Anda di halaman 1dari 126

IMPLIKATUR PERCAKAPAN PADA NOVEL

99 CAHAYA DI LANGIT EROPA


KARYA HANUM SALSABIELA RAIS DAN RANGGA
ALMAHENDRA SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP
PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah
Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan

Disusun oleh:

RIZA HERNITA

NIM 1110013000040

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014
ABSTRAK

Riza Hernita, 1110013000040, 2014, Implikatur Percakapan pada Novel 99


Cahaya di Langit Eropa; Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa Karya
Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra serta Implikasinya Terhadap
Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia,
fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negri Syarif
Hidayatullah, Jakarta. Pembimbing Nuryani, M.A.

Bahasa merupakan jembatan dalam berkomunikasi yang sangat


dibutuhkan oleh setiap individu. Setiap individu memiliki caranya tersendiri
dalam menyampaikan informasi. Dalam situasi atau konteks tertentu, penutur atau
orang yang menyampaikan tuturan memberikan informasi yang lebih dari apa
yang dikatakannya. Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) Mendeskripsikan
implikatur percakapan pada novel 99 Cahaya di Langit Eropa; Perjalanan
Menapak Jejak Islam di Eropa karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga
Almahendra, dan (2) Mengetahui implikatur percakapan pada novel 99 Cahaya di
Langit Eropa; Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa karya Hanum Salsabiela
Rais dan Rangga Almahendra serta implikasinya terhadap pembelajaran bahasa
dan sastra Indonesia. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian ini dilakukan dengan cara
mendata penggalan percakapan yang mengandung implikatur percakapan pada
novel 99 Cahaya di Langit Eropa; Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa
karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra, setelah itu
menganalisisnya.

Hasil penelitian ini dapat disimpulkan beberapa hal, (1) Implikatur


percakapan: a) implikatur percakapan pada novel 99 Cahaya di Langit Eropa;
Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa karya Hanum Salsabiela Rais dan
Rangga Almahendra menggunakan teori Grice mengenai prinsip kerjasama
percakapan dan teori relevansi oleh Sperber dan Wilson; b) 15 sampel penggalan
percakapan yang memiliki implikatur percakapan pada novel 99 Cahaya di Langit
Eropa; Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa karya Hanum Salsabiela Rais
dan Rangga Almahendra; c) data 1 penggalan percakapan melanggar maksim cara,
data 2-15 melanggar maksim kuantitas dan maksim cara; dan d) novel 99 Cahaya
di Langit Eropa; Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa karya Hanum
Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra setiap temuan penggalan percakapan
mentaati teori relevansi dan maksim relevansi dari prinsip kerjasama. (2)
Implikasi dari novel 99 Cahaya di Langit Eropa; Perjalanan Menapak Jejak
Islam di Eropa diharapkan menjadi salah satu pertimbangan dalam pembelajaran
bahasa Indonesia di sekolah, khususnya Sekolah Menengah Atas (SMA), semester
ganjil, kelas XII, sebagai sarana komunikasi dalam mengolah, menalar, dan
menyajikan informasi lisan dan tulis melalui teks cerita sejarah, berita, iklan,
editorial/opini, dan novel.

Kata Kunci: Implikatur percakapan, prinsip kerjasama percakapan, teori relevansi,


implikasi pembelajaran bahasa Indonesia.

i
ABSTRACT

Riza Hernita, 1110013000040, 2014, Conversational Implicature in Novel 99


Cahaya di Langit Eropa; Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa by Hanum
Salsabiela Rais and Rangga Almahendra also the Implications in Learning
Indonesian Language and Literature. Department of Indonesian Language and
Literature, Faculty of Tarbiyah and Teacher’s Training of Islamic State
University Syarif Hidayatullah Jakarta. Under the supervisor Nuryani, M.A.

Language is a bridge of communication that is needed by each individual.


Each individual has their own way in conveying information. In a particular
situation or context, speakers or utterances that convey more information than
what he says. The aim of this study is: (1) to describe the conversational
Implicature in Novel 99 Cahaya di Langit Eropa; Perjalanan Menapak Jejak
Islam di Eropa by Hanum Salsabiela Rais and Rangga Almahendra, and (2) to
determine the, conversational Implicature in Novel 99 Cahaya di Langit Eropa;
Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa by Hanum Salsabiela Rais and Rangga
Almahendra also the Implications in Learning Indonesian Language and
Literature. The method used in this research is descriptive qualitative research
method. The research completed by record conversations contained
conversational Implicature in Novel 99 Cahaya di Langit Eropa; Perjalanan
Menapak Jejak Islam di Eropa by Hanum Salsabiela Rais and Rangga
Almahendra, afterwards it is analyzed.
This research is concluded, such as: (1) conversational implicatures: a)
conversational Implicature in Novel 99 Cahaya di Langit Eropa; Perjalanan
Menapak Jejak Islam di Eropa by Hanum Salsabiela Rais and Rangga
Almahendra using the principle of cooperation Grice’s theory of conversation and
relevance theory stated by Sperber and Wilson; b) 15 samples fragment of a
conversation that have conversational Implicature in Novel 99 Cahaya di Langit
Eropa; Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa by Hanum Salsabiela Rais and
Rangga Almahendra; c) 15 samples fragment of a conversation that has a
conversational implicature on the novel Light in the Sky 99 Europe; Retracing the
trip Traces of Islam in Europe works Hanum Salsabiela Rais and Rangga
Almahendra; c) Data 1 fragment of conversation violated maxim of manner, the
data 2-15 violated maxim of quantity and manner; and d) novel 99 Cahaya di
Langit Eropa Works Hanum Salsabiela Rais every fragment of conversation
findings obey the relevance theory and the maxim of relevance of the principle of
cooperation.(2) Implications of a novel 99 Cahaya di Langit Eropa is expected to
be one of the considerations in the Indonesian language learning in schools,
especially high schools, the first semester, the class XII, as a means of
communication in the process, reasoning, present oral and written information
through of the text stories, news, advertising, editorial/opinion, and novels.

Key words: Conversational implicature, conversational cooperation principle,


relevance theory, the implications of learning Indonesian.

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur hanya bagi Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya. Shalawat beserta salam selalu tercurah kepada Nabi
Muhammad SAW, kepada keluarga dan para sahabatnya serta seluruh muslimin
dan muslimah. Alhamdulillahi rabbil ‘alamiin, senantiasa penulis haturkan
kepada-Nya. karena atas ridho-Nya penulis dapat menyelesaikan seluruh
kewajibannya dalam menyusun skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa dirinya adalah makhluk sosial yang tidak


mungkin hidup mandiri. Begitu pula dengan proses pelaksanaan penyusunan
skripsi ini, penulis membutuhkan bantuan, dukungan, dan doa dari berbagai pihak
sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan ini dengan baik. Untuk itu
sebagai ungkapan rasa hormat, penulis megucapka terimakasih kepada:

1. Dra. Nurlena Rifai, M.A. Ph.D. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan, Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta;
2. Dra. Mahmudah Fitriyah Z.A., M.Pd. Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, sebagai
dosen pembimbing akademik, dan dewan penguji pada saat Ujian
Munaqasah yang telah memberikan bimbingan kepada penulis sehingga
berakhirnya penulisan skripsi ini. Semoga ibu dan keluarga selalu berada
dalam lindungan Allah SWT, amin;
3. Dr. Nuryani, S.pd, M.A. sebagai dosen pembimbing yang telah
meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, arahan, dan saran-
saran saat menyusun skripsi ini. Semoga ibu dan keluarga selalu berada
dalam lindungan Allah SWT, amin;
4. Dr. Darsita, S, M. Hum. Sebagai dewan penguji pada saat Ujian
Munaqasah yang telah memberikan nasehat, petunjuk, serta bimbingan
dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga ibu dan keluarga selalu berada
dalam lindungan Allah SWT, amin;
5. Dra. Hindun, M.Pd sebagai dosen matakuliah pragmatik dan dosem
pembimbing proposal skripsi yang telah memberikan banyak saran,

iii
iv

motivasi, semangat selama menyelesaikan skripsi ini. Semoga ibu dan


keluarga selalu berada dalam lindungan Allah SWT, amin;
6. Rosida Erowati, M.Hum sebagai dosen pembimbing proposal skripsi yang
telah memberikan saran-saran, motivasi, dan semangat kepada penulis
selama menyelesaikan skripsi ini. Semoga ibu dan keluarga selalu berada
dalam lindungan Allah SWT, amin;
7. Segenap dewan Dosen dan Pegawai Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negri
Syarif Hidayatullah Jakarta, atas saran-saran, pengetahuan, motivasi, dan
dukungan yang diberikan. Semoga bapak-bapak, ibu- ibu dan keluarga
selalu berada dalam lindungan Allah SWT, amin;
8. Teristimewa untuk orangtua penulis yaitu Bapak Herizal dan Ibu Epina
Darmita. Kepada paman-paman serta sanak-keluarga penulis lainnya yang
telah banyak berjasa dan memberikan motivasi serta dukungan dalam
menyelesaikan pembuatan skripsi ini, semoga Allah SWT melindungi dan
memberikan rodho-Nya kepada kita semua, amin;
9. Hj. Bustamam dan Hj. Fatimah yang telah berjasa dan banyak memberikan
motivasi untuk menyelesaikan skripsi ini, Semoga bapak, ibu dan keluarga
selalu berada dalam lindungan Allah SWT, amin;
10. Srikanth Sainam Damarla atas dukungan, semangat, motivasi, dan
kesabaran kepada penulis selama menyelesaikan skripsi ini. Semoga
diberikan kesehatan dan lindungan oleh Allah SWT, amin;
11. Teman-teman Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan
2010, khususnya kelas A. Dan teman-teman lainnya: Dhea, Tiwi, Ika, kak
Indah, kak septi, kak ani, kak didi, wulan, suci, dan teman-teman yang
belum disebutkan namanya. Terimakasih atas kesabaran, saran-saran, serta
dukungan selama menyelesaikan skripsi ini. Semoga kita semua
mendapatkan rido-Nya, amin; dan
12. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, baik secara
langsung maupun tidak langsung yang turut memberikan dukungan dan
doa dalam proses penyusunan skripsi ini.
v

Penulis haturkan doa dan rasa syukur kepada Allah SWT, semoga jasa
yang telah mereka berikan menjadi amal soleh dan mendapatkan balasan yang
jauh lebih baik dari Allah SWT, amin.
Akhirul kalam, penulis mohon maaf atas kekurangan yang terdapat dalam
skripsi ini, dan dengan kerendahan hati penulis menerima kritik dan saran yang
membangun. Besar harapan penulis, semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua
pihak yang membutuhkan.

Jakarta, 3 Mei 2014

Penulis

Riza Hernita
DAFTAR ISI

ABSTRAK.............................................................................................................. i

ABSTRACT............................................................................................................ii

KATA PENGANTAR...........................................................................................iii

DAFTAR ISI.........................................................................................................Vi

DAFTAR LAMPIRAN......................................................................................Viii

BAB I: PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah..............................................................................1


B. Identifikasi Masalah....................................................................................3
C. Batasan Masalah..........................................................................................4
D. Rumusan Masalah........................................................................................4
E. Tujuan Penelitian.........................................................................................4
F. Manfaat Penelitian.......................................................................................5
G. Metode Penelitian........................................................................................5
H. Fokus Penelitian...........................................................................................6
I. Objek Penelitian...........................................................................................6
J. Populasi dan Sampel....................................................................................6
K. Teknik Pengumpulan Data..........................................................................7
L. Instrumen Penelitian....................................................................................7
M. Teknik Analisis Data...................................................................................7
N. Triangulasi Data..........................................................................................8

BAB II: LANDASAN TEORETIS

A. Pragmatik.....................................................................................................9
B. Konteks......................................................................................................10
Pengertian Konteks dan Ciri-ciri Konteks.................................................10
C. Implikatur...................................................................................................12
1. Pengertian Implikatur..........................................................................12
2. Ciri-ciri Implikatur..............................................................................25
3. Macam-macam Implikatur..................................................................29
D. Prinsip Kerjasama Percakapan...................................................................33
E. Novel..........................................................................................................39
1. Pengertian Novel..................................................................................39
2. Jenis Novel...........................................................................................40

vi
vii

F. Penelitian yang Relevan.............................................................................41

BAB III: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian..........................................................................................44
1. Biografi Pengarang..............................................................................44
2. Sinopsis Novel 99 Cahaya di Langit Eropa........................................44
B. Analisis Data.............................................................................................46
C. Pembahasan...............................................................................................72
D. Implikasi dalam Pendidikan......................................................................97

BAB IV: PENUTUP

A. Simpulan...................................................................................................98
B. Saran.........................................................................................................99

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................100

UJI REFERENSI

LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1: Lembar Uji Referensi

Lampiran 2: Lembar Surat Bimbingan Skripsi

Lampiran 3: Gambar Nampak Depan dan Nampak Belakang Novel 99 Cahaya di


Langit Eropa; Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa

Lampiran 4: RPP Kelas XII Semester Ganjil Mengenai Analisis Unsur Intrinsik
Novel

Lampiran 5: Lembar email Persetujuan Penulis Novel 99 Cahaya di Langit Eropa;


Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa

viii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Bahasa merupakan jembatan dalam berkomunikasi yang sangat
dibutuhkan oleh setiap individu. Komunikasi yang dilakukan dalam kehidupan
sehari-hari tidak selalu diwujudkan dalam bentuk lisan, tetapi juga diterapkan
dalam bentuk tulisan. Setiap melakukan tindakan komunikasi, penutur
mengharapkan pendengar atau petutur mengerti dan mampu menangkap apa yang
ingin diinformasikan sehingga tidak terjadi kesalahpahaman. Agar tidak terjadi
kesalapahaman, seseorang harus mengetahui dan memahami bagaimana
pemakaian kata dalam komunikasi yang sesuai dengan situasi dan kepada siapa
berbicara. Salah satu yang harus dikuasai adalah diksi atau pilihan kata
Setiap individu memiliki caranya tersendiri dalam menyampaikan
informasi. Dalam situasi atau konteks tertentu, penutur atau orang yang
menyampaikan tuturan memberikan informasi yang lebih dari apa yang
dikatakannya. Maksud atau informasi yang disampaikan lebih banyak secara tidak
langsung kepada petutur. Untuk menangkap informasi tersebut petutur harus
mengerti konteks pembicaraan dan bekerja keras dalam memahami tanda-tanda
yang diberikan oleh penutur. Informasi yang berlebih dari yang dimaksud dalam
hal ini melanggar prinsip kerjasama percakapan. Pelanggaran terhadap prinsip
kerjasama percakapan terkadang sangat diperlukan dalam konteks tertentu. Hal
tersebut bisa disebut sebagai implikatur percakapan dalam berkomunikasi.

Keberagaman dalam cara menyampaikan informasi disebabkan karena


salah satu dari hakikat bahasa adalah kemanasukaan. Masing-masing daerah atau
tempat di Indonesia memiliki berbagai macam definisi mengenai satu barang yang
sama. Kemajemukan yang dimiliki oleh Indonesia mengakibatkan munculnya
berbagai dialek yang terkadang menjadi salah satu alasan tidak terjadinya
komunikasi yang efektif. Masing-masing daerah memiliki aturan tersendiri
mengenai bahasa yang mereka pakai.

1
2

Masyarakat Indonesia yang multikultural sangat menjunjung tinggi sopan


santun dalam percakapan pada situasi komunikasi tertentu. Berdasarkan
pengalaman peneliti, salah satu daerah di Indonesia yaitu daerah Minangkabau
sangat mengutamakan kesopanan dalam percakapan. Masyarakat Minangkabau
menganal kato nan ampek. Kato nan ampek merupakan aturan bagaimana
berkomunikasi dalam masyarakat. Seringkali dalam tindak percakapan di Minang
melanggar prinsip kerja sama Grice. Masyarakat Minang misalnya dalam
menyuruh seseorang menggunakan kalimat pertanyaan atau pernyataan dengan
tujuan orang yang disuruh tidak merasa tersinggung. Segala suatu dalam
percakapan ditentukan diksi mana yang akan di pakai sehingga orang yang di ajak
berkomunikasi tidak merasa tersinggung dan maksud yang ingin disampaikan
tercapai.

Masyarakat tidak terlepas dari budayanya masing-masing sehingga


seringkali mempengaruhi dalam cara berkomunikasi. Bagi siswa cara
berkomunikasi yang baik dan sopan juga dapat dipelajari di sekolah, lingkungan,
dan dari apa yang mereka baca. Berdasarkan silabus mata pelajaran bahasa
Indonesia di Sekolah Menengah Atas (SMA), semester ganjil, kelas XII, terdapat
Standar Kompetensi poin 1.3 yang menyatakan, Mensyukuri anugerah Tuhan
akan keberadaan bahasa Indonesia dan menggunakannya sebagai sarana
komunikasi dalam mengolah, menalar, dan menyajikan informasi lisan dan tulis
melalui teks cerita sejarah, berita, iklan, editorial/opini, dan novel. Misalnya saja
dalam berkomunikasi, siswa dapat mencontoh cara tokoh-tokoh di dalam novel
berkomunikasi. Siswa dapat melihat akibat atau respon yang ditimbulkan saat
tokoh bertutur kepada tokoh lain dengan menggunakan diksi yang tepat dan sesuai
dengan konteks pembicaraan.
Dalam novel, pengarang membangun dunia baru yang penuh dengan
percakapan dan kejadian. Percakapan dalam novel, tidak terlepas dari daya
imajinasi yang dibangun oleh penulis. Pembaca seolah-olah diajak ke dalam dunia
yang disajikan pengarang. Pemaparan dalam novel seringkali digambarkan
melalui tema, latar, alur, dan penceritaan sudut pandang dalam bentuk dialog atau
monolog. Diksi yang dipakai dalam dialog atau monolog tidak kalah pentingnya
untuk membangun serta menghidupkan cerita dalam karya. Saat tokoh-tokoh di
3

dalam novel melakukan percakapan sama persis dengan cara berkomunikasi


dikehidupan nyata. Dalam berkomunikasi, penutur terkadang melanggar prinsip
kerjasama demi kesopanan dan berbagai hal yang melatarbelakanginya.
Berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik untuk menulis “Implikatur
Percakapan pada Novel 99 Cahaya di Langit Eropa; Perjalanan Menapak Jejak
Islam di Eropa Karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra serta
Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia”. Hanum
Salsabiela Rais adalah putri Amien Rais, lahir dan menempuh pendidikan dasar
Muhammadiyah di Yogyakarta hingga mendapat gelar Dokter Gigi dari FKG
UGM. Ia mengawali karirnya menjadi seorang jurnalis dan presenter di Trans
TV. Hanum memulai petualangan di Eropa selama tinggal di Austria bersama
suaminya, Rangga Almahendra, dan bekerja untuk proyek video podcast
Executive Academy di WU Vienna selama 2 tahun. Ia juga tercatat sebagai
koresponden detik.com bagi kawasan Eropa dan sekitarnya.

Hanum Salsabiela Rais dan suaminya menulis novel 99 Cahaya di Langit


Eropa berdasarkan pengalaman mereka selama di Eropa. Peneliti memilih novel
99 Cahaya di Langit Eropa; Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa ini
dikarenakan sebagai berikut: (1) diksi dan struktur kalimat yang digunakan
sederhana dan mudah dipahami; (2) novel ini tidak hanya bercerita tentang
perjalanan Hanum dan suaminya, tetapi juga menceritakan sejarah perkembangan
Islam di Eropa; (3) penyajian yang sederhana dan mudah dipahami mempunyai
daya tarik tersendiri bagi pembaca untuk ikut langsung dalam perjalanan yang
mereka tempuh serta menimbulkan perasaan cinta dan bangga terhadap agama
Islam; dan (4) pemaparan dialog antartokoh pada novel 99 Cahaya di Langit
Eropa; Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa Hanum menambah nilai
estetika dengan pemilihan diksi dan respon yang ditimbulkan oleh petutur.

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, masalah
yang diidentifikasikan dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut:
4

1. Implikatur percakapan pada novel 99 Cahaya di Langit Eropa; Perjalanan


Menapak Jejak Islam di Eropa karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga
Almahendra
2. Pelanggaran terhadap prinsip kerjasama dalam komunikasi pada novel 99
Cahaya di Langit Eropa; Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa karya
Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra
3. Siswa mempelajari sikap berkomunikasi dengan diksi dan situasi yang
relevan berdasarkan contoh dari novel 99 Cahaya di Langit Eropa;
Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa karya Hanum Salsabiela Rais
Rangga Almahendra.
C. Batasan Masalah
Penelitian ini akan memberikan penjelasan secara deskriptif tentang
implikatur Percakapan pada novel 99 Cahaya di Langit Eropa; Perjalanan
Menapak Jejak Islam di Eropa Karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga
Almahendra serta Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia.

D. Rumusan Masalah
Permasalahan penelitian ini akan menjawab beberapa pertanyaan berikut:
1. Bagaimanakah implikatur percakapan pada novel 99 Cahaya di Langit
Eropa; Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa Karya Hanum
Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra?
2. Bagaimanakah implikasi implikatur percakapan dalam novel 99 Cahaya di
Langit Eropa; Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa Karya Hanum
Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra terhadap pembelajaran bahasa
dan sastra Indonesia?
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan, penelitian ini
bertujuan untuk:
1. Mendeskripsikan implikatur percakapan yang terdapat pada 99 Cahaya di
Langit Eropa; Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa Karya Hanum
Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra.
5

2. Mengetahui implikasi implikatur percakapan dalam novel 99 Cahaya di


Langit Eropa; Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa Karya Hanum
Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra terhadap pembelajaran bahasa
dan sastra Indonesia.
F. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam dua aspek yaitu:
1. Teoretis
a. Secara teoretis hasil penelitian ini bermanfaat untuk rujukan bahan ajar
di kelas
b. Hasil penelitian ini bermanfaat sebagai pendalaman materi
c. Hasil penelitian ini bermanfaat sebagai tambahan ilmu diluar yang
mereka pelajari.

2. Praktis
Secara praktis hasil penelitian ini bermanfaat:
a. Bagi guru, penelitian ini dipakai sebagai bahan pembelajaran
b. Bagi peneliti, penelitian ini digunakan sebagai salah satu persyaratan
akademik dalam menempuh perkuliahan dan kelulusan sebagai
mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
c. Bagi siswa, dari penelitian ini siswa mendapatkan ilmu di luar ilmu
yang dipelajari dan untuk bekal mengajar jikalau siswa menjadi guru.
G. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode


penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian ini dilakukan dengan cara mendata
penggalan percakapan yang mengandung implikatur percakapan dalam 99 Cahaya
di Langit Eropa; Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa Karya Hanum
Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra, setelah itu menganalisisnya.

Berdasarkan Bogdan dan Tylor dalam Moleong dalam Margono,


penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif
berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat
6

diamati.1 Qualitative researchers are interested in understanding how people


interpret their experiences, how they construct their worlds, and what meaning
they attribute to their experiences. 2 (penelitian kualitatif tertarik untuk memahami
bagaimana orang menafsirkan pengalaman mereka, bagaimana mereka
membangun dunia mereka, dan apa hubungan mereka pada pengalaman).
Berdasarkan pernyataan tersebut, penelitian kualitatif adalah penelitian dengan
mendeskripsikan data yang dapat diamati. Peneliti terjun langsung atau menjadi
kunci utama dalam melakukan penelitian. Penelitian kualitatif juga memahami
bagaimana menafsirkan pengalaman, dunia yang mereka hasilkan, dan hubungan
mereka dengan pengalaman atau kejadian yang mereka teliti.

H. Fokus Penelitian

Fokus dalam Penelitian ini adalah implikatur percakapan dalam novel 99


Cahaya di Langit Eropa; Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa Karya
Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra. Peneliti tidak menganalisa
monolog yang ada pada novel ini. Peneliti menggunakan teori sebagai berikut:

1. Prinsip Relevansi yang dikembangkan oleh Sperber dan Wilson


2. Pelanggaran terhadap maksim percakapan yang disampaikan oleh Grice.
I. Objek Penelitian

Objek dalam penelitian ini adalah novel 99 Cahaya di Langit Eropa;


Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa Karya Hanum Salsabiela Rais dan
Rangga Almahendra. Novel ini diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, tahun 2012.

J. Populasi dan Sampel

Yang menjadi populasi dalam penelitian ini yaitu percakapan atau dialog
yang memiliki implikatur. Adapun sampel penelitian terdiri atas lima belas (15)
penggalan percakapan yang memiliki implikatur. Metode penarikan sampel yang
digunakan yaitu dengan cara acak (Random Sampling), berarti setiap populasi

1
S. Margono, Metodologi penelitian pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), h. 36
2
Sharan B. Merriam, Qualitative Research; A guide to Design and Implementation, (United States
of America: Jossey-Bass, 2009), h. 5
7

mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi sampel sehingga sampel


tersebut dianggap dapat mewakili populasi yang ada.

K. Teknik Pengumpulan Data

Langkah-langkah yang ditempuh dalam menganalisis data adalah sebagai


berikut:

1. memilah-milah percakapan dalam novel 99 Cahaya di Langit


Eropa; Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa Karya Hanum
Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra;
2. memilih konteks-konteks tertentu sebagai sample dengan teknik
purposif, yakni memilih sampel tertentu dengan pertimbangan dan
penilaian sample dan mengindikasikan adanya implikatur
percakapan;
3. memenggal konteks-konteks percakapan terpilih dalam penggalan
pasangan percakapan;
4. menganalisis implikatur percakapan berdasarkan prinsip relevansi
dan meneliti pelanggaran prinsip kerjasama dalam setiap penggalan
percakapan; dan
5. menyimpulkan dan mencari implikasinya bagi pembelajaran
bahasa Indonesia di sekolah.
L. Instrumen Penelitian

Instrumen dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri dikarenakan


penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif kualitatif. Peneliti sendiri yang
akan melakukan pengamatan implikatur percakapan dengan menggunakan
analisis konteks menurut Dell Hymes.

M. Teknik Analisis Data

Data yang diambil dari teks bacaan akan dianalisis menggunakan


SPEAKING menurut Dell Hymes. Setelah dianalisis data dibahas berdasarkan hasil
analisis, teori prinsip percakapan yang dikemukakan oleh Grice, dan prinsip relevansi
yang dikemukakan oleh Sperber dan Wilson.
8

N. Triangulasi Data

Triangulasi, yaitu data atau informasi dari suatu pihak harus di cek
kebenarannya dengan cara memperoleh data itu dari sumber lain. Tujuannya ialah
membandingkan informasi tentang hal yang sama yang diperoleh dari berbagai
pihak, agar ada jaminan tentang tingkat kepercayaan data. 3 Triangulasi dilakukan
dengan cara (1) data penelitian ini sudah peneliti periksa ke buku teks asli; dan (2)
peneliti sudah meminta izin pada penulis melalui email dan telah di setujui.

3
S. Nasution, Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, (Bandung: Tarsito, 2003), h. 10
BAB II

LANDASAN TEORETIS

Pada bab ini peneliti menguraikan beberapa landasan teori yang akan
diperlukan untuk menganalisis data sesuai dengan topik pembahasan skripsi ini.
Adapun landasan teoretis yang dibahas yaitu pragmatik, konteks, implikatur,
prinsip kerjasama, dan novel.

A. Pragmatik

Pragmatik merupakan cabang linguistik yang mempelajari bahasa.


Pragmatik digunakan untuk berkomunikasi dalam situasi tertentu. 1 Pragmatik
mengkaji makna yang dipengaruhi oleh hal-hal di luar bahasa.2 Pragmatik adalah
cabang ilmu linguistik yang membahas tentang apa yang termasuk struktur bahasa
sebagai alat komunikasi antara penutur dan pendengar, dan sebagai pengacuan
tanda-tanda bahasa pada hal-hal “ekstralingual” yang dibicarakan.3 Jadi,
pragmatik merupakan cabang ilmu linguistik yang mempelajari hal-hal
ekstralingual dan digunakan dalam percakapan.

Pragmatik mengkaji prilaku yang dimotivasi oleh tujuan-tujuan


percakapan.4

Istilah pragmatik lahir dari filsuf Charles Morris yang mengolah kembali pemikir-pemikir
filsuf-filsuf pendahulunya mengenai ilmu tanda dan lambang yang disebut semiotika.
Dalam pragmatik, makna ujaran dikaji menurut makna yang dikendaki oleh penutur dan
menurut konteksnya. Disamping itu, dalam pragmatik juga dilakukan kajian tentang
deiksis, praanggapan, implikatur, tindak bahasa, dan aspek-aspek struktur wacana.5

Pragmatics is the sistematic study of meaning by virtue of, or dependent on, the
use of language. The central topics of inquiry of pragmatics include implicature,
presuposition, speech acts, and deixis.6 (Pragmatik adalah studi sistematis

1
F.X. Nadar, Pragmatik dan Penelitian Pragmatik, (Yogyakarta: GRAHA ILMU, 2009), h. 2
2
Kushartanti, dkk., Pesona Bahasa: Langkah awal Memahami Linguistik, (Jakarta: Gramedia
Pusta, 2005), h. 104
3
Verhaar, Asas-asas Linguistik Umum, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2006), h. 14
4
Geoffrey Leech (penerjemah: Oka), Prinsip-Orinsip Pragmatik (Jakarta: Universitas Indonesia,
1993) h. 45
5
Bambang Yudi Cahyono, Kristal-kristal Ilmu Bahasa, (Surabaya: Airlangga University Press,
1995), h. 214
6
Yan Huang, pragmatics, (New York: Oxford University Press Inc., 2007), h. 2

9
10

berdasarkan makna, atau tergantung pada, penggunaan bahasa. Topik-topik utama


kajian pragmatik memuat implikatur, presuposition, tindak tutur, dan deiksis).
Dapat disimpulkan, pragmatik adalah salah satu cabang dari ilmu linguistik yang
mengkaji unsur eksternal aspek kebahasaan. Pragmatik studi sistematis yang
memuat salah satu topik kajiannya, yaitu implikatur. pragmatik di motivasi oleh
tujuan-tujuan tertentu dalam berkomunikasi. Pragmatik mengkaji makna yang
dipengaruhi oleh hal-hal dari luar bahasa, pada hakikatnya mempunyai konteks
situasi tertentu.

B. Konteks

Pengertian Konteks dan ciri-ciri konteks

Konteks adalah hal-hal yang gayut dengan lingkungan fisik dan sosial
sebuah tuturan ataupun latar belakang pengetahuan yang sama-sama dimiliki oleh
penutur dan lawan tutur dan yang membantu lawan tutur menafsirkan makna
tuturan.7 Konteks, yaitu unsur yang di luar bahasa, dikaji dalam pragmatik.8
Konteks merupakan latar belakang pengetahuan mengenai situasi fisik dan sosial
sebuah percakapan yang berlangsung. Konteks dipelajari dalam ilmu pragmatik
yang terdiri dari hal-hal di luar bahasa.

We have already noted that we can understand a sentence even if we are unable to
tell whether it is true or false. Often we do know the truth value of a sentence, and the
knowledge we use to decide is knowledge about the world (assuming of course that the
sentence is neither analytic nor contradictory). Knowledge of the world is part of context,
and so pragmatics includes how language users apply knowledge of the world to interpret
utterances.9

(Kita telah mencatat bahwa kita dapat memahami kalimat bahkan kita tidak dapat
mengatakan apakah itu benar atau salah. Seringkali kita tahu nilai kebenaran
kalimat dan pengetahuan yang kita gunakan untuk memutuskan adalah
pengetahuan tentang dunia (tentu saja dengan asumsi bahwa kalimat tersebut tidak
analitik atau bertentangan). Pengetahuan tentang dunia adalah bagian dari
konteks, dan pragmatik mencakup bagaimana pengguna bahasa menerapkan
pengetahuan dunia untuk menafsirkan ucapan-ucapan). Dari kutipan tersebut kita

7
F.X. Nadar, op. cit., h.6-7
8
Kushartanti, dkk., loc. cit.
9
Victoria Fromkin dan Robert Rodman, An Introduction to Language; Third Edition, (New York:
CBS College Publishing, 1983), h. 189
11

dapat menyimpulkan bahwa untuk memutuskan apakah kalimat salah atau benar
kita menggunakan pengetahuan tentang dunia. Pengetahuan tentang dunia yaitu
bagian dari konteks. Konteks inilah yang kita gunakan untuk menganalisis sebuah
percakapan.

Konteks berhubungan dengan situasi bahasa (speech situation),situasi


sosial, dan saluran. Pengucapan ujaran pada umumnya disertai dengan tingkah
laku non-verbal yang disebut para bahasa, yang mencakup gerak anggota tubuh,
modulasi suara, raut muka, sentuhan, dan jarak. 10 Salah satu fungsi situasi dan
konteks itu ialah membuat pembaca tahu apa sebuah kata, frasa atau kalimat
dipakai dengan makna harfiah atau makna kiasan atau retorik. 11 Konteks ialah hal-
hal seperti siapa yang diajak berbicara, dalam situasi yang bagaimana kalimat
yang bersangkutan diucapkan.12 Konteks berkaitan dengan situasi sosial, fisik dan
saluran percakapan, seperti intonasi, bahasa tubuh, dan mimik wajah. Petutur
harus bisa menafsirkan apa yang tersirat dalam percakapan yang disampaikan oleh
penutur. Percakapan juga disesuaikan dengan konteks kepada siapa berbicara, di
mana, dan dalam hal apa berbicara.

Berdasarkan pengertian yang telah dipaparkan sebelumnya mengenai


konteks, dapat disimpulkan bahwa konteks adalah unsur di luar bahasa terkait
dengan latar belakang pengetahuan yang dimiliki oleh penutur dan lawan tutur.
Konteks berhubungan dengan situasi bahasa, situasi sosial, dan saluran, seperti
tingkah laku non-verbal.

Dell Hymes dalam Wahab menciri unsur konteks sebagai berikut: penyampai,
yaitu penutur atau penulis yang mengeluarkan ujaran; penerima, yaitu pendengar atau
pembaca yang menerima pesan dalam ujaran; topik, yaitu apa yang sedang dibicarakan
oleh penyampai dan penerima. Pengetahuan analisis tentang topik sangat membantu
mempertajam analisis wacana yang sedang dihadapinya; setting, yang meliputi waktu,
tempat, dan peristiwa. Unsur lainnya adalah saluran, yaitu bagaimana kontak antara
penyampai dan penerima dilakukan-lisan atau tulisan. Kemudian ada unsur kontek yang
bernama kode, yaitu bahasa atau dialek yang dipakai dalam interaksi. Ada unsur kontek

10
Bambang Yudi Cahyono, op. cit., h. 214-217.
11
Bambang Kaswanti Purwo, Bulir-bulir Sastra dan Bahasa: Pembaharuan Pengajaran,
(Yogyakarta: KANISIUS, 1991), h. 82
12
Bambang Kaswanti Purwo, Pragmatik dan Pengajaran Bahasa: Menyibak Kurikulum 1984, h.
23
12

yang disebut tujuan, artinya hasil akhir dalam komunikasi antara penyampai dan
penerima.13

Jadi, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur yang terdapat di dalam konteks yaitu
penutur, petutur, topik yang dibicarakan, setting, cara berkomunikasi, bahsa yang
digunakan, dan tujuan dalam berkomunikasi.

Menurut cf. Syafi‟ie dalam Rani, konteks pemakaian bahasa dapat


dibedakan menjadi empat macam yaitu:

a) konteks fisik meliputi tempat terjadinya pemakaian bahasa dalam


berkomunikasi;
b) konteks epitemis atau latar belakang pengetahuan yang sama-sama
diketahui oleh penutur dan petutur;
c) konteks linguistik yang terdiri dari kalimat atau ujaran yang
mendahului dan mengikuti ujaran tertentu dalam suatu peristiwa
komunikasi; konteks linguistik disebut juga dengan istilah konteks;
dan
d) konteks sosial yaitu relasi sosial dan latar yang melengkapi
hubungan antara penutur dan petutur. 14

Semua konteks pemakaian bahasa tersebut semuanya tentang penutur, petutur,


dan ujaran. Ketiga hal tersebut harus sejalan dan konteks yang sama-sama mereka
pahami pada saat terjadinya percakapan, hal tersebut merupakan hal yang sangat
membentu dalam memaknai sebuah ujaran.

C. Implikatur
1. Pengertian Implikatur

Implikatur merupakan salah satu kajian utama dalam pragmatik. Pragmatik


mengkaji prilaku yang dimotivasi oleh tujuan-tujuan percakapan.15 Aliran
pragmatik adalah tindakan aliran struktural yang melucuti kalimat yang pada
hakikatnya berkonteks, dan yang pada hakikatnya ada karena digunakan di dalam

13
Abdul Wahab, Butir-butir Linguistik, (Surabaya: Airlangga University Press, 1990), h. 56-57
14
Abdul Rani, dkk., Analisis Wacana: Sebuah Kajian Bahasa dalam Pemakai an, (Malang:
Bayumedia, 2006), h. 190
15
Geoffrey Leech (penerjemah: Oka). Loc. cit.
13

komunikasi.16 Berdasarkan pengertian pragmatik yang telah dijabarkan, dapat


dilihat bahwa implikatur merupakan topik utama kajian pragmatik. Implikatur
merupakan komunikasi yang ditimbulkan karena adanya tujuan-tujuan percakapan
yang berkonteks.

Grice suggested that a conversational implicature roughly, a set of non-logical inferences


which contains conveyed messages which are meant without being part of what is said in the strict
sence, can arise from either strictly observing or ostentatiously flouting the maxims. 17

(Grice mengemukakan bahwa implikatur percakapan kurang lebih seperangkat


kesimpulan tidak logis yang mengandung penyampaian pesan yang dimaksudkan
tanpa menjadi bagian dari apa yang dikatakan dalam arti yang tepat, dapat timbul
baik dari penelitian yang tepat atau terang-terangan melanggar maksim). jadi,
implikatur adalah penyimpulan informasi atau pesan yang disampaikan di luar
dari apa yang dikatakan dalam arti sebenarnya dan melanggar maksim dalam
prinsip kerjasama.

Pernyataan Grice dalam artikelnya yang berjudul Logic and conversation


mengemukakan bahwa sebuah tuturan dapat melibatkan preposisi yang bukan
merupakan bagian dari tuturan yang bersangkutan. Preposisi tersebut disebut
implikatur (Implicature). Hubungan kedua preposisi itu bukan merupakan akibat
yang mutlak (necessary consequence).”18 Grice mengatakan dalam percakapan
seorang pembicara mempunyai maksud tertentu ketika mengujarkan sesuatu.
Maksud yang terkandung di dalam ujaran itu disebut implikatur. 19 Dapat
dikatakan bahwa implikatur merupakan tujuan yang terkandung dalam percakapan
yang bukan bagian dari tuturan, karena mereka tidak memiliki hubungan yang
mutlak.

Jika ada dua orang yang bercakap-cakap, percakapan itu dapat berlangsung dengan
lancar berkat adanya semacam “kesepakatan bersama”. Kesepakatan itu, antara lain,
berupa kontrak tak tertulis bahwa ihwal yang dibicarakan itu harus saling berhubungan
atau berkaitan. Hubungan atau keterkaitan itu sendiri tidak terdapat pada masing -masing
kalimat secara lepas; maksudnya, makna keterkaitan itu tidak terungkapkan secara “literal”
pada kalimat itu sendiri, ini yang disebut implikatur percakapan.20

16
Bambang kaswanti Purwo, op. cit., h. 16
17
Yan Huang, pragmatics, op. cit., h. 27
18
I Dewa Putu Wijana dan Muhammad Rohmadi, Analisis Wacana Pragmatik; Kajian Teori dan
Analisis, (Surakarta: Yuma Pustaka, 2010), h. 37-38
19
Kushartanti, dkk., op. cit., h. 106
20
Bambang kaswanti Purwo, op. cit., h. 20
14

Implikatur percakapan juga dapat dikatakan sebagai makna yang tidak terungkap
secara harfiah atau langsung di dalam kalimat itu sendiri. Hubungan atau
keterkaitan antara tuturan dengan makna yang ingin disampaikan itu saling lepas,
tidak mematuhi prinsip kerjasama dalam percakapan.

Ungkapan bahwa implikatur ialah ujaran yang menyiratkan sesuatu yang


berbeda dengan yang sebenarnya diucapkan. Sesuatu “yang berbeda” tersebut
adalah maksud pembicara yang tidak dikemukakan secara eksplisit. Dengan kata
lain, implikatur adalah maksud, keinginan, atau ungkapan-ungkapan hati yang
tersembunyi.21 Dapat disebut juga bahwa implikatur bukanlah apa yang
sebenarnya diucapkan, penutur menyembunyikan maksud dan keinginan yang
sebenarnya. Oleh sebab itu, penutur dan petutur harus memiliki konteks yang
sama atas percakapan yang terjadi.

..... Implicatures are pragmatic aspects of meaning and have certain identifiable
characteristics. They are partially derived from the conventional or literal meaning of an
utterance, produced in a specific context which is share by the speaker and the hearer,
and depend on a recognition by the speaker and the hearer of the Cooperative Principle
and it‟s maxims. For the analyst, as well as the hearer, conversational implicatures must
be treated as inherently indeterminate since they derive from a supposition that the
speaker has the intention of conveying meaning and of obeying the Cooperative
Principle.22

(..... Implikatur merupakan aspek pragmatik dari makna dan memiliki


karakteristik tertentu yang dapat diidentifikasi. Makna dan karakteristik sebagian
berasal dari arti konvensional atau harfiah dari ucapan, dihasilkan dalam konteks
tertentu yang diberikan oleh pembicara dan pendengar, dan tergantung pada
pengakuan pembicara dan pendengar terhadap prinsip kerjasama dan maksim-
maksim itu. Untuk analis, serta pendengar, implikatur percakapan harus
diperlakukan sebagai sifat tak tentu karena mereka berasal dari anggapan bahwa
pembicara memiliki niat menyampaikan makna dan mematuhi Prinsip
Kerjasama). Berdasarkan penjelasan mengenai implikatur tersebut dapat
dikatakan bahwa implikatur merupakan bagian dari pragmatik yang memiliki
karakteristik sebagian berasal dari konvensional ucapan yang dihasilkan oleh

21
Alek dan Achmad, Linguistik Umum; Sebuah ncangan Awal Memahami Ilmu Bahasa, (Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009), h. 152
22
Gillian Brown dan George Yule, Discourse Analysis, (New York: Cambridge University press,
1983), h. 33
15

penutur dan petutur dalam konteks tertentu dan sikapnya terhadap maksim-
maksim prinsip kerjasama.

Implikatur dapat juga diartikan mengacu ke yang dikomunikasikan petutur


tetapi tidak dikatakan oleh penutur.23 Menduga guessing tergantung pada konteks,
yang mencakup permasalahan, peserta petuturan dan latar belakang penutur dan
lawan tuturnya. Semakin dalam suatu konteks dipahami, semakin kuat dasar
dugaan tersebut.24 Dari penjelasan implikatur sebelumnya dapat ditarik bahwa
implikatur merupakan tuturan yang tidak secara langsung dan memberikan
informasi lebih serta terkadang menuntut petutur untuk menebak apa yang
dimaksud oleh penutur. Tebakan atau dugaan itu tergantung kepada konteks
tuturan dan yang melatarbelakangi tuturan.

Implikatur sebuah ujaran dapat dipahami antara lain dengan menganalisis


konteks pemakaian ujaran. Pengetahuan dan kemampuan menganalisis konteks
pada waktu menggunakan bahasa sangat menentukan ketepatan menangkap
implikatur. Konteks sangat menentukan makna sebuah ujaran. 25 Implikatur
bergantung kepada pemahaman latar belakang konteks dan situasi kedua
pembicara.26 Jadi, implikatur sangat dipengaruhi oleh konteks yang
melatarbelakangi ujaran peserta pembicara. Konteks tersebut memudahkan
pembicara untuk menangkap makna implikatur. Berikut ini adalah contoh
implikatur percakapan:

Konteks: seorang istri menelepon suaminya untuk menanyakan kapan akan


sampai di rumah
Maika: “Kapan kamu akan sampai di rumah?”
Braka: “Seharusnya aku sampai jam delapan, tapi kamu juga tahu bagaimana
macet dalam perjalanan ke rumah.”

Jawaban dari Braka terhadap istrinya mengandung setidaknya dua implikatur:


pertama, Braka tidak akan sampai di rumah tepat pada jam delapan karena kata
seharusnya memiliki arti sesuatu yang tidak akan terjadi sesuai dengan yang

23
Asim Gunarwan, PELBBA 18 Pertemuan Linguistik Pusat Kajian Bahasa dan Budaya Atma
Jaya ke Delapan Belas (Jakarta: Pusat Kajian Bahasa dan Budaya Unika Atma Jaya, 2007) h. 86
24
F.X. Nadar, op. cit., h. 61
25
Abdul Rani, dkk., op. cit.,h. 181
26
Diemroh Ihsan, Pragmatik, Analisis Wacana, dan Guru Bahasa: Pragmatics, Discourse
Analysis, and Language Teachers, (Palembang: Universitas Sriwijaya, 2011) h. 108
16

diharapkan. Hal ini dapat dipahami oleh istrinya. Kedua, keadaan macet dalam
perjalanan tidak bisa dipastikan sehingga ketepatan sampai di rumah juga tidak
bisa dipastikan. Saat Braka ditanya kapan dia akan sampai di rumah, dia tidak
dapat berjanji secara pasti untuk dapat sampai di rumah pukul delapan dengan
alasan macet.

Peneliti menyimpulkan bahwa implikatur adalah komunikasi yang


ditimbulkan karena adanya tujuan-tujuan percakapan yang berkonteks.
Penyimpulan informasi atau pesan yang disampaikan di luar dari apa yang
dikatakan dalam arti sebenarnya dan melanggar maksim dalam prinsip kerjasama.
Informasi yang disampaikan terkadang menuntut petutur untuk menebak apa yang
dimaksud oleh penutur.

Ada empat manfaat konsep implikatur menurut Levinson dalam Rani


yaitu:

1. memberikan penjelasan makna dan fakta kebahasaan yag tidak


terjangkau oleh teori linguistik;
2. memberikan penjelasan yang jelas tentang perbedaan lahiriah dari
yang dimaksud pemakai bahasa;
3. memberikan pemerian semantik yang sederhana mengenai hubungan
klausa yang dihubungkan dengan kata peghubung yang sama; dan
4. memberikan fakta yang secara lahiriah terlihat tidak berkaitan, akan
tetapi berlawanan (metafora).27

Berdasarkan uraian tersebut, implikatur sangat bermanfaat dalam menjelaskan


mengenai fakta kebahasaan yang tidak dapat di jangkau oleh teori-teori linguistik.
Implikatur juga bermanfaat untuk menjelaskan makna yang berbeda dan terlihat
tidak berhubungan dari apa yang dituturkan.

Berikut adalah beberapa teori yang membahas tentang implikatur. Akan


tetapi, peneliti lebih fokus menggunakan teori yang disampaikan oleh Grice dan
Sperber dan Wilson. Grice menjelaskan teori mengenai prinsip kerjasama
percakapan dan pelanggaran terhadap prinsip kerjasama percakapan. Sementara

27
Abdul Rani, dkk., op.cit., h. 173
17

itu, Sperber dan Wilson menjelaskan teori relevansi. Adapun teorinya, yaitu
sebagai berikut:

Teori Grice

Istilah implikatur sering kali dikaitkan dengan Grice, yang mengasumsikan


di dalam komunikasi orang hendaklah bekerjasama dengan mitra wicaranya
(petutur) agar komunikasi efisien dan efektif. Partisipan komunikasi harus
mematuhi PKS (prinsip kerjasama) yang dapat dijabarkan menjadi empat maksim,
yaitu maksim keinformatifan, kebenaran, relevansi, dan maksim kejelasan.
Namun, partisipan komunikasi pada umumnya tidak mematuhi PKS (prinsip
kerjasama) Grice. Salah satu sebabnya adalah bahwa komunikasi itu tidak selalu
berupa penyampaian pesan atau informasi saja.28 Grice memostulatkan bahwa
peserta dalam komunikasi seharusnya memenuhi prinsip kerjasama agar
komunikasi efektif dan efisien. Namun, komunikasi yang dilakukan tidaklah
hanya sekedar memberikan pesan sehingga peserta komunikasi sering melanggar
prinsip kerjasama Grice.

The point of the Co-operative principle and the maxims is not to tell people how
to behave, of course. The point is that speakers are permitted to flout the maxims in order
to convey something over and above the literal meaning of the utterance. .... it is useful to
have some way of referring to the kind of preposition that a speaker intends to convey in
this implicit fashion, and the standard term for this is conversational implicature. The
implicature is conversational because it only arises in an appropriate conversational
context.29

(Maksud dari prinsip kerjasama dan maksim tidak memberitahu orang bagaimana
berperilaku, tentu saja. Intinya adalah bahwa pembicara diizinkan untuk
melanggar maksim dalam rangka untuk menyampaikan sesuatu atas dan di atas
arti harfiah dari ucapan. .... hal ini berguna untuk memiliki beberapa cara mengacu
pada jenis preposisi bahwa pembicara bermaksud untuk menyampaikan dengan
cara implisit, dan istilah standar untuk ini adalah implikatur percakapan.
Implikatur percakapan ini karena hanya muncul dalam konteks percakapan yang
tepat). Jadi, peneliti menyimpulkan kutipan tersebut bahwasasnya prinsip
kerjasama bukanlah prinsip yang mendiktekan bagaimana cara seseorang
melakukan percakapan. Maksim yang ada pada prinsip kerja sama dapat dilanggar
untuk menyampaikan informasi sesuai dengan tuturan atau di luar tuturan.

28
Ibid., h. 87
29
Andrew Radford, dkk., Linguistics An Introduction; Second Edition, (New York: Cambridge
University Press, 2009), h. 397
18

Grice berpendapat bahwa untuk menggali kandungan eksplisit dari sebuah ujaran
adalah sama dengan menggali apa yang kita sebut dengan proposisional dan mood yang
diekspresikannya; sementara semua bentuk asumsi lain yang dikomunikasikan oleh
ujaran, baik yang dikodekan maupun yang disimpulkan, adalah implikatur. Implikatur
yang dikodekan adalah apa yang ia sebut “implikatur konvensional” sementara implikatur
yang disimpulkan adalah “non-konvensional”, dimana salah satu dari bentuk implikatur
non-konvensional yang paling kita kenal adalah “implikatur percakapan”. 30

Implikatur adalah segala yang disimpulkan dan dikodekan dalam sebuah ujaran
yang dikomunikasikan. Implikatur yang dikodekan dikenal juga dengan
implikatur konvensional. Implikatur percakapan adalah salah satu dari implikatur
non-konvensional.

“By providing a description of the norms speakers operate with in conversation, Grice
makes it possible to describe what types of meaning a speaker can convey by „flouting‟ one of this
maxims. This flouthing of a maxim results in the speaker conveying, in addition to the literal
meaning of his utterance, an additional meaning, which is conversational implicature.”31

(Dengan memberikan gambaran tentang norma-norma tindakan pembicara dalam


percakapan, Grice memungkinkan untuk menggambarkan jenis makna apakah
seorang pembicara dapat sampaikan dengan 'melanggar' salah satu dari maksim-
maksim ini. Pelanggaran maksim-maksim ini hasil dari yang disampaikan
pembicara, di samping arti harfiah dari ucapannya, arti tambahan, yaitu implikatur
percakapan). Jadi, implikatur percakapan adalah hasil dari pelanggaran maksim
yang dilakukan oleh penutur disamping arti secara konvensional.

“Menurut Leech dalam Rani mengomentari prinsip percakapan Grice


tersebut sebagai kendala dalam berbahasa. Prinsip itu berlaku secara berbeda
dalam konteks penggunaan yang berbeda. Maksim berlaku dalam tingkatan
berbeda dan tidak ada prinsip yang berlaku secara mutlak atau sebaliknya tidak
berlaku sama sekali.”32 Jadi, sanggahan Leech tersebut menyatakan bahwa prinsip
kerjasama Grige memiliki kedala dalam berbahasa. Kendala tersebut terdapat
pada prinsip yang menyesuaikan terhadap konteks dan maksim bukanlah suatu hal
yang mutlak.
Grice argues that these maxims can account for the gap between linguistic
semantic meanings and coveyed meanings, because they serve as a basis for generating
implicit meanings, particularized conversational implicatures (henceforth implicatures
throughout). Surprisingly perhaps, these maxims are responsible for our generating

30
Dan Sperber dan Deirdre Wilson (penerjemah: Suwarna, dkk.), Teori Relevensi; Komunikasi
dan Kognisi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 266
31
Gillian Brown dan George Yule, op. cit., h. 32
32
Abdul Rani, dkk., op.cit., h. 172
19

implicatures both when we observe the maxims, and when the flout them. The reasons for
the generation of implicatures under these different circumstances are di fferent, of course
in the first type of case, an implicature is generated because of the assumption that the
speaker is following the cooperative principle (CP). Obeying the CP creates expectations
that the maxims are being adhered to as well. If so, the speaker is seen as generating as
implicatures whatever assumptions are needed in order to view the speaker as obeying
the maxims.33

(Grice berpendapat bahwa maksim ini dapat menjelaskan kesenjangan antara


makna semantik linguistik dan makna kelompok, karena mereka berfungsi sebagai
dasar untuk menghasilkan makna implisit, terutama implikatur percakapan
(selanjutnya seluruh implikatur). Mungkin mengherankan, maksim ini
bertanggung jawab untuk menghasilkan implikatur kita baik ketika kita
mengamati prinsip-prinsip, dan ketika melanggar mereka. Alasan untuk generasi
implikatur dalam keadaan yang berbeda, tentu saja dalam jenis kasus pertama,
implikatur yang dihasilkan karena asumsi bahwa pembicara mengikuti prinsip
koperasi (CP). Mematuhi CP menciptakan harapan bahwa maksim sedang
dipatuhi juga. Jika demikian, pembicara dipandang sebagai menghasilkan
implikatur apapun asumsi yang diperlukan dalam rangka untuk melihat pembicara
mematuhi maksim). Peneliti menyimpulkan bahwa maksim yang ada di prinsip
kooperatif atau prinsip kerjasama menurut Grice merupakan landasan dari
terjadinya implikatur dalam percakapan. Terlepas dari melanggar atau tidaknya
pembicara terhadap prinsip kerjasama. Akan tetapi, kepatuhan akan maksim
merupakan asumsi yang pertama penyebab terjadinya implikatur.

Teori Sperber dan Wilson

“Sperber dan Wilson mengkritik PKS yang diutarakan Grice. Sperber dan
Wilson berpendapat bahwa yang terpenting dari bidal-bidal yang disampaikan
Grice adalah bidal relevansi. Bidal relevansi menjadi titik tolak dari teori
relevansi. Relevan berarti berhubungan atau berkaitan dengan hal yang sedang
dibicarakan.”34 Teori relevansi bertujuan menerangkan komunikasi secara
keseluruhan, baik yang eksplisit maupun yang implisit. Teori Grice bertujuan
menerangkan komunikasi yang dayanya dapat ditarik secara eksplisit. 35 Relevance

33
Mira Ariel, Reaserch Surveys in Linguistics; Difining Pragmatics, (New York: Cambridge
University Press, 2010), h. 121-122
34
Ibid., h. 91
35
Ibid., h. 95
20

Theory maintains that speakers comply with a Communicative Principle of


Relevance, which states that when someone communicates in some way, that
communicative act brings with it a guarantee of its own optimal relevance.36
(Teori Relevansi menyatakan bahwa pembicara mematuhi Prinsip Komunikatif
dari Relevansi, menyatakan bahwa ketika seseorang berkomunikasi dalam
beberapa cara, tindakan komunikatif membawa serta jaminan relevansi
optimalnya sendiri). Jadi, Sperber dan Wilson lebih mementingkan bidal relevansi
yang menjadi dasar dari teori relevansi. Teori ini bertujuan untuk menerangkan
komunikasi baik secara langsung maupun tidak langsung. Tindakan komunikasi
membawa jaminan relevansi sendiri dengan mematuhi prinsip komunikatif dari
relevansi.

Eksplikatur menentukan dampak kontekstual dari ujaran sehingga


menentukan sebagian besar dari relevansinya. ..... Prinsip relevansi menuntun
proses penggalian implikatur. .... Implikatur dari sebuah ujaran digali dengan
merujuk pada pengharapan yang diekspresikan penutur tentang bagaimana
ucapannya harus mencapai relevansi optimal.37 Jadi, tercapainya suatu relevansi
yang optimal terjadi karena ekspresi dari harapan penutur terhadap implikatur
yang merujuk kepada konteks. Prinsip relevansi lah yang menuntun untuk
menggali makna implikatur yang didasari oleh konteks tuturan.

“Intuitively, an input (a sight, a sound, an utterance, a memory) is relevant to an


individual when it connects with background information he has available to yield conclusions
that matter to him: say, by answering a question he had in mind, improving his knowledge on a
certain topic, settling a doubt, confirming a suspicion, or correcting a mistaken impression.”38

(Secara intuitif, masukan (pandangan, suara, ucapan, memori) relevan dengan


individu ketika terhubung dengan latar belakang informasi yang dia sediakan
untuk menghasilkan kesimpulan yang penting baginya: katakanlah, dengan
menjawab pertanyaan yang ada dalam pikirannya, meningkatkan pengetahuan
tentang topik tertentu, menetap keraguan, mengkonfirmasikan kecurigaan, atau
mengoreksi kesan keliru). Kesimpulan dari peneliti yaitu segala pengetahuan,
pandangan,dan ucapan yang dimiliki oleh pembicara relevan dengan konteks yang

36
Andrew Radford, dkk., op. cit., h. 399
37
Dan Sperber dan Deirdre Wilson (penerjemah: Suwarna, dkk.), op. cit., h. 283-284
38
Charles F. Meyer, Introducing English Linguistics, (New York: Cambridge University Press,
2009), h. 61
21

melatarbelakangi tuturan, tersimpan di dalam memori untuk merespon dan


menjawab segala informasi yang disediakan. Jawaban itu bisa berupa konfirmasi
mengenai dugaan, keraguan, dan meningkatkan pengetahuan mengenai topik
tertentu.

The principle of Relevance requires that the speaker balances informativeness (or rather,
contextual effects) on the one hand, and processing cost on the other. The ideal situation would be
to produce maximal cognitive effects for a minimal processing cost. However, there is an
asymmetry between the requirements of processing cost and contextual effects. 39

(Prinsip Relevansi membutuhkan keseimbangan keinformatifan pembicara (atau


lebih tepatnya, efek kontekstual) di satu sisi, dan juga nilai proses di sisi lain.
Situasi yang ideal akan menghasilkan efek kognitif maksimal untuk nilai proses
minimal. Bagaimanapun, adanya ketidakseimbangan antara kebutuhan nilai
proses dan efek kontekstual). Jadi, semakin sedikit nilai proses suatu komunikasi,
maka semakin maksimal efek kognitif yang dihasilkan. Dalam prinsip relevansi
keseimbangan antara kontekstual dan nilai dalam proses komunikasi haruslah
seimbang.

Sperber dan Wilson menyatakan bahwa dari prinsip relevansi itu dapat
dikatakan bahwa surplus informasi yang diberikan dalam jawaban tak langsung
tentu dalam mencapai relevansi lain tertentunya sendiri. 40 Contohnya,

Konteks: Si A ingin mengajak Si B makan bersama


A: “Maukah kau makan malam bersamaku?”
B: “Aku akan pergi menemani ibu ke supermarket.”

Setiap kontribusi percakapan dalam kerangka teoritis relevansi, jawaban yang


diberikan B mengomunikasikan sebuah anggapan relevansi sendiri. A mengetahui
anggapan ini dan memproses jawaban B bukan hanya sebagai penolakan tak
langasung terhadap tawaran A, tetapi juga sebagai upaya untuk mencegah
pertanyaan tentang alasan bagi penolakan ini dengan memberikan alasan semacam
sebelumnya. Jaminan relevansi yang tersirat dalam penegasan ujaran petutur
dalam kerangka teoritis relevansi sekali lagi dalam hal ini sudah berperan
memengaruhi bagaimana A memproses jawaban tak langsung B. 41 Pada contoh

39
Mira Ariel, op. cit., h. 139
40
Louise Cummings (Eti Setiawati, dkk.), Pragmatik, Sebuah Perspektif Multidisiplin
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 30
41
Ibid
22

tersebut, B menemukan relevansi dari jawaban A berdasarkan pengetahuannya


sendiri berdasarkan konteks yang dimiliki bersama. B mengetahui jikalau A
menolak ajakannya dan A memberikan jawaban seperti di contoh karena dia
mengantisipasi supaya tidak terjadi lagi pertanyaan berikutnya.

Berikut adalah salah satu contoh yang membuktikan teori implikatur


Sperber dan Willson lebih kuat dari teori implikatur Greice.

Konteks: dua orang teman sedang membicarakan film yang mereka sukai
Penutur A: “Saya suka film perang, kamu?”
Petutur B: “Drama musikal akan lebih menyenangkan.”

Jawaban B merupakan tindak tutur tidak langsung yang memiliki implikatur


percakapan. Yang langsung akan berbunyi saya tidak suka film perang atau
elipsisnya Tidak. Percakapan tersebut telah melanggar PKS Grice, dengan teori
Sperber dan Wilson, implikatur yang dimaksudkan B itu tidak suka menonton
film perang. Bisa juga terdapat implikatur yang lain bahwa B pada saat itu lebih
senang menonton drama musikal terlebih dahulu. Jawaban dari B bisa di pahami
oleh A karena mereka memahami konteks yang ada.

Implikatur percakapan melanggar PKS Grice, misalnya meniadakan bidal


atau maksim kuantitas karena penutur tidak mengetahui dengan pasti jawaban dari
pertanyaan penutur yang membutuhkan jawaban dengan maksim kuantitas.
Petutur menjawab pertanyaan dengan maksim kualitas agar percakapan dapat
berjalan dan penutur mendapatkan jawaban atas pertanyaannya. Pelanggaran
terhadap satu maksim bertujuan untuk menutupi maksim yang lainnya.

Sperber and Wilson‟s Relevance Theory argues for a single Principle of Relevance to
replace all of Grice‟s maxims. This principle operates to ensure that speakers‟s utterances an
Optimally Relevances namely, that they provide an adequate number of contextual effects for the
most minimal processing effort.42

(Teori Relevansi Sperber dan Wilson berpendapat Prinsip tunggal Relevansi


untuk mengganti semua maksim Grice. Prinsip ini beroperasi untuk memastikan
bahwa ucapan-ucapan pembicara itu sebuah Relevansi Optimal yakni, bahwa
mereka menyediakan jumlah efek kontekstual yang memadai untuk usaha
pengolahan yang paling minimal). Jadi, prinsip relevansi dapat menggantikan

42
Mira Ariel, op. cit., h. 143
23

prinsip-prinsip Grice. Prinsip relevansi ini untuk mengetahui apakah tuturan yang
dilontarkan memiliki relevansi yang optimal yaitu efek kontekstual sepadan
dengan usaha yang dibutuhkan dalam proses berkomunikasi.

Penutur tidak hanya bermaksud menyebabkan efek tertentu pada


pendengarannya melalui penggunaan ujarannya; malahan, efek ini hanya dapat
dicapai dengan tepat apabila maksud untuk menghasilkan efek ini diketahui oleh
pendengar. Oleh karena itu, dia tidak merupakan bagian dari maksud komunikasi
penutur.43 Jadi, maksud yang ingin disampaikan oleh penutur tidak merupakan
bagian dari tuturan secara literal. Tuturan dapat dipahami oleh petutur apabila
petutur menyadari konteks dan maksud yang ingin disampaikan.

A central idea of Relevance Theory is that an utterance is relevant to a hearer


when the hearer can gain positive cognitive effects from that utterance, that is some useful
information. There are two aspects to this. Firstly, the most relevant interpretation of an
utterance must lead to inferences that the hearer would not otherwise have been able to
make. Secondly, these inferences must be accessible to the hearer in the sense that it must
be possible to draw those inferences in a short space of time with relative little effort. If the
inferential process requires too much effort, then the inferences cannot be drawn. 44

(Ide sentral Teori Relevansi adalah bahwa ucapan relevan dengan pendengar
ketika pendengar dapat memperoleh efek kognitif positif dari ucapan, itu
merupakan beberapa informasi yang berguna. Ada dua aspek. Pertama, penafsiran
yang paling berkaitan dengan tuturan harus didahului dengan kesimpulan bahwa
pendengar tidak akan bisa menafsirkan kesimpulan. Kedua, kesimpulan ini harus
dapat diakses oleh pendengar dalam arti bahwa harus memungkinkan untuk
menarik kesimpulan mereka dalam waktu singkat dengan relatif sedikit usaha.
Jika proses inferensial memerlukan terlalu banyak usaha, maka kesimpulan tidak
dapat ditarik). Berdasarkan kutipan tersebut peneliti menyimpulkan bahwa
pendengar akan memperoleh efek positif dari sebuah ujaran apabila ujaran
tersebut relevan dengan konteks yang melatarbelakanginya. Ada dua aspek
positif, pertama yaitu penutur harus menyimpulkan terlebih dahulu bahwa
pendengar tidak mampu menafsirkan kesimpulan. Kedua, kesimpulan harus dapat
diakses oleh pendengar, menarik kesimpulan dalam waktu yang singkat dan
sedikit usaha.

Relevant information, emphasize Sperber and Wilson, must n ot involve an


unjustifiably high processing cost to the adderssee. A maximal degree to the Relevance
then means that the speaker is conveying the most informative message (enabling a
maximal number of contextual effects), but imposing on the addressee only a relatively
low processing effort. Other things being equal, extracting more contextual implications
comes with a higher processing cost to the addressee: first, speakers would have to say

43
Ibid., h. 13
44
Andrew Radford, dkk., op. cit., h. 399
24

more, imposing on the addressee more interpretative processing, a nd second addressees


might have to access less and less accessible contexts, in order to drive more and more
contextual implications. This does not constitute a reasonable mechanism for everyday
communication, argue Sperber and Wilson. 45

(Informasi yang relevan, yang ditekankan Sperber dan Wilson, tidak harus
melibatkan nilai proses paling tinggi dalam penyampaian suatu maksud. Tingkat
maksimal kerelevansian berarti bahwa pembicara dapat menyampaikan pesan
yang paling informatif (memungkinkan jumlah maksimal dari efek kontekstual),
tapi memaksakan pada penerima hanya proses usaha yang relatif rendah. Hal lain
dianggap sama, penggalian implikasi yang lebih kontekstual datang dengan nilai
proses yang lebih penting dalam penyampaian suatu maksud: pertama, pembicara
harus mengatakan lebih, memaksakan pada penerima proses lebih interpretatif,
dan kedua petutur mungkin harus kurang mengakses dan konteks kurang dapat
diakses, dalam mendorong semakin banyak implikasi kontekstual. Hal ini bukan
merupakan mekanisme yang wajar untuk komunikasi sehari-hari, pendapat
Sperber dan Wilson). Jadi, untuk menyampaikan suatu maksud tidak harus
melibatkan nilai proses yang tinggi untuk menyimpulkannya. Tuturan akan
memiliki relevansi yang maksimal apabila memiliki nilai kontekstual yang
maksimal dan meminimalkan usaha pendengar dalam menyimpulkan tuturan atau
pesan yang dimaksud. Penafsiran informasi yang lebih kontekstual ada dua cara,
yang pertama yaitu penutur harus menyampaikan informasi yang lebih. Kedua,
penutur tidak memberikan informasi yang lebih dan tidak sesuai dengan konteks,
dalam mendorong implikasi kontekstual.

Relevant information need to be new, then. What is crucial, however, is that it


modifies assumptions entertained by the addreses. This means th at Relevant information
necessarily interacts with assumptions already available to the addresses. Indeed, the
third, and most common way in which an utterance achieves Relevance is by combining
with currently accessible contextual assumptions to yield further contextual implications.
Contextual implications are conclusions drawn from premises derived from both
contextual assumptions and the information conveyed by the speaker. 46

(Informasi yang relevan harus baru. Apa yang penting, bagaimanapun, bahwa
memodifikasi anggapan dilakukan oleh sialamat. Ini berarti bahwa informasi yang
relevan harus berinteraksi dengan anggapan yang sudah tersedia ke sialamat.
Memang, cara ketiga, dan yang paling umum di mana ucapan mencapai Relevansi

45
Mira Ariel, op. cit., h. 138
46
Mira Ariel, op. cit., h. 137
25

adalah menggabungkan dengan anggapan kontekstual saat ini diakses untuk


menghasilkan implikasi kontekstual lebih lanjut. Implikasi kontekstual adalah
kesimpulan yang diambil dari tempat yang berasal dari kedua anggapan
kontekstual dan informasi yang disampaikan oleh pembicara). implikasi
kontekstual adalah informasi yang sesuai dengan konteks pembicaraan dan yang
melatarbelakangi pembicaraan tersebut. Informasi yang relevan adalah informasi
yang baru. Pendengar harus mampu memodifikasi informasi yang di peroleh
dengan informasi yang ada pada memorinya. Mencapai suatu relevansi apabila
menggabungkan kontekstual saat ini untuk menghasilkan kontekstual selanjutnya.

2. ciri-ciri implikatur

Ciri-ciri implikatur ada lima yaitu dapat terbatalkan, tak terlekatkan dari
apa yang sedang dikatakan, bukan bagian dari makna ungkapannya, tidak
47
dibawakan oleh apa yang dikatakannya, dan tak terbatas.

a) dapat terbatalkan maksudnya pernyataan yang diberikan oleh penutur


dapat dibatalkan dengan memilih keluar dari prinsip kooperatif
percakapan. Contoh: kita dapat saja menambahkan Saya tidak
bermaksud untuk menyiratkan;
b) tak terelakkan dari apa yang sedang dikatakannya yaitu hal yang sama
dikatakan dengan cara yang berbeda, maka implikatur yang sama akan
melekat pada kedua sikap ungkapan tersebut. Implikatur yang sama
„telah gagal mencapai sesuatu‟ melekat pada ungkapan-unkapannya.
Contoh, „Aku mencoba untuk melakukannya‟ dan „Aku berusaha
untuk melakukannya‟ ujaran-ujaran ini melekat pada parafrase-
parafrase;
c) bukan bagian dari makna ungkapannya. Maksud dari pernyataan
tersebut yaitu makna yang tersimpan dari tuturan bukan bagian dari
ungkapannya. Contohnya dalam kata „agaknya‟ itu dapat mengandung
dua makna yang tergantung pada pengetahuan sebelumnya terhadap
makna kata tersebut;

47
Hindun, Pragmatik untuk Perguruan Tinggi, (Depok: Nufa Citra Mandiri, 2012), h. 46-47
26

d) tidak dibawakan dari apa yang dikatakan yaitu makna yang


disampaikan bukan bawaan dari proposisionalnya; dan
e) tak terbatas. Maksudnya makna yang dihasilkan oleh tuturan tak
terbatas karena tidak terikat secara harfiah.

Berdasarkan ciri-ciri yang telah dijelaskan tersebut, implikatur bukanlah


sesuatu yang kaku. Pelanggaran terhadap prinsip kerjasama dapat membatalkan
pernyataan yang dituturkan oleh penutur. Tuturan yang disampaikan tidak
membawakan makna yang yang dimaksud oleh penutur.

Grice characterizes a potential interpretation as an implicature if it fulfills


certain conditions. (1) Implicatures are not part of the conventional, semantic meaning;
(2) implicatures are nondetachable, namely, they would be generated from the same
content of utterance in the same context even if the utterance was to be differently phrased
(with the exclusion of manner implicatures); (3) implicatures must be computable, that is,
we should be able to reconstruct all the assumed steps required in generating them; (4)
implicatures are not fully determinate (they are open ended to some extent), since there
may be more than one way to explain the speaker‟s adherence to the cooperative
principles while flouting some maxim: (5) implicatures are cancelable, which means that
we can explicitly deny our commitment to them without creating a contradiction. 48

(Ciri interpretasi potensi Grice sebagai implikatur bila memenuhi kondisi


tertentu. (1) Implikatur bukan bagian dari konvensional, makna semantik, (2)
implikatur yang tidak dapat dilepaskan, yaitu mereka akan dihasilkan dari konten
yang sama dari ucapan dalam konteks yang sama bahkan jika ucapan itu harus
berbeda diutarakan (dengan pengecualian implikatur cara), (3) implikatur harus
diperhitungkan, yaitu kita harus mampu merekonstruksi semua langkah yang
diperlukan diasumsikan dalam menghasilkan mereka, (4) implikatur tidak
sepenuhnya sudah tentu (mereka terbuka berakhir sampai batas tertentu), karena
mungkin ada lebih dari satu cara untuk menjelaskan kepatuhan pembicara dengan
prinsip-prinsip kerjasama sambil melanggar beberapa maksim: (5) implikatur
dapat dibatalkan, yang berarti bahwa kita dapat secara eksplisit menyangkal
komitmen kita kepada mereka tanpa membuat kontradiksi). Jadi, implikatur harus
memenuhi beberapa persyaratan, pertama, bukanlah makna sebenarnya atau
makana dari apa yang disampaikan atau konvensional. kedua, implikatur
merupakan hasil dari konteks yang sama dan saling terkait. Ketiga, implikatur

48
Mira Ariel, op. cit., h. 124-125
27

harus direncanakan dan diperkirakan. Keempat, implikatur bukanlah hal yang


kaku. Kelima, implikatur dapat sangkal dan dibatalkan.

Implikatur memiliki dua sifat yang menurut para ahli pragmatik.

a) semuanya bersifat tertentu atau tegas. Premis dan kesimpulan


secara tegas mengandung kandungan yang logis;
b) bertanggung jawab sepenuhnya bagi kebenaran premis dan
kesimpulan. ..., ada kecendrungan dalam pragmatika modern untuk
melakukan implikatur dengan cara ini: yaitu sebagai asumsi-
asumsi yang tegas dimana penuturnya bertanggung jawab atas
isinya seolah dia telah menyatakan secara langsung.49 Jadi,
implikatur harus memiliki sifat yang tegas dan bertanggungjawab
terhadap premis dan kesimpulan yang dilakukan. Setiap penutur
harus memiliki sifat yang tegas terhadap asumsi-asumsi yang
disampaikannya dan bertanggung jawab terhadap isi yang
disampaikan dengan menganggap bahwa itu merupakan tuturan
secara langsung dan harus memiliki kelogisan.

Aneka Tindak Tutur dalam Pengungkapan Implikatur

Pengungkapan di dalam berkomunikasi menurut kerangka teori Parker


(1986) sekurang-kurangnya dapat dibedakan menjadi empat yaitu tindak tutur
langsung, tindak tutur tidak langsung, tindak tutur literal, tindak tutur tidak literal.
Literal dan tidak leteral sama saja dengan langsung dan tidak langsung maka oleh
karena itu akan dipaparkan pengungkapan dengan tindak tutur langsung dan
tindak tutur tidak langsunng. Dapat dijelaskan sebagai berikut:

1) Pengungkapan dengan Tindak Tutur Langsung

Tindak tutur langsung adalah tindak tutur yang maksud pertuturannya


diungkapkan dengan kalimat-kalimat yang sesuai dengan modusnya, yakni
kalimat berita untuk memberitakan, kalimat tanya untuk bertanya, dan kalimat
memerintah untuk memerintah.

49
Dan Sperber dan DeirdreWilson (penerjemah: Suwarna, dkk.), op. cit., h. 286
28

2) Pengungkapan dengan Tindak Tutur Tidak Langsung

Tindak tutur tidak langsung adalah tindak tutur yang situasi atau
pertuturannya diutarakan dengan modus kalimat yang tidak bersesuaian.
Misalnya maksud memerintah diutarakan dengan kalimat tanya, dan
50
sebagainya.

Jadi, Pengungkapan tindak tutur langsung dan tidak langsung dalam


berkomunikasi sama saja dengan literal dan tidak literal. Tindak tutur
langsung, tuturannya diungkapkan sesuai dengan maksud pembicaraan.
Tindak tutur tidak langsung, tuturan yang diutarakan tidak bersesuaian dengan
maksud yang diinginkan penutur. Contoh, kalimat berita dimaksudkan untuk
memerintah.

Levinson dalam PWJ Nababan dalam Alek mengemukakan


Keberadaan Implikatur dalam suatu percakapan (wacana dialog) diperlukan
antara lain untuk:

1. Memberikan penjelasan fungsional atas fakta-fakta kebahasaan yang tidak


terjangkau oleh teori-teori linguistik struktural;
2. Menjembatani proses komunikasi antarpenutur;
3. Memberikan penjelasan yang tegas dan eksplisit tentang bagaimana
kemungkinan pemakai bahasa dapat menangkap pesan, walaupun hal yang
diucapkan secara lahiriah berbeda dari hal yang dimaksud;
4. Dapat menyederhanakan pemerian semantik dari perbedaan hubungan
antarklausa, meskipun klausa-klausa itu dihubungkan dengan kata dan
struktur yang sama; dan
5. Dapat menerangkan berbagai macam fakta dan gejala kebahasaan yang
secara lahiria tidak berkaitan.51

Dari uraian tersebut dapat dikatakan bahwa implikatur diperlukan untuk


memberikan penjelasan fungsional atas fakta kebahasan yang tidak tercapai oleh
linguistik struktural. Selain itu implikatur juga diperlukan untuk menjembatani

50
I Dewa Putu Wijana dan Muhammad Rohmadi, op. cit., h. 126-127
51
Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Pragmatik, (Bandung: Angkasa, 2009), h. 154-155
29

proses komunikasi, memberipenjelasan yang tegas, menyederhanakan pemerian


semantik, dan dapat menerangkan fakta kebahasaan yang secara harfiah tidak
terkait.

3. Macam-macam Implikatur

Menurut Gazdar dalam PELBA 18, keempat maksim prinsip kerjasama


Grice perlu dirumuskan kembali sebagai landasan penarikan implikatur. Menurut
Gazdar, implikatur dapat dibedakan menjadi dua, yakni implikatur khusus dan
implikatur umum. Berikut adalah contoh implikatur khusus yang ada di contoh
pertama dan contoh kedua merupakan implikatur umum.

1. A: apakah Saudara mengundang Ali dan Ahmad?


B: saya mengundang Ali
Implikatur yang terdapat dalam dialog tersebut bahwa B tidak
mengundang Ahmad, Ia hanya mengundang Ali.
2. Saya sedang duduk-duduk disebuah taman. Tiba-tiba seorang anak
muncul menloncati pagar.
Implikatur dalam kalimat tersebut yaitu anak yang melompati pagar
bukanlah anak si penutur. Hal tersebut karena penutur
menggunakan kata “seorang”.52

Berdasarkan contoh tersebut, contoh pada nomor satu (1) mengharuskan lawan
bicara (A) memiliki pengetahuan yang khusus. Jawaban yang diberikan oleh B
mengisyaratkan bahwa dia tidak mengundang Ahmad, hanya mengundang Ali.
Pada contoh nomor dua (2) setiap orang yang mendengar atau membaca contoh
tersebut, mereka akan langsung mengetahui kalau si penutur menyebut “seorang”
secara langsung menandakan anak itu bukanlah anaknya. tidak memerlukan latar
belakang pengetahuan khusus untuk itu.

Adapun pendapat lain mengenai implikatur umum dan implikatur khusus


yaitu sebagai berikut:

a) Implikatur percakapan umum

52
Asim Gunarwan, op. cit., h. 88-89
30

Dalam kasus contoh, tidak ada latar belakang pengetahuan khusus dan
konteks tuturan yang diminta untuk membuat kesimpulan yang diperlukan.

Konteks, Doobie menanyakan Mary tentang undangannya ke sebuah pesta


kepada temannya Bella dan Cathy.
Doobie: Did you invite Bella and Cathy? (Apakah Anda mengundang Bella dan
Cathy?)
Mary: I invited Bella. (Saya mengundang Bella).

Pengetahuan khusus tidak dipersyaratkan untuk memperhitungkan makna


tambahan yang disampaikan.

b) Implikatur percakapan khusus

Sering kali percakapan terjadi dalam konteks yang sangat khusus dimana
kita mengasumsikan informasi yang kita ketahui secara lokal. Inferensi-inferensi
yang sedemikian dipersyaratkan untuk menentukan maksud yang disampaikan
menghasilkan implikatur percakapan khusus. Sebagai ilustrasi, dimana jawaban
Tom tidak tampak pada awalnya untuk mengikuti relevansi . (Sebuah jawaban
relevan yang sederhana adalah „YA‟ atau „TIDAK‟).

Rick : Hey, coming to the wild party tonight? (Hei, apakah kau akan
menghadiri pasta yang meriah nanti malam?)
Tom : My parents are visiting. (orang tuaku akan mengunjungiku)

Untuk membuat jawaban Tom menjadi relevan, Rick harus memiliki


persediaan sedikit pengetahuan yang diasumsikan bahwa salah satu mahasiswa
dalam adegan ini mengharapkan sesuatu yang lain yang akan dikerjakan.
Implikatur khusus hanya disebut implikatur.53 Jadi, implikatur umum tidak ada
persyaratan khusus yang melatarbelakangi percakapan. Implikatur khusus
menuntut adanya persyaratan khusus dalam percakapan, seperti memiliki
pengetahuan yang sama mengenai konteks percakapan dan relevansi percakapan
yang sedang dilakukan.

Menurut Grice dalam Rani dkk., dalam pemakaian bahasa terdapat


implikatur yang disebut implikatur konvensional dan implikatur percakapan.
Implikatur konvensional ditentukan oleh „arti konvensional kata-kata yang
dipakai‟. Implikatur percakapan mengutip prinsip kerjasama, yakni kesepakatan
53
George Yule, Pragmatik , (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 70-74
31

bahwa hal yang dibicarakan oleh partisipan harus berkait. 54 Jadi, implikatur
konvensional berdasarkan arti dari kata-kata yang dituturkan dan sesuai dengan
aturan konvensionalnya. Implikatur percakapan harus memiliki keterkaitan dalam
tuturan walaupun tidak mentaati keseluruhan dari aturan konvensional.

Contoh dari implikatur konvensional terdapat dalam kalimat berikut. Dia


orang Minang karena itu dia suka pedas. Contoh kalimat tersebut memiliki
implikasi bahwa hubungan seperti itu ada. Kalau ada orang Minang yang tidak
suka pedas, implikaturnya yang keliru, tapi ujarannya tidak salah.

Unlike the conversational implicatures, conventional implicatures do not require any


reference to the context, nor the Grecian maxims: they are not calculable, they are also
detachable, quite determinate, and they are noncancelable. With respect to all the se features,
conversational implicatures are rather like semantic meanings. 55

(Berbeda dengan implikatur percakapan, implikatur konvensional tidak


memerlukan referensi ke konteks , maupun maksim Grice: mereka tidak dapat
dihitung, mereka juga dilepas, cukup menentukan, dan mereka tidak dapat
dibatalkan. Sehubungan dengan semua fitur ini, implikatur percakapan agak
seperti makna semantik).

Segerdahl in Cummings stated that articularised conversational implicatures


are the type of implicature that is most often investigated in clinical pragmatic studies.
However, Grice proposed another main category of implicature called generalised
conversational implicature, one type of which scalar implicature, has also been examined
by clinical investigator. For the example in which the sentence in A may be take implicate
B:

A: There will be eight of us on the committee.

B: There won‟t be more than eight of us on the committee.

Sacalar implicatures are so-called because linguistic features are arranged along a scale
according to their information content. The affirmation of one feature on the scale (in the
example above, number eight)implicates that all the informatively stronger features on
scale (e.g. nine, ten, eleven, etc.) do not hold. 56

(Segerdahl dalam Cummings menyatakan bahwa secara jelas implikatur


percakapan adalah jenis implikatur yang paling sering diteliti dalam studi klinis
pragmatik. Namun, Grice mengusulkan kategori pokok lain implikatur umum

54
Abdul Rani, dkk., op. cit., h. 171
55
Mira Ariel, op. cit., h. 127-128
56
Louise Cummings, Clinical Pragmatics, (New York: Cambridge University Press, 2009), h. 15-
16
32

disebut implikatur percakapan, salah satunya skalar implikatur, juga telah


diperiksa oleh peneliti. Misalnya di mana kalimat di A dapat melibatkan B:

A: Akan ada delapan dari kita panitianya


B: Tidak akan ada lebih dari delapan dari kita di komite

Disebut Implikatur Sacalar karena ciri-ciri linguistik yang diatur sepanjang skala
sesuai dengan isi informasi mereka. Penegasan dari satu segi pada skala (dalam
contoh di atas, nomor delapan) mengimplikasikan bahwa keseluruhan informasi
yang kuat pada skala (misalnya sembilan, sepuluh, sebelas, dll) tidak terbatas).
Dapat disimpulkan bahwa selain implikatur skalar atau implikatur skala
merupakan bagian dari implikatur percakapan. Implikatur skala menyampaikan
informasinya dengan skala seperti pada contoh tersebut. Yang ditegaskan dalam
tuturan adalah pada skalanya.

Implikatur juga dapat dibedakan menjadi beberapa macam berdasarkan


bentuk eksplikaturnya. Pertama, implikatur berupa makna tersirat dari sebuah
ujaran (between the line). Kedua, implikatur berupa makna yang tersorot dari
sebuah ujaran (beyond the line). Berdasarkan bentuk eksplikatur, implikatur ada
yang tersirat diantara ujaran dan juga ada yang tersorot di luar ujaran. 57 Contoh,

A: “Tenggorokanku kering, butuh yang segar-segar nih.”


B: “Hmm, kita ke warung jus dan es buah saja.”

Implikatur A mengajak, meminta, mengambilkan, atau membelikan minuman


yang segar untuk menghilangkan dahaga. Implikatur B merupakan implikatur
yang tersorot dan maknanya sebagai lanjutan dari makna yang tersirat. Implikatur
yang tersirat dari A menyatakan bahwa dia kehausan. Oleh sebab itu A mengajak
atau meminta sesuatu kepada B untuk menghilangkan rasa haus dan dahaga.
Ujaran dan reaksi yang diberikan oleh B cukup mengena sehingga terlihat sebagai
wacana yang padu.

Menurut Dan Sperber dan Deirdre, implikatur ada dua jenis yaitu:

1) premis yang diimplikasikan. Premis ini harus disediakan oleh


pendengar, dimana pendengar harus mengambil dari memori. Premis-

57
Abdul Rani, dkk. op. cit., h. 178
33

premis itu dapat dikenali sebagai implikatur karena menimbulkan


sebuah interpretasi yang konsisten dengan prinsip relevansi; dan
2) kesimpulan yang diimplikasikan. Kesimpulan yang diimplikasikan di
deduksi dari eksplikatur ujaran dan dari konteks. Kesimpulan dapat
dikenali sebagai implikatur karena penutur mengharapkan pendengar
bisa menyimpulkan sendiri.58

Pemikiran dasar yang dimiliki oleh pendengar merupakan sebuah implikatur


karena memiliki relevansi dengan ujaran yang di dengar dan konteks yang
melatarbelakangi percakapan. Selain itu, kesimpulan yang dilakukan oleh
pendengar yang disimpulkan dari eksplikatur ujaran dan konteks juga merupakan
sebuah implikatur.

Contoh dari implikatur yang disampaikan oleh Sperber dan Wilson yaitu
sebagai berikut:

Peter: “Maukah kamu mengendarai Lamborghini?”


Risa: “Aku tak mau mengendarai mobile mewah manapun.

Jawaban Risa bukanlah jawaban langsung dari pertanyaan Peter. Akan tetapi,
Peter melalui pengetahuannya dapat menyimpulkan bahwa Lamborghini adalah
mobil mewah. Pemahaman Peter inilah yang disebut implicated premises. Peter
melanjutkan proses berpikirnya, mengapa jawaban Risa seperti itu dan
menggabungkan dengan pengetahuannya bahwa Lamborghini adalah mobil
mewah. Proses ini melahirkan kesimpulan bahwa Risa tidak mau mengendarai
Lamborghini, yang disebut sebagai implicated conclusion.

D. Prinsip Kerjasama Percakapan

Agar pesan yang dinyatakan dapat sampai dengan baik pada peserta tutur,
maka perlu mempertimbangkan prinsip kejelasan, prinsip kepadatan, dan prinsip
kelangsungan. Prinsp-prinsip tersebut secara lengkap dituangkan kedalam prinsip
kerjasama oleh Grice (1975).59 Prinsip kerjasama menyatakan bahwa penutur atau
petutur harus memberikan kontribusi percakapan seperti apa yang diinginkan,

58
Dan Sperber dan DeirdreWilson (penerjemah: Suwarna, dkk.), op. cit., h. 285
59
Kunjana Rahardi, Sosiopragmatik: Kajian Imperatif dalam Wadah Konteks Sosiokultural dan
Konteks Situasional, (Jakarta: Erlangga, 2009) h. 23
34

pada tahap dimana kontribusi itu diminta, dan sesuai dengan tujuan dan arah yang
sudah diterima dari pembicaraan yang dilakukan.60 Jadi, tindak tutur haruslah
jelas, padat, dan langsung agar bisa dimengerti oleh petutur atau lawan berbicara.
Kepadatan, kejelasan, dan kelangsungan dalam tuturan dituangkan oleh Grice
dalam prinsip kerjasama.

Prinsip kerjasama ini dilengkapi dengan empat maksim (aturan), yang


menjelaskan bagaimana cara kerja prinsip kerjasama. Maksim yang dimaksud
adalah sebagai berikut:

Maksim kuantitas

a) Buatlah ungkapan seinformatif mungkin sesuai dengan yang diminta; dan


b) Jangan buat ungkapan lebih informatif dari yang dibutuhkan.61

Contoh maksim kuantitas yaitu sebagai berikut:

1) Saya mengajar bahasa Indonesia dua kali seminggu pada hari senin
dan kamis, mulai dari jam 10 sampai 12.30 di kampus Andalas. Si
saya memberikan informasi yang lengkap tentang jadwal mengajar
mata kuliah, hari, jam, dan tempat.
2) I don‟t eat pork (Saya tidak makan babi). Si saya memberikan
informasi yang cukup jelas tetapi tidak berlebihan.

Maksim kualitas

a) jangan mengatakan sesuatu yang diyakini kalau itu salah


b) jangan mengatakan sesuatu kalau tidak ada bukti. 62

Contoh maksim kualitas yaitu sebagai berikut:

1) merokok berbahaya bagi kesehatan.


Semua orang sudah percaya karena telah menjadi pengetahuan umum
bahwa merokok berbahaya bagi kesehatan.

60
Elizabeth Black (penerjemah: Ardianto, dkk.), Stilistika Pragmatis, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2011), h. 50
61
Diemroh Ihsan, op. cit., h. 110
62
Elizabeth Black (penerjemah: Ardianto, dkk.), loc. cit.
35

2) Saya seorang mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Saya memberikan informasi apa adanya sesuai dengan fakta yang jika
diperlukan dapat diperlihatkan bukti yang mendukung. Salah satu
buktinya bisa dengan memperlihatkan Kartu Mahasiswa.

Maksim Relasi (Hubungan)

Di dalam maksim relevansi dengan tegas dinyatakan agar dapat terjalin


kerjasama yang sungguh-sungguh baik antara penutur dan petutur dalam praktik
bertutur sapa yang sesungguhnya masing-masing hendaknya memberikan
kontribusi yang benar-benar relevan tentang sesuatu yang sedang dipertuturkan. 63

Contoh maksim relasi yaitu sebagai berikut:

Tanggal 22 Desember jangan lupa membuat kejutan untuk ibu kita karena
hari itu adalah hari ibu.

Suatu asumsi adalah relevan dalam suatu konteks jika dan hanya jika ia
memiliki dampak kontekstual dalam konteks tersebut. Definisi menganggap
intuisi bahwa agar relevan dalam suatu konteks, suatu asumsi harus berhubungan
dengan konteks itu.64 Jadi, tuturan dikatakan relevan apabila memiliki dampak
kontekstual dalam konteks tuturan. Asumsi yang dituturkan haruslah berhubungan
dengan konteks yang melatarbelakangi tuturan.

Maksim cara atau prilaku

a) hindari ekspresi yang tidak jelas


b) hindari ambiguitas
c) sampaikan dengan ringkas
d) sampaikan secara tertata.65

Contoh dari maksim cara atau prilaku yaitu sebagai berikut:

1) hindari eksprisi yang tidak jelas. Contohnya,


Saya tidak tahu, apakah saya suka model baju itu atau tidak
63
Kunjana Rahardi, op. cit., h. 24
64
Dan Sperber dan DeirdreWilson (penerjemah: Suwarna, dkk.), op. cit., h. 181
65
Elizabeth Black (penerjemah: Ardianto, dkk.), op. cit., h. 50-51
36

2) hindari ambiguitas. Contohnya,


Saya cinta ibu kamu
3) sampaikan dengan ringkas. Contohnya,
Tolong matikan lampu
4) sampaikan secara tertata. Contohnya,
Ada dua cara untuk manusia berkomunikasi. Pertama kita bisa
berkomunikasi secara lisan dan yang kedua berkomunikasi melalui
tulisan.

Berdasarkan penjelasan mengenai maksim yang berhubungan dengan


prinsip kerjasama Grice, ada empat maksim yang mendukung prinsip kerjasama.
a) maksim kuantitas memberikan kontribusi yang sesuai dengan informasi yang
dibutuhkan dan tidak berlebih-lebihan; b) Maksim kualitas, mengatakan sesuatu
yang sesuai dengan fakta dan diyakini benar terjadi; c) Maksim relasi memiliki
kaitan dengan konteks apa yang sedang dibicarakan; dan d) Maksim cara atau
prilaku, menyampaikan yang jelas, ringkas, dan tertata.

Lets try to clarify this by examining one of Grice one of Grice‟s examples:

1) A: Smith dosen‟t seem to have a girlfriend


2) B: He‟s been paying lots of visits to New York Lately 66

The Gricean reasoning goes roughly as follows: Assummes that B is relation and
cooperative, and in particular is following the maxim of relation (be relevant); but B‟s
response would be violating this maxim. (Mari kita mencoba untuk menjelaskan hal ini
dengan melihat salah satu dari contoh Grice:

1. A: Smith tampaknya tidak punya pacar


B: Dia sudah membayar banyak kunjungan ke New York Akhir-akhir ini

Penalaran Grice kira-kira sebagai berikut: berpendapat bahwa B berhubungan dan


kooperatif, dan implikatur mengikuti maksim relasi; tetapi respon dari B melanggar
maksim ini).

“Grice argues that the co-operative principle is stated in the following way; mak e your
contribution to the conversation such as is required, at the stage at which it occurs, by the
accepted purpose or direction of the talk exchange in which you are engaged. For supporting this
principle are four maxims, often called the „Gricean Maxims‟”.67

("Grice berpendapat bahwa prinsip kooperatif dinyatakan dengan cara sebagai


berikut; memberikan kontribusi percakapan sesuai yang dibutuhkan, pada tahap

66
Nicholas Asher dan Alex Lascarides, Logic Of Conversation, (New York: Cambridge University
Press, 2003), h. 29
67
George Yule, The Study of Language, (New York: Cambridge University press, 2006), h. 129
37

dimana itu terjadi, dengan tujuan diterima atau arah pertukaran percakapan
dimana Anda terlibat . Untuk mendukung prinsip ini ada empat maksim, sering
disebut 'Gricean Maxims'”). Prinsip kerjasama Grice yaitu memberikan informasi
sesuai dengan yang dibutuhkan pada saat dimana percakapan itu berlangsung.
Grice memiliki empat maksim sebagai pendukung prinsip kerjasamanya yang
disebut dengan Grecian Maxims. Dari contoh yang diberikan oleh Crice pada
contoh nomor satu (1), jawaban yang diberikan oleh B melanggar prinsip
kerjasama Grice dan hanya mengikuti salah satu dari maksim pendukung yaitu
maksim relasi.

“Grice notes that a maxim such a Be polite is also normally observed, nor that equal
weight should be attached to each of the stated maxims. The maxim of manner, for example, does
obviously apply to primarily interactional conversation. We might obse rve that the instruction Be
relevant seems to cover all the other instructions.”68

(Grice mencatat bahwa kaidah seperti Maksim kesopanan biasanya juga diamati,
atau bahwa bobot yang sama harus terkait untuk masing-masing maksim.
Maksim cara, misalnya, tidak berlaku jelas untuk iteraksi percakapan. Kita bisa
mengamati bahwa instruksi jadi relevan tampaknya mencakup semua instruksi
lain). Jadi, tidak hanya maksim kualitas, maksim kuantitas, maksim relasi, dan
maksim cara yang diamati, akan tetapi maksim kesopanan juga diamati. Semua
maksim saling berkaitan dan cakupan semua intruksi membuat intruksi
percakapan menjadi relevan.

Different cultures differ widely in what they consider to be direct speech, or the degree to
which they insist upon indirect speech and the social settings in which each is used. Grice maxims
apply only to direct speech which is intended to communicate facts.69

(Perbedaan budaya dan perbedaan yang luas terhadap apa yang mereka anggap
sebagai tuturan langsung, atau sejauh mana mereka bersikeras atas ucapan tidak
langsung dan pengaturan sosial dimana digunakan. Maksim Grice hanya berlaku
untuk tuturan langsung yang dimaksudkan untuk mengkomunikasikan fakta-
fakta). Grice‟s maxims seem to be accurate descriptions of what is required in
scholarly writing, and even there they are often flouted, not always to produce

68
Gillian Brown dan George Yule, loc. cit.
69
Elaine Chaika, Linguistics, Pragmatics, and Pshycotherapy, (London: Whurr Publishers, 2000),
h. 36
38

implicatures.70 (Maksim Grice tampaknya menjadi gambaran yang akurat tentang


apa yang diperlukan dalam penulisan ilmiah, dan bahkan mereka sering
melanggar, tidak selalu menghasilkan implikatur). Cooperative principle:
speaker‟s meaning can be calculate on the basis of semantics meaning and the
assumption that speakers are behaving relationally and cooperatively.71 (Prinsip
kerjasama: makna pembicara dapat diperhitungkan atas dasar makna semantik dan
asumsi bahwa pembicara berperilaku terkait dan bekerjasama). Berdasarkan
penjabaran tersebut, Prinsip kerjasama dapat memperhitungkan makna pembicara
atas dasar makna semantik dan hanya bisa berlangsung dalam menyampaikan
fakta-fakta. Maksim Grice lebih cocok dalam penuliasan ilmiah.

Grice broke the general principle into four conversational maxims to explain what
rationality and cooperativeness are: 1) The maxim of Quality: make your contribution
one that is true rather than false; 2) The maxim of Quality: provide the information that
is required for the purposes of the conversation, but no more; dan 3) The maxim of
Relevance: make contributions relevant The maxim of Manner: be clear and orderly in
your talk.72

(Grice memecah prinsipnya menjadi empat maksim percakapan untuk


menjelaskan apa rasionalitas dan kerjasama adalah: 1) Maksim Kualitas: membuat
kontribusi Anda yang benar bukannya salah; 2) Maksim Kuantitas: memberikan
informasi yang diperlukan untuk keperluan percakapan, tapi tidak lebih; 3)
Maksim Relevansi: membuat kontribusi yang relevan; dan 4) Maksim manner:
harus jelas dan tertib dalam pembicaraan Anda). Jadi, Grice membagi prinsipnya
dalam empat maksim, yaitu maksim kualitas, maksim kuantitas, maksim
relevansi, dan maksim manner.

Because the Gricean maxims are not rigid rules, like the rules of law, but
are rather flexible assumptions about how speakers behave, they can be broken,
or flouted, to implicate further meanings.73 (Karena maksim Gricean bukan aturan
yang kaku, seperti aturan hukum, tetapi pendapat yang agak fleksibel mengenai
bagaimana pembicara berperilaku, mereka dapat melanggar, atau dilanggar, untuk

70
Ibid
71
Ralph W. Fasold, An Introduction to Language and Linguistics, (New York: Cambridge
University Press, 2006), h. 160
72
Ibid
73
Ibid, h. 161
39

melibatkan makna selanjutnya). Maksim Grice merupakan prinsip yang fleksibel


dan dapat dilanggar. Maksim Grice bukanlah sebuah aturan yang kaku.

Jadi, prinsip kerjasama atau kooperatif dipecahkan berdasarkan empat


maksim. Prinsip kerjasama percakapan memerlukan kerjasama antara penutur dan
petutur dengan mengikuti empat maksim. Maksim yang dimaksud Grice tersebut
adalah maksim kuantitas, kualitas, relasi, dan maksim cara. Maksim Grice
mengatakan fakta-fakta tetapi tidak memiliki aturan yang kaku sehingga maksim
tersebut dapat dilanggardan melibatkan makna selanjutnya.

E. Novel
1. Pengertian Novel

Novel adalah jenis prosa yang mengandung unsur tokoh, alur, latar rekaan,
yang menggelarkan kehidupan manusia atas dasar sudut pandang pengarang dan
mengandung nilai hidup, diolah dengan teknik lisan dan ragaan yang menjadi
dasar konvensi penulisan.74 Novel dalam bahasa Inggris merupakan fiksi naratif
yang utama. Clara Reeve menyatakan dalam Wellek, novel adalah gambaran dari
kehidupan dan prilaku yang nyata, dari zaman pada saaat novel itu ditulis dan
bersifat realistis.75 Jadi, novel mengandung unsur kehidupan manusia berdasarkan
sudut pandang penulis yang berdasarkan kepada kenyataan pada masanya.

Novel adalah karya imajinatif yang mengisahkan sisi utuh atas


76
problematika kehidupan seseorang atau beberapa orang tokoh. Novel dianggap
sebagai dokumen atau kasus sejarah, sebagai pengakuan (karena ditulis sangat
meyakinkan), sebagai cerita kejadian sebenarnya, sebagai sejarah hidup seseorang
dan zamannya.77 Selain menggambarkan kehidupan sebenarnya, novel juga
merupakan gambaran problematika beberapa orang tokoh. Karya tersebut bisa
dianggap sebagai sebuah dokumen sejarah karena sifatnya meyakinkan pembaca
akan kejadian yang diceritakan di dalam novel.

74
A Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra; Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984), h. 136
75
Rene Wellek dan Austin Warren (penerjemah: Melani Budianta), Teori Kesustraan, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1993), h. 282
76
E. Kosasih, Dasar-dasar Keterampilan Bersastra, (Bandung: Y rama Widya, 2012), h. 60
77
Rene Wellek dan Austin Warren (penerjemah: Melani Budianta), op. cit., h. 276
40

Penjelasan tentang novel yang telah dipaparkan tersebut dapat dikatakan


bahwa novel adalah jenis prosa baru setelah puisi dan drama yang menyajikan
peristiwa kehidupan pada saat novel itu diciptakan. Novel mengandung unsur
tokoh, alur, rekaan, yang biasanya disebut dengan unsur intrinsik. Novel
mengandung sejarah dan dokumen kehidupan yang diperankan oleh tokoh di
dalam novel. Adapun unsur di luar karangan, yaitu berupa faktor sosial, agama,
politik, dan ekonomi, disebut dengan unsur ekstrinsik. Unsur ekstrinsik hadir
untuk memperkuat sisi kehidupan yang nyata dalam novel.

2. Jenis Novel

Jenis novel menurut waluyo dalam Adji, novel dibagi menjadi dua yaitu
novel serius dan novel populer. Novel serius adalah novel yang dipandang bernilai
sastra tinggi sedangkan novel populer adalah novel yang nilai sastranya rendah
karena berpotensi sebagi hiburan semata. Novel populer cenderung mengikuti
kemauan pasar.78 Menurut Sumardjo dalam Adji, novel populer memiliki daya
tarik lika-liku jalan ceritanya yang penuh suspense. Selalu menyuguhkan cerita
yang mengasyikkan, penuh aksi, dan penuh warna. 79 Berdasarkan pendapat dua
ahli tersebut, novel terbagi dalam dua jenis yaitu novel serius dan novel populer.
Novel serius memiliki karya sastra yang tinggi sedangkan novel populer hanya
sebagai iburan akan tetapi memiliki daya tarik tersendiri bagi penimat novel.

Adapun ciri-ciri novel populer dan novel serius menurut Yudiono dalam
Adjib yaitu sebagai berikut:

(1) novel serius;


a) untuk penyempurnaan diri;
b) berfungsi sosial;
c) bisa dibaca berkali-kali;
d) isinya dapat menentang sikap hidup dan kepercayaan pembaca;
e) semua novel baik; dan

78
Muhammad Adji, dkk., Novel Popular Indonesia; Karya , Pengarang, dan Realitas, (Bandung:
Sastra UNPAD Press) h, 22
79
Ibid, h. 21
41

f) diperhatikan oleh para kritikus dan biasanya direkomendasikan


untuk dibaca oleh masyarakat
(2) novel populer;
a) dibaca untuk kepentingan hiburan semata;
b) berfungsi untuk hiburan seja;
c) dibaca sekali saja;
d) isinya hanya fantasi pengarang;
e) isinya bermacam-macam dan menurut tipenya; dan
80
f) tidak diulas oleh para kritikus sastra.

Jadi, novel serius lebih kepada fungsi sosial dan memiliki nilai sastra yang
tinggi. Novel serius diperhatikan oleh para kritikus sastra banyak mengandung
hal-hal yang baru. Novel populer hanya mengikuti kemauan pembaca dan
berfungsi untuk hiburan saja. Kebanyakan topik yang digunakan sama dengan
novel yang lainnya. Novel populer memiliki tingkat sastra yang rendah dan tidak
dikaji oleh pengamat sastra.

F. Penelitian yang Relevan

Penelitian relevan yang pertama mengenai implikatur pernah dilakukan


oleh Agus Sulistio, Mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri
Jakarta, 1999. Skripsinya berjudul “Analisis Implikatur Pecakapan dalam Novel
Saman Karya Ayu Utami Serta Implikasinya dalam Pembelajaran Bahasa
Indonesia di SMU”. Fokus penelitian skripsi ini adalah anutan atau pemakaian
prinsip kerjasama atas empat maksim percakapan. Maksim tersebut yaitu maksim
kuantitas, maksim kualitas, maksim hubungan, dan maksim cara, dalam
penggalan pasangan percakapan yang diturunkan dari konteks-konteks percakapan
terpilih yang terdapat dalam novel Saman karya Ayu Utami.

Peneliti sendiri menulis Skripsi yang berjudul “Implikatur Percakapan


pada Novel 99 Cahaya di Langit Eropa; Perjalanan Menapak Jejak Islam di
Eropa Karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra serta Implikasinya
Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia”. Fokus utama penelitian ini

80
Ibid, h. 23
42

yaitu masalah implikatur percakapan dalam novel 99 Cahaya di Langit Eropa;


Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa Karya Hanum Salsabiela Rais dan
Rangga Almahendra.

Penelitian relevan yang kedua berjudul “Implikatur Percakapan dalam


Novel Ketika Cinta Bertasbih Karya Habiburrahman El Shirazy”. Penulis yaitu
mahasiswa dari Program Studi Pendidikan dan Bahasa Indonesia, Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Bina Darma, Palembang, angkatan
2012. Peneliti bernama Aidil Sutarnas. Penelian yang dilakukan oleh peneliti
memiliki beberapa tujuan. Pertama, mendeskripsikan implikatur percakapan yang
terdapat dalam novel Ketika Cinta Bertasbih. Kedua, mendeskripsikan berbagai
fungsi tindak tutur yang digunakan dalam novel Ketika Cinta Bertasbih. Ketiga,
mendeskripsikan penyimpangan-penyimpangan terhadap prinsip kerjasama dalam
penggunaan implikatur dalam novel Ketika Cinta Bertasbih.

Peneliti dalam penelitian yang berjudul “Implikatur Percakapan pada


Novel 99 Cahaya di Langit Eropa; Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa
Karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra serta Implikasinya
Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia”, memiliki beberapa tujuan.
Pertama, Mendeskripsikan implikatur percakapan yang terdapat pada novel 99
Cahaya di Langit Eropa; Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa Karya
Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra. Kedua, Mengetahui implikasi
implikatur percakapan dalam novel 99 Cahaya di Langit Eropa; Perjalanan
Menapak Jejak Islam di Eropa Karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga
Almahendra terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Persamaan
antara penelitian relevan yang kedua dengan penelitian yang dilakukan oleh
peneliti yaitu pada tujuan yang pertama. Kedua penelitia ini sama-sama
mendeskripsikan implikatur percakapan yang terdapat dalam novel yang diteliti.
Namun, peneliti dalam tujuannya tidak mendeskripsikan mengenai fungsi tindak
tutur dalam novel dan penyimpangan terhadap prinsip kerjasama.

Penelitian relevan yang ketiga berjudul “Analisis Persetujuan dan


Penolakan pada Tokoh Franziska Ditinjau Dari Implikatur Percakapan dalam
Novel Das Superweib Karya Hera Lind”. Penelitian ini dilakukan oleh Wisma
43

Kurniawati pada tahun 2014, Pendidikan Bahasa Jerman dan Sastra Jerman,
Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Surabaya. Penelitian ini
menggunakan teori Grice. Hasil analisis implikatur percakapan ditemukan
sebanyak dua buah yang menyalahi prinsip kerjasama dalam pernyataan
persetujuan pada tokoh Franziska. Kedua percakapan yang berupa persetujuan ini
semuanya telah melanggar maksim kuantitas dan hanya satu percakapan yang
melanggar maksim relasi. Implikatur percakapan yang ditimbulkan oleh
pelanggaran prinsip kerjasama dalam menyatakan penolakan pada tokoh
Franziska adalah sebanyak empat buah, dan keempat percakapan berupa
penolakan ini semua telah melanggar maksim kuantitas, tiga percakapan
melanggar maksim relasi, dan dua percakapan melanggar maksim cara.

Persamaan penelitian relevan yang ketiga dengan penelitian yang


dilakukan peneliti sendiri yaitu penelitian relevan menggunakan teori Grice.
Wisma Kurniawati lebih fokus kepada implikatur percakapan mengenai
persetujuan dan penolakan pada tokoh Franziska. Peneliti sendiri menggunakan
teori Grice untuk menentukan penyimpangan terhadap maksim prinsip kerjasama.
Akan tetapi, peneliti juga menggunakan teori relevansi Sperber dan Wilson karena
di dalam novel 99 Cahaya di Langit Eropa; Perjalanan Menapak Jejak Islam di
Eropa mentaati maksim relevansi Grice yang sesuai dengan teori Relevansi.
Perbedaan antara penelitian yang relevan dengan peneliti sendiri yaitu peneliti
tidak fokus hanya kepada satu tokoh saja.
BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian
1. Biografi Pengarang

Hanum Salsabiela Rais, adalah putri Amien Rais, lahir dan menempuh
pendidikan dasar Muhammadiyah di Yogyakarta hingga mendapat gelar Dokter
Gigi dari FKG UGM. Mengawali karir menjadi jurnalis danpresenter di TRANS
TV. Hanum memulai petualangannya di Eropa selama tinggal di Austria bersama
suaminya Rangga Almahendra dan bekerja untuk proyek video podcast Executive
Academy di WU Vienna selama 2 tahun. Ia juga tercatat sebagai koresponden
detik.com bagi kawasan Eropa dan sekitarnya.Tahun 2010, Hanum menerbitkan
buku pertamanya, Menapak Jejak Amien Rais: Persembahan Seorang Putri untuk
Ayah Tercinta. Sebuah novel biografi tentang kepemimpinan, keluarga dan
mutiara hidup.
2. Sinopsis Novel 99 Cahaya di Langit Eropa

Buku ini adalah catatan perjalanan atas sebuah pencarian. Pencarian


cahaya Islam di Eropa yang kini sedang tertutup awan saling curiga dan
kesalahpahaman. Untuk pertama kalinya dalam 26 tahun, aku merasakan hidup di
suatu negara dimana Islam menjadi minoritas. Pengalaman yang makin
memperkaya spiritualku untuk lebih mengenal Islam dengan cara yang berbeda.
Tinggal di Eropa selama 3 tahun adalah arena menjelajah Eropa dan segala isinya.
Hingga akhirnya aku menemukan banyak hal lain yang jauh lebih menarik dari
sekedar Menara Eiffel, Tembok Berlin, Konser Mozart, Stadion Sepakbola San
Siro, Colloseum Roma, atau gondola gondola di Venezia. Pencarianku telah
mengantarkanku pada daftar tempat-tempat ziarah baru di Eropa. Aku tak
menyangka Eropa sesungguhnya juga menyimpan sejuta misteri tentang Islam.

Eropa dan Islam. Mereka pernah menjadi pasangan serasi. Kini hubungan
keduanya penuh pasang surut prasangka dengan berbagai dinamikanya. Aku
merasakan ada manusia-manusia dari kedua pihak yang terus bekerja untuk
memperburuk hubungan keduanya. Pertemuanku dengan perempuan muslim di

44
45

Austria, Fatma Pasha telah mengajarkanku untuk menjadi bulir-bulir yang bekerja
sebaliknya. Menunjukkan pada Eropa bulir cinta dan luasnya kedamaian Islam.
Sebagai Turki di Austria, Ia mencoba menebus kesalahan kakek moyangnya yang
gagal meluluhkan Eropa dengan menghunus pedang dan meriam. Kini ini ia
mencoba lagi dengan cara yang lebih elegan, yaitu dengan lebarnya senyum dan
dalamnya samudra kerendahan hati. Aku dan Fatma mengatur rencana. Kami akan
mengarungi jejak-jejak Islam dari barat hingga ke timur Eropa. Dari Andalusia
Spanyol hingga ke Istanbul Turki. Dan entah mengapa perjalanan pertamaku
justru mengantarkanku ke Kota Paris, pusat ibukota peradaban Eropa.
Di Paris aku bertemu dengan seorang mualaf, Marion Latimer yang bekerja
sebagai ilmuwan di Arab World Institute Paris. Marion menunjukkan kepadaku
bahwa Eropa juga adalah pantulan cahaya kebesaran Islam. Eropa menyimpan
harta karun sejarah Islam yang luar biasa berharganya. Marion membukakan mata
hatiku. Membuatku jatuh cinta lagi dengan agamaku, Islam. Islam sebagai sumber
pengetahuan yang penuh damai dan kasih.

Museum Louvre, Pantheon, Gereja Notre Dame hingga Les Invalides


semakin membuatku yakin dengan agamaku. Islam dulu pernah menjadi sumber
cahaya terang benderang ketika Eropa diliputi abad kegelapan. Islam pernah
bersinar sebagai peradaban paling maju di dunia, ketika dakwah bisa bersatu
dengan pengetahuan dan kedamaian, bukan dengan teror atau kekerasan
Perjalananku menjelajah Eropa adalah sebuah pencarian 99 cahaya kesempurnaan
yang pernah dipancarkan oleh Islam di benua ini. Cordoba, Granada, Toledo,
Sicilia dan Istanbul masuk dalam manifest perjalanan spiritualku selanjutnya.

Saat memandang matahari tenggelam di Katedral Mezquita Cordoba,


Istana Al Hambra Granada, atau Hagia Sophia Istanbul, aku bersimpuh. Matahari
tenggelam yang aku lihat adalah jelas matahari yang sama, yang juga dilihat oleh
orang-orang di benua ini 1000 tahun lalu. Matahari itu menjadi saksi bisu bahwa
Islam pernah menjamah Eropa, menyuburkannya dengan menyebar benih-benih
ilmu pengetahuan, dan menyianginya dengan kasih sayang dan toleransi antar
umat beragama. Akhir dari perjalananku selama 3 tahun di Eropa justru
46

mengantarkanku pada titik awal pencarian makna dan tujuan hidup. Makin
mendekatkanku pada sumber kebenaran abadi yang Maha Sempurna.

B. Analisis Data
Data dalam penelitian ini berupa penggalan konteks-konteks percakapan di
dalam novel 99 Cahaya di Langit Eropa; Perjalanan Menapak Jejak Islam di
Eropa karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra. Penggalan konteks-
konteks percakapan terpilih kemudian dipenggal lagi menjadi penggalan pasangan
percakapan, selanjutnya dianalisis berdasarkan prinsip kerjasama percakapan yang
dikemukakan oleh Grice dan teori relevansi yang dinyatakan oleh Sperber dan
Wilson serta dianalisis dengan menggunakan analisis konteks cf. Syafie‟ie.
Disetiap sub judul terdapat kode halaman novel yang berisi penggalan konteks
percakapan. Misalkan (h. 34), menandakan bahwa penggalan konteks percakapan
tersebut terdapat pada halaman ke-34 dalam novel 99 Cahaya di Langit Eropa;
Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa. Berikut ini adalah deskripsi data
penggalan konteks percakapan dan analisis nya.
1) Data 1
Penasihat: ...Mmm...Panglima...apakah Panglima juga berkenan
mendengar berita lainnya? Hanya saja berita ini sedikit
kurang baik..., (diam, menunduk penuh ketakutan)
Panglima: (Mata Panglima tiba-tiba melotot. Dia seperti tak percaya
karena ini adalah detik-detik yang menentukan dan
seharusnya tidak ada berita buruk). Katakan! (dengan suara
yang berat)
Penasihat: Mereka tidak menyerang, Panglima. Tetapi anak buah kita
melihat tembakan api terus-menerus dilontarkan ke udara di
dalam benteng, (Menjawab dengan satu tarikan napas)

(Sumber, Rais, 2012 : 13)


P1: Penasihat
P2: Panglima
Berdasarkan data 1 mengetahui bahwa ada 2 orang pembicara yaitu
penasihat dan Panglima untuk mendapatkan 4 maksim dalam prinsip kerja sama
Grice digunakan alat ukur atau pisau analisis yaitu:
P1: Penasihat
P2: Panglima
47

Topik: Berita kurang baik


Latar waktu: Malam hari di musim panas
Latar tempat: Di Eropa Barat dalam sebuah barak untuk persiapan ekspansi
Latar Peristiwa: P1 menyampaikan berita buruk
Saluran: Bahasa lisan dengan terbatah-batah dan ekspresi wajah dengan mata
melotot
Kode: Bahasa Indonesia
Tujuan: P1 ingin menyampaikan berita pada P2
Bertumpu pada analisa di atas, diperoleh beberapa maksim yang dilanggar
dan maksim yang terpenuhi, yaitu sebagai berikut:
1. Maksim yang dilanggar yaitu maksim cara. Maksim cara dilanggar pada
percakapan penasihat yang terbatah-batah, terdapat pada kutipan berikut:
“...Mmm...Panglima...apakah Panglima juga berkenan mendengar
berita lainnya? Hanya saja berita ini sedikit kurang baik..., (diam,
menunduk penuh ketakutan)”

Maksim cara yang selanjutnya dilanggar karena jawaban dari Panglima


mengandung ambiguitas, terdapat pada penggalan percakapan sebagai
berikut:
“(Mata Panglima tiba-tiba melotot. Dia seperti tak percaya karena ini
adalah detik-detik yang menentukan dan seharusnya tidak ada berita
buruk). Katakan! (dengan suara yang berat)”

2. Maksim yang terpenuhi yaitu sebagai berikut:


a) Maksim kuantitas. Maksim kuantitas terpenuhi karena jawaban Panglima
sesuai dengan informasi yang dibutuhkan penasihat, terdapat pada
kutipan berikut: “Katakan!”
b) Maksim kualitas. Maksim kualitas terpenuhi karena penasihat
memberikan informasi yang sesuai dengan kejadian yang sebenarnya
terjadi, terdapat pada kutipan penggalan percakapan berikut:
“Mereka tidak menyerang, Panglima. Tetapi anak buah kita melihat
tembakan api terus-menerus dilontarkan ke udara di dalam benteng,”

c) Maksim relevansi. Maksim ini terpenuhi karena data yang diberikan oleh
penasihat dengan kejadian yang melatar belakangi percakapan saling
berhubungan. Terdapat pada kutipan berkut:
48

“Mereka tidak menyerang, Panglima. Tetapi anak buah kita melihat


tembakan api terus-menerus dilontarkan ke udara di dalam benteng,”

Implikatur: P2 melototkan matanya karena terkejut dan tidak mengharapkan ada


berita buruk.
2) Data 2
Fatma: Karena ini, Hanum, (sambil mengarahkan telunjuknya ke kepala).
Mungkin..., (berhenti berbicara seolah mencari ide di kepalanya).
Karena aku berjilbab. Aku tidak pernah mendapatkan balasan
balasan dari perusahaan tempat aku melayangkan lamaran
pekerjaan. Jika harus bersekolah aku tidak mampu mengeluarkan
biaya, (ucapnya lirih).
Hanum: Fatma, maaf jika aku menyinggungmu. Kenapa kau tak berpikir,
mungkin mmm...kualifikasimu kurang sesuai, atau pengalaman
kerjamu kurang sehingga perusahaan di sini tidak menerimamu?
(dengan ucapan yang terbata-bata).
Fatma: Ah, tadinya kupikir juga demikian, Hanum. Sampai kuturunkan
pilihanku. Katakan padaku, apakah profesionalitas dan
kompetensi sangat dibutuhkan sekadar untuk menjadi portir
dalam dapur?

(Sumber, Rais, 2012 : 23)


P1: Fatma
P2: Hanum
Berdasarkan data 2 mengetahui bahwa ada 2 orang pembicara yaitu
Hanum dan Fatma untuk mendapatkan 4 maksim dalam prinsip kerja sama Grice
digunakan alat ukur atau pisau analisis yaitu:
P1: Fatma
P2: Hanum
Topik: Berjilbab mengakibatkan sulit mendapatkan pekerjaan
Latar waktu: Siang hari
Latar tempat: dalam bus, kota Wina
Latar peristiwa: P2 tidak setuju dengan pernyataan P1
Saluran: Bahasa lisan dan akrab
Kode: Bahasa Indonesia
Tujuan: P1 meyampaikan alasannya sulit untuk mendapatkan pekerjaan
49

Bertumpu pada analisa di atas, diperoleh beberapa maksim yang dilanggar


dan maksim yang terpenuhi, yaitu sebagai berikut:
1. Maksim yang dilanggar yaitu sebagai berikut:
a) Maksim kuantitas. Maksim kuantitas dilanggar karena jawaban Fatma
lebih dari informasi yang dibutuhkan Hanum, hal tersebut terdapat pada
kutipan berikut:
“Ah, tadinya kupikir juga demikian, Hanum. Sampai kuturunkan
pilihanku. Katakan padaku, apakah profesionalitas dan kompetensi
sangat dibutuhkan sekadar untuk menjadi portir dalam dapur?”

b) Maksim cara. Maksim cara dilanggar karena jawaban Fatma tidak


ringkas. Bukti bahwa jawaban Fatma kurang ringkas terdapat pada
kutipan penggalan percakapan saat melanggar maksim kuantitas.
2. Maksim yang terpenuhi yaitu sebagai berikut:
a) Maksim kualitas. Maksim ini terpenuhi karena pernyataan P1 berdasarkan
dari pengalaman pribadi P1. Terpenuhinya maksim kualitas dapat dilihat
pada kutipan penggalan percakapan berikut:
“Ah, tadinya kupikir juga demikian, Hanum. Sampai kuturunkan
pilihanku. Katakan padaku, apakah profesionalitas dan kompetensi
sangat dibutuhkan sekadar untuk menjadi portir dalam dapur?”

b) Maksim relevansi. Maksim relevansi terpenuhi karena pertanyaan P2


terhadap P1 dapat di jawab dengan baik. Mereka sama-sama mengetahui
konteks yang melatarbelakangi percakapan, yaitu P1 merasa susah
mendapatkan pekerjaan karena berjilbab.
Implikatur: P1 memperkuat pernyataannya dengan melontarkan pertanyaan
balik kepada P2
3) Data 3
Hanum: Hai, nama aku Hanum. Namamu siapa? Senang berkenalan
denganmu. Magst du Schokolade. Maukah kau coklat ini?
Fatma: Ah, Milka! Ich mag Milka gern. Aber...danke, Ich faste. Saya
sangat suka coklat Milka. Tapi...terimakasih, saya sedang
berpuasa
Hanum: Ambillah untuk berbuka puasa nanti. Kau berpuasa Senin-Kamis
ya?
Fatma: (Fatma terlihat senang dengan respon Hanum yang paham dengan
puasa yang sedang dilakoninya)
50

(Sumber, Rais, 2012 : 26-27)


P1: Hanum
P2: Fatma
Berdasarkan data 3 mengetahui bahwa ada 2 orang pembicara yaitu
Hanum dan Fatma untuk mendapatkan 4 maksim dalam prinsip kerja sama Grice
digunakan alat ukur atau pisau analisis yaitu:
P1: Hanum
P2: Fatma
Topik: Coklat Milka
Latar waktu: Pagi hari saat kelas bahasa Jerman baru di mulai
Latar tempat: Kelas bahasa Jerman
Latar peristiwa: Fatma puasa Senin-Kamis
Saluran: Bahasa lisan dan akrab
Kode: Bahasa Indonesia campur bahasa Jerman
Tujuan: P1 ingin memberi kesan baik dalam perkenalan awal
Bertumpu pada analisa di atas, diperoleh beberapa maksim yang dilanggar
dan maksim yang terpenuhi, yaitu sebagai berikut:
1. Maksim yang dilanggar yaitu sebagai berikut:
a) Maksim kuantitas. Maksim kuantitas dilanggar karena P2 tidak
memberikan informasi yang dibutuhkan P1. Pelanggaran tersebut terdapat
pada kutipan penggalan percakapan berikut:
“Hanum: Hai, nama aku Hanum. Namamu siapa? Senang berkenalan
denganmu. Magst du Schokolade. Maukah kau coklat ini?
Fatma: Ah, Milka! Ich mag Milka gern. Aber...danke, Ich faste. Saya
sangat suka coklat Milka. Tapi...terimakasih, saya sedang berpuasa”

b) Maksim cara. Maksim cara dilanggar karena P2 tidak menjawab


pertanyaan dari P1 secara tertata dan ringkas. Pelanggaran terhadap
maksim cara dapat dilihat pada penggalan percakapan yang sama dengan
kutipan pelanggaran maksim kuantitas.
2. Maksim yang terpenuhi yaitu sebagai berikut:
a) Maksim kualitas. Maksim ini terpenuhi karena alasan dari P2 untuk
menolak pemberian P1 berdasarkan fakta. Terpenuhinya maksim kualitas
dapat dilihat pada penggalan percakapan pada kutipan berikut:
51

“Ah, Milka! Ich mag Milka gern. Aber...danke, Ich faste. Saya sangat
suka coklat Milka. Tapi...terimakasih, saya sedang berpuasa”

b) Maksim relevansi. Maksim ini terpenuhi karena alasan yang diberikan


oleh P2 menolak pemberian P1 dapat dipahami oleh P1. Hal tersebut
terjadi karena mereka memiliki pengetahuan yang sama atas konteks yang
melatarbelakangi percakapan. Bukti terpenuhinya maksim relevansi
terlihat dalam kutipan berikut:
“Ambillah untuk berbuka puasa nanti. Kau berpuasa Senin-Kamis ya?”
Implikatur: P2 menolak pemberian P1 karena melakukan ibadah puasa
4) Data 4
Hanum: Fatma, kurasa...mmm...sebaiknya kita menghangatkan diri di
kafe.

Fatma: Kenapa? Sudah terlanjur berlari kemari. Sebaiknya kita masuk


dulu ke gereja. Di dalam banyak patung reilief yang artistik. Kau
perlu mengabadikan dengan kameramu. Setelah itu, baru kita
bersantai di kafe. Lekas masuk! Aku tahu cara menghangatkan
badan yang paling efektif dalam gereja, (Fatma seperti bisa
membaca kegelisahan Hanum).

(Sumber, Rais, 2012 : 34)


P1: Hanum
P2: Fatma
Berdasarkan data 4 mengetahui bahwa ada 2 orang pembicara yaitu
Hanum dan Fatma untuk mendapatkan 4 maksim dalam prinsip kerja sama Grice
digunakan alat ukur atau pisau analisis yaitu:
P1: Hanum
P2: Fatma
Topik: Menghangatkan badan
Latar Waktu: Sore menjelang malam
Latar tempat: Gereja Saint Joseph
Latar Peristiwa: P1 menduga P2 tidak nyaman menghangatkan diri di Gereja
Saint Joseph
Saluran: Bahasa lisan dan akrab
Kode: Bahasa Indonesia
52

Tujuan: P1 mengajak P2 menghangatkan badan di kafe karena P1 menduga


bahwa P2 tidak nyaman berada di Gereja
Bertumpu pada analisa di atas, diperoleh beberapa maksim yang dilanggar
dan maksim yang terpenuhi, yaitu sebagai berikut:
1. Maksim yang dilanggar yaitu sebagai berikut:
a) Maksim kuantitas. Maksim ini dilanggar karena P2 memberikan
informasi yang lebih dari yang dibutuhkan P1. Pelanggaran terhadap
maksim kuantitas dapat dilihat melalui kutipan penggalan percakapan
berikut:
“Kenapa? Sudah terlanjur berlari kemari. Sebaiknya kita masuk dulu
ke gereja. Di dalam banyak patung reilief yang artistik. Kau perlu
mengabadikan dengan kameramu. Setelah itu, baru kita bersantai di
kafe. Lekas masuk! Aku tahu cara menghangatkan badan yang paling
efektif dalam gereja, (Fatma seperti bisa membaca kegelisahan
Hanum).”

b) Maksim cara. Maksim ini dilanggar karena jawaban P2 memberikan


informasi yang tidak singkat kepada P1. Pelanggaran terhadap maksim
cara dapat dilihat pada kutipan penggalan percakapan pelanggaran
maksim kuantitas.
2. Maksim yang terpenuhi yaitu sebagai berikut:
a) Maksim kualitas. Maksim ini terpenuhi karena P2 memberikan jawaban
yang sesuai dengan kenyataan mengenai Gereja Saint Joseph dan dapat di
buktikan kebenarannya. Terpenuhinya maksim kualitas dapat dilihat pada
kutipan penggalan percakapan berikut:
“Kenapa? Sudah terlanjur berlari kemari. Sebaiknya kita masuk dulu
ke gereja. Di dalam banyak patung reilief yang artistik. Kau perlu
mengabadikan dengan kameramu. Setelah itu, baru kita bersantai di
kafe. Lekas masuk! Aku tahu cara menghangatkan badan yang paling
efektif dalam gereja, (Fatma seperti bisa membaca kegelisahan
Hanum).”

b) Maksim relevansi. Maksim ini terpenuhi karena jawaban yang diberikan


P2 kepada P1 memiliki hubungan sehiingga P1 dapat mengerti maksud
dari P2. Hubungan tersebut terjadi karena mereka sama-sama memahami
konteks yang melatarbelakangi terjadinya percakapan.
Implikatur: P2 menolak ajakan P1 untuk menghangatkan badan di kafe
53

5) Data 5
Hanum: Psst...psst, Fatma...diamlah sebentar...,

Fatma: Ada apa? Kau tak suka kita membicarakan gereja?


Hanum: Kurasa tamu di balik tembok ini sedang menjelek-jelakan Islam.
Mereka menyebut croissant melambangkan bendera Turki yang
bisa dimakan. Kau makan croissant artinya makan Islam!
Pokoknya menyebalkan!
(Sumber, Rais, 2012 : 39)
P1: Hanum
P2: Fatma
Berdasarkan data 5 mengetahui bahwa ada 2 orang pembicara yaitu
Hanum dan Fatma untuk mendapatkan 4 maksim dalam prinsip kerja sama Grice
digunakan alat ukur atau pisau analisis yaitu:
P1: Hanum
P2: Fatma
Topik: Beberapa turis menjelek-jelekan Islam dengan memakan roti croissant

Latar waktu: Sore hari

Latar tempat: Kafe


Latar peristiwa: P1 menguping beberapa turis yang sedang menjelek-jelekan
Islam
Saluran: Bahasa lisan dan akrab

Kode: Bahasa Indonesia

Tujuan: P1 memberitahukan kepada P2 bahwa ada beberapa turis sedang


menjelek-jelekan Islam dengan memakan roti croissant

Bertumpu pada analisa di atas, diperoleh beberapa maksim yang dilanggar


dan maksim yang terpenuhi, yaitu sebagai berikut:
1. Maksim yang dilanggar yaitu sebagai berikut:
a) Maksim kuantitas. Maksim ini dilanggar karena jawaban yang diberikan
oleh P1 memberikan informasi lebih dari yang dibutuhkan oleh P2.
Pelanggaran terhadap maksim kuantitas dapat dilihat pada kutipan
penggalan percakapan berikut:
“Kurasa tamu di balik tembok ini sedang menjelek-jelakan Islam.
Mereka menyebut croissant melambangkan bendera Turki yang bisa
54

dimakan. Kau makan croissant artinya makan Islam! Pokoknya


menyebalkan!”

b) Maksim cara. Maksim ini dilanggar karena P1 menjawab pertanyaan P2


tidak tertata dan tidak ringkas. Pelanggaran terhadap maksim ini dapat
dilihat pada penggalan kutipan percakapan berikut:
“Fatma: Ada apa? Kau tak suka kita membicarakan gereja?
Hanum: Kurasa tamu di balik tembok ini sedang menjelek -jelakan
Islam. Mereka menyebut croissant melambangkan bendera Turki yang
bisa dimakan. Kau makan croissant artinya makan Islam! Pokoknya
menyebalkan!”

2. Maksim yang terpenuhi yaitu sebagai berikut:


a) Maksim kualitas. Maksim ini terpenuhi karena alasan yang diberikan oleh
P1 kepada P2 benar-benar terjadi pada saat percakapan berlangsung.
Terpenuhinya maksim kualitas dapat dilihat melalui kutipan penggalan
percakapan berikut:
“Kurasa tamu di balik tembok ini sedang menjelek-jelakan Islam.
Mereka menyebut croissant melambangkan bendera Turki yang bisa
dimakan. Kau makan croissant artinya makan Islam! Pokoknya
menyebalkan!”

b) Maksim relevansi. Maksim ini terpenuhi karena diantara P1 dan P2 terjadi


percakapan yang saling berkesinabungan. P2 dapat memahami jawaban
dari P1 kerena mereka berada pada tempat yang sama dalam konteks yang
melatarbelakangi percakapan.

Implikatur: P1 tidak keberatan membicarakan mengenai gereja. P1 menjelaskan


alasan kenapa menyuruh P2 untuk diam tiba-tiba.

6) Data 6
Hanum: Bapak ingin belajar sejarah Islam atau musik di Wina?
Muhammad Djam’an: Wina-lah kota terakhir tempat ekspansi Islam
berhenti
(Sumber, Rais, 2012 : 44)
P1: Hanum
P2: Muhammad Djam‟an
55

Berdasarkan data 6 mengetahui bahwa ada 2 orang pembicara yaitu


Hanum dan Muhammad Djam‟an untuk mendapatkan 4 maksim dalam prinsip
kerja sama Grice digunakan alat ukur atau pisau analisis yaitu:
P1: Hanum
P2: Muhammad Djam‟an
Topik: Kota Wina
Latar waktu: Siang hari
Latar tempat: Ruang kelas
Saluran: Bahasa lisan
Kode: Bahasa Indonesia
Tujuan: P1 ingin mengetahui tujuan P2 ke Wina
Bertumpu pada analisa di atas, diperoleh beberapa maksim yang dilanggar
dan maksim yang terpenuhi, yaitu sebagai berikut:
1. Maksim yang dilanggar yaitu sebagai berikut:
a) Maksim kuantitas. Maksim ini dilanggar karena P2 tidak menjawab dan
memberikan informasi yang dibutuhkan oleh P1 secara semantis.
Pelanggaran terhadap maksim kuantitas dapat dilihat pada kutipan
penggalan percakapan berikut:
“Hanum: Bapak ingin belajar sejarah Islam atau musik di Wina?
Muhammad Djam‟an: Wina-lah kota terakhir tempat ekspansi Islam
berhenti”

b) Maksim cara. Maksim cara dilanggar karena P2 tidak menjawab


pertanyaan P1 secara tertata. Pelanggaran terhadap maksim ini dapat
dilihat pada kutipan yang sama dengan kutipan penggalan percakapan
pelanggaran maksim kuantitas.
2. Maksim yang terpenuhi yaitu sebagai berikut:
a) Maksim kualitas. Maksim ini terpenuhi karena jawaban yang diberikan P2
sesuai dengan fakta dan dapat dibuktikan kebenarannya. Terpenuhinya
maksim kualitas dapat dilihat pada kutipan penggalan percakapan berikut:
“Wina-lah kota terakhir tempat ekspansi Islam berhenti”
56

b) Maksim relevansi. Maksim ini terpenuhi karena P2 memberikan jawaban


yang relevan dengan konteks yang melatarbelakangi percakapan, yaitu
keinginan P2 mengunjugi kota memiliki sejarah Islam di Eropa.
Implikatur: P2 ingin ke Wina untuk mempelajari sejarah Islam.
7) Data 7
(1) Hanum: Bagaimana kau bisa tak marah sedikit pun, Fatma?
Fatma: Tentu saja aku tersinggung, Hanum. Dulu aku juga jadi emosi
jika mendengar hal yang tak cocok di negeri ini. Apalagi masalah
etnis dan agama. Tapi seperti kau dan dinginnya hawa di Eropa
ini, suhu tubuhmu akan menyesuaikan. Kau perlu penyesuaian,
Hanum. Hanya satu yang harus kita ingat. Misi kita adalah
menjadi agen Islam yang damai, teduh, indah, yang membawa
keberkahan di komunitas non-muslim. Dan itu tidak akan pernah
mudah.
(2) Hanum: Tapi, bukankah itu menunjukkan kita begitu lemah dan
terinjak-injak?
Fatma: Suatu saat kau akan banyak belajar bagaimana bersikap di
negeri tempat kau harus menjadi minoritas. Tapi menurut
pengalamanku selama ini, aku tak harus mengumbar nafsu dan
emosiku jika ada hal yang tak berkenan di hatiku.

(Sumber, Rais, 2012 : 47)


P1: Hanum
P2: Fatma
Berdasarkan data 7 mengetahui bahwa ada 2 orang pembicara yaitu
Hanum dan Fatma untuk mendapatkan 4 maksim dalam prinsip kerja sama Grice
digunakan alat ukur atau pisau analisis yaitu:
P1: Hanum
P2: Fatma
Topik: Menyesuaikan diri di negeri minoritas Islam
Latar waktu: Sore hari
Latar tempat: Kafe
Latar peristiwa: P2 tidak merasa marah
Saluran: Bahasa lisan dan akrab
Kode: Bahasa Indonesia
Tujuan: P2 membagi pengalamannya dalam menyesuaikan diri di negeri
minoritas Islam
57

Bertumpu pada analisa di atas, diperoleh beberapa maksim yang dilanggar


dan maksim yang terpenuhi, yaitu sebagai berikut:
1. Maksim yang dilanggar yaitu sebagai berikut:
a) Maksim kuantitas. Maksim ini dilanggar karena P2 memberikan jawaban
melebihi informasi yang dibutuhkan oleh P1. Pelanggaran terhadap
maksim kuantitas dapat dilihat pada kutipan penggalan percakapan
berikut:
“Tentu saja aku tersinggung, Hanum. Dulu aku juga jadi emosi jika
mendengar hal yang tak cocok di negeri ini. Apalagi masalah etnis dan
agama. Tapi seperti kau dan dinginnya hawa di Eropa ini, suhu
tubuhmu akan menyesuaikan. Kau perlu penyesuaian, Hanum. Hanya
satu yang harus kita ingat. Misi kita adalah menjadi agen Islam yang
damai, teduh, indah, yang membawa keberkahan di komunitas non-
muslim. Dan itu tidak akan pernah mudah.”

b) Maksim cara. Maksim ini dilanggar karena jawaban dari P2 tidak singkat
dan tidang tertata. Jawaban yang tidak singkat dapat dilihat pada kutipan
penggalan percakapan yang sama pada pelanggaran maksim kuantitas.
Pelanggaran maksim cara karena jawaban P2 tidak tertata terlihat pada
kutipan penggalan percakapan berikut:
“Hanum: Tapi, bukankah itu menunjukkan kita begitu lemah dan
terinjak-injak?
Fatma: Suatu saat kau akan banyak belajar bagaimana bersikap di
negeri tempat kau harus menjadi minoritas. Tapi menurut
pengalamanku selama ini, aku tak harus mengumbar nafsu dan
emosiku jika ada hal yang tak berkenan di hatiku.”

2. Maksim yang terpenuhi yaitu sebagai berikut:


a) Maksim kualitas. Maksim ini terpenuhi karena P2 memberikan jawaban
yang sesuai dengan pengalamannya sendiri. Terpenuhinya maksim
kualitas dapat dilihat pada kutipan penggalan percakapan berikut:
“Tentu saja aku tersinggung, Hanum. Dulu aku juga jadi emosi jika
mendengar hal yang tak cocok di negeri ini. Apalagi masalah etnis dan
agama. Tapi seperti kau dan dinginnya hawa di Eropa ini, suhu
tubuhmu akan menyesuaikan. Kau perlu penyesuaian, Hanum. Hanya
satu yang harus kita ingat. Misi kita adalah menjadi agen Islam yang
damai, teduh, indah, yang membawa keberkahan di komunitas non-
muslim. Dan itu tidak akan pernah mudah.”
58

b) Maksim relevansi. Maksim ini terpenuhi karena percakapan yang terjadi


antara P1 dan P2 relevan dengan konteks yang melatarbelakangi
percakapan. Pertanyaan P1 direspon dengan baik oleh P2 dan dijelaskan
dengan rinci agar P1 memahami alasan yang diberikan P2. Terpenuhinya
maksim relevansi ini dapat dilihat pada kutipan penggalan percakapan
terpenuhinya maksim kualitas.
Implikatur: P2 tidak sepaham dengan P1.
8) Data 8
Konteks: Hanum dan Fatma turun dari bus, jam menunjukan pukul 20.05.
udara semakin dingin.

Hanum: Ngopi dulu yuk. Gantian aku yang mentraktir cappucino


Fatma: Terimakasih. Asye agaknya sedikit demam. Aku harus segera
membawanya pulang.

Hanum: Anakmu mimisan, Fatma. dongakkan kepalanya dan cepat kau


usap,....

(Sumber, Rais, 2012 : 49)


P1: Hanum
P2: Fatma
Berdasarkan data 8 mengetahui bahwa ada 2 orang pembicara yaitu
Hanum dan Fatma untuk mendapatkan 4 maksim dalam prinsip kerja sama Grice
digunakan alat ukur atau pisau analisis yaitu:
P1: Hanum
P2: Fatma
Topik: Mentraktir cappucino
Latar waktu: Malam hari 20.05
Latar tempat: Halte bus
Latar peristiwa: Ayse demam
Saluran: Bahasa lisan dan akrab
Kode: Bahasa Indonesia
Tujuan: P1 ingin mentraktir P2 cappucino
Bertumpu pada analisa di atas, diperoleh beberapa maksim yang dilanggar
dan maksim yang terpenuhi, yaitu sebagai berikut:
59

1. Maksim yang dilanggar yaitu sebagai berikut:


a) Maksim kuantitas. Maksim ini dilanggar karena jawaban P2 melebihi dari
informasi yang dibutuhkan P1. Pelanggaran terhadap maksim kuantitas
dapat dilihat dalam kutipan penggalan percakapan berikut:
“Terimakasih. Asye agaknya sedikit demam. Aku harus segera
membawanya pulang.”

b) Maksim cara. Maksim ini dilanggar karena jawaban P2 tidak singkat.


Pelanggaran terhadap maksim cara dapat dilihat dalam penggalan kutipan
yang sama saat melanggar maksim kuantitas.
2. Maksim yang terpenuhi yaitu sebagai berikut:
a) Maksim kualitas. Maksim ini terpenuhi karena jawaban dari P2
berdasarkan kenyataan dan dapat dibuktikan kebenarannya. Terpenuhinya
maksim kualitas dapat dilihat pada kutipan penggalan percakapan berikut:
“Fatma: Terimakasih. Asye agaknya sedikit demam. Aku harus segera
membawanya pulang.
Hanum: Anakmu mimisan, Fatma. dongakkan kepalanya dan cepat kau
usap,....”

b) Maksim relevansi. Maksim ini terpenuhi karena jawaban P2 dan respon


P1 relevan dengan konteks yang melatarbelakangi percakapan mereka.
Terpenuhinya maksim relevansi dapat dibuktikan melalui penggalan
kutipan percakapan yang sama dengan maksim kualitas.
Implikatur: P2 menolak tawaran P1
9) Data 9
Fatma: Aku selalu memperingatkan kawan-kawan Turkiku. Jangan kita
yang berkerudung dan pendatang ini suka mengemplang koran.
Malu dengan orang lokal. (Fatma berbisik kepada Hanum)
Hanum: Kalau semua orang mengambil koran tanpa membayar, pasti
Oesterreich akan merugi, ya, (kata Hanum menyindir dirinya
sendiri)
Fatma: Di Eropa model bisnis seperti itu sudah biasa. Mungkin orang
Austria sudah terdidik untuk selalu berbuat jujur

(Sumber, Rais, 2012 : 54)


P1: Fatma
P2: Hanum
60

Berdasarkan data 9 mengetahui bahwa ada 2 orang pembicara yaitu


Hanum dan Fatma untuk mendapatkan 4 maksim dalam prinsip kerja sama Grice
digunakan alat ukur atau pisau analisis yaitu:
P1: Fatma
P2: Hanum
Topik: Mengambil koran tanpa membayar
Latar waktu: Siang hari
Latar tempat: Halte bus
Latar peristiwa: P1 menjawab pertanyaan P2 tidak sesuai dengan yang
ditanyakan
Saluran: Bahasa lisan dan akrab
Kode: Bahasa Indonesia
Tujuan: P2 menyindir dirinya sendiri
Bertumpu pada analisa di atas, diperoleh beberapa maksim yang dilanggar
dan maksim yang terpenuhi, yaitu sebagai berikut:
1. Maksim yang dilanggar yaitu sebagai berikut:
a) Maksim kuantitas. Maksim ini dilanggar karena jawaban P1 atas respon
P2 melebihi dari informasi yang dibutuhkan P2. Pelanggaran atas maksim
kuantitas ini terlihat pada kutipan penggalan percakapan berikut:
“Hanum: Kalau semua orang mengambil koran tanpa membayar, pasti
Oesterreich akan merugi, ya, (kata Hanum menyindir dirinya sendiri)
Fatma: Di Eropa model bisnis seperti itu sudah biasa. Mungkin orang
Austria sudah terdidik untuk selalu berbuat jujur”

b) Maksim cara. Maksim ini dilanggar karena jawaban P1 atas pernyataan


P2 tidak tertata. Pelanggaran terhadap maksim cara dapat dilihat pada
kutipan yang sama dengan pelanggaran maksim kuantitas.
c) Maksim kualitas. Maksim ini dilanggar karena P2 tidak meyakini apa
yang dikatakannya benar. P2 menggunakan kata “mungkin” yang
menunjukan keraguannya. Pelanggaran terhadap maksim kualitas ini
dapat terlihat pada kutipan penggalan percakapan berikut:
“Di Eropa model bisnis seperti itu sudah biasa. Mungkin orang Austria
sudah terdidik untuk selalu berbuat jujur”
61

2. Maksim yang terpenuhi yaitu maksim relevansi. Maksim ini terpenuhi karena
P2 memberikan jawaban yang relevan dengan konteks yang melatarbelakangi
percakapan. Terpenuhinya maksim ini dapat dilihat dari penggalan
percakapan yang ada pada teks percakapan antara P1 dan P2.
Implikatur: P2 menyetujui pernyataan P1
10) Data 10
Fatma: Hanum, kau tahu bangunan apa saja ini? (hiasan magnet di
dinding dapur yang bertuliskan Istanbul, Granada, Cordova,
Vienna, Paris, Cairo, Roma, Mecca, dan Madina)

Hanum: Aku ingin sekali berjalan-jalan keliling Eropa sepertimu, Fatma,


mengunjungi tempat-tempat bersejarah yang meninggalkan jejak
kebesaran islam. Kapan ya aku bisa.

Fatma: Hanum, ternyata kita memiliki angan-angan yang sama. Aku baru
saja ingin mengajakmu melakukan hal yang sama. magnet-
magnet itu hanya pemberian Latife dan Ezra yang sering berjalan-
jalan ke luar negeri. Sekarang aku harus mengumpulkan uang
dulu...,
(Sumber, Rais, 2012 : 97)
P1: Fatma
P2: Hanum
Berdasarkan data 10 mengetahui bahwa ada 2 orang pembicara yaitu
Hanum dan Fatma untuk mendapatkan 4 maksim dalam prinsip kerja sama Grice
digunakan alat ukur atau pisau analisis yaitu:
P1: Fatma
P2: Hanum
Topik: Jalan-jalan keliling Eropa

Latar waktu: Siang hari

Latar tempat: Dapur Fatma

Latar peristiwa: P2 tidak menebak magnet icon kota-kota di Eropa yang


tertempel di kulkas P1

Saluran: Bahasa lisan dan akrab

Kode: Bahasa Indonesia


62

Tujuan: P1 ingin menunjukan koleksi magnet icon kota-kota di Eropa

Bertumpu pada analisa di atas, diperoleh beberapa maksim yang dilanggar


dan maksim yang terpenuhi, yaitu sebagai berikut:
1. Maksim yang dilanggar adalah sebagai berikut:
a) Maksim kuantitas. Maksim ini dilanggar karena P2 menjawab pertanyaan
P1 lebih dari informasi yang dibutuhkan P1. Pelanggaran terhadap
maksim kuantitas terlihat pada kutipan penggalan percakapan berikut:
“Fatma: Hanum, kau tahu bangunan apa saja ini? (hiasan magnet di
dinding dapur yang bertuliskan Istanbul, Granada, Cordova, Vienna,
Paris, Cairo, Roma, Mecca, dan Madina)
Hanum: Aku ingin sekali berjalan-jalan keliling Eropa sepertimu,
Fatma, mengunjungi tempat-tempat bersejarah yang meninggalkan
jejak kebesaran islam. Kapan ya aku bisa.”

b) Maksim cara. Maksim cara dilanggar karena P2 tidak menjawab


pertanyaan P1 secara tertata. Pelanggaran pada maksim cara dapat dilihat
pada kutipan yang sama pada maksim kuantitas.
2. Maksim yang terpenuhi yaitu sebagai berikut:
a) Maksim kualitas. Maksim ini terpenuhi karena P2 memberikan jawaban
berdasarkan fakta dan keinginannya. Terpenuhinya maksim kualitas ini
dapat dilihat pada penggalan percakapan berikut:
“Aku ingin sekali berjalan-jalan keliling Eropa sepertimu, Fatma,
mengunjungi tempat-tempat bersejarah yang meninggalkan jejak
kebesaran islam. Kapan ya aku bisa.”

b) Maksim relevansi. Maksim ini terpenuhi karena jawaban P2 dan apa yang
ditunjukan P1 saling relevan. Jawaban P2 direspon baik oleh P1 karena
mereka memiliki pengetahuan yang sama mengenai konteks yang
melatarbelakangi percakapan. Terpenuhinya maksim relevansi dapat
dilihat pada kutipan penggalan percakapan berikut:
“Hanum: Aku ingin sekali berjalan-jalan keliling Eropa sepertimu,
Fatma, mengunjungi tempat-tempat bersejarah yang meninggalkan
jejak kebesaran islam. Kapan ya aku bisa.
Fatma: Hanum, ternyata kita memiliki angan-angan yang sama. Aku
baru saja ingin mengajakmu melakukan hal yang sama. magnet-magnet
itu hanya pemberian Latife dan Ezra yang sering berjalan-jalan ke luar
negeri. Sekarang aku harus mengumpulkan uang dulu...,”
63

Implikatur: P2 mengetahui icon kota-kota Eropa pada magnet kulkas P1

11) Data 11
Hanum: Bagaimana jika yang pertama Turki? Istanbul? Aku penasaran
melihat seperti apa Hagia Sophia yang terkenal itu. Gereja yang
berubah menjadi masjid, kan? Sekaligus melihat kota
kelahiranmu.
Fatma: (Menggeleng) Aduh, jangan kau memintaku pulang kampung
secepat itu. Enam bulan yang lalu aku baru saja pulang dari
Istanbul. Bagaimana jika kita ke Spanyol? Ke Cordoba dan
Granada? Di sana ada bangunan yang unik. Kebalikan Hagia
Sophia. Sebuah masjid diubah menjadi Katedral Katolik.

(Sumber, Rais, 2012 : 98)


P1: Hanum
P2: Fatma
Berdasarkan data 11 mengetahui bahwa ada 2 orang pembicara yaitu
Hanum dan Fatma untuk mendapatkan 4 maksim dalam prinsip kerja sama Grice
digunakan alat ukur atau pisau analisis yaitu:
P1: Hanum
P2: Fatma
Topik: Keliling Eropa
Latar waktu: Siang hari
Latar tempat: Dapur P2
Latar peristiwa: P2 menolakide P1
Saluran: Bahasa lisan dan akrab
Kode: Bahasa Indonesia
Tujuan: P1 mengajak P2 memulai perjalanan keliling Eropa dari Istanbul
Bertumpu pada analisa di atas, diperoleh beberapa maksim yang dilanggar
dan maksim yang terpenuhi, yaitu sebagai berikut:
1. Maksim yang dilanggar yaitu sebagai berikut:
a) Maksim kuantitas. Maksim ini dilanggar karena P2 memberikan
informasi yang lebih dari yang dibutuhkan P1. Pelanggaran terhadap
maksim kuantitas dapat dilihat pada kutipan penggalan percakapan
berikut:
64

“(Menggeleng) Aduh, jangan kau memintaku pulang kampung secepat


itu. Enam bulan yang lalu aku baru saja pulang dari Istanbul.
Bagaimana jika kita ke Spanyol? Ke Cordoba dan Granada? Di sana
ada bangunan yang unik. Kebalikan Hagia Sophia. Sebuah masjid
diubah menjadi Katedral Katolik.”

b) Maksim cara. Maksim ini dilanggar karena jawaban P2 tidak singkat dan
tidak tertata. Pelanggaran terhadap maksim cara dapat dilihat pada
kutipan penggalan percakapan berikut:
“Hanum: Bagaimana jika yang pertama Turki? Istanbul? Aku
penasaran melihat seperti apa Hagia Sophia yang terkenal itu. Gereja
yang berubah menjadi masjid, kan? Sekaligus melihat kota
kelahiranmu.
Fatma: (Menggeleng) Aduh, jangan kau memintaku pulang kampung
secepat itu. Enam bulan yang lalu aku baru saja pulang dari Istanbul.
Bagaimana jika kita ke Spanyol? Ke Cordoba dan Granada? Di sana
ada bangunan yang unik. Kebalikan Hagia Sophia. Sebuah masjid
diubah menjadi Katedral Katolik.”

2. Maksim yang terpenuhi yaitu sebagai berikut:


a) Maksim kualitas. Maksim kualitas terpenuhi karena P2 menjawab
berdasarkan fakta dan pengalaman pribadi. terpenuhinya maksim ini dapat
dilihat pada kutipan penggalan percakapan berikut:
“(Menggeleng) Aduh, jangan kau memintaku pulang kampung secepat
itu. Enam bulan yang lalu aku baru saja pulang dari Istanbul.
Bagaimana jika kita ke Spanyol? Ke Cordoba dan Granada? Di sana
ada bangunan yang unik. Kebalikan Hagia Sophia. Sebuah masjid
diubah menjadi Katedral Katolik.”

b) Maksim relevansi. Maksim relevansi terpenuhi karena P2 dan P1memiliki


pengetahuan yang sama mengenai konteks yang melatarbelakangi
percakapan. Dapat dilihat dari konteks percakapan di atas antara P1 dan
P2 terjalin percakapan yang baik.
Implikatur: P1 tidak setuju dengan ide P2
12) Data 12
(1) Hanum: .... Ini pertama kali saya ke sini. Masjid paling besar, ya....
Tapi mengapa harus dekat dengan semua itu? (Hanum
menghamparkan tangannya karena bingung mencari perbandingan kata
yang lebih halus daripada „tempat yang menggoda syahwat‟)
65

Imam Hashim: (Imam Hashim tersenyum simpul) Mari saya antar putar-
putar masjid. Apakah anda membawa kerudung? Sebetulnya tidak
apa-apa jika tidak memakai kerudung, tapi sebaiknya pakai. Akan
sangat bagus dengan busana Anda yang sudah terhormat.... Oh ya,
tentang pertanyaan Anda tadi. Mengapa harus di Sungai
Danube..., Dulu kami sempat berpikir untuk memindahkan lokasi
Islamic Center ke tempat yang lebih „pantas‟. Sekali memang
ironis, apalagi saat musim panas begini. Saya tahu, orang-orang
sering membuat lelucon. Setelah berdoa di masjid, kita semua
berbuat dosa lagi karena tak bisa menjauhkan pandangan dari
manusia-manusia yang telanjang di sana. Seolah-olah masjid ini
simbol yang tak berbunyi. Hanya formalitas. .... Itulah...itu
penerimaan orang luar seperti Anda yang melihat ke dalam.
Namun untuk saya, orang dalam yang melihat ke luar, masjid
yang berada di dekat Danube justru merupakan berkah. ....
Marilah masuk ke kantor saya. .... Inilah berkah itu,
(mengeluarkan catatan the newcomers to Islam)
(2) Rangga: orang-orang yang baru saja masuk Islam? Mualaf?
Imam Hashim: Ini adalah daftar nama orang yang masuk Islam. Di antara
mereka adalah yang tadinya senang berjemur dan menikmati
suasana panas di tepi Danube.

(Sumber, Rais, 2012 : 114-117)


P1: Hanum
P2: Imam Hashim
P3: Rangga
Berdasarkan data 12 mengetahui bahwa ada 3 orang pembicara yaitu
Hanum, Imam Hashim, dan Rangga untuk mendapatkan 4 maksim dalam prinsip
kerja sama Grice digunakan alat ukur atau pisau analisis yaitu:
P1: Hanum
P2: Imam Hashim
P3: Rangga
Topik: Masjid Wina di depan Sungai Danube
Latar waktu: Siang hari setelah solat Jumat
Latar tempat: Masjid Wina
Latar peristiwa: P2 tidak menjawab pertanyaan P1 dengan langsung
Saluran: Bahasa lisan dan menghormati P2
Kode: Bahasa Indonesia
Tujuan: P1 menanyakan kenapa Masjid Wina berada di depan Sungai Danube
66

Bertumpu pada analisa di atas, diperoleh beberapa maksim yang dilanggar


dan maksim yang terpenuhi, yaitu sebagai berikut:
1. Maksim yang dilanggar yaitu sebagai berikut:
a) Maksim kuantitas. Maksim ini dilanggar karena jawaban yang diberikan
oleh P2 kepada P1 dan P3 melebihi dari informasi yang dibutuhkan
mereka. Pelanggaran terhadap maksim kuantitas dapat dibuktikan pada
kutipan penggalan percakapan berikut:
“(Imam Hashim tersenyum simpul) Mari saya antar putar-putar masjid.
Apakah anda membawa kerudung? Sebetulnya tidak apa-apa jika tidak
memakai kerudung, tapi sebaiknya pakai. Akan sangat bagus dengan
busana Anda yang sudah terhormat.... Oh ya, tentang pertanyaan Anda
tadi. Mengapa harus di Sungai Danube..., Dulu kami sempat berpikir
untuk memindahkan lokasi Islamic Center ke tempat yang lebih
„pantas‟. Sekali memang ironis, apalagi saat musim panas begini. Saya
tahu, orang-orang sering membuat lelucon. Setelah berdoa di masjid,
kita semua berbuat dosa lagi karena tak bisa menjauhkan pandangan
dari manusia-manusia yang telanjang di sana. Seolah-olah masjid ini
simbol yang tak berbunyi. Hanya formalitas. .... Itulah...itu penerimaan
orang luar seperti Anda yang melihat ke dalam. Namun untuk saya,
orang dalam yang melihat ke luar, masjid yang berada di dekat
Danube justru merupakan berkah. .... Marilah masuk ke kantor saya.
.... Inilah berkah itu, (mengeluarkan catatan the newcomers to Islam)”

“Ini adalah daftar nama orang yang masuk Islam. Di antara mereka
adalah yang tadinya senang berjemur dan menikmati suasana panas di
tepi Danube.”

b) Maksim cara. Maksim ini dilanggar karena P2 tidak menjawab pertanyaan


dari P1 dan P3 dengan tertata secara semantik. Pelanggaran terhadap
maksim cara dapat dilihat pada kutipan penggalan percakapan yang sama
dengan pelanggaran maksim kuantitas.
2. Maksim yang terpenuhi yaitu sebagai berikut:
a) Maksim kualitas. Maksim ini terpenuhi karena jawaban dari P2 terhadap
pertanyaan P1 dan P3 berdasarkan kepada kejadian yang sebenarnya. P2
menjawab berdasarkan fakta yang terjadi dan dapat dibuktikan
kebenarannya. Terpenuhinya maksim kualitas dapat dibuktikan pada
kutipan penggalan percakapan berikut:
“(Imam Hashim tersenyum simpul) Mari saya antar putar-putar masjid.
Apakah anda membawa kerudung? Sebetulnya tidak apa-apa jika tidak
memakai kerudung, tapi sebaiknya pakai. Akan sangat bagus dengan
67

busana Anda yang sudah terhormat.... Oh ya, tentang pertanyaan Anda


tadi. Mengapa harus di Sungai Danube..., Dulu kami sempat berpikir
untuk memindahkan lokasi Islamic Center ke tempat yang lebih
„pantas‟. Sekali memang ironis, apalagi saat musim panas begini. Saya
tahu, orang-orang sering membuat lelucon. Setelah berdoa di masjid,
kita semua berbuat dosa lagi karena tak bisa menjauhkan pandangan
dari manusia-manusia yang telanjang di sana. Seolah-olah masjid ini
simbol yang tak berbunyi. Hanya formalitas. .... Itulah...itu penerimaan
orang luar seperti Anda yang melihat ke dalam. Namun untuk saya,
orang dalam yang melihat ke luar, masjid yang berada di dekat
Danube justru merupakan berkah. .... Marilah masuk ke kantor saya.
.... Inilah berkah itu, (mengeluarkan catatan the newcomers to Islam)”

“Ini adalah daftar nama orang yang masuk Islam. Di antara mereka
adalah yang tadinya senang berjemur dan menikmati suasana panas di
tepi Danube.”

b) Maksim relevansi. Maksim ini terpenuhi karena percakapan P1, P2, dan
P3 yang saling relevan dengan konteks yang melatarbelakangi
percakapan, yaitu mengenai Masjid Wina di dekat Sungai Danube. P2
berusaha untuk menerangkan jawabannya secara rinci dan kronologis
kepada P1 dan P3. Terpenuhinya maksim relevansi dapat dilihat pada
konteks percakapan antara P1, P2, dan P3 di atas.
Implikatur: P2 menjelaskan secara kronologi alasan Masjid Wina masih
dipertahankan di dekat Sungai Danube.
13) Data 13
Hanum: Waalaikumsalam, Sister Marion, (menjawab telpon dari
Marion). Jadi, dimanakah Saint Michel itu?
Marion: Jangan Khawatir Sister, aku akan memandumu. Bandara Charles
de Gaulle terletak 25 km dari pusat kota Paris. Suamimu ikut
juga, kan? Kalian bisa naik kereta dari bandara ini dan nanti aku
akan menjemput kalian di stasiun pusat kota, a bientot. Sampai
nanti.

(Sumber, Rais, 2012 : 128)


P1: Hanum
P2: Marion
Berdasarkan data 13 mengetahui bahwa ada 2 orang pembicara yaitu
Hanum dan Marion untuk mendapatkan 4 maksim dalam prinsip kerja sama Grice
digunakan alat ukur atau pisau analisis yaitu:
P1: Hanum
68

P2: Marion
Topik: Letak Saint Michel
Latar waktu: Siang hari
Latar tempat: Gardarata pesawat, Paris
Latar peristiwa: P2 tidak menjawab pertanyaan P1 sesuai dengan yang
diinginkan secara semantis
Saluran: Bahasa lisan dan akrab
Kode: Bahasa Indonesia campur bahasa Inggris dan bahasa Prancis
Tujuan: P1 menanyakan letak Saint Michel
Bertumpu pada analisa di atas, diperoleh beberapa maksim yang dilanggar
dan maksim yang terpenuhi, yaitu sebagai berikut:
1. Maksim yang dilanggar yaitu sebagai berikut:
a) Maksim kuantitas. Maksim kuantitas dilanggar karena P2 memberikan
informasi melebihi dari yang dibutuhkan P1. Pelanggaran terhadap
maksim ini dapat dilihat pada kutipan penggalan percakapan berikut:
“Jangan Khawatir Sister, aku akan memandumu. Bandara Charles de
Gaulle terletak 25 km dari pusat kota Paris. Suamimu ikut juga, kan?
Kalian bisa naik kereta dari bandara ini dan nanti aku akan menjemput
kalian di stasiun pusat kota, a bientot. Sampai nanti.”

b) Maksim cara. Maksim ini dilanggar karena jawaban dari P2 tidak tertata
secara semantis dengan apa yang dipertanyakan oleh P1. Pelanggaran
terhadap maksim cara dapat dilihat pada kutipan berikut:
“Hanum: Waalaikumsalam, Sister Marion, (menjawab telpon dari
Marion). Jadi, dimanakah Saint Michel itu?
Marion: Jangan Khawatir Sister, aku akan memandumu. Bandara
Charles de Gaulle terletak 25 km dari pusat kota Paris. Suamimu ikut
juga, kan? Kalian bisa naik kereta dari bandara ini dan nanti aku akan
menjemput kalian di stasiun pusat kota, a bientot. Sampai nanti.”

2. Maksim yang terpenuhi yaitu sebagai berikut:


a) Maksim kualitas. Maksim ini terpenuhi karena jawaban dari P2
berdasarkan fakta dan dapat dibuktikan kebenarannya. Terpenuhinya
maksim kualitas dapat dilihat pada kutipan penggalan percakapan berikut:
“Jangan Khawatir Sister, aku akan memandumu. Bandara Charles de
Gaulle terletak 25 km dari pusat kota Paris. Suamimu ikut juga, kan?
69

Kalian bisa naik kereta dari bandara ini dan nanti aku akan menjemput
kalian di stasiun pusat kota, a bientot. Sampai nanti.”

b) Maksim relevansi. Maksim ini ditaati karena jawaban dari P2 relevan


dengan konteks yang melatarbelakangi percakapan. Terpenuhinya
maksim relevansi dapat dilihat dalam kutipan yang sama dengan kutipan
pelanggaran percakapan pada maksim cara.
Implikatur: P2 mejelaskan cara ke Saint Michel secara rinci
14) Data 14
Marion: Hanum Indonesia!

Marion: Tu dois etre Hanum at tu dois etre Rangga

Hanum: Nice veil,

Marion: Merci. Buatku rukun Islam itu ada 6. Yang keenam adalah
menjaga kehormatanku dengan jilbab

Hanum: Aku ingin tahu, apa yang membuatmu tertarik pada Islam.
Mungkin aku bisa belajar banyak darimu.

(Sumber, Rais, 2012 : 131-132)


P1: Marion
P2: Hanum
Berdasarkan data 14 mengetahui bahwa ada 2 orang pembicara yaitu
Marion dan Hanum untuk mendapatkan 4 maksim dalam prinsip kerja sama Grice
digunakan alat ukur atau pisau analisis yaitu:
P1: Marion
P2: Hanum
Topik: Perkenalan diri
Latar waktu: Siang hari
Latar tempat: Saint Michel
Latar peristiwa: P1 merespon pujian P2
Saluran: Bahasa lisan dan akrab
Kode: Bahasa Indonesia campur bahasa Inggris dan bahasa Prancis
Tujuan: P2 memuji P1
70

Bertumpu pada analisa di atas, diperoleh beberapa maksim yang dilanggar


dan maksim yang terpenuhi, yaitu sebagai berikut:
1. Maksim yang dilanggar yaitu sebagai berikut:
a) Maksim kuantitas. Maksim ini dilanggar karena P2 merespon pernyataan
P1 dengan berlebihan secara berlebihan secara konvensional. Pelanggaran
terhadap maksim kuantitas dapat dilihat pada kutipan penggalan
percakapan berikut:
“Merci. Buatku rukun Islam itu ada 6. Yang keenam adalah menjaga
kehormatanku dengan jilbab”

b) Maksim cara. Maksim cara dilanggar karena P2 merespon pujian P1 tidak


dengan singkat. Pelanggaran terhadap maksim cara dapat dilihat dalam
kutipan yang sama dengan pelanggaran maksim kuantitas.
2. Maksim yang terpenuhi yaitu sebagai berikut:
a) Maksim kualitas. Maksim kualitas terpenuhi karena P2 memberikan
jawaban berdasarkan pengalaman pribadi dan tidak ada keraguan dalam
penyampaiannya. Terpenuhinya maksim ini dapat dilihat pada kutipan
penggalan percakapan berikut:
“Merci. Buatku rukun Islam itu ada 6. Yang keenam adalah menjaga
kehormatanku dengan jilbab”

b) Maksim relevansi. Maksim ini terpenuhi karena P1 dan P2 sama-sama


memiliki pengetahuan mengenai konteks yang melatarbelakangi
percakapan, yaitu mengenai jilbab bagi wanita muslim. Terpenuhinya
maksim ini dapat dilihat pada kutipan penggalan percakapan berikut:
“Hanum: Nice veil,
Marion: Merci. Buatku rukun Islam itu ada 6. Yang keenam adalah
menjaga kehormatanku dengan jilbab”

Implikatur: P1 merespon pujian P2 dan menjelaskan alasannya dengan rinci


15) Data 15
Marion: Jadi mana tujuan utama mu? Eiffel? Lafayette? Champ Elysees?
Moulin Rouge?
Hanum: Aku ingin mengeksplorasi tempat bersejarah yang ada kaitannya
dengan keahlianmu, Marion.
71

Marion: Kalau kau tertarik menelusuri peninggalan-peninggalan sejarah,


kita bisa mulai dari Museum Louvre....

(Sumber, Rais, 2012 : 140-141)


P1: Marion
P2: Hanum
Berdasarkan data 15 mengetahui bahwa ada 2 orang pembicara yaitu
Marion dan Hanum untuk mendapatkan 4 maksim dalam prinsip kerja sama Grice
digunakan alat ukur atau pisau analisis yaitu:
P1: Marion
P2: Hanum
Topik: Tempat yang dituju untuk jalan-jalan di kota Paris
Latar waktu: 09.00 pagi
Latar tempat: Lobi hotel
Latar peristiwa: P2 menyerahkan pilihan kepada P1
Saluran: Bahasa Lisan dan akrab
Kode: Bahasa Indonesia
Tujuan: P1 menanyakan tempat pertama yang menjadi tujuan P2 jalan-jalan di
Paris
Bertumpu pada analisa di atas, diperoleh beberapa maksim yang dilanggar
dan maksim yang terpenuhi, yaitu sebagai berikut:
1. Maksim yang dilanggar yaitu sebagai berikut:
a) Maksim kuantitas. Maksim ini dilanggar karena P2 menjawab pertanyaan
P1 melebihi dari informasi yang diinginkan. Pelanggaran terhadap
maksim kuantitas dapat dilihat pada kutipan penggalan percakapan
berikut:
“Marion: Jadi mana tujuan utama mu? Eiffel? Lafayette? Champ
Elysees? Moulin Rouge?
Hanum: Aku ingin mengeksplorasi tempat bersejarah yang ada
kaitannya dengan keahlianmu, Marion.”

b) Maksim cara. Maksim cara dilanggar karena P2 menjawab pertanyaan P1


tidak singkat dan tidak tertata. Pelanggaran terhadap maksim ini dapat
dilihat pada kutipan penggalan percakapan yang sama dengan
pelanggaran maksim kuantitas.
72

2. Maksim yang terpenuhi yaitu sebagai berikut:


a) Maksim kualitas. Maksim kualitas terpenuhi karena jawaban P2
berdasarkan keinginannya dan disampaikan dengan tidak ada keraguan.
Terpenuhinya maksim ini dapat dilihat pada kutipan berikut:
“Aku ingin mengeksplorasi tempat bersejarah yang ada kaitannya
dengan keahlianmu, Marion.”

b) Maksim relevansi. Maksim ini terpenuhi karena P1 dan P2 memiliki


pengetahuan yang sama mengenai konteks yang melatarbelakangi
percakapan. Respon P1 relevan dengan jawaban dari P2. Terpenuhinya
maksim relevansi dapat dilihat dalam kutipan penggalan percakapan
berikut:
“Hanum: Aku ingin mengeksplorasi tempat bersejarah yang ada
kaitannya dengan keahlianmu, Marion.
Marion: Kalau kau tertarik menelusuri peninggalan-peninggalan
sejarah, kita bisa mulai dari Museum Louvre....”

Implikatur: P2 menyerahkan pilihan kepada P1


C. Pembahasan
1. Data 1
Memahami implikatur dalam sebuah ujaran salah satu caranya yaitu
dengan menganalisis konteks pemakaian ujaran. Ujaran biasanya dilengkapi
dengan tingkah laku non-verbal, misalnya gerak anggota tubuh (kepala tunduk,
mata melotot), modulasi suara, dan raut muka. Terkadang penggunaan non-verbal
disebabkan kata-kata atau respon yang ingin disampaikan oleh peserta komunikasi
tidak cukup terwakilkan oleh ucapan verbal. Konteks juga terkait dengan latar
belakang yang dimiliki oleh peserta ujaran, situasi sosial, situasi bahsa yang
digunakan, dan saluran.
Berdasarkan analisis pada data 1, diketahui bahwa topik yang melatar
belakangi percakapan antara P1 dan P2 adalah berita kurang baik yang akan
disampaikan oleh P1. Konteks fisik dalam percakapan tersebut yaitu pada suatu
kota di Eropa Barat. Pada 11 September 1683 terjadilah ekspansi kedua Panglima
Turki yaitu Kara Mustafa ke Wina. Dalam percakapan antara P1 dan P2 terjadi
situasi yang menegangkan. P1 memberikan informasi mengenai ekspansi yang
akan mereka lakukan ke Wina. P1sangat hormat dan takut kepada P2, hal tersebut
73

ditandai dengan cara menyampaikan pesan yang terbata-bata. Dapat terlihat pada
kutipan percakapan sebagai berikut, “...mmm....Panglima....Apakah Panglima
juga berkenan mendengarkan berit yang lainnya?” dengan kalimat
““...mmm....Panglima....” menunjukan bahwa P1 merasa ketakutan untuk
menyampaikan berita buruk tersebut. P1 dengan cara menunduk dan terbatah-
batah dalam menyampaikan pesan dapat menunjukan bahasa non-verbal melalui
gerak-gerik tubuhnya bahwa dia sedang ketakutan. Ekspresi P2 dengan mata yang
melotot setelah mendengarkan berita tersebut menunjukan betapa terkejutnya dia
terhadap berita yang tidak diharapkan itu.
Cara lain dalam meganalisis implikatur yaitu dengan adanya pelanggaran
terhadap maksim pada prinsip kerjasama yang disampaikan oleh Grice. Maksim-
maksim tersebut adalah maksim kuantitas, kualitas, relevansi, dan maksim cara.
Untuk mencapai komunikasi yang baik, menurut Grice penutur dan petutur harus
mentaati prinsip kerjasama dalam percakapan. Akan tetapi, menurut Sperber dan
Wilson suatu percakapan tidak harus mentaati semua maksim dalam prinsip
kerjasama Grice, menurut mereka yang terpenting adanya relevansi antara yang
diujarkan dengan konteks yang melatarbelakangi percakapan.
Berdasarkan analisis data 1, teks percakapan antara P1 dan P2 melanggar
maksim cara. Adapun penjelasannya yaitu sebagai berikut: Penyampaian yang
dilakukan P1 dengan cara terbata-bata dan tidak disampaikan secara ringkas. P1
mempertanyakan kesediaan P2 untuk mendengarkan berita buruk yang dia bawa.
Berdasarkan maksim cara, P1 seharusnya menyampaikan pesan tersebut secara
langsung tanpa mempertanyakan kesediaan P2. Selain itu, jawaban dari P2
mengandung ambiguitas, hal tersebut dapat terlihat pada kalimat “Katakan”
disertai ekspresi wajah dengan mata melotot. Mata melotot menandakan bahwa
P2 terkejut dan tidak menginginkan berita buruk tersebut, tapi karena berita buruk
tersebut sangat dibutuhkan maka P2 memerintahkan P1 untuk menyampaikannya.
Pelanggaran terhadap maksim-maksim Grice akan mengakibatkan implikatur.
implikatur pada teks percakapan data 1 yaitu P2 melototkan matanya karena
terkejut dan tidak mengharapkan ada berita buruk.
Berdasarkan analisis data 1. Percakapan antara P1 dan P2 mentaati
maksim berikut:
74

1. Maksim kuantitas. Maksim kuantitas ditaati karena P2 memberikan


jawaban yang diinginkan oleh P1 dan tidak berlebih-lebihan. P2 hanya
mengatakan “Katakan” sebagai jawabannya.
2. Maksim kualitas. Maksim ini terpenuhi dikarenakan P1 menyampaikan
berita yang benar berdasarkan apa yang sedang terjadi yaitu berita buruk
berdasarkan kejadian yang dilihat oleh anak buah Panglima dan benar-
benar terjadi. Hal tersebut dapat dilihat pada penggalan kalimat “Mereka
tidak menyerang, Panglima. Tetapi anak buah kita melihat tembakan api
terus-menerus dilontarkan ke udara di dalam benteng”.
3. Maksim relevansi. Berdasarkan kutipan pada maksim kualitas dapat dilihat
bahwa apa yang disampaikan dengan situasi yang terjadi saling
berhubungan. Ekspresi dari P2 dan jawaban dari P1 menunjukan bahwa
adanya persamaan pengetahuan mengenai ekspansi ke Wina. Maksim
relevansi dari Grice dapat mewakilkan teori relevansi dari Sperber dan
Wilson.
2. Data 2
Berdasarkan analisis data 2 diketahui bahwa yang menjadi topik
pembicaraan antara P1 dan P2 yaitu Jilbab mengakibatkan P1 sulit mendapatkan
pekerjaan. Kesadaran akan konteks dalam suatu percakapan sangat dibutuhkan
agar yang dibicarakan relevan. Konteks fisik atau tempat terjadinya peristiwa
ujaran yaitu di dalam bus di kota Wina. P1dan P2 merupakan teman baik, oleh
karena itu percakapan terjadi dengan akrab. P1 memberitahukan kepada P2 bahwa
memakai jilbab membuat dia susah untuk mendapatkan pekerjaan di negara yang
kaum muslimnya menjadi minoritas. P2 beranggapan bahwa P1 sulit mendapatkan
pekerjaan karena klasifikasinya yang kurang sesuai. P1 memiliki pengetahuan
yang lebih mengenai cara orang melakukan muslim di negara minoritas Islam.
Prinsip percakapan Grice memiliki empat maksim yaitu maksim kuantitas,
kualitas, relevansi dan maksim cara. Maksim yang dilanggar menutupi maksim
yang lainnya. Misalnya melanggar maksim kuantitas untuk tercapainya maksim
kualitas. Maksim relevansi dari Grice sama dengan teori relevansi yang dimiliki
Sperber dan Wilson. Menurut mereka yang terpenting dalam suatu percakapan
adalah relevansi antara konteks dan percakapan yang dilakukan.
75

Maksim-maksim yang ada pada prinsip kerjasama dapat di langgar untuk


tujuan tertentu. Misalnya dengan cara memberikan informasi yang lebih dari pada
yang dibutuhkan oleh petutur. Hal tersebut dikarenakan penutur ingin
menyampaikan informasi yang lebih detail sehingga pentutur dapat lebih
mengerti. Informasi yang di luar makna semantis serng disebut implikatur.
Berdasarkan analisis pada data 2, implikatur dari konteks percakapan antara P1
dan P2 yaitu P1 memperkuat pernyataannya dengan melontarkan pertanyaan balik
kepada P2.
Dalam teks percakapan data 2 ada beberapa maksim dari prinsip kerjasama
yang dilanggar yaitu:
1. Melanggar maksim kuantitas. Maksim kuantitas dilanggar karena jawaban
dari P1 memiliki informasi yang lebih atau tidak sesuai dengan yang
ditanyakan secara semantis. P2 menanyakan kepada P1 bahwa sulitnya
mendapaatkan pekerjaan mungkin karena kualifikasi atau pengalaman P1
yang kurang dalam pekerjaan sehingga menyebabkan dia susah
mendapatkan pekarjaan. Secara semantis seharusnya P1 menjawab dengan
“iya” atau “tidak”. Akan tetapi, P1 memberikan informasi yang lebih
dengan menjelaskan alasan dari jawabannya. Hal tersebut dapat terlihat
kutipan berikut “Ah, tadinya kupikir juga demikian, Hanum. Sampai
kuturunkan pilihanku. Katakan padaku, apakah profesionalitas dan
kompetensi sangat dibutuhkan sekadar untuk menjadi portir dalam
dapur?”
2. Maksim cara. Pelanggaran pada maksim ini disebabkan karena jawabam
P1 tidak disampaikan dengan ringkas kepada P2. Selain itu, P1 menjawab
pertanyaan dari P2 dengan memberikan pertanyaan kembali untuk
memperkuat alasan yang disampaikannya. Secara konvensional jawaban
dari pertanyaan P2 hanya membutuhkan benar atau salah dari perkiraan
yang dilontarkan P2.
Berdasarkan analisis data 2, konteks percakapan antara P1 dan P2
memenuhi maksim-maksim berikut:
1. Maksim kualitas. Percakapan yang dilakukan oleh P1 dan P2 mentaati
maksim kualitas karena pernyataan P1 berdasarkan kepada
76

pengalamannya. P1 menguatkan pendapatnya dengan mengatakan


pekerjaan yang dia lamar seharusnya tidak memerlukan profesionalitas dan
kompetensi yang dinyatakan oleh P2. P1 melamar sebagai tukang portir di
dapur dan masih tidak di terima. Peristiwa tersebut dapat dibuktikan
melalui kutipan berikut, “...apakah profesionalitas dan kompetensi sangat
dibutuhkan sekadar untuk menjadi portir dalam dapur?”
2. Maksim relevansi. Maksim ini terpenuhi karena percakapan antara P1 dan
P2 sesuai dengan topik yang melatarbelakangi pembicaraan mereka.
Berdasarkan analisis data 2, topik percakapan yaitu berjilbab
mengakibatkan sulit mendapatkan pekerjaan. P2 memberikan
sanggahannya kepada P1 atas pernyataan dan topik yang sedang mereka
bicarakan. Sanggahan dari P2 dapat dilihat pada kutipan berikut, “Kenapa
kau tak berpikir, mungkin mmm...kualifikasimu kurang sesuai, atau
pengalaman kerjamu kurang sehingga perusahaan di sini tidak
menerimamu?” P2 tidak sepaham dengan P1 jikalau jilbab dapat menjadi
salah satu faktor sulitnya mendapatkan pekerjaan. Sanggahan atau
pernyataan dari P2 di respon baik oleh P1 dengan memberikan contoh
pengalaman pribadinya.
3. Data 3
Berdasarkan analisis data 3, percakapan antara P1 dan P2 dilatarbelakangi
oleh topik coklat Milka. P1 menawarkan coklat Milka kepada P2 untuk memberi
kesan yang baik sewaktu perkenalan. P2 menolak pemberian P1 karena dia sedang
berpuasa. Percakapan terjadi di kelas bahasa Jerman, karena itu P1 mencampur
bahasanya dengan bahasa Jerman dan dengan nada yang akrab. Percakapan antara
P1 dan P2 menyimpan sebuah implikatur. implikatur adalah sesuatu informasi
yang disampaikan diluar ujaran secara konvensional. Implikatur pecakapan juga
terjadi karena adanya pelanggaran terhadap maksim dalam prinsip kerjasama yang
dinyatakan oleh Grice. Implikatur percakapan antara P1 dan P2 yaitu P2 menolak
pemberian P1 karena melakukan ibadah puasa.
Maksim Grice yaitu berupa berupa maksim: 1) kuantitas yang berkaitan
dengan keinformatifan suatu ujaran; 2) maksim kualitas yang berhubungan
dengan kebenaran; 3) maksim relevansi yang menuntut kerelevalan antara ujaran
77

dan konteks; 4) dan maksim cara berkaitan dengan cara dan informasi yang
disampaikan bisa di mengerti atau tidak. Pelanggaran terhadap maksim-maksim
Grice berdasarkan pada analisis data 3 yaitu sebagai berikut:
1. Maksim kuantitas. Pelanggaran terhadap maksim ini terjadi pada saat
jawaban P2 atas tawaran P1 untuk menerima cokelat pemberiannya. Hal
tersebut dapat terlihat pada kutipan yang terdapat dalam analisis data 3. P2
melanggar maksim kuantitas karena tidak memberikan informasi yang
dibutuhkan oleh P1. P2 tidak menyebutkan namanya, akan tetapi
memberikan pernyataan sukanya terhadap coklat yang ditawarkan P1. P2
tidak menerima coklat itu meskipun dia suka.
2. Maksim cara. Pelanggaran terjadi karena P2 tidak menjawab pertanyaan
P1secara tertata dan singkat. P2 tidak menjawab siapa namanya dan
menjelaskan kenapa dia menolak pemberian P1. Alasan penolakan itu
tidak dipertanyakan oleh P1, akan tetapi P2 menjelaskan alasannya
sehingga P1 tidak merasa tersinggung.
Maksim yang terpenuhi dalam percakapan antara P1 dan P2 berdasarkan
analisis data 3, yaitu sebagai berikut:
1. Maksim kualitas. Maksim ini terpenuhi karena jawaban P2 tidak bisa
mernerima pemberian dari P1 dikarenakan dia memang sedang berpuasa.
Ada alasan yang dapat di pertanggungjawabkan kebenarannya dikarenakan
yang menyampaikan alasan tersebut adalah orang yang mengalaminya.
2. Maksim relevansi. Maksim relevansi berhubungan dengan teori relevansi
yang dinyatakan oleh Sperber dan wilson. Sperber dan Wilson
menyanggah prinsip kerjasama Grice. Menurut mereka dengan adanya
relevansi, komunikasi akan berjalan dengan lancar. Teori relevansi ditepati
karena P1 dan P2 memiliki pengetahuan yang sama mengenai puasa pada
hari senin-kamis. Selain itu, P1 dan P2 sama-sama mengetahui coklat
Milka sehingga percakapan mereka menjadi relevan.
4. Data 4
Implikatur sering kali dikaitkan dengan Grice, yang mengasumsikan di
dalam komunikasi hendaklah bekerjasama dengan petutur agar komunikasi
efisien dan efektif. Partisipan komunikasi harus mematuhi prinsip kerjasama yang
78

dapat dijabarkan menjadi empat maksim, yaitu maksim kuantitas, kualitas,


relevansi, dan maksim cara. Namun, partisipan komunikasi pada umumnya tidak
mematuhi prinsip kerjasama. Salah satu sebabnya adalah komunikasi itu tidak
selalu berupa penyampaian pesan atau informasi saja. Informasi yang ingin
disampaikan oleh penutur di luar makna semantis suatu ujaran haruslah memiliki
kesesuain konteks antara penutur dan petutur. Konteks tersebut berupa konteks
dimana peristiwa itu terjadi, situasi apa, konteks sosial seperti apa, dan
pengetahuan mengenai konteks pada saat berlangsungnya percakapan. Implikatur
dalam percakapan antara P1 dan P2 berdasarkan analisis data 4 yaitu P2 menolak
ajakan P1 untuk menghangatkan badan di kafe.

Penggalan percakapan pada data 4 terlihat bahwa peristiwa komunikasi


terjadi di Bukit Kahlenberg karena cuaca dingin mereka pindah ke Gereja Saint
Joseph. Berdasarkan pengetahuan yang dimiliki P1 bahwa wanita yang berjilbab
akan merasa tidak nyaman masuk ke dalam gereja. Akan tetapi, berdasarkan
jawaban P2 pada konteks percakapan data 4 terlihat bahwa P2 tidak merasa
keberatan mengeni hal tersebut.

Dalam penggalan percakapan berdasarkan analisis data 4, antara P1 dan


P2 terdapat beberapa pelanggaran maksim dalam prinsip kerjasama Grice, yaitu
sebagai berikut:

1. Maksim kuantitas. Maksim ini dilanggar karena tanggapan atau jawaban


P2 memberikan informasi lebih banyak dari pada yang diperlukan oleh P1.
Jawaban yang diberikan P2 secara tak langsung tidak hanya menolak saran
yang diberikan oleh Hanum, tetapi juga memberikan sebuah alasan.
Alasannya yaitu gereja memiliki relief yang artistik sehingga P1
mengurungkan niatnya mengajak P2 menghangatkan badan di kafe. Dalam
prinsip kerjasama Grice, maksim kuantitas ditaati apabila informasi yang
diberikan seinformatifmungkin dan tidak lebih dari yang diinginkan oleh
petutur atau lawan bicara.
2. Maksim cara. Maksim ini dilanggar karena cara P2 menanggapi
pertanyaan P1 disampaikan berlebihan dari informasi yang dibutuhkan dan
tidak singkat. Berdasarkan analisis data 4, secara literal seharusnya P2
79

menjawab pertanyaan atau ajakan P1 dengan ikut atau menolak ajakan P1


tanpa memberikan alasan. Maksim cara menuntut agar informasi yang
disampaikan jelas, singkat, dan tertata.

Adapun maksim yang terpenuhi dalam percakapan pada penggalan


percakapan berdasarkan analisis data 4, yaitu sebagai berikut:

1. Maksim kualitas. Maksim ini dalam prinsip kerjasama Grice ditaati apabila
mengatakan sesuatu yang benar dan dapat dibuktikan kebenarannya.
Berkaitan dengan hal tersebut, tanggapan P2 bahwa mereka sudah terlanjur
berlari ke gereja dan di dalam banyak patung reilief yang artistik, benar
secara faktual dan dapat dibuktikan. Dengan demikian maksim kualitas
dapat ditaati.
2. Maksim relevansi. Selain dari teori Grice mengenai prinsip kerjasama,
teori Sperber dan Wilson terpenuhi dalam penggalan percakapan yang
dilakukan oleh P1 dan P2. Sperber dan Wilson berpendapat bahwa yang
terpenting dari prinsip kerjasama adalah adanya relevansi. Maksim
relevansi atau relevan secara semantis merujuk kepada komunikasi yang
saling berhubungan atau berkaitan dengan hal yang sedang dibicarakan.
Atas dasar konsep tersebut, pertanyaan yang dilontarkan P2 kenapa harus
pindah dan alasannya kenapa harus melanjutkan untuk menghangatkan diri
di gereja mentaati maksim relevansi. P1 dan P2 memiliki pengetahuan
yang sama mengenai wanita berjilbab tidak seharusnya di gereja. Akan
tetapi karena mereka memiliki alasan untuk menghangatkan diri, P2 tidak
merasa keberatan berada di gereja. P2 sudah pernah berkunjung ke gereja
tersebut sebelumnya.
5. Data 5
Implikatur terjadi apabila ada pelanggaran terhadap beberapa maksim dari
prinsip kerjasama Grice. Ia mengatakan dalam percakapan seorang pembicara
mempunyai maksud tertentu ketika mengujarkan sesuatu. Maksud yang ingin
disampaikan haruslah memiliki kesesuaian dengan konteks dalam proses ujaran.
Implikatur pada konteks percakapan antara P1 dan P2 berdasarkan analisis data 5
yaitu P1 tidak keberatan membicarakan mengenai gereja. P1 menjelaskan alasan
80

kenapa menyuruh P2 untuk diam tiba-tiba. Ketidakberatan P1 dinyatakan melalui


alasan dia menyuruh P2 diam sejenak yaitu dengan mengungkapkan kekesalannya
terhadap turis yang sedang mengolok-olok Islam.

Dalam penggalan percakapan pada analisis data 5 percakapan terjadi di


sebuah kafe dalam situasi yang santai. Selain dari konteks peristiwa percakapan
terjadi, konteks pengetahuan dari ujaran yang dilontarkan juga sangat
mempengaruhi proses memahami ujaran. Berdasarkan analisis data 5, P1 dan P2
sama-sama mengetahui bahwa croissant menyerupai bulan salah satu lambang
dari bendera Turki. Roti Croissant dibuat untuk merayakan kekalahan Turki saat
melakukan ekspansi ke Wina pada abad ke-17 M. Turis-turis yang di kafe
memanfaatkan hal tersebut untuk mengolok-olok Islam sehinnga memicu emisi
Hanum.

Komunikasi yang dilakukan tidaklah hanya sekedar memberikan pesan


sehingga peserta komunikasi sering melanggar prinsip kerjasama Grice. Adapun
maksim-maksim yang dilanggar dalam penggalan percakapan analisis data 5 yaitu
sebagai berikut:

1. Maksim kuantitas. Jawaban yang diberikan oleh P1 melebihi dari


informasi yang dibutuhkan oleh P2 sehingga jawaban P1 melanggar
maksim kuantitas dari prinsip kerjasama Grice. P1 mengetahui maksud
dari pertanyaan P2, P1 menjawab pertanyaan tersebut dengan menjabarkan
alasannya, terlihat dalam kutipan berikut, “Kurasa tamu di balik tembok
ini sedang menjelek-jelakan Islam. Mereka menyebut croissant
melambangkan bendera Turki yang bisa dimakan. Kau makan croissant
artinya makan Islam! Pokoknya menyebalkan!”
2. Maksim cara. Pelanggaran terhadap maksim ini karena P1 memberikan
jawaban yang tidak sesuai dengan pertanyaan yang lontarkan P2. Jawaban
P1 tidak disampaikan dengan tertata dan tidak singkat. Cara P1 menyuruh
P2 untuk diam sejenak memberikan ekspresi yang tidak jelas sehingga P2
tidak mengerti kenapa dia diminta untuk diam.
81

Maksim yang terpenuhi dalam penggalan percakapan pada analisis data 5


yaitu sebagai berikut:

1. Maksim kualitas. Jawaban P1 mengenai turis yang mengolok-olok Islam


dengan roti croissant memang terjadi pada saat proses pengupingan yang
dia lakukan. Dengan demikian, jawaban P1 mentaati hukum maksim
kualitas karena maksim kualitas berkaitan dengan kebenaran yang
terkandung dalam ujaran atau informasi yang disampaikan.
2. Maksim Relevansi. Maksim ini terpenuhi dikarenakan hal yang
dibicarakan memiliki keterkaitan dengan konteks yang melatar belakangi
pembicaraan. Teori relevansi Sperber dan Wilson sama halnya dengan
maksim relevansi yang ada pada prinsip kerjasama Grice. P1
menyampaikan informasi yang sesuai dengan konteks dan kejadian
sebenarnya yaitu mengenai beberapa turis yang menjelek-jelekkan Islam.
6. Data 6
Berdasarkan analisis data 6 konteks percakapan terjadi di ruang kelas pada
saat pelajaran tarikh Islam. P2 memotivasi murid-muridnya dengan mimpinya
mengunjungi Eropa untuk menapak jejak perjalanan Islam. P2 dalam menjawab
pertanyaan yang diajukan oleh P1 tidak mematuhi prinsip kerjasama yang
dicetuskan oleh Grice. Kerjasama tersebut dilihat dari kepatuhan untuk mentaati
maksim-maksim yang ada. Maksim tersebut yaitu maksim kuantitas yang
berkaitan dengan informasi yang disampaikan, maksim kualitas berkaitan dengan
kebenaran informasi, maksim relevansi berkaitan dengan relevan atau tidaknya
ujaran terhadap konteks percakapan, dan maksim cara yang berkaitan dengan cara
dalam penyampaian informasi. Pelanggaran terhadap maksim-maksim tersebut
akan menimbulkan implikatur. implikatur pada data 6 berdasarkan analisis data 6
yaitu P2 ingin ke Wina untuk mempelajari sejarah Islam. Selain dari teori Grice,
peneliti juga menganalisa berdasarkan teori relevansi yang di cetuskan oleh
Sperber dan Wilson. Maksim relevansi menjadi fokus utamanya dalam
menentukan komunikasi antara penutur dan petutur berjalan dengan baik.
Penggalan percakapan pada analisis data 6 melanggar beberapa maksim
dari prinsip kerjasama Grice. Maksim-maksim yang dilanggar yaitu:
82

1. Maksim kuantitas. Maksim kuantitas dilanggar oleh pak P2 karena dia


tidak menjawab pertanyaan yang diucapkan oleh P1. Secara tidak langsung
pak P2 ingin mengatakan bahwa dia ingin pergi ke Wina untuk belajar
mengenai sejarah Islam. Akan tetapi, informasi yang diberikan oleh P2
lebih dari yang dibutuhkan oleh P1. Pertanyaan P1 secara semantis telah
mengandung pilihan jawaban untuk P2. Dia seharusnya menjawab
berdasarkan pilihan tersebut, yaitu pergi ke Wina untuk belajar sejarah
Islam atau untuk musik. Akan tetapi, P2 memberikan pernyataan seperti
dalam kutipan berikut, “Wina-lah kota terakhir tempat ekspansi Islam
berhenti” pernyataan tersebut meminta P1 menyimpulkan sendiri
jawabannya.
2. Maksim cara. P2 melanggar maksim cara karena dia menyampaikan
jawaban dari pertanyaan P1 tidak tertata dan memiliki ambiguitas.
Jawaban dari pak P2 tidak menegaskan apakah dia ingin ke Wina untuk
belajar sejarah Islam atau musik. P2 memberikan pernyataan yang
mengiginkan P1 untuk menyimpulkannya sendiri. Berdasarkan kepada
konteks percakapan bahwa P2 mengutarakan keinginannya mempelajari
sejarah Islam di Eropa maka P1 dapat menyimpulkan bahwa P2 ingin
mempelajari sejarah Islam ke Wina. Wina terletak di Eropa bagian barat.
Pernyataan dari P2 akan menjadi ambigu apabila P1 tidak mengetahui atau
tidak bisa menebak maksud dari pernyataan P2. P1 akan menganggap
peryataan P2 sebagai bagian pelajaran pada saat itu.
Berdasarkan analisis data 6, percakapan antara P1 dan P2 memenuhi
maksim-maksim berikut:
1. Maksim kualitas. Maksim kualitas ditaati oleh P2 karena apa yang
dikatakannya benar. Wina merupakan ekspansi terakhir Turki untuk
menyebarkan Islam di Eropa karena di Wina Turki mengalami ke kalahan.
Wiina memiliki sejarah Islam yang pentung di Eropa, karena itu P2
mengiginkan pergi ke Wina.
2. Maksim relevansi. Jika maksim relevansi ditaati secara otomatis teori
relevansi dari Sperber dan Wilson terpenuhi. Maksim relevansi terpenuhi
karena jawaban dari P2 sesuai dengan konteks yang melatar belakanginya
83

yaitu keinginan dia untuk mengunjungi Eropa khususnya Wina untuk


tapak tilas sejarah Islam.
7. Data 7
P1 dan P2 berdasarkan analisis data 7 melakukan percakapan mengenai
menyesuaikan diri di negeri minoritas Islam. P1 melakukan percakapan dengan
P2 di kafe dengan situasi yang santai. Mereka membicarakan cara bersikap
menjadi seorang muslim yang tidak emosian di negara dimana muslim menjadi
kaum minoritas. P2 memiliki banyak pengalaman mengenai hal tersebut. P2
sebagai teman P1 memberikan nasehat untuk menyikapi cemooh atau perlakuan
tidak menyenangkan yang disebabkan alasan agama ataupun etnis.
Percakapan antara P1 dan P2 menggar beberapa prinsip kerjasama Grice.
Prinsip kerjasama bukanlah suatu aturan yang mutlak dipenuhi oleh penutur atau
petutur. Prinsip kerjasama Grice memiliki empat maksim yaitu maksim kuantitas,
maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim cara. Suatu percakapan tidak
selalu memiliki makna sesuai dengan makna konvensionalnya, ada maksud
tertentu di luar makna harfiah yang ingin disampaikan oleh penutur. Maksud
tertentu tersebut dinamakan implikatur. implikatur dalam percakapan antara P1
dan P2 berdasarkan analisis data 7 yaitu P2 tidak sepaham dengan P1. Ahli
lainnya yaitu Sperber dan Wilson dalam teori relevansinya hanya menyetujui
bahwa yang dapat mewakilkan setiap maksim dalam prinsip kerjasama Grice
adalah maksim relevansi.
Pelanggaran terhadap maksim relevansi yang dilakukan dalam percakapan
P1 dan P1 dalam penggalan percakapan pada analisis data 7 yaitu:
1. Maksim kuantitas. Maksim kuantitas menuntut agar informasi yang
diberikan kepada lawan bicara sesuai dengan apa yang dibutuhkannya.
Dari pertanyaan P1, dia membutuhkan bagaimana cara P2 tidak marah
menghadapi orang-orang yang bercanda mengenai Islam. Jawaban yang
diberikan oleh P2 memiliki informasi yang lebih dari yang dibutuhkan
oleh P1. P2 menjelaskan pengalamannya terlebih dahulu, pengalaman P2
sebenarnya bukan merupakan informasi yang diinginkan oleh P1
berdasarkan dari pertanyaannya secara semantis. P2 memberikan informasi
84

yang lebih dengan tujuan P1 agar lebih memahami apa yang dia
sampaikan.
2. Maksim cara. Maksim cara dilanggar karena P2 memberikan informasi
yang tidak singkat. Pelanggaran tersebut terjadi pada bagian kedua dalam
penggalan percakapan pada analisis data 7. Jawaban yang diberikan P1
tidak tertata karena tidak mendahulukan informasi yang diinginkan oleh
P2. Dia menjelaskan pengalamannya dalam menyikapi orang-orang yang
menjelek-jelekkan Islam atau dirinya. P2 tidak mejawab secara langsung
pertanyaan P1.
Berdasarkan analisis data 7, maksim-maksim yang terpenuhi dalam
percakapan P1 dan P2 yaitu sebagai berikut:
1. Maksim Kualitas. Maksim ini terpenuhi karena P2 memberikan jawaban
berdasarkan kepada pengalamannya selama dia berada di negara minoritas
Islam. P2 tidak memberikan jawaban yang tidak diyakini kebenarannya.
P2 memberikan contoh bagaimana cara menjadi agen Islam yang baik
dengan tidak mengumbar nafsu dan amarah.
2. Maksim relevansi. Pendapat Sperber dan Wilson mengenai teori relevansi
secara langsung juga terpenuhi dalam penggalan percakapan pada analisis
data 7. Maksim relevansi menuntut adanya hubungan yang relevan antara
ujaran dan konteks dalam percakapan. Teori relevansi dan maksim
relevansi terpenuhi karena mereka memiliki pengetahuan yang sama yaitu
bersikap kepada orang yang mencemoohkan Islam sehingga terjadilah
komunikasi yang baik. Jawaban-jawaban yang diberikan oleh P2 meskipun
melanggar maksim kuantitas, tapi hal itu memberikan penguatan kepada
maksim relevansi dan pemahaman P1 mengenai masalah yang
dipertanyakan.
8. Data 8
Grice berpendapat bahwa maksim-maksim dalam prinsip kerjasama dapat
menjelaskan kesenjangan antara makna semantik linguistik dan makna kelompok,
karena mereka berfungsi sebagai dasar untuk menghasilkan makna implisit,
terutama implikatur percakapan. Implikatur muncul disaat terjadinya pelanggaran
terhadap maksim-maksim dalam prinsip kerjasama. Sementara Sperber dan
85

Wilson berpendapat Prinsip tunggal relevansi untuk mengganti semua maksim


Grice. Prinsip ini beroperasi untuk memastikan bahwa ucapan-ucapan pembicara
itu sebuah relevansi atau sesuai dengan konteks yang melatarbelakangi
percakapan. Implikatur pada anaisis data 8 yaitu P2 menolak tawaran P1.

Berdasarkan analisis data 8, peristiwa percakapan terjadi pada saat malam


hari 20.05. setelah mereka turun dari bus. Cuaca yang dingin pada malam
terjadinya percakapan membuat P2 tidak bisa menerima ajakan P1 untuk
menikmati cappucino. Ayse anak P2 juga mengalami demam dan mimisan. Hal
tersebut makin memperkuat bahwa P2 benar-benar tidak bisa menerima tawaran
baik dari P1.

Penjelasan dari penggalan percakapan analisis data 8 melanggar maksim


dari prinsip kerjasama Grice sebagai berikut:

1. Maksim kuantitas. Maksim ini memberikan informasi yang seinformatif


mungkin dan memberikan informasi sesuai dengan apa yang dinginkan
oleh lawan bicara. Penggalan percakapan antara P1 dan P2 melanggar
maksim kuantitas dalam prinsip kerjasama karena jawaban P2 memberikan
informasi yang lebih. P2 menolak tawaran P1 secara tidak langsung dan
menjelaskan bahwa anaknya sedikit demam dan udara yang tidak
memungkinkan.
2. Maksim Cara. Maksim cara menginginkan penutur menghindari ekspresi
yang tidak jelas, mengandung ambigutitas, disampaikan dengan ringkas,
dan tertata. Dalam penggalan percakapan antara P1 dan P2, jawaban P2
atas ajakan P1 memberikan informasi yang lebih dari apa yang diinginkan
P1. Jawaban P2 tersebut melanggar maksim cara dari prinsip kerjasama
Grice. P2 tidak memberikan jawaban yang singkat, dapat kita lihat pada
kutipan, “Terimakasih. Asye agaknya sedikit demam. Aku harus segera
membawanya pulang.” Seharusnya P2 bisa menjawab dengan “Saya tidak
bisa” jawaban yang langsung tersebut tidaklah sopan. P2 menjelaskan
secara rinci dan dengan alasan yang kuat, yaitu dengan hidung Ayse yang
mimisan.
86

Adapun maksim-maksim yang terpenuhi berdasarkan analisis data 8 yaitu


sebagai berikut:

1) Maksim kualitas. Maksim kualitas terpenuhi apabila informasi yang


disampaikan oleh penutur memiliki kebenaran dan dapat dibuktikan
kebenaran tersebut. Percakapan antara P1 dan P2 mematuhi maksim
kualitas. Jawaban dari P2 memberikan alasan yang logis dan faktual, oleh
sebab itu jawaban tersebut mentaati maksim kualitas. Jawaban P2
mengenai keadaan anaknya yang sedang demam dikuatkan oleh
pernyataan P1 dalam kutipan berikut ini, “Anakmu mimisan, Fatma.
dongakkan kepalanya dan cepat kau usap,....” P1 membuktikan bahwa
pernyataan P2 mengenai keadaan anaknya yang demam bukanlah
kebohongan.
2) Maksim relevansi. Maksim ini diaangap paling penting oleh Sperber dan
Wilson. Dalam penggalan percakapan tersebut maksim relevansi terpenuhi
karena jawaban P2 dapat dimengerti oleh P1. P2 memberikan jawaban
yang memiliki hubungan dengan konteks pembicaraan yaitu tawaran P1
untuk mentraktir Cappucino. Dapat kita lihat dari pernyataan P1 terhadap
jawaban P2, dalam kutipan berikut “Anakmu mimisan, Fatma. dongakkan
kepalanya dan cepat kau usap,....” Pernyataan P1 atas jawaban P2
membuktikan bahwa penolakan dari P2 bukanlah hal yang di buat-buat.
9. Data 9
Berdasarkan analisis data 9, percakapan terjadi di sebuah halte
pemberhentian bus. P1 dan P2 memperhatikan seorang perempuan yang
menganbil koran di stand tiang listrik tanpa membayar. P1 dan P2 sama-sama
mengetahui bahwa hal yang dilakukan oleh perempuan tersebut tidaklah terdidik.
P1 mengetahui bahwa stan koran tidak di jaga dikarenakan mereka disiplin untuk
dan dilatih untuk jujur.
Prinsip kerjasama percakapan pada analisis data 9 tidak semuanya
terpenuhi. Adapun yang melanggar dari prinsip kerjasma percakan yang akan
menghasil makna secara non-konvensional atau implikatur dalam percakapan.
Implikatur percakapan pada data 9 yaitu P2 menyetujui pernyataan P1.
Pelanggaran terhadap maksim- maksim yaitu sebagai berikut:
87

1. Maksim kuantitas. Reaksi P1 atas perkataan yang lontarkan P2


memberikan info lebih dari yang dibutuhkan. Seharusnya tanggapan P1
atas pertanyaan P2 pada analisis data 9 ditanggapi sesuai dengan apa yang
diinginkan oleh lawan bicara. P2 memberikan pertanyaan yang
mengandung sindiran mengenai kerugiaan yang akan dialami oleh pemilik
koran apa bila ada orang yang sering tidak membayar. P1 secara
konvensional seharusnya menjawab dengan kata “Iya” atau “Tidak”. Akan
tetapi, P1 memberikan pendapatnya mengenai bisnis yang menjual
sesuatu dan pembayarannya berdasarkan kejujuran pembeli.
2. Maksim cara. Maksim ini membutuhkan partisipasi aktif dari penutur
dan petutur dalam melakukan suatu ujaran. Ujaran haruslah singkat dan
tidak mengandung ambiguitas. Tanggapan P1 atas kalimat yang
dilontarkan P2 tidak singkat. P2 secara semantis tidak membutuhkan
tanggapan P1 mengenai bisnis yang mereka bicarakan.
3. Maksim kualitas. Maksim ini membutuhkan jawaban yang diyakini
kebenarannya. Jawaban P1 melanggar maksim kualitas dikarenakan dia
meragukan pendapatnya. Keraguan itu dapat dilihat dalam kutipan
berikut, “...Mungkin orang Austria sudah terdidik untuk selalu berbuat
jujur” Kata “Mungkin” menandakan P2 tidak meyakini pendapat yang
dia sampaikan.
Maksim yang terpenuhi berdasarkan prinsip kerjasama Grice yaitu maksim
relevansi. Maksim relevansi dari Grice sama dengan teori relevansi yang
dinyatakan oleh Sperber dan Wilson. Teori relevansi dapan menentukan apakah
ujaran yang dilakukan oleh penutur dan petutur memiliki relevansi yang optimal.
Maksim relevansi terpenuhi karena respon dari P1 memberikan informasi yang
baru dan bermanfaat untuk P2. Respon dari P1 sesuai dengan konteks
pembicaraan mengenai koran tanpa penjual dan bisnis yang serupa untuk menguji
kejujuran dari pembeli.
10. Data 10
Prinsip kerjasama Grice terpecah ke dalam empat maksim yaitu 1) maksim
kuantitas, mengharuskan informasi yang disampaikan seinformatif mungkin dan
tidak boleh berlebih-lebihan; 2) maksim kualitas, mengharuskan informasi yang
88

disampaikan benar dan dapat dibuktikan kebenarannya; 3) maksim relevansi,


mengharuskan adanya hubungan yang relevan antara konteks dan ujaran; dan 4)
maksim cara, mengharuskan ketepatan informasi dan tidak mengandung
ambiguitas. Pelanggaran terhadap maksim-maksim ini akan menimbulkan sebuah
implikatur.

Berdasarkan teori relevansi, Konteks yang terjadi pada percakapan kali ini
yaitu P1 bertanya kepada P2 mengenai magnet icon kota-kota di Eropa yang
tertempel di kulkasnya. Implikatur percakapan antara P1 dan P2 yaitu P2
mengetahui icon kota-kota Eropa pada magnet kulkas P1 dengan cara menyatakan
keinginannya untuk menjadi agen Islam seperti P1. Dapat kita lihat pada kutipan
berikut, “Aku ingin sekali berjalan-jalan keliling Eropa sepertimu, Fatma,
mengunjungi tempat-tempat bersejarah yang meninggalkan jejak kebesaran
islam. Kapan ya aku bisa.”

Berdasarkan analisis data 10, percakapan antara P1 dan P2 melanggar


maksim-maksim pada prinsip kerjasama Grice, yaitu sebagai berikut:

1. Maksim kuantitas. Pelanggaran terhadap maksim ini karena P2


memberikan informasi yang lebih dari apa yang dibutuhkan oleh P1.
Pelanggaran terhadap maksim tersebut dapat dilihat pada penggalan
kutipan percakapan berikut, “Aku ingin sekali berjalan-jalan keliling
Eropa sepertimu, Fatma, mengunjungi tempat-tempat bersejarah yang
meninggalkan jejak kebesaran islam. Kapan ya aku bisa.” P1 hanya
menanyakan apakah P1 mengetahui magnet icon kota-kota di Eropa yang
tertempel di kulkasnya. Akan tetapi, Jawaban P2 menjawab dengan
menyatakan keinginannya untuk mengelilingi Eropa. Seharusnya P2 secara
semantis mengatakan bahwa dia mengetahui atau tidak mengetahui.
2. Maksim cara. Maksim cara dilanggar karena P2 memberikan jawaban
yang berlebihan dari yang dibutuhkan P1. P2 juga menjawab pertanyaan
P1 dengan tidak tertata. P2 seharusnya secara semantis memberitahukan
apakah dia mengetahui atau tidak mengenai icon magnet yang tertempel di
kulkas. P2 tidak memerlukan mengutarakan keinginannya untuk
89

menjelajahi Eropa seperti icon kota-kota di Eropa yang tertempel di kulkas


P1.

Berdasarkan analisis data 10, percakapan antara P1 dan P2 memenuhi


maksim-maksim seperti berikut:

1. Maksim kualitas. Maksim kualitas menginginkan jawaban berdasarkan


kepada kebenaran. Jawaban dari P2 memenuhi maksim ini karena
memiliki kebenaran. P2 memberikan jawaban berdasarkan keinginannya
untuk mengelilingi Eropa.
2. Maksim relevansi. Jawaban P2 mentaati maksim relevansi karena
jawabannya dapat dipahami oleh P1 dan memiliki hubungan dengan
konteks pembicaraan. Kutipan yang menandakan bahwa P1 memahami
jawaban P2 yaitu pada kutipan berikut, “Hanum, ternyata kita memiliki
angan-angan yang sama. Aku baru saja ingin mengajakmu melakukan hal
yang sama. magnet-magnet itu hanya pemberian Latife dan Ezra yang
sering berjalan-jalan ke luar negeri. Sekarang aku harus mengumpulkan
uang dulu...,”
11. Data 11
Penggalan percakapan pada analisis data 11, memiliki konteks percakapan
fisik atau tempat terjadinya peristiwa percakapan di dapur P2. P1 dan P2 sama-
sama memiliki keinginan untuk mengelilingi Eropa yang memiliki sejarah
mengenai Islam. P1 menginginkan memulai perjalanannya mengelilingi Eropa
dengan mengunjungi Hagia Shopia yang berada di Istanbul, Turki. Namun, P2
tidak setuju dengan usulan P1 dikarenakan dia baru saja pulang dari Istanbul enam
bulan yang lalu. P2 menyarankan P1 untuk mengunjungi Cordoba karena di sana
ada kebalikan dari Hagia Sophia.
Selain dari prinsip kerjasama Grice, peneliti akan melakukan penelitian
berdasarkan teori relevansi yang diutarakan oleh Sperber dan Wilson. Proses
percakapan P1 dan P2 yang terdapat dalam penggalan percakapan pada analisis
data 11 melanggar beberapa maksim dari prinsip kerjasama Grice, yaitu sebagai
berikut:
90

1. Maksim kuantitas. Pelanggaran terhadap Maksim ini dikarenakan jawaban


dari P2 berlebihan dari informasi yang diinginkan P1. Secara literal P1
menginginkan keputusan P2 mengenai perjalanan mereka dimulai dengan
mengunjungi Hagia Sophia. Akan tetapi, P2 memberikan alasan
penolakannya untuk pergi ke Istanbul dan memberikan alternatif untuk
berkunjung ke Cordoba.
2. Maksim cara. Maksim cara mensyaratkan agar informasi yang diberikan
dengan singkat, tertata, dan tidak mengandung ambiguitas. Penggalan
percakapan analisis data 11 melanggar maksim cara karena P2
memberikan informasi yang tidak singkat. P1 menginginkan persetujuan
dari P2 untuk memulai perjalanan mereka dari Istanbul. Secara semantis
P2 tidak seharusnya memberikan saran atau tempat alternatif lain untuk
memulai perjalanan tersebut.
Ada beberapa maksim dari prinsip kerjasama yang terpenuhi dalam
penggalan percakapan analisis data 11, yaitu sebagai berikut:
1. Maksim kualitas. Maksim ini ditaati karena jawaban dari P2 berdasarkan
kenyataan dan berdasarkan pengalamannya. Kenyataan yang disampaikan
berupa P2 baru pulang dari Istanbul dan di Cordoba ada bangunan unik
kebalikan dari Hagia Sophia. Maksim kualitas mengharuskan informasi
yang disampaikan berdasarkan kepada fakta.
2. Maksim relevansi ataupun teori relevensi terpenuhi karena percakapan
antara P1 dan P2 berjalan dengan baik dan mereka saling memahami
ujaran masing-masing. Jawaban P2 berdasarkan kepada pengetahuannya
tentang konteks yang melatarbelakangi percakapan yaitu tentang
perjalanan mengelilingi tempat bersejarah Islam yang ada di Eropa.
Karena itu P2 mengajukan tempat kunjungan lain ke Cordoba. Disana ada
tempat kebalikan dari Hagia Shopia yang sama-sama memiliki sejarah
Islam.
12. Data 12
Berdasarkan penggalan percakapan pada analisis data 12, P1, P1, dan P3
berada di dalam Masjid Wina. Masjid tersebut berada di dekat Sungai Danube.
Sungai yang disekitarnya banyak orang-orang berjemur memakai bikini dan
91

melakukan kegiatan lainnya yang menggoda sahwat. Percakapan pada analisis


data 12 tidak terlepas dari prinsip kerjasama Grice dan teori relevansi Sperber dan
Wilson. Pelanggaran terhadap maksim-maksim dalam prinsip kerjasama Grice
akan menimbulkan implikatur. Berdasarkan pada analisis data 12, percakapan
antara P1, P2, dan P3 memiliki implikatur bahwa P2 menjelaskan secara
kronologi alasan Masjid Wina masih dipertahankan di dekat Sungai Danube.
Pelanggaran maksim-maksim percakapan pada analisis data 12 yaitu
sebagai berikut:
1. Maksim kuantitas. Maksim kuantitas mensyaratkan agar informasi yang
disampaikan haruslah sesuai dengan yang dibutuhkan oleh lawan bicara.
Dalam penggalan percakapan pada analisis data 12, percakapan yang
pertama antara P1 dan P2 melanggar maksim kuantitas. Hal tersebut
dikarenakan P2 tidak langsung menjawab apa yang ditanyakan oleh P1 dan
memberikan informasi yang lebih dari yang dibutuhkan. P2 menyarankan
P1 untuk memakai kerudung dan menjelaskan beberapa hal yang lain
sebelum dia benar-benar menjawab apa yang diinginkan oleh P1 yaitu
alasan Masjid Wina di bangun di dekat Sungai Danube. Percakapan kedua
antara P3 dan P2 melanggar maksim kuantitas karena P2 memberikan
informasi yang lebih kepada P3. Secara semantis, P3 hanya membutuhkan
jawaban “Iya” atau “Tidak”. P2 menjawab pertanyaan P3 dengan
menunjukan buku orang-orang yang baru masuk Islam dan menjelaskan
bahwa sebagian dari nama dalam buku tersebut adalah orang-orang yang
berjemur di Sungai Danube dan mendapatkan hidayah untuk menjadi
mualaf.
2. Maksim cara. Maksim cara dilanggar karena informasi yang disampaikan
haruslah singkat dan sesuai dengan apa yang dipertanyakan atau tertata.
Jawaban yang diberikan oleh P2 saat percakapan yang pertama pada
analisis data 12, P2 memberikan penjelasan yang panjang dan memberikan
informasi yang lain, misalnya boleh atau tidak memakai kerudung bagi
pengunjung ke dalam masjid dan menjelaskan secara rinci alasan mengapa
Masjid Wina tidak dialihkan ke tempat lain. Percakapan kedua antara P3
dan P2 juga melanggar maksim cara. P2 tidak memberikan jawaban yang
92

singkat dari apa yang diinginkan oleh P3. P2 menjelaskan siapa yang
menjadi mualaf dan menunjukan bahwa itu merupakan berkah masjid di
dekat Sungai Danube.
Penggalan percakapan pada analisis data 12 memenuhi beberapa maksim
dari prinsip kerjasama Grice, yaitu sebagai berikut:
1. Maksim kualitas. Maksim ini ditaati karena jawaban dari P2 baik di
percakapan pertama dengan P1 mapun percakapan kedua dengan P3,
semuanya berdasarkan pada pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki
oleh P2. Jadi, kebenaran dari informasi yang diberikan oleh P2 dapat
dibuktikan.
2. Maksim relevansi. Maksim ini terpenuhi karena mereka berbica
berdasarkan pada konteks yang melatarbelakangi percakapan yaitu
mengenai Masjid Wina yang di bangun di dekat Sungai Danube dan
berkah apa yang di maksud oleh P2.
13. Data 13
Konteks percakapan secara fisik pada penggalan percakapan analisis data
13 berada di gardarata pesawat di bandara Charles de Gaulle. P1 dan suaminya
baru samapai di Paris dan mendapatkan telepon dari P2. P2 adalah seorang mualaf
yang diperkenalkan oleh Imam Hashim kepada P1. P2 akan menjadi teman dan
guide selama berada di Paris. Konteks yang melatarbelakangi pembicaraan sangat
mempengaruhi bagaimana penutur atau petutur menangkap informasi apa yang
disampaikan oleh masing-masing.
Penggalan percakapan pada analisis data 13 tidak terlepas dari prinsip
kerjasama Grice dan teori relevansi yang disampaikan oleh Sperber dan Wilson.
Tidak setiap maksim dalam prinsip kerjasama Grice harus dipatuhi dalam sebuah
percakapan karena ujaran bukanlah sesuatu yang kaku dan harus memiliki arti
secara konvensional. Ada informasi yang tersembunyi yang ingin disampaikan
oleh penutur kepada petutur dan hal itu harus dapat di tangkap oleh petutur.
Infomasi yang tersembunyi tersebut dinamakan dengan implikatur dalam
percakapan. Percakapan antara P1 dan P2 memiliki implikatur bahwa P2
mejelaskan cara ke Saint Michel secara rinci.
93

Percakapan yang dilakukan oleh P1 dan P2 pada analisis data 13


melanggar beberapa maksim dari prinsip percakapan, yaitu sebagai berikut:
1. Maksim kuantitas. Maksim kuantitas mengharapkan ujaran dan informasi
yang disampaikan sesuai dengan apa yang diharapkan atau diinginkan oleh
lawan bicara. Berdasarkan percakapan antara P1 dan P2 pada danalisis
data 13 melanggar maksim kuantitas. P1 menanyakan letak Saint Michel
kepada P2. P2 memberikan petunjuk cara menuju Saint Michel kepada P1
dengan menjelaskan rute yang akan ditempu oleh P1 dan pertanyaan P2
apakah suami P1 bersama dengannya atau tidak. Secara konvensional,
pertanyaan P1 hanya membutuhkan jawaban mengenai lokasi Saint
Michel.
2. Maksim cara. Maksim ini menutut penutur menyampaikan ujaran dengan
singkat, jelas, tertata, dan tidak mengandung ambiguitas. Jawaban dari P2
mengenai pertanyaan P1 bukanlah merupakan jawaban yang singkat. Pada
jawaban P2 terdapat unsur basa-basi untuk membuat situasi diantara
mereka lebih akrap. P2 menanyakan apakah suami P1 bersamanya
sehingga P2 bisa menjamin keselamatan P pada saat naik kereta dari
Bandara.
Makasim yang ditaati oleh P1 dan P2 berdasarkan analisis data 13 yaitu
sebagai berikut:
1. Maksim kualitas. Maksim ini mengharuskan ujaran yang disampaikan
benar dan bisa dibuktikan kebenarannya. Percakapan antara P1 dan P2
mentaati maksim kualitas dikarenakan P2 memberikan jawaban dan
penjelasan menuju Saint Michel berdasarkan fakta dan dapat dibuktikan
kebenarannya. P2 memberikan rute yang dia ketahui untuk menuju ke
Saint Michel.
2. Maksim relevansi. Maksim ini terpenuhi karena P2 menjawab sesuai
dengan konteks yang melatarbelakangi percakapan analisis data 13.
Konteksnya yaitu letak Saint Michel. P1 memiliki janji dengan P2 bertemu
di Saint Michel. P2 menelpon P1 untuk memberitahukan cara ke Saint
Michel, tempat mereka akan bertemu. Teori relevansi dengan maksim
relevansi sama-sama memiliki tujuan dan pengertian yang sama.
94

14. Data 14
Grice mengatakan dalam percakapan seorang pembicara mempunyai
maksud tertentu ketika mengujarkan sesuatu. Maksud yang terkandung di dalam
ujaran itu disebut implikatur. Implikatur adalah penyimpulan informasi atau pesan
yang disampaikan di luar dari apa yang dikatakan dalam arti sebenarnya dan
melanggar maksim dalam prinsip kerjasama. Maksim tersebut adalah maksim
kuantitas, kualitas, relevansi, dan maksim cara. Berdasarkan analisis data 14,
implikatur percakapan antara P1 dan P2 yaitu P1 merespon pujian P2 dan
menjelaskan alasannya dengan rinci. P1 ingin mengatakan bahwa menjaga
kehormatan dengan jilbab untuk perempuan sama wajibnya dengan menjalankan
rukun Islam. Implikatur tersebut terdapat pada kutipan, “Merci. Buatku rukun
Islam itu ada 6. Yang keenam adalah menjaga kehormatanku dengan jilbab”.
Penggalan percakapan pada analisis data 14 melanggar beberapa maksim
dalam prinsip kerjasama, yaitu sebagai berikut:

1. Maksim kuantitas. Maksim kuantitas menuntut peserta komunikasi untuk


menyampaikan informasi yang sesuai dengan apa yang dibutuhkan petutur
dan tidak melebihi dari apa yang dibutuhkan. Jawaban P2 atas pujian P2
melanggar maksim kuantitas dikarenakan P2 memberikan penjelasan yang
lebih dari yang dibutuhkan oleh P2. P1 menjelaskan bahwa mengenakan
jilbab merupakan kehormatan baginya. Pujian P2 secara semantis
memerlukan ucapan terimakasih.
2. Maksim cara. Maksim cara mensyaratkan penutur menghindari ekspresi
yang tidak jelas, mengandung ambigutitas, disampaikan dengan ringkas,
dan tertata. Tanggapan P1 atas pujian P2 juga melanggar maksim cara
karena P1 tidak memberikan respon dengan ringkas atas pujian P2. P1
menjelaskan kepada P2 alasannya menggunakan jilbab dan dia merasa
terhormat dengan menggunakan jilbab.

Prinsip kerjasama Grice yang terpenuhi dalam penggalan percakapan pada


analisis data 14, yaitu sebagai berikut:
95

1. Maksim kualitas. Maksim ini terpenuhi apabila informasi yang


disampaikan oleh penutur memiliki kebenaran dan dapat dibuktikan
kebenaran tersebut. Tanggapan P1 dalam penggalan percakapan tersebut
mentaati maksim kualitas karena dia memberikan alasan yang masuk akal,
dan dapat dipahami oleh P2. P1 menyampaikan pandangannya mengenai
memakai jilbab bagi wanita yang beragama Islam.
2. Maksim relevansi. Selain menggunakan teori Grice juga menggunakan
teori Relevansi dinyatakan oleh Sperber dan Wilson. Mereka berpendapat
maksim relevansi untuk mengganti semua maksim Grice. Prinsip ini
mengharuskan informasi yang disampaikan pembicara sesuai dengan
konteks yang melatarbelakangi percakapan. Tanggapan dari P1 mentaati
maksim relevansi sehingga P2 memahami apa yang P1 maksud memalui
alasan yang dia berikan. Alasan Marion berhubungan dengan konteks yang
melatarbelakangi pembicaraan. Bukti bahwa P2 mengerti atas alasan yang
diberikan P1 terdapat pada penggalan kutipan berikut, “Aku ingin tahu,
apa yang membuatmu tertarik pada Islam. Mungkin aku bisa belajar
banyak darimu”.
15. Data 15
Sama dengan pembahasan dalam penggalan percakapan sebelumnya.
Penggalan percakapan analisis data 15 juga menggunakan prinsip kejasama dan
prinsip relevansi. Prinsip kerjasama dan prinsip relevansi memerlukan konteks
untuk melatarbelakangi tindak komunikasi. Percakapan antara P1 dan P2 terjadi di
lobi hotel tempat P2 menginap, pada 09.00 hari. P1 dan P2 ingin melakukan
perjalanan di kota Paris. Jawaban P2 atas pertanyaan P1 melanggar beberapa
maksim dari prinsip kerjasama percakapan. Pelanggaran terhadap maksim-
maksim dari prinsip kerjasama Grice menghasilkan sebuah implikatur. Implikatur
percakapan antara P1 dan P2 yaitu P2 menyerahkan pilihan kepada P1. Hal
tersebut dikarenakan Hanum ingin pergi ke tempat bersejarah yang menjadi
keahlian Marion.
Berdasarkan analisis data 15, percakapan P1 dan P2 melanggar beberapa
maksim dari prinsip kerjasama Grice, yaitu sebagai berikut:
96

1. Maksim kuantitas. Pelanggaran terhadap maksim kuantitas dikarenakan


jawaban P2 tidak memberikan informasi yang diminta oleh P1. P1
memberikan beberapa pilihan tempat untuk dikunjungi, akan tetapi P2
tidak memberikan jawaban yang sesuai dengan pilihan yang ditawarkan
oleh P1. Jawaban Hanum memiliki implikatur bahwa Hanum
menyerahkan pilihannya kepada Marion.
2. Maksim cara. Maksimini dilanggar karena P2 tidak memberikan jawaban
secara singkat dan tidak menjawab pilihan yang diberikan oleh P1. Hal
tersebut dapat kita lihat pada penggalan percakapan berikut, Marion “Jadi
mana tujuan utama mu? Eiffel? Lafayette? Champ Elysees? Moulin
Rouge?” Hanum “Aku ingin mengeksplorasi tempat bersejarah yang ada
kaitannya dengan keahlianmu, Marion.”

Berdasarkan analisis data 15, P1 dan P2 memenuhi beberapa maksim dari


prinsip kerjasama Grice, yaitu sebagai berikut:

1. Maksim kualitas. Ketaatan terhadap maksim ini dikarenakan P2


memberikan jawaban sesuai dengan kebenaran bahwa dia ingin
mengetahui tempat bersejarah yag menjadi keahlian P1. Maksim kualitas
mengharuskan peserta komunikasi memberikan informasi yang
berdasarkan kepada fakta.
2. Maksim relevani. Dikatakan mentaati maksim relevansi karena jawaban
P2 sesuai dengan konteks pembicaraan yaitu tempat yang akan di tuju
untuk jalan-jalan di kota Paris sehingga P1 mengerti dengan yang
dimaksud oleh P2. Bukti bahwa P2 mengerti dengan maksud yang
disampaikan oleh Hanum terdapat pada kutipan berikut, “Kalau kau
tertarik menelusuri peninggalan-peninggalan sejarah, kita bisa mulai dari
Museum Louvre....” saran yang diberikan oleh P1 untuk pergi ke Museum
Louvre menandakan bahwa dia menangkap apa yang dimaksud oleh P2.
Ketaatan terhadap maksim relevansi merujuk kepada teori relevansi yang
dinyatakan oleh Sperber dan Wilson. Mereka berpendapat bahwa Prinsip
tunggal relevansi untuk mengganti semua maksim Grice.
97

D. Implikasi dalam Pendidikan

Hasil penelitian ini diharapkan menjadi salah satu pertimbangan dalam


pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah, khususnya Sekolah Menengah Atas
(SMA), semester ganjil, kelas XII, sebagai sarana komunikasi dalam mengolah,
menalar, dan menyajikan informasi lisan dan tulis melalui teks cerita sejarah,
berita, iklan, editorial/opini, dan novel. Penelitian ini juga diharapkan pula dapat
menjadi pertimbangan dalam meningkatkan apresiasi sastra siswa, terutama dalam
hal pemahaman terhadap novel Indonesia.

Pertimbangan-pertimbangan dalam pengimplikasikan hasil penelitian ini


diperlukan mengingat objek penelitian ini adalah sebuah novel yang relatif banyak
disukai oleh para remaja dan telah dibuatkan filmnya. Percakapan dan kisah
dalam novel 99 Cahaya di Langit Eropa; Perjalanan Menapak Jejak Islam di
Eropa banyak memberikan inspirasi sebagai agen Islam yang baik.
BAB IV

PENUTUP

A. Simpulan

Populasi dalam penelitian ini yaitu percakapan atau dialog yang memiliki
implikatur. Adapun sampel penelitian terdiri atas lima belas (15) penggalan
percakapan yang memiliki implikatur Percakapan pada novel 99 Cahaya di Langit
Eropa; Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa Karya Hanum Salsabiela Rais
dan Rangga Almahendra yang telah dianalisis. Implikatur yang terdapat pada
novel tersebut merupakan implikasi dari dilanggarnya beberapa maksim
percakapan oleh penutur dan petutur. Data 1 melanggar maksim cara, data 2 –
data 15 melanggar maksim kuantitas dan maksim cara. Data 1 memenuhi maksim
kuantitas, kualitas, dan maksim relevansi, data 2 – data 15 memenuhi maksim
kualitas dan relevansi. Maksim kuantitas mengatur agar penutur memberikan
informasi sesuai dengan yang dibutuhkan dan seinformatif mungkin. Maksim
kualitas mengatur informasi yang disampaikan oleh penutur itu secara fakta dan
masuk akal. Maksim cara mengatur agar pembicara berbicara jelas, tidak
menggunakan ungkapan yang kabur, menghindari ambiguitas.
Sperber dan Wilson berpendapat bahwa yang terpenting dari bidal-bidal
yang disampaikan Grice adalah bidal hubungan dan relevansi. Bidal relevansi
menjadi titik tolak dari teori relevansi. Relevan berarti berhubungan atau berkaitan
dengan hal yang sedang dibicarakan. Maksim relevansi mengatur agar dapat
terjalin kerjasama yang sungguh-sungguh baik antara penutur dan petutur dalam
tindak percakapan. Setiap peserta percakapan hendaknya memberikan kontribusi
yang benar-benar relevan tentang sesuatu yang sedang dipertuturkan. Prinsip
relevansi ini terpenuhi pada setiap data penggalan percakapan.
Hasil penelitian dari novel 99 Cahaya di Langit Eropa; Perjalanan
Menapak Jejak Islam di Eropa diharapkan menjadi salah satu pertimbangan
dalam pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah, khususnya Sekolah Menengah
Atas (SMA), semester ganjil, kelas XII, sebagai sarana komunikasi dalam
mengolah, menalar, dan menyajikan informasi lisan dan tulis melalui teks cerita
sejarah, berita, iklan, editorial/opini, dan novel. Penelitian ini juga diharapkan

98
99

pula dapat menjadi pertimbangan dalam meningkatkan apresiasi sastra siswa,


terutama dalam hal pemahaman terhadap novel Indonesia.

B. Saran

Berdasarkan simpulan dan implikasi yang telah disampaikan, dapat


ditemukan saran-saran sebagai berikut:

1. Dalam pembelajaran bahasa Indonesia mengenai sarana komunikasi yang


menjadikan novel 99 Cahaya di Langit Eropa; Perjalanan Menapak Jejak
Islam di Eropa sebagai medianya, diharapkan guru dapat memberikan
penjelesan yang lebih dalam mengenai makna-makna secara implisit yang
terkandung di dalam novel tersebut. Dengan penjelasan yang dalam dan
memadai, siswa diharapkan memiliki pengertian yang baik yang sesuai
dengan tujuan pembelajaran dan siswa dapat mencontoh bagaimana diksi
yang baik dalam tindak percakapan pada novel tersebut.
2. Dalam peranannya sebagai fasilitator, guru hendaknya mengacu pada
tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan sehingga tidak terbawa oleh
keinginan siswa untuk membahas hal-hal yang tidak ada relevansinya
dengan tujuan pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA

Adji, Muhammad, dkk.. Novel Popular Indonesia; Karya , Pengarang, dan


Realitas. Bandung: Sastra UNPAD Press.

Alek dan Achmad. Linguistik Umum; Sebuah ncangan Awal Memahami Ilmu
Bahasa. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta. 2009

Ariel, Mira. Reaserch Surveys in Linguistics; Difining Pragmatics. New York:


Cambridge University Press. 2010

Asher, Nicholas dan Alex Lascarides. Logic Of Conversation. New York:


Cambridge University Press. 2003

Black, Elizabeth (penerjemah: Ardianto, dkk.). Stilistika Pragmatis. Yogyakarta:


Pustaka Pelajar. 2011

Brown, Gillian dan George Yule. Discourse Analysis. New York: Cambridge
University press. 1983

Cahyono, Bambang Yudi. Kristal-kristal Ilmu Bahasa. Surabaya: Airlangga


University Press. 1995

Chaika, Elaine. Linguistics, Pragmatics, and Pshycotherapy. London: Whurr


Publishers. 2000

Cummings, Louise (Eti Setiawati, dkk.). Pragmatik, Sebuah Perspektif


Multidisiplin. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007

_________, Louise. Clinical Pragmatics. New York: Cambridge University Press.


2009

Fasold, Ralph W.. An Introduction to Language and Linguistics. New York:


Cambridge University Press. 2006
Fromkin, Victoria dan Robert Rodman. An Introduction to Language; Third
Edition. New York: CBS College Publishing. 1983

Gunarwan, Asim. PELBBA 18 Pertemuan Linguistik Pusat Kajian Bahasa dan


Budaya Atma Jaya ke Delapan Belas. Jakarta: Pusat Kajian Bahasa dan
Budaya Unika Atma Jaya. 2007

Hindun. Pragmatik untuk Perguruan Tinggi. Depok: Media Citra Mandiri. 2012

Huang, Yan. Pragmatics. New York: Oxford University Press Inc. 2007
Ihsan, Diemroh. Pragmatik, Analisis Wacana, dan Guru Bahasa: Pragmatics,
Discourse Analysis, and Language Teachers. Palembang: Universitas
Sriwijaya. 2011

Kosasih, E. Dasar-dasar Keterampilan Bersastra. Bandung: Y rama Widya. 2011

Kushartanti, dkk.. Pesona Bahasa: Langkah awal Memahami Linguistik. Jakarta:


Gramedia Pusta. 2005

Leech, Geoffrey (penerjemah: Oka). Prinsip-Orinsip Pragmatik. Jakarta:


Universitas Indonesia. 1993

Margono, S.. Metodologi penelitian pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. 2007

Merriam, Sharan B. Qualitative Research; A guide to Design and Implementation.


United States of America: Jossey-Bass. 2009

Meyer, Charles F.. Introducing English Linguistics. New York: Cambridge


University Press. 2009

Nadar, F.X.. Pragmatik dan Penelitian Pragmatik. Yogyakarta: GRAHA ILMU.


2009

Nasution, S.. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito. 2003

Purwo, Bambang Kaswanti. Bulir-bulir Sastra dan Bahasa: Pembaharuan


Pengajaran. Yogyakarta: KANISIUS. 1991

_____. Pragmatik dan Pengajaran Bahasa: Menyibak Kurikulum 1984.


Yogyakarta: KANISIUS. 1990

Radford, Andrew, dkk.. Linguistics An Introduction; Second Edition. New York:


Cambridge University Press. 2009

Rahardi, Kunjana. Sosiopragmatik: Kajian Imperatif dalam Wadah Konteks


Sosiokultural dan Konteks Situasional. Jakarta: Erlangga. 2009

Rais, Hanum Salsabiela dan Rangga Almahendr. 99 Cahaya di Langit Eropa;


Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama. 2012

Rani, Abdul, dkk.. Analisis Wacana: Sebuah Kajian Bahasa dalam Pemakaian.
Malang: Bayumedia. 2006

Sperber, Dan dan Deirdre Wilson (penerjemah: Suwarna, dkk.). Teori Relevensi;
Komunikasi dan Kognisi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2009

Tarigan, Henry Guntur. Pengajaran Pragmatik. Bandung: Angkasa. 2009


Teeuw, A. Sastra dan Ilmu Sastra; Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka
Jaya. 1984

Verhaar. Asas-asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University


Press. 2006

Wahab, Abdul. Butir-butir Linguistik. Surabaya: Airlangga University Press. 1990

Wellek, Rene dan Austin Warren (penerjemah: Melani Budianta). Teori


Kesustraan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 1993

Wijana, I Dewa Putu dan Muhammad Rohmadi. Analisis Wacana Pragmatik;


Kajian Teori dan Analisis. Surakarta: Yuma Pustaka. 2010

Yule, George. Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2006

____, George. The Study of Language. New York: Cambridge University press.
2006
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
(RPP)

Satuan Pendidikan : SMP KHARISMA BANGSA


Kelas/Semester : VIII/2
Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia
Hari, Tanggal : Kamis-sabtu, 6-8 Maret
Alokasi Waktu : 4x 40 Menit (4 x Pertemuan)

A. Kompetensi Inti
1. Menghayati dan mengamalkan perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab,
peduli (gotong royong, kerjasama, toleran, damai), santun, responsif dan
proaktif dan menunjukkan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai
permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial
dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam
pergaulan dunia.
2. Memahami, menerapkan, menganalisis pengetahuan faktual, konseptual,
prosedural berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan,
teknologi, seni, budaya dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan,
kebangsaan, kemanusiaan, kebangsaan, kenegaran, dan peradaban terkait
fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada
bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan mintanya untuk
memecahkan masalah.
3. Mengolah, menalar dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak
terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara
mandiri, dan mampu menggunakan metode sesuai kaidah keilmuan.
B. Standar Kompetensi
Membaca
1.3 Mensyukuri anugerah Tuhan akan keberadaan bahasa Indonesia dan
menggunakannya sebagai sarana komunikasih dalam mengelolah, menalar,
dan menyajikan informasi lisan dan tulis melalui teks cerita sejarah, berita,
iklan, editorial/opini, dan novel.
C. Kompetensi Dasar
3.3 Menganalisis teks novel baik melalui lisan maupun tulisan
D. Indikator Pencapaian Kompetensi
1. Siswa mampu menganalisis unsur intrinsik novel remaja

2. Siswa mampu menganalisis diksi yang digunakan oleh tokoh dalam


berkomunikasi
3. Siswa mampu megapresiasikan melalui diskusi mengenai unsur instrinsik
novel

E. Tujuan Pembelajaran
Setelah proses pembelajaran siswa diharapkan mampu menganalisis unsur
intrinsik novel dan mendiskusikannya secara berkelompok di depan kelas.
F. Materi Pembelajaran (Terlampir)
G. Alokasi waktu
4x 40 Menit
H. Metode Pembelajaran
Metode: ceramah, diskusi, dan praktik
I. Kegiatan Pembelajaran

KEGIATAN DESKRIPSI KEGIATAN ALOKASI


WAKTU
Pendahuluan 1. Siswa merespon salam dan 2 menit
pertanyaan dari guru berhubungan
dengan kondisi dan pembelajaran
sebelumnya.
2. Siswa menerima informasi tentang
keterkaitan pembelajaran sebelumnya
dengan pembelajaran yang akan
dilaksanakan.
3. Siswa menerima informasi
kompetensi, materi, tujuan, dan
langkah pembelajaran yang akan
dilaksanakan.
Inti 36 menit
1. Guru dan siswa melakukan tanya
jawab mengenai novel remaja
2. Guru menjelaskan unsur intrinsik
novel remaja
3. Siswa dan guru mengidentifikasi
unsur intrinsik kutipan novel remaja
4. Siswa megapresiasikan unsur
intrinsik remaja
Kegiatan Penutup 1. Siswa bersama guru menyimpulkan 2 menit
pembelajaran
2. Siswa melakukan refleksi terhadap
kegiatan yang sudah dilakukan.
3. Siswa dan guru merencanakan tindak
lanjut pembelajaran untuk pertemuan
selanjutnya. Seperti pemberian tugas
individu yaitu membaca novel remaja
di rumah dan mencari unsur
instrinsiknya.

J. SUMBER/MEDIA PEMBELAJARAN
a. Sumber:
1. Bahasa_Dan_Sastra_Indonesia_3_IPA_Kelas_12_Muhammad_Rohmadi
_Yuli_Kusumawati_2008. (BSE) pdf
2. Membaca Sastra, Melani Budianta
b. Media:
1. Novel 99 Cahaya di Langit Eropa Karya Hanum Salsabiela Rais dan
Rangga Almahendra
2. Powerpoint
c. Penilaian Proses dan Hasil Belajar
Tes Lisan
V Tes Tertulis
V Observasi Kinerja/Demontrasi
TEKNIK DAN BENTUK V Tagihan Hasil Karya/Produk: tugas, projek,
portofolio
V Pengukuran Sikap
Penilaian
INSTRUMEN/SOAL Tugas untuk menganalisis dan mengidentifikasi
unsur-unsur intrinsik penggalan novel melalui
diskusi. Tugas mempresentasikan hasil diskusi
kelompok. Daftar pertanyaan kuis uji teori untuk
mengukur pemahaman siswa atau konsep-
konsep yang telah dipelajari
RUBRIK/KRITERIA
PENILAIAN/BLANGKO
OBSERVASI

Lembaran Penilaian Sikap pada Saat Diskusi Kelompok:

Bubuhkan tanda V pada kolom-kolom sesuai hasil pengamatan.


Nama Kreatif Komunikatif Kerja keras
No.
Siswa 4 3 2 1 4 3 2 1 4 3 2 1
1.
2.
3
4
5

Keterangan
1 = kurang 3 = baik
2 = sedang 4 = sangat baik
Nilai akhir : Skor yang diperoleh
X 100
Skor maksimal
Mengetahui, Tangerang Selatan, 13 Februari 2014

Guru Pamong Guru PPKT Mapel Bahasa Indonesia.

(Mustofa, S. Hum)
(Riza Hernita)
BIOGRAFI PENULIS
Riza Hernita, lahir di Lb. Jantan, Lintau Buo, Batusangkar.
Anak tunggal dari pasangan Herizal dan Epina Darmita.
Penulis memulai Pendidikan di Taman Kanak-Kanak Kamboja,
Lintau dan melanjutkan ke SD Negri 37 Saribu Labiah, Lintau
Buo. Kemudian penulis melanjutkan ke SMP Negri 1 Lintau
Buo dan melanjutkan ke SMA Negri 1 Lintau Buo.

Setelah lulus dari SMA penulis mendaftarkan diri untuk melanjutkan ke


perguruan tinggi. Pada tahun 2010, penulis melanjutkan ke Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia (PBSI).

Bahasa merupakan jembatan dalam berkomunikasi yang sangat


dibutuhkan oleh setiap individu. Komunikasi yang dilakukan dalam kehidupan
sehari-hari tidak selalu diwujudkan dalam bentuk lisan, tetapi juga diterapkan
dalam bentuk tulisan. Setiap melakukan tindakan komunikasi, penutur
mengharapkan pendengar atau petutur mengerti dan mampu menangkap apa yang
ingin diinformasikan sehingga tidak terjadi kesalahpahaman. Agar tidak terjadi
kesalapahaman, seseorang harus mengetahui dan memahami bagaimana
pemakaian kata dalam komunikasi yang sesuai dengan situasi dan kepada siapa
berbicara. Salah satu yang harus dikuasai adalah diksi atau pilihan kata
Setiap individu memiliki caranya tersendiri dalam menyampaikan
informasi. Dalam situasi atau konteks tertentu, penutur atau orang yang
menyampaikan tuturan memberikan informasi yang lebih dari apa yang
dikatakannya. Maksud atau informasi yang disampaikan lebih banyak secara tidak
langsung kepada petutur. Untuk menangkap informasi tersebut petutur harus
mengerti konteks pembicaraan dan bekerja keras dalam memahami tanda-tanda
yang diberikan oleh penutur. Informasi yang berlebih dari yang dimaksud dalam
hal ini melanggar prinsip kerjasama percakapan. Pelanggaran terhadap prinsip
kerjasama percakapan terkadang sangat diperlukan dalam konteks tertentu. Hal
tersebut bisa disebut sebagai implikatur percakapan dalam berkomunikasi.

Anda mungkin juga menyukai