Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah
Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan
Disusun oleh:
RIZA HERNITA
NIM 1110013000040
i
ABSTRACT
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur hanya bagi Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya. Shalawat beserta salam selalu tercurah kepada Nabi
Muhammad SAW, kepada keluarga dan para sahabatnya serta seluruh muslimin
dan muslimah. Alhamdulillahi rabbil ‘alamiin, senantiasa penulis haturkan
kepada-Nya. karena atas ridho-Nya penulis dapat menyelesaikan seluruh
kewajibannya dalam menyusun skripsi ini.
1. Dra. Nurlena Rifai, M.A. Ph.D. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan, Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta;
2. Dra. Mahmudah Fitriyah Z.A., M.Pd. Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, sebagai
dosen pembimbing akademik, dan dewan penguji pada saat Ujian
Munaqasah yang telah memberikan bimbingan kepada penulis sehingga
berakhirnya penulisan skripsi ini. Semoga ibu dan keluarga selalu berada
dalam lindungan Allah SWT, amin;
3. Dr. Nuryani, S.pd, M.A. sebagai dosen pembimbing yang telah
meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, arahan, dan saran-
saran saat menyusun skripsi ini. Semoga ibu dan keluarga selalu berada
dalam lindungan Allah SWT, amin;
4. Dr. Darsita, S, M. Hum. Sebagai dewan penguji pada saat Ujian
Munaqasah yang telah memberikan nasehat, petunjuk, serta bimbingan
dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga ibu dan keluarga selalu berada
dalam lindungan Allah SWT, amin;
5. Dra. Hindun, M.Pd sebagai dosen matakuliah pragmatik dan dosem
pembimbing proposal skripsi yang telah memberikan banyak saran,
iii
iv
Penulis haturkan doa dan rasa syukur kepada Allah SWT, semoga jasa
yang telah mereka berikan menjadi amal soleh dan mendapatkan balasan yang
jauh lebih baik dari Allah SWT, amin.
Akhirul kalam, penulis mohon maaf atas kekurangan yang terdapat dalam
skripsi ini, dan dengan kerendahan hati penulis menerima kritik dan saran yang
membangun. Besar harapan penulis, semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua
pihak yang membutuhkan.
Penulis
Riza Hernita
DAFTAR ISI
ABSTRAK.............................................................................................................. i
ABSTRACT............................................................................................................ii
KATA PENGANTAR...........................................................................................iii
DAFTAR ISI.........................................................................................................Vi
DAFTAR LAMPIRAN......................................................................................Viii
BAB I: PENDAHULUAN
A. Pragmatik.....................................................................................................9
B. Konteks......................................................................................................10
Pengertian Konteks dan Ciri-ciri Konteks.................................................10
C. Implikatur...................................................................................................12
1. Pengertian Implikatur..........................................................................12
2. Ciri-ciri Implikatur..............................................................................25
3. Macam-macam Implikatur..................................................................29
D. Prinsip Kerjasama Percakapan...................................................................33
E. Novel..........................................................................................................39
1. Pengertian Novel..................................................................................39
2. Jenis Novel...........................................................................................40
vi
vii
A. Hasil Penelitian..........................................................................................44
1. Biografi Pengarang..............................................................................44
2. Sinopsis Novel 99 Cahaya di Langit Eropa........................................44
B. Analisis Data.............................................................................................46
C. Pembahasan...............................................................................................72
D. Implikasi dalam Pendidikan......................................................................97
A. Simpulan...................................................................................................98
B. Saran.........................................................................................................99
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................100
UJI REFERENSI
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 4: RPP Kelas XII Semester Ganjil Mengenai Analisis Unsur Intrinsik
Novel
viii
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, masalah
yang diidentifikasikan dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut:
4
D. Rumusan Masalah
Permasalahan penelitian ini akan menjawab beberapa pertanyaan berikut:
1. Bagaimanakah implikatur percakapan pada novel 99 Cahaya di Langit
Eropa; Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa Karya Hanum
Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra?
2. Bagaimanakah implikasi implikatur percakapan dalam novel 99 Cahaya di
Langit Eropa; Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa Karya Hanum
Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra terhadap pembelajaran bahasa
dan sastra Indonesia?
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan, penelitian ini
bertujuan untuk:
1. Mendeskripsikan implikatur percakapan yang terdapat pada 99 Cahaya di
Langit Eropa; Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa Karya Hanum
Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra.
5
2. Praktis
Secara praktis hasil penelitian ini bermanfaat:
a. Bagi guru, penelitian ini dipakai sebagai bahan pembelajaran
b. Bagi peneliti, penelitian ini digunakan sebagai salah satu persyaratan
akademik dalam menempuh perkuliahan dan kelulusan sebagai
mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
c. Bagi siswa, dari penelitian ini siswa mendapatkan ilmu di luar ilmu
yang dipelajari dan untuk bekal mengajar jikalau siswa menjadi guru.
G. Metode Penelitian
H. Fokus Penelitian
Yang menjadi populasi dalam penelitian ini yaitu percakapan atau dialog
yang memiliki implikatur. Adapun sampel penelitian terdiri atas lima belas (15)
penggalan percakapan yang memiliki implikatur. Metode penarikan sampel yang
digunakan yaitu dengan cara acak (Random Sampling), berarti setiap populasi
1
S. Margono, Metodologi penelitian pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), h. 36
2
Sharan B. Merriam, Qualitative Research; A guide to Design and Implementation, (United States
of America: Jossey-Bass, 2009), h. 5
7
N. Triangulasi Data
Triangulasi, yaitu data atau informasi dari suatu pihak harus di cek
kebenarannya dengan cara memperoleh data itu dari sumber lain. Tujuannya ialah
membandingkan informasi tentang hal yang sama yang diperoleh dari berbagai
pihak, agar ada jaminan tentang tingkat kepercayaan data. 3 Triangulasi dilakukan
dengan cara (1) data penelitian ini sudah peneliti periksa ke buku teks asli; dan (2)
peneliti sudah meminta izin pada penulis melalui email dan telah di setujui.
3
S. Nasution, Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, (Bandung: Tarsito, 2003), h. 10
BAB II
LANDASAN TEORETIS
Pada bab ini peneliti menguraikan beberapa landasan teori yang akan
diperlukan untuk menganalisis data sesuai dengan topik pembahasan skripsi ini.
Adapun landasan teoretis yang dibahas yaitu pragmatik, konteks, implikatur,
prinsip kerjasama, dan novel.
A. Pragmatik
Istilah pragmatik lahir dari filsuf Charles Morris yang mengolah kembali pemikir-pemikir
filsuf-filsuf pendahulunya mengenai ilmu tanda dan lambang yang disebut semiotika.
Dalam pragmatik, makna ujaran dikaji menurut makna yang dikendaki oleh penutur dan
menurut konteksnya. Disamping itu, dalam pragmatik juga dilakukan kajian tentang
deiksis, praanggapan, implikatur, tindak bahasa, dan aspek-aspek struktur wacana.5
Pragmatics is the sistematic study of meaning by virtue of, or dependent on, the
use of language. The central topics of inquiry of pragmatics include implicature,
presuposition, speech acts, and deixis.6 (Pragmatik adalah studi sistematis
1
F.X. Nadar, Pragmatik dan Penelitian Pragmatik, (Yogyakarta: GRAHA ILMU, 2009), h. 2
2
Kushartanti, dkk., Pesona Bahasa: Langkah awal Memahami Linguistik, (Jakarta: Gramedia
Pusta, 2005), h. 104
3
Verhaar, Asas-asas Linguistik Umum, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2006), h. 14
4
Geoffrey Leech (penerjemah: Oka), Prinsip-Orinsip Pragmatik (Jakarta: Universitas Indonesia,
1993) h. 45
5
Bambang Yudi Cahyono, Kristal-kristal Ilmu Bahasa, (Surabaya: Airlangga University Press,
1995), h. 214
6
Yan Huang, pragmatics, (New York: Oxford University Press Inc., 2007), h. 2
9
10
B. Konteks
Konteks adalah hal-hal yang gayut dengan lingkungan fisik dan sosial
sebuah tuturan ataupun latar belakang pengetahuan yang sama-sama dimiliki oleh
penutur dan lawan tutur dan yang membantu lawan tutur menafsirkan makna
tuturan.7 Konteks, yaitu unsur yang di luar bahasa, dikaji dalam pragmatik.8
Konteks merupakan latar belakang pengetahuan mengenai situasi fisik dan sosial
sebuah percakapan yang berlangsung. Konteks dipelajari dalam ilmu pragmatik
yang terdiri dari hal-hal di luar bahasa.
We have already noted that we can understand a sentence even if we are unable to
tell whether it is true or false. Often we do know the truth value of a sentence, and the
knowledge we use to decide is knowledge about the world (assuming of course that the
sentence is neither analytic nor contradictory). Knowledge of the world is part of context,
and so pragmatics includes how language users apply knowledge of the world to interpret
utterances.9
(Kita telah mencatat bahwa kita dapat memahami kalimat bahkan kita tidak dapat
mengatakan apakah itu benar atau salah. Seringkali kita tahu nilai kebenaran
kalimat dan pengetahuan yang kita gunakan untuk memutuskan adalah
pengetahuan tentang dunia (tentu saja dengan asumsi bahwa kalimat tersebut tidak
analitik atau bertentangan). Pengetahuan tentang dunia adalah bagian dari
konteks, dan pragmatik mencakup bagaimana pengguna bahasa menerapkan
pengetahuan dunia untuk menafsirkan ucapan-ucapan). Dari kutipan tersebut kita
7
F.X. Nadar, op. cit., h.6-7
8
Kushartanti, dkk., loc. cit.
9
Victoria Fromkin dan Robert Rodman, An Introduction to Language; Third Edition, (New York:
CBS College Publishing, 1983), h. 189
11
dapat menyimpulkan bahwa untuk memutuskan apakah kalimat salah atau benar
kita menggunakan pengetahuan tentang dunia. Pengetahuan tentang dunia yaitu
bagian dari konteks. Konteks inilah yang kita gunakan untuk menganalisis sebuah
percakapan.
Dell Hymes dalam Wahab menciri unsur konteks sebagai berikut: penyampai,
yaitu penutur atau penulis yang mengeluarkan ujaran; penerima, yaitu pendengar atau
pembaca yang menerima pesan dalam ujaran; topik, yaitu apa yang sedang dibicarakan
oleh penyampai dan penerima. Pengetahuan analisis tentang topik sangat membantu
mempertajam analisis wacana yang sedang dihadapinya; setting, yang meliputi waktu,
tempat, dan peristiwa. Unsur lainnya adalah saluran, yaitu bagaimana kontak antara
penyampai dan penerima dilakukan-lisan atau tulisan. Kemudian ada unsur kontek yang
bernama kode, yaitu bahasa atau dialek yang dipakai dalam interaksi. Ada unsur kontek
10
Bambang Yudi Cahyono, op. cit., h. 214-217.
11
Bambang Kaswanti Purwo, Bulir-bulir Sastra dan Bahasa: Pembaharuan Pengajaran,
(Yogyakarta: KANISIUS, 1991), h. 82
12
Bambang Kaswanti Purwo, Pragmatik dan Pengajaran Bahasa: Menyibak Kurikulum 1984, h.
23
12
yang disebut tujuan, artinya hasil akhir dalam komunikasi antara penyampai dan
penerima.13
Jadi, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur yang terdapat di dalam konteks yaitu
penutur, petutur, topik yang dibicarakan, setting, cara berkomunikasi, bahsa yang
digunakan, dan tujuan dalam berkomunikasi.
C. Implikatur
1. Pengertian Implikatur
13
Abdul Wahab, Butir-butir Linguistik, (Surabaya: Airlangga University Press, 1990), h. 56-57
14
Abdul Rani, dkk., Analisis Wacana: Sebuah Kajian Bahasa dalam Pemakai an, (Malang:
Bayumedia, 2006), h. 190
15
Geoffrey Leech (penerjemah: Oka). Loc. cit.
13
Jika ada dua orang yang bercakap-cakap, percakapan itu dapat berlangsung dengan
lancar berkat adanya semacam “kesepakatan bersama”. Kesepakatan itu, antara lain,
berupa kontrak tak tertulis bahwa ihwal yang dibicarakan itu harus saling berhubungan
atau berkaitan. Hubungan atau keterkaitan itu sendiri tidak terdapat pada masing -masing
kalimat secara lepas; maksudnya, makna keterkaitan itu tidak terungkapkan secara “literal”
pada kalimat itu sendiri, ini yang disebut implikatur percakapan.20
16
Bambang kaswanti Purwo, op. cit., h. 16
17
Yan Huang, pragmatics, op. cit., h. 27
18
I Dewa Putu Wijana dan Muhammad Rohmadi, Analisis Wacana Pragmatik; Kajian Teori dan
Analisis, (Surakarta: Yuma Pustaka, 2010), h. 37-38
19
Kushartanti, dkk., op. cit., h. 106
20
Bambang kaswanti Purwo, op. cit., h. 20
14
Implikatur percakapan juga dapat dikatakan sebagai makna yang tidak terungkap
secara harfiah atau langsung di dalam kalimat itu sendiri. Hubungan atau
keterkaitan antara tuturan dengan makna yang ingin disampaikan itu saling lepas,
tidak mematuhi prinsip kerjasama dalam percakapan.
..... Implicatures are pragmatic aspects of meaning and have certain identifiable
characteristics. They are partially derived from the conventional or literal meaning of an
utterance, produced in a specific context which is share by the speaker and the hearer,
and depend on a recognition by the speaker and the hearer of the Cooperative Principle
and it‟s maxims. For the analyst, as well as the hearer, conversational implicatures must
be treated as inherently indeterminate since they derive from a supposition that the
speaker has the intention of conveying meaning and of obeying the Cooperative
Principle.22
21
Alek dan Achmad, Linguistik Umum; Sebuah ncangan Awal Memahami Ilmu Bahasa, (Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009), h. 152
22
Gillian Brown dan George Yule, Discourse Analysis, (New York: Cambridge University press,
1983), h. 33
15
penutur dan petutur dalam konteks tertentu dan sikapnya terhadap maksim-
maksim prinsip kerjasama.
23
Asim Gunarwan, PELBBA 18 Pertemuan Linguistik Pusat Kajian Bahasa dan Budaya Atma
Jaya ke Delapan Belas (Jakarta: Pusat Kajian Bahasa dan Budaya Unika Atma Jaya, 2007) h. 86
24
F.X. Nadar, op. cit., h. 61
25
Abdul Rani, dkk., op. cit.,h. 181
26
Diemroh Ihsan, Pragmatik, Analisis Wacana, dan Guru Bahasa: Pragmatics, Discourse
Analysis, and Language Teachers, (Palembang: Universitas Sriwijaya, 2011) h. 108
16
diharapkan. Hal ini dapat dipahami oleh istrinya. Kedua, keadaan macet dalam
perjalanan tidak bisa dipastikan sehingga ketepatan sampai di rumah juga tidak
bisa dipastikan. Saat Braka ditanya kapan dia akan sampai di rumah, dia tidak
dapat berjanji secara pasti untuk dapat sampai di rumah pukul delapan dengan
alasan macet.
27
Abdul Rani, dkk., op.cit., h. 173
17
itu, Sperber dan Wilson menjelaskan teori relevansi. Adapun teorinya, yaitu
sebagai berikut:
Teori Grice
The point of the Co-operative principle and the maxims is not to tell people how
to behave, of course. The point is that speakers are permitted to flout the maxims in order
to convey something over and above the literal meaning of the utterance. .... it is useful to
have some way of referring to the kind of preposition that a speaker intends to convey in
this implicit fashion, and the standard term for this is conversational implicature. The
implicature is conversational because it only arises in an appropriate conversational
context.29
(Maksud dari prinsip kerjasama dan maksim tidak memberitahu orang bagaimana
berperilaku, tentu saja. Intinya adalah bahwa pembicara diizinkan untuk
melanggar maksim dalam rangka untuk menyampaikan sesuatu atas dan di atas
arti harfiah dari ucapan. .... hal ini berguna untuk memiliki beberapa cara mengacu
pada jenis preposisi bahwa pembicara bermaksud untuk menyampaikan dengan
cara implisit, dan istilah standar untuk ini adalah implikatur percakapan.
Implikatur percakapan ini karena hanya muncul dalam konteks percakapan yang
tepat). Jadi, peneliti menyimpulkan kutipan tersebut bahwasasnya prinsip
kerjasama bukanlah prinsip yang mendiktekan bagaimana cara seseorang
melakukan percakapan. Maksim yang ada pada prinsip kerja sama dapat dilanggar
untuk menyampaikan informasi sesuai dengan tuturan atau di luar tuturan.
28
Ibid., h. 87
29
Andrew Radford, dkk., Linguistics An Introduction; Second Edition, (New York: Cambridge
University Press, 2009), h. 397
18
Grice berpendapat bahwa untuk menggali kandungan eksplisit dari sebuah ujaran
adalah sama dengan menggali apa yang kita sebut dengan proposisional dan mood yang
diekspresikannya; sementara semua bentuk asumsi lain yang dikomunikasikan oleh
ujaran, baik yang dikodekan maupun yang disimpulkan, adalah implikatur. Implikatur
yang dikodekan adalah apa yang ia sebut “implikatur konvensional” sementara implikatur
yang disimpulkan adalah “non-konvensional”, dimana salah satu dari bentuk implikatur
non-konvensional yang paling kita kenal adalah “implikatur percakapan”. 30
Implikatur adalah segala yang disimpulkan dan dikodekan dalam sebuah ujaran
yang dikomunikasikan. Implikatur yang dikodekan dikenal juga dengan
implikatur konvensional. Implikatur percakapan adalah salah satu dari implikatur
non-konvensional.
“By providing a description of the norms speakers operate with in conversation, Grice
makes it possible to describe what types of meaning a speaker can convey by „flouting‟ one of this
maxims. This flouthing of a maxim results in the speaker conveying, in addition to the literal
meaning of his utterance, an additional meaning, which is conversational implicature.”31
30
Dan Sperber dan Deirdre Wilson (penerjemah: Suwarna, dkk.), Teori Relevensi; Komunikasi
dan Kognisi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 266
31
Gillian Brown dan George Yule, op. cit., h. 32
32
Abdul Rani, dkk., op.cit., h. 172
19
implicatures both when we observe the maxims, and when the flout them. The reasons for
the generation of implicatures under these different circumstances are di fferent, of course
in the first type of case, an implicature is generated because of the assumption that the
speaker is following the cooperative principle (CP). Obeying the CP creates expectations
that the maxims are being adhered to as well. If so, the speaker is seen as generating as
implicatures whatever assumptions are needed in order to view the speaker as obeying
the maxims.33
“Sperber dan Wilson mengkritik PKS yang diutarakan Grice. Sperber dan
Wilson berpendapat bahwa yang terpenting dari bidal-bidal yang disampaikan
Grice adalah bidal relevansi. Bidal relevansi menjadi titik tolak dari teori
relevansi. Relevan berarti berhubungan atau berkaitan dengan hal yang sedang
dibicarakan.”34 Teori relevansi bertujuan menerangkan komunikasi secara
keseluruhan, baik yang eksplisit maupun yang implisit. Teori Grice bertujuan
menerangkan komunikasi yang dayanya dapat ditarik secara eksplisit. 35 Relevance
33
Mira Ariel, Reaserch Surveys in Linguistics; Difining Pragmatics, (New York: Cambridge
University Press, 2010), h. 121-122
34
Ibid., h. 91
35
Ibid., h. 95
20
36
Andrew Radford, dkk., op. cit., h. 399
37
Dan Sperber dan Deirdre Wilson (penerjemah: Suwarna, dkk.), op. cit., h. 283-284
38
Charles F. Meyer, Introducing English Linguistics, (New York: Cambridge University Press,
2009), h. 61
21
The principle of Relevance requires that the speaker balances informativeness (or rather,
contextual effects) on the one hand, and processing cost on the other. The ideal situation would be
to produce maximal cognitive effects for a minimal processing cost. However, there is an
asymmetry between the requirements of processing cost and contextual effects. 39
Sperber dan Wilson menyatakan bahwa dari prinsip relevansi itu dapat
dikatakan bahwa surplus informasi yang diberikan dalam jawaban tak langsung
tentu dalam mencapai relevansi lain tertentunya sendiri. 40 Contohnya,
39
Mira Ariel, op. cit., h. 139
40
Louise Cummings (Eti Setiawati, dkk.), Pragmatik, Sebuah Perspektif Multidisiplin
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 30
41
Ibid
22
Konteks: dua orang teman sedang membicarakan film yang mereka sukai
Penutur A: “Saya suka film perang, kamu?”
Petutur B: “Drama musikal akan lebih menyenangkan.”
Sperber and Wilson‟s Relevance Theory argues for a single Principle of Relevance to
replace all of Grice‟s maxims. This principle operates to ensure that speakers‟s utterances an
Optimally Relevances namely, that they provide an adequate number of contextual effects for the
most minimal processing effort.42
42
Mira Ariel, op. cit., h. 143
23
prinsip-prinsip Grice. Prinsip relevansi ini untuk mengetahui apakah tuturan yang
dilontarkan memiliki relevansi yang optimal yaitu efek kontekstual sepadan
dengan usaha yang dibutuhkan dalam proses berkomunikasi.
(Ide sentral Teori Relevansi adalah bahwa ucapan relevan dengan pendengar
ketika pendengar dapat memperoleh efek kognitif positif dari ucapan, itu
merupakan beberapa informasi yang berguna. Ada dua aspek. Pertama, penafsiran
yang paling berkaitan dengan tuturan harus didahului dengan kesimpulan bahwa
pendengar tidak akan bisa menafsirkan kesimpulan. Kedua, kesimpulan ini harus
dapat diakses oleh pendengar dalam arti bahwa harus memungkinkan untuk
menarik kesimpulan mereka dalam waktu singkat dengan relatif sedikit usaha.
Jika proses inferensial memerlukan terlalu banyak usaha, maka kesimpulan tidak
dapat ditarik). Berdasarkan kutipan tersebut peneliti menyimpulkan bahwa
pendengar akan memperoleh efek positif dari sebuah ujaran apabila ujaran
tersebut relevan dengan konteks yang melatarbelakanginya. Ada dua aspek
positif, pertama yaitu penutur harus menyimpulkan terlebih dahulu bahwa
pendengar tidak mampu menafsirkan kesimpulan. Kedua, kesimpulan harus dapat
diakses oleh pendengar, menarik kesimpulan dalam waktu yang singkat dan
sedikit usaha.
43
Ibid., h. 13
44
Andrew Radford, dkk., op. cit., h. 399
24
(Informasi yang relevan, yang ditekankan Sperber dan Wilson, tidak harus
melibatkan nilai proses paling tinggi dalam penyampaian suatu maksud. Tingkat
maksimal kerelevansian berarti bahwa pembicara dapat menyampaikan pesan
yang paling informatif (memungkinkan jumlah maksimal dari efek kontekstual),
tapi memaksakan pada penerima hanya proses usaha yang relatif rendah. Hal lain
dianggap sama, penggalian implikasi yang lebih kontekstual datang dengan nilai
proses yang lebih penting dalam penyampaian suatu maksud: pertama, pembicara
harus mengatakan lebih, memaksakan pada penerima proses lebih interpretatif,
dan kedua petutur mungkin harus kurang mengakses dan konteks kurang dapat
diakses, dalam mendorong semakin banyak implikasi kontekstual. Hal ini bukan
merupakan mekanisme yang wajar untuk komunikasi sehari-hari, pendapat
Sperber dan Wilson). Jadi, untuk menyampaikan suatu maksud tidak harus
melibatkan nilai proses yang tinggi untuk menyimpulkannya. Tuturan akan
memiliki relevansi yang maksimal apabila memiliki nilai kontekstual yang
maksimal dan meminimalkan usaha pendengar dalam menyimpulkan tuturan atau
pesan yang dimaksud. Penafsiran informasi yang lebih kontekstual ada dua cara,
yang pertama yaitu penutur harus menyampaikan informasi yang lebih. Kedua,
penutur tidak memberikan informasi yang lebih dan tidak sesuai dengan konteks,
dalam mendorong implikasi kontekstual.
(Informasi yang relevan harus baru. Apa yang penting, bagaimanapun, bahwa
memodifikasi anggapan dilakukan oleh sialamat. Ini berarti bahwa informasi yang
relevan harus berinteraksi dengan anggapan yang sudah tersedia ke sialamat.
Memang, cara ketiga, dan yang paling umum di mana ucapan mencapai Relevansi
45
Mira Ariel, op. cit., h. 138
46
Mira Ariel, op. cit., h. 137
25
2. ciri-ciri implikatur
Ciri-ciri implikatur ada lima yaitu dapat terbatalkan, tak terlekatkan dari
apa yang sedang dikatakan, bukan bagian dari makna ungkapannya, tidak
47
dibawakan oleh apa yang dikatakannya, dan tak terbatas.
47
Hindun, Pragmatik untuk Perguruan Tinggi, (Depok: Nufa Citra Mandiri, 2012), h. 46-47
26
48
Mira Ariel, op. cit., h. 124-125
27
49
Dan Sperber dan DeirdreWilson (penerjemah: Suwarna, dkk.), op. cit., h. 286
28
Tindak tutur tidak langsung adalah tindak tutur yang situasi atau
pertuturannya diutarakan dengan modus kalimat yang tidak bersesuaian.
Misalnya maksud memerintah diutarakan dengan kalimat tanya, dan
50
sebagainya.
50
I Dewa Putu Wijana dan Muhammad Rohmadi, op. cit., h. 126-127
51
Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Pragmatik, (Bandung: Angkasa, 2009), h. 154-155
29
3. Macam-macam Implikatur
Berdasarkan contoh tersebut, contoh pada nomor satu (1) mengharuskan lawan
bicara (A) memiliki pengetahuan yang khusus. Jawaban yang diberikan oleh B
mengisyaratkan bahwa dia tidak mengundang Ahmad, hanya mengundang Ali.
Pada contoh nomor dua (2) setiap orang yang mendengar atau membaca contoh
tersebut, mereka akan langsung mengetahui kalau si penutur menyebut “seorang”
secara langsung menandakan anak itu bukanlah anaknya. tidak memerlukan latar
belakang pengetahuan khusus untuk itu.
52
Asim Gunarwan, op. cit., h. 88-89
30
Dalam kasus contoh, tidak ada latar belakang pengetahuan khusus dan
konteks tuturan yang diminta untuk membuat kesimpulan yang diperlukan.
Sering kali percakapan terjadi dalam konteks yang sangat khusus dimana
kita mengasumsikan informasi yang kita ketahui secara lokal. Inferensi-inferensi
yang sedemikian dipersyaratkan untuk menentukan maksud yang disampaikan
menghasilkan implikatur percakapan khusus. Sebagai ilustrasi, dimana jawaban
Tom tidak tampak pada awalnya untuk mengikuti relevansi . (Sebuah jawaban
relevan yang sederhana adalah „YA‟ atau „TIDAK‟).
Rick : Hey, coming to the wild party tonight? (Hei, apakah kau akan
menghadiri pasta yang meriah nanti malam?)
Tom : My parents are visiting. (orang tuaku akan mengunjungiku)
bahwa hal yang dibicarakan oleh partisipan harus berkait. 54 Jadi, implikatur
konvensional berdasarkan arti dari kata-kata yang dituturkan dan sesuai dengan
aturan konvensionalnya. Implikatur percakapan harus memiliki keterkaitan dalam
tuturan walaupun tidak mentaati keseluruhan dari aturan konvensional.
Sacalar implicatures are so-called because linguistic features are arranged along a scale
according to their information content. The affirmation of one feature on the scale (in the
example above, number eight)implicates that all the informatively stronger features on
scale (e.g. nine, ten, eleven, etc.) do not hold. 56
54
Abdul Rani, dkk., op. cit., h. 171
55
Mira Ariel, op. cit., h. 127-128
56
Louise Cummings, Clinical Pragmatics, (New York: Cambridge University Press, 2009), h. 15-
16
32
Disebut Implikatur Sacalar karena ciri-ciri linguistik yang diatur sepanjang skala
sesuai dengan isi informasi mereka. Penegasan dari satu segi pada skala (dalam
contoh di atas, nomor delapan) mengimplikasikan bahwa keseluruhan informasi
yang kuat pada skala (misalnya sembilan, sepuluh, sebelas, dll) tidak terbatas).
Dapat disimpulkan bahwa selain implikatur skalar atau implikatur skala
merupakan bagian dari implikatur percakapan. Implikatur skala menyampaikan
informasinya dengan skala seperti pada contoh tersebut. Yang ditegaskan dalam
tuturan adalah pada skalanya.
Menurut Dan Sperber dan Deirdre, implikatur ada dua jenis yaitu:
57
Abdul Rani, dkk. op. cit., h. 178
33
Contoh dari implikatur yang disampaikan oleh Sperber dan Wilson yaitu
sebagai berikut:
Jawaban Risa bukanlah jawaban langsung dari pertanyaan Peter. Akan tetapi,
Peter melalui pengetahuannya dapat menyimpulkan bahwa Lamborghini adalah
mobil mewah. Pemahaman Peter inilah yang disebut implicated premises. Peter
melanjutkan proses berpikirnya, mengapa jawaban Risa seperti itu dan
menggabungkan dengan pengetahuannya bahwa Lamborghini adalah mobil
mewah. Proses ini melahirkan kesimpulan bahwa Risa tidak mau mengendarai
Lamborghini, yang disebut sebagai implicated conclusion.
Agar pesan yang dinyatakan dapat sampai dengan baik pada peserta tutur,
maka perlu mempertimbangkan prinsip kejelasan, prinsip kepadatan, dan prinsip
kelangsungan. Prinsp-prinsip tersebut secara lengkap dituangkan kedalam prinsip
kerjasama oleh Grice (1975).59 Prinsip kerjasama menyatakan bahwa penutur atau
petutur harus memberikan kontribusi percakapan seperti apa yang diinginkan,
58
Dan Sperber dan DeirdreWilson (penerjemah: Suwarna, dkk.), op. cit., h. 285
59
Kunjana Rahardi, Sosiopragmatik: Kajian Imperatif dalam Wadah Konteks Sosiokultural dan
Konteks Situasional, (Jakarta: Erlangga, 2009) h. 23
34
pada tahap dimana kontribusi itu diminta, dan sesuai dengan tujuan dan arah yang
sudah diterima dari pembicaraan yang dilakukan.60 Jadi, tindak tutur haruslah
jelas, padat, dan langsung agar bisa dimengerti oleh petutur atau lawan berbicara.
Kepadatan, kejelasan, dan kelangsungan dalam tuturan dituangkan oleh Grice
dalam prinsip kerjasama.
Maksim kuantitas
1) Saya mengajar bahasa Indonesia dua kali seminggu pada hari senin
dan kamis, mulai dari jam 10 sampai 12.30 di kampus Andalas. Si
saya memberikan informasi yang lengkap tentang jadwal mengajar
mata kuliah, hari, jam, dan tempat.
2) I don‟t eat pork (Saya tidak makan babi). Si saya memberikan
informasi yang cukup jelas tetapi tidak berlebihan.
Maksim kualitas
60
Elizabeth Black (penerjemah: Ardianto, dkk.), Stilistika Pragmatis, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2011), h. 50
61
Diemroh Ihsan, op. cit., h. 110
62
Elizabeth Black (penerjemah: Ardianto, dkk.), loc. cit.
35
Tanggal 22 Desember jangan lupa membuat kejutan untuk ibu kita karena
hari itu adalah hari ibu.
Suatu asumsi adalah relevan dalam suatu konteks jika dan hanya jika ia
memiliki dampak kontekstual dalam konteks tersebut. Definisi menganggap
intuisi bahwa agar relevan dalam suatu konteks, suatu asumsi harus berhubungan
dengan konteks itu.64 Jadi, tuturan dikatakan relevan apabila memiliki dampak
kontekstual dalam konteks tuturan. Asumsi yang dituturkan haruslah berhubungan
dengan konteks yang melatarbelakangi tuturan.
Lets try to clarify this by examining one of Grice one of Grice‟s examples:
The Gricean reasoning goes roughly as follows: Assummes that B is relation and
cooperative, and in particular is following the maxim of relation (be relevant); but B‟s
response would be violating this maxim. (Mari kita mencoba untuk menjelaskan hal ini
dengan melihat salah satu dari contoh Grice:
“Grice argues that the co-operative principle is stated in the following way; mak e your
contribution to the conversation such as is required, at the stage at which it occurs, by the
accepted purpose or direction of the talk exchange in which you are engaged. For supporting this
principle are four maxims, often called the „Gricean Maxims‟”.67
66
Nicholas Asher dan Alex Lascarides, Logic Of Conversation, (New York: Cambridge University
Press, 2003), h. 29
67
George Yule, The Study of Language, (New York: Cambridge University press, 2006), h. 129
37
dimana itu terjadi, dengan tujuan diterima atau arah pertukaran percakapan
dimana Anda terlibat . Untuk mendukung prinsip ini ada empat maksim, sering
disebut 'Gricean Maxims'”). Prinsip kerjasama Grice yaitu memberikan informasi
sesuai dengan yang dibutuhkan pada saat dimana percakapan itu berlangsung.
Grice memiliki empat maksim sebagai pendukung prinsip kerjasamanya yang
disebut dengan Grecian Maxims. Dari contoh yang diberikan oleh Crice pada
contoh nomor satu (1), jawaban yang diberikan oleh B melanggar prinsip
kerjasama Grice dan hanya mengikuti salah satu dari maksim pendukung yaitu
maksim relasi.
“Grice notes that a maxim such a Be polite is also normally observed, nor that equal
weight should be attached to each of the stated maxims. The maxim of manner, for example, does
obviously apply to primarily interactional conversation. We might obse rve that the instruction Be
relevant seems to cover all the other instructions.”68
(Grice mencatat bahwa kaidah seperti Maksim kesopanan biasanya juga diamati,
atau bahwa bobot yang sama harus terkait untuk masing-masing maksim.
Maksim cara, misalnya, tidak berlaku jelas untuk iteraksi percakapan. Kita bisa
mengamati bahwa instruksi jadi relevan tampaknya mencakup semua instruksi
lain). Jadi, tidak hanya maksim kualitas, maksim kuantitas, maksim relasi, dan
maksim cara yang diamati, akan tetapi maksim kesopanan juga diamati. Semua
maksim saling berkaitan dan cakupan semua intruksi membuat intruksi
percakapan menjadi relevan.
Different cultures differ widely in what they consider to be direct speech, or the degree to
which they insist upon indirect speech and the social settings in which each is used. Grice maxims
apply only to direct speech which is intended to communicate facts.69
(Perbedaan budaya dan perbedaan yang luas terhadap apa yang mereka anggap
sebagai tuturan langsung, atau sejauh mana mereka bersikeras atas ucapan tidak
langsung dan pengaturan sosial dimana digunakan. Maksim Grice hanya berlaku
untuk tuturan langsung yang dimaksudkan untuk mengkomunikasikan fakta-
fakta). Grice‟s maxims seem to be accurate descriptions of what is required in
scholarly writing, and even there they are often flouted, not always to produce
68
Gillian Brown dan George Yule, loc. cit.
69
Elaine Chaika, Linguistics, Pragmatics, and Pshycotherapy, (London: Whurr Publishers, 2000),
h. 36
38
Grice broke the general principle into four conversational maxims to explain what
rationality and cooperativeness are: 1) The maxim of Quality: make your contribution
one that is true rather than false; 2) The maxim of Quality: provide the information that
is required for the purposes of the conversation, but no more; dan 3) The maxim of
Relevance: make contributions relevant The maxim of Manner: be clear and orderly in
your talk.72
Because the Gricean maxims are not rigid rules, like the rules of law, but
are rather flexible assumptions about how speakers behave, they can be broken,
or flouted, to implicate further meanings.73 (Karena maksim Gricean bukan aturan
yang kaku, seperti aturan hukum, tetapi pendapat yang agak fleksibel mengenai
bagaimana pembicara berperilaku, mereka dapat melanggar, atau dilanggar, untuk
70
Ibid
71
Ralph W. Fasold, An Introduction to Language and Linguistics, (New York: Cambridge
University Press, 2006), h. 160
72
Ibid
73
Ibid, h. 161
39
E. Novel
1. Pengertian Novel
Novel adalah jenis prosa yang mengandung unsur tokoh, alur, latar rekaan,
yang menggelarkan kehidupan manusia atas dasar sudut pandang pengarang dan
mengandung nilai hidup, diolah dengan teknik lisan dan ragaan yang menjadi
dasar konvensi penulisan.74 Novel dalam bahasa Inggris merupakan fiksi naratif
yang utama. Clara Reeve menyatakan dalam Wellek, novel adalah gambaran dari
kehidupan dan prilaku yang nyata, dari zaman pada saaat novel itu ditulis dan
bersifat realistis.75 Jadi, novel mengandung unsur kehidupan manusia berdasarkan
sudut pandang penulis yang berdasarkan kepada kenyataan pada masanya.
74
A Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra; Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984), h. 136
75
Rene Wellek dan Austin Warren (penerjemah: Melani Budianta), Teori Kesustraan, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1993), h. 282
76
E. Kosasih, Dasar-dasar Keterampilan Bersastra, (Bandung: Y rama Widya, 2012), h. 60
77
Rene Wellek dan Austin Warren (penerjemah: Melani Budianta), op. cit., h. 276
40
2. Jenis Novel
Jenis novel menurut waluyo dalam Adji, novel dibagi menjadi dua yaitu
novel serius dan novel populer. Novel serius adalah novel yang dipandang bernilai
sastra tinggi sedangkan novel populer adalah novel yang nilai sastranya rendah
karena berpotensi sebagi hiburan semata. Novel populer cenderung mengikuti
kemauan pasar.78 Menurut Sumardjo dalam Adji, novel populer memiliki daya
tarik lika-liku jalan ceritanya yang penuh suspense. Selalu menyuguhkan cerita
yang mengasyikkan, penuh aksi, dan penuh warna. 79 Berdasarkan pendapat dua
ahli tersebut, novel terbagi dalam dua jenis yaitu novel serius dan novel populer.
Novel serius memiliki karya sastra yang tinggi sedangkan novel populer hanya
sebagai iburan akan tetapi memiliki daya tarik tersendiri bagi penimat novel.
Adapun ciri-ciri novel populer dan novel serius menurut Yudiono dalam
Adjib yaitu sebagai berikut:
78
Muhammad Adji, dkk., Novel Popular Indonesia; Karya , Pengarang, dan Realitas, (Bandung:
Sastra UNPAD Press) h, 22
79
Ibid, h. 21
41
Jadi, novel serius lebih kepada fungsi sosial dan memiliki nilai sastra yang
tinggi. Novel serius diperhatikan oleh para kritikus sastra banyak mengandung
hal-hal yang baru. Novel populer hanya mengikuti kemauan pembaca dan
berfungsi untuk hiburan saja. Kebanyakan topik yang digunakan sama dengan
novel yang lainnya. Novel populer memiliki tingkat sastra yang rendah dan tidak
dikaji oleh pengamat sastra.
80
Ibid, h. 23
42
Kurniawati pada tahun 2014, Pendidikan Bahasa Jerman dan Sastra Jerman,
Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Surabaya. Penelitian ini
menggunakan teori Grice. Hasil analisis implikatur percakapan ditemukan
sebanyak dua buah yang menyalahi prinsip kerjasama dalam pernyataan
persetujuan pada tokoh Franziska. Kedua percakapan yang berupa persetujuan ini
semuanya telah melanggar maksim kuantitas dan hanya satu percakapan yang
melanggar maksim relasi. Implikatur percakapan yang ditimbulkan oleh
pelanggaran prinsip kerjasama dalam menyatakan penolakan pada tokoh
Franziska adalah sebanyak empat buah, dan keempat percakapan berupa
penolakan ini semua telah melanggar maksim kuantitas, tiga percakapan
melanggar maksim relasi, dan dua percakapan melanggar maksim cara.
A. Hasil Penelitian
1. Biografi Pengarang
Hanum Salsabiela Rais, adalah putri Amien Rais, lahir dan menempuh
pendidikan dasar Muhammadiyah di Yogyakarta hingga mendapat gelar Dokter
Gigi dari FKG UGM. Mengawali karir menjadi jurnalis danpresenter di TRANS
TV. Hanum memulai petualangannya di Eropa selama tinggal di Austria bersama
suaminya Rangga Almahendra dan bekerja untuk proyek video podcast Executive
Academy di WU Vienna selama 2 tahun. Ia juga tercatat sebagai koresponden
detik.com bagi kawasan Eropa dan sekitarnya.Tahun 2010, Hanum menerbitkan
buku pertamanya, Menapak Jejak Amien Rais: Persembahan Seorang Putri untuk
Ayah Tercinta. Sebuah novel biografi tentang kepemimpinan, keluarga dan
mutiara hidup.
2. Sinopsis Novel 99 Cahaya di Langit Eropa
Eropa dan Islam. Mereka pernah menjadi pasangan serasi. Kini hubungan
keduanya penuh pasang surut prasangka dengan berbagai dinamikanya. Aku
merasakan ada manusia-manusia dari kedua pihak yang terus bekerja untuk
memperburuk hubungan keduanya. Pertemuanku dengan perempuan muslim di
44
45
Austria, Fatma Pasha telah mengajarkanku untuk menjadi bulir-bulir yang bekerja
sebaliknya. Menunjukkan pada Eropa bulir cinta dan luasnya kedamaian Islam.
Sebagai Turki di Austria, Ia mencoba menebus kesalahan kakek moyangnya yang
gagal meluluhkan Eropa dengan menghunus pedang dan meriam. Kini ini ia
mencoba lagi dengan cara yang lebih elegan, yaitu dengan lebarnya senyum dan
dalamnya samudra kerendahan hati. Aku dan Fatma mengatur rencana. Kami akan
mengarungi jejak-jejak Islam dari barat hingga ke timur Eropa. Dari Andalusia
Spanyol hingga ke Istanbul Turki. Dan entah mengapa perjalanan pertamaku
justru mengantarkanku ke Kota Paris, pusat ibukota peradaban Eropa.
Di Paris aku bertemu dengan seorang mualaf, Marion Latimer yang bekerja
sebagai ilmuwan di Arab World Institute Paris. Marion menunjukkan kepadaku
bahwa Eropa juga adalah pantulan cahaya kebesaran Islam. Eropa menyimpan
harta karun sejarah Islam yang luar biasa berharganya. Marion membukakan mata
hatiku. Membuatku jatuh cinta lagi dengan agamaku, Islam. Islam sebagai sumber
pengetahuan yang penuh damai dan kasih.
mengantarkanku pada titik awal pencarian makna dan tujuan hidup. Makin
mendekatkanku pada sumber kebenaran abadi yang Maha Sempurna.
B. Analisis Data
Data dalam penelitian ini berupa penggalan konteks-konteks percakapan di
dalam novel 99 Cahaya di Langit Eropa; Perjalanan Menapak Jejak Islam di
Eropa karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra. Penggalan konteks-
konteks percakapan terpilih kemudian dipenggal lagi menjadi penggalan pasangan
percakapan, selanjutnya dianalisis berdasarkan prinsip kerjasama percakapan yang
dikemukakan oleh Grice dan teori relevansi yang dinyatakan oleh Sperber dan
Wilson serta dianalisis dengan menggunakan analisis konteks cf. Syafie‟ie.
Disetiap sub judul terdapat kode halaman novel yang berisi penggalan konteks
percakapan. Misalkan (h. 34), menandakan bahwa penggalan konteks percakapan
tersebut terdapat pada halaman ke-34 dalam novel 99 Cahaya di Langit Eropa;
Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa. Berikut ini adalah deskripsi data
penggalan konteks percakapan dan analisis nya.
1) Data 1
Penasihat: ...Mmm...Panglima...apakah Panglima juga berkenan
mendengar berita lainnya? Hanya saja berita ini sedikit
kurang baik..., (diam, menunduk penuh ketakutan)
Panglima: (Mata Panglima tiba-tiba melotot. Dia seperti tak percaya
karena ini adalah detik-detik yang menentukan dan
seharusnya tidak ada berita buruk). Katakan! (dengan suara
yang berat)
Penasihat: Mereka tidak menyerang, Panglima. Tetapi anak buah kita
melihat tembakan api terus-menerus dilontarkan ke udara di
dalam benteng, (Menjawab dengan satu tarikan napas)
c) Maksim relevansi. Maksim ini terpenuhi karena data yang diberikan oleh
penasihat dengan kejadian yang melatar belakangi percakapan saling
berhubungan. Terdapat pada kutipan berkut:
48
“Ah, Milka! Ich mag Milka gern. Aber...danke, Ich faste. Saya sangat
suka coklat Milka. Tapi...terimakasih, saya sedang berpuasa”
5) Data 5
Hanum: Psst...psst, Fatma...diamlah sebentar...,
6) Data 6
Hanum: Bapak ingin belajar sejarah Islam atau musik di Wina?
Muhammad Djam’an: Wina-lah kota terakhir tempat ekspansi Islam
berhenti
(Sumber, Rais, 2012 : 44)
P1: Hanum
P2: Muhammad Djam‟an
55
b) Maksim cara. Maksim ini dilanggar karena jawaban dari P2 tidak singkat
dan tidang tertata. Jawaban yang tidak singkat dapat dilihat pada kutipan
penggalan percakapan yang sama pada pelanggaran maksim kuantitas.
Pelanggaran maksim cara karena jawaban P2 tidak tertata terlihat pada
kutipan penggalan percakapan berikut:
“Hanum: Tapi, bukankah itu menunjukkan kita begitu lemah dan
terinjak-injak?
Fatma: Suatu saat kau akan banyak belajar bagaimana bersikap di
negeri tempat kau harus menjadi minoritas. Tapi menurut
pengalamanku selama ini, aku tak harus mengumbar nafsu dan
emosiku jika ada hal yang tak berkenan di hatiku.”
2. Maksim yang terpenuhi yaitu maksim relevansi. Maksim ini terpenuhi karena
P2 memberikan jawaban yang relevan dengan konteks yang melatarbelakangi
percakapan. Terpenuhinya maksim ini dapat dilihat dari penggalan
percakapan yang ada pada teks percakapan antara P1 dan P2.
Implikatur: P2 menyetujui pernyataan P1
10) Data 10
Fatma: Hanum, kau tahu bangunan apa saja ini? (hiasan magnet di
dinding dapur yang bertuliskan Istanbul, Granada, Cordova,
Vienna, Paris, Cairo, Roma, Mecca, dan Madina)
Fatma: Hanum, ternyata kita memiliki angan-angan yang sama. Aku baru
saja ingin mengajakmu melakukan hal yang sama. magnet-
magnet itu hanya pemberian Latife dan Ezra yang sering berjalan-
jalan ke luar negeri. Sekarang aku harus mengumpulkan uang
dulu...,
(Sumber, Rais, 2012 : 97)
P1: Fatma
P2: Hanum
Berdasarkan data 10 mengetahui bahwa ada 2 orang pembicara yaitu
Hanum dan Fatma untuk mendapatkan 4 maksim dalam prinsip kerja sama Grice
digunakan alat ukur atau pisau analisis yaitu:
P1: Fatma
P2: Hanum
Topik: Jalan-jalan keliling Eropa
b) Maksim relevansi. Maksim ini terpenuhi karena jawaban P2 dan apa yang
ditunjukan P1 saling relevan. Jawaban P2 direspon baik oleh P1 karena
mereka memiliki pengetahuan yang sama mengenai konteks yang
melatarbelakangi percakapan. Terpenuhinya maksim relevansi dapat
dilihat pada kutipan penggalan percakapan berikut:
“Hanum: Aku ingin sekali berjalan-jalan keliling Eropa sepertimu,
Fatma, mengunjungi tempat-tempat bersejarah yang meninggalkan
jejak kebesaran islam. Kapan ya aku bisa.
Fatma: Hanum, ternyata kita memiliki angan-angan yang sama. Aku
baru saja ingin mengajakmu melakukan hal yang sama. magnet-magnet
itu hanya pemberian Latife dan Ezra yang sering berjalan-jalan ke luar
negeri. Sekarang aku harus mengumpulkan uang dulu...,”
63
11) Data 11
Hanum: Bagaimana jika yang pertama Turki? Istanbul? Aku penasaran
melihat seperti apa Hagia Sophia yang terkenal itu. Gereja yang
berubah menjadi masjid, kan? Sekaligus melihat kota
kelahiranmu.
Fatma: (Menggeleng) Aduh, jangan kau memintaku pulang kampung
secepat itu. Enam bulan yang lalu aku baru saja pulang dari
Istanbul. Bagaimana jika kita ke Spanyol? Ke Cordoba dan
Granada? Di sana ada bangunan yang unik. Kebalikan Hagia
Sophia. Sebuah masjid diubah menjadi Katedral Katolik.
b) Maksim cara. Maksim ini dilanggar karena jawaban P2 tidak singkat dan
tidak tertata. Pelanggaran terhadap maksim cara dapat dilihat pada
kutipan penggalan percakapan berikut:
“Hanum: Bagaimana jika yang pertama Turki? Istanbul? Aku
penasaran melihat seperti apa Hagia Sophia yang terkenal itu. Gereja
yang berubah menjadi masjid, kan? Sekaligus melihat kota
kelahiranmu.
Fatma: (Menggeleng) Aduh, jangan kau memintaku pulang kampung
secepat itu. Enam bulan yang lalu aku baru saja pulang dari Istanbul.
Bagaimana jika kita ke Spanyol? Ke Cordoba dan Granada? Di sana
ada bangunan yang unik. Kebalikan Hagia Sophia. Sebuah masjid
diubah menjadi Katedral Katolik.”
Imam Hashim: (Imam Hashim tersenyum simpul) Mari saya antar putar-
putar masjid. Apakah anda membawa kerudung? Sebetulnya tidak
apa-apa jika tidak memakai kerudung, tapi sebaiknya pakai. Akan
sangat bagus dengan busana Anda yang sudah terhormat.... Oh ya,
tentang pertanyaan Anda tadi. Mengapa harus di Sungai
Danube..., Dulu kami sempat berpikir untuk memindahkan lokasi
Islamic Center ke tempat yang lebih „pantas‟. Sekali memang
ironis, apalagi saat musim panas begini. Saya tahu, orang-orang
sering membuat lelucon. Setelah berdoa di masjid, kita semua
berbuat dosa lagi karena tak bisa menjauhkan pandangan dari
manusia-manusia yang telanjang di sana. Seolah-olah masjid ini
simbol yang tak berbunyi. Hanya formalitas. .... Itulah...itu
penerimaan orang luar seperti Anda yang melihat ke dalam.
Namun untuk saya, orang dalam yang melihat ke luar, masjid
yang berada di dekat Danube justru merupakan berkah. ....
Marilah masuk ke kantor saya. .... Inilah berkah itu,
(mengeluarkan catatan the newcomers to Islam)
(2) Rangga: orang-orang yang baru saja masuk Islam? Mualaf?
Imam Hashim: Ini adalah daftar nama orang yang masuk Islam. Di antara
mereka adalah yang tadinya senang berjemur dan menikmati
suasana panas di tepi Danube.
“Ini adalah daftar nama orang yang masuk Islam. Di antara mereka
adalah yang tadinya senang berjemur dan menikmati suasana panas di
tepi Danube.”
“Ini adalah daftar nama orang yang masuk Islam. Di antara mereka
adalah yang tadinya senang berjemur dan menikmati suasana panas di
tepi Danube.”
b) Maksim relevansi. Maksim ini terpenuhi karena percakapan P1, P2, dan
P3 yang saling relevan dengan konteks yang melatarbelakangi
percakapan, yaitu mengenai Masjid Wina di dekat Sungai Danube. P2
berusaha untuk menerangkan jawabannya secara rinci dan kronologis
kepada P1 dan P3. Terpenuhinya maksim relevansi dapat dilihat pada
konteks percakapan antara P1, P2, dan P3 di atas.
Implikatur: P2 menjelaskan secara kronologi alasan Masjid Wina masih
dipertahankan di dekat Sungai Danube.
13) Data 13
Hanum: Waalaikumsalam, Sister Marion, (menjawab telpon dari
Marion). Jadi, dimanakah Saint Michel itu?
Marion: Jangan Khawatir Sister, aku akan memandumu. Bandara Charles
de Gaulle terletak 25 km dari pusat kota Paris. Suamimu ikut
juga, kan? Kalian bisa naik kereta dari bandara ini dan nanti aku
akan menjemput kalian di stasiun pusat kota, a bientot. Sampai
nanti.
P2: Marion
Topik: Letak Saint Michel
Latar waktu: Siang hari
Latar tempat: Gardarata pesawat, Paris
Latar peristiwa: P2 tidak menjawab pertanyaan P1 sesuai dengan yang
diinginkan secara semantis
Saluran: Bahasa lisan dan akrab
Kode: Bahasa Indonesia campur bahasa Inggris dan bahasa Prancis
Tujuan: P1 menanyakan letak Saint Michel
Bertumpu pada analisa di atas, diperoleh beberapa maksim yang dilanggar
dan maksim yang terpenuhi, yaitu sebagai berikut:
1. Maksim yang dilanggar yaitu sebagai berikut:
a) Maksim kuantitas. Maksim kuantitas dilanggar karena P2 memberikan
informasi melebihi dari yang dibutuhkan P1. Pelanggaran terhadap
maksim ini dapat dilihat pada kutipan penggalan percakapan berikut:
“Jangan Khawatir Sister, aku akan memandumu. Bandara Charles de
Gaulle terletak 25 km dari pusat kota Paris. Suamimu ikut juga, kan?
Kalian bisa naik kereta dari bandara ini dan nanti aku akan menjemput
kalian di stasiun pusat kota, a bientot. Sampai nanti.”
b) Maksim cara. Maksim ini dilanggar karena jawaban dari P2 tidak tertata
secara semantis dengan apa yang dipertanyakan oleh P1. Pelanggaran
terhadap maksim cara dapat dilihat pada kutipan berikut:
“Hanum: Waalaikumsalam, Sister Marion, (menjawab telpon dari
Marion). Jadi, dimanakah Saint Michel itu?
Marion: Jangan Khawatir Sister, aku akan memandumu. Bandara
Charles de Gaulle terletak 25 km dari pusat kota Paris. Suamimu ikut
juga, kan? Kalian bisa naik kereta dari bandara ini dan nanti aku akan
menjemput kalian di stasiun pusat kota, a bientot. Sampai nanti.”
Kalian bisa naik kereta dari bandara ini dan nanti aku akan menjemput
kalian di stasiun pusat kota, a bientot. Sampai nanti.”
Marion: Merci. Buatku rukun Islam itu ada 6. Yang keenam adalah
menjaga kehormatanku dengan jilbab
Hanum: Aku ingin tahu, apa yang membuatmu tertarik pada Islam.
Mungkin aku bisa belajar banyak darimu.
ditandai dengan cara menyampaikan pesan yang terbata-bata. Dapat terlihat pada
kutipan percakapan sebagai berikut, “...mmm....Panglima....Apakah Panglima
juga berkenan mendengarkan berit yang lainnya?” dengan kalimat
““...mmm....Panglima....” menunjukan bahwa P1 merasa ketakutan untuk
menyampaikan berita buruk tersebut. P1 dengan cara menunduk dan terbatah-
batah dalam menyampaikan pesan dapat menunjukan bahasa non-verbal melalui
gerak-gerik tubuhnya bahwa dia sedang ketakutan. Ekspresi P2 dengan mata yang
melotot setelah mendengarkan berita tersebut menunjukan betapa terkejutnya dia
terhadap berita yang tidak diharapkan itu.
Cara lain dalam meganalisis implikatur yaitu dengan adanya pelanggaran
terhadap maksim pada prinsip kerjasama yang disampaikan oleh Grice. Maksim-
maksim tersebut adalah maksim kuantitas, kualitas, relevansi, dan maksim cara.
Untuk mencapai komunikasi yang baik, menurut Grice penutur dan petutur harus
mentaati prinsip kerjasama dalam percakapan. Akan tetapi, menurut Sperber dan
Wilson suatu percakapan tidak harus mentaati semua maksim dalam prinsip
kerjasama Grice, menurut mereka yang terpenting adanya relevansi antara yang
diujarkan dengan konteks yang melatarbelakangi percakapan.
Berdasarkan analisis data 1, teks percakapan antara P1 dan P2 melanggar
maksim cara. Adapun penjelasannya yaitu sebagai berikut: Penyampaian yang
dilakukan P1 dengan cara terbata-bata dan tidak disampaikan secara ringkas. P1
mempertanyakan kesediaan P2 untuk mendengarkan berita buruk yang dia bawa.
Berdasarkan maksim cara, P1 seharusnya menyampaikan pesan tersebut secara
langsung tanpa mempertanyakan kesediaan P2. Selain itu, jawaban dari P2
mengandung ambiguitas, hal tersebut dapat terlihat pada kalimat “Katakan”
disertai ekspresi wajah dengan mata melotot. Mata melotot menandakan bahwa
P2 terkejut dan tidak menginginkan berita buruk tersebut, tapi karena berita buruk
tersebut sangat dibutuhkan maka P2 memerintahkan P1 untuk menyampaikannya.
Pelanggaran terhadap maksim-maksim Grice akan mengakibatkan implikatur.
implikatur pada teks percakapan data 1 yaitu P2 melototkan matanya karena
terkejut dan tidak mengharapkan ada berita buruk.
Berdasarkan analisis data 1. Percakapan antara P1 dan P2 mentaati
maksim berikut:
74
dan konteks; 4) dan maksim cara berkaitan dengan cara dan informasi yang
disampaikan bisa di mengerti atau tidak. Pelanggaran terhadap maksim-maksim
Grice berdasarkan pada analisis data 3 yaitu sebagai berikut:
1. Maksim kuantitas. Pelanggaran terhadap maksim ini terjadi pada saat
jawaban P2 atas tawaran P1 untuk menerima cokelat pemberiannya. Hal
tersebut dapat terlihat pada kutipan yang terdapat dalam analisis data 3. P2
melanggar maksim kuantitas karena tidak memberikan informasi yang
dibutuhkan oleh P1. P2 tidak menyebutkan namanya, akan tetapi
memberikan pernyataan sukanya terhadap coklat yang ditawarkan P1. P2
tidak menerima coklat itu meskipun dia suka.
2. Maksim cara. Pelanggaran terjadi karena P2 tidak menjawab pertanyaan
P1secara tertata dan singkat. P2 tidak menjawab siapa namanya dan
menjelaskan kenapa dia menolak pemberian P1. Alasan penolakan itu
tidak dipertanyakan oleh P1, akan tetapi P2 menjelaskan alasannya
sehingga P1 tidak merasa tersinggung.
Maksim yang terpenuhi dalam percakapan antara P1 dan P2 berdasarkan
analisis data 3, yaitu sebagai berikut:
1. Maksim kualitas. Maksim ini terpenuhi karena jawaban P2 tidak bisa
mernerima pemberian dari P1 dikarenakan dia memang sedang berpuasa.
Ada alasan yang dapat di pertanggungjawabkan kebenarannya dikarenakan
yang menyampaikan alasan tersebut adalah orang yang mengalaminya.
2. Maksim relevansi. Maksim relevansi berhubungan dengan teori relevansi
yang dinyatakan oleh Sperber dan wilson. Sperber dan Wilson
menyanggah prinsip kerjasama Grice. Menurut mereka dengan adanya
relevansi, komunikasi akan berjalan dengan lancar. Teori relevansi ditepati
karena P1 dan P2 memiliki pengetahuan yang sama mengenai puasa pada
hari senin-kamis. Selain itu, P1 dan P2 sama-sama mengetahui coklat
Milka sehingga percakapan mereka menjadi relevan.
4. Data 4
Implikatur sering kali dikaitkan dengan Grice, yang mengasumsikan di
dalam komunikasi hendaklah bekerjasama dengan petutur agar komunikasi
efisien dan efektif. Partisipan komunikasi harus mematuhi prinsip kerjasama yang
78
1. Maksim kualitas. Maksim ini dalam prinsip kerjasama Grice ditaati apabila
mengatakan sesuatu yang benar dan dapat dibuktikan kebenarannya.
Berkaitan dengan hal tersebut, tanggapan P2 bahwa mereka sudah terlanjur
berlari ke gereja dan di dalam banyak patung reilief yang artistik, benar
secara faktual dan dapat dibuktikan. Dengan demikian maksim kualitas
dapat ditaati.
2. Maksim relevansi. Selain dari teori Grice mengenai prinsip kerjasama,
teori Sperber dan Wilson terpenuhi dalam penggalan percakapan yang
dilakukan oleh P1 dan P2. Sperber dan Wilson berpendapat bahwa yang
terpenting dari prinsip kerjasama adalah adanya relevansi. Maksim
relevansi atau relevan secara semantis merujuk kepada komunikasi yang
saling berhubungan atau berkaitan dengan hal yang sedang dibicarakan.
Atas dasar konsep tersebut, pertanyaan yang dilontarkan P2 kenapa harus
pindah dan alasannya kenapa harus melanjutkan untuk menghangatkan diri
di gereja mentaati maksim relevansi. P1 dan P2 memiliki pengetahuan
yang sama mengenai wanita berjilbab tidak seharusnya di gereja. Akan
tetapi karena mereka memiliki alasan untuk menghangatkan diri, P2 tidak
merasa keberatan berada di gereja. P2 sudah pernah berkunjung ke gereja
tersebut sebelumnya.
5. Data 5
Implikatur terjadi apabila ada pelanggaran terhadap beberapa maksim dari
prinsip kerjasama Grice. Ia mengatakan dalam percakapan seorang pembicara
mempunyai maksud tertentu ketika mengujarkan sesuatu. Maksud yang ingin
disampaikan haruslah memiliki kesesuaian dengan konteks dalam proses ujaran.
Implikatur pada konteks percakapan antara P1 dan P2 berdasarkan analisis data 5
yaitu P1 tidak keberatan membicarakan mengenai gereja. P1 menjelaskan alasan
80
yang lebih dengan tujuan P1 agar lebih memahami apa yang dia
sampaikan.
2. Maksim cara. Maksim cara dilanggar karena P2 memberikan informasi
yang tidak singkat. Pelanggaran tersebut terjadi pada bagian kedua dalam
penggalan percakapan pada analisis data 7. Jawaban yang diberikan P1
tidak tertata karena tidak mendahulukan informasi yang diinginkan oleh
P2. Dia menjelaskan pengalamannya dalam menyikapi orang-orang yang
menjelek-jelekkan Islam atau dirinya. P2 tidak mejawab secara langsung
pertanyaan P1.
Berdasarkan analisis data 7, maksim-maksim yang terpenuhi dalam
percakapan P1 dan P2 yaitu sebagai berikut:
1. Maksim Kualitas. Maksim ini terpenuhi karena P2 memberikan jawaban
berdasarkan kepada pengalamannya selama dia berada di negara minoritas
Islam. P2 tidak memberikan jawaban yang tidak diyakini kebenarannya.
P2 memberikan contoh bagaimana cara menjadi agen Islam yang baik
dengan tidak mengumbar nafsu dan amarah.
2. Maksim relevansi. Pendapat Sperber dan Wilson mengenai teori relevansi
secara langsung juga terpenuhi dalam penggalan percakapan pada analisis
data 7. Maksim relevansi menuntut adanya hubungan yang relevan antara
ujaran dan konteks dalam percakapan. Teori relevansi dan maksim
relevansi terpenuhi karena mereka memiliki pengetahuan yang sama yaitu
bersikap kepada orang yang mencemoohkan Islam sehingga terjadilah
komunikasi yang baik. Jawaban-jawaban yang diberikan oleh P2 meskipun
melanggar maksim kuantitas, tapi hal itu memberikan penguatan kepada
maksim relevansi dan pemahaman P1 mengenai masalah yang
dipertanyakan.
8. Data 8
Grice berpendapat bahwa maksim-maksim dalam prinsip kerjasama dapat
menjelaskan kesenjangan antara makna semantik linguistik dan makna kelompok,
karena mereka berfungsi sebagai dasar untuk menghasilkan makna implisit,
terutama implikatur percakapan. Implikatur muncul disaat terjadinya pelanggaran
terhadap maksim-maksim dalam prinsip kerjasama. Sementara Sperber dan
85
Berdasarkan teori relevansi, Konteks yang terjadi pada percakapan kali ini
yaitu P1 bertanya kepada P2 mengenai magnet icon kota-kota di Eropa yang
tertempel di kulkasnya. Implikatur percakapan antara P1 dan P2 yaitu P2
mengetahui icon kota-kota Eropa pada magnet kulkas P1 dengan cara menyatakan
keinginannya untuk menjadi agen Islam seperti P1. Dapat kita lihat pada kutipan
berikut, “Aku ingin sekali berjalan-jalan keliling Eropa sepertimu, Fatma,
mengunjungi tempat-tempat bersejarah yang meninggalkan jejak kebesaran
islam. Kapan ya aku bisa.”
singkat dari apa yang diinginkan oleh P3. P2 menjelaskan siapa yang
menjadi mualaf dan menunjukan bahwa itu merupakan berkah masjid di
dekat Sungai Danube.
Penggalan percakapan pada analisis data 12 memenuhi beberapa maksim
dari prinsip kerjasama Grice, yaitu sebagai berikut:
1. Maksim kualitas. Maksim ini ditaati karena jawaban dari P2 baik di
percakapan pertama dengan P1 mapun percakapan kedua dengan P3,
semuanya berdasarkan pada pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki
oleh P2. Jadi, kebenaran dari informasi yang diberikan oleh P2 dapat
dibuktikan.
2. Maksim relevansi. Maksim ini terpenuhi karena mereka berbica
berdasarkan pada konteks yang melatarbelakangi percakapan yaitu
mengenai Masjid Wina yang di bangun di dekat Sungai Danube dan
berkah apa yang di maksud oleh P2.
13. Data 13
Konteks percakapan secara fisik pada penggalan percakapan analisis data
13 berada di gardarata pesawat di bandara Charles de Gaulle. P1 dan suaminya
baru samapai di Paris dan mendapatkan telepon dari P2. P2 adalah seorang mualaf
yang diperkenalkan oleh Imam Hashim kepada P1. P2 akan menjadi teman dan
guide selama berada di Paris. Konteks yang melatarbelakangi pembicaraan sangat
mempengaruhi bagaimana penutur atau petutur menangkap informasi apa yang
disampaikan oleh masing-masing.
Penggalan percakapan pada analisis data 13 tidak terlepas dari prinsip
kerjasama Grice dan teori relevansi yang disampaikan oleh Sperber dan Wilson.
Tidak setiap maksim dalam prinsip kerjasama Grice harus dipatuhi dalam sebuah
percakapan karena ujaran bukanlah sesuatu yang kaku dan harus memiliki arti
secara konvensional. Ada informasi yang tersembunyi yang ingin disampaikan
oleh penutur kepada petutur dan hal itu harus dapat di tangkap oleh petutur.
Infomasi yang tersembunyi tersebut dinamakan dengan implikatur dalam
percakapan. Percakapan antara P1 dan P2 memiliki implikatur bahwa P2
mejelaskan cara ke Saint Michel secara rinci.
93
14. Data 14
Grice mengatakan dalam percakapan seorang pembicara mempunyai
maksud tertentu ketika mengujarkan sesuatu. Maksud yang terkandung di dalam
ujaran itu disebut implikatur. Implikatur adalah penyimpulan informasi atau pesan
yang disampaikan di luar dari apa yang dikatakan dalam arti sebenarnya dan
melanggar maksim dalam prinsip kerjasama. Maksim tersebut adalah maksim
kuantitas, kualitas, relevansi, dan maksim cara. Berdasarkan analisis data 14,
implikatur percakapan antara P1 dan P2 yaitu P1 merespon pujian P2 dan
menjelaskan alasannya dengan rinci. P1 ingin mengatakan bahwa menjaga
kehormatan dengan jilbab untuk perempuan sama wajibnya dengan menjalankan
rukun Islam. Implikatur tersebut terdapat pada kutipan, “Merci. Buatku rukun
Islam itu ada 6. Yang keenam adalah menjaga kehormatanku dengan jilbab”.
Penggalan percakapan pada analisis data 14 melanggar beberapa maksim
dalam prinsip kerjasama, yaitu sebagai berikut:
PENUTUP
A. Simpulan
Populasi dalam penelitian ini yaitu percakapan atau dialog yang memiliki
implikatur. Adapun sampel penelitian terdiri atas lima belas (15) penggalan
percakapan yang memiliki implikatur Percakapan pada novel 99 Cahaya di Langit
Eropa; Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa Karya Hanum Salsabiela Rais
dan Rangga Almahendra yang telah dianalisis. Implikatur yang terdapat pada
novel tersebut merupakan implikasi dari dilanggarnya beberapa maksim
percakapan oleh penutur dan petutur. Data 1 melanggar maksim cara, data 2 –
data 15 melanggar maksim kuantitas dan maksim cara. Data 1 memenuhi maksim
kuantitas, kualitas, dan maksim relevansi, data 2 – data 15 memenuhi maksim
kualitas dan relevansi. Maksim kuantitas mengatur agar penutur memberikan
informasi sesuai dengan yang dibutuhkan dan seinformatif mungkin. Maksim
kualitas mengatur informasi yang disampaikan oleh penutur itu secara fakta dan
masuk akal. Maksim cara mengatur agar pembicara berbicara jelas, tidak
menggunakan ungkapan yang kabur, menghindari ambiguitas.
Sperber dan Wilson berpendapat bahwa yang terpenting dari bidal-bidal
yang disampaikan Grice adalah bidal hubungan dan relevansi. Bidal relevansi
menjadi titik tolak dari teori relevansi. Relevan berarti berhubungan atau berkaitan
dengan hal yang sedang dibicarakan. Maksim relevansi mengatur agar dapat
terjalin kerjasama yang sungguh-sungguh baik antara penutur dan petutur dalam
tindak percakapan. Setiap peserta percakapan hendaknya memberikan kontribusi
yang benar-benar relevan tentang sesuatu yang sedang dipertuturkan. Prinsip
relevansi ini terpenuhi pada setiap data penggalan percakapan.
Hasil penelitian dari novel 99 Cahaya di Langit Eropa; Perjalanan
Menapak Jejak Islam di Eropa diharapkan menjadi salah satu pertimbangan
dalam pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah, khususnya Sekolah Menengah
Atas (SMA), semester ganjil, kelas XII, sebagai sarana komunikasi dalam
mengolah, menalar, dan menyajikan informasi lisan dan tulis melalui teks cerita
sejarah, berita, iklan, editorial/opini, dan novel. Penelitian ini juga diharapkan
98
99
B. Saran
Alek dan Achmad. Linguistik Umum; Sebuah ncangan Awal Memahami Ilmu
Bahasa. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta. 2009
Brown, Gillian dan George Yule. Discourse Analysis. New York: Cambridge
University press. 1983
Hindun. Pragmatik untuk Perguruan Tinggi. Depok: Media Citra Mandiri. 2012
Huang, Yan. Pragmatics. New York: Oxford University Press Inc. 2007
Ihsan, Diemroh. Pragmatik, Analisis Wacana, dan Guru Bahasa: Pragmatics,
Discourse Analysis, and Language Teachers. Palembang: Universitas
Sriwijaya. 2011
Rani, Abdul, dkk.. Analisis Wacana: Sebuah Kajian Bahasa dalam Pemakaian.
Malang: Bayumedia. 2006
Sperber, Dan dan Deirdre Wilson (penerjemah: Suwarna, dkk.). Teori Relevensi;
Komunikasi dan Kognisi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2009
____, George. The Study of Language. New York: Cambridge University press.
2006
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
(RPP)
A. Kompetensi Inti
1. Menghayati dan mengamalkan perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab,
peduli (gotong royong, kerjasama, toleran, damai), santun, responsif dan
proaktif dan menunjukkan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai
permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial
dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam
pergaulan dunia.
2. Memahami, menerapkan, menganalisis pengetahuan faktual, konseptual,
prosedural berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan,
teknologi, seni, budaya dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan,
kebangsaan, kemanusiaan, kebangsaan, kenegaran, dan peradaban terkait
fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada
bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan mintanya untuk
memecahkan masalah.
3. Mengolah, menalar dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak
terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara
mandiri, dan mampu menggunakan metode sesuai kaidah keilmuan.
B. Standar Kompetensi
Membaca
1.3 Mensyukuri anugerah Tuhan akan keberadaan bahasa Indonesia dan
menggunakannya sebagai sarana komunikasih dalam mengelolah, menalar,
dan menyajikan informasi lisan dan tulis melalui teks cerita sejarah, berita,
iklan, editorial/opini, dan novel.
C. Kompetensi Dasar
3.3 Menganalisis teks novel baik melalui lisan maupun tulisan
D. Indikator Pencapaian Kompetensi
1. Siswa mampu menganalisis unsur intrinsik novel remaja
E. Tujuan Pembelajaran
Setelah proses pembelajaran siswa diharapkan mampu menganalisis unsur
intrinsik novel dan mendiskusikannya secara berkelompok di depan kelas.
F. Materi Pembelajaran (Terlampir)
G. Alokasi waktu
4x 40 Menit
H. Metode Pembelajaran
Metode: ceramah, diskusi, dan praktik
I. Kegiatan Pembelajaran
J. SUMBER/MEDIA PEMBELAJARAN
a. Sumber:
1. Bahasa_Dan_Sastra_Indonesia_3_IPA_Kelas_12_Muhammad_Rohmadi
_Yuli_Kusumawati_2008. (BSE) pdf
2. Membaca Sastra, Melani Budianta
b. Media:
1. Novel 99 Cahaya di Langit Eropa Karya Hanum Salsabiela Rais dan
Rangga Almahendra
2. Powerpoint
c. Penilaian Proses dan Hasil Belajar
Tes Lisan
V Tes Tertulis
V Observasi Kinerja/Demontrasi
TEKNIK DAN BENTUK V Tagihan Hasil Karya/Produk: tugas, projek,
portofolio
V Pengukuran Sikap
Penilaian
INSTRUMEN/SOAL Tugas untuk menganalisis dan mengidentifikasi
unsur-unsur intrinsik penggalan novel melalui
diskusi. Tugas mempresentasikan hasil diskusi
kelompok. Daftar pertanyaan kuis uji teori untuk
mengukur pemahaman siswa atau konsep-
konsep yang telah dipelajari
RUBRIK/KRITERIA
PENILAIAN/BLANGKO
OBSERVASI
Keterangan
1 = kurang 3 = baik
2 = sedang 4 = sangat baik
Nilai akhir : Skor yang diperoleh
X 100
Skor maksimal
Mengetahui, Tangerang Selatan, 13 Februari 2014
(Mustofa, S. Hum)
(Riza Hernita)
BIOGRAFI PENULIS
Riza Hernita, lahir di Lb. Jantan, Lintau Buo, Batusangkar.
Anak tunggal dari pasangan Herizal dan Epina Darmita.
Penulis memulai Pendidikan di Taman Kanak-Kanak Kamboja,
Lintau dan melanjutkan ke SD Negri 37 Saribu Labiah, Lintau
Buo. Kemudian penulis melanjutkan ke SMP Negri 1 Lintau
Buo dan melanjutkan ke SMA Negri 1 Lintau Buo.