Anda di halaman 1dari 31

ANALISIS DAN RESOLUSI KONFLIK

A. Pernyataan Masalah

Skripsi ini berkenaan dengan konflik lahan yang terjadi di Kelurahan

Tanah Tinggi, Kecamatan Johar Baru, Jakarta Pusat. Secara spesifik,

skripsi ini menggambarkan penyebab terjadinya konflik yang terjadi antara

pemilik PAUD dengan pembangunan RPTRA yang dibuat atas perintah

dari Bapak Ahok selaku Gubernur DKI Jakarta dan resolusi-resolusi apa

saja yang dilakukan oleh kedua belah pihak dalam proses penyelesaian

konflik tersebut.

Konflik adalah bagian dari komponen masyarakat yang selalu ada dan

tidak akan pernah hilang. Dalam kehidupan manusia tidak terlepas dari

yang namanya konflik. Baik konflik keluarga, kelompok, masyarakat,

bahkan negara di tingkat nasional maupun internasional. Konflik juga

memiliki makna krusial, karena salah satu unsurnya adalah masyarakat,

yang didalamnya terkait individu itu sendiri (Coleman, 2008: 701)

Tidak selamanya konflik memiliki dampak negatif, akan tetapi konflik

juga memiliki dampak positif dari setiap permasalahan yang sedang terjadi

antara kedua belahpihak yang sedang bertengkar. Seperti teori konflik

yang dikembangkan oleh Lewis Coser, bagi Lewis Coser konflik yang

terjadi di masyarakat tidak semata-mata menunjukkan hal negatif saja,

tetapi dapat pula menimbulkan dampak positif. Coser bermaksud

1
menunjukkan bahwa konflik tidak harus merusak atau bersifat

disfungsional bagi sistem yang bersangkutan. Konflik juga bisa

menimbulkan konsekuensi positif. Dengan demikian, konflik bisa bersifat

menguntungkan bagi sistem yang bersangkutan.

Masyarakat yang berkonflik dengan masyarakat lain, dapat

memperbaiki kepaduan akan integrasi (Ritze dan Goodman, 2011: 159).

Konflik merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan,

penyatuan, dan pemeliharaan struktur sosial (Polaman, 2004: 107). Oleh

sebab itu konflik sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat mulai

dari konflik vertikal (pemerintah dengan masyarakat) dan konflik

horizontal seperti konflik antar suku, kelompok masyarakat dan

sebagainya.

Salah satu konflik yang marak terjadi di masyarakat adalah mengenai

konflik lahan. Misalnya persoalan yang menyangkut prioritas untuk dapat

ditetapkan sebagai pemilik yang sah atas tanah yang berstatus milik, atau

tanah yang belum ada pemilik. Kekeliruan dan kesalahan pemberian hak

yang disebabkan penerapan peraturan yang kurang benar dan sengketa

yang mengandung unsur sosial praktis atau yang bersifat strategis (Murad,

1991: 23).

Berdasarkan data yang didapat dari kajian perdamaian dan kebijakan

The Habibie Center mengenai konflik lahan antarwarga menjadi fokus

utama sebagai fenomena yang memperlihatkan bagaimana terhalangnya


individu atau kelompok dalam mengakses lahan. Berdasarkan data Sistem

Nasional Pemantauan Kekerasan (SNPK) sepanjang tahun 2005-2013

konflik mengenai lahan antarwarga cenderung meningkat. Tercacat 13

provinsi yang mengalami kekerasan akibat konflik lahan diantaranya

Maluku, NTT, Lampung, NTB, Papua, Aceh, Jabotabek, Kalimantan

Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, Papua Barat, Kalimantan

Timur, Maluku Utara.

Tabel I.A.1. Insiden dan Dampak Kekerasan Akibat Konflik Lahan di 13


Provinsi Pantauan SNPK (2005-Agustus 2013)

Dampak
Provinsi Insiden Bangunan
Tewas Cedera
Rusak
Maluku 194 39 365 348
NTT 179 63 221 143
Lampung 115 25 122 125
NTB 110 10 118 147
Papua 104 4 95 51
Aceh 91 12 54 13
Jabotabek 87 14 284 268
Kalimantan
66 4 32 28
Barat
Kalimantan
63 15 57 8
Tengah
Sulawesi
38 9 42 42
Tengah
Papua
24 2 20 16
Barat
Kalimantan
17 3 7 8
Timur
Maluku
12 0 2 8
Utara
Total 1.100 200 1.419 1.205
Sumber: The Habibie Center, 2013:8
Tanah merupakan salah satu sumberdaya yang berfungsi sangat

penting bagi kehidupan manusia. Namun dalam perkembangannya tanah

menjadi semakin penting karena keberadaannya yang terbatas untuk

menampung berbagai aktivitas manusia yang terus berkembang sehingga

berpotensi menimbulkan konflik kepentingan mengenai penggunaan dan

penguasaannya (Wahid, 2008: 1-4).

Terkait dengan masalah konflik lahan, salah satu kasus yang

ditemukan oleh peneliti adalah mengenai lahan tanah yang akan dibangun

RPTRA (Ruang Publik Taman Ramah Anak) di daerah Pulo Gundul,

Keluarahan Tanah Tinggi, Kecamatan Johar Baru, Jakarta Pusat menuai

konflik akibat pembanguan tersebut harus menyingkirkan sekolah PAUD

Islam Mandiri yang sudah berdiri sejak bulan September tahun 1998.

Warga sangat senang dan antusias dengan keberadaan PAUD Islam

mandiri karena warga sekitar mampu menyekolahkan anaknya dengan

pembayaran SPP yang murah dan terjangkau. Namun, perkembangan dan

pertumbuhan telah memicu kebutuhan ruang terbuka publik. Wacana dari

Gubernur DKI yang akan membuat taman-taman ditengah perkampungan

warga yang dikenal dengan sebutan RPTRA berdasarkan peraturan

Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 196 Tahun

2015 tentang pedoman pengelolan RPTRA yang memiliki fungsi untuk

menyediakan ruang terbuka untuk memenuhi kebutuhan hak anak.


Ketertarikan penulis untuk mengangkat masalah konflik lahan di

Kelurahan Tanah Tinggi, Kecamatan Johar Baru, Jakarta Pusat didorong

oleh beberapa faktor yang Pertama, banyak perubahan yang dirasakan

para siswa dan guru setelah relokasi, karena tidak sesuainya lokasi dengan

kebutuhan PAUD. Kedua, permasalahan yang terjadi seperti infrastruktur

yang bermasalah dan suasana lokasi yang secara sosiologis tidak

mendukung untuk kegiatan belajar mengajar di PAUD. Ketiga, hubungan

sosial yang terjadi antar pihak yang berkonflik. Penulis juga memberikan

perhatian kepada strategi yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait dalam

menyelesaikan konflik atas lahan yang digunakan. Maka penulis tertarik

untuk meneliti mengenai resolusi konflik yang terjadi. Dengan demikian

penulis memberi judul skripsi ini mengenai “Analisis dan Resolusi

Konflik Lahan (Studi Kasus: Konflik Lahan antara PAUD Islam Mandiri

dengan Pembangunan RPTRA di Kelurahan Tanah Tinggi, Kecamatan

Johar Baru, Jakarta Pusat)”

B. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan dari pernyataan diatas, maka peneliti merumuskan

beberapa pertanyaan, yaitu:

1. Mengapa terjadi konflik lahan antara PAUD Islam Mandiri dengan

Pembangunan RPTRA di Kelurahan Tanah Tinggi, Kecamatan Johar

Baru, Jakarta Pusat?


2. Bagaimana bentuk resolusi yang dilakukan antara PAUD Islam

Mandiri dengan Pembangunan RPTRA Jakarta dalam pembangunan

RPTRA?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pertanyaan penelitian, maka penulis mempunyai

tujuan penelitian, diantaranya:

a. Untuk menjelaskan penyebab terjadinya konflik di Keluarahan

Tanah Tinggi, Kecamatan Johar Baru

b. Memberikan penjelasan mengenai strategi penyelesaian konflik

yang terjadi di Kelurahan Tanah Tinggi, Kecamatan Johar Baru,

Jakarta Pusat.

2. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis

1) Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi yang

mengkaji tentang sosiologi konflik mengenai Analisis dan

Resolusi Konflik Lahan (Studi kasus: Konflik Lahan antara

PAUD Islam Mandiri dengan Pembangunan RPTRA).

b. Manfaat Praktis

1) Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi

kepada khalayak umum tentang perencanaan dan implementasi

kebijakan pembangunan RPTRA dari Pemerintah yang

berimplikasi terhadap Lembaga PAUD Islam Mandiri dan


warga disekitar Kelurahan Tanah Tinggi, Kecamatan Johar

Baru, Jakarta Pusat.

2) Penelitian ini juga diharapkan mampu dan memberikan solusi

atas persoalan yang terjadi akibat konflik lahan yang terjadi

antara PAUD Islam Mandiri dengan pembangunan RPTRA

D. Tinjauan Pustaka

Sebagaimana fokus penelitian yang telah dilakukan dalam bentuk

skripsi ini adalah persoalan mengenai bagaimana strategi bentuk

penyelesaian konflik kepentingan antara RPTRA dengan Lembaga PAUD.

Sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian, dibutuhkan perbandingan

dengan penelitian sebelumnya yang relevan dengan penelitian:

The Habibie Center (2013) meneliti “Peta Kekerasan di Indonesia

(Mei-Agustus 2013) dan Konflik Lahan Antarwarga di Provinsi Nusa

Tenggara Timur”. Dalam penelitian ini menjelaskan mengenai berbagai

macam tren konflik lahan dan kekerasan yang terjadi di Indonesia. Teori

yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan teori konflik

dan metodologi yang digunakan adalah metodologi kuantitatif dan

kualitatif.

Dari hasil penelitian ini pada periode Mei-Agustus 2013 dijelaskan

bahwa terdapat 13 provinsi yang mengalami kekerasan serta membahas

isu konflik lahan antarwarga. Konflik lahan menjadi fokus utama dan

memperlihatkan bagaimana terhalangnya individu atau kelompok dalam


mengakses lahan periode 2005 sampai dengan Agustus 2013. Berdasarkan

data SNPK, konflik lahan antarwarga menunjukkan kecenderungan

meningkat dan tercatat sebanyak 338 insiden kekerasan terkait konflik

lahan antarwarga yang mengakibatkan 92 orang tewas, 628 orang cedera

dan 614 bangunan rusak. Dari 13 provinsi, NTT yang mengalami konflik

lahan yang mematikan dan menyebar hampir di seluruh kabupaten/kota.

Mohammad Hasan Ansori (2012) “Dari Resistensi ke Birokrasi:

Wajah Baru Konflik Aceh Setelah Perjanjian Damai Helsinki”. Penelitian

ini bertujuan untuk mencari tahu penyebab terjadinya konflik di Aceh

pasca perjanjian damai Helsinki untuk mengakhiri kurang lebih 32 tahun

konflik bersenjata di Aceh. Penelitian ini menggunakan pendekatan

metodologi kualitatif dengan menggunakan teori konflik.

Hasil dari penelitian ini menemukan bahwa konflik terjadi akibat

Pertama, terdapatnya konflik antara para mantan elit GAM untuk

mendapatkan posisi politik yang strategis untuk kepentingan pribadi (self-

interest) telah menjadi pemicu konflik bahkan terjadi antagonisme diantara

para mantan elit GAM. Kedua, konflik antara mantan anggotan GAM

bawahan (Rank-and-Fire Remember) dengan Mantan Elit GAM) karena

reward dan benefit yang diperoleh hanya menguntungkan para mantan elit

GAM yang mengakibatkan kebencian oleh kalangan GAM bawah dan

merasa tidak mendapatkan keadilan. Ketiga, Konflik antara mayoritas

Suku Aceh dengan suku-suku minoritas Aceh. Konflik ini terjadi karena
adanya stratifikasi etnis di Aceh yang dimana salah satu etnis di Aceh

lebih diperlakukan secara istimewa dan diprioritaskan dibandingkan

dengan etnis yang lainnya. Keempat, konflik antara penentang dan

pendukung pelaksanaan Syariah Islam, dimana pola konflik ini terjadi

akibat adanya perbedaan sikap dan pandangan mengenai penetapan Syariat

Islam di Provinsi Aceh.

Mathijs Van Leeuwen, Land Use Policy “Crisis or continuity?

Framing land disputes and local conflict resolution in Burundi (2010).

Artikel ini membahas tentang pemahaman sengketa tanah yang terjadi di

Burundi. Konflik terjadi akibat adanya kepemilikan hak atas tanah antar 2

etnis dan menyebabkan masalah politik yang sangat serius. Peperangan

yang terjadi membuat sebagian besar warga mengungsi di tempat yang

aman hingga keadaan menjadi stabil. Ketika keadaan mulai membaik,

orang-orang pengungsian mulai untuk di pulang kan secara sukarela.

Sekitar 90 % masalah yang terjadi pada saat pengusi kembali adalah

terkait mengenai kepemilikan hak atas tanah mereka yang selama ini

mereka tinggal untuk mengungsi. Tanah yang dulu mereka miliki telah

diduduki oleh orang lain. Perselisihan tersebut mengakibatkan semakin

banyaknya masalah yang terjadi. Permasalahan mengenai sengketa tanah

yang terjadi mendesak organisasi-organisasi internasional maupun lokal

untuk segera menyelesaikan konflik. Pada tahun 2005 organisasi non

pemerintah internasional memulai sebuah program untuk memperkuat


intstitusi lokal dalam menangani sengketa tanah di Burundi yang terjadi

saat itu.

Novri Susan, Oki Hajiansyah Wahab (2014) The Cause of Protracted

Land Conflict in Indonesia’s “Democracy: The Case of Land Conflict in

Register 45, Mesuji Lampung Province, Indonesia : Penelitian ini

menggunakan metodologi kualitatif. Konflik tanah yang terjadi di Mesuji,

Lampung Provinsi, Indonesia disebabkan karena adanya dinamika konflik

kekerasan antar para pelaku, negara, sektor swasta dan masyarakat sipil.

Kepemilikan hak atas tanah menimbulkan masalah yang terjadi antara

pemilik tanah dan penduduk setempat yang sama-sama ingin memiliki

tanah tersebut. Tidak tegasnya campur tangan Badan Pertahanan Nasional

membuat penduduk merasa kecewa. Dengan demikian, masyarakat

setempat merespon manajemen konflik negara melalui perlawanan

kekerasan. Adanya strategi konflik yang bersifat kontroversial, seperti

kekerasan dan penindasan membuat kendala besar dalam mengubah

konflik tanah menuju pemecahan masalah berdasarkan nilai-nilai

demokrasi.

Rosmitasari, Reni, Rina Martini, dan Puji Astuti (2013) dalam judul

“Peran Pemerintah Daerah dalam Penyelesaian Sengketa Tanah pada

Lahan Pasific Mall Kota Tegal” bertujuan untuk mengetahui proses

penyelesaian sengketa hak atas tanah yang dijadikan Pasific Mall oleh
pemerintah melalui pengadilan. Metode yang digunakan adalah metode

kualitatif dengan tipe penelitian deskriptif.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa penyebab terjadinya

konflik akibat adanya sertifikat Hak Pengelolaan Tanah (HPL) milik

Pemerintah Daerah Tegal seluas 16.250 M atas nama Pemerintah Kota

Tegal yang telah dialihkan menjadi sertifikat hak milik nomor M. 613, M.

667, dan M. 704. Hasil dari penyelesaian permasalahan ini menghasilkan

bukti bahwa hak atas tanah yang diterbitkan sertifikat hak pengelolaan atas

nama Pemerintah Kota Tegal oleh kantor pertanahan Kota Tegal dan tidak

adanya keputusan menteri dalam negeri yang mengacu pemberian hak

pengelolaan dalam proses penerbitan sertifikat tersebut, sehingga majelis

hakim Pengadilan Negeri Tegal mendeteksi adanya upaya kebohongan dan

rekayasa dari pejabat kantor pertanahan dalam menerbitkan sertifikat hak

pengelolaan tersebut. oleh karena itu, sertifikat tanah dibatalkan dan

meminta kepada pejabat kantor pertanahan untuk mengembalikan hak atas

tanah tersebut ke pemilik tanah.

Selain itu, konflik juga berkaitan dengan sengketa tanah yaitu adanya

perjanjian kontrak yang menyebutkan bahwa pihak kedua (Pemkot) dapat

menggunakan sertifikat HGB Nomor 596 Kelurahan Pekauman dan

sertifikat hak milik nomor M. 613, M. 667, dan M. 704 Kelurahan

Pekauman pada bank dengan persetujuan pihak pertama dan ternyata


merupakan lahan sengketa yang masih belum diketahui pemilik yang

sebenarnya atas tanah tersebut.

Sulistyati, Tri Widyastuti, Budiman Achmad, dan Suyarno dalam

judul “ANALISIS KONFLIK LAHAN EKS KPWN DI DESA TEJA,

KECAMATAN RAJAGALUH, KABUPATEN MAJALENGKA,

PROVINSI JAWA BARAT’ menjelaskan bahwa akan ada rencana alih

fungsi lahan eks HGU yang menyebabkan masyarakat penggarap lahan

HGU terancam kehilangan lahan garapannya, sehingga koordinator

penggarap HGU PT. Teja Mukti Utama selaku wakil masyarakat Desa

Teja pada tahun 2000 menyampaikan permohonan kepada ketua DPRD

Majalengka agar tetap diperbolehkan menggarap lahan eks HGU tersebut.

Konflik lahan eks KPWN ini merupakan konflik vertikal yang terjadi

antara Kementerian Kehutanan dengan masyarakat penggarap lahan eks

KPWN dan merupakan konflik terbuka karena adanya perbedaan

kepentingan antara masyarakat terhadap pemerintah diekspresikan secara

jelas oleh masyarakat melalui okupasi lahan. Okupasi lahan eks KPWN

bersumber dari okupasi lahan oleh masyarakat yang disebabkan oleh

pengalihan penguasaan lahan, terbatasnya sosialisasi, kelambanan proses

pengurusan lahan, dan pembiaran lahan dalam waktu lama.

Konflik melibatkan beberapa aktor yang memiliki kepentingan

terhadap lahan eks KPWN di Desa Teja, yaitu KPWN, PT. Teja Mukti

Utama, Kementerian Kehutanan yang meliputi Ditjen Planologi


Kehutanan, Badan Litbang Kehutanan, dan Balai Diklat Kehutanan

Kadipaten, Pemerintah Desa Teja, Koordinator penggarap HGU PT. Teja

Mukti Utama, Masyarakat penggarap, serta Badan Pertahanan Nasional.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui terjadinya konflik, aktor yang

terlibat dalam konflik, serta menganalisis konflik lahan eks KPWN dengan

menggunakan metodologi kualitatif.

Marlijanto, Sonny Djoko (2010) meneliti tentang “Konsinyasi Ganti

Rugi Dalam Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum (Studi

Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Proyek Jalan TOL Semarang-Solo

Di Kabupaten Semarang)”. Penelitian ini menjelaskan bahwa terdapat

perbedaan dalam hal konsep penerapan konsinyasi yang mengindikasikan

bahwa Perpres ini lebih memihak kepada investor asing daripada nasib

masyarakat yang tanahnya harus diambil untuk pembangunan yang

seringkali mengatasnamakan kepentingan umum.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui mekanisme

konsinyasi ganti rugi atas tanah yang digunakan untuk Pembangunan

Proyek jalan TOL Semarang – Solo di Kabupaten Semarang dan

hambatan-hambatan yang timbul dalam mekanisme ganti rugi atas tanah

yang digunakan untuk Pembangunan Proyek jalan TOL Semarang – Solo

di Kabupaten Semarang serta proses pengadaan tanah untuk kepentingan

umum dalam rangka Pembangunan Proyek jalan TOL Semarang – Solo di


Kabupaten Semarang serta pengaruhnya terhadap pemilik hak atas tanah

yang terkena proyek

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Pertama, mekanisme

konsinyasi ganti rugi atas tanah yang digunakan untuk Pembangunan

Proyek Jalan TOL Semarang – Solo di Kabupaten Semarang disebabkan

tidak adanya titik temu, sehingga proses di pengadilan yang dapat

menyelesaikan konflik tersebut. Kedua, hambatan-hambatan yang timbul

dalam mekanisme konsinyasi ganti rugi atas tanah yang digunakan untuk

Pembangunan Proyek Jalan TOL Semarang – Solo di Kabupaten

Semarang adalah ketidaksepakatan tentang besaran ganti kerugian karena

keterbatasan dana dari Pemerintah. Ketiga, proses pelaksanaan pengadaan

tanah untuk Pembangunan Proyek Jalan TOL Semarang – Solo ini sesuai

dengan Peraturan Kepala BPN nomor 3 tahun 2007. Pemegang hak atas

tanah menganggap bahwa ganti rugi yang ditawarkan kepada mereka tidak

sesuai dengan harga pasar setempat (umum). Adapun pengaruh yang

ditimbulkan terhadap pemilik hak atas tanah yang terena pembangunan

jalan tol Semarang – Solo ini diantaranya sebagai berikut : a) Turunnya

harga tanah; b) Menghambat pertumbuhan ekonomi; dan c) Hilangnya

rasa nyaman. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan

analisis deskriptif dan menggunakan teori yuridis empiris sebagai

kerangka teoritis.
Steven R. Henderson (2005) dalam “Managing land-use conflict

around urban centres: Australia poultry farmer attitudes towards

relocation” berfokus pada isu relokasi pertanian. Pemerintah mengusulkan

agar petani unggas segera pindah dan mencari lahan baru untuk membuat

peternakan unggas yang baru. Hal ini karena Pemerintah memberikan

dukungan legislatif untuk mendorong pengembangan bisnis di bidang

properti untuk menegosiasikan pembebasan tanah dengan peternak

unggas. Munculnya konflik akibat pemerintah tidak mampu mengelola

keluhan bagaimana intensitas konflik yang terjadi.

Putranto dan Affandi, Universitas Negeri Surabaya Jurusan Sosiologi

(2013) dalam mengkaji isu relokasi pedagang kaki lima di Sentra PKL

Taman Prestasi Kota Surabaya dalam hubungannya dengan peranan

paguyuban pedagang kaki lima dalam menghadapi penertiban Pemerintah

Kota Surabaya. Penelitian yang mengandalkan sejumlah kerangka teoritis

yang meliputi teori katup penyelamat yang diperkenalkan oleh Lewis

Coser, teori ruang publik milik Jurgen Hebermas. Adapun metode

penelitian yang diterapkannya adalah kualitatif dengan pendekatan

fenomenologi. Pengukuhan kerangka teori beserta metode dan pendekatan

yang digunakannya untuk memberikan penjelasan peran paguyuban dalam

resolusi konflik yang mereka hadapi.

Kesimpulan dari hasil laporan penelitiannya menjelaskan terdapat tiga

peran penting yang dilakukan oleh paguyuban PKL, yaitu sebagai katup
penyelamat saat terjadi relokasi, sebagai mediator penyelesaian konflik-

konflik internal PKL, dan sebagai ruang publik seperti misalnya

musyawarah mufakat dan pemanfaatan media massa untuk mengawasi

kebijakan pemerintah.

Muchamad Ismail, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Jurusan Sosiologi (2011) dalam mengkaji peta konflik akibat bencana

lumpur Sidoarjo antara warga masyarakat lokal dengan PT. Lapindo

Brantas. Penelitian yang dilakukan dengan menggunakan metode

penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif berhasil memberikan

penjelasan dalam kesimpulan yang ditumbuhkannya bahwa konflik dipicu

oleh pemahaman dan kepentingan yang berbeda dari masing-masing pihak

yang bertikai. Dimana warga korban lumpur Sidoarjo menuntut

tanggungjawab PT Lapindo Brantas mengenai ganti-rugi dan pemukiman

kembali.

Berkat kerangka teoritis yang diadopsi dari Simon Fisher mengenai

resolusi konflik, temuan penelitiannya menyampaikan bahwa resolusi

konflik yang ditempuh melalui tiga model penanganan, yaitu arbitrasi,

mediasi, dan negosiasi.

Untuk model penanganan yang disebutkan pertama, LSM menjadi

pihak ketiga untuk mengawal gugatan warga korban yang ditujukan

kepada perusahaan, sementara hasil putusan dimenangkan oleh pihak

perusahaan. Pada model mediasi yaitu melibatkan Emha Ainun Najib


sebagai mediator dimana dalam pada model ini warga diberikan

kesempatan untuk memantau dan menindak lanjuti hasil pertemuan

pemerintah di Istana Presiden Puri Cikeas Bogor. Hasil dari model mediasi

ini warga korban diuntungkan untuk memahami kembali konsep

pembayaran ganti-rugi. Untuk model penanganan konflik yang terakhir

disebutkan yaitu negosiasi, pada model ini pihak persuahaan mencari

problem solving. Upaya ini dilakukan guna menghasilkan keputusan yang

saling menguntungkan dari masing masing pihak yang bertikai dan

menghasilkan konsep pembayaran cash and resettlemen.

Ali Imron, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Sosiologi dalam penelitian

yang berjudul Konflik Tanah (Studi atas Konflik dalam Perumahan

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jalarta). Bertujuan untuk

mengetahui penyebab konflik yang terjadi antara UIN Jakarta dengan

penghuni perumahan dosen UIN Jakarta dengan menggunakan teori

resolusi konflik. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa munculnya konflik

akibat adanya ketidaksetujuan dari penghuni perumah dosen UIN atas

surat yang diberikan oleh UIN Jakarta untuk mengosongkan perumahan

dosen UIN. Ada 3 penyebab terjadinya konflik: 1) Perbedaan nominal

ganti rugi, 2) Status tanah. 3) Status rumah. Untuk menyelesaikan


permasalahan yang terjadi dalam penelitian ini menggunakan pendekatan

resolusi konflik, yakni 1) Negosiasi, 2) Mediasi, 3) Legal.

Dari literatur atau penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya,

terdapat persamaan dan perbedaan antara penelitian sebelumnya dengan

peneliti yang akan dilakukan oleh penulis. Persamaannya adalah terdapat

konflik yang terjadi mengenai permasalahan konflik lahan. Sedangkan

perbedaannya adalah konflik lahan yang akan di diteliti oleh penulis

menggunakan teori resolusi konflik dan lokasi peneliti dilakukan di

Kelurahan Tanah Tinggi, Kecamatan Johar Baru, Jakarta Pusat.

E. Kerangka Teoritis

1. Analisis Konflik

Konflik adalah merupakan gejala sosial yang berarti benturan

kepentingan, keinginan, pendapatan, dan nilai-nilai yang paling

penting melibatkan dua orang atau lebih (Usman Kolip dan Setiadi,

2011: 347). Analisis konflik adalah sebuah proses terstruktur untuk

pemahaman yang lebih baik mengenai terjadinya konflik, termasuk

latar belakangnya, sejarah, kelompok utama yang terlibat termasuk

ideologi, agenda dan motivasinya, pemicu konflik dan faktor potensial

untuk perdamaian. Orang yang memiliki kepekaan terhadap konflik

memiliki analisis konflik yang baik mengenai konteks dari

permasalahan dan memahami bagaimana dampak dari solusi atau

intervensi yang dilakukan pada konflik tersebut (Panduan Mediasi unik


Praktisi Perdamaian di Ambon disusun oleh Center for Humanitarian

Dialogue The Habibie Center Institut Tifa Damai Maluku, 2016: 12).

Pohon konflik adalah sebuah analisa yang dapat membantu

menganalisa sebuah perselisihan serta memaparkan sebab dan akibat

dari perselisihan yang terjadi. Hal ini akan membuka pandangan yang

lebih luas akan adanya masalah-masalah lain berkaitan dengan pokok

permasalahan yang diakui oleh para pihak sebagai sumber

perselisihan. Akar dari perselisihan sangat penting dan hal tersebut

dapat ditemukan dan karenanya parah pihak yang dapat menemukan

solusi bersama.

Ada beberapa hal penting dalam mengenali jenis konflik, yakni

harus mencari terlebih dahulu apa penyebab utama dari konflik dan

akibat dari konflik yang terjadi, pihak-pihak yang terlibat dan pada

level mana konflik tersebut terjadi.

Adapun alat-alat untuk melakukan analisis konflik yang baik yaitu

dengan melihat urutan-urutan dari kejadian yang berkaitan dengan isu-

isu yang menjadi konflik permasalahan. Karena sering sekali pihak

mendapatkan urutan waktu yang berbeda, baik dari segi kejadian

maupun dari segi penjelasan dari kejadian tersebut. Berikut langkah-

langkah dari analisis konflik dengan menggunakan urutan kejadian

adalah sebagai berikut:


a. Para pihak dapat diminta membuat daftar kejadian beserta waktu

yang berkaitan dengan isu utama dari perselisihan yang terjadi

antara mereka.

b. Pada kertas plano, mediator membuat garis lurus ditengah. Garis

ini digunakan untuk menuliskan waktu dari kejadian-kejadian yang

diidentifikasi oleh para pihak.

c. Mediator menempelkan satu persatu kejadian tersebut sesuai

dengan urutan waktu kejadian.

d. Berdasarkan urutan tersebu, para pihak diajak mengidentifikasi hal-

hal yang penting dan perlu didiskusikan lebih lanjut.

2. Sebab-sebab Konflik

Dalam buku Elly M Setiadi dan Usman Kolip tahun 2011,

menjelaskan bahwa terdapat beberapa pendapat mengenai akar

penyebab dari timbulnya konflik diantaranya:

a. Perbedaan antar Individu

Perbedaan pendapat, tujuan dan keinginan yang

dipertentangkan. Di dalam realitas sosial individu memiliki

karakter yang berbeda, dari perbedaan tersebutlah yang

memengaruhi timbulnya konflik.

b. Benturan antar Kepentingan

Terdapatnya kepentingan antar kelompok politik yang ingin

memperluas jaringan atau wilayahnya untuk mengembangkan

kepentingannya dalam bidang politik. Kepentingan politik yang


sering terjadi sering kali menimbulkan konflik yang terjadi di

masyarakat.

c. Perubahan Sosial

Perubahan sosial yang terjadi bisa menimbulkan konflik

yang ditandai dengan gejala tatanan perilaku lama sudah tidak

digunakan lagi sebagai pedoman, sedangkan tatanan perilaku yang

baru masih simpang siur sehingga orang banyak kehilangan arah

dan pedoman perilaku.

d. Perbedaan yang terjadi akibat kebudayaan mengakibatkan adanya

perasaan in group dan out group yang biasanya diikuti oleh sikap

etnosentrisme kelompok. Sikap yang menunjukkan bahwa

kelompoknya lebih baik dari kelompok lain.

3. Resolusi Konflik

Resolusi konflik Fisher (Suhardono, 2015:5) adalah usaha

menangani sebab-sebab terjadinya konflik dan membangun hubungan

yang baru yang bisa bertahan lama diantara kelompok-kelompok yang

berseteru. Menurut Weitzman & Weitzman (Suhardon, 2015:4)

resolusi konflik adalah sebuah upaya untuk menyelesaikan

permasalahan secara bersama.

Jadi kesimpulannya, resolusi konflik adalah sebuah upaya untuk

menyelesaikan suatu permasalahan yang sedang dihadapi oleh individu

dengan individu lainnya. Dalam hal ini, resolusi konflik juga memiliki
cara-cara yang demokratis dalam menyelesaikan sebuah permasalahan,

baik secara musyawarah atau melalui jalur hukum. Dalam pendekatan

resolusi konflik telah banyak dijelaskan oleh tokoh, sehingga hal

tersebut menjadi umum ketika melihat konflik dengan menggunakan

pendekatan resolusi konflik. Moore dalam The Study on Mining

Licence Overlaps mengatakan bahwa pendekatan resolusi konflik

terbagi menjadi empat yaitu, negosiasi, mediasi, albitrasi, dan

pendekatan legal (Ansori, Rotinsulu, dan Haryadi, 2013).

4. Tahapan Resolusi Konflik

a. Negosiasi

Negosiasi adalah salah satu upaya untuk menyelesaikan

konflik. Negosiasi dilakukan oleh pihak yang berkonflik untuk

menyampaikan keinginan dari pihak yang berkonflik yang pada

akhirnya akan menemukan suatu keputusan yang disepakati secara

bersama oleh pihak yang terkait dalam sebuah konflik. Tujuan dari

negosiasi adalah untuk mencapai kesepakatan bersama yang

diterima kedua belah pihak. Negosiasi dilakukan secara langsung

antara dua pihak atau lebih tanpa memerlukan pihak lain untuk

menengahi perselisihan tersebut. Seringkali para pihak dalam

negosiasi mempunyai kepentingan yang berbeda

Dalam melakukan negosiasi terdapat tiga variable yang

memungkinkan terjadinya keberhasilan dalam bernegosiasi.

Pertama, kedua belah pihak harus bersedia untuk mencari sebuah


solusi dalam menyelesaikan konflik. Kedua, pihak-pihak harus

memiliki sumberdaya manusia, keuangan, dan administrasi untuk

mencari resolusi. Ketiga, kedua belah pihak harus memiliki

pemahaman yang tinggi mengenai permasalahan yang terjadi dan

kedua belah pihak harus memiliki kemauan untuk mencari solusi

dan memiliki sumberdaya yang memadai juga pemahaman

bersama (kontekstual dan teknis) agar mencapai resolusi bersama.

Namun apabila sebaliknya, jika kedua belah pihak tidak ada rasa

keinginan bersama untuk menyelesaikan sebuah permasalahan.

Dimana kedua belah pihak memiliki keinginan rendah untuk

memahami sebuah konflik, maka akan ditangguhkan kepada pihak

ketiga (Barron, dkk, 2004: 30).

b. Mediasi

Mediasi adalah sebuah upaya yang dilakukan untuk

menyelesaikan permasalahan dengan mengajak pihak ketiga

(netral) ketika cara negosiasi tidak berhasil dalam menyelesaikan

sebuah permasalahan. Pihak ketiga ini berfungsi sebagai mediator

antara pihak yang sedang mengalami konflik. Dimana pihak ketiga

selain berfungsi sebagai mediator yang bersifat netral, juga

berfungsi sebagai pihak yang bisa menjembatani antara pihak yang

bertikai untuk mencari dan memecahkan solusi sesuai keinginan

pihak yang bertikai (Barron, dkk, 2004: 31).


Dalam melakukan mediasi terdapat beberapa kriteria

penting, yakni, 1) mediasi harus dilakukan secara sukarela, 2)

pihak harus sepakat dalam memilih mediator, 3) mediator ada

untuk memfasilitasi diskusi antara pihak yang bertikai dan

menyediakan pihak untuk bertemu dan memimpin diskusi bukan

untuk memberi solusi atau mendikte sebuah perjanjian.

c. Albitrasi

Upaya yang dilakukan dengan dua pihak atau lebih dengan

mempertemukan pihak yang berkonflik dan di bantu oleh pihak

ketiga yang disebut pihak albiter. Fungsi dari pihak ketiga adalah

untuk menjembatani keinginan kedua belah pihak dan pihak albiter

yang memberikan persetujuan dengan menilai kekurangan dan

kelebihan dari para pihak yang berkonflik. Hasil dari keputusan

pada pihak ketiga mengikat secara hukum (Moore dalam Ansori,

Rotinsulu, dan Haryadi, 2013).

d. Legal

Pendekatan melalui cara legal adalah tahapan terakhir

ketika negosiasi, mediasi, dan albitrasi sudah tidak lagi dapat

menyelesaikan konflik yang terjadi. Dalam penyelesaian konflik

dengan cara legal, pihak ketiga adalah lembaga pengadilan. Pihak

ketiga adalah hakim yang akan memutuskan berdasarkan

kekurangan dan kelebihan dari pihak yang berkonflik dan

keputusan hakim ini mengikat secara hukum. Dengan demikian,


penyelesaian menggunakan pendekatan secara legal akan mencapai

hasil pada win-lose solution(Moore dalam Ansori, Rotinsulu, dan

Haryadi, 2013).

5. Hasil Resolusi Konflik

Dari cara menghadapi dan menyelesaikan maka hasil konflik sosial

dapat diklarifikasikan sebagai beikut (Elly M Setiadi & Usman, 2011:

378-379):

a. Konflik Menang VS Menang

Konflik akan berakhir menang vs menang apabila kedua belah

pihak telah bersedia menerima keputusan bersama dalam mencapai

sebuah solusi yang sama-sama saling menguntungkan.

b. Konflik Kalah VS Menang

Konflik akan berakhir pada kalah vs menang apabila salah satu

pihak yang bertikai mencapai keinginannya dengan mengorbankan

keinginan pihak lain.

c. Konflik Kalah VS Kalah

Dimana kedua belah pihak tidak ada yang memenangkan konflik

tersebut dan mengorbankan tujuannya atau berakhir pada

keputusan yang buntu.


F. Metodologi Penelitian

1. Pendekatan penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

pendekatan kualitatif. Seperti yang diketahui definisi kualitatif

menurut Creswell berpendapat bahwa, Penelitian kualitatif adalah

suatu proses penelitian ilmiah yang lebih dimaksudkan untuk

memahami masalah-masalah manusia dalam konteks sosial dengan

menciptakan gambaran menyeluruh dan kompleks yang disajikan,

melaporkan pandangan terperinci dari para sumber informasi, serta

dilakukan dalam setting ilmiah tanpa adanya intervensi apapun dari

peneliti (Herdiansyah, 2012:8)

Sedangkan menurut Moleong penelitian kualitatif adalah penelitian

yang bertujuan untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami

oleh subjek penelitian seperti tindakan, perilaku, persepsi, motivasi,

dan lain-lain. Secara menyeluruh dengan cara deskripsi dalam bentuk

kata-kata, bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan

memanfaatkan berbagai metode alamiah (Moleong, 2009:6)

Dengan demikian peneliti menggunakan metode kualitatif karena

terdapat beberapa kesamaan dari yang telah dikemukakan oleh para

tokoh yaitu dengan lebih memfokuskan kepada interpretasi terhadap

fenomena sosial yang meliput tindakan, perilaku, persepsi, dan lain-

lain. Oleh kerana itu peneliti akan mendapatkan gambaran informasi


atau data secara mendalam dan menyeluruh mengenai penyebab

terjadinya konflik lahan.

2. Subjek Penelitian

Informan yang dijadikan subjek dalam penelitian ini adalah pihak

pengurus GIM, PAUD Islam Mandiri, Pengurus RPTRA, dan Camat

Johar Baru. Dalam menentukan informan, peneliti menggunakan

teknik Purposive. Purposive adalah teknik penentuan berdasarkan

pertimbangan tertentu. Teknik ini bertujuan untuk mendapatkan kasus-

kasus yang memiliki berbagai informasi yang dapat memberikan

pemahaman penuh mengenai berbagai aspek dari fenomena yang

diteliti (Sulistyaningsih, 2012: 74), dan digunakan apabila anggota

yang dipilih secara khusus berdasarkan tujuan penelitiannya (Usman,

2008: 45).

Dalam menentukan purposive, peneliti hanya menggunakan satu

kriteria yaitu informan yang terlibat dalam konflik lahan di Kelurahan

Tanah Tinggi, Kecamatan Johar Baru, Jakarta Pusat. Berikut adalah

informan yang dianggap dapat memberikan informasi dan keterangan

yang akan diteliti. Informan yang dimaksud adalah terdiri dari:

a. Kepala Sekolah dan Guru (4 orang).

b. Koordinator RPTRA (1 orang).

c. Pengurus RPTRA Kelurahan Tanah Tinggi (1 oradng).

d. RW 013 Pulo Gundul (1 orang).

e. Warga sekitar (2 orang).


f. Camat Kelurahan Tanah Tinggi(1 orang)

3. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di RW 013, Kelurahan Tanah Tinggi,

Kecamatan Johar Baru, Jakarta Pusat. Sedangkan waktu yang

diperlukan untuk melakukan penelitian ini dimulai pada Bulan

November 2016 sampai dengan Bulan Maret 2017.

4. Jenis Data

Penelitian dilakukan dengan memanfaatkan data primer dan data

sekunder. Menurut Suyanto (2007:55) data primer merupakan data

yang didapat langsung dari objek yang akan diteliti. Data diperoleh

dari hasil wawancara dengan subjek penelitian yaitu mengenai konflik

lahan yan terjadi di Keluarahan Tanah Tinggi, Kecamatan Johar Baru,

Jakarta Pusat dengan melakukan tanya jawab. Sedangkan data

sekunder, merupakan data penelitian yang diperoleh dari jurnal-jurnal

etak maupun jurnal-jurnal elektronik, karya-karya ilmiah seperti

skripsi atau tesis dan buku-buku yang berkaitan dengan konflik lahan.

5. Teknik Pengumpulan Data

Wawancara (interview) merupakan pertemuan dua orang yang

bertujuan untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab,

sehinga dapat dibentuk makna dalam suatu topik yang akan diteliti.

Dalam hal ini penelti akan mengetahui hal-hal yang lebih mendalam

tentang partisipan dalam meinterprestasikan situasi dan fenomena yang

terjadi (Sugiyono, 209:231-232). Adapun wawancara menurut


Moleong (2005:135) ialah usaha untuk mengumpulkan informasi

dengan mengajukan sejumlah pertanyaan secara lisan untuk dijawab

secara lisan pula. Wawancara dilakukan oleh dua pihak, yaitu

pewawancara (interviewer) dan yang diwawancara (interviewer).

Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah

wawancara semistruktur (Semistructure Interview) yang tergolong

dalan in-dept-interview, yang bertujuan untuk menemukan

permasalahan secara lebih terbuka, dimana informan tidak hanya

menjawab pertanyaan yang diberikan oleh peneliti saja, melainkan

diminta pendapat dan ide-idenya. Wawancara ini bersifat bebas dari

wawancara terstruktur( Sugiyono. 2009:223).

Peneliti menggunakan wawancara semistruktur dengan membuat

pedoman wawancara berupa daftar pertanyaan yang tidak mengikat.

Hal ini supaya tiak memungkinkan terjadinya variasi-variasi penyajian

pertanyaan sesuai selera berdasarkan situasi yang ada. Daftar

pertanyaan yang dibuat agar bisa menjadi pengontrol yang relevan dan

agar tidak menyimpang atau keluar dari topik permasalahan yang ingin

diteliti. Langkah selanjutnya setelah melakukan proses wawancara

adalah membuat transkip wawancara.

6. Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Data yang terkumpul, selanjutnya akan dianalisis. Analisis data

adalah merupakan sebuah proses sistematis pencairan dan pengaturan


transkripsi wawancara, laporan lapangan, dan materi-materi lain yang

telah dikumpulkan untuk meningkatkan informasi dan pemahan diri

sendiri mengenai materi-materi tersebut dan untuk memungkinkan

menyajikan apa yang sudah ditemukan kepada orang lain. Dalam

analisis data, penelitian menggunakan model analisis Mills dan

Hubermas yang terdiri dari reduksi data, penyajian data, dan

kesimpulan (Sugiyono, 2014:91):

a. Reduksi Data

Data berisi tentang proses penggabungan dan penyelarasan

segala bentuk data yang diperoleh menjadi satu bentuk tulisan

yang akan dianalisis (Herdiansyah, 2012: 180)

b. Penyajian Data

Data yang disajikan berbentuk naratif agar mempermudah

untuk memahami apa yang terjadi (Sugiyono, 2014:95). Dalam

hal ini setelah data primer dan sekunder dipilah maka kemudian

data tersebut peneliti sajikan dalam bentuk teks atau paragraf

yang bersifat naratif.

c. Kesimpulan

Terdapat 3 tahapan kesimpulan Pertama, menguraikan

subkategori tema dan tabel kategorisasi dan pengkodean disertai

dengan quote verbatim wawancaranya. Kedua, menjelaskan hasil

temuan penelitian dengan menjawab pertanyaan penelitian

berdasarkan aspek/komponen/faktor/ dimensi dari central


phenomenon penelitian Ketiga, membuat kesimpulan dari

temuan tersebut dengan memberi penjelasan dari jawaban

pertanyaan penelitian (Herdiansyah, 2012: 179-181)

Anda mungkin juga menyukai