Laporan Kasus Apendisitis Akut
Laporan Kasus Apendisitis Akut
APENDISITIS AKUT
Disusun Oleh :
Nyoman Aditya Sindunata
DAFTAR ISI
Daftar Isi.................................................................................................................1
Bab I Status Pasien................................................................................................3
I. Identitas Pasien............................................................................................3
II. Anamnesis...................................................................................................3
III. Pemeriksaan Fisik Generalis...................................................................5
IV. Pemeriksaan Penunjang..........................................................................6
V. Resume........................................................................................................8
VI. Diagnosis....................................................................................................9
VII. Penatalaksanaan.....................................................................................9
VIII. Prognosis..............................................................................................10
IX. Laporan Operasi.....................................................................................10
Bab II Tinjauan Pustaka.....................................................................................12
I. Anatomi......................................................................................................12
II. Fisiologi.....................................................................................................13
III. Epidemiologi...........................................................................................14
IV. Etiologi dan Patogenesis.........................................................................14
V. Mikrobiologi.............................................................................................15
VI. Manifestasi Klinis...................................................................................16
VII. Diagnosa Banding.................................................................................20
VIII. Penatalaksanaan..................................................................................23
IX. Perawatan Post-operatif dan Komplikasi............................................32
X. Prognosis...................................................................................................34
Bab III Pembahasan............................................................................................35
Daftar Pustaka.....................................................................................................38
BAB I
STATUS PASIEN
I. Identitas Pasien
Nama Pasien : Ny. IM
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal Lahir / Usia : 11 November 1963 / 51 tahun
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Alamat : Atsiri Permai, Raga Jaya
Status Pernikahan : Menikah
Suku : Batak
Agama : Kristen Protestan
Pendidikan Terakhir : D3
Tanggal Masuk Perawatan : 9 November 2015
II. Anamnesis
A. Keluhan Utama
Nyeri perut kanan bawah sejak 3 hari SMRS.
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSPAD Gatot Soebroto dengan keluhan nyeri perut kanan
bawah sejak 3 hari SMRS. Awalnya nyeri dirasakan di ulu hati lalu berpindah ke
perut kanan bawah. Nyeri yang dirasakan tajam seperti ditusuk jarum dan hilang
timbul sepanjang hari. Nyeri bertambah parah ketika pasien hendak bangun dari
tempat tidur ataupun batuk dan membaik ketika pasien diam dan beristirahat.
Pasien merasakan nyeri dengan skala 3 dari 10. Pasien juga mengeluhkan adanya
mual dan muntah setelah mulai merasa nyeri. Sejak timbulnya gejala, nafsu
makan pasien berkurang. 2 hari SMRS pasien mengalami demam. Pasien
menyangkal mengalami sulit atau nyeri saat BAK ataupun gangguan pola BAB.
Tidak ada riwayat penurunan berat badan drastis dalam beberapa bulan terakhir.
J. Alvarado Score
Temuan Poin Pasien
Perpindahan nyeri ke fossa iliaca dextra 1 1
Anoreksia 1 1
Mual atau muntah 1 1
Nyeri tekan : fossa iliaca dextra 2 2
Nyeri lepas : fossa iliaca dextra 1 1
Demam ≥36,3oC 1 1
Leukositosis ≥10 x 109 /L 2 2
Shift to the left of neutrophils 1 0
Total 10 9
Hasil Pemeriksaan :
Nyeri tekan probe +/-, tampak edematous pada apendiks dengan gambaran
doughnut sign dengan tebal ±14,9 mm.
V. Resume
Pasien Ny. IM, perempuan berusia 51 tahun datang ke IGD dengan
keluhan nyeri perut kanan bawah sejak 3 hari SMRS. Awalnya pada ulu hati lalu
berpindah ke kanan bawah. Nyeri dirasa tajam seperti ditusuk jarum dan hilang
timbul. Bertambah parah ketika hendak bangun dari tidur atau batuk dan membaik
ketika diam dan beristirahat. Skala nyeri 3 dari 10. Terdapat mual, muntah dan
penurunan nafsu makan. 2 hari SMRS mengalami demam.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak sakit sedang, compos
mentis dan GCS 15. Tekanan darah 110/80 mmHg, pernafasan 20x/menit, nadi
88x/menit, suhu 37oC, dan VAS 3/10. Pada status generalis tidak ditemukan
kelainan, kecuali abdomen. Dari inspeksi didapatkan abdomen datar. Dari
auskultasi didapatkan bising usus (+) 8x/menit. Dari palpasi didapatkan nyeri
tekan titik McBurney (+), nyeri lepas titik McBurney (+), Rovsing sign (+), nyeri
lepas indirek (+), dan defans muskular lokal(+). Dari perkusi didapatkan timpani
di seluruh lapang abdomen.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis (14.170/μL).
Selain itu pemeriksaan hematologi, koagulasi, kimia klinik, dan urinalisi masih
dalam batas normal. Didapatkan skor 9 pada Alvarado score, yang
diinterpretasikan sebagai kemungkinan besar apendisitis (skor ≥7). Dari
pemeriksaan USG didapatkan kesan sugestif apendisitis akut, organ intra-
abdominal lainnya normal.
VI. Diagnosis
Apendisitis akut
Diagnosa Banding : pelvic inflammatory disease, keganasan
VII. Penatalaksanaan
A Non-medikamentosa
Edukasi pasien dan keluarga tentang penyakit pasien dan rencana tatalaksana.
VIII. Prognosis
Ad vitam : ad bonam
Ad functionam : ad bonam
Ad sanationam : ad bonam
Apendiks
Luka Operasi
I Anatomi
Pada orang dewasa, rata-rata panjang apendiks adalah 6 hingga 9 cm;
namun, dapat bervariasi antara <1 dan >30 cm. Diameter luarnya bervariasi antara
3 dan 8 mm, sedangkan diameter luminal antara 1 dan 3 mm.
X. Fisiologi
Selama beberapa tahun, apendiks secara keliru diyakini sebagai organ
vestigial tanpa fungsi yang diketahui. Saat ini apendiks dianggap sebagai organ
imunologik yang secara aktif ikut berpartisipasi dalam sekresi imunoglobulin,
khususnya imunoglobulin A.
Walau tidak ada peran yang jelas untuk apendiks dalam timbulnya
penyakit manusia, telah dilaporkan adanya asosiasi terbalik antara apendektomi
dan timbulnya kolitis ulseratif, menunjukkan fungsi protektif dari apendektomi.
XI. Epidemiologi
Resiko seumur hidup timbulnya apendisitis adalah 8,6% untuk laki-laki
dan 6,7% untuk perempuan, dengan insiden tertinggi pada dekade kedua dan
ketiga. Jumlah apendektomi untuk apendisitis telah menurun sejak 1950an pada
sebagian besar negara. Di Amerika, mencapai jumlah insiden terendah menjadi 15
per 10.000 penduduk pada tahun 1990an. Sejak saat itu, terjadi kenaikan insidensi
apendisitis non-perforasi. Alasannya tidak jelas, tetapi disarankan bahwa
peningkatan penggunaan pencitraan diagnostik menyebabkan deteksi yang lebih
tinggi dari apendisitis ringan yang mungkin tidak terdeteksi.
XIII. Mikrobiologi
Apendisitis dapat terjadi menimbulkan sekelompok gejala secara
bersamaan, menyarankan asalnya infeksi. Namun, asosiasinya dengan bakteri
kontagius dan virus telah ditemukan dalam sebagian kecil pasien apendisitis.
Flora normal pada apendiks yang meradang berbeda dengan pada apendiks
normal. Sekitar 60% aspirat dari apendiks yang meradang memiliki anaerob,
dibandingkan dengan 25% aspirat dari apendiks normal. Sampel jaringan dari
XVI. Penatalaksanaan
A Awal
a Apendisitis Tanpa Komplikasi
1 Tatalaksana Operatif dibanding Non-operatif
Pada pasien dengan apendisitis tanpa komplikasi, tatalaksana operatif
menjadi standar sejak McBurney melaporkan pengalamannya. Konsep tatalaksana
non-operatif untuk apendisitis tanpa komplikasi berkembang dari observasi
terhadap dua hal. Pertama, pasien berada dalam lingkungan dimana tatalaksana
operatif tidak tersedia (misalnya kapal selam, ekspedisi ke daerah terpencil),
tatalaksana dengan antibiotik saja telah dibuktikan efektif. Kedua, banyak pasien
dengan tanda dan gejala konsisten dengan apendisitis yang tidak mencari
pertolongan medis terkadang megalami resolusi spontan.
Beberapa penelitian observatif dan controlled trials telah dilaporkan hasil
dari tatalaksana non-operatif dibanding operatif pada kasus yang diduga
apendisitis tanpa komplikasi. Secara keseluruhan, telah dilaporkan 9% kegagalan
jangka pendek (<30 hari) dengan tatalaksana non-operatif. Pada pasien yang gagal
ditatalaksana secara non-operatif, hampir setengahnya mengalami apendisitis
dengan komplikasi (perforasi atau gangren). Setelah 1 bulan, sekitar 1% pasien
aa.Apendektomi Laparoskopik
Apendektomi laparoskopik yang pertama kali dilaporkan dilakukan pada
tahun 1983 oleh Semm; namun, pendekatan laparoskopik tidak digunakan secara
luas hingga nanti, setelah keberhasilan kolesistektomi laparoskopik. Ini mungkin
karena inisisi kecil sudah umum digunakan dengan open appendectomy.
Apendektomi laparoskopik dilakukan dalam anastesi umum. Oro- atau
nasograstric tube dan kateter urin dipasang. Pasien dalam posisi terlentang
dengan lengan kiri terlipat dan diikat pada meja operasi. Baik ahli bedah dan
asisten harus berdiri di sisi kiri pasien menghadap ke apendiks. Layar laparoskopi
diposisikan pada sisi kanan pasien atau pada kaki kasur. Apendektomi
laparoskopik standar umumnya menggunakan tiga saluran. Umumnya, saluran 10
atau 12 mm dipasang pada umbilikus, sedangkan saluran 5 mm dipasang pada
supra-pubik dan kuadran kiri bawah. Pasien seharusnya dalam posisi
Trendelenburg dan dimiringkan ke kiri.
Diagnosa apendisistus akut pada kasus ini dapat ditegakkan dengan dasar
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis,
didapatkan keluhan utama berupa nyeri perut kanan bawah sejak 3 hari SMRS.
Awalnya nyeri dirasakan di ulu hati menggambarkan gejala akibat distensi
apendiks yang menstimulasi ujung saraf dari afferent stretch fiber. Lalu nyeri
berpindah ke kuadran kanan bawah menggambarkan peradangan yang telah
menyebar ke peritoneum parietalis. Nyeri yang dialami pasien berupa nyeri akibat
iritasi peritoneum sehingga memburuk saat bergerak atau batuk (Dunphy sign)
dan membaik saat diam. Pasien juga mengeluhkan adanya gejala gastrointestinal
berupa mual dan muntah setelah gejala nyeri muncul, hal ini sering dijumpai pada
apendisitis akibat multiplikasi bakteri yang cepat di dalam apendiks. Selain itu
pasien juga mengeluhkan adanya demam yang menggambarkan adanya infeksi
yang terjadi. Untuk menyingkirkan kecurigaan terhadap keganasan karena usia
pasien yang tergolong lanjut (51 tahun), pada anamnesis dipastikan pasien tidak
mengeluhkan adanya pola BAB yang berubah ataupun adanya penurunan berat
badan drastis dalam beberapa bulan terakhir. Riwayat haid juga perlu digali untuk
memastikan tidak adanya riwayat kelainan obsterik ataupun ginekologik, pada
pasien ini tidak didapatkan masalah sehingga diagnosa banding PID dapat
dikesampingkan. Selain itu pasien juga menyangkal adanya riwayat penyakit
lainnya yg diidap pasien ataupun keluarga.
Berdasarkan pemeriksaan fisik, keadaan umum pasien tampak sakit sedang
dan hemodinamik stabil, namun didapatkan suhu tubuh pasien 37oC dan VAS
3/10. Suhu tubuh pasien nantinya dapat dipertimbangkan untuk dimasukkan ke
dalam Alvarado Score, sedangkan VAS dapat mendukung keluhan nyeri perut
pasien. Berdasarkan pemeriksaan status generalis, ditemukan kelainan pada
abdomen melalui palpasi berupa : nyeri tekan dan nyeri lepas titik McBurney,
Rovsing sign, nyeri lepas indirek, dan defans muskular lokal. Penemuan ini
mendukung adanya iritasi peritoneum parietalis lokal yang diduga akibat
peradangan apendiks. Pada pemeriksaan fisik lainnya tidak ditemukan kelainan,
termasuk pemeriksaan genitalia sehingga diagnosa banding PID dapat
disingkirkan. Tanda-tanda ini mendukung diagnosa apendisitis akut.
Berdasarkan pemeriksaan penunjang yang dilakukan, didapatkan
leukositosis (14.170/μL) dari pemeriksaan laboratorium. Selain itu, didapatkan
skor 9 pada Alvarado score, yang diinterpretasikan sebagai kemungkinan besar
apendisitis (skor ≥7). Alvarado score sangatlah berguna untuk menyingkirkan
diagnosa apendisitis dan memilah pasien untuk manajemen diagnostik lanjutan.
Temuan Poin Pasien
Perpindahan nyeri ke fossa iliaca dextra 1 1
Anoreksia 1 1
Mual atau muntah 1 1
Nyeri tekan : fossa iliaca dextra 2 2
Nyeri lepas : fossa iliaca dextra 1 1
Demam ≥36,3oC 1 1
9
Leukositosis ≥10 x 10 /L 2 2
Shift to the left of neutrophils 1 0
Total 10 9
Berdasarkan hal ini, pemeriksaan USG dilakukan untuk memastikan
diagnosa apendisitis. USG dilakukan dengan pertimbangan pemeriksaannya tidak
mahal, dapat dilakukan dengan cepat, tidak membutuhkan kontras, dan tidak
memaparkan pasien dengan radiasi. Pada USG diharapkan adanya penebalan
dinding apendiks (>5 mm), pada pasien didapatkan tebal apendiks ±14,9 mm dan
tampak edematous dengan gambaran doughnut sign. Dari pemeriksaan USG
didapatkan kesan sugestif apendisitis akut, organ intra-abdominal lainnya normal.
Apendisitis dapat dipastikan dengan pemeriksaan ini dan keganasan dapat
dikesampingkan karena organ intra-abdominal lainnya tampak normal.
Berdasarkan diagnosa klinis yang telah ditegakkan, maka pasien
direncanakan untuk dioperasi open appendectomy cito. Tindakan ini menjadi
pilihan karena apendisitis akut termasuk dalam kegawatdaruratan dalam bidang
bedah. Operasi cito menjadi pilihan untuk mencegah progresi penyakit yang
nantinya dapat menyebabkan kerusakan dan komplikasi yang lebih berat. Selain
itu, dengan berkembangnya apendisitis akut dan terjadi perforasi maka peritonitis
akan terjadi dan akan mempersulit penanganan pasien serta meningkatkan
mortalitas. Sebagai tatalaksana awal pasien dipasangkan IV line untuk
memudahkan akses memasukkan obat dan rehidrasi. Pasien diberikan cairan (RL
sebanyak 500 mL / 8 jam), analgesik (ketorolac 3 x 30 mg IV) dan antibiotik
(ceftriaxone 2 x 1 g IV) selagi mempersiapkan operasi. Lalu open appendectomy
dilakukan dalam anastesi umum. Apendiks yang ditemukan intra-operatif tampak
berukuran 6x2x1 cm, hiperemis, oedem, tidak ada perforasi, tidak ada pus, dan
terletak retrocaecal intraperitoneal. Setelah operasi selesai, sebagai tatalaksana
post-operasi terapi yang diberikan sebelumnya berupa cairan, analgesik dan
antibiotik dilanjutkan. Selain itu, perlu dilakukan observasi tanda vital untuk
mengantisipasi adanya perdarahan dalam, syok, hipertermia atau gangguan
pernafasan.
DAFTAR PUSTAKA