Anda di halaman 1dari 14

1.

Masjid Sunan Ampel

Sejarah Singkat Masjid Agung Sunan Ampel (MASA) Surabaya

Masjid Agung Sunan Ampel Lama tampak dari arah timur


Surabaya, PecintaUlama.ID
Sejarah Masjid Agung Sunan Ampel
Masjid adalah bangunan yang sangat dikeramatkan oleh seluruh umat Islam di seluruh
dunia, karena dalam syariat Islam masjid memiliki dua fungsi utama. Pertama, sebagai
pusat ibadah sholat, dzikir dan berdoa, sebagai suatu upaya untuk mendekatkan dir
kepada Allah secara langsung. Kedua, sebagai pusat pengembangan ibadah sosial. Inti
dari dua fungsi tersebut adalah bahwa masjid merupakan pusat tempat pembinaan
umat Islam secara fisik maupun mental.

Dalam sejarah Islam telah tercatat bahwa masjid adalah tempat pertama kali yang
diusulkan oleh Rasulullah untuk membangun masyarakat islam. Pada zaman Rasulullah
masjid berfungsi sebagai tempat ibadah, tempat mensucikan jiwa, tempat membaca
dan mengajarkan Al-Qur'an, tempat berkonsultasi dan bersilaturrahim, tempat
bermusyawarah, dan masih banyak lagi fungsi lain masjid pada zaman Rasulullah.

Masjid Sunan Ampel Surabaya Baru


Masjid Ampel didirikan pada tahun 1421 oleh Raden Ahmad Rahmatullah atau lebih
dikenal dengan Sunan Ampel dengan dibantu kedua sahabat karibnya, Mbah Sholeh dan
Mbah Sonhaji dan para santrinya di atas sebidang tanah di Desa Ampel (sekarang
Kelurahan Ampel) Kecamatan Semampir, sekitar 2 kilometer ke arah Timur Jembatan
Merah. Selain mendirikan Masjid Ampel, Sunan Ampel juga mendirikan Pondok
Pesantren Ampel. Namun sayangnya, ihwal kapan selesainya pembangunan Masjid
Ampel ini, tidak ada catatan tertulis yang menyebutkannya.
Soko Guru Masjid Ampel
Masjid Sunan Ampel yang dibangun dengan gaya arsitektur Jawa kuno dan nuansa Arab
Islami. Masjid ini masih dipengaruhi dengan alkuturisasi dari budaya lokal dan Hindu-
Budha lewat arsitektur bangunannya. Di masjid inilah saat itu sebagai tempat
berkumpulnya para ulama dan wali dari berbagai daerah di Jawa untuk membicarakan
ajaran Islam sekaligus membahas metode penyebarannya di Pulau Jawa.

Pintu Majis Agung Sunan Ampel


Masjid Ampel berbahan kayu jati yang didatangkan dari beberapa wilayah di Jawa
Timur dan diyakini memiiki 'karomah'. Seperti disebut dalam cerita masyarakat, saat
pasukan asing menyerang Surabaya dengan senjata berat dari berbagai arah dan
menghancurkan kota Surabaya namun tidak menimbulkan kerusakan sedikitpun pada
Masjid Ampel bahkan seolah tidak terusik.

Sunan Ampel adalah salah satu wali songo yang berjasa menyebarkan agama Islam di
tanah Jawa. Nama aslinya adalah Raden Ahmad Rahmatullah merupakan seorang figur
yang alim, bijak, berwibawa dan banyak mendapat simpati dari masyarakat. Sunan
Ampel diperkirakan lahir tahun 1401 di Champa, Kamboja.

Logo Masjid Agung Sunan Ampel


Sejarah mencatat, Sunan Ampel adalah keturunan dari Ibrahim Asmarakandi. Salah
satu Raja Champa yang yang kemudian menetap di Tuban, Jawa Timur. Saat berusia
20 tahun, Raden Rachmat memutuskan untuk pindah ke Tanah Jawa, tepatnya di
Surabaya yang ketika itu merupakan daerah kekuasaan Majapahit di bawah Raja
Brawijaya yang dipercaya sudah beragama Islam ketika berusia lanjut itu. Di usianya
20 tahun, Sunan Ampel sudah dikenal pandai dalam ilmu agama, bahkan dipercaya
Raja Brawijaya untuk berdakwah dan menyebarkan agama Islam di Surabaya.

Tugas khususnya adalah untuk mendidik moral para bangsawan dan kawula Majapahit.
Untuk itu Raden Rachmat dipinjami oleh Raja Majapahit berupa tanah seluas 12 hektar
di daerah Ampel Denta atau Surabaya untuk syiar agama Islam. Karena tempatnya
itulah, Raden Rachmat kemudian akrab dipanggil Sunan Ampel. Sunan Ampel
memimpin dakwah di Surabaya dan bersama masyarakat sekitar membangun masjid
untuk media dakwahnya yang kini dikenal sebagai Masjid Ampel. Di tempat inilah
Sunan Ampel menghabiskan masa hidupnya hingga wafat tahun 1481 dan makamnya
terletak di sebelah kanan depan masjid Ampel.

Penerus pengelola keberadaan Masjid Ampel ini sampai sekarang masih belum jelas.
Secara formal, Masjid Ampel ini ditangani nadzir yang baru dibentuk sekitar awal
tahun 1970-an. Tidak ada catatan yang jelas siapa Nadlir dan Takmir pertama Masjid
Agung Sunan Ampel akan tetapi yang jelas saat KH Nawawi Muhammad menjadi Nadlir
sekaligus Takmir kemajuan Masjid Agung Sunan Ampel pesat sekali baik pembangunan
infrastruktur hingga dakwah, terbukti dengan berdirinya Lembaga Pengajaran Bahasa
Arab Masjid Agung Sunan Ampel atau yang biasa disingkat dengan LPBA MASA. Selain
itu ada pula perluasan Masjid menjadi Masjid Baru (Masjid dekat parkiran barat). KH
Nawawi Muhammad menjabat hingga beliau Wafat yaitu hingga tahun 1998.
Sepeninggal KH Nawawi Muhammad (1998) hingga sekarang ini nadzir Masjid Ampel
belum resmi dibentuk. Yang ada sekarang adalah pelanjut nadzir yang dijabat oleh KH
Ubaidilah. Adapun Ketua Takmir Masjid Ampel adalah, KH Mohammad Azmi Nawawi
yang disahkan oleh KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur, ketua PBNU saat itu)
Dokumen Masjid Agung Sunan Ampel yang Ditandatangani oleh Gus Dur
Tapi sekarang seperti lazimnya masjid-masjid besar, Masjid Ampel selalu dijaga dan
dirawat kebersihannya. Apalagi, keberadaan Masjid Ampel ini terbilang merupakan
peninggalan sejarah. Bukti-bukti peninggalan bersejarah Masjid Ampel yang sekarang
masih tampak terawat adalah, terdapat pada 16 tiang utama masjid yang terbuat dari
kayu jati. Ke-16 tiang tersebut, masing-masing panjangnya 17 meter dengan diameter
60 centi meter.

Pembangunan pertama kali masjid yang terletak di Desa Ampel (sekarang Kelurahan
Ampel) ini seluas 120 x 180 meter persegi. Berikutnya, dilakukan beberapa kali
renovasi hingga adanya sekarang ini. Namun, meski renovasi terus dilakukan, keaslian
bangunan masjid yang ditandai dengan ke-16 tiang utamanya itu tetap dipelihara dan
dirawat. Sebab, untuk ukuran teknologi di zaman awal abad 15 itu, bahwa
pengangkatan ke-16 tiang utama masjid dengan panjang 17 meter dan berdiameter 60
centi meter tersebut, kini masih dalam tahap penelitian. Kini, sehari-hari Masjid
Ampel hampir tak pernah sepi pengunjung dari dalam dan luar kota, bahkan luar
propinsi dan luar pulau. Kegiatan yang ada, selain shalat jama'ah 5 waktu secara rutin
dan pengajian, juga diramaikan dengan kegiatan belajar mendalami bahasa arab di
Lembaga Bahasa Arab program non-gelar dan S1 Sekolah Tinggi Ilmu Bahasa Arab dan
Dakwah Masjid Agung Sunan Ampel Surabaya yang berlokasi di gedung samping timur
masjid.

Wisata Religi
Saat ini Masjid Ampel merupakan salah satu daerah tujuan wisata religi di Surabaya.
Masjid ini dikelilingi oleh bangunan berarsitektur Eropa, Tiongkok dan Arab. Disamping
kiri halaman masjid Ampel, terdapat sebuah sumur yang diyakini merupakan sumur
yang bertuah, biasanya digunakan oleh mereka yang meyakininya untuk penguat janji
atau sumpah.

Peziarah Sunan Ampel Tampak Khusyuk Sewaktu Berziarah di Komplek Makam Sunan
Ampel
Tepat di belakang Masjid Ampel terdapat kompleks makam Sunan Ampel yang
meninggal pada 1481. Di kawasan ini ada yang menarik yaitu keberadaan Kampung
Arab yang sebagian besar ditempati keturunan Arab Yaman dan Cina yang sudah
menetap ratusan tahun untuk berdagang. Suasana kehidupan para pedagang ini nyaris
seperti suasana di Makkah.

Saat memasuki bulan Ramadhan, Masjid Agung Sunan Ampel menjadi salah satu
kawasan yang paling dicari. Selama Ramadhan, jumlah pengunjung meningkat dua kali
lipat dibanding hari biasa yang rata-rata mencapai 5.000 orang lebih. Pengunjung akan
semakin banyak pada saat 'maleman' (malam tanggal 21, 23, 25, 27, 29 Ramadhan)
dengan jumlah di atas 20 ribu orang, bahkan dapat mencapai 50 ribu orang lebih.
Tampak Para Peziarah Memborong Barang di Pasar Ampel
Selain niat ingin menjalankan salat dan dzikir di tempat yang tenang, banyak yang
datang untuk ziarah ke makam Sunan Ampel. Bahkan wisman yang datang juga ada
yang berasal dari China, Prancis, Belanda, Italia, Malaysia, Saudi Arabia, Jepang,
Brunei Darussalam, Filipina, Jerman, Yunani, Selandia Baru, Korea, dan Jepang.
Umumnya mereka melihat bentuk bangunan masjid Ampel yang dibangun sejak 1421,
kemudian mereka juga berziarah ke makam Sunan Ampel.

Artsitektur Masjid

Snouck Hurgronje
Snouck Hurgronje mengatakan bahwa masjid di Indonesia, kalau di bandingkan dengan
masjid di Negara Islam lainya sangat berbeda. Di Indonesia masjid merupakan pusat
pengaruh agama islam yang lebih besar terhadap kehidupan penduduk secara
keseluruhan. Agama Islam di Indonesia mempunyai corak masjid tersendiri.
Kemungkinan pulau jawa-lah yang merupakan daerah tempat corak ini tumbuh
pertama kali.6 Ciri-ciri masjid tersebut adalah mempunyai bentuk denah dasar
persegi, tidak berdiri di atas tiang seperti langgar di jawa, rumah tinggal di Indonesia
yang kuno, tajung di daerah sundadan bale di Banten, tetapi berdiri di atas pondasi
padat yang agak tinggi, mempunyai atap runcing, yang terdiri dari 2 sampai 5 tingkat
yang semakin mengecil ke atas, di sisi barat atau barat laut ada bangunan menonjol
untuk mihrab, di bagian depan dan kedua sisinya biasanya terdapat serambi terbuka
atau tertutup, halaman sekitar masjid dikelilingi tembok dan pintu gerbang.

Dari ciri-ciri tersebut masjid di Indonesia masih menggunakan bangunan Jawa Hindu-
Buda yanf sudah mendapat pengaruh Islam dengan beberapa perubahan, seperti Masjid
Sunan Ampel secara apik mengadaptasikan nilai-nilai Islam ke dalam arsitektur Jawa.
Gapuro (pintu gerbang), misalnya, yang konon berasal dari kata Arab ghafura yang
berarti ampunan, dibangun di area masjid untuk mengingatkan setiap Muslim agar
memohon ampunan sebelum memasuki kawasan suci dan mendekatkan diri kepada
Allah SWT.
2. Masjid Agung Demak

Masjid Agung Demak merupakan Masjid tertua di Pulau Jawa, didirikan Wali Sembilan atau
Wali Songo. Lokasi Masjid berada di pusat kota Demak, berjarak ± 26 km dari Kota
Semarang, ± 25 km dari Kabupaten Kudus, dan ± 35 km dari Kabupaten Jepara. Masjid ini
merupakan cikal bakal berdirinya kerajaan Glagahwangi Bintoro Demak.

Struktur bangunan Masjid mempunyai nilai historis seni bangun arsitektur tradisional khas
Indonesia. Wujudnya megah, anggun, indah, karismatik, mempesona dan berwibawa. Kini
Masjid Agung Demak difungsikan sebagai tempat peribadatan dan ziarah.

Penampilan atap limas piramida masjid ini menunjukkan Aqidah Islamiyah yang terdiri dari
tiga bagian ; (1) Iman, (2) Islam, dan (3) Ihsan. Di Masjid ini juga terdapat “Pintu Bledeg”,
bertuliskan “Condro Sengkolo”, yang berbunyi Nogo Mulat Saliro Wani, dengan makna
tahun 1388 Saka atau 1466 M, atau 887 H.
Raden Patah bersama Wali Songo mendirikan masjid yang karismatik ini dengan memberi
gambar serupa bulus. Ini merupakan candra sengkala memet, dengan arti Sarira Sunyi
Kiblating Gusti yang bermakna tahun 1401 Saka.

Gambar bulus terdiri atas kepala yang berarti angka 1 (satu), 4 kaki berarti angka 4 (empat),
badan bulus berarti angka 0 (nol), ekor bulus berarti angka 1 (satu). Dari simbol ini
diperkirakan Masjid Agung Demak berdiri pada tahun 1401 Saka. Masjid ini didirikan pada
tanggal 1 Shofar.

Soko Majapahit, tiang ini berjumlah delapan buah terletak di serambi masjid. Benda
purbakala hadiah dari Prabu Brawijaya V Raden Kertabumi ini diberikan kepada Raden
Fattah ketika menjadi Adipati Notoprojo di Glagahwangi Bintoro Demak 1475 M.
Pawestren, merupakan bangunan yang khusus dibuat untuk sholat jama’ah wanita. Dibuat
menggunakan konstruksi kayu jati, dengan bentuk atap limasan berupa sirap ( genteng dari
kayu ) kayu jati. Bangunan ini ditopang 8 tiang penyangga, di mana 4 diantaranya berhias
ukiran motif Majapahit. Luas lantai yang membujur ke kiblat berukuran 15 x 7,30 m.
Pawestren ini dibuat pada zaman K.R.M.A.Arya Purbaningrat, tercermin dari bentuk dan
motif ukiran Maksurah atau Kholwat yang menerakan tahun 1866 M.

Surya Majapahit , merupakan gambar hiasan segi 8 yang sangat populer pada masa
Majapahit. Para ahli purbakala menafsirkan gambar ini sebagai lambang Kerajaan Majapahit.
Surya Majapahit di Masjid Agung Demak dibuat pada tahun 1401 tahun Saka, atau 1479 M.
Maksurah , merupakan artefak bangunan berukir peninggalan masa lampau yang memiliki
nilai estetika unik dan indah. Karya seni ini mendominasi keindahan ruang dalam masjid.
Artefak Maksurah didalamnya berukirkan tulisan arab yang intinya memulyakan ke-Esa-an
Tuhan Allah SWT. Prasasti di dalam Maksurah menyebut angka tahun 1287 H atau 1866 M,
di mana saat itu Adipati Demak dijabat oleh K.R.M.A. Aryo Purbaningrat.

Pintu Bledheg, pintu yang konon diyakini mampu menangkal petir ini merupakan ciptaan Ki
Ageng Selo pada zaman Wali. Peninggalan ini merupakan prasasti “Condro Sengkolo” yang
berbunyi Nogo Mulat Saliro Wani, bermakna tahun 1388 Saka atau 1466 M, atau 887 H.
Mihrab atau tempat pengimaman, didalamnya terdapat hiasan gambar bulus yang
merupakan prasasti “Condro Sengkolo”. Prasasti ini memiliki arti“Sariro Sunyi Kiblating
Gusti”, bermakna tahun 1401 Saka atau 1479 M (hasil perumusan Ijtihad). Di depan Mihrab
sebelah kanan terdapat mimbar untuk khotbah. Benda arkeolog ini dikenal dengan sebutan
Dampar Kencono warisan dari Majapahit.

Dampar Kencana , benda arkeologi ini merupakan peninggalan Majapahit abad XV, sebagai
hadiah untuk Raden Fattah Sultan Demak I dari ayahanda Prabu Brawijaya ke V Raden
Kertabumi. Semenjak tahta Kasultanan Demak dipimpin Raden Trenggono 1521 – 1560 M,
secara universal wilayah Nusantara menyatu dan masyhur, seolah mengulang kejayaan Patih
Gajah Mada.
Soko Tatal / Soko Guru yang berjumlah 4 ini merupakan tiang utama penyangga kerangka
atap masjid yang bersusun tiga. Masing-masing soko guru memiliki tinggi 1630 cm. Formasi
tata letak empat soko guru dipancangkan pada empat penjuru mata angin.

Yang berada di barat laut didirikan Sunan Bonang, di barat daya karya Sunan Gunung Jati, di
bagian tenggara buatan Sunan Ampel, dan yang berdiri di timur laut karya Sunan Kalijaga
Demak. Masyarakat menamakan tiang buatan Sunan Kalijaga ini sebagai Soko Tatal.

Situs Kolam Wudlu . Situs ini dibangun mengiringi awal berdirinya Masjid Agung Demak
sebagai tempat untuk berwudlu. Hingga sekarang situs kolam ini masih berada di tempatnya
meskipun sudah tidak dipergunakan lagi.

Menara, bangunan sebagai tempat adzan ini didirikan dengan konstruksi baja. Pemilihan
konstruksi baja sekaligus menjawab tuntutan modernisasi abad XX. Pembangunan menara
diprakarsai para ulama, seperti KH.Abdurrohman (Penghulu Masjid Agung Demak),
R.Danoewijoto, H.Moh Taslim, H.Aboebakar, dan H.Moechsin.
Sejarah Masjid Agung Demak
Kerajaan Demak muncul pada akhir kejayaan Kerajaan Majapahit dengan raja
pertama Raden Patah yang diangkat oleh Wali Songo. Di samping sebagai pusat
pemerintahan, Demak sekaligus menjadi pusat penyebaran agama Islam di pulau
Jawa. Bukti peninggalan sejarah yang masih berdiri dengan kokoh sampai sekarang
yaitu Masjid Agung Demak.

Berita-berita tahun pembangunan masjid Agung Demak dapat dikaitkan dengan


pengangkatan Raden Patah sebagai Adipati Demak tahun tahun 1462 dan
pengangkatannya sebagai sultan Demak Bintara tahun 1478 M, yaitu pada waktu
Majapahit jatuh di tangan Prabu Girindrawardhana dari Kediri, atau tahun 1512 M.

Masjid Agung Demak tempo dulu. (Foto: Istimewa)


Khafid Kasri menyebutkan kalau Raden Patah menangguhkan penyerangan yang
kedua dan melanjutkan mendirikan masjid Kadipaten Demak bersama para Wali
Songo yang sudah dimulai pada tahun 1477 M/ 1399 S. 

Raden Patah menyesali kekhilafannya karena terburu hawa nafsu mengadakan


penyerangan kepada pasukan Girindrawadhana tanpa mengukur kekuatan pasukan
musuh. Akibatnya banyak korban yang gugur di pihak pasukan Bintaro.
Para wali menyarankan Raden Patah untuk melanjutkan membangun masjid Agung
Kadipaten yang belum selesai sambil menilai kekuatan musuh. Raden Patah menerima
saran melanjutkan pembangunan masjid Kadipaten Demak dan menunda merebut
tahta Majapahit yang dikuasai Prabu Girindrawardana, tetapi dengan syarat mustaka
masjid yang akan dibuat nanti, bentuknya runcing mirip angka satu arab (ahad).

Persyaratan itu sebagai lambang kejantanan bahwa Demak berani menghadapi


pasukan Majapahit. Kadipaten Bintaro mulai melanjutkan membangun masjid Agung
Kadipaten Bintaro yang telah dimulai tahun 1477 M dan selesai pada tahun 1479 M/
1401 S, dengan ditandai sengkala mamet atau gambar berbentuk bulus. 

Kerata Basa bulus yaitu “yen mlebu kudualus”. Sengkala memet bulus juga
mengandung makna bahwa Raden Patah sedang prihatin karena kerajaan ayahnya
direbut Girindrawadhana.

Arsitektur Masjid Agung Demak


Melansir dari pariwisata.demakkab.go.id, Masjid Agung Demak dahulunya adalah
tempat berkumpulnya Wali Songo yang menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa.
Inilah yang mendasari Demak mendapat sebutan kota wali. Raden Patah bersama
dengan Wali Songo membangun masjid ini dengan memberi gambar serupa bulus
yang merupakan candra sengkala memet yang bermakna Sirno Ilang kerthaning bumi.

Secara filosofis bulus menggambarkan tahun pembangunan Masjid Agung Demak


yaitu 1401 Saka. Bulus yang terdiri tas kepala memiliki makna 1, empat kaki bulus
bermakna 4, badan bulus yang bulat bermakna 0, dan ekor bulus bermakna 1. Hewan
bulus memang menjadi simbol Masjid Agung Demak, dibuktikan dengan adanya
berbagai ornamen bergambar bulus di dinding masjid.

Dari sisi arsitektur, Masjid Agung Demak adalah simbol arsitektur tradisional
Indonesia yang khas serta sarat makna. Tetap sederhana namun terkesan megah,
anggun, indah, dan sangat berkharismatik. Atap masjid berbentuk linmas yang
bersusun tiga merupakan gambaran akidah Islam yakni Iman, Islam, dan Ihsan.

Empat tiang utama di dalam masjid yang disebut Saka Tatal/Saka Guru dibuat
langsung oleh Wali Songo. Masing-masing di sebelah barat laut oleh Sunan Bonang,
sebelah barat daya oleh Sunan Gunung Jati, sebelah tenggara oleh Sunan Apel, dan
sebelah Timur Laut oleh Sunan Kalijaga.

Disebut tatal (serutan-serutan kayu), karena dibuat dari serpihan kayu yang ditata dan
dipadatkan, kemudian diikat sehingga membentuk tiang yang rapi. Pada tiang-tiang
penyangga masjid, termasuk soko guru, terdapat ukiran yang masih menampakkan
corak ukiran gaya Hindu yang indah bentuknya. Selain ukiran pada tiang, terdapat
pula ukiran-ukiran kayu yang ditempel pada dinding masjid yang berfungsi sebagai
hiasan.

Pintu Masjid Agung Demak yang dikenal dengan nama Pintu Bledheg dianggap
mampu menahan petir. Pintu yang dibuat oleh Ki Ageng Selo juga merupakan prasasti
Candra Sengkala yang berbunyi Nogo Mulat Sarira Wani, maknanya tahun 1388 Saka
atau 1466 Masehi. Bagian teras Masjid Agung Demak ditopang oleh delapan buah
tiang yang disebut Saka Majapahit.

Masjid Agung Demak. (Foto: Istimewa)


Dalam bangunan utama terdapat ruang utama, mihrab, dan serambi. Ruang utama
yang berfungsi sebagai tempat shalat jamaah, letaknya di bagian tengah bangunan.
Sedangkan, mihrab atau bangunan pengimaman berada di depan ruang utama,
berbentuk sebuah ruang kecil dan mengarah ke arah kiblat.
Di bagian belakang ruang utama terdapat serambi berukuran 31 x 15 meter yang
tiang-tiang penyangganya disebut Soko Majapahit yang berjumlah delapan buah itu
dan diperkirakan berasal dari kerajaan Majapahit.

Atap Masjid Agung Demak bertingkat tiga (atap tumpang tiga), menggunakan sirap
(atap yang terbuat dari kayu) dan berpuncak mustaka. Dinding masjid terbuat dari
batu dan kapur. Pintu masuk masjid diberi lukisan bercorak klasik. Seperti masjid-
masjid yang lain, Masjid Agung Demak dilengkapi dengan sebuah bedug.

Pawestren merupakan bangunan yang khusus dibuat untuk s alat jemaah wanita yang
dibangun menggunakan konstruksi kayu jati, dengan bentuk atap limasan berupa sirap
(genteng dari kayu) kayu jati.

Bangunan ini ditopang 8 tiang penyangga, 4 di antaranya berhias ukiran motif


Majapahit. Luas lantai yang membujur ke kiblat berukuran 15 x 7,30 m. Pawestren ini
dibuat pada zaman K.R.M.A. Arya Purbaningrat, tercermin dari bentuk dan motif
ukiran maksurah atau khalwat yang bertarikh tahun 1866 M.
3. Masjid Menara Kudus

4. Masjid Agung Cirebon

Anda mungkin juga menyukai