Anda di halaman 1dari 19

Solusi Konflik Masyarakat Kalimantan Tengah…

MAKALAH

SOLUSI KONFLIK MASYARAKAT KALIMANTAN TENGAH DENGAN


PERUSAHAAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT
(ANALISIS TEORI HEGEMONI)

DISUSUN OLEH

: SEVITA
NIM 2340306110031

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET DAN TEKNOLOGI


UNIVERSITAS PALANGKARAYA FAKULTAS HUKUM
MAGISTER ILMU HUKUM
TAHUN 2023
Solusi Konflik Masyarakat Kalimantan Tengah…

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan penulis
kemudahan sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu.
Tanpa pertolongan-Nya tentunya penulis tidak akan sanggup untuk menyelesaikan
makalah ini dengan baik.

Penulis mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan
nikmat sehat-Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis
mampu untuk menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas dari mata kuliah
Resolusi Konflik Sumber Daya Manusia dengan dosen pengampu Dr. Heria
Mariaty,S.H.,M.Hum.

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis
mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini
nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Apabila terdapat banyak
kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang sebesar- besarnya. Demikian,
semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Palangka Raya, 01 Desember 2023

Penulis

2
Solusi Konflik Masyarakat Kalimantan Tengah…

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................II
DAFTAR ISI.........................................................................................................III
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang....................................................................................................4
B. Rumusan Masalah...............................................................................................5
C. Tujuan.................................................................................................................6

BAB II PEMBAHASAN
A. Teori Hegemoni Antonio Gramsci......................................................................7
1. Istilah hegemoni..............................................................................................7
2. Pengertian hegemoni......................................................................................7
B. Resolusi Konflik Lahan Antara Perusahaan Perkebunan Dengan Masyarakat
Dalam Teori Hegemoni
............................................................................................................................
8
1. Dominasi Kekuasaan....................................................................................9
2. Kepemimpinan Intelektual dan Moral................................................................................10
3. Persetujuan..................................................................................................11

C. Tingkat Hegemoni..............................................................................................12

BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan........................................................................................................13
B. Saran..................................................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I Solusi Konflik Masyarakat Kalimantan Tengah…

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Kelapa sawit merupakan komoditas perkebunan yang memiliki peran strategis


dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Kelapa sawit telah menjadi produksi andalan
bagi Perusahaan Swasta, Perusahaan Negara, maupun petani perseorangan. Indonesia
adalah produsen kelapa sawit terbesar dunia dengan produksi kelapa sawit mencapai 44,5
juta ton (Indexmundi, 2021).
Menurut data dari Kementrian Pertanian, luasan perkebunan kelapa Sawit di
Indonesia sebesar 14.456.611 Ha. Dari total luasan tersebut, sebanyak 54, 94% atau
sekitar
7.942.335 H dikuasai oleh Perusahaan Besar Swasta (PBS). Sebanyak 40,79 % atau sekitar
5.896.755 Ha dikuasai oleh Perkebunan Rakyat (PR), dan sebesar 4,27 % atau sekitar
617.501 Ha dikuasai oleh Perusahaan Besar Negara (PBN) (Kementerian Pertanian, 2020).
Luasnya perkebunan kelapa sawit menyerap 16 juta tenaga kerja baik secara langsung
maupun tidak langsung (Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia,
2021), atau sebesar 13,51 % dari total tenaga kerja (Badan Pusat Statistik, 2021).
Kalimantan Tengah adalah produsen kelapa sawit terbesar ketiga di Indonesia
dengan luasan kebun sebesar 1.922.083 Ha dan total produksi mencapai 160.040 ton
kopra. Angka ini hanya kalah dari Provinsi Riau dan Provinsi Kalimantan Barat. Luasan
total perkebunan kelapa sawit di Pulau Kalimantan mencapai 5.820.406 hektar
(Kementerian Pertanian, 2020).
Perkembangan perkebunan kelapa sawit yang sangat pesat memiliki dampak
positif dan dampak negatif. Salah satu dampak negativenya adalah alih fungsi hutan dan
lahan masyarakat menjadi lahan perkebunan kelapa sawit yang dimiliki oleh perusahaan.
Dalam proses alih fungsi tersebut, muncul berbagai konflik penguasaan lahan. Salah satu
contoh konflik yang terjadi antara perusahaan kelapa sawit dengan masyarakat yang
menjadi pemberitaan nasional adalah kasus sengketa di desa Kinipan Kab. Lamandau yang
melibatkan tokoh adat desa Kinipan bernama Efendi Buhing (Tempo, 2020).
Konflik yang terjadi antara perusahaan besar swasta dengan masyarakat adalah
memperebutkan hak pengunaan dan pemanfaatan lahan untuk usaha produktif. Konflik
terjadi antara rakyat yang selama ini menjadi penggarap/pemilik, dengan pemerintah atau
perusahaan swasta yang meneglola lahan tersebut. (Zakie, 2016). Konflik muncul antara
pihak yang mempertahankan keberadaan lahan dan hutan dengan pihak lain yang
menginginkan alih fungsi hutan dan lahan untuk fungsi yang lain, termasuk fungsi
perkebunan. (Setiawan et al., 2017). Konflik lahan seringkali berubah menjadi konflik
agararia structural, yakni konflik saling klaim atas lahan yang berkepanjangan (Rachman,
4
2013).

5
Solusi Konflik Masyarakat Kalimantan Tengah…

B. RUMUSAN MASALAH
Konflik pengelolaan lahan menyebabkan beberapa kerugian, yakni kerugian dalam
bentuk berkurangnya lahan, konflik social dan konflik ekologi. Pengurangan lahan dan
hutan adat menyebabkan masyarakat kehilangan sumber penghasilan. Konflik social yang
terjadi antara lain konflik horizontal antara masyarakat dengan perusahaan dalam bentuk
demonstrasi, penutupan pintu masuk perusahaan hingga pertentangan terbuka.
Sedangkan konflik Ekologi berupa kerusakan sumber daya alam di lingkungan perusahaan
(Suryanta, Jaka & Niendyawati, 2016).
Penelitian tentang konflik antara perkebunan kelapa sawit dengan masyarakat di
Kalimantan Tengah telah banyak dilakukan, di antaranya adalah penelitian konflik antara
perusahaan perkebunan dengan masyarakat di daerah daerah aliran sungai Seruyan.
Penelitian ini menemukan bahwa selain konflik social, konflik antara perusahan dengan
masyarakat adat juga menimbulkan konflik berkaitan dengan sumberdaya alam, yakni
berkurangnya debit air danau yang menjadi sumber pencaharian masyarakat (Suryanta,
Jaka & Niendyawati, 2016).
Imam Syafi’i (2016) dalam tulisannya tentang refleksi konflik agrarian di Kab.
Kotawaringin Timur menemukan bahwa sebagian konflik lahan disebabkan oleh adanya
tumpeng tindih kewenangan dan kebijakan yang terajadi pada level pusat sampai level
daerah yang memunculnya bermacam-macam pelanggaran hukum, diantaranya
pemalsuan dokumen, kriminalisasi, pengrusakan fasilitas. Pada penelitian ini, Syafi’I juga
menemukan bahwa negara (pemerintah) cenderung mempermudah proses perluasan
lahan bagi perusahaan perkebunan. (Syafi’i, 2016)

6
Ice Wulansari (2017), dalam penelitiannya tentang perkembangan perkebunan
kelapa sawit di Kab. Pulang Pisau, Kalimantan Tengah memperlihatkan bahwa terjadi
resistensi masyarakat desa Tanjung Pusaka. Penolakan masyarakat terhadap perkebunan
sawit ini disebabkan karena masyarakat menganggap industry kelapa sawit hanya
berfokus pada motif ekonomi semata, tanpa mempertimbangkan aspek social dan
lingkungan (Wulansari, 2017).
Sementara dalam hal konflik plasma, menurut Andanni (2015), salah satu sebab
konflik adalah adanya perbedaan tafsir antara masyatakat dengan perusahaan mengenai
Permentan Nomor 26 Tahun 2007 khususnya pasal 11 ayat 1 yang mengakibatkan
perbedaan pandangan dalam menentukan luas lahan (Andanni et al., 2015). Penelitian
Pocaji menunjukkan hanya 19% dari konflik yang dapat diselesaikan dan dimenangkan
oleh Masyarakat. Pada beberapa kasus yang dinyatakan selesai, keluhan masyarakat dapat
diselesaikan dalam waktu yang sangat lama, yakni 8 tahun (Yuliana et al., 2020).
Berbagai penelitian yang telah dilakukan menunjukkan banyaknya konflik antara
perusahaan perkebunan dengan masyarakat dimana perusahaan secara dominan
memenangkan konflik tersebut.

C. TUJUAN
Kajian ini merupakan penelitian kepustakaan (Library Research), yakni
serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data Pustaka.
Penelitian ini memanfaatakan data dari sumber kepustakaan untuk memperoleh data-data
penelitian yang selanjutnya digunakan untuk memperoleh gambaran utuh tentang
permasalahan- permasalahan yang diteliti (Zed, Mestika, 2008). Adapun pengambilan data
menggunakan library research di mana data primernya adalah buku Antonio Gramsci yang
membahas dominasi dan hegemoni yang terjadi antar kelas social dalam suatu
masyarakat, jurnal dan penulisan ilmiah lain yang relevan, serta data laporan kasus konflik
antara perusahaan dengan masyarakat di Kalimanan Tengah dari aliansi penelitian
lapangan yang dilakukan secara bersama-sama oleh Universitas Andalas, KITLV Leiden,
Universitas Wageningen serta enam LSM Indonesia (Epistema Institute, HuMa, Lembaga
Gemawan, Scale Up, Walhi Sumatra Barat dan Walhi Kalimantan Tengah).
Penelitian ini bertujuan untuk mencari bentuk hegemoni yang dilakukan oleh
perusahaan perkebunan dalam menyelesaikan konflik dan menempatkan mereka sebagai
status quo terhadap masyarakat sekitar.

7
Resolusi Konflik Masyarakat Kalimantan Tengah…

BAB II

PEMBAHASAN

A. TEORI HEGEMONI ANTONIO GRAMSCI

1).Istilah hegemoni dikenalkan oleh Antonio Gramsci (1891-1937)


seorang pemikir sosial yang berasal dari Italia. Pemikiran Gramsci sangat dipengaruhi
oleh pemikian Karl Marx dan Lenin. Gramschi mengembangkan pemikirannya dengan
membangun asumsi- asumsi asal-usul material terciptanya kelas social. Gramsci juga
membuat asumsi tentang peranan perjuangan kelas dan kesadaran kelas. Selanjutnya
Gramshi mengekplorasi system hegemoni yang dilakukan kaum borjuis terhadap kaum
sipil dengan mendasarkan konsep German ideology yang disusun oleh Karl Marx dan
Frederich Engels (Patria,Reza et al., 1999). Istilah hegemoni yang diperkenalkan Gramsci
diserap dari kata “eugemonia” yang berasal dari bahasa Yunani kuno. Istilah eugemonia
mengacu kepada praktik dominasi yang dilakukan oleh negara-negara kota (polis city/city
states) terhadap negara-negara lain di sekitarnya. Contoh praktik hegemoni ini adalah
praktik dominasi negara kota Athena dan
Sparta terhadap negara-negara kota sekitarnya (Patria,Reza et al., 1999).
2).Pengertian hegemoni secara istilah sebagaimana dijelaskan oleh Renato Holub
(Holub, Renato, 1992) diartikan sebagai :
“Hegemony is a concept that helps to explain, on the one hand, how state apparatuses,
or political society—supported by and supporting a specific economic group- can
coerce, via its institutions of law, police, army and prisons, the various strata of society
into consenting to the status quo”. Perjalanan politik Gramsci dimulai ketika Gramsci tiba
di Turin yang saat itu telah menjadi pusat perkembangan kapitalisme di Italia. Gramsi
mulai tertarik dengan dua tokoh yang sangat berpengaruh pada generasi muda saat itu
adalah Salvemini dan Mussolini, pemimpin sayap kiri partai yang diakui dan editor surat
kabar Avanti. Ia ikut berjuang bersama Salvemini yang berapi-api melawan
ketidakpedulian para pemimpin kelas pekerja reformis terhadap penderitaan rakyat
Petani selatan. Gramschi juga menolak keras ekspansi imperialis ke Libya pada tahun
1912 (Gramsci, 1999).
Perkembangan intelektual Garmsci dimulai dengan keterlibatan Gramsci menjadi
anggota dan pengurus kongres Partai Sosialis. Karena perlawanan dan penolakannya
terhadap penguasa, Gramsci ditangkap dan divonis bersalah pada bulan November 1924
dan dihukum penjara selama 20 tahun dan berpindah dari beberapa penjara, dari Milan
sampai dengan dipindahkan ke penjara khusus tahanan di Turin (Patria, Reza et al., 1999).
Selama dalam penjara inilah Gramsci mulai melakukan refleksi mendalam terhadap gejala

8
social Italia dan mulai menerjemahkan buku-buku Karl Marx, Lenin filosof-filosof Marxis
lain. Bacaan Gramsci terhadap filsafat Karl Marx inilah yang membentuk pemikiran
filsafat, politik dan ekonomi (Patria,Reza et al., 1999). Salah satu hasil perenungan Gramsci
atas pemikiran Lenin adalah kritikan Gramsci terhadap pandangan Lenin tentang
hegemoni.
Gramsci mengkritik pandangan Lenin tentang hegemoni. Lenin berpendapat
bahwa hegemoni adalah upaya, strrategi dan perlawanan yang harus dilakukan oleh
anggota kelas pekerja untuk mendapatkan dukungan dari mayoritas, sementara Gramsci
berpendapat bahwa hegemoni tidak hanya upaya yang dilakukan oleh kelas pekerja saja,
akan tetapi juga upaya yang dilakukan oleh kelas kapitalis dalam memperolah dominasi
terhadap kelas pekerja, negara serta upaya yang dilakukan untuk mempertahankan
kekuasaan tersebut (Gramsci, 1999).
Gramsci juga menolak konsep Lenin yang membatasi hegemoni sebagai aliansi
antar kelas atau kelompok kelas. Gramsci memperluas cakupan hegemoni dengan
memasukkan dimensi nasional kerakyatan. Artinya, hegemoni tidak hanya terjadi antar
kelas, tetapi bisa juga terjadi pada dimensi kepemimpinan nasional kerakyatan (Siswati,
2018).
Gramsci berpendapat bahwa hegemoni terjadi karena adanya kelompok yang
berkuasa dan kelompok yang dikuasai dengan adanya kesepakatan dari kelompok yang
didominasi. (Ali, 2017). Unsur kedua dalam hegemoni adalah adanya kesepakatan
(konsensus). Dalam konsep hegemoni Gramsci, hegemoni terbentuk melalui mekanisme
kesepakatan antar kelompok dan bukan disebabkan oleh penindasan suatu kelas
penguasa terhadap kelas yang dikuasai. Gramsci lebih menekankan praktik hegemoni
pada hakekatnya adalah upaya yang dilakukan oleh kelompok penguasa untuk
mengarahkan kelompok yang dikuasai agar memiliki penilaian dan cara pandang terhadap
persoalan social yang muncul dalam kerangka yang telah ditentukan oleh kelas penguasa
(Patria,Reza et al., 1999).

B. RESOLUSI KONFLIK LAHAN ANTARA PERUSAHAAN


PERKEBUNAN DENGAN MASYARAKAT DALAM TEORI
HEGEMONI.

Konflik lahan antara perusahaan perkebunan dengan masyarakat terjadi


merupakan dampak negative perluasan perkebunan kelapa sawit. Pocaji mencatat, selama
dua dekade terahir, terjadi sekitar 182 kali konflik antara perusahaan perkebunan kelapa

24

9
Resolusi Konflik Masyarakat Kalimantan Tengah…

sawit dengan masyarakat di Kalimantan Tengah dengan 79%-nya dimenangkan oleh


perusahaan (Yuliana et al., 2020).
Dominasi perusahaan dalam penyelesaian konflik ini dalam pandangan Gramsci
disebut sebegai hegemoni, di mana praktik hegemoni terjadi melalui pendekatan
dominasi, persetujuan dan kepemipinan moral intelektual. Hegemoni terjadi ketika
kelompok dominan berhasil mempengaruhi kelompok yang di dominasi untuk menerima
nilai-nilai moral dan politik, sedangkan kelompok yang didominasi menerima pengaruh
tersebut sebagai sesuatu yang wajar.(Syukur, 2019). Berdasarkan teori hegemoni Gramsci,
penelitian ini menemukan beberapa bentuk hegemoni yang dilakukan perusahaan dalam
menangani konflik antara perusahaan dengan masyarakat di Kalimantan Tengah sebagai
berikut :
1. Dominasi Kekuasaan
Bentuk dominasi yang dilakukan perusahaan dalam menyelesaikan konflik lahan
dengan masyarakat adalah dengan melibatkan negara sebagai sarana untuk mendominasi
masyarakat. Dalam menyelesaikan konflik dengan masyarakata, perusahaan berdalih
bahwa apa lahan yang disengeketakan dengan masyarakat telah memiliki ijin dari
pemerintah. Selain itu, perusahaan juga kerap melibatkan aparat negara untuk melindungi
wilayah konflik.
Salah satu peraturan negara yang dijadikan pelindung perusahaan adalah
Permentan No. 98 Tahun 2013 Tentang Pedoman Perizinan Usaha perkebunan revisi dari
Permentan No. 26 tahun 2007. Undang-Undang ini mengatur tentang peraturan perizinan
perkebunan. Apabila ada masyarakat yang mengajukan protes atau keberatan terhadap
pengusaan perkebunan atas lahan milik masyarakat, maka perusahaan berdalih bahwa
perusahaan telah mengantongi ijin dari negara dan tidak melanggar aturan.
Contoh kasus perijinan sebagai alasan penguasaan lahan adalah konflik yang
terjadi pada wilayah hutan adat Kinipan yang terjadi sejak tahun 2018. Pihak perusahaan
menggunakan alat berat untuk membuka perkebunan dan berdalih bahwa penggusuran
dan perambahan hutan tersebut dilakukan secara sah karena telah mangantongi izin
pelepasan hutan seluas 19.091 hektar dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(KLHK) melalui surat 1/I/PKH/PNBN/2015 pada 19 Maret 2015. Kemudian berdasarkan
Keputusan Menteri Agraria Dan Tata Ruang / Kepala Badan Pertananan Nasional

10
Resolusi Konflik Masyarakat Kalimantan Tengah

(ATR/BPN) Nomor 82/HGU/KEM-ATR/BPN/2017 seluas 9.435,2214 hektar (WALHI,


2020).
Pelibatan aparat lainnya adalah sering didapatinya aparat kepolisian yang menjaga
wilayah perkebunan dan menangkap masyarakat yang melakukan protes terhadap
penguasaan lahan oleh perusahaan. Pocaji mencatat, pada 10 tahun terahur, polisi telah
melakukan 272 kali penangkapan yang menyebabkan 76 orang terluka dan 4 orang
meninggal dunia (Yuliana et al., 2020).
Beberapa contoh penangkapan warga oleh aparat polisi antara lain penangkapan
terhadap ketua masyarakat adat Kinipan, Efendi Buhing pada tanggal 28 Agustus 2020
(Merdeka.Com, 2020), penangkapan 3 petani di kabupaten Kotawaringin Timur dengan
tuduhan pencurian buah sawit pada 10 Maret 2021. LBH Pakangkaraya menduga,
penangkapan ini terkait kasus konflik warga desa Penyang dan desa Tanah Putih dengan
salah satu perusahaan perkebunan (Radar Sampit, 2020). Kasus lainnya adalah
penangkapan 4 warga Tehang pada awal September 2019. Kasus ini diduga berhubungan
dengan konflik masyarakat dengan salah satu perusahaan Sawit (Berita Kalteng, 2019).
Perusahaan telah melakukan hegemoni melalui jalur dominasi, dengan
memanfaatkan alat negara untuk menekan dan mendominasi masyarakat. Pola dominasi
dengan pendekatan kekuasaan ini, biasanya membolehkan penggunaan kekerasan dalam
praktik dominasi. Pada ahirnya perusahaan telah menjadi kelas penguasa yang memiliki
kekuasaan dominan terhadap kelas subordinat, yakni masyarakat. Praktik ini sesuai
dengan pandangan Gramsci yang memandang bahwa awal mula hegemoni adalah
dominasi. Kelompok social tertentu dapat melakukan berbagai tindakan terhadap
kelompok lain, bahkan mampu membuat kelompok lain tersebut untuk melakukan sesuatu
sesuai dengan keinginan kelompok dominan apabila kelompok tersebut memilki
kekuasaan.

2. Kepemimpinan Intelektual dan Moral.


Perusahaan seringkali memanfaatkan ketokohan kepala desa/kapala adat dalam
menyelesaikan konflik dengan masyarakat. Perusahaan seringkali menjalin kesepakatan
dengan tokoh masyarakat seperti pimpinan adat atau kepala desa dalam hal penyelesaian
konflik tanpa melibatkan masyarakat (Yuliana et al., 2020). Para tokoh adat ataupun kepala
desa ini kemudian disimbolkan sebagai kaum intelektual dari masyarakat dan diharapkan

11
Resolusi Konflik Masyarakat Kalimantan Tengah…
bisa mempengaruhi masyakarat untuk secara sadar tidak menentang perusahaan dalam
kasus sengketa lahan.
Tokoh masyarakat atau kepala desa, adalah kelompok social yang suaranya
menjadi panutan bagi masyarakat desa. Keputusan dan sikap kepala desa atau tokoh
masyarakat biasanya dijadikan ukuran kebenaran dalam masyarakat. Kepercayaan
terhadap pemimpin ini, terutama dalam masyarakat tradisional masih sangat kuat.
3. Persetujuan.
Dalam menjalankan aktifitasnya, perusahaan senantiasa melibatkan masyarakat
sekitar dalam 3 hal; yakni : Corporate Social Responsibility (CSR), pemberian kebun plasma
untuk masyarakat dan juga pengangkatan warga local untuk menjadi karyawan pada
perusahaan.
Program CSR perusahaan biasanya diberikan untuk membantu kegiatan social dan
pembangunan di daerah sekitar. Sebagai contoh adalah kegiatan CSR yang dilakukan oleh
perusahaan perkebunan di Kab. Kotawaringin Barat yang meliputi kegiatan social budaya,
pemberdayaan Pendidikan, pemberdayaan Kesehatan, pelestarian lingkungan, perbaikan
infrastuktur dan pemberdayaan masyarakat (Sawit Sumbermas Sarana, 2020). Dana yang
disalurkan oleh perusahaan dalam program CSR juga beragam. Dalam laporannya, ada
beberapa perusahaan yang menyediakan dana CSR sampai angka 100 jutaan (Astiti &
Rahman, 2021). Selain sebagai kewajiban perusahaan terhadap Undang-undang, salah
satu fungsi CSR merupakan pendekatan yang efektif untuk meredam potensi konflik (Astiti
& Rahman, 2021). Begitu juga hasil penelitian terhadap CSR pada salah satu perusahaan di

12
Resolusi Konflik Masyarakat Kalimantan Tengah

Kab. Lamandau di mana masyarakat menganggap CSR perusahaan berjalan dengan baik
dan berpandangan bahwa persoalan konflik yang terjadi adalah perusahaan dengan
masyarakat adalah persoalan personal (Yusuf et al., 2018).
Dalam program plasma, sesuai dengan peraturan pemerintah, perusahaan
mengalokasikan 20% dari luasan lahan dengan peruntukan bagi masyarakat sekitar
perusahaan. Data pada dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Tengah menyebutkan
bahwa sampai dengan tahun 2019, jumlah luasan kebun plasma dan kemitraan di
Kalimantan
Tengah (Kalteng) telah mencapai total 190.685 hektare (Borneonews, 2018).
Hal-hal yang dilakukan oleh perusahaan terhadap masyarakat sekitar telah
menciptakan hubungan ketergantungan antara masyarakat dengan perusahaan.
Masyarakat bergantung kepada perusahaan dalam hal penyediaan akses ekonomi, dimana
keberadaan perkebunan telah mampu mengurangi angka kemiskinan masyarakat di
sekitar (Bintariningtyas & Hapsari Juwita, 2021). Ketergantungan suatu kelas terhadap
kelas yang lain akan menyebabkan adanya hegemoni dari kelas yang dijadikan gantungan.
Dengan fakta bahwa perusahaan telah memberikan sumber daya ekonomi, dalam
alam pikiran masyarakat tertanam bahwa perusahaan adalah pemimpin. Perusahaan
adalah segalanya bagi masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa hegemoni kelas pemilik
modal (perusahaan) tidak muncul karena berdasarkan kekuatan ekonomi dan kekuatan
politik dari pemilik modal, akan tetapi muncul karena adanya system nilai dan keyakinan
pada masyarakat bahwa apa yang dilkukan oleh perusahaan adalah sesuatu yang wajar
dan dianggap benar.

C. TINGKAT HEGEMONI

Gramsci mengelompokkan tingkatan hegemoni pada tiga tingkatan, yaitu tingkatan


hegemoni total (integral), tingkatan hegemoni merosot (decadent) dan tingkat hegemoni
minimum (Patria, Reza et al., 1999). Tingkat hegemoni total (integral), adalah hegemoni
yang dicirikan adanya tingkat kepatuhan kelompok yang didominasi secara hampir total.
Dalam hegemoni total, terjadi kesatuan nilai dan tingkat intelektual yang kokoh yang
ditunjukkan adanya hubungan antara kelompok penguasa dan yang dikuasai secara
organis. Dalam hubungan antara kelompok penguasa dan yang dikuasai tidak terjadi
pertentangan yang berarti, baik pertentangan secara social maupun pertentangan dalam
pemahaman.
Pada tingkat hegemoni yang merosot (decadent), terdapat potensi konflik dan
disintegrasi yang sewaktu-waktu dapat terjadi antar kelompok social. Secara umum,

28

13
Resolusi Konflik Masyarakat Kalimantan Tengah

hubungan antara kelompok penguasa dan yang dikuasai sudah sesuai dengan tujuan dan
sasarannya, akan tetapi dalam taraf pemikiran dan kesadaran masyarakat, tidak sepenuhnya
sama dengan pemikiran dan system nilai yang dimiliki oleh kelompok penguasa. Hal ini
mengakibatkan selalu ada potensi konflik antar kelompok.
Sedangkan hegemoni minimum adalah hegemoni yang didasarkan pada kesamaan
ideologi antara pemimpin politik, pemimpin ekonomi atau pemimpin intelektual dengan
kelompok social di bawahnya. Kelompok Hegemoni pada tingkat ini hanya berpusat pada
kelompok social yang ada dibawahnya tanpa melibatkan kelompok lain yang berada diluar
kelompoknya. Kelompok dominan pada tingkat hegemoni ini mengabaikan kepentingan dan
aspirasi dari kelompok lain di luar kelompoknya (Patria,Reza et al., 1999).
Tingkatan hegemoni yang dilakukan perusahaan dalam kasus sengketa lahan berada
pada tingkatan hegemoni yang merosot (decadent hegemony). Tingkatan hegemoni ini
dapat dilihat dari terjalinnya hubungan antara perusahaan dengan masyarakat meskipun
kelihatannya terjalin dengan baik, tetapi hanya beberapa kelompok saja yang memiliki
hubungan yang baik dengan perusahaan. Interaksi antara masyarakat dengan perusahaan
berpotensi untuk terjadi konflik sewaktu-waktu. Bentuk hubungan ini menunjukkan tidak
adanya hubungan yang kuat antara kelas yang dikuasai dengan kelas yang menguasai.
Beberapa kelompok Masyarakat secara aktif dalam mendukung kegiatan perusahaan
disebabkan adanya dominasi perusahaan dengan mengerahkan aparatur negara dalam
menyelesaikan konflik, adanya pengaruh tokoh masyarakat yang menjadi perwakilan
perusahaan dan terutama karena ketergantungan mereka terhadap sumber daya ekonomi.
Hegemoni yang dilakukan perusahaan ini, terdapat potensi konflik dan disintegrasi
yang sewaktu-waktu dapat terjadi antar perusahaan dengan masyarakat. Secara umum,
hubungan antara perusahaan dan masyarakat telah sesuai dengan tujuan dan sasaran yang
ditetapkan oleh perusahaan, akan tetapi dalam taraf pemikiran dan kesadaran masyarakat,
tidak sepenuhnya sama dengan pemikiran dan system nilai yang dimiliki oleh perusahaan.
Hal ini mengakibatkan selalu ada potensi konflik antar kelompok masyarakat dengan
perusahaan. Analisa terhadap dominasi perusahaan dalam konflik lahan tidak menemukan
tingkatan hegemoni total maupun hegemoni minimum.

14
Resolusi Konflik Masyarakat Kalimantan Tengah

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Bentuk hegemoni yang dilakukan perusahaan sawit terhadap masyarakat dalam


penyelesaian lahan di Kalimantan Tangah adalah bentuk dominasi, kepemimpin
intelektual dan moral, serta ketergantungan atas akses ekomoni yang menimbulkan
persetujuan. Bentuk hegemoni dominasi dilakukan dengan cara melibatkan aparat negara
dalam penyelesaian konflik antara perusahaan dengan masyarakat. Bentuk persetujuan
dilakukan dengan cara penunjukan tokoh masyarakat dan kepala desa menjadi bagian dari
perusahaan dan mensosialisasikan kebijakan perusahann kepada masyarakat sekitar.
Persetujuan lainnya didapatkan dengan cara memberikan kesempatana kepada masyarakat
sekitar untuk mendapatkan akses ekonomi dari perusahaan.
Tingkatan hegemoni yang dilakukan perusahaan terhadap masyarakat di Kalimantan
Tengah berada pada tingkatan hegemoni yang merosot (decadent hegemony). Fenomena ini
dapat dilihat dari hubungan yang terjalin antara perusahaan dengan masyarakat tidak
terjalin secara kuat dan sewaktu-waktu dapat renggang dan bahkan berpotensi terjadi
konflik.

B. SARAN
Perkembangan perkebunan kelapa sawit yang sangat pesat memiliki dampak positif
dan dampak negatif. Salah satu dampak negativenya adalah alih fungsi hutan dan lahan
masyarakat menjadi lahan perkebunan kelapa sawit yang dimiliki oleh perusahaan. Dalam
proses alih fungsi tersebut, muncul berbagai konflik penguasaan lahan.
Tokoh masyarakat atau kepala desa yang menjadi jurubicara perusahaan dalam
menangani konflik akan sangat efektif untuk merubah pola pikir masyarakat. Ketika tokoh
yang selama ini mereka percaya mengeluarkan pernyataan tentang konflik perusahaan,
maka akan muncul kesadaran dalam pikiran masyarakat bahwa apa yang dilakukan
perusahaan adalah benar.
Kepemimpinan moral tokoh masyarakat atau pemimpin local adalah langkah dan
syarat utama untuk memenangkan dominasi perusahaan terhadap masyarakat. Munculnya
kepemimpinan moral dari tokoh intelektual akan mendorong posisi kelompok dominan
menuju pucak piramida kekuasaan. Dominasi yang didapatkan oleh perusahaan dalam kasus
ini adalah dominasi yang didapatkan karena adanya kesepakatan secara tidak langsung dari
masyarakat dengan berdasarkan apek ketokohan dan kepemimpinan moral.
15
Resolusi Konflik Masyarakat Kalimantan Tengah…

16
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Z. Z. (2017). Pemikiran Hegemoni Antonio Gramsci (1891- 1937) dI Italia.


JURNAL YAQZHAN: Analisis Filsafat, Agama Dan Kemanusiaan, 3(2), 63.
https://doi.org/10.24235/jy.v3i2.5482
Andanni, J. T., Adnan, M., & Widayati, W. (2015). Konflik Pengelolaan Lahan Plasma
Sawit Di Kabupaten Seruyan Tahun 2008—2013. Journal of Politic and
Government Studies, 5(4), 351–360.
Astiti, N. N. A., & Rahman, G. (2021). Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Di
Kalimantan Tengah (Penerapan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
Tentang Perseroan Terbatas Pada Pt. Globalindo Agung Lestari)). Jurnal Ilmu
Hukum Tambun Bungai, 6(2), 144–169.
Badan Pusat Statistik. (1978,
9947).
https://www.bps.go.id/publication/2020/11/30/36cba77a73179202def4ba14/stati
stik-kelapa-sawit-indonesia-2019.html
Badan Pusat Statistik. (2021). Keadaan Ketenagakerjaan Indonesia Februari 2021
(37/05/Th. XXIV, 05 Mei 2021; p. 28). Badan Pusat
Statistik.
https://www.bps.go.id/pressrelease/2021/05/05/1815/februari-2021--tingkat-
pengangguran-terbuka--tpt--sebesar-6-26-persen.html
Berita Kalteng. (2019, March 9). Sekda Kotim Tindaklanjuti Kasus 4 Warga Desa Tehang
– BeritaKalteng.Com. https://beritakalteng.com/2019/09/03/sekda-
kotim- tindaklanjuti-kasus-4-warga-desa-tehang/
Bintariningtyas, S., & Hapsari Juwita, A. (2021). Perkebunan Kelapa Sawit dalam
Pengentasan Kemiskinan di Provinsi Kalimantan Tengah. FORUM EKONOMI,
2 (2021).
Borneonews. (2018, April 27). Jumlah Plasma dan Kemitraan di Kalteng Seluas
190.685 Hektare. https://www.borneonews.co.id/berita/92485-jumlah-plasma-
dan- kemitraan-di-kalteng-seluas-190-685-hektare

17
Resolusi Konflik Masyarakat Kalimantan Tengah…

Gramsci, A. (1999). Selections From The Prion Notebook Of Antonio Gramsci.


ElecBook, The Electric Book Co.
Holub, Renato. (1992). Antonio Gramsci ; Beyond Marxism and Postmodernism.
Indexmundi. (2021). Palm Oil Production by Country in 1000 MT - Country Rankings.
https://www.indexmundi.com/agriculture/?
commodity=palm- oil&graph=production
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia. (2021). Industri
Kelapa Sawit Indonesia: Menjaga Keseimbangan Aspek Sosial, Ekonomi, dan
Lingkungan - Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik
Indonesia. https://www.ekon.go.id/publikasi/detail/2921/industri-kelapa-sawit-
indonesia-menjaga-keseimbangan-aspek-sosial-ekonomi-dan-lingkungan
Kementerian Pertanian. (2020). Buku Statsistik Perkebunan 2019-2021. Google Docs.
https://drive.google.com/file/d/1ZpXeZogAQYfClNBOgVLhYi8X_vujJdHx/view?
usp=sharing&usp=embed_facebook
Merdeka.Com. (2020, August 27). Polemik Penangkapan Ketua Adat Kinipan Kalteng |
merdeka.com. https://www.merdeka.com/peristiwa/polemik-penangkapan-ketua-
adat-kinipan-kalteng.html
Patria,Reza, Arief,Andi, & Prasetyo, Eko. (1999). Antonio Gramsci: Negara dan
Hegemoni (1999th ed.). Pustaka Pelajar.
Rachman, N. F. (2013). Rantai Penjelas Konflik-Konflik Agraria Yang Kronis, Sistemik,
Dan Meluas Di Indonesia. BHUMI: Jurnal Agraria Dan Pertanahan, 37, 1–14.
https://doi.org/10.31292/jb.v0i37.148
Radar Sampit. (2020, October 3). Tiga Warga Kotim dibawa ke
Polda. https://sampit.prokal.co/read/news/27552-tiga-warga-kotim-dibawa-ke-
polda.html
Sawit Sumbermas Sarana. (2020). Laporan Tahunan CSR Tahun 2020 PT. Sawit
Sumbermas Sarana (Annual Report No. 2020). PT. Sawit Sumbermas Sarana.
https://ssms.co.id/uploads/2021/05/Anual-Report-CSR-20201621478884.pdf
Setiawan, E. N., Maryudi, A., Purwanto, R. H., & Lele, G. (2017). Konflik Tata Ruang
Kehutanan Dengan Tata Ruang Wilayah (Studi Kasus Penggunaan Kawasan
Hutan Tidak Prosedural Untuk Perkebunan Sawit Provinsi Kalimantan Tengah).
BHUMI: Jurnal Agraria Dan Pertanahan, 3(1), 51–66.
https://doi.org/10.31292/jb.v3i1.226
Siswati, E. (2018). Anatomi Teori Hegemoni Amtonio Gramsci. Translitera : Jurnal
Kajian Komunikasi Dan Studi Media, 5(1), 11–33.
https://doi.org/10.35457/translitera.v5i1.355
Suryanta, Jaka, & Niendyawati. (2016). Bencana Sosial Masyarakat Adat di Hilir Das
Seruyan Dan Perubahan Iklim Lokal (Studi Kasus Di Provinsi Kalimantan
Tengah). Muhammadiyah University Press, 04-06–2016.
Syafi’i, I. (2016). Konflik Agraria Di Indonesia: Catatan Reflektif Konflik Perkebunan
Sawit Di Kotawaringin Timur. Jurnal Masyarakat dan Budaya, 18(3), 415–432.
https://doi.org/10.14203/jmb.v18i3.572
Syukur, M. (2019). Praktik Hegemoni Mahasiswa Senior Terhadap Junior Di Dalam
Kehidupan Kampus. Society, 7(2), 71–82.

18
https://doi.org/10.33019/society.v7i2.112
Tempo. (2020, August 27). AMAN: Setelah Effendi Buhing Ditangkap, Masyarakat Adat
Kinipan Diintimidasi—Nasional
Tempo.co.
https://nasional.tempo.co/read/1379997/aman-setelah-effendi-buhing-
ditangkap-masyarakat-adat-kinipan-diintimidasi
WALHI. (2020, August 27). Hentikan Perampasan Wilayah Adat dan Kriminalisasi
Masyarakat Adat Laman Kinipan! WALHI. https://www.walhi.or.id/hentikan-
perampasan-wilayah-adat-dan-kriminalisasi-masyarakat-adat-laman-kinipan
Wulansari, I. (2017). Industrialisasi Minyak Sawit Di Indonesia: Resistensi Warga
Dusun Tanjung Pusaka, Kalimantan Tengah Terhadap Industri Sawit. Sodality:
Jurnal Sosiologi Pedesaan, 5(1), Article 1.
https://doi.org/10.22500/sodality.v5i1.16267 Yuliana, Waldianto, Wendi, Adriana,
Rebekha, & Dhiahulhaq, Ahmad. (2020). Menyelesaikan Konflik Kelapa Sawit Di
Kalimantan Tengah: Evaluasi Terhadap Efektivitas Berbagai Mekanisme Resolusi
Konflik (4 Tahun 2020; p. 26). Pocaji.
https://www.kitlv.nl/wp-content/uploads/2021/01/
Kalteng_Indonesia_Policy- report-POCAJI-final.pdf
Yusuf, M., Bernandianto, R. B., Yopiannor, F. Z., & Jailani, M. (2018). Kajian
Optimalisasi Pemanfaatan Csr Untuk Kegiatan Produktif Dalam Upaya
Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Di Provinsi Kalimantan Tengah.
Restorica: Jurnal Ilmiah Ilmu Administrasi Negara Dan Ilmu Komunikasi, 4(1),
30–36. https://doi.org/10.33084/restorica.v4i1.978
Zakie, M. (2016). Konflik Agraria Yang Tak Pernah Reda. Legality : Jurnal Ilmiah
Hukum, 24(1), 40–55.
Zed, Mestika. (2008). Metode Penelitian Kepustakaan (Januari 2008).

19

Anda mungkin juga menyukai