Anda di halaman 1dari 55

Hadhanah Anak yang Belum Mumayyiz Setelah Perceraian

Menurut Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang No 23 Tahun 2002


Tentang Perlindungan Anak

Farid Mahmud Anshori


Sumadi
Ayi Ishak Solih Muchtar

ABSTRAK

Anak usia 6 tahun yang telah mampu memahami apa yang terjadi
disekitarnya dan cakap terhadap hukum, tidak dapat ikut serta dalam penentuan
hadhanah anak tersebut. Terlebih lagi jika pilihan anak usia 6 tahun itu cenderung
memilih ayahnya sebagai orang yang berhak atas pemeliharaanya. Padahal dalam
pasal 10 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 telah dijelaskan tentang adanya
kebebasan terhadap anak untuk berpendapat. Oleh sebab itu masalah ini perlu
dikaji lebih mendalam agar nantinya tidak terjadi kesalahan dalam penentuan hak
asuh anak.
Tujuan penelitian ini adalah 1) Untuk mengetahui kedudukan hak
hadhanah anak yang belum mumayyiz setelah perceraian menurut Kompilasi
Hukum Islam, 2)Untuk mengetahui hak hadhanah anak yang belum mumayyiz
setelah perceraian menurut Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 3)Untuk
mengetahui relevansi hak hadhanah anak yang belum mumayyiz setelah
perceraian menurut Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang No. 23 Tahun
2002
Penelitian ini menggunakan metode content analisis. Sedangkan teknik
pengumpulan data yang digunakan adalah studi pustaka (library reasearch)
dengan memanfaatkan berbagai pustaka yang relevan dengan fenomena sosial
yang diteliti.
Penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa 1) hadhanah anak yang
belum mumayyiz menurut Kompilasi Hukum Islam jatuh kepada ibu dengan
mengacu pada pasal 105 KHI 2) menurut Undang-Undang No 23 Tahun 2002
tidak menentukan secara pasti kedudukan anak yang belum mumayyiz akan tetapi
disini dijelaskan adanya keharusan anak didengar pendapatnya didalam
persidangan sehingga dalam Undang-Undang ini anak memiliki hak untuk
menentukan kepada siapa hadhanahnya jatuh. 3) Mengenai relevansi Undang-
Undang tersebut seharusnya adanya pemabaharuan dalam penentuuan usia
mumayyiz bagi anak serta perlunya anak diikutsertakan dalam penentuan
hadhanahnya yang mana hal ini telah diperkuat oleh Undang-Undang No 23
tahun 2002

Kata kunci: Hadhanah, Kompilasi Hukum Islam, Undang-Undang No 23 tahun


2002
A. Pendahuluan

Allah SWT menjadikan manusia berpasang-pasangan dimana seorang pria

berpasangan dengan seorang wanita, yang mana apabila keduanya saling

mencintai dan hendak hidup bersama Allah SWT menjadikan syariat pernikahan

sebagai media bagi pria dan wanita untuk menyalurkan nafsu biologisnya untuk

berhubungan seksual secara sah dan juga untuk menghasilkan keturunan dari

pasangan tersebut. Tujuan pernikahan sendiri adalah untuk membangun keluarga

yang kekal dan bahagia sebagaimana menurut pasal 1 Undang-Undang

perkawinan tahun 1974, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria

dengan seorang wanita sebagai suami istri. Dengan tujuan membentuk keluarga

yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.

Tujuan perkawinan sejatinya sangatlah ideal, namun pada praktiknya

ternyata banyak sekali krikil-krikil yang menjadi sebab retaknya hubungan rumah

tangga seperti adanya perlingkuhan di antara pasangan suami istri terbut atau

adanya pertikaian terus menurus atau adanya sebab-sebab lain yang

mengakibatkan adanya perselisihan dari keduanya yang mengakibatkan keretakan

suatu mahligai rumah tangga yang tak jarang mengakibatkan perceraian.

Perceraian adalah suatu insiden dalam rumah tangga yang mana sudah

barang tentu dalam suatu insiden ada banyak hal yang terdampak akibat dari

perceraian tersebut, diantara yang sudah pasti terdampak akibat dari percaraian

adalah anak. Sementara itu kedudukan anak setelah perceraian menjadi

perdebatan baik dari pihak ayah ataupun dari pihak ibu sehingga kedudukan anak

menjadi problematika yang hadir pasca percerain yang mesti di dudukan sesuai

dengan keharusannya. Mendidik anak sendiri merupakan sebuah kewajiaban


orang tua kepada anakanya yang mana kewajiban ini melekat kepada keduanya

sampai anak itu mencapai usia akil baligh Allah SWT memerintahkan kepada

kaum muslimin agar senantiasa menjaga kelurganya agar selamat di dunia dan di

Akhirat sebagaimana firman Allah SWT:

ُ‫َّاس َواحْلِ َج َارة‬ ِ ِ َّ


ُ ‫يااَيُّ َها الذيْ َن اٰ َمُن ْوا ُق ْوا اَْن ُف َس ُك ْم َواَ ْهلْي ُك ْم نَ ًارا َّو ُق ْو ُد َها الن‬
‫ص ْو َن ال ٰلّهَ َما اََمَر ُه ْم َو َي ْف َعلُ ْو َن َما يُْؤ َم ُر ْو َن‬ ‫ع‬ ‫ي‬ ‫اَّل‬ ‫اد‬
ٌ ‫د‬
َ ِ ‫علَيها م ٰلۤ ِٕى َكةٌ ِغاَل ٌظ‬
‫ش‬
ْ
ُ َ َ َْ َ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa
yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan (QS. At-Tahrim : 6)
Para ulama sendiri banyak yang berpendapat terkait hukum dari hadhanah

anak setelah perceraian, menurut Sayyid Sabiq, apabila orang tua bercerai,

sedangkan mereka mempunyai anak kecil maka ibu lebih berhak daripada

ayahnya, terkecuali ada hal-hal yang menghalanginya atau selama anak tersebut

belum bisa menentukan pilihannya. Demikian juga menuruut Ahmad Zainuddin,

yang utama dalam hadhanah adalah mendidik anak yang belum bisa mandiri

sampai anak tersebut tamyiz adalah ibunya, selama ibunya belum menikah lagi

dengan orang lain. Sedangkan kan anak yang sudah mumayyiz jika kedua orang

tuanya bercerai, boleh memilih antara ibu atau ayahnya.

Anak usia 6 atau 7 tahun yang dalam segi perkembangan pola pikir telah

mampu untuk membedakan mana yang baik dan buruk dalam Kompilasi Hukum

Islam belum diberikan haknya untuk memilih ayah atau ibunya sebagai orang tua

asuh. Tetapi dalam pandangan Hukum Islam anak usia 6 atau 7 tahun yang telah

cakap terhadap apa yang terjadi disekelilingnya, telah memahami khitob Allah,

maka anak tersebut dapat dikatakan mumayyiz sehingga anak tersebut dapat
menggunakan hak pilihnya sekalipun piilihannya ditunjukan kepada ayah

tentunya bila melihat perspektif ini saja ketentuan anak yang di anggap mumayyiz

adalah anak yang berusia 12 tahun ini harus di kaji ulang karena bila melihat

perspektif agama saja yang disebut mumaayiz banyak ulama yang berpendapat

bahwa yang disebut anak mumayyiz adalah anak yang sudah memahami khitob

Allah walaupun belum berusia 12 tahun. Permaslahan hadhanah yang terjadi di

Indonesia sendiri sering terjadi perbedaan dengan apa yang telah di atur dalam

Kompilasi Hukum Islam (KHI) karena dalam memutuskan perkara yang terjadi

hakim juga bisa menggunakan Yurisprudensi yag merupakan sah satu hukum

formil dan menggunakan kitab-kitab fiqih yang merupakan hukum materil yang

digunakan untuk mencari kemaslahatan untuk anak dan orang tua

B. Kajian Teori

1. Pengertian Hadhanah
Pemeliharaan dan pengasuhan anak dalam hukum Islam disebut hadhanah

dan kafalah. Secara etimologi, hadhanah berasal dari bahasa arab dari akar kata

hadhana, yahdhunu, hadhnan, hadhanatan(‫ حض انت‬,‫ حض نا‬,‫ يحض ن‬,‫ )حض ن‬yang berarti

mendekap, mengasuh, merawat, memeluk (Munawir, 1973:327). Hadhanah juga

berarti meletakan sesuatu dekat tulang rusuk atau di pangkuan, karena ibu waktu

menyusui anaknya ia meletakan anak di pangkuannya, seakan-akan ibu saat itu

sedang memelihara anaknya sehingga hadhanah dijadikan istilah yang maksudnya

memberikan perlindungan pendidikan dan pemeliharaan anak sejak dari lahir

sampai sanggup berdiri sendiri mengurus dirinya yang dilakukan oleh kerabat

anak itu (ghozali, 2015:175).


Menurut Sayyid Sabiq ( 1983:288) kata hadhanah diambil dari kata al-

hidhn, yang berarti menyimpan sesuatu diatas ketiak sampai pinggul,

sebagaimana dinyatakan dalam sebuah ungkapan:

ِ َ‫ وحضن الطَّاِئِربيضه اِ َذا ض َّمه اِىَل َن ْف ِس ِه حَتْت جن‬,‫وحضنَا الشَّى ٍء جا َنباه‬


,‫اح ِه‬ َ َ ُ َ ُ َ َْ ََ َ َ َُ َ ْ َ ََ
ِ ِ
‫ت َولَ َد َها‬ َ ‫ك اْ ْملرَأةُ ا َذا‬
ْ ‫ض َّم‬ َ ‫و َك َذل‬
Artinya: Kami menyimpan (hadhana) sesuatu di sisinya, dan burung itu

mengempit telurnya, ketika ia menyimpan dibawah sayapnya, begitu pula

perempuan (ibu) yang mengimpit anaknya.

Menurut Zainal Arifin dan Muh. Anshori (2019:150), pengertian hadhonah

secara etimologi, hadhonah berasal dari kata hiddona yang berarti sesuatu yang

terletak antara ketiak dan pusar.

Sedang menurut istilah para ulama fiqih mendefinisikan hadhanah yaitu

melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun

perempuan, atau yang sudah besar tetapi belum mumayiz, menyediakan sesuatu

yang menjadikan kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan

merusaknya, mendidik jasmani, rohani, dan akhlaknya agar mampu berdiri sendiri

menghadapi hidup dan memikul tanggung jawab. Menurut Prof. Abdul Manan

pengertian hadhonah adalah pemeliharaan anak yang belum mampu berdiri

sendiri, biaya pendidikannya dan pemeliharaannya dari segala yang

membahayakan jiwanya.

Sementara itu menurut Sayyid Sabiq (1983:288) yang mengartikan

hadhanah sebagai:
‫الصغِْيَر ِة اَ ِوالْ َمْت ِو ِه اَلَّ ِذ ْي اَل مُيَِّي ُز َواَل يَ ْستَ ِق ُل‬ َّ ‫بِاَنَّ َها ِعبَ َارةٌ َع ِن الْ ِقيَ ِام حِبِ ْف ِظ‬
َّ ‫الصغِرْيِ اَ ِو‬
‫ض ِر ِه َوَت ْربِيَتِ ِه ِج ْس ِميًّا َو َن ْف ِسيًا‬ ِ ِ ‫مِم‬ ِ ‫بِاَم ِر ِه و ُتع ِه ِد ِه مِب ا ي‬
ُ َ‫صل ُحهُ َو ِوقَ َايتُهُ َّا يُْؤ ذيْه َوي‬ َْ َ َ َ ْ
ِ‫وع ْقل‬
ْ ِ‫ات اْحلَيَ ِاة َوااْل‬
‫ض ِطاَل ِع مِب َ ْسَئ لَتِ َها‬ ِ ‫ض بِتِّبع‬
ََ ِ ‫و‬ ‫ُّه‬
ُْ ‫الن‬ ‫ى‬ ‫ل‬
َ ‫ع‬
َ ‫ى‬ ‫و‬ ‫ف‬
ْ ‫ي‬ ‫ي‬ ‫ك‬
َ َ ْ ً ََ َ ‫ا‬ ‫ي‬
Artinya: melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil laki-laki atau
perempuan atau yang sudah besar, tetapi belum tamyiz atau yang kurang akalnya,
yang belum dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk yang belum
mampu dengan bebas mengurus dirinya sendiri dan belum tahu mengerjakan
sesuatu atau kebaikan nya dan memelihara dari sesuatu yang mennyakiti dan
membahayakannya, mendidik serta mengasuhnya, baik secara fisik ataupun
mental atau akalnya agar mampu menempuh tantangan hidup serta memikul
tanggung jawab.

Menurut wahbah az-zuhaili (2005:233), hadhanah menurut syara’ adalah

memberikan pedidikan kepada anak oleh orang yang mempunyai hak pengasuhan

atau mendidik anak dan mememelihara orang yang tidak mampu mandiri untuk

memenuhi kebutuhannya sendiri karena belum tamyiz seperti anak kecil dan orang

dewasa yang gila. Pengasuhan tersebut meliputi penjagaan tingkah lakunya,

mengatur makan, pakaian, tidur, kebersihan, mandi, dan mencuci pakaiannya pada

waktu tertentu dan lain sebagainya.

Kata syarbainly (2004:385), mendefinisikan, hadhanah sebagai usaha

mendidik atau mengasuh anak yang belum mampu mandiri atau belum mampu

dengan urusan-urusannya yaitu dengan sesuatu yang baik baginya, mencegahnnya

dari sesuatu yang membahayakannya walaupun dalam keadaan dewasa yang gila,

seperti mempertahankan dengan memandikan badannya, memakaikan

pakaiannya, meriasnya, memberi minyak padanya, dan sebagainya.

Pemeliharaan dalam hal ini meliputi berbagai hal, masalah ekonomi,

pendidikan, dan segala sesuatu yang menjadi kebutuuhan anak. Konsep ajaran

Islam tanggung jawab ekonomi berada di pundak suami sebagai kepala rumah
tangga, meskipun dalam hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa istri dapat

membantu suami dalam menanggung kewajiban ekonomi tersebut. Oleh karena

itu, yang terpenting adanya kerja sama dan tolong menolong antar sumi istri

dalam memelihara dan mengantarkannya hingga anak tersebut tumbuh dewasa

(Rofiq, 2015:27).

Menurut Hasbi Ash shidqy (2001:92) hadhanah adalah mendidik anak dan

mengurusi semua kepentingannya dalam batas umur tertentu oleh orang yang

berhak mendidiknya dari mahram-mahramnya

Definisi yang sama senada juga dikemukakan oleh Amir Nurdin, hadhanah

adalah “merawat dan mendidik seorang yang belum mumayiz atau kehilangan

kecerdasannya, karena mereka tidak bisa memenuhi keperluannya sendiri.

Demikian juga dikemukakan oleh Zainudin Ali, pemeliharaan anak biasa disebut

dengan hadhanah yang berarti memelihara seorang anak yang belum mampu

hidup mandiri yang meliputi pendidikan dan segala sesuatu yang di perlukannya

baik dalam bentuk melaksanakan maupun dalam bentuk menghindari sesuatu

yang dapat merusaknya (Ali, 2006:67).

Undang-Undang perkawinan tidak secara khusus membicarakan

pemeliharaaan anak sebagai akibat putusya perkawinan, apalagi dengan

menggunakan istilah hadhanah. Namun undang-undang perkawinan secara umum

mengatur hak dan kewajiban orang tua (Syarifuddin, 2014:333):

Istilah hadhanah digunanakan dalam KHI. KHI memberikan definisi

hadhanah atau pemeliharaan anak disebutkan dalam pasal 1 huruf a yaitu kegiatan

mengasuh memelihara dan mendidik anak hingga dewasa atau mampu berdiri

sendiri.
Berdasarkan definisi diatas, dapat disimpulakan bahwa orang dimaksud

dengan hadhanah atau kuasa asuh adalah kegiatan orang tua atau lainnya yang

meliputi pengasuhan, pemeliharaan, pendidikan, pembinaan, perlindungan, dan

penumbuh kembangan anak sesuai agama yang dianutnya dan sesuai dengan

kemampuan, bakat, serta minatnya sampai anak tersebut tumbuh dewasa mampu

berdiri sendiri (mandiri) supaya menjdi manusia yang hidup sempurna dan

bertanggung jawab.

2. Dasar Hukum Hadhanah


Islam mewajibkan pemeliharaan anak sampai anak tersebut telah mampu

berdiri sendiri tanpa mengharapkan bantuan dari orang lain. Oleh karena itu,

mengasuh anak yang masih kecil adalah wajib karena apabila anak yang masih

dibawah umur dibiarkan begitu saja akan mendapatkan bahaya jika tidak

mendapatkan pengasuhan dan perawatan sehingga anak harus dijaga agar tidak

sampai membahayakan dirinya. Selain itu, ia juga harus tetap diberi nafkah dan di

selamatkan dari segala hal yang merusaknya.

Sudah disepakati oleh ulama fiqih bahwa pada perinsipnya hukum merawat

dan mendidik anak adalah kewajiban bagi kedua orang tuanya. Karena apabila

anak yang masih kecil, belum mumayiz tidak dirawat dan dididik dengan baik

maka akan berakibat buruk pada diri masa depan anak, bahkan bisa mengancam

eksistensi jiwa mereka. Oleh sebab itu anak-anak tersebut wajib dipelihara,

dirawat dan dididik dengan baik.

Sebagaimana telah diketahui bahwa pemeliharaan anak merupakan

tanggung jawab kedua orang tuanya (suami istri) masalah biaya dan pemeliharaan

dan pendidikan anak merupakan tanggung jawab ayahnya (suami) seperti halnya

firman Allah SWT:


‫اعةَ َو َعلَى‬ َ‫ض‬ َّ ‫ت يُْر ِض ْع َن اَْواَل َد ُه َّن َح ْولَنْي ِ َك ِاملَنْي ِ لِ َم ْن اََر َاد اَ ْن يُّتِ َّم‬
َ ‫الر‬
ِ
ُ ‫َوالْ َوال ٰد‬
ِ ‫ف اَل ت َكلَّف ن ْف‬ ِ ‫الْمولُو ِد لَه ِر ْز ُقه َّن وكِسو ُته َّن بِالْمعرو‬
‫ضاَّۤر‬ َ ُ‫س ااَّل ُو ْس َع َها اَل ت‬ ٌ َ ُ ُ ْ ُْ َ ُ َ ْ َ ُ ُ ْ ْ َ
‫صااًل َع ْن‬ ِ‫ث ِمثْل ٰذلِك فَاِ ْن اَرادا ف‬ ِ ‫والِ َدةٌ بِولَ ِدها واَل مولُو ٌد لَّه بِولَ ِد ِه وعلَى الْوا ِر‬
َ َ َ َ ُ َ َ َ َ ُ ْ َْ َ َ َ َ
‫اح َعلَْي ِه َما َواِ ْن اََر ْدمُّتْ اَ ْن تَ ْسَت ْر ِضعُ ْوا اَْواَل َد ُك ْم فَاَل‬ َ َ‫اض ِّمْن ُه َما َوتَ َش ُاو ٍر فَاَل ُجن‬ ٍ ‫َتَر‬
‫ف َو َّات ُقوا ال ٰلّهَ َو ْاعلَ ُم ْوا اَ َّن ال ٰلّهَ مِب َا‬ ِ ‫جنَاح علَي ُكم اِ َذا سلَّمتم َّما اَٰتيتم بِالْمعرو‬
ْ ُ ْ َ ْ ُْ ْ ُ ْ َ ْ ْ َ َ ُ
ِ ‫َتعملُو َن ب‬
‫صْيٌر‬ َ ْ َْ
Artinya: Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun
penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban ayah
menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak
dibebani lebih dari kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita karena
anaknya dan jangan pula seorang ayah (menderita) karena anaknya. Ahli waris
pun (berkewajiban) seperti itu pula. Apabila keduanya ingin menyapih dengan
persetujuan dan permusyawaratan antara keduanya, maka tidak ada dosa atas
keduanya. Dan jika kamu ingin menyusukan anakmu kepada orang lain, maka
tidak ada dosa bagimu memberikan pembayaran dengan cara yang patut.
Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang
kamu kerjakan. (Q.S Al-Baqarah 233)

Berdasarkan ayat ini dapat dipahami bahwa Allah SWT mewajibkan

kepada orang tua untuk memelihara anak mereka, ibu berkewajiban menyusuinya

sampai umur dua tahun dan bapak berkewajiban memberi nafkah kepada ibu.

Dibolehkan mengadakan penyapihan (menghentikan penyusuan) sebelum dua

tahun apabila ada kesepakatan antara kedua orang tua dan mereka boleh

mengambil perempuan lain untuk menyusukan anak tersebut dengan syarat

memberi upah yang pentas. Hal ini demi keselamatan anak itu sendiri (Alam,

2008:115). Bukan saja keselamatan ketika hidup di dunia namun keselamatan dari

api neraka, sebagaimana firman Allah SWT:


‫َّاس َواحْلِ َج َارةُ َعلَْي َها‬ ‫ن‬ ‫ال‬ ‫ا‬ ‫ه‬ ‫ود‬ ُ‫ق‬‫و‬ ‫ا‬‫ار‬ َ‫ن‬ ‫م‬‫ك‬ُ ‫ي‬ِ‫ياَأيُّها الَّ ِذين آمنوا قُوا َأن ُفس ُكم وَأهل‬
ُ َ ُ َ ً ْ َْْ َ َُ َ َ
ِ ِ ‫ِئ‬
ُ ‫َماَل َكةٌ غاَل ٌظ ش َد ٌاد اَّل َي ْع‬
‫صو َن اللَّهَ َما ََأمَر ُه ْم َو َي ْف َعلُو َن َما يُْؤ َم ُرو َن‬

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu

dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu (QS Al-Tahrim 66:

6)

Ayat diatas menjelaskan bahwa setiap manusia mukmin mempunyai beban

kewajiban dan tanggung jawab memelihara diri dan keluarga dalam bentuk

apapun dari api neraka karena api neraka dapat membuat diri dan jiwa manusia

menderita dan sengsara, yang bertanggung jawab dari itu semua adalah manusia

itu sendiri. Untuk memelihra dirinya dan keluarganya (anak-anak dan istrinya)

dari api neraka, dengan berusaha agar seluruh anggota keluarganya melaksanakan

perintah-perintah Alloh (Ghozali, 2015:177).

Dalam pemeliharaan anak (hadhanah), Nabi SAW menunjukan bahwa

ibulah yang paling berhak memelihara sesuai dengan sabdanya:

ِ ِ ِ ِِ ِ
ً‫ت يَا َر ُس ْو َل اهلل ا َّن ابْيِن ْ َه َذا َكا َن بَطْيِن ْ لَهُ ِو َعاءً وثَ ْدي ْي لَهُ س َقاء‬
ْ َ‫اَ َّن ا ْمَرَأَة قَال‬
ِ ْ‫ال هَل ا رسو ُل ا‬
‫هلل‬ َ ‫ق‬
َ ‫ف‬
َ ‫ين‬ ‫م‬ِ ‫و ِحج ِري لَه ِحواء واِ َّن اَباه طَلَّ َقيِن واَراد اَ ْن يَّْنتَ ِزعه‬
ُْ َ َ ْ َُ َ ََ ْ َُ ًَ َ ُ ْ َ
‫ت اَ َح ُّق بِِه َمامَلْ ُتْن ِك ِح ْي (رواه امحد وابو داوود‬ ِ ْ‫صلَّى اهلل عليه وسلم اَن‬
َ
)‫وصححه احلكم‬

Artinya: Bahwasanya telah berkata seorang wanita kepada Rosulullah


SAW: Ya Rosulullah sesungguhnya anakku ini, perut akulah yang
mengandungnnya dan air susu akulah yang diminumya, serta pangkuankulah
tempat penjaganya, sedang ayahnya telah menceraikanku dan ia bermaksud untuk
memisahkan anakku dariku Rosulullah SAW bersabda: Engkau lebih berhak
terhadap anakmu selama engkau belum kawin (HR. Ahmad, Abu Daud dan
disahihkan oleh Al-Hakim)
Kandungan hadits diatas adalah apabila terjadi perceraian antara suami istri

dan meninggalkan anak, selama ibunya belum menikah lagi, maka diutamakan

untuk mengasuhnya, sebab ibu lebih mengetahui dan lebih mampu mendidik

anak-anaknya. Ibu lebih diutamakan selama mempunyai kelayakan mengasuh dan

menyusui mengingat lebih mengerti dan dan mampu mendidik anak. Kesabaran

ibu dalam hal ini lebih besar dari pada bapak. Karena itu, ibu lebih diutamakan

demi menjaga kemaslahatan anaknya. Jika si ibu telah menikah dengan laki-laki

lain maka hadhanah menjadi hilang (Sabiq, 1983:289) .

Berdasarkan hadits lain mengatakan:


‫ب بِابْيِن ْ َوقَ ْد َن َف َعيِن ْ َو َس َقاْيِن ْ ِم ْن بِْئ ِر‬ ِ ‫ِ ِإ‬
َ ‫ت يَا َر ُس ْو َل اهلل َّن َز ْوج ْي يُِريْ ُد اَ ْن يَ ْذ َه‬ ْ َ‫اَ َّن ْامَرَأَة قَال‬
ِِ َ ‫اَيِب ْ ِعنَبَ ْة فَ َجاءَ َز ْو َج َها َف َق‬
‫ك فَ ُخ ْذ‬ َ ‫ال النَّيِب ُّ صلى اهلل عليه وسلم يَاغُاَل ْم َه َذا اَبُ ْو َك َو َهذه اُُّم‬
)‫ت بِِه (روه امحد واألربعة وصححه الرتمذي‬ ِِ ِ ِ ِ
ْ ‫َأخ َذ بِيَد ْي اُمه فَانْطَلَ َق‬
َ َ‫ت ف‬ َ ‫بِيَد ْي اَيُّ ُه َما شْئ‬
Artinya; Bahwasanya telah berkata seorang wanita kepada Rasulullah SAW:
Ya Rasulullah suamiku ingin membawa anakku padahal dia berguna untukku dan
mengambilkan air dari sumur Abu ‘Inabah untukku. Nabi SAW bersabda; wahai
anak laki-laki ini ayahmu dan ini ibumu, peganglah tangan siapa dari yang engkau
kehendaki. Lalu ia memegang tangan ibunya dan ia membawanya pergi (HR.
Ahmad, Imam yang empat, dan di sahihkan oleh at-Tirmdzi)

Hadits lain juga mengatakan;

‫صلَى اهلل عليه‬ ‫يِب‬َّ


‫ن‬ ‫ال‬ ‫د‬ ‫ع‬ ‫ق‬
ْ ‫َأ‬َ‫ف‬ ‫م‬ ِ‫ت إمرَأتُه َأ ْن تُسل‬ ِ َ‫عن رافِع ب ِن ِسن‬
ِ ‫ان اَنَّه َأسلَم وَأب‬
َ َّ َ َ َ ْ ُ ْ
َ َََ ْ ُ ْ ْ َ َْ
َ ‫ال اِىَل َُّأم ِه َف َق‬
‫ال اَللّ ُه َّم‬ َ ‫الصيِب ِّ َبْيَن ُه َما فَ َم‬ ِ َ‫اَأْلب ن‬
َّ ‫احيَةً َواَْق َع َد‬ ِ ‫احيةً و‬ ِ َ‫وسلم ا‬
َ َ َ‫ُأْلم ن‬ُ
ِ َ ‫اِه ِد ِه فَم‬
)‫َأخ َذهُ ( أخرجه ابو دود والنسائي وو صححه احلاكم‬ َ َ‫ال اَبِْيه ف‬ َ ْ
Artinya; dari rafi’ ibnu sinan RA bahwa ia masuk islam namun istrinya
menolak untuk masuk islam. Maka Nabi SAW mendudukan sang ibu di sebuah
sudut , sang ayah di sudut lain dan sang anak beliau dudukan di antara keduanya.
Lalu anak itu cenderung kepada ibunya. Maka beliau berdoa: “Ya Allah, berilah ia
hidayahnya. Kemudian ia cenderung mengikuti ayahnya, lalu ia mengambilnya.
( HR. Abu DawudAn-Nasai dan di sahihkan oleh al-Hakim)
Para pakar hukum islam sepakat bahwa pengasuhan dimulai sejak lahir

sampai usia tamyiz, namun para ulama sendiri berbeda pendapat apakah

pengasuhannya tetap pada ibunya ketika anak tersebut sudah mumayiz. Mazhab

Hanafi dan Maliki, hak hadhanah tetap berada pada ibunya, baik ibunya bercerai

atau ditinggal mati suaminya, sedangkan mazhab Syafii dan Hambali, diberikan

kepada anak untuk memilih untuk tinggal bersama ayah atau ibunya ( Az-zuhaili,

2011:742).

Menurut Sayyid Sabiq (1983:289), apabila orang tua bercerai, sedangkan

mereka mempunyai anak kecil maka ibu lebih berhak daripada ayahnya, selama

tidak ada hal-hal yang menghalanginya atau selama anak tersebut belum dapat

menentukan pilihannya. Demikian juga menurut Ahmad Zainuddin (2004:556),

yang paling utama hadhanah adalah mendidik anak yang belum bisa mandiri

sampai anak tersebut tamyiz adalah ibunya, selama ibunya belum menikah lagi

dengan orang lain. Sedangkan anak yang sudah mumayiz jika kedua orang tuanya

bercerai boleh memilih antara ibu atau ayahnya.

1. Hadhanah Anak Menurut Kompilasi Hukum Islam

a. Latar Belakang Kompilasi Hukum Islam

Lahirnya Kompilasi Hukum Islam di latar belakangi oleh Undang-Undang

tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuwasaan kehakiman, dan

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung Peradilan

Agama Bagi bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

Dasar 1945 adalah mutlak adanya suatu hukum nasional yang menjamin

kelangsungan hidup beragama berdasarkan Ketuhanan yang maha esa yang


sekaligus merupakan perwujudan kesadaran hukum masyarakat dan bangsa

Indonesia.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 mempunyai kedudukan yang

sederajat dengan lingkungan peradilan lainnya sebagai peradilan Negara.Hukum

materil yang selama ini berlaku di lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum

Islam yang ada garis besarnya meliputi bidang-bidang hukum perkawinan, hukum

kewarisan dan hukum perwakafan. Berdasarkan surat edaran biro Peradilan

Agama tanggal 18 Februari 1958 Nomor B/I/735hukum materil yang dijadikan

pedoman dalam bidang-bidang hukum tersebut diatas adalah bersumber pada 13

kitab yang kesemuanya madzhab Syafi’i.

Dengan berlakunya Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan dan Peraturan Pemerintahan Nomor 28 Tahun 1977 tentang

Perwakafan Tanah milik maka kebutuhan hukum masyarakat semakin

berkembang sehingga kitab-kitab tersebut dirasakan perlu pula untuk diperluas

baiik dengan menambahakan kitab-kitab dari madzhab yang lain, memperluas

penafsiran terhadap ketentuan di dalamnya membandingkannnya dengan

yurisprudensi Peradilan Agama fatwa para ulama maupun perbandingan di

Negara-negara lain.

Hukum materil tersebut perlu dihimpun dan diletakan dalam suatu dokumen

yustisia atau buku kompilasi hukum islam sehingga dapat dijadikan pedoman bagi

hakim dilingkungan badan Peradilan agama sebagai hukum terapan dalam

menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya.


b. Anak Menurut Kompilasi Hukum Islam

Anak yang menjadi substansi permasalahan dalam penelitian ini perlu

dipahami secara komprehensif baik dari prespektif kompilasi hukum islam

ataupun menurut UU N0 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, tujuan

memahami anak itu sendiri agar mengetahui objek yang akan diteliti sesuai

dengan paramater teks yang akan diteliti sehingga pembahasan yang akan dibahas

kedepan akan sesuai dengan tujuan dilakukanya penelitian ini. Dalam kompilasi

hukum islam sendiri tidak menyebutakan tentang definisi anak secara jelas hanya

menyebutkan tentang kriteria-kriteria anak.

Pasal 98 ayat (1) menyebutkan, “atas usia anak yang mampu berdiri sendiri

atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun

mental atau belum atau belum pernah melangsungkan perkawnan”.

Dalam Pasal ini menjelaskan bahwa usia anak yang masih menjadi

tanggung jawab orang tuanya ialah sampa anak tersebut berusia 21 tahun dengan

ketentuan bahwa anak tersebut tidak memiliki cacat fisik maka apabila anak

tersebut memilik cacat fisik maupun mental maka apabila anak tersebut memilik

cacat baik cacat fisik ataupun mental maka apabila tidak ada yang mengurusnya

maka anak tersebut masih tanggung jawab dari orang tunya atau sekalipun belum

berusia 21 tahun anak tersebut sudah melakukan perkawinan maka anak tersebut

sudah bukan tanggung jawab dari orang tua itu lagi akan tetapi merupakan

tanggung jawab daripada suaminya.

Sementara itu bila merujuk pasal 99 kompilasi hukum islam menerangkan

tentang anak yang sah menurut Kompilasi Hukum Islam bahwa anak yang sah

adalah:
a. Anak yang dilahirkan dalam atau akaibat perkawinan yang sah.

b. Hasil perbuatan suami istri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh

istri tersebut.

Bila merujuk pasal diatas maka anak yang sah ialah anak yang lahir dalam

atau akibat perkawinan sehingga anak yang lahir diluar atau akibat dari hubungan

yang tidak sah maka anak tersebut dianggap anak yang tidak sah dimata hukum

dan Negara sehinnga kedudukannya sangat rapuh dan riskan hak-hak anak

tersebut tidak terpenuhi. Hal ini tentu diakibatkan karena tidak adanya kekuatan

hukum yang mengikat tentang kedudukan anak tesebut. Lebih lanjut dijelaskan

tentang kedudukan anak yang lahir diluar nikah dalam segi nasab maka anak

tersebut dalam segi nasab hanya memiliki hubugan nasab dengan ibunya

sebagaimana dalan pasal 100 Kompilasi Hukum Islam menjelaskan “ anak yang

lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan

keluarga ibunya”.

Dengan demikian anak yang dimaksud dalam Kompilasi Hukum Islam

adalah seseorang yang belum berusia 21 tahun dan belum pernah berkeluarga

kemudian anak yang sah menurut Kompilasi Hukum Islam adalah anak yang lahir

didalam atau akibat perkawinan yang sah adapun anak yang lahir di luar

perkawinan hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.

c. Hadhanah anak menurut Kompilasi Hukum Islam

Hadhanah atau hak asuh anak yang merupakan hak dari seorang anak

mendapatkan perlindungan dari orang tuanya maka Kompilasi Hukum Islam

dalam rangka mengatur keberlangsungan hak asuh anak maka Kompilasi Hukum
Islam mengatur tentang hadhanah anak. Hal ini sesuai dengan apa yang tertulis

dalam Kompilasi HukumIslam Pasal 104:

a. Semua biaya penyusuan anak dipertanggungjawabkan kepada ayahnya.

Apabila ayahnya setelah meninggal dunia, maka biaya penyusuan

dibebankan kepada orang yang berkewajiaban memberi nafkah kepada

ayahnya atau walinya.

b. Penyusuan dilakukan untuk paling lama dua tahun, dan dapat dilakukan

penyapihan dalam masa kurnag dua tahun atas persetujuan ayah dan ibunya.

Dalam pasal ini menjelaskan tentang proses pengurusan anak ketika anak itu

baru lahir hinnga berusia 2 tahun dalam pasal ini menjelaskan bahwa anak setelah

lahir memerlukan perawatan salah satunya ia lah harus diberikan ASI adapun pola

penyusuan dalam pasal tersebut ialah segala macam bentuk pembiayaan

diserahkan kepada ayah maka apabila anak tersebut disusukan kepada orang lain

maka biaya penyusuan ditanggung oleh ayahnya. Kemuadian apabiala ayahnya

meninggal maka pembiayayaan menyusui ditanggung oleh keluarga dari ayah

tersebut atau orang yang menjadi wali dari si ayah.

Adapun pada ayat (2) menjelaskan tentang periodesasi menyusui dimana

pada ayat ini dijelaskan bahwa penyusuan paling lama ialah dua tahun, kemudian

apabila penyusuan sudah akan dilakukan penyapihan dan belum berusia dua tahun

maka itu harus dengan seiijin dari ayahnya.

Kemudian untuk pengurusan harta si anak maka lebih lanjut Kompilasi

Hukum islam mengatur tentang kepengurusan harta si anak bahwa kepengurusan

harta si anak sebelum ia dewasa maka kepengurusan harta si anak di serahkan dan
dikelola oleh orang tua. Sesuai dengan Pasal 106 Kompilasi Hukum Islam

menyebutakan:

(1) Orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta ankanya yang

belum dewasa atau dibawwah pengampunan, dan tidak diperbolehkan

memindahkan atau menggadaikannya kecuali krena keperluan yang

mendesak jika kepentingan dan keselaamatan anak itu menghendaki atau

suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan lagi.

(2) Orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena

kesalahan dan kelalaian dari kewajiban tersebut pada ayat (1)

Dalam pasal ini sudah sangat jelas bahwa kepengurusan dan pengeleloaan

harta anak sebelum anak itu dewas sepenuhnya diserahkan kepada orang tua

bahkan dalam pasal ini mengatur apabila terjadi kerugian dalam mengelola harta

milik anak maka orang tua wajib bertanggung jawab apabila sampai terjadi

kerugian/

d. Hadhanah Anak yang Belum Mumayyiz Setelah Perceraian dalam


Kompilasi Hukum Islam

Apabila terjadi perceraian dari orang tua anak tersebut maka tentu akan

sangat berdampak pada sebuah keluarga, terutama orang yang paling terdampak

dari perceraian tersebut adalah si anak oleh karenanya Kompilasi Hukum Islam

mengatur hadhanah atau hak asuh anak apabila orang tua dari anak tersebut

bercerai.

a. Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan:

Dalam hal terjadinya perceraian:

(1) Pemeliiharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun

adalah hak ibunya.


(2) Pemeliharaan anak yang sudah belum mumayyiz diserahkan kepada anak

untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak

pemeliharaannya.

(3) Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.

b. Pasal 156 Kompilasi Hukum Islam:

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:

a. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya,

kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya di ganti

oleh:

1. Wanita-wanita dala garis lurus ke atas ibu

2. Ayah

3. Waita-wanita dalamgaris lurus ke atas dari ayah

4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan.

5. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.

b. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan

hadhanah dari ayah atau ibunya.

c. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin

keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan

hadhanah telah dicukupi maka atas permintaan kerabat yang

bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah

kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula.


d. Semua biaya hadahanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah

menurut kemampuan ayah sekurang-kurangnnya sampai anak tersebut

dewasa dapat mengurus diri sendiri (21 tahun)

e. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak,

pengdilan agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a),(b) dan

(d)

f. Pengadilan dapat pula dengan mengigat kemampuan ayahnya

menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak yang

tidak turut padanya.

1. Hak Hadhanah Anak yang Belum Mumayyiz Menurut UU No 23 Tahun


2002 Tentang Perlindungan Anak

a. Latar Belakang UU NO 23 Tahun 2002 Perlindungan Anak

Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kesejahteraan tiap-tiap

warga negaranya, termasuk perlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak

asasi manusia.

anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya

melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya, anak adalah tunas,

potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran

strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan

eksistensi bangsa dan negara pada masa depan.

agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia

perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang

secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, perlu

dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak


dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya

perlakuan tanpa diskriminasi

untuk mewujudkan perlindungan dan kesejahteraan anak diperlukan

dukungan kelembagaan dan peraturan perundang-undangan yang dapat menjamin

pelaksanaannya berbagai undang-undang hanya mengatur hal-hal tertentu

mengenai anak dan secara khusus belum mengatur keseluruhan aspek yang

berkaitan dengan perlindungan anak berdasarkan pertimbangan tersebut perlu

ditetapkan Undang-undang tentang Perlindungan Anak

b. Anak Menurut UU NO 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Dalam Undang Undang perlindungan anak menjelaskan mengenai

pengertian anak pada Pasal 1 ayat (1) Anak adalah seseorang yang belum berusia

18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Dalam pasal ini dijelskan tentang pengertian anak menurut perspektif

Undang-Undang No 23 tentang Perlindungan anak dimana menurut pasal ini

manusia dikategorikan anak ialah orang yang belum berusia 18 tahun. Bila

mengacu perkembangan anak menurut para ahli memang merupakan masa akhir

dari masa remaja sehingga pada masa ini memang telah mencapai kematangan

dalam berfikir seingga pada usia ini anak memang sudah memiliki kematangan

berfikir sehingga anak akan mampu untuk hidup mandiri dan bisa melindungi diri

sendiri.

Mengenai perkambangan usia anak para ahli banyak berpendapat. Menurut

Monks dalam Desmita (2008:190) membedakan masa remaja menjadi empat

bagian, yaitu: (1) masa praremaja atau masa prapubertas (10—12 tahun), (2)

masa remaja awal atau pubertas (12—15 tahun), (3) masa remaja
pertengahan (15—18 tahun), dan (4) masa remaja akhir (18—21 tahun).

Remaja awal hingga remaja akhir inilah yang disebut masa adolescence.

Sementara menurutJohn W.Santrock (2003: 26) mengemukakan bahwa

“Remaja (adolescence) diartikan sebagai masa perkembangan transisi antara

masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif

dan sosial-emosional. Dalam kebanyakan budaya, usiaremaja dimulai pada

sekitar 10—13 tahun dan berakhir kira-kira usia 18—22 tahun”.

Dengan demikian bila merujuk pendapat para ahli memang sesuai dengan

Undang-Undang NO 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, anak ialah

seseorang yang belum berusia 18 tahun karena pada masa ini merupakan masa

akhir dari masa remaja dan awal dari masa dewasa.

c. Pengertian Perlindungan Anak

Perlindungan anak adalah segala usaha yang dilakukan untuk menciptakan

kondisi agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya demi

perkembangan dan pertumbuhan anak secara wajar baik fisik, mental dan sosial.

Perlindungan anak merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu

masyarakat, dengan demikian perlindungan anak diusahakan dalam berbagai

bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Kegiatan perlindungan anak

membawa akibat hukum, baik dalam kaitannya dengan hukum tertulis maupun

hukum tidak tertulis. Hukum merupakan jaminan bagi kegiatan perlindungan

anak.

Sementara itu Menurut Ahmad Kamil Perlindungan Anak merupakan

pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara

yang merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus menerus


demi terlindunginya hak-hak anak. Pengawasan ekstra terhadap anak baik

secara pribadi maupun sebagai bagian dari masyarakat, perlu dilakukan. Hal

tersebut ditujukan untuk melindungi hak-hak anak serta mencegah masuknya

pengaruh eksternal yang negatif yang dapat mengganggu tumbuh kembang

anak

Sementara itu Menurut pasal 1 ayat (2) “Perlindungan anak adalah segala

kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup,

tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan

martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan

diskriminasi”.

Dengan demikian yang dimaksud perlindungan anak ialah segala bentuk

kegiatan yang dilakukan baik oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah,

dan juga Negara yang dilakukan secara terus menerus yang bertujuan untuk

menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup tumbuh,

berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat martabatnya

sebagai manusia.

d. Asas dan Tujuan Perlindungan Anak

Asas dan tujuan perlindungan anak dijelaskan dalam Undang-Undang No 23

tentang perlindungan anak sebagai berikut:

Dalam pasal 2 menjelaskan penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan

Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi :

1. non diskriminasi;

2. kepentingan yang terbaik bagi anak;


3. hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan

4. penghargaan terhadap pendapat anak.

Sementara itu pasal 3 menjelaskan perlindungan anak bertujuan untuk

menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan

berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,

serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya

anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.

Adapun maksud dari pasal tersebut adalah Asas perlindungan anak di sini

sesuai dengan prinsip-prinsip pokok yang terkandung dalam Konvensi Hak-Hak

Anak. Yang dimaksud dengan asas kepentingan yang terbaik bagi anak adalah

bahwa dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh

pemerintah, masyarakat, badan legislatif, dan badan yudikatif, maka kepentingan

yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama. Yang dimaksud

dengan asas hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan adalah hak

asasi yang paling mendasar bagi anak yang dilindungi oleh negara, pemerintah,

masyarakat, keluarga, dan orang tua. Yang dimaksud dengan asas penghargaan

terhadap pendapat anak adalah penghormatan atas hak-hak anak untuk

berpartisipasi dan menyatakan pendapatnya dalam pengambilan keputusan

terutama jika menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya.

e. Hak dan Kewajiban Anak

Dalam Undang Undang No 23 tahun 2002 dijelaskan mengenaih hak dan

kewajiban anak sebagai berikut:


a. Pasal 4

Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan

berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,

serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

b. Pasal 5

Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status

kewarganegaraan.

c. Pasal 6

Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan

berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan

orang tua.

d. Pasal7

(1) Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh

oleh orang tuanya sendiri.

(2) Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh

kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak

diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

e. Pasal 8

Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial

sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial.

f. Pasal 9
(1) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka

pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai denga minat dan

bakatnya.

(2) Selain hak anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), khusus bagi anak

yang menyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa,

sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan

pendidikan khusus.

g. Pasal 10

Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima,

mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan

usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan

dan kepatutan.

h. Pasal 11

Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang,

bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, dan berkreasi sesuai dengan

minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri.

i. Pasal 12

Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi,

bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.

j. Pasal 13

(1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain

mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat

perlindungan dari perlakuan:

1. diskriminasi;
2. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;

3. penelantaran;

4. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;

5. ketidakadilan; dan

6. perlakuan salah lainnya.

(2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk

perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan

pemberatan hukuman.

k. Pasal 14

Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada

alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu

adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan

terakhir.

l. Pasal 15

Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari :

1. penyalahgunaan dalam kegiatan politik;

2. pelibatan dalam sengketa bersenjata;

3. pelibatan dalam kerusuhan sosial;

4. pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; dan

5. pelibatan dalam peperangan.

(3)
m. Pasal 16

(1) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran

penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.

(2) Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.

(3) Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya

dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat

dilakukan sebagai upaya terakhir.

n. Pasal 17

(1) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk :

1. mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan

dari orang dewasa;

2. memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam

setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan

3. membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang

objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum.

(2) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau

yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.

o. Pasal 18

Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak

mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.

p. Pasal 19

Setiap anak berkewajiban untuk :

1. menghormati orang tua, wali, dan guru;

2. mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman;


3. mencintai tanah air, bangsa, dan negara;

4. menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan

5. melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.

f. Hadhanah Anak menurut UU NO 23 tahun 2002

Hadhanah yang merupakan istilah yang akan di bahas dalam penelitian ini

tidak ada kata eksplisit yang menyebutkan mengenai hadhanah dalam Undang-

Undang NO 23 tahun 2002, dalam Undang-Undang No 23 tahun 2002

menggunakan istilah kuasa asuh anak. Didalam Undang-Undang ini dijelaskan

mengeni hadhanah anak atau kuasa asuh anak dalam Pasal 30 sampai 32

sebagaimana berikut:

a. Pasal 30

(1) Dalam hal orang tua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26,melalaikan

kewajibannya, terhadapnya dapat dilakukan tindakan pengawasan atau kuasa asuh

orang tua dapat dicabut.

(2) Tindakan pengawasan terhadap orang tua atau pencabutan kuasa asuh

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui penetapan pengadilan.

b. Pasal 31

(1) Salah satu orang tua, saudara kandung, atau keluarga sampai derajat ketiga,

dapat mengajukan permohonan ke pengadilan untuk mendapatkan penetapan

pengadilan tentang pencabutan kuasa asuh orang tua atau melakukan tindakan

pengawasan apabila terdapat alasan yang kuat untuk itu.

(2) Apabila salah satu orang tua, saudara kandung, atau keluarga sampai dengan

derajat ketiga, tidak dapat melaksanakan fungsinya, maka pencabutan kuasa asuh
orang tua sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat juga diajukan oleh pejabat

yang berwenang atau lembaga lain yang mempunyai kewenangan untuk itu.

(3) Penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat menunjuk

orang perseorangan atau lembaga pemerintah/masyarakat untuk menjadi wali bagi

yang bersangkutan.

(4) Perseorangan yang melaksanakan pengasuhan anak sebagaimana dimaksud

dalam ayat (3) harus seagama dengan agama yang dianut anak yang akan

diasuhnya.

c. Pasal 32

Penetapan pengadilan sebagaimana di_maksud dalam Pasal 31 ayat (3)


sekurang-kurangnya memuat ketentuan :
(1) tidak memutuskan hubungan darah antara anak dan orang tua kandungnya;
(2) tidak menghilangkan kewajiban orang tuanya untuk membiayai hidup
anaknya; dan
(3) batas waktu pencabutan.

3. Relevansi Hadhanah Anak dengan Kompilasi Hukum Islam dan


Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Sebagaimana telah kita ketahui bahwa KHI telah membagi masa hadhanah

kepada dua bagian yaitu ketika anak belum mumayyiz dan ketika anak telah

mumayyiz yaitu berusia 12 tahun. Dalam pasal 105 disebutkan bahwa anak yang

belum mumayyiz yang berhak mengasuhnya adalah ibu sedangkan ketika anak

tersebut telah mumayyiz maka anak diperbolehkan untuk memilih ayah atau ibu

sebagai pemegang hak pengasuhannya.

Penentuan hadhanah bagi anak yang belum mumayyiz, sering kali

mengikuti aturan yang telah ditetapkan bagi anak yang telah mumayyiz, dan
pilihan yang ditujukan oleh anak lebih sering diberikan kepada ayah, bukan

ibunya. Padahal di dalam pasal 156 telah dijelaskan bahwa anak yang belum

mumayyiz yang lebih berhak atas pengasuhan anak tersebut adalah ibunya, dan

apabila ibunya tidak dapat melakukan pengasuhan tersebut maka akan berpindah

kepada nenek baru kemudian ayah, ibu dari ayah, saudara-saudara dari anak,

saudara-saudara seibu dan saudara-saudara seayah.

Kecendrungan anak yang belum mumayyiz memilih ayah sebagai orangtua

asuh, sangat berbeda dengan apa yang ada didalam KHI. Namun yang perlu

diketahui bahwa pada saat anak ingin memilih sendiri kepengasuhan itu, anak itu

belum mumayyiz dan masih berusia 6 tahun, tetapi anak tersebut telah mampu

otak memahami apa yang telah terjadi disekitarnya. Hal itu disebabkan oleh faktor

lingkungan anak yang membuat anak dapat dengan mudah dan cepat memahami

apa yang ada disekitarnya termasuk salah satunya adalah dapat memahami sifat

kedua orang tuanya. Dan ketika anak tersebut ditanya mengenai kedua

orangtuanya anak tersebut mampu menjawabnya dengan mudah sesuai dengan

apa yang ia ketahui.

jika dilihat dari segi psikologi perkembangan, dapat diketahui bahwa anak

pada usia 6 tahun, telah mulai memasuki fase pertengahan perkembangan anak.

Dan pada masa ini anak sudah mulai memasuki dunia sekolah sehingga seiring

dengan perjalanan usia, anak telah mampu memahami hal-hal yang ada

disekitarnya yang baru anak temukan pada waktu sekolah. Dan secara berangsur-

angsur anak sudah mulai dapat mengembangkan kreatifitas yang ia miliki.

Pada usia tersebut anak juga telah mampu melaksanakan aktifitasnya sehari-

hari tanpa bantuan dari orang lain (mandiri), seperti mandi sendiri,
beristinja’sendiri, dapat membedakan antara kanan dan kiri, serta dapat

memahami sedikit demisedikit khitab Allah.

Keinginan anak usia 6 tahun untuk dapat menentukan pilihannya sendiri

dalam pekara hadhanah ini semakin diperkuat oleh adanya Perlindungan Anak

yang harus dapat menjamin perlindungan terhadap anak demi tercapainya

kesejahteraan anak, dan tercapainya hak dan kewajiban yang harus diberikan

kepada anak, agar perkembangan dan petumbuhan anak dapat berjalan dengan

wajar baik fisik, mental maupun sosial. Selain itu perlindungan terhadap anak

berlaku dalam berbagai kehidupan bernegara dan masyarakat. Sehingga dalam

pelindungan anak tersebut dapat melindungi anak dari setiap pemasalahan,

termasuk didalamnya penentuan orangtua asuh.

Selain adanya jaminan terhadap perlindungan anak, di dalam Undang-

Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 10 juga telah

menjelaskan bahwa setiap anak telah diberi kesempatan untuk dapat

mengungkapkan pendapatnya, sesuai dengan kecerdasan yang dimilikinya.

Walaupun di dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 sama sekali tidak

menyinggung masalah mumayyiz, namun dengan berlandaskan pada pasal 1 dan

pasal 10, dapat dipahami bahwa setiap anak dapat diberikan kesempatan untuk

mengungkapkan pendapatnya tanpa ada batasan umur. Dan kebolehan anak untuk

dapat mengungkapkan pendapatnya tersebut tentunya harus sesuai dengan tingkat

kecerdasan yang dimilikinya, seperti halnya dapat memahami apa yang ada

disekitarnya, dapat dengan mudah menjawab setiap pertanyaan yang diberikan

kepadanya. Sehingga pada waktu anak diberikan pertanyaan apapun yang

berkaitan dengan orangtuanya anak dapat menjawab dengan lancar tanpa ada
hambatan apapun, begitu pula bagi yang bertanya dapat memahami dengan baik

apa yang telah diungkapkan oleh anak.

Melihat perkembangan anak usia 6 tahun yang telah mampu secara otak dan

pikiran memahami apa yang telah terjadi disekelingnya dan adanya Undang-

Undang Perlindungan Anak yang telah memberikan hak kepada anak untuk dapat

mengungkapkan pendapat, maka tidak menutup kemungkinan jika anak tersebut

telah mengalami tamyiz sebelum waktunya dan dapat diberikan haknya untuk

memilih.

Namun dari segi usia anak pada waktu memilih, masih dibawah usia

mumayyiz yang telah ditetapkan oleh KHI dan tidak sesuai dengan kandungan

pasal 105 KHI, sehingga sangat jelas bahwa dari segi usia anak tersebut belum

dapat dikatakan mumayyiz, oleh karena itu anak tersebut belum dapat memilih

sendiri orangtua asuhnya. Tetapi jika melihat alasan kenapa anak tersebut

menginginkan untuk memilih sendiri orang tua asuhnya, seperti terjadinya

kekerasan yang dialami anak ketika hidup bersama dengan ibunya, terlebih lagi

jika anak telah mengetahui bahwa ibunya telah melakukan perbuatan yang tercela,

maka hak ibu sebagai pengasuh tersebut dapat berpindah kepada ayahnya.

Hal tersebut disebabkan karena ibu tidak lagi memenuhi syarat-syarat

sebagai seorang hadhinah, terbukti ibu tidak dapat memegang amanah, dan telah

melakukan perbuatan tercela. Syarat-syarat hadhinah yang harus dipenuhi tanpa

ada yang terlewati adalah berakal, merdeka, beragama islam, dapat menjaga

kehormatan dirinya, dapat dipercaya, tidak bersuami yang tidak muhrim dengan

anak menetap
Syarat-syarat yang disebutkan diatas harus terpenuhi oleh ibu, Sehingga Jika

satu syarat tidak dapat dipenuhi, maka gugurlah pencalonannya untuk menjadi

pengasuh. Dan selanjutnya akan bepindah kepada para keluarga yang lebih berhak

dan dapat memenuhi syarat-syarat tersebut.

Berbeda dengan KHI, dalam pandangan Hukum Islam terdapat berbagai

alasan diperbolehkannya anak usia 6 tahun untuk memilih, yaitu hukum Islam

melihat bahwa anak usia 6 tahun, sebagaimana yang telah diungkapkan diatas,

telah mampu secara fisik memahami apa yang ada disekitarnya, maka jika

dihubungkan dengan makna dasar mumayyiz itu sendiri yaitu anak yang telah

mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, dapat melakukan

segala aktifitasnya sendiri termasuk didalamnya mampu beristinja’ sendiri, serta

mampu menjawab setiap pertanyaan yang ditujukan kepadanya dengan baik dan

bahkan mampu memahami khitab Allah. Dapat dipahami bahwa anak tersebut

telah dapat dikatakan anak mumayyiz. Karena anak tersebut telah memenuhi

kriteria mumayyiz sebagaimana yang telah dijelaskan diatas. Dengan demikian

mumayyiz perspektif hukum islam tidak memberikan batasan umur.

Selain berdasarkan pada definisi mumayyiz itu sendiri, menurut golongan

syafi’iyah, mumayyiz seorang anak bukan diukur dari usia, melainkan melalui

perkembangan anak, yang telah mampu makan dan minum sendiri, dapat bersuci

sendiri (istinja’), mampu membedakan antara anggota bagian kanan dan anggota

bagian kiri, mampu menjalankan khitab Allah, dan dapat menjawab setiap

pertanyaan yang diajukan kepadanya dengan baik serta mampu membedakan

antara sesuatu yang membahayakan pada dirinya dan sesuatu yang bermanfaat

bagi dirinya.
sebagian ulama Syafi’iyah telah menyatakan bahwa usia mumayyiz pada

umumnya adalah 7 tahun atau 8 tahun, namun hal ini hanya suatu perkiraan saja

dan bukan dijadikan sebuah patokan, karena pada usia tersebut seoang anak

banyak yang telah dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk dan

telah layak untuk diperintahkan sholat. Selain itu juga usia mumayyiz juga dapat

lebih maju dari biasanya dan terkadang juga lebih mundur dai usia 7 tahun.

Pendapat tersebut juga serupa dengan pendapat madzhab Hanafiyah yang

menyatakan bahwa anak yang mumayyiz adalah anak yang telah mampu makan

dan minum sendiri, atau dengan kata lain sama dengan pendapatnya Syafi’iyah,

sedangkan menurut hanafiyah usia mumayyiz seoang anak adalah 7 tahun dan

telah berkal. Namun dalam madzhab malikiah peneliti tidak menemukan adanya

definisi mumayyiz yang dijelaskan oleh golongan tersebut, terlebih lagi dalam

pandangan Malikiah, pengasuhan anak tidak dibatasi oleh mumayyiz seorang anak

melainkan sampai baligh bagi laki-laki, dan menikah bagi perempuan.

Adapun perkiraan usia mumayyiz yang telah disebutkan oleh paa ulama

tersebut mengacu pada hadits tentang perintah Allah untuk mengajarkan Sholat

pada usia 7 tahun yang artinya:

“Telah meriwayatkan ‘Ali bin Hajr, menghabarkan Harmalah bin ‘Abdul

Al-Aziz bin Ar-Rabi’ bin Sabrah Al-Jahiniy, dari pamannya ‘Abdul Al-malik bin

Al-Rabi’ bin Sabrah, meriwayatkan dari Bapaknya, dari kakeknya berkata:

Rasulullah SAW Bersabda ”Ajarilah anak-anakmu untuk melakukan Sholat ketika

telah berusia Tujuh tahun dan pukullah dia ketika telah berumur sepuluh tahun

jika dia tidak melakukan Shalat. (Riwayat At-Tarimizi)

Usia tujuh tahun yang dijelaskan dalam hadits tersebut mengandung arti
bahwa usia tujuh tahun telah di anggap mumayyiz. Anggapan tersebut bukan

sesuatu yang pasti karena bisa saja anak telah mumayyiz sebelum usia tujuh tahun,

dan bahkan juga bisa lebih dari itu.

Dari beberapa perbedaan pendapat yang telah diungkapkan oleh para ulama,

peneliti lebih memfokuskan pada pendapat mayoritas ulama madzhab yang

menyatakan bahwa mumayyiz adalah anak yang telah mampu secara akal dan

pikiran memahami apa yang ada disekelilingnya, sebagaimana yang telah

disebutkan diatas. Jadi mumayyiz seorang anak bukan diukur melalui usia

melainkan berdaskan definisi tersebut.

Berdasarkan penjelasan dalam perspektif hukum Islam tersebut maka,

semakin memperjelas bahwa ketika anak usia 6 tahun telah mampu secara akal

memenuhi kriteria mumayyiz sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya,

maka anak tersebut dapat memilih sendiri dalam penetuan hak asuh anak tersebut.

Walaupun pendapat ini berbeda dengan KHI, tetapi KHI juga akan

mengedepankan kepentingan anak dalam masalah hadhanah.

Dan kecendungan anak untuk memilih ayah sebagai orangtua asuhnya dapat

diterima selama ayahnya telah memenuhi syarat-syarat sebagai pengasuh anak

yaitu:

a. Tidak terikat dengan suatu pekerjaan yang menyebabkan ayah tidak melakukan

hadhanah dengan baik, seperti hadhinah terikat dengan pekerjaan yang

berjauhan tempatnya dengan tempat sianak, atau hampir seluruh waktunya

dihabiskan untuk bekerja.

b. Hendaklah ayah orang yang mukallaf, yaitu telah baligh, berakal dan tidak

terganggu ingatannya.
c. Hendaklah ayah mempunyai kemampuan melakukan hadhanah.

d. Hendaklah ayah dapat menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak, terutama

yang berhubungan dengan budi pekerti. Orang yang dapat merusak budi

pekerti anak, seperti pezina, pencuri, tidaklah pantas melakukan hadhanah.

e. Beragama Islam

syarat-syarat tersebut harus benar-benar tepenuhi oleh ayah. Sebab jika satu

syarat tidak terpenuhi, akan menyebabkan gugur hak hadhanah tersebut. Tujuan

terpenuhinya syarat-syarat ayah sebagai orang yang berhak untuk dapat mengasuh

anaknya, untuk lebih meyakinkan para hakim jika terbukti kalau ayah anak

tersebut benar-benar layak memegang hak asuh tersebut dan apa yang telah

diungkapkan oleh anak memang benar.

menurut peneliti usia mumayyiz yang telah ditetapkan oleh KHI, sangat

berbeda dengan pola perkembangan anak Indonesia yang kebanyakan pada usia

12 tahun telah memasuki usia baligh atau remaja. Usia 12 tahun dalam fase

perkembangan anak juga merupakan tahap awal usia remaja, sehingga pada usia

tersebut anak telah mampu secara matang memahami apa yang ada disekitarnya.

Termasuk permasalahan-permasalahan yang anak temukan, anak telah mampu

mengatasinya sendiri.

jika kita lihat perkembangan anak indonesia, maka kita akan menemukan

anak usia 12 tahun telah mampu melakukan pekerjaan orang-orang remaja,

sehingga pada usia tersebut anak telah masuk pada usia baligh, bukan mumayyiz

karena dapat dikatakan baligh jika telah melewati usia mumayyiz dan murahaqah

(masa anak yang hampir baligh) yang pada umumnya dimulai antara 12 sampai 15
tahun bagi anak laki-laki dan 10 sampai 13 tahun bagi anak perempuan. Dan anak

usia 12 tahun telah melelui semua itu

Melihat usia mumayyiz yang telah dijelaskan didalam KHI, dan jika peneliti

coba hubungkan dengan perkembangan anak Indonesia yang begitu cepat diluar

tahap perkembangan yang pada umumnya, serta melihat fase-fase perkembangan

dalam Hukum Islam, maka hal tersebut sangat jauh berbeda karena anak usia 12

tahun dalam konteks Indonesia telah banyak yang baligh, dan dapat menggunakan

akalnya dengan sebaiknya. Sehingga usia mumayyiz dalam konteks Indonesia

bukan berusia 12 tahun, melainkan sesuai dengan pola pikir dan perkembangan

anak tersebut.

Terjadinya perbedaan terhadap usia mumayyiz sebagaimana yang telah

peneliti jelaskan, semakin diperkuat dengan adanya fakta yang peneliti temukan

dilapangan dalam penyelesaian perkara hadhanah di PA. Pada kenyataannya para

hakim banyak yang tidak menggunakan pasal 105 di dalam KHI. hal ini

disebabkan karena dalam memutusan perkara-perkara tersebut hakim melakukan

ijtihad sendiri, sesuai dengan petunjuk Undang-Undang No. 4 tahun 2004 tentang

kekuasaan kehakiman sepeti dalam pasal 16 yang menjelaskan bahwa pengadilan

Agama tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara

yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada tau kurang jelas, melainkan

wajib untuk memiksa dan mengadilinya. Sehingga dalam putusan tersebut hakim

melakukan ijtihad sendiri dengan menggunakan kitab-kitab fiqh yang lebih

mengedepankan kemaslahatan dan keadilan terhadap anak itu sendiri.

hal itu juga telah di jelaskan dalam hasil Rakernas MA pada tahun 2007 di

Makasar, yang menjelaskan bahwa dalam sengketa hadhanah di Pengadilan


Agama harus diputus dengan mendahulukan kepentingan Anak, sesuai dengan

pasal 10 Undang-Undang NO. 23 Tahun 2002, dan Mengupayakan perdamaian

melalui mediasi yang pada dasanya memiliki tujuan untuk

mengupayakan kemaslahatan terhadap anak.

Dalam perkara No.878/Pdt.G/2005/PA.JS dan perkara No. 904/ Pdt.G/

2007/ PA.JS, serta Putusan No.345/Pdt.G/2007/PA.Bks. Dalam putusan perkara

tersebut tidak berlandaskan pada pasal 105 KHI dan putusan perkara hadhanah

anak yang belum mumayyiz tersebut diserahkan kepada ayah dengan alasan demi

menjaga kemaslahatan terhadap anak, sehingga hakim sama sekali tidak

menggunakan pasal 105 KHI sebagai landasan Hukum Fomil Pengadilan Agama.

Putusan tersebut juga sama dengan putusan No 182/Pdt.G/2009/PA.bdg,93

yang juga mengedepankan kemaslahatan pada anak dengan mengabaikan pasal

105 KHI, selain itu alasan hak hadhanah tersebut di menangkan oleh ayah, karena

sejak kecil anak tersebut telah diasuh oleh ayahnya, sehingga anak tersebut tidak

mau tinggal bersama dengan ibunya, terlebih lagi bahwa ibunya tidak pernah

maumengurus dan tidak bertanggung jawab terhadap pengurusan anak. Sehingga

hal tersebut semakin menjadikan penguat bagi hakim untuk tidak memberikan hak

asuh anak yang belum mumayyiz kepada ibu kandungnya.

Putusan-putusan hakim yang tidak menggunakan KHI dalam penentuan

hadhanah dengan alasan mengutamakan kemaslahatan tehadap anak, telah

menunjukkan bahwa aturan hukum yang ada di dalam KHI benar-benar belum

sesuai dengan fakta yang ada dan juga dalam pelaksanannya belum efektif,

sehingga diperlukan pengkajian lebih lanjut terhadap bunyi pasal 105 KHI.
adanya Undang-Undang No. 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman,

telah memberikan kewenangan kepada hakim untuk dapat beralih menggunakan

landasan kitab-kitab fiqh atau yang lainnya sesuai dengan landasan hukum materil

Peradilan agama. Hal ini semakin memperlihatkan ketidak efektifan KHI karena

belum sesuai dengan apa yang ada.

jika Melihat batasan usia mumayyiz yang telah ditetapkan oleh KHI, tidak

sesuai dengan kenyataan yang ada maka hal tersebut dapat memicu terjadinya

perbedaan pemahaman antara KHI dengan kenyataan yang ada, karena hal

tersebut nantinya akan berkaitan dengan putusan yang harus dibuat ketika terjadi

masalah hadhanah dimana anak yang masih berusia dibawah 6 tahun telah

mampu ikut andil dalam penentuan siapa yang berhak mengasuh anak tersebut.

Oleh kaena itu seharusnya di dalam KHI lebih memperjelas makna mumayyiz

sesuai dengan aturan hukum Islam yang ada, bukan berdasarkan usia anak. Dan

setiap perkara hadhanah yang terjadi harus diputus dengan mengedepankan unsur

maslahah yaitu kebaikan, manfaat, kenyamanan serta keharmonisan anak.

Sementara itu mengenai hadhanah anak yang dibahas dalam KHI dan juga

Undang-Undang No23 tahun 2002 terdapat perbedaan dan persamaan maksud dan

tujuan yang terjkandung baik dalam Kompilasi Hukum Islam atau pun dalam

Undang Undang NO23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak diantara perbedaan

dan persamaan nya adalah sebagai berikut:

Perbedaan yang ada dalam Kompilasi Hukum Islam diantaranya

1. Mengenai batasan usia anak didalam Kompilasi Hukum Islam dan Undang-

Undang No23 tahun 2002 terdapat perbedaan dimana dalam Kompilasi

HukumIslam Pasal 98 menyebutkan bahwa batasan usia anak adalah 21 tahun


sedangkan dalam Undang-Undang NO23 tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak Pasal 1 ayat 1 menyebutkan bahwa batasan usia anak adalah 18 tahun.

2. Terkait dalam penentuan hadhanah anak yang belum mumayyiz juga terdapat

perbedaan dimana dalam dalam KHI menyebutkan dalam Pasal 105 dan pasal

156 bahwa anak yang belum mumayyiz dalam hadhanah nya jatuh kepada ibu

dan tidak memiliki hak untuk ikut menentukan kepada siapa dirinya akan

diasuh sedangkan dalam Undang-Undang No23 tahun 2002 menyebutkan

dalam pasal 10 bahwa anak memilik hak untuk menyatakan dan didengar

pendaptnya apalagi terkait dengan hal yang menyangkut dirinya dalam hal ini

terkait dengan kepada siapa hadhanahnya akan diberikan.

Adapun persamaan yang terdapat dalam KHI dan Undang-Undang No23

tahun 2002 terkait hadhanah anak atau kuwasa asuh anak sebagai berikut

1. Pasal 4 UU NO 23 tahun 2003 menyebutkan “Setiap anak berhak untuk

dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai

dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari

kekerasan dan diskriminasi”.Pasal ini sangat sejalan dengan definisi

haḍānah yang digunakan oleh KHI yaitu suatu upaya yang dilakukan oleh

orang yang berhak atas haḍānah untuk dapat mengasuh, memelihara dan

mendidik anak hingga dewasa atau mampu berdiri sendiri.

2. Pasal 5 menyebutkan “Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas

diri dan status kewarganegaraan”.Pasal ini sangat jelas sekali sesuai dengan

ketentuan-ketentuan dalam KHI yang selalu mengedepankan keturunan

yang sah (nasab), dimana dalam hal ini bisa dilihat dalam pasal Pasal 99

KHI yaitutentanganak yang sah adalah:a. anak yang dilahirkan dalam atau
akibat perkawinan yang sah;b. hasil perbuatan suami istri yang sah

diluar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.Pasal 100Anak yang lahir

di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan

keluarga ibunya.

3. Pasal 6menyebutkan “Setiap anak berhak untuk beribadah menurut

agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan

usianya, dalam bimbingan orang tua.Pasal ini juga sangat sejalan dengan

KHI, dimana dalam setiap aturan KHI selalu mengedepankan agama dalam

setiap gerak hidup manusia.

4. Pasal 7 menyebutkan “(1) Setiap anak berhak untuk mengetahui orang

tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri. (2) Dalam hal

karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang

anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak

diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang

lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku”. Pasal ini juga jelas sekali sesuai dengan ketentuan-ketentuan

yang terdapat dalam KHI, yaitu agar kedua orang tua selalu membinkan

anak mereka dengan nama ayahnya, dan kedua orang tua tersebut harus

berusaha sekuat tenaga untuk memelihara dan membesarkan anak-anak

mereka. Dan jikalau mereka tidak mampu para keluarga terdekat atau para

famili agar selalu memberikan bantuan kepada anak tersebut, supaya

kehidupannya tidak terancam atau berjalan sesuai yang diharapkan

Selain daripada pasal tersebut diatas sejatinya pasal-pasal yang terkandung

dalam Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang No 23 tahunn 2002 banyak


kesamaan terlebih apabila dilihat dengan sudut pandang kemaslahatan bagi si

anak.

C. Metode

1. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan oleh peneliti yaitu metode content

analisis. Dalam buku Penelitian Kualitatif karangan Burhan Bungin, Berelson

mendefinisikan analisis isi (content analisis) yaitu “content anlysis is a research

technique for the objective, systematic, and quantitative description of the

manifest content of communication”. Berarti analisis isi adalah sebagai teknik

penelitian yang objektif, sistematis, dan deskripsi kuantitatif dari apa yang tampak

dalam komunikasi. (Bungin, 2008:155-156).

2. Sumber Data
a. Sumber Data Primer
Menurut Umar (2003:56), data primer yaitu sumber data yang memberikan

informasi dan data secara langsung sebagai hasil pengumpulan sendiri, kemudian

dipaparkan secara langsung dan data yang dikumpulkan serta dipaparkan sifat

benar-benar orisinil. Sedangkan menurut Firdaus dan Fakhry Zamzam (2018:102),

“Data primer adalah data yang dikumpulkan oleh peneliti sendiri baik perorangan

atau organisasi”.

Adapun sumber data primer yang penulis gunakan dalam penelitian ini

adalah data yang diperoleh dari, buku fiqih Karangan Abu Ahmad Najieh (2021)

dan Undang-undang No 1 tahun 1974 Tentanng perkawinan.

b. Sumber Data Sekunder


Menurut Firdaus dan Fakhry Zamzam (2018:102): "Data sekunder adalah
data yang diperoleh dalam bentuk yang sudah jadi berupa publikasi atau file

digital.

Adapun dalam penelitian ini penulis menggunakan sumber data sekunder

berupa buku-buku yang dianggap relevan dengan judul diatas seperti Fiqih Lima

Mazhab, Fiqih Islam, Jurnal, Artikel ilmiah dan lain-lain

3. Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan studi

pustaka terhadap bahan-bahan hukum, baik bahan hukum primer, sekunder,

maupun bahan hukum tersier atau bahan non hukum. Adapun dokumen yang

dimaksud pada penelitian ini adalah “Kewajiban Anak Menafkahi Orang Tua

Perspektif Imam Syafi’i Dan Hukum Positif Undang-Undang No I Tahun 1974

Pasal 46 Ayat (2)”

Sedangkan kepustakaan yang menjadi tempat survey adalah perpustakaan

Institut Agama Islam Darussalam (IAID) Ciamis dan Perpustakaan Daerah

Ciamis.

4. Keabsahan Teks

Pemeriksaan terhadap keabsahan data pada dasarnya selain digunakan untuk

menyanggah balik yang dituduhkan kepada penelitian kualitatif yang menyatakan

tidak ilmiah, juga merupakan sebagai unsur yang tidak terpisahkan dari tubuh

pengetahuan penelitian kualitatif. (Moleong, 2007:320).

Untuk mendapatkan keabsahan data diperlukan teknik pemeriksaan,

pelaksanaan teknik pemeriksaan didasarkan atas sejumlah kriteria tertentu.

Menururt Moleong (2007:324) ada beberapa kriteria yang digunakan yaitu :

2. Derajat kepercayaan (Credibility)


Pada dasarnya menggantikan konsep validitas internal dan nonkualitatif.

Kriteria ini berfungsi : pertama, melaksanakan inkuiri sedemikian rupa sehingga

tingkat kepercayaan penemuannya dapat dicapai; kedua, mempercayakan derajat

kepercayaan hasil-hasil penemuan dengan jalan pembuktian oleh penelitian pada

kenyatan ganda yang sedang diteliti.

3. Keteralihan (Transferability)

Persoalan yang empiris bergantung pada kesamaan antara konteks pengirim

dan penerima. Untuk melakukan pengalihan tersebut, seorang peneliti hendaknya

mencari, mengumpulkan kejadian empiris tentang kesamaan konteks dan

bertanggungjawab untuk menyediakan data deskriptif secukupnya jika ia ingin

membuat keputusan tentang pengalihan. Untuk keperluan itu peneliti harus

melakukan penelitian kecil untuk memastikan usaha memverifikasi tersebut.

4. Ketergantungan (Dependability)

Konsep kebergantungan lebih luas daripada reabilitas. Hal tersebut

disebabkan peninjauan dari segi bahwa konsep itu diperhitungkan segalanya yaitu

yang ada pada reabilitas itu sendiri ditambah faktor-faktor lainnya yang

tersangkut.

5. Analisis Data
Pengolahan data diperlukan dalam sebuah penelitian, supaya data yang telah

diperoleh tidak mentah melainkan telah menjadi bahan yang siap pakai dan dapat

dipahami. Adapun teknik analisis data yang penulis gunakan adalah analisis

kualitatif.

"Analisis data kualitatif adalah proses mencari dan menyusun secara

sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-
bahan lainnya, sehingga dapat mudah dipahami, dan temuannya dapat

diinformasikan kepada orang lain" (Sugiyono, 2017:244).

D. Pembahasan

Mengenai hadhanah anak yang belum mumayyiz telah dijelaskan dalam

Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang No.23 tahun 2002 tenang

Perlindungan Anak, dimana Dalam Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam

menjelaskan tentang kepengurusan anak yang belum mumayyiz apabila terjadi

perceraian. dalam poin (a) menjelaskan tentang kepengurusan anak yang belum

mumayyiz dan juga menjelaskan tentang usia anak yang belum mumayyiz bahwa

dalam pasal ini menjelaskan anak yang belum mumayyiz adalah anak yang belum

berusia dua belas tahun. Kemudian anak yang belum mumayyiz itu sendiri apabila

orang tuanya bercerai maka hadhanahnya atau hak asuh anaknya jatuh kepada

ibu.

Sementara itu pada poin (b) menjelaskan tentang hadhanah anak yang telah

mumayyiz. Bahwa disini dijelaskan bahwa anak yang sudah mumayyiz untuk

hadhanah atau hak asuhnya diserahkan kepada sianak untuk memilih sendiri

kepada siapa hak asuhnya diberikan baik kepada ayah atau pun ibunya ini di

berikan secara penuh hak untuk memilih hadhanahnya.

Pada poin (c) menjelaskan tentang pembiayaan anaknya setelah bercerai.

Menurt poin ini dijelaskan bahwa terkait biaya pemeliharaan anak setelah

perceraian selagi anak itu belum bisa mandiri maka pebiayaan hidup anak tersebut

ditanggung ileh siayah sehingga seorang ayah sekalipun sudah bercerai dengan

istrinya ayah tetap berkewajiban untuk mengurus dan memberi nafkah kepada

anaknya.
Pada pasal 105 di jelaskan bahwa usia tamyiz adalah 12 tahun penetapan

usia 12 tahun dalam Kompilasi Hukum Islam tentu memiliki alasan. Menurut

peneliti jika mengacu pada perkembangan anak bahwa usia 12 tahun adalah usia

anak memasuki masa remaja sehingga pada usia ini anak sudah memiliki

kemampuan untuk menangkap informasi dengan lebih efisien.

Akan tetapi perakteknya di lapangan sejatinya banyak anak yang belum

berusia 12 tahun namun sudah mampu menangkap informasi dengan sempurna

dan sudah bisa memililh mana yang mendatangkan kemaslahatan dan

kenyamananya serta sudah bisa memilih kepada siapa anak itu di asuh. Apabila di

perhatikan fenomena di usia 12 tahun justru sudah banyak yang sudah mencapai

usia akil baligh hal ini dibuktikan dengan sudah adanya anak yang sudah

mastrubasi sehingga paada usia ini tidak hanya tamyiz tapi anak juga sudah

mencapai usia baligh. Bahkan bila melihat dari hadits nabi dikatakan bahwa anak

yang berusia 7 tahun sudah dikatakan tamyiz sehingga pada usia ini Rasulullah

sudah memerintahkan bila melihat fakta yang ada maka selayaknya Kompilasi

Hukum Islam memperbaharui prihal usia anak mumayyiz pada Pasal 105

Kompilasi Hukum Islam.

Adapun pada Pasal 156 lebih di perinci mengenai hak asuh anak setelah

perceraian dimana pada pasal ini menjelaskan tentang urutan hadhanah anak yang

belum mumayyiz apabila ibu dari anak itu tidak memiliki kelayakan untuk

mengasuh dan merawat anak tersebut. Dalam pasal ini juga disebutkan tentang

pembiayaan anak setelah bercerai dimana untuk pembiayaan diserahkam kepada

si ayah sampai usia anak tersebut telah mencapai usia yang mandiri yaitu pada

usia 21 tahun. Namun dalam pasal ini tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai
posisi hadhanah anak yang belum mumayyiz setelah percerain adapun untuk

hadhanah anak yang belum mumayyiz masih sama dengan pasal 105 Kompilasi

Hukum Islam dimana hadhanahnya langsung diberikan kepada ibu terkecuali

apabila ibu sudah meninggal dunia maka hadhanah ibu digantikan sesuai dengan

urutan yang telah ditentukan pada Poin (a) pasal 156 Kompilasi Hukum Islam

Sementara itu dalam Undang-Undang No23 tahun 2002 menjelskan

mengenai hadhanah anak dengan istilah kuasa asuh anak yang dijelaskan pada

Pasal 30, 31, dan Pasal 32 Pada ketiga pasal tersebut dijelaskan tentang

mekanisme hadhanah anak atau dalam istilah disini kuasa asuh anak, pada pasal

30 dijelaskan bahwa orang tua wajib melakuka kewajiban yang telah di tetapkan

dalam pasal 26 yaitu:

1. Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak.

2. Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan

minatnya; dan

3. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.

Apabila orang tua tidak melakukan kewajibannya tersebut maka orang tua bisa di

cabut oleh pengadilan.

Sementara itu apabila terjadi percaraian, maka hak asuh anak akan

ditentukan didalam persidangan di pengadilan dalam penentuan hak asuh anak.

Lebih lanjut mengenai hak kuasa asuh anak diatur jelas dalam pasal 31 an tata

cara pengajuan menganai hak asuh anak tersebut, sebagaimana telah dijelaskan

diatas, bahwa pihak keluarga yang memiliki hak dalam pengasuhan anak tersebut

mengajukan gugatannya ke pengadilan atau melalui lembaga yang berwenang

menangani masalah Pengasuhan anak atau perlindungan terhadap anak, seperti


Komnas perlindungan Anak yang dapat membantu dalam pelaksanaan pengalihan

hak asuh anak.

dalam pengajuan masalah hak asuh anak tersebut, pihak-pihak yang

mengajukan perkara harus dapat memeberikan informasi kepada hakim jika

orangtua asuh sebelumnya tidak layak melaksanakan hak asuh anak tersebut, dan

tidak dapat menjamin perkembangan anak. Sehingga dengan bukti-bukti tersebut

hakim dapat mempertimbangkannya. Karena dalam penentuan hak asuh anak

harus senantiasa mengedepankan kemaslahatan terhadap anak, karena anak berhak

untuk diasuh oleh orang-orang yang dipercaya agar anak dapat tumbuh kembang

sebagaimana mestinya. Dan yang berhak mengasuh anak tersebut, baik orang tua

kandung maupun pihak keluarga sampai derajat ketiga harus dapat memenuhi

syarat-syarat yang telah dijelaskan dalam Undang-Undang Perlindungan Anak,

yaitu yang dapat melindungi anak dari berbagai macam gangguan dan acaman,

dan dapat mengasuh, mendidik anak dengan sebaik-baiknya.

Dengan demikian masalah pengasuhan anak dalam Undang-Undang

perlindungan anak hanya bersifat kondisional, karena dalam Undang-Undang ini

menginginkan adanya jaminan terhadap kelangsungan hidup anak bersama orang

yang mengasuhnya, begitu juga dengan orangtua. Sehingga jika orang tua tidak

dapat memenuhinya, maka hak tersebut dapat beralih kepada pihak keluarga yang

lebih mampu untuk menjamin kelangsungan hidup anak dengan proses beracara

dipengadilan.

dalam penetuan siapa yang berhak untuk mengasuh anak, juga tidak terlepas

dari peran anak untuk ikut andil dalam menentukan siapa yang ia inginkan,

sekalipun keikut sertaan tersebut tidak dilakukan secara langsung atau dengan
menggunakan perantara psikologanak yang dapat memahami anak. Karena hal ini

terkait dengan kenyamanan anak hidup bersama dengan siapa yang nantinya akan

menjadi pengasuhan anak. Hal ini terkait dengan bunyi pasal 10 yaitu “Setiap

anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan

memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi

pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan”.

E. Kesimpulan

Dari penjelasan dan pembahasan yang telah peneliti uarikan di atas dapat di

ambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Alasan ilmiayah usia 12 tahun yang dijadikan sebagai tolak ukur usia

mumayyiz seorang anak sebagaimana yang telah dijelaskan di dalam KHI

adalah berdasarkan pada perkembangan dan pertumbuhan seorang anak, yang

pada masa itu anak telah mampu berpikir secara optimal. Sehingga apabila

anak usia 12 tahun dihadapkan dengan masalah penentuan orang tua asuhnya,

anak dapat memahami dan mampu memberikan jawaban dengan baik

mengenai keadaan kedua orang tuanya. Dan anak dapat dengan tegas

menentukan siapa yang benar-benar ia inginkan menjadi orang tua asuhnya.

2. Konsep hadhanah anak menurut Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak lebih memprioritaskan anak dalam menentukan kepada

siapa hak hadhanah anak itu diberikan, hal ini di tunjukan dengan adanya hak

anak yang disebutkan dalam pasal 10 Undang-Undang No 23 tahun 2002

yang menyebutkan bahwa anak wajib didengar pendapatnya didalam

persidangan termasuk maka bila mengacu pasal tersebut anak harus diikut
sertakan dalam penentuan hadhanahnya baik melalui anak tersebut hadir atau

dengan pendamping anak sekalipun anak tersebut belum berusia 12 tahun.

relevansi hadhanah anak dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan

Undang-Undang NO 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak yang mana

menurut KHI anak usia 6 tahun belum dapat menentukan pilihannya sendiri,

karena anak tersebut belum mumayyiz, tetapi dalam Hukum Islam anak

tersebut telah mumayyiz sehingga dapat memilih orang tua asuhnya sendiri.

Dan kecendrungan anak yang belum mumayyiz memilih ayahnya tetap

diperbolehkan selama ayah telah memenuhi syarat-syarat hadhanah.

Kebolehan memilih telah diperkuat oleh Undang-Undang No. 23 tahun 2002

tentang Perlindungan Anak

F. Daftar Pustaka

Abdullah, Boedi dan Beni Ahmad Saebani. (2013). Perkawinan dan Perceraian
Keluarga Muslim. Bandung: CV Pustaka Setia.
Al-‘Asqalani, Imam al-Hafiz Selamet Dan Aminuin. (1999). Fikih Munkahat II.
Bandung: Putka Setia.

Ad-Dzahabiy, Syamsuddin Muhmmad. (2007). Dosa-Dosa Besar. Solo: Fusaka


Arafah.

Ahmad. (200). Media Pembelajaran. Makasar: Badan Penerbit Universitas Negeri

Al-Faifi, Sulaiman. (2010). Mukhtasar Fiqih Sunnah Sayyid Sabiq. Solo: Aqwam.

Ali, Zainudin, (2012). Hukum Pendeta Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.

Al-Rasyid, Harun. (1994) Teknik Penarikan Sampel dan Penyusunan Skala.


Bandung: Universitas Padjadjaran

Amini, Mukti. (2008.) Pengasuhan Ayah Ibu yang Patut, Kunci Sukses
Mengembangkan Karakter Anak, Yogkarta: Tiara Wacana.
Anggito, Albi dan Setiawan, Johan. (2018). Metodologi Penelitian Kualitatif.

Anshari, Abu Yahya Zakariya. (2000). Fathul Wahab Zuz II. Beirut:Dar Al-Fikr.

Arto, A Mukti.(2005). Pembaruan Hukum Islam Melalui Putusan Hakim.


Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Asqalani, Ibnu Hajar. (2004). Bulugh Al-MaramMin Adillatah Al-Ahkam. Riyadh:


Dar As-Salam

Ayyub, Hasan. (2006). Fikih Keluarga. Jakarta; Pustaka Al-Kutsar.

Bejuri, Burhanudddin Ibrahim. (1999). Hasyiyah as-Syaikh Ibrahim al-Baejuri


Zuz II. Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.

Berg. (1986) Peranan Gizi Dalam Pembangunan Nasional (Zahara, Penerjemah).


Jakarta: C.V. Rajawali.

Dahlan, Abdul Aziz. (2002). Ensiklopedi Islam. Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve.

Daly, Peunoh. (2005). Hukum Perkawin Islam Suatu Studi dalam Kalangan
Ahlussunah dan Negara-Ngara Islam. Jakarta;Bulan Bintang.

dan Ermanita. (2018). Urgensi Dwangsom dalam Eksekusi


Hadhnah. Jakarta: Prenada Media Grup.

Direktorat Jendral Peradilan Agama Mahkamah Agung RI. (2014). Pedoman


Pelaksanaan Tugas Dan Administrasi Peradilan Agama. Jakarta : Ditjen
Badilag.

Djamil, Nasir. (2013) Anak Bukan untuk Dihukum. Jakarta: Sinar Grafika.

Fanani, Ahmad Zaenal. (2005). Pembahasan Hukum Sengketa Hak Asuh Anak di
Idonesia: prespekif keadilan jender. Yogyakarta: UII Pers.

Firdaus dan Zamzam, Fakhry. (2018). Aplikasi Metodologi Penelitian.


Yogyakarta: Deepublish

Ghozali, Abduraman.(2015). Fikih Munkahat. Jakarta: Kencana Prenada Group.


Harahap. M. Yahya.(1975). Hukum prawinan nasional berdsarkan UU No. 1
Tahun 1974 dan PP No.9 Tahun 1975. Medan: CV. Zahir.

Hurlock, E. B. (1990). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan


Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga.

Hurlock, E. B. (1993) Perkembangan Anak. Jilid 2. Penerjemah : Meitasari


Tjadrasa. Edisi ke-6. Jakarta : Erlangga.

Jauhari, Iman dan T. Muhammad Ali Bahar. (2013) Buku Ajar Kapita Selekta
Hukum Perdata: kajia Advokasi Hak-Hak Anak. Bandung: Cipta Pustaka
Media Perintis

Jaziriy, Abdul Rahman. (2003). Al-Fiqh ala al-Mazahib al-Arba’ah Zuz V. Bairut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyah.

Malibariy, Ahmad Zainuddin. (2004). Fath al-Mu’in bi Syar Qurrahal-Ini bi


Muhimmah ad-Din. Biarut: Dar Ibn Hazm.

Manan, Abdul. (2014) Aneka Masalah HukumPerdata Islam di Indonesia.Jakarta:


Kencana Prenada Media Group

Mirudin dan ainal Asikin. (2004). Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta:
Grafindo Perseda.

MK, M. Anshary. (2010) Hukum Perkawinan di Indonesia: Masalah-Masalah


Krusial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

Mugniyah, Muhammad Jawad. (2004) Fiqh Lima Mazhab: Ja’fari, Hanafi,


Maliki, Syafi’I dan Hambali Jakarta: Lentera Basritma.

Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan.(2006) Hukum Perdata Islam di


Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No.
1/1974 sampai KHI. Jakarta: Kencana Prenada Media

Qodir, Abdul. (2014) Pencatatan Pernikahan dalam Perspektif Undang-Undang


dan Hukum Islam. Depok: Azza Media
Rofiq, Ahmad. (2013) Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Rajagrafindo
Persada

Sabiq, Sayyid. (1983) Fiqh Al-Sunnah. Jilid 2. Beirut: Dar al-fikr

Shiddieqy, T.M. Hasbi. (2001). Hukum Anntar Golongan: Intreaksi Fikih Islam
Dalam Syariat gama Lain.Semarang: Pustaka Rizki Putra.

Soebakti. (2001) Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa 2001

Sugiyono. (2017). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung:


CV Alfabeta.

Syaifuddin, Muhammad, Turatmiyah dan Analisa Yahanah. (2013) Hukum


Perceraian. Jakarta: Sinar Grafika

Syarbini, Symudin Muhmmad bin Muhmmad Al-Khatib. (2001). Al-Iqna’ Fi


Halli Al Afadz Abiy Syuja. Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiah.

Syarifuddin, Amir (2014) Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta: Kencana


Prenada Media Grup

Umar, Husein. (2003). Metodologi Penelitian untuk Skripsi dan Tesis Bisnis.
Jakarta: PT. Gramedia Pusaka.

Uwaidah, Kamil Muhammad. (2004) Fiqih Wanita [al-Jami fi Fiqh an-Nisa].


Diterjemahkan oleh M. Abdul Ghofur. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar

Yanggo, Huzaimah Tahido. (2004) Fiqih Anak: Metode Islam dalam Mengasuh
dan Mendidik Anak serta Hukum-hukum yang berkaitan dengan Aktivitas
Anak. Jakarta: Al-Mawardi Prima

Zein, Satria Efendi M. (2010) Problematika Hukum Islam Kontemporer. Jakarta:


Kencana Pranada Media Group.

Zuhailiy, Muhammad. (2011 ). Al-mu’tamad fi al-fiqh s-syafi’iy. Damaskus: Dar


al-Qarim.
Zuhailiy, Wahbah. (1995). Al-Fiqh l-Islamiy wa adillatuh. Beirut: Dar al Fikr.Ibn
Qudamah, Abi Muhammad ‘Abdullah ibn Ahmad ibn Muhammad. (2013). Al-
Mugni. Terj. Abdul Syukur. Jakarta: Pustaka Azzam.
Jawwad, Muhammad Mughniyah. (2010). Fiqih Lima Mazhab. Jakarta: Lentera
Mardani. (2011). Hukum Islam dalam Hukum Positif Indonesia. Jakarta: Rajawali.
Maridani. (2011). Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern. Yogyakarta:
Graha Ilmu.w
Marzuki. (2013). Pekungantar Studi Hukum IPslam.Yogyakarta: Ombak.
Mas, Marwan. (2004). Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia
Modeong, Supardan. (2005). Teknik Perundang-Undangan di Indonesia. Jakarta:
PT Perca,
Muhammad, Abdulkadir. (2014) Hukum Perdata Indonesia. Bandung: PT Citra
Aditya Bakti.
Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: Kencana.
Najieh, Abu Ahmad. (2021). Fikih Mazhab Syafi’i. Bandung: Marja.
Nasution, Bahder Johan. (2008). Metode Penelitian Ilmu Hukum. Bandung: CV
Mandar Maju.
Nikmat, Mahi M. (2004). Metode Penelitian dalam Perspektif Ilmu Komunikasi
dan Sastra. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Priyanto. (2014). Dasar Dasar Bimbingan Konseling. Jakarta: Rineka Cipta
Purwanto, Ngalim (2009). Psikologi Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya
Rasjid. (2005). Fiqih Islam. Jakarta: Sinar Baru Algesindo
Sabiq, As-Sayyid. (2008). Fiqh as-Sunnah. Jakarta: Pena Pundi Aksara.

Saebani, Beni Ahmad. (2008). Fiqh Munakahat 1. Bandung: CV Pustaka Setia.


Semarang: Pustaka Alawiyah.
Soemiyati. (2007). Hukum Perkawinan Islam dan Undang Undang Perkawinan
No 1 Tahun 1974. Yogyakarta: liberty
Sugiyono. (2017). Metodologi Pendidikan. Bandung: Alfabeta
Syafi’i, Imam. (2005). Al-Umm. Jakarta: Pustaka Azam
Syarifudin, Amir. (2006). Hukum Perkawinan Indonesia: Antara Fiqih
Munakahat dan Undang Undang Perkawinan. Jakarta: Kencana
Usman, Husaini. (2006). Managemen Teori dan Riset Pendidikan. Jakarta: Bumi
Aksara

Anda mungkin juga menyukai