Anda di halaman 1dari 26

ARSITEK MUDA INDONESIA DALAM STRUKTUR SEJARAH

ARSITEKTUR INDONESIA MODERN,


Sebuah Penjelajahan Metodologi Program Perancangan Arsitektur.

Budi A.Sukada, IAI


1

ABSTRAK
Makalah ini menawarkan sebuah metodologi penjelajahan karya arsitektur yang didasarkan
atas dua titik-tolak. Titik-tolak pertama merujuk ke pendapat yang dikemukakan oleh
Charles Jencks (1968), yaitu bahwa karya arsitektur di setiap kurun waktu dapat
digolongkan dalam dua kategori, the influential dan the perfected. Karya yang termasuk
dalam kategori the influential adalah yang berperan sebagai pencetus sebuah pergerakan
baru di suatu kurun waktu sedangkan yang digolongkan dalam kategori the perfected
adalah sekumpulan karya yang memperlihatkan rangkaian penyempurnaan dalam kurun
waktu tersebut.
Untuk mengenali kedua kategori tersebut diperlukan suatu teknik tertentu yang bertitik-tolak
dari pendapat yang dilontarkan oleh Imre Lakatos (1980) mengenai proses pembentukan
ilmu pengetahuan dan progresnya, yaitu bahwa proses dan progres tersebut pada
hakekatnya dihasilkan dari suatu rangkaian kegiatan ilmiah yang disebut Metodologi
Program Riset Ilmiah (Methodology of Scientific Research Programme), disingkat
MPRI. Metodologi tersebut pada garis besarnya terdiri dari 3 unit keputusan dan tindakan,
yaitu inti program, heuristik negatif dan heuristik positif. Inti program terdiri dari sejumlah
asumsi, teori dan kasus pendukung yang dijadikan titik-tolak oleh ilmuwan untuk memulai
kegiatan risetnya sedangkan heuristik negatif terdiri dari sejumlah pra-syarat yang harus
dipenuhi pihak manapun untuk melakukan penyangkalan terhadap kegiatan riset yang
tengah dilakukan oleh ilmuwan di atas. Adapun heuristik positif terdiri dari sejumlah teori
dan kasus mutakhir yang membenarkan titik-tolak imuwan tadi dan yang mengindikasikan
keberhasilannya kelak.
Peluang untuk menerapkan metodologi di atas sebagai alat menganalisis karya-karya
arsitektur dikemukakan oleh Royston Landau (1981) dengan mengasumsikan
perancangan arsitektur sebagai sejenis penelitian ilmiah. Melalui penelusuran teknik-teknik
perancangan yang dilakukan oleh para arsitek ternama di dunia terlihat bahwa yang
sebenarnya mereka lakukan itu tidak lain dari MPRI.
Sebagai kasus, makalah ini akan menerapkan kedua titik-tolak tersebut di atas terhadap
karya arsitektur kelompok Arsitektur Muda Indonesia, disingkat AMI, di satu pihak dan
karya-karya para arsitek Belanda periode Hindia-Belanda di Indonesia sebagai
pembanding. Hasil analisis atas kedua kelompok kasus tersebut diharapkan memperkaya
khasanah teori terapan dalam wacana Arsitektur Nusantara.

1
Ketua Umum Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) periode 2002-2005 dan 2005-2008
Hal. | 53
Jurusan Arsitektur FTSP-ITS, Surabaya, 12-13 September 2008
Seminar Nasional
Ke-BHINEKAAN BENTUK ARSITEKTUR
N U S A N T A R A
1.
Dewasa ini sebagian besar isi wacana arsitektur Indonesia didominasi hasil karya arsitektur
buatan para arsitek Indonesia generasi muda yang oleh sebagian besar khalayak dianggap
mewakili kelompok Arsitek Muda Indonesia (AMI). Wujud karya-karya tersebut didominasi
gubahan yang bertitik-tolak dari kubus sementara denahnya amat sederhana, umumnya
berupa deretan ruangan di sepanjang selasar; mengikuti rambu-rambu geometris yang
terkandung dalam gubahan wujud bangunan gedungnya tadi, atau abstraksinya. Bangunan
gedungnya diletakkan di atas landasan sehingga terpisah dari permukaan tanah atau dibuat
seakan terlepas/melayang di atas muka tanah. Dengan cara seperti itu karya-karya
mutakhir tersebut tampil sebagai obyek free-standing di lingkung sekitarnya, dengan warna
dominan putih atau mengkilap sehingga secara keseluruhan karya-karya itu menampilkan
dirinya sebagai representasi sebuah lingkung-binaan baru yang kontemporer dan ekslusif.
Karya para arsitek generasi muda di atas mengisi media cetak terkemuka di Indonesia dan
kebanyakan ditampilkan tanpa para penggunanya. Penyajian di media cetak tersebut
terutama ditekankan pada aspek transparansi dan efek pencahayaan alami di siang hari
serta iluminasinya di malam hari. Dengan perkataan lain, karya-karya tersebut ingin
ditampilkan lebih sebagai sebuah obyek free standing yang sedap dipandang dan
mencengangkan ketimbang aspek-aspek fungsional lainnya.
Teknik dan pendekatan yang mereka terapkan dalam perancangan karya-karyanya itu
umumnya tidak orisinil melainkan mengadopsi sejumlah karya buatan para arsitek lain, baik
yang sezaman maupun dari masa silam. Ketika dikritik, jawaban mereka adalah: “Itu sah-
sah saja”. Kepada yang meragukan kenyamanan di dalam bangunan gedung hasil
karyanya, mereka membandingkannya dengan suasana ruang sedangkan kritik atas
kepuasan penghuni atau pengguna mereka hadapkan pada aspek apresiasi terhadap
sebuah karya arsitektur. Dengan demikian apabila terjadi ketidak-puasan di antara
penghuni/pengguna maka kesalahan tidak terletak di karya-karya itu melainkan karena
mereka belum mampu mengapresiasi karya-karya arsitektur yang kontemporer tersebut.
Kepada tanggapan negatif atas para kliennya yang sebagian besar berasal dari kelompok
elit atau sanak-keluarga, para arsitek muda tersebut menyodorkan berbagai rancangan
yang mereka buat bagi kelompok masyarakat papan bawah meskipun belum ada di
antaranya yang terbangun, juga sejumlah kegiatan kerjasama antara mereka dan para
pemutus kebijaksanaan di instansi Pemerintah.
Dilihat dari segi penampilan fisiknya tersebut hasil karya mereka dengan demikian
memperlihatkan ciri karya Arsitektur Modern periode Heroik sebagaimana dideskripsikan
oleh Allison &Peter Smithson,
2
yaitu:

Bertitik-tolak dari kubus.

Berlandaskan geometri atau abstraksinya.

Terpisah dari muka tanah atau berkesan terangkat/ melayang.
dari permukaan tanah

Berwarna putih atau mengkilap.

Merupakan
sebuah
obyek
free-standing.

2
Alisson & Peter Smithson, The Heroic Period of Modern Architecture, 1980

Hal. | 54
Jurusan Arsitektur FTSP-ITS, Surabaya, 12-13 September 2008
Seminar Nasional
Ke-BHINEKAAN BENTUK ARSITEKTUR
N U S A N T A R A

Merupakan representasi sebuah lingkung-binaan baru yang kontemporer.
Ciri-ciri di atas juga cocok dengan deskripsi yang dikemukakan oleh Christian Norberg-
Schulz,
3
yaitu bahwa Arsitektur Modern itu adalah sejenis karya arsitektur yang mampu
menciptakan lingkung-binaannya sendiri tanpa tergantung atau harus mengandalkan diri
kepada lingkung alami di sekitarnya.
2.
Antara tahun 1900 – 1932 terdapat sejumlah karya arsitektur di Indonesia yang meskipun
dengan ciri berbeda namun juga memperlihatkan sikap serupa di kalangan para arsiteknya.
Karya-karya tersebut biasanya disebut Arsitektur Indis sedangkan para arsiteknya datang
dari Belanda. Mereka juga berusia muda (di bawah 40 tahun) dan kedatangannya di
Indonesia berkaitan erat dengan program liberalisasi yang dijalankan oleh Pemerintah
Hindia-Belanda ketika itu. Selain besarnya kesempatan kerja bagi para arsitek akibat
program tersebut, daya-tarik lainnya bagi para arsitek Belanda tadi untuk datang ke
Indonesia adalah citranya sebagai sebuah dunia baru yang perlu diisi lingkung-binaan baru
pula. Sebab itu tidak mengherankan apabila komentar pertama yang dilontarkan adalah
bahwa karya-karya arsitektur yang ada di Indonesia sebelum kedatangan mereka
merupakan representasi budaya Helenisme yang sudah usai sehingga tidak perlu
dilanjutkan lagi. Dengan lontaran itu terbukalah kesempatan untuk mempraktekkan
Arsitektur Modern seluas-luasnya.
Sampai dengan dekade ke dua di sepanjang periode tersebut karya-karya buatan para
arsitek Belanda itu tidak ada yang orisinil berasal dari gagasan dan kreasi mereka sendiri
melainkan mengadopsi berbagai teknik perancangan karya arsitektur modern di Belanda
dan Eropa. Untuk bangunan gedung umum dan pemerintahan mereka mengikuti teknik
yang dijalankan oleh H.P.Berlage ketika merancang Gedung Bursa di Amsterdam,
dilanjutkan dengan mengikuti teknik khas bangunan gedung bergaya Amsterdam lainnya
yang berlandaskan prinsip Arts & Crafts, Art Nouveau, Art Deco dan gaya khas karya-karya
Arsitek Dudok serta Frank Llyod Wright sampai dengan ciri khas karya arsitektur Le
Corbusier. Dalam dekade itu H.P.Berlage sebetulnya sudah mencoba mengingatkan
mereka untuk menggali khasanah arsitektur lokal setelah sempat berkeliling Sumatra dan
Jawa, namun peringatan itu tak dihiraukan dan ditepis dengan mengatakan bahwa
Indonesia sebagai sebuah dunia baru memerlukan arsitektur yang baru pula, yaitu
Arsitektur Indis-modern. Untuk penanda lokal mereka biasanya hanya menerapkan
dekorasi dan ornamen setempat akan tetapi itupun dengan tetap berpedoman pada prinsip
Arsitektur Modern sebagaimana dikemukakan oleh Hitchcock & Johnson
4
di kemudian hari,
yaitu bahwa ornamen dan dekorasi bukan merupakan elemen yang integral dengan
bangunan gedungnya melainkan dipasang kemudian.
Namun terdapat perbedaan antara para arsitek Belanda tadi dan arsitek Indonesia generasi
muda dewasa ini, yaitu munculnya sejumlah arsitek di antara mereka yang kemudian
berusaha dengan sepenuh hati untuk mengintegrasikan arsitektur lokal ke dalam prinsip
Arsitektur Modern. Mereka terbagi dalam 2 kelompok berdasarkan pendekatannya yang
romantik di satu pihak dan rasional di lain pihak. Kelompok romantik menjelajahi berbagai
3
Ch.Norberg-Schulz, The Roots of Modern Architecture, 1960
4
Henry Russell Hitchcock & Phillip Johnson, The International Style, 1954.
Hal. | 55
Jurusan Arsitektur FTSP-ITS, Surabaya, 12-13 September 2008
Seminar Nasional
Ke-BHINEKAAN BENTUK ARSITEKTUR
N U S A N T A R A
unsur dan prinsip perancangan arsitektur lokal, kemudian memahami hakekatnya dan
menerjemahkannya ke dalam “bahasa” Arsitektur Modern. Dari situ dihasilkan karya-karya
yang oleh para kurator museum di Belanda dijuluki “bangunan-bangunan Arsitektur Indis
bergaya modern” (Moderne Indische Bouwenstijl). Kelompok rasional, di lain pihak,
mempelajari faktor-faktor terukur seperti iklim, cuaca dan bahan bangunan lokal untuk
diterapkan dalam perancangan karya-karyanya dalam rangka efisiensi dan optimasi. Dari
situ dihasilkan karya-karya yang biasanya disebut “gaya BOW” karena sebagian besar
dihasilkan oleh para arsitek yang bekerja di BOW (Burgerlijke Openbaru Werken), yaitu
instansi Pemerintah Hindia-Belanda yang bertanggung-jawab atas penguasaan lahan dan
pemanfaatannya dalam bentuk penyelenggaraan bangunan gedung milik Pemerintah dan
bangunan gedung untuk kepentingan umum (sekarang disebut Kementrian Pekerjaan
Umum). Karena bertitik-tolak dari upaya mengatasi permasalahan yang sama secara
rasional maka karya-karya tersebut juga mirip satu sama lainnya sementara dalam kasus
moderne Indische bouwenstijl, di lain pihak, karya-karyanya saling berbeda mengikuti siapa
arsiteknya karena pendekatannya tidak berlandaskan penalaran melainkan pemahaman
dan penghayatan yang dengan sendirinya amat individual.
3.
Perbedaan tersebut di atas cocok dengan pernyataan Charles Jencks,
5
yaitu bahwa di
setiap periode perkembangan wacana arsitektur akan terdapat 2 jenis karya arsitektur.
Yang pertama disebut “the influentials”, yaitu karya-karya yang menjadi generator
munculnya pergerakan baru dalam wacana arsitektur periode terkait dengan berperan
sebagai rujukan atau titik-tolak bagi arsitek lainnya untuk berkarya. Semua karya para
arsitek Indonesia generasi muda dan para arsitek Belanda pada periode Hindia-Belanda
termasuk dalam kelompok ini karena karya yang satu merujuk atau bertitik-tolak dari karya
lainnya, kecuali yang tergolong dalam sebutan moderne Indische bouwenstijl. Karya-karya
tersebut melekat ke pribadi arsiteknya sehingga sulit dijadikan rujukan atau titik-tolak tanpa
terhindar dari kesan peniruan atau menjadi karya yang jauh lebih baik daripada yang orisinil
tadi. Karya-karya moderne Indische bouwenstijl tersebut dengan demikian mewakili jenis
ke dua, yaitu yang disebut “the perfected”.
4.
Baik “the influentials” maupun “the perfected” merupakan notasi yang tidak mudah
dipahami
karena Charles Jencks sendiri tidak menguraikannya dengan lebih rinci. Untuk
memahaminya diperlukan cara lain, yaitu melalui sebuah konsep pemikiran yang disebut
Metodologi Program Riset Ilmiah (The Methodology of Scientific Research Programme,
disingkat MSRP).
6
Sebuah metodologi program riset ilmiah pada hakekatnya merupakan kesatuan pemikiran
dan tindakan yang dilandasi pilihan atas dasar pengalaman dan kematangan para ilmuwan
ketika menjalankan sebuah riset. Dewasa ini masih banyak yang berpendapat bahwa cara
menjalankan sebuah riset itu harus mengikuti sistematika yang dimulai dari observasi,
hipotesis, uji-coba, kesimpulan dan diakhiri penyusunan teori yang selanjutnya melandasi
ilmu pengetahuan terkait. Ketika mulai melakukan observasi para ilmuwan harus berada

5
Charles Jencks, Movements in Modern Architecture of the Sixties, 1964.
6
A.F.Chalmers, What is this Thing Called Science?, 1980
Hal. | 56
Jurusan Arsitektur FTSP-ITS, Surabaya, 12-13 September 2008
Seminar Nasional
Ke-BHINEKAAN BENTUK ARSITEKTUR
N U S A N T A R A
dalam situasi tabula rasa supaya proses yang sistematik di atas berjalan dengan seobyektif
mungkin. Keyakinan tersebut kemudian menjadi absolut dan harus diterapkan di semua
jenis pengetahuan apabila ingin dikategorikan sebagai ilmu pengetahuan, padahal
sebagian besar ilmuwan tidak mematuhinya Pada kenyataannya mereka tidak mulai dari
titik nol (zero point) melainkan sejak awal sudah menetapkan misteri yang ingin dibuka dan
memperkirakan persoalan yang harus diatasi dalam upaya pembukaan misteri tersebut.
Untuk itu mereka memilih sejumlah hipotesis atau teori yang diperkirakan pas bagi upaya
tadi sehingga dengan demikian proses observasi dan uji-cobanya juga dapat dilakukan
dengan lebih cepat karena tidak semua kasus harus diobservasi melainkan yang terkait
dengan misteri dan persoalannya itu saja. Dengan perkataan lain mereka tidak sekedar
melakukan sembarang penelitian melainkan yang sudah terprogram dan dalam program
penelitian tersebut mereka sudah menetapkan inti programnya berupa hipotesis atau teori-
teori pilihan. Berdasarkan pilihan itulah mereka melakukan observasi dan uji-coba serta
menarik kesimpulan. Mereka menyadari bahwa banyak sanggahan dan falsifikasi akan
diajukan oleh para ilmuwan lain baik terhadap inti program maupun proses observasi, uji-
coba dan kesimpulannya itu. Mereka menyadari bahwa sanggahan dan falsifikasi tersebut
wajib dilayani dengan jawaban yang memuaskan namun di lain pihak mereka juga tahu
bahwa kewajiban tersebut dapat menghambat upaya menguak misteri dan mengatasi
persoalan-persoalannya bahkan boleh jadi dapat menihilkan upaya tadi. Sebab itu mereka
mempraktekkan 2 langkah secara simultan. Langkah pertama terdiri dari 2 tindakan, yaitu
menyusun suatu sistem pengaman berupa pembatasan jenis dan sifat sanggahan serta
falsifikasi dari para ilmuwan lain melalui sejumlah pra-syarat serta memperkuat inti
programnya dengan hipotesis tambahan, teori-teori baru atau bukti-bukti dari hasil
penelitian mutakhir yang mendukung pilihan awal tadi. Langkah ini disebut negative
heuristic sedangkan langkah ke dua, di lain pihak, berupa upaya membandingkan progres
penelitian yang tengah dilakukan dengan progres yang dicapai penelitian sejenis yang
tengah dikerjakan oleh ilmuwan lain. Langkah ini disebut positive heuristic karena
berkenaan dengan kebesaran jiwa ilmuwan yang bersangkutan untuk mengurungkan
niatnya menguakkan misteri manakala dalam pembandingan tadi terlihat bahwa progresnya
sudah tertinggal jauh dari program penelitian yang tengah dijalankan oleh ilmuwan lain di
atas, atau memulai program penelitiannya dari tahap yang paling awal lagi dengan
mengganti inti programnya.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penyusunan dan pengembangan ilmu
pengetahuan itu tergantung pada aktivitas dan insiatif para ilmuwannya sementara titik-
tolaknya ditentukan sendiri oleh para ilmuwan terkait atas dasar kriteria yang belum tentu
obyektif. Di lain pihak, perkembangan ilmu pengetahuan itu pada dasarnya berlangsung
melalui persaingan antar-program penelitian sejenis.
5.
Konsep MSRP di atas pas untuk dipakai menjelaskan kedudukan para arsitek sebagai
ilmuwan dalam medan pengetahuan kearsitekturan karena mereka pada hakekatnya
menjalankan program yang sama seperti MSRP dalam pekerjaan utamanya, yakni
merancang bangunan gedung. Mereka tidak memulai pekerjaannya dengan bertitik-tolak
dari tabula rasa melainkan dari kebiasaannya masing-masing; ada yang bertitik-tolak dari
fungsi, dari bentuk, dari sistem struktur bahkan ada yang terbiasa bertitik-tolak dari denah
atau potongan. Meskipun tidak secara eksplisit dikatakan atau disadari sepenuhnya, ketika
Hal. | 57
Jurusan Arsitektur FTSP-ITS, Surabaya, 12-13 September 2008
Seminar Nasional
Ke-BHINEKAAN BENTUK ARSITEKTUR
N U S A N T A R A
memulai pekerjaannya dari titik-titik tolak tersebut mereka sebetulnya tengah menerapkan
berbagai teori terkait dan berusaha menghambat siapapun yang berniat mengajukan kritik
atas titik-tolak tadi dengan jalan tidak melayani jenis kritik yang tidak berkaitan atau tidak
sejalan. Mereka yang bertitik-tolak dari bentuk misalnya, tidak akan melayani kritik yang
diajukan terhadap fungsi yang akan dibawakan oleh gubahan bentuk tersebut sementara
kritik yang diajukan terhadap gubahan bentuk buatan arsitek yang bersangkutan akan
dihindari dengan jalan mengaitkan gubahan tersebut ke fungsinya kelak, atau ke aspek lain
yang tidak tercakup dalam kritik tadi. Dari sudut pandang MSRP strategi tersebut
merepresentasikan negative heuristic sementara dari sudut pandang lainnya memang
tampak seperti alasan yang dibuat-buat. Di lain pihak para arsitek di atas juga sebetulnya
berusaha mempersiapkan diri menghadapi kritik-kritik tersebut dengan jalan melengkapi
dan memperkuat titik-tolak masing-masing dengan jalan mencari dalih-dalih pendukung.
Untuk itu mereka rajin membeli buku dan majalah yang mengulas dan mempublikasikan
karya arsitektur, membaca dan mempelajarinya serta memberi catatan khusus di bagian-
bagian buku serta karya-karya di majalah yang dianggap penting dan pantas untuk dikutip
serta diadopsi ke dalam karya yang tengah mereka kerjakan itu. Dengan sistem
pengamanan seperti itu para arsitek tersebut leluasa mempelajari kerangka acuan kerja
yang diberikan oleh para pemberi tugas, mempelajari berbagai peraturan yang terkait ke
kategori, klasifikasi dan tipe bangunan gedung yang harus mereka rancang, mempelajari
karakteristik lahan dan tapak pembangunannya berikut berbagai kendalanya lalu
memasukkan semua perolehannya sebagai masukan dalam pertimbangan yang mereka
pikirkan dalam rangka mengambil tindakan uji-coba yang tepat bagi gubahan massa,
penataan denah dan olahan tampak eksterior dan interior bangunan gedungnya sampai
menghasilkan sebuah karya. Di lain pihak, mereka juga aktif mencari informasi mengenai
perancangan bangunan gedung sejenis yang tengah dikerjakan oleh arsitek lain baik
melalui pertemuan informal, pertukaran gossip maupun penyajian di forum-forum
pertemuan resmi, misalnya seminar atau ceramah, dan membandingkannya dengan yang
tengah mereka kerjakan. Dalam upaya tersebut saling tukar-informasi merupakan kejadian
yang lumrah namun di balik itu sebetulnya berlangsung persaingan menghasilkan karya
terbaik. Para arsitek akan dengan cepat mengubah strategi program perancangannya, baik
melalui adopsi gagasan arsitek lain dalam rangka penyempurnaan maupun mengganti inti
programnya dalam rangka mengungguli program perancangan arsitek lainnya itu. Itulah
langkah positive heuristic-nya.
6.
Berdasarkan pengertian atas MSRP dalam perancangan arsitektur di atas kita sekarang
dapat menguraikan apa yang dimaksud dengan karya arsitektur yang tergolong “the
influentials” dan “the perfected”. Karya-karya arsitektur yang tergolong “the influentials”
pada garis besarnya bertitik-tolak dari hipotesis atau teori yang bersifat universal sehingga
dengan mudah diadopsi arsitek manapun. Semua ciri-dasar yang terkandung dalam karya-
karya para arsitek Indonesia generasi muda sebagaimana diutarakan dalam uraian di Butir
1 makalah ini dan teknik-teknik perancangan yang diadopsi para arsitek Belanda periode
Hindia-Belanda dari berbagai gaya bangunan Arsitektur Modern di Belanda dan Eropa
sebagaimana diutarakan dalam uraian di Butir 2 pada hakekatnya dilandaskan atas
hipotesis dan teori yang universal. Teori mengenai geometri, kubus, warna, bidang dan
garis merupakan pengetahuan yang sudah lama dikenal sehingga siapapun dapat
mengadopsinya sebagai inti program perancangan masing-masing tanpa khawatir disebut
Hal. | 58
Jurusan Arsitektur FTSP-ITS, Surabaya, 12-13 September 2008
Seminar Nasional
Ke-BHINEKAAN BENTUK ARSITEKTUR
N U S A N T A R A
peniru. Kritik atas pemilihan inti program tersebut baru muncul tatkala para arsitek terkait
menampilkannya sebagai sebuah obyek free-standing dan lingkung-binaan baru yang
merepresentasikan Arsitektur Modern. Menghadapi kritik tersebut para arsitek Indonesia
generasi muda membentuk heuristik negatif yang khas, yaitu melalui pernyataan:”Itu sah-
sah saja”, melalui pembandingan antara kepuasan penghuni/pengguna dan apresiasi
mereka terhadap segala sesuatu yang kontemporer, serta melalui pembandingan antara
karya-nyata dan gagasan. Para arsitek Belanda, di lain pihak, melawan kritik tersebut
melalui analogi budaya Helenisme yang sudah lama usai, melalui konsep dunia baru dan
melalui konsep budaya Indis yang modern. Itulah heuristik negatif mereka.
Sambil membentuk heuristik negatif tersebut kedua-belah pihak juga membentuk heuristik
positifnya masing-masing. Para arsitek Indonesia generasi muda melakukannya dengan
membentuk kelompok, menerbitkan media cetak dan elektronik, menyelenggarakan
pameran serta menghadiri berbagai ceramah dan diskusi baik yang mereka selenggarakan
sendiri maupun diselenggarakan oleh pihak-pihak yang menyokong kehadiran mereka,
khususnya apabila ceramah dan diskusi tersebut menghadirkan tokoh-tokoh arsitek yang
mereka kagumi. Dalam konteks MSRP, kegiatan tersebut pada hakekatnya merupakan
upaya untuk mengukur tingkat keberhasilan program perancangan yang tengah dijalankan
oleh masing-masing sekaligus memperoleh masukan baik untuk bahan pertimbangan
dalam penyusunan program perancangan baru maupun meningkatkan program yang
tengah berjalan. Para arsitek Belanda juga melakukannya. Mereka mendirikan asosiasi
profesi arsitek, menerbitkan media cetak, mengadakan debat terbuka dan saling
berkomunikasi melalui surat maupun bertemu-muka. Dari heuristik positif inilah muncul
karya-karya yang saling mengadopsi tanpa ada keberatan dari pihak lainnya.
Karya-karya arsitektur yang tergolong “the perfected”, di lain pihak, memiliki inti program
yang biasanya berisi hipotesis atau teori dari cabang ilmu pengetahuan lain, misalnya
arkeologi atau sejarah; atau aliran pemikiran lain seperti haluan politik, ajaran agama dan
sebagainya. Inti program seperti ini umumnya dibentuk atas dasar keyakinan pribadi
sehingga sulit diikuti pihak lainnya. Sebab itu baik heuristik negatif maupun positifnya juga
disusun berdasarkan kritik intern, yaitu diajukan oleh arsitek terkait kepada dirinya sendiri
sehingga tiap karyanya merupakan penyempurnaan atas karya-karya sebelumnya sampai
arsitek tersebut merasa puas. Setelah itu dia akan menyusun program perancangan
arsitektur yang baru dengan cara yang sama namun dengan substansi yang berbeda,
sesuai dengan minat dan keyakinannya pada waktu itu. Contoh terbaik untuk program
perancangan arsitektur jenis“the perfected” adalah karya-karya Le Corbusier. Di awal
karirnya Beliau menghasilkan karya yang dilandasi program perancangan Klasik-rasional,
setelah itu beranjak ke serangkaian karya Purisme dan dilanjutkan ke karya-karya berskala
urban. Setelah puas, Beliau mengajukan karya-karya tata-kota dan perumahan, lalu
diakhiri karya-karya yang bersifat sculptural. Tak ada seorang arsitekpun dapat
mengadopsi program perancangan arsitektur Beliau atau menyusun program perancangan
arsitektur tandingan yang menghasilkan karya-karya yang lebih baik karena akan sulit
memperbandingkannya sebab sama artinya dengan memperbandingkan kepribadian yang
berbeda. Itu mustahil dilakukan dalam wacana Arsitektur.
Dalam kasus para arsitek Indonesia generasi muda, tidak ada karya yang tergolong jenis ini
sedangkan dalam kasus para arsitek Belanda ada, yaitu Maclaine-Pont. Dari karya awal
sampai akhir karirnya di Indonesia Beliau menghasilkan sejumlah karya yang
Hal. | 59
Jurusan Arsitektur FTSP-ITS, Surabaya, 12-13 September 2008
Seminar Nasional
Ke-BHINEKAAN BENTUK ARSITEKTUR
N U S A N T A R A
memperlihatkan perubahan inti program, sejak bertitik-tolak dari solusi pengudaraan alami
menuju ke transformasi bentuk (arsitektur lokal berkonstruksi modern) sampai dengan
eksperimen struktur (prinsip struktur bangunan gedung lokal berbahan modern) yang
dihasilkan dari kritik personal kepada dirinya sendiri.
7.
Baik para arsitek Indonesia generasi muda maupun para arsitek Belanda periode Hindia-
Belanda pada dasarnya sama-sama berhaluan modern. Bila yang dimaksudkan dengan
haluan modern itu adalah “…sikap mental yang tertuju pada upaya melawan kemapanan
dengan cara merobohkan sendi-sendinya dan menggantikannya dengan yang lebih baru
serta kontemporer…”
7
maka baik para arsitek Indonesia generasi muda maupun para
arsitek Belanda periode Hindia-Belanda sama-sama mengusung panji modernisme melalui
keinginan untuk menciptakan sebuah lingkung-binaan baru yang kontemporer di zamannya
masing-masing. Untuk itu mereka mengambil sikap anti-kemapanan. Para arsitek
Indonesia generasi muda misalnya, mengatakan: “Itu sah-sah saja” atau, dengan perkataan
lain, anything goes. Pernyataan tersebut mencerminkan sikap melawan berbagai panduan
dan rambu-rambu perancangan yang selama ini dianut para arsitek Indonesia pada
umumnya seperti keserasian dan keselarasan, kerendah-hatian dan kehati-hatian serta
kepatuhan pada peraturan serta ketetapan yang diberlakukan oleh penguasa setempat.
Para arsitek Belanda, di lain pihak, menyatakan: “Tidak ada yang dapat diambil dari
monumen masa silam di Indonesia”. Itupun merupakan pernyataan anti-kemapanan sebab
mereka tidak mau mengikuti tradisi masyarakat setempat yang mendirikan bangunan-
bangunan gedungnya berdasarkan penjabaran dari berbagai monumen seperti candi dan
kraton melalui stratifikasi dan klasifikasi sosial karena bertentangan dengan tradisi modern
yang egalitarian.
Akan tetapi keduanya tidak sepenuh hati menjalankan modernisme itu. Dalam prakteknya
mereka tetap menyusun heuristik positif yang sebagian dari substansinya berasal dari masa
silam atau dari yang sudah dibuat sebelumnya, bukan yang tengah sama-sama dijalankan
melalui program perancangan arsitektur tertentu. Para arsitek Indonesia generasi muda
misalnya, gemar sekali mencari-cari berbagai precedent untuk dikombinasikan menjadi
sebuah karya baru buatan sendiri sementara para arsitek Belanda periode Hindia-Belanda,
di lain pihak, tetap menjalin kontak dengan wacana arsitektur di negrinya dan Eropa untuk
mengikuti perkembangan dan mengadopsi berbagai karya yang sudah dibuat di sana untuk
dikombinasikan menjadi sebuah karya pribadi di Hindia-Belanda. Dengan perkataan lain,
haluan mereka bukanlah modernisme-murni melainkan pseudo-modernisme.
8.
Para arsitek Indonesia generasi muda adalah bintang di antara para arsitek Indonesia
lainnya dewasa ini. Mereka tampak mengungguli para seniornya berkat publikasi yang
secara intensif dilakukan oleh berbagai pihak pendukung maupun mereka sendiri tanpa ada
yang berminat untuk membuktikan keunggulan tersebut karena harus dilakukan dengan
sebuah cara yang dalam filsafat ilmu pengetahuan disebut falsifikasi.
8
Pada dasarnya
falsifikasi adalah suatu siasat untuk membuktikan bahwa sebuah pernyataan yang tadinya

7
Modernism, Dictionary of Social Sciences, 1954.
8
A.F.Chalmers, op.cit.
Hal. | 60
Jurusan Arsitektur FTSP-ITS, Surabaya, 12-13 September 2008
Seminar Nasional
Ke-BHINEKAAN BENTUK ARSITEKTUR
N U S A N T A R A
dianggap benar dapat menjadi sebaliknya apabila ditempatkan dalam situasi yang berbeda,
atau apabila kita dapat memperlihatkan bahwa terdapat pernyataan seperti itu di situasi lain
namun kini dinyatakan tidak benar. Terdapat berbagai cara untuk menerapkan falsifikasi
tersebut dan makalah ini memilih jalur sejarah sebagai alatnya karena terasa paling pas.
Sejarah adalah dialog antara kita dan masa silam.
9
Dalam penerapannya dialog tersebut
kita lakukan dengan jalan melangkah ke masa silam setapak-demi-setapak membawa
materi yang ingin kita ketahui sejarahnya. Kita berhenti sejenak di satu periode masa silam
manakala menemukan materi yang sama, lalu kita perbandingkan dengan materi yang kita
bawa dari masa kini untuk mempelajari perubahan-perubahan yang telah terjadi. Setelah
puas, kita melangkah ke masa silam berikutnya dan berhenti lagi manakala menemukan
situasi yang sama. Demikian seterusnya sampai kita tidak lagi menemukan jenis materi
yang sama seperti yang kita bawa dari masa kini tadi. Itulah saatnya kita menetapkan awal
pemunculan materi tersebut di atas.
10

Bertitik-tolak dari uraian di atas materi utama yang dibawa ke masa silam itu dalam kasus
sejarah arsitektur dengan demikian adalah karya arsitektur kontemporer berikut para
arsiteknya, dan dalam kasus sejarah arsitektur Indonesia karya-karya kontemporer tersebut
dewasa ini didominasi hasil karya para arsitek Indonesia generasi muda. Karya-karya
mereka itu kini tampak sudah mulai menuju ke titik jenuh sebagaimana terlihat dari
kemiripannya satu sama lain dan munculnya pengulangan serta peniruan komponen dan
elemen bangunan gedungnya. Bila merujuk ke pandangan yang dikemukakan oleh
Hegel
11
, situasi seperti itu menandai sebuah periode sintesis yang akan berlangsung cukup
lama sampai munculnya karya-karya yang merepresentasikan suatu tesis baru. Sebab itu
sudah waktunya bagi karya-karya kontemporer tersebut untuk dibawa ke masa silam dalam
rangka melacaki jejaknya dan menentukan lokasi dan posisinya di dalam struktur sejarah
arsitektur Indonesia.
Sejarah pada hakekatnya bukan berkenaan dengan perkembangan melainkan perubahan
yang akan terlihat jelas hanya apabila diamati secara menyeluruh dalam satuan kurun
waktu yang panjang, misalnya setiap abad dan kelipatannya, supaya kemiripan atau
pengulangan terlihat jelas dan dengan begitu kita tidak terlalu cepat mengambil kesimpulan
bahwa telah terjadi sebuah perubahan besar dalam kejadian di suatu periode, misalnya di
masa kini.
Demikian pula halnya dengan kasus wacana arsitektur kontemporer Indonesia. Bila hanya
melihat apa yang dihasilkan dewasa ini dan dibandingkan dengan hasil-karya yang dibuat
dalam satu atau dua dasawarsa sebelumnya, memang karya-karya kontemporer tersebut
tampak membawa perubahan besar. Akan tetapi apabila pengamatannya ditarik sejauh
mungkin ke masa silam maka terlihat bahwa situasi yang berlangsung dewasa ini dalam
wacana arsitektur Indonesia sebetulnya berlangsung juga dalam periode Hindia-Belanda.
Yang berbeda hanya pelakunya. Dalam situasi dewasa ini di Indonesia para pelaku
utamanya adalah para arsitek Indonesia generasi muda sedangkan di periode Hindia-
Belanda adalah para arsitek Belanda yang juga berusia muda ketika waktu itu datang untuk
pertama kalinya di Indonesia. Karya-karya kontemporer para arsitek Indonesia generasi

9
E.H.Carr, What is History, Penguin Books, London, 1982
10
Vincent Scully Jr dalam Peter Collins, Changing Ideals
in Modern Architecture, Phaidon, London, 1980
11
G.W.Hegel,
Hal. | 61
Jurusan Arsitektur FTSP-ITS, Surabaya, 12-13 September 2008
Seminar Nasional
Ke-BHINEKAAN BENTUK ARSITEKTUR
N U S A N T A R A
muda tersebut tampak unggul apabila hanya dilihat dari situasi yang berlangsung dewasa
ini. Namun apabila ditarik ke masa silam dan dibandingkan terhadap karya-karya
kontemporer para arsitek Belanda periode Hindia-Belanda maka karya-karya kontemporer
dari masa silam itulah yang lebih unggul karena menghasilkan jenis karya arsitektur “the
influentials” dan “the perfected” sementara para arsitek Indonesia generasi muda hanya
menghasilkan karya arsitektur “the influentials”.
Dari uraian di atas terlihat bahwa karya-karya unggulan buatan para arsitek Indonesia
generasi muda dapat difalsifikasikan oleh karya arsitektur buatan arsitek Belanda periode
Hindia-Belanda yang apabila merujuk ke pendapat Hegel di atas merupakan masa silam
yang tidak perlu ditengok lagi. Melalui penelusuran program perancangan arsitekturnya
serta jenis karya arsitektur yang dihasilkan dari program tersebut diketahui bahwa karya
arsitektur buatan arsitek Belanda periode Hindia-Belanda itulah yang justru lebih unggul.
9.
Makalah ini sama sekali tidak bermaksud menjatuhkan pamor para arsitek Indonesia
generasi muda dan karya-karyanya. Kita memerlukan mereka sebagai pancingan bagi
munculnya sebuah anti-tesis baru yang bakal membawa wacana arsitektur Indonesia ke
langkah berikutnya di masa depan. Tujuan makalah ini hanya memberi usulan mengenai
pelatihan ketrampilan mengajukan kritik arsitektur yang handal, yaitu yang didasarkan atas
prinsip-prinsip kelimuan yang dapat dipertanggung-jawabkan secara akademis. Dengan
landasan seperti itu kritik arsitektur dapat diajukan dalam forum terbuka untuk
diperbincangkan secara independen, lepas dari sentimen pribadi dan retorika.

Anda mungkin juga menyukai