD7 TTGGCACGGG
OPD11 AGCGCCATTG
OPD18 GAGAGCCAAC

Tabel 2.Optimalisasi komponen reaksi PCR-RAPD pada Grevillea

Komponen PCR Konsentrasi Kondisi optimum Hasil


Konsentrasi DNA 10 ng, 25 ng, 45 10 ng Konsentrasi DNA
ng yang tinggi
menyebabkan
hilangnya
beberapa band
Konsentrasi 2.5 pmol, 5 pmol, 5 pmol Konsentrasi
primer 7.5 pmo rendah
menyebabkan
intensitas produk
rendah
Konsentrasi 1.5 mM, 2 mM, 2,5 Nm Konsentrasi yang
MgCl2 2.5 mM, 3 mM, rendah dan tinggi
3.5mM mengakibatkan
tidak terjadinya
amplifikas
Siklus termal 35 x,40 x,45 x 40 x Jumlah siklus 35x
menghasilkan
intensitas produk
yang rendah,
jumlah siklus 45x
memunculkan
smear sebagai
latar belakang
serta band yang
terlalu tebal
sehingga
menyulitkan
pada saat
melakukan skor
band

Pembahasan:
Keberhasilan ekstraksi DNA dipengaruhi oleh jenis tanaman serta kandungan
yang terdapat pada daun tanaman tersebut. Komposisi dinding sel dan
komponen lain pada daun Grevillea belum diketahui. Inkubasi pada suhu 55oC
selama 14-16 jam memaksimalkan keluarnya DNA dari sel sehingga DNA
diperoleh dari tiap sampel secara konsisten. Semua komponen PCR yang diuji
pada Grevillea berpengaruh terhadap pola-pola PCR-RAPD yang dihasilkan. Pada
konsentrasi DNA rendah (10 ng sampai 25 ng), PCR menghasilkan pola yang
konstan, tetapi saat konsentrasi DNA dinaikkan menjadi 45 ng, terdapat band
DNA yang tidak teramplifikasi. Beberapa penelitian lain menunjukkan hasil yang
berlawanan yaitu rentang konsentrasi DNA cetakan dalam PCR-RAPD sangat luas
dan pola-pola DNA yang dihasilkan relatif konstan.
Pada penelitian ini, adanya band yang tidak muncul pada konsentrasi DNA di
atas 25 ng dapat disebabkan tidak menempelnya primer pada situs penempelan
primer. Salah satu penyebab terjadinya hal ini adalah kualitas DNA yang kurang
baik Konsentrasi primer berpengaruh terhadap intensitas produk PCR-RAPD
pada Grevillea. Pada tiga konsentrasi primer yang diuji (2.5 pmol, 5 pmol dan 7.5
pmol), konsentrasi primer 5 pmol dan 7.5 pmol memberikan hasil yang sama dan
memiliki intensitas band yang lebih jelas dibandingkan konsentrasi primer 2.5
pmol. Menurut Padmalatha dan Prasad (2006) dan Harini et al (2008)
konsentrasi primer yang terlalu rendah atau yang terlalu tinggi menyebabkan
tidak terjadinya amplifikasi.
Hal lain yang mempengaruhi produk RAPD adalah siklus termal yang
digunakan. Jumlah siklus dapat mengubah pola-pola DNA produk RAPD.
Denaturasi awal pada suhu 95oC berfungsi memisahkan utas ganda DNA serta
membuat protease menjadi tidak aktif. Suhu penempelan primer 35oC sampai
36oC direkomendasikan oleh Operon Technologies, sedangkan suhu
pemanjangan 72oC selama 2 menit cukup untuk mengamplifikasi produk yang
berukuran besar (sampai 4 kb). Pada penelitian ini peningkatan jumlah siklus
termal secara umum menyebabkan peningkatan intensitas band produk RAPD.
Tetapi perubahan intensitas band juga tergantung pada primer yang digunakan.
Beberapa primer memberikan hasil yang sama baik pada penggunaan siklus
termal 40 x maupun 45 x. Jumlah siklus 40 x, dipilih sebagai jumlah siklus optimal
untuk meminimalkan amplifikasi produk RAPD yang tidak spesifik. Dengan
menggunakan kondisi PCR 10 ng DNA, 5 pmol primer, 2.5 mM MgCl2 serta
jumlah siklus termal 40 siklus diperoleh amplifikasi fragmen DNA yang optimum
dan konsisten. Hasil ini dapat dimanfaatkan untuk karakterisasi molekuler
maupun perbaikan genetik pada Grevillea.
Keungulan Keungulan dari penelitian ini yaitu peneliti dapat merasakan secara langsung
Penelitian manfaat dari penelitian yang telah dillakukan mengenai optimalisasi ekstraksi
DNA dan PCR-RAPD pada grevillea ssp baik dari segi ilu maupun dari prosedur
uji.
Kelemahan Kelemahan dari penelitian mengenai grevillea dengan mengunakan teknik PVR
penelitian ini yaitu metode penggumpulan dan analisis data tidak dijelaskan.
Kesimpulan Modifikasi metode standar ekstraksi DNA diperlukan pada ekstraksi DNA dari
daun tanaman yang mengandung banyak polisakarida atau metabolit sekunder.
Pada Grevillea, ekstraksi DNA dengan memodifikasi metode Doyle dan Doyle
(1990) dengan konsentrasi EDTA 50mM dan penambahan 2% (v/v) 2-
mercaptoethanol serta inkubasi pada suhu 55C selama 14-16 jam menghasilkan
DNA dengan berat molekul yang tinggi dengan kualitas yang baik dan konsisten.
Pada Grevillea, kondisi optimum untuk PCRRAPD adalah menggunakan
konsentrasi DNA 10ng, konsentrasi primer 5 pmol, konsentrasi MgCl2 2.5 mM
dan jumlah siklus termal 40x. Kondisi ini menghasilkan band dengan intensitas
yang baik serta pola-pola band RAPD yang konsisten.
REVIEW JURNAL 3

Judul : DETEKSI BEGOMOVIRUS PADA TANAMAN CABAI MERAH DENGAN I-ELISA TEST
DAN TEKNIK PCR
Jurnal : J. Agroland
Volume dan :Vol.17,No.2 ,Hal. 101 – 107
Halaman
Tahun : Agustus 2010
Penulis : S. Mudmainahdan Purwanto
Reviewer :AGUNG
Tanggal :8 Desember 2021
Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari gejalah yang muncul
Penelitian dilapangan yang disebabkan oleh begomovirus atau virus lainya serta tujuan
lainya yaitu untuk mempelajari dan mendeteksi gejala yang muncul dilapangan
melalui teknik I-ELISA test dan PCR.
Latar Belakang Di Indonesia penyakit daun keriting kuning pada tanaman cabai pertama kali
dilaporkan tahun 1999 di Jawa Barat, penyebabnya adalah geminivirus dari
genus begomovirus (Hidayat et al.,1999) dan telah menyebar dengan cepat ke
berbagai sentral tanaman cabai di Indonesia. Di Daerah Istimewa Yogyakarta dan
Jateng, penyakit yang sama telah meresahkan petani dan sangat mempengaruhi
produksi cabai (Sulandari, 2004) .
Gejala penyakit pada tanaman cabai berupa bercak kuning di sekitar tulang
daun, kemudian tampak vein clearing yang berkembang menjadi warna kuning
sangat jelas, tulang daun menebal dan helai daun menggulung ke atas (cupping).
Gejala lanjut penyakit ini menunjukan daun-daun muda menjadi kecil-kecil, helai
daun berwarna kuning cerah atau hijau muda yang berseling dengan warna
kuning dan cerah yang akhirnya tanaman kerdil (Sulandari et al., 2001). Penyakit
begomovirus berdasarkan International Committee on Taxonomy of Virus (ICTV)
2005 termasuk dalam famili geminiviridae, famili ini dibedakan menjadi empat
genus yaitu Mastrevirus, Curtovirus, Begomovirus dan Topocuvirus (Hull, 2002).
Genus begomovirus dicirikan dengan tipe Bean golden mosaic virus, struktur
genomnya bipartit/monopartit, inangnya tanaman dikotil dan vektornya Bemisia
tabaci Genn (Castilo et al. 1998). Berdasarkan kesamaan sekuen DNA-nya
begomovirus cabai Indonesia dibawah 90% dari spesies begomovirus yang sudah
dilaporkan sebelumnya di Gen Bank, spesiesnya diberi nama Pepper Yellow Leaf
Curl Virus (Pep YLCIDV) (Sukamto, 2005). Penyakit ini merupakan jenis penyakit
virus yang menyerang tanaman dengan kisaran inang cukup luas meliputi
tanaman budidaya maupun gulma di sekitar tanaman, infeksi pada jaringan
inang hanya dilakukan oleh serangga vektor (B. tabaci), satu vektor yang
viruliferous dilaporkan mampu menularkan virus (Aidawati et al. 2002).

Subjek Subjek dari penelitian ini adalah Cabai Merah dimana akan dilakukan
Penelitian pendeteksian begomovirus dengan menggunkan I-ELISA TEST menggunakan
teknik PCR
Metode Metode yang digunakan dari penellitian ini menggunakan metode polysyrene
Penelian microtitre plate (Nunc-Immuno-Plate, Intermed). Antigen penguji terdiri dari
ekstrak daun sakit yang diambil sebagai sampel. Pengujian dilakukan dengan
Jntibody yang telah dimurnikan.
Metode -
Pengumpulan
Dan Analisis
Data
Langkah- Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini ada dua langkah dimana
Langkah Deteksi Begomovirus secara ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay)dan
Penelitian medeteksi Begomovirus secara PCR (Polymerase Chain Reactionsdan) .
Hasil Tabel 1.Variasi gejalah pada berbagai kultivar cabai :
Penelitian
Kultivar Variasi Gejalah Gejala dominana
yang muncul
Supersamas mc,mf, hj,vc Mc
Tampar ku,hj,vc, dk Kj
Deprok ku,cp,tb, kd,m Ku
Semarangan kr,mc,vc,tb Kr
Krida -99 mc,ku,vc,hj Mc
Kado-99 mc,vc, cp, dh, ku hj Kj
Ket: mc: daun mosaik, vc: vein clearing, kj: kuning dan warna hijau sedikit di
jaringan sekitar tulang daun seperti jala, cp: cupping, dk: daun kecil, ku: warna
kuning, hj: warna daun hijau, dk hj : daun kecil hijau, tb: tulang daun menebal,
kr: daun keriting dan bergelombang, kd: kerdil, mf: malformasi.

Tabel 2.Deteksi pada sampel daun bergejalah dengan I-ELISA

Sampel Antibodi A405 nm Keterangan


1 2 3

SSV 0,385 0,357 0,370 +


Daun PatMOV 0,823 0,807 0,815 +
mosaic,mengkerut T0MV 0,736 0,788 0,762 +
dan vein clearing TYLCV 0,556 0,543 0,55 +

SSV 0,319 0,205 0,262 +


Daun kecil,warna PatMOV 0,897 0,828 0.863 +
kuning T0MV 0,485 0.508 0,497 +
kehijauan ,tulang TYLCV 0,565 0,576 0,570 +
daun menebal
SSV 0,502 0,561 0,532 +
Daun keriting PatMOV 0,704 0,728 0,716 +
bergelombang T0MV 0,518 0,510 0,514 +
TYLCV 0,472 0,486 0,476 +

SSV 0,278 0,217 0,240 +


Daun PatMOV 0,864 0,832 0,848 +
kuning,Cuppling T0MV 0,102 0,192 0,147 -
TYLCV 0,484 0,499 0492 +

Kontrol SSV 0,119 0,107 0,113 -


PatMOV 0,220 0,228 0,224 -
T0MV 0,143 0,162 0,153 -
TYLCV 0,136 0,125 0,131 -

Buffer SSV 0,143 0,095 0,099 -


PatMOV 0,084 0,090 0,087 -
T0MV 0,086 0,105 0,096 -
TYLCV 0,041 0,089 0,065 -

Ket: Tanda + menunjukkan bahwa sampel positif terinfeksi virus Tanda –


menunjukan bahwa sampel tidak terinfeksi virus

Pembahasan:
Gejala Penyakit. Hasil penelitian diketahui bahwa tanaman cabai yang terinfeksi
oleh Begomovirus pada umumnya menunjukkan gejala berupa helaian daun
tampak vein clearing yang berkembang menjadi warna kuning sangat jelas,
tulang daun menebal dan melengkung keatas (cupping) pada gejala lanjut, daun-
daun muda menjadi kecil-kecil, helai daun bewarna kuning cerah atau hijau
muda yang berseling dengan warna kuning cerah, dan tanaman menjadi kerdil
selain gejala diatas ditemukan beberapa variasi gejala, yang dapat dikelompokan
menjadi empat seperti yang tampak pada Gambar.1 yaitu : A) warna daun hijau,
keriting, kaku, tulang daun menebal, daun-daun kelihatan bertumpuk dan
bergelombang, B) warna daun hijau, mengkerut, tulang daun menebal, mosaik,
beberapa daun menggulung ke atas dan ke bawah dan vein clearing, C) warna
daun dominan kuning keputihan, vein clearing, tepi daun menggulung ke atas
(cupping), tulang daun terdapat bercak hijau warna daun dominan kuning
kehijauan, ukuran daun mengecil, tulang daun menebal, malformasi dan
tanaman kerdil. Berdasarkan variasi gejala yang muncul diketahui bahwa semua
galur cabai yang di uji dapat terinfeksi oleh Begomovirus. Adanya respon yang
berbeda pada masingmasing galur cabai diduga dipengaruhi oleh kerentanan
galur tersebut terhadap virus maupun serangga vektornya. Variasi gejala ini
dipengaruhi oleh faktor tanaman seperti umur, kultivar dan genotip tanaman
selain itu adanya faktor lingkungan seperti tingkat kesuburan tanah dan iklim
sekitar tanaman. , 1992). Berdasarkan variasi gejala yang muncul dapat
dikatakan bahwa semua kultivar cabai yang di uji dapat terinfeksi oleh
Begomoviru.

Deteksi Begomovirus secara ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay).


Pada Tabel 2. diketahui variasi gejala tanaman yang terinfeksi Begomovirus
mempunyai gejala yang hampir sama sehingga sukar untuk membedakan secara
spesifik apakah gejala tersebut hanya terinfeksi Begomovirus atau ada campuran
virus lainnya, untuk mengatasi hal tersebut dilakukan serologi untuk
membedakanya. Berdasar hasil nilai absorbansi sampel daun bergejala yang
diperoleh dari lapangan pada uji I-ELISA menunjukkan bahwa nilai absorbansi
tertinggi terdapat pada tanaman bergejala daun kecil, kuning kehijauan dan
tulang daun menebal yang diuji dengan antibodi PatMov yaitu sebesar 0,863.
Nilai absorbansi tinggi menunjukkan tingginya titer virus yang terdapat pada
sampel tersebut. Dari keempat variasi gejala dengan pengujian antibodi SSV,
ToMV, PatMoV dan TYLCV bereaksi positif, hal tersebut menunjukkan bahwa
terdapat campuran virus Begomovirus dengan Cucumovirus, Potyvirus dan
Tobamovirus.

Deteksi Begomovirus secara PCR (Polymerase Chain Reactions). Pada pengujian


dengan menggunakan teknik PCR untuk memastikan apakah dari empat macam
variasi gejala yang dikelompokkan tersebut apakah benar-benar terinfeksi oleh
Begomovirus, selama ini dengan melihat gejala khas dengan deteksi
konvensional belum dapat dipastikan secara pasti gejala tersebut akibat infeksi
Begomovirus. Hal ini sependapat dengan Papiomatas et al (1994) menyatakan
bahwa gejala penyakit tidak cukup untuk digunakan membedakan Begomovirus
dilapangan maka perlu deteksi dengan menggunakan PCR untuk memastikan
virus tersebut Begomovirus. Deteksi dengan PCR menggunakan primer universal
Krusty & Homer berhasil mengamplifikasi genom Begomovirus yaitu dengan
diperoleh pita DNA berukuran sekitar 580 bp pada isolat cabai dengan gejala
(daun keriting dan bergelombang) (lajur 1), (daun mosaik, mengkerut dan vein
clearing) (lajur 2), (daun kuning cerah dan cupping) (lajur 3) dan (daun kecil,
warna kuning kehijauan dan tulang daun menebal) (lajur 4) menunjukkan bahwa
keempat variasi gejala diinfeksi oleh Begomovirus.
Keungulan Keungulan dari penelitian ini dapat memberikan pemaha,an mengenai DETEKSI
Penelitian BEGOMOVIRUS PADA TANAMAN CABAI MERAH DENGAN I-ELISA TEST DAN
TEKNIK PCR.
Kelemahan Kelemahan dari penelitian ini tidak menjelaskan bagaimana proses atau
penelitian metodeyang digunakan dalam pengumpulan dan anilisis data .
Kesimpulan Hasil deteksi I-ELISA dari berbagai variasi gejala yang muncul di lapangan
disebabkan infeksi campuran antara Tobamovirus, Cucumovirus dan Potyvirus,
berdasarkan hasil PCR menggunakan primer universal coat protein
mengamplikasi fragmen DNA berukuran 580 bp.
REVIEW JURNAL 4

Judul : Teknik PCR Kualitatif untuk Deteksi Produk Rekayasa Genetika Jagung Event
BT11 dan GA21
Jurnal : Jurnal AgroBiogen
Volume dan : Vol. 11,No.2:65–72
Halaman
Tahun : 12 Juni 2015
Penulis : Bahagiawati, Reflinur dan Tri J. Santoso
Reviewer :AGUNG
Tanggal :8 Desember 2021
Tujuan Penelitian ini bertujuan membandingkan dan mendapatkan teknik yang akurat
Penelitian dan efisien untuk deteksi tanaman jagung BT11 dan GA21 berdasarkan teknik
PCR, baik secara tunggal (simpleks) maupun ganda (dupleks).
Latar Belakang Sejak tahun 1996 hingga kini, pemanfaatan tanaman produk rekayasa genetika
(PRG) telah berkembang dengan pesat di dunia (James, 2013). Di berbagai
negara, termasuk Indonesia, untuk mendapatkan izin edar, baik untuk ditanam
(benih), pangan maupun pakan, tanaman PRG tersebut harus lolos pengkajian
keamanan hayati yang berupa persetujuan keamanan (approval) lingkungan,
pangan, dan pakan. Di Indonesia, peraturan tentang pengkajian keamanan
produk PRG telah dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun
2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetika (Bahagiawati dan
Herman, 2008; Herman, 2008).
BT11 merupakan tanaman jagung PRG tahan (resisten) terhadap hama
Lepidoptera, terutama hama penggerek batang jagung. Ketahanan tersebut
dikarenakan adanya sisipan gen interes cryIAb yang diapit oleh promotor 35S
CaMV dan terminator nos serta dikombinasikan dengan sisipan gen interes
phosphinothricin-N-acetyltransferase (PAT) untuk ketahanan terhadap herbisida
glufosinat (Gambar 1). Nama dagangnya adalah Agrisure® CB/LL. Tanaman BT11
ini telah dilepas dan ditanam pertama kali pada tahun 1996 di Amerika Serikat.
Kini telah ada 17 negara yang menanam jagung BT11 ini. Negara yang
menyetujui (approval) BT11 untuk pangan ada 18 negara, termasuk Indonesia
(CERA, 2014). GA21 merupakan jagung PRG yang mempunyai sifat toleran
herbisida glifosat karena mengandung gen enolpyruvylshikimate-phosphate
synthase (EPSPS) yang menyandi pembentukan protein/enzim 5-
enolpyruvylshikimate-3-phosphate synthase. Gen sisipan EPSPS ini diapit oleh
promotor rice-actin 1 dan terminator nos yang dilengkapi dengan sekuen intron
yang memberikan toleransi terhadap herbisida glifosat .
Jagung GA21 ini pertama kali dilepas pada tahun 1997 di Amerika Serikat dan
sekarang telah ada tujuh negara penanam jagung ini. Jagung ini telah disetujui
(approval) untuk pangan di enam belas negara, termasuk Indonesia. Nama
dagang jagung GA21 adalah Agrisure® GT (CERA, 2014).
Subjek Subjek dari penelitian ini adalah Jagung (Zea mays) untuk di Deteksi Produk
Penelitian Rekayasa Genetikanya dengan Event BT11 dan GA21 mengunakan teknik PCR
kuantitatif
Metode Metode yang digunakan pada penelitian ini ada dua diantaranya yaitu metode
Penelian simpleks dan dupleks.
Metode
Pengumpulan -
Dan Analisis
Data
Langkah- Langkah-langkah dalam melakukan penelitian mengenai deteksi reskayasa
Langkah genetika jagung ada empat Langkah yakni yang pertama isolasi DNA setelah
Penelitian dilakukanya isolasi DNA maka di ujji mengunakan teknik PCR simplesk(tunggal)
lalu dilanjutkan dengan uji mengunakan teknik PCR dupleks(ganda) dan yang
terakhir melakukan elektroforesi Gel.
Hasil Tabel 1.Deskripsi jagung PRG event BT11 dan GA21
Penelitian
Nama Promotor Terminato Gen interes Sifat yang
event r diberikan
BT11 35S CaMV Nos cry1Ab Tahan hama
penggerek
batang
jagung
GA21 rice-actin Nos -phosphinothricin -Toleran
1 acetyl transferase herbisida
(PAT) glufosinat
-enolpyruvylshikimate- -Toleran
phosphate synthase herbisida
(EPSPS) glifosat

Tabel 2.Sekuen primer yang digunakan untuk deteksi event jagung spesifik BT11
dan GA21
Sekue Asal Primer Sekuen(5-3) Produk Pustaka
n pb
target
zein Jagung Zein-F GACATTGTGG Gurakan et
CATCATCTT 277 al. (2011)
ZeinR AGTGCGACCCATA
TTCCAG
P-35S Agrobacterium P35S-F GATAGTGGGAT Gurakan et
CaMV tumefaciens TGTGCGTC 195 al. (2011)
P35S-R GCTCCTACAA
ATGCCATCA
T-nos Agrobacterium Tnos-F GAATCCTGT Randhawa
tumefaciens TGCCGGTCTTG 180 dan Firke
Tnos-R TTATCCTAGTTT (2006)
GCGCGCTA
cryIAb Bacillus BT11-F CCATTTTTCAG Matsuoka
thuringiensis CTAGGAAGTTC 110 et al.
BT11-R TCGTTGATGTTK (2001)
GGGTTGTTC
EPSPS Jagung GA21-F ACGGTGGAAGA Matsuoka
GTTCAATGTATG 270 et al.
GA21-R TCTCCTTGAT (2001)
GGGCTGCA

Pembahasan:
Hasil amplifikasi PCR pada DNA sampel-sampel uji menggunakan primer kontrol
internal, primer universal, dan primer spesifik telah menghasilkan amplikon
dengan ukuran seperti yang diharapkan (Gambar 2 dan 3). Amplifikasi PCR
menggunakan primer kontrol internal Zein menghasilkan amplikon berukuran
277 bp pada semua sampel, yaitu NK11 (jagung non-PRG), GA21, dan BT11,
kecuali sampel air (Gambar 2A). Hasil ini menunjukkan bahwa DNA sampel yang
digunakan untuk analisis memang benar berasal dari jagung. Seperti diketahui,
gen zein hanya terdapat pada tanaman jagung sehingga apabila didesain
pasangan primer yang berasal dari sekuen gen ini, akan dihasilkan amplikon
hanya pada sampel DNA yang berasal dari jagung. Jadi, kontrol internal Zein ini
spesifik untuk mendeteksi jagung dan disertakan dalam penelitian ini untuk
memastikan dan menjamin bahwa sampel yang dideteksi memang berasal dari
jagung. Penggunaan primer kontrol internal ini akan menjadi hal yang
sangat penting, terutama jika sampel yang dianalisis berupa tepung atau hasil
proses yang bahan dasarnya mungkin tidak diketahui atau telah dicampur
dengan bahan dasar lain.
Amplifikasi PCR menggunakan primer universal, yaitu untuk deteksi
promotor 35S CaMV dan terminator nos, juga telah menghasilkan amplikon yang
masing-masing berukuran 195 bp dan 180 bp (Gambar 2B dan 2C). Hasil
amplifikasi dengan primer P-35S CaMV menunjukkan bahwa hanya sampel DNA
jagung BT11 saja yang menghasilkan pita DNA, sedangkan dua sampel lain NK11
(non-PRG) dan GA21, serta air menunjukkan hasil negatif atau tidak
menghasilkan amplikon (Gambar 2B). Promotor 35S dari CaMV merupakan
promotor konstitutif yang banyak dipakai untuk gen-gen interes pada produk-
produk rekayasa genetika, salah satunya pada event BT11 (Gambar 1). Namun
demikian, terdapat beberapa jenis promotor lain yang juga digunakan dalam
perakitan tanaman produk rekayasa genetika, sebagai contoh promotor rice
actin yang digunakan pada event GA21. Oleh karena itu, deteksi PRG
menggunakan primer P-35S CaMV menunjukkan hasil positif pada jagung event
BT11 dan negatif pada event GA21. Sementara, sampel jagung NK11 (non-PRG)
menunjukkan hasil negatif karena memang tidak ada transgen yang disisipkan
pada jagung tersebut.

Deteksi PRG secara kualitatif dengan menggunakan teknik PCR secara


simpleks telah banyak dilakukan (Gurakan et al., 2011; Randhawa dan Firke,
2006), bahkan di antaranya dikombinasikan dengan teknik PCR secara kuantitatif
(Greiner et al., 2005) atau metode immunoassay-kit (Chiueh et al., 2001; Lin et
al., 2001). Dengan teknik PCR simpleks, lebih banyak jumlah reaksi PCR yang
dapat disiapkan, tentunya banyak pula event PRG yang dapat dideteksi sesuai
dengan primer yang digunakan pada setiap reaksi PCR. Akan tetapi, teknik
deteksi secara terpisah (simpleks) ini membutuhkan biaya yang relatif lebih
besar dan membutuhkan waktu yang lebih lama dalam pelaksanaannya. Sebagai
alternatif, teknik PCR secara multipleks dapat digunakan dalam meningkatkan
efisiensi teknik deteksi PRG yang mengandung lebih dari satu gen interes dalam
suatu genom atau multi event dalam suatu sampel, baik tanaman, makanan,
maupun pakan ternak, secara simultan. Teknik PCR secara dupleks atau
multipleks telah digunakan oleh beberapa peneliti untuk deteksi PRG baik yang
berupa event tunggal atau stacked (Babekova et al., 2008; Hedreyda dan Roxas,
2010; Xu et al., 2009). Namun demikian, teknik PCR secara multipleks biasanya
memerlukan optimasi kondisi PCR untuk mengatasi rendahnya sensitivitas
produk amplifikasi atau amplikon yang dihasilkan oleh primer yang
berbedabeda. Pada penelitian ini, sebagai langkah awal dalam kegiatan deteksi
PRG yang mengandung lebih dari satu gen, teknik dupleks untuk mendeteksi
event PRG BT11 dan GA21 telah berhasil dilakukan (Gambar 3). Kemampuan
deteksi event PRG secara dupleks yang memiliki dua target event ini akan sangat
bermanfaat dalam meningkatkan efisiensi kegiatan evaluasi produk rekayasa
genetika, terutama apabila sampel yang akan dideteksi pada sampel PRG
memiliki banyak target event.
Keungulan Keungulan dari penelitian ini teknik atau metode dalam peneliltian ini di jelaskan
Penelitian secara jelas sesuai permasalahan dan tujuan penellitian.
Kelemahan Kelemahan dari penellitian ini dimana metode pengupulan data dan analisisi
penelitian data tidak dijelaskan secara rinci
Kesimpulan Primer kontrol internal Zein dapat digunakan untuk mendeteksi apakah bahan
yang diuji mengandung DNA jagung. Primer universal P-35S dan/atau T-nos yang
digunakan dalam penelitian ini dapat mendeteksi suatu bahan PRG yang
mengandung 35S dan/atau terminator nos. Primer BT11 dan GA21 yang
digunakan dalam penelitian ini dapat mendeteksi secara spesifik apakah bahan
yang diuji mengandung DNA jagung event BT11 dan GA21 serta hasil
persilangannya. Metode dupleks yang digunakan dalam penelitian ini dapat
mendeteksi keberadaan DNA jagung event BT11 dan GA21 dalam satu kali uji.
REVIEW JURNAL 5

Judul : Cara Preservasi Fitoplasma dari Jaringan Kacang Tanah Bergejala Sapu untuk
Deteksi DNA dengan Teknik PCR
Jurnal :Fitopatologi Indonesia
Volume dan : Vol.13, No.2.Hal 43-50
Halaman
Tahun : Maret 2017
Penulis : Siska Irhamnawati Pulogu, Kikin Hamzah Mutaqin dan Giyanto
Reviewer :AGUNG
Tanggal :9 Desember 2021
Tujuan Penelitian bertujuan mengevaluasi cara preservasi jaringan tanaman bergejala
Penelitian sapu sehingga tetap diperoleh DNA yang layak dalam deteksi fitoplasma dengan
PCR standar yang dilanjutkan dengan nested-PCR.
Latar Belakang Di Indonesia fitoplasma telah menginfeksi beberapa tanaman penting seperti
kacang tanah yang dapat menurunkan bobot polong sebesar 41-100% (Nugroho
et al. 2000). Selain itu, fitoplasma terdeteksi menyebabkan penyakit daun putih
rumput bermuda, penyakit kuning bambu, penyakit daun kecil ubi jalar, dan
penyakit sapu/proliferasi mosaik kaktus (Mutaqin et al. 2003)
Polymerase Chain Reaction (PCR) ialah teknik molekuler yang umum
digunakan dalam deteksi dan identifikasi fitoplasma. Penyediaan contoh
tanaman yang tetap segar sangat penting untuk isolasi DNA total. Faktor jarak
jauh atau waktu yang lama dalam pengiriman contoh segar menjadi kendala
dalam isolasi DNA karena deteriorasi jaringan dapat terjadi secara cepat dan
munculnya senyawa inhibitor yang dapat memengaruhi kualitas dan kuantitas
DNA dalam syarat teknik PCR (Nejat dan Vadamalai 2013). Titer fitoplasma
dalam jaringan sangat rendah sehingga DNA yang diisolasi seringkali belum
cukup dalam PCR standar untuk menghasilkan amplikon yang terlihat jelas. Oleh
karena itu, modifikasi PCR untuk meningkatkan kemampuan deteksinya dengan
PCR bersarang (nested-PCR) menggunakan pasangan primer untuk reamplifikasi
DNA sasaran secara internal dalam wilayah sasaran PCR standar diperlukan
(Gundersen dan Lee 1996). Penelitian bertujuan mengevaluasi cara preservasi
jaringan tanaman bergejala sapu sehingga tetap diperoleh DNA yang layak dalam
deteksi fitoplasma dengan PCR standar yang dilanjutkan dengan nested-PCR.
Subjek Subjek dari peenlitian ini adalah jaringan kacang tanah yang bergejalah supu
Penelitian untuk dideteksi DNA nya dengan Teknik PCR
Metode Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini preservasi fitoplasama
Penelian pada tanaman kacang tanah untuk dideteksi DNA nya menggunkan Teknik PCR.
Metode -
Pengumpulan
Dan Analisis
Data
Langkah- Adapun Langkah-langkah yang harus diperhataikan dalam penelitian ini yaitu :
Langkah  Penyediaan dan Preservasi Tanaman Sakit
Penelitian  Isolasi DNA dari Jaringan Tanaman Sakit dan Pengukuran DNA
 Amplifikasi DNA dengan PCR dan NestedPCR
Hasil Infeksi fitoplasma pada tanaman dapat menyebabkan gangguan keseimbangan
Penelitian hormon seperti peningkatan sepuluh kali lipat indole-3acetic acid (IAA).
Selanjutnya fitoplasma mepengaruhi fungsi jaringan floem dalam mengangkut
hasil fotosintesis. Hasil fotosintesis menumpuk pada kloroplas dan terjadi
peningkatan konsentrasi gula pada daun sehingga menyebabkan gangguan
fisiologi pada tanaman yang ditandai dengan gejala–gejala khas. Gejala khas
pada tanaman yang terinfeksi fitoplasma meliputi proliferasi tunas kecil pada
ketiak cabang, phyllody (pembentukan daun dari struktur bunga), kerdil, dan
pemanjangan ruas batang yang abnormal (Bertaccini et al. 2014).
Preservasi jaringan tanaman kacang tanah bergejala penyakit sapu pada
berbagai kondisi waktu dipengaruhi oleh suhu dan medium.
Suhu diduga merupakan faktor utama yang dapat memengaruhi perubahan
jaringan tanaman. Hal ini dibuktikan dengan semakin tinggi suhu maka semakin
cepat proses kerusakan jaringan tanaman yang disimpan. Begitupun sebaliknya,
semakin rendah suhu maka semakin lama proses terjadinya kerusakan sehingga
contoh masih terlihat segar selama waktu tertentu. Suhu yang sangat rendah
dapat secara efektif menghentikan pertumbuhan dan perkembangan biologi
dalam sel sehingga keutuhan sel-sel terjaga dalam jangka panjang (Zeliang dan
Pattanayak 2012). Suhu yang rendah menimbulkan sel-sel dalam jaringan
membeku sehingga proses metabolisme semua sel hidup terhenti. Jaringan daun
terinfeksi fitoplasma yang disimpan selama 32 hari pada suhu -20 °C masih
dalam keadaan segar. Adapun penyimpanan contoh pada suhu 4 °C dalam waktu
lama dapat mengakibatkan perubahan jaringan tanaman dan meningkatkan
infeksi berbagai patogen sehingga sulit digunakan untuk deteksi DNA fitoplasma
(Wongwarat et al. 2011).
Medium penyimpanan bufer PGB pada suhu rendah (-20 °C dan 4 °C) dan
bufer CTAB pada suhu standar (25 °C) cukup efektif mempertahankan keawetan
contoh selama proses penyimpanan. Bufer PGB yang mengandung senyawa
polyvinylpyrrolidone (PVP), asam askorbat (AA), dan bovine serum albumin (BSA)
serta sukrosa diduga dapat mencegah munculnya senyawasenyawa kontaminan
perusak sel dalam jaringan tanaman dan menstabilkan DNA. Adapun bufer CTAB
mengandung senyawasenyawa yang dapat mencegah munculnya senyawa
kontaminan perusak DNA. Menurut Hodkinson et al (2007) penyimpanan contoh
menggunakan bufer CTAB dapat mencegah terjadinya antioksidan dengan
merusak enzim yang menghasilkan senyawa kontaminan dalam jaringan
sehingga kehomogenan jaringan tanaman terjaga dan tidak mengalami
kerusakan.
Keungulan Keunggualan dari penelitian ini yaitu mamfaatnya dapat dirasakan secara
Penelitian lamgsung dalam pemebelajaran ,juga dalam penelitian ini tidak memakan
wakktu yang cukukp lama.
Kelemahan Kekuranganya penjelasan metode pengumpulan dana analissi datanya tidak
penelitian dijelaskan dalam penelitian ini .
Kesimpulan Hasil deteksi Visualisasi fragmen DNA fitoplasma menggunakan primer P1/P7
hasil deteksi awal penyakit sapu tanaman kacang tanah. M, Penanda 1 Kb; KP,
kontrol positif; KT–1 s/d KT–10, tanaman kacang tanah terinfeksi fitoplasma.
Visualisasi fragmen DNA fitoplasma menggunakan primer P1/P7 hasil deteksi
awal penyakit sapu tanaman kacang tanah. M, Penanda 1 Kb; KP, kontrol positif;
KT–1 s/d KT–10, tanaman kacang tanah terinfeksi fitoplasma.

Anda mungkin juga menyukai