Anda di halaman 1dari 23

BAB I

TEORI ARSITEKTUR, SIMBOLISME. PRESENTASI DIRI, DAN


SEMIOTIKA

1.1 Teori Arsitektur

Mazhab architecture as art and craft and technology lahir pada abad ke-
19 oleh John Ruskin dan William Mors, mashab inilah yang menjadi benih
awal dari Arsitektur Modern yang ditandai dengan sebuah rancangan bentuk
arsitektur yang mengikuti fungsi dan sebagai filosofi perancangan
arsitekturnya merefleksi semangat zaman yang disebut form follows function.
Lalu pada tahun 1920-an Frank Lloyd Wright (Amerika), Mies Van Rohe dan
Le Corbusier (Eropa) mulai mengedepankan filosofi form and function are
one.
Langgam arsitektur International Style adalah langgam yang membuat
mazhab ini mendunia dan menjadi mashab yang menolak secara tegas
langgam beautix-art. Namun seperti langgam lainnya, International Style
mulai tergantikan dengan form follows culture (post modern) oleh Prof.
Skolimowski pada tahum 1976.
Pada awal abad 19 arsitek memiliki profesi ganda baik itu dari merancang
bangunan, dekorasi arsitektur, sampai perencanaan kota. Hal ini dikarenakan
belum adanya spesialisasi dalam bidang aristektur seperti saat ini. Oleh karena
itu pengertian arsitektur, tata ruang kota, interior, dan kria disebut sebagai
“karya arsitektural”.
Arsitektur ialah bangunan yang berfungsi untuk menaungi kgiatan
manusia dengan mewujudkan dasr kaidah trinitas arsitektur yakni, ferimitas,
utilias,dan venustas.
Interior ialah ilmu yang mempelajari perancangan suatu karya seni yang
ada di dalam suatu bangunan dan digunakan untuk memecahkan masalah
manusia.
Kria ialah artefak yang dibuat melalui keterampilan tangan sebagai unsur
dari perancangan arsitektur dan interior yang berkaitan erat dengan karya
arsitektur .
Lingkup dan Tahap Pekerjaan dalam bidang arsitektur berupa masterplan
yang berisi, sub structure, structure, dan upper structure. Dalam bidang tata
ruang berupa zaring (tentang tata ruang tanah). Dalam bidang desain interior
berupa rancangan desain mengenai tata ruang dalam sebuah bangunan.
Sedangkan dalam bidang desain kria berupa desain perabot yang merupakan
penunjang dari interior dan arsitektur.
Unsur penting dalam merancang proses awal dalam merancang disebut
“Proses Artistik” dimana seorang arsitektur mendapatkan sebuah rancangan
arsitektural dengan membuat ide atau gagasan.
Gaya dalam rancangan merupakan penentu berhasil atau tidaknya sebuah
desain, karena melalui gaya atau style inilah perancang bisa menuangkan rasa
pada sebuah karya agar penikmat karya tersebut dapat memiliki kesan begitu
pertama kali melihat karya tersebut.

1.2 Teori Simbolisme


Mengenai pemakaian simbol atau lambang bertujuan untuk
mengekspresikan ide-ide secara arsitektural sehingga dapat memperlihatkan
jati diri suatu karya arsitektur sekaligus memiliki arti serta nilai-nilai simbolik
melalui bentuk, struktur dan langgam.

1.3 Teori Presentasi Diri


Teori ini digunakan sebaga wadah dalam pendekatan diri untuk
mengantarkan temuan no-arsitektural berupa mode busana dan teks pidato
kepada analisis yang sebenernya. Pendekatan dragmatis yang diperkenalkan
oleh Deddy Mulyana pada tahun 2001 dan dikembangkan oleh antropolog
Erving Goffman focus kepada bagaimana seseorang melakukan sesuatu. pun
Pendekatan ini pun berakar dari teori tentang tindakan dari Max Weber dan
dari ungkapan George Herbert Mead yakni, konsepsi diri adalah suatu proses
yang berasal dari interaksi social individu dengan orang lain.
Mode Busana atau Fashion bermakna sebagai car orang berbusana agar
terlihat menarik dan menciptakan citra tertentu.
Terminology Arsitektural dalam Teks Pidato Soekarno ialah beberapa
istilah yang biasanya digunakan untuk sebuah gedung atau rumah dan dalam
teks tersebut istilah yang dimaksud ialah pondasi, gedung Indonesia
sempurna, membangun jembaran, menggempur benteng imperialism, nation
building, dan sebagainya.
Semiotika Visual Communication ialah ilmu yang berkenaan dengan
sistem penodaan
secara luas serta
memiliki
kegunaan
dalam mengkaji
gejala- gejala
diberbagai
bidang.

Gambar 1.3.1 Jalinan Metodologi dan Teori yang Dipergunakan


dalam Penillitian, Sumber : Buku Bung Karno Sang Arsitek
Semiotika
Arsitektur
teori untuk menganalisis artefak arsitektural mempergunakan semiotika visual
communication dan system of objects. menurut Umberto Eco sebuah karya
arsitektur harus memiliki kemampuan dalam berkomunikasi melalui grafis
sign yang melekat padanya.

Semiotika Mode Busana menunjukkan bahwa mode busana Soekarno


yang mengedepankan teori Roland Barthes mengenai fashion yang merujuk
pada konsep semiology Saussure.

Semiotika ‘Leksia dalam Teks’ Pidato sepotong teks memiliki fungsi


sebagai penanda tekstual yang dikelompokkan dalam lima kode yakni, kode
hermeneutic, kode semik. Kode simbolik, kode proairetik, dan kode kultural.

Proses Semiosis dan Canon ialah proses memadu padankan entitas yang
disebut representament dengan entitas yang disebut objek.

Gambar 1.3.2 Proses semiosis dalam pemberian makna


Sumber: Buku Bung Karno Sang Arsitek
BAB 2
SOEKARNO DALAM BUDAYA MULTI KULTUR DI JAWA ABAD 20

2.1 Wacana Arsitektural di Tanah Jawa Awal Abad 20


Pada akhir abad 19 tejadi perselisihan sosial di Surabaya terkait dengan
kebijakan pemerintah yang berpusat di Batavia (kini Jakarta). Padahal disaat
itu Surabaya berperan besar dalam pemerintahan yakni sebagai markas besar
pemerintahan di Jawa Timur, pusat pelayanan keuangan, dan periklanan dalam
bidang ekonomi mecakup fasilitas-fasilitas Pelabuhan, Gudang barang ekspor,
maupun perusahaan dagang. Dengan permasalahan ekonomi tersebut
dibutuhkan lah arsitek dalam pembangunan sarana dan prasarana sebagai
penunjang kegiatan ekonomi.
Pada abad 20, Pulau Jawa memiliki gaya arsitektur yang mencerminkan
sikap budaya yang eksistensinya dapat mempengaruhi perilaku mental
masyarakat dan masing-masing individu, dan pada konteks ini adalah
Soekarno. Sehingga secara tidak langsung Soekarno memiliki hubungan erat
dalam topik kearsitekturan abad 20. kota kota di Pulau Jawa yang memiliki
kaitan erat dengan Soekarno yakni, Kota Surabaya (kota kelahiran dan tempat
studi Soekarno), Bandung (kuliah di ITB, praktek arsitektur, dan, politisi), dan
Batavia (kota perjuangan sebelum proklamasi).

2.2 Arsitektur Gaya The Empire Style di Surabaya


Gaya arsitektur pada awal abad 20 di Kota Surabaya mengarah pada gaya
arsitektur The Empire Style. Dimana gaya ini dicetuskan oleh Gubernur
Jendral HW Daendels dengan ciri “kemaharajaan” dari Prancis.
Seiring berjalannya waktu, perkembangan gaya arsitektur Daendels
mengalami perubahan dengan maksud agar gaya bangunan dapat selaras
dengan letak bangunan, sehingga dapat berdaptasi dengan kondisi lingkungan,
iklim tropis basah serta lahan yang sangat terbatas. Ladhuis adalah gaya
rumah baru yang merupakan perkembangan dari gaya arsitektur The Empire
Style. Gaya Ladhuis ini memiliki ciri khas denahnya yang simetris serta satu
lantai atas dan atap yang berbentuk perisai.
Pada masa kecilnya Soekarno pernah mendiami sebuah rumah dengan gaya
art deco pada jendela dan atapnya, yang terletak disekitaran Jl. Raden
Pamudji. Namun perlu diketahui bahwa gaya desain Soekarno sama sekali
tidak terinpirasi bahkan menghindari gaya arsitektur The Empire Style dan
Landhuis yang mana termasuk ke dalam gaya arsitektur kolonialisme.
Inspirasi gaya desain Soekarno yaitu dalam panduan atapnya yang berasal dari
arsitektur tropis dan Eropa terhadap mentalite artistiknya pada saat
rasionalisme lagi memuncak (1945-1959)

2.3 Arsitektur Gaya Campuran di Kota Batavia


Kota Batavia atau yang dikenal sekarang sebagai Kota Jakarta merupakan
pusat perdagangan sehingga akulturasi budaya di kota ini sangatlah beragam
dan berdampak juga terhadap gaya arsitekturnya. Pada abad ke 19 menganut
gaya The Empire Style salah satu peninggalan gaya ini Nampak jelas pada
bangunan istana kepresidenan
di Jakarta yang dulu
dipergunakan sebagai pusat
pemerintahan Gubernur
Jenderal HW Daendels. Setelah
merdeka dan meninggali istana
kepresidenan, Presdien
image.hipwee.com/wp-
Soekarno sangat mengapresiasi content/uploads/2017/03/hipwee-
27Istana_Merdeka_Jakarta.jpg
keindahan dari gaya The Empire
Style yang nampak pada
arsitektur Istana Jakarta, walaupun beliau tidak menganut aliran gaya
arsitektur tersebut.
2.4 Arsitektur Keraton
Arsitektur keraton dapat kita
lihat di keraton Yogyakarta dan
keraton Surakarta. Ciri khas
bangunan gaya arsitektur keraton
yakni terletak pada penggabungan
arsitektur colonial eropa dan
arsitektur tradisional Jawa.
Gambar 2.4.1 Joglo Pangrawit, Sumber :
Arsitektur eropanya Nampak pada https://www.nesabamedia.com

pilar-pilar yang terletak pada


serambi terluar serta adanya
patung-patung pualam
disekelilingnya yang megadaptasi
gaya Yunani. Sedangkan
arsitektur tradisional Jawa
tercermin dari bangunan Joglo
Gambar 2.4.2 Keraton Yogyakarta, Sumber :
Pangrawit. https://anekatempatwisata.com

2.5 Arsitektur Tradisional

Pada abad 20 pemukiman


traadisional di Pulau Jawa Nampak
sangat sederhana dan ditinggali secara
turun temurun, namun cenderung
kurang terawat. Pada saat Soekarno
bersekolah di HBS beliau tinggal
dirumah HOS Tjokroaminoto yang
masi meninggalkan gaya-gaya
Gambar 2.5.1 Tampak Depan Rumah Hos
arsitektur tradisional jawa walaupun Tjokroaminoto,
Sumber : https://2.bp.blogspot.com
sudah ada beberapa yang diperbarui
dengan batu bata. Gaya arsitektur
tradisional di Pulau Jawa memakai hiasan kemuncak atap sesuai dengan yang
tercantum pada situs Trowulan.

2.6 Arsitektur Warisan

Candi merupakan arsitektur heritage yang melambangkan peradaban pada


masa lampau yang menganut agama Hindu dan Budha dan menganggap
bahwa Raja-raja merupakan jelmaan dari – dinding para dewa. Pada dinding-
dinding candi terukir indah relief-relief yang bercerita mengenai kisah
Mahabarata dan kisah Ramayana.

Soekarno pada masa awal berkarya (1926-1945), desain-desainnya


mengandung nuansa arsitektur art deco. Lalu pada tahun 1945-1959 desain
Soekarno mulai dipengaruhi gaya arsitektur Jawa Kuno berupa gaya atap
limasan dan ornmaen-ornamen organik. Namun tidak sampai disitu, pengaruh
Jawa Kuno bertambah mulai dari arca sampai ukiran kayu yang mendominasi
dan merupakan karya arsitektur dengan ciri International Style dengan atap
unik layaknya kubah dan atap konstruksi lipat.
BAB III
PERIODE MURID SANG PROFESOR (1926-1945)
3.1 Hubungan Soekarno dengan Prof. Charles Prosper Wolff Schoemaker
Pertemuan antara Bung Karno dengan Sang Profesor bermula ketika
Bung Karno melanjutkan studi tingkat
lanjutnya di Technische Hoogeschool
Bandung (THB) yang kini dewasa ini lebih
dikenal dengan Institut Teknologi Bandung
(ITB). Bung Karno mulai berkuliah di
THB pada tanggal 1 Juli 1921 di Jurusan
Teknik Sipil. Professor Charles Prosper
Wolff Schoemaker merupakan seorang
arsitek handal pada masanya yang
berpengetahuan luas dan pandai menulis
kritik arsitektur kolonial di majalah. Cara
mengajar Prof. Schoemaker yang berbeda
dan terkesan sulit dipahami bagi
kebanyakan mahasiswa pada umumnya,
tidak berlaku bagi Bung Karno. Ia tetap
Gambar 3.1.1 C.P. Wolff memahami perkuliahannya dan dengan
Schoemaker
Sumber: id.wikipedia.org kepandaiannya, ia sukses menjadi
mahasiswa favorit Prof. Schoemaker.
Bung Karno juga menghormati pandangan-pandangan Prof. Schoemaker
tentang kemanusiaan dan masyarakat Hindia Belanda. Dalam biografi Bung
Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia yang ditulis oleh Cindy Adams pula,
Soekarno menyebut Prof. Schoemaker sebagai seorang besar yang tidak mengenal
warna kulit dan tidak membeda-bedakan Belanda maupun Indonesia.
Soekarno juga mengasah kemampuan merancangnya secara otodidak. Ia juga
sempat magang sebagai juru
gambar atau draftsman pada
Sang Profesor. Kala itu THB
belum memiliki Jurusan
Arsitektur, sehingga mahasiswa
yang berminat menekuni bidang
Arsitektur harus meneruskan
kuliah di TH-Delf di Belanda.
Maka dari itu, satu-satunya cara
lain mendalami Arsitektur adalah
melalui magang di sebuah biro
arsitek. Gambar 3.1.2 Bung Karno ketika berkuliah di ITB
Sumber: https://rinaldimunir.wordpress.com/
Ketika lulus kuliah pada
1926, Soekarno diajak oleh
Schoemaker untuk menjadi asisten dosen. Tetapi Soekarno menolak. Penolakan
kehormatan untuk menjadi asisten dosen di Sekolah Tinggi Teknik ini bukan
tanpa alasan, Soekarno membutuhkan uang untuk menafkahi keluarganya. Prof.
Schoemaker kemudian memberi tawaran kembali yang kini menghasilkan uang
“Saya menghargai kecakapanmu dan saya tidak ingin kecakapan ini tersia-sia.
Engkau mempunyai pikiran yang kreatif. Jadi saya minta supaya engkau bekerja
dengan pemerintah.” sebut Sang Profesor. Ia merekomendasikan Soekarno pada
Burgerlijke Openbare Werken (BOW) atau Pekerjaan Sipil Umum dan
memperoleh pekerjaan merancang rumah bupati di Jawa Barat.
Pada awalnya Soekarno menolak untuk bekerja sama dengan pemerintah
Hindia Belanda, namun Prof. Schoemaker kembali meyakinkannya untuk
mengambil pekerjaan tersebut. Setelah ia menerima pekerjaan itu, ia mampu
bekerja dengan sangat baik hingga mengesankan bagi orang-orang di BOW.
Sesudah itu ia menolak segala macam tawaran dari pejabat-pejabat dan
mendirikan biro arsiteknya sendiri di Jalan Regentsweg Nomor 22, Bandung,
bersama kawannya, Anwari.
Soekarno tak jarang mengkritik pemerintah kolonial yang berbuah hukuman
penjara dan pengasingan baginya. Prof. Schoemaker dan Soekarno terpisah jarak
dan tetap berkirim surat untuk berhubungan. Walaupun Schoemaker sempat
merasa keberatan dengan sikap politik Soekarno, persahabatan antar keduanya tak
pernah pudar hingga akhir hayat Sang Profesor, terbukti dari batu nisan rancangan
Soekarno untuk Sang Profesor di Ereveld Pandu, Bandung.

3.2 Pengaruh Gaya Arsitektur Sang Profesor terhadap Soekarno


Seiring dengan perkembangan sekolah desain Bauhaus dan gerakan arsitektur
modern yang dirintis oleh Frank Lloyd Wright dengan filosofi “Form follows
function” yang mengutamakan ‘bentuk’ mengikuti ‘fungsi’. Ketertarikan Wolff
Schoemaker ini mendorong ia untuk bekerja magang di biro Wright di Amerika
pada tahun 1917. Di biro arsitek Frank Lloyd Wright inilah Schoemaker
mempelajari gaya ‘ornamen organik’ yaitu gaya khas dari Wright yang diilhami
oleh ornamen kebudayaan Inka-Maya dari Amerika. Gaya Arsitektur Wright yang
terdoktrin pada Schoemaker ini secara otomatis memberi pengaruh pada Gaya
Arsitektur Soekarno yang ketika itu sedang magang pada biro arsiteknya sebagai
juru gambar dan arsitek junior.
Kemungkinan besar Soekarno
hingga kini tidak menyadari bahwa
dirinya mengekspresikan ‘padu-
padan’ gaya atap arsitektur Eropa
pada periode 1926-1945. Konsistensi
Soekarno pada anti-kolonialisme dan
non-kooperatif juga terlihat pada
rancangannya yang tidak
menggunakan bentuk-bentuk pilar
gaya Yunani dan rancangan
bernuansa Arsitektur Belanda
dengan top geuel seperti Arsitektur
Gambar 3.2.1 Grand Hotel Preanger
Amsterdam Style. Sumber: https://pegipegi.com
Selain ornamen bergaya Inka-
Maya pada kepala pilar yang
berbentuk segi empat, Pengaruh Wright melalui Prof. Schoemaker lainnya adalah
penggunaan kaca patri (stained glass) pada jendela, pintu bahkan plafon ketika
merancang renovasi Grand Hotel Preanger pada tahun 1929 serta penggunaan
material batu alam yang sejalan dengan gaya art nouveau yang kental dari Frank
Lloyd Wright. Soekarno juga taat pada azas trinitas arsitektur yang dicetuskan
oleh Marcus Vitruvius Pollio, yakni kekuatan, kegunaan, dan keindahan.
Gaya ‘Padu-padan’ Soekarno berasal dari arsitektur bentuk atap model
Mansard karya arsitek Jules Hardouin Mansart pada abad 17 di Perancis dan
model Hipped roof dari Denmark. Pemilihan ‘Padu-padan’ gaya dari bentuk atap

Gambar 3.2.1 Dari kiri ke kanan: Dormer Windows, Hipped Roof, Mansard Roof
Sumber: Ardhiati, Yuke. Bung Karno Sang Arsitek. Depok : Komunitas Bambu, 2005

khas Eropa ini memiliki konstruksi yang kuat, sederhana namun indah karena
gaya ‘padu-padan’ hasil asimilasi beberapa model atap sekaligus. Konstruksi atap
Eropa dengan kecuraman atap 45 derajat dinilai sangat tepat untuk digunakan di
daerah dengan curah hujan tinggi seperti Bandung.
Model atap Mansard sering dikombinasikan dengan Dormer Windows gaya
Denmark. Soekarno juga suka menggunakan ‘hiasan kemuncak atap’ yang ada
pada atap gaya Hipped Roof, yang kemudian menjadi penanda dari karya
Soekarno yang disebut sebagai ‘gada-gada’, sebuah perwujudan dari lingga-yoni.

3.3 Karya-karya Soekarno Periode 1926-1945


1. Rumah di Jalan Kasim No. 6, 8 dan 10
Di Jalan Kasim no. 6, 8, dan 9 terdapat bangunan karya Bung
Karno yang
menggabungkan dua rumah
dan satu garasi.Terlihat
batu hias menempel pada
tembok pintu utama rumah
membuat rumah terasa khas
bernuansa zaman dahulu.
Kini bangunan yang sudah
berdiri sejak zaman
Gambar 3.3.1 Rumah di Jalan Kasim Karya Soekarno kolonial itu menjadi rumah
Sumber: Tribunnews.com
tinggal masyarakat sipil
biasa dan rutin mendapatkan perawatan.

2. Rumah di Jalan Pasir Koja


Rumah bersejarah ini kini sudah
tidak dihuni lagi, berdasarkan
informasi dari warga setempat rumah
ini sempat dijual namun kembali tak
berpenghuni. Keaslian cagar budaya

Gambar 3.3.2 Rumah di Jalan Pasir Koja


Sumber: https://jabar.tribunnews.com/
ini juga tidak pudar dengan penggunaan material kayu jati pada jendela,
pintu, kusen dan perabotan.

3. Rumah di Jalan Palasari Nomor 5


Meski tidak
mendapatkan perhatian
khusus dari Pemerintah Kota
Bandung, rumah hasil karya
Soekarno ini cukup
terawat.Bagian dalamnya
tidak ada yang diubah dan
masih asli bernuansa antik
sehingga menambah nilai
keaslian pada
bangunan.Rumah ini dikelola
Gambar 3.3.2 Rumah di Jalan Palasari Nomor 5
Sumber: https:// pikiran-rakyat.com
secara pribadi dan dihuni oleh
satu keluarga besar.Selain
menjadi tempat tinggal,
rumah ini juga digunakan sebagai kantor RW di kelurahan setempat.

4. Rumah di Jalan Dewi Sartika Nomor 7


Rumah ini memiliki luas tanah sebesar 430 meter persegi, dengan
halaman depan dan
belakang yang cukup luas.
Hingga kini kondisi
bangunan dan isi
rumahnya masih sangat
asli. Hampir seluruh
perabotannya
menggunakan kayu jati.
Bangunan ini dirancang
Gambar 3.3.4 Rumah di Jalan Dewi Sartika Nomor 7
dan dibangun pada tahun
Sumber: https:// pikiran-rakyat.com 1922 dan dihuni oleh
pemilik aslinya. Kini,
bangunan ini menjadi rumah tinggal bagi sebuah keluarga.

5. Rumah di Jalan Kacakaca Wetan Nomor 8


Bangunan rumah yang berada di Jalan
Kacakaca Wetan no. 8 ini memiliki
tampilan depan yang mirip dengan
bangunan sebelumnya.Terdapat juga
halaman yang luas dengan taman kecil
di sekitar pagar serta jendela tinggi yang
terbuat dari kayu di sekitar pintu
masuk.Rumah ini dihuni oleh keluarga
sang pemilik secara turun temurun.
Gambar 3.3.5 Rumah di Jalan Kacakaca Wetan
Sumber: https:// pikiran-rakyat.com
6. Rumah Kembar di Jalan
Gatot Subroto (Jl.
Papandayan) Bandung
Bangun nomor 54
sempat berpolemik lantaran
pemilik bangunan hendak
mengubah untuk rumah
tinggal, perombakan sudah
dilakukan pada genteng,
kontruksi atap dan lain-lain. Selain itu, momolo atau hiasan atap yang
menjadi ciri khas arsitek
Sukarno juga telah di lepas.
Dua rumah kembar tersebut Gambar 3.3.6 Rumah di Jalan Papandayan No. 56
arsiteknya dibuat pasca Ir. Soekarno lulus kuliah
Sumber: dan sudah mendirikan biro
https://coca-intl.org
arsitek pada 1926 sampai beliau berkarya arsitek 1929 sebelum ditahan dan
diasingkan. Dalam masa perjalanannya, bangunan kembar tersebut
difungsikan sebagai rumah tinggal dan itu nomor 54 sebagai asrama.
Sedangkan nomor 56 itu rumah tinggal Belanda.

7. Rumah Kembar dan Rumah Demang di Bengkulu

Gambar 3.3.7 Rumah Demang dan Rumah Kembar


Sumber: https://jewelledjournal.blogspot.com
Rumah seorang Refendaris di Bengkulu menganut gaya Arsitektur
‘Padu-Padan’ khas Soekarno terutama pada bentuk atap mansard bersusun,
dan hiasan ornamen Inka-Maya pada kepala pilar segi empat.

8. Masjid Jamik di Bengkulu


Masjid Jamik ini
dibangun oleh Soekarno
karena melihat Masjid
Jamik Tengah Padang atau
Surau Gedang yang sudah
tua (dibangun di
pertengahan abad 18 oleh
Daeng Maulle) dan kurang
terawat. Maka Soekarno
merancang sebuah masjid
Gambar 3.3.8 Masjid Jamik di Bengkulu
yang cantik untuk
Sumber: https://kebudayaan.kemdikbud.go.id
memperbarui masjid yang sudah tua itu, awalnya ia memperoleh penolakan
dari golongan ‘kaum tuo’ namun pada akhirnya ia berhasil memperoleh
persetujuan untuk membangun kembali Masjid Jamik. Selain beberapa
bangunan di atas masih terdapat bangunan-bangunan karya soekarno lainnya
yang kini sudah dibangun kembali dan rubuhkan serta tidak memiliki
informasi yang cukup.
BAB IV
PERIODE SANG PADMA SANG ARSITEK

4.1 Periode Sang Padma Sang Arsitek


Padma merupakan kata lain dari bunga Teratai yang diambil dari Bahasa
Sanskerta. Pemilihan kata Padma dikarenakan sejarah darimana ciri khas
rancangan tersebut didapatkan oleh Soekarno. Beliau terinsipirasi dari
dekorasi dinding candi era Mataram Hindu yang terletak di Jawa Tengah.
Ir. Soekarno pergi ke Jakarta pada akhir tahun 1949 dan awal tahun 1950,
beliau membuat karya arsitektur pertamanya. Pengalaman beliau dalam
merancang dan membuat karya arsitektur pertamanya langsung dilirik oleh
surat kabar pedoman dari PSI. Sebagai presiden pertama di Indonesia, beliau
membuat tiang bendera berbahan beton yang mempunyai ornamen padma
untuk dipersembahkan di Istana Merdeka. Karya arsitektur pertamanya ini
dibuat pada tahun 1950 dan diakui pada tahun 1966.

Gambar 1.0 Tiang Bendera Beton Berornamen Padma di Istana Jakarta


(sumber: Buku Bung Karno Sang Arsitek hal. 158)

Pada tahun 1945-1959, karya arsitektur Soekarno memiliki ciri khas, yaitu
menggunakan bentuk-bentuk budaya Indonesia sebagai ciri khas bangsa ini.
Soekarno menggunakan bentuk-bentuk tersebut ke dalam karya arsitekturnya
agar memiliki ciri khas dan berbeda dengan yang lain meskipun masih terjadi
perpaduan gaya dari arsitektur yang lain. Seiring berjalannya waktu, Soekarno
berhasil menemukan apa yang menjadi jati dirinya dan meninggalkan motif
Inka-Maya yang dipengaruhi Schoemaker dan Wright dan artefak padma.
Artefak padma menjadi elemen yang paling dominan pada tahun 1945-
1959. Arsitektur berbentuk padma bisa dilihat pada relief Candi Prambanan
dan Padmasana Boddisatva. Ornamen padma ini biasa ditemui di pahatan
dinding, lukisan, relief, ornamen tiang bendera, kolam teratai, dan aksen
furnitur. Ornamen organik padma juga pernah diperlihatkan oleh Soekarno
yang diteriapkan pada perabot yang dibuatnya. Pada tahun 1950-an, Soekarno
pernah merenovasi Istana Jakarta dan Bogor secara bertahap. Di tempat
tersebutlah ditemukan perabot interior dengan aksen padma. Perabot interior
ini bergaya artdeco dengan kesan individualis, tradisionalis (terdapat unsur
heritage), nuansa modernis dan romantisme. Selain bentuknya yang
ergonomis berkesan bodyship juga terdapat aksen padma. Ditemukan
sedikitnya tujuh seri desain furniture dengan gaya serupa yang tersebar di
Istana Jakarta, Istana Bogor, dan Tampak Siring. Setelah sekian lama
menggeluti dengan bentukan padma, Soekarno menemukan jati dirinya dalam
berarsitektur, beliau dominan memilih material khas Indonesia seperti rotan,
kayu jati, dan pualam.

Gambar 1.1 Kursi koleksi Istana Bogor


(sumber: Buku Bung Karno Sang Arsitek hal. 161)

4.2 Arsitektur ‘Padu-Padan’ Atap Limasan dan Ornamen Padma


Dalam ilmu arsitektur, pada era Mataram-Hindu dipercaya bahwa filosofi
dalam suatu bangunan pasti memiliki struktur yang dimana terbagi menjadi
tiga bagian, yaitu kepala, badan, dan kaki. Arsitektur Soekarno memiliki ciri
khas dan sangat berhubungan dengan ornamen padma yang akan dijelaskan
bentukannya dari ‘kepala’ atau atap hingga ‘kaki’ bangunan.

1. Dipilihnya atap limasan pada ‘kepala’ atau atap karena biasanya Soekarno
sering merujuk bentuk atap khas Eropa atau hipped roof tersebut pada
tahun 1926-1945. Akan tetapi, Soekarno mengubah penutup atapnya dari
kayu sirap. Pada puncak atap, biasanya Soekarno dalam gaya arsitekturnya
mempunyai gada-gada yang biasa menjadi ciri khas yang diterapkan pada
karyanya di Bandung dan Bengkulu. Akan tetapi, kali ini digantikan oleh
bentuk tajug yang mana bentuk ini adalah modifikasi dari bentuk meru
sebelumnya. Menurut fungsinya, bentuk tajug memiliki fungsi sebagai
penangkal petir. Akan tetapi, secara desain, hiasan ini memiliki makna
arsitektur nusantara yang kuat.

Gambar 1.2 Bentukan atap dengan berbagai gaya


(Sumber: Buku Bung Karno Sang Arsitek hal.145)

2. Untuk bagian ‘badan’ dari bangunan diberi bentuk berupa pilar-pilar yang
berbentuk segi empat dan memiliki ornamen organik padma.

Gambar 1.3 Pilar Wisma Yaso Jakarta, Pilar Makam Pahlawan Kalibata, Ornamen
Pilar Wisma Yaso, Pilar Makam Pahlawan
(sumber: Buku Bung Karno Sang Arsitek hal. 163)

3. Pada bentuk ‘kaki’ bangunan, Soekarno merancang dengan memberi


beberapa penurunan lantai yang dimana memiliki kesan bahwa bangunan
tersebut menyatu dengan alam sekitarnya. Lantai dasar dibuat lebih tinggi
dari muka tanah dengan melakukan pembuatan teras atau serambi.

Agar mudah
memahami gaya
arsitektur karya
Soekarno pada tahun
1945-1959, berikut
merupakan karya
arsitektur beliau pada
periode ini:
a. Hing Puri Bima
Sakti, Bogor.
b. Srihana-Srihani,
Bogor.
c. Wisma Yaso (sekarang menjadi Museum Satria Mandala), Jakarta.
d. Gedung Bentol, Istana Cipanas.
e. Pesanggrahan Tenjoresmi, Pelabuhan Ratu.
f. Istana Tampak
Gambar 1.4 Hing Puri Bima Sakti di Jl. Siring, Bali.
Batutulis, Bogor. g. Gedung Bank
Sumber: Buku Bung Karno Sang Arsitek hal.164)
Industri (sekarang
Bapindo), Jakarta.
h. Gedung Bank Indonesia, Jakarta.
i. Gedung Bank Indonesia 1946, Jakarta.
j. Masjid Syuhada, Yogyakarta.
k. Masjid Salman ITB Bandung.
l. Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.

5. Tata Ruang Kota dan Bangunan Monumental oleh Soekarno


Pada tahun 1945-1959, Soekarno juga terjun ke ranah yang baru, yaitu
melakukan perancangan kota. Kota Palangkaraya merupakan kota yang
didesain oleh Soekarno. Pada tahun 1957, setelah terbentuknya Provinsi
Kalimantan Tengah, Soekarno dengan semangat yang membara dan beliau
menuangkan ide untuk membangun kota impian dengan sisa-sisa kolonial
yang ada.

Gambar 1.5 Rancangan Skematik Kota Palangkaraya oleh Soekarno


(sumber: Buku Bung Karno Sang Arsitek hal. 169)

Soekarno juga membangun monumen lain, monumen yang dimaksud


adalah tugu. Tugu merupakan bangunan dalam memperingati atau
menghormati orang atau kelompok yang berjasa. Tugu yang dibuat oleh
Soekarno telah menyebar ke seluruh Indonesia, antara lain: Tugu
Proklamasi dan Tugu Monas di Jakarta, Tugu Muda di Semarang, Tugu
Alun-alun Bunder di Malang, Tugu Pahlawan di Surabaya. Ciri khas dari
tugu yang dibuat oleh Soekarno mempunyai kemiripan dengan phallus
(obelisk), paku duduk, obor, dan lilin. Phallus (obelisk) merupakan
eksplorasi di Candi Sukuh (budaya Hindu) yang berupa bentuk lingga-
yoni, yaitu lambang alat reproduksi laki-laki dan perempuan.

Gambar 1.6 Tugu Monas di Jakarta.


(Sumber: http://www.trisoenoe.com/2016/09/jalan-jalan-ke-tugu-monas-monumen.html)

Periode 1945-1959, arsitektur karya Soekarno memiliki ciri khas


tersendiri, sebagai berikut:
a. Penggunaan ornamen organik berupa padma pada kepala pilar dan
furnitur.
b. Selalu terdapat ruang samadi atau tafakur dan ruang film.
c. Terdapat kolam Teratai dan tanaman monumental sebagai landsekap.
d. Atap limasan menggantikan atap mansard.
e. Hiasan kemuncak atap menyerupai tajuk atau meru.
f. Ventilasi silang dan alami.
g. Pilar polos segi empat, terdiri dengan bagian kaki-badan-kepala.
h. Relief dan ukur banyak digunakan.
i. Material yang alami.
BAB V
PERIODE SANG ARSITEK MAESTRO (1959-1965)
Pada periode sang arsitek maestro, Soekarno digambarkan memiliki peran
menyerupai seorang maestro yang sedang menggurat karya yang maha besar.
Dengan semangat yang tinggi ia memberi ide/ gagasan kepada para arsitek atau
insinyur lokal maupun luar negri ditengan kesibukannya yang padat serta situasi
politik yang penuh dengan kontroversi terhadap proyek yang ditanganinya.

5.1 Mentalite internasionalis.


Mentalite artistik Soekarno mencapai puncak kematangan setelah berhasil
digelarnya Pemilu pertama pada bulan September 1955. Sebulan sebelumnya,
kematangan rohaniah juga diperoleh Soekarno dengan berhajike Tanah Suci pada
bulan Juli 1955.

Menurut saksi sejarah, Ketika Soekarno menunaikan ibadah haji, Soekarno


tidak pernah melewatkan perhatiannya terhadap konsidi Masjid Al-Haram di
Mekkah. Sebagai seorang arsitek, Soekarno tergerak untuk memberikan
sumbangan ide arsitektural kepada pemerintah Arab Saudi agar membuat
bangunan untuk melakukan sa’i menjadi dua jalur dalam bangunan dua lantai.
Sehingga Pemerintah Arab Saudi kemudian merenovasi Masjid Al-Haram secara
besar-besaran yang dilakanakan pada tahun 1966.

Ketika menjabat sebagai Presiden Indonesia, Soekarno melakukan


kunjungan kenegaraan ke Mancanegara yang sangat panjang terhitung dari taggal
4 Mei 1956 hingga 7 Juli 1956. Kunjungan ini dimulai dari Amerika Serikat,
Kanada, Italia, Jerman Barat dan Swiss.

Kunjungan Soekarno ke beberapa negara secara maraton tersebut


mempengaruhi mentalite politiknya dan mempengaruhi cara Soekarno
memandang karya arsitektural, dimana pengalaman visual yang sangat
mengesankan tersebut mempengaruhi proses artistik kreatif pada diri Soekarno.

Seiring berjalannya waktu dengan kepergiannya ke luar negeri, di


Indonesia telah terjadi ketegangan-ketegangan politik. Pergolakan politik di tanah
air yang dikhawatirkan dapat memicu retaknya persatuan nasional, akhirnya
menyebabkan Soekarno justru mengambil sikap politik yang tegas yaitu
mencanangkan proyek nation and character building melalui berbagai bidang.

Proses kreatif yang berkecamuk dalam mentalite Soekarno ketika itu


dapat dipahami. Di satu sisi terdorong untuk menata negara secara holistik, di sisi
yang lain, kebutuhan untuk dapat diperhitungkan sebagai negara yang baru
merdeka namun mampu tampil di dunia internasional melalui karya arsitektur
merupakan sesuatu yang tidak mudah.

Momentum yang memberi peluang kepada Soekarno untuk dapat


merealisasikan karya arsitektur yang megah dan menjadi national pride terjadi
ketika Indonesia disetujui sebagai tuan rumah penyelenggaraan Asian Game ke
IV. Meskipun sebagai konsekuensinya Indonesia harus menyiapkan sport venues
bertaraf international sebagai yang disyaratkan oleh Komite Asian Games. Justru
inilah yang sangat ditunggu oleh Soekarno, untuk dapat menata ‘Wajah Muka
Indonesia’, begitu istilah Soekarno untuk memetaforakan kota Jakarta sebagai
representasi wajah Indonesia.

5.2 Karya pada Periode Sang Arsitek Maestro


Perlu diketahui pada tahun 1957, sebelum soekarno menetapkan Kota
Metropolitan Jakarta sebagai ibu kota Negara, pernah dijajagi kemungkinan
Ibukota RI di Kota Palangkaraya Kalimantan Tengah.

Gagasan perancangan Kota Palangkaraya tersebut mengacu pada konsep


grandmaner. Namun Soekarno juga merupakan pribadi yang realistis oleh karena
pertimbangan-pertimbangan:

1. Sejarah
2. Belum ada model untuk sebuah ibu kota yang ideal untuk Indonesia
3. Desakan para duta besar untuk segera dapat membangun gedung
perwakilan diindonesia, diputuskan kota Jakarta sebagai ibu kota Negara
4. Desakan penyelenggaraan Asian games, maka Jakarta akhirnya ditetapkan
sebagai ibu kota Negara

Karya arsitektur, perencanaan kota, monument serta patung kota pada periode
sang arsitek maestro diantaranya sebagai berikut.
1. Gedung Gelora Bung Karno, Jakarta
2. Hotel Indonesia Group
a. Hotel Indonesia Jakarta
b. Hotel Samudera Beach
c. Hotel Ambarukmo, Yogyakarta
d. Hotel Bali Beach, Denpasar
3. Wisma Nusantara,Jakarta
4. Gedung Toserba Sarinah, Jakarta
5. Gedung Conefo, Jakarta
6. Masjid Istiqlal
7. Gedung Graha Purna Yudha
8. Rumah Sakit di Rawamangun, Jakarta
9. Gedung PMI, Jakarta
10. Gedung Planetarium
11. Gedung Herbarium, Bogor

5.3 Kota Jakarta sebagai Muara Artistik


Rancangan tata kota Metropolitan Jakarta pada tahun 1962 menyerupai
kota tempat mermuaranya artefak artistik kota. Bangunan unik, indah, megah
berpadu dengan patung skala kota sebagai tengaran kota.

Pada periode ini, banyak sekalu dilakukan pembangunan Patung Skala


Kota. Selain untuk memperindah kota, juga dimaksudkan sebagai ekspresi
peringatan kepahlawanan Indonesia, ditemukannya antara lain sebagai berikut.

1. Patung selamat datang

2. Patung pahlawan deponegoro


3. Patung tani

4. Patung pembebasan Irian Barat


5. Patung dirgantara

Bila diperhatikan patung skala kota


yang dirancang pada periode 1959-1965 ini, dapat dikatakan rancang patung
aliran ‘realis’ yaitu patung yang ‘berwujud manusia’ sebagai sosok tiga
dimensional dengan karakter yang disesuaikan dengan misi tertentu.

Seniman yang berkesempatan memvisualisasikan gagasan soekarno dalam


mempercantik ‘wajah muka indonesia’ adalah pematung Edhie Seonarso dan
pematung dari Uni Soviet, Manizer dan puteranya arsitek Rashin yang
mempersiapkan patung pahlawan di prapatan Jakarta.

Dalam periode sang arsitek maestro ini mentalite Soekarno dipenuhi oleh ide-ide
internasionalis, dalam konteks sebagai bagian dari national pride. Periode ini
memiliki style dan ciri khas sebagai berikut.

1. Pengaruh arsitektur internasional style


2. Visi arsitektur ‘kota dunia’
3. Membangun landmark kota berupa patung skala kota gaya realis
4. Selalu terdapat desain ‘ruang film’ disetiap bangunan
5. Terdapat atap bangunan yang selalu unik dengan teknologi mutakhir pada
zamannya, seperti konstruksi kubah, lipat, temu gelang sebagai point of
interest
6. Atap limasan,
7. Hiasan kemuncak atap dan ventilasi silang dipertahankan untuk bangunan
rendah,
8. Beragam ornament interior bernuansa Indonesia
9. Penggunaan material alami yang awet 1000 tahun, seperti beton dan
marmer.
Menurut Profesor slamet Wirasonjaya, Guru besar jurusan Arsitekrur
ITB, antara Soekarno dan Hitler terdapat kesamaan cara pandang dalam
pembangunan monumen dan perencanaan kota. Apabila Hitler memilih
mitra arsitek Albert Speer untuk merealisasi gagasan arsitekturalnya untuk
mewujudkan Kota Nazi Maka Soekarno berperan sendirian sebagai
Kepala Negara sekaligus arsitek. Dan sayangnya, ketika visi-visi besar
Soekarno di kedepankan, masyarakat Indonesia belum ada yang bisa
tampil sebagai sparing partner bagi Soekarno, sehingga, konsep the grand
manner karya Soekarno tidak terwujud.

Anda mungkin juga menyukai