Anda di halaman 1dari 14

Dinamika Arsitektur Indonesia dan Representasi „Politik Identitas‟ Pasca Reformasi

(Kemas Ridwan Kurniawan)

DINAMIKA ARSITEKTUR INDONESIA DAN REPRESENTASI ‘POLITIK IDENTITAS’


PASCA REFORMASI

Kemas Ridwan Kurniawan

Departemen Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, 16424


kemas.ridwan@gmail.com

ABSTRAK. Menguatnya politik identitas di Indonesia pasca reformasi telah melahirkan formasi
arsitektur baru yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Identitas budaya terkait indigenitas
menjadi bagian dari politik identitas yang menurut sebagian pengamat politik disinyalir dimanfaatkan
para elit dan penguasa untuk kepentingan politik kekuasaan. Ironisnya, dalam bidang arsitektur,
definisi tentang identitas ini justru semakin tidak jelas. Definisi-definisi ini berputar pada debat tentang
pencarian jati diri yang tidak pernah selesai dan sering diasosiasikan dengan proses untuk
memunculkan jati diri kebudayaan sebagai jawaban atas tantangan universalitas arsitektur modern,
globalisasi dan kemajuan teknologi.

Makalah ini mencoba mengambil dari sudut pandang yang berbeda yaitu politik identitas dalam
silangannya dengan arsitektur („space‟), waktu (sejarah) dan aspek sosial-politik. Isu yang muncul
adalah bagaimana politik identitas perlahan-lahan melanjutkan pengaruhnya dalam formasi arsitektur
di Indonesia pasca reformasi, di balik kesalah-pahaman tentang definisi „identitas‟ dalam debat-debat
arsitektur di Indonesia. Hal ini terjadi karena banyak arsitek atau teoretikus arsitektur di Indonesia
membatasi dirinya hanya dalam lingkup arsitektur, dan gagal berinteraksi secara lebih luas dengan
isu-isu sosio politik. Konsekuensinya, di satu sisi, istilah „identitas‟ kehilangan pengaruh sosio-
politiknya dan direduksi kepada masalah-masalah estetika visual semata, yang mengaburkan
identitas arsitektur sebagai suatu konsep sosial budaya. Sementara itu, di sisi lain pemanfaatan
identitas sebagai bagian dari komoditas politik juga melanjutkan dinamika yang terjadi di daerah
(regional) yaitu warna kekuasaan (power) dalam formasi arsitektur di Indonesia sebagai imbas dari
Desentralisasi. Makalah ini mengkritisi perilaku politik identitas yang cenderung berubah menjadi
„regime‟ dalam formasi identitas arsitektur saat ini, dan kurang terangkatnya isu identitas arsitektur
dengan dinamika sosio-politik dan keseharian („everyday-life‟) masyarakat.

Kata Kunci: subjektivitas, hibrid, indigenitas, pasca-nasionalisme

ABSTRACT. Straighthening the politics of identity in Indonesia after the 1997 political reformation has
increased the formation of new architecture which are scattered in various regions in Indonesia. The
cultural identity on indigeneity and become part of identity politics. It was exploited by elites and rulers
for the sake of power politics. Ironically, in the field of architecture, the definition of this identity is even
more unclear. These definitions spin on the debate about the search for identity that was never
finished and is often associated with the process to bring a cultural identity as a response to the
challenges of modern architecture such as universality, globalization and technological progress.

This paper tried to look at architecture (space) in the intersection with time (history) and socio-political
aspects. The issue that arises is how the politics of identity is slowly continuing influence in the
formation of architecture in Indonesia after the 1997 political reform, under misconceptions about the
definition of 'identity' in debates of architecture in Indonesia. This happens because many architects or
architectural theorists in Indonesia restricts itself only in the sphere of architecture, and failed to
interact more broadly with social and political issues. Consequently, on the one hand, the term
'identity' loss of the socio-political influences and are reduced to a visual aesthetic problems alone,
which obscure the identity of architecture as a socio-cultural concept. Meanwhile, on the other hand
the use of identity as part of a political commodity also continue the dynamics that occur in the area
(regional) is the color of power (power) in the formation of architecture in Indonesia as the impact of
decentralization. The paper criticized the behavior of identity politics that tends to turn into a 'regime' in
the current architectural identity formation, and less lifting of architecture with issues of identity and
everyday social and political dynamics ( 'everyday-life') of community.

Keywords: subjectivity, hybrid, indigeneity, post-nationalism

65
NALARs Jurnal Arsitektur Volume 17 Nomor 1 Januari 2017: 65-78 https://doi.org/10.24853/nalars.17.1.65-78
p-ISSN 1412-3266/e-ISSN 2549-6832

PENDAHULUAN Politik identitas banyak mewarnai dinamika


perjalanan arsitektur di Indonesia. Sebagai
Indonesia untuk pertama kali berpartisipasi di contoh, di zaman Orde Baru, bentuk-bentuk
dalam Pameran internasional Arsitektur Venice bangunan modern yang berpadu-padan
Biennale pada tahun 2014. Indonesia dengan arsitektur Jawa secara seragam
menampilkan kritik Arsitektur Indonesia dalam (Jawanisasi) sempat mewarnai arsitektur dan
hubungannya dengan representasi, identitas menjadi suatu tradisi baru pada masa itu di
dan politik. (Gambar 1). [24] Indonesia. Contoh lain adalah pemakaian
warna kuning (kuningisasi), yang menjadi
warna resmi ruang publik di berbagai daerah di
Indonesia, menyiratkan nuansa politik
arsitektur regime Orde Baru. Dalam hal ini,
ruang („space‟) yang terjadi adalah akibat
hubungan sosial-politik era tersebut,
sementara aspek keruangan (spasialitas) yang
muncul adalah lebih personal (kepentingan
kelompok tertentu) dan cenderung politikal [9 :
225].

Sinyal adanya perubahan dalam arsitektur


modern pascakolonial dan pasca reformasi
dapat diamati dari fenomena terjadinya
Gambar 1. Paviliun Indonesia pertama pada Venice „violence‟, instabilitas, perpecahan, chaos, dan
Biennale 2014. gangguan extrim yang terjadi sepanjang
(Sumber: Nico Saleh @ periode transisi era pasca reformasi yang
http://www.archdaily.com/527548/craftsmanship- menggambarkan suatu paradox modernitas.
material-consciousness-inside-indonesia-s-pavilion-
at-venice-biennale-2014/)
Makalah ini diawali oleh rasa tidak nyaman
penulis mengenai pertanyaan klasik yang
Hal yang menarik adalah representasi di balik
sering muncul dalam berbagai media
citra bergerak yang hadir melalui sorotan
Arsitektur di Indonesia seperti „Mencari
cahaya lensa yang memproyeksikan gambar
Identitas Arsitektur Indonesia‟, „Mana Identitas
pada panel-panel kaca berjajar dengan posisi
Arsitektur Kita?‟, „Apakah Arsitektur Indonesia
miring terhadap aksis ruang pameran.
itu Ada? Pertanyaan seperti ini, di satu sisi
Pengunjung dapat melihat gambar-gambar
bisa menjadi tantangan para arsitek dalam
bergerak ini dari kedua sisi. Berkaca pada
proses kreatifnya, namun di sisi lain dapat
paviliun Hindia Belanda pada berbagai
menjadi belenggu yang menyesatkan dan
International Colonial Exposition di Eropa
keluar dari akar permasalahan yang
sebelum PD II [5], tentunya Paviliun Indonesia
sesungguhnya terkait aspek sosial budaya
di Venice Biennale ini sangat jauh berbeda.
yang lebih luas. Hal ini terjadi karena identitas
Penggunaan teknik menyorotkan gambar pada
hanya dipahami secara literal dan cenderung
media kaca menjadi salah satu taktik menarik,
visual fisik (estetika kasat-mata).
karena menyebabkan estetika craftsmanship
kehilangan dimensi „crafting‟ yang kuat sisi
Makalah ini menelusuri politik identitas yang
sosialnya. Media kaca merepresentasikan
kental muncul dan mewarnai Arsitektur
abstraksi yang merupakan bayangan „maya‟
modern di Indonesia yang bersaling-silang
akibat pantulan (refleksi yang dihadirkan).
dalam ruang-waktu. Identitas menjadi
media/alat dan direduksi untuk kepentingan
Terlepas dari kekurangan yang ada, tentunya
politik tertentu. Politik Identitas justru sangat
kehadiran paviliun Indonesia pertama tersebut
kental membentuk formasi arsitektur modern di
berhasil membuka jalan perkenalan arsitektur
Indonesia di balik wacana konstruksi identitas
Indonesia ke ranah internasional. Pengakuan
itu sendiri bahkan hingga pasca reformasi.
Sopandi tentang „kegugupan‟ [28] menarik
Meminjam istilah produksi ruang dari Lefebvre
disimak karena menyiratkan kegamangan
[16], identitas juga diproduksi dan bukan
dalam merepresentasikan arsitektur Indonesia.
hanya dikonstruksi-kan.
Persoalannya bukan pada modernitas dan
representasi identitas arsitektur di Indonesia
tapi bagaimana strategi dan politik
menampilkan identitas itu sendiri dengan
absennya realitas sosial yang sesungguhnya.

66
Dinamika Arsitektur Indonesia dan Representasi „Politik Identitas‟ Pasca Reformasi
(Kemas Ridwan Kurniawan)

METODE PENELITIAN and thus more amenable to reconstitution than


was previously thought possible.‟ [4]
Penelitian ini mengandalkan data yang di
Dalam kritik terhadap pemahaman para
peroleh melalui kajian literatur, baik yang
„essensialis‟ mengenai „gender difference‟,
bersifat teori maupun data terkait arsitektur ke-
Jane Rendell, seorang Kritikus Arsitektur
Indonesiaan. Kajian teori difokuskan pada
sekaligus Feminis yang juga mengajar di the
upaya meletakkan dasar pemahaman tentang
Bartlett UK menyampaikan bahwa „the
arsitektur, politik identitas dan representasinya.
feminine is not only biological but also cultural,
Sementara itu untuk mengkritisi fenomena
and has been associated with the other and
arsitektur Indonesia, penelitian ini mencoba
with lack (following Jacques Lacan), and as
melihat dari aspek sosial politik yang mungkin
the site of difference itself (Jacques Derrida).‟
masih dianggap sedikit tabu untuk dilakukan.
[2]. Hal ini menurut Rendell karena „Identities
Persinggungan antara ruang, waktu dan
are contingent and situated, constructed in
situasi geopolitik di Indonesia sedikit banyak
response to particular times and places‟ [2].
membantu memunculkan periodisasi baru
Oleh karena itu, kita dapat memahami bahwa
pasca reformasi seperti pos-nasionalisme,
identitas adalah suatu „proses‟ budaya yang
etno-nasionalisme, dan kondisi hyper-
tidak pernah berhenti („incomplete‟), dan bukan
complexity, yang tentunya membuka wacana
seperti sebuah monumen statis atau artefak.
baru untuk diperdebatkan kembali. Era pasca
Identitas juga tertentu dan situasional. Dengan
reformasi di Indonesia adalah era yang
demikian selain artefak fisik (bangunan,
menarik untuk disimak sekaligus juga
monumen dan lain-lain), identitas mesti
memunculkan tantangan baru sebagai sebuah
melekat dengan dinamika aspek sosial budaya
tulisan sejarah karena dianggap masih belum
yang menyatu di dalamnya.
terlalu lama berlalu. Oleh karena itu, tulisan ini
lebih banyak mengajak pembaca untuk
Identitas diibaratkan seperti retakan, jeda,
memikirkan ulang tentang apa itu identitas
bekuan atas suatu proses yang terjadi dalam
arsitektur di Indonesia agar tidak terjebak pada
suatu spektrum. Ibarat seperti proses
sinkretisme semata.
menghasilkan foto dengan melakukan „freeze-
Alur penelitian dimulai dengan kajian atas frame‟ atas suatu obyek bergerak, yang
terminologi identitas, politik dan representasi, dihasilkan adalah representasi kejadian
istilah-istilah yang selalu menjadi perdebatan (moment) tapi selalu ada kekurangan yaitu
dalam wacana Arsitektur di Indonesia. absence-nya „movement‟ (realitas) dalam hasil
Selanjutnya penelitian mulai mencoba melihat foto tersebut [9 : 28]. Identitas beroperasi
konteks arsitektur Indonesia pasca reformasi melalui hadirnya kekurangan („subsume a
dan kaitannya dengan aspek sosial dan lack‟), yaitu teridentifikasinya sesuatu yang
geopolitik di Indonesia. Bagian ini sekaligus absen hadir, sesuatu yang berbeda
memetakan berbagai pemikiran para („difference‟) dari yang ditampilkan [9]. Pada
sejarahwan arsitektur. Tahap selanjutnya sesuatu yang absen hadir itulah realitas
adalah filterisasi yaitu dengan melihat tentang identitas itu hadir. Fenomena absen
dinamika politik versus arsitektur yang (kosong) atas realitas ini adalah juga bagian
memperlihatkan Ekses sebagai suatu dari identitas, dan dengan mekanisme absen
Tantangan, dan mengerucut pada upaya ini-lah, identitas menjadi dinamis, karena justru
memikirkan kembali apa itu Identitas Arsitektur realitas di balik apa yang terlihat (representasi)
Indonesia pasca reformasi. itulah esensi dari identitas.

Identitas arsitektur menjadi moda kritis untuk


HASIL DAN PEMBAHASAN
membedah aspek sosial budaya arsitektur,
dan bukan hanya untuk pengklasifikasian
Terminologi
arsitektur semata. Oleh karena itu identitas
Istilah Identitas memuat konotasi yang selalu bersinggungan dengan dinamika sosial
berbeda-beda tergantung konteks. Dalam
(kelas, ras), budaya (ekonomi, gender, etnis,
aspek humaniora dan sosial, menurut du Gay
reliji) dan politik (kuasa, dominasi, resistensi),
dkk, „Identity‟ has achieved its contemporary
dan dalam hal ini mempengaruhi subyek
centrality both theoretically and substantively,
identitas itu sendiri. Pertanyaan yang relevan
because that to which it is held to refer – dengan kondisi ini selanjutnya adalah “Whose
whether the „it‟ in question is, for example, the
architectural identity?” dan bukannya “What is
category „man‟, „black‟, „work‟, „nation‟, or
architectural identity?”
„community‟ – is regarded in some sense as
being more contingent, fragile and incomplete

67
NALARs Jurnal Arsitektur Volume 17 Nomor 1 Januari 2017: 65-78 https://doi.org/10.24853/nalars.17.1.65-78
p-ISSN 1412-3266/e-ISSN 2549-6832

Selanjutnya, identitas arsitektur bersifat Dengan demikian, menurut Hall pula bahwa
kontekstual dan situasional („contingent‟) [2]. Representasi sangat erat hubungannya
Identitas sendiri dapat berkembang, menyusut dengan identitas dan pengetahuan. [7: 5]
atau musnah menyesuaikan dengan
konteksnya. Dalam hal ini, konteks dan Arsitektur Indonesia
identitas saling membutuhkan. Ketika konteks Wacana politik identitas arsitektur di Indonesia
kurang memberi asupan (cenderung stabil) sudah hadir sejak lama, khususnya sejak
bagi berkembangnya identitas, maka identitas zaman kolonial [8], berlanjut hingga zaman
juga menjadi stagnan dan lama-kelamaan pasca kolonial dan periode pasca reformasi
terjadi fixasi (tidak berubah) yang dapat [13 & 23]. Pada masa pasca kolonial hingga
mengakibatkan berhentinya vibrasi identitas. reformasi, paling tidak telah muncul empat
generasi arsitek Indonesia, dan dari empat
Sementara itu politik, secara etimologi berasal generasi ini lalu muncul paling sedikit tiga arus
dari bahasa Yunani „polis‟ („city‟). „Polis‟ ini (faksi) pemikiran arsitektur [21]. Dari tiga arus
mempunyai agen disebut „polite‟ („a citizen‟), ini lalu muncul berbagai istilah mengenai
dengan adjective-nya adalah „politikos‟ („of a „Arsitektur Indonesia‟ (catatan: istilah Arsitektur
citizen/the citizens, of the state‟). „Politikos‟ ini Indonesia sering digunakan oleh Van
dalam bahasa Latin menjadi „politicus‟, dalam Romondt), seperti antara lain „Arsitektur
bahasa Perancis menjadi „politique‟, dan Nusantara‟, „Arsitektur Tropis Indonesia‟ dan
dalam bahasa Inggris menjadi „politic‟ [17:509]. „Arsitektur Tepat Guna‟ [21]. Namun dalam
Politik secara harfiah diartikan sebagai suatu periode ini, di balik proses pencarian identitas
yang mengatur hubungan antara warga itu sendiri, arsitektur Indonesia menjadi jumud
(citizen) baik dalam lingkup polis (city) maupun karena ketidakmampuan profesi dan
negara (state). akademisi berdialog dengan disiplin lain. Kritik
menarik diutarakan oleh sejarahwan arsitektur
Adapun perbedaan antara „identitas politik‟ Sudrajat (1991) bahwa „a broadly based
(political identity) dengan „politik identitas‟ history of architecture would have the potential
(political of identity), menurut Haboddin, to bridge some extraordinarily interesting
adalah bahwa „political identity merupakan interdisciplinary issues... We would anticipate,
konstruksi yang menentukan posisi for example, research which is more sensitive
kepentingan subjek di dalam ikatan suatu to political matters and social justice‟ [21:220-
komunitas politik sedangkan political of identity 1].
mengacu pada mekanisme politik
pengorganisasian identitas (baik identitas Pasca reformasi, berbagai seminar dan
politik maupun identitas sosial) sebagai workshop telah diadakan untuk melihat
sumber dan sarana politik‟ [6]. Dengan kemungkinan-kemungkinan arsitektur
demikian politik identitas merupakan suatu Indonesia masa depan. Salah satunya
sikap yang didasarkan pandangan politik diungkapkan oleh Passcher (2007), yang
tertentu dalam hubungannya dengan aspek berupaya melihat identitas sebagai suatu
kuasa (power), kepemerintahan kelanjutan sejarah, bahwa sejarah masa
(governmentality), kewargaan (citizenship) lampau menjadi referensi, yaitu
dengan mengambil fokus pada isu-isu identitas
seperti gender, race, ethnicity, religion atau Indonesia today, with the presence of
sexual orientation untuk suatu tujuan tertentu. an indigenous and colonial
architectural urban heritage has to
Subyek dalam arsitektur merepresentasikan deal with questions regarding
identitas sekaligus aktor dalam politik identitas, historical-cultural value and the
yang merupakan realitas di balik representasi- preservation, re-use or demolition of
representasi visual yang terjadi. Realitas buildings. Beside this historical-cultural
dalam politik identitas ditandai oleh importance, what is the significance of
beroperasinya kuasa dan politik ekonomi the architectural heritage nowadays
dalam rangka memperkuat posisi politik elit. and is there actually a role for it to
fulfil? In the field of architecture, the
Arti dari representasi diungkapkan oleh Hall colonial episode left behind
(1997) yang mengatakan bahwa environmental qualities, structures and
„Representation is the production of the buildings. Those architects all
meaning of the concepts in our minds through functioned in and derived their
language.‟ [7 :17]. Oleh karena itu representasi references from the colonial situation.
sangat erat kaitannya dengan proses sosial Their clients were commercial bodies
budaya yang memproduksi arti (meaning). or private individuals who were located

68
Dinamika Arsitektur Indonesia dan Representasi „Politik Identitas‟ Pasca Reformasi
(Kemas Ridwan Kurniawan)

in the upper strata of society. The in some ways rebellion. “Pemuda”


legacy is perhaps a product of the exudes newness and radicality. Its
past, but nevertheless, the colonial meaning derives from the era of
architectural products form a revolution. The terms such as
substantial part of the daily “Pemuda” and “Jong” were invented
environment and décor of almost during the struggle for decolonization.
every Indonesian. Architecture, The continuous retrieval of these
historical or modern, is an terms seems to suggest that
exponentional product of society in revolutions have not yet been
past or present. [18] completed. Perhaps it is in this sense
that the movements of Indonesian
Passcher mengemukakan kesulitannya architecture, from one generation to
memprediksi masa depan Indonesia termasuk the next, seem to posses a quality of
arsitekturnya di tengah-tengah urbanisasi dan protest that we associate with
modernisasi yang tidak bisa dibendung dan modernism. To appreciate such
meningkatnya jumlah populasi khususnya di production is to see modernism less
kota-kota besar. Menurut Beliau (2016), as a form, but as a vehicle of thought,
„Indonesia is working hard on improving its a social strategy of cultural
infrastructure to ensure the quality of life in the intervention in relation to the
future‟. [19:238] governmentality of the Indonesian
state and societal organization which
Sementara itu Widodo (2007) dalam upayanya in securing social order give
mencari identitas kontemporer arsitektur modernism a meaning. [14]
Indonesia di balik menjamurnya „corporate
style architecture‟ dan juga pembangunan Hal yang diutarakan oleh Kusno, menjadi
sektor swasta (shopping mall, apartemen, semacam „jeda‟ atau „rupture‟, dalam dinamika
hotel resort) pasca reformasi, sedikit memberi identitas arsitektur di Indonesia. Namun sejauh
sentuhan mengenai pentingnya „community mana aspek strategi sosial dalam hubungan
approach‟ dan juga „architectural dengan „governmentality‟ dan „social order‟
experimentation‟ oleh generasi baru para seperti tersebut di atas menjadi realitas bagi
arsitek [22:23]. Namun sayangnya pendekatan modernisme untuk memberi kontribusi yang
„identitas‟ arsitektur yang Widodo lakukan berarti? Apakah kemudian ini akan menjadi
sebelumnya masih sangat morfologis yaitu semacam „regime‟ arsitektur baru berikutnya?
melalui pendekatan tipologi fisik bangunan.
Padahal, dalam aspek sosial-politik, identitas Politik versus Identitas
sangat dinamis dan kadang-kadang Masuknya wacana politik identitas dalam
bermuatan subversif. arsitektur di Indonesia, selain melalui
publikasi-publikasi arsitektur luar negeri juga
Pendekatan yang cukup kritis kemudian bersinggungan dengan pemikiran-pemikiran
diangkat oleh Abidin Kusno (2011), ketika dia para kritikus dari disiplin di luar ilmu arsitektur
melihat fenomena generasi muda dalam seperti kajian-kajian sosial, budaya,
perkembangan arsitektur melalui kacamata poskolonial dan gender/Feminisme (seperti
modernisme dan poskolonialisme. Gerakan- antara lain Henri Lefebvre, Homi K. Bhabha,
gerakan baru pasca AMI menjadi bagian dari Edward Said, dan Gayatri Spivak).
suatu dinamika sosial dan memberi peluang
munculnya suatu strategi sosial bagi suatu Pasca reformasi, kita bisa mengidentifikasikan
intervensi budaya terkait aspek sosio-politik. paling sedikit dua issue yang berlanjut
Kusno menyatakan bahwa, (kontinuitas) terkait arsitektur Indonesia dan
politik identitas, yaitu melalui perspektif
In the end what is striking about the antropologi (issue indigenitas), hermenetika
construct of modernism in Indonesian (issue penafsiran atas kebaharuan), dan
historiography is a continuous allusion semiotika (penanda era)
to the theme of youth (muda). This
notion however connotes less a kin a. Indigenitas
relationship or a subordinate form of Masalah politik identitas yang sangat menonjol
that relationship. Instead, as sejak zaman Orde Baru dan masih berlanjut
mentioned earlier, the notion of “muda” hingga pasca reformasi saat ini adalah terkait
refers to pemuda, the term born of the persoalan penduduk asli (indigenitas).
Revolution and the struggle for Persoalan klasik adalah seringkali arsitektur
independence. The term looks to the melalui berbagai sinkretisasi estetika visual
future as in the language of youth and
69
NALARs Jurnal Arsitektur Volume 17 Nomor 1 Januari 2017: 65-78 https://doi.org/10.24853/nalars.17.1.65-78
p-ISSN 1412-3266/e-ISSN 2549-6832

dan „modern miniature theme park‟, sengaja rangka mengubah pola hidup berpindah
atau tidak sengaja menjadi media explorasi menjadi menetap, pemerintah, melalui proyek
etnografis atas suku-suku atau etnis tradisional perumahan suku terasing, juga membuatkan
ini melalui obyektifikasi, exotifikasi dan puluhan rumah sederhana (yang lebih tepat
identifikasi atas kehidupan keseharian mereka disebut sebagai bedeng shelter) secara cuma-
yang justru merendahkan martabat cuma di tepi-tepi jalan besar yang dindingnya
masyarakat terasing/tradisional tersebut. terbuat dari GRC beratap seng, sangat kontras
dengan bangunan asli Orang Rimba yang
Persoalan dilema indigenitas dan krisis ruang sebenarnya. Politik „re-settlement‟ ini, sedikit
bertinggal bisa menjadi sisi yang lain yang demi sedikit membuka isolasi dan
terabaikan. Tragedi telah dialami oleh Orang mengeluarkan Orang Rimba dari Rimba.
Rimba yang tersebar di beberapa pulau di Namun sangat menyedihkan, di balik itu
nusantara dan oleh pemerintah kemudian ternyata kegiatan deforestasi ilegal justru
diberi nama Suku Anak Dalam, nama yang semakin meluas dan semakin mengancam
menurut pemerintah dianggap lebih „beradab‟. ruang habitat Orang Rimba yang sebelumnya
telah tersingkir akibat pembukaan lahan
perkebunan dan permukiman transmigrasi.
Fenomena Orang Rimba menarik produser
Mira Lesmana untuk mengabadikannya
melalui layar kaca dengan mengangkat tema
Sokola Rimba [12]. Film tersebut memberi
sentuhan kemanusiaan dan sosial yang kuat
yang diwarnai intervensi politik identitas
(Gambar 2).

b. Penafsiran atas kebaharuan


Kebaharuan menjadi penanda perubahan atas
masa lampau yang dianggap ketinggalan
zaman, tidak modern (kuno), terbelakang dan
Rumah de Tanoh, sketsa Tim Ekskursi UI suram. Oleh karena itu segala sesuatu yang
dianggap „old fashioned‟ mesti diperbaharui
agar tampil lebih modern dan segar.
Peremajaan kembali menjadi salah satu
metode dalam memenuhi tuntutan kebaharuan
ini. Pasca Orde Baru berlanjut tindakan yang
pragmatis dalam menafsirkan tentang identitas
modern dan kebaharuan ini. Pengaplikasian
kebaharuan dalam wajah arsitektur modern
yang lama dilakukan melalui artikulasi
peremajaan.

Sokola Rimba Publikasi Film Sokola


Rimba

Gambar 2. Orang Rimba dan ilustrasi kehidupan


mereka di Taman Nasional Bukit Dua Belas Jambi.
(Sumber: Tim Ekskursi Taman Nasional Bukit Dua
Belas Jambi 2014 Departemen Arsitektur FTUI, dan
Film „Sokola Rimba‟ (2013) yang disutradarai Riri
Riza)

Contoh lain, dalam rangka keperluan


administrasi pencatatan sipil, pemerintah Gambar 3. Facade Gedung LIPI yang diberi
setempat mendata status Orang Rimba yang „Sarung‟. (Sumber:
menghuni Taman Nasional Dua Belas Jambi. http://esubijono.wordpress.com/2013/03/06/peremaj
Mereka bukan beragama Islam, namun aan-bangunan-di-jakarta/)
supaya mudah pemerintah mencatatkan
mereka sebagai pemeluk agama Islam dengan Upaya peremajaan bangunan modern yang
tanggal lahir yang seragam, angka tahun yang ketinggalan zaman dilakukan melalui „face off‟
berbeda-beda. Tidak hanya itu saja, dalam atau „penyarungan‟ [25]. Tengoklah facade
baru Gedung LIPI Jakarta (aslinya dirancang
70
Dinamika Arsitektur Indonesia dan Representasi „Politik Identitas‟ Pasca Reformasi
(Kemas Ridwan Kurniawan)

oleh Arsitek Ir. N. Siddharta dari AT-6), yang Tomy Winata dan dirancang oleh Arsitek asing
sekarang ditutupi dengan panel-panel dari Smallwood, Reynolds, Stewart, Stewart
komposit metal (Gambar 3). Penyarungan and Associates Inc. (SRSSA) yang dibantu
dengan maksud peremajaan memberikan arti PDW Architects sebagai mitra lokal) di
selain untuk menutupi realitas wajah kawasan SCBD Jakarta setinggi 638 m (111
sesungguhnya (lama), merupakan upaya lantai) dan Pertamina Energy Tower (milik
praktis agar nanti mudah diganti kembali. BUMN Pertamina dan dirancang oleh
Skidmore Owings Merrill (konsultan utama)
c. „Penanda‟ era yang bermitra dengan PT Airmas Asri dan PT
Berbagai simbol fisik arsitektur berupa Wiratman sebagai konsultan lokal) setinggi
monumen, memorial, ruang publik dan 523 m (99 lantai) di kawasan Rasuna
bangunan merepresentasikan aspek sosial Episentrum Kuningan Jakarta. [12]
politik pada suatu masa khususnya terkait
kekuasaan yang sedang berlangsung pada Ekses sebagai Tantangan
saat itu. Regime Orde Lama dan Baru sama- Selain tiga issue keberlanjutan politik identitas
sama menggunakan arsitektur sebagai media model lama seperti dijelaskan pada sub bab
untuk menandai era masing-masing. Jika di sebelumnya, pada pasca reformasi kita
era Orde Lama, Soekarno menggunakan melihat suatu fenomena arsitektur baru
bahasa antar bangsa (internasional) sebagai sebagai ekses dari dinamika politik identitas
landasan bagi monumen dan bangunan yang dan modernitas yang terjadi melalui
digagasnya, sebaliknya era Suharto menguatnya lokalitas dan tantangan
menguatkan bahasa ke-Indonesia-an revitalisasi serta kekuatan global baru.
(indigenisasi) melalui artikulasi arsitektur
tradisional sebagai langgam penanda era a. Menguatnya lokalitas
tersebut. Selain itu, sejak dari masa Soekarno Fenomena yang terjadi pasca reformasi
dan Soeharto, pembangunan yang adalah menguatnya politik identitas di ranah
berorientasi vertikal mulai menjadi sesuatu lokal seiring menguatnya politik desentralisasi.
yang „mesti‟. Aneka monumen dan bangunan Pasca pemberlakuan UU No. 22/1999 (tentang
pencakar langit awal yang dibangun pada otonomi daerah), gerakan politik identitas
masa Soekarno untuk kota Jakarta, yang semakin jelas wujudnya. Menurut Haboddin,
dilanjutkan pada masa Suharto, menjadi „banyak aktor politik lokal maupun nasional
struktur yang mesti hadir sebagai penanda secara sadar menggunakan isu ini dalam
Jakarta layak bersaing dengan berbagai power-sharing.‟ [6]
ibukota negara lainnya di dunia baik yang
sudah lebih maju maupun yang dianggap Tahun 2013, Gubernur DKI Jakarta (joko
masih setara dengan Indonesia (Malaysia dan Widodo) menggulirkan wacana untuk
Thailand). menghadirkan ciri „Betawi‟ dalam berbagai
kegiatan dan material budaya di Jakarta.
Pada masa Orde Baru, pemerintah pernah Dalam bidang Arsitektur, gedung-gedung
menggagas rencana pembangunan „Menara publik dianjurkan untuk berarsitektur khas
Jakarta‟, sebagai bangunan tertinggi di Betawi. Pertanyaan yang justru muncul adalah
Indonesia dan Asia yang berlokasi di eks apakah Jakarta itu identik dengan Betawi? dan
bandara Kemayoran, melalui sebuah apakah Betawi itu identik dengan Jakarta?
sayembara terbatas (1995/1996). Namun [23], lalu entitas Betawi mana yang mewakili
rencana besar ini tidak pernah terwujud karena Jakarta? Gugatan ini justru mempertegas
setahun sesudah berlangsungnya sayembara menguatnya politik identitas di balik validitas
tersebut, rezim Orde Baru tumbang. Selain „identitas‟ itu sendiri.
Menara Jakarta, ada beberapa bangunan
menara lain yang juga belum jadi dibangun Contoh tentang Jakarta menjadi menarik jika
karena Indonesia memasuki era krisis ekonomi kita sandingkan dengan provokasi Cornelis
pada pertengahan dekade 1990-an. Ide untuk Lay (2003) yang menulis: „Jakarta Berkata,
memberi tanda dalam ruang kota melalui Akulah Indonesia‟.[15] Fenomena menguatnya
bentuk karya arsitektural disponsori oleh para wewenang pemerintah/politik kedaerahan
taipan, konglomerasi dan perusahaan milik pasca reformasi menggugat eksistensi
negara yang kuat secara finansial. dominasi Jakarta, memunculkan pertanyaan
baru tentang apa yang dilontarkan oleh
Ide ini kemudian muncul kembali pasca tahun Gubernur DKI terkait dengan identifikasi
2010, seiring membaiknya perekonomian budaya Jakarta dan Non-Jakarta. Dalam
Indonesia yaitu melalui rencana pembangunan struktur organisasi profesi arsitektur di
Gedung Signature Tower (milik pengusaha Indonesia sendiri, menguatnya peran cabang-

71
NALARs Jurnal Arsitektur Volume 17 Nomor 1 Januari 2017: 65-78 https://doi.org/10.24853/nalars.17.1.65-78
p-ISSN 1412-3266/e-ISSN 2549-6832

cabang di daerah juga menarik untuk disimak. baru yang megah di daerah-daerah terpencil),
Justifikasi yang sering digunakan adalah lalu b) hadir sebagai identitas baru tapi dengan
melalui perumpamaan lingustik yaitu melalui menghancurkan identitas yang sudah ada
bahasa nasional yang mengambil bahasa sebelumnya (dapat dilihat melalui masjid ARH
Melayu sebagai bahan dasar dan bukan UI baru (di Salemba Jakarta) yang didukung
bahasa Jawa atau Betawi. Hal ini karena oleh dana dari pemerintah Saudi Arabia dan
bahasa Melayu lebih banyak tersebar dan dibangun bergaya Oriental Timur Tengah
menjadi bahasa penghubung perdagangan dengan menghancurkan masjid ARH
/ekonomi yang lebih dikenal di nusantara modernist tahun 1970-an beratap datar), atau
dibandingkan bahasa Jawa atau bahasa c) hadir dengan menumpang arsitektur yang
Betawi. sudah ada (permukiman „Betawi‟ Setu
Babakan yang merupakan simulasi budaya
Betawi oleh Pemda DKI, dan juga gerbang
Passer Baroe Jakarta yang bergaya arsitektur
Tionghoa).

b. Tumbuhnya Pusat-Pusat Baru


Pasca reformasi tahun 1997, kota-kota di luar
pulau Jawa bertransformasi dan menjelma
menjadi metropolis-metropolis baru (antara
lain: Palembang, Medan dan Makassar). Kota-
kota tersebut menjadi alternatif pusat ekonomi
baru selain Jakarta. Desentralisasi
Gambar 4. Kantor Gubernur Pemerintah Propinsi pascakolonial telah memungkinkan
Gorontalo yang terletak di atas Bukit terinspirasi dari bergesernya dan terdistribusinya peran „pusat‟
Capitol Hill di Washington DC. Curamnya jalan ke wilayah di luar pulau Jawa. Pusat-pusat
menyulitkan kendaraan roda dua untuk mencapai ekonomi baru di luar Jawa tumbuh sejalan
bangunan tersebut. (Sumber: dengan meningkatnya peran daerah dalam
http://pesonawisataindonesia.com/pesona-wisata- panggung sosial-politik kenegaraan.
gorontalo-kantor-gorontalo/)
Modernitas poskolonial melahirkan ekses yaitu
Menguatnya sentimen kedaerahan ini adalah munculnya fenomena „hyper complexity‟ yang
akibat dibukanya keran desentralisasi setelah menyebar ke hampir seluruh kota seiring
sebelumnya sentralisasi begitu kuat dengan menguatnya politik kedaerahan.
dipraktekkan. Politik lokal memberikan „Multiplicity‟ dalam fenomena pragmatisme
pengaruh dalam arsitektur yaitu berupa urban menjelma menjadi „hyper-complexity‟.
praktek apartheid terhadap arsitektur non-lokal Urban kampung pasca kolonial bertranformasi
(mana yang asli dan mana yang bukan). menjadi sebuah permanen „hyper-informality‟
Selain itu, politik lokal memberikan yang berisikan bangunan bergaya beton-
kesempatan bagi elit politik di daerah untuk metal-alumunium dan tidak terencana.
membangun monumen („jejak kekuasaan‟) dan „Multiplicity‟ membentuk skyline kota di
identitas arsitektur daerah menurut Indonesia dan merepresentaskan
interpretasinya sendiri. Hal yang menarik pertumbuhan yang terjadi di area kampung
adalah beberapa daerah menjadikan arsitektur kota. Fenomena „mutiplicity‟ (hyper-complexity)
asing sebagai referensi utamanya. Perubahan membuka pertanyaan akan nasib
ini menggambarkan adanya peralihan dari perencanaan kota di Indonesia ke depannya.
„mindset‟ poskolonialisme (nasionalisme) Leonie Sandercock mengkritisi perencanaan
menjadi mindset „pos-nasionalisme‟ yaitu kota modern yang menutupi peran kelompok
berupa „etno-nasionalisme.‟[12] marginal termasuk kelas pekerja, kelompok
minoritas, kelompok difabel, dan wanita [20].
Perayaan simbol-simbol kedaerahan menjadi Sandercock, didasarkan pada masyarakat
identitas baru bagi daerah yang terjadi melalui yang semakin terbuka dan demokratis saat ini,
paling sedikit dua cara: a) hadir sebagai memperingatkan para perencana kota agar
identitas baru kedaerahan atau jelmaan neo- lebih mengenal perbedaan budaya masyarakat
regionalisme (seperti Komplek baru yang semakin kompleks dan mobilitas
perkantoran Gubernur dan DPRD Gorontalo masyarakat kota di tengah arus cepat
yang meniru Capitol Hill di Washington DC pertumbuhan kota itu sendiri dalam rangka
(Gambar 4), atau penggunaan atap kubah menghindari terjadinya ekses urbanisasi yang
pada berbagai bangunan publik di Aceh pasca ditimbulkan akibat eksklusi sosial, represi dan
peristiwa Tsunami dan penerapan syariat marginalisasi. [20]
Islam, rencana pembangunan airport-airport
72
Dinamika Arsitektur Indonesia dan Representasi „Politik Identitas‟ Pasca Reformasi
(Kemas Ridwan Kurniawan)

Sementara itu, pertumbuhan ekonomi wilayah Politik identitas pasca Orde Baru semakin
juga memicu pertumbuhan kota-kota kecil menarik ketika kita melihat semakin agresif
yang masih mempunyai nilai-nilai tradisional dan derasnya budaya asing tertentu masuk ke
yang khas namun berpacu dalam beradaptasi Indonesia. Sebagai contoh adalah populernya
dengan modernitas yang sulit dibendung. budaya pop dari Korea (seperti gangnam
Kota-kota kecil yang dulunya mengandalkan style), meningkatnya popularitas peralatan
kekayaan alam seperti hasil pertanian, elektronik aneka gadget bermerk asal Korea,
perkebunan, perikanan dan pertambangan dan menjamurnya film-film dan musik Korea,
mesti mencari strategi baru agar bisa bertahan yang berlanjut dengan kedatangan artis-artis
dengan menipisnya unsur hara, perubahan Korea dalam industri hiburan di Indonesia.
cuaca dan lingkungan alam, serta menipisnya Kini, bahkan dalam bidang arsitektur, KAAB,
persediaan bahan tambang. Sebagai contoh Lembaga Akreditasi Arsitektur Korea juga
adalah kota Sawah Lunto (Sumatera Barat) berhasil menempatkan dirinya untuk
dan Muntok (Kepulauan Bangka-Belitung) memberikan akreditasi bagi Sekolah-sekolah
yang mengandalkan industri pertambangan di Arsitektur di Indonesia. Korea telah menjelma
masa lampau. Fenomena yang terjadi di menjadi kekuatan asing baru dalam aspek
beberapa kota yang memudar identitasnya ekonomi bahkan dalam hal pendidikan dan
akibat meredupnya aktivitas ekonomi sangat profesi arsitektur
menarik untuk diamati. Sawah Lunto di
Sumatra Barat mengalami perubahan Identitas Arsitektur
identitas, dari kota tambang menjadi kota
„wisata‟ tambang zaman kolonial (2005) akibat „In the Indonesian architectural
berhentinya produksi Batubara di kota discourse, the notion of identity is
tersebut. Walaupun awal peralihan ini secara understood merely as something
sosial politik dilakukan melalui pendekatan top- related to fixed, static and final
down namun kemudian didukung secara outcomes. This is affected by the
bottom – up. Peran sejarahwan seperti Erwiza condition in Indonesian architectural
Erman [3] yang mengangkat sejarah „orang education and also the cultural
rantai‟ zaman kolonial untuk mengisi cerita mindset amongst Indonesian scholars
baru Sawah Lunto (2007), memunculkan who have treated architecture and
potret identitas masa silam yang kelam urbanism as mainly collections of
sebagai komoditas yang mendukung kegiatan monolithic solitary buildings. In order
pariwisata. Perubahan ini (preservasi dan to escape from this traditional regime
revitalisasi) menitikberatkan rekonsiliasi di of thinking, this notion must be
semua lapisan masyarakat dengan rethought and brought to the
mengandalkan aset „heritage‟ kota melalui comprehension that identity is a
pendekatan „adaptive-reuse‟. theoretical device rather than merely a
traditional agent for building‟s
c. Globalisasi oleh kekuatan asing baru classification and identification. [11:13]
Globalisasi telah menghadirkan dunia yang
seolah menjadi satu tanpa sekat, dan Identitas arsitektur bersifat rentan terhadap
cenderung seragam, dimana fenomena intervensi dan bisa mengandung muatan
budaya baru di sebuah negara juga bisa terjadi subversif, baik personal, sosial maupun geo-
dan cepat menyebar ke berbagai belahan politikal. Sebagai contoh penghancuran
dunia lainnya akibat teknologi informasi dan bangunan-bangunan kolonial akibat sentimen
sosial media yang tidak bisa terbendung lagi. anti-kolonial pada masa Orde Baru, juga
Begitu juga dalam ranah arsitektur. pembakaran dan penjarahan berbagai sarana
komersial dan permukiman kelompok etnis
Era pasca reformasi telah menyediakan dan agama tertentu yang mewarnai konflik
kesempatan lebih banyak bagi interaksi silang- etnis dan agama di beberapa daerah di
budaya antar bangsa (multikulturalisme) akibat Indonesia (Poso, Ambon, Pontianak) pasca
globalisasi dan juga peran sosial media. Hal ini reformasi 1998. Hal ini bersamaan pula
dibuktikan dari makin banyaknya kolaborasi dengan aksi terorisme yang menghantam
antar kebudayaan yang diinisiasi oleh bangunan klub-klub untuk orang asing di Bali
berbagai komunitas mulai dari masyarakat yang juga berlanjut pada beberapa gedung
biasa, artis, arsitek, akademisi, perwakilan penting di Jakarta yang merepresentasikan
Lembaga Swadaya Masyarakat dan kekuatan kapitalisme asing.
budayawan.
Hall menyampaikan pentingnya subyektifitas
dalam menemukan identitas, yaitu „one of the
places that we have to go to is certainly in the
73
NALARs Jurnal Arsitektur Volume 17 Nomor 1 Januari 2017: 65-78 https://doi.org/10.24853/nalars.17.1.65-78
p-ISSN 1412-3266/e-ISSN 2549-6832

contemporary languages which have sebagai Rujukan Utama dalam ber-Arsitektur-


rediscovered but repositioned the notion of the Kota.
subject, of subjectivity‟ [10:45]. Dalam
pemahaman identitas seperti ini, Hall a. Kembali ke Kearifan Lokal dan nilai
mengusulkan sebuah konsep baru identitas Pusaka (Heritage) sebagai „Masa Depan‟
yang ia sebut „a new hybrid postcolonial Inspirasi menarik pola-pola strategi sosial
subject‟. Jika melihat yang terjadi di Indonesia, kontemporer terhadap intervensi ruang budaya
istilah ini lebih tepatnya menjadi „a new hybrid dapat kita saksikan salah satunya melalui
ethno-national subject.‟ kegiatan Rumah Asuh yang digerakkan oleh
Yori Antar dan kawan-kawan beserta Yayasan
Masyarakat Indonesia yang menghormati Tirto Utomo. Beberapa proyek yang sudah
bahasa simbol menempatkan figuritas individu berjalan seperti Sumba, Mbaru Niang di
sebagai hal yang sangat penting. Dalam hal ini Waerebo (2013), Nias dan Sumpu, melibatkan
pemimpin-pemimpin, baik yang formal maupun peran figur-figur kunci yang mampu
informal, dalam masyarakat mempunyai menggerakkan masyarakat. Di balik istilah
pengaruh yang kuat. Identitas yang dikatakan „Asuh‟ terdapat realitas mengenai tuntutan
Hall bersifat hybrid mempunyai sifat akan „safe-guarding‟, „resistance/resilience‟
„consociational‟ yaitu melalui konsensus dan juga komodifikasi kebudayaan. Hybrid
keterwakilan pemimpin-pemimpin dalam yang terjadi melalui kolaborasi „outsider‟ yaitu
masyarakat. Kepemimpinan yang kuat dan adil arsitek profesional dan „insider‟ yaitu
sangat dibutuhkan agar masyarakat yang masyarakat setempat yang pada dasarnya
memiliki hubungan dan kepentingan dengan merupakan tindakan penyelamatan nilai
representasi-representasi identitas tadi, namun kearifan lokal dan nilai warisan budaya
berada di luar proses politik identitas tersebut, (heritage). Kolaborasi dan komodifikasi sistem
tidak mengalami „displacement‟ (suatu sosial membangun yang dilakukan bukan
perasaan „being out of place), ataupun hanya merekontruksi identitas tapi juga
„dislocation‟ (berhubungan dengan mereproduksi ruang melalui pola intervensi
„alienation‟), dan juga fragmentation baru, yaitu adanya dukungan dana dari
(guncangan „multiple identities‟)‟ [9:224]. Oleh philantropi.
karena itu, bila melihat sejarah arsitektur di
Indonesia, simbol-simbol sosial dalam
masyarakat ini memegang kunci sebagai
representasi masyarakat sekaligus figur
penting yang menyatukan dalam
mengkonstruksi dan memproduksi ruang
arsitektur dan kota. Dengan kata lain identitas
ruang kota ditentukan melalui subyek yang
mendominasi melalui relasi kuasa tertentu.

Lebih lanjut, dalam rangka menjawab impak Gambar 5. Arsitektur tradisionaldi Waerebo.
negatif globalisasi pada masyarakat yang (Sumber: Kompas.com, 2016)
sedang mengalami transisi, dari masyarakat
tradisional yang tertutup ke masyarakat yang Tantangan baru yang muncul di balik citra
demokratis dan terbuka, maka pendekatan harmoni dan suasana damai yang dihadirkan
perspektif multikulturalisme menjadi penting dalam rekonstruksi rumah adat di pedalaman
dalam mendefinisikan ulang identitas arsitektur Waerebo adalah realitas arus modernisasi
Indonesia ke depan. Hal ini dikarenakan (dihadirkan oleh para turis) dan dilema
pendekatan multikutural dapat menghindari ruralisasi. Bahasa realitas yang diungkapkan,
bias dan ketidak adilan terhadap kelompok subyek keseharian di Waerebo menjadi
marginal dan masyarakat yang berada di luar tantangan bagi orang luar untuk benar-benar
proses politik identitas [11:20]. Perspektif tahu apa yang sesungguhnya terjadi di
multikultural membuka ruang negosiasi bagi Waerebo. Pembangunan Mbaru Niang
kemunculan ruang ketiga (hybrid). menyimpan „hidden social reality.‟ [27]. Mbaru
Niang menjadi proyek yang memicu
Pada bagian ini, saya mencoba meneropong perbaikan-perbaikan lingkungan yang terjadi di
dua fenomena di Indonesia untuk melihat Waerebo. Pasca pembangunan Mbaru Niang,
kemungkinan produksi identitas ruang baru produksi identitas arsitektur akan terus terjadi
yaitu melalui Kearifan Lokal dan Nilai Pusaka di hari-hari selanjutnya, dan kemungkinan
(Heritage) sebagai Masa Depan dan tantangan yang dialami Waerebo ke depannya
Keberlanjutan Lingkungan dan Realitas Sosial semakin meluas, seiring terbukanya isolasi

74
Dinamika Arsitektur Indonesia dan Representasi „Politik Identitas‟ Pasca Reformasi
(Kemas Ridwan Kurniawan)

wilayah dengan pembukaan jalan akses „Tanahku Indonesia‟ 2017 yang berangkat dari
seperti yang diminta oleh penduduk setempat. tema „materialscape‟ dengan mengkompilasi
Akankah Waerebo menjadi „Apocalypto‟ masa berbagai material „tanah‟ yang berhubungan
kini dengan masuknya pendatang-pendatang dengan berbagai tradisi membangun di
baru nantinya? Indonesia sebagai bahan dasar untuk bisa
diolah lebih jauh sebagai industri kreatif
Waerebo hanyalah satu contoh kecil di Indonesia masa depan.
Indonesia. Selain Waerebo, penggiat arsitektur
di Indonesia juga berkiprah dalam kegiatan b. Keberlanjutan Lingkungan dan
pelestarian pasca reformasi melalui lembaga- Realitas Sosial sebagai Rujukan Utama
lembaga kemasyarakatan (Non-Government dalam ber-Arsitektur-Kota
Organization – NGO) seperti Badan Realitas praktek arsitektur di Indonesia pasca
Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI), Jaringan reformasi dihadapkan pada isu lingkungan dan
Kota Pusaka Indonesia (JKPI), Pusat sosial budaya. Bencana alam yang sering
Dokumentasi Arsitektur (PDA). Muncul istilah terjadi dan melanda sebagian wilayah
„Pusaka‟ sebagai terjemahan dari „Heritage‟ Indonesia, jenuhnya arsitektur Indonesia
untuk memberikan penekanan pada aspek terhadap model-model arsitektur pascamodern
non-ragawi melalui pelestarian nilai-nilai dan juga tuntutan dan tekanan ekonomi yang
pusaka bagi kelangsungan identitas bangsa. semakin meningkat menjadi pemicu bagi
pencarian ranah-ranah arsitektur baru yang
Keberadaan Undang-Undang Cagar Budaya belum penah dijangkau oleh para arsitek
no: 11 tahun 2010 (menggantikan UU Cagar profesional sebelumnya. Tsunami tahun 2004
Budaya tahun 1992 yang sudah tidak sesuai yang menerjang Banda Aceh dan sekitarnya
dengan perkembangan) memberikan arah dan telah membuka mata masyarakat „arsitektur‟ di
fondasi legal bagi kegiatan pelestarian Indonesia bahwa ruang kehidupan masyarakat
selanjutnya. Muncul berbagai program Indonesia sangat dekat dengan isu
pelestarian pusaka oleh beberapa kementerian kebencanaan (letak kepulauan Indonesia yang
terkait, salah satunya adalah Program berada dalam cincin api („ring of fire‟) dunia).
Pelestarian dan Pengembangan Kota Pusaka Perlu adanya perhatian dan pendekatan baru
(P3kP) di bawah kementerian Pekerjaan mengenai arsitektur di Indonesia untuk
Umum sejak tahun 2013. mengantisipasi perubahan-perubahan ruang
sekaligus daya tahan masyarakat untuk bisa
„Heritage‟ menjadi semacam trend gaya hidup hidup di wilayah yang rawan bencana alam
„modern‟ bagi masyarakat kelas menengah di semacam ini. Isu lingkungan menjadi sebuah
perkotaan, menunjukkan masyarakat semakin paradigma yang menjadi alternatif penting
eksploratif menjelajah ruang-ruang identitas dalam pencarian jati diri, melampaui isu
baru bagi masa depan mereka. kebangsaan di era Orde Lama dan Orde Baru.
Istilah-istilah asing seperti „urban farming‟,
Lebih jauh lagi, penggiat arsitektur tanah air „water harvesting‟, „biophilic‟ mulai populer di
semakin melihat „Indonesia‟ sebagai sumber telinga para penggiat arsitektur di tanah air.
inspirasi kreatifnya pasca dicanangkannya 10
destinasi Wisata Prioritas Indonesia tahun Selain itu, krisis ekonomi dan masalah
2016 dan direvitalisasinya berbagai bandara kemiskinan yang terjadi di masyarakat juga
perintis di berbagai daerah terpencil yang telah mengasah sensitifitas dan memberi
semakin memudahkan kunjungan ke berbagai peluang baru dalam praktek berarsitektur yang
daerah berarsitektur menarik di Indonesia. Hal peka terhadap isu sosial khususnya bagi para
ini memberikan alternatif baru bagi publik arsitek generasi muda yang masih lekat
untuk mengeksplorasi Indonesia lebih jauh. dengan idealismenya. Muncul istilah arsitek
Beberapa sayembara arsitektur yang sosial, yaitu arsitek yang berpihak pada isu
mengangkat pesona arsitektur tradisional di sosial dan informalitas. Aspek keseharian
Indonesia telah menarik minat para arsitek (everyday) menjadi penting dalam rangka
muda dan mahasiswa, seperti sayembara mengungkap dan mengangkat ruang-ruang
perancangan Rumah Wisata (Homestay) terpinggirkan dan terabaikan.
Nusantara tahun 2016 dan restoran Nusantara
tahun 2017 (diselenggarakan oleh IAI dan Perubahan aspek geopolitik terhadap ruang
Propan). Selain itu, Badan Ekonomi Kreatif bertinggal dan ruang hidup semacam ini
(BEKRAF) Indonesia menjadikan arsitektur ternyata menimbukan ekses, akibat munculnya
sebagai salah satu target pengembangan ruang-ruang baru yang tadinya tidak ada.
industri kreatif yang potensial memberikan nilai Ruang-ruang baru ini menjadi arena
tambah bagi negara. Salah satunya pertarungan sosial yang berdampak pada
dicerminkan melalui kegiatan Pameran kualitas dan keberlanjutan ruang-ruang
75
NALARs Jurnal Arsitektur Volume 17 Nomor 1 Januari 2017: 65-78 https://doi.org/10.24853/nalars.17.1.65-78
p-ISSN 1412-3266/e-ISSN 2549-6832

berkehidupan di kota. Gentrifikasi telah merembes dan siang hari masih


melahirkan resistensi terhadap ruang-ruang terasa panas walau ada penyejuk
marginal (contoh: permukiman „urban ruangan. "Sejauh negara ini belum
kampung‟) yang masyarakatnya kurang ada Undang-undang Arsitek maka tak
mendapat akses atas ruang-ruang publik dan ada hukuman bagi mereka yang
infrastruktur yang layak. Selain itu, ruang lain mengabaikan tugasnya." [29]
(„other‟) yang tadinya tersembunyi dan tabu
untuk diungkapkan karena berhubungan Arsitek tipe pertama (Berbakat dan Lugu)
dengan isu gender, rasial, sexual merupakan adalah produk perubahan paradigma
potensi bagi hadirnya identitas ruang baru. Pendidikan Arsitektur tahun 1994, yaitu dari
pendidikan arsitektur berorientasi profesional
Persoalan lingkungan dan realitas sosial di (dengan gelar Insinyur, pendidikan selama 5
Indonesia, menjadi akar identitas tersembunyi tahun), menjadi pendidikan arsitektur
bagi ruang-ruang arsitektur dan kota di berorientasi akademik (bergelar Sarjana,
Indonesia yang mengalami urbanisasi dan pendidikan selama 4 tahun).
transisi dari kota tradisional menjadi kota
modern (pasca-tradisional) dengan Sebagian Arsitek tipe pertama ini sempat
menguatnya ekonomi [pragmatis]-nya. merasakan kemunculan Arsitek Muda
Identitas tersembunyi ini melekat di balik Indonesia (AMI) dan menjadikan AMI sebagai
identitas visual yang tampak di permukaannya, idola mereka. Ketika anggota AMI generasi
dan formasinya tergantung dari perubahan- pertama menganggap diri mereka „Tidak
perubahan pada masyarakat, kondisi Muda‟ lagi yang menurut Sonny Sutanto
geopolitik dan ekonomi selanjutnya. diistilahkan sebagai AMI „Asam Urat‟, arsitek-
arsitek generasi selanjutnya memunculkan
c. Generasi millenial Arsitek Indonesia generasi Pasca AMI yang bergabung dalam
Gunawan Tjahjono (2016), mengungkapkan kelompok-kelompok seperti Jong Arsitek,
ada lima jenis Arsitek di Indonesia, yaitu: 1) Architect Under Big Tree, dan Komunitas
Arsitek yang berbakat dan lugu, 2) Arsitek Belajar Design.
kurang berbakat dan lugu, 3) Arsitek Pelayan,
4) Arsitek kontekstual, 5) Arsitek perancang Refleksi Abidin Kusno mengenai peluang
sekaligus pegiat atau katalis. Dari kelima tipe munculnya dinamika baru dalam berarsitektur
arsitek ini Gunawan Tjahjono secara khusus oleh para arsitek muda sebagai suatu strategi
menggambarkan arsitek tipe pertama sebagai sosial dalam intervensi budaya perlu dicermati.
representasi arsitek generasi 1990-an dan Budaya berarsitektur seperti apa yang
2000-an yang kurang peka terhadap isu nantinya akan muncul dari generasi milenial
lingkungan (konteks). arsitek Indonesia yang bercirikan mahir
menggunakan gadget dan memanfaatkan
„Menurut Gunawan, yang termasuk media sosial sebagai media komunikasi?
dalam jenis arsitek ini adalah mereka Suatu hal yang perlu dipersiapkan baik
yang mahir merancang dan mampu kalangan profesi maupun pendidik arsitektur di
mengembangkan kaidah arsitektural. Indonesia yaitu munculnya strategi sosial baru
Namun, arsitek ini tidak peka atau dalam praktek arsitektur di Indonesia,
kurang peduli terhadap lingkungan khususnya pasca penerapan Undang-Undang
atau konteks tempat karya mereka no. 7 tahun 2017 tentang Arsitek. Apakah
yang akan dibangun. Mereka generasi milenial ini masih menganggap
mengabaikan -sengaja atau tidak, bahwa arsitektur adalah „wujud hasil
faktor-faktor yang berdampak negatif penerapan ilmu pengetahuan, teknologi, dan
bagi keberlanjutan lingkungan.‟ [29], seni secara utuh dalam mengubah ruang dan
lingkungan binaan sebagai bagian dari
„Gunawan menengarai arsitek ini kebudayaan dan peradaban manusia yang
cukup banyak di Indonesia terutama memenuhi kaidah fungsi, kaidah konstruksi,
yang berkarya pada rentang 1990-an, dan kaidah estetika serta mencakup faktor
2000-an, dan meraih ketenaran pada keselamatan, keamanan, kesehatan,
2010-an. Dicontohkannya, ada satu kenyamanan, dan kemudahan‟ [1]. Ataukah
karya pemenang Anugerah Ikatan arsitektur menjadi sesuatu yang lebih abstrak
Arsitek Indonesia 1999 yang cukup tak berwujud ke depannya? Waktu yang akan
menyengsarakan penggunanya. menjawabnya.
Berdasarkan informasi yang
diperolehnya, pengguna bangunan
mengeluh karena tiap hujan air

76
Dinamika Arsitektur Indonesia dan Representasi „Politik Identitas‟ Pasca Reformasi
(Kemas Ridwan Kurniawan)

KESIMPULAN DAFTAR PUSTAKA

Makalah ini mengungkapkan kesulitan dalam [1]. ........... Undang-Undang nomor 7 tahun
merumuskan identitas arsitektur Indonesia 2017 tentang Arsitek.
yang sering diidentifikasikan secara visual [2]. Rendell, Jane, „Tendencies and
semata. Sementara itu peran politik identitas Trajectories: Feminist Approaches in
sebagai salah satu agen penting dalam Architecture‟, dalam Crysler, C.G., Cairns,
membentuk formasi identitas Arsitektur itu Stephen & Heynen, Hilde (eds). (2012).
sendiri sering diabaikan. Identitas arsitektur The SAGE Handbook of Architectural
hadir sesuai konteksnya, namun selalu dalam Theory. Los Angeles: SAGE, hal: 93.
bentuk yang tidak lengkap, melalui absennya [3]. Erman, Erwiza. (2007). Orang Rantai.
realitas. Jakarta: Penerbit Ombak bekerjasama
dengan Pemerintah Kota Sawah Lunto.
Hal yang menjadi perdebatan selama ini [4]. Gay, Paul Du; Evans, Jessica and
adalah pada tataran representasi identitas Redman, Peter (eds.). (2000). Identity: A
arsitektur (dan kecenderungan menjauh dari Reader. London, Thousand Oaks, New
politik identitas). Padahal masyarakat Delhi: Sage Publications. Hal : 28
Indonesia sangat familiar dengan bahasa [5]. Gouda, Frances. (1995). Dutch Culture
simbol dan menghormati figuritas, sehingga Overseas: Colonial Practice in The
sangat mudah untuk dipengaruhi oleh kuasa Netherlands Indies 1900-1942.
melalui pencitraan dan representasi. Oleh Netherlands: Amsterdam University
karena itu pertanyaan tentang „Apa Press.
identitasnya?‟ tidak terlalu penting untuk [6]. Haboddin, Muhtar. (2012). „Menguatnya
diperdebatkan, tapi tujuan dan latarbelakang Politik Identitas di Ranah Lokal‟. Jurnal
kemunculannya yang perlu diperhatikan agar Studi Pemerintahan 3: 1: 109 – 126.
dapat bermanfaat bagi masyarakat yang [7]. Hall, Stuart (ed.). (1997).
terwakili dan tidak mengorbankan kelompok Representation: Cultural
identitas lain. Ke depannya, pendekatan Representation and Signifying
multikultural (Bhineka) yang bisa menyatukan Practices. London, Thousand Oaks, New
(Tunggal Ika) perlu menjadi pertimbangan. Delhi: Sage Publications in association
Identitas bersifat tertentu dan bukan general. with The Open University.
[8]. Jessup, Helen. (1989). Netherlands
Pasca reformasi kita menyaksikan adanya re- Architecture in Indonesia, 1900 – 1942
indigenisasi di bawah bayang-bayang [2 volumes]. Ph.D. Dissertation, Courtauld
kontinuitas praktek politik identitas pasca Orde Institute of Art, University of London.
Baru. Seiring menguatnya politik lokalitas, [9]. Keith, Michael & Pile, Steve (eds.).
wilayah-wilayah di nusantara khususnya (1996). Place and The Politics of
daerah yang mempunyai ekonomi kuat karena Identity. London and New York:
mempunyai sumber daya alam yang strategis Routledge.
mempunyai kesempatan lebih dalam menata [10]. Hall, Stuart. (1991). “Old and New
kembali arsitektur dan kota, termasuk juga Identities, Old and New Ethnicities,”
upaya adaptasi dan revitalisasi aset heritage dalam King, Anthony D. (ed.). (1991).
yang mesti berhadapan dengan penguasaan Culture Globalization and the World
ekonomi. Politik identitas akan terus System: Contemporary Conditions for
berlangsung dan mendinamisasi proses the Representation of Identity.
berarsitektur itu sendiri. Hampshire and London: Macmillan Press
Ltd.
Oleh karena itu, menjadi tanggungjawab [11]. Kurniawan, K.R. (2013). The Hybrid
warga kota dan warga negara untuk Architecture of Colonial Tin Mining
menghadirkan proses berarsitektur dan Town of Muntok, with a Prologue by Budi
berkota yang tidak hanya mengandalkan rasio, Adelar Sukada. Jakarta: UI Press.
tapi juga menghadirkan „rasa‟ dan „kesadaran‟ [12]. Kurniawan, K.R. (2014). Paradox:
sosial politik. Membangun identitas arsitektur Sebuah Naratif Tentang Arsitektur dan
yang berpihak pada kepentingan Urbanisme di Indonesia Pasca
kemanusiaan, lingkungan, sosial dan Reformasi. Pidato Pengukuhan Guru
kebudayaan adalah juga bagian dari Besar Arsitektur FTUI, 8 Oktober 2014, di
membangun peradaban di Indonesia. Depok. Jakarta: UI Press.
[13]. Kusno, Abidin. (2000) Behind the
Postcolonial: Architecture, Urban
Space and Political Cultures in
77
NALARs Jurnal Arsitektur Volume 17 Nomor 1 Januari 2017: 65-78 https://doi.org/10.24853/nalars.17.1.65-78
p-ISSN 1412-3266/e-ISSN 2549-6832

Indonesia. London and New York: Indonesia‟s Pavilion at Venice Biennale


Routledge. 2014‟. Archdaily.
[14]. Kusno, Abidin. (2011). „(Re‐)Searching http://www.archdaily.com/
Post‐Revolutionary Modernism: Indonesia 527548/craftsmanship-material-
after Decolonization‟, makalah disajikan consciousness-inside-indonesia-s-
dalam “Non‐West Modernist Past” pavilion-at-venice-biennale-2014/ (9
Conference, Singapore 15‐16 January Agustus 2014).
2011, organized by AA Asia and [25]. Gunawan, Solichin. (2013). „FATSUN
Singapore Institute of Architects (SIA). (fatsoen) PROFESI...MASIH ADA YANG
[15]. Lay, Cornelis. (2003). „Otonomi Daerah INGAT?‟ esubijono.wordpress.com.
dan Keindonesiaan‟ dalam A. Gaffar http://esubijono.wordpress.com/2013/03/0
Karim (ed). Kompleksitas Persoalan 6/peremajaan-bangunan-di-jakarta/ (9
Otonomi Daerah di Indonesia. Agustus 2014).
Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Ilmu [26]. .......... (2015). „Pesona Wisata Gorontalo
Pemerintahan, UGM. Kantor Gorontalo‟.
[16]. Lefebvre, Henri. (1991). The Production Pesonawisataindonesia.com.
of Space, translated by Donald http://pesonawisataindonesia.com/pesona
Nicholson-Smith. Oxford UK & Cambridge -wisata-gorontalo-kantor-gorontalo/ (11
USA: Blackwell. Desember 2017).
[17]. Partridge, Eric. (1983). Origins: A Short [27]. Wresti, M Clara dan Cahyaningrum, Siwi
Etymological Dictionary of Modern Yunita. (2016). „Wae Rebo, Negeri
English. New York: Greenwich House. Tersembunyi di Flores‟. Kompas.com.
[18]. Pascher, Cor. (2007). „Colonial http://regional.kompas.com/read/2016/11/
architecture in Indonesia, References and 05/11284481/wae.rebo.negeri.tersembun
developments‟ dalam Nas, Peter (ed). yi.di.flores?page=all (11 Desember 2017).
(2007). The Past in the Present: [28]. Sopandi, Setiadi. (2014). Pameran
Contemporary Architecture in Sejarah. Konteks.org,
Indonesia. Rotterdam: NAI Press in http://konteks.org/pameran-sejarah (9
association with KITLV Leiden. Agustus 2014).
[19]. Passcher, Cor. (2016). Building in [29]. Tjahjono, Gunawan. (2016). „Guru Besar
Indonesia 1600 – 1960. Volendam: LM Arsitektur: Ada 5 Jenis Arsitek, Anda
Publishers. Masuk yang Mana?‟ Tempo.com.
[20]. Sandercock, Leonie. (ed.), (1998). https://cantik.tempo.co/read/800847/guru-
Making the Invisible Visible: A besar-arsitektur-ada-5-jenis-arsitek-anda-
Multicultural Planning History. masuk-yang-mana (19 Desember 2017).
Berkeley, Los Angeles, London:
University of California Press.
[21]. Sudrajat, Iwan. (1991). A Study Of
Indonesian Architectural History. A
Thesis submitted in fulfilment of the
requirements for the degree of Doctor of
Philisophy at the Department of
Architecture University of Sydney.
[22]. Widodo, Johannes. (2007) „Modern
Indonesian Architecture:
Transplantation,Adaptation,Accommodati
on and Hybridization‟ dalam Nas, Peter
(ed). (2007). The Past in the Present:
Contemporary Architecture in
Indonesia. Rotterdam: NAI Press in
association with KITLV Leiden.

Internet
[23]. Diela, Tabita. (2013). „Arsitektur Betawi
Bukan Identitas Jakarta?‟ Kompas.com.
http://tekno.kompas.com/read/2013/06
/27/1556580/arsitektur.betawi.bukan.ident
itas.jakarta (5 Agustus 2014).
[24]. Saieh, Nico. (2014). „Craftsmanship:
Material Consciousness - Inside
78

Anda mungkin juga menyukai