ABSTRAK
Anak usia 6 tahun yang telah mampu memahami apa yang terjadi
disekitarnya dan cakap terhadap hukum, tidak dapat ikut serta dalam penentuan
hadhanah anak tersebut. Terlebih lagi jika pilihan anak usia 6 tahun itu cenderung
memilih ayahnya sebagai orang yang berhak atas pemeliharaanya. Padahal dalam
pasal 10 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 telah dijelaskan tentang adanya
kebebasan terhadap anak untuk berpendapat. Oleh sebab itu masalah ini perlu
dikaji lebih mendalam agar nantinya tidak terjadi kesalahan dalam penentuan hak
asuh anak.
Tujuan penelitian ini adalah 1) Untuk mengetahui kedudukan hak
hadhanah anak yang belum mumayyiz setelah perceraian menurut Kompilasi
Hukum Islam, 2)Untuk mengetahui hak hadhanah anak yang belum mumayyiz
setelah perceraian menurut Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 3)Untuk
mengetahui relevansi hak hadhanah anak yang belum mumayyiz setelah
perceraian menurut Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang No. 23 Tahun
2002
Penelitian ini menggunakan metode content analisis. Sedangkan teknik
pengumpulan data yang digunakan adalah studi pustaka (library reasearch)
dengan memanfaatkan berbagai pustaka yang relevan dengan fenomena sosial
yang diteliti.
Penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa 1) hadhanah anak yang
belum mumayyiz menurut Kompilasi Hukum Islam jatuh kepada ibu dengan
mengacu pada pasal 105 KHI 2) menurut Undang-Undang No 23 Tahun 2002
tidak menentukan secara pasti kedudukan anak yang belum mumayyiz akan tetapi
disini dijelaskan adanya keharusan anak didengar pendapatnya didalam
persidangan sehingga dalam Undang-Undang ini anak memiliki hak untuk
menentukan kepada siapa hadhanahnya jatuh. 3) Mengenai relevansi Undang-
Undang tersebut seharusnya adanya pemabaharuan dalam penentuuan usia
mumayyiz bagi anak serta perlunya anak diikutsertakan dalam penentuan
hadhanahnya yang mana hal ini telah diperkuat oleh Undang-Undang No 23
tahun 2002
mencintai dan hendak hidup bersama Allah SWT menjadikan syariat pernikahan
sebagai media bagi pria dan wanita untuk menyalurkan nafsu biologisnya untuk
berhubungan seksual secara sah dan juga untuk menghasilkan keturunan dari
perkawinan tahun 1974, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami istri. Dengan tujuan membentuk keluarga
ternyata banyak sekali krikil-krikil yang menjadi sebab retaknya hubungan rumah
tangga seperti adanya perlingkuhan di antara pasangan suami istri terbut atau
Perceraian adalah suatu insiden dalam rumah tangga yang mana sudah
barang tentu dalam suatu insiden ada banyak hal yang terdampak akibat dari
perceraian tersebut, diantara yang sudah pasti terdampak akibat dari percaraian
perdebatan baik dari pihak ayah ataupun dari pihak ibu sehingga kedudukan anak
menjadi problematika yang hadir pasca percerain yang mesti di dudukan sesuai
sampai anak itu mencapai usia akil baligh Allah SWT memerintahkan kepada
kaum muslimin agar senantiasa menjaga kelurganya agar selamat di dunia dan di
anak setelah perceraian, menurut Sayyid Sabiq, apabila orang tua bercerai,
sedangkan mereka mempunyai anak kecil maka ibu lebih berhak daripada
ayahnya, terkecuali ada hal-hal yang menghalanginya atau selama anak tersebut
yang utama dalam hadhanah adalah mendidik anak yang belum bisa mandiri
sampai anak tersebut tamyiz adalah ibunya, selama ibunya belum menikah lagi
dengan orang lain. Sedangkan kan anak yang sudah mumayyiz jika kedua orang
Anak usia 6 atau 7 tahun yang dalam segi perkembangan pola pikir telah
mampu untuk membedakan mana yang baik dan buruk dalam Kompilasi Hukum
Islam belum diberikan haknya untuk memilih ayah atau ibunya sebagai orang tua
asuh. Tetapi dalam pandangan Hukum Islam anak usia 6 atau 7 tahun yang telah
cakap terhadap apa yang terjadi disekelilingnya, telah memahami khitob Allah,
maka anak tersebut dapat dikatakan mumayyiz sehingga anak tersebut dapat
menggunakan hak pilihnya sekalipun piilihannya ditunjukan kepada ayah
tentunya bila melihat perspektif ini saja ketentuan anak yang di anggap mumayyiz
adalah anak yang berusia 12 tahun ini harus di kaji ulang karena bila melihat
perspektif agama saja yang disebut mumaayiz banyak ulama yang berpendapat
bahwa yang disebut anak mumayyiz adalah anak yang sudah memahami khitob
Indonesia sendiri sering terjadi perbedaan dengan apa yang telah di atur dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) karena dalam memutuskan perkara yang terjadi
hakim juga bisa menggunakan Yurisprudensi yag merupakan sah satu hukum
formil dan menggunakan kitab-kitab fiqih yang merupakan hukum materil yang
B. Kajian Teori
1. Pengertian Hadhanah
Pemeliharaan dan pengasuhan anak dalam hukum Islam disebut hadhanah
dan kafalah. Secara etimologi, hadhanah berasal dari bahasa arab dari akar kata
hadhana, yahdhunu, hadhnan, hadhanatan( حض انت, حض نا, يحض ن, )حض نyang berarti
berarti meletakan sesuatu dekat tulang rusuk atau di pangkuan, karena ibu waktu
sampai sanggup berdiri sendiri mengurus dirinya yang dilakukan oleh kerabat
secara etimologi, hadhonah berasal dari kata hiddona yang berarti sesuatu yang
perempuan, atau yang sudah besar tetapi belum mumayiz, menyediakan sesuatu
merusaknya, mendidik jasmani, rohani, dan akhlaknya agar mampu berdiri sendiri
menghadapi hidup dan memikul tanggung jawab. Menurut Prof. Abdul Manan
membahayakan jiwanya.
hadhanah sebagai:
الصغِْيَر ِة اَ ِوالْ َمْت ِو ِه اَلَّ ِذ ْي اَل مُيَِّي ُز َواَل يَ ْستَ ِق ُل َّ بِاَنَّ َها ِعبَ َارةٌ َع ِن الْ ِقيَ ِام حِبِ ْف ِظ
َّ الصغِرْيِ اَ ِو
ض ِر ِه َوَت ْربِيَتِ ِه ِج ْس ِميًّا َو َن ْف ِسيًا ِ ِ مِم ِ بِاَم ِر ِه و ُتع ِه ِد ِه مِب ا ي
ُ َصل ُحهُ َو ِوقَ َايتُهُ َّا يُْؤ ذيْه َوي َْ َ َ َ ْ
ِوع ْقل
ْ ِات اْحلَيَ ِاة َوااْل
ض ِطاَل ِع مِب َ ْسَئ لَتِ َها ِ ض بِتِّبع
ََ ِ و ُّه
ُْ الن ى ل
َ ع
َ ى و ف
ْ ي ي ك
َ َ ْ ً ََ َ ا ي
Artinya: melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil laki-laki atau
perempuan atau yang sudah besar, tetapi belum tamyiz atau yang kurang akalnya,
yang belum dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk yang belum
mampu dengan bebas mengurus dirinya sendiri dan belum tahu mengerjakan
sesuatu atau kebaikan nya dan memelihara dari sesuatu yang mennyakiti dan
membahayakannya, mendidik serta mengasuhnya, baik secara fisik ataupun
mental atau akalnya agar mampu menempuh tantangan hidup serta memikul
tanggung jawab.
memberikan pedidikan kepada anak oleh orang yang mempunyai hak pengasuhan
atau mendidik anak dan mememelihara orang yang tidak mampu mandiri untuk
memenuhi kebutuhannya sendiri karena belum tamyiz seperti anak kecil dan orang
mengatur makan, pakaian, tidur, kebersihan, mandi, dan mencuci pakaiannya pada
mendidik atau mengasuh anak yang belum mampu mandiri atau belum mampu
dari sesuatu yang membahayakannya walaupun dalam keadaan dewasa yang gila,
pendidikan, dan segala sesuatu yang menjadi kebutuuhan anak. Konsep ajaran
Islam tanggung jawab ekonomi berada di pundak suami sebagai kepala rumah
tangga, meskipun dalam hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa istri dapat
itu, yang terpenting adanya kerja sama dan tolong menolong antar sumi istri
(Rofiq, 2015:27).
Menurut Hasbi Ash shidqy (2001:92) hadhanah adalah mendidik anak dan
mengurusi semua kepentingannya dalam batas umur tertentu oleh orang yang
Definisi yang sama senada juga dikemukakan oleh Amir Nurdin, hadhanah
adalah “merawat dan mendidik seorang yang belum mumayiz atau kehilangan
Demikian juga dikemukakan oleh Zainudin Ali, pemeliharaan anak biasa disebut
dengan hadhanah yang berarti memelihara seorang anak yang belum mampu
hidup mandiri yang meliputi pendidikan dan segala sesuatu yang di perlukannya
hadhanah atau pemeliharaan anak disebutkan dalam pasal 1 huruf a yaitu kegiatan
mengasuh memelihara dan mendidik anak hingga dewasa atau mampu berdiri
sendiri.
Berdasarkan definisi diatas, dapat disimpulakan bahwa orang dimaksud
dengan hadhanah atau kuasa asuh adalah kegiatan orang tua atau lainnya yang
penumbuh kembangan anak sesuai agama yang dianutnya dan sesuai dengan
kemampuan, bakat, serta minatnya sampai anak tersebut tumbuh dewasa mampu
berdiri sendiri (mandiri) supaya menjdi manusia yang hidup sempurna dan
bertanggung jawab.
berdiri sendiri tanpa mengharapkan bantuan dari orang lain. Oleh karena itu,
mengasuh anak yang masih kecil adalah wajib karena apabila anak yang masih
dibawah umur dibiarkan begitu saja akan mendapatkan bahaya jika tidak
mendapatkan pengasuhan dan perawatan sehingga anak harus dijaga agar tidak
sampai membahayakan dirinya. Selain itu, ia juga harus tetap diberi nafkah dan di
Sudah disepakati oleh ulama fiqih bahwa pada perinsipnya hukum merawat
dan mendidik anak adalah kewajiban bagi kedua orang tuanya. Karena apabila
anak yang masih kecil, belum mumayiz tidak dirawat dan dididik dengan baik
maka akan berakibat buruk pada diri masa depan anak, bahkan bisa mengancam
eksistensi jiwa mereka. Oleh sebab itu anak-anak tersebut wajib dipelihara,
tanggung jawab kedua orang tuanya (suami istri) masalah biaya dan pemeliharaan
dan pendidikan anak merupakan tanggung jawab ayahnya (suami) seperti halnya
kepada orang tua untuk memelihara anak mereka, ibu berkewajiban menyusuinya
sampai umur dua tahun dan bapak berkewajiban memberi nafkah kepada ibu.
tahun apabila ada kesepakatan antara kedua orang tua dan mereka boleh
memberi upah yang pentas. Hal ini demi keselamatan anak itu sendiri (Alam,
2008:115). Bukan saja keselamatan ketika hidup di dunia namun keselamatan dari
dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu (QS Al-Tahrim 66:
6)
kewajiban dan tanggung jawab memelihara diri dan keluarga dalam bentuk
apapun dari api neraka karena api neraka dapat membuat diri dan jiwa manusia
menderita dan sengsara, yang bertanggung jawab dari itu semua adalah manusia
itu sendiri. Untuk memelihra dirinya dan keluarganya (anak-anak dan istrinya)
dari api neraka, dengan berusaha agar seluruh anggota keluarganya melaksanakan
ِ ِ ِ ِِ ِ
ًت يَا َر ُس ْو َل اهلل ا َّن ابْيِن ْ َه َذا َكا َن بَطْيِن ْ لَهُ ِو َعاءً وثَ ْدي ْي لَهُ س َقاء
ْ َاَ َّن ا ْمَرَأَة قَال
ِ ْال هَل ا رسو ُل ا
هلل َ ق
َ ف
َ ين مِ و ِحج ِري لَه ِحواء واِ َّن اَباه طَلَّ َقيِن واَراد اَ ْن يَّْنتَ ِزعه
ُْ َ َ ْ َُ َ ََ ْ َُ ًَ َ ُ ْ َ
ت اَ َح ُّق بِِه َمامَلْ ُتْن ِك ِح ْي (رواه امحد وابو داوود ِ ْصلَّى اهلل عليه وسلم اَن
َ
)وصححه احلكم
dan meninggalkan anak, selama ibunya belum menikah lagi, maka diutamakan
untuk mengasuhnya, sebab ibu lebih mengetahui dan lebih mampu mendidik
menyusui mengingat lebih mengerti dan dan mampu mendidik anak. Kesabaran
ibu dalam hal ini lebih besar dari pada bapak. Karena itu, ibu lebih diutamakan
demi menjaga kemaslahatan anaknya. Jika si ibu telah menikah dengan laki-laki
sampai usia tamyiz, namun para ulama sendiri berbeda pendapat apakah
pengasuhannya tetap pada ibunya ketika anak tersebut sudah mumayiz. Mazhab
Hanafi dan Maliki, hak hadhanah tetap berada pada ibunya, baik ibunya bercerai
atau ditinggal mati suaminya, sedangkan mazhab Syafii dan Hambali, diberikan
kepada anak untuk memilih untuk tinggal bersama ayah atau ibunya ( Az-zuhaili,
2011:742).
mereka mempunyai anak kecil maka ibu lebih berhak daripada ayahnya, selama
tidak ada hal-hal yang menghalanginya atau selama anak tersebut belum dapat
yang paling utama hadhanah adalah mendidik anak yang belum bisa mandiri
sampai anak tersebut tamyiz adalah ibunya, selama ibunya belum menikah lagi
dengan orang lain. Sedangkan anak yang sudah mumayiz jika kedua orang tuanya
Dasar 1945 adalah mutlak adanya suatu hukum nasional yang menjamin
Indonesia.
materil yang selama ini berlaku di lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum
Islam yang ada garis besarnya meliputi bidang-bidang hukum perkawinan, hukum
Negara-negara lain.
Hukum materil tersebut perlu dihimpun dan diletakan dalam suatu dokumen
yustisia atau buku kompilasi hukum islam sehingga dapat dijadikan pedoman bagi
memahami anak itu sendiri agar mengetahui objek yang akan diteliti sesuai
dengan paramater teks yang akan diteliti sehingga pembahasan yang akan dibahas
kedepan akan sesuai dengan tujuan dilakukanya penelitian ini. Dalam kompilasi
hukum islam sendiri tidak menyebutakan tentang definisi anak secara jelas hanya
Pasal 98 ayat (1) menyebutkan, “atas usia anak yang mampu berdiri sendiri
atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun
Dalam Pasal ini menjelaskan bahwa usia anak yang masih menjadi
tanggung jawab orang tuanya ialah sampa anak tersebut berusia 21 tahun dengan
ketentuan bahwa anak tersebut tidak memiliki cacat fisik maka apabila anak
tersebut memilik cacat fisik maupun mental maka apabila anak tersebut memilik
cacat baik cacat fisik ataupun mental maka apabila tidak ada yang mengurusnya
maka anak tersebut masih tanggung jawab dari orang tunya atau sekalipun belum
berusia 21 tahun anak tersebut sudah melakukan perkawinan maka anak tersebut
sudah bukan tanggung jawab dari orang tua itu lagi akan tetapi merupakan
tentang anak yang sah menurut Kompilasi Hukum Islam bahwa anak yang sah
adalah:
a. Anak yang dilahirkan dalam atau akaibat perkawinan yang sah.
b. Hasil perbuatan suami istri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh
istri tersebut.
Bila merujuk pasal diatas maka anak yang sah ialah anak yang lahir dalam
atau akibat perkawinan sehingga anak yang lahir diluar atau akibat dari hubungan
yang tidak sah maka anak tersebut dianggap anak yang tidak sah dimata hukum
dan Negara sehinnga kedudukannya sangat rapuh dan riskan hak-hak anak
tersebut tidak terpenuhi. Hal ini tentu diakibatkan karena tidak adanya kekuatan
hukum yang mengikat tentang kedudukan anak tesebut. Lebih lanjut dijelaskan
tentang kedudukan anak yang lahir diluar nikah dalam segi nasab maka anak
tersebut dalam segi nasab hanya memiliki hubugan nasab dengan ibunya
sebagaimana dalan pasal 100 Kompilasi Hukum Islam menjelaskan “ anak yang
lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan
keluarga ibunya”.
adalah seseorang yang belum berusia 21 tahun dan belum pernah berkeluarga
kemudian anak yang sah menurut Kompilasi Hukum Islam adalah anak yang lahir
didalam atau akibat perkawinan yang sah adapun anak yang lahir di luar
perkawinan hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Hadhanah atau hak asuh anak yang merupakan hak dari seorang anak
dalam rangka mengatur keberlangsungan hak asuh anak maka Kompilasi Hukum
Islam mengatur tentang hadhanah anak. Hal ini sesuai dengan apa yang tertulis
b. Penyusuan dilakukan untuk paling lama dua tahun, dan dapat dilakukan
penyapihan dalam masa kurnag dua tahun atas persetujuan ayah dan ibunya.
Dalam pasal ini menjelaskan tentang proses pengurusan anak ketika anak itu
baru lahir hinnga berusia 2 tahun dalam pasal ini menjelaskan bahwa anak setelah
lahir memerlukan perawatan salah satunya ia lah harus diberikan ASI adapun pola
diserahkan kepada ayah maka apabila anak tersebut disusukan kepada orang lain
pada ayat ini dijelaskan bahwa penyusuan paling lama ialah dua tahun, kemudian
apabila penyusuan sudah akan dilakukan penyapihan dan belum berusia dua tahun
harta si anak sebelum ia dewasa maka kepengurusan harta si anak di serahkan dan
dikelola oleh orang tua. Sesuai dengan Pasal 106 Kompilasi Hukum Islam
menyebutakan:
(1) Orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta ankanya yang
(2) Orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena
Dalam pasal ini sudah sangat jelas bahwa kepengurusan dan pengeleloaan
harta anak sebelum anak itu dewas sepenuhnya diserahkan kepada orang tua
bahkan dalam pasal ini mengatur apabila terjadi kerugian dalam mengelola harta
milik anak maka orang tua wajib bertanggung jawab apabila sampai terjadi
kerugian/
Apabila terjadi perceraian dari orang tua anak tersebut maka tentu akan
sangat berdampak pada sebuah keluarga, terutama orang yang paling terdampak
dari perceraian tersebut adalah si anak oleh karenanya Kompilasi Hukum Islam
mengatur hadhanah atau hak asuh anak apabila orang tua dari anak tersebut
bercerai.
(1) Pemeliiharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun
pemeliharaannya.
oleh:
2. Ayah
(d)
warga negaranya, termasuk perlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak
asasi manusia.
anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya
melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya, anak adalah tunas,
potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran
strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan
agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia
secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, perlu
mengenai anak dan secara khusus belum mengatur keseluruhan aspek yang
pengertian anak pada Pasal 1 ayat (1) Anak adalah seseorang yang belum berusia
manusia dikategorikan anak ialah orang yang belum berusia 18 tahun. Bila
mengacu perkembangan anak menurut para ahli memang merupakan masa akhir
dari masa remaja sehingga pada masa ini memang telah mencapai kematangan
dalam berfikir seingga pada usia ini anak memang sudah memiliki kematangan
berfikir sehingga anak akan mampu untuk hidup mandiri dan bisa melindungi diri
sendiri.
bagian, yaitu: (1) masa praremaja atau masa prapubertas (10—12 tahun), (2)
masa remaja awal atau pubertas (12—15 tahun), (3) masa remaja
pertengahan (15—18 tahun), dan (4) masa remaja akhir (18—21 tahun).
Remaja awal hingga remaja akhir inilah yang disebut masa adolescence.
masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif
Dengan demikian bila merujuk pendapat para ahli memang sesuai dengan
seseorang yang belum berusia 18 tahun karena pada masa ini merupakan masa
kondisi agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya demi
perkembangan dan pertumbuhan anak secara wajar baik fisik, mental dan sosial.
membawa akibat hukum, baik dalam kaitannya dengan hukum tertulis maupun
anak.
secara pribadi maupun sebagai bagian dari masyarakat, perlu dilakukan. Hal
anak
Sementara itu Menurut pasal 1 ayat (2) “Perlindungan anak adalah segala
kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup,
tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan
diskriminasi”.
kegiatan yang dilakukan baik oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah,
dan juga Negara yang dilakukan secara terus menerus yang bertujuan untuk
menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup tumbuh,
sebagai manusia.
1. non diskriminasi;
menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
Adapun maksud dari pasal tersebut adalah Asas perlindungan anak di sini
Anak. Yang dimaksud dengan asas kepentingan yang terbaik bagi anak adalah
bahwa dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh
yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama. Yang dimaksud
dengan asas hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan adalah hak
asasi yang paling mendasar bagi anak yang dilindungi oleh negara, pemerintah,
masyarakat, keluarga, dan orang tua. Yang dimaksud dengan asas penghargaan
b. Pasal 5
Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status
kewarganegaraan.
c. Pasal 6
orang tua.
d. Pasal7
(1) Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh
(2) Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh
kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak
diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain
e. Pasal 8
f. Pasal 9
(1) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka
bakatnya.
(2) Selain hak anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), khusus bagi anak
pendidikan khusus.
g. Pasal 10
dan kepatutan.
h. Pasal 11
bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, dan berkreasi sesuai dengan
i. Pasal 12
j. Pasal 13
(1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain
1. diskriminasi;
2. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
3. penelantaran;
5. ketidakadilan; dan
(2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk
pemberatan hukuman.
k. Pasal 14
Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada
alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu
terakhir.
l. Pasal 15
(3)
m. Pasal 16
(2) Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.
dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat
n. Pasal 17
(2) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau
o. Pasal 18
Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak
p. Pasal 19
Hadhanah yang merupakan istilah yang akan di bahas dalam penelitian ini
tidak ada kata eksplisit yang menyebutkan mengenai hadhanah dalam Undang-
mengeni hadhanah anak atau kuasa asuh anak dalam Pasal 30 sampai 32
sebagaimana berikut:
a. Pasal 30
(1) Dalam hal orang tua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26,melalaikan
(2) Tindakan pengawasan terhadap orang tua atau pencabutan kuasa asuh
b. Pasal 31
(1) Salah satu orang tua, saudara kandung, atau keluarga sampai derajat ketiga,
pengadilan tentang pencabutan kuasa asuh orang tua atau melakukan tindakan
(2) Apabila salah satu orang tua, saudara kandung, atau keluarga sampai dengan
derajat ketiga, tidak dapat melaksanakan fungsinya, maka pencabutan kuasa asuh
orang tua sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat juga diajukan oleh pejabat
yang berwenang atau lembaga lain yang mempunyai kewenangan untuk itu.
(3) Penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat menunjuk
yang bersangkutan.
dalam ayat (3) harus seagama dengan agama yang dianut anak yang akan
diasuhnya.
c. Pasal 32
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa KHI telah membagi masa hadhanah
kepada dua bagian yaitu ketika anak belum mumayyiz dan ketika anak telah
mumayyiz yaitu berusia 12 tahun. Dalam pasal 105 disebutkan bahwa anak yang
belum mumayyiz yang berhak mengasuhnya adalah ibu sedangkan ketika anak
tersebut telah mumayyiz maka anak diperbolehkan untuk memilih ayah atau ibu
mengikuti aturan yang telah ditetapkan bagi anak yang telah mumayyiz, dan
pilihan yang ditujukan oleh anak lebih sering diberikan kepada ayah, bukan
ibunya. Padahal di dalam pasal 156 telah dijelaskan bahwa anak yang belum
mumayyiz yang lebih berhak atas pengasuhan anak tersebut adalah ibunya, dan
apabila ibunya tidak dapat melakukan pengasuhan tersebut maka akan berpindah
kepada nenek baru kemudian ayah, ibu dari ayah, saudara-saudara dari anak,
asuh, sangat berbeda dengan apa yang ada didalam KHI. Namun yang perlu
diketahui bahwa pada saat anak ingin memilih sendiri kepengasuhan itu, anak itu
belum mumayyiz dan masih berusia 6 tahun, tetapi anak tersebut telah mampu
otak memahami apa yang telah terjadi disekitarnya. Hal itu disebabkan oleh faktor
lingkungan anak yang membuat anak dapat dengan mudah dan cepat memahami
apa yang ada disekitarnya termasuk salah satunya adalah dapat memahami sifat
kedua orang tuanya. Dan ketika anak tersebut ditanya mengenai kedua
jika dilihat dari segi psikologi perkembangan, dapat diketahui bahwa anak
pada usia 6 tahun, telah mulai memasuki fase pertengahan perkembangan anak.
Dan pada masa ini anak sudah mulai memasuki dunia sekolah sehingga seiring
dengan perjalanan usia, anak telah mampu memahami hal-hal yang ada
disekitarnya yang baru anak temukan pada waktu sekolah. Dan secara berangsur-
Pada usia tersebut anak juga telah mampu melaksanakan aktifitasnya sehari-
hari tanpa bantuan dari orang lain (mandiri), seperti mandi sendiri,
beristinja’sendiri, dapat membedakan antara kanan dan kiri, serta dapat
dalam pekara hadhanah ini semakin diperkuat oleh adanya Perlindungan Anak
kesejahteraan anak, dan tercapainya hak dan kewajiban yang harus diberikan
kepada anak, agar perkembangan dan petumbuhan anak dapat berjalan dengan
wajar baik fisik, mental maupun sosial. Selain itu perlindungan terhadap anak
Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 10 juga telah
pasal 10, dapat dipahami bahwa setiap anak dapat diberikan kesempatan untuk
mengungkapkan pendapatnya tanpa ada batasan umur. Dan kebolehan anak untuk
kecerdasan yang dimilikinya, seperti halnya dapat memahami apa yang ada
berkaitan dengan orangtuanya anak dapat menjawab dengan lancar tanpa ada
hambatan apapun, begitu pula bagi yang bertanya dapat memahami dengan baik
Melihat perkembangan anak usia 6 tahun yang telah mampu secara otak dan
pikiran memahami apa yang telah terjadi disekelingnya dan adanya Undang-
Undang Perlindungan Anak yang telah memberikan hak kepada anak untuk dapat
telah mengalami tamyiz sebelum waktunya dan dapat diberikan haknya untuk
memilih.
Namun dari segi usia anak pada waktu memilih, masih dibawah usia
mumayyiz yang telah ditetapkan oleh KHI dan tidak sesuai dengan kandungan
pasal 105 KHI, sehingga sangat jelas bahwa dari segi usia anak tersebut belum
dapat dikatakan mumayyiz, oleh karena itu anak tersebut belum dapat memilih
sendiri orangtua asuhnya. Tetapi jika melihat alasan kenapa anak tersebut
kekerasan yang dialami anak ketika hidup bersama dengan ibunya, terlebih lagi
jika anak telah mengetahui bahwa ibunya telah melakukan perbuatan yang tercela,
maka hak ibu sebagai pengasuh tersebut dapat berpindah kepada ayahnya.
sebagai seorang hadhinah, terbukti ibu tidak dapat memegang amanah, dan telah
ada yang terlewati adalah berakal, merdeka, beragama islam, dapat menjaga
kehormatan dirinya, dapat dipercaya, tidak bersuami yang tidak muhrim dengan
anak menetap
Syarat-syarat yang disebutkan diatas harus terpenuhi oleh ibu, Sehingga Jika
satu syarat tidak dapat dipenuhi, maka gugurlah pencalonannya untuk menjadi
pengasuh. Dan selanjutnya akan bepindah kepada para keluarga yang lebih berhak
alasan diperbolehkannya anak usia 6 tahun untuk memilih, yaitu hukum Islam
melihat bahwa anak usia 6 tahun, sebagaimana yang telah diungkapkan diatas,
telah mampu secara fisik memahami apa yang ada disekitarnya, maka jika
dihubungkan dengan makna dasar mumayyiz itu sendiri yaitu anak yang telah
mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, dapat melakukan
mampu menjawab setiap pertanyaan yang ditujukan kepadanya dengan baik dan
bahkan mampu memahami khitab Allah. Dapat dipahami bahwa anak tersebut
telah dapat dikatakan anak mumayyiz. Karena anak tersebut telah memenuhi
syafi’iyah, mumayyiz seorang anak bukan diukur dari usia, melainkan melalui
perkembangan anak, yang telah mampu makan dan minum sendiri, dapat bersuci
sendiri (istinja’), mampu membedakan antara anggota bagian kanan dan anggota
bagian kiri, mampu menjalankan khitab Allah, dan dapat menjawab setiap
antara sesuatu yang membahayakan pada dirinya dan sesuatu yang bermanfaat
bagi dirinya.
sebagian ulama Syafi’iyah telah menyatakan bahwa usia mumayyiz pada
umumnya adalah 7 tahun atau 8 tahun, namun hal ini hanya suatu perkiraan saja
dan bukan dijadikan sebuah patokan, karena pada usia tersebut seoang anak
banyak yang telah dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk dan
telah layak untuk diperintahkan sholat. Selain itu juga usia mumayyiz juga dapat
lebih maju dari biasanya dan terkadang juga lebih mundur dai usia 7 tahun.
menyatakan bahwa anak yang mumayyiz adalah anak yang telah mampu makan
dan minum sendiri, atau dengan kata lain sama dengan pendapatnya Syafi’iyah,
sedangkan menurut hanafiyah usia mumayyiz seoang anak adalah 7 tahun dan
telah berkal. Namun dalam madzhab malikiah peneliti tidak menemukan adanya
definisi mumayyiz yang dijelaskan oleh golongan tersebut, terlebih lagi dalam
pandangan Malikiah, pengasuhan anak tidak dibatasi oleh mumayyiz seorang anak
Adapun perkiraan usia mumayyiz yang telah disebutkan oleh paa ulama
tersebut mengacu pada hadits tentang perintah Allah untuk mengajarkan Sholat
Al-Aziz bin Ar-Rabi’ bin Sabrah Al-Jahiniy, dari pamannya ‘Abdul Al-malik bin
telah berusia Tujuh tahun dan pukullah dia ketika telah berumur sepuluh tahun
Usia tujuh tahun yang dijelaskan dalam hadits tersebut mengandung arti
bahwa usia tujuh tahun telah di anggap mumayyiz. Anggapan tersebut bukan
sesuatu yang pasti karena bisa saja anak telah mumayyiz sebelum usia tujuh tahun,
Dari beberapa perbedaan pendapat yang telah diungkapkan oleh para ulama,
menyatakan bahwa mumayyiz adalah anak yang telah mampu secara akal dan
disebutkan diatas. Jadi mumayyiz seorang anak bukan diukur melalui usia
semakin memperjelas bahwa ketika anak usia 6 tahun telah mampu secara akal
maka anak tersebut dapat memilih sendiri dalam penetuan hak asuh anak tersebut.
Walaupun pendapat ini berbeda dengan KHI, tetapi KHI juga akan
Dan kecendungan anak untuk memilih ayah sebagai orangtua asuhnya dapat
yaitu:
a. Tidak terikat dengan suatu pekerjaan yang menyebabkan ayah tidak melakukan
b. Hendaklah ayah orang yang mukallaf, yaitu telah baligh, berakal dan tidak
terganggu ingatannya.
c. Hendaklah ayah mempunyai kemampuan melakukan hadhanah.
yang berhubungan dengan budi pekerti. Orang yang dapat merusak budi
e. Beragama Islam
syarat-syarat tersebut harus benar-benar tepenuhi oleh ayah. Sebab jika satu
syarat tidak terpenuhi, akan menyebabkan gugur hak hadhanah tersebut. Tujuan
terpenuhinya syarat-syarat ayah sebagai orang yang berhak untuk dapat mengasuh
anaknya, untuk lebih meyakinkan para hakim jika terbukti kalau ayah anak
tersebut benar-benar layak memegang hak asuh tersebut dan apa yang telah
menurut peneliti usia mumayyiz yang telah ditetapkan oleh KHI, sangat
berbeda dengan pola perkembangan anak Indonesia yang kebanyakan pada usia
12 tahun telah memasuki usia baligh atau remaja. Usia 12 tahun dalam fase
perkembangan anak juga merupakan tahap awal usia remaja, sehingga pada usia
tersebut anak telah mampu secara matang memahami apa yang ada disekitarnya.
mengatasinya sendiri.
jika kita lihat perkembangan anak indonesia, maka kita akan menemukan
sehingga pada usia tersebut anak telah masuk pada usia baligh, bukan mumayyiz
karena dapat dikatakan baligh jika telah melewati usia mumayyiz dan murahaqah
(masa anak yang hampir baligh) yang pada umumnya dimulai antara 12 sampai 15
tahun bagi anak laki-laki dan 10 sampai 13 tahun bagi anak perempuan. Dan anak
Melihat usia mumayyiz yang telah dijelaskan didalam KHI, dan jika peneliti
coba hubungkan dengan perkembangan anak Indonesia yang begitu cepat diluar
dalam Hukum Islam, maka hal tersebut sangat jauh berbeda karena anak usia 12
tahun dalam konteks Indonesia telah banyak yang baligh, dan dapat menggunakan
bukan berusia 12 tahun, melainkan sesuai dengan pola pikir dan perkembangan
anak tersebut.
peneliti jelaskan, semakin diperkuat dengan adanya fakta yang peneliti temukan
hakim banyak yang tidak menggunakan pasal 105 di dalam KHI. hal ini
ijtihad sendiri, sesuai dengan petunjuk Undang-Undang No. 4 tahun 2004 tentang
Agama tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara
yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada tau kurang jelas, melainkan
wajib untuk memiksa dan mengadilinya. Sehingga dalam putusan tersebut hakim
hal itu juga telah di jelaskan dalam hasil Rakernas MA pada tahun 2007 di
tersebut tidak berlandaskan pada pasal 105 KHI dan putusan perkara hadhanah
anak yang belum mumayyiz tersebut diserahkan kepada ayah dengan alasan demi
menggunakan pasal 105 KHI sebagai landasan Hukum Fomil Pengadilan Agama.
105 KHI, selain itu alasan hak hadhanah tersebut di menangkan oleh ayah, karena
sejak kecil anak tersebut telah diasuh oleh ayahnya, sehingga anak tersebut tidak
mau tinggal bersama dengan ibunya, terlebih lagi bahwa ibunya tidak pernah
hal tersebut semakin menjadikan penguat bagi hakim untuk tidak memberikan hak
menunjukkan bahwa aturan hukum yang ada di dalam KHI benar-benar belum
sesuai dengan fakta yang ada dan juga dalam pelaksanannya belum efektif,
sehingga diperlukan pengkajian lebih lanjut terhadap bunyi pasal 105 KHI.
adanya Undang-Undang No. 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman,
landasan kitab-kitab fiqh atau yang lainnya sesuai dengan landasan hukum materil
Peradilan agama. Hal ini semakin memperlihatkan ketidak efektifan KHI karena
jika Melihat batasan usia mumayyiz yang telah ditetapkan oleh KHI, tidak
sesuai dengan kenyataan yang ada maka hal tersebut dapat memicu terjadinya
perbedaan pemahaman antara KHI dengan kenyataan yang ada, karena hal
tersebut nantinya akan berkaitan dengan putusan yang harus dibuat ketika terjadi
masalah hadhanah dimana anak yang masih berusia dibawah 6 tahun telah
mampu ikut andil dalam penentuan siapa yang berhak mengasuh anak tersebut.
Oleh kaena itu seharusnya di dalam KHI lebih memperjelas makna mumayyiz
sesuai dengan aturan hukum Islam yang ada, bukan berdasarkan usia anak. Dan
setiap perkara hadhanah yang terjadi harus diputus dengan mengedepankan unsur
Sementara itu mengenai hadhanah anak yang dibahas dalam KHI dan juga
Undang-Undang No23 tahun 2002 terdapat perbedaan dan persamaan maksud dan
tujuan yang terjkandung baik dalam Kompilasi Hukum Islam atau pun dalam
Undang Undang NO23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak diantara perbedaan
1. Mengenai batasan usia anak didalam Kompilasi Hukum Islam dan Undang-
Anak Pasal 1 ayat 1 menyebutkan bahwa batasan usia anak adalah 18 tahun.
2. Terkait dalam penentuan hadhanah anak yang belum mumayyiz juga terdapat
perbedaan dimana dalam dalam KHI menyebutkan dalam Pasal 105 dan pasal
156 bahwa anak yang belum mumayyiz dalam hadhanah nya jatuh kepada ibu
dan tidak memiliki hak untuk ikut menentukan kepada siapa dirinya akan
dalam pasal 10 bahwa anak memilik hak untuk menyatakan dan didengar
pendaptnya apalagi terkait dengan hal yang menyangkut dirinya dalam hal ini
tahun 2002 terkait hadhanah anak atau kuwasa asuh anak sebagai berikut
haḍānah yang digunakan oleh KHI yaitu suatu upaya yang dilakukan oleh
orang yang berhak atas haḍānah untuk dapat mengasuh, memelihara dan
2. Pasal 5 menyebutkan “Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas
diri dan status kewarganegaraan”.Pasal ini sangat jelas sekali sesuai dengan
yang sah (nasab), dimana dalam hal ini bisa dilihat dalam pasal Pasal 99
KHI yaitutentanganak yang sah adalah:a. anak yang dilahirkan dalam atau
akibat perkawinan yang sah;b. hasil perbuatan suami istri yang sah
diluar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.Pasal 100Anak yang lahir
keluarga ibunya.
usianya, dalam bimbingan orang tua.Pasal ini juga sangat sejalan dengan
KHI, dimana dalam setiap aturan KHI selalu mengedepankan agama dalam
tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri. (2) Dalam hal
karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang
anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak
diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang
yang terdapat dalam KHI, yaitu agar kedua orang tua selalu membinkan
anak mereka dengan nama ayahnya, dan kedua orang tua tersebut harus
mereka. Dan jikalau mereka tidak mampu para keluarga terdekat atau para
anak.
C. Metode
1. Metode Penelitian
penelitian yang objektif, sistematis, dan deskripsi kuantitatif dari apa yang tampak
2. Sumber Data
a. Sumber Data Primer
Menurut Umar (2003:56), data primer yaitu sumber data yang memberikan
informasi dan data secara langsung sebagai hasil pengumpulan sendiri, kemudian
dipaparkan secara langsung dan data yang dikumpulkan serta dipaparkan sifat
“Data primer adalah data yang dikumpulkan oleh peneliti sendiri baik perorangan
atau organisasi”.
Adapun sumber data primer yang penulis gunakan dalam penelitian ini
adalah data yang diperoleh dari, buku fiqih Karangan Abu Ahmad Najieh (2021)
digital.
berupa buku-buku yang dianggap relevan dengan judul diatas seperti Fiqih Lima
maupun bahan hukum tersier atau bahan non hukum. Adapun dokumen yang
dimaksud pada penelitian ini adalah “Kewajiban Anak Menafkahi Orang Tua
Ciamis.
4. Keabsahan Teks
tidak ilmiah, juga merupakan sebagai unsur yang tidak terpisahkan dari tubuh
3. Keteralihan (Transferability)
4. Ketergantungan (Dependability)
disebabkan peninjauan dari segi bahwa konsep itu diperhitungkan segalanya yaitu
yang ada pada reabilitas itu sendiri ditambah faktor-faktor lainnya yang
tersangkut.
5. Analisis Data
Pengolahan data diperlukan dalam sebuah penelitian, supaya data yang telah
diperoleh tidak mentah melainkan telah menjadi bahan yang siap pakai dan dapat
dipahami. Adapun teknik analisis data yang penulis gunakan adalah analisis
kualitatif.
sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-
bahan lainnya, sehingga dapat mudah dipahami, dan temuannya dapat
D. Pembahasan
perceraian. dalam poin (a) menjelaskan tentang kepengurusan anak yang belum
mumayyiz dan juga menjelaskan tentang usia anak yang belum mumayyiz bahwa
dalam pasal ini menjelaskan anak yang belum mumayyiz adalah anak yang belum
berusia dua belas tahun. Kemudian anak yang belum mumayyiz itu sendiri apabila
orang tuanya bercerai maka hadhanahnya atau hak asuh anaknya jatuh kepada
ibu.
Sementara itu pada poin (b) menjelaskan tentang hadhanah anak yang telah
mumayyiz. Bahwa disini dijelaskan bahwa anak yang sudah mumayyiz untuk
hadhanah atau hak asuhnya diserahkan kepada sianak untuk memilih sendiri
kepada siapa hak asuhnya diberikan baik kepada ayah atau pun ibunya ini di
Menurt poin ini dijelaskan bahwa terkait biaya pemeliharaan anak setelah
perceraian selagi anak itu belum bisa mandiri maka pebiayaan hidup anak tersebut
ditanggung ileh siayah sehingga seorang ayah sekalipun sudah bercerai dengan
istrinya ayah tetap berkewajiban untuk mengurus dan memberi nafkah kepada
anaknya.
Pada pasal 105 di jelaskan bahwa usia tamyiz adalah 12 tahun penetapan
usia 12 tahun dalam Kompilasi Hukum Islam tentu memiliki alasan. Menurut
peneliti jika mengacu pada perkembangan anak bahwa usia 12 tahun adalah usia
anak memasuki masa remaja sehingga pada usia ini anak sudah memiliki
kenyamananya serta sudah bisa memilih kepada siapa anak itu di asuh. Apabila di
perhatikan fenomena di usia 12 tahun justru sudah banyak yang sudah mencapai
usia akil baligh hal ini dibuktikan dengan sudah adanya anak yang sudah
mastrubasi sehingga paada usia ini tidak hanya tamyiz tapi anak juga sudah
mencapai usia baligh. Bahkan bila melihat dari hadits nabi dikatakan bahwa anak
yang berusia 7 tahun sudah dikatakan tamyiz sehingga pada usia ini Rasulullah
sudah memerintahkan bila melihat fakta yang ada maka selayaknya Kompilasi
Hukum Islam memperbaharui prihal usia anak mumayyiz pada Pasal 105
Adapun pada Pasal 156 lebih di perinci mengenai hak asuh anak setelah
perceraian dimana pada pasal ini menjelaskan tentang urutan hadhanah anak yang
belum mumayyiz apabila ibu dari anak itu tidak memiliki kelayakan untuk
mengasuh dan merawat anak tersebut. Dalam pasal ini juga disebutkan tentang
si ayah sampai usia anak tersebut telah mencapai usia yang mandiri yaitu pada
usia 21 tahun. Namun dalam pasal ini tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai
posisi hadhanah anak yang belum mumayyiz setelah percerain adapun untuk
hadhanah anak yang belum mumayyiz masih sama dengan pasal 105 Kompilasi
apabila ibu sudah meninggal dunia maka hadhanah ibu digantikan sesuai dengan
urutan yang telah ditentukan pada Poin (a) pasal 156 Kompilasi Hukum Islam
mengenai hadhanah anak dengan istilah kuasa asuh anak yang dijelaskan pada
Pasal 30, 31, dan Pasal 32 Pada ketiga pasal tersebut dijelaskan tentang
mekanisme hadhanah anak atau dalam istilah disini kuasa asuh anak, pada pasal
30 dijelaskan bahwa orang tua wajib melakuka kewajiban yang telah di tetapkan
minatnya; dan
Apabila orang tua tidak melakukan kewajibannya tersebut maka orang tua bisa di
Sementara itu apabila terjadi percaraian, maka hak asuh anak akan
Lebih lanjut mengenai hak kuasa asuh anak diatur jelas dalam pasal 31 an tata
cara pengajuan menganai hak asuh anak tersebut, sebagaimana telah dijelaskan
diatas, bahwa pihak keluarga yang memiliki hak dalam pengasuhan anak tersebut
orangtua asuh sebelumnya tidak layak melaksanakan hak asuh anak tersebut, dan
untuk diasuh oleh orang-orang yang dipercaya agar anak dapat tumbuh kembang
sebagaimana mestinya. Dan yang berhak mengasuh anak tersebut, baik orang tua
kandung maupun pihak keluarga sampai derajat ketiga harus dapat memenuhi
yaitu yang dapat melindungi anak dari berbagai macam gangguan dan acaman,
yang mengasuhnya, begitu juga dengan orangtua. Sehingga jika orang tua tidak
dapat memenuhinya, maka hak tersebut dapat beralih kepada pihak keluarga yang
lebih mampu untuk menjamin kelangsungan hidup anak dengan proses beracara
dipengadilan.
dalam penetuan siapa yang berhak untuk mengasuh anak, juga tidak terlepas
dari peran anak untuk ikut andil dalam menentukan siapa yang ia inginkan,
sekalipun keikut sertaan tersebut tidak dilakukan secara langsung atau dengan
menggunakan perantara psikologanak yang dapat memahami anak. Karena hal ini
terkait dengan kenyamanan anak hidup bersama dengan siapa yang nantinya akan
menjadi pengasuhan anak. Hal ini terkait dengan bunyi pasal 10 yaitu “Setiap
E. Kesimpulan
Dari penjelasan dan pembahasan yang telah peneliti uarikan di atas dapat di
1. Alasan ilmiayah usia 12 tahun yang dijadikan sebagai tolak ukur usia
pada masa itu anak telah mampu berpikir secara optimal. Sehingga apabila
anak usia 12 tahun dihadapkan dengan masalah penentuan orang tua asuhnya,
mengenai keadaan kedua orang tuanya. Dan anak dapat dengan tegas
siapa hak hadhanah anak itu diberikan, hal ini di tunjukan dengan adanya hak
persidangan termasuk maka bila mengacu pasal tersebut anak harus diikut
sertakan dalam penentuan hadhanahnya baik melalui anak tersebut hadir atau
menurut KHI anak usia 6 tahun belum dapat menentukan pilihannya sendiri,
karena anak tersebut belum mumayyiz, tetapi dalam Hukum Islam anak
tersebut telah mumayyiz sehingga dapat memilih orang tua asuhnya sendiri.
F. Daftar Pustaka
Abdullah, Boedi dan Beni Ahmad Saebani. (2013). Perkawinan dan Perceraian
Keluarga Muslim. Bandung: CV Pustaka Setia.
Al-‘Asqalani, Imam al-Hafiz Selamet Dan Aminuin. (1999). Fikih Munkahat II.
Bandung: Putka Setia.
Al-Faifi, Sulaiman. (2010). Mukhtasar Fiqih Sunnah Sayyid Sabiq. Solo: Aqwam.
Ali, Zainudin, (2012). Hukum Pendeta Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Amini, Mukti. (2008.) Pengasuhan Ayah Ibu yang Patut, Kunci Sukses
Mengembangkan Karakter Anak, Yogkarta: Tiara Wacana.
Anggito, Albi dan Setiawan, Johan. (2018). Metodologi Penelitian Kualitatif.
Anshari, Abu Yahya Zakariya. (2000). Fathul Wahab Zuz II. Beirut:Dar Al-Fikr.
Dahlan, Abdul Aziz. (2002). Ensiklopedi Islam. Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve.
Daly, Peunoh. (2005). Hukum Perkawin Islam Suatu Studi dalam Kalangan
Ahlussunah dan Negara-Ngara Islam. Jakarta;Bulan Bintang.
Djamil, Nasir. (2013) Anak Bukan untuk Dihukum. Jakarta: Sinar Grafika.
Fanani, Ahmad Zaenal. (2005). Pembahasan Hukum Sengketa Hak Asuh Anak di
Idonesia: prespekif keadilan jender. Yogyakarta: UII Pers.
Jauhari, Iman dan T. Muhammad Ali Bahar. (2013) Buku Ajar Kapita Selekta
Hukum Perdata: kajia Advokasi Hak-Hak Anak. Bandung: Cipta Pustaka
Media Perintis
Jaziriy, Abdul Rahman. (2003). Al-Fiqh ala al-Mazahib al-Arba’ah Zuz V. Bairut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
Mirudin dan ainal Asikin. (2004). Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta:
Grafindo Perseda.
Shiddieqy, T.M. Hasbi. (2001). Hukum Anntar Golongan: Intreaksi Fikih Islam
Dalam Syariat gama Lain.Semarang: Pustaka Rizki Putra.
Umar, Husein. (2003). Metodologi Penelitian untuk Skripsi dan Tesis Bisnis.
Jakarta: PT. Gramedia Pusaka.
Yanggo, Huzaimah Tahido. (2004) Fiqih Anak: Metode Islam dalam Mengasuh
dan Mendidik Anak serta Hukum-hukum yang berkaitan dengan Aktivitas
Anak. Jakarta: Al-Mawardi Prima