berkelanjutan, ditambah dengan adanya dikotomi ini, maka yang terjadi adalah
hilangnya kontak dengan keseluruhan kerja yang lambat laun mengikis pemahaman
akan kesadaran materialitas dari arsitektur.
Di sisi lain, selain dengan perkembangan teknologi, pengaruh sistem kapitalisme
yang di Indonesia mulai ada dan berkembang sejak kepemimpinan presiden Soeharto
terlihat nyata di bidang arsitektur. Kapitalisme mengubah kerja menjadi komoditas.
Yang dipentingkan adalah hasil akhir dan seberapa besar produk itu bernilai uang.
Hubungan antara pembuat sebagai subjek dengan produk sebagai objek menjadi
kabur. Dengan kondisi seperti ini maka selain dengan menipisnya kesadaran material
juga menghilangkan apa yang disebut dengan material culture. Nilai etis dan
estetis yang menyangkut kualitas proses kerja dan hasil juga tidak lagi diutamakan.
Dengan berbagai isu mengenai absorbing modernity dalam konteks
Indonesia inilah yang turut menjadikan tim paviliun menganggap pentingnya
mengangkat polemik ketukangan: kesadaran material sebagai tema yang diusung
pada Pameran Arsitektur Internasional Ke-14 la Biennale di Venezia. Karena selain
bisa mengangkat sejarah sekaligus sebagai upaya untuk memberikan perhatian
kepada ketukangan dan menyegarkan kembali hakikat ketukangan pada arsitektur
Indonesia.
Ulasan keempat ialah paparan secara umum spesifik mengenai perjalanan
enam material yang berkontribusi pada terjadinya dialektika ketukangan dengan
modernitas seperti dijelaskan di atas. Enam material tersebut yaitu: kayu, batu, bata,
baja, beton, bambu.
Lalu, dari berbagai penjelasan di atas, pertanyaannya adalah apakah memang
ketukangan khususnya di Indonesia seakan harus hilang dengan masuknya
modernitas? Bagaimana sebenarnya posisi kesadaran material pada ketukangan
berkaitan dengan modernitas? Inilah yang akan menjadi tinjauan bahasan dalam
skripsi ini yaitu untuk menelaah kembali pengertian ketukangan; kesadaran material
dan hubungannya dengan modernitas melalui tinjauan kembali kuratorial dalam
Pameran Arsitektur Internasional Ke-14 la Biennale di Venezia.
Menurut saya, teori teori yang dihasilkan dari kuratorial ini yang
terpaparkan dalam buku Ketukangan: Kesadaran Material ini kurang tepat dalam
menjelaskan dan menyimpulkan tentang ketukangan di Indonesia. Analisis yang
dilakukan terhadap kondisi riil sehingga menghasilkan teori tentang ketukangan ini
terlalu menggeneralisasi. Contoh contoh yang ditampilkan pun seakan kontradiktif
dengan teori yang dikemukakan.
Dengan asumsi ini saya akan mencoba menjawab pertanyaan pertanyaan
diatas dengan secara langsung melihat beberapa contoh praksis ketukangan yang
membantah teori teori ini, atau mungkin mendukung.
Tiga contoh studi kasus akan dilakukan, dipahami, dianalisis, dan kemudian
menarik kesimpulan serta mengaiktkan / mebandingkan dengan teori teori di atas.
Dua kasus membawa dua gaya ketukangan yang sarat dengan dikotomi gaya
baru dan gaya lama. Membandingkan dua model ketukangan ini kemudian
mengaitkan dengan teori ketukangan di atas.
Satu kasus lain yaitu menyangkut proses produksi arsitektur yang sarat akan
kemajuan teknologi (modernitas). Menelaah prosesnya dari awal hingga akhir, proses
desain dan konstruksi, kemudian mengaitkan dengan teori di atas. Dengan tiga
contoh kasus ini diharapkan dapat mengambil benang merah antara dialektika
modernitas dengan ketukangan Indonesia.
Dengan kata lain skripsi ini berusaha meninjau kembali teori teori pada
kuratorial dalam Pameran Arsitektur Internasional Ke-14 la Biennale di Venezia
yang tertuang dalam buku Ketukangan: Kesadaran Material. Menjadi hal urgent
memposisikan kembali ketukangan dalam arsitektur di Indonesia ini kepada
masyarakat awam, akademisi, maupun praktisi di bidang arsitektur. Sehingga ada
kejelasan mengenai konsep ketukangan dan perkembangannya di Indonesia dan
menentukan sikap yang relevan terhadap konsep ketukangan itu sendiri.