DOSEN PENGAJAR:
Prof. Dr. Syahrizal Abbas, M.A.
Irham 2303201010049
1
https://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/usrah/index Vol. 3 No.2 Juli-Desember 2020 hal. 211
2
Ibid
3
Ibid
4
Phil. H.M. Nur Kholis Setiawan, Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia,
Cet. 1 (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2012) hal. 235
1
Pada masyarakat Aceh istilah patah titi telah menjadi hal negatif bagi anak yang
orang tuanya telah dahulu meninggal dunia dari si pewaris (kakek). Ada ungkapan-
ungkapan yang telah menjadi biasa pada kalangan masyarakat Aceh tersendiri.
Diantaranya sebagai berikut:
• “Kamu tidak ada hak lagi, karena sudah patah titi”. Maksudnya adalah, seorang
paman mengatakan kepada seorang keponakannya bahwa ia tidak mendapatkan
hak kewarisan apapun dari harta yang ditinggalkan oleh orang pamanya (kakek
dari keponakannya sendiri), sebab orang tua (saudara paman) keponakan itu
sudah terlebih dulu meninggal dari kakeknya.
• “Kita tidak ada hubungan lagi, karena kita sudah patah titi”. ungkapan seperti
itu biasa diucapkan oleh seorang keponakan kepada pamanya, namun bukan
dimaksudkan bukan sekedar tidak ada hubungan kekerabatan dengan pamanya,
hal itu terjadi lantaran ia tidak mendapatkan hak kewarisan apapun dari harta
kakeknya dengan sebab orang tuanya lebih dahulu meninggal dari kakeknya.
• “Kamu tidak bisa menuntut hak kewarisan, karena kamu sudah patah titi”.
Maksudnya ialah bahwa seorang cucu tidak boleh menuntut hak kewarisan
kakeknya, sebab orang tuanya lebih dahulu meninggal dari kekeknya,
sedangkan orang tuanya ada saudara laki-laki yang masih hidup.5
Status ahli waris pengganti ini termasuk dalam hijab hirman yaitu penghalang
yang menggugurkan seluruh hak waris seseorang. Termasuk dalam hijab hirman adalah
status cucu-cucu yang ayahnya terlebih dahulu meninggal dari pada kakek yang bakal
diwarisi bersama-sama dengan saudara-saudara ayah Dimana dalam bahasa aceh disebut
dengan patah titi, sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai pegangan
hakim Peradilan Agama dalam bidang kewarisan disebut dengan ahli waris pengganti.
Menurut ketentuan para fuqaha, mereka tidak mendapat apa apa lantaran dihijab oleh
saudara ayah.6 Dari pendapat fiqih klasik inilah yang mendasari sebagian masyarakat
bahwa cucu yang meninggal ayahnya terlebih dahulu sebelum pewaris tidak berhak
mendapat harta warisan.
Keberadaan ahli waris pengganti ini terdapat dua pandangan, jika dilihat dari fiqh
5
Achyar Gamal, Nilai Adil Dalam Pembagian Warisan menurut Hukum Islam (Banda Aceh: Awsat,
2018) hal. 15
6
Muhammad Iqbal, Hijab Dalam Kewarisan Perspektif al-Qur’an dan al-Hadits (Analisis Terhadap
Perbedaan Fiqh as-Sunnah dan KHI) , Juni 2018, dalam Jurnal At-Tafkir, Volume XI, Nomor 1, hal. 150
2
mawaris hak warisan orang yang telah meninggal tidak diberikan lagi kepada
keturunanya karena dia telah meninggal duluan sebelum harta warisan dibagikan.
Sedangkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) membolehkan dibagikannya ahli waris yang
telah meninggal kepada keturunannya sebagaimana diatur dalam pasal 185 KHI.7
Dalam hal ini Indonesia sendiri membolehkan bahwa harta warisan peninggalan
kakek dapat diberikan kepada cucu dari sibapak yang telah meninggal duluan dari
pewaris (kakek). Hal ini dikarenakan terdapat kemaslahatan kepada cucu tersebut
dikarenakan apabila suatu saat ayah meninggal dan tidak ada harta maka harta si kakek
terdapat didalamnya hak si cucu. Dengan demikian cucu tersebut tidak akan melarat
hidupnya sepeninggal si bapak/ayahnya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pembagian warisan dalam perspektif hukum Islam ?
2. Bagaimana pendapat para ulama mengenai patah titi/pergantian tempat ahli
waris menurut hukum Islam ?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk menjelaskan dan menganalisis konsep pembagian warisan dalam
perspektif hukum Islam.
2. Untuk menjelaskan dan menganalisis konsep patah titi/pergantian tempat ahli
waris menurut hukum Islam.
7
Pasal 185 KHI yang berbunyi; 1) Ahli waris yang meninggal dunia lebih dahulu daripada si pewaris,
maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173. 2) Bagian
ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.
3
BAB II
PEMBAHASAN
8
Buku II Pasal 17 Huruf a Kompilasi Hukum Islam
9
Muhammad Amin Suma, Keadilan Hukum Waris Islam Dalam Pendekatan Teks dan Konteks, Cet. 1
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013) hal.17
4
Firman Allah SWT dalam Surat An-Nisa’ ayat 33:
علَ َٰى ُك ِّل ِّ ت أَ ْي َٰ َمنُ ُك ْم فَـَٔاتُوهُ ْم ن
َ َّ َصيبَ ُه ْم ۚ إِّ َّن ٱ
َ َّلل َكان ْ َعقَد ِّ َِّى مِّ َّما ت ََركَ ٱ ْل َٰ َو ِّلد
َ َان َوٱ ْْل َ ْق َربُونَ ۚ َوٱلَّذِّين َ َو ِّل ُك ٍّل َجعَ ْلنَا َم َٰ َول
ش ِّهيدًا
َ ٍّش ْىء
َ
Artinya :” Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan
karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya. Dan (jika ada) orang-orang yang
kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bahagiannya.
Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu. (Q.S An-Nisa: 33)
2. Menurut Hadist
Artinya:“Orang Islam tidak berhak mewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak berhak
mewarisi orang Islam”. (Muttafaq,alaih).
Artinya:“Rasulullah SAW datang menjengukku pada tahun haji wada‟ di waktu aku
menderita sakit keras. Lalu aku bertaya kepada beliau: “Wahai Rasulullah SAW aku
sedang menderita sakit keras, bagaimana pendapatmu? Aku ini orang berada, sementara
5
tidak ada orang yang akan mewarisi aku kecuali seorang anak perempuan, apakah aku
sedekah (wasiat)kan dua pertiga hartaku? “Jangan”, jawab Rasulullah. Aku bertanya:
“Separuh?”. “Jangan”, jawab Rasul. “Sepertiga?”, Tanya Sa‟ad. Rasul menjawab:
“Sepertiga, sepertiga adalah banyak atau besar, sungguh kamu jika meninggalkan ahli
warismu dalam keadaan kecukupan adalah lebih baik daripada meninggalkan mereka
dalam keadaan miskin yang meminta-minta kepada orang banyak” (Muttafaq „alaih).
2. Hazairin
Hazairin menyampaikan hak kewarisan cucu ketika orang tuanya lebih dahulu
meninggal dunia dari kakek/neneknya (pewaris) sehingga dikenal dengan ahli waris
pengganti. Menurut Hazairin Hukum Kewarisan Islam menganut sistem kewarisan
bilateral yang didasarkan dari penafsiran terhadap Al-qur’an surat an-nisa ayat 11:
Ayat tersebut menunjukkan bahwa anak laki-laki dan perempuan mewarisi dari
bapak dan ibu mereka. Adapun ayah dan ibu mewarisi dari anak laki-laki maupun
anak perempuan mereka. Hal ini menunjukkan bahwa hak mewaris bagi laki-laki
dan perempuan sama, dalam arti baik laki-laki maupun perempuan dapat mewarisi
tanpa melihat apakah yang diwarisi itu laki-laki maupun perempuan.10
3. Sayuti Thalib
Menjelaskan tentang mawali sebagai ahli waris pengganti, menarik 4 (empat)
garis hukum, yaitu:
a. Dan bagi setiap orang, kami (Allah SWT) telah menjadikan mawali (ahli waris
pengganti) untuk mewarisi harta peninggalan ibu bapaknya (yang tadinya akan
mewarisi harta peninggalan itu),
b. Dan bagi setiap orang, kami (Allah SWT) telah menjadikan mawali untuk
mewarisi harta peninggalan aqrabunnya (yang tadinya akan mewarisi harta
peninggalan itu),
c. Menjadikan mawali untuk mewarisi harta peningalan dalam perjanjiannya,
d. Maka berikanlah kepada mereka warisan mereka.11
C. Analisis Pemakalah
Sejatinya persoalan mengenai Ahli Waris Pengganti atau patah titi di indonesia
dapat dikaji melalui KHI ataupun dari KUH Perdata. Namun dalam hal ini pemakalah
melakukan analis mengenai status “patah titi” melalui hukum islam.
Dapat dipahami bahwa pada dasarnya ahli waris pengganti ialah ahli waris karena
penggantian, yaitu mereka yang menjadi ahli waris karena orangtuanya yang berhak
10
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral menurut Al-Qur’an, Tintamas, Jakarta, 1982.
11
Sayuti Thalib, Hukum kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta, 1982
7
mendapat warisan meninggal lebih dahulu daripada pewaris, sehingga kedudukan
orangtuanya digantikan olehnya. Dalam ketentuan Al-qur’an dan Hadist memang tidak
diatur secara rinci terkait dengan ahli waris pengganti, sehingga terjadi perbedaan pendapat
dikalangan ulama terkait dengan kedudukan cucu sebagai ahli waris pengganti. Dalam
sejarah, diskursus mengenai ahli waris pengganti telah ada sejak zaman para sahabat,
meskipun pada saat itu tidak disebutkan dengan istilah ahli waris pengganti.
Jika merujuk pada beberapa dalil dan pendapat ulama yang pemakalah gunakan
dalam bab pembahasan, pemakalah dalam hal berkeyakinan bahwa patah titi merupakan
suatu sistem hukum adat yang bertentangan dengan sisi keadilan terhadap cucu yang tidak
mendapatkan harta waris dari kakeknya, sebagaimana yang tercantum di dalam Pasal 185
Kompilasi Hukum Islam dan menganggap cucu menjadi ahli waris ketika ayahnya
meninggal dunia menggantikan kedudukan ayahnya sebagai ahli waris untuk dapat
menerima bagian harta yang seharusnya akan didapatkan oleh orang tuanya.
Dalam hal ini, pemakalah tidak menutup mata atas pemahaman yang
berkembang dalam sebagian masyarakat yang menolak waris pengganti ini karena
dianggap bertentangan dengan Al-quran dan Hadist dimana gugurnya satu syarat waris
yaitu hidupnya ahli waris. Kendati demikian, pemakalah merujuk lagi kepada
kemashlahatan si cucu untuk menjamin kehidupannya dengan baik.
8
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Dalam surah An-Nisa ayat 33 menjelaskan Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari
harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-
pewarisnya. Dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan
mereka, maka berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah
menyaksikan segala sesuatu.
2. Menurut Zaid Bin Tsabit hanya cucu laki-laki dan perempuan keturunan laki-laki
saja berhak mendapat harta warisan, dengan syarat tidak ada anak pewaris laki-laki
yang masih hidup.
3. Menurut Hazairin menunjukkan bahwa hak mewaris bagi laki-laki dan perempuan
sama, dalam arti baik laki-laki maupun perempuan dapat mewarisi tanpa melihat
apakan yang diwarisi itu laki-laki maupun perempuan.
9
DAFTAR PUSTAKA
10