1958 4733 1 PB
1958 4733 1 PB
ABSTRAK. Menguatnya politik identitas di Indonesia pasca reformasi telah melahirkan formasi
arsitektur baru yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Identitas budaya terkait indigenitas
menjadi bagian dari politik identitas yang menurut sebagian pengamat politik disinyalir dimanfaatkan
para elit dan penguasa untuk kepentingan politik kekuasaan. Ironisnya, dalam bidang arsitektur,
definisi tentang identitas ini justru semakin tidak jelas. Definisi-definisi ini berputar pada debat tentang
pencarian jati diri yang tidak pernah selesai dan sering diasosiasikan dengan proses untuk
memunculkan jati diri kebudayaan sebagai jawaban atas tantangan universalitas arsitektur modern,
globalisasi dan kemajuan teknologi.
Makalah ini mencoba mengambil dari sudut pandang yang berbeda yaitu politik identitas dalam
silangannya dengan arsitektur („space‟), waktu (sejarah) dan aspek sosial-politik. Isu yang muncul
adalah bagaimana politik identitas perlahan-lahan melanjutkan pengaruhnya dalam formasi arsitektur
di Indonesia pasca reformasi, di balik kesalah-pahaman tentang definisi „identitas‟ dalam debat-debat
arsitektur di Indonesia. Hal ini terjadi karena banyak arsitek atau teoretikus arsitektur di Indonesia
membatasi dirinya hanya dalam lingkup arsitektur, dan gagal berinteraksi secara lebih luas dengan
isu-isu sosio politik. Konsekuensinya, di satu sisi, istilah „identitas‟ kehilangan pengaruh sosio-
politiknya dan direduksi kepada masalah-masalah estetika visual semata, yang mengaburkan
identitas arsitektur sebagai suatu konsep sosial budaya. Sementara itu, di sisi lain pemanfaatan
identitas sebagai bagian dari komoditas politik juga melanjutkan dinamika yang terjadi di daerah
(regional) yaitu warna kekuasaan (power) dalam formasi arsitektur di Indonesia sebagai imbas dari
Desentralisasi. Makalah ini mengkritisi perilaku politik identitas yang cenderung berubah menjadi
„regime‟ dalam formasi identitas arsitektur saat ini, dan kurang terangkatnya isu identitas arsitektur
dengan dinamika sosio-politik dan keseharian („everyday-life‟) masyarakat.
ABSTRACT. Straighthening the politics of identity in Indonesia after the 1997 political reformation has
increased the formation of new architecture which are scattered in various regions in Indonesia. The
cultural identity on indigeneity and become part of identity politics. It was exploited by elites and rulers
for the sake of power politics. Ironically, in the field of architecture, the definition of this identity is even
more unclear. These definitions spin on the debate about the search for identity that was never
finished and is often associated with the process to bring a cultural identity as a response to the
challenges of modern architecture such as universality, globalization and technological progress.
This paper tried to look at architecture (space) in the intersection with time (history) and socio-political
aspects. The issue that arises is how the politics of identity is slowly continuing influence in the
formation of architecture in Indonesia after the 1997 political reform, under misconceptions about the
definition of 'identity' in debates of architecture in Indonesia. This happens because many architects or
architectural theorists in Indonesia restricts itself only in the sphere of architecture, and failed to
interact more broadly with social and political issues. Consequently, on the one hand, the term
'identity' loss of the socio-political influences and are reduced to a visual aesthetic problems alone,
which obscure the identity of architecture as a socio-cultural concept. Meanwhile, on the other hand
the use of identity as part of a political commodity also continue the dynamics that occur in the area
(regional) is the color of power (power) in the formation of architecture in Indonesia as the impact of
decentralization. The paper criticized the behavior of identity politics that tends to turn into a 'regime' in
the current architectural identity formation, and less lifting of architecture with issues of identity and
everyday social and political dynamics ( 'everyday-life') of community.
65
NALARs Jurnal Arsitektur Volume 17 Nomor 1 Januari 2017: 65-78 https://doi.org/10.24853/nalars.17.1.65-78
p-ISSN 1412-3266/e-ISSN 2549-6832
66
Dinamika Arsitektur Indonesia dan Representasi „Politik Identitas‟ Pasca Reformasi
(Kemas Ridwan Kurniawan)
67
NALARs Jurnal Arsitektur Volume 17 Nomor 1 Januari 2017: 65-78 https://doi.org/10.24853/nalars.17.1.65-78
p-ISSN 1412-3266/e-ISSN 2549-6832
Selanjutnya, identitas arsitektur bersifat Dengan demikian, menurut Hall pula bahwa
kontekstual dan situasional („contingent‟) [2]. Representasi sangat erat hubungannya
Identitas sendiri dapat berkembang, menyusut dengan identitas dan pengetahuan. [7: 5]
atau musnah menyesuaikan dengan
konteksnya. Dalam hal ini, konteks dan Arsitektur Indonesia
identitas saling membutuhkan. Ketika konteks Wacana politik identitas arsitektur di Indonesia
kurang memberi asupan (cenderung stabil) sudah hadir sejak lama, khususnya sejak
bagi berkembangnya identitas, maka identitas zaman kolonial [8], berlanjut hingga zaman
juga menjadi stagnan dan lama-kelamaan pasca kolonial dan periode pasca reformasi
terjadi fixasi (tidak berubah) yang dapat [13 & 23]. Pada masa pasca kolonial hingga
mengakibatkan berhentinya vibrasi identitas. reformasi, paling tidak telah muncul empat
generasi arsitek Indonesia, dan dari empat
Sementara itu politik, secara etimologi berasal generasi ini lalu muncul paling sedikit tiga arus
dari bahasa Yunani „polis‟ („city‟). „Polis‟ ini (faksi) pemikiran arsitektur [21]. Dari tiga arus
mempunyai agen disebut „polite‟ („a citizen‟), ini lalu muncul berbagai istilah mengenai
dengan adjective-nya adalah „politikos‟ („of a „Arsitektur Indonesia‟ (catatan: istilah Arsitektur
citizen/the citizens, of the state‟). „Politikos‟ ini Indonesia sering digunakan oleh Van
dalam bahasa Latin menjadi „politicus‟, dalam Romondt), seperti antara lain „Arsitektur
bahasa Perancis menjadi „politique‟, dan Nusantara‟, „Arsitektur Tropis Indonesia‟ dan
dalam bahasa Inggris menjadi „politic‟ [17:509]. „Arsitektur Tepat Guna‟ [21]. Namun dalam
Politik secara harfiah diartikan sebagai suatu periode ini, di balik proses pencarian identitas
yang mengatur hubungan antara warga itu sendiri, arsitektur Indonesia menjadi jumud
(citizen) baik dalam lingkup polis (city) maupun karena ketidakmampuan profesi dan
negara (state). akademisi berdialog dengan disiplin lain. Kritik
menarik diutarakan oleh sejarahwan arsitektur
Adapun perbedaan antara „identitas politik‟ Sudrajat (1991) bahwa „a broadly based
(political identity) dengan „politik identitas‟ history of architecture would have the potential
(political of identity), menurut Haboddin, to bridge some extraordinarily interesting
adalah bahwa „political identity merupakan interdisciplinary issues... We would anticipate,
konstruksi yang menentukan posisi for example, research which is more sensitive
kepentingan subjek di dalam ikatan suatu to political matters and social justice‟ [21:220-
komunitas politik sedangkan political of identity 1].
mengacu pada mekanisme politik
pengorganisasian identitas (baik identitas Pasca reformasi, berbagai seminar dan
politik maupun identitas sosial) sebagai workshop telah diadakan untuk melihat
sumber dan sarana politik‟ [6]. Dengan kemungkinan-kemungkinan arsitektur
demikian politik identitas merupakan suatu Indonesia masa depan. Salah satunya
sikap yang didasarkan pandangan politik diungkapkan oleh Passcher (2007), yang
tertentu dalam hubungannya dengan aspek berupaya melihat identitas sebagai suatu
kuasa (power), kepemerintahan kelanjutan sejarah, bahwa sejarah masa
(governmentality), kewargaan (citizenship) lampau menjadi referensi, yaitu
dengan mengambil fokus pada isu-isu identitas
seperti gender, race, ethnicity, religion atau Indonesia today, with the presence of
sexual orientation untuk suatu tujuan tertentu. an indigenous and colonial
architectural urban heritage has to
Subyek dalam arsitektur merepresentasikan deal with questions regarding
identitas sekaligus aktor dalam politik identitas, historical-cultural value and the
yang merupakan realitas di balik representasi- preservation, re-use or demolition of
representasi visual yang terjadi. Realitas buildings. Beside this historical-cultural
dalam politik identitas ditandai oleh importance, what is the significance of
beroperasinya kuasa dan politik ekonomi the architectural heritage nowadays
dalam rangka memperkuat posisi politik elit. and is there actually a role for it to
fulfil? In the field of architecture, the
Arti dari representasi diungkapkan oleh Hall colonial episode left behind
(1997) yang mengatakan bahwa environmental qualities, structures and
„Representation is the production of the buildings. Those architects all
meaning of the concepts in our minds through functioned in and derived their
language.‟ [7 :17]. Oleh karena itu representasi references from the colonial situation.
sangat erat kaitannya dengan proses sosial Their clients were commercial bodies
budaya yang memproduksi arti (meaning). or private individuals who were located
68
Dinamika Arsitektur Indonesia dan Representasi „Politik Identitas‟ Pasca Reformasi
(Kemas Ridwan Kurniawan)
dan „modern miniature theme park‟, sengaja rangka mengubah pola hidup berpindah
atau tidak sengaja menjadi media explorasi menjadi menetap, pemerintah, melalui proyek
etnografis atas suku-suku atau etnis tradisional perumahan suku terasing, juga membuatkan
ini melalui obyektifikasi, exotifikasi dan puluhan rumah sederhana (yang lebih tepat
identifikasi atas kehidupan keseharian mereka disebut sebagai bedeng shelter) secara cuma-
yang justru merendahkan martabat cuma di tepi-tepi jalan besar yang dindingnya
masyarakat terasing/tradisional tersebut. terbuat dari GRC beratap seng, sangat kontras
dengan bangunan asli Orang Rimba yang
Persoalan dilema indigenitas dan krisis ruang sebenarnya. Politik „re-settlement‟ ini, sedikit
bertinggal bisa menjadi sisi yang lain yang demi sedikit membuka isolasi dan
terabaikan. Tragedi telah dialami oleh Orang mengeluarkan Orang Rimba dari Rimba.
Rimba yang tersebar di beberapa pulau di Namun sangat menyedihkan, di balik itu
nusantara dan oleh pemerintah kemudian ternyata kegiatan deforestasi ilegal justru
diberi nama Suku Anak Dalam, nama yang semakin meluas dan semakin mengancam
menurut pemerintah dianggap lebih „beradab‟. ruang habitat Orang Rimba yang sebelumnya
telah tersingkir akibat pembukaan lahan
perkebunan dan permukiman transmigrasi.
Fenomena Orang Rimba menarik produser
Mira Lesmana untuk mengabadikannya
melalui layar kaca dengan mengangkat tema
Sokola Rimba [12]. Film tersebut memberi
sentuhan kemanusiaan dan sosial yang kuat
yang diwarnai intervensi politik identitas
(Gambar 2).
oleh Arsitek Ir. N. Siddharta dari AT-6), yang Tomy Winata dan dirancang oleh Arsitek asing
sekarang ditutupi dengan panel-panel dari Smallwood, Reynolds, Stewart, Stewart
komposit metal (Gambar 3). Penyarungan and Associates Inc. (SRSSA) yang dibantu
dengan maksud peremajaan memberikan arti PDW Architects sebagai mitra lokal) di
selain untuk menutupi realitas wajah kawasan SCBD Jakarta setinggi 638 m (111
sesungguhnya (lama), merupakan upaya lantai) dan Pertamina Energy Tower (milik
praktis agar nanti mudah diganti kembali. BUMN Pertamina dan dirancang oleh
Skidmore Owings Merrill (konsultan utama)
c. „Penanda‟ era yang bermitra dengan PT Airmas Asri dan PT
Berbagai simbol fisik arsitektur berupa Wiratman sebagai konsultan lokal) setinggi
monumen, memorial, ruang publik dan 523 m (99 lantai) di kawasan Rasuna
bangunan merepresentasikan aspek sosial Episentrum Kuningan Jakarta. [12]
politik pada suatu masa khususnya terkait
kekuasaan yang sedang berlangsung pada Ekses sebagai Tantangan
saat itu. Regime Orde Lama dan Baru sama- Selain tiga issue keberlanjutan politik identitas
sama menggunakan arsitektur sebagai media model lama seperti dijelaskan pada sub bab
untuk menandai era masing-masing. Jika di sebelumnya, pada pasca reformasi kita
era Orde Lama, Soekarno menggunakan melihat suatu fenomena arsitektur baru
bahasa antar bangsa (internasional) sebagai sebagai ekses dari dinamika politik identitas
landasan bagi monumen dan bangunan yang dan modernitas yang terjadi melalui
digagasnya, sebaliknya era Suharto menguatnya lokalitas dan tantangan
menguatkan bahasa ke-Indonesia-an revitalisasi serta kekuatan global baru.
(indigenisasi) melalui artikulasi arsitektur
tradisional sebagai langgam penanda era a. Menguatnya lokalitas
tersebut. Selain itu, sejak dari masa Soekarno Fenomena yang terjadi pasca reformasi
dan Soeharto, pembangunan yang adalah menguatnya politik identitas di ranah
berorientasi vertikal mulai menjadi sesuatu lokal seiring menguatnya politik desentralisasi.
yang „mesti‟. Aneka monumen dan bangunan Pasca pemberlakuan UU No. 22/1999 (tentang
pencakar langit awal yang dibangun pada otonomi daerah), gerakan politik identitas
masa Soekarno untuk kota Jakarta, yang semakin jelas wujudnya. Menurut Haboddin,
dilanjutkan pada masa Suharto, menjadi „banyak aktor politik lokal maupun nasional
struktur yang mesti hadir sebagai penanda secara sadar menggunakan isu ini dalam
Jakarta layak bersaing dengan berbagai power-sharing.‟ [6]
ibukota negara lainnya di dunia baik yang
sudah lebih maju maupun yang dianggap Tahun 2013, Gubernur DKI Jakarta (joko
masih setara dengan Indonesia (Malaysia dan Widodo) menggulirkan wacana untuk
Thailand). menghadirkan ciri „Betawi‟ dalam berbagai
kegiatan dan material budaya di Jakarta.
Pada masa Orde Baru, pemerintah pernah Dalam bidang Arsitektur, gedung-gedung
menggagas rencana pembangunan „Menara publik dianjurkan untuk berarsitektur khas
Jakarta‟, sebagai bangunan tertinggi di Betawi. Pertanyaan yang justru muncul adalah
Indonesia dan Asia yang berlokasi di eks apakah Jakarta itu identik dengan Betawi? dan
bandara Kemayoran, melalui sebuah apakah Betawi itu identik dengan Jakarta?
sayembara terbatas (1995/1996). Namun [23], lalu entitas Betawi mana yang mewakili
rencana besar ini tidak pernah terwujud karena Jakarta? Gugatan ini justru mempertegas
setahun sesudah berlangsungnya sayembara menguatnya politik identitas di balik validitas
tersebut, rezim Orde Baru tumbang. Selain „identitas‟ itu sendiri.
Menara Jakarta, ada beberapa bangunan
menara lain yang juga belum jadi dibangun Contoh tentang Jakarta menjadi menarik jika
karena Indonesia memasuki era krisis ekonomi kita sandingkan dengan provokasi Cornelis
pada pertengahan dekade 1990-an. Ide untuk Lay (2003) yang menulis: „Jakarta Berkata,
memberi tanda dalam ruang kota melalui Akulah Indonesia‟.[15] Fenomena menguatnya
bentuk karya arsitektural disponsori oleh para wewenang pemerintah/politik kedaerahan
taipan, konglomerasi dan perusahaan milik pasca reformasi menggugat eksistensi
negara yang kuat secara finansial. dominasi Jakarta, memunculkan pertanyaan
baru tentang apa yang dilontarkan oleh
Ide ini kemudian muncul kembali pasca tahun Gubernur DKI terkait dengan identifikasi
2010, seiring membaiknya perekonomian budaya Jakarta dan Non-Jakarta. Dalam
Indonesia yaitu melalui rencana pembangunan struktur organisasi profesi arsitektur di
Gedung Signature Tower (milik pengusaha Indonesia sendiri, menguatnya peran cabang-
71
NALARs Jurnal Arsitektur Volume 17 Nomor 1 Januari 2017: 65-78 https://doi.org/10.24853/nalars.17.1.65-78
p-ISSN 1412-3266/e-ISSN 2549-6832
cabang di daerah juga menarik untuk disimak. baru yang megah di daerah-daerah terpencil),
Justifikasi yang sering digunakan adalah lalu b) hadir sebagai identitas baru tapi dengan
melalui perumpamaan lingustik yaitu melalui menghancurkan identitas yang sudah ada
bahasa nasional yang mengambil bahasa sebelumnya (dapat dilihat melalui masjid ARH
Melayu sebagai bahan dasar dan bukan UI baru (di Salemba Jakarta) yang didukung
bahasa Jawa atau Betawi. Hal ini karena oleh dana dari pemerintah Saudi Arabia dan
bahasa Melayu lebih banyak tersebar dan dibangun bergaya Oriental Timur Tengah
menjadi bahasa penghubung perdagangan dengan menghancurkan masjid ARH
/ekonomi yang lebih dikenal di nusantara modernist tahun 1970-an beratap datar), atau
dibandingkan bahasa Jawa atau bahasa c) hadir dengan menumpang arsitektur yang
Betawi. sudah ada (permukiman „Betawi‟ Setu
Babakan yang merupakan simulasi budaya
Betawi oleh Pemda DKI, dan juga gerbang
Passer Baroe Jakarta yang bergaya arsitektur
Tionghoa).
Sementara itu, pertumbuhan ekonomi wilayah Politik identitas pasca Orde Baru semakin
juga memicu pertumbuhan kota-kota kecil menarik ketika kita melihat semakin agresif
yang masih mempunyai nilai-nilai tradisional dan derasnya budaya asing tertentu masuk ke
yang khas namun berpacu dalam beradaptasi Indonesia. Sebagai contoh adalah populernya
dengan modernitas yang sulit dibendung. budaya pop dari Korea (seperti gangnam
Kota-kota kecil yang dulunya mengandalkan style), meningkatnya popularitas peralatan
kekayaan alam seperti hasil pertanian, elektronik aneka gadget bermerk asal Korea,
perkebunan, perikanan dan pertambangan dan menjamurnya film-film dan musik Korea,
mesti mencari strategi baru agar bisa bertahan yang berlanjut dengan kedatangan artis-artis
dengan menipisnya unsur hara, perubahan Korea dalam industri hiburan di Indonesia.
cuaca dan lingkungan alam, serta menipisnya Kini, bahkan dalam bidang arsitektur, KAAB,
persediaan bahan tambang. Sebagai contoh Lembaga Akreditasi Arsitektur Korea juga
adalah kota Sawah Lunto (Sumatera Barat) berhasil menempatkan dirinya untuk
dan Muntok (Kepulauan Bangka-Belitung) memberikan akreditasi bagi Sekolah-sekolah
yang mengandalkan industri pertambangan di Arsitektur di Indonesia. Korea telah menjelma
masa lampau. Fenomena yang terjadi di menjadi kekuatan asing baru dalam aspek
beberapa kota yang memudar identitasnya ekonomi bahkan dalam hal pendidikan dan
akibat meredupnya aktivitas ekonomi sangat profesi arsitektur
menarik untuk diamati. Sawah Lunto di
Sumatra Barat mengalami perubahan Identitas Arsitektur
identitas, dari kota tambang menjadi kota
„wisata‟ tambang zaman kolonial (2005) akibat „In the Indonesian architectural
berhentinya produksi Batubara di kota discourse, the notion of identity is
tersebut. Walaupun awal peralihan ini secara understood merely as something
sosial politik dilakukan melalui pendekatan top- related to fixed, static and final
down namun kemudian didukung secara outcomes. This is affected by the
bottom – up. Peran sejarahwan seperti Erwiza condition in Indonesian architectural
Erman [3] yang mengangkat sejarah „orang education and also the cultural
rantai‟ zaman kolonial untuk mengisi cerita mindset amongst Indonesian scholars
baru Sawah Lunto (2007), memunculkan who have treated architecture and
potret identitas masa silam yang kelam urbanism as mainly collections of
sebagai komoditas yang mendukung kegiatan monolithic solitary buildings. In order
pariwisata. Perubahan ini (preservasi dan to escape from this traditional regime
revitalisasi) menitikberatkan rekonsiliasi di of thinking, this notion must be
semua lapisan masyarakat dengan rethought and brought to the
mengandalkan aset „heritage‟ kota melalui comprehension that identity is a
pendekatan „adaptive-reuse‟. theoretical device rather than merely a
traditional agent for building‟s
c. Globalisasi oleh kekuatan asing baru classification and identification. [11:13]
Globalisasi telah menghadirkan dunia yang
seolah menjadi satu tanpa sekat, dan Identitas arsitektur bersifat rentan terhadap
cenderung seragam, dimana fenomena intervensi dan bisa mengandung muatan
budaya baru di sebuah negara juga bisa terjadi subversif, baik personal, sosial maupun geo-
dan cepat menyebar ke berbagai belahan politikal. Sebagai contoh penghancuran
dunia lainnya akibat teknologi informasi dan bangunan-bangunan kolonial akibat sentimen
sosial media yang tidak bisa terbendung lagi. anti-kolonial pada masa Orde Baru, juga
Begitu juga dalam ranah arsitektur. pembakaran dan penjarahan berbagai sarana
komersial dan permukiman kelompok etnis
Era pasca reformasi telah menyediakan dan agama tertentu yang mewarnai konflik
kesempatan lebih banyak bagi interaksi silang- etnis dan agama di beberapa daerah di
budaya antar bangsa (multikulturalisme) akibat Indonesia (Poso, Ambon, Pontianak) pasca
globalisasi dan juga peran sosial media. Hal ini reformasi 1998. Hal ini bersamaan pula
dibuktikan dari makin banyaknya kolaborasi dengan aksi terorisme yang menghantam
antar kebudayaan yang diinisiasi oleh bangunan klub-klub untuk orang asing di Bali
berbagai komunitas mulai dari masyarakat yang juga berlanjut pada beberapa gedung
biasa, artis, arsitek, akademisi, perwakilan penting di Jakarta yang merepresentasikan
Lembaga Swadaya Masyarakat dan kekuatan kapitalisme asing.
budayawan.
Hall menyampaikan pentingnya subyektifitas
dalam menemukan identitas, yaitu „one of the
places that we have to go to is certainly in the
73
NALARs Jurnal Arsitektur Volume 17 Nomor 1 Januari 2017: 65-78 https://doi.org/10.24853/nalars.17.1.65-78
p-ISSN 1412-3266/e-ISSN 2549-6832
Lebih lanjut, dalam rangka menjawab impak Gambar 5. Arsitektur tradisionaldi Waerebo.
negatif globalisasi pada masyarakat yang (Sumber: Kompas.com, 2016)
sedang mengalami transisi, dari masyarakat
tradisional yang tertutup ke masyarakat yang Tantangan baru yang muncul di balik citra
demokratis dan terbuka, maka pendekatan harmoni dan suasana damai yang dihadirkan
perspektif multikulturalisme menjadi penting dalam rekonstruksi rumah adat di pedalaman
dalam mendefinisikan ulang identitas arsitektur Waerebo adalah realitas arus modernisasi
Indonesia ke depan. Hal ini dikarenakan (dihadirkan oleh para turis) dan dilema
pendekatan multikutural dapat menghindari ruralisasi. Bahasa realitas yang diungkapkan,
bias dan ketidak adilan terhadap kelompok subyek keseharian di Waerebo menjadi
marginal dan masyarakat yang berada di luar tantangan bagi orang luar untuk benar-benar
proses politik identitas [11:20]. Perspektif tahu apa yang sesungguhnya terjadi di
multikultural membuka ruang negosiasi bagi Waerebo. Pembangunan Mbaru Niang
kemunculan ruang ketiga (hybrid). menyimpan „hidden social reality.‟ [27]. Mbaru
Niang menjadi proyek yang memicu
Pada bagian ini, saya mencoba meneropong perbaikan-perbaikan lingkungan yang terjadi di
dua fenomena di Indonesia untuk melihat Waerebo. Pasca pembangunan Mbaru Niang,
kemungkinan produksi identitas ruang baru produksi identitas arsitektur akan terus terjadi
yaitu melalui Kearifan Lokal dan Nilai Pusaka di hari-hari selanjutnya, dan kemungkinan
(Heritage) sebagai Masa Depan dan tantangan yang dialami Waerebo ke depannya
Keberlanjutan Lingkungan dan Realitas Sosial semakin meluas, seiring terbukanya isolasi
74
Dinamika Arsitektur Indonesia dan Representasi „Politik Identitas‟ Pasca Reformasi
(Kemas Ridwan Kurniawan)
wilayah dengan pembukaan jalan akses „Tanahku Indonesia‟ 2017 yang berangkat dari
seperti yang diminta oleh penduduk setempat. tema „materialscape‟ dengan mengkompilasi
Akankah Waerebo menjadi „Apocalypto‟ masa berbagai material „tanah‟ yang berhubungan
kini dengan masuknya pendatang-pendatang dengan berbagai tradisi membangun di
baru nantinya? Indonesia sebagai bahan dasar untuk bisa
diolah lebih jauh sebagai industri kreatif
Waerebo hanyalah satu contoh kecil di Indonesia masa depan.
Indonesia. Selain Waerebo, penggiat arsitektur
di Indonesia juga berkiprah dalam kegiatan b. Keberlanjutan Lingkungan dan
pelestarian pasca reformasi melalui lembaga- Realitas Sosial sebagai Rujukan Utama
lembaga kemasyarakatan (Non-Government dalam ber-Arsitektur-Kota
Organization – NGO) seperti Badan Realitas praktek arsitektur di Indonesia pasca
Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI), Jaringan reformasi dihadapkan pada isu lingkungan dan
Kota Pusaka Indonesia (JKPI), Pusat sosial budaya. Bencana alam yang sering
Dokumentasi Arsitektur (PDA). Muncul istilah terjadi dan melanda sebagian wilayah
„Pusaka‟ sebagai terjemahan dari „Heritage‟ Indonesia, jenuhnya arsitektur Indonesia
untuk memberikan penekanan pada aspek terhadap model-model arsitektur pascamodern
non-ragawi melalui pelestarian nilai-nilai dan juga tuntutan dan tekanan ekonomi yang
pusaka bagi kelangsungan identitas bangsa. semakin meningkat menjadi pemicu bagi
pencarian ranah-ranah arsitektur baru yang
Keberadaan Undang-Undang Cagar Budaya belum penah dijangkau oleh para arsitek
no: 11 tahun 2010 (menggantikan UU Cagar profesional sebelumnya. Tsunami tahun 2004
Budaya tahun 1992 yang sudah tidak sesuai yang menerjang Banda Aceh dan sekitarnya
dengan perkembangan) memberikan arah dan telah membuka mata masyarakat „arsitektur‟ di
fondasi legal bagi kegiatan pelestarian Indonesia bahwa ruang kehidupan masyarakat
selanjutnya. Muncul berbagai program Indonesia sangat dekat dengan isu
pelestarian pusaka oleh beberapa kementerian kebencanaan (letak kepulauan Indonesia yang
terkait, salah satunya adalah Program berada dalam cincin api („ring of fire‟) dunia).
Pelestarian dan Pengembangan Kota Pusaka Perlu adanya perhatian dan pendekatan baru
(P3kP) di bawah kementerian Pekerjaan mengenai arsitektur di Indonesia untuk
Umum sejak tahun 2013. mengantisipasi perubahan-perubahan ruang
sekaligus daya tahan masyarakat untuk bisa
„Heritage‟ menjadi semacam trend gaya hidup hidup di wilayah yang rawan bencana alam
„modern‟ bagi masyarakat kelas menengah di semacam ini. Isu lingkungan menjadi sebuah
perkotaan, menunjukkan masyarakat semakin paradigma yang menjadi alternatif penting
eksploratif menjelajah ruang-ruang identitas dalam pencarian jati diri, melampaui isu
baru bagi masa depan mereka. kebangsaan di era Orde Lama dan Orde Baru.
Istilah-istilah asing seperti „urban farming‟,
Lebih jauh lagi, penggiat arsitektur tanah air „water harvesting‟, „biophilic‟ mulai populer di
semakin melihat „Indonesia‟ sebagai sumber telinga para penggiat arsitektur di tanah air.
inspirasi kreatifnya pasca dicanangkannya 10
destinasi Wisata Prioritas Indonesia tahun Selain itu, krisis ekonomi dan masalah
2016 dan direvitalisasinya berbagai bandara kemiskinan yang terjadi di masyarakat juga
perintis di berbagai daerah terpencil yang telah mengasah sensitifitas dan memberi
semakin memudahkan kunjungan ke berbagai peluang baru dalam praktek berarsitektur yang
daerah berarsitektur menarik di Indonesia. Hal peka terhadap isu sosial khususnya bagi para
ini memberikan alternatif baru bagi publik arsitek generasi muda yang masih lekat
untuk mengeksplorasi Indonesia lebih jauh. dengan idealismenya. Muncul istilah arsitek
Beberapa sayembara arsitektur yang sosial, yaitu arsitek yang berpihak pada isu
mengangkat pesona arsitektur tradisional di sosial dan informalitas. Aspek keseharian
Indonesia telah menarik minat para arsitek (everyday) menjadi penting dalam rangka
muda dan mahasiswa, seperti sayembara mengungkap dan mengangkat ruang-ruang
perancangan Rumah Wisata (Homestay) terpinggirkan dan terabaikan.
Nusantara tahun 2016 dan restoran Nusantara
tahun 2017 (diselenggarakan oleh IAI dan Perubahan aspek geopolitik terhadap ruang
Propan). Selain itu, Badan Ekonomi Kreatif bertinggal dan ruang hidup semacam ini
(BEKRAF) Indonesia menjadikan arsitektur ternyata menimbukan ekses, akibat munculnya
sebagai salah satu target pengembangan ruang-ruang baru yang tadinya tidak ada.
industri kreatif yang potensial memberikan nilai Ruang-ruang baru ini menjadi arena
tambah bagi negara. Salah satunya pertarungan sosial yang berdampak pada
dicerminkan melalui kegiatan Pameran kualitas dan keberlanjutan ruang-ruang
75
NALARs Jurnal Arsitektur Volume 17 Nomor 1 Januari 2017: 65-78 https://doi.org/10.24853/nalars.17.1.65-78
p-ISSN 1412-3266/e-ISSN 2549-6832
76
Dinamika Arsitektur Indonesia dan Representasi „Politik Identitas‟ Pasca Reformasi
(Kemas Ridwan Kurniawan)
Makalah ini mengungkapkan kesulitan dalam [1]. ........... Undang-Undang nomor 7 tahun
merumuskan identitas arsitektur Indonesia 2017 tentang Arsitek.
yang sering diidentifikasikan secara visual [2]. Rendell, Jane, „Tendencies and
semata. Sementara itu peran politik identitas Trajectories: Feminist Approaches in
sebagai salah satu agen penting dalam Architecture‟, dalam Crysler, C.G., Cairns,
membentuk formasi identitas Arsitektur itu Stephen & Heynen, Hilde (eds). (2012).
sendiri sering diabaikan. Identitas arsitektur The SAGE Handbook of Architectural
hadir sesuai konteksnya, namun selalu dalam Theory. Los Angeles: SAGE, hal: 93.
bentuk yang tidak lengkap, melalui absennya [3]. Erman, Erwiza. (2007). Orang Rantai.
realitas. Jakarta: Penerbit Ombak bekerjasama
dengan Pemerintah Kota Sawah Lunto.
Hal yang menjadi perdebatan selama ini [4]. Gay, Paul Du; Evans, Jessica and
adalah pada tataran representasi identitas Redman, Peter (eds.). (2000). Identity: A
arsitektur (dan kecenderungan menjauh dari Reader. London, Thousand Oaks, New
politik identitas). Padahal masyarakat Delhi: Sage Publications. Hal : 28
Indonesia sangat familiar dengan bahasa [5]. Gouda, Frances. (1995). Dutch Culture
simbol dan menghormati figuritas, sehingga Overseas: Colonial Practice in The
sangat mudah untuk dipengaruhi oleh kuasa Netherlands Indies 1900-1942.
melalui pencitraan dan representasi. Oleh Netherlands: Amsterdam University
karena itu pertanyaan tentang „Apa Press.
identitasnya?‟ tidak terlalu penting untuk [6]. Haboddin, Muhtar. (2012). „Menguatnya
diperdebatkan, tapi tujuan dan latarbelakang Politik Identitas di Ranah Lokal‟. Jurnal
kemunculannya yang perlu diperhatikan agar Studi Pemerintahan 3: 1: 109 – 126.
dapat bermanfaat bagi masyarakat yang [7]. Hall, Stuart (ed.). (1997).
terwakili dan tidak mengorbankan kelompok Representation: Cultural
identitas lain. Ke depannya, pendekatan Representation and Signifying
multikultural (Bhineka) yang bisa menyatukan Practices. London, Thousand Oaks, New
(Tunggal Ika) perlu menjadi pertimbangan. Delhi: Sage Publications in association
Identitas bersifat tertentu dan bukan general. with The Open University.
[8]. Jessup, Helen. (1989). Netherlands
Pasca reformasi kita menyaksikan adanya re- Architecture in Indonesia, 1900 – 1942
indigenisasi di bawah bayang-bayang [2 volumes]. Ph.D. Dissertation, Courtauld
kontinuitas praktek politik identitas pasca Orde Institute of Art, University of London.
Baru. Seiring menguatnya politik lokalitas, [9]. Keith, Michael & Pile, Steve (eds.).
wilayah-wilayah di nusantara khususnya (1996). Place and The Politics of
daerah yang mempunyai ekonomi kuat karena Identity. London and New York:
mempunyai sumber daya alam yang strategis Routledge.
mempunyai kesempatan lebih dalam menata [10]. Hall, Stuart. (1991). “Old and New
kembali arsitektur dan kota, termasuk juga Identities, Old and New Ethnicities,”
upaya adaptasi dan revitalisasi aset heritage dalam King, Anthony D. (ed.). (1991).
yang mesti berhadapan dengan penguasaan Culture Globalization and the World
ekonomi. Politik identitas akan terus System: Contemporary Conditions for
berlangsung dan mendinamisasi proses the Representation of Identity.
berarsitektur itu sendiri. Hampshire and London: Macmillan Press
Ltd.
Oleh karena itu, menjadi tanggungjawab [11]. Kurniawan, K.R. (2013). The Hybrid
warga kota dan warga negara untuk Architecture of Colonial Tin Mining
menghadirkan proses berarsitektur dan Town of Muntok, with a Prologue by Budi
berkota yang tidak hanya mengandalkan rasio, Adelar Sukada. Jakarta: UI Press.
tapi juga menghadirkan „rasa‟ dan „kesadaran‟ [12]. Kurniawan, K.R. (2014). Paradox:
sosial politik. Membangun identitas arsitektur Sebuah Naratif Tentang Arsitektur dan
yang berpihak pada kepentingan Urbanisme di Indonesia Pasca
kemanusiaan, lingkungan, sosial dan Reformasi. Pidato Pengukuhan Guru
kebudayaan adalah juga bagian dari Besar Arsitektur FTUI, 8 Oktober 2014, di
membangun peradaban di Indonesia. Depok. Jakarta: UI Press.
[13]. Kusno, Abidin. (2000) Behind the
Postcolonial: Architecture, Urban
Space and Political Cultures in
77
NALARs Jurnal Arsitektur Volume 17 Nomor 1 Januari 2017: 65-78 https://doi.org/10.24853/nalars.17.1.65-78
p-ISSN 1412-3266/e-ISSN 2549-6832
Internet
[23]. Diela, Tabita. (2013). „Arsitektur Betawi
Bukan Identitas Jakarta?‟ Kompas.com.
http://tekno.kompas.com/read/2013/06
/27/1556580/arsitektur.betawi.bukan.ident
itas.jakarta (5 Agustus 2014).
[24]. Saieh, Nico. (2014). „Craftsmanship:
Material Consciousness - Inside
78