Anda di halaman 1dari 12

BAB II

TINJAUAN TEORI
A. Pengertian
Trauma maksilofasial adalah suatu ruda paksa mengenai tulang wajah dan jaringan
sekitarnya. Trauma pada maksilofasial dapat mencakup jaringan lunak dan jaringan
keras. Yang dimaksud jaringan lunak yang menutupi jaringan keras wajah. Sedangkan
yang dimaksud dengan jaringan keras adalah tulang wajah (Tania, 2010)
B. Etiologi
Penyebab trauma maksilofasial bervariasi, mencakup kecelakaan lalu lintas, kekerasa
fisik, terjatuh, trauma dan akibat senjata api. Kecelakaan lalu lintas adalah penyebab
utama trauma maksilofasial yang dapat menyebabkan kematian dan kecacatan pada orang
dewasa. (Tania, 2010)
C. Klasifikasi
Trauma maksiolfasial dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian yaitu: trauma jaringan
keras wajah dan trauma jaringan lunak wajah. Trauma jaringan lunak wajah biasanya
disebabkan oleh benda tajam, seperti pecahan kaca pada kecelakaan lalu lintas atau pisau
dan golok pada perkelahian. (Ahmad. 2012)
1. Trauma jaringan lunak wajah
Luka adalah kerusakan anatomi, diskontinuitas suatu jaringan oleh karena trauma dari
luar. Trauma pada jaringan lunak wajah dapat diklasifikasikan:
a. Berdasarkan jenis dan luka dan penyebabnya
a) Ekskoriasi
b) Luka sayat (vulnus scissum), luka robek (vulnus laceratum), luka tusuk
(vulnus punctum)
c) Luka bakar (combustio)
d) Luka tembak (vulnus sclopetorum)
b. Berdasarkan ada atau tidaknya kehilangan jaringan: skin avulsion dan skin loss
c. Dikaitkan dengan unit estetik, menguntungkan atau tidak menguntungkan,
dikaitkan dengan garis Langer
d. Berdasarkan Derajat kontaminasi
a) Luka bersih
b) Luka sayat elektif
c) Steril potensial terinfeksi
e. Luka bersih tercemar
a) Luka sayat elektif
b) Potensial terinfeksi: Spillage minimal, flora normal
c) Proses penyembuhan lebih lama
f. Luka tercemar
a) Potensial terinfeksi Spillage traktus elementarius
b) Luka trauma baru: laserasi, fraktur terbuka dan penetrasi
g. Luka kotor
a) Perforasi viscera, abses dan trauma lama
h. Klasifikasi lain:
a) Luka dengan pergeseran flap pedicle (trap door)
b) Luka tusukan (puncture)
c) Luka pada kulit yang berhubungan dengan mukosa secara langsung
2. Trauma jaringan keras wajah
Klasifikasi trauma pada jaringan keras wajah dilihat dari fraktur tulang yang terjadi
dan dalam hal ini tidak ada klasifikasi yang defenitif. Secara umum dilihat dari
terminologinya dapat diklasifikasikan berdasarkan (Padersen, 2007)
a. Dibedakan berdasarkan lokasi anatomis dan estetik
a) Bersifat single: fraktur frontal, orbita, nasal, zigomatikum, maxilla,
mandibula, gigi dan alveolar.
b) Bersifat multiple: fraktur kompleks zigoma, fronto nasal dan fraktur
kompleks mandibular
b. Dibedakan berdasarkan ke khususan
a) Fraktur dinding orbita
b) Fraktur Zygoma
D. Lokasi Fraktur Maksiofasial
1. Fraktur sepertiga bagian bawah wajah
Mandibula termasuk kedalam bagian sepertiga bawah wajah. Klasifikasi fraktur
berdasarkan istilah:
a. Simple atau Closed : merupakan fraktur yang tidak menimbulkan luka terbuka
keluar baik melewati kulit, mukosa, maupun membrane periodontal.
b. Compound atau Open : merupakan fraktur yang disertai dengan luka luar
termasuk kulit, mukosa, maupun membran periodontal , yang
berhubungan dengan patahnya tulang.
c. Comminuted : merupakan fraktur dimana tulang hancur menjadi serpihan.
d. Greenstick : merupakan fraktur dimana salah satu korteks tulang patah, satu sisi
lainnya melengkung. Fraktur ini biasa terjadi pada anak-anak.
e. Pathologic : merupakan fraktur yang terjadi sebagai luka yang cukup serius yang
dikarenakan adanya penyakit tulang.
f. Multiple : sebuah variasi dimana ada dua atau lebih garis fraktur pada tulang yang
sama tidak berhubungan satu sama lain.
g. Impacted : merupakan fraktur dimana salah satu fragmennya terdorong ke bagian
lainnya.
h. Atrophic : merupakan fraktur yang spontan yang terjadi akibat dari atropinya
tulang, biasanya pada tulang mandibula orang tua.
i. Indirect : merupakan titik fraktur yang jauh dari tempat dimana terjadinya luka.
j. Complicated atau Complex : merupakan fraktur dimana letaknya
berdekatan dengan jaringan lunak atau bagian-bagian lainnya, bisa, simple
atau compound

2. Fraktur sepertiga tengah wajah


Sebagian besar tulang tengah wajah dibentuk oleh tulang maksila, tulang palatina,
dan tulang nasal. Tulang-tulang maksila membantu dalam pembentukan tiga rongga
utama wajah : bagian atas rongga mulut dan nasal dan juga fosa orbital. Rongga
lainnya ialah sinus maksila. Sinus maksila membesar sesuai dengan
perkembangan maksila orang dewasa, banyaknya rongga di sepertiga tengah wajah
ini menyebabkan regio ini sangat rentan terkena fraktur.
Fraktur tulang sepertiga tengah wajah berdasarkan klasifikasi Le Fort :
a. 1 Fraktur Le Fort tipe I (Guerin’s)
Merupakan jenis fraktur yang paling sering terjadi, dan menyebabkan
terpisahnya prosesus alveolaris dan palatum durum. Fraktur ini menyebabkan
rahang atas mengalami pergerakan yang disebut floating jaw . Hipoestesia
nervus infraorbital kemungkinan terjadi akibat dari adanya edema.
Pemeriksaan klinis pada Le Fort I dilakukan dalam dua pemeriksaan yakni
secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan
dilakukan secara visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya
edema pada bibir atas dan ekimosis, sedangkan secara palpasi terdapat
bergeraknya lengkung rahang atas. Pada pemeriksaan intra oral, pemeriksaan
dilakukan secara visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya
open bite anterior. Sedangkan secara palpasi, terdapat rasa nyeri. Selanjutnya
pemeriksaan fraktur Le Fort I dilakukan dengan foto rontgen dengan proyeksi
wajah anterolateral.
b. Fraktur Le Fort tipe II
Biasa juga disebut dengan fraktur piramidal. Manifestasi dari fraktur ini ialah
edema di kedua periorbital, disertai juga dengan ekimosis, yang terlihat seperti
racoon sign. Biasanya ditemukan juga hipoesthesia di nervus infraorbital.
Kondisi ini dapat terjadi karena trauma langsung atau karena laju
perkembangan dari edema. Maloklusi biasanya tercatat dan tidak jarang
berhubungan dengan open bite. Pada fraktur ini kemungkinan terjadinya
deformitas pada saat palpasi di area infraorbital dan sutura nasofrontal.
Keluarnya cairan cerebrospinal dan epistaksis juga dapat ditemukan pada kasus
ini.
Pemeriksaan klinis pada Le Fort II dilakukan dalam dua pemeriksaan yakni
secara ekstra oral dan intra oral. Pada pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan
dilakukan dengan visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat pupil
cenderung sama tinggi, ekimosis dan edema periorbita. Sedangkan secara
palpasi terdapat tulang hidung bergerak bersama dengan wajah tengah, mati rasa
pada daerah kulit yang telah dipersarafi oleh nervus infraorbitalis. Pada
pemeriksaan intra oral, pemeriksaan dilakukan secara
c. Fraktur Le Fort III
Menggambarkan adanya disfungsi kraniofasial. Tanda yang terjadi pada kasus
fraktur ini ialah remuknya wajah serta adanya mobilitas tulang
zygomatikomaksila kompleks, disertai pula dengan keluarnya cairan
serebrospinal, edema, dan ekimosis periorbital.
3. Fraktur sepertiga atas wajah
Fraktur sepertiga atas wajah mengenai tulang frontalis, regio supra orbita, rima
orbita dan sinus frontalis. Fraktur tulang frontalis umumnya bersifat
depressed ke dalam atau hanya mempunyai garis fraktur linier yang dapat meluas ke
daerah wajah yang lain.
Pemeriksaan klinis pada Le Fort III dilakukan secara ekstra oral. Pada pemeriksaan
ekstra oral, pemeriksaan dilakukan secara visualisasi. Secara visual dapat terlihat
pembengkakan pada kelopak mata, ekimosis periorbital bilateral. Usaha untuk
melakukan tes mobilisasi pada maksila akan mengakibatkan pergeseran seluruh
bagian atas wajah. Pemeriksaan selanjutnya dilakukan dengan pemeriksaan foto
rontgen proyeksi wajah anterolateral, foto wajah polos, dan CT Scan (Ahmad, 2010)

E. Manifestasi Klinis
Gejala klinis dan tanda trauma maksilofsila dapat berupa (AriWibowo, 2008)
1. Dislokasi, berupa perubahan posisi yang menyebabkan maloklusi terutama pada
fraktur mandibula.
2. Pergerakan yang abnormal pada sisi fraktur
3. Rasa nyeri pada sisi fraktur
4. Perdarahan pada daerah fraktur yang dapat menyumbat saluran nafas.
5. Pembengkakan dan memar pada sisi fraktur sehingga dapat menentukan lokasi daerah
fraktur.
6. Krepitasi berupa suara pada pemeriksaan akibat pergeseran dari ujung tulang fraktur
7. Laserasi yang terjadi pada daerah gusi, mukosa dan daerah sekitar fraktur.
8. Dislokasi perubahan warna pada daerah fraktur akibat pembengkakkan
9. Numbness, kelumpuhan dari bibir bawah, biasanya bila fraktur terjadi dibawah
nervus alveolaris.
10. Pada fraktur orbita dapat dijumpai penglihatan kabur atau ganda, penurunan
pergerakan bola mata dan penurunan visus.
F. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan awal pada pasien dengan kecurigaan trauma maksilofasial yaitu :
1. Periksa kesadaran pasien
2. Perhatikan secara cermat wajah pasien
a. Simetris atau tidak
b. Apakah hidung wajah menjadi lebih pipih
3. Apakah ada hematom :
a. Fraktur zigomatikus
a) Terjadi hematom yang mengelilingi orbita, berkembang secara cepat sebagai
permukaan yang bersambung secara cepat sebagai permukaan yang
bersambung secara seragam.
b) Periksa mulut bagian dalam dan periksa juga suklus bukal atas apakah ada
hematom, nyeri tekan dan krepitasi pada dinding zigomatikus.
b. Fraktur nasal
a) Terdapat hematoma yang mengelilingi orbita, paling berat kearah medial.
c. Fraktur orbita
a) Apakah mata pasien cekung kedalam atau kebawah
b) Apakah sejajar atau bergeser
c) Apakah pasien bisa melihat
d) Apakah dijumpai diplopia
Hal ini karena
a) Pergeseran orbita
b) Pergeseran bola mata
c) Paralisis saraf VI
d) Edema
d. Fraktur pada tulang wajah dan kepala
a) Raba secara cermat seluruh bagian kepala dan wajah : nyeri tekan, deformitas
dan krepitasi
b) Raba tulang zygomatikus, tepi orbita, palatum dan tulang hidung, pada fraktur
Le Fort type II dan III banyak fragmen tulang kecil subkutis pada region
ethmoid. Pada pemeriksaan ini jika rahang tidak menutup sempurna berarti
pada rahang sudah terjadi fraktur.
e. Cedera saraf
a) Uji anestesi pada wajah ( saraf infra orbita ) dan geraham atas ( saraf gigi atas)
f. Cedera gigi
a) Raba giginya dan usahakan menggoyangkan gigi bergerak abnormal dan juga
disekitarnya.
4. Pada pasien dengan trauma wajah, pemeriksaan radiografis diperlukan untuk
memperjelas suatu diagnosa klinis serta untuk mengetahui letak fraktur. Pemeriksaan
radiografis juga dapat memperlihatkan fraktur dari sudut dan perspektif yang berbeda
Pemeriksaan radiografis pada mandibula biasanya memerlukan foto
radiografis panoramic view, open-mouth Towne’s view, postero-anterior view, lateral
oblique view . Biasanya bila foto-foto diatas kurang memberikan informasi yang
cukup, dapat juga digunakan foto oklusal dan periapical Computed Tomography (CT
scans dapat juga memberi informasi bila terjadi trauma yang dapat menyebabkan
tidak memungkinkannya dilakukan teknik foto radiografis biasa. Banyak pasien
dengan trauma wajah sering menerima atau mendapatkan CT-scan untuk menilai
gangguan neurologi, selain itu CT-scan dapat juga digunakan sebagai tambahan
penilaian radiografi. Pemeriksaan radiografis untuk fraktur sepertiga tengah wajah
dapat menggunakan Water’s view, lateral skull view, posteroanterior skull
view dan submental vertex view ( Ahmad, 2012).
G. Perawatan Fraktur Maksilofasial
Hasil yang diharapkan dari perawatan pada pasien fraktur maksilofasial adalah
penyembuhan tulang yang cepat, normalnya kembali okular, system mastikasi, dan fungsi
nasal, pemulihan fungsi bicara, dan kembalinya estetika wajah dan gigi. Selama fase
perawatan dan penyembuhan, penting untuk meminimalisir efek lanjutan pada status
nutrisi pasien dan mendapatkan hasil perawatan dengan minimalnya kemungkinan pasien
merasa tidak nyaman. Untuk mendapatkan hasil yang baik, prinsip dasar pada bedah yang
harus dipersiapkan sebagai penunjuk untuk perawatan fraktur maksilofasial ialah :
reduksi fraktur (mengembalikan segmen-segmen tulang pada lokasi anatomi semula) dan
fiksasi segmen-segmen tulang untuk meng-imobilisasi segmen- segmen pada lokasi
fraktur. Sebagai tambahan, sebelum tindakan, oklusi sebaiknya sudah direstorasi
dan infeksi pada area fraktur sebaiknya di cegah dan dihilangkan terlebih dahulu. Waktu
perawatan fraktur tergantung dari banyak faktor. Secara umum, lebih cepat merawat luka
akan lebih baik hasilnya. Penelitian membuktikan bahwa semakin lama luka dibiarkan
terbuka dan tidak ditangani, semakin besar kemungkinan untuk terjadinya infeksi dan
malunion. Perawatan fraktur dengan menggunakan intermaxillary fixation (IMF)
disebut juga reduksi tertutup karena tidak adanya pembukaan dan manipulasi terhadap
area fraktur secara langsung. Teknik IMF yang biasanya paling banyak digunakan ialah
penggunaan arch bar.
Perawatan fraktur dengan reduksi terbuka ialah perawatan pembukaan danreduksi
terhadap area fraktur secara langsung dengan tindakan pembedahan. Reduksi terbuka
dilakukan bila diperlukan reduksi tulang secara adekuat. Indikasi perawatan reduksi
terbuka ialah berpindahnya segmen tulang secara lanjut atau pada
frakturunfavorable , seperti fraktur angulus, dimana tarikan otot masseter dan medialis
pterygoid dapat menyebabkan distraksi segmen proksimal mandibular (Ariwibowo,2008)
H . Pengkajian
1. Primary survey
a. Airway
Adanya sumbatan/obstruksi jalan napas oleh adanya penumpukan secret akibat
kelemahan reflek batuk. Jika ada obstruksi maka lakukan :
a) Chin lift / jaw trust
b) Suction / hisap
c) Guedel airway
d) Intubasi trakhea dengan leher ditahan (imobilisasi) pada posisi netral.
b. Breathing
Kelemahan menelan/ batuk/ melindungi jalan napas, timbulnya pernapasan
yang sulit dan / atau tak teratur, suara nafas terdengar ronchi aspirasi, whezing,
sonor, stidor/ ngorok, ekspansi dinding dada.
c. Circulation
TD dapat normal atau meningkat , hipotensi terjadi pada tahap lanjut, takikardi, bunyi
jantung normal pada tahap dini, disritmia, kulit dan membran mukosa pucat, dingin,
sianosis pada tahap lanjut
d. Disability
Menilai kesadaran dengan cepat,apakah sadar, hanya respon terhadap nyeri atau atau
sama sekali tidak sadar.
e. Eksposure
Lepaskan baju dan penutup tubuh pasien agar dapat dicari semua cidera yang
mungkin ada, jika ada kecurigan cedera leher atau tulang belakang, maka imobilisasi
in line harus dikerjakan
2. Secondary survey
Pengkajian sekunder meliputi anamnesis dan pemeriksaan fisik. Anamnesis dapat
meggunakan format AMPLE (Alergi, Medikasi, Post illnes, Last meal, dan Event/
Environment yang berhubungan dengan kejadian). Pemeriksaan fisik dimulai dari kepala
hingga kaki dan dapat pula ditambahkan pemeriksaan diagnostik. Untuk memperoleh
pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan pendekatan PQRST jika
pasien merasakan nyeri yang sangat kuat, yaitu :
P : Paliatif (yang memberatkan / meringankan penyakit)
Q : Qualitas (seberapa besar keluhan tersebut)
R : Regio (daerah/lokasi yang dirasakan)
S : Skala ( tingkat kegawatan dari pada keluhan tersebut)
T :Timing (keluhan yang dirasakan bagaimana contoh mendadak, selang-seling
3. Riwayat penyakit, keluhan utama dan pemeriksaan klinis
Lima pertanyaan yang harus diketahui untuk mengetahui riwayat penyakit pasien
penderita fraktur maksilofasial ialah:
1. Bagaimana kejadiannya?
2. Kapan kejadiannya?
3. Spesifikasi luka, termasuk tipe objek yang terkena, arah terkena, dan alat yang
kemungkinan dapat menyebabkannya?
4. Apakah pasien mengalami hilangnya kesadaran?
5. Gejala apa yang sekarang diperlihatkan oleh pasien, termasuk nyeri,
6. sensasi, perubahan penglihatan, dan maloklusi?
7. Evaluasi menyeluruh pada sistem, termasuk informasi alergi, obat-obatan,
8. imunisasi tetanus terdahulu, kondisi medis, dan pembedahan terdahulu yang pernah
dilakukan
I. Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan SDKI 2017 diagnosa yang muncul adalah :
1. Nyeri berhubungan dengan agen cedera fisik
2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tekanan pada tonjolan tulang
3. Hambatan mobilisasi fisik berhubungan dengan nyeri, program pembatasa
J. Intervensi Keperawatan
Tingkat nyeri (L.08066)
Kriteria hasil :
a. Keluhan nyeri
b. Meringis
c. Sikap protektf
d. Gelisah
e. Kesulitan tidur
f. Frekuensi nadi
Manajemen Nyeri (I. 08238)
1. Observasi
a. lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
b. Identifikasi skala nyeri
c. Identifikasi respon nyeri non verbal
d. Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
e. Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
f. Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri
g. Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
h. Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan
i. Monitor efek samping penggunaan analgetik
2. Terapeutik
a. Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri (mis. TENS,
hypnosis, akupresur, terapi musik, biofeedback, terapi pijat, aroma terapi, teknik
imajinasi terbimbing, kompres hangat/dingin, terapi bermain)
b. Control lingkungan yang memperberat rasa nyeri (mis. Suhu ruangan, pencahayaan,
kebisingan)
c. Fasilitasi istirahat dan tidur
d. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi meredakan nyeri
3. Edukasi
a. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
b. Jelaskan strategi meredakan nyeri
c. Anjurkan memonitor nyri secara mandiri
d. Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
e. Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
4. Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
DAFTAR PUSTAKA
Tania Parsa,MD. 2010, Initial Evaluation and Management of Maxillofacial Injuries. Attending
Physician, Eastern Maine Medical Center.E medicine Journal
Ahmad Z., Nouraei R., and Holmes S.: Towards a classification system for complex craniofacial
fractures. Br J Oral Maxillofac Surg 2012
Ariwibowo Haryo et all, Art Of Therapy : Sub Ilmu Bedah. Yogyakarta : Pustaka Cendikia Press
of Yogyakarta. 2008
Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2016), Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI), Edisi 1,
Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia Tim Pokja SIKI DPP PPNI, (2018)
Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
Tim Pokja SLKI DPP PPNI, (2018)
Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI), Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia

Anda mungkin juga menyukai