Anda di halaman 1dari 5

Chandra Asri Bangun Pabrik Olefin Rp 10 Triliun

Harso Kurniawan / WBP Jumat, 27 Maret 2015 | 10:13 WIB

PT Chandra Asri Petrochemical Tbk. ( Foto: istimewa / istimewa )

Jakarta — PT Chandra Asri Petrochemical Tbk (CAP), perusahaan petrokimia terbesar


nasional, berencana membangun pabrik olefin baru berbasis batu bara. Emiten bersandi saham
TPIA yang dikendalikan PT Barito Pacific Tbk (BRPT) itu menyiapkan investasi sekitar Rp
10 triliun.

Pabrik tersebut akan mengolah metanol hasil gasifikasi batu bara ke olefin menjadi propilena.
Selanjutnya, propilena diproses menjadi bijih plastik polipropilena (PP). Kapasitas produksi
terpasang lini produksi PP sekitar 1 juta ton per tahun. PP antara lain digunakan sebagai bahan
baku kemasan plastik, selain polietiliena (PE) dan polietilena tereftalat (PET).

Wakil Ketua Umum Pengembangan Bisnis Asosiasi Industri Aromatik, Olefin, dan Plastik
(Inaplas) Budi Susanto Sadiman mengungkapkan, proyek ini akan digarap CAP bersama
pemerintah. Peran pemerintah adalah mencari perusahaan yang bersedia memasok metanol ke
pabrik CAP. Lokasi pabrik kemungkinan berada di kawasan Kalimantan yang merupakan
salah satu lumbung batubara nasional.

“Pengolahan metanol menjadi olefin merupakan hal baru di industri petrokimia nasional.
Selama ini, olefin dihasilkan dari nafta, produk turunan minyak mentah,” kata Budi
kepada Investor Daily di Jakarta, baru-baru ini.
Dia menambahkan, CAP mulai melakukan studi kelayakan (feasibility study/FS) tahun ini.
Konstruksi pabrik kemungkinan dilakukan tahun depan.

Menurut Budi Susanto, selain proyek tersebut, CAP berniat membangun pabrik olefin di
Teluk Bintuni, Papua, dengan menggandeng perusahaan asal Jerman, Ferrostaal Industrial
Project GmBH. Proyek ini menelan dana US$ 1,8 miliar. Pada proyek ini, metanol dihasilkan
dari gas alam. Produk olefin yang dihasilkan antara lain etilena, propilena, PE, dan PP.

Budi menilai, dua proyek itu sangat strategis bagi industri petrokimia nasional. Sebab, hal itu
bisa menekan impor bijih plastik yang selama ini menggerus devisa nasional.

Di luar CAP, pemain petrokimia lain yang gencar berekspansi adalah PT Pertamina (Persero).
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) migas ini berkolaborasi dengan PTT Global Chemical
asal Thailand untuk membangun kompleks petrokimia terintegrasi di Balongan, Jawa Barat.

Di kompleks ini bakal dibangun kilang minyak (refinery) berkapasitas 360.000 barel per hari
(bph), kilang nafta berkapasitas 1 juta ton per tahun, pabrik PE berkapasitas 400.000 ton per
tahun, pabrik PP berkapasitas 350.000 ton per tahun, dan pabrik polivinil klorida berkapasitas
200.000 ton per tahun. Kedua perusahaan bakal menggelontorkan dana US$ 8 miliar untuk
proyek ini.

Berdasarkan catatan Kementerian Perindustrian (Kemperin), impor produk petrokimia rata-


rata mencapai US$ 8 miliar per tahun. Data Inaplas menunjukkan, kebutuhan bahan baku
plastik mencapai 4,5 juta ton. Adapun kemampuan pasokan industri dalam negeri hanya 2,6
juta ton. Sisanya ditutup impor dari kawasan Asean dan Timur Tengah. Dari total impor,
sebanyak 1,2 juta ton merupakan PE dan PP.

Budi Sadiman menyatakan, industri petrokimia hulu kini gencar mencari alternatif bahan
baku (feedstock) di luar nafta. Sebab, pasokan nafta di dalam negeri sangat terbatas, lantaran
tidak ada pembangunan kilang baru dalam beberapa tahun terakhir.
Melalui diversifikasi bahan baku ke metanol dari gas dan batu bara, Budi mengatakan,
kapasitas produksi terpasang industri petrokimia hulu bisa naik menjadi 10 juta ton per tahun
pada 2020. Jumlah ini cukup untuk meladeni permintaan industri petrokimia hilir atau plastik.

Saat ini, CAP memiliki pabrik petrokimia terintegrasi di Cilegon, Banten. Kapasitas produksi
etilena mencapai 600.000 ton per tahun, propilena 320.000 ton per tahun, mixed C4 220.000
ton per tahun, pygas 280.000 ton per tahun, PE 336.000 ton per tahun, PP 480.000 ton per
tahun, dan styrene monomer 340.000 ton per tahun. Perseroan berniat menggenjot kapasitas
produksi kilang pengolah nafta  (naphta cracker) yang menelan investasi US$ 380 juta. 

Kebutuhan nafta Chandra Asri mencapai 1,7 juta ton per tahun. Dari jumlah itu, sebagian
besar diimpor dari Timur Tengah dan Singapura. Kebutuhan nafta bakal naik menjadi 2,5 juta
ton tahun depan, seiring tuntasnya ekspansi naphta cracker.

Sebelumnya, CAP menyiapkan belanja modal (capital expenditure/capex) tahun ini sebesar
US$ 200 juta atau setara Rp 2,6 triliun. Perseroan akan menggunakan kas internal untuk
membiayai capex.  Perseroan akan menggunakan dana sebesar US$ 135 juta untuk
melanjutkan proyek naphta cracker tahun ini. Proyek yang sudah dikerjakan sejak dua tahun
lalu tersebut ditargetkan tuntas pada semester II-2015.

Sementara itu, perseroan juga bakal menggunakan capex untuk kebutuhan turn around
maintenance (TAM) fasilitas produksi. Chandra Asri bakal mengeluarkan dana US$ 36 juta
untuk kebutuhan tersebut.

Sumber: Investor Daily


PT. Petrokimia Gresik
Bambang Ali, selasa 15 Oktober 2014

PT. Petrokimia Gresik merupakan produsen pupuk di Indonesia, yang pada awal


berdirinya disebut Proyek Petrokimia Surabaya (1962).

Kontrak pembangunannya ditandatangani pada tanggal 10 Agustus 1964, dan mulai berlaku pada
tanggal 8 Desember 1964. Proyek ini diresmikan oleh Presiden Soeharto pada tanggal 10 Juli
1972, yang kemudian tanggal tersebut ditetapkan sebagai hari jadi PT Petrokimia Gresik.

Dalam perjalannya, PT Petrokimia Gresik telah mengalami sejumlah perubahan status,


diantaranya adalah sebagai Perusahaan Umum (Perum) berdasarkan PP No. 55/1971, lalu
berubah menjadi Persero berdasarkan PP No. 35/1974 jo PP No. 14/1975, dan sekarang sebagai
anggota Holding PT Pupuk Indonesia (dahulu PT Pupuk Sriwidjaja) berdasarkan PP No.
28/1997.

PT Petrokimia Gresik menempati lahan seluas 450 hektare yang berlokasi di Kabupaten
Gresik, Provinsi Jawa Timur. Pada tahun 2012 ini, PT Petrokimia Gresik dipercaya oleh
pemerintah untuk meningkatkan kapasitas produksi menjadi 5,4 juta ton, atau meningkat 1,6 juta
ton dibandingkan tahun 2011. Hal ini menjadikan PT Petrokimia Gresik sebagai produsen pupuk
yang memasok 50% kebutuhan pupuk subsidi nasional.

PT Petrokimia Gresik memiliki dua kategori produk, yaitu pupuk dan non-pupuk.

Untuk pupuk subsidi PT Petrokimia Gresik memproduksi pupuk Urea, NPK (Phonska),
Petroganik (pupuk organik), SP-36, dan ZA. Sedangkan untuk non-subsidi PT Petrokimia Gresik
memproduksi pupuk NPK Kebomas, ZK, DAP, KCL, Rock Phosphate, Petronik, Petro Kalimas,
Petro Biofertil, dan Kapur Pertanian. Untuk kategori non-pupuk, PT Petrokimia Gresik
memproduksi benih padi unggul dengan nama Petroseed dan Petro Hibrid, serta dekomposer
bernama Petro Gladiator. Tak hanya itu, PT Petrokimia Gresik juga memiliki produk probiotik
bernama Petrofish untuk meningkatkan produktivitas hasil tambak ikan, udang. Petro Chick
untuk unggas (ayam dan bebek), dan Fit Rice, yaitu beras dengan indek glikemik rendah.

PT Petrokimia Gresik juga menghasilkan produk-produk kimia untuk keperluan berbagai


industri. Diantaranya adalah Amoniak, Asam Sulfat, Asam Fosfat, Cement Retarder, Aluminium
Flourida, CO2 cair, Dry Ice, Asam Chlorida, Oksigen, Nitrogen, Hidrogen, dan Gypsum.

Anda mungkin juga menyukai