Anda di halaman 1dari 11

KHILAFIYAH DALAM ISLAM MENGENAI

PENKLONINGAN MANUSIA
Makalah Disusun Untuk Memenuhi Tugas Agama Islam

Disusun Oleh
Nama : Reynaldi Satria Aryudhika
NIM : 12010121190112

UNIVERSITA DIPONEGORO FAKULTAS


EKONOMIKA DAN BISNIS JURUSAN
MANAJEMEN
2020
I. PENDAHULUAN

Masalah khilafiyah merupakan sesuatu yang sudah biasa terjadi pada realitas kehidupan
manusia, diantara masalah khilafiyah tersebut, ada yang menyelesaikannya dengan mudah dan
ada yang sulit pula menyelesaikannya. Khilafiyah dalam lapangan hukum seharusnya tidak
menjadi faktor pelemah dalam kedudukan hukum islam, justru sebaliknya bisa memberikan
kelonggaran pada orang banyak sebagai suatu rahmat.
Desember 2002 publik di gegerkan oleh kelahiran manusia cloning pertama. Sebelumnya
cloning hanya dilakukan pada tumbuhan dan hewan. Tapi karena kecangihan dalam bidang
medis,cloning mampu merambah pada dunia manusia.seperti teori yang di terapkan pada hewan,
proses cloning pada manusia tidak jauh berbeda. Cloning manusia merupakan tekhnik membuat
keturunan dengan kode genetic yang sama dengan induknya yang berupa manusia.
Kalau dilihat dari tekhnologinya cloning memang terbilang baru namun menurut sebagian
pendapat ada yang menyatakan bahwa tekhnologi ini setidaknya telah tersirat melalui informasi
alquran dan hadist nabi. Tepatnya ketika dalam Al-Qur’an dan Hadist menguraikan tentang
penciptaan Adam dan Hawa yang ada di dunia tanpa ayah dan ibu, kemudian juga melalui
kelahiran isa putra Maryam yang  lahir tanpa ayah.
Islam sangat menghargai hasil kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi,termasuk
tekhnologi cloning. Bahkan lebih jauh manusia diperintahkan untuk memikirkan,mengali dan
mengupayakan seoptimal mungkin tentang semua ciptaan Tuhan. Dan bagi manusia sendiri
memikirkan dan memahami bagaimana dia diciptakan amatlah dianjurkan. Merujuk pada
stetment di atas maka pemakalah ingin mengetahui tentang pengertian khilafiyah, faktor
terjadinya khilafiyah dan contohnya dalam bidang medis yakni pengkloningan manusia.

II. RUMUSAN MASALAH


Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis mempunyai rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan khilafiyah ?
2. Bagaimana faktor- faktor terjadinya khilafiyah ?
3. Bagaimanakah khilafiyah seputar penkloningan manusia ?
III. PEMBAHASAN
A.    Pengertian Khilafiyah
Khilafiyah/ikhtilaf  merupakan term yang diambil dari bahasa arab yang berarti berselisih,
tidak sepaham. Sedangkan secara terminologis khilafiyah adalah perselisihan paham atau
pendapat di kalangan para ulama fiqih sebagai hasil ijtihad untuk mendapatkan dan menetapkan
suatu ketentuan hukum tertentu. Dengan demikian masalah khilafiyah merupakan masalah
ijtihad sebagai hasil dari pemahaman terhadap sumber hukum islam.
Dalam literature lain disebutkan bahwa khilaf berarti perbedaan, perselisihan, dan
pertentangan. Khilafiyah berarti masalah-masalah fiqh yang diperselisihkan, dipertentangkan,
diperdebatkan status hukumnya di kalangan ulama atau fuqaha` akibat dari pemahaman dan
penafsiran mereka terhadap nash yang masih zhanni dilalahnya maupun hasil ijtihad dalam
masalah-masalah yang belum ditunjuki nash secara langsung.
Masalah khilafiyyah sudah ada dan muncul di zaman sahabat, jadi bukan barang baru dan
aneh. Khilafiyyah itu dalam perkembangannya semakin banyak dan meluas di kalangan umat
Islam pada masa-masa berikutnya hingga zaman sekarang. Khilafiyyah terjadi hampir dalam
semua bidang, baik dalam soal politik, aqidah, tashawwuf, kalam, dan juga dalam lapangan fiqh.
Akan tetapi, khilafiyah dalam lapangan hukum islam ( fiqih ) selain dalam hal-hal yang
ada ketegasannya dalam Al-Qur an dan Hadits, tidak membawa keburukan, karena perselisihan
tersebut merupakan kelanjutan studi yang mendalam dan pemahaman maksud-maksud Al-Qur
‘an dan hadist serta pengambilan hukum (istinbat) dari padanya.
Sepanjang sejarah hokum islam seorang faqih selalu memakai mutiara pikiran yang telah
dicapai oleh faqih lain. Perbedaan dalam hal ini lebih tepat dikatakan sebagai perbedaan
tinjauan , yang perbedaan ini dapat disebut sebagai rahmat atau anugrah bagi kaum muslimin,
sebab jika sekiranya hanya satu pendapat saja yang ada tentulah kam muslimin akan kesulitan
dalam hidupnya. Dan bagaimanapun juga perselisihan dalam lapangan tersebut hanya berkisar
sampai bidang pendapat dan pikiran yang tidak sampai pada persoalan fisik.
B.     Faktor Terjadinya Khilafiyah
Diantara faktor penyebab terjadinya perbedaan pendapat itu adalah:
1.      Perbedaan mengenai sahih dan tidaknya nash
Keshahihan suatu nash kadang-kadang diperdebatkan. Ada ulama yang mau menerima kesahihan
suatu nash dan ada pula yang menolaknya. Hal ini terjadi karena mereka berbeda pendapat dalam
menilai tsiqat ( terpercaya )tidaknya seorang perowi, lemah tidaknya matan dan sanad suatu
hadist jik dibandingkan dengan matan dan sanad lain.
2.      Perbedaan dalam memahami nash
Dalam suatu nash, baik Al-Qur’an maupun hadist kadang-kadang terdapat suatu kata yang
mengandung makna ganda (musytarak) dan kata majazi /kiasan, sehingga arti yang terkandung
dalam nash itu tidak jelas. Terhadap nash yang demikian itu, para ulama berbeda-beda dalam
memahaminya. Missal kata quru’ dalam surah Al-Baqoroh (2) ayat 228 mempunyai 2 arti yakni
suci dan haid, sehingga berapa lama iddah wanita yang dicerai boleh memilih apakah 3 kali
sucian atau 3 kali haid.  
3.      Perbedaan dalam menggabungkan dan mengunggulkan nash-nash yang saling bertentangan.
Dalam suatu masalah kadang terdapat dua atau lebih nash yang bertentangan, sehingga hokum
yang sebenarnya dari masalah tersebut sulit diputuskan.untuk memutuskannya biasanya para
ulama memilih nash yang lebih kuat atau mencari titik temu dari nash nash tersebut. Dalam
mengambil keputusn inilah biasanya terjadi khilafiyah dari kalangan para ulama.
4.      Perbedaan dalam kaidah-kaidah ushul sebagai sumber istinbath
Para mujtahid dalam memilih suatu hadist tau mencari suatu dalil, mempunyai cara pandang dan
metode yang berbeda-beda.
5.      Perbedaan dalam perbendaharaan hadist
Diantara para sahabat kemungkinan besar banyak yang koleksi hadistnya tidak sama, oleh karena
itu perbedaan hadis yang dimiliki para mujtahid kan menyebabkan mereka berbeda pendapat.
6.      Perselisihan tentang illah dri suatu hokum
Perselisihan para mujtahid mengenai illat dari suatu hokum juga merupakan salah satu sebab
terjadinya perbedaan pendapat dalam fiqih.   
C.    Khilafiyah Mengenai Penkloningan Manusia
1.      Pengertian Kloning
Klon berasal dari kata klόόn (yunani), yang artinya tunas. Kloning adalah teknik
penggandaan gen yang menghasilkan keturunan yang sama, baik dari segi hereditas maupun
penampakannya. Kloning merupakan pembuatan sebuah sel atau molekul yang seluruhnya
identik dengan sel asalnya. Kloning pertama kali digunakan untuk melukiskan suatu populasi sel
atau organisme yang semuanya berasal dari sel atau organisme tunggal, dengan jalan reproduksi
aseksual, sehingga semua individu dalam kloning itu mempunyai susunan genetik yang sama.
Dalam perkembangannya istilah klon tidak hanya dikhususkan pada tumbuh-tumbuhan,
tetapi sudah merebak pada dunia fauna dan bahkan pada manusia. Sementara dalam buku
karangan Imam Musbikin menyebutkan bahwa istilah kloning berasal dari kata bahasa Inggris ,
cloning yaitu usaha untuk menciptakan duplikat suatu organisme melalui proses yang aseksual.
Atau dengan kata lain membuat foto copy atau penggandaan dari suatu makhluk melalui cara-
cara non seksual.

2.      Kloning Manusia menurut Khilafiyah para Ulama


Permasalahan kloning adalah merupakan kejadian kontemporer (kekinian). Dalam kajian
literatur klasik belum pernah persoalan kloning dibahas oleh para ulama. Oleh karenanya,
rujukan yang penulis kemukakan berkenaan dengan masalah kloning ini adalah menurut
beberapa pandangan ulama kontemporer.
Para ulama mengkaji kloning dalam pandangan hukum Islam bermula dari ayat berikut:

‫ث َف ِا َّنا َخ َل ْق ٰن ُك ْم‬ِ ْ‫ب م َِّن ْال َبع‬ ٍ ‫اَ ُّي َها ال َّناسُ ِانْ ُك ْن ُت ْم ِفيْ َر ْي‬ 
‫ب ُث َّم ِمنْ ُّن ْط َف ٍة ُث َّم ِمنْ َع َل َق ٍة ُث َّم ِمنْ مُّضْ َغ ٍ"ة م َُّخلَّ َق ٍة‬ ٍ ‫مِّنْ ُت َرا‬
‫َّو َغي ِْر م َُخلَّ َق ٍة لِّ ُن َبي َِّن َل ُك ۗ ْم َو ُنقِرُّ ِفى ااْل َرْ َح ِام َما َن َش ۤا ُء ِا ٰ ٓلى‬
ُ َ‫اَ َج ٍل م َُّس ًّمى ُث َّم ُن ْخ ِر ُج ُك ْم ِط ْفاًل ُث َّم لِ َت ْبلُ ُغ ْٓوا ا‬
‫ش َّد ُك ۚ ْم َو ِم ْن ُك ْم‬
ْ‫مَّنْ ُّي َت َو ٰ ّفى َو ِم ْن ُك ْم مَّنْ ي َُّر ُّد ِا ٰ ٓلى اَرْ َذ ِل ْال ُعم ُِر لِ َك ْياَل َيعْ َل َم ِم ۢن‬
‫ض َهامِدَ ًة َف ِا َذٓا اَ ْن َز ْل َنا َع َل ْي َها‬َ ْ‫" ۗا َو َت َرى ااْل َر‬5ًٔ‫َبعْ ِد ِع ْل ٍم َش ْئـ‬
‫ْج‬‫ي‬ ‫ه‬ ‫ب‬
َ ‫ج‬ ۢ ‫و‬ْ ‫ز‬ َ ِّ
‫ل‬ ُ
‫ك‬ ْ‫ن‬ ‫م‬
ِ ْ
‫ت‬ َ
‫ت‬ ‫ب‬
َ ْ
‫ن‬ ۢ َ‫ت َوا‬
ْ ‫ب‬
َ ‫ر‬
َ ‫و‬َ ْ
‫ت‬ ‫ز‬ َّ َ
‫ت‬ ْ‫اه‬ ‫ء‬ َ ۤ ‫ْال َم‬
‫ا‬
ٍ ِ ٍ
Wahai manusia! Jika kamu meragukan (hari) kebangkitan, maka sesungguhnya Kami telah
menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah,
kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar
Kami jelaskan kepada kamu; dan Kami tetapkan dalam rahim menurut kehendak Kami sampai
waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan
berangsur-angsur) kamu sampai kepada usia dewasa, dan di antara kamu ada yang diwafatkan
dan (ada pula) di antara kamu yang dikembalikan sampai usia sangat tua (pikun), sehingga dia
tidak mengetahui lagi sesuatu yang telah diketahuinya. Dan kamu lihat bumi ini kering,
kemudian apabila telah Kami turunkan air (hujan) di atasnya, hiduplah bumi itu dan menjadi
subur dan menumbuhkan berbagai jenis pasangan (tetumbuhan) yang indah.

  “… Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari
segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak
sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami
kehendaki …” (QS. 22/al-Hajj: 5).
Abul Fadl Mohsin Ebrahim berpendapat dengan mengutip ayat di atas, bahwa ayat
tersebut menampakkan paradigma al-Qur’an tentang penciptan manusia mencegah tindakan-
tindakan yang mengarah pada kloning. Dari awal kehidupan hingga saat kematian, semuanya
adalah tindakan Tuhan. Segala bentuk peniruan atas tindakan-Nya dianggap sebagai perbuatan
yang melampaui batas.
Selanjutnya, ia mengutip ayat lain yang berkaitan dengan munculnya prestasi ilmiah atas
kloning manusia, apakah akan merusak keimanan kepada Allah SWT sebagai Pencipta? Abul
Fadl menyatakan “tidak”, berdasarkan pada pernyataan al-Qur’an bahwa Allah SWT telah
menciptakan Nabi Adam As. tanpa ayah dan ibu, dan Nabi ‘Isa As. tanpa ayah, sebagai berikut:

‫ب ثُ َّم‬ ٰ ‫هّٰللا‬
‫ا‬
ٍ َ ‫ر‬S ُ ‫ت‬ ْ
‫ن‬ ‫م‬
ِ ٗ
‫ه‬SSَ ‫ق‬َ ‫ل‬ َ
‫خ‬ ۗ َ ِ َ ِ ‫اِ َّن َمثَ َل ِعي ْٰسى ِع ْن َد‬
‫م‬ ‫د‬
َ ‫ا‬ ‫ل‬S
S َ ‫ث‬ ‫م‬‫ك‬َ
‫قَا َل لَ ٗه ُك ْن فَيَ ُك ْو ُن‬
“Sesungguhnya misal (penciptaan) `Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah
menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: “Jadilah” (seorang
manusia), maka jadilah dia” (QS. 3/Ali ‘Imran: 59).
Hal yang sangat jelas dalam kutipan ayat di atas adalah bahwa segala sesuatu terjadi
menurut kehendak Allah. Namun, kendati Allah menciptakan sistem sebab-akibat di alam
semesta ini, kita tidak boleh lupa bahwa Dia juga telah menetapkan pengecualian-pengecualian
bagi sistem umum tersebut, seperti pada kasus penciptaan Adam As. dan ‘Isa As. Jika kloning
manusia benar-benar menjadi kenyataan, maka itu adalah atas kehendak Allah SWT. Semua itu,
jika manipulasi bioteknologi ini berhasil dilakukan, maka hal itu sama sekali tidak mengurangi
keimanan kita kepada Allah SWT sebagai Pencipta, karena bahan-bahan utama yang digunakan,
yakni sel somatis dan sel telur yang belum dibuahi adalah benda ciptaan Allah SWT.
Islam mengakui hubungan suami isteri melalui perkawinan sebagai landasan bagi
pembentukan masyarakat yang diatur berdasarkan tuntunan Tuhan. Anak-anak yang lahir dalam
ikatan perkawinan membawa komponen-komponen genetis dari kedua orang tuanya, dan
kombinasi genetis inilah yang memberi mereka identitas. Karena itu, kegelisahan umat Islam
dalam hal ini adalah bahwa replikasi genetis semacam ini akan berakibat negatif pada hubungan
suami-isteri dan hubungan anak-orang tua, dan akan berujung pada kehancuran institusi keluarga
Islam. Lebih jauh, kloning manusia akan merenggut anak-anak dari akar (nenek moyang) mereka
serta merusak aturan hukum Islam tentang waris yang didasarkan pada pertalian darah.
Munculnya kloning terutama kloning manusia memang mengundang banyak
perbincangan dari berbagai macam kalangan. Diantaranya adalah muncul dari kalangan ahli
tafsir yang salah satunya diwakili oleh Prof. Dr. M. Quraisy Shihab, MA yang mengatakan
bahwa “ Islam tidak pernah memisahkan ketetapan-ketetapan hukumnya dari moral” sehingga
dalam kasus kloning, walaupun dalam segi aqidah tidak melanggar wilayah kodrat Ilahi, namun
karena dari moral teknologi kloning dapat mengantar pelecehan manusia, maka larangan lahir
dari aspek ini.
Berikutnya, KH. Ali Yafie dan Dr. Armahaedi Mahzar (Indonesia), Abdul Aziz
Sachedina dan Imam Mohamad Mardani (AS) juga mengharamkan, dengan alasan mengandung
ancaman bagi kemanusiaan, meruntuhkan institusi perkawinan atau mengakibatkan hancurnya
lembaga keluarga, merosotnya nilai manusia, menantang Tuhan, dengan bermain tuhan-tuhanan,
kehancuran moral, budaya dan hukum.
Selanjutnya pernyataan yang senada juga dikemukakan oleh M. Kuswandi, staf pengajar
Fakultas Farmasi UGM Yogyakarta yang  berpendapat bahwa teknik kloning diharamkan,
dengan argumentasi: menghancurkan institusi pernikahan yang mulia (misal: tumbuh suburnya
lesbian, tidak perlu laki-laki untuk memproduksi anak), juga akan menghancurkan manusia
sendiri (dari sudut evolusi, makhluk yang sesuai dengan environment-nya yang dapat hidup).
Sedangkan ulama yang membolehkan melakukan kloning mengemukakan alasan sebagai
berikut:
a.       Dalam Islam, kita selalu diajarkan untuk menggunakan akal dalam memahami agama.
b.      Islam menganjurkan agar kita menuntut ilmu (dalam hadits dinyatakan bahkan sampai ke negri
Cina sekalipun).
c.       Islam menyampaikan bahwa Allah selalu mengajari dengan ilmu yang belum ia ketahui (lihat
QS. 96/al-’Alaq).
d.      Allah menyatakan, bahwa manusia tidak akan menguasai ilmu tanpa seizin Allah (lihat ayat
Kursi pada QS. 2/al-Baqarah: 255).
Dengan landasan yang demikian itu, seharusnya kita menyadari bahwa penemuan
teknologi bayi tabung, rekayasa genetika, dan kemudian kloning adalah juga bagian dari takdir
(kehendak) Ilahi, dan dikuasai manusia dengan seizin-Nya. Penolakan terhadap kemajuan
teknologi itu justru bertentangan dengan prinsip-prinsip yang diajarkan dalam Islam.
Ada juga di kalangan umat Islam yang tidak terburu-buru mengharamkan ataupun
membolehkan, namun dilihat dahulu sisi-sisi kemanfaatan dan kemudharatan di dalamnya.
Argumentasi yang dikemukakan sebagai berikut:
Perbedaan pendapat di kalangan ulama dan para ilmuan sebenarnya masih
bersifat tentative, bahwa argumen para ulama/ilmuan yang menolak aplikasi kloning pada
manusia hanya melihatnya dari satu sisi, yakni sisi implikasi praktis atau sisi applied science dari
teknik kloning. Wilayah applied science yang mempunyai implikasi sosial praktis sudah barang
tentu mempunyai logika tersendiri. Mereka kurang menyentuh sisi pure science (ilmu-ilmu
dasar) dari teknik kloning, yang bisa berjalan terus di laboratorium baik ada larangan maupun
tidak. Wilayah pure science juga punya dasar pemikiran dan logika tersendiri pula.
Dalam mencari batas “keseimbangan” antara kemajuan IPTEK dan Doktrin Agama,
pertanyaan yang dapat diajukan adalah sejauh mana para ilmuan, budayawan dan agamawan
dapat berlaku adil dalam melihat kedua fenomena yang berbeda misi dan orientasi tersebut?
Menekankan satu sisi dengan melupakan atau menganggap tidak adanya sisi yang lain, cepat
atau lambat, akan membuat orang “tertipu” dan “kecewa”. Dari situ barangkali perlu dipikirkan
format kajian dan telaah yang lebih seimbang, arif, hati-hati untuk menyikapi dan memahami
kedua sisi tersebut sekaligus. Sudah tidak zamannya sekarang, jika seseorang ingin menelaah
persoalan kloning secara utuh, tetapi tidak memperhatikan kedua sisi tersebut secara sekaligus.
Selanjutnya, ada pula agamawan sekaligus ilmuan menyatakan bahwa tujuan agama
menurut penuturan Imam al-Syatibi yang bersifat dharuri ada lima, yaitu memelihara agama,
jiwa, akal, keturunan, dan harta. Oleh karena itulah maka kloning itu kita uji dari sesuai atau
tidaknya dengan tujuan agama. Bila sesuai, maka tidak ada keberatannya kloning itu kita restui,
tetapi bila bertentangan dengan tujuan-tujuan syara’ tentulah kita cegah agar tidak menimbulkan
bencana. Kesimpulan yang diberikan klonasi ovum manusia itu tidak sejalan dengan tujuan
agama, memelihara jiwa, akal, keturunan maupun harta, dan di beberapa aspek terlihat
pertentangannya.
Kemudian dalm musyawarah nasional VI MUI yang diselenggarakan pada tanggal 23-27
Rabi’ul Akhir 1421H/ 25-29 Juli 2000 M yang membahas tentang cloning menetapkan bahwa
cloning manusia memberikan manfaat dan madharat yaitu:
1.      Cloning manusia dapat membawa manfaat antara lain : rekayasa genetik lebih efisien dan
manusia tidak perlu khawatir akan kekurangan organ tubuh pengganti yang diperoleh melalui
donor , dengan cloning ia tidak lagi kekurangan ginjal, hati, jantung, darah dan sebagainya
karena ia akan mendapatkannya dari manusia hasil teknologi cloning.
2.      Cloning manusia juga mendatangkan mafsadat (dampak negative ) yang tidak sedikit yaitu :
a.       Menghilangkan nasab anak hasil koning yang berakibat hilangnya hak anak dan terabaikannya
sejumlah hukum yang timbul dari nasab.
b.      Institusi perkawinan yang telah disyari’atkan sebagai media berketurunan secara sah menjdi
tidak diperlukan lagi, karena proses reproduksi dapat dilakukan tanpa melakukan hubungan
seksual.
c.       Lembaga keluarga (yang dibangun melalui pernikahan ) akan menjadi hancur dan pada
gilirannya akan terjadi pula kehancurn moral, budaya, hokum, dan syariah islam lainnya.
d.      Tidak akan lagi ada rasa saling mencintai dan saling memerlukan antara laki-laki dan
perempuan.
e.       Hilangnya maqashid syariah dari perkawinan baik maqashid awwaliyah (utama ) maupun
maqashid tabi’ah (sekunder ).
Dengan melihat pada hal tersebut maka MUI memutuskan cloning terhadap manusia
dengan cara bagaimanapun yang berakibat pada pelipatgandaan manusia hukumnya adalah
haram.
  
IV. PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari pemaparan yang telah disampaikan oleh pemakalah maka dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut :
1.      Khilafiyyah yaitu masalah-masalah fiqh yang diperselisihkan, dipertentangkan, diperdebatkan
status hukumnya.
2.      Faktor terjadinya khilafiyah yakni : perbedaan mengenai sahih dan tidaknya nash, perbedaan
dalam memahami nash, perbedaan dalam menggabungkan dan mengunggulkan nash-nash yang
saling bertentangan, perbedaan dalam kaidah-kaidah ushul sebagai sumber istinbath, perbedaan
dalam perbendaharaan hadist, perselisihan tentang illah dari suatu hukum.
3.      Kloning adalah teknik penggandaan gen yang menghasilkan keturunan yang sama. Sehingga
dalam kasus yang kita jumpai sekarang ini pengkloningan manusia masih menjadi perdebatan
hokum di kalangan para ahli.

B.     Penutup
       Demikianlah makalah yang dapat kami buat. semoga makalah ini dapat bermanfaat kepada
pembaca khususnya pemakalah, untuk itu kami minta maaf jika dalam penulisan makalah
ataupun penyampaian makalah  terdapat kesalahan, karena kita sama-sama dalam proses belajar.
kesempurnaan hanyalah milik Allah. Kritik dan saran akan kami tunggu untuk memperbaiki
makalah kami.

Anda mungkin juga menyukai