Anda di halaman 1dari 113

Hak Hadhanah Anak yang Belum Mumayyiz Setelah Perceraian

(Studi Komparatif Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang No 23 Tahun


2002 Tentang Perlindungan Anak)

SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat
untuk memperolehgelar Sarjana Hukum (SH) pada Program Studi
Hukum Keluarga (Ahwal Syakhsiyyah) Fakultas Syari'ah
Institut Agama Islam Darussalam (IAID) Ciamis

Oleh:
Farid Mahmud Anshori
17.02.1896

FAKULTAS SYARI'AH
INSTITUT AGAMA ISLAM DARUSSALAM
(IAID)
CIAMIS JAWA BARAT
2021
Hak Hadhanah Anak yang Belum Mumayyiz Setelah Perceraian
(Studi Komparatif Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang No 23 Tahun
2002 Tentang Perlindungan Anak)

Oleh:
Farid Mahmud Anshori
17.02.1896

FAKULTAS SYARI'AH
INSTITUT AGAMA ISLAM DARUSSALAM
(IAID)
CIAMIS JAWA BARAT
2021
ABSTRAK
Farid Mahmud Anshori, 2021. Hadhanah Anak yang Belum Mumayyiz Setelah
Perceraian (Studi Komparatif Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang No
23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak)
Skripsi: Program Studi Ahwal Syakhsiah, Fakultas Syariah, IAID, 2021.

Pasal 105 KHI menyebutkan bahwa pemeliharaan anak yang belum


mumayyiz adalah hak ibunya. Sedangkan jika anak yang telah mumayyiz atau
berusia 12 tahun, diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau
ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya. Akibatnya anak usia 6 tahun
yang telah mampu memahami apa yang terjadi disekitarnya dan cakap terhadap
hukum, tidak dapat ikut serta dalam penentuan hadhanah anak tersebut. Terlebih
lagi jika pilihan anak usia 6 tahun itu cenderung memilih ayahnya sebagai orang
yang berhak atas pemeliharaanya. Padahal dalam pasal 10 Undang-Undang No.
23 Tahun 2002 telah dijelaskan tentang adanya kebebasan terhadap anak untuk
berpendapat. Oleh sebab itu masalah ini perlu dikaji lebih mendalam agar
nantinya tidak terjadi kesalahan dalam penentuan hak asuh anak.
Tujuan penelitian ini adalah 1) Untuk mengetahui kedudukan hak
hadhanah anak yang belum mumayyiz setelah perceraian menurut Kompilasi
Hukum Islam, 2)Untuk mengetahui hak hadhanah anak yang belum mumayyiz
setelah perceraian menurut Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 3)Untuk
mengetahui relevansi hak hadhanah anak yang belum mumayyiz setelah
perceraian menurut Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang No. 23 Tahun
2002
Penelitian ini menggunakan metode content analisis. Sedangkan teknik
pengumpulan data yang digunakan adalah studi pustaka (library reasearch)
dengan memanfaatkan berbagai pustaka yang relevan dengan fenomena sosial
yang diteliti.
Penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa 1) hadhanah anak yang
belum mumayyiz menurut Kompilasi Hukum Islam jatuh kepada ibu dengan
mengacu pada pasal 105 KHI 2) menurut Undang-Undang No 23 Tahun 2002
tidak menentukan secara pasti kedudukan anak yang belum mumayyiz akan tetapi
disini dijelaskan adanya keharusan anak didengar pendapatnya didalam
persidangan sehingga dalam Undang-Undang ini anak memiliki hak untuk
menentukan kepada siapa hadhanahnya jatuh. 3) Mengenai relevansi Undang-
Undang tersebut seharusnya adanya pemabaharuan dalam penentuuan usia
mumayyiz bagi anak serta perlunya anak diikutsertakan dalam penentuan
hadhanahnya yang mana hal ini telah diperkuat oleh Undang-Undang No 23
tahun 2002
PERSETUJUAN PEMBIMBING

Skripsi dengan judul Hadhanah Anak yang Belum Mumayyiz Setelah Perceraian

(Studi Komparatif Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang No 23 Tahun

2002 Tentang Perlindungan Anak) telah diperiksa dan disetujui oleh dosen

pembimbing dan layak untuk diajukan pada ujian skripsi.

Pembimbing I

Memberikan persetujuan pada tanggal 30, Agustus 2021

Prof. Dr. H. Hasan Bisri, M.Ag

Pembimbing II

Memberikan persetujuan pada tanggal 30, Agustus 2021

Muhammad Nurcholis, S.Pd.I., M.Pd.I

i
PENGESAHAN

Skripsi berjudul Hadhanah Anak yang Belum Mumayyiz Setelah Perceraian

(Studi Komparatif Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang No 23 Tahun

2002 Tentang Perlindungan Anak) telah dipertanggungjawabkan dalam Sidang

Munaqasyah pada tanggal 07 Desember 2022 Skripsi ini telah diterima sebagai

salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH) pada Ahwal

Syakhsiah (AS), Fakultas Syari’ah, Institut Agama Islam Darussalam (IAID)

Ciamis.

Sidang Munaqasyah

Dr. Sumadi, M.Ag …………………………………

Ketua sidang merangkap penguji

Ayi Ishak Solih Muchtar, S.Sy., M.H …………………………………

Sekretaris sidang merangkap penguji

Sofia Ratna Awaliah Fitri, M.Pd …………………………………

Penguji

Dekan

ii
Dr. Sumadi, M.Ag

PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : FARID MAHMUD ANSHORI

Tampat Lahir : CILACAP

Tanggal Lahir : 02 November 1998

NPM : 17.02.1896

Program Studi : Ahwal Syakhsiah

Alamat : Cikendal, RT 05 RW 04, Desa Cipageran Kecamatan

Cimahi Utara Kota Cimahi

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul Hadhanah

Anak yang Belum Mumayyiz Setelah Perceraian (Studi Komparatif Kompilasi

Hukum Islam dan Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan

Anak) adalah asli, tidak mengandung unsur plagiasi, fabrikasi, dan falisifikasi.

Apabila dalam skripsi karya saya ini mengandung unsur-unsur plagiasi, fabrikasi,

dan falisifikasi; maka saya bersedia untuk dihadapkan pada sidang etik yang

dibentuk khusus untuk itu.

Ciamis, 30 Agustus 2021

Farid Mahmud Anshori


NPM. 17.02.1896

iii
iv
RIWAYAT HIDUP

Nama Lengkap Farid Mahmud Anshori lahir di Cilacap

pada tanggal 02 November 1998 dari pasangan Bapak Daris

dan Ibu Nurhayati. Tempat tinggal penulis Di Kampung

Cikendal Desa Cipageran Kecamatan Cimahi Utara Kota

Cimahi Jawa Barat namun penulis saat ini berdomisili di

Pondok Pesantren Al-Huda Turalak, Sukamaju, Baregbeg,

Ciamis, Jawa Barat

Mengenai riwayat pendidikan penulis menyelesaikan jenjang pendidikannya di

TK.Al-Hidayah tahun lulus pada tahun 2006 di lanjutkan ke SDN Mandala 03

kemudian dikarenakan penulis beserta keluarga pindah domisili ke kota Cimahi

kemudian melanjutkan SDN Cipageran Mandiri 1 pada tahun 2008 kemudian

melanjutkan ke jenjang SLTP di MTS. Utama pada tahun 2011 dan lulus pada

tahun 2014. Setelah lulus MTS penulis melanjutkan sekolah ke Smk Al-Huda

Turalak tahun lulus 2017. Selanjutnya penulis melanjutkan ke Institut Agama

Islam Darussalam (IAID) Ciamis dan lulus pada tahun 2021.

v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Moto

“Kudu lempang dina Kudu Kudu eren dina ulah, ulah

lempang pedah hayang ulah eren dina embung”

KH. Choer Afandi (Uwa Ajengan)

Teriring salam dan do’a serta untaian rasa syukur dan terimakasih tak

terhingga. Skripsi ini saya persembahkan kepada :

 Kedua orang tuaku yang telah membesarkan, membimbing, dan

memasukanku ke dunia pendidikan serta dukungan moril maupun materil.

 Seluruh keluarga besar atas dukungan dan do’anya.

vi
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB LATIN

Transliterasi huruf Arab ke huruf Latin menggunakan pedoman yang

ditetapkan berdasarkan Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri

Pendidikan dan Kebudayaan R.I. yang dimodifikasi. Berikut adalah pedoman

transliterasi dalam penulisan skripsi Institut Agama Islam Darussalam.

1. Penulisan konsonan

Arab Latin Contoh

‫ء‬ ‫فقهاء‬ Fuqahâ

‫ب‬ B ‫بلدة‬ Baldah

‫ت‬ T ‫ترتيل‬ tartî-l

‫ث‬ Ts ‫ثبت‬ Tsabata

‫ج‬ J ‫جعل‬ Jaala

‫ح‬ H ‫حرم‬ Harama

‫خ‬ Kh ‫خرج‬ Kharaja

‫د‬ D ‫دخل‬ Dakhala

‫ذ‬ Dz ‫ذكر‬ Dzakara

‫ر‬ R ‫رجع‬ Rajaa

‫ز‬ Z ‫زعم‬ Zaama

‫س‬ S ‫سفر‬ Safara

‫ش‬ Sy ‫شركة‬ Syirkah

‫ص‬ Sh ‫صابر‬ Shâbir

‫ض‬ Dh ‫ضالل‬ Dhalâl

‫ط‬ Th ‫طهارة‬ Thahârah

‫ظ‬ Zh ‫ظالم‬ Zhâlim

vii
Arab Latin Contoh

‫ع‬ ‫جعل‬ Jala

‫غ‬ Gh ‫غفر‬ Ghafara

‫ف‬ F ‫فتح‬ Fataha

‫ق‬ Q ‫قضاء‬ Qadhâ

‫ك‬ K ‫كتب‬ Kataba

‫ل‬ L ‫ليلة‬ Lailah

‫م‬ M ‫مذهب‬ Madzhab

‫ن‬ N ‫نذر‬ Nadzara

‫ه‬ H ‫هداية‬ Hidâyah

‫و‬ W ‫وقع‬ Waqaa

‫ي‬ Y ‫يحيى‬ Yahyâ

‫ة‬ Ah ‫تربية‬ Tarbiyah

2. Vokal pendek

‫َــ‬ A ‫ضرب‬ Dlaraba

‫ِــ‬ I ‫مجتهد‬ Mujtahid

‫ُــ‬ U ‫رجوع‬ rujû

3. Vokal panjang

‫ـا‬ ‫آ‬ ‫مبارك‬ Mubârak

‫ـو‬ ‫غ‬ ‫مرجوح‬ Marjûh

‫ ـيـ‬, ‫ـي‬ ‫خ‬ ‫حكيم‬ Hakîm

‫ى‬ ‫آ‬ ‫موسى‬ Mûsa

‫آ‬ Â ‫يآيها‬ yâ ayyuhâ

viii
4. Diftong

‫ـَو‬ Au ‫فوق‬ Fauqa

‫ـَيـ‬ Ai ‫ليت‬ Laita

5. Pembauran kata sandang tertentu

‫الـ‬.. Al ‫القرآن‬ al-qurân

‫الشـ‬.. asy-sy ‫الشمس‬ asy-syams

‫والـ‬.. wa-al ‫والقمر‬ wa al-qamara

‫والشـ‬.. wa-asy ‫والشمس‬ wa asy-syams

ix
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Swt, berkat kudrot dan

iradatNya-lah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat bertangkaikan

salam semoga senantiasa tercurah limpahkan kepada junjungan kita nabi

Muhammad Saw, kepada keluarganya, para sahabatnya, serta para tabi’in dan

tabi’atnya semoga sampai kepada kita selaku umatnya.

Dalam penulisan skripsi ini penulis menyadari masih banyak kesalahan dan

kekurangan, hal itu disebabkan karena terbatasnya kemampuan yang dimiliki

penulis. Akan tetapi, berkat dorongan, bimbingan, arahan, dan bantuan dari

berbagai pihak akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu,

dengan segala kerendahan hati, penulis layak menyampaikan penghargaan dan

terimakasih yang tidak terhingga kepada :

1. Yth. Bapak Dr. H. Fadlil Munawar Manshur, M.S., selaku Pembina Institut

Agama Islam Darussalam (IAID) Ciamis.

2. Yth. Ibu Dr. Hj. N. Hani Herlina, S.Ag., M.Pd.I., selaku Rektor Institut

Agama Islam Darussalam (IAID) Ciamis.

3. Yth. Bapak Dr Sumadi, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Syari’ah Institut Agama

Islam Darussalam (IAID) Ciamis.

x
4. Yth. Bapak Ayi Ishak Sholih Muchtar, S.Sy., M.H. selaku Ketua Program

Studi Ahwal Syakhsiah (AS) Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam

Darussalam (IAID) Ciamis.

5. Yth. Bapak Daryaman, M.Pd. selaku Sekretaris Program Studi Ahwal

Syakhsiah (AS) FakultasSyari’ah Institut Agama Islam Darussalam (IAID)

Ciamis.

6. Yth. Bapak Prof. Hasan Bisri, M.Ag. selaku Dosen Pembimbing I yang telah

membimbing, mengarahkan, memotivasi, serta memberi saran kepada penulis

dalam menyusun skripsi ini dan selama kuliah di Institus Agama Islam

Darussalam (IAID) Ciamis.

7. Yth. Bapak Muhammad Nurcholis, S.Pd.I., M.Pd.I selaku Dosen Pembimbing

II yang telah membimbing, mengarahkan, memotivasi, serta memberi saran

kepada penulis dalam menyusun skripsi ini dan selama kuliah di Institus

Agama Islam Darussalam (IAID) Ciamis.

8. Keluarga tercinta yang telah memberikan bantuan, dukungan materil,

khususnya kepada kedua orang tuaku, atas do’a dan pengorbanannya, kakek

dan nenek atas do’a dan motivasinya, atas do’a, dukungan, pengorbanan, dan

motivasinya, serta kasih sayangnya, serta orang-orang yang telah memotivasi

dan mendo’akan, terimakasih untuk segalanya.

9. Keluarga besar Pondok Pesantren Al-Huda Turalak terimakasih sudah

memberi banyak ilmu serta pengalamannya.

10. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah

memberikan dorongan serta membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini.

Ciamis, …..Agustus, 2021

xi
Farid Mahmud Anshori

DAFTAR ISI
ABSTRAK...............................................................................................................ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING............................................................................i

PENGESAHAN.......................................................................................................ii

PERNYATAAN.....................................................................................................iii

MOTTO DAN PERSEMBAHAN...........................................................................v

PE DOMAN TRANSLITERASI ARAB LATIN...................................................vi

KATA PENGANTAR............................................................................................ix

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1

A. Latar Belakang Masalah................................................................................1


B. Rumusan Masalah.........................................................................................6
C. Tujuan Penelitian..........................................................................................6
D. Kegunaan Penelitian.....................................................................................7
1. Kegunaan Teoritis............................................................................................7
2. Kegunaan Praktis.............................................................................................7
BAB II LANDASAN TEORI................................................................................8

A. Konsep Hadhanah.........................................................................................8
1.Pengertian Hadhanah...........................................................................................8
2.Dasar Hukum Hadhanah.............................................................................12
3.Syarat-Syarat Hadhanah.............................................................................16
4.Urutan yang Berhak atas Hadhnah.............................................................24
5.Batas Umur Hadhanah................................................................................28
6.Upah dan Nafkah Hadhanah.......................................................................31
B. Konsep Anak Mumayiz..............................................................................36
1. Pengertian Anak.............................................................................................36

xii
2. Karakateristik Anak.......................................................................................39
3. Hak-Hak Anak...............................................................................................42
4. Pengertian Mumayiz......................................................................................43
5. Pendapat Para Ulama Tentang Mumayiz.....................................................44
BAB III METODOLOGI PENELITIAN..........................................................46

A. Jenis dan Metodologi Penelitian.................................................................46


1. Jenis Penelitian...............................................................................................46
2. Metode Penelitian..........................................................................................47
B. Sumber Data................................................................................................47
1. Sumber Data Primer......................................................................................47
C. Teknik Pengumpulan Data..........................................................................48
D. Keabsahan Teks..........................................................................................48
E. Analisis Data...............................................................................................50
F. Penelitian Terdahulu...................................................................................50
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN....................................55

A. HASIL PENELITIAN.................................................................................55
1. Hadhanah Anak Menurut Kompilasi Hukum Islam...................................55
a. Latar Belakang Kompilasi Hukum Islam....................................................55
b. Anak Menurut Kompilasi Hukum Islam.....................................................56
c. Hadhanah anak menurut Kompilasi Hukum Islam...................................58
d. Hadhanah Anak yang Belum Mumayyiz Setelah Perceraian dalam
Kompilasi Hukum Islam.......................................................................................60
2. Hak Hadhanah Anak yang Belum Mumayyiz Menurut UU No 23 Tahun
2002 Tentang Perlindungan Anak......................................................................61
a. Latar Belakang UU NO 23 Tahun 2002 Perlindungan Anak...................62
b. Anak Menurut UU NO 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.....63
c. Pengertian Perlindungan Anak.....................................................................64
d. Asas dan Tujuan Perlindungan Anak..........................................................65
e. Hak dan Kewajiban Anak.................................Error! Bookmark not defined.
f. Hadhanah Anak menurut UU NO 23 tahun 2002.....................................70
3. Relevansi Hadhanah Anak dengan Kompilasi Hukum Islam dan Undang-
Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak..................................72
B. PEMBAHASAN.........................................................................................85
BAB V PENUTUP...............................................................................................90

xiii
A. Kesimpulan.................................................................................................90
B. Saran............................................................................................................91
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................92

xiv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Allah SWT menjadikan manusia berpasang-pasangan dimana seorang pria

berpasangan dengan seorang wanita, yang mana apabila keduanya saling

mencintai dan hendak hidup bersama Allah SWT menjadikan syariat pernikahan

sebagai media bagi pria dan wanita untuk menyalurkan nafsu biologisnya untuk

berhubungan seksual secara sah dan juga untuk menghasilkan keturunan dari

pasangan tersebut. Tujuan pernikahan sendiri adalah untuk membangun keluarga

yang kekal dan bahagia sebagaimana menurut pasal 1 Undang-Undang

perkawinan tahun 1974, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria

dengan seorang wanita sebagai suami istri. Dengan tujuan membentuk keluarga

yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.

Tujuan perkawinan sejatinya sangatlah ideal, namun pada praktiknya

ternyata banyak sekali krikil-krikil yang menjadi sebab retaknya hubungan rumah

tangga seperti adanya perslingkuhan di antara pasangan suami istri tersbut atau

adanya pertikaian terus menurus atau adanya sebab-sebab lain yang

mengakibatkan adanya perselisihan dari keduanya yang mengakibatkan keretakan

suatu mahligai rumah tangga yang tak jarang mengakibatkan perceraian.

Perceraian adalah suatu insiden dalam rumah tangga yang mana sudah

barang tentu dalam suatu insiden ada banyak hal yang terdampak akibat dari

perceraian tersebut, diantara yang sudah pasti terdampak akibat dari percaraian

adalah anak. Sementara itu kedudukan anak setelah perceraian menjadi

1
perdebatan baik dari pihak ayah ataupun dari pihak ibu sehingga kedudukan anak

menjadi problematika yang hadir pasca perceraian yang mesti di dudukan sesuai

dengan keharusannya. Mendidik anak sendiri merupakan sebuah kewajiaban

orang tua kepada anakanya yang mana kewajiban ini melekat kepada keduanya

sampai anak itu mencapai usia akil baligh Allah SWT memerintahkan kepada

kaum muslimin agar senantiasa menjaga kelurganya agar selamat di dunia dan di

Akhirat sebagaimana firman Allah SWT:

‫َّاس َواحْلِ َج َارةُ َعلَْي َها‬ ِ ِ َّ


ُ ‫يااَيُّ َها الذيْ َن اٰ َمُن ْوا ُق ْوا اَْن ُف َس ُك ْم َواَ ْهلْي ُك ْم نَ ًارا َّو ُق ْو ُد َها الن‬
‫ص ْو َن ال ٰلّهَ َما اََمَر ُه ْم َو َي ْف َعلُ ْو َن َما يُْؤ َم ُر ْو َن‬ ِ ِ ۤ
ُ ‫َم ٰلىِٕ َكةٌ غاَل ٌظ ش َد ٌاد اَّل َي ْع‬
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa
yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan (QS. At-Tahrim : 6)

Para ulama sendiri banyak yang berpendapat terkait hukum dari hadhanah

anak setelah perceraian, menurut Sayyid Sabiq, apabila orang tua bercerai,

sedangkan mereka mempunyai anak kecil maka ibu lebih berhak daripada

ayahnya, terkecuali ada hal-hal yang menghalanginya atau selama anak tersebut

belum bisa menentukan pilihannya. Demikian juga menuruut Ahmad Zainuddin,

yang utama dalam hadhanah adalah mendidik anak yang belum bisa mandiri

sampai anak tersebut tamyiz adalah ibunya, selama ibunya belum menikah lagi

dengan orang lain. Sedangkan kan anak yang sudah mumayyiz jika kedua orang

tuanya bercerai, boleh memilih antara ibu atau ayahnya.

Anak usia 6 atau 7 tahun yang dalam segi perkembangan pola pikir telah

mampu untuk membedakan mana yang baik dan buruk dalam Kompilasi Hukum

2
Islam belum diberikan haknya untuk memilih ayah atau ibunya sebagai orang tua

asuh. Tetapi dalam pandangan Hukum Islam anak usia 6 atau 7 tahun yang telah

cakap terhadap apa yang terjadi disekelilingnya, telah memahami khitob Allah,

maka anak tersebut dapat dikatakan mumayyiz sehingga anak tersebut dapat

menggunakan hak pilihnya sekalipun piilihannya ditunjukan kepada ayah

tentunya bila melihat perspektif ini saja ketentuan anak yang di anggap mumayyiz

adalah anak yang berusia 12 tahun ini harus di kaji ulang karena bila melihat

perspektif agama saja yang disebut mumaayiz banyak ulama yang berpendapat

bahwa yang disebut anak mumayyiz adalah anak yang sudah memahami khitob

Allah walaupun belum berusia 12 tahun. Permaslahan hadhanah yang terjadi di

Indonesia sendiri sering terjadi perbedaan dengan apa yang telah di atur dalam

Kompilasi Hukum Islam (KHI) karena dalam memutuskan perkara yang terjadi

hakim juga bisa menggunakan Yurisprudensi yag merupakan salah satu hukum

formil dan menggunakan kitab-kitab fiqih yang merupakan hukum materil yang

digunakan untuk mencari kemaslahatan untuk anak dan orang tua.

Berdasarkan apa yang peneliti ketahui tentang perkara-perkara hadhanah

yang putusannya berbeda dengan aturan Kompilasi Hukum Islam yang beralaku

di Indonesia seperti perkara No.899/Pdt.G/2008/PA.Pas yang terjadi di

Pengadilan Agama Pasuruan dan juga kasus-kasus para artis Indonesia yang

mempermasalahkan hak asuh anak dan telah di putus oleh Pengadilan Agama

setempat.

Kasus yang dialami oleh pasangan selebriti Indonesia misalnya seperti yang

dialami oleh Tamara Blezynski dengan mantan suaminya Teuku Rafli Pasya, yang

3
telah bercerai pada tahun 2007 dan kemudian memperebutkan hak asuh putra

semata wayangnya yang bernama Teuku Rasya Islamy Pasya. Pada kasus ini

perkara sudah sampai ke Mahkamah Agung namun hak asuh anak tetap diberikan

kepada Teuku Rafli Pasya sebagai ayah kandungnya karena Rasya tidak mau

tinggal bersama ibunya Tamara yeng pernah berlaku kasar kepadanya dan belaku

buruk dihadapannya.

Selain itu ada kasus yang tidak jauh berbeda dengan kasus yang dialami

oleh Tamara dan Rafli yaitu kasus yanag dialami oleh Anang Hermansyah dan

istrinya Krisdayanti. Dalam kasus ini hak asuh kedua anaknya yang bernama

Titania Aurelia Nurhemansyah (11 tahun) dan Azriel Akbar Hermansyah (9

tahun) diserahkan kepada Anang Hermansyah karena memang sedari awal

keduanya menolak untuk dirawat oleh ibunya dan telah bersepkaat antara

keduanya bahwa apabila terjadi perceraian maka keduanya bersepakat bahwa akan

tinggal dan dirawat oleh Anang Hermansyah.

Selain kesepakatan antara Krisdayanti dan juga Anang dalam masalah hak

asuh anak, dilain kesempatan kedua buah hatinya telah menyatakan bahwa

berkeinginan untuk tinggal bersama Anang karena salah satu dari buah hatinya

mengetahui perbuataan buruk yang ibunya lakukan. Selama ini juga keduannya

lebih dekat dengan Anang karena dalam keseharian Aurel dan Azriel lebih sering

menghabiskan waktu dengan Anang daripada dengan Krisdayanti karena

Krisdayanti sangat sibuk bekerja sehingga sangat beralasan sekali bila hak asuh

anak jatuh kepada Anang karena berdasarkan pada alasan-alasann tersebut.

4
Beberapa kasus diatas menunjukan fenomena baru terkait dengan hadhanah

anak yang belum mumayyiz dimana anak yang belum mumayyiz memilih sendiri

siapa yang berhak mengasuh dirinya, yaitu ayah kandung atau ibu kandungnya.

Banyak fakta yang menyebutkan kasus yang muncul terkait kasus hadhanah anak

terutama anak yang belum mumayyiz banyak dimenangkan oleh ayah.Serta

bagaimana tentang Undang-Undang No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan anak

yang mengatur anak secara rinci khususnya masalah kebebasan berpendapat,

termasuk memlih salah satu dari kedua orang tuanya yang berhak mengasuh

dirinya. Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah tentang

bagaimana memposisikan kedudukan anak sebagaimana mestinya sesuai Undang-

Undang yang berlaku di Indonesia yaitu menurut Kompilasi Hukum Islam dan

Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak terhadap anak

yang belum mumayyiz kandung Penelitian ini menggunakan jenis penelitian

hukum normatif dengan menggunakan metode komparatif.

Berdasarkan fenomena-fenomena yang ada maka peneliti merasa sangat

penting untuk melakukan penelitian yang lebih mendalam terhadap penentuan

hadhanah anak yang belum mumayyiz untuk itu judul yang diangkat dalam

kesempatan kali ini, judul yang diangkat adalah “Hak Hadhanah Yang Belum

Mumayyiz Setelah Perceraian (Studi Komparatif Kompilasi Hukum Islam

Dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak)”.

5
B. Rumusan Masalah

Merujuk dari permasalahan-permasalahan yang dijelaskan di atas maka

sebagai penarik kesimpulan dari penelitian ini ada beberapa rumusan masalah

yang di dapat yaitu sebagai berikut.

1. Bagaimana kedudukan Hak Hadhanah Yang Belum Mumayyiz Setelah

Perceraian menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)?

2. Bagaimana kedudukan Hak Hadhanah Yang Belum Mumayyiz Setelah

Perceraian menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002?

3. Bagaimana relevansinya kedudukan Hak Hadhanah Yang Belum Mumayyiz

Setelah Perceraian menurut Kompilasi Hukum Islam dan UU NO. 23 Tahun

2002 tentang perlindungan anak?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk:

1. Untuk mengetahui kedudukan hak hadhanah anak yang belum mumayyiz

setelah perceraian menurut Kompilasi Hukum Islam

2. Untuk mengetahui hak hadhanah anak yang belum mumayyiz setelah

perceraian menurut Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002

3. Untuk mengetahui relevansi hak hadhanah anak yang belum mumayyiz

setelah perceraian menurut Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang

No. 23 Tahun 2002

6
D. Kegunaan Penelitian

Dari hasil peneitian ini diharapkan memiliki kegunaan yang baik secara

teoritis maupun secara praktis yaitu:

1. Kegunaan Teoritis

Kegunaan teoritis dari hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah

khazanah keilmuan serta dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka

ilmu pengetahuan terutama di bidang Hukum khususnya dalam masalah

kedudukan hak hadhanah anak.

2. Kegunaan Praktis

a. Bagi Peneliti

Penulisan skripsi ini merupakan tugas akhir peneliti guna menyelesaikan

jenjang pendidikan Strata Satu (S1) dan mendapat gelar sarjana, juga untuk

menambah wawasan keilmuan tentang hak hadhanah anak yang belum mumayyiz

kepada ayah menurut Kompilasi Hukum Islam dan menurut Undang-Undang

perlidungan anak No 23 Tahun 2002 .

b. Bagi Masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi secara

pemikiran untuk masyarakat dalam hak hadhanah anak yang belum mumayyiz

kepada ayah menurut Kompilasi Hukum Islam dan menurut Undang-Undang

perlidungan anak No 23 Tahun 2002 .

7
BAB II
LANDASAN TEORI

A. Konsep Hadhanah

1. Pengertian Hadhanah

Pemeliharaan dan pengasuhan anak dalam hukum Islam disebut hadhanah

dan kafalah. Secara etimologi, hadhanah berasal dari bahasa arab dari akar kata

hadhana, yahdhunu, hadhnan, hadhanatan(‫ حض انت‬,‫ حض نا‬,‫ يحض ن‬,‫ )حض ن‬yang berarti

mendekap, mengasuh, merawat, memeluk (Munawir, 1973:327). Hadhanah juga

berarti meletakan sesuatu dekat tulang rusuk atau di pangkuan, karena ibu waktu

menyusui anaknya ia meletakan anak di pangkuannya, seakan-akan ibu saat itu

sedang memelihara anaknya sehingga hadhanah dijadikan istilah yang maksudnya

memberikan perlindungan pendidikan dan pemeliharaan anak sejak dari lahir

sampai sanggup berdiri sendiri mengurus dirinya yang dilakukan oleh kerabat

anak itu (ghozali, 2015:175).

Menurut Sayyid Sabiq ( 1983:288) kata hadhanah diambil dari kata al-

hidhn, yang berarti menyimpan sesuatu diatas ketiak sampai pinggul,

sebagaimana dinyatakan dalam sebuah ungkapan:

ِ َ‫ وحضن الطَّاِئِربيضه اِ َذا ض َّمه اِىَل َن ْف ِس ِه حَتْت جن‬,‫وحضنَا الشَّى ٍء جا َنباه‬


,‫اح ِه‬ َ َ ُ َ ُ َ َْ ََ َ َ َُ َ ْ َ ََ
ِ ِ
‫ت َولَ َد َها‬ َ ‫ك اْ ْملرَأةُ ا َذا‬
ْ ‫ض َّم‬ َ ‫و َك َذل‬
Artinya: Kami menyimpan (hadhana) sesuatu di sisinya, dan burung itu
mengempit telurnya, ketika ia menyimpan dibawah sayapnya, begitu pula
perempuan (ibu) yang mengimpit anaknya.

8
Menurut Zainal Arifin dan Muh. Anshori (2019:150), pengertian hadhonah

secara etimologi, hadhonah berasal dari kata hiddona yang berarti sesuatu yang

terletak antara ketiak dan pusar.

Sedang menurut istilah para ulama fiqih mendefinisikan hadhanah yaitu

melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun

perempuan, atau yang sudah besar tetapi belum mumayiz, menyediakan sesuatu

yang menjadikan kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan

merusaknya, mendidik jasmani, rohani, dan akhlaknya agar mampu berdiri sendiri

menghadapi hidup dan memikul tanggung jawab. Menurut Prof. Abdul Manan

pengertian hadhonah adalah pemeliharaan anak yang belum mampu berdiri

sendiri, biaya pendidikannya dan pemeliharaannya dari segala yang

membahayakan jiwanya.

Sementara itu menurut Sayyid Sabiq (1983:288) yang mengartikan

hadhanah sebagai:

‫الصغِْيَر ِة اَ ِوالْ َمْت ِو ِه اَلَّ ِذ ْي اَل مُيَِّي ُز َواَل يَ ْستَ ِق ُل‬ َّ ‫بِاَنَّ َها ِعبَ َارةٌ َع ِن الْ ِقيَ ِام حِبِ ْف ِظ‬
َّ ‫الصغِرْيِ اَ ِو‬
‫ض ِر ِه َوَت ْربِيَتِ ِه ِج ْس ِميًّا َو َن ْف ِسيًا‬ ِ ِ ‫مِم‬ ِ ‫بِاَم ِر ِه و ُتع ِه ِد ِه مِب ا ي‬
ُ َ‫صل ُحهُ َو ِوقَ َايتُهُ َّا يُْؤ ذيْه َوي‬ َْ َ َ َ ْ
ِ
ْ ِ‫ات اْحلَيَ ِاة َوااْل‬
‫ض ِطاَل ِع مِب َ ْسَئ لَتِ َها‬ ِ ‫ض بِتِّبع‬
َ َ ِ ‫ُّه ْو‬ ُ ‫َو َع ْقليًا َك ْي َي ْف َوى َعلَى الن‬
Artinya: melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil laki-laki atau
perempuan atau yang sudah besar, tetapi belum tamyiz atau yang kurang akalnya,
yang belum dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk yang belum
mampu dengan bebas mengurus dirinya sendiri dan belum tahu mengerjakan
sesuatu atau kebaikan nya dan memelihara dari sesuatu yang menyakiti dan
membahayakannya, mendidik serta mengasuhnya, baik secara fisik ataupun
mental atau akalnya agar mampu menempuh tantangan hidup serta memikul
tanggung jawab.

9
Menurut wahbah az-zuhaili (2005:233), hadhanah menurut syara’ adalah

memberikan pedidikan kepada anak oleh orang yang mempunyai hak pengasuhan

atau mendidik anak dan mememelihara orang yang tidak mampu mandiri untuk

memenuhi kebutuhannya sendiri karena belum tamyiz seperti anak kecil dan orang

dewasa yang gila. Pengasuhan tersebut meliputi penjagaan tingkah lakunya,

mengatur makan, pakaian, tidur, kebersihan, mandi, dan mencuci pakaiannya pada

waktu tertentu dan lain sebagainya.

Kata syarbainly (2004:385), mendefinisikan, hadhanah sebagai usaha

mendidik atau mengasuh anak yang belum mampu mandiri atau belum mampu

dengan urusan-urusannya yaitu dengan sesuatu yang baik baginya, mencegahnnya

dari sesuatu yang membahayakannya walaupun dalam keadaan dewasa yang gila,

seperti mempertahankan dengan memandikan badannya, memakaikan

pakaiannya, meriasnya, memberi minyak padanya, dan sebagainya.

Pemeliharaan dalam hal ini meliputi berbagai hal, masalah ekonomi,

pendidikan, dan segala sesuatu yang menjadi kebutuuhan anak. Konsep ajaran

Islam tanggung jawab ekonomi berada di pundak suami sebagai kepala rumah

tangga, meskipun dalam hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa istri dapat

membantu suami dalam menanggung kewajiban ekonomi tersebut. Oleh karena

itu, yang terpenting adanya kerja sama dan tolong menolong antar sumi istri

dalam memelihara dan mengantarkannya hingga anak tersebut tumbuh dewasa

(Rofiq, 2015:27).

10
Menurut Hasbi Ash shidqy (2001:92) hadhanah adalah mendidik anak dan

mengurusi semua kepentingannya dalam batas umur tertentu oleh orang yang

berhak mendidiknya dari mahram-mahramnya

Definisi yang sama senada juga dikemukakan oleh Amir Nurdin, hadhanah

adalah “merawat dan mendidik seorang yang belum mumayiz atau kehilangan

kecerdasannya, karena mereka tidak bisa memenuhi keperluannya sendiri.

Demikian juga dikemukakan oleh Zainudin Ali, pemeliharaan anak biasa disebut

dengan hadhanah yang berarti memelihara seorang anak yang belum mampu

hidup mandiri yang meliputi pendidikan dan segala sesuatu yang di perlukannya

baik dalam bentuk melaksanakan maupun dalam bentuk menghindari sesuatu

yang dapat merusaknya (Ali, 2006:67).

Undang-Undang perkawinan tidak secara khusus membicarakan

pemeliharaaan anak sebagai akibat putusya perkawinan, apalagi dengan

menggunakan istilah hadhanah. Namun undang-undang perkawinan secara umum

mengatur hak dan kewajiban orang tua (Syarifuddin, 2014:333):

Istilah hadhanah digunanakan dalam KHI. KHI memberikan definisi

hadhanah atau pemeliharaan anak disebutkan dalam pasal 1 huruf a yaitu kegiatan

mengasuh memelihara dan mendidik anak hingga dewasa atau mampu berdiri

sendiri.

Berdasarkan definisi diatas, dapat disimpulakan bahwa orang dimaksud

dengan hadhanah atau kuasa asuh adalah kegiatan orang tua atau lainnya yang

meliputi pengasuhan, pemeliharaan, pendidikan, pembinaan, perlindungan, dan

penumbuh kembangan anak sesuai agama yang dianutnya dan sesuai dengan

11
kemampuan, bakat, serta minatnya sampai anak tersebut tumbuh dewasa mampu

berdiri sendiri (mandiri) supaya menjdi manusia yang hidup sempurna dan

bertanggung jawab.

2. Dasar Hukum Hadhanah

Islam mewajibkan pemeliharaan anak sampai anak tersebut telah mampu

berdiri sendiri tanpa mengharapkan bantuan dari orang lain. Oleh karena itu,

mengasuh anak yang masih kecil adalah wajib karena apabila anak yang masih

dibawah umur dibiarkan begitu saja akan mendapatkan bahaya jika tidak

mendapatkan pengasuhan dan perawatan sehingga anak harus dijaga agar tidak

sampai membahayakan dirinya. Selain itu, ia juga harus tetap diberi nafkah dan di

selamatkan dari segala hal yang merusaknya.

Sudah disepakati oleh ulama fiqih bahwa pada perinsipnya hukum merawat

dan mendidik anak adalah kewajiban bagi kedua orang tuanya. Karena apabila

anak yang masih kecil, belum mumayiz tidak dirawat dan dididik dengan baik

maka akan berakibat buruk pada diri masa depan anak, bahkan bisa mengancam

eksistensi jiwa mereka. Oleh sebab itu anak-anak tersebut wajib dipelihara,

dirawat dan dididik dengan baik.

Sebagaimana telah diketahui bahwa pemeliharaan anak merupakan

tanggung jawab kedua orang tuanya (suami istri) masalah biaya dan pemeliharaan

dan pendidikan anak merupakan tanggung jawab ayahnya (suami) seperti halnya

firman Allah SWT:

‫اعةَ َو َعلَى‬
َ‫ض‬ َّ ‫ت يُْر ِض ْع َن اَْواَل َد ُه َّن َح ْولَنْي ِ َك ِاملَنْي ِ لِ َم ْن اََر َاد اَ ْن يُّتِ َّم‬
َ ‫الر‬
ِ
ُ ‫َوالْ َوال ٰد‬
ِ ‫ف اَل ت َكلَّف ن ْف‬ ِ ‫الْمولُو ِد لَه ِر ْز ُقه َّن وكِسو ُته َّن بِالْمعرو‬
َ ُ‫س ااَّل ُو ْس َع َها اَل ت‬
‫ضاَّۤر‬ ٌ َ ُ ُ ْ ُْ َ ُ َ ْ َ ُ ُ ْ ْ َ

12
ِ ِ ِ‫ث ِمثْل ٰذل‬ ِِ ِ ِ
‫صااًل َع ْن‬ َ ‫ك فَا ْن اََر َادا ف‬ َ ُ ِ ‫َوال َدةٌ بَِولَد َها َواَل َم ْولُْو ٌد لَّهُ بَِولَده َو َعلَى الْ َوا ِر‬
‫اح َعلَْي ِه َما َواِ ْن اََر ْدمُّتْ اَ ْن تَ ْسَت ْر ِضعُ ْوا اَْواَل َد ُك ْم فَاَل‬
َ َ‫اض ِّمْن ُه َما َوتَ َش ُاو ٍر فَاَل ُجن‬
ٍ ‫َتَر‬
ِ ‫جنَاح علَي ُكم اِ َذا سلَّمتم َّما اَٰتيتم بِالْمعرو‬
‫ف َو َّات ُقوا ال ٰلّهَ َو ْاعلَ ُم ْوا اَ َّن ال ٰلّهَ مِب َا‬ ْ ُ ْ َ ْ ُْ ْ ُ ْ َ ْ ْ َ َ ُ
ِ ‫َتعملُو َن ب‬
‫صْيٌر‬ َ ْ َْ
Artinya: Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun
penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban ayah
menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak
dibebani lebih dari kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita karena
anaknya dan jangan pula seorang ayah (menderita) karena anaknya. Ahli waris
pun (berkewajiban) seperti itu pula. Apabila keduanya ingin menyapih dengan
persetujuan dan permusyawaratan antara keduanya, maka tidak ada dosa atas
keduanya. Dan jika kamu ingin menyusukan anakmu kepada orang lain, maka
tidak ada dosa bagimu memberikan pembayaran dengan cara yang patut.
Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang
kamu kerjakan. (Q.S Al-Baqarah 233)

Berdasarkan ayat ini dapat dipahami bahwa Allah SWT mewajibkan

kepada orang tua untuk memelihara anak mereka, ibu berkewajiban menyusuinya

sampai umur dua tahun dan bapak berkewajiban memberi nafkah kepada ibu.

Dibolehkan mengadakan penyapihan (menghentikan penyusuan) sebelum dua

tahun apabila ada kesepakatan antara kedua orang tua dan mereka boleh

mengambil perempuan lain untuk menyusukan anak tersebut dengan syarat

memberi upah yang pentas. Hal ini demi keselamatan anak itu sendiri (Alam,

2008:115). Bukan saja keselamatan ketika hidup di dunia namun keselamatan dari

api neraka, sebagaimana firman Allah SWT:

‫َّاس َواحْلِ َج َارةُ َعلَْي َها‬ ‫ن‬ ‫ال‬ ‫ا‬ ‫ه‬ ‫ود‬ ُ‫ق‬‫و‬ ‫ا‬‫ار‬ َ‫ن‬ ‫م‬ ‫ك‬
ُ ‫ي‬ِ‫ياَأيُّها الَّ ِذين آمنوا قُوا َأن ُفس ُكم وَأهل‬
ُ َ ُ َ ً ْ َْْ َ َُ َ َ
ِ ِ ‫ِئ‬
ُ ‫َماَل َكةٌ غاَل ٌظ ش َد ٌاد اَّل َي ْع‬
‫صو َن اللَّهَ َما ََأمَر ُه ْم َو َي ْف َعلُو َن َما يُْؤ َم ُرو َن‬

13
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu (QS Al-Tahrim 66:
6)
Ayat diatas menjelaskan bahwa setiap manusia mukmin mempunyai beban

kewajiban dan tanggung jawab memelihara diri dan keluarga dalam bentuk

apapun dari api neraka karena api neraka dapat membuat diri dan jiwa manusia

menderita dan sengsara, yang bertanggung jawab dari itu semua adalah manusia

itu sendiri. Untuk memelihra dirinya dan keluarganya (anak-anak dan istrinya)

dari api neraka, dengan berusaha agar seluruh anggota keluarganya melaksanakan

perintah-perintah Alloh (Ghozali, 2015:177).

Dalam pemeliharaan anak (hadhanah), Nabi SAW menunjukan bahwa

ibulah yang paling berhak memelihara sesuai dengan sabdanya:

ِ ِ ِ ِِ ِ
ً‫ت يَا َر ُس ْو َل اهلل ا َّن ابْيِن ْ َه َذا َكا َن بَطْيِن ْ لَهُ ِو َعاءً وثَ ْدي ْي لَهُ س َقاء‬ ْ َ‫اَ َّن ا ْمَرَأَة قَال‬
ِ ْ‫ال هَل ا رسو ُل ا‬ ِ ِ ِ ِ
‫هلل‬ ْ ُ َ َ َ ‫َوح ْج ِري لَهُ ح َواءً َوا َّن اَبَاهُ طَلَّ َقيِن ْ َواََر َاد اَ ْن يَّْنتَ ِز َعهُ م ْين َف َق‬
‫ت اَ َح ُّق بِِه َمامَلْ ُتْن ِك ِح ْي(رواه امحد وابو داوود وصححه‬ ِ ْ‫صلَّى اهلل عليه وسلم اَن‬
َ
)‫احلكم‬

Artinya: Bahwasanya telah berkata seorang wanita kepada Rosulullah


SAW: Ya Rosulullah sesungguhnya anakku ini, perut akulah yang
mengandungnnya dan air susu akulah yang diminumya, serta pangkuankulah
tempat penjaganya, sedang ayahnya telah menceraikanku dan ia bermaksud untuk
memisahkan anakku dariku Rosulullah SAW bersabda: Engkau lebih berhak
terhadap anakmu selama engkau belum kawin (HR. Ahmad, Abu Daud dan
disahihkan oleh Al-Hakim)

Kandungan hadits diatas adalah apabila terjadi perceraian antara suami istri

dan meninggalkan anak, selama ibunya belum menikah lagi, maka diutamakan

untuk mengasuhnya, sebab ibu lebih mengetahui dan lebih mampu mendidik

anak-anaknya. Ibu lebih diutamakan selama mempunyai kelayakan mengasuh dan

menyusui mengingat lebih mengerti dan dan mampu mendidik anak. Kesabaran

14
ibu dalam hal ini lebih besar dari pada bapak. Karena itu, ibu lebih diutamakan

demi menjaga kemaslahatan anaknya. Jika si ibu telah menikah dengan laki-laki

lain maka hadhanah menjadi hilang (Sabiq, 1983:289) .

Berdasarkan hadits lain mengatakan:

‫اهلل ِإ َّن َز ْو ِجي يُِريْ ُد اَ ْن يَ ْذ َهب بِابْيِن وقَ ْد َن َف َعيِن و َس َقاْيِن‬


ِ ‫اَ َّن امرَأَة قَالَت يا رسو َل‬
ُْ َ َ ْ
ْ َْ َْ َ ْ َْ
‫ال النَّيِب ُّ صلى اهلل عليه وسلم يَاغُاَل ْم َه َذا اَبُ ْو َك‬ َ ‫ِم ْن بِْئ ِر اَيِب ْ ِعنَبَ ْة فَ َجاءَ َز ْو َج َها َف َق‬
‫ت بِِه (روه امحد‬ ِِ ِ ِ ِ ِِ
ْ ‫َأخ َذ بِيَد ْي اُمه فَانْطَلَ َق‬ َ ‫ك فَ ُخ ْذ بِيَد ْي اَيُّ ُه َما شْئ‬
َ َ‫ت ف‬ َ ‫َو َهذه اُُّم‬
)‫واألربعة وصححه الرتمذي‬
Artinya; Bahwasanya telah berkata seorang wanita kepada Rasulullah SAW:
Ya Rasulullah suamiku ingin membawa anakku padahal dia berguna untukku dan
mengambilkan air dari sumur Abu ‘Inabah untukku. Nabi SAW bersabda; wahai
anak laki-laki ini ayahmu dan ini ibumu, peganglah tangan siapa dari yang engkau
kehendaki. Lalu ia memegang tangan ibunya dan ia membawanya pergi (HR.
Ahmad, Imam yang empat, dan di sahihkan oleh at-Tirmdzi)

Hadits lain juga mengatakan;

ِ ِ ِ ِ ِ
‫صلَى اهلل عليه‬ ْ ُ‫َع ْن َراف ْع بْ ِن سنَان اَنَّه‬
َ َّ ‫َأسلَ َم َوَأبَت ْإمَرَأتُهُ َأ ْن تُ ْسل َم فََأ ْق َع َد النَّيِب‬
َ ‫ال اِىَل َُّأم ِه َف َق‬
‫ال اَللّ ُه َّم‬ َ ‫الصيِب ِّ َبْيَن ُه َما فَ َم‬ ِ َ‫اَأْلب ن‬
َّ ‫احيَةً َواَْق َع َد‬ ِ ‫احيةً و‬ ِ َ‫وسلم ا‬
َ َ َ‫ُأْلم ن‬ُ
ِ َ ‫اِه ِد ِه فَم‬
)‫َأخ َذهُ ( أخرجه ابو دود والنسائي وو صححه احلاكم‬ َ َ‫ال اَبِْيه ف‬ َ ْ
Artinya; dari rafi’ ibnu sinan RA bahwa ia masuk islam namun istrinya
menolak untuk masuk islam. Maka Nabi SAW mendudukan sang ibu di sebuah
sudut , sang ayah di sudut lain dan sang anak beliau dudukan di antara keduanya.
Lalu anak itu cenderung kepada ibunya. Maka beliau berdoa: “Ya Allah, berilah ia
hidayahnya. Kemudian ia cenderung mengikuti ayahnya, lalu ia mengambilnya.
( HR. Abu Dawud An-Nasai dan di sahihkan oleh al-Hakim)

Para pakar hukum islam sepakat bahwa pengasuhan dimulai sejak lahir

sampai usia tamyiz, namun para ulama sendiri berbeda pendapat apakah

pengasuhannya tetap pada ibunya ketika anak tersebut sudah mumayiz. Mazhab

15
Hanafi dan Maliki, hak hadhanah tetap berada pada ibunya, baik ibunya bercerai

atau ditinggal mati suaminya, sedangkan mazhab Syafii dan Hambali, diberikan

kepada anak untuk memilih untuk tinggal bersama ayah atau ibunya ( Az-zuhaili,

2011:742).

Menurut Sayyid Sabiq (1983:289), apabila orang tua bercerai, sedangkan

mereka mempunyai anak kecil maka ibu lebih berhak daripada ayahnya, selama

tidak ada hal-hal yang menghalanginya atau selama anak tersebut belum dapat

menentukan pilihannya. Demikian juga menurut Ahmad Zainuddin (2004:556),

yang paling utama hadhanah adalah mendidik anak yang belum bisa mandiri

sampai anak tersebut tamyiz adalah ibunya, selama ibunya belum menikah lagi

dengan orang lain. Sedangkan anak yang sudah mumayiz jika kedua orang tuanya

bercerai boleh memilih antara ibu atau ayahnya.

3. Syarat-Syarat Hadhanah

Pemeliharaan atau pengasuh anak itu berlaku antara dua unsur yang menjadi

rukun dalam hukumnya, yaitu orang tua yang mengasuh yang disebut hadhin dan

anak yang diasuh mahdhun keduanya harus memenuhi syarat yang ditentukan

untuk wajib dan sahnya tugas pengasuhan itu. Dalam masa ikatan perkawinan ibu

dan ayah secara bersama berkewajiban untuk memelihara anaknya secara sendiri-

sendiri (Syarifuddin, 2014:328).

Menurut Sayyid Sabiq (1983:289), syarat seorang hadhin (pengasuh) yang

menangani dan menyelenggarakan kepentingan anak kecil yang diasuhnya yaitu

adanya kecukupan dan kecakapan yang memerlukan syarat-syarat tertentu. Jika

16
syarat-syarat tertentu ini tidak dipenuhi satu saja maka gugurlah kebolehan

mengasuh mahdhun (anak yang diasuh), adapun sayarat-syaratnya adalah:

a. Berakal Sehat

Tidak berhak menjadi Hadhin orang yang kurang akal dan gigih karena

meraka tidak dapat mengurusi dirinya sendiri, sehingga tentulah ia tidak dapat

mengurus orang lain karena mereka tidak bisa memberikan pendidikan kepada

anak yang ada dalam pengasuhannya

b. Dewasa (baligh)

Anak kecil tidak berhak menjadi hadhin (pengasuh) karena ia sendiri masih

membutuhkan wali, sedangkan seorang hadhin sama seperti wali dalam

perkawinan maupun benda miliknya.

c. Mampu mendidik

Orang yang tidak berhak menjadi pengasuh adalah orang yang buta atau

rabun, sakit menular atau sakit yang melemahkan jasmaniya untuk mengurus

kepentigannya (anak), tidak berusia lanjut yang bahkan ia sendiri perlu diurus,

bukan orang yang meninggalkan urusan rumah tangga sehingga merugikan anak

kecil yang di asuh atau bukan orang yang ditinggal bersama orang yang sakit

menular atau bersama orang yang suka marah kepada anak-anak, sekalipun

kerabat anak kecil itu sendiri, sehingga akibat dari kemarahannya itu tidak bisa

memperhatikan kepentingan anak secara sempurna dan menciptakan suasana tidak

baik, bahkan sifat yang semacam itu dapat tertanam dalam sifat anak.

17
d. Amanah dan berakhlak baik

Karena orang fasik itu tidak dapat dipercaya untuk mengurus dan memenuhi

kewajiban mengasuh anak. Amanah ialah menahan diri dari melakukan yang tidak

halal dan tidak terpuji. Dengan demikian, jika seorang tidak memiliki jiwa

amanah maka ia tidak memiliki hak untuk memelihara atau mengasuh anak

(Yanggo, 2004:122)

Lawan kata dari amanah ialah khianat, khianat adalah tidak melaksanakan

sebagaimana mestinya apa-apa yang dipercayakan baik dengan jalan menyalahi

maupun mengabaikannya sehingga rusaklah apa yang dipercayakan ( amanahkan)

itu. Tidak sah bagi hadhin (pengasuh) yang khianat karena bisa menjadikan

terlantarnya anak dan bahkan nantinya anak dapat meniru atas kelakuan seperti

orang-orang yang curang (Yanggo, 2004:123).

e. Beragama Islam

Menurut mazhab syafi’i, anak kecil muslim tidak boleh diasuh oleh

pengasuh yang non muslim, dikhawatirkan akan merusak agama anak tersebut.

Pendapat ini di dasarkan pada firman Allah yang berbunyi:

ً‫ني َسبِيال‬ِِ ِٰ ِ ٰ
َ ‫َولَن جَّي َع َل اللّهُ للكف ِر‬
َ ‫ين َعلَى املُؤمن‬

Artinya: dan Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan bagi orang-

orang kafir untuk memusnahkan orang-orang mukmin (Q.S An-Nisa:141)

18
Berdasarkan Nash (ayat)di atas dapat dipahami bahwa seorang hadhin yang

kafir tidak boleh memelihara anak muslim karena berdasarkan firman Allah SWT

tidak membolehkan seorang mukmin berada dalam perwalian orang kafir. Selain

itu di dasaarkan pada pemikiran hadhanah sama seperti kedudukan perkawinan

atau harta benda serta dikhawatirkan anak kecil yang berada dibawah asuhannya

akan di asuh dengan agama pengasuhnya dan dididik dengan agamanya.

Lain halnya dengan pendapat Ibn Hazm, sebagaimana di kutip oleh T.M

Hasbi Ash Shidqy (2001:93-94), beliau membedakan antara masa susuan dan

masa susuan yang sudah lewat: tidak disyaratkan bersatu agama dalam tempo

susuan bersatunya agama disyaratkan sesudah masa asuhan, karena itu tidak ada

hadhanah bagi ibu kafir atas anaknya yang muslim, terkecuali disamakan susuan

saja (dari lahir sampai kepada umur dua tahun). Apabila anak kecil telah sampai

pada umur memahami sesuatu, maka tidak ada hadhanah lagi. Sedangkan Mazhab

Hanafi, Qasim al-Maliki dan Abu tsaur menetapkan kebolehan pengasuhan anak

seorang muslim kepada anak yang non muslim karena pengasuhan hanya sebatas

menyusui dan melayani anak tersebut dan hal itu boleh dilakukan meskipun

pengasuhnya kafir (non muslim), namun bukan perempuan murtad (Sabiq,

1983:292).

f. Keadaan wanita tersebut tidak bersuami

Apabila yang sudah meenjadi pengasuh atau yang akan menjadi pengasuh

adalah seorang janda, kemudian ia menikah lagi dengan laki-laki lain maka

haknya menjadi pengasuh tersebut menjadi gugur. Pendapat ini di dasarkan pada

19
hadits Nabi Muhammad SAW yang berbunyi: Artinya: “Telah bekata seorang

wanita kepada Rasulullah SAW: Ya Rasulallah sesungguhnya anakku ini, perut

akulah yang mengandungnya dan air susu akulah yang diminumnya serta

pangkuan akulah tempat penjagannya sedang ayahnya telah menceraikanku dan

bermaksud untuk memisahan anakku dariku. Rasulullah SAW bersabda: engkau

lebih berhak terhadap anakmu selama engkau belum kawin (HR. Ahmad, Abu

Daud dan di sahihkan oleh Al-Hakim).

Hadits ini berkenaan dengan seorang ibu yang sudah bercerai (janda yang

belum kawin lagi, apabila ia kawin lagi dengan laki-laki lain yang masih deat

dengan kerabatnya denagn si anak kecil tersebut, seperti paman dari ayahnya,

maka hadahanahnya tidak gugur, sebab paman itu masih berhak menjadi hadhin

terhadap anak tersebut krena hubungan kekerabatnnya dengan anak kecil tersebut

sehingga dengan begitu ia akan bersikap mengasihi dan memperhatikan hak-

haknya, maka akn terjalin hubungan yang smempurna di dalam menjaga si anak

kecil tersebut antara ibu dengan suami barunya (Syarifuddin, 2014:292).

g. Merdeka

Seorang budak biasanya sangat sibuk untuk melayani tuannya sehingga

tidak ada kesempatan unuk mengasuh anak kecil. Kekhawatiran ketika budak di

perbolehkan mengasuh anak kecil, maka yang terjadi adalah terlantarnya asuhan

karena bagaimanapun sang budak harus bekerja dan mengabdi kepada tuannya.

Ketidakoptimalan pengasuhan terhadap anak, akan terjadi tidak sempurnanaya

pemeliharaan atau asuhan sebagaimana mestinya (Syarifuddin, 2014:294).

Amir Syarifuddin (2014:329) mengatakan ayah dan ibu yang akan


bertindak sebagai pengasuh disyartakan hal-hal sebagai berikut:

20
a. Sudah dewasa orang yang belum dewasa tidak akan mampu melakukan
tugas yang berat itu. Oleh karenanya, belum dikenai -kewajiban dan
tindakan yang dilakukannya itu belum dinyatakan memenuhi syarat.
b. Berpikiran sehat. Orang yang kurang akal sehatnya seperti idiot tidak
mampu berbuat untuk dirinya sendiri dan dengan keadaanya itu tidak
memungkinkan untuk mengurusi orang lain.
c. Beragama Islam. Ini pendapat yang dianut jumhur ulama, karena tugas
pengasuhan itu termasuk tugas pendidikan yang akan mengarahkan
agama anak yang diasuhnya. Kalau di asuh oleh orang yang bukan islam
dikhawatirkan anak yang diasuh akan jauh dari agamanya.
d. Adil dalam arti menajalankan agama secara baik dan benar dengan
meninggalkan dosa besar dan menjauhi dosa kecil, kebalikan dari adil
ialah fasik yaitu tidak konsisten dalam beragama. Orang yang komitmen
agamanya rendah tidak diharapkan untuk mengasuh dan memelihara
anak kecil.

Menurut syiah imamiyah (2004:418), pengasuh harus terhindar dari

penyakit-penyakit menular. Sedangkan menurut Imam Ahmad bin Hambal,

pengasuh harus terbebas dari penyakit lepra dan belang yang terpenting dia tidak

membahayakan kesehatan si anak

Menurut Abdul Rahman Ghozali (2015:181) untuk kepentingan anak dan


pemeliharaannya diperlukan syarat-sayarat bagi hadhhin (pengasuh laki-laki) dan
hadhinah (pengasuh perempuan) yaitu:
a. Tidak terikat dengan suatu pekerjaan yang menyebabkan ia tidak dapat
melakukan hadhanah dengan baik, seperti hadhin terikat dengan pekerjaan
yang berjauhan tempatnya dengan si anak atau hampir seluruh waktunya
dihabiskan untuk bekerja.
b. Hendaklah ia orang mukallaf, yaitu telah baligh, berakal, dan tidak
terganggu ingatannya, karena hadhanah merupakan suatu pekerjaan yang
penuh tanggung jawab, sedangkan orang yang tidak mukallaf adalah orang
yang tidak di pertanggung-jawabkan perbuatannya.
c. Hendaklah mempunyai kemampuan untuk melakukan hadhanah.
d. Hendaklah dapat menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak, terutama
berhubungan dengan budi pekerti. Orang yang dapat merusak budi pekerti
anak sepert pezina, pencuri, tidaklah pantas melakukan hadhanah.
e. Hendaklah hadhin tidak bersuamikan laki-laki yang tidak ada hubungan
mahram dengan si anak. Jika ia kawin dengan laki-laki yang ada hubungan
mahram dengan si anak, maka hadhin itu berhak melakukan hadhanah,
seperti ia kawin dengan paman si anak dan sebagainya.
f. Hadhanah hendaklah orang yang tidak membenci si anak. Jika hadhin
orang yang membenci anak dikahawatirkan anak berada dalam
kesengsaraan.

21
Menurut Satria Efendi (1995:252-253) untuk kepentingan anak dan
pemeliharaanya diperlukan beberapa syarat bagi yang akan melakukan hadhanah
sebagia berikut;
a. Yang melakukan hadhanah hendaklah sudah baligh/berakal, tidak
terganggu ingatannya, sebab hadhanah itu merupakan pekerjaan yang
penuh tanggung jawab. Oleh sebab itu seorang ibu yang menderita
ganguan jiwa atau gangguan ingatan tidak layak melakukan tugas
hadhanah.
b. Mempunyai kemampuan dan kemauan untuk memelihara dan mendidik
anak yang di asuh, dan tidak terikat dengan suatu pekerjan yang bisa
meengakibatkan tugas hadhanah menjadi terlantar.
c. Seorang yang melakukan hadhanah hendaklah dapat dipercaya memegang
amanah sehingga dengan itu dapat lebih menjamin pemeliharaan anak.
Orang yang rusak akhlaknya tidak dapat memberi contoh yang baik
kepada anak yang di asuh, oleh Karena itu tidak layak melakukan tugas
ini.
d. Jika yang akan melakukan hadhanah itu ibu kandung dari anak yang dia
asuh, disyaratkan tidak kawin dengan laki-laki lain dasarnya adalah
penjelasan Rasulullah SAW bahwa seorang ibu yang hanya mempunyai
hak hadhanah anak selama ia belum menikah dengan laki-laki lain.
Adanya persyaratan tersebut dikhawtirkan suami baru itu tidak merelakan
istrinya disibukan dengan mengurus anaknya dari suami pertamanya itu.
Oleh sebab itu, seperti dipahami ahli-ahli fikih, hak hadhanahnya tidak
gugur apabila menikah dengan kerabat dekat si anak, yang
memperlihatkan kasih sayang dan kerabat dekat si anak, yang
memperlihatkan kasih sayang dan tanggung jawabnnya. Demikian pula
hak Hadhanah anak tidak gugur jika ia menikah dengan laki-laki lain yang
rela menerima kenyataan. Hal ini terjadi pada diri Ummu Salamah, ketika
menikah dengan Rasulullah anak anak dari suami pertamanya tetap dalam
pengasuhannya. Berdasarkan kenyataan ini Ibnu Hazm berpendapat tidak
gugur hak hadhanah anak seorang ibu dengan menikah lagi dengan laki-
laki lain terkecuali jika suami keduanya jelas menolaknnya.
e. Seseorang yang melakukan hadhanah harus beragama Islam seorang yang
beragama non muslim tidak berhak dan tidak boleh ditunjuk sebagai
pengasuh. Tugas mengasuh termasuk di dalamnya usaha mendidik anak
menjadi muslim yang baik dan hal ini menjadi kewajban mutlak atas
kedua orang tuanya. Para ahli fikih mendasarkan kesimpulan tersebut pada
ayat 6 At-Tahrim yang mengajarkan agar memelihara diri dan keluarga
dari sikasaan api neraka. Untuk tujuan tersebut perlu pendidikan dan
pengarahan dari waktu kecil. Tujuan tersebut akan sulit tercapai bilamana
yang mendampingi atau yang mengasuhnya bukan seorang muslim.

Para ulama mazhab sepakat tentang pengasuhan anak bahwa orang yang

akan mengasuhnya itu harus berakal sehat, dapat dipercaya, suci diri, bukan

pelaku maksiat bukan penari dan bukan penari dan bukan peminum khamar serta

22
tidak mengabaikan anak yang diasuhhnya. Tujuan dari keharusan adanya sifat-

sifat tersebut adalah untuk memelihara dan menjamin kesehatan anak dan

pertumbuhan moralnya (Mugniyah, 2004:418).

Selain persyaratan untuk hadhin (pengasuh) juga terdapat syarat untuk anak

yang diasuh (mahdhun) yaitu:

1. Ia masih berada dalam usia kanak-kanak dan belum dapat berdiri deindiri

mengurusi hidupnya sendiri.

2. Ia berada dalam keadaan tidak sempurna akalnya dan oleh karena itu ia tidak

dapat berbuat sendiri, meskipun telah dewasa, seperti orang idiot orang yang

telah dewasa dan sehat sempurna akalnya tidak boleh berada dibawah

pengasuhan siapa pun.

Peraturan Perundang-undangan di Indonesia, seperti terlihat jelas dalam UU

perkawinan, UU Perlindungan anak dan KHI mengatur tentang pemeliharaan anak

dengan sedemikian rupa, namun tidak jelas membahas mengenai syarat-syarat

pihak yang berhak atas pengasuhan. Ini berbeda dengan aturan fiqih yang

menetapkan bahwa seorang pengasuh harus memenuhi beberapa kriteria jika ingin

mendapatkan hak asuhnya (Salim, 2009:69).

Peraturan Perundang-undangan Indonesia yang berkaitan dengan

pemeliharaan anak tidak menentukan syarat-syarat seperti tersebut dalam fikih,

namun menurut KHI bagi anak yang belum mumayiz (sebelum usia 12 tahun)

apabila orang tuanya bercerai secara otomatis hak pengasuhannya menjadi hak

ibunya ketentuan seperti ini dianggap problematis dari aspek keadilan jender,

23
berdasarkan pada jenis kelamin bukan berdasarkan pada kualitas, moralitas,

integritas dan kemampuan dalam mewujudkan untuk kepentingan dan

kemaslahatan yang terbaik bagi anak (Fanani, 2015:111).

4. Urutan yang Berhak atas Hadhnah

Pengasuhan disamping hak dari anak asuh juga merupakan hak dari

pengasuh. Anak asuh berhak mendapatkan pengasuhan dari pengasuhnya karena

ia memerlukan pemeliharaan, bimbingan, petunjuk, pelajaran dan sebagainya

yang sangat diperlukan untuk menghadapi kehidupan terutama sebagai seorang

muslim pada masa yang akan datang. Demikian pula halnya pengasuh, ia berhak

atas pengasuhan anak asuhnya karena ia termasuk orang yang mengiginkan

kebahagiaan dan kemaslahatan anaknya pada masa yang akan datang. Sebagian

ahli fikih berpendapat bahwa pengasuhan anak yang paling baik adalah apabila

dilaksanakan oleh kedua orang tuanya yang masih terikat oleh perkawinan

(Mukhtar, 1974:131).

Ketika pengasuhan anak merupakan hak dasar ibu, maka para ulama

menyimpulkan, kerabat ibu didahulukan daripada kerabat ayah (Mukhtar,

1974:131). Oleh karena itu, urutan orang-orang yang berhak mengasuh anak

adalah sebagai berikut: ibu, tetapi jika ada faktor yang membuatnya tidak layak di

dahulukan maka hak asuhnya di alihkan kepada ibunya (nenek) dan seterusnya.

Jika ada faktor yang menghalangi mereka didahulukan maka di alihkan kepada

ibu ayah (nenek). Berikutnya adalah saudara perempuan kandung, saudara

perempuan kandung, saudara perempuan dari ibu, saudara perempuan dari ayah,

putri saudara perempuan kandung, putri saudara perempuan dari ibu, bibi kandung

24
dari ibu (al- khalah As-syaqiqah) bibi dari ibu (al-khalah li umm), bibi dari ayah

(al-kahalah li-abi), putri saudara perempuan dari ayah, putri saudara laki-laki

kandung putri saudara laki-laki dari ayah, bibi kandung dari ayah (al amah

asyaqiqah), bibi dari ibu (al-ammah li-umm) bibi dari ayah (al-ammah li-abi)

saudara perempuan nenek dari ibu (khalah li- umm), saudara perempuan nenek

dari ayah (khalah li-abi), saudara perempuan kakek dari ibu (amah al-umm),

saudara perempuan kakek dari ayah (amah li-ab) dengan mengutamakan yang

memiliki hubungan kandung diantara mereka (Az-Zuhaili, 2011:680).

Jika anak kecil tersebut tidak memiliki kerabat wanita diantara orang-orang

di atas, atau sekalipun ada tapi tidak layak mengasuh maka hak asuh di alihkan

kepada kerabat laki-lakinya berdasarkan urutan menerima waris. Dengan

demikian hak asuh beralih kepada ayah, kakek dari ayah, dan seterusnya.

Berikutnya adalah saudara kandung laki-laki, saudara laki-laki dari ayah, putra

saudara laki-laki kandung, putra saudara laki-laki dari ayah, paman dari ayah,

saudara laki-laki kandung kakek dari ayah(amm abihi asy-syaqiq), dan saudara

laki laki kakek dari ayah (amma abihi li’ab) (Sabiq, 1983:290) .

Jika tidak terdapat kerabat laki-laki ashabah, atau sekalipun ada tapi tidak

layak mengasuhnya. Maka hak asuh di alihkan kepada mahram kerabat laki-

lakinya yang bukan ashhabah. Dengan demikian, hak asuh diberikan secara urut

kepada kakek dari ibu, saudara laki-laki dari ibu putra saudara laki-laki dari ibu,

saudara laki-laki kakek dari ibu, saudara laki laki kandung ibu, saudara laki-laki

nenek dari ayah (al-khal li-ab), dan saudara laki-laki nenek dari ibu (al khal li-

umm) ( Sabiq, 1983:290)

25
Jika anak kecil tersebut tidak memiliki kerabat sama sekali, maka hakim

menunjuk pengasuh wanita yang akan mendidiknya. Pengasuhan anak kecil

merupakan suatu keharusan dan orang yang paling pantas yang mengasuhnya

adalah kerabatnya sendiri. Sementara ada kerabat-kerabat yang hubunganya lebih

dekat dari pada yang lain. Oleh karena itu, wali-wali anak tersebut didahulukan

karena merekalah yang memilki wewenang dasar untuk memenuhi

kemaslahatannya. Tetapi, jika mereka tidak ada, atau sekalipun ada tapi tidak

layak mengasuh, maka hak asuh dialihkan kepada kerabat yang lebih dekat dan

seterusnya. Jika tidak punya kerabat sama sekali, maka hakim bertanggung jawab

menunjuk orang yang layak untuk mengasuhnya ( Sabiq, 1983:291).

Kalangan mazhab hambali berpendapat bahwa hak asuh anak dimulai dari

ibu kandung, nenek dari ibu, kakek dari ibu, bibi dari kedua orang tua, saudara

perempuan seibu, saudara perempuan seayah, bibi dari kedua orang tua, bibi dari

ibu, bibinya dari ayah, bibinya ibu dari jalur ibu, bibinya ayah dari jalur ibu,

bibinya ayah dari pihak ayah, anak perempuan dari saudara laki-laki, anak

perempuan dari paman ayah dari pihak ayah, kemudian kerabat terdekat (Az-

Zuhaili, 2011:683).

Menurut mazhab Hanafi hak asuh berturut-turut di alihkan dari ibu kepada

ibunya ibu, ibunya ayah, saudara-saudara perempuan kandung, saudara-saudara

perempuan seibu, saudara-saudara perempuan seayah, anak perempuan dari

saudara perempuan kandung, anak perempuan dari saudara seibu, demikian

seterusnya hingga pada bibi dari pihak ibu dan ayah (Uwaidah, 2004:456).

Menurut Mazhab Maliki, hak asuh berturut-turut dialihkan dari ibu kepada

ibunya dan seterusnya ke atas, saudara perempuan ibu sekandung, saudara

26
perempuan ibu seibu, saudara perempuan nenek perempuan dari pihak ibu,

saudara perempuan kakek dari pihak ibu, saudara perempuan kakek dari pihak

ayah, ibu ibunya ayah, ibu bapaknya ayah dan seterusnya (Daly, 2005:87)

Menutut madzhab Syafi’i, hak atas asuhan secara berturut turut adalah ibu,

ibunya ibu dan seterusnya hingga ke atas dengan syarat itu mereka adalah

pewaris-pewaris si anak, ibu dari ibunya ayah dan seterusnya hingga ke atas

dengan syarat mereka adalah pewaris–pewarisnya pula, saudara-saudara

perempuan kandung, saudara-saudara perempuan seibu, saudara-saudara

perempuan seayah, anak perempuan dari saudara perempuan kandung anak

perempuan dari saudara seibu. Demikian seterusnya hingga pada bibi dari pihak

ayah dan dari pihak ibu (Az-Zuhaily, 2011:683).

Peraturan perundang-undangan Indonesia, pasal 41 UU perkawinan hanya

menyebutkan baik ibu atau bapak berkewajban memelihara dan mendidik anak-

anaknya, namun tidak disebutkan urutan orang-orang yang berhak sebagai

pengasuhnya.

Passal 156 huruf (a) KHI menyebutkan anak yang belum mumayiz berhak

mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia,

maka kedudukannya digantiakan wanita-wanita garis lurus dari ibu, ayah, wanita-

wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah, saudara perempuan dari anak yang

bersangkutan, wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu, dan

wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.

Dasar urutan orang-orang yang berhak melakukan hadhanah di atas adalah:

a. Kerabat pihak ibu di dahulukan atas kerabat dari pihak ayah jika tingkatannya

sama.

27
b. Nenek perempuan didahulukan atas saudara perempuan, karena anak

perempuan merupakan bagian dari kakek, karena itu nenek lebih berhak

dibanding dengan saudara perempuan.

c. Kerabat sekandung didahulukan dari kerabat yang bukan sekandung dan

kerabat seibu lebih di dahulukan dari kerabat seayah.

d. Dasar urutan ini ialah urutan kerabat yang ada hubungan mahram, dengan

ketentuan pada tingakatan yang sama pihak ibu didahulukan atas pihak ayah.

e. Apabila kerabat yang ada hubungan mahram tidak ada maka hak hadhanah

pindah pada kerabat yang tidak ada hubungan mahram (Ghozali, 2015:185).

5. Batas Umur Hadhanah

Al-Qur’an maupun hadits tidak menerangkan secara tegas tentang masa

hadhanah, hanya terdapat isyarat-isyarat yang menerangkan hal tersebut. oleh

karena itu para ulama berijtihad sendiri-sendiri dalam menetapkan berpedoman

kepada isyarat-isyarat itu. Menurut madzhab Hanafi hadhanah anak laki-laki

berakhir pada saat anak itu tidak lagi memerlukan penjagaan dan telah dapat

mengurus keperluannya sendiri sendiri, seperti: makan, minum, mengatur

pakaian, membersihakn tempatnya, dan sebagainya. Sedangkan masa hadhanah

anak perempuan berakhir apabila ia telah baligh atau telah datang masa haid

pertamanya (Ghozali, 2015:185).

Sebagaimana diketahui bahwa yang dimaksud dengan hadhanah adalah

kegiatan mengasuh, memelihara, dan mendidik anak hingga dewasa dan mampu

berdiri sendiri. Berdasarkan pengertian tersebut dapat di pahami bahwa masa atau

batas umur hadhanah adalah bermula dari saat dia lahir, yaitu saat dimana diri

28
seorang anak mulai memerlukan pemeliharaan, perawatan, maupun pendidikan

kemudian berakhir bila anak tersebut telah dewasa dan telah bisa berdiri sendiri

serta mampu mengurus kebutuhan rohani dan jasmaninya (Ghozali, 2015:186).

Adapun dalam Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 98 menyatakan bahwa

batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun,

sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah

melangsungkan perkawinan. Akan tetapi jika terjadi perselisihan antara ayah dan

ibu atau wanita yang mempunyai hak hadhanah maka si anak diminta untuk

memilih salah satu diantara keduanya.

Menurut Sayyid Sabiq (1983:294) hadhanah (pengasuhan) anak berakhir

ketika anak kecil, laki-laki maupun perempuan, tidak lagi bergantung pada

pelayanan wanita dewasa, mencapai tamyiz dan sudah mandiri, yakni dapat

mengerjakan segala kebutuhan-kebutuhan dasarnya, seperti makan, berpakain dan

memebersihkan diri (mandi dan lainnya). Masa ini tidak dapat ditentukan pada

usia tertentu, melainkan ukurannya tamyiz dan lepas dari ketergantungan. Selama

anak kecil sudah mumayiz dan tidak lagi bergantung pada pelayanan wanita, serta

dapat mengerjakan sendiri seluruh kebutuhan dasarnya maka berakhirlah masa

pengasuhannya.

Dalam kajian fikih islam istilah mumayiz digunakan untuk seorang anak

yang berada dalam satu periode dari sekian periode yang dilaluinya semenjak dia

masih dalam kandungan ibunya. Berikut ini periode manusia semenjak terjadi

pembuahan dalam perut ibunya sampai ia lahir dan wafat (M.Zain, 1996:131)

1. Periode janin. Yaitu periode seseorang yang masih dalam kandungan ibunya.

29
2. Periode sebelum mumayiz. Yaitu periode dimana anak belum dapat

membedakan antara yang bermanfaat dan membahayakan darinya. Periode ini

bermula sejak manusia lahir sampai berumur lebih kurang tujuh tahun. Pada

periode ini seorang anak belum memiliki pertimbangan karena belum tumbuh

akalnya.

3. Periode mumayiz yaitu dari waktu berumur lebih kurang tujuh tahun sampai

menjelang baligh atau berakal. Pada periode ini seorang anak telah mulai

dapat membedakan (mumayiz) antara yang berbahaya dan bermanfaat bagi

dirinya. Artinya, pada periode ini anak telah mulai tumbuh akalnya secara

sederhana sehingga sudah mempunyai pertimbangan, namun belum seperti

layaknya dimilki oleh orang yang telah sempurna akalnya.

4. Periode baligh/berakal. Yaitu periode ini bermula dari waktu berakhirnya

masa mumayiz dan sudah berakal. Masalah petumbuhan akal sesorang apakah

sudah sempurna atau belum sempurna sangat sulit untuk dideteksi secara

pasti dan tidak sama antara yang satu dengan yang lainnya. Untuk anak

perempuan masa mumayiznya dianggap berakhir dan dianggap sebagai titik

permulaan dari periode baligh atau berakal ketika anak tersebut telah

mengalami masa haid pertamanya. Bagi anak perempuan yang sudah haid,

dianggap baligh atau berakal dan berarti telah berakhir masa mumayiznya.

Bagi anak laki-laki periode mumayiznya diaanggap berakahir apabila ia telah

mengalami mimpi bersenggama atau mimpi mengeluarkan seperma

5. Periode rusyd. Yaitu periode dimana seorang anak yang telah baligh dan

cerdas atau mampu mengendalikan harta bendanya atau membelanjakannya

secara baik.

30
Berikut ini masa pemeliharaan anak (hadhanah) menurit mazhab yang

empat yaitu: menurut mazhab syafi’i masa pemeliharaan anak (hadhanah) tidak

ditentukan, akan tetapi anak kecil tetap pada ibunya sampai tamyiz dan mampu

memilih salah satu dari kedua orang tuanya. Maka ketika ia sampai pada usia

dapat memilih antara ibu atau bapaknya, apabila anak laki-laki memilih ibu, maka

ia tinggal bersama ibunya di malam hari ataupun siang hari. Yang demikian itu

agar terjamin pedidikannya. Apabila anak perempuan memilih ibunya maka

baginya tinggal beersama ibunya di malam dan di siang hari. Apabila anak kecil

itu memilih tinggal bersama ayah dan ibunya maka di undi di antara mereka.

Apabila ia diam tidak memilih salah satu dari keduanya maka ia berada pada

ibunya. Menurut madzhab Hanafi, masa hadhanah itu tujuh tahun bagi anak

laki-laki dan Sembilan tahun bagi anak perempuan. Menurut madzhab maliki

masa hadhanah itu mulai anak lahir sampai baligh dan bagi anak perempuan

sampai ia kawin. Menurut madzhab hambali, masa hadhanah itu tujuh tahun bagi

anak laki-laki dan anak perempuan, dan sesudahnya anak disuruh memilih

diantara kedua orang tuanya, maka ia bersama orang yang ia pilih dari mereka

(Mugniyah, 2004:418).

6. Upah dan Nafkah Hadhanah

Menurut Kamus Bahasa Indonesia upah adalah uang dan sebagianya yang di

bayarkan sebagai balas jasa atau sebagai pembayar tenaga yag sudah dikeluarkan

untuk mengerjakan sesuatu. Nafkah adalah belanja untuk hidup, (uang)

pendapatan, belanja yang diberikan atau bekal hidup sehari-hari. Upah tersebut

wajib diberikan oleh seseorang yang memberikan pekerjaan kepada orang yang

31
telah memberikan jasa kepadanya, tidak terkecuali upah pada permasalahan

hadhanah (Ghozali, 2015:185).

Upah dalam pengasuhan anak wajib diberikan oleh ayah dari anak kecil

yang diasuh kepada seseorang yang telah mengasuh. Hal ini tidak berlaku

terhadap ibu dari si anak yang di asuh apabila masih berada pada ikatan

pernikahan atau masa iddah, karena apabila masih pada dua masa tersebut

mengasuh anak adalah kewajiban yang dibebankan kepada si ibu itu, karena pada

masa itu pula ayah biasanya memberikan kewajibannya memberikan nafkah baik

sebagai suami jika masih berkeluarga atau tetap memberiikan nafkah pada saat

masa iddah. Hal ini tercermin jelas pada ayat Al-Qur’an pada surat Al-Baqoroh

ayat 233 dan At-thalaq ayat 6. (Sabiq,1983:291):

‫اعةَ َو َعلَى‬
َ‫ض‬ َّ ‫ت يُْر ِض ْع َن اَْواَل َد ُه َّن َح ْولَنْي ِ َك ِاملَنْي ِ لِ َم ْن اََر َاد اَ ْن يُّتِ َّم‬
َ ‫الر‬
ِ
ُ ‫َوالْ َوال ٰد‬
‫ف‬ ِ ‫الْمولُو ِد لَه ِر ْز ُقه َّن وكِسو ُته َّن بِالْمعرو‬
ْ ُْ َ ُ َ ْ َ ُ ُ ْ ْ َ
Artinya: “ para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun

penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan dan kewajiban ayah

memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf.”(Q S Al-

baqoroh:233)

Ayat lainnya menjelaskan:

ِ‫ف وا‬
ٍ ‫مِب‬ ِ ِ
َ َ َ ‫ض ْع َن لَ ُك ْم فَاٰ ُت ْو ُه َّن اُ ُج ْو َر ُه َّن َوْأمَت ُر ْوا َبْينَ ُك ْم َْع ُر ْو‬
ْ‫اسْرمُت‬ ‫ع‬ ‫ت‬
َ ‫ن‬
ْ َ ‫فَا ْن اَْر‬
‫فَ َسُت ْر ِض ُع لَهُ اُ ْخ ٰرى‬
Artinya: “maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka
bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu, maka
berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarhakanlah diantara kamu(segala

32
sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain
boleh menyusukan (anak itu) untuknya”. (QS At Thalaq:6)

Menurut Jawad Mughniyah (2004:418) para pakar hukum Islam (fuqaha)

berbeda pendapat tentang masalah upah dimana perbedaan pendapat tersebut

diringkaskan sebagai berikut:

1. Imam Syafi’i, dan Imam Hambali berpendapat wanita yang mengasuh berhak

atas upah pengasuhan yang diberikannya, baik dia bersetatus ibu sendiri

maupu oran lain bagi anak itu. Imam Syafi’i, menegaskan bahwa manakala

anak yang di asuh itu mempunyai harta sendiri maka upah tersebut

diambilkan dari hartanya, sedangkan bila tidak upah itu merupakan tanggung

jawab ayahnya, atau orang yang berkewajiban menafkahkan kepada si anak.

2. Imam Malik dan Syi’ah Imamiah berpendapat wanita pengasuh tidak berhak

atas upah bagi penagasuhan yang diberikannya, tetap Syi’ah Imamiyah

menagtakan bahwa siibu berhak atas upah. Kalau anak yang di susui itu

mempunyai harta, maka orang yang meyusuinya diberi upah yang

diambilakkan dari hartanya, tetapi kalau tidak punya, upah itu menjadi

tanggungan ayahnya bila ayahnya orang mampu

3. Imam Hanafi bependapat pengasuh wajib memperoleh upah manakala sudah

tidak ada lagi ikatan perkwinan anatara ibu dan bapak si anak, dan tidak pula

dalam bahasa iddah dan talak raj’i. demikian pula halnya bila ibunya berada

dalam keadaan iddah dari talak bain atau fasakh nikah yang masih berhak

atas nafkah dari ayah si anak. Upah bagi orang yang mengasuh wajb

diambilkan dari harta si anak bila dia mempunyai harta, dan bila tidak, upah

33
itu menjadi tangungan orang yang berkewajiban memberikan nafkah

kepadanya.

Perempuan selain ibunya boleh menerima upah hadhanah sejak ia

menangani hadhanahnya, seperti halnya perempuan yang bekerja menyusui anak

kecil dengan bayaran (upah). Seorang ayah wajib membayar upah penyusuan dan

hadhanah, juga wajib membayar ongkos sewa rumah atau perlengkapannya jka

sekiranya si ibu tidak memiliki rumah sendiri sebagai tempat mengasuh anak

kecilnya. Ia juga wajib membayar gaji pembantu rumah tangga atau menyediakan

pembantu tersebut jika si ibu membutuhkannya, dan jika ayah anak tersebut

memiliki kemampuan untuk itu. Hal ini bukan termasuk dalam bagian nafkah

khusus bagi anak kecil seperti makan, minum, tempat tidur, obat-obatan dan

keperluan lain yang pokok yang sangat dbutuhkannya. Tetapi gaji ini hanya wajib

dikeluarkannya saat ibu pengasuh menangni asuhannya. Gaji ini menjadi hutang

yang di tanggung oleh ayah serta baru bisa dilepas dari tanggungan ini kalau

dilunasi atau dibebasakan oleh ibunya (Abidin dan Aminudin, 1999: 182)

Jika diantara kerabat anak kecil ada orang yang pandai mengasuhnya dan

melakukannya sukarela, sedangkan ibunya sendiri tidak mau terkecuali apabila

dibayar, maka jika si ayahnya mampu, ia tidak boleh menyerahkan kepada kerabat

perempuannya tersebut bahkan si anak harus tetap pada ibunya. Sebab asuhan

ibunya lebih baik untuknya apabila ayahnya mampu membayar untuk upah

ibunya. Tetapi, kalau ayah nya tidak mampu ia boleh menyerahkan anak kecil itu

kepada kerabatnya itu dengan syarat perempuan itu masih ada hubungan kerabat

dengan si anak dan pandai mengasuhnya. Hal ini berlaku apabila nafkah itu wajib

ditanggung oleh ayahnya. Adapun apabila anak itu memiliki harta untuk

34
membayar nafkahnya maka anak kecil ini lah yang membayar kepada pengasuh

sukarelanya. Di samping untuk menjaga hartanya, juga karena ada salah seorang

kerabatnya yang menjaga dan mengasuhnya. Tetapi, jika ayahnya tidak mampu

sianak juga tidak memiliki harta, sedang ibunya tidak mau mengasuhnya kecuali

kalau dibayar dan tidak ada kerabat yang mau mengasuhnya sukarela, maka siibu

dapat dipaksa untuk mengasuhnya sedangkan upahnya (bayarannya) menjaf

hutang yang wajib dibayar oleh ayahnya dan bisa gugur kalau telah dibayar atau

dibebaskan oleh ibunya (Abidin dan Aminuddin,1999:182).

Peraturan perundang-undangan Indonesia, seperti UU Perkawinan, UU

perlindungan anak dan KHI sudah mengatur secara jelas tentang biaya hadhanah

maupun nafkahnya. Hal ini dapat dilihat pada ketentuan pasal 41 huruf b UU

perkaawinan menyebutkan, akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:

bapak yang bertanggung jawab atas semua pemeliharaan dan pendidikan yang

diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi

kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya

tersebut”. Demikian juga disebutkan secara jelas dalam KHI Pasal 105, “dalam

hal terjadinya perceraian: biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya”, Pasal

156 huruf d KHI, “akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah: semua

biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut

kemampuannya”.

Berdasarakan ketentuan tersebut, dapat dipahami bahwa pada dasarnya

biaya pengasuhan maupun nafkah anak dibebankan kepada ayahnya, baik ketika

suami istri belum bercerai maupun setelah mereka bercerai namun pada saat

kondisi keuangan ayah tidak baik atau kurang mampu maka ibu dapat dibebankan

35
untuk memberi biaya pengasuhan dan nafkah anak. Apabila anak tersebut diasuh

oleh orang lain maka tetap ayah dan ibunya harus menanggung semua biaya ynag

diperlukan dalam pengasuhan tersebut.

B. Konsep Anak Mumayiz

1. Pengertian Anak

Anak merupakan sebuah anugerah yang diberikan oleh tuhan yang maha

kuasa yang mana dengan hadirnya anak aau keturunan menjadi alah satu faktor

yang menunujang keharmonisan rumah tangga. Kemudian dalam memahami

kedudukan anak sudah barang tentu harus meamahmi definisi dari anak sehingga

kita bisa memahami kedudukan anak secara komprehennsif. Menurut Djamil

(2013: 8) anak menurut bahasa adalah keturunan sebagai hasil antara hubungan

pria dan wanita. Baik itu anak yang lahir dalam ikatan pernikahan ataupun anak

yang lahir akibat hubungan diluar nikah sejatinya memiliki kedudukan yang sama

dalam kacamata agama karena sesungguhnya setiap anak yang lahir dikahirkan

dalam keadaan fitrah.

Anak dalam pengertian yang umum mendapat perhatian tidak saja dalam

ilmu pengetahuan, tetapi dapat diperhatikan dari sisi pandang sentralistis

kehidupan, seperti agama, hukum dan sosiologis yang menjadikan anak semakin

rasional dan aktual dalam lingkungan social (Wadang, 2000:1)

Pengertian Dari Apek Sosiologis anak diartikan sebagai makhluk ciptaan

Allah SWT yang senantiasa berinteraksi dalam lingkungan masyarakat bangsa dan

negara.Dalam hal ini anak diposisikan sebagai kelompok sosial yang mempunyai

setatus sosial yang lebih rendah dari masyarakat dilingkungan tempat berinteraksi.

36
Makna anak dalam aspek sosial ini lebih mengarah pada perlindungan kodrati

anak itu sendiri (Ahmad, 2007:7)

Menurut Biechler dan Snowman (1993:25), sebagaimana dikutipoleh

Soemiarti Patmonodewo, mengatakan bahwa :

Anak prasekolah adalah mereka yang berusia antara 3-6 tahun. Mereka

biasanya mengikuti program prasekolah. Sedangkan di Indonesia, umumnya

mereka mengikuti program tempat penitipan anak (3 bulan – 5 tahun) dan

kelompok bermain (usia 3 tahun), sedangkan pada usia 4-6 tahun biasanya mereka

mengikuti program taman kanak-kanak.

Masa Balita akhir dalam istilah psikologi disebut dengan masa kanak-kanak

awal yaitu masa yang dimulai pada akhir masa bayi (usia 2-5) tahun. Pada

perkembangan anak normal awal masa kanak-kanak, anak sudah mempunyai

kemampuan untuk bisa berjalan dengan baik dan sudah mulai dapat

mengkomunikasikan keinginannya, pikirannya dengan menggunakan bahasa lisan

Dalam mukaddimah Konvensi Hak Anak 20 November1989 yang telah

diratifikasi oleh Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990,

dijelaskan bahwa anak harus sepenuhnya dipersiapkan untuk menjalani

kehidupan.

Pengertian anak dalam sistem hukum Indonesia belum ada keseragaman,

tiap peraturan perundang-undangan memberikan batasan usia anak yang berbeda.

Jadi dari berbagi defenisi tentang anak di atas sebenarnya dapatlah diambil suatu

benang merah yang menggambarkan apa atau siapa sebenarnya yang dimaksud

37
dengan anak dan berbagai konsekwensi yang diperolehnya sebagi penyandang

gelar anak tersebut (Waludi, 2009:23).

Pengertian anak secara hukum, dimana pengertian anak diletakkan sebagai

objek sekaligus subjek utama dalam suatu proses legitimasi, generalisasi dan

sistematika aturan yang mengatur tentang anak. Perlindungan secara hukum inilah

yang akan memberikan perlindungan hukum terhadap eksistensi dan hak-hak

anak.

a. Anak sebagai subjek hukum Anak digolongkan sebagai makhluk yang

memiliki hak asasi manusia yang terikat oleh peraturan perundang-undangan.

b. Persamaan hak dan kewajiban anak Seorang anak akan memiliki hak dan

kewajiban yang sama dengan orang dewasa sesuai dengan ketentuan dan

perundang-undangan.

Adapun unsur eksternal dalam diri anak ialah:

a. Adanya ketentuan hukum dengan asas persamaan dalam hukum (equality

before the law)

b. Adanya hak-hak istimewa (privilege) dari pemerintah melalui Undang-

Undang Dasar 1945.

Dalam konsideran Undang-Undang No.23 tahun 2002 tentang perlindungan

anak, dikatakan bahwa anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa

yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia utuh.

38
Berdasarkan pasal 1 butir 1 Undang-undang No. 35 tahun 2014 tentang

perlindungan anak yaitu “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan

belas) tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Di dalam KUH

perdata pasal 330 ayat (1) “seseorang belum dapat dikatakn dewasa jika orang

tersebut umurnya belum genap 21 tahun”.

2. Karakateristik Anak

Didalam mengurus dan mengasuh anak sehingga untuk mempermudah proses

mengurus dan mengasuh anak harus mengetahui tentang apa dan bagaimana

karakteristik dari anak-anak secara umum.

Menurut Mukti Amini (2004:10) bahwa setidaknya anak pada umumnya

memiliki karakerisik sebagai berikut:

1) Memiliki rasa ingin tahu yang besar. Anak usia dini sangat tertarik dengan

dunia sekitarnya. Dia ingin mengetahui segala sesuatu yang terjadi di

sekelilingnya. Pada masa bayi, ketertarikan ini ditunjukkan dengan meraih

dan memasukkannya ke dalam mulut benda apa saja yang berada dalam

jangkauannya. Pada anak usia 3-4 tahun, selain sering membongkar pasang

segala sesuatu untuk memenuhi rasa ingin tahunya, anak juga mulai gemar

bertanya meski dalam bahasa yang masih sangat sederhana. Pertanyaan anak

usia ini biasanya diwujudkan dengan kata ’apa’ atau ’mengapa’. Sebagai

pendidik, kita perlu memfasilitasi keingintahuan anak tersebut, misalnya

dengan menyediakan berbagai benda atau tiruannya yang cukup murah untuk

dibongkar pasang, sehingga kita tidak merasa anak telah banyak merusak

berbagai perlengkapan kita yang cukup mahal. Selain itu setiap pertanyaan

anak perlu dilayani dengan jawaban yang bijak dan komprehensif, tidak

39
sekedar menjawab. Bahkan jika perlu, keingintahuan anak bisa kita rangsang

dengan mengajukan pertanyaan balik pada anak, sehingga terjadi dialog yang

menyenangkan namun tetap ilmiah.

2) Merupakan pribadi yang unik. Meskipun banyak terdapat kesamaan dalam

pola umum perkembangan, setiap anak meskipun kembar memiliki keunikan

masing-masing, misalnya dalam hal gaya belajar, minat, dan latar belakang

keluarga. Keunikan ini dapat berasal dari faktor genetis (misalnya dalam hal

ciri fisik) atau berasal dari lingkungan (misalnya dalam hal minat). Dengan

adanya keunikan tersebut, pendidik perlu melakukan pendekatan individual

selain pendekatan kelompok, sehingga keunikan tiap anak dapat terakomodasi

dengan baik.

3) Suka berfantasi dan berimajinasi. Anak usia dini sangat suka membayangkan

dan mengembangkan berbagai hal jauh melampaui kondisi nyata. Anak dapat

menceritakan berbagai hal dengan sangat meyakinkan seolah-olah dia melihat

atau mengalaminya sendiri, padahal itu adalah hasil fantasi atau imajinasinya

saja. Kadang, anak usia ini juga belum dapat memisahkan dengan jelas antara

kenyataan dan fantasi, sehingga orang dewasa sering menganggapnya

berbohong. Fantasi adalah kemampuan membentuk tanggapan baru dengan

pertolongan tanggapan yang sudah ada. Biasanya, anak-anak sangat luas

dalam berfantasi. Mereka dapat membuat gambaran khayal yang luar biasa,

misalnya kursi dibalik dijadikan kereta kuda, taplak meja dijadikan perahu,

dan lain-lain (Lubis, 1986). Sedang imajinasi adalah kemampuan anak untuk

menciptakan suatu objek atau kejadian tanpa didukung data yang nyata (Ayah

Bunda, 1992). Salah satu bentuk adanya proses imajinasi pada anak usia 3-4

40
tahun adalah munculnya teman imajiner. Teman imajiner dapat berupa orang,

hewan, atau benda yang diciptakan anak dalam khayalannya untuk berperan

sebagai seorang teman (Hurlock, 1993).

4) Masa Paling Potensial anak usia dini sering juga disebut dengan istilah

golden age atau usia emas, karena pada rentang usia ini anak mengalami

pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat pada berbagai aspek. Pada

perkembangan otak misalnya, terjadi proses pertumbuhan otak yang sangat

cepat pada 2 pandangnya sendiri, bukan sudut pandang orang lain. tahun

pertama usia anak. Ketika lahir, berat otak bayi kurang lebih 350 gram, umur

3 bulan naik menjadi 500 gram dan pada umur 1,5 tahun naik lagi menjadi

kurang lebih 1kg. Setelah bayi lahir, jumlah sel saraf tidak bertambah lagi

karena sel saraf tidak dapat membelah diri lagi. Namun juluran-julurannya

mampu bercabang dan membuat ranting-ranting hingga usia lanjut. Bila ada

rangsangan untuk belajar, maka ranting dan cabang ini akan semakin rimbun.

Tetapi bila tidak digunakan, maka cabang-cabang tersebut justru akan

menyusut Jadi pertumbuhan berat otak bukan karena bertambahnya jumlah

sel saraf tetapi karena tumbuhnya percabangan juluran (Markam, Mayza &

Pujiastuti, 2003).

5) Menunjukkan sikap egosentris. Egosentris berasal dari kata ego dan sentris.

Ego artinya aku, sentrisartinya pusat. Jadi egosentris artinya ”berpusat pada

aku”, artinya bahwaanak usia dini pada umumnya hanya memahami sesuatu

dari sudut Anak yang egosentriklebih banyak berpikir dan berbicara tentang

diri sendiri dari pada tentang orang lain dan tindakannya terutama bertujuan

menguntungkan dirinya (Hurlock, 1993).

41
6) Memiliki Rentang Daya Konsentrasi Yang Pendek. Berg (1988) mengatakan

bahwa rentang perhatian anak usia 5 tahun untuk dapat duduk tenang

memperhatikan sesuatu adalah sekitar 10 menit, kecuali untuk hal-hal yang

membuatnya senang. Sebagai pendidik, kita perlu memperhatikan

karakteristik ini sehingga selalu berusaha membuat suasana yang

menyenangkan dalam mendidik mereka.

7) Sebagai bagian dari makhluk social Anak usia dini mulai suka bergaul dan

bermain dengan teman sebayanya. Ia mulai belajar berbagi, mengalah, dan

antri menunggu giliran saat bermain dengan teman-temannya. Melalui

interaksi sosial dengan teman sebaya ini, anak terbentuk konsep dirinya.

Anak juga belajar bersosialisasi dan belajar untuk dapat diterima di

lingkungannya. Jika dia bertindak mau menang sendiri, teman-temannya akan

segera menjauhinya. Dalam hal ini anak akan belajar untuk berperilaku sesuai

harapan sosialnya karena ia membutuhkan orang lain dalam kehidupannya.

3. Hak-Hak Anak

Menurut Djamil (2013;10) Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk

menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,

berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat

kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Anak sebagai golongan rentan memerlukan perlindungan terhadap hak-

haknya. Sebagaimana diketahui manusia adalah pendukung hak sejaklahir, dan

diantara hak tersebut terdapat hak yang bersifat mutlak sehingga perlu dilindungi

oleh setiap orang. Hak yang demikian itu tidak terkecuali juga dimiliki oleh anak,

namun anak memiliki hak-hak khusus yang ditimbulkan oleh kebutuhan-

42
kebutuhan khusus akibat keterbatasankemampuan sebagai anak. Keterbatasan itu

yang kemudian menyadarkan dunia bahwa perlindungan terhadap hak anak

mutlak diperlukan untuk menciptakan masa depan kemanusiaan yang lebih baik

(Djamil 2013;15).

Anak adalah generasi penerus yang akan datang. Baik buruknya masa depan

bangsa tergantung pula pada baik buruknya kondisi anak saat ini. Berkaitan

dengan hal tersebut, maka perlakuan terhadap anak dengan cara yang baik adalah

kewajiban kita bersama, agar ia bisa tumbuh berkembang dengan baik dan dapat

menjadi pengemban risalah peradaban bangsa ini. Berkaitan dengan perlakuan

terhadap anak tersebut, maka penting bagi kita mengetahui hak-hak anak dan

kewajiban anak.

Konstitusi Indonesia, UUD 1945 sebagai norma hukum teringgi telah

menggariskan bahwa “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan

berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.

Dengan dicantumkannya hak anak tersebut dalam batang tubuh konstitusi, maka

bisa diartikan bahwa kedudukan dan perlindungan hak anak merupakan hal

penting yang harus dijabarkan lebih lanjut dan dijalankan dalam kenyataan sehari-

hari.

4. Pengertian Mumayiz

Dalam kamus besar bahasa indonesia mumayiz adalah anak yang sudah

dapat membedakan baik dan buruk (Azman, 2008:303).41 Mumayiz adalah anak

yang sudah mencapai usia dimana seorang anak sudah mulai bisa membedakan

mana hal yang bermanfaat baginya dan mana hal yang membahayakan dirinya,

43
sebagian ulama menyatakan bahwa pada usia ini seorang anak memiliki

kemampuan dalam otaknya untuk menggali arti dari suatu hal. Dalam

kenyataannya, pada masa ini seorang anak mudah mampu untuk melakukan

beberapa hal secara mandiri, minum sendiri, dan lain-lain.Umur tamyiz menurut

mayoritas ulama adalah 7 tahun, dan berakhir setelah sampai pada masa baligh.

Baligh adalah apabila salah satu ada padanya: telah berumur 15 tahun, telah keluar

mani, telah haid bagi anak perempuan. Anak-anak dianggap telah pandai apabila

mereka sudah dapat mengatur hartanya, tidak lagi menyia-nyiakannya.Untuk

mengetahui kepandaiannnya hendaklah di uji dengan pekerjaan yang sering di

lihatnya (Rasjid, 1994:307)

5. Pendapat Para Ulama Tentang Mumayiz

Ketika anak kecil laki-laki atau perempuan sudah mandiri tidak tergantung

kepada pengasuhnya dia telah mencapai usia tamyiz, dan dapat berdiri sendiri.

Kemampuan utama yang perlu dimiliki oleh sang anak adalah mampu melakukan

pekerjaan primer sendiri, dan seperti makan sendiri, memakai pakaian sendiri,

membersihkan diri sendiri. Dalam hal ini tidak ada batasan masa tertentu secara

pasti, menurut pendapat madzhab Hanafi dan juga lainnya usia anak mumayiz

adalah 7 tahun (Al-faifi, 2009:549).

Musthafa Ahmad As-Zarqa, ahli fiqh dari Suriah, berpendapat, mumayiz

adalah selesainya seorang anak dari fase at-tufulah atau fase anak kecil yang

belum mampu membedakan antara yang bermanfaat dan yang mudharat untuk

dirinya. Seorang anak yang belum mumayiz sudah kelihatan fungsi akalnya, Az-

Zarqa menyebut, mumayiz adalah fase usia dari 7 tahun sampai ia akil baligh yang

44
ditandai haid untuk anak putri dan mimpi basah untuk anak putra. Ada pendapat

lain soal akil baligh, ada ulama yang menetapkan batas minimal bagi perempuan 9

tahun, untuk laki-laki adalah 12 tahun. Dan jika sampai usia 15 tahun, tidak ada

tanda-tanda fisik (Al-faifi, 2009:550).

Dengan demikian yang dimaksud anak mumayiz adalah anak yang sudah

memiliki akal yang sehat yang sudah memiliki kemampuan untuk menentukan

mana yang baik dan mana yang buruk juga sudah mampu menentukan mana yang

menimbulkan manfaatuntuk dirinya dan mana yang menimbulkan madarat untuk

dirinya sekalipun belum berusia 12 tahun apabila sudah memiliki kemampuan

tersebut maka bisa dikatakan sebagai anak mumayiz. Sebaliknya apabila seorang

anak belum atau tidak memilki kemampuan terebut maka bisa dikatakan belum

tergolong anak yang mumayiz (Azman, 2008:303).

45
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian dalam skripsi ini menggunakan penelitian kualitatif, yaitu

“cara penelitian yang digunakan untuk mendapatkan data yang mendalam, suatu

data yang mengandung makna." (Sugiyono (2017:9).

Sugiyono (2017:7) berpandangan bahwa metode penelitian kualitatif yaitu

disebut dengan metode baru karena popularitasnya belum lama. Metode ini sering

disebut metode penelitian naturalistik karena penelitiannya dilakukan pada

kondisi yang alamiah, metode kualitatif bisa disebut juga metode etnographi

karena karena pada awalnya metode ini lebih banyak digunakan untuk penelitian

bidang antropologi budaya. Serta metode penelitian kualitatif disebut metode

penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme, digunakan untuk

meneliti pada kondisi objek yang alamiah.

Menurut Albi Anggito dan Johan Setiawan (2018:8), Penelitian kualitatif

adalah pengumpulan data pada suatu latar alamiah dengan maksud menafsirkan

fenomena yang terjadi dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci,

pengambilan sampel sumber data dilakukan secara purposive dan snowbaal,

teknik pengumpulan dengan gabungan, analisis data bersifat induktif/kualitatif,

dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi.

46
2. Metode Penelitian

Dalam pandangan Sugiyono (2017:2), metode penelitian pada dasarnya

merupakan “cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan

tertentu.

Metode penelitian yang digunakan oleh peneliti yaitu metode content

analisis. Dalam buku Penelitian Kualitatif karangan Burhan Bungin, Berelson

mendefinisikan analisis isi (content analisis) yaitu “content anlysis is a research

technique for the objective, systematic, and quantitative description of the

manifest content of communication”. Berarti analisis isi adalah sebagai teknik

penelitian yang objektif, sistematis, dan deskripsi kuantitatif dari apa yang tampak

dalam komunikasi. (Bungin, 2008 : 155-156)

B. Sumber Data

1. Sumber Data Primer

Menurut Umar (2003:56), data primer yaitu sumber data yang memberikan

informasi dan data secara langsung sebagai hasil pengumpulan sendiri, kemudian

dipaparkan secara langsung dan data yang dikumpulkan serta dipaparkan sifat

benar-benar orisinil. Sedangkan menurut Firdaus dan Fakhry Zamzam

(2018:102), “Data primer adalah data yang dikumpulkan oleh peneliti sendiri baik

perorangan atau organisasi”.

Adapun sumber data primer yang penulis gunakan dalam penelitian ini

adalah data yang diperoleh dari, Kompilasi Hukum Islam dan Undang-undang No

22 tahun 2003 Tentang Perlindungan Anak

2. Sumber Data Sekunder

47
Menurut Firdaus dan Fakhry Zamzam (2018:102), : "Data sekunder adalah

data yang diperoleh dalam bentuk yang sudah jadi berupa publikasi atau file

digital."

Adapun dalam penelitian ini penulis menggunakan sumber data sekunder

berupa buku-buku yang dianggap relevan dengan judul diatas seperti Masail

Fiqhiyah, Fiqih Sunnah, jurnal, artikel, dan lain-lain.

C. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan studi

pustaka terhadap bahan-bahan hukum, baik bahan hukum primer, sekunder,

maupun bahan hukum tersier atau bahan non hukum. Adapun dokumen yang

dimaksud pada penelitian ini adalah Hak Hadhanah Yang Belum Mumayyiz

Setelah Perceraian Kompilasi Hukum Islam Dan Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

Sedangkan kepustakaan yang menjadi tempat survey adalah perpustakaan

Institut Agama Islam Darussalam (IAID) Ciamis dan Perpustakaan Daerah

Ciamis.

D. Keabsahan Teks

Pemeriksaan terhadap keabsahan data pada dasarnya selain digunakan untuk

menyanggah balik yang dituduhkan kepada penelitian kualitatif yang menyatakan

tidak ilmiah, juga merupakan sebagai unsur yang tidak terpisahkan dari tubuh

pengetahuan penelitian kualitatif. (Moleong, 2007 : 320)

48
Untuk mendapatkan keabsahan data diperlukan teknik pemeriksaan,

pelaksanaan teknik pemeriksaan didasarkan atas sejumlah kriteria tertentu.

Menururt Moleong (2007 : 324) ada beberapa kriteria yang digunakan yaitu :

1. Derajat kepercayaan (Credibility)

Pada dasarnya menggantikan konsep validitas internal dan nonkualitatif.

Kriteria ini berfungsi : pertama, melaksanakan inkuiri sedemikian rupa sehingga

tingkat kepercayaan penemuannya dapat dicapai; kedua, mempercayakan derajat

kepercayaan hasil-hasil penemuan dengan jalan pembuktian oleh penelitian pada

kenyatan ganda yang sedang diteliti.

2. Keteralihan (Transferability)

Persoalan yang empiris bergantung pada kesamaan antara konteks pengirim

dan penerima. Untuk melakukan pengalihan tersebut, seorang peneliti hendaknya

mencari, mengumpulkan kejadian empiris tentang kesamaan konteks dan

bertanggungjawab untuk menyediakan data deskriptif secukupnya jika ia ingin

membuat keputusan tentang pengalihan. Untuk keperluan itu peneliti harus

melakukan penelitian kecil untuk memastikan usaha memverifikasi tersebut.

3. Ketergantungan (Dependability)

Konsep kebergantungan lebih luas daripada reabilitas. Hal tersebut

disebabkan peninjauan dari segi bahwa konsep itu diperhitungkan segalanya yaitu

49
yang ada pada reabilitas itu sendiri ditambah faktor-faktor lainnya yang

tersangkut.

E. Analisis Data

Pengolahan data diperlukan dalam sebuah penelitian, supaya data yang telah

diperoleh tidak mentah melainkan telah menjadi bahan yang siap pakai dan dapat

dipahami. Adapun teknik analisis data yang penulis gunakan adalah analisis

kualitatif.

"Analisis data kualitatif adalah proses mencari dan menyusun secara

sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-

bahan lainnya, sehingga dapat mudah dipahami, dan temuannya dapat

diinformasikan kepada orang lain" (Sugiyono, 2017:244).

F. Penelitian Terdahulu

Untuk mendukung penyusunan sekripsi ini menggunakan penelitian yang

relevan yang telah dilakukan terlebih dahulu. Beberapa karya yang hampir sama

membahas terkait tema dalam penelitian ini.Sekripsi yang ditulis oleh Komsul

Insiyah, tahun 2017 yang berjudul Haḍhanah pasca Perceraian (Studi komparatif

Antara KHI Dan Undang-Undang Nomor23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan

anak) Jurusan Perbandingan Madzhab menurutnya bahwa dalam hal

pemeliharan anak (haḍhanah) Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengatur

secara rinci mengenai peran para orang tua dalam mengasuh anak

mereka, baik sebelum maupun sesudah mereka bercerai. Dalam hal terjadinya

perceraian Kompilasi Hukum Islam menetapkan pemeliharaan anak kepada pihak

ibu. Penetapan hukum hak haḍhonah terhadap pihak ibu tersebut

50
menunjukkan ketegasan Kompillasi Hukum Islam dalam mengatur setiap hak-

hak kehidupan si anak tersebut.

Sementara itu dalam Undang Undang Perlindungan Anak (UUPA),

memberikan kebebasan secara penuh terhadap anak untuk memilih dengan

siapa dia harus di asuh, apakah dengan bapaknya atau ibunya sesudah

terjadinya perceraian. Hal ini membuat terjadinya sebuah peluang konflik

antara suami dan istri yang sudah bercerai untuk memperebutkan hak asuh

anak mereka, walaupun putusan tentang kepada siapa anak tersebut

dipelihara tetap dalam hasil putusan hakim, namun peluang-peluang terjadinya

pertikaian tersebut selalu terbuka lebar. Oleh karena itu, Undang-Undang

Perlindungan Anak juga memberikan peraturan lanjutan supaya orang yang

terpilih menjadi pengasuh si anak, agar lebih mementingkan kepentingan

hidup si anak bukan untuk kepentingan pribadinya. dalam hal pengasuhan

anak pasca perceraian antara Kompilasi Hukm Indonesia dengan Undang-

Undang Perlindungan Anak adalah terdapat perbedaan dan persamaan.

Perbedaannya adalah bahwa dalam Undang-Undang Perlindungan Anak,

anak dianggap sebagai orang yang masih berusia 18 tahun ke bawah, di

mana dalam Undang-Undang Perlindungan Anak ini tidak memberikan

batasan lainnya apakah si anak sudah kawin atau tidak. Lain halnya

dengan pandangan Kompilasi Hukum Islam yang mengatakan bahwa batas

maksimal usia anak adalah 21 tahun, kecuali apabila dia sudah pernah

melakukan perkawinan maka dia tidak bisa lagi disebut sebagai anak-anak.

Perbedaan selanjutnya adalah dalam Undang-Undang Perlindungan Anak tidak

51
menyebutkan secara jelas siapa pihak yang berhak memelihara si anak apabila

terjadinya suatu perceraian, apakah untuk pihak suami atau istri, akan tetapi hak

tersebut diberikan kepada si anak untuk memilih kepada siapa dia harus di

asuh berdasarkan putusan pengadilan. Sedangkan dalam Kompilasi Hukum

Islam telah memberikan peraturan secara rinci tentang hak asuh anak ini, yaitu

ke pihak ibu, dan anak juga diberikan hak memilih kepada siapa dia di asuh

ketika dia sudah bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk dalam

kehidupannya (mumayyiz)

Sementara itu dalam sekripsi yang di tulis oleh Irin Sulistiyani tahun 2019

dengan judul Hadhanah Anak Setelah Perceraian Di Desa Sumerejo kecamatan

Gunungpati Kota Semarang menurutnya bahwa Pola asuh anak dari ibu pekerja

setelah bercerai untuk pengasuhan anak yang belum mumayyiz anak jatuh di

pangkuanibu, karena ibu mempunyai sifat yang jarang dimiliki oleh bapak seperti

ibu lebih sabar, lebih welas dan kasih sayangnya lebih besar daripada bapak.

Selain menjadi ibu rumah tangga, ibu juga harus mncari nafkah untuk memenuhi

kebutuhan sehari-harinya dengan anak. Maka mantan istri juga harus bekerja

sehingga pengasuhan di ambil alih oleh ibunya(neneknya) selagi ditinggal kerja.

dari 4 informan 3 diantaranya menerapkan pola asuh yang memberikan kebebasan

terhadap anak, tetapi masih ada pengawasan, cenderung lebih dapat memberikan

pola asuh yang baik, dengan memberikan pendapat dalam hal baik buruknya

sesuatu. Tanpa disadari bahwa itu merupakan kontrol orang tua terhadap anak.

Pola asuh ini tidak berdampak buruk bagi anak, malah sebaliknya. Tetapi ada juga

pola asuh yang cenderung harus dituruti, biasanya dibarengi dengan ancaman-

ancaman, pola asuh ini akan berdampak buruk bagi anak.

52
Kewajiban orang tua dalam memenuhi hak anak sampai batas usia dewasa

anak yang ada di Desa Sumurrejo Dari 4 informan 3 diantaranya tidak dipenuhi

hak anak karena ada beberapa alasan yang membuat mantan suami melalaikan

kewajibannya terhadap hak anak diantaranya yaitu sudah mempunyai keluarga

baru, akan menikah lagi, menghilang tanpa kabar dan tidak ada bentuk tanggung

jawab dari mantan suami. Tetapi dari 4 informan tersebut masih ada yang

memenuhi hak anak dengan bentuk tanggung jawabnya membiayai kebutuhan

anak sehari-hari termasuk biaya pendidikan walaupun anak tidak tinggal

bersamanya.

Sementara itu dalam penelitian yang di tulis oleh Dodi Sahrian tahun 2017

dengan judul Penyelesaian Perkara Hadhanah Di Pengadilan Agama Kelas Ia

Tanjung Karang(Analisis Putusan Nomor : 0718/Pdt.G/2012/Pa.Tnk menurutnya

bahwa Berdasarkan Hasil Penelitian di Pengadilan Agama Tanjung Karang

mengenai Putusan Nomor: 0718/PDT,G/2012/PA. Maka dasar pertimbangan

hakim menjatuhkan hadhanah kepada ayahnya adalah faktor psikologis dan

moral. Faktor Psikologis yaitu anaknya masih berumur 10 tahun dan tujuh tahun

yang masih memerlukan perhatian, pendidikan. Dan figur seorang ayah yang

bertanggung jawab yang dapat memberikan contoh dan teladan yang baik kepada

kedua anaknya. Agar anaknya dapat menjadi anak yang berguna bagi bangsa dan

Negara. Sedangkan faktor moralnya yaitu karena ibunya telah melakukan

perselingkuhan dengan laki-laki lain. Secara moral ibunya memeliki perilaku yang

buruk sedangkan anak-anak pemohon dan termohon perlu dilindungi dan dijauhi

dari perbuatan amoral tersebut. Sedangkan pertimbangan Hukum Majelis Hakim

Pengadilan Agama Tanjung Karang Nomor. 0718/PDT,G/2012/PA.TNK adalah

53
pertimbangan pertama : majelis hakim menggunakan ayat Al Baqorah : 233.

Pertimbangan kedua : majelis hakim menggunakan pasal 19 peraturan pemerintah

No. 9 Tahun 1975. Pertimbangan ketiga : majelis hakim mengesampingkan pasal

105 Kompilasi Hukum Islam (KHI) karena ibunya telah terbukti selingkuh.

54
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. HASIL PENELITIAN

1. Hadhanah Anak Menurut Kompilasi Hukum Islam

a. Latar Belakang Kompilasi Hukum Islam

Lahirnya Kompilasi Hukum Islam di latar belakangi oleh Undang-Undang

tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuwasaan kehakiman, dan

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung Peradilan

Agama Bagi bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

Dasar 1945 adalah mutlak adanya suatu hukum nasional yang menjamin

kelangsungan hidup beragama berdasarkan Ketuhanan yang maha esa yang

sekaligus merupakan perwujudan kesadaran hukum masyarakat dan bangsa

Indonesia.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 mempunyai kedudukan yang

sederajat dengan lingkungan peradilan lainnya sebagai peradilan Negara.Hukum

materil yang selama ini berlaku di lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum

Islam yang ada garis besarnya meliputi bidang-bidang hukum perkawinan, hukum

kewarisan dan hukum perwakafan. Berdasarkan surat edaran biro Peradilan

Agama tanggal 18 Februari 1958 Nomor B/I/735hukum materil yang dijadikan

pedoman dalam bidang-bidang hukum tersebut diatas adalah bersumber pada 13

kitab yang kesemuanya madzhab Syafi’i.

Dengan berlakunya Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan dan Peraturan Pemerintahan Nomor 28 Tahun 1977 tentang

55
Perwakafan Tanah milik maka kebutuhan hukum masyarakat semakin

berkembang sehingga kitab-kitab tersebut dirasakan perlu pula untuk diperluas

baiik dengan menambahakan kitab-kitab dari madzhab yang lain, memperluas

penafsiran terhadap ketentuan di dalamnya membandingkannnya dengan

yurisprudensi Peradilan Agama fatwa para ulama maupun perbandingan di

Negara-negara lain.

Hukum materil tersebut perlu dihimpun dan diletakan dalam suatu dokumen

yustisia atau buku kompilasi hukum islam sehingga dapat dijadikan pedoman bagi

hakim dilingkungan badan Peradilan agama sebagai hukum terapan dalam

menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya.

b. Anak Menurut Kompilasi Hukum Islam

Anak yang menjadi substansi permasalahan dalam penelitian ini perlu

dipahami secara komprehensif baik dari prespektif kompilasi hukum islam

ataupun menurut UU N0 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, tujuan

memahami anak itu sendiri agar mengetahui objek yang akan diteliti sesuai

dengan paramater teks yang akan diteliti sehingga pembahasan yang akan dibahas

kedepan akan sesuai dengan tujuan dilakukanya penelitian ini. Dalam kompilasi

hukum islam sendiri tidak menyebutakan tentang definisi anak secara jelas hanya

menyebutkan tentang kriteria-kriteria anak.

Pasal 98 ayat (1) menyebutkan, “atas usia anak yang mampu berdiri sendiri

atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun

mental atau belum atau belum pernah melangsungkan perkawnan”.

56
Dalam Pasal ini menjelaskan bahwa usia anak yang masih menjadi

tanggung jawab orang tuanya ialah sampa anak tersebut berusia 21 tahun dengan

ketentuan bahwa anak tersebut tidak memiliki cacat fisik maka apabila anak

tersebut memilik cacat fisik maupun mental maka apabila anak tersebut memilik

cacat baik cacat fisik ataupun mental maka apabila tidak ada yang mengurusnya

maka anak tersebut masih tanggung jawab dari orang tunya atau sekalipun belum

berusia 21 tahun anak tersebut sudah melakukan perkawinan maka anak tersebut

sudah bukan tanggung jawab dari orang tua itu lagi akan tetapi merupakan

tanggung jawab daripada suaminya.

Sementara itu bila merujuk pasal 99 kompilasi hukum islam menerangkan

tentang anak yang sah menurut Kompilasi Hukum Islam bahwa anak yang sah

adalah:

a. Anak yang dilahirkan dalam atau akaibat perkawinan yang sah.

b. Hasil perbuatan suami istri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh

istri tersebut.

Bila merujuk pasal diatas maka anak yang sah ialah anak yang lahir dalam

atau akibat perkawinan sehingga anak yang lahir diluar atau akibat dari hubungan

yang tidak sah maka anak tersebut dianggap anak yang tidak sah dimata hukum

dan Negara sehinnga kedudukannya sangat rapuh dan riskan hak-hak anak

tersebut tidak terpenuhi. Hal ini tentu diakibatkan karena tidak adanya kekuatan

hukum yang mengikat tentang kedudukan anak tesebut. Lebih lanjut dijelaskan

tentang kedudukan anak yang lahir diluar nikah dalam segi nasab maka anak

tersebut dalam segi nasab hanya memiliki hubugan nasab dengan ibunya

57
sebagaimana dalan pasal 100 Kompilasi Hukum Islam menjelaskan “ anak yang

lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan

keluarga ibunya”.

Dengan demikian anak yang dimaksud dalam Kompilasi Hukum Islam

adalah seseorang yang belum berusia 21 tahun dan belum pernah berkeluarga

kemudian anak yang sah menurut Kompilasi Hukum Islam adalah anak yang lahir

didalam atau akibat perkawinan yang sah adapun anak yang lahir di luar

perkawinan hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.

c. Hadhanah anak menurut Kompilasi Hukum Islam

Hadhanah atau hak asuh anak yang merupakan hak dari seorang anak

mendapatkan perlindungan dari orang tuanya maka Kompilasi Hukum Islam

dalam rangka mengatur keberlangsungan hak asuh anak maka Kompilasi Hukum

Islam mengatur tentang hadhanah anak. Hal ini sesuai dengan apa yang tertulis

dalam Kompilasi HukumIslam Pasal 104:

a. Semua biaya penyusuan anak dipertanggungjawabkan kepada ayahnya.

Apabila ayahnya setelah meninggal dunia, maka biaya penyusuan

dibebankan kepada orang yang berkewajiaban memberi nafkah kepada

ayahnya atau walinya.

b. Penyusuan dilakukan untuk paling lama dua tahun, dan dapat dilakukan

penyapihan dalam masa kurnag dua tahun atas persetujuan ayah dan ibunya.

Dalam pasal ini menjelaskan tentang proses pengurusan anak ketika anak itu

baru lahir hinnga berusia 2 tahun dalam pasal ini menjelaskan bahwa anak setelah

lahir memerlukan perawatan salah satunya ia lah harus diberikan ASI adapun pola

58
penyusuan dalam pasal tersebut ialah segala macam bentuk pembiayaan

diserahkan kepada ayah maka apabila anak tersebut disusukan kepada orang lain

maka biaya penyusuan ditanggung oleh ayahnya. Kemuadian apabiala ayahnya

meninggal maka pembiayayaan menyusui ditanggung oleh keluarga dari ayah

tersebut atau orang yang menjadi wali dari si ayah.

Adapun pada ayat (2) menjelaskan tentang periodesasi menyusui dimana

pada ayat ini dijelaskan bahwa penyusuan paling lama ialah dua tahun, kemudian

apabila penyusuan sudah akan dilakukan penyapihan dan belum berusia dua tahun

maka itu harus dengan seiijin dari ayahnya.

Kemudian untuk pengurusan harta si anak maka lebih lanjut Kompilasi

Hukum islam mengatur tentang kepengurusan harta si anak bahwa kepengurusan

harta si anak sebelum ia dewasa maka kepengurusan harta si anak di serahkan dan

dikelola oleh orang tua. Sesuai dengan Pasal 106 Kompilasi Hukum Islam

menyebutakan:

(1) Orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta ankanya yang

belum dewasa atau dibawwah pengampunan, dan tidak diperbolehkan

memindahkan atau menggadaikannya kecuali krena keperluan yang

mendesak jika kepentingan dan keselaamatan anak itu menghendaki atau

suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan lagi.

(2) Orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena

kesalahan dan kelalaian dari kewajiban tersebut pada ayat (1)

Dalam pasal ini sudah sangat jelas bahwa kepengurusan dan pengeleloaan

harta anak sebelum anak itu dewas sepenuhnya diserahkan kepada orang tua

59
bahkan dalam pasal ini mengatur apabila terjadi kerugian dalam mengelola harta

milik anak maka orang tua wajib bertanggung jawab apabila sampai terjadi

kerugian/

d. Hadhanah Anak yang Belum Mumayyiz Setelah Perceraian dalam


Kompilasi Hukum Islam

Apabila terjadi perceraian dari orang tua anak tersebut maka tentu akan

sangat berdampak pada sebuah keluarga, terutama orang yang paling terdampak

dari perceraian tersebut adalah si anak oleh karenanya Kompilasi Hukum Islam

mengatur hadhanah atau hak asuh anak apabila orang tua dari anak tersebut

bercerai.

a. Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan:

Dalam hal terjadinya perceraian:

(1) Pemeliiharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun

adalah hak ibunya.

(2) Pemeliharaan anak yang sudah belum mumayyiz diserahkan kepada anak

untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak

pemeliharaannya.

(3) Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.

b. Pasal 156 Kompilasi Hukum Islam:

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:

a. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya,

kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya di ganti

oleh:

60
1. Wanita-wanita dala garis lurus ke atas ibu

2. Ayah

3. Waita-wanita dalamgaris lurus ke atas dari ayah

4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan.

5. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.

b. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan

hadhanah dari ayah atau ibunya.

c. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin

keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan

hadhanah telah dicukupi maka atas permintaan kerabat yang

bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah

kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula.

d. Semua biaya hadahanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah

menurut kemampuan ayah sekurang-kurangnnya sampai anak tersebut

dewasa dapat mengurus diri sendiri (21 tahun)

e. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak,

pengdilan agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a),(b) dan

(d)

f. Pengadilan dapat pula dengan mengigat kemampuan ayahnya

menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak yang

tidak turut padanya.

4. Hak Hadhanah Anak yang Belum Mumayyiz Menurut UU No 23 Tahun 2002

Tentang Perlindungan Anak

61
a. Latar Belakang UU NO 23 Tahun 2002 Perlindungan Anak

Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kesejahteraan tiap-tiap

warga negaranya, termasuk perlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak

asasi manusia.

anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam

dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya, anak adalah

tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki

peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan

eksistensi bangsa dan negara pada masa depan.

agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia

perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang

secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, perlu

dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak

dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya

perlakuan tanpa diskriminasi

untuk mewujudkan perlindungan dan kesejahteraan anak diperlukan

dukungan kelembagaan dan peraturan perundang-undangan yang dapat menjamin

pelaksanaannya berbagai undang-undang hanya mengatur hal-hal tertentu

mengenai anak dan secara khusus belum mengatur keseluruhan aspek yang

berkaitan dengan perlindungan anak berdasarkan pertimbangan tersebut perlu

ditetapkan Undang-undang tentang Perlindungan Anak

62
b. Anak Menurut UU NO 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Dalam Undang Undang perlindungan anak menjelaskan mengenai

pengertian anak pada Pasal 1 ayat (1) Anak adalah seseorang yang belum berusia

18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Dalam pasal ini dijelskan tentang pengertian anak menurut perspektif

Undang-Undang No 23 tentang Perlindungan anak dimana menurut pasal ini

manusia dikategorikan anak ialah orang yang belum berusia 18 tahun. Bila

mengacu perkembangan anak menurut para ahli memang merupakan masa akhir

dari masa remaja sehingga pada masa ini memang telah mencapai kematangan

dalam berfikir seingga pada usia ini anak memang sudah memiliki kematangan

berfikir sehingga anak akan mampu untuk hidup mandiri dan bisa melindungi diri

sendiri.

Mengenai perkambangan usia anak para ahli banyak berpendapat. Menurut

Monks dalam Desmita (2008:190) membedakan masa remaja menjadi empat

bagian, yaitu: (1) masa praremaja atau masa prapubertas (10—12 tahun), (2)

masa remaja awal atau pubertas (12—15 tahun), (3) masa remaja

pertengahan (15—18 tahun), dan (4) masa remaja akhir (18—21 tahun).

Remaja awal hingga remaja akhir inilah yang disebut masa adolescence.

Sementara menurutJohn W.Santrock (2003: 26) mengemukakan bahwa

“Remaja (adolescence) diartikan sebagai masa perkembangan transisi antara

masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif

63
dan sosial-emosional. Dalam kebanyakan budaya, usiaremaja dimulai pada

sekitar 10—13 tahun dan berakhir kira-kira usia 18—22 tahun”.

Dengan demikian bila merujuk pendapat para ahli memang sesuai dengan

Undang-Undang NO 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, anak ialah

seseorang yang belum berusia 18 tahun karena pada masa ini merupakan masa

akhir dari masa remaja dan awal dari masa dewasa.

c. Pengertian Perlindungan Anak

Perlindungan anak adalah segala usaha yang dilakukan untuk menciptakan

kondisi agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya demi

perkembangan dan pertumbuhan anak secara wajar baik fisik, mental dan sosial.

Perlindungan anak merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu

masyarakat, dengan demikian perlindungan anak diusahakan dalam berbagai

bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Kegiatan perlindungan anak

membawa akibat hukum, baik dalam kaitannya dengan hukum tertulis maupun

hukum tidak tertulis. Hukum merupakan jaminan bagi kegiatan perlindungan

anak.

Sementara itu Menurut Ahmad Kamil Perlindungan Anak merupakan

pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara

yang merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus menerus

demi terlindunginya hak-hak anak. Pengawasan ekstra terhadap anak baik

secara pribadi maupun sebagai bagian dari masyarakat, perlu dilakukan. Hal

tersebut ditujukan untuk melindungi hak-hak anak serta mencegah masuknya

64
pengaruh eksternal yang negatif yang dapat mengganggu tumbuh kembang

anak

Sementara itu Menurut pasal 1 ayat (2) “Perlindungan anak adalah segala

kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup,

tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan

martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan

diskriminasi”.

Dengan demikian yang dimaksud perlindungan anak ialah segala bentuk

kegiatan yang dilakukan baik oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah,

dan juga Negara yang dilakukan secara terus menerus yang bertujuan untuk

menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup tumbuh,

berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat martabatnya

sebagai manusia.

d. Asas dan Tujuan Perlindungan Anak

Asas dan tujuan perlindungan anak dijelaskan dalam Undang-Undang No 23

tentang perlindungan anak sebagai berikut:

Dalam pasal 2 menjelaskan penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan

Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi :

1. non diskriminasi;

2. kepentingan yang terbaik bagi anak;

3. hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan

65
4. penghargaan terhadap pendapat anak.

Sementara itu pasal 3 menjelaskan perlindungan anak bertujuan untuk

menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan

berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,

serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya

anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.

Adapun maksud dari pasal tersebut adalah Asas perlindungan anak di sini

sesuai dengan prinsip-prinsip pokok yang terkandung dalam Konvensi Hak-Hak

Anak. Yang dimaksud dengan asas kepentingan yang terbaik bagi anak adalah

bahwa dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh

pemerintah, masyarakat, badan legislatif, dan badan yudikatif, maka kepentingan

yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama. Yang dimaksud

dengan asas hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan adalah hak

asasi yang paling mendasar bagi anak yang dilindungi oleh negara, pemerintah,

masyarakat, keluarga, dan orang tua. Yang dimaksud dengan asas penghargaan

terhadap pendapat anak adalah penghormatan atas hak-hak anak untuk

berpartisipasi dan menyatakan pendapatnya dalam pengambilan keputusan

terutama jika menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya.

e. Hak dan Kewajiban Anak

Dalam Undang Undang No 23 tahun 2002 dijelaskan mengenaih hak dan

kewajiban anak sebagai berikut:

Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan

berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,

serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

66
Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status

kewarganegaraan.

a. Pasal 6

Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan

berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan

orang tua.

b. Pasal7

(1) Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh

oleh orang tuanya sendiri.

(2) Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh

kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak

diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

c. Pasal 8

Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial

sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial.

d. Pasal 9

(1) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka

pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai denga minat dan

bakatnya.

(2) Selain hak anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), khusus bagi anak

yang menyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa,

67
sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan

pendidikan khusus.

e. Pasal 10

Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima,

mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan

usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan

dan kepatutan.

f. Pasal 11

Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang,

bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, dan berkreasi sesuai dengan

minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri.

g. Pasal 12

Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi,

bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.

h. Pasal 13

(1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain

mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat

perlindungan dari perlakuan:

1. diskriminasi;

2. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;

3. penelantaran;

4. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;

5. ketidakadilan; dan

6. perlakuan salah lainnya.

68
(2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk

perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan

pemberatan hukuman.

i. Pasal 14

Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada

alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu

adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan

terakhir.

j. Pasal 15

Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari :

1. penyalahgunaan dalam kegiatan politik;

2. pelibatan dalam sengketa bersenjata;

3. pelibatan dalam kerusuhan sosial;

4. pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; dan

5. pelibatan dalam peperangan.

k. Pasal 16

(1) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran

penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.

(2) Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.

(3) Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya

dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat

dilakukan sebagai upaya terakhir.

l. Pasal 17

(1) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk :

69
1. mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan

dari orang dewasa;

2. memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam

setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan

3. membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang

objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum.

(2) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau

yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.

m. Pasal 18

Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak

mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.

n. Pasal 19

Setiap anak berkewajiban untuk :

1. menghormati orang tua, wali, dan guru;

2. mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman;

3. mencintai tanah air, bangsa, dan negara;

4. menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan

5. melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.

f. Hadhanah Anak menurut UU NO 23 tahun 2002

Hadhanah yang merupakan istilah yang akan di bahas dalam penelitian ini

tidak ada kata eksplisit yang menyebutkan mengenai hadhanah dalam Undang-

Undang NO 23 tahun 2002, dalam Undang-Undang No 23 tahun 2002

menggunakan istilah kuasa asuh anak. Didalam Undang-Undang ini dijelaskan

70
mengeni hadhanah anak atau kuasa asuh anak dalam Pasal 30 sampai 32

sebagaimana berikut:

a. Pasal 30

(1) Dalam hal orang tua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26,melalaikan

kewajibannya, terhadapnya dapat dilakukan tindakan pengawasan atau kuasa asuh

orang tua dapat dicabut.

(2) Tindakan pengawasan terhadap orang tua atau pencabutan kuasa asuh

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui penetapan pengadilan.

b. Pasal 31

(1) Salah satu orang tua, saudara kandung, atau keluarga sampai derajat ketiga,

dapat mengajukan permohonan ke pengadilan untuk mendapatkan penetapan

pengadilan tentang pencabutan kuasa asuh orang tua atau melakukan tindakan

pengawasan apabila terdapat alasan yang kuat untuk itu.

(2) Apabila salah satu orang tua, saudara kandung, atau keluarga sampai dengan

derajat ketiga, tidak dapat melaksanakan fungsinya, maka pencabutan kuasa asuh

orang tua sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat juga diajukan oleh pejabat

yang berwenang atau lembaga lain yang mempunyai kewenangan untuk itu.

(3) Penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat menunjuk

orang perseorangan atau lembaga pemerintah/masyarakat untuk menjadi wali bagi

yang bersangkutan.

71
(4) Perseorangan yang melaksanakan pengasuhan anak sebagaimana dimaksud

dalam ayat (3) harus seagama dengan agama yang dianut anak yang akan

diasuhnya.

c. Pasal 32

Penetapan pengadilan sebagaimana di_maksud dalam Pasal 31 ayat (3)

sekurang-kurangnya memuat ketentuan :

(1) tidak memutuskan hubungan darah antara anak dan orang tua kandungnya;
(2) tidak menghilangkan kewajiban orang tuanya untuk membiayai hidup
anaknya; dan
(3) batas waktu pencabutan.

3. Relevansi Hadhanah Anak dengan Kompilasi Hukum Islam dan


Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Sebagaimana telah kita ketahui bahwa KHI telah membagi masa hadhanah

kepada dua bagian yaitu ketika anak belum mumayyiz dan ketika anak telah

mumayyiz yaitu berusia 12 tahun. Dalam pasal 105 disebutkan bahwa anak yang

belum mumayyiz yang berhak mengasuhnya adalah ibu sedangkan ketika anak

tersebut telah mumayyiz maka anak diperbolehkan untuk memilih ayah atau ibu

sebagai pemegang hak pengasuhannya.

Penentuan hadhanah bagi anak yang belum mumayyiz, sering kali

mengikuti aturan yang telah ditetapkan bagi anak yang telah mumayyiz, dan

pilihan yang ditujukan oleh anak lebih sering diberikan kepada ayah, bukan

ibunya. Padahal di dalam pasal 156 telah dijelaskan bahwa anak yang belum

mumayyiz yang lebih berhak atas pengasuhan anak tersebut adalah ibunya, dan

(4)

72
apabila ibunya tidak dapat melakukan pengasuhan tersebut maka akan berpindah

kepada nenek baru kemudian ayah, ibu dari ayah, saudara-saudara dari anak,

saudara-saudara seibu dan saudara-saudara seayah.

Kecendrungan anak yang belum mumayyiz memilih ayah sebagai orangtua

asuh, sangat berbeda dengan apa yang ada didalam KHI. Namun yang perlu

diketahui bahwa pada saat anak ingin memilih sendiri kepengasuhan itu, anak itu

belum mumayyiz dan masih berusia 6 tahun, tetapi anak tersebut telah mampu

otak memahami apa yang telah terjadi disekitarnya. Hal itu disebabkan oleh faktor

lingkungan anak yang membuat anak dapat dengan mudah dan cepat memahami

apa yang ada disekitarnya termasuk salah satunya adalah dapat memahami sifat

kedua orang tuanya. Dan ketika anak tersebut ditanya mengenai kedua

orangtuanya anak tersebut mampu menjawabnya dengan mudah sesuai dengan

apa yang ia ketahui.

jika dilihat dari segi psikologi perkembangan, dapat diketahui bahwa anak

pada usia 6 tahun, telah mulai memasuki fase pertengahan perkembangan anak.

Dan pada masa ini anak sudah mulai memasuki dunia sekolah sehingga seiring

dengan perjalanan usia, anak telah mampu memahami hal-hal yang ada

disekitarnya yang baru anak temukan pada waktu sekolah. Dan secara berangsur-

angsur anak sudah mulai dapat mengembangkan kreatifitas yang ia miliki.

Pada usia tersebut anak juga telah mampu melaksanakan aktifitasnya sehari-

hari tanpa bantuan dari orang lain (mandiri), seperti mandi sendiri,

beristinja’sendiri, dapat membedakan antara kanan dan kiri, serta dapat

memahami sedikit demisedikit khitab Allah.

73
Keinginan anak usia 6 tahun untuk dapat menentukan pilihannya sendiri

dalam pekara hadhanah ini semakin diperkuat oleh adanya Perlindungan Anak

yang harus dapat menjamin perlindungan terhadap anak demi tercapainya

kesejahteraan anak, dan tercapainya hak dan kewajiban yang harus diberikan

kepada anak, agar perkembangan dan petumbuhan anak dapat berjalan dengan

wajar baik fisik, mental maupun sosial. Selain itu perlindungan terhadap anak

berlaku dalam berbagai kehidupan bernegara dan masyarakat. Sehingga dalam

pelindungan anak tersebut dapat melindungi anak dari setiap pemasalahan,

termasuk didalamnya penentuan orangtua asuh.

Selain adanya jaminan terhadap perlindungan anak, di dalam Undang-

Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 10 juga telah

menjelaskan bahwa setiap anak telah diberi kesempatan untuk dapat

mengungkapkan pendapatnya, sesuai dengan kecerdasan yang dimilikinya.

Walaupun di dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 sama sekali tidak

menyinggung masalah mumayyiz, namun dengan berlandaskan pada pasal 1 dan

pasal 10, dapat dipahami bahwa setiap anak dapat diberikan kesempatan untuk

mengungkapkan pendapatnya tanpa ada batasan umur. Dan kebolehan anak untuk

dapat mengungkapkan pendapatnya tersebut tentunya harus sesuai dengan tingkat

kecerdasan yang dimilikinya, seperti halnya dapat memahami apa yang ada

disekitarnya, dapat dengan mudah menjawab setiap pertanyaan yang diberikan

kepadanya. Sehingga pada waktu anak diberikan pertanyaan apapun yang

berkaitan dengan orangtuanya anak dapat menjawab dengan lancar tanpa ada

hambatan apapun, begitu pula bagi yang bertanya dapat memahami dengan baik

apa yang telah diungkapkan oleh anak.

74
Melihat perkembangan anak usia 6 tahun yang telah mampu secara otak dan

pikiran memahami apa yang telah terjadi disekelingnya dan adanya Undang-

Undang Perlindungan Anak yang telah memberikan hak kepada anak untuk dapat

mengungkapkan pendapat, maka tidak menutup kemungkinan jika anak tersebut

telah mengalami tamyiz sebelum waktunya dan dapat diberikan haknya untuk

memilih.

Namun dari segi usia anak pada waktu memilih, masih dibawah usia

mumayyiz yang telah ditetapkan oleh KHI dan tidak sesuai dengan kandungan

pasal 105 KHI, sehingga sangat jelas bahwa dari segi usia anak tersebut belum

dapat dikatakan mumayyiz, oleh karena itu anak tersebut belum dapat memilih

sendiri orangtua asuhnya. Tetapi jika melihat alasan kenapa anak tersebut

menginginkan untuk memilih sendiri orang tua asuhnya, seperti terjadinya

kekerasan yang dialami anak ketika hidup bersama dengan ibunya, terlebih lagi

jika anak telah mengetahui bahwa ibunya telah melakukan perbuatan yang tercela,

maka hak ibu sebagai pengasuh tersebut dapat berpindah kepada ayahnya.

Hal tersebut disebabkan karena ibu tidak lagi memenuhi syarat-syarat

sebagai seorang hadhinah, terbukti ibu tidak dapat memegang amanah, dan telah

melakukan perbuatan tercela. Syarat-syarat hadhinah yang harus dipenuhi tanpa

ada yang terlewati adalah berakal, merdeka, beragama islam, dapat menjaga

kehormatan dirinya, dapat dipercaya, tidak bersuami yang tidak muhrim dengan

anak menetap

Syarat-syarat yang disebutkan diatas harus terpenuhi oleh ibu, Sehingga Jika

satu syarat tidak dapat dipenuhi, maka gugurlah pencalonannya untuk menjadi

75
pengasuh. Dan selanjutnya akan bepindah kepada para keluarga yang lebih berhak

dan dapat memenuhi syarat-syarat tersebut.

Berbeda dengan KHI, dalam pandangan Hukum Islam terdapat berbagai

alasan diperbolehkannya anak usia 6 tahun untuk memilih, yaitu hukum Islam

melihat bahwa anak usia 6 tahun, sebagaimana yang telah diungkapkan diatas,

telah mampu secara fisik memahami apa yang ada disekitarnya, maka jika

dihubungkan dengan makna dasar mumayyiz itu sendiri yaitu anak yang telah

mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, dapat melakukan

segala aktifitasnya sendiri termasuk didalamnya mampu beristinja’ sendiri, serta

mampu menjawab setiap pertanyaan yang ditujukan kepadanya dengan baik dan

bahkan mampu memahami khitab Allah. Dapat dipahami bahwa anak tersebut

telah dapat dikatakan anak mumayyiz. Karena anak tersebut telah memenuhi

kriteria mumayyiz sebagaimana yang telah dijelaskan diatas. Dengan demikian

mumayyiz perspektif hukum islam tidak memberikan batasan umur.

Selain berdasarkan pada definisi mumayyiz itu sendiri, menurut golongan

syafi’iyah, mumayyiz seorang anak bukan diukur dari usia, melainkan melalui

perkembangan anak, yang telah mampu makan dan minum sendiri, dapat bersuci

sendiri (istinja’), mampu membedakan antara anggota bagian kanan dan anggota

bagian kiri, mampu menjalankan khitab Allah, dan dapat menjawab setiap

pertanyaan yang diajukan kepadanya dengan baik serta mampu membedakan

antara sesuatu yang membahayakan pada dirinya dan sesuatu yang bermanfaat

bagi dirinya.

76
sebagian ulama Syafi’iyah telah menyatakan bahwa usia mumayyiz pada

umumnya adalah 7 tahun atau 8 tahun, namun hal ini hanya suatu perkiraan saja

dan bukan dijadikan sebuah patokan, karena pada usia tersebut seoang anak

banyak yang telah dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk dan

telah layak untuk diperintahkan sholat. Selain itu juga usia mumayyiz juga dapat

lebih maju dari biasanya dan terkadang juga lebih mundur dai usia 7 tahun.

Pendapat tersebut juga serupa dengan pendapat madzhab Hanafiyah yang

menyatakan bahwa anak yang mumayyiz adalah anak yang telah mampu makan

dan minum sendiri, atau dengan kata lain sama dengan pendapatnya Syafi’iyah,

sedangkan menurut hanafiyah usia mumayyiz seoang anak adalah 7 tahun dan

telah berkal. Namun dalam madzhab malikiah peneliti tidak menemukan adanya

definisi mumayyiz yang dijelaskan oleh golongan tersebut, terlebih lagi dalam

pandangan Malikiah, pengasuhan anak tidak dibatasi oleh mumayyiz seorang anak

melainkan sampai baligh bagi laki-laki, dan menikah bagi perempuan.

Adapun perkiraan usia mumayyiz yang telah disebutkan oleh paa ulama

tersebut mengacu pada hadits tentang perintah Allah untuk mengajarkan Sholat

pada usia 7 tahun yang artinya:

“Telah meriwayatkan ‘Ali bin Hajr, menghabarkan Harmalah bin ‘Abdul

Al-Aziz bin Ar-Rabi’ bin Sabrah Al-Jahiniy, dari pamannya ‘Abdul Al-malik bin

Al-Rabi’ bin Sabrah, meriwayatkan dari Bapaknya, dari kakeknya berkata:

Rasulullah SAW Bersabda ”Ajarilah anak-anakmu untuk melakukan Sholat ketika

telah berusia Tujuh tahun dan pukullah dia ketika telah berumur sepuluh tahun

jika dia tidak melakukan Shalat. (Riwayat At-Tarimizi)

77
Usia tujuh tahun yang dijelaskan dalam hadits tersebut mengandung arti

bahwa usia tujuh tahun telah di anggap mumayyiz. Anggapan tersebut bukan

sesuatu yang pasti karena bisa saja anak telah mumayyiz sebelum usia tujuh tahun,

dan bahkan juga bisa lebih dari itu.

Dari beberapa perbedaan pendapat yang telah diungkapkan oleh para ulama,

peneliti lebih memfokuskan pada pendapat mayoritas ulama madzhab yang

menyatakan bahwa mumayyiz adalah anak yang telah mampu secara akal dan

pikiran memahami apa yang ada disekelilingnya, sebagaimana yang telah

disebutkan diatas. Jadi mumayyiz seorang anak bukan diukur melalui usia

melainkan berdaskan definisi tersebut.

Berdasarkan penjelasan dalam perspektif hukum Islam tersebut maka,

semakin memperjelas bahwa ketika anak usia 6 tahun telah mampu secara akal

memenuhi kriteria mumayyiz sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya,

maka anak tersebut dapat memilih sendiri dalam penetuan hak asuh anak tersebut.

Walaupun pendapat ini berbeda dengan KHI, tetapi KHI juga akan

mengedepankan kepentingan anak dalam masalah hadhanah.

Dan kecendungan anak untuk memilih ayah sebagai orangtua asuhnya dapat

diterima selama ayahnya telah memenuhi syarat-syarat sebagai pengasuh anak

yaitu:

a. Tidak terikat dengan suatu pekerjaan yang menyebabkan ayah tidak melakukan

hadhanah dengan baik, seperti hadhinah terikat dengan pekerjaan yang

berjauhan tempatnya dengan tempat sianak, atau hampir seluruh waktunya

dihabiskan untuk bekerja.

78
b. Hendaklah ayah orang yang mukallaf, yaitu telah baligh, berakal dan tidak

terganggu ingatannya.

c. Hendaklah ayah mempunyai kemampuan melakukan hadhanah.

d. Hendaklah ayah dapat menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak, terutama

yang berhubungan dengan budi pekerti. Orang yang dapat merusak budi

pekerti anak, seperti pezina, pencuri, tidaklah pantas melakukan hadhanah.

e. Beragama Islam

syarat-syarat tersebut harus benar-benar tepenuhi oleh ayah. Sebab jika satu

syarat tidak terpenuhi, akan menyebabkan gugur hak hadhanah tersebut. Tujuan

terpenuhinya syarat-syarat ayah sebagai orang yang berhak untuk dapat mengasuh

anaknya, untuk lebih meyakinkan para hakim jika terbukti kalau ayah anak

tersebut benar-benar layak memegang hak asuh tersebut dan apa yang telah

diungkapkan oleh anak memang benar.

menurut peneliti usia mumayyiz yang telah ditetapkan oleh KHI, sangat

berbeda dengan pola perkembangan anak Indonesia yang kebanyakan pada usia

12 tahun telah memasuki usia baligh atau remaja. Usia 12 tahun dalam fase

perkembangan anak juga merupakan tahap awal usia remaja, sehingga pada usia

tersebut anak telah mampu secara matang memahami apa yang ada disekitarnya.

Termasuk permasalahan-permasalahan yang anak temukan, anak telah mampu

mengatasinya sendiri.

jika kita lihat perkembangan anak indonesia, maka kita akan menemukan

anak usia 12 tahun telah mampu melakukan pekerjaan orang-orang remaja,

sehingga pada usia tersebut anak telah masuk pada usia baligh, bukan mumayyiz

79
karena dapat dikatakan baligh jika telah melewati usia mumayyiz dan murahaqah

(masa anak yang hampir baligh) yang pada umumnya dimulai antara 12 sampai 15

tahun bagi anak laki-laki dan 10 sampai 13 tahun bagi anak perempuan. Dan anak

usia 12 tahun telah melelui semua itu

Melihat usia mumayyiz yang telah dijelaskan didalam KHI, dan jika peneliti

coba hubungkan dengan perkembangan anak Indonesia yang begitu cepat diluar

tahap perkembangan yang pada umumnya, serta melihat fase-fase perkembangan

dalam Hukum Islam, maka hal tersebut sangat jauh berbeda karena anak usia 12

tahun dalam konteks Indonesia telah banyak yang baligh, dan dapat menggunakan

akalnya dengan sebaiknya. Sehingga usia mumayyiz dalam konteks Indonesia

bukan berusia 12 tahun, melainkan sesuai dengan pola pikir dan perkembangan

anak tersebut.

Terjadinya perbedaan terhadap usia mumayyiz sebagaimana yang telah

peneliti jelaskan, semakin diperkuat dengan adanya fakta yang peneliti temukan

dilapangan dalam penyelesaian perkara hadhanah di PA. Pada kenyataannya para

hakim banyak yang tidak menggunakan pasal 105 di dalam KHI. hal ini

disebabkan karena dalam memutusan perkara-perkara tersebut hakim melakukan

ijtihad sendiri, sesuai dengan petunjuk Undang-Undang No. 4 tahun 2004 tentang

kekuasaan kehakiman sepeti dalam pasal 16 yang menjelaskan bahwa pengadilan

Agama tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara

yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada tau kurang jelas, melainkan

wajib untuk memiksa dan mengadilinya. Sehingga dalam putusan tersebut hakim

melakukan ijtihad sendiri dengan menggunakan kitab-kitab fiqh yang lebih

mengedepankan kemaslahatan dan keadilan terhadap anak itu sendiri.

80
hal itu juga telah di jelaskan dalam hasil Rakernas MA pada tahun 2007 di

Makasar, yang menjelaskan bahwa dalam sengketa hadhanah di Pengadilan

Agama harus diputus dengan mendahulukan kepentingan Anak, sesuai dengan

pasal 10 Undang-Undang NO. 23 Tahun 2002, dan Mengupayakan perdamaian

melalui mediasi yang pada dasanya memiliki tujuan untuk

mengupayakan kemaslahatan terhadap anak.

Dalam perkara No.878/Pdt.G/2005/PA.JS dan perkara No. 904/ Pdt.G/

2007/ PA.JS, serta Putusan No.345/Pdt.G/2007/PA.Bks. Dalam putusan perkara

tersebut tidak berlandaskan pada pasal 105 KHI dan putusan perkara hadhanah

anak yang belum mumayyiz tersebut diserahkan kepada ayah dengan alasan demi

menjaga kemaslahatan terhadap anak, sehingga hakim sama sekali tidak

menggunakan pasal 105 KHI sebagai landasan Hukum Fomil Pengadilan Agama.

Putusan tersebut juga sama dengan putusan No 182/Pdt.G/2009/PA.bdg,93

yang juga mengedepankan kemaslahatan pada anak dengan mengabaikan pasal

105 KHI, selain itu alasan hak hadhanah tersebut di menangkan oleh ayah, karena

sejak kecil anak tersebut telah diasuh oleh ayahnya, sehingga anak tersebut tidak

mau tinggal bersama dengan ibunya, terlebih lagi bahwa ibunya tidak pernah

maumengurus dan tidak bertanggung jawab terhadap pengurusan anak. Sehingga

hal tersebut semakin menjadikan penguat bagi hakim untuk tidak memberikan hak

asuh anak yang belum mumayyiz kepada ibu kandungnya.

Putusan-putusan hakim yang tidak menggunakan KHI dalam penentuan

hadhanah dengan alasan mengutamakan kemaslahatan tehadap anak, telah

menunjukkan bahwa aturan hukum yang ada di dalam KHI benar-benar belum

81
sesuai dengan fakta yang ada dan juga dalam pelaksanannya belum efektif,

sehingga diperlukan pengkajian lebih lanjut terhadap bunyi pasal 105 KHI.

adanya Undang-Undang No. 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman,

telah memberikan kewenangan kepada hakim untuk dapat beralih menggunakan

landasan kitab-kitab fiqh atau yang lainnya sesuai dengan landasan hukum materil

Peradilan agama. Hal ini semakin memperlihatkan ketidak efektifan KHI karena

belum sesuai dengan apa yang ada.

jika Melihat batasan usia mumayyiz yang telah ditetapkan oleh KHI, tidak

sesuai dengan kenyataan yang ada maka hal tersebut dapat memicu terjadinya

perbedaan pemahaman antara KHI dengan kenyataan yang ada, karena hal

tersebut nantinya akan berkaitan dengan putusan yang harus dibuat ketika terjadi

masalah hadhanah dimana anak yang masih berusia dibawah 6 tahun telah

mampu ikut andil dalam penentuan siapa yang berhak mengasuh anak tersebut.

Oleh kaena itu seharusnya di dalam KHI lebih memperjelas makna mumayyiz

sesuai dengan aturan hukum Islam yang ada, bukan berdasarkan usia anak. Dan

setiap perkara hadhanah yang terjadi harus diputus dengan mengedepankan unsur

maslahah yaitu kebaikan, manfaat, kenyamanan serta keharmonisan anak.

Sementara itu mengenai hadhanah anak yang dibahas dalam KHI dan juga

Undang-Undang No23 tahun 2002 terdapat perbedaan dan persamaan maksud dan

tujuan yang terjkandung baik dalam Kompilasi Hukum Islam atau pun dalam

Undang Undang NO23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak diantara perbedaan

dan persamaan nya adalah sebagai berikut:

Perbedaan yang ada dalam Kompilasi Hukum Islam diantaranya

82
1. Mengenai batasan usia anak didalam Kompilasi Hukum Islam dan Undang-

Undang No23 tahun 2002 terdapat perbedaan dimana dalam Kompilasi

HukumIslam Pasal 98 menyebutkan bahwa batasan usia anak adalah 21 tahun

sedangkan dalam Undang-Undang NO23 tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak Pasal 1 ayat 1 menyebutkan bahwa batasan usia anak adalah 18 tahun.

2. Terkait dalam penentuan hadhanah anak yang belum mumayyiz juga terdapat

perbedaan dimana dalam dalam KHI menyebutkan dalam Pasal 105 dan pasal

156 bahwa anak yang belum mumayyiz dalam hadhanah nya jatuh kepada ibu

dan tidak memiliki hak untuk ikut menentukan kepada siapa dirinya akan

diasuh sedangkan dalam Undang-Undang No23 tahun 2002 menyebutkan

dalam pasal 10 bahwa anak memilik hak untuk menyatakan dan didengar

pendaptnya apalagi terkait dengan hal yang menyangkut dirinya dalam hal ini

terkait dengan kepada siapa hadhanahnya akan diberikan.

Adapun persamaan yang terdapat dalam KHI dan Undang-Undang No23

tahun 2002 terkait hadhanah anak atau kuwasa asuh anak sebagai berikut

1. Pasal 4 UU NO 23 tahun 2003 menyebutkan “Setiap anak berhak untuk

dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai

dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari

kekerasan dan diskriminasi”.Pasal ini sangat sejalan dengan definisi

haḍānah yang digunakan oleh KHI yaitu suatu upaya yang dilakukan oleh

orang yang berhak atas haḍānah untuk dapat mengasuh, memelihara dan

mendidik anak hingga dewasa atau mampu berdiri sendiri.

2. Pasal 5 menyebutkan “Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas

diri dan status kewarganegaraan”.Pasal ini sangat jelas sekali sesuai dengan

83
ketentuan-ketentuan dalam KHI yang selalu mengedepankan keturunan

yang sah (nasab), dimana dalam hal ini bisa dilihat dalam pasal Pasal 99

KHI yaitutentanganak yang sah adalah:a. anak yang dilahirkan dalam atau

akibat perkawinan yang sah;b. hasil perbuatan suami istri yang sah

diluar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.Pasal 100Anak yang lahir

di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan

keluarga ibunya.

3. Pasal 6menyebutkan “Setiap anak berhak untuk beribadah menurut

agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan

usianya, dalam bimbingan orang tua.Pasal ini juga sangat sejalan dengan

KHI, dimana dalam setiap aturan KHI selalu mengedepankan agama dalam

setiap gerak hidup manusia.

4. Pasal 7 menyebutkan “(1) Setiap anak berhak untuk mengetahui orang

tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri. (2) Dalam hal

karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang

anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak

diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang

lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku”. Pasal ini juga jelas sekali sesuai dengan ketentuan-ketentuan

yang terdapat dalam KHI, yaitu agar kedua orang tua selalu membinkan

anak mereka dengan nama ayahnya, dan kedua orang tua tersebut harus

berusaha sekuat tenaga untuk memelihara dan membesarkan anak-anak

mereka. Dan jikalau mereka tidak mampu para keluarga terdekat atau para

84
famili agar selalu memberikan bantuan kepada anak tersebut, supaya

kehidupannya tidak terancam atau berjalan sesuai yang diharapkan

Selain daripada pasal tersebut diatas sejatinya pasal-pasal yang terkandung

dalam Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang No 23 tahunn 2002 banyak

kesamaan terlebih apabila dilihat dengan sudut pandang kemaslahatan bagi si

anak.

B. PEMBAHASAN

Mengenai hadhanah anak yang belum mumayyiz telah dijelaskan dalam

Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang No.23 tahun 2002 tenang

Perlindungan Anak, dimana Dalam Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam

menjelaskan tentang kepengurusan anak yang belum mumayyiz apabila terjadi

perceraian. dalam poin (a) menjelaskan tentang kepengurusan anak yang belum

mumayyiz dan juga menjelaskan tentang usia anak yang belum mumayyiz bahwa

dalam pasal ini menjelaskan anak yang belum mumayyiz adalah anak yang belum

berusia dua belas tahun. Kemudian anak yang belum mumayyiz itu sendiri apabila

orang tuanya bercerai maka hadhanahnya atau hak asuh anaknya jatuh kepada

ibu.

Sementara itu pada poin (b) menjelaskan tentang hadhanah anak yang telah

mumayyiz. Bahwa disini dijelaskan bahwa anak yang sudah mumayyiz untuk

hadhanah atau hak asuhnya diserahkan kepada sianak untuk memilih sendiri

kepada siapa hak asuhnya diberikan baik kepada ayah atau pun ibunya ini di

berikan secara penuh hak untuk memilih hadhanahnya.

85
Pada poin (c) menjelaskan tentang pembiayaan anaknya setelah bercerai.

Menurt poin ini dijelaskan bahwa terkait biaya pemeliharaan anak setelah

perceraian selagi anak itu belum bisa mandiri maka pebiayaan hidup anak tersebut

ditanggung ileh siayah sehingga seorang ayah sekalipun sudah bercerai dengan

istrinya ayah tetap berkewajiban untuk mengurus dan memberi nafkah kepada

anaknya.

Pada pasal 105 di jelaskan bahwa usia tamyiz adalah 12 tahun penetapan

usia 12 tahun dalam Kompilasi Hukum Islam tentu memiliki alasan. Menurut

peneliti jika mengacu pada perkembangan anak bahwa usia 12 tahun adalah usia

anak memasuki masa remaja sehingga pada usia ini anak sudah memiliki

kemampuan untuk menangkap informasi dengan lebih efisien.

Akan tetapi perakteknya di lapangan sejatinya banyak anak yang belum

berusia 12 tahun namun sudah mampu menangkap informasi dengan sempurna

dan sudah bisa memililh mana yang mendatangkan kemaslahatan dan

kenyamananya serta sudah bisa memilih kepada siapa anak itu di asuh. Apabila di

perhatikan fenomena di usia 12 tahun justru sudah banyak yang sudah mencapai

usia akil baligh hal ini dibuktikan dengan sudah adanya anak yang sudah

mastrubasi sehingga paada usia ini tidak hanya tamyiz tapi anak juga sudah

mencapai usia baligh. Bahkan bila melihat dari hadits nabi dikatakan bahwa anak

yang berusia 7 tahun sudah dikatakan tamyiz sehingga pada usia ini Rasulullah

sudah memerintahkan bila melihat fakta yang ada maka selayaknya Kompilasi

Hukum Islam memperbaharui prihal usia anak mumayyiz pada Pasal 105

Kompilasi Hukum Islam.

86
Adapun pada Pasal 156 lebih di perinci mengenai hak asuh anak setelah

perceraian dimana pada pasal ini menjelaskan tentang urutan hadhanah anak yang

belum mumayyiz apabila ibu dari anak itu tidak memiliki kelayakan untuk

mengasuh dan merawat anak tersebut. Dalam pasal ini juga disebutkan tentang

pembiayaan anak setelah bercerai dimana untuk pembiayaan diserahkam kepada

si ayah sampai usia anak tersebut telah mencapai usia yang mandiri yaitu pada

usia 21 tahun. Namun dalam pasal ini tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai

posisi hadhanah anak yang belum mumayyiz setelah percerain adapun untuk

hadhanah anak yang belum mumayyiz masih sama dengan pasal 105 Kompilasi

Hukum Islam dimana hadhanahnya langsung diberikan kepada ibu terkecuali

apabila ibu sudah meninggal dunia maka hadhanah ibu digantikan sesuai dengan

urutan yang telah ditentukan pada Poin (a) pasal 156 Kompilasi Hukum Islam

Sementara itu dalam Undang-Undang No23 tahun 2002 menjelskan

mengenai hadhanah anak dengan istilah kuasa asuh anak yang dijelaskan pada

Pasal 30, 31, dan Pasal 32 Pada ketiga pasal tersebut dijelaskan tentang

mekanisme hadhanah anak atau dalam istilah disini kuasa asuh anak, pada pasal

30 dijelaskan bahwa orang tua wajib melakuka kewajiban yang telah di tetapkan

dalam pasal 26 yaitu:

1. Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak.

2. Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan

minatnya; dan

3. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.

Apabila orang tua tidak melakukan kewajibannya tersebut maka orang tua bisa di

cabut oleh pengadilan.

87
Sementara itu apabila terjadi percaraian, maka hak asuh anak akan

ditentukan didalam persidangan di pengadilan dalam penentuan hak asuh anak.

Lebih lanjut mengenai hak kuasa asuh anak diatur jelas dalam pasal 31 an tata

cara pengajuan menganai hak asuh anak tersebut, sebagaimana telah dijelaskan

diatas, bahwa pihak keluarga yang memiliki hak dalam pengasuhan anak tersebut

mengajukan gugatannya ke pengadilan atau melalui lembaga yang berwenang

menangani masalah Pengasuhan anak atau perlindungan terhadap anak, seperti

Komnas perlindungan Anak yang dapat membantu dalam pelaksanaan pengalihan

hak asuh anak.

dalam pengajuan masalah hak asuh anak tersebut, pihak-pihak yang

mengajukan perkara harus dapat memeberikan informasi kepada hakim jika

orangtua asuh sebelumnya tidak layak melaksanakan hak asuh anak tersebut, dan

tidak dapat menjamin perkembangan anak. Sehingga dengan bukti-bukti tersebut

hakim dapat mempertimbangkannya. Karena dalam penentuan hak asuh anak

harus senantiasa mengedepankan kemaslahatan terhadap anak, karena anak berhak

untuk diasuh oleh orang-orang yang dipercaya agar anak dapat tumbuh kembang

sebagaimana mestinya. Dan yang berhak mengasuh anak tersebut, baik orang tua

kandung maupun pihak keluarga sampai derajat ketiga harus dapat memenuhi

syarat-syarat yang telah dijelaskan dalam Undang-Undang Perlindungan Anak,

yaitu yang dapat melindungi anak dari berbagai macam gangguan dan acaman,

dan dapat mengasuh, mendidik anak dengan sebaik-baiknya.

Dengan demikian masalah pengasuhan anak dalam Undang-Undang

perlindungan anak hanya bersifat kondisional, karena dalam Undang-Undang ini

88
menginginkan adanya jaminan terhadap kelangsungan hidup anak bersama orang

yang mengasuhnya, begitu juga dengan orangtua. Sehingga jika orang tua tidak

dapat memenuhinya, maka hak tersebut dapat beralih kepada pihak keluarga yang

lebih mampu untuk menjamin kelangsungan hidup anak dengan proses beracara

dipengadilan.

dalam penetuan siapa yang berhak untuk mengasuh anak, juga tidak terlepas

dari peran anak untuk ikut andil dalam menentukan siapa yang ia inginkan,

sekalipun keikut sertaan tersebut tidak dilakukan secara langsung atau dengan

menggunakan perantara psikologanak yang dapat memahami anak. Karena hal ini

terkait dengan kenyamanan anak hidup bersama dengan siapa yang nantinya akan

menjadi pengasuhan anak. Hal ini terkait dengan bunyi pasal 10 yaitu “Setiap

anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan

memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi

pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan”.

89
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari penjelasan dan pembahasan yang telah peneliti uarikan di atas dapat di

ambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Alasan ilmiayah usia 12 tahun yang dijadikan sebagai tolak ukur usia

mumayyiz seorang anak sebagaimana yang telah dijelaskan di dalam KHI

adalah berdasarkan pada perkembangan dan pertumbuhan seorang anak, yang

pada masa itu anak telah mampu berpikir secara optimal. Sehingga apabila

anak usia 12 tahun dihadapkan dengan masalah penentuan orang tua asuhnya,

anak dapat memahami dan mampu memberikan jawaban dengan baik

mengenai keadaan kedua orang tuanya. Dan anak dapat dengan tegas

menentukan siapa yang benar-benar ia inginkan menjadi orang tua asuhnya.

2. Konsep hadhanah anak menurut Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak lebih memprioritaskan anak dalam menentukan kepada

siapa hak hadhanah anak itu diberikan, hal ini di tunjukan dengan adanya hak

anak yang disebutkan dalam pasal 10 Undang-Undang No 23 tahun 2002

yang menyebutkan bahwa anak wajib didengar pendapatnya didalam

persidangan termasuk maka bila mengacu pasal tersebut anak harus diikut

sertakan dalam penentuan hadhanahnya baik melalui anak tersebut hadir atau

dengan pendamping anak sekalipun anak tersebut belum berusia 12 tahun.

3. relevansi hadhanah anak dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan

Undang-Undang NO 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak yang mana

menurut KHI anak usia 6 tahun belum dapat menentukan pilihannya sendiri,

90
karena anak tersebut belum mumayyiz, tetapi dalam Hukum Islam anak

tersebut telah mumayyiz sehingga dapat memilih orang tua asuhnya sendiri.

Dan kecendrungan anak yang belum mumayyiz memilih ayahnya tetap

diperbolehkan selama ayah telah memenuhi syarat-syarat hadhanah.

Kebolehan memilih telah diperkuat oleh Undang-Undang No. 23 tahun 2002

tentang Perlindungan Anak.

B. Saran

1. Hendaknya di dalam KHI memperjelas makna mumayyiz sebagaimana yang

telah dijelaskan dalam hukum islam, agar pada saat menentukan hak

hadhanah anak yang belum mumayyiz atau mumayyiz tidak terjadi kekeliruan.

2. Bagi para hakim di pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama, hendaknya

dalam memutuskan perkara yang memiliki keterkaitan dengan anak,

mengikut sertakan anak didalam proses persidangan, baik dengan

menggunakan perantara Psikolog anak yang dapat memahami anak dengan

baik ataupun secara langsung oleh hakim dengan suasana yang santai. Agar

setiap keputusan yang dijatuhkan oleh hakim dapat menjamin masa depan

anak dan kemaslahatan bagi anak. Serta tidak ada lagi anak yang terlantar

atau bahkan teraniaya akibat ulah orangtuanya.

91
DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Selamet Dan Aminuin. (1999). Fikih Munkahat II. Bandung: Putka Setia.

Ad-Dzahabiy, Syamsuddin Muhmmad. (2007). Dosa-Dosa Besar. Solo: Fusaka


Arafah.

Ahmad. (200). Media Pembelajaran. Makasar: Badan Penerbit Universitas Negeri

Al-Faifi, Sulaiman. (2010). Mukhtasar Fiqih Sunnah Sayyid Sabiq. Solo: Aqwam.

Ali, Zainudin, (2012). Hukum Pendeta Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.

Al-Rasyid, Harun. (1994) Teknik Penarikan Sampel dan Penyusunan Skala.


Bandung: Universitas Padjadjaran

Amini, Mukti. (2008.) Pengasuhan Ayah Ibu yang Patut, Kunci Sukses
Mengembangkan Karakter Anak, Yogkarta: Tiara Wacana.

Anggito, Albi dan Setiawan, Johan. (2018). Metodologi Penelitian Kualitatif.

Anshari, Abu Yahya Zakariya. (2000). Fathul Wahab Zuz II. Beirut:Dar Al-Fikr.

Arto, A Mukti.(2005). Pembaruan Hukum Islam Melalui Putusan Hakim.


Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Asqalani, Ibnu Hajar. (2004). Bulugh Al-MaramMin Adillatah Al-Ahkam. Riyadh:


Dar As-Salam

Ayyub, Hasan. (2006). Fikih Keluarga. Jakarta; Pustaka Al-Kutsar.

Bejuri, Burhanudddin Ibrahim. (1999). Hasyiyah as-Syaikh Ibrahim al-Baejuri


Zuz II. Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.

Berg. (1986) Peranan Gizi Dalam Pembangunan Nasional (Zahara, Penerjemah).


Jakarta: C.V. Rajawali.

Dahlan, Abdul Aziz. (2002). Ensiklopedi Islam. Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve.

Daly, Peunoh. (2005). Hukum Perkawin Islam Suatu Studi dalam Kalangan
Ahlussunah dan Negara-Ngara Islam. Jakarta;Bulan Bintang.

92
dan Ermanita. (2018). Urgensi Dwangsom dalam Eksekusi
Hadhnah. Jakarta: Prenada Media Grup.

Direktorat Jendral Peradilan Agama Mahkamah Agung RI. (2014). Pedoman


Pelaksanaan Tugas Dan Administrasi Peradilan Agama. Jakarta : Ditjen
Badilag.

Djamil, Nasir. (2013) Anak Bukan untuk Dihukum. Jakarta: Sinar Grafika.

Fanani, Ahmad Zaenal. (2005). Pembahasan Hukum Sengketa Hak Asuh Anak di
Idonesia: prespekif keadilan jender. Yogyakarta: UII Pers.

Firdaus dan Zamzam, Fakhry. (2018). Aplikasi Metodologi Penelitian.


Yogyakarta: Deepublish

Ghozali, Abduraman.(2015). Fikih Munkahat. Jakarta: Kencana Prenada Group.

Harahap. M. Yahya.(1975). Hukum prawinan nasional berdsarkan UU No. 1


Tahun 1974 dan PP No.9 Tahun 1975. Medan: CV. Zahir.

Hurlock, E. B. (1990). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan


Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga.

Hurlock, E. B. (1993) Perkembangan Anak. Jilid 2. Penerjemah : Meitasari


Tjadrasa. Edisi ke-6. Jakarta : Erlangga.

Jauhari, Iman dan T. Muhammad Ali Bahar. (2013) Buku Ajar Kapita Selekta
Hukum Perdata: kajia Advokasi Hak-Hak Anak. Bandung: Cipta Pustaka
Media Perintis

Jaziriy, Abdul Rahman. (2003). Al-Fiqh ala al-Mazahib al-Arba’ah Zuz V. Bairut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyah.

Malibariy, Ahmad Zainuddin. (2004). Fath al-Mu’in bi Syar Qurrahal-Ini bi


Muhimmah ad-Din. Biarut: Dar Ibn Hazm.

Manan, Abdul. (2014) Aneka Masalah HukumPerdata Islam di Indonesia.Jakarta:


Kencana Prenada Media Group

93
Mirudin dan ainal Asikin. (2004). Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta:
Grafindo Perseda.

MK, M. Anshary. (2010) Hukum Perkawinan di Indonesia: Masalah-Masalah


Krusial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

Mugniyah, Muhammad Jawad. (2004) Fiqh Lima Mazhab: Ja’fari, Hanafi,


Maliki, Syafi’I dan Hambali Jakarta: Lentera Basritma.

Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan.(2006) Hukum Perdata Islam di


Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No.
1/1974 sampai KHI. Jakarta: Kencana Prenada Media

Qodir, Abdul. (2014) Pencatatan Pernikahan dalam Perspektif Undang-Undang


dan Hukum Islam. Depok: Azza Media

Rofiq, Ahmad. (2013) Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Rajagrafindo


Persada

Sabiq, Sayyid. (1983) Fiqh Al-Sunnah. Jilid 2. Beirut: Dar al-fikr

Shiddieqy, T.M. Hasbi. (2001). Hukum Anntar Golongan: Intreaksi Fikih Islam
Dalam Syariat gama Lain.Semarang: Pustaka Rizki Putra.

Soebakti. (2001) Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa 2001

Sugiyono. (2017). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung:


CV Alfabeta.

Syaifuddin, Muhammad, Turatmiyah dan Analisa Yahanah. (2013) Hukum


Perceraian. Jakarta: Sinar Grafika

Syarbini, Symudin Muhmmad bin Muhmmad Al-Khatib. (2001). Al-Iqna’ Fi


Halli Al Afadz Abiy Syuja. Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiah.

Syarifuddin, Amir (2014) Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta: Kencana


Prenada Media Grup

94
Umar, Husein. (2003). Metodologi Penelitian untuk Skripsi dan Tesis Bisnis.
Jakarta: PT. Gramedia Pusaka.

Uwaidah, Kamil Muhammad. (2004) Fiqih Wanita [al-Jami fi Fiqh an-Nisa].


Diterjemahkan oleh M. Abdul Ghofur. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar

Yanggo, Huzaimah Tahido. (2004) Fiqih Anak: Metode Islam dalam Mengasuh
dan Mendidik Anak serta Hukum-hukum yang berkaitan dengan Aktivitas
Anak. Jakarta: Al-Mawardi Prima

Zein, Satria Efendi M. (2010) Problematika Hukum Islam Kontemporer. Jakarta:


Kencana Pranada Media Group.

Zuhailiy, Muhammad. (2011 ). Al-mu’tamad fi al-fiqh s-syafi’iy. Damaskus: Dar


al-Qarim.

Zuhailiy, Wahbah. (1995). Al-Fiqh l-Islamiy wa adillatuh. Beirut: Dar al Fikr.

95

Anda mungkin juga menyukai