Anda di halaman 1dari 11

KEWARISAN PATAH TITI

PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

DOSEN PENGAJAR:
Prof. Dr. Syahrizal Abbas, M.A.

Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Islam

Oleh: Kelompok III


Susiyanti 2303201010046

Irham 2303201010049

Ruhul Fata 2303201010051

Lita Anggraini 2303201010052

Fadhel Adyaksa P. 2303201010054

Yulis Haryati 2303201010055

Cut Mira Novita 2303201010057

Handika Ramadhan 2303201010058

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVRSITAS SYIAH KUALA
BANDA ACEH
2024
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Dalam teori Kompilasi Hukum Islam mengatur bahwa bagian ahli waris seorang
cucu yang ayahnya meninggal dunia tetap mendapat harta warisan. Namun dalam praktek
masyarakat Aceh, bagian ahli waris seorang cucu yang ayahnya meninggal dunia diatur
dengan ditetapkan bahwa cucu terhalang mendapatkan warisan dan karenanya cucu tidak
mendapat warisan, praktek ini dikenal dengan istilah Patah Titi.1
Istilah patah titi ini sudah dikenal lama oleh masyarakat Aceh sendiri. Meskipun
sudah ada peraturan yang mengatur tentang ahli waris pengganti atau warisan patah titi
tersebut, akan tetapi masyarakat belum sepenuhnya melaksanakannya, seperti halnya yang
diungkapkan oleh Pimpinan Dayah Daruzzahidin bapak Tgk. H. Abdul Razak di
Kecamatan Kuta Baro, Kabupaten Aceh Besar. Sebagian dari masyarakat tersebut masih
memegang fiqih klasik dimana menjelaskan tidak ada satu mazhabpun yang mengatakan
bahwa anak mendapatkan warisan ayahnya yang dimana ayah tersebut telah meninggal
duluan dari si pewaris.2
Dalam tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur karangan Teungku Muhammad Hasbi
Ash-Shiddieqy, menjelaskan bahwa apabila anak-anak yatim itu memiliki harta yang
ditinggalkan oleh ibu bapaknya atau oleh para kerabatnya, maka anak-anak itu sama-sama
memperoleh harta warisan baik lelaki atau perempuan, sesuai dengan kadar yang telah
ditetapkan, baik harta itu sedikit maupun banyak.3 Dilihat dari tafsir di atas maka dapat
disimpulkan bahwa anak dari orang tua yang meninggal duluan sebelum ahli waris (kakek-
nenek) meninggal mendapatkan harta warisan orang tuanya.
Dalam kewarisan islam, harta yang ditinggalkan oleh seorang pewaris memiliki
hubungan erat dengan orang yang menjadi ahli waris, hubungan ini terwujud dalam bentuk
penentuan ahli waris dan pendistribusian harta warisan kepada ahli waris dimaksudkan
dalam rangka perwujudan tanggung jawab bagi keberlangsungan hidup ahli waris.
Kematian pewaris tidak boleh menyebabkan hilangnya jaminan dan keselamatan hidup ahli
waris.4

1
https://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/usrah/index Vol. 3 No.2 Juli-Desember 2020 hal. 211
2
Ibid
3
Ibid
4
Phil. H.M. Nur Kholis Setiawan, Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia,
Cet. 1 (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2012) hal. 235

1
Pada masyarakat Aceh istilah patah titi telah menjadi hal negatif bagi anak yang
orang tuanya telah dahulu meninggal dunia dari si pewaris (kakek). Ada ungkapan-
ungkapan yang telah menjadi biasa pada kalangan masyarakat Aceh tersendiri.
Diantaranya sebagai berikut:
• “Kamu tidak ada hak lagi, karena sudah patah titi”. Maksudnya adalah, seorang
paman mengatakan kepada seorang keponakannya bahwa ia tidak mendapatkan
hak kewarisan apapun dari harta yang ditinggalkan oleh orang pamanya (kakek
dari keponakannya sendiri), sebab orang tua (saudara paman) keponakan itu
sudah terlebih dulu meninggal dari kakeknya.
• “Kita tidak ada hubungan lagi, karena kita sudah patah titi”. ungkapan seperti
itu biasa diucapkan oleh seorang keponakan kepada pamanya, namun bukan
dimaksudkan bukan sekedar tidak ada hubungan kekerabatan dengan pamanya,
hal itu terjadi lantaran ia tidak mendapatkan hak kewarisan apapun dari harta
kakeknya dengan sebab orang tuanya lebih dahulu meninggal dari kakeknya.
• “Kamu tidak bisa menuntut hak kewarisan, karena kamu sudah patah titi”.
Maksudnya ialah bahwa seorang cucu tidak boleh menuntut hak kewarisan
kakeknya, sebab orang tuanya lebih dahulu meninggal dari kekeknya,
sedangkan orang tuanya ada saudara laki-laki yang masih hidup.5
Status ahli waris pengganti ini termasuk dalam hijab hirman yaitu penghalang
yang menggugurkan seluruh hak waris seseorang. Termasuk dalam hijab hirman adalah
status cucu-cucu yang ayahnya terlebih dahulu meninggal dari pada kakek yang bakal
diwarisi bersama-sama dengan saudara-saudara ayah Dimana dalam bahasa aceh disebut
dengan patah titi, sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai pegangan
hakim Peradilan Agama dalam bidang kewarisan disebut dengan ahli waris pengganti.
Menurut ketentuan para fuqaha, mereka tidak mendapat apa apa lantaran dihijab oleh
saudara ayah.6 Dari pendapat fiqih klasik inilah yang mendasari sebagian masyarakat
bahwa cucu yang meninggal ayahnya terlebih dahulu sebelum pewaris tidak berhak
mendapat harta warisan.
Keberadaan ahli waris pengganti ini terdapat dua pandangan, jika dilihat dari fiqh

5
Achyar Gamal, Nilai Adil Dalam Pembagian Warisan menurut Hukum Islam (Banda Aceh: Awsat,
2018) hal. 15
6
Muhammad Iqbal, Hijab Dalam Kewarisan Perspektif al-Qur’an dan al-Hadits (Analisis Terhadap
Perbedaan Fiqh as-Sunnah dan KHI) , Juni 2018, dalam Jurnal At-Tafkir, Volume XI, Nomor 1, hal. 150

2
mawaris hak warisan orang yang telah meninggal tidak diberikan lagi kepada
keturunanya karena dia telah meninggal duluan sebelum harta warisan dibagikan.
Sedangkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) membolehkan dibagikannya ahli waris yang
telah meninggal kepada keturunannya sebagaimana diatur dalam pasal 185 KHI.7
Dalam hal ini Indonesia sendiri membolehkan bahwa harta warisan peninggalan
kakek dapat diberikan kepada cucu dari sibapak yang telah meninggal duluan dari
pewaris (kakek). Hal ini dikarenakan terdapat kemaslahatan kepada cucu tersebut
dikarenakan apabila suatu saat ayah meninggal dan tidak ada harta maka harta si kakek
terdapat didalamnya hak si cucu. Dengan demikian cucu tersebut tidak akan melarat
hidupnya sepeninggal si bapak/ayahnya.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pembagian warisan dalam perspektif hukum Islam ?
2. Bagaimana pendapat para ulama mengenai patah titi/pergantian tempat ahli
waris menurut hukum Islam ?

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk menjelaskan dan menganalisis konsep pembagian warisan dalam
perspektif hukum Islam.
2. Untuk menjelaskan dan menganalisis konsep patah titi/pergantian tempat ahli
waris menurut hukum Islam.

7
Pasal 185 KHI yang berbunyi; 1) Ahli waris yang meninggal dunia lebih dahulu daripada si pewaris,
maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173. 2) Bagian
ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Dasar Hukum Kewarisan menurut Al-Quran dan Hadist


1. Menurut Al- Quran
Warisan adalah perintah oleh Allah Swt yang harus dilaksanakan oleh seluruh
manusia. Sebagaimana Firman Allah SWT dalam surat An- Nisa ayat 7:
ِّ َ‫َصيبٌ ِّم َّما ت ََركَ ٱ ْل َٰ َو ِّلد‬
‫ان َوٱ ْْل َ ْق َربُونَ مِّ َّما قَ َّل مِّ ْنهُ أَ ْو‬ ِّ َ‫َصيبٌ ِّم َّما ت ََركَ ٱ ْل َٰ َو ِّلد‬
َ ِّ‫ان َوٱ ْْل َ ْق َربُونَ َولِّلن‬
ِّ ‫سآءِّ ن‬ ِّ ‫ِّلر َجا ِّل ن‬
ِّ ‫ل‬
ِّ ‫َكث ُ َر ۚ ن‬
‫َصيبًا َّم ْف ُروضًا‬
Artinya ”Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan
kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-
bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah
ditetapkan”. (Q.S An-Nisa : 7)

Firman Allah SWT dalam surat An- Nisa ayat 9 :


۟ ُ‫ّلل َو ْليَقُول‬
َ ‫وا قَ ْو ًًل‬
‫سدِّيدًا‬ ۟ ُ‫علَ ْي ِّه ْم فَ ْليَتَّق‬
َ َّ ‫وا ٱ‬ ۟ ُ‫ض َٰعَفًا خَاف‬
َ ‫وا‬ ۟ ‫ش ٱلَّذِّينَ لَ ْو ت ََر ُك‬
ِّ ً‫وا مِّ ْن خ َْل ِّف ِّه ْم ذُ ِّريَّة‬ َ ‫َو ْليَ ْخ‬
Artinya : “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya
meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir
terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada
Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”. (Q.S An-Nisa : 9)

Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak


kepemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa siapa yang berhak
menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.8 Dari pengertian ini dapatlah
diketahui bahwa substansi dari hukum kewarisan termasuk kewarisan Islam ialah
pengaturan tentang peralihan hak milik dari si mayit (pewaris) kepada ahli warisnya.9
Firman Allah SWT dalam surat Ali-Imran ayat 180 :
۟ ُ‫ط َّوقُونَ َما بَخِّ ل‬
‫وا ِّب ِّهۦ‬ َ ۖ ‫ض ِّل ِّۦه ه َُو َخي ًْرا لَّ ُهم ۖ بَ ْل ه َُو ش ٌَّر لَّ ُه ْم‬
َ ُ‫سي‬ ْ َ‫سبَ َّن ٱلَّذِّينَ يَ ْب َخلُونَ ِّب َما ٓ َءات َ َٰى ُه ُم ٱ َّّللُ مِّ ن ف‬
َ ‫َو ًَل يَ ْح‬
‫ير‬ ِّ ‫ت َوٱ ْْل َ ْر‬
ٌ ‫ض ۗ َوٱ َّّللُ ِّب َما ت َ ْع َملُونَ َخ ِّب‬ ِّ ‫س َٰ َم َٰ َو‬ ُ ‫ير‬
َّ ‫ث ٱل‬ ِّ َّ ِّ ‫َي ْو َم ٱ ْل ِّق َٰ َي َم ِّة ۗ َو‬
َ َٰ ِّ‫ّلل م‬
Artinya :” Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah
berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi
mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka
bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-
lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang
kamu kerjakan”. (Q.S Ali -Imran:180)

8
Buku II Pasal 17 Huruf a Kompilasi Hukum Islam
9
Muhammad Amin Suma, Keadilan Hukum Waris Islam Dalam Pendekatan Teks dan Konteks, Cet. 1
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013) hal.17

4
Firman Allah SWT dalam Surat An-Nisa’ ayat 33:
‫علَ َٰى ُك ِّل‬ ِّ ‫ت أَ ْي َٰ َمنُ ُك ْم فَـَٔاتُوهُ ْم ن‬
َ َّ ‫َصيبَ ُه ْم ۚ إِّ َّن ٱ‬
َ َ‫ّلل َكان‬ ْ َ‫عقَد‬ ِّ َ‫ِّى مِّ َّما ت ََركَ ٱ ْل َٰ َو ِّلد‬
َ َ‫ان َوٱ ْْل َ ْق َربُونَ ۚ َوٱلَّذِّين‬ َ ‫َو ِّل ُك ٍّل َجعَ ْلنَا َم َٰ َول‬
‫ش ِّهيدًا‬
َ ٍّ‫ش ْىء‬
َ
Artinya :” Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan
karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya. Dan (jika ada) orang-orang yang
kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bahagiannya.
Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu. (Q.S An-Nisa: 33)

2. Menurut Hadist

1) Hadis riwayat Muttafaq‘alaih:

Artinya: “Nabi SAW. Bersabda: “Berikanlah bagian-bagian tertentu kepada orang-orang


yang berhak. Dan sisanya untuk orang laki-laki yang lebih utama (dekat kekerabatannya).”
(al-Bukhari dan Muslim).

2) Dalam riwayat al-Bukhari dan Muslim:

Artinya:“Orang Islam tidak berhak mewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak berhak
mewarisi orang Islam”. (Muttafaq,alaih).

3) Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Sa‟ad Ibn Abi Waqqash: ِّ

Artinya:“Rasulullah SAW datang menjengukku pada tahun haji wada‟ di waktu aku
menderita sakit keras. Lalu aku bertaya kepada beliau: “Wahai Rasulullah SAW aku
sedang menderita sakit keras, bagaimana pendapatmu? Aku ini orang berada, sementara

5
tidak ada orang yang akan mewarisi aku kecuali seorang anak perempuan, apakah aku
sedekah (wasiat)kan dua pertiga hartaku? “Jangan”, jawab Rasulullah. Aku bertanya:
“Separuh?”. “Jangan”, jawab Rasul. “Sepertiga?”, Tanya Sa‟ad. Rasul menjawab:
“Sepertiga, sepertiga adalah banyak atau besar, sungguh kamu jika meninggalkan ahli
warismu dalam keadaan kecukupan adalah lebih baik daripada meninggalkan mereka
dalam keadaan miskin yang meminta-minta kepada orang banyak” (Muttafaq „alaih).

B. Pendapat Para Ulama


1. Zaid Bin Tsabit
Dalam merumus hak cucu sebagai ahli waris pengganti dari ayahnya. Zaid
Bin Tsabit menyatakan bahwa:
“cucu, laki-laki dan perempuan, dari anak laki-laki yang masih hidup. Cucu
laki-laki seperti anak laki-laki, cucu perempuan seperti anak perempuan,
mereka mewaris dan menghijab seperti anak, dan tidak mewaris cucu
bersama-sama dengan anak laki-laki”
Dari riwayat tersebut dapat dinyatakan bahwa hanya cucu laki-laki dan
perempuan keturunan laki-laki saja berhak mendapat harta warisan, dengan syarat
tidak ada anak pewaris laki-laki yang masih hidup. Adapun cucu laki-laki dan
perempuan serta keturunan perempuan belum dijelaskan bagiannya. Hal ini
merupakan terobosan yang dilkukan oleh Zaid Bin Tsabit untuk menyelesaikan
persoalan kewarisan cucu dalam rangka mencari kemaslahatan bagi para ahli waris
yang ditinggalkan.

2. Hazairin
Hazairin menyampaikan hak kewarisan cucu ketika orang tuanya lebih dahulu
meninggal dunia dari kakek/neneknya (pewaris) sehingga dikenal dengan ahli waris
pengganti. Menurut Hazairin Hukum Kewarisan Islam menganut sistem kewarisan
bilateral yang didasarkan dari penafsiran terhadap Al-qur’an surat an-nisa ayat 11:

ََ‫س ۤاءَََفَ ْوق‬ ْ ‫َََمثْ ُلَََ َح ِظ‬


َ ‫َََاْلُ ْنث َ َيي ِْنَََََفَا ِْنَََ ُكنَََ ِن‬ ِ ‫َََّللاَََُ ِف ْيَََا َ ْو َْل ِد ُك ْمَََ ِللذ َك ِر‬
ٰ ‫ص ْي ُك ُم‬
ِ ‫َي ُْو‬
َ‫ََۗو ِْلَ َب َو ْي ِه‬
َ َ‫ف‬ َُ ‫ص‬ ِ ‫اح َدةَََفَلَ َه‬
ْ ‫اََالن‬ ِ ‫َََو‬ْ ‫ََوا ِْنَََ َكان‬
َ ‫َت‬ ِ ‫َاثْنَت َ ْي‬
َ ََ‫َنَََفَلَ ُهنَََثُلُثَاََ َماََت ََر َك‬
‫َََولَ َد‬
َ ‫َََولَدََََفَا ِْنَََل ْمَََ َي ُك ْنَََله‬
َ ‫َََمماََت ََر َكَََا ِْنَََ َكانََََلَه‬
ِ ‫ُس‬ ُّ ‫َََم ْن ُه َماََال‬
ُ ‫سد‬ ِ ‫احد‬ َ ‫َ ِل ُك ِل‬
ِ ‫َََو‬
‫َََم ْنَََ َب ْع َِد‬
ِ ‫ُس‬ ُ ‫سد‬ ُّ ‫ثََََفَا ِْنَََ َكانََََلَهَََا ِْخ َوةَََفَ ِِلُ ِم ِهَََال‬ ُ ُ‫َو َو ِرثَهَََا َ َب ٰوهَََُفَ ِِلُ ِم ِهَََالثُّل‬
‫بَََلَ ُك َْم‬ َ ‫َََوا َ ْبن َۤا ُؤ ُك ْم‬
ُ ‫َََْلَََت َ ْد ُر ْونََََاَيُّ ُه ْمَََا َ ْق َر‬ َ ‫ََۗا َب ۤا ُؤ ُك ْم‬
ٰ ََ‫ص ْيَََ ِب َهاَََا َ ْوَََ َديْن‬
ِ ‫صيةَََي ُّْو‬ ِ ‫َو‬
َ
َ َََ‫ََّللاََ َكان‬
َ‫ع ِليْماَ َح ِكيْما‬ َِٰ ‫ََم‬
َ ٰ ‫نَََّللاََۗاِن‬ َ ‫نَ ْفعاََۗفَ ِر ْي‬
ِ ‫ضة‬
6
Artinya: Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-
anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak laki-laki sama dengan bahagian dua orang
anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi
mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang
saja, maka ia memperoleh separuh harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi
masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal
tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh ibu bapaknya (saja), maka ibunya
mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka
ibunya mendapat seperenam. Pembagian tersebut diatas sesudah dipenuhi wasiat
yang ia buat atau sesudah dibayar hutangnya. (tentang) orang tuamu dan anak-
anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak)
manfaat bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesunggunya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana (Q.S. An-Nisa:11).

Ayat tersebut menunjukkan bahwa anak laki-laki dan perempuan mewarisi dari
bapak dan ibu mereka. Adapun ayah dan ibu mewarisi dari anak laki-laki maupun
anak perempuan mereka. Hal ini menunjukkan bahwa hak mewaris bagi laki-laki
dan perempuan sama, dalam arti baik laki-laki maupun perempuan dapat mewarisi
tanpa melihat apakah yang diwarisi itu laki-laki maupun perempuan.10

3. Sayuti Thalib
Menjelaskan tentang mawali sebagai ahli waris pengganti, menarik 4 (empat)
garis hukum, yaitu:
a. Dan bagi setiap orang, kami (Allah SWT) telah menjadikan mawali (ahli waris
pengganti) untuk mewarisi harta peninggalan ibu bapaknya (yang tadinya akan
mewarisi harta peninggalan itu),
b. Dan bagi setiap orang, kami (Allah SWT) telah menjadikan mawali untuk
mewarisi harta peninggalan aqrabunnya (yang tadinya akan mewarisi harta
peninggalan itu),
c. Menjadikan mawali untuk mewarisi harta peningalan dalam perjanjiannya,
d. Maka berikanlah kepada mereka warisan mereka.11

C. Analisis Pemakalah
Sejatinya persoalan mengenai Ahli Waris Pengganti atau patah titi di indonesia
dapat dikaji melalui KHI ataupun dari KUH Perdata. Namun dalam hal ini pemakalah
melakukan analis mengenai status “patah titi” melalui hukum islam.
Dapat dipahami bahwa pada dasarnya ahli waris pengganti ialah ahli waris karena
penggantian, yaitu mereka yang menjadi ahli waris karena orangtuanya yang berhak

10
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral menurut Al-Qur’an, Tintamas, Jakarta, 1982.
11
Sayuti Thalib, Hukum kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta, 1982

7
mendapat warisan meninggal lebih dahulu daripada pewaris, sehingga kedudukan
orangtuanya digantikan olehnya. Dalam ketentuan Al-qur’an dan Hadist memang tidak
diatur secara rinci terkait dengan ahli waris pengganti, sehingga terjadi perbedaan pendapat
dikalangan ulama terkait dengan kedudukan cucu sebagai ahli waris pengganti. Dalam
sejarah, diskursus mengenai ahli waris pengganti telah ada sejak zaman para sahabat,
meskipun pada saat itu tidak disebutkan dengan istilah ahli waris pengganti.
Jika merujuk pada beberapa dalil dan pendapat ulama yang pemakalah gunakan
dalam bab pembahasan, pemakalah dalam hal berkeyakinan bahwa patah titi merupakan
suatu sistem hukum adat yang bertentangan dengan sisi keadilan terhadap cucu yang tidak
mendapatkan harta waris dari kakeknya, sebagaimana yang tercantum di dalam Pasal 185
Kompilasi Hukum Islam dan menganggap cucu menjadi ahli waris ketika ayahnya
meninggal dunia menggantikan kedudukan ayahnya sebagai ahli waris untuk dapat
menerima bagian harta yang seharusnya akan didapatkan oleh orang tuanya.
Dalam hal ini, pemakalah tidak menutup mata atas pemahaman yang
berkembang dalam sebagian masyarakat yang menolak waris pengganti ini karena
dianggap bertentangan dengan Al-quran dan Hadist dimana gugurnya satu syarat waris
yaitu hidupnya ahli waris. Kendati demikian, pemakalah merujuk lagi kepada
kemashlahatan si cucu untuk menjamin kehidupannya dengan baik.

8
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
1. Dalam surah An-Nisa ayat 33 menjelaskan Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari
harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-
pewarisnya. Dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan
mereka, maka berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah
menyaksikan segala sesuatu.
2. Menurut Zaid Bin Tsabit hanya cucu laki-laki dan perempuan keturunan laki-laki
saja berhak mendapat harta warisan, dengan syarat tidak ada anak pewaris laki-laki
yang masih hidup.
3. Menurut Hazairin menunjukkan bahwa hak mewaris bagi laki-laki dan perempuan
sama, dalam arti baik laki-laki maupun perempuan dapat mewarisi tanpa melihat
apakan yang diwarisi itu laki-laki maupun perempuan.

9
DAFTAR PUSTAKA

https://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/usrah/index Vol. 3 No.2 Juli-Desember 2020


hal. 211
Phil. H.M. Nur Kholis Setiawan, Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer
di Indonesia, Cet. 1 (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2012) hal. 235
Achyar Gamal, Nilai Adil Dalam Pembagian Warisan menurut Hukum Islam (Banda
Aceh: Awsat, 2018) hal. 15
Muhammad Iqbal, Hijab Dalam Kewarisan Perspektif al-Qur’an dan al-Hadits
(Analisis Terhadap Perbedaan Fiqh as-Sunnah dan KHI) , Juni 2018, dalam Jurnal At-Tafkir,
Volume XI, Nomor 1, hal. 150
Pasal 185 KHI yang berbunyi; 1) Ahli waris yang meninggal dunia lebih dahulu
daripada si pewaris, maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang
tersebut dalam pasal 173. 2) Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli
waris yang sederajat dengan yang diganti.
Buku II Pasal 17 Huruf a Kompilasi Hukum Islam
Muhammad Amin Suma, Keadilan Hukum Waris Islam Dalam Pendekatan Teks dan
Konteks, Cet. 1 (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013) hal.17
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral menurut Al-Qur’an, Tintamas, Jakarta, 1982.
Sayuti Thalib, Hukum kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta, 1982

10

Anda mungkin juga menyukai