Anda di halaman 1dari 170

KETERKAITAN FAKTOR HORMONAL TERHADAP RISIKO

TERJADINYA KANKER PAYUDARA PADA WANITA

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan


Memperoleh Gelar Sarjana
Kedokteran

Disusun oleh :
Syahfitri Nur Afifah
NPM : 14700003

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA
SURABAYA
2020
HALAMAN PERSETUJUAN

SKRIPSI

KETERKAITAN FAKTOR HORMONAL TERHADAP RISIKO


TERJADINYA KANKER PAYUDARA PADA WANITA

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna


Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Oleh :
Syahfitri Nur Afifah
NPM: 14700003

Menyetujui untuk diuji


Pada tanggal: 28 Januari 2021

Penguji I/Pembimbing Penguji II

dr. Pratika Yuhyi Hernanda, MSc.PhD Prof. Dr. Suhartati, dr., MS,
NIK. 08408-ET NIK. 17785-ET

i
ii

HALAMAN PENGESAHAN

SKRIPSI

KETERKAITAN FAKTOR HORMONAL TERHADAP RISIKO


TERJADINYA KANKER PAYUDARA PADA WANITA

Oleh :
Syahfitri Nur Afifah
NPM: 14700003

Telah diuji pada


Hari : Senin
Tanggal : 28 Januari 2021

dan dinyatakan lulus oleh :

Penguji I/Pembimbing Penguji II

dr. Pratika Yuhyi Hernanda, MSc.PhD Prof. Dr. Suhartati, dr., MS,
NIK. 08408-ET NIK. 17785-ET

ii
iii

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan berbagai
kemudahan kepada penulis untuk menyelesaikan Skripsi dengan judul
“Keterkaitan Faktor Hormonal Terhadap Risiko Terjadinya Kanker Payudara
Pada Wanita”.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor hormonal apa saja yang
berkaitan terhadap risiko terjadinya kanker payudara pada wanita.
Skripsi ini berhasil penulis selesaikan karena dukungan dari berbagai pihak.
Oleh sebab itu pada kesempatan ini penulis sampaikan terimakasih yang tak
terhingga kepada:
1. Prof. Dr. Suhartati dr., MS. selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Wijaya Kusuma Surabaya yang telah memberi kesempatan kepada penulis
menuntut ilmu di Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma
Surabaya.
2. Dr. Pratika Yuhyi Hernanda, MSc.PhD. selaku pembimbing yang telah
memberikan bimbingan, arahan, masukan serta dorongan dalam
menyelesaikan Skripsi ini.
3. Penguji, Prof. Dr. Suhartati dr., MS, selaku penguji ujian Skripsi.
4. Segenap Tim Pelaksana Tugas Akhir dan sekretariat Tugas Akhir Fakultas
Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya yang telah
memfasilitasi proses penyelesaian Proposal maupun Skripsi.
5. Orang tua, saudara, keluarga, dan Riyadhul Multazam yang selalu
mendukung dan memberikan semangat kepada saya dalam menyelesaikan
Skripsi.
6. Semua pihak yang tidak mungkin disebut satu per satu yang telah
membantu dalam menyelesaikan Skripsi.
Dalam penulisan Skripsi ini penulis sadar bahwa masih banyak terdapat
kekurangan dan jauh dari sempurna oleh karena itu penulis mengharapkan segala
kritik dan saran dari pembaca demi menyempurnakan tugas akhir ini.

Surabaya, 28 Januari 2021

Penulis

iii
iv

KETERKAITAN FAKTOR HORMONAL TERHADAP RISIKO


TERJADINYA KANKER PAYUDARA PADA WANITA

Abstrak

Kejadian kanker payudara menjadi salah satu penyebab utama kematian akibat
kanker di dunia. Beberapa penelitian telah dilakukan tentang hubungan kejadian
kanker payudara dan faktor hormonal. Karena itu dilakukan tinjauan terhadap
beberapa penelitian terdahulu dan studi literatur untuk mengevaluasi keterkaitan
faktor hormonal terhadap risiko terkena kanker payudara. Metode: Studi yang
relevan dengan melakukan pencarian pada internet menggunakan search engine
ProQuest, Pubmed, dan Google Scholar. Pencarian menghasilan 30 studi yang
menunjukkan usia menarche < 12 tahun meningkatkan risiko kanker payudara
dengan rata-rata nilai OR = 5,617 (95%CI=0,587-35,08), terlambat menopause
mempertinggi kejadian kanker payudara dengan rata-rata nilai OR = 1,355
(95%CI=0,35-9,23), paritas berisiko mempertinggi kejadian kanker payudara
dengan rata-rata nilai OR = 2,98 (95%CI=0,463-40,898), laktasi mempertinggi
risiko kanker payudara dengan rata-rata nilai OR = 4,031 (95%CI=0,364-18,96),
kontrasepsi hormonal mempertinggi risiko kanker payudara dengan rata-rata nilai
OR = 3,310 (95%CI=0,65-84,718) dan penggunaan hormon pascamenopause
dengan rata-rata nilai OR = 1,909 (95%CI=0,491-3,217) menunjukkan ada
hubungan dengan kanker payudara. Kesimpulan: Studi literature review ini
mengkonfirmasi adanya keterkaitan dengan kejadian kaknker payudara dengan
urutan signifikansi usia menarche, laktasi, kontrasepsi hormonal, paritas,
penggunaan hormon pascamenopause dan usia menopause dari sumber yang di
publikasikan.

Kata Kunci: Hormonal, kanker payudara, usia menarche dini, menopause,


paritas, laktasi (tidak menyusui), kontrasepsi hormonal, hormon pascamenopause

iv
v

ASSOCIATION OF HORMONAL FACTORS TO


BREAST CANCER INCIDENCE IN WOMEN

Abstract

The incidence of breast cancer is one of the leading causes of cancer death in the
world. Several studies have been conducted on the relationship between breast
cancer incidence and hormonal factors. Therefore, a review of several previous
studies and literature studies was conducted to evaluate the association of
hormonal factors on the risk of developing breast cancer. Methods: Studies
relevant to conducting internet searches using the search engines ProQuest,
Pubmed, and Google Scholar. The search resulted in 30 studies that showed
menarche age <12 years increased breast cancer risk with an average OR =
5.617 (95% CI = 0.587-35.08), late menopause increased breast cancer incidence
with an average OR = 1.355 ( 95% CI = 0.35-9.23), parity increases the risk of
breast cancer with an average OR = 2.98 (95% CI = 0.463-40.898), lactation
increases the risk of breast cancer with an average OR value = 4.031 (95% CI =
0.364-18.96), hormonal contraception increases the risk of breast cancer with an
average OR = 3.310 (95% CI = 0.65-84.718) and the use of postmenopausal
hormones with an average OR = value 1.909 (95% CI = 0.491-3.217) showed a
relationship with breast cancer. Conclusion: This literature review study confirms
an association with the incidence of breast cancer with the order of significance
of age of menarche, lactation, hormonal contraception, parity, use of
postmenopausal hormones and age of menopause from published sources.

Keywords: Hormones, breast cancer, early menarche, menopause, parity,


lactation (not breastfeeding), hormonal contraception, postmenopausal hormones

v
vi

DAFTAR ISI

Halaman Persetujuan .................................................................................... i

Halaman Pengesahan .................................................................................... ii

Kata Pengantar .............................................................................................. iii

Abstrak............................................................................................................ iv

Abstrack........................................................................................................... v

Daftar Isi ......................................................................................................... vi

Daftar Tabel ................................................................................................... x

Daftar Gambar................................................................................................ xi

Daftar Lampiran............................................................................................. xii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................... 6

1.3 Tujuan Penelitian ....................................................................................... 7

1.4 Manfaat Penelitian ..................................................................................... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Payudara .................................................................................................... 9

2.1.1 Anatomi Payudara.......................................................................... 9

2.1.2 Fisiologi Payudara.......................................................................... 13

2.2 Kanker Payudara......................................................................................... 13

2.2.1 Definisi Kanker Payudara............................................................... 13

2.2.2 Etiologi Kanker Payudara............................................................... 15

vi
vii

2.2.3 Patofisiologi Kanker Payudara....................................................... 15

2.2.4 Epidemiologi Kanker Payudara...................................................... 18

2.2.4.1 Distribusi dan Frekuensi Kanker Payudara Berdasarkan

Orang….............................................................................. 18

2.2.4.2 Distribusi dan Frekuensi Kanker Payudara Berdasarkan

Tempat dan Waktu ............................................................. 18

2.2.5 Faktor Risiko Kanker Payudara...................................................... 19

2.2.5.1 Faktor Genetik.................................................................... 20

2.2.5.2 Faktor Hormonal................................................................. 21

2.2.5.3 Faktor Reproduksi.............................................................. 27

2.2.5.4 Riwayat Terpapar Radiasi................................................... 28

2.2.5.5 Faktor Nutrisi...................................................................... 29

2.2.5.6 Faktor Lingkungan.............................................................. 35

2.2.5.7 Tingkat Pendidikan............................................................. 37

2.2.5.8 Riwayat Kesehatan Personal .............................................. 38

2.2.6 Manifestasi Klinis Kanker Payudara.............................................. 40

2.2.7 Kanker Payudara yang Recurrent atau Berulang............................ 42

2.2.8 Klasifikasi Kanker Payudara ......................................................... 44

2.2.8.1 Non-Invasif Karsinoma...................................................... 44

2.2.8.2 Invasif Karsinoma............................................................... 45

2.2.8.3 Paget’s Disease.................................................................. 47

2.2.9 Stadium Kanker Payudara.............................................................. 47

2.2.10 Prosedur Diagnosa Kanker Payudara............................................. 58

vii
viii

2.2.11 Penatalaksanaan Kanker Payudara................................................. 71

2.2.12 Pencegahan Kanker Payudara......................................................... 74

2.2.13 Komplikasi Kanker Payudara......................................................... 80

2.2.14 Prognosis Kanker Payudara............................................................ 80

2.3 Faktor Hormonal Sebagai Faktor Risiko Kanker Payudara....................... 80

2.3.1 Usia Menarche................................................................................ 81

2.3.2 Menopause...................................................................................... 82

2.3.3 Paritas............................................................................................. 83

2.3.4 Laktasi............................................................................................. 84

2.3.5 Kontrasepsi..................................................................................... 85

2.3.6 Penggunaan Hormon Pascamenopause.......................................... 91

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Metode ....................................................................................................... 93

3.2 Penjelasan Bagan Alir................................................................................. 94

3.2.1 Pencarian Literatur.......................................................................... 94

3.2.2 Kriteria Inklusi dan Ekslusi............................................................ 94

3.2.3 Ekstraksi Data................................................................................. 95

3.2.4 Analisa Data.................................................................................... 96

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil pencarian .......................................................................................... 97

4.2 Pembahasan................................................................................................ 106

4.2.1 Keterkaitan faktor Usia Menarche terhadap risiko terjadinya kanker

payudara pada wanita..................................................................... 106

viii
ix

4.2.2 Keterkaitan faktor Menopause terhadap risiko terjadinya kanker

payudara pada wanita..................................................................... 114

4.2.3 Keterkaitan faktor Paritas terhadap risiko terjadinya kanker payudara

pada wanita..................................................................................... 116

4.2.4 Keterkaitan faktor Laktasi terhadap risiko terjadinya kanker payudara

pada wanita..................................................................................... 122

4.2.5 Keterkaitan faktor Kontrasepsi terhadap risiko terjadinya kanker

payudara pada wanita..................................................................... 126

4.2.6 Keterkaitan faktor Penggunaan Hormon Pascamenopause terhadap

risiko terjadinya kanker payudara pada wanita............................... 135

4.3 Keterkaitan Faktor Hormonal Terhadap Risiko Terjadinya Kanker Payudara

pada Wanita................................................................................................ 136

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan ................................................................................................ 142

5.2 Saran .......................................................................................................... 143

5.2.1 Bagi Masyarakat....................................................................... 143

5.2.2 Bagi Peneliti Selanjutnya.......................................................... 145

5.2.3 Bagi Institusi............................................................................. 145

DAFTAR PUSTAKA

ix
x

DAFTAR TABEL

Tabel II. 1 Klasifikasi Kanker Payudara Berdasarkan Sistem TNM........... 49

Tabel II. 2 Pengelompokan Stadium (AJCC 2010)..................................... 56

Tabel II. 3 Pemeriksaan Infiltrasi Massa Payudara..................................... 67

Tabel IV. 1 Jurnal dalam penelitian literature review................................... 98

x
xi

DAFTAR GAMBAR

Gambar II.1 Anatomi Payudara .................................................................... 9


Gambar II.2 (A) Anatomi Payudara, (B) Area-area Payudara ..................... 10
Gambar II.3 Empat Kuadran Payudara.......................................................... 11
Gambar II.4 Drainase Limfatik Payudara...................................................... 12
Gambar II.5 Asosiasi Risiko Relatif kanker Payudara Terhadap (A) Usia Ketika
Menarche dan (B) Usia Ketika Menopause.............................. 23
Gambar II.6 Penyebaran Sel Kanker Payudara............................................. 48
Gambar II.7 Stage IIb Breast Cancer............................................................ 53
Gambar II.8 Stage IIIB Breast Cancer.......................................................... 54
Gambar II.9 Stage IIIC Breast Cancer ......................................................... 55
Gambar II.10 Stage IV Breast Cancer ............................................................ 56
Gambar II.11 Inspeksi Dada dalam Posisi Kedua Lengan Relaksasi dan terangkat
.................................................................................................. 61
Gambar II.12 Teknik Melakukan Palpasi Aksila ........................................... 64
Gambar IV.1 Grafik Keterkaitan Faktor Hormonal Terhadap Risiko Terjadinya
Kanker Payudara Pada Wanita................................................. 137
Gambar IV.2 Mekanisme Faktor Hormonal Terhadap Risiko Terjadinya Kanker
Payudara Pada Wanita............................................................... 141

xi
xii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Pernyataan Keaslian Tulisan


Lampiran 2 : Jurnal

xii
1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kanker merupakan suatu kelompok penyakit dimana sel tubuh mengalami

perkembangan perubahan serta menduplikasikan diri yang tak terkendali. Kanker

payudara adalah suatu kondisi sel yang telah kehilangan kendali dalam proses

apoptosis, sehingga terjadi pertumbuhan yang abnormal, cepat, serta tidak

terkendali yang terjadi pada jaringan payudara (Mulyani & Rinawati, 2013).

Kanker payudara pada umumnya mempunyai tahapan atau stadium yang menjadi

tanda parah atau tidaknya kanker payudara itu yaitu: stadium 0, stadium I, stadium

II, stadium III, stadium IV (Pamungkas, 2011).

Kanker payudara adalah kanker yang paling sering didiagnosis dan

penyebab utama kematian akibat kanker di kalangan wanita di seluruh dunia,

dengan perkiraan 1,7 juta kasus dan 521.900 kematian pada tahun 2012. Kanker

payudara saja menyumbang 25% dari semua kasus kanker dan 15% dari semua

kematian akibat kanker di kalangan wanita (Torre et al., 2015)

Negara yang lebih maju menyumbang sekitar setengah dari semua kasus

kanker payudara dan 38% kematian. Umumnya angka kejadian kanker payudara

tinggi di Amerika Utara, Australia / Selandia Baru, Eropa Utara dan Barat;

menengah di daerah Eropa Tengah dan Timur, Amerika Latin, serta Karibia; dan

rendah di sebagian besar Afrika dan Asia. Variasi internasional dalam angka

kejadian kanker payudara mencerminkan perbedaan dalam ketersediaan deteksi

1
2

dini serta faktor risiko. Faktor risiko untuk kanker payudara termasuk faktor

reproduksi dan hormonal seperti riwayat menstruasi yang lama, penggunaan

kontrasepsi oral baru-baru ini, dan tidak pernah memiliki anak. Melahirkan dan

menyusui menurunkan risiko kanker payudara. Secara potensial Faktor risiko

yang dapat dimodifikasi yaitu penambahan berat badan setelah usia 18 tahun,

obesitas (untuk kanker payudara pascamenopause), penggunaan terapi hormon

menopause (gabungan estrogen dan progestin), ketidakaktifan fisik, dan konsumsi

alkohol (Torre et al., 2015)

Di antara wanita, kanker payudara adalah penyakit ganas paling umum di

seluruh dunia, terhitung 24% dari kasus kanker baru dan 15% kematian akibat

kanker pada tahun 2018, dan kasus insiden diperkirakan akan meningkat lebih

dari 46% pada tahun 2040, menurut Globocan Alat prediksi Cancer Tomorrow

(Heer et al., 2020).

Dengan jumlah pasien sebanyak 12.014 orang atau 28,7%, kanker

payudara menjadi jenis kanker terbanyak yang di derita pasien rawat inap maupun

rawat jalan di seluruh rumah sakit (RS) di Indonesia (Sobri, Azhar, Wibisana, &

Rachman, 2018). Di poliklinik bedah umum RSUD Ibnu Sina Gresik pada tahun

2019 terdapat 326 pasien yang menderita kanker payudara (Medis, 2019). Karena

mortalitas dan morbiditasnya tinggi, Kanker payudara menjadi suatu masalah

dalam kesehatan yang penting. Sebanyak 9.688 pasien di Provinsi Jawa Timur

menjadikan provinsi jawa timur menempati urutan ke dua dengan jumlah

terbanyak menurut pada estimasi jumlah pasien kanker payudara (Faida, 2016b).
3

Dalam upaya pencegahan dan pengendalian kanker, kanker payudara

merupakan salah satu prioritas di Indonesia. Oleh karena itu, penting untuk

mengetahui faktor risiko kanker payudara sebagai upaya pencegahan untuk

masyarakat umum. Upaya pencegahan dilakukan melalui kegiatan pengendalian

faktor risiko penyakit tidak menular dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat di

pos pembinaan terpadu (Posbindu) PTM dengan kegiatan promosi dan konseling,

termasuk tentang kanker payudara.

Ada dua jenis faktor risiko kanker payudara, yaitu yang berkaitan dengan

gaya hidup sehingga dapat di modifikasi dan yang bersifat permanen. (Sobri et al.,

2018)

Banyak faktor risiko yang berhubungan dengan terjadinya kanker

payudara, namun masih belum diketahui dengan jelas penyebabnya. Menarche

yang terjadi saat usia <12 tahun, usia wanita menopause yang >50 tahun, usia

wanita melahirkan anak pertama di atas 30 tahun, wanita yang menggunakan

kontrasepsi oral selama 5-10 tahun dan faktor lainnya dapat meningkatkan risiko

kanker payudara. Pada beberapa wanita, pemicu awal kanker payudara adalah

hormon estrogen. Hormon tersebut berperan dalam proses tumbuh kembang organ

seksual wanita. Salah satu faktor yang berperan penting terhadap kejadian kanker

payudara adalah faktor hormonal, lainnya meliputi usia menarche, usia

menopause, paritas, riwayat menyusui dan penggunaan kontrasepsi hormonal.

(Setiowati, Eddy, & Roostantia, 2016)

Dalam penelitian yang di lakukan oleh Trieu, Mello-Thoms, Peat, Do, and

Brennan (2017), menyebutkan bahwa wanita yang memiliki anak pertama mereka
4

pada umur 30 tahun atau lebih dapat meningkatkan risiko terjadinya kanker

payudara (OR, 1,5) dibandingkan dengan wanita yang berumur 23 tahun atau

lebih muda. Meskipun hubungan ini tidak signifikan (p= 0,08), hal ini relatif sama

dengan studi kohort yang di lakukan di Denmark yang menunjukkan bahwa

perempuan yang menunda anak pertama mereka setelah usia 30 tahun memiliki

dua kali lipat risiko terjadinya kanker payudara dibandingkan dengan mereka

yang memiliki anak pertama sebelum berusia 20 tahun.

Beberapa hormon yang mempengaruhi pertumbuhan jaringan pada

payudara, yaitu hormon prolaktin, hormon estrogen, hormon pertumbuhan, serta

hormon progesteron. Menurut Dinkes Provinsi Sumatera Barat (2019) Pemicu

pertumbuhan sel secara abnormal pada bagian tertentu disebabkan oleh paparan

hormon estrogen secara berlebihan (Dewi & Hendrati, 2015).

Terkait mekanisme terjadinya kanker payudara oleh paparan estrogen

masih menjadi kontroversi, belum diketahui secara pasti disebabkan oleh

estrogen dan metabolitnya yang secara langsung bertindak sebagai mutagen atau

disebabkan karena stimulasi estrogen terhadap pembelahan sel epitel (Dewi &

Hendrati, 2015; Sandra, 2011).

Ada beberapa kondisi yang dapat mempengaruhi tingginya paparan

estrogen, yaitu tidak pernah melahirkan atau melahirkan untuk pertama kali di

atas 35 tahun, tidak menyusui, menopause di atas 50 tahun, penggunaan

kontrasepsi hormonal yang berkepanjangan, dan menarche di bawah usia 12 tahun

(Dewi & Hendrati, 2015).


5

Penelitian yang dilakukan oleh Tan et al. (2018) in 7,663 women in

Malaysia menyebutkan bahwa usia menarche tidak mempunyai asosiasi terhadap

insiden kanker payudara. Sedangkan pada penelitian yang di lakukan oleh Trieu

et al. (2017) dalam Risk Factors of Female Breast Cancer in Vietnam: A Case-

Control Study usia menarche menjadi faktor yang memiliki pengaruh pada insiden

kanker payudara, lainnya ialah status menopause, jumlah kehamilan, jumlah

kelahiran serta pemakaian hormon eksogen. Dalam penelitian yang dilakukan oleh

Tan et al. (2018) dengan judul penelitian A case-control study of breast cancer

risk factors in 7,663 women in Malaysia menyampaikan hasil bahwa penggunaan

kontrasepsi oral tidak memliki korelasi yang signifikan terhadap risiko insiden

kanker payudara. Penelitian yang dilakukan di Thailand oleh Anothaisintawee T

et al (2013) dalam Risk factors of breast cancer: a systematic review and meta-

analysis menyebutkan penggunaan kontrasepsi oral mempengaruhi kanker

payudara. (Anggorowati, 2013; Dewi & Hendrati, 2015).

Meskipun hasil studi epidemiologi menunjukkan bahwa banyak faktor

yang meningkatkan risiko kanker payudara pada wanita, penyebut dari faktor

risiko yang paling umum digunakan adalah tingkat dan lamanya pajanan terhadap

estrogen endogen dan eksogen. Paparan steroid seks berperan penting dalam

perkembangan kanker payudara setelah menopause. Beberapa bulan sebelum

WHI melaporkan studi kontroversial tahun 2002, The Endogenous Hormones and

Breast Cancer Collaborrative Group melaporkan bahwa kadar hormon endogen

pada wanita pascamenopause sangat erat kaitannya dengan kanker payudara

(Suparman & Suparman, 2014).


6

Berdasarkan uraian di atas denominator faktor risiko yang paling sering

dikaitkan dengan terjadinya kanker payudara adalah faktor hormonal. Oleh sebab

itu penelitian ini untuk mengetahui faktor hormonal apa saja yang terkait sebagai

upaya pencegahan dalam pengendalian faktor risiko terjadinya kanker payudara

pada wanita, maka peneliti tertarik untuk melakukan literature review tentang

keterkaitan faktor hormonal terhadap risiko terjadinya kanker payudara pada

wanita.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam

literatur review ini adalah : Menganalisa faktor hormonal apa saja yang berkaitan

terhadap risiko terjadinya kanker payudara pada wanita. Sehingga rumusan

masalah dalam literature review ini adalah :

a. Apakah ada keterkaitan faktor usia menarche terhadap risiko

terjadinya kanker payudara pada wanita?

b. Apakah ada keterkaitan faktor menopause terhadap risiko terjadinya

kanker payudara pada wanita?

c. Apakah ada keterkaitan faktor paritas terhadap risiko terjadinya kanker

payudara pada wanita?

d. Apakah ada keterkaitan faktor laktasi terhadap risiko terjadinya kanker

payudara pada wanita?

e. Apakah ada keterkaitan faktor kontrasepsi terhadap risiko terjadinya

kanker payudara pada wanita?


7

f. Apakah ada keterkaitan antara penggunaan hormon pascamenopause

terhadap risiko terjadinya kanker payudara pada wanita?

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan literature review ini

adalah mengetahui keterkaitan faktor hormonal terhadap risiko terjadinya kanker

payudara pada wanita.

1.3.2 Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui keterkaitan faktor usia menarche terhadap risiko

terjadinya kanker payudara pada wanita.

b. Untuk mengetahui keterkaitan faktor menopause terhadap risiko

terjadinya kanker payudara pada wanita.

c. Untuk mengetahui keterkaitan faktor paritas terhadap risiko terjadinya

kanker payudara pada wanita.

d. Untuk mengetahui keterkaitan faktor laktasi terhadap risiko terjadinya

kanker payudara pada wanita.

e. Untuk mengetahui keterkaitan faktor kontrasepsi terhadap risiko

terjadinya kanker payudara pada wanita.

f. Untuk mengetahui keterkaitan faktor penggunaan hormon

pascamenopause terhadap risiko terjadinya kanker payudara pada

wanita.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Manfaat Bagi Peneliti


8

Hasil literature review ini diharapkan dapat menambah pengetahuan

peneliti untuk memperoleh informasi dan pemahaman mengenai

keterkaitan faktor hormonal terhadap risiko terjadinya kanker payudara

pada wanita.

1. Manfaat Bagi Institusi

Hasil literature review ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan

referensi untuk melakukan penelitian tentang keterkaitan faktor hormonal

terhadap risiko terjadinya kanker payudara pada wanita bagi mahasiwa

maupun peneliti lainnya.

1. Bagi Pasien dan Keluarga

Hasil literature review ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi

dalam memberikan motivasi kepada pasien dan keluarga guna

meningkatkan kesadaran dalam merubah gaya hidup untuk menekan

resiko terjadinya kanker payudara.

1. Bagi Masyarakat

Masyarakat mendapatkan pengetahuan secara dini faktor hormonal apa

saja yang menjadi faktor risiko penyebab kanker payudara pada wanita

dan dapat menghindarinya.


9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 PAYUDARA

2.1.1 Anatomi Payudara

Gambar II.1 Anatomi Payudara (Nahak, Berek, & Fouk, 2019)

Letak payudara berada di dalam fascia superficialis dinding rongga dada di

atas musculus pectoralis major dan dibentuk secara stabil oleh ligamentum

suspensorium Payudara dewasa terletak di setiap sisi sternum & meluas setinggi
10

diantara costa ke dua dan keenam secara vertikal & antara tepi sternum sampai

linea aksilaris media secara horizontal (Aziza & Wiriatarina, 2016).

Gambar II.2 (A) Anatomi Payudara. (B) Area - area Payudara, termasuk tail

of spence (Aziza & Wiriatarina, 2016)

Ketebalan payudara berkisar antara 5 - 7 cm dan ukuran diameter payudara

berkisar sekitar 10 – 12 cm. Payudara adalah bagian dari sistem reproduksi,

kelenjar kulit yang sangat penting. Kelenjar ini tumbuh menjadi payudara dan

dipengaruhi oleh hormon estrogen dan progesteron. Terletak pada bawah kulit dan

pada atas otot dada. Payudara orang dewasa beratnya sekitar 200 gram, dan sisi

kiri biasanya lebih besar dari sisi kanan. Payudara akan membesar selama

kehamilan dan beratnya mencapai 600 gram, sedangkan ibu menyusui akan

memiliki berat hingga 800 gram (Ariani & Sofi, 2015; Pane, 2019)
11

Payudara memiliki struktur yang terbagi menjadi tiga bagian yaitu kulit,

jaringan subkutan, dan corpus mammae. Corpus mammae terdiri dari parenkim

dan stroma. Struktur yang terdiri dari duktus laktiferus (duktus), lobus, ductulus

(ductuli), serta alveoli disebut sebagai parenkim. Struktur duktulus dan duktus

mengarah ke papilla. (Bakara & Fikawati, 2018)

Gambar II.3 Empat Kuadran Payudara. (Dashner, 2012)

Pembuluh darah pada payudara terbagi menjadi 2 (Aziza & Wiriatarina,

2016), ialah:

a. Suplai Arterial Payudara:

1. Arteria thoracica lateral dan arteria thoracoacromialis, cabang –

cabang arteria axillaris.


12

2. Cabang mammaria medial terdiri dari cabang – cabang perforantes

dan cabang – cabang intercostalis anterior yang terdapat pada

arteria thoracica interna, dan berasal dari arteria subclavia.

3. Arteria intercostalis posterior, cabang – cabang aorta thoracica

pada spatium intercostale II, III, dan IV.

b. Drainase vena payudara paling utama menuju ke vena axillaris, tapi

ada beberapa drainase yang menuju ke vena thoracica interna.

Drainase limfatik payudara penting karena berperan pada metastasis sel –

sel kanker. Limfatik berjalan dari putting, areola, dan lobuli glandulae ke plexus

lymphaticus subareolar. Dari plexus ini (Aziza & Wiriatarina, 2016) :

Gambar II.4 Drainase Limfatik Payudara (Aziza & Wiriatarina, 2016).

2.1.2 Fisiologi Payudara


13

Payudara akan mengalami 3 macam perubahan yang dipengaruhi oleh

hormon (Rahayu, 2016), yaitu:

a. Diawali dari masa kehidupan anak melewati masa pubertas, masa

fertilitas sampai ke klimakterium dan menopause. Duktus akan

berkembang dan timbulnya asinus di sebabkan oleh pengaruh estrogen

dan progesteron yang dipengaruhi ovarium serta hormon hipofise

yang dimulai sejak masa pubertas..

b. Perubahan sesuai dengan daur menstruasi. Menjelang menstruasi,

payudara menjadi tegang dan nyeri yang berlangsung selama beberapa

hari dan begitu menstruasi mulai semuanya akan berkurang. Payudara

akan membesar kira-kira hari kedelapan saat menstruasi dan akan

terjadi pembesaran maximal pada beberapa hari sebelum menstruasi

berikutnya, terkadang timbul benjolan yang nyeri dan tidak merata.

c. Pada masa kehamilan, payudara membesar karena epitel duktus lobul,

duktus alveolus berploliferasi dan hipofise anterior memicu laktasi.

Sel-sel alveolus, mengisi asinus akan memproduksi air susu yang

kemudian dikeluarkan melalui duktus menuju ke puting susu.

2.2 KANKER PAYUDARA

2.2.1 Definisi Kanker Payudara

Kanker payudara adalah sekelompok penyakit di mana sel-sel di jaringan

payudara berubah dan membelah secara tidak terkontrol, biasanya akan


14

menghasilkan benjolan atau massa. Sebagian besar kanker payudara dimulai dari

lobulus (kelenjar susu) atau di saluran yang menghubungkan lobulus menuju ke

puting susu (Atlanta, 2019).

Penyebab kanker payudara dikarenakan multifaktorial. Seperti faktor

reproduksi dan hormon yang tidak seimbang, nutrisi, genetik, merokok, konsumsi

alkohol, serta pemaparan komulatif dalam jangka waktu lama terhadap

kontaminan seperti heterosiklik amina maupun pestisida (Setiowati et al., 2016;

Tabaga, Durry, & Kairupan, 2015).

Kanker merupakan akibat terjadinya penurunan proses apoptosis sel

penyakit tidak menular yang terus menerus dan tidak terkendali, serta dapat

merusak jaringan yang berada disekitarnya dan menjalar ketempat yang jauh dari

asalnya yang di sebut sebagai metastasis (Arafah & Notobroto, 2017; Utami,

Anggraini, & Anisa, 2019). Kanker payudara merupakan suatu penyakit dimana

terjadi pertumbuhan sel, yang di akibatkan oleh karena adanya onkogen sel yang

normal menjadi sel kanker pada jaringan payudara (Palu & Nurdin, 2014).

Satu kelompok sel dalam sebuah tumor juga dapat pecah dan menyebar ke

bagian tubuh yang lain. Sel yang menyebar dari satu bagian tubuh ke bagian tubuh

yang lain disebut metastases. Tumor yang bersifat ganas akan menyusup dan

menghancurkan jaringan tubuh yang sehat (CancerHelps, 2010; Purnomo, 2009).

Karsinoma merupakan jenis sel kanker yang bersifat ganas dan berasal dari setiap

jenis sel pada tubuh manusia (Arafah & Notobroto, 2017).


15

Kanker payudara merujuk pada pertumbuhan serta perkembangbiakan sel

abnormal yang muncul pada jaringan payudara (Purnomo, 2009). Setelah kanker

servicks, kanker payudara (Carcinoma mammae) menjadi salah satu kanker yang

sangat ditakuti oleh kaum wanita. Pada prinsipnya, kanker payudara adalah tumor

ganas dari kelenjar kulit, saluran kelenjar, serta jaringan di sebelah luar rongga

dada (Zurazika, Hidayati, & Utami, 2019).

Payudara pada dasarnya terdiri dari 2 tipe jaringan, yaitu jaringan

glandular ( kelenjar ) dan jaringan stromal ( penopang) . Tanpa disadari sel kanker

payudara mampu bersembunyi di dalam tubuh selama bertahun-tahun dan tiba-

tiba aktif menjadi tumor ganas atau kanker (Siegel, Miller, & Jemal, 2016).

Kanker payudara sebagian besar berasal dari duktus laktiferi (kanker

duktal) dan yang lainnya berasal dari kelenjar (kanker lobular) (Siegel et al.,

2016).

2.2.2 Etiologi Kanker Payudara

Penyebab kanker payudara adalah multifaktorial. Paparan komulatif dalam

jangka waktu yang lama dan faktor reproduksi serta ketidak seimbangan hormon,

nutrisi, genetik, konsumsi alkohol, merokok terhadap kontaminan seperti

heterosiklik amina ataupun juga pestisida (Tabaga et al., 2015).

2.2.3 Patofisiologi Kanker Payudara

Duktus atau lobus payudara yang dibatasi proliferasi keganasan sel epitel

merupakan gambaran dari kanker payudara yang pada awalnya terdapat hanya
16

hiperplasia sel dengan perkembangan sel – sel yang atipikal. Sel – sel ini

kemudian menjadi karsinoma in situ serta menginvasi stroma. Untuk tumbuh dari

satu sel menjadi massa yang cukup besar membutuhkan waktu 7 tahun bagi

kanker untuk dapat di palpasi (berdiameter kurang lebih 1 cm). Sekitar 25%

kanker payudara sudah mengalami metastasis pada ukuran tersebut (Aziza &

Wiriatarina, 2016; Price & Wilson, 2006).

Dengan invasi langsung ke parenkim payudara penyebaran kanker

payudara terjadi, sepanjang duktus mamaria, pada kulit permukaan dan meluas

melalui jaringan limfatik payudara. Kelenjar getah bening regional yang terlibat

adalah aksilaris, mamaria interna, dan kelenjar supraklavikular (Aziza &

Wiriatarina, 2016; Price & Wilson, 2006).

Karena adanya kerusakan dan transformasi protoonkogen dan

supressorgen mengakibatkan perubahan pada cetakan protein dari yang semula

telah diprogramkan yang mengakibatkan timbulnya sel kanker. Oleh sebab itu

pada proses transkripsi dan translasi gen terjadi kekeliruan sehingga terjadi

proses pembentukan protein abnormal yang tidak terkendali dan tidak

terkoordinasi pada pertumbuhan dan differensasi sel. Tahapan pada terbentuknya

sel kanker yang terdiri dari tahap inisiasi, promosi, dan progresi (Fagundes,

Glaser, Malarkey, & Kiecolt-Glaser, 2013) :

a. Inisiasi
17

Tahap awal dimana sel normal berubah menjadi premaligna.

Karsinogen merupakan mutagen yaitu zat yang bisa menimbulkan

mutasi gen. Pada tahap inisiasi karsinogen beraksi dengan DNA yang

menyebabkan amplifikasi gen dan produksi jumlah protein yang lebih

banyak. Mutagen merupakan inisiator karsinogen pada proses

inisiasi , cukup terkena sekali paparan karsinogen, keadaan ini

permanen dan irreversibel, proses tidak merubah ekpresi gen.

b. Promosi

Ester phorbol yang terdiri dari Tetradeconyl Pharbol Acetat

(TPA) dan 12-Retinoyl Phorbol Acetat (RPA) dikenal sebagai

promotor. Pada tahap ini sel-sel yang telah mengalami mutasi atau

sudah mengalami ketidakstabilan genom pada tahap inisiasi akan

mengalami proses seleksi yang terjadi ketika ada paparan faktor yang

memicu replikasi sel. Sel yang telah mengalami akumulasi mutasi gen

juga akan bereplikasi menimbulkan amplifikasi pada gen sehingga

jumlahnya meningkat. Sifat dari promotor yaitu mengikuti kerja dari

inisiator, perlu terkena paparan berulang-ulang, keadaan yang bisa

reversibel, serta dapat mengubah ekspresi gen seperti hiperplasi,

induksi enzym, induksi differensiasi. Pada tahap ini, sel yang abnormal

masih dapat di hentikan, tetapi tidak dapat kembali menjadi normal.

c. Progresi
18

Terjadi aktifasi, mutasi, atau hilangnya gen. Perubahan

benigna menjadi premaligna dan maligna akan terjadi pada tahap

ini. Ada 3 mekanisme dalam proses karsinogenesis yang terlibat :

1. Anti-onkogen atau gen supressor yang dapat mencegah timbulnya

sel kanker,

2. Onkogen yang dapat menginduksi timbulnya kanker, dan

3. Gen modulator yang dapat mempengaruhi penyebaran kanker.

2.2.4 Epidemiologi Kanker Payudara

2.2.4.1 Distribusi dan Frekuensi Kanker Payudara Berdasarkan Usia dan

Jenis kelamin

Kanker payudara adalah kanker paling umum pada wanita. Diperkirakan

tidak kurang dari 1.050.346 kasus baru setiap tahunnya. Kanker payudara

biasanya terjadi pada wanita berusia 40-50 tahun (Rasjidi, 2010a). Hal ini

didukung oleh penelitian (Nasution, Asfriyati, & Siregar, 2018) yang mengutip

penelitian Situmorang yang mengatakan bahwa penderita kanker payudara

terbanyak pada usia > 40 tahun (Rahmadani, 2015).

Dalam menentukan prevalensi kanker payudara, Umur merupakan faktor

yang penting. Laporan oleh Worldwide cancer di Inggris antara tahun 2009 dan

2011, sekitar 80% kasus kanker payudara didiagnosis pada perempuan berusia >

50 tahun, dan sekitar seperempat (24%) didiagnosis pada perempuan berusia 75

dan lebih (Siegel et al., 2016).


19

Berdasarkan jenis kelamin. Pada laki-laki kanker payudara dapat terjadi

meskipun kemungkinannya sangat kecil sekali yaitu 1 : 1000 (Mulyani &

Rinawati, 2013). Berdasarkan penelitian Nasution et al. (2018) yang mengutip

penelittian Situmorang bahwa di RS Dr. Pirngadi Medan, proporsi pasien kanker

payudara pada laki-laki sekitar 2% dari 148 kasus kanker payudara (Rahmadani,

2015).

2.2.4.2 Distribusi dan Frekuensi Kanker Payudara Berdasarkan Tempat dan

Waktu

Menurut Data Riset Kesehatan Dasar Prevalensi tertinggi kanker payudara

di Indonesia tahun 2013 terdapat pada Provinsi D.I. Yogyakarta sebesar 2,4%

serta berdasarkan estimasi jumlah kanker payudara terbanyak terdapat di Provinsi

Jawa Tengah yaitu 11.511 (Nasution et al., 2018).

Insiden kanker payudara pada wanita yang lebih muda berbeda menurut

ras. Secara keseluruhan, kanker payudara lebih sering terjadi pada wanita

Kaukasia daripada di Amerika Afrika; Namun, pada wanita di bawah usia 35

tahun, kanker payudara lebih dari dua kali lebih sering terjadi pada wanita Afrika-

Amerika. Wanita Afrika-Amerika pramenopause lebih cenderung memiliki tumor

reseptor hormon negatif (dan bahkan lebih spesifik tumor dari fenotipe basal)

dibandingkan dengan wanita Kaukasia (Hartaningsih & Sudarsa, 2014). Wanita

muda di Afrika-Amerika lebih mungkin terdiagnosis pada stadium yang lebih

lanjut dari pada anak muda Kaukasia; Namun, Nampak setara di antara ras lainya

setelah penyesuaikan kelangsungan hidup (Gabriel & Domchek, 2010).

2.2.5 Faktor Risiko Kanker Payudara


20

Sejauh ini penyebab kanker payudara masih belum jelas, diperkirakan

multifaktorial yaitu banyak faktor yang berhubungan dengan terjadinya kanker

payudara. Beberapa faktor risiko kanker payudara telah diketahui saat ini antara

lain faktor genetik meliputi gen BRCA1 dan BRCA2, faktor hormonal meliputi

usia menarche, menopause, paritas, laktasi, kontrasepsi, dan penggunaan hormone

pascamenopause, faktor reproduksi meliputi jenis kelamin, menikah atau tidak

menikah, abortus, riwaya terpapar radiasi, faktor nutrisi meliputi konsumsi lemak,

obesitas, konsumsi alkohol, riwayat perokok aktif/pasif, aktifitas fisik,

mengkonsumsi makanan cepat saji, faktor lingkungan meliputi organoklorin

(pestisida) dan medan electromagnet, tingkat pendidikan serta riwayat kesehatan

personal meliputi kelainan jinak payudara dan kelenjar tiroid (Sobri et al., 2018).

Ada dua jenis faktor risiko kanker payudara, yaitu yang berkaitan dengan

gaya hidup sehingga dapat di modifikasi dan yang bersifat permanen (Sobri et al.,

2018). Faktor risiko kanker payudara dapat di kelompokkan menjadi delapan garis

besar, yaitu :

2.2.5.1 Faktor Genetik

Gen BRCA1, BRCA2 merupakan gen yang memiliki kecenderungan

terjadinya kanker payudara serta pemeriksaan histopatologi faktor proliferasi “p53

germline mutation”. Wanita dengan mutasi pada gen BRCA 1 dan BRCA 2, tidak

hanya berisiko terjadinya kanker payudara saja, tetapi juga mempunyai peluang

yang sama untuk terjadinya kanker ovarium karena memiliki hubungan yang

dekat secara genetik (Rasjidi, 2010a).


21

Riwayat kanker yang terjadi pada keluarga bisa di lihat sebagai faktor

risiko terjadinya penyakit bila masyarakat umum tidak bisa memeriksakan gen

dan faktor proliferasinya (Rasjidi, 2010a).

a. Adanya tiga atau lebih keluarga terdiagnosa kanker payudara atau

ovarium dari saudara ibu klien atau bibi dari sisi keluarga yang sama.

b. Adanya keluarga dari sisi yang sama terdiagnosa atau memiliki riwayat

kanker payudara dan ovarium.

c. Adanya dua atau lebih keluarga terdiagnosa kanker payudara atau

ovarium di usia < 40 tahun dari sisi yang sama.

d. Adanya riwayat kanker payudara bilateral pada keluarga.

e. Adanya riwayat kanker payudara yang terjadi pada pria dalam

keluarga.

Kerabat tingkat pertama dari ibu atau saudara perempuan pasien dengan

riwayat kanker payudara adalah faktor risiko yang paling umum. Jika kerabat

menderita penyakit sebelum menopause, risikonya hampir dua kali lipat; jika

kankernya bilateral, atau jika lebih dari satu kerabat tingkat pertama menderita

kanker payudara sebelum menopause, risikonya hampir dua kali lipat (Ferdian &

Rusminingsih, 2015). Riwayat keluarga (OR = 6,938; CI 95% = 0,793- 60,714)

memikili risiko untuk mempertinggi kejadian kanker payudara. (Priyatin, Ulfiana,

& Sumarni, 2013).

Pewarisan mutasi dari salah satu dari dua gen, yaitu BRCA1 dan BRCA2

merupakan salah satu alasan utama untuk risiko terkena kanker payudara. Pada sel

yang normal, dengan cara menghasilkan protein yang dapat mencegah


22

pertumbuhan sel abnormal, gen ini membantu mencegah terjadinya kanker.

Sekitar 80% wanita dengan mutasi pada gen BRCA 1 dan BRCA 2, memiliki

peluang untuk berkembang menjadi kanker payudara selama hidupnya (Rasjidi,

2010a).

Dalam riwayat penderita yang akan dilakukan skrining untuk kanker

payudara, riwayat keluarga merupakan komponen yang penting. Beberapa gen

(BRCA1 dan BRCA2) akan bermutasi hingga memicu peningkatan risiko

keganasan jika pada keluarga terdapat riwayat atau terdiagnosa penderita kanker

payudara (Priyatin et al., 2013).

2.2.5.2 Faktor Hormonal

Pengaruh hormon esterogen dan endogen, contohnya saat mengalami usia

subur yang lama, memiliki anak saat berusia lanjut, mengisyaratkan paparan kadar

esterogen yang tinggi saat haid. kanker payudara pada perempuan menopause

dilaporkan ada kaitanya dengan tumor ovarium yang secara fungsional

mengeluarkan esterogen. Pembentukan faktor pertumbuhan sel epitel payudara

normal dan oleh sel kanker dirangsang oleh estrogen. Secara normal di epitel

payudara terdapat reseptor esterogen dan progesteron yang berkemungkinan

bereaksi sebagai promoter pertumbuhan seperti transforing grow faktor dan suatu

mekanisme autokrin dalam perkembangan tumor yang di ciptakan oleh faktor

yang dikeluarkan fibroblast dan dikeluarkan oleh sel kanker payudara

(Anggriawan, 2012).
23

Perubahan keseimbangan hormon sering mempengaruhi pertumbuhan kanker

payudara. Alasan meningkatnya kemungkinan kerusakan genetik dan sel kanker

tampaknya disebabkan oleh tingginya kadar hormon selama tahun-tahun

reproduksi wanita, terutama jika tidak diselingi perubahan hormonal selama

kehamilan (Rachman, 2015).

Beberapa faktor risiko hormonal terjadinya kanker payudara :

a. Usia Menarche

Menarche melambangkan perkembangan lingkungan hormonal

yang matur pada wanita muda dan awal di mulainya siklus bulanan dari

hormon yang menginduksi ovulasi, menstruasi, dan proliferasi sel-sel di

payudara dan endometrium. Usia menarche yang lebih muda secara

konsisten diasosiasikan dengan meningkatnya risiko kanker payudara.

Banyak penelitian mengatakan usia menarche berhubungan dengan kanker

payudara pre- maupun pascamenopause, walaupun efeknya tampak lebih

besar pada kelompok premenopause (Sobri et al., 2018).

Dalam sebuah studi analisis, menyebutkan bahwa penundaan

menarche setiap satu tahun berpengaruh pada penurunkan risiko kanker

payudara premenopause sebesar 9% dan 4% pada pascamenopause.

Beberapa penelitian menyatakan bahwa level hormon menjadi lebih tinggi

selama usia reproduktif pada wanita dengan menarche dini (Sobri et al.,

2018)..

b. Menopause
24

Secara rata-rata, risiko kanker payudara meningkat sekitar 3%

setiap penundaan menopause tiap 1 tahun. Di Amerika Serikat, hanya 5%

perempuan dengan diagnosis kanker payudara yang usianya < 40 tahun.

Insiden akan meningkat > 40 tahun dan tertinggi pada wanita dengan usia

< 70 tahun. namun perlu di perhatikan bahwa median usia penderita

berdeba berdasarkan ras dan etnik (Sobri et al., 2018).

Usia menopause ≥48 tahun (p = 0.69; OR = 1.80; CI = 0.35-9.23)

meningkatkan risiko terjadinya kanker payudara. Usia pascamenopause

berkaitan dengan lamanya seorang wanita terpapar estrogen dan

progesteron, yang memengaruhi perkembangbiakan jaringan termasuk

jaringan payudara (Anggorowati, 2013; Arsittasari, Estiwidani, &

Setiyawati, 2017).

Gambar II.5 Asosiasi Risiko Relatif Kanker Payudara terhadap (A)

Usia Ketika Menarche dan (B) Usia Ketika Menopause (Cancer, 1997,

2012).
25

c. Paritas

Pada 30% wanita nulipara atau belum pernah melahirkan lebih

berisiko berkembang menjadi kanker dibandingkan dengan wanita yang

multipara (Rasjidi, 2010a). Dibandingkan dengan wanita multipara atau

sudah lebih dari sekali melahirkan, wanita nulipara atau belum pernah

melahirkan mempunyai risiko 4,0 kali lebih besar untuk menderita kanker

payudara karena lebih lama terpapar hormon estrogen (RR = 4,0)

(Arsittasari et al., 2017).

Usia anak pertama saat lahir ≥ 30 tahun (p = 0,00; OR = 4,99; CI =

1,90-13,87) meningkatkan risiko terjadinya kanker payudara. Hal ini

dikarenakan diskontinuitas hormonal terjadi sejak menarche hingga usia

kehamilan pertama, dan jaringan payudara sangat sensitif terhadap hal

tersebut, sehingga periode ini merupakan awal dari perkembangan kanker

payudara (Anggorowati, 2013).

Tingginya jumlah kelahiran berkaitan dengan penurunan risiko

kanker payudara. Setiap penambahan satu kelahiran mengurangi risiko

jangka panjang kanker payudara (Sobri et al., 2018).

Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa semakin pendek

interval kelahiran, semakin rendah risiko kanker payudara, selain memiliki

tingkat yang sama lebih tinggi untuk menghasilkan efek perlindungan. Hal

ini dikarenakan pada kehamilan berulang, payudara memiliki waktu yang


26

singkat untuk menumpuk kerusakan DNA sebelum mencapai diferensiasi

yang maksimal (Sobri et al., 2018).

d. Laktasi

Menyusui dapat menurunkan kadar etrogen yang ada dalam tubuh

wanita (Arsittasari et al., 2017). Selama menyusui, ada dua mekanisme

biologis utama yang dapat memicu perlindungan kanker payudara:

diferensiasi terminal lebih lanjut dari epitel payudara, dan menyusui juga

dapat mengarah pada siklus ovulasi pascapartum. Pada suatu studi

ekologikal memperlihatkan bahwa terjadi penurunan insiden kanker

payudara pada populasi yang menyusui dalam jangka waktu yang lama.

suatu kumpulan analisis, dari hampir 50 studi pada 30 negara, melaporkan

penurunan risiko sebesar 4% setiap menyusui selama 12 bulan (Sobri et

al., 2018).

e. Kontrasepsi

Kontrasepsi hormonal merupakan alat atau obat kontrasepsi yang

bertujuan untuk menghentikan terjadinya kehamilan dimana kontrasepsi

hormonal mengandung hormon estrogen dan progesteron (RIA, 2017;

Sety, 2016).

Penggunaan kontrasepsi hormonal meningkatkan paparan hormon

estrogen dalam tubuh. Karena peningkatan paparan hormon estrogen,

terjadi rangsangan pertumbuhan sel abnormal di bagian tertentu (seperti

payudara). Penggunaan kontrasepsi hormonal selama ≥5 tahun (p = 0,028;


27

OR = 3,266) secara signifikan berhubungan dengan kejadian kanker

payudara pada wanita (Dewi & Hendrati, 2015).

f. Penggunaan Hormon Pascamenopause

Data epidemiologi secara konsisten menunjukkan pada

penggunaan TSH pascamenopause terjadi peningkatan mortalitas dan

risiko kanker payudara. Pada penggunaan TSH selama 5 tahun risiko akan

terjadi peningkatan sebesar 1,35 kali lebih tinggi. Lama paparan terhadap

sumber hormon akan menentukan besar kecilnya risiko tersebut. Kanker

payudara yang ditemukan pada pengguna TSH kombinasi lebih sering

ditemukan mengalami penyebaran ke kelenjar limfatik (Ratnasari, 2020;

Suparman & Suparman, 2014).

Dalam lebih dari 50 studi epidemiologi selama 40 tahun, hubungan

antara penggunaan estrogen dan risiko kanker payudara setelah menopause

telah dipelajari. Saat ini, ada juga data dari uji klinis acak yang

mengkonfirmasi kaitan epidemiologis, yaitu penggunaan kombinasi terapi

hormon estrogen dan progesteron meningkatkan risiko kanker payudara.

IARC telah mengklasifikasikan hormon terapi kombinasi estrogen dan

progestin sebagai karsinogen bagi manusia (Sobri et al., 2018).

Studi lain menyatakan risiko meningkat secara signifikan pada

penggunaan lebih dari 10 tahun, lalu terus meningkat dengan pemakaian

lebih lama. Untuk tipe terapi hormon, risiko untuk pengguna kombinasi
28

estrogen dan progestin lebih tinggi di bandingkan estrogen saja (Sobri et

al., 2018).

2.2.5.3 Faktor Reproduksi

a. Jenis Kelamin

Jenis kelamin perempuan atau wanita adalah faktor risiko yang

paling signifikan untuk terjadinya kanker payudara. Laki-laki juga dapat

terkena kanker payudara, tetapi khusus pada wanita terjadi perubahan dan

pertumbuhan payudara yang konstan terutama karena aktifitas hormon

estrogen dan progesterone (Sobri et al., 2018).

b. Menikah atau Tidak Menikah

Selain sebagai pemenuhan kebutuhan seksual, Menikah merupakan

saat yang penting dalam siklus kehidupan manusia, pernikahan juga dapat

memenuhi kebutuhan psikologis seseorang seperti rasa kasih sayang, rasa

aman dan rasa ingin dihargai (Desiyanti, 2015).

Menurut Price & Wilson (2006) Perempuan tidak menikah 50%

lebih sering terkena penyakit kanker payudara (Faida, 2016a).

c. Abortus

Pada kehamilan tahap awal, jumlah sel payudara yang tidak

terdiferensiasi meningkat akibat pertumbuhan cepat epitel payudara. Jika

kehamilan terus berlanjut, sel-sel ini akan terdiferensiasi pada trimester

ketiga sehingga jumlah sel yang berpotensi menjadi keganasan berkurang

(Sobri et al., 2018)


29

Interupsi terhadap diferensiasi sel payudara akibat abortus, baik

spontan maupun karena induksi, dihipotesiskan akan meningkatkan risiko

kanker payudara. Hipotesis ini didukung oleh sebuah meta-analisis dari 28

penelitian. Berkebalikan dengang meta-analysis tersebut, hipotesis tersebut

tidak di dukung oleh studi besar terhadap wanita Denmark, Iowa’s Women

Study, dan the European Prospective Investigation into Cancer and

Nutrion (Sobri et al., 2018).

2.2.5.4 Riwayat Terpapar Radiasi

Radiasi dapat menyebabkan DNA mengalami mutasi. Sehingga

kemampuan DNA dalam mengontrol suatu sifat dari suatu sel menjadi hilang. Sel

dapat tumbuh dengan sendirinya tanpa ada signal pertumbuhan sel dan

mempunyai sifat yang berbeda dengan sel yang normal sehingga menyebabkan

terjadinya kanker (Pamilih, 2009).

Peningkatan risiko kanker payudara yang signifikan terjadi pada wanita

yang pernah mendapatkan terapi radiasi di daerah dada sebagai perawatan untuk

kanker lain seperti penyakit Hodgkin atau limfoma non-Hodkin pada masa anak-

anak atau dewasa muda (Hutapea, 2017; Rukmi & Handayani, 2014).

Semakin muda seseorang ketika menerima pengobatan radiasi, semakin

tinggi risiko untuk terkena kanker payudara di kemudian hari (Mulyani &

Rinawati, 2013; Rukmi & Handayani, 2014).


30

Pola yang sama juga di jumpai pada radiasi untuk terapi. Studi tentang

radiasi pada kanker payudara dan kemungkinan timbulnya kanker payudara lain

setelahnya mendapatkan bahwa risiko kanker payudara pada wanita yang

mendapatkan radiasi dengan usia < 45 tahun terjadi peningkatan secara

signifikan. Studi efek terapi radionuklir juga menyatakan bahwa wanita dengan

terapi ini memiliki peningkatan risiko untuk mengalami kanker payudara di

kemudian hari. Pada tindakan radiasi diagnostik dinding dada dosis rendah yang

jarang dilakukan, seperti mammografi, risiko yang ditimbulkan sulit di nilai.

Diperkirakan hanya < 1 % kasus kanker payudara yang di sebabkan oleh tindakan

radiografi diagnostik (Sobri et al., 2018).

2.2.5.5 Faktor Nutrisi

a. Konsumsi Lemak

Risiko makan makanan berlemak tinggi dua kali lipat dari tidak

makan makanan berlemak yang tinggi. Makan berlemak dapat menjadi

pemicu timbulnya kanker. Peningkatan konsentrasi esterogen dalam darah

akan meningkatkan risiko terkena kanker payudara karena efek poliferasi

dari esterogen pada duktus ephitelium payudara (Anggorowati, 2013).

Lemak yang berlebihan di dalam darah meningkatkan kadar estrogen

dalam darah, sehingga akan meningkatkan pertumbuhan sel-sel kanker

(Baglietto et al., 2009; MacInnis, English, Gertig, Hopper, & Giles, 2004).

Lemak memiliki banyak efek dalam tubuh. Lemak dapat

meningkatkan produksi hormon pada tubuh sehingga menjadikan

peningkatan terhadap risiko kanker payudara. Merangsang produksi asam


31

empedu yang berhubungan dengan kanker usus besar. Di Amerika Serikat,

makanan rata-rata mengandung sekitar 37% lemak. National Cancer

Institute merekomendasikan agar orang dapat mengurangi rasio ini hingga

30%, tetapi penelitian telah menunjukkan bahwa untuk efek anti kanker,

asupan lemak harus jauh di bawah 30%. 10 % sampai 15 % lebih mungkin

untuk membantu (Nadeak, 2016)

b. Obesitas

Obesitas disebabkan karena pola makan yang berlebihan. Indeks

Massa Tu- buh (IMT) merupakan standar internasional untuk menentukan

standar tubuh seseorang. Data American Cancer Society, menyatakan

bahwa wanita setelah memasuki masa menopause yang mengalami

obesitas atau kelebihan berat badan mempunyai risiko lebih tinggi

terdiagnosa kanker payudara (Maria, Sainal, & Nyorong, 2017). Untuk

standar Asia bila IMT ≥23 kg/m2 maka sudah dapat dikatakan sebagai

overweight (kelebihan berat badan). Bila IMT ≥25 kg/m 2, maka orang

tersebut dinyatakan mengalami obesitas. Menurut Iqbal et al., Seseorang

yang memiliki risiko terkena kanker payudara sebanyak 5,24 kali adalah

seseorang yang memiliki IMT lebih dari 25 kg/m2 (Iqbal et al., 2015;

Maria et al., 2017).

Sebagai contoh mengkonsumsi satu batang coklat dalam sehari

yang setara dengan kelebihan 100 kalori per hari, bila berlangsung terus-
32

menerus, akan terjadi penambahan 5 kg berat badan dalam 12 bulan, atau

lebih dari 50 kg dalam 10 tahun. Obesitas biasanya timbul karena lebih

banyak jumlah kalori yang masuk melalui makanan daripada kalori yang

dibakar yang mengakibatkan penumpukan jaringan lemak yang

berlebihan dalam tubuh, sehingga terjadilah obesitas bila berlangsung

secara terus menerus (Husnah, 2012; van den Brandt & Schulpen, 2017).

Timbulnya obesitas juga dipengaruhi oleh keadaan lingkungan

seseorang dan faktor keturunan. Ada bukti bahwa lemak hewani jauh lebih

berbahaya dibandingkan dengan lemak nabati. Satu studi mencatat

peningkatan 200 persen pada kanker payudara di kalangan mereka yang

mengkonsumsi daging sapi atau babi lima sampai enam kali per minggu

(Husnah, 2012).

Untuk terkena kanker payudara, seorang wanita mengalami

obesitas pascamenopause akan memiliki risiko 1,5 kali lebih besar

dibandingkan dengan wanita yang berberat badan normal (OR=1,5)

(Yustiana, 2013).

c. Konsumsi Alkohol

Alkohol menyebabkan perlemakan pada hati, sehingga hati akan

bekerja lebih keras dan lebih sulit untuk memproses estrogen agar keluar

dari tubuh, sehingga mengkonsumsi alkohol yang sering akan

meningkatkan risiko terkena kanker payudara. Mengkonsumsi alkohol

lebih dari satu kaleng bir atau segelas anggur sekitar 200-300 cc dapat
33

meningkatkan kadar estrogen dalam tubuh sehingga meningkatkan risiko

kanker payudara (Yustiana, 2013)..

Konsumsi segelas alkohol sehari, setara dengan 10 gram alkohol

pada wanita, baik sebelum maupun pascamenopause, terbukti terjadi

peningka risiko kejadian kanker payudara sebanyak 7-10%. International

Agency for Research on Cancer telah menyatakan bahwa konsumsi

alkohol dapat meningkatkan risiko kanker payudara. Karena alkohol

jaringan pada payudara terbukti lebih rentan terhadap efek karsinogenik

jika dibandingkan dengan jaringan atau organ tubuh yang lain (Bagnardi

et al., 2015; Chen, Rosner, Hankinson, Colditz, & Willett, 2011; Humans,

2010).

d. Riwayat Perokok Aktif atau Pasif

Penelitian oleh Hosseinzadeh et al. (2014) menemukan hubungan

faktor risiko merokok pasif terhadap kejadian kanker payudara (OR=2,76;

95%CI, 1,51-5,04) (Maria et al., 2017). Penyelidikan epidemiologis

menyatakan bahwa angka risiko kanker payudara bagi perokok pasif jauh

lebih besar dibandingkan dengan risiko angka kejadian riwayat perokok

aktif. Dalam asap rokok terkandung bahan kimia dalam konsentrasi tinggi

yang dapat meningkatkan risiko kanker payudara (Savitri, Alina, & Utami,

2015).
34

Terdapat hipotesis, bahwa mulai merokok di masa remaja, saat

jaringan payudara sangat sensitif terhadap karsinogen, dapat meningkatkan

ririko kanker payudara (Sobri et al., 2018).

Beberapa studi telah melakukan penelitian mengenai status

merokok pada saat di diagnosis kanker payudara. Studi-studi tersebut

menemukan bahwa terdapat peningkatan risiko kanker payudara pada

perokok aktif, tetapi tidak pada perokok yang sudah berhenti (Sobri et al.,

2018).

Pada satu penenilitan, paparan yang tinggi terhadap rokok sebelum

diagnosis kanker payudara dapat meningkatkan risiko mortalitas sebesar

54% untuk konsumsi rokok diatas 20 bungkus per tahunnya (Sobri et al.,

2018).

Perokok pasif diperkirakan juga mengalami peningkatan risiko

kanker payudara karena asap buangan rokok memiliki sifat karsiogenik

lebih besar dari pada asap yang di hirup perokok aktif (Sobri et al., 2018).

Peneliti lain menyatakan kelompok perempuan yang mengalami

peningkatan risiko kanker payudara adalah mereka yang terpapar sebagai

perokok pasif dalam jangka waktu lama secara ekstensif (≥ 10 tahun

selama anak-anak, ≥ 20 tahun selama masa dewasa di rumah, dan ≥ 10

tahun selama masa dewasa di tempat bekerja) (Sobri et al., 2018).

e. Aktivitas Fisik

Penelitian terbaru dari Women’s Health Initiative menemukan

bahwa 20% risiko kanker payudara dapat di turunkan dengan melakukan


35

aktivitas fisik pada wanita menopause yang berjalan sekitar 30 menit per

hari. Namun, diantara wanita yang memiliki berat badan normal terj

pengurangan risiko terbesar (Yustiana, 2013).

Keseimbangan antara kalori yang masuk dan kalori yang keluar

dapat di capai dengan melakukan aktivitas fisik atau berolahraga yang

cukup. Pengurangan risiko kanker payudara dapat dilakukan dengan

melakukan aktivitas fisik atau olahraga yang cukup, namun tidak ada

mekanisme secara biologik yang jelas sehingga tidak memenuhi aspek

biologic plausibility dari asosiasi kausal. Rendahnya lemak pada tubuh

serta rendahnya semua kadar hormon yang berpengaruh terhadap kanker

payudara dan akan dapat meningkatkan fungsi kekebalan tubuh

dihubungkan dengan aktivitas olahraga. Aktivitas fisik atau olahraga yang

cukup akan berpengaruh terhadap penurunan sirkulasi hormonal sehingga

menurunkan proses proliferasi dan dapat mencegah kejadian kanker

payudara (Yulianti, Santoso, & Sutinigsih, 2016).

Dalam mengurangi risiko kanker payudara aktivitas fisik dikaitkan

dengan kemampuan meningkatkan fungsi kekebalan tubuh, menurunkan

lemak tubuh, dan mempengaruhi tingkat hormon (Vogel, 2000; Yulianti et

al., 2016)

f. Mengkonsumsi Makaman Cepat Saji

Di karenakan makanan siap saji mengandung bahan pengawet

ataupun zat kimia maka mengkonsumsi junk food secara berlebihan dari
36

usia dini dapat meningkatkan resiko terkena kanker payudara sehingga

ketika masuk dalam tubuh, zat atau racun inilah yang menumbuhkan sel-

sel penyakit terutama di payudara dan juga membuat lemak tubuh akan

meningkat apalagi tidak diimbangi dengan olahraga sehingga akan

berlanjut pada resitansi insulin sehingga akan meningkatkan keinginan

untuk mengkonsumsi lebih banyak karbohidrat yang mengandung gula.

Seiring dengan pertambahan berat badan, Insulin yang dihasilkan pun akan

bertambah. Lemak pada tubuh yang lebih banyak akan berlanjut lebih

banyak pula kadar estrogen sehingga pertumbuhan payudara dan

menstruasi lebih cepat (Fatmawati, 2020; Yustiana, 2013) .

2.2.5.6 Faktor Lingkungan

a. Organoklorin (Pestisida)

Yang termasuk ke dalam senyawa organoklorin adalah pestisida,

seperti dichloro-diphenyl-trichloroethane (DDT) dan polychlorinated

biphenyl (PCB). sementara itu dichloro-diphenyl-dichloroethylene (DDE).

Banyak zat kimia ini sebenarnya merupakan estrogen lemah sehingga

diperkirakan akan meningkatkan risiko kanker payudara dengan meniru

estrogen endogen (Sobri et al., 2018).

Paparan estrogen dari lingkungan yang berupa organochlorines

dalam pestisida, pembasmi hama dan industri kimia mungkin berperan

pada kejadian kanker payudara. Agen DDT dan DDE aktif secara

hormonal yang ditemukan di lingkungan yang memengaruhi proliferasi sel


37

payudara dengan bertindak sebagai peniru estrogen atau dengan

mengganggu jalur yang mengarah pada peningkatan proliferasi sel

payudara yang dapat mempengaruhi risiko kanker payudara. o, p'-DDT

adalah komponen yang paling estrogenik dari DDT yang dapat

mendukung pertumbuhan tumor payudara bergantung pada estrogen,

sedangkan metabolit DDT yang tidak mengikat estrogen receptor (ER),

seperti dichlorodiphenyldichloroethane (p, p ́-DDD), tidak dapat

mendukung pertumbuhan tumor payudara. DDT dan DDE disimpan di

jaringan adiposa manusia, dan meningkat selaras dengan pertambahan

usia. (Salam, Muhartono, Sukohar, & Bakri, 2019).

b. Medan Elektromagnet

Medan elektromagnet di perkirakan mempengaruhi risiko kanker

payudara dengan cara memengaruhi sekresi melatonin oleh kelenjar

pineal. Masyarakat dapat terekspos medan elektromagnet terutama dari

jalur tegangan tinggi, stasiun transformator, dan penggunaan alat-alat

elektronik (Sobri et al., 2018).

Studi pada tahun 1987 menemukan peningkatan insiden kanker

payudara yang signifikan bila di hubungkan dengan pajanan

elektromagnet. Namun, studi kasus kontrol skala besar yang lebih baru

tidak menemukan hubungan tersebut, demikian juga pada analisis

prospektif dan retrospektif pada uji kohort Nurse’s Health Study. Hingga

saat ini, studi-studi epidemiologi terbaru tidak mendukung hubungan


38

antara medan elektromagnet dengan risiko kanker payudara (Sobri et al.,

2018).

2.2.5.7 Tingkat Pendidikan

Pendidikan kesehatan merupakan suatu bentuk intervensi atau upaya yang

ditujukan kepada perilaku, dengan mengupayakan agar perilaku individu,

kelompok, atau masyarakat mempunyai pengaruh yang positif terhadap

pemeliharaan dan peningkatan kesehatan (Notoatmodjo, 2010).

Rendahnya tingkat pengetahuan di duga menjadi faktor yang

menyebabkan wanita tidak melakukan deteksi dini. Oleh karena itu diperlukan

peran kerja pemerintah untuk mengadakan sosialisasi program promosi kesehatan

mengenai pentingnya pencegahan terhadap kanker payudara sedini mungkin

melalui perilaku Sadari (N. W. Sari, 2019)

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hoffman, et al (2000)

diketahui terdapat keterkaitan antara tingkat pendidikan dengan stadium pada

kanker payudara. Wanita yang berpendidikan tinggi, cenderung terdiagnosa

stadium dini kanker payudara. Begitu juga sebaliknya, pada wanita yang memiliki

Pendidikan minim cenderung terdiagnosa di stadium lanjut kanker payudara (N.

W. Sari, 2019).

Hal ini sejalan dengan pernyataan Notoatmodjo (2010) yang menyatakan

bahwa semakin seseorang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi maka semakin

mudah untuk orang tersebut menyerap informasi kesehatan yang di terima. Oleh

sebab itu, seorang wanita yang memiliki pendidikan tinggi akan mempermudah
39

bagi wanita tersebut untuk memahami dan menyerap informasi mengenai kanker

payudara, serta untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan dari kanker

payudara, dan hal-hal apa saja yang dapat dilakukan untuk mendeteksi kanker

payudara dan apakah terjadi progresivitas pada kondisi sedini mungkin. Sehingga

apabila mengalami kanker payudara, dapat ditemukan pada stadium dini (N. W.

Sari, 2019).

2.2.5.8 Riwayat Kesehatan Personal

a. Kelenjar Jinak Payudara

Pembagian kelainan jinak payudara menurut kriteria Dupont, Page,

dan Rogers adalah :

1) Nonproliferatif

- Kista

- perubahan apokrin papiler

- kalsifikasi terkait epitel

- hiperplasia ringan dengan usual type

2) Lesi Proliferatif tanpa Atipia

- Moderate atau florid ductal hyperplasia dengan usual-type

- intraductal papilloma

- sclerosing adenosis

- fibroadenoma

- radial scar

3) Hiperplasia dengang Atipia


40

- atypical ductal hyperplasia

- atypical lobular hyperplasia

Pada studi yang diikuti oleh Dupont, dkk. didapatkan hasil bahwa

semua lesi proliferatif berhubungan dengan peningkatan risiko kanker

payudara kemudian hari (RR = 1,9), sementara nonproliferatif tidak

meningkatkan risiko. Lesi proliferatif dengan risiko tertinggi adalah

atypical lobular hyperplasia dan atypical ductal hyperplasia (Sobri et al.,

2018).

b. Kelenjar Tiroid

Pada studi tahun 2001, ditemukan bahwa wanita premenopause

yang pernah didiagnosis kanker tiroid memiliki kemungkinan lebih besar

mengalami kanker payudara dalam 5-20 tahun mendatang kehidupanya,

dibandingkan wanita yang tidak pernah menderita kanker tiroid. tidak ada

bukti peningkatan risiko serupa pada wanita pascamenopause (Sobri et al.,

2018).

Tidak terdapat pula peningkatan risiko kanker tiroid di kemudian

hari setelah adanya diagnosis kanker payudara. Hal ini menggambarkan

bahwa wanita yang mendapatkan kanker payudara setelah kanker tiroid

kemungkinan merupakan dampak dari terapi kanker tiroid, dari pada

penyebab genetik atau lingkungan (Sobri et al., 2018).

2.2.6 Manifestasi Klinis Kanker Payudara


41

Beberapa manifestasi klinis yang dijumpai terdiri dari (Jones et al.,

2017):

a. Teraba adanya benjolan

Umumnya biasanya merupakan benjolan tidak nyeri pada

payudara yang sulit disentuh dan memiliki tepi yang tidak beraturan.

Lokasi paling umum pada kanker payudara adalah bagian lateral atas

dari kedua payudara.

b. Perubahan pada puting dan areola mammae

Perubahan bentuk dan orientasi puting, misalnya puting tertarik

(retraksi) atau bengkak. Retraksi dan eksim di areola.

c. Terjadi nyeri tekan

Pada tahap awal kanker payudara tidak menimbulkan rasa

nyeri, jika sudah mulai infiltrasi ke sekitar maka nyeri baru terasa.

d. Terdapat benjolan atau massa di ketiak

Terjadi pembesaran kelenjar getah bening yang berlokasi di

ketiak, lengan mengalami pembengkakan atau oedem serta

penyebaran kanker ke seluruh tubuh.

e. Pembengkakan pada salah satu payudara

Obstruksi drainase cairan limfa oleh tumor pada payudara

yang menyebabkan terjadinya pembengkakan .

f. Keluar cairan pada payudara

Cairan abnormal yang keluar dari puting susu seperti cairan

berdarah, agak berdarah, kekuning-kuningan atau keputih-putihan.


42

g. Kelainan kulit, dimpling disertai penebalan pada kulit puting susu atau

payudara menyerupai kulit jeruk ( peau de orange ) (Sembiring, 2017).

h. Nipple discharge. Penyebaran kanker payudara bisa terjadi ke kelenjar

getah bening aksila, regional, bahkan hingga ke tulang dan

menyebabkan benjolan atau pembengkakan di loko-regional, bahkan

sebelum tumor primer payudara berkembang (Sembiring, 2017).

Pada stadium awal, terdapat benjolan kecil di payudara yang tidak terasa

nyeri. Gejala yang muncul saat memasuki stadium lanjut semakin banyak, seperti:

benjolan tampak tidak teratur dan keras, serta nyeri saat benjolan membesar.

Nipple discharge yang pada awalnya berwarna merah muda berubah menjadi

kecoklatan, serta keluar cairan darah, nanah, atau cairan encer dari puting susu

pada wanita yang sedang tidak hamil dengan kulit payudara mengerut seperti kulit

jeruk (peau d’orange) (Pulungan, 2010).

Pada tahap awal, jika menekan dengan jari, benjolan di bawah kulit bisa

bergerak dengan mudah. Namun karena benjolan tersebut menempel pada dinding

dada atau kulit di sekitarnya, lama kelamaan benjolan tersebut menjadi bengkak

dan menjadi bisul di sekitar payudara. Kulit di atas gumpalan mulai berkerut dan

berubah menjadi merah, seperti kulit jeruk (Handayani, Suharmiati, &

Ayuningtyas, 2012).

Jika demikian, benjolan akan menyebar ke ketiak dan bentuk payudara

akan berubah, termasuk rasa tidak nyaman yang lebih besar. Jika demikian,

kanker biasanya berupa cairan puting susu, payudara tampak merah, dan kulit di

sekitar puting tampak bersisik. Puting susu akan tertarik ke dalam dan terasa gatal.
43

Sensasi gatal ini terkadang disertai dengan pembengkakan pada payudara. Pada

tahap ini akan terjadi nyeri tulang, penurunan berat badan dan pembengkakan

(Handayani et al., 2012).

2.2.7 Kanker Payudara Reccurent atau Berulang

Kanker payudara reccurent atau berulang adalah kanker payudara yang

terjadi atau kambuh setelah pengobatan awal. Meskipun pengobatan awal adalah

untuk menghilangkan semua sel kanker, beberapa telah kambuh atau kambuh.

Faktor risiko kekambuhan kanker payudara adalah usia, ukuran dan batasan

tumor, karakteristik kanker, kurangnya terapi radiasi setelah lumpektomi (reseksi

lokal ekstensif), derajat diferensiasi, dan stadium klinis (Agustina, 2015; Hoy &

Lieberman, 2014).

Kanker dapat tumbuh kembali di tempat yang sama dengan kanker

sebelumnya atau kekambuhan lokal, atau dapat menyebar ke bagian tubuh lain

(kambuh pada jarak tertentu). Pada diagnosis pertama, kanker payudara berulang

lebih sulit daripada kanker payudara. Namun menderita kanker payudara berulang

ternyata tidak memenuhi harapan. Obat-obatan dapat menghilangkan kanker

payudara lokal, regional atau jauh (metastasis) berulang (Agustina, 2015).

Berbagai tanda dan gejala kanker payudara berulang berbeda-beda

tergantung di mana kanker itu kambuh. Pada kekambuhan lokal, kanker akan

tumbuh kembali di area yang sama dengan kanker sebelumnya. Jika Anda

menjalani mastektomi, jika Anda menjalani mastektomi, kanker akan kambuh di

jaringan payudara yang tersisa. Kanker dapat muncul kembali di jaringan dinding
44

dada atau lapisan kulit. Tanda dan gejala kekambuhan lokal pada payudara yang

sama, termasuk:

a. Benjolan baru di payudara atau bagian keras yang tidak teratur

b. Perubahan di kulit payudara

c. Peradangan kulit atau kemerahan

d. Nipple discharge

Tanda dan gejala kekambuhan lokal pada dinding dada setelah di lakukan

Tindakan mastektomi mungkin termasuk:

a. Satu atau lebih nodul menyakitkan pada atau di bawah kulit dinding

dada.

b. Penebalan kulit di wilayah baru atau dekat bekas luka mastektomi.

Kekambuhan pada kanker payudara berarti kanker telah Kembali pada

kelenjar getah bening yang ada di sekitarnya. Tanda dan gejala daerah

kekambuhan mencakup benjolan atau pembengkakan yang terletak di kelenjar

getah bening, seperti:

a. Di bawah lengan

b. Dekat tulang selangka

Kekambuhan regional lebih serius daripada kekambuhan lokal karena

biasanya menunjukkan bahwa kanker telah menyebar melalui payudara dan


45

kelenjar getah bening aksila (tambahan). Area kekambuhan kanker payudara

terjadi di otot dada yang terletak di kelenjar getah bening tulang rusuk di dalam

dada bagian bawah, di antara tulang rusuk, antara kelenjar getah bening di atas

tulang selangka dan kelenjar getah bening di sekitar leher (Hoy & Lieberman,

2014).

Kanker yang lebih agresif cenderung ke kambuhan pada dua lokasi

terakhir. Secara keseluruhan, kekambuhan regional sangat umum, terhitung

sekitar 2% hingga 5% dari semua kasus kanker payudara. Namun, pengobatan

bisa menjadi rumit, termasuk operasi pengangkatan kanker, radioterapi,

kemoterapi, dan terapi endokrin adjuvan, tergantung pada pengobatan sebelumnya

yang digunakan (Hoy & Lieberman, 2014).

2.2.8 Klasifikasi Kanker Payudara

WHO Histological Classification of Breast Tumor mengklasifikasiakan

kanker payudara menurut sifat serangannya sebagai berikut (Rahmadani, 2015):

2.2.8.1 Non-Invasif Karsinoma

Non-invasif karsinoma merupakan kanker dini yang belum menyebar atau

masih berada di tempat asalnya. Merupakan kanker yang masih terletak pada

tempatnya. Non-invasif karsinoma dibedakan menjadi menjadi dua, yaitu:

a. Duktal Karsinoma In Situ (DCIS)

DCIS ialah sel-sel kanker yang belum menyebar keluar dinding

duktus kejaringan payudara di sekitarnya dan terletak di dalam ductus,


46

merupakan tipe kanker payudara non-invasif yang paling umum. Hampir

semua wanita dengan kanker tahap ini dapat di sembuhkan. Pada kasus

baru terdapat sekitar satu hingga lima kasus baru kanker payudara berupa

DCIS.

b. Lobular Karsinoma In Situ (LCIS)

LCIS sebenarnya bukan merupakan kanker, LCIS bermula dari

kelenjar yang memproduksi air susu, tetapi tidak berkembang melalui

dinding lobulus. Tetapi terkadang di golongkan sebagai tipe kanker

payudara non-invasif. Ahli kanker kebanyakan berpendapat bahwa LCIS

sering tidak menjadi kanker invasif, tetapi wanita dengan kondisi ini

memiliki risiko lebih tinggi untuk menderita kanker payudara invasif pada

payudara yang sama atau berbeda

2.2.8.2 Invasif Karsinoma

Invasif karsinoma merupakan jenis kanker yang mengganas sudah

menyebar dan merusak atau menerobos ke jaringan lainnya, bisa terlokalisir yang

terbatas pada payudara maupun metastatik yang menyebar ke bagian tubuh

lainnya. Sekitar 10% merupakan kanker lobuler dan 80% kanker payudara invasif

adalah kanker duktal. Invasif karsinoma terdapat beberapa jenis, antara lain:

a. Invasif atau infitrating Ductal Karsinoma (IDC)

Merupakan jenis kanker payudara yang paling yang paling sering

terjadi yakni sekitar 75% dari keseluruhan kanker payudara. Kanker ini
47

berawal dari sel-sel saluran susu atau pada duet, kemudian bermetastasis

menuju ke kelenjar getah bening pada aksila, metastasis juga ditemukan

pada tulang, paru-paru, liver serta otak (Chabirah, 2019).

b. Invasif atau Infiltrating Lobular Karsinoma (ILC)

Merupakan jenis kanker payudara yang sering terjadi yakni sekitar

5-10% dari keseluruhan kanker payudara yang bermula dari kelenjar susu

atau lobules (Pamungkas, 2011). Jenis kanker ini cenderung tumbuh

disekitar ductus dan lobules. Pada karsinoma loburar, Multisentris dan

bilateral lebih sering terlihat dibanding karsinoma ductal. Jenis ini juga

mampu menyebar ke bagian tubuh lain (Chabirah, 2019).

Sel-sel kanker lobular dan ductal terkandung atau terdapat pada beberapa

kanker payudara. Seperti anggapan sebagian besar wanita mengenai kanker

payudara, karsinoma lobular invasif biasanya tidak membentuk benjolan.

Sebaliknya, penebalan jaringan atau kepenuhan di salah satu bagian dari payudara

sering disebabkan oleh karsinoma lobular invasif dan terdiri dari beberapa bagian

antar lain (Rahmadani, 2015):

a. Adenoidcarsinoma, kanker payudara yang sering menempel atau

invasif pada jaringan yang lain, dan berbentuk oval.

b. Medullary carcinoma, jenis karsinoma invasif yang sering di jumpai

menembus kelenjar getah bening.


48

c. Mucinous karsinoma, jenis kanker karsinoma lobular invasif yang

merupakan tempat memproduksi gelatinous tumor

d. Inflammatory karsinoma, paling invasif terlihat dengan kulit

mengalami pembengkakan diakibatkan pembuluh limfa terhambat.

2.2.8.3 Paget’s Disease

Paget’s disease merupakan suatu kanker yang menyerupai dermatitis

(peradangan kulit berupa bercak kemerahan dan berasal dari kelenjar di dalam

atau di bawah kulit) yang jarang terjadi. Kanker yang dapat ditemukan di sekitar

puting susu, Biasanya berasal dari kanker pada saluran susu di payudara.

Gambaran klinis penyakit Paget biasanya berupa lesi menebal, terkadang

berpigmen, eczematoid, eritematosa berkerak dengan batas yang tidak teratur.

Biasanya, lesi terbatas pada puting susu atau meluas ke areola, dan dalam kasus

lanjut bisa juga mengenai kulit di sekitarnya. Permukaan lesi terkadang sedikit

terinfiltrasi. Keluhan nyeri atau gatal sering terjadi. Puting susu bisa tertarik atau

berubah bentuk. Penskalaan dan kemerahan termasuk perubahan awal yang dapat

disalah artikan sebagai eksim atau beberapa kondisi inflamasi lainnya (Chabirah,

2019).

2.2.9 Stadium Kanker Payudara

Suatu keadaan hasil dari penilaian dokter saat mendiagnosis suatu

penyakit kanker yang diderita oleh pasiennya dengan tujuan mengetahui tingkat

penyebaran kanker tersebut sudah sejauh mana, baik ke organ atau jaringan

sekitar maupun penyebaran ketempat jauh disebut sebagai stadium penyakit


49

kanker. Stadium hanya dikenal pada tumor ganas atau kanker dan tidak ada pada

tumor jinak (Purnomo, 2009).

Gambar II. 6 Penyebaran Sel Kanker (ASCO, 2019)

Dalam penentuan suatu stadium pada kanker payudara, perlu dilakukan

pemeriksaan fisik, klinis dan ditunjang dengan pemeriksaan penunjang lainnya

yaitu histopatologi atau PA, rontgen, USG, dan bila memungkinkan dengan

menggunakan CT scan, scintigrafi, dan lainya (Purnomo, 2009).

Stadium kanker payudara dapat ditentukan dengan banyak cara, namun

saat ini yang paling banyak digunakan adalah stadium kanker berdasarkan

klasifikasi sistem TNM yang direkomendasikan oleh UICC (International Union


50

Against Cancer of the World Health Organization) / AJCC (American Joint

Committee on Cancer Sponsorship). Disediakan oleh American Cancer Society

dan American College of Surgeons).

Tabel II.1 Klasifikasi Kanker Payudara Berdasarkan Sistem TNM

(UICC/AJCC, 2015)

Klasifikasi Definisi

T : UKuran Tumor Primer

Tx Tumor primer tidak bisa dinilai

T0 Tumor primer tidak terbukti

Tis Karsinoma In Situ

Tis (DCIS) Ductal Carcinoma In Situ

Tis (LCIS) Lobular Carcinoma In Situ

Tis (Paget’s) Paget’s disease tanpa tumor pada puting


payudara

T1 Tumor 2 cm / kurang pada dimensi terbesar

T1 mic Mikro invasi 0.1 cm atau kurang pada dimensi


terbesar

T1a Tumor > 0.1 cm tetapi tidak lebih dari 0.5 cm


pada dimensi terbesar

T1b Tumor > 0.5 cm tetapi tidak lebih dari 1 cm


pada dimensi terbesar

T1c Tumor > 1 cm tetapi tidak lebih dari 2 cm pada


dimensi terbesar

T2 Tumor > 2 cm, tidak lebih dari 5 cm pada


dimensi terbesar

T3 Tumor > 5 cm pada dimensi terbesar

T4 Tumor dengan perlekatan / ekstensi langsung


ke dinding dada/kulit serta ukuran berapapun

T4a Ekstensi ke arah dinding dada, bukan termasuk


otot pektoralis

T4b Adanya edema termasuk peau d’orange atau


51

ulserasi pada kulit payudara / satellite skin


nodules terletak pada payudara yang sama

T4c Gabungan T4a dengan T4b

T4d Inflammatory carcinoma

N : Kelenjar Getah Bening (KGB) Regional

Nx Kelenjar Getah Bening regional tidak dapat


dinilai (misalnya sudah diangkat)

N0 Tidak ada metastasis Kelenjar Getah Bening


regional

N1 Metastasis pada Kelenjar Getah Bening aksila


ipsilateral yang masih dapat digerakkan

N2 Metastasis pada Kelenjar Getah Bening aksila


ipsilateral yang terfiksir (matted), atau Kelenjar
Getah Bening mamaria interna yang
terdekteksi secara klinis, jika secara klinis
tidak ada metastasis Kelenjar Getah Bening
aksila

N2a Metastatis yang ada pada Kelenjar Getah


Bening aksila ipsilateral yang terfiksir satu
sama lain (matted) atau terfiksir dengan
struktur lain

N2b Metastasis hanya pada Kelenjar Getah Bening


mamaria interna yang terdekteksi secara
klinis* dan jika tidak terdapat metastasis
Kelenjar Getah Bening aksila secara klinis.

N3 Metastasis pada Kelenjar Getah Bening


infraklavikula ipsilateral dengan atau tanpa
keterlibatan Kelenjar Getah Bening pada
aksila, atau pada Kelenjar Getah Bening
mamaria interna yang terdekteksi secara
klinis* dan apabila terdapat metastasis KGB
aksila secara klinis; atau metastasis pada KGB
supraklavikula ipsilateral dengan atau tanpa
keterlibatan Kelenjar Getah Bening aksila atau
mamaria interna

N3a Metastasis pada Kelenjar Getah Bening


infraklavikula ipsilateral

N3b Metastasis pada Kelenjar Getah Bening


mamaria interna ipsilateral serta Kelenjar
Getah Bening aksila

N3c Metastasis pada Kelenjar Getah Bening


supraklavikula ipsilateral

M : Metastasis Jauh
52

Mx Metastasis jauh tidak dapat dinilai

M0 Metastasis jauh tidak terbukti

M1 Terdapat metastasis jauh


Sumber : UICC/AJCC, 2010

Untuk menentukan stadium kanker terdapat tiga kriteria yang digunakan

sistem TNM, yaitu :

a. T (Tumor), tumor itu sendiri. Seberapa besar ukuran tumornya dan

dimana letak lokasinya

b. N (Node), kelenjar getah beningyang terletak di sekitar tumor. Apakah

tumor sudah menyebar kekelenjar getah bening disekitarnya.

c. M (Metastasis), kemungkinan tumor telah menjalar menuju ke organ

lain.

Berdasarkan teknik tersebut maka, terdapat pembagian stadium klinik,

yaitu (Pamungkas, 2011; Yustiana, 2013):

a. Stadium 0

Tahap ini, kanker belum menyebar ke luar pembuluh darah atau

saluran payudara dan payudara (lobulus) di sekitar payudara. Tahap ini

disebut karsinoma duktal in situ atau karsinoma non-invasif (Pamungkas,

2011; Yustiana, 2013).

b. Stadium I

Tumor tidak mengalami penyebaran (metastase) pada kelenjar

getah bening ketiak dan besarnya tumor < 2-2,25 cm. Pada stadium I,
53

kemungkinan penyembuhan secara sempurna adalah 70% (Pamungkas,

2011; Yustiana, 2013).

c. Stadium IIa

Pada stadium ini, Pasien mengalami hal-hal sebagai berikut

(Pamungkas, 2011; Yustiana, 2013):

1. Diameter tumor kurang dari atau sama dengan 2 cm, yang

ditemukan di berbagai titik saluran limfatik di bawah ketiak

(axillary limph nodes)

2. Tumor belum menyebar ke pembuluh limfatik di ketiak.

Diameter tumor> 2 cm, tetapi tidak lebih dari 5 cm.

3. Tumor di temukan pada titik-titik di pembuluh getah bening

pada ketiak, tetapi tidak terdapat tanda-tanda tumor pada

payudara.

d. Stadium IIb

Pada stadium IIb, Penderita kanker payudara akan mengalami

kondisi sebagai berikut (Pamungkas, 2011; Yustiana, 2013):

1. Diameter tumor > dari 2 cm, tapi tidak lebih dari 5 cm

2. Terjadi persebaran pada titik-titik di pembuluh getah bening

ketiak.

3. Diameter tumor > dari 5 cm, tetapi belum terjadi persebaran.


54

Gambar II. 7 Stage IIb Breast Cancer (Pamungkas, 2011)

e. Stadium IIIa

Pada tahap ini, penderita kanker payudara berada pada kondisi

berikut (Pamungkas, 2011; Yustiana, 2013):

1. Diameter tumor < dari 5 cm dan sudah menyebar ke titik-titik

di pembuluh getah bening ketiak.

2. Diameter tumor > dari 5 cm dan sudah menyebar ke titik-titik

pembuluh getah bening ketiak.

f. Stadium IIIb

Pada stadium ini, dinding dada telah mengalami persebaran tumor

sehingga terjadi pembengkakan, dan bisa juga terdiagnosis sebagai

inflammatory breast cancer atau terdapat luka bernanah pada payudara.

Bisa jadi sudah terjadi persebaran menuju titik-titik pada pembuluh getah
55

bening di ketiak dan lengan pada bagian atas, tapi tidak menyebar ke

bagian lain dari organ tubuh.

Gambar II. 8 Stage IIIB Breast Cancer (Pamungkas, 2011)

g. Stadium IIIc

Gambar II. 9 Stage IIIC Breast Cancer (Pamungkas, 2011)

Pada stadium ini, kondisinya hamper sama dengan stadium III b,

tetapi kanker telah menyebar ke titik-titik pada pembuluh getah bening

dalam group N3. Dengan kata lan, kanker telah menyebar lebih dari 10

titik di di saluran getah bening di bawah tulang selangka.


56

h. Stadium IV

Gambar II. 10 Stage IV Breast Cancer (Pamungkas, 2011)

Pada tahap ini, pasien hanya memiliki kemungkinan yang sangat

kecil untuk di sembuhkan karena kondisi sudah mencapai tahap yang

parah. Pada stadium ini,ukuran tumor sudah tida bisa di tentukan lagi dan

telah menyebar atau bermetastasis ke lokasi yang lebih jauh, seperti pada

tulang, paru-paru, liver, tulang rusuk, atau organ-organ tubuh lainya.

Untuk memahami derajat keganasan sel kanker payudara biasanya

tergantung dari tingkat kankernya. Untuk menentukan tingkat kanker, sampel

biopsi dipelajari dengan menggunakan mikroskop. Penentuan grade kanker

payudara didasarkan pada morfologi dan perilaku sel kanker dibandingkan dengan

sel normal. Ini akan menunjukkan kepada dokter seberapa cepat dan sel kanker

ganas (Pamungkas, 2011).

Grade kanker itu sendiri mencakup tiga tingkat. Grade pertama adalah

grade paling rendah, di mana sel kanker berkembang sangat lambat dan biasanya
57

belum menyebar. Grade kedua merupakan grade tingkat sedang dengan adanya

peningkatan keganasan dibandingkan dengan grade pertama. Sedangkan grade

tertinggi dan yang terakhir adalah grade ketiga. Pada grade ini, sel kanker

berkembang sangat cepat sehingga biasanya langsung menyebar atau

bermetastasis ke bagian tubuh yang lain di sekitarnya (Pamungkas, 2011).

Tabel II. 2 Pengelompokan Stadium (AJCC, 2010)

Stadium T N M

0 Tis N0 M0
I T1 N0 M0
IIA T0 N1 M0
T1 N1 M0
T2 N0 M0
IIB T2 N1 M0
T3 N0 M0
IIIA T0 N2 M0
T1 N2 M0
T2 N2 M0
T3 N1, N2 M0
IIIB T4 N1, N2 M0
IIIC T apapun N3 M0
IV T apapun N apapun M1
(Kementerian Kesehatan RI, 2012)

Kebanyakan penderita tidak menunjukkan ada tanda-tanda sama sekali

atau tidak merasakan sakit pada tahap awal kanker payudara, Seorang wanita pada

awalnya tidak terlalu mengacuhkannya apabila terjadi gangguan payudara sampai

keadaannya menjadi serius dan sudah terjadi persebaran atau tumor sudah

bermetastasis (SINAGA & Sarumpaet, 2015). Hal itu menyebabkan penderíta


58

kanker payudara kebanyakan memeriksakan diri dan datang ke rumah sakit

dengan keadaan kanker payudara sudah mencapai stadium III (Qoyyimah &

Yuliyani, 2016).

Faktor penyebab penderita kanker payudara stadium III di rumah sakit

masih belum jelas, di antaranya, prosedur deteksi dini masih belum efektif, karena

skrining kanker payudara di Indonesia masih bersifat individual. Karena

kurangnya informasi, tingkat pendidikan, banyaknya iklan pengobatan alternatif,

kurangnya alat diagnostik seperti mamografi, USG, dan keterampilan tenaga

medis untuk mendiagnosis keganasan payudara, pasien kanker mungkin sudah

memasuki tahap ketiga. Proporsi terbesar pada stadium III menunjukkan bahwa

kesadaran responden dalam minum obat untuk gejala awal masih rendah.

Kebanyakan responden tidak mengetahui gejala kanker payudara, cara mendeteksi

kanker payudara sejak dini, mencari pengobatan, dan cara mencegah kanker

payudara (Liana & lirauka, 2013).

2.2.10 Prosedur Diagnosa Kanker Payudara

Untuk mendiagnosa pada pasien kanker payudara dapat dilakukan melalui

prosedur diagnose yang terdiri dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang (Suyatno, 2014).

a. Anamnesa

Pemeriksaan fisik yang baik di mulai dengan melakukan anamnesis secara

sistematis berdasarkan keluhan yang dirasakan pasien. Selain data mengenai jenis

kelamin dan usia, penting untuk mengetahui data sosio- ekonomi mencakup
59

alamat, edukasi, dan pekerjaan. Data tersebut akan mendukung komunikasi yang

akan dilakukan klinisi dengan pasien, baik pemilihan kosakata ketika berbicara

maupun anjuran yang akan di berikan kepada pasien. Terkadang, beberapa data

dasar yang menyangkut faktor risiko penyakit perlu juga di tanyakan, seperti ras,

status pernikahan dan riwayat kehamilan (Sobri et al., 2018).

Ketika seorang pasien menyatakan keluhanya, maka data mengenai

progresivitas penyakit, mulai dari pertama kali di rasakan hingga saat pasien

datang (adakah ukuran massa dan nyeri yang bertambah, kecepatan pertumbuhan

massa, dan timbul massa tambahan di tempat lain), Data-data akan mulai

menuntun ke arah mana kecurigaan kita harus di arahkan (Sobri et al., 2018).

Khusus untuk payudara, kebanyakan tumor atau bahkan kanker sekalipun

jarang memberikan sensai nyeri di tahap awal. Sebaliknya, keluhan nyeri

payudara kebanyakan berasal dari inflamasi, baik karena perngaruh infeksi

maupun hormonal (Sobri et al., 2018).

Setelah itu, maka yang perlu di lakukan secara sistematis adalah :

1. Memastikan Organ yang Terkena Penyakit

Seorang klinis harus mampu mengajukan pertanyaan kepada

pasien untuk mengetahui letak penyakit yang dikeluhkan pasien (Sobri et

al., 2018).

Mengapa pengetahuan ini penting? Alasanya, pada tiap regio tubuh

manusia terdapat beberapa organ yang masing-masing memiliki gejala


60

yang berbeda untuk kausa tertentu. Contoh, untuk payudara, maka

pastikan apakah keluhan pasien berasal dari kulit di permukaan payudara

atau bagian dalam payudara (Sobri et al., 2018).

Setelah dapat di pastikan organ yang terkena penyakit, maka tahap

berikutnya adalah memastikan kausa penyakit (Sobri et al., 2018).

2. Memastikan Kausa Penyakit (Sobri et al., 2018)

a) Kongenital : untuk payudara, kasus massa kongenital lebih banyak

berupa mamae aberans dengan lokasi terbanyak di aksila.

b) Inflamasi/infeksi : tanda-tanda radang, seperti timbulnya massa

yang sangat cepat membesar disertai nyeri, panas, warna

kemerahan, hingga demam.

c) Trauma : riwayat benturan, gigitan atau trauma lain pada payudara.

d) Hormonal : dapat berupa siklik (mengikuti siklus menstruasi,

umumnya menjelang menstruasi) ataupun nonsiklik.

e) Autoimun/degeneratif : kelainan ini jarang di dapatkan pada

payudara.

f) Neoplasma : massa yang terus membesar, dapat sudah di sertai

kelainan kulit atau benjolan di tempat lain, atau di dapatkan

riwayat nipple discharge berdarah.

Apabila dari pertanyaan-pertanyaan di atas, jawaban yang didapat

mengarah kepada neoplasma, maka ingat, neoplasma terbagi atas jinak dan ganas.

Neoplasma ganas atau kanker pada payudara dikenal memiliki faktor risiko. maka
61

tanyakan faktor-faktor risiko payudara. Kemudian, jika terdapat kecurigaan

kanker payudara, maka perlu dieksplorasi kemungkinan terdapat metastasis

regional atau jauh, sehingga pertanyaan untuk mengetahui adakah gejala-gejala

yang berhubungan dengan kemungkinan adanya metastasis perlu diajukan (Sobri

et al., 2018).

Jika pasien pernah memiliki massa payudara sebelumnya, perlu dirinci

karakteristik, beratnya penyakit, dan durasi sakit. Jika pasien ternyata pernah

mendapatkan pembedahan sebelumnya, maka pemeriksa berusaha mendapatkan

hasil patologi penyakit terdahulu (Sobri et al., 2018).

b. Pemeriksaan Fisik

Salah satu syarat untuk dapat memeriksa payudara secara menyeluruh

adalah, di dalam ruangan dengan pencahayaan yang cukup baik dan pasien di

minta untuk melepaskan bajunya dari pinggang ke atas. Hal ini di karenakan, pada

inspeksi penting untuk membandingkan kedua payudara serta melihat keseluruhan

payudara. Pemeriksaan fisik payudara di lakukan dalam dua posisi, yaitu duduk

dan berbaring (Sobri et al., 2018).

1. Inspeksi
62

Gambar II. 11 Inspeksi Dada dalam Posisi Kedua Lengan Relaksasi

dan terangkat (Sobri et al., 2018)

Setelah melakukan pemeriksaan fisik umum, di lakukan

pemeriksaan status lokalis. Payudara pertama kali diinspeksi ketika pasien

dalam posisi duduk dengan kedua lengan dalam posisi relaks. Pertama,

dibandingkan ukuran dan bentuk payudara. Adanya sedikit asimetris

jarang menandakan keganasan, karena sering kali bentuk dan ukuran

payudara wanita tidak identik. Namun, perlu diingat bahwa perbedaan

ukuran payudara akibat perubahan dengan onset yang cepat atau progresif

dapat di sebabkan oleh tumor jinak maupun ganas sehingga dibutuhkan

evaluasi lebih lanjut. Pengambilan kesimpulan terburu-buru sebaiknya di

hindari (Sobri et al., 2018).

Dalam mengevaluasi bentuk payudara, diperhatikan apakah

terdapat benjolan atau retraksi kulit. Tumor yang terletak superfisial akan

lebih jelas memperlihatkan benjolan, sedangkan retraksi kulit terjadi jika

terdapat tumor yang telah menginfiltrasi struktur ligamen Cooper’s. Perlu

di camkan bahwa walaupun sering kali di sebabkan oleh keganasan,

retraksi kulit bukanlah suatu faktor prognostik keganasan, kecuali jika

terdapat penyebaran langsung menuju kulit. Sehingga retraksi kulit tidak

termasuk dalam staging kanker payudara. Penyebab nonmalignan yang

dapat menyebabkan retraksi, diantaranya tumor sel granular, nekrosis


63

lemak, dan tromboflebitis vena torakoepigastrik (penyakit mondor) (Sobri

et al., 2018).

Setelah menilai benjolan dan retraksi kulit, di perhatikan secara

lebih terinci perubahan pada kulit payudara dan puting, terutama pada

gambaran peau d’orange akibat edema ekstensif kulit payudara. Edema

terlokalisir biasanya lebih jelas pada setengah bawah payudara dan area

periareolar dalam posisi pasien mengangkat kedua tangannya. Edema

biasanya terjadi akibat obstruksi sistem limfatik dermis. Selain edema,

diperhatikan adanya eritema, yang sering kali di karenakan oleh selulitis

atau abses payudara. Kasus karsinoma inflamatori biasanya

memperlihatkan edema yang melibatkan seluruh payudara. Perbedaanya

dengan inflamasi akibat infeksi adalah tidak adanya gejala breast

tenderness dan demam pada karsinoma inflamatori (Sobri et al., 2018).

Inspeksi puting meliputi simetrisitas, ada tidaknya cairan yang

keluar, dan perubahan kulit diatasnya. Jika terdapat retrasksi puitng yang

baru saja terjadi, pemeriksa harus mewaspadai keganasan. Adanya ulserasi

dan lesi eksematosa pada puting yang resisten terhadap terapi kulit

mungkin merupakan tanda awal dari penyakit Paget (Sobri et al., 2018).

Setelah melakukan pemeriksaan dengan posisi lengan relaksasi,

kini pasien diminta untuk mengangkat kedua lengannya agar pemeriksa

dapat menginspeksi bagian setengah bawah dan sisi lateral payudara.

Setelah itu, pasien diminta untuk mengontraksikan otot pektoralis dengan


64

menekankan kedua telapak tangan ke panggul. Melalui manuver ini,

pemeriksa dapat melihat area retraksi yang tidak terlihat pada posisi

lengan relaksasi (Sobri et al., 2018).

2. Palpasi

Palpasi pada payudara dilakukan pada pasien dengan posisi

terlentang (supine), lengan ipsilateral di atas kepala dan punggung

diganjal bantal. kedua payudara di lakukan palpasi secara menyeluruh dan

sistematik, baik secara sirkular ataupun radial. Palpasi aksila dilakukan

dalam keadaan posisi pasien duduk dengan lengan pemeriksa menopang

lengan pasien. Palpasi juga dilakukan pada infra dan supraklavikula.

Gambar II. 12 Teknik Melakukan Palpasi Aksila (Sobri et al., 2018).

Kemudian dilakukan pencatatan hasil pemeriksaan fisik berupa

(Sobri et al., 2018):


65

a) Lokasi anatomis: pada payudara, salah satu cara

mendiskripsikan letak massa dengan melaporkan: massa

terletak di arah jam … dan … cm dari nipple areola complex

(NAC) atau berdasarkan pembagian kuadran payudara:

superior medial, superior lateral, inferior medial, dan inferior

lateral.

b) Jumlah: tunggal, majemuk, atau melekat satu sama lain.

c) Ukuran: minimal dua dimensi terbesar atau di tambahkan satu

dimensi yang merupakan kedalaman massa.

d) Konsistensi: kistik ; padat kenyal atau padat lunak ; keras.

Konsistensi kistik berarti massa berisi cairan. Konsistensi padat

berarti massa berupa jaringan solid namun kemungkinan

bersifat jinak. Konsistensi keras memberikan kemungkinan

massa solid ganas.

e) Permukaan: licin atau kasar. Permukaan licin, baik berbenjol-

benjol maupun rata memberikan penafsiran bahwa massa

tersebut berkapsul sehingga kemungkinan jinak. Sebaliknya

permukaan kasar berarti massa tersebut bersifat infiltratif

sehingga kecurigaan mengarah pada keganasan.

f) Batas: tegas/reguler atau difus/ireguler. Batas tegas memberi

penafsiran massa berkapsul sehingga kemungkinan bersifat


66

jinak. Sedangkan batas difus/ireguler mengarah kecurigaan

pada keganasan karena berarti massa tidak berkapsul.

g) Mobilitas: dapat digerakkan terhadap jarngan sekitar berarti

massa belum menginfiltrasi jaringan sekitar atau terfiksir, yang

berarti massa sudah menginfiltrasi jaringan sekitar.

h) Tanda inflamasi (nyeri tekan, suhu lebih hangat di bandingkan

kulit sekitar, permukaan kulit terlihat eritema).

3. Pemeriksaan Infiltrasi Massa Payudara

Infiltrasi massa payudara dapat kearah atas (kulit) atau kearah

bawah (fasia Musculus Pectoralis; Musculus Pectoralis: dinding dada

yang terdiri atas costae, Musculus Intercostalis, dan Musculus Serratus

anterior) (Sobri et al., 2018).

Informasi yang di dapatkan dari keluhan pasien, anamnesis,

pemeriksaan fisik, jika dilakukan dengan benar, dapat mengarahkan

kepada diagnosis kerja yang tepat sebesar 90-95%. Untuk mencapai

diagnosis pasti, barulah dilakukan pemeriksaan penunjang seperti

laboratorium, pencitraan, dan patologi (Sobri et al., 2018).

Pada wanita premenopause, payudara normal sering kali nodular

dan bertekstur irregular, sehingga dapat menimbulkan kerancuan saat

pemeriksaan. Pada kuadran atas luar, banyak terdapat jaringan glandular,


67

sehingga dapat teraba nodular, begitu juga pada lipatan bawah payudara

dan subareola (Sobri et al., 2018).

Pemeriksa perlu mimikirkan abnormalitas jika tidak ada kelainan

dengan karakter yang serupa pada regio lain, densitas yang berbeda dari

sekeliling, dan massa berbentuk tiga dimensi (Sobri et al., 2018).

Tabel II. 3 Pemeriksaan Infiltrasi Massa Payudara pada Tiga Fase

Kontraksi M. Pectoralis Beserta Kesimpulanya. Pasien dalam posisi

berbaring (Sobri et al., 2018).

Relaks (Tangan Mulai Kontraksi Kesimpulan


pasien keatas; berkontraksi (Tangan pasien
pemeriksa (Tangan pasien menggenggam
menggerakkan mulai dan menarik
massa) menggenggam kepala tempat
kepala tempat tidur; pemeriksa
tidur; tangan menggerakkan
pemeriksa diatas massa)
massa)

Massa bergerak
Massa tidak Massa bergerak Massa berada di
tanpa massa berada
bergerak tanpa tahanan parenkim payudara.
di tahanan.

Massa bergerak Massa menginfiltrasi


Massa ikut Massa bergerak
tanpa massa berada fasia Musculus
bergerak tanpa tahanan
di tahanan. Pectoralis.

Massa bergerak Massa menginfiltrasi


Massa ikut
tanpa massa berada Massa terfiksir Musculus Pectoralis.
bergerak
di tahanan.

Pemeriksaan tidak Pemeriksaan tidak Massa menginfiltrasi


Massa terfiksir
perlu dilakukan perlu dilakukan dinding dada.

c. Pemeriksaan Klinis

Tujuan utama Anamnesis dan pemeriksaan fisik adalah untuk

mengidentifikasi dan mengidentifikasi identitas pasien, faktor risiko, perjalanan


68

penyakit, tanda dan gejala, riwayat kesehatan dan riwayat kesehatan sebelumnya.

Setelah menentukan faktor risiko kanker payudara, pasien akan diperiksa untuk

gejala yang lebih spesifik. Gejala yang umum adalah nyeri payudara dan

keluarnya cairan dari puting, tetapi tidak selalu merupakan tanda kanker. Penyakit

jinak dengan gejala serupa, seperti serat Penyakit kistik dan papiloma intraduktal.

Keluhan yang jarang seperti terjadi seperti : Malaise, nyeri tulang, serta

kehilangan berat badan, tapi merupakan indikasi adanya metastasis jauh (Suyatno,

2014; Yuliyani, 2016).

American Cancer Society merekomendasikan bahwa deteksi dini kanker

payudara bervariasi sesuai usia, termasuk mamografi dan magnetic resonance

imaging (MRI) untuk wanita berisiko tinggi. Pada 2015, asosiasi memperbarui

pedoman skrining kanker payudara untuk wanita berisiko sedang, dan pada 2007

mengeluarkan pedoman baru untuk penggunaan MRI bagi wanita berisiko tinggi

(Sobri et al., 2018)

1. Mammografi

Dalam deteksi dini kanker payudara mammografi memegang

peranan mayor, Sekitar 75% kanker ditemukan setidaknya satu tahun

sebelum gejala atau tanda muncul. Pasien muda <30 tahun memiliki

payudara padat dan akurasi rendah. Mamografi ada dua jenis, yaitu

skrining dan diagnosis. Skrining wanita asimtomatik. Untuk wanita usia

40 tahun, dianjurkan untuk melakukan mammogram setiap 1-2 tahun, dan

untuk wanita di atas 50 tahun, direkomendasikan untuk melakukan


69

mammogram setiap tahun. Pada wanita bergejala, mammografi diagnostik

dilakukan. Mamografi jenis ini lebih rumit daripada mamografi skrining,

dan membutuhkan waktu lebih lama, serta dapat digunakan untuk

menentukan kelainan payudara. Waktu dan lokasi yang tepat untuk

menilai jaringan dan kelenjar getah bening di sekitar payudara. Untuk

diagnosis mamografi, setiap payudara diambil pada posisi Cranio-Caudal

(CC), Medo-Lateral Oblique (MLO) dan dapat ditambah dengan Latero-

Medical (LM) atau Medio- Lateral (ML) (Suyatno, 2014; Yuliyani, 2016).

Untuk melihat beberapa tipe pada tumor dan kista, mammografi

biasanya dapat digunakan, dan telah terbukti bisa mengurangi mortalitas

akibat kanker payudara. Adapun jenis dari pemeriksaan dengan

mammografi, yaitu :

a) Mammogram diagnostic, mammogram ini memakan waktu

lebih lama karena gambar yang diambil juga lebih banyak.dan

dilakukan ketika seorang wanita memiliki gejala-gejala kanker

payudara atau terdapat benjolan di payudara.

b) Mammogram digital untuk menyimpannya langsung di

komputer. untuk mengambil gambaran elektronik payudara.

Studi terbaru tidak menunjukkan bahwa gambar digital lebih

mudah untuk mendeteksi kanker daripada film sinar-X (Sobri

et al., 2018).

2. Magnetic Resonance Imaging (MRI)


70

Bagi wanita yang memiliki risiko seumur hidup (20% -25% atau

lebih) dari usia 30 tahun, disarankan untuk melakukan pemeriksaan MRI

secara teratur selain mamografi. Selain mamografi, American Cancer

Society juga memberikan standar untuk pemeriksaan payudara MRI (CO,

2015):

a) Wanita yang memiliki risiko seumur hidup (20% -25% atau

lebih tinggi) termasuk mereka yang:

- Mempunyai gen mutasi yang diketahui BRCA1 atau

BRCA2.

- Memiliki saudara tingkat pertama (ibu, ayah, saudara laki-

laki, saudara perempuan atau anak) yang gen BRCA1 atau

BRCA2-nya mengalami mutasi, tetapi belum melakukan

pengujian genetik sendiri.

- Saat berusia antara 10 dan 30 tahun, melakukan terapi

radiasi ke dada

- Mempunyai saudara tingkat pertama dengan salah satu

sindrom ini atau mempunyai sindrom Li-Fraumeni atau

sindrom Cowden.

b) Wanita dengan risiko lebih tinggi (15% - 20% risiko seumur

hidup) termasuk :
71

- Memiliki risiko kanker payudara sebesar 15% - 20%

seumur hidup, sesuai dengan alat penilaian risiko yang

terutama didasarkan pada riwayat keluarga.

- Memiliki Riwayat pribadi kanker payudara, karsinoma

duktal in situ (DCIS), karsinoma lobular in situ (LCIS),

hiperplasia duktus atipikal atau hiperplasia lobular

atipikal. Mammogram terlihat seperti payudara sangat

padat atau tidak rata.

3. Ultrasound Payudara

Dalam mengevaluasi temuan hasil skrining atau mammogram

diagnostik atau pemeriksaan fisik yang abnormal USG payudara terkadang

di gunakan. Penelitian telah menunjukkan bahwa saat skrinning wanita

dengan jaringan payudara padat, ultrasound dapat mendeteksi lebih banyak

kanker daripada mamografi saja. Namun, ini juga meningkatkan

kemungkinan hasil positif palsu. Tidak disarankan untuk menggunakan

ultrasound sebagai pengganti mammogram untuk skrining kanker

payudara (CO, 2015).

4. Pemeriksaan Payudara Klinis

Karena kurangnya manfaat yang jelas, ACS tidak lagi

merekomendasikan pemeriksaan klinis untuk gejala asimtomatik. CBE

plus mamografi telah ditunjukkan untuk mendeteksi hanya sebagian kecil


72

tumor kanker payudara dan meningkatkan probabilitas positif palsu bila

dibandingkan dengan mamografi saja. Dengan adanya batasan waktu pada

kunjungan klinis, wanita mendapatkan edukasi tentang pentingnya

waspada terhadap perubahan yang terjadi pada payudara dan potensi

manfaat, bahaya, serta keterbatasan pada skrining mamografi atau untuk

mengatasi aspek penting lainnya dari layanan pencegahan (CO, 2015).

2.2.11 Penatalaksanaan Medis yang Tepat

Penentuan penatalaksanaan medis yang di gunakan tergantung pada

stadium kanker yang di derita, yaitu dapat berupa operasi atau pembedahan,

radioterapi, kemoterapi, dan terapi hormonal (Suyatno, 2014).

a. Operasi (Pembedahan)

Operasi merupakan terapi untuk menghilangkan tumor, memperbaiki

komplikasi yang terjadi, dan merekonstruksi efek yang ada. Semakin dini

penemuan kanker payudara maka kemungkinan sembuh dengan operasi akan

semakin besar. Untuk mengobati kanker payudara terdapat beberapa jenis operasi

yang dapat dilakukan untuk mengobatinya, diantaranya ; mengangkat seluruh

payudara beserta kankernya dengan mastektomi, sedangkan lumpektomi dengan

mengangkat sebagian dari payudara pada jaringan yang mengandung kanker, dan

pengangkatan kelenjar getah bening (KGB) ketiak (Pamungkas, 2011).

Terdapat 2 indikasi untuk melakukan operasi pada penderita penderita

kanker, yaitu :
73

1. Diagnostik untuk memberikan petunjuk kepada ahli bedah dalam

menentukan sikap tindakan apa yang akan di ambil dengan

memperoleh data patologi yang cepat tentang tumor apakah jinak atau

ganas .

2. Penderita kuratif dan paliatif dapat diobati dengan terapeutik yaitu

dapat berupa operasi/pembedahan, radioterapi, kemoterapi, dan terapi

hormonal (Suyatno, 2014).

b. Radioterapi

Penyakit malignasi bila tumor tidak dapat di angkat secara pembedahan

atau bila ada metastasis pada nodus lokal dapat di kontrol menggunakan radiasi

ionisasi serta dapat digunakan untuk mengganggu pertumbuhan seluler.

Pemberian radiasi dengan mekanisme eksternal ataupun internal dapat di lakukan

pada letak tumor, dimana implantasi radiasi internal atau brachytherapy

digunakan untuk memberikan radiasi dosis tinggi ke area yang terlokalisir. Tumor

yang dapat dihancurkan oleh dosis radiasi yang masih memungkinkan sel normal

untuk beregenerasi dalam jaringan normal merupakan tumor radiosensitif

(Suyatno, 2014).

c. Kemoterapi

Kemoterapi merupakan penghancuran sel kanker dengan penggunaan obat

anti kanker. Cara kerja obat ini dengan menghambat atau mengganggu sintesa

DNA dalam siklus sel. Obat sitostatika diberikan langsung ke dalam tumor atau
74

dibawa melalui aliran darah, jarang menembus blood brain barrier sehingga obat

ini sulit mencapai sistem syaraf pusat. Berbeda dengan pembedahan atau radiasi

yang lebih bersifat lokal/setempat, pengobatan kemoterapi mempunyai sifat yang

sistemik,. (Suyatno, 2014).

d. Terapi Hormon

Terapi hormon berupa ablasi ovarium, baik dengan cara medikamentosa

maupun pembedahan dan aromatase inhibitor (AI) bertujuan untuk menurunkan

pengaktifan sinyal ER dengan cara menurunkan level estrogen, baik secara

nongenomic maupun genomic. Pada pasien kanker payudara dengan HR+ terjadi

pengikatan antara estrogen dengan ER yang mengakibatkan mulainya proses

tahapan-tahapan yang memodulasi transkripsi gen yang bertanggung jawab pada

fungsi seluler, invasi, pertumbuhan tumor, angiogenesis serta survival sel kanker

(Sobri et al., 2018).

Pada pasien penderita kanker payudara dengan HR+, terutama pasien

dengan ER positif >10% di pertimbangkan untuk menjalani terapi hormon (juga

di sebut sebagai terapi endokrin) karena menghasilkan efek yang baik dan

memiliki efek toksik yang relatif sedikit menjadikan terapi hormon pada pasien

kanker payudara sebagai terapi dengan target molekuler pertama untuk pasien

penderita kanker (Sobri et al., 2018).

Durasi optimal pemberian terapi hormon pada pasien kanker payudara

belum sepenuhnya di tegakkan. Tetapi tiap pasien kanker payudara haru minimal
75

selama 5 tahun mendapatkan terapi hormon. Durasi untuk kelompok tertentu di

pertimbangkan mendapatkan terapi hormon selama 10 tahun (Sobri et al., 2018).

Pada pasien pre-maupun pascamenopause dapat menggunakan Tamoxifen

yang merupakan obat hormon kanker payudara. Terapi tamoxifen selama 5 tahun

dianggap cukup untuk pasien premenopause dengan risiko rendah. Sedangkan

pada pasien dengan KGB positif di anjurkan penggunaan tamoxifen selama 10

tahun (Sobri et al., 2018).

2.2.12 Pencegahan Kanker Payudara

Penyebaran pada kanker payudara dapat secara signifikan dan sering tidak

menimbulkan gejala yang berarti. Pada 5-15% pasien telah terjadi metastasis dan

hampir 40 % telah terjadi penyebaran secara regiona pada saat terdiagnosis

sebagai kanker payudara. Pencegahan merupakan langkah yang diperlukan karena

pengobatan terkadang memberikan hasil yang baik atau terlambat dalam

pemberian terapinya, (Rasjidi, 2010b).

Pencegahan kanker payudara mempunyai tujuan untuk menurunkan

insidensi kanker payudara yang aman dan secara tidak langsung akan menurunkan

angka kematian akibat kanker payudara itu sendiri. Pencegahan yang efektif lebih

dipilih dari pada menjalani terapi dengan menggunakan radiasi dan agen sitotosik

yang meskipun efektif menimbulkan berbagai efek samping (Rasjidi, 2010a). Ada

beberapa strategi pencegahan yang dapat dilakukan antara lain berupa :

a. Pencegahan Primer
76

Pencegahan primer ditujukan kepada orang sehat yang belum mempunyai

faktor risiko dengan memberikan kondisi pada masyarakat yang memungkinkan

agar penyakit tidak berkembang yaitu dengan cara membiasakan diri dengan pola

hidup sehat yang di lakukan sejak dini dan menjauhi faktor risiko yang dapat

diubah kejadian kanker payudara. Pencegahan primer yang dapat dilakukan antara

lain (Rasjidi, 2010a):

1. Perbanyak konsumsi buah dan sayuran yang banyak mengandung serat

dan vitamin C, mineral, klorofil yang bersifat antikarsinogenik dan

radioprotektif, serta antioksidan yang dapat menangkal radikal bebas,

berbagai zat kimia, logam berat serta melindungi tubuh dari bahaya

dari paparan radiasi.

2. Memperbanyak konsumsi bahan makanan yang mengandung banyak

fitoestrogen yang dapat menurunkan risiko terkena kanker payudara,

misalnya kedelai serta olahannya.

3. Menghindar makanan yang berkadar lemak tinggi yang dapat

meningkatkan berat badan serta menyebabkan kegemukan atau

obesitas yang merupakan salah satu faktor risiko kanker payudara.

4. Dengan melakukan aktivitas fisik dan berolahraga serta diet seimbang

untuk pengontrolan berat badan yang dapat mengurangi risiko

terjadinya kanker payudara.

5. Hindari alkohol, rokok, dan stress.


77

6. Hindari keterpaparan radiasi yang berlebihan. Wanita dan pria yang

bekerja dibagian radiasi diusahakan menggunakan alat pelindung diri.

b. Pencegahan Sekunder dengan SADARI

Menurut Thornton & Pillarisetti (2008) pada pemeriksaan payudara sendiri

(SADARI) atau breast self examination (BSE) merupakan pemeriksaan payudara

yang bisa dilakukan oleh diri sendiri dan terus menerus setiap bulan. suatu

pemeriksaan dalam melakukan pendeteksian secara dini terhadap kemungkinan

timbulnya tonjolan abnormal pada payudara. SADARI disarankan dilakukan

sebulan sekali (Hardiyanti, 2018).

Pemeriksaan payudara sendiri (SADARI) merupakan pemeriksaan

payudara sendiri yang di lakukan sendiri untuk menemukan adanya benjolan yang

abnormal pada payudara. Pemeriksaan ini dapat dilakukan oleh diri sendiri sendiri

dirumah tanpa harus ke pusat kesehatan dan tanpa harus mengeluarkan biaya.

Pemeriksaan dilakukan setelah awal siklus menstruasi sekitar 7-14 hari karena

pada masa itu retensi cairan minimal dan payudara dalam keadaan lembut, tidak

keras, jika membengkak akan mudah dikenali (Hardiyanti, 2018).

Pendeteksian sedini mungkin merupakan kunci untuk menyelamatkan

hidup dari bahaya kanker payudara oleh karena itu upaya SADARI sangat

penting untuk mengetahui adanya benjolan yang memungkinkan adanya kanker

payudara, dengan kata lain SADARI merupakan pemeriksaan untuk menemukan

benjolan atau kelainan lainnya yang mudah yang dapat dilakukan oleh wanita itu

sendiri (Hardiyanti, 2018; Sallika, 2010).


78

Wanita harus mengenal bagaimana normalnya payudara mereka terlihat

dan terasa serta bagaimana kondisi ini bisa bervariasi pada waktu yang berbeda

dalam bulan tersebut. dengan memperhatikan benjolan pada payudara secara

detail, hanya untuk mengetahui perubahan yang terjadi dari kondisi yang normal

dan berubah menjadi benjolan (Hardiyanti, 2018).

Upaya SADARI ini sangat penting apabila kanker dapat dideteksi pada

stadium dini memungkinkan pasien mendapatkan pengobatan dengan tepat dan

cepat tertangani sehingga tingkat kesembuhannya cukup tinggi, yaitu mencapai

90% (Farid, Aziz, Al-Sadat, Jamaludin, & Dahlui, 2014).

Wanita yang di sarankan untuk melakukan SADARI adalah pada saat

wanita sejak pertama mengalami haid. Adapun tahap-tahap melakukan SADARI

(Hardiyanti, 2018), yaitu :

1. Tahap awal, berdiri di depan cermin, pandang kedua payudara.

Perhatikan kemungkinan adanya perubahan yang tidak biasa pada

payudara seperti cairan dari puting, pengerutan payudara, penarikan

atau pengelupasan kulit payudara.

2. Mengangkat kedua tangan ke atas kepala dan Perhatikan, apakah ada

kelainan. Pada kedua payudara atau putting payudara.

3. Letakkan kedua tangan di pinggang dengan agak membungkuk ke arah

cermin sambil menarik bahu dan siku ke arah depan. Periksa kembali,
79

apakah terdapat perubahan atau kelainan pada kedua payudara atau

puting.

4. Angkat lengan bagian kanan, memakai 3-4 jari tangan kiri kemudian

pemeriksa payudara bagian kanan dengan lembut, dengan hati-hati,

dan secara menyeluruh. sisi luar payudara di mulai dari bagian tepi,

lalu menekan ujung dari jari tangan dilanjutkan dengan membentuk

lingkaran-lingkaran kecil dan pindahkan lingkaran tersebut secara

pelan seputar payudara. Lakukan ke arah puting dengan bertahap.

Pastikan mencakup keseluruhan bagian payudara. Lihat dengan

seksama di daerah antara payudara dengan ketiak, termasuk bagian

ketiak sendiri. Rasakan apakah ada benjolan yang tidak biasa atau

benjolan di bawah kulit.

5. Dengan menggunakan kedua tangan, pijat puting payudara kanan

kemudian tekan payudara untuk melihat apakah terdapat cairan atau

darah yang keluar dari puting payudara. Lakukan hal yang sama pada

payuadara yang kiri.

Mengulangi langkah d) dan e) dengan posisi berbaring. Berbaring pada

permukaan yang rata, lalu berbaring dengan lengan kanan berada di belakang

kepala dan meletakkan bantal kecil atau lipatan handuk di bawah pundak.

Adapun program dari American Cancer Society, yang dalam programya

menganjurkan sebagai berikut (Hardiyanti, 2018):


80

1. Pada Wanita > 20 tahun melakukan SADARI tiap tiga bulan.

2. Pada Wanita > 35-40 tahun melakukan mammografi

3. Pada Wanita > 35 – 40 tahun melakukan check up kepada dokter ahli

4. Pada Wanita > 50 tahun check up rutin/ mammografi setiap tahun

5. Pada Wanita yang mempunyai faktor risiko cukup tinggi, misalnya ada

riwayat penderita kanker pemeriksaan ke dokter lebih rutin dan sering

di anjurkan.

c. Pencegahan Tersier

Pencegahan tersier untuk individu yang telah didiagnosa positif menderita

kanker payudara. Dengan penanganan yang tepat akan mengurangi kecacatan dan

terjadinya komplikasi yang lebih berat dan memperpanjang harapan hidup bagi

penderita serta meningkatkan kualitas hidup penderita serta meneruskan

pengobatan (Manuaba, 2010; Nastiti, Armini, & Ulazzuharo, 2018)

Untuk mengurangi ketidakmampuan pasien dalam hal produktifitas maka

dapat dilakukan upaya Rehabilitasi agar penderita dapat melakukan aktivitasnya

kembali. Tindakan mastektomi tidak hanya meninggalkan bekas fisik saja yang

mengakibatkan body image pasien berubah tetapi juga menyebabkan timbulnya

trauma yang berdampak secara psikologis secara mendalam karena kehilangan

anggota tubuhnya. Upaya rehabilitasi yang dapat dilakukan baik secara fisik,

mental, maupun sosial seperti menghilangkan rasa nyeri, stress, depresi,

kecemasan dan masalah-masalah psikologis lainya dengan mendapatkan asupan


81

gizi yang baik, dukunagn moral dari orang-orang terdekat terhadap penderita

pasca Tindakan operasi (Guntari & Suariyani, 2016).

2.2.13 Komplikasi Kanker Payudara

Karsinoma payudara dapat menyebar ke berbagai bagian tubuh. Dengan

jalan melalui penyebaran secara langsung ke jaringan sekitarnya serta melalui

saluran limfe dan aliran darah, Karsinoma payudara bermetastase. Paru paru,

pleura, tulang (terutama tengkorak, vertebra dan panggul), adrenal dan hati

menjadi tempat yang paling sering untuk metastase yang jauh atau sistemik.

Tempat yang lebih jarang adalah otak, tiroid, leptomeningen, mata, perikardium

dan ovarium (LAKSONO, 2018).

2.2.14 Prognosis Kanker Payudara

Dengan rata-rata prognosis harapan hidup (survival rate) penderita kanker

payudara per stadium melalui data PERABOI yaitu Perhimpunan Ahli Bedah

Onkologi Indonesia dalam Rasjidi (2010c) didapatkan data sebagai berikut :

a. Stadium 0 : harapan hidup 98% dengan 10 tahun

b. Stadium I : harapan hidup 85% dengan 5 tahun

c. Stadium II : harapan hidup 60%-70% dengan 5 tahun

d. Stadium III : harapan hidup 30%-50% dengan 5 tahun

e. Stadium IV : harapan hidup 5% dengan 5 tahun


82

2.3 FAKTOR HORMONAL SEBAGAI FAKTOR RISIKO KANKER

PAYUDARA

Hormon Estrogen dan progesteron berperan penting pada pertumbuhan

sel kanker payudara. Estrogen dan Progesteron merupakan dimeric, protein

regulasi steroid yang memiliki banyak peran terhadap aspek modulator

patologi kelenjar payudara. Dalam pertumbuhan epitel payudara, diferensiasi dan

survival pada payudara kedua hormon ini bekerjasama (Abdulkareem, 2013;

Suparman & Suparman, 2014).

Dalam supresor gen dan onkogen untuk modulator transkipsi terhadap tar-

get gen, Estrogen reseptor (ER) dan progesteron reseptor (PR) sebagai reseptor

nu-klear. ERα memiliki peranan penting pada duktus payudara pada masa

pubertas, tetapi PR dan ERß lebih berperan pada laktasi lobulus. Pada proses

terjadinya mutasi, ER dan PR bekerja sama. PR selalu heterodimeric protein (PRa

dan PRb subunit) beda dengan ER sebagai homodimeric atau heterodimeric terdiri

dari α dan β reseptor (Abdulkareem, 2013; Nadhila, 2017; Suparman &

Suparman, 2014).

ERα dan ERβ adalah faktor transkripsi yang menjadi perantara kerja

estrogen, mengikat estradiol di lokasi sama tetapi berbeda pada afinitas dan

respon yang dihasilkannya. Pada endometrium, sel-sel kanker payudara, sel

stroma ovarium, hipothalamus terdapat ERα. Di ginjal, otak, tulang, jantung,

mukosa usus, prostat, dan sel-sel endotel akan dapat ditemukan Erβ. ERα dan

ERβ dikode menggunakan gen yag berbeda, yaitu ESR1 dan ESR2 yang

berada pada kromosom 6 dan 14 (6q25 dan 14q), dan secara luas
83

diekspresikan pada jaringan yang berbeda dengan pola ekspresi yang berbeda

pula (Abdulkareem, 2013; Nadhila, 2017; Suparman & Suparman, 2014).

2.3.1 Usia Menarche

Hormon estrogen dapat memicu pertumbuhan sel pada bagian tubuh

tertentu secara tidak normal (Rasjidi, 2010a).

Lamanya paparan hormon estrogen dan progesterone pada wanita

berhubungan dengan usia menstruasi yang lebih awal yang berpengaruh terhadap

proliferasi jaringan termasuk jaringan payudara. Tidak hanya sebagai promotor

kanker payudara saja, estrogen dapat berfungsi sebagai promotor pada kanker

tertentu. Pada wanita yang mendapat haid lebih awal akan meningkatkan risiko

terbentuknya kanker payudara karena kadar estrogen tinggi pada wanita yang

mengalami haid. Usia menarche <12 tahun (p = 0,031; OR = 3,492) mempunyai

keterkaitan yang signifikan terhadap kejadian kanker payudara pada perempuan

(Arsittasari et al., 2017; Dewi & Hendrati, 2015).

2.3.2 Menopause

Usia pertengahan pada wanita mulai dari usia 40 tahun hingga 60 tahun.

Menopause merupakan salah satu faktor penting pada masa terjadinya kanker

payudara. Dari usia rata-rata 40 (± 5) tahun, ovarium wanita kurang reseptif

terhadap efek FSH dan LH, baik karena jumlah tempat pengikatan reseptor pada

masing-masing folikel berkurang maupun karena keduanya. Anovulasi menjadi

lebih sering karena efek sekresi estrogen yang menurun dan berfluktuasi. Pada

tahun-tahun sebelum menopause, fluktuasi merupakan penyebab utama gangguan

menstruasi pada beberapa wanita. Selain itu, pengaruh umpan balik negatif pada
84

hipotalamus dan kelenjar pituitari buruk, sehingga kadar FSH mulai meningkat.

Selain itu, semakin sedikit folikel di ovarium, dan kadar estrogen mulai turun

dengan cepat. Jika ini terjadi, kadar FSH dan LH akan terus meningkat, dan

memuncak setelah menopause. Sejak itu, tingkat gonadotropin yang tinggi terus

berlanjut (Ferdian & Rusminingsih, 2015).

2.3.3 Paritas

Karena hormon estrogen terpapar dalam jangka waktu yang lebih lama

dibandingkan dengan wanita yang melahirkan, Nulliparitas meningkatkan risiko

kanker payudara. Dibandingkan dengan wanita tanpa kanker payudara, wanita

dengan kadar estrogen tinggi memiliki risiko lebih tinggi terkena kanker

payudara. Peningkatan peluang tumbuhnya sel-sel yang telah mengalami

kerusakan secara genetik dan menyebabkan kanker disebabkan oleh karena wanita

dengan kadar hormon estrogen yang tinggi, terutama jika tidak diselingi oleh

perubahan hormonal pada kehamilan selama masa reproduktif (Arsittasari et al.,

2017).

Selama kehamilan pertama, epitel payudara mengalami perubahan

permanen, menjadi lebih terdiferensiasi, dan sifat biologi sel payudara berubah.

Oleh karena itu, sel epitel akan memiliki siklus sel yang lebih lama dan waktu

yang lebih lama pada fase G1. Perbaikan DNA terjadi pada tahap ini. Semakin tua

usia seorang wanita pada kehamilan pertama, semakin besar kemungkinan

terjadinya kesalahan DNA. Saat sel payudara berkembang biak selama kehamilan,

kesalahan DNA akan meningkat. kemungkinan jaringan payudara terpengaruh


85

karsinogenesis juga menurun setelah kehamilan pertama, mencerminkan proses

diferensiasi glandula mammae (Sobri et al., 2018).

Selama kehamilan, plasenta menghasilkan hormon estrogen progesteron.

Estrogen dan progesteron yang diproduksi oleh plasenta akan meningkat hingga

akhir kehamilan. Pembesaran rahim, kelenjar dan jaringan susu serta pembesaran

genetalia eksterna wanita selama kehamilan disebabkan oleh kelebihan estrogen

(Arsittasari et al., 2017).

Penurunan risiko setelah kehamilan tidak terjadi secara langsung, terapi

akan bermanifestasi setelah kira-kira 10-15 tahun. karena risiko kanker payudara

meningkat dekade pertama setelah kehamilan pertama. Pada kehamilan pertama,

terjadi persiapan laktasi pada payudara, berupa proliferasi sel-sel payudara yang

menyebabkan diferensiasi sel-sel payudara menjadi matur. Namun, perubahan ini

juga dapat mengakibatkan pertumbuhan sel yang termutasi sehingga

menyebabkan peningkatan risiko selama dekade berikutnya (Sobri et al., 2018).

2.3.4 Laktasi

Menyusui mempengaruhi tingkat estrogen dalam tubuh wanita tidak

melindungi wanita dari kanker payudara. Hormon estrogen pada wanita adalah

bahan utama penyebab kanker payudara. Kadar estrogen dapat turun dengan

menyusui, karena itu setiap kali wanita hamil dan meyusui akan menurunkan

risiko seorang wanita menderita kanker payudara. Menyusui dapat menekan siklus

menstruasi, Racun pada payudara dapat dihilangkan dengan bantuan menyusui.


86

Menyusui membuat perubahan pada sel payudara yang menjadikan sel wanita

lebih tahan terhadap mutasi sel terkait kanker (Arsittasari et al., 2017).

Semakin lama waktu menyusui, semakin besar efek perlindungan terhadap

kanker yang ada, dimana memiliki efek yang positif dalam penurunan risiko

kanker payudara di mana terjadi penurunan kadar hormon estrogen dan

pengeluaran bahan-bahan pemicu kanker. Penurunan risiko kanker terjadi sebesar

4,3% tiap tahunnya pada wanita menyusui. (Priyatin et al., 2013).

Kadar prolaktin dan risiko terhadap kanker payudara telah di evaluasi

dalam beberapa penelitian. Kebanyakan penelitian mendapatkan hubungan positif

signifikan. Secara keseluruhan, data epidemiologis mendukung bahwa prolaktin

memiliki peran sebagai faktor risiko dari kanker payudara (Sobri et al., 2018).

Riwayat pemberian ASI <4 bulan (p = 0,00; OR = 5,49; CI = 2,05-14,74)

meningkatkan risiko kanker payudara. Kebiasaan menyusui terkait dengan siklus

hormonal. Wanita menyusui akan mengeluarkan hormon prolaktin, yang

menghambat paparan sejumlah besar hormon dan menyebabkan kanker payudara

dalam waktu lama. Kadar estrogen dan progesteron yang tinggi turun tajam

selama kehamilan segera setelah melahirkan. Selama menyusui, kadar estrogen

dan progesteron akan tetap rendah. Penurunan kadar estrogen dan progesteron

dalam darah akan menurunkan efek estrogen pada proses proliferasi jaringan

(termasuk pada jaringan payudara penyebab kanker payudara) (Anggorowati,

2013).
87

Black Women’s Health Study menyatakan menyusui berkaitan dengan

penurunan risiko yang tida signifikan terhadap kanker payudara ER-/PR- (ER:

estrogen receptor, PR: progesterone receptor), namun tidak demikian halnya

untuk kanker payudara subtipe ER+/PR+. Studi ini juga menemukan bahwa

tingginya angka paritas berhubungan dengan peningkatan kanker payudara

ER-/PR- (Sobri et al., 2018)

2.3.5 Kontrasepsi

Kontrasepsi hormonal merupakan alat atau obat kontrasepsi yang

bertujuan untuk menghentikan terjadinya kehamilan dimana kontrasepsi hormonal

mengandung hormon estrogen dan progesteron. Progesteron bekerja membuat

penetrasi sperma menjadi sulit dengan cara membuat lendir serviks lebih kental.

Sedangkan cara kerja estrogen yang terdapat dalam kontrasepsi adalah

menghambatnya ovulasi fungsi hipotalamus, hipofisis, ovarium, serta penghambat

perjalanan ovum atau implanasi (RIA, 2017; Sety, 2016).

Pemakaian kontrasepsi hormonal dapat menyebabkan terjadinya

peningkatan paparan hormon estrogen pada tubuh. Pemicu pertumbuhan sel

secara tidak normal pada bagian tertentu, misalnya payudara terjadi oleh karena

adanya peningkatan paparan hormon estrogen. Pemakaian alat kontrasepsi

hormonal ≥ 5 tahun (p = 0,028; OR = 3,266) mempunyai hubungan yang

signifikan terhadap kejadian kanker payudara pada perempuan (Dewi & Hendrati,

2015).

a. Oral
88

Kontrasepsi oral yang mengandung progesteron saja adalah minipil.

Minipil tidak begitu efektif dalam menekan produksi estrogen, meskipun hanya

mengandung gestagen juga merupakan faktor risiko terkena kanker payudara.

Produksi estrogen di ovarium ditekan oleh sediaan depo gestagen, tetapi tetap

tidak mempunyai khasiat protektif terhadap terjadinya kanker payudara. Bila

pada penggunaan pil kontrasepsi ditemukan kanker payudara, pertumbuhannya

dipengaruhi oleh estrogen (Anggarini & Rahmawati, 2018).

Hasil sebuah penelitian menunjukkan bahwa peningkatan risiko

pramenopause kanker payudara dikaitkan dengan penggunaan kontrasepsi oral

dengan OR (1,19) dan 95% CI (1,09-1,29) dan berbagai pola yang digunakan.

Hasil peneliti lain berpendapat bahwa terjadi peningkatan kadar estrogen pada

wanita yang menerima estrogen eksogen berbentuk kontrasepsi oral atau TSH

(Anggarini & Rahmawati, 2018).

Wanita mempunyai risiko 24% lebih tinggi terhadap kanker payudara

selama masa penggunaan kontrasepsi oral. Penghentian menggunakan kontrasepsi

oral membuat risiko tersebut berangsur-angsur mengalami penurunan dan akan

memiliki risiko yang sama dengan wanita yang tidak pernah menggunakan

kontrasepsi oral setelah 10 tahun (Anggarini & Rahmawati, 2018).

Kandungan pil umumnya terdiri dari 30-50 mcg estrogen dan 1 mg atau

kurang progeteron. Efek estrogenik, progestational dan androgenik dari pil oral

berpengaruh terhadap organ-organ dan jaringan- jaringan tubuh tertentu seperti


89

kulit, uterus, ovarium, otak, payudara, arteri, vena, dan lain-lain (Anggarini &

Rahmawati, 2018).

Pengaruh kontrasepsi hormonal paling banyak ditemukan pada organ

myometrium, endometrium, serviks serta payudara. Dosis, jenis hormon serta

lamanya penggunaan menentukan perubahan organ tubuh wanita yang di

pengaruhi oleh kontrasepsi hormonal. Semua organ tubuh wanita yang ada di

bawah pengaruh hormon seks dengan sendirinya akan dipengaruhi oleh

kontrasepsi hormonal akan mengalami perubahan (Anggarini & Rahmawati,

2018).

Peningkatkan risiko kanker dengan penggunaan kontrasepsi hormonal

yang berkaitan dengan faktor hormonal, yaitu kanker payudara dan kanker

serviks. Terutama akan meningkat signifikan pada penggunaan jenis oral atau pil

karena pada kontrasepsi oral mengandung hormon progesteron yang dapat

memengaruhi kerja dari hormon estrogen (Gierisch et al., 2013; Nissa,

Widjajanegara, & Purbaningsih, 2017).

Ketidakseimbangan hormon pada tubuh disebabkan oleh hormon estrogen

dan progestin yang terdapat pada kontrasepsi hormonal. Kadar estrogen dan

progesteron akan meningkat dalam tubuh yang disebabkan oleh penggunaan

kontrasepsi hormonal setiap harinya. Semakin banyak kadar estrogen di dalam

tubuh semakin banyak jumlah lemak dalam tubuh karena peran estrogen terhadap

deposisi lemak. Lemak menyebabkan protein pengikat estrogen yaitu SHBG

menurun, sehingga melalui reseptornya jumlah estrogen akan semakin banyak


90

bersirkulasi dalam darah dan masuk ke berbagai sel dalam tubuh. Pada kelenjar

payudara terdapat reseptor estrogen yang penting, sehingga semakin banyak

penggunaan kontrasepsi hormonal maka semakin banyak estrogen yang berikatan

dengan reseptornya di kelenjar payudara yang menyebabkan aktivitas gen CYP17

dan CYP19 meningkat sehingga bisa menyebabkan splicing mRNA terganggu

(Gierisch et al., 2013; Nissa et al., 2017)

Reseptor progesteron ditemukan di kelenjar payudara. Progesteron akan

berikatan dengan reseptornya membentuk kompleks Progesterone Reseptor

Element (PRE) atau yang bersama dengan EGF atau heregulin akan menginduksi

aktivitas transkripsi dan post-translasi. Akumulasi genetik eror pada gen BRCA1,

BRCA2, HER2/NEU ataupun p53 ketika proses tersebut terus berlangsung secara

berlebihan dan terjadilah atipikal hiperplasia dengan bertambahnya waktu

menyebabkan karsinoma payudara (Gierisch et al., 2013; Nissa et al., 2017).

1. Pil KB kombinasi

Bekerja mencegah ovulasi, mengandung progesteron dan

estrogen secara efektif. Produksi Follicle Stimulating Hormon (FSH)

akan di hambat oleh hormon progesteron yang terkandung dalam pil

KB sehingga sel telur tidak ada yang masak. Hormon estrogen akan

membantu pembentukan endometrium. Di bawah pengaruh kedua

hormon tersebut, akan terbentuk endometrium tetapi karena tidak

adanya sel telur yang masak maka tidak akan terjadi kehamilan
91

meskipun ada sel spermatozoa yang masuk ke dalam rahim.

Endometrium yang sudah menebal akan meluruh, dan akan terjadi

menstruasi apabila seorang wanita melakukan penghentian pemakaian

setelah menelan pil selama 21 hari .

2. Minipil

Pil KB minipil mengandung progesteron turunan nortestosteron

berkerja dengan jalan menekan sekresi gonadotropin, mempengaruhi

fungsi korpusluteum, menghambatnidasi, memperlambat gerakan tuba

yang akan mengakibatkan transportasi ovum terganggu, dan menekan

produksi steroid di ovarium. Progesteron menyebabkan lendir serviks

menjadi pekat sehingga tidak dapat dilalui oleh spermatozoa, dan

endometrium.

b. Suntikan KB

1. Golongan progestin

Terdapat 2 jenis kontrasepsi yang hanya memiliki progestin, yaitu :

a) Depo provera mengandung 150 mg Depo Medroksi Progesteron

Asetat.

b) Depo Noristerat mengandung 200 mg Noretindron Enantat

2. Golongan progestin campuran estrogen propionat

Cyclo provera yang mengandung 5 mg estrogen dan 50 mg

progesteron.
92

Untuk implantasi hasil konsepsi, perubahan peristaltik tuba fallopi

sehingga konsepsi dihambat, dan mengentalkan lendir serviks sehingga tidak

dapat dilalui oleh spermatozoa dan mencegah ovulasi tidak sempurna karena

mekanisme kerja dengan endometrium menjadi tipis dan atrofi.

c. Implant / susuk KB

Sistem kontrasepsi Norplant terdiri dari 6 kapsul atau 2 kapsul yang

mengandung progestin levonorgestreal. Isi setiap batang secara teratur berdifusi

ke dalam darah. Obat steroid dalam setiap batang akan habis setelah 5 tahun

sehingga batang tersebut harus dikeluarkan melalui proses pembedahan kecil.

Agar tidak dapat dilalui spermatozoa, progestin menghambat ovulasi sehingga

lendir serviks menjadi pekat, serta mengakibatkan endometrium menjadi tipis dan

atrofi sehingga tidak dapat untuk implantasi hasil pembuahan.

2.3.6 Penggunaan Hormon Pascamenopause

Terapi Sulih Hormon (TSH) atau saat ini disebut terapi hormon

merupakan terapi hormon estrogen untuk mengurangi gejala menopause, pada

wanita yang masih memiliki uterus maka terapi dikombinasi dengan pemberian

estrogen untuk melindungi lapisan endometrium. Penggunaan Terapi Sulih

Hormon (TSH) jangka panjang meningkatkan risiko kanker payudara (Permadi,

2013).

Kontrasepsi oral dan peran hormon eksogen dalam TSH merupakan faktor

risiko yang banyak dipelajari untuk kanker payudara. Selain efek hormon
93

eksogen, kontak yang terlalu lama dengan hormon endogen juga menjadi faktor

risiko terjadinya kanker payudara (Suparman & Suparman, 2014).

Peningkatan proliferasi sel-sel payudara dan timbulnya keluhan nyeri pada

payudara terjadi oleh karena penggunaan TSH kombinasi. Terdapat Hipotesis lain

mengenai peran hormon eksogen terhadap kanker payudara yaitu terangsangnya

lesi keganasan yang telah ada dan tidak terdiagnosis sebelumnya oleh penggunaan

hormon tersebut. Pada mamografi terjadi peningkatan densitas payudara saat

menggunakan TSH kombinasi ataupun karena lesi yang terlalu kecil untuk dapat

ditemukan melalui palpasi maupun teknik pencitraan mengakibatkan lesi yang

tidak dapat terdiagnosis. Estrogen dikenal berperan penting dalam proliferasi dari

jaringan payudara (Suparman & Suparman, 2014).

Mengenai durasi penggunaan, risiko kanker payudara ditemukan

meningkat selama penggunaan saat ini atau baru-baru ini, dan kemudian dengan

perpanjangan waktu penggunaan, risiko ini terus meningkat, dan secara statistik

signifikan dalam 5 tahun (Sobri et al., 2018).


94

BAB III

METODE

3.1 METODE

Penelitian studi kasus keterkaitan faktor hormonal terhadap risiko

terjadinya kanker payudara pada wanita ini bersifat deskriptif dengan menganalisa

secara deskriptif melalui pengumpulan data atau informasi, analisis dan

pemecahan masalah melalui penelusuran literatur (kajian Pustaka). Dalam

pendekatan masalah kasus tersebut mengikuti alur sebagai berikut.

Penentuan Judul Penelitian


95

Perumusan Masalah Menentuan Tujuan

Penelusuran Data Studi Literatur

Teori Buku Jurnal Studi Kasus

Hasil penelusuran data di


identifikasi dalam pencarian Menggunakan database
awal sesuai dengan kata kunci ProQuest, Google
Scholar, PubMed dan
Akademia
Screening jurnal yang sesuai
dengan kriteria inklusi

Jurnal full text di lakukan


asasemen kelayakan

Studi sesuai inklusi Hasil dan


Analisa Data
dilakukan review Pembahasan

Gambar III.1 Bagan Alir Pendekatan Masalah Keterkaitan Faktor

Hormonal Terhadap Risiko Terjadinya Kanker Payudara Pada Wanita


93
3.2 PENJELASAN BAGAN ALIR

3.2.1 Pencarian Literatur

Literature review dimulai dengan materi hasil penulisan yang secara

sekuensi diperhatikan dari yang paling relevan, relevan, dan cukup relevan.

Penulis secara sistematis melakukan penelusuran jurnal penelitian yang

dipublikasikan di internet menggunakan search engine ProQuest, PubMed,

Google Scholar dan Akademia, dengan menetapkan istilah pencarian sebagai

berikut : “breast cancer”, “risk factor and breast cancer”, “nullipara”,


96

“multipara”, “paritas”, “gender”, “age of menarche”, ”hormone therapy”,

“hormone”, “menopause”, “hormone pascamenopause”, “lactation”, “

contraceptives”. Kemudian membaca abstrak, setiap jurnal terlebih dahulu untuk

memberikan penilaian apakah permasalahan yang dibahas sesuai dengan kriteria

yang hendak dipecahkan dalam suatu jurnal. Mencatat poin-poin penting dan

relevansinya dengan permasalahan penelitian.

Jika informasi berasal dari ide atau hasil penulisan yang dilakukan oleh

orang lain maka untuk menjaga tidak terjebak dalam unsur plagiat, penulis

hendaknya juga mencatat sumber informasi dan mencantumkan daftar pustaka.

Membuat catatan, kutipan, atau informasi yang sistematis sehingga penulisan

dengan mudah dapat mencari kembali jika sewaktu-waktu diperlukan (Munandar

& Wardaningsih, 2018).

3.2.2 Kriteria Inklusi dan Ekslusi

Kriteria jurnal yang di review berupa artikel jurnal tanpa ada batasan

bahasa dengan subyek manusia dewasa. Artikel atau jurnal yang dipilih sesuai

dengan kriteria inklusi dan kriteria ekslusi meliputi :

a. Kriteria Inklusi

1. Jurnal ilmiah yang membahas tentang kanker payudara yang di

kaitkan dengan faktor risiko hormonal : usia, usia menarce,

menopause, kehamilan, paritas, laktasi, kontrasepsi oral, terapi

hormon, dan penggunaan hormon pascamenopause.


97

2. Jurnal dengan bahasa Inggris dan bahasa Indonesia.

3. Jurnal memiliki tahun terbit 10 tahun terakhir.

4. Jurnal yang dapat diakses/download

b. Kriteria Ekslusi

1. Jurnal yang di temukan tetapi bukan studi yang di inginkan.

2. Jurnal memiliki tahun terbit lebih dari 10 tahun terakhir.

3. Jurnal yang bukan fulltext

4. Jurnal yang tidak dapat diakses/download

3.2.3 Ekstraksi Data

Penulis akan mengidentifikasi dalam bentuk ringkasan secara singkat

berupa tabel yang beirisi nama penulis, judul, tahun penulisan, variable yang di

teliti, hasil penelitian, dan kesimpulan (keterangan). Setelah hasil penulisan dari

beberapa literatur sudah dikumpulkan, penulis akan menganalisa keterkaitan

faktor hormonal terhadap risiko terjadinya kanker payudara pada wanita dalam

bentuk pembahasan.

3.2.4 Analisis Data

Setiap jurnal yang telah dipilih dan dianalisa berdasarkan kriteria dan

dibuat sebuah kesimpulan yang menggambarkan penjelasan keterkaitan faktor

hormonal terhadap risiko terjadinya kanker payudara pada wanita.


98

21.547 jurnal yang di identifikasi


dalam pencarian awal

Dikecualikan menurut file atau bacaan


abstrak :
Bukan studi yang di inginkan : 20.920
Studi metaanalisis/review : 592

Artikel potensial yang


relevan

Jurnal duplikat : 4

Artikel yang termasuk dalam studi


literature review ini : 30

Gambar III.2 Hasil pencarian dan pemilihan literatur

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 HASIL PENCARIAN

Proses pencarian literatur secara keseluruhan, dari 21.547 pencarian awal

pada database ProQuest, PubMed, Google Scholar dan Akademia, di kecualikan

menurut judul dan abstrak : bukan studi yang diinginkan sebanyak 20.920 jurnal,
99

studi meta-analisis/review : 592 jurnal, dan 4 jurnal duplikat, dikeluarkan sesuai

dengan judul dan abstrak.

Tabel IV.1 Jurnal dalam penelitian literature review

N Author Judul Tahun Variabel Hasil Kesimpula


o yang n
diteliti (Keteranga
n)

1 Karim, Oral 2015 Kontrasepsi Kontrasepsi oral Kesimpulan


Baeshen, Contraceptives Oral dan tidak memberikan :
, Abortion and Faktor risiko kanker Penggunaan
Neamatullah
Breast Cancer payudara secara
, and Bin risiko kontrasepsi
Risk: a Case keseluruhan (OR
(2015) Control Study kanker = 0,276, 95% CI oral dalam
in Saudi payudara 0,092-0,829, p = waktu lama
Arabia  0,524), sedangkan (lebih dari
penggunaan OCP 10 tahun)
jangka panjang dapat
dikaitkan dengan dikaitkan
peningkatan risiko
dengan
kanker payudara
(OR = 0,297, 95% peningkatan
CI 0,158 -0,557, p risiko
= 0,001), dengan kanker
asosiasi yang lebih payudara
tinggi untuk pada wanita
mereka yang Saudi.
menggunakan
OCP 10 tahun atau
lebih (OR = 0,282,
95% CI 0,095-
0,835, p = 0,02).
Usia saat pertama
kali menggunakan
OCP tidak
berpengaruh pada
97 risiko kanker
payudara (p =
0,452) atau usia
saat diagnosis (p =
0,074).

2 Urban et al. Injectable and 2012 Kontrasepsi Kontrasepsi oral, Penggunaan


Oral hormonal nilai OR=1,57, kontrasepsi
(2012)
Contraceptive 1,03–2,40, p = hormonal
Use and 0,04 oral dan
Cancers of the Kontrasepsi suntik
Breast, Cervix, suntik, nilai OR dikaitkan
Ovary, and =1,83, 1,31–2,55, dengan
Endometrium p, 0,001 peningkatan
100

in Black South risiko


African kanker
Women: Case– payudara
Control Study
3 Sukmayenti Hubungan 2018 Menarche, Menarche nilai p Menarche,
and Sari faktor Paritas, dan < 0,05 (0,000) dan ada
reproduksi Laktasi. OR 26,8. hubungan
(2018) dengan
usia
kejadian kanker Paritas, nilai p >
payudara pada menarche
0,05 (0,476) dan
wanita di rsup dengan
OR 0,4.
dr. M. Djamil kejadian
padang  Laktasi, nilai p < kanker
0,05 (0,033) dan payudara
OR 5,6
Paritas,
tidak ada
hubungan
paritas
dengan
kanker
payudara

Laktasi, ada
hubungan
riwayat
laktasi
dengan
kanker
payudara

4 Ardiana and Analisis Faktor 2013 Usia Usia menarche Faktor


Negara Risiko menarche, (OR=4,41;95%CI; risiko yang
Reproduksi paritas, 1,33 14,63), memiliki
(2013) yang
laktasi Paritas keterkaitan
Berhubungan
dengan (OR=6,38;95%CI: terhadap
Kejadian 1,57-25,90), kejadian
Kanker laktasi kanker
Payudara pada (OR=4,24;95%CI: payudara
Wanita 1,22-14,76) adalah usia
menarche
<12 tahun,
paritas 1-2,
dan tidak
menyusui.

5 Yosali and Hubungan Usia 2019 Usia p value = 0,007. Ada


Bintari Menarche menarche Nilai OR = 0,800 hubungan
Dengan (95% CI= 0,587- antara usia
(2019) Kejadian 1,091)
menarche
Kanker
dengan
101

Payudara Pada kejadian


Wanita Usia kanker
25-50 Tahun payudara
Di Rumah
Singgah
Yayasan
Kanker
Payudara
Indonesia
(YKPI) Jakarta
6 Priyatin et Faktor Risiko 2013 Usia Usia menarche, Usia
Yang menarche, , nilai OR = 2,638 menarche
al. (2013)
Berpengaruh paritas, dan CI 95% = (<12 tahun),
Terhadap 0,735 – 9,644. laktasi
laktasi, dan
Kejadian (tidak
Kanker lama menyusui),
Paritas, nilai OR =
Payudara Di penggunaan lama
4,353 dan CI 95%
Rsup Dr. kontrasepsi = 0,463 penggunaan
Kariadi hormonal kontrasepsi
Semarang Laktasi, nilai OR= hormonal
2,118 dan CI 95% berisiko (>5
= 0,364-12,320. tahun), dan
riwayat
keluarga
Lama penggunaan memperting
kontrasepsi gi risiko
hormonal, nilai untuk
OR = 0,513 dan mengalami
CI 95% = 0,201- kanker
1,306. payudara.
7 Ekawati Faktor Risiko 2018 Usia Usia menarche 3 faktor
Kejadian menarche, (OR=3,134; 95%; yang di
(2018)
Kanker kontrasepsi CI: 1,300-7,599), teliti secara
Payudara Di kontrsepsi
hormonal, statistik
RSUD hormonal
Bahteramas laktasi. (OR=5,500; 95%; bermakna
CI: 2,223-13,608), terhadap
dan laktasi kejadian
(OR=4,636; 95%; kanker
CI: 1,877-11,454). payudara di
RSUD
Bahteramas

8 Al-Insyirah Faktor 2016 Usia usia menarche Usia


- menarche, (p=0,028 ; menarche
(2016)
Faktor Yang dan OR=2,12), dan
Berhubungan
penggunaan penggunaan
dengan penggunaan
Kejadian kontrasepsi kontrasepsi
kontrasepsi
Kanker hormonal hormonal
hormonal dalam
Payudara Di dalam waktu lama dalam
Poliklinik waktu yang (p=0,008 ; OR= waktu lama
Onkologi Rsud lama 2,65), ada
Arifin Achmad hubungan
Provinsi Riau
102

dengan
kejadian
kanker
payudara

9 N. Sari and Hubungan 2019 Kontrasepsi p>0.05 Tidak ada


Afni Amran Peng oral hubungan
gunaan antara
(2019) Kontrasepsi
riwayat
Oral dengan
Kanker penggunaan
Payudara kontrasepsi
Wanita oral dengan
Premenopause kejadian
kanker
payudara

10 Agnessia, Faktor Risiko 2015 pemakaian Pemakaian Menunjukk


Sary, and yang kontrasepsi kontrasepsi an ada
Berhubungan hormonal, hormonal, nilai hubungan
Andoko
dengan Kanker p=0,008/p<0,05;
(2015) laktasi, usia yang
Payudara Di OR=3,75(1,49-
Rsud menarche. 9,43) bermakna
Pringsewu antara
Tahun 2014 Laktasi, nilai Pemakaian
p=0,001/p<0,05; kontrasepsi
OR=6,6 (2,29- hormonal,
18,96) laktasi, usia
menarche,
Usia menarche, terhadap
nilai risiko
p=0,000/p<0,05;
terjadinya
OR=6,25(2,33-
16,75) kanker
payudara.

11 Nasution et Pengaruh 2018 Kontrasepsi Pemakaian Mempunyai


Pemakaian hormonal kontrasepsi pengaruh
al. (2018)
Kontrasepsi hormonal OR yang
Hormonal dan 8,169 (3,266-
signifikan
Riwayat 20,431)
Keluarga terhadap
Terhadap risiko
Kejadian terjadinya
Kanker kanker
Payudara Di payudara
Rsud Dr.
Pirngadi
Medan Tahun
2017
12 Hermawan Kejadian 2016 Usia Usia menarche, Terdapat
and Kanker menarche, nilai p= 0,480 hubungan
Payudara dan antara
Djamaludin
Dilihat dari Penggunaan alat
penggunaan faktor
103

(2016) Faktor Usia, alat penggunaan


Menstruasi kontrasepsi kontasepsi, nilai alat
Dini dan p=0.010;OR= kontrasepsi
Penggunaan 4,327 (1,481- hormonal
Alat 12,647)
Kontrasepsi terhadap
risiko
terjadinya
kanker
payudara

Tidak ada
hubungan
antara usia
menarche
dengan
kejadian
kanker
payudara

13 N. I. Y. Sari, Path Analysis 2019 Usia Usia menopause Terdapat


Maringga, of the Effect of menopause, (b=0,17, p=0,001) hubungan
Biological and kontrasepsi, antara Usia
and Astuti
Social Factors Kontrasepsi (b =
(2019) dan paritas menopause,
on the Case of 0,11, p = 0,014)
Breast Cancer kontrasepsi,
Paritas (b = 0,08, dan paritas,
p = 0,031) terhadap
risiko
terpapar
kanker
payudara

14 Listyawardh Risk Factors of 2018 Usia Usia menarche Wanita usia


ani, Breast Cancer menarche, <12 tahun, nilai menarche <
in Women at menopause OR=2,71;95%CI 12 tahun,
Mudigdo,
Dr. Moewardi = 1,06-6,96;
and Adriani dan menopause
Hospital, p=0,037
(2018) Surakarta, penggunaan < 55 tahun
Central Java kontrasepsi dan
Menopause < 55
hormonal tahun, nilai menggunak
OR=1,07; an
95%CI= 0,82- kontrasepsi
6,30; p= 0,001 hormonal >
10 tahun
Penggunaan lebih
kontrasepsi memungkin
hormonal > 10
kan untuk
tahun, nilai
OR=3,25; terkena
95%CI= 1,20- kanker
9,63; p= 0,003 payudara
104

15 Laamiri et Risk Factors 2015 Usia Usia menarche Usia


for Breast menarche, (<12 tahun), nilai menarche,
al. (2015)
Cancer of menopause OR= 1,660; menopause
Different Age 95%CI = 1,196-
terlambat, terlambat,
Groups: 2,303; p= 0,002
Moroccan kontrasepsi kontrasepsi
Data? oral, oral,
Menopause
hormone terlambat (>55 dikaitkan
replace tahun), nilai OR= secara
therapy, 2,360; 95%CI= positif
multiparitas 1,911-2,914; p dengan
, dan laktasi <0,001 kanker
payudara.
Kontrasepsi Oral
(>6 tahun), nilai Sebaliknya,
OR= 1,252; 95% multiparitas
CI= 1,014-1,547;
, dan laktasi
p<0,001
(>6 bulan)
Hormone dikaitkan
Replacement secara
Therapy, nilai negatif
OR= 1,256; dengan
95%CI= 0,491- kanker
3,217; p= 0,634 payudara

Multiparitas, nilai Tidak ada


OR 0,639; hubungan
95%CI= 0.533 – yang
0.766; p <0,001 signifikan
untuk
Laktasi (>6 kanker
bulan), nilai OR= payudara
0,652; 95%CI= yang
0.546 – 0.780; p ditemukan
<0,001 untuk
penggantian
hormon
16 Fransiska Faktor Risiko 2017 Usia Usia menarche, Usia
and Yulia Kejadian menarche nilai OR=8,5 menarche
Kanker dan KB (2,060-35,080) dan
(2017) Payudara Pada penggunaan
hormonal
Wanita Lansia Penggunaan KB KB
Di RSUD hormonal hormonal
Achmad OR=15,438 merupakan
Mochtar (2,813- 84,718) faktor risiko
Bukttinggi terjadinya
Tahun 2016 kanker
payudara
dan secara
statistik
terdapat
hubungan
yang
105

bermakna
17 Setiowati et Hubungan 2015 KB Nilai p= 0,001 dan Wanita
antara Hormonal OR=2,990 menggunak
al. (2016)
Pemakaian KB an KB
Hormonal hormonal
dengan memiliki
Kejadian risiko 2,990
Kanker kali lebih
Payudara di besar
Poli Onkologi terkena
Satu Atap kanker
RSUD Dr. payudara
Soetomo, dibandingka
Februari–April n dengan
2015 yang tidak
memakai
KB
hormonal
18 Prasetyowati Faktor-Faktor 2014 Kontrasepsi Kontrasepsi Ada
and yang hormonal, hormonal, nilai p hubungan
Berhubungan laktasi dan value= 0,031 dan kontrasepsi
Katharina
dengan OR = 3,321 hormonal,
(2017) usia
Kejadian tidak
Kanker menarche menyusui
Laktasi (tidak
Payudara Di menyusui), nilai p dengan
Rsud Dr. H. value= 0,040 dan kejadian
Abdul Moeloek OR = 2,912 kanker
Provinsi payudara.
Lampung Usia menarche,
nilai p value = Tidak ada
1,000 hubungan
antara usia
menarche
dengan
kejadian
kanker
payudara.
19 Isnaini and Hubungan 2017 Usia Usia menarche (p- Ada
Elpiana Usia,Usia menarche, value: 0,000; OR hubungan
Menarche Dan 3,110) antara usia
(2017) Riwayat menarche
Keluarga terhadap
Dengan risiko
Kejadian terjadinya
Kanker kanker
Payudara payudara
Dirumah Sakit
Umum Daerah
Dr. H. Abdul
Moeloek
Provinsi
Lampung
Tahun 2015
20 Munawarah Hubungan 2018 Laktasi P=0,000 (p <0,05) Terdapat
Pemberian Air hubungan
106

(2018) Susu Ibu signifikan


dengan antara
Kejadian Riwayat
Kanker pemberian
Payudara di asi terhadap
Rumah Sakit risiko
Umum Daerah kanker
dr. Zainoel payudara
Abidin, Banda
Aceh
21 Ho et al. Incidence Of 2020 Usia P<0,001 Ada
Breast Cancer Menarche hubungan
(2020)
Attributable To PAR= 9.2% (95% antara usia
Breast Density, CI: 8.2–9.8) menarche
Modifiable And terhadap
Non- risiko
Modifiable terjadinya
Breast Cancer kanker
Risk Factors In payudara
Singapore
22 Poosari et Hormonal 2014 Kontrasepsi Kontrasepsi oral: Tidak ada
Contraceptive hormonal HR = 1.35, 95% hubungan
al. (2014)
Use and Breast CI, 0.65-2.78 antara
Cancer in Thai Kontrasepsi kontrasepsi
Women injeksi: HR = hormonal
1.25, 95% CI= dengan
0,56-2,80 kejadian
kanker
payudara
23 Mørch et al. Contemporary 2017 Kontrasepsi P = 0,002 Risiko
Hormonal hormonal kanker
(2017)
Contraception payudara
and the Risk of lebih tinggi
Breast Cancer pada wanita
yang saat
ini atau
baru-baru
ini
menggunak
an
kontrasepsi
hormonal
dibandingka
n wanita
yang tidak
pernah
menggunak
an
kontrasepsi
hormonal
24 Lee et al. Risk Factors 2014 menopause, OR=1,28 (1,00- Terdapat
for Breast paritas, 1,64) hubungan
(2014)
Cancer Among OR=1,03 (0,79- antara,
Chinese 1,35) menopause,
Women: A 10- terhadap
107

Year kejadian
Nationwide kanker
Multicenter payudara
Cross-
Sectional Study
25 Anggorowat Faktor Risiko 2013 paritas, p=0,00; OR=4,99; Ada
Kanker laktasi dan CI=1,90-13,87 hubungan
i (2013)
Payudara usia kejadian
Wanita menarche p=0,00; OR=5,49; kanker
CI=2,05-14,74 payudara
dengan
p=0,00; OR=6,66; faktor risiko
CI=2,84-15,65 paritas,
laktasi dan
usia
menarche
26 Hasnita, Pengaruh 2019 Usia p=<0,001; Faktor
Harahap, Faktor Risiko menarche, OR=2,84 risiko
Hormonal pada lama hormonal
and Defrin
Pasien Kanker penggunaan p=0,05; OR=3,16 yang
(2019) Payudara di kontrasepsi memiliki
RSUP.Dr.M.Dj pil >5 p=0,107 (p>0,05) pengaruh
amil Padang tahun, terhadap
paritas, kanker
laktasi dan p=1 (p>0,05); payudara
usia OR=0,95 yaitu usia
menopause menstruasi
p=0,150 (p>0,05): pertama
OR=1,45 (menarche)
dan lama
penggunaan
kontrasepsi
pil.
27 Nissa et al. Kontrasepsi 2017 Kontrasepsi p=0,013; Faktor
Hormonal hormonal, OR=2,81; CI hormonal
(2017)
sebagai Faktor jenis 2,04–3,59 menjadi
Risiko Kanker kontrasepsi faktor risiko
Payudara di hormonal, p=0,020; terjadinya
RSUD Al- dan lama OR=2,76; CI kanker
Ihsan Bandung penggunaan 1,89–3,63 payudara
kontrasepsi
hormonal p=0,001;
OR=9,06; CI
9,10–11,4
28 Barrett- The rise and 2005 Hormone OR= 1,26; Terdapat
Connor, fall of replace 95%CI=1.00-1,59 kenaikan
menopausal therapy risiko
Grady, and
hormone
Stefanick therapy
(2005)

29 Fahlén et al. Hormone 2013 Hormone HR = 3,6; 95% CI Terdapat


replacement replace = 1,2-10,9; p = hubungan
(2013)
therapy after therapy 0,013 dengan
breast cancer: risiko
108

10 year follow kanker


up of the payudara
Stockholm tetapi tidak
randomised signifikan
trial
30 Chen, Hormone 2002 Hormone OR = 1,52; 95% Terdapat
Weiss, Replacement replace CI=1,01-2,29 keterkaitan
Therapy in therapy terhadap
Newcomb,
Relation to risiko
Barlow, and kanker
Breast Cancer
White payudara
(2002)

4.2 PEMBAHASAN

Pada bagian ini, 30 jurnal tersebut telah di identifikasi dan dilakukan

review. Berikut merupakan pembahasan keterkaitan antara faktor hormonal

dengan risiko terjadinya kanker payudara pada wanita :

4.2.1 Keterkaitan faktor usia menarche terhadap risiko terjadinya kanker

payudara pada wanita

Beberapa studi yang teridentifikasi telah menyelidiki faktor usia menarche

terhadap risiko terjadinya kanker payudara pada wanita. Penelitian yang di

lakukan Sukmayenti and Sari (2018) diketahui nilai p < 0,05 (0,000) dan Odds

Ratio 26,8. Dari hasil penelitian menyatakan ada hubungan usia menarche dengan

kejadian kanker payudara, dimana responden dengan usia menarche <12 tahun

berisiko mempunyai kecenderungan 27 kali untuk terkena kanker payudara

dibanding responden dengan usia kategori risiko rendah.

Penelitian di Rumah Sakit Umum Pemerintah H.Adam Malik dan Rumah

Sakit Umum Daerah dr.Pirngadi Medan oleh Ardiana and Negara (2013)
109

menunjukkan bahwa terdapat keterkaitan yang signifikan (p < 0.05) antara usia

menarche dengan kejadian kanker payudara, usia menarche < 12 tahun

merupakan risiko terjadinya kanker payudara sebesar 4,41 kali dibandingkan

dengan usia menarche ≥12 tahun. Hasil analisis dengan multivariat usia menarche

juga terbukti secara bermakna dengan Confidence Interval (CI) 95% diperoleh

nilai OR= 4,41 (95% CI=1,33-14,63).

Penelitian oleh Ho et al. (2020) dengan nilai p<0,001; PAR= 9.2% (95%

CI: 8.2–9.8) yang berarti terdapat hubungan yang signifikan antara usia menarche

terhadap risiko terjadinya kanker payudara pada populasi wanita di singapura.

Menurut Al-Insyirah (2016) mendapatkan bahwa terdapat hubungan yang

bermakna antara usia menarche <12 tahun dengan kejadian kanker payudara (p

value = 0,028 < α = 0,05) dan nilai OR yang diperoleh dari hasil uji statistik 2,12

(95% CI = 1,13-3,96). Dengan rata- rata usia responden 11 tahun. Namun tidak

menutup kemungkinan usia menarche ≥ 12 tahun juga berisiko terkena kanker

payudara. Hal ini karena pada penelitian ini di temukan responden dengan usia

menarche ≥ 12 tahun ada sebanyak 38 orang (46,3%). Oleh karena itu, bagi

wanita disarankan untuk mengambil upaya pengendalian dan pencegahan untuk

mengurangi risiko kanker payudara dengan menerapkan gaya hidup sehat dan

mengurangi paparan estrogen melalui pola makan rendah lemak, serta deteksi dini

kanker payudara.

Menurut Anggorowati (2013) variabel usia menarche < 12 tahun

berpengaruh terhadap kejadian kanker payudara. Umur menstruasi <12 tahun


110

secara signifikan meningkatkan risiko kanker payudara. Persamaan dengan

penelitian di rumah singgah YKPI Jakarta oleh Yosali and Bintari (2019) dari 30

responden terdapat 23 (100%) wanita yang mengalami menarche ≤ 12 Tahun

mengalami kanker payudara, 0 (0%) wanita yang mengalami menarche ≤ 12

Tahun tidak mengalami kanker payudara, 5 (71,4%) wanita yang mengalami

menarche > 12 tahun mengalami kanker payudara, 2 (28,6%) wanita yang

mengalami menarche > 12 tahun tidak mengalami kanker payudara. Hasil uji

statistik di dapatkan nilai p value = 0,007 yang menunjukkan adanya hubungan

usia menarche dengan kejadian kanker payudara pada wanita usia 25-50 tahun.

Penelitian yang di lakukan oleh Ekawati (2018) Dari hasil uji Odds Ratio

diperoleh nilai OR = 3,1 dengan nilai lower limit (batas bawah) = 1,3 dan upper

limit (batas atas) = 7,5 pada interval kepercayaan (CI) = 95% tidak mencakup nilai

1 maka besar risiko tersebut bermakna. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa

wanita yang mengalami menstruasi pertama kali (menarche) pada usia < 12 tahun

memiliki risiko 3,1 kali untuk mengalami kanker payudara. Terpajan hormon

estrogen secara berlebihan dan kumulatif akan berpengaruh laju lintasan mitosis

dan apoptosis dengan mempengaruhi jaringan epitel, sehingga mengalami laju

proliferasi cepat yang dapat menyebabkan kesalahan genetika. Suatu perubahan

dalam bahan genetik sel payudara yang memancing sel payudara menjadi ganas

dalam hal ini menjadi penyebab adanya kanker payudara.

Menurut penelitian yang di lakukan Listyawardhani et al. (2018)

menemukan bahwa usia saat menarche memiliki hubungan yang signifikan


111

dengan kanker payudara pada wanita. Hasil analisis multivariat menunjukkan

bahwa usia menarche <12 tahun meningkatkan risiko terjadinya kanker payudara

(OR = 2.71; CI 95% = 1.06-6.96; p = 0.037).

Penelitian oleh Isnaini and Elpiana (2017) Hasil uji statistik diperoleh p-

value = 0 ,000 yang berarti p<α = 0,05 (Ho ditolak dan Ha diterima), maka dapat

disimpulkan bahwa ada keterkaitan usia menarche dengan kejadian kanker

payudara di Rumah Sakit Umum Daerah Abdoel Moeloek Bandar Lampung tahun

2015. Dengan nilai OR 3,110 berarti responden dengan menarche beresiko

memiliki peluang 3,110 kali lebih besar terkena kanker payudara jika

dibandingkan dengan responden dengan menarche yang tidak berisiko.

Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Priyatin et al. (2013) Usia

menarche dini (< 12 tahun) memiliki nilai Odds Ratio sebesar 2,638 atau >1

sehingga usia menarche dini dapat meningkatkan risiko kejadian kanker payudara

sebesar 2,638 kali lebih tinggi dibandingkan dengan wanita usia subur yang tidak

mengalami menarche dini. Hasil penelitian oleh Fransiska and Yulia (2017)

menyebutkan usia menarche < 12 tahun lebih banyak pada kelompok kasus

(81,0%) dibandingkan kelompok kontrol (33,3%). Hasil uji statistik didapatkan p

value (p< 0,05), artinya ada hubungan yang bermakna antara usia menarche

dengan kanker payudara.

Hal yang sama diperoleh dari penelitian Hasnita et al. (2019) Hasil

penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara usia

menarche dengan kanker payudara dengan nilai p < 0,001 dimana penderita
112

kanker payudara sebagian besar mengalami usia menarche < 12 tahun sehingga

memiliki prognosis yang lebih buruk. Demikian juga penelitian oleh Agnessia et

al. (2015) menyebutkan adanya keterkaitan faktor usia menarche terhadap risiko

kanker payudara dengan nilai OR= 6,25 (95%CI= 2,33-16,75).

Penelitian yang di lakukan pada wanita morocco oleh Laamiri et al. (2015)

menunjukkan nilai OR = 1.66 ;CI 95%: 1.196; 2.303 yang berarti wanita dengan

usia menarche dini lebih rentan terkena kanker payudara. Hipotesis ini konsisten

dengan tingginya kadar estrogen pascamenstruasi yang diamati pada wanita

dengan menstruasi lebih awal.

Menarche usia dini atau menstruasi pertama pada usia yang relatif muda

berhubungan dengan peningkatan risiko kanker. Teori tersebut dibuktikan dengan

hasil penelitian, seperti hasil penelitian Dewi and Hendrati (2015) yang

menunjukkan hasil analisis dengan nilai p < 0,05 (p = 0,031) yang berarti terdapat

hubungan yang bermakna antara usia menarche dengan kejadian kanker payudara

pada perempuan di RSUD Dr Soetomo tahun 2013. Nilai Odds Ratio sebesar

3,492 (CI 95%; 1,118-10,911) yang berarti bahwa perempuan yang mengalami

menstruasi pertama kali (menarche) pada usia < 12 tahun berisiko terkena kanker

payudara 3,492 kali lebih besar dibandingkan dengan perempuan yang mengalami

menstruasi pertama kali (menarche) pada usia ≥ 12 tahun.

Hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang di lakukan oleh Hermawan

and Djamaludin (2016) bahwa diperoleh hasil dari uji statistik nilai p-value =

0,480 yang berarti Ho gagal ditolak, maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada
113

hubungan menstruasi dini dengan kejadian kanker payudara di Ruang Mawar

RSUD Dr. H. Abdul Moeloek tahun 2016. Dalam penelitian ini tidak

membuktikan hubungan menstruasi dini (menarche) dengan kejadian kanker

payudara.

Menurut pendapat dari peneliti, adanya perbedaan dari hasil yang

diperoleh dari penelitian literatur yang menyatakan wanita yang mengalami

menstruasi dini (menarche) <12 tahun memiliki risiko lebih besar dibandingkan

dengan wanita yang mengalami menstruasi di usia > 12 tahun. Hal ini dapat

terjadi disebabkan oleh karena adanya faktor penyebab lain yaitu faktor dari pola

gaya hidup dan riwayat penyakit lain yang di alami oleh responden. Demikian

juga dengan penelitian Prasetyowati and Katharina (2017) melaporkan tidak ada

hubungan yang bermakna antara usia menarche dengan nilai p value = 1,000

dengan kejadian kanker payudara di RSUD. Dr. H. Abdul Moeloek provinsi

lampung.

Usia menarche seorang wanita dapat disebabkan oleh banyak faktor, yaitu

faktor genetik yang dapat memicu terjadinya menarche, faktor lingkungan dan

faktor gaya hidup. Seorang wanita yang mengalami menarche dapat melahirkan

seorang anak perempuan, dan dia juga mengalami menarche. Karena kondisi

sosial ekonomi yang kompleks, wanita yang tinggal di perkotaan juga memiliki

risiko menarche dini yang lebih tinggi daripada wanita yang tinggal di pedesaan

(Dewi & Hendrati, 2015).


114

Menarche dini adalah menstruasi pertama yang dialami seorang wanita

usia < 12 tahun. Menarche dini yang terjadi sebelum usia 12 tahun dikarenakan

pubertas dini dimana hormon gonadotropin diproduksi sebelum anak usia 8 tahun.

Hormon ini merangsang ovarium yang memberikan ciri-ciri kelamin sekunder,

disamping itu, hormon gonadotropin juga akan mempercepat terjadinya

menstruasi dini dan fungsi dari organ reproduksi itu sendiri. Kondisi ini akan

mengakibatkan produksi hormon estrogen lebih banyak dibanding wanita lain

pada umumnya yang menyebabkan masalah kesehatan seperti meningkatnya

risiko terkena kanker payudara (Fransiska & Yulia, 2017).

Apabila seseorang mengalami menstruasi di usia lebih awal (menarche)

(<12 tahun) maka akan memiliki peningkatan terhadap risiko terkena kanker

payudara, karena seorang wanita yang mengalami masa pubertas yang semakin

cepat maka waktu terpaparnya jaringan pada payudaranya oleh karena unsur-

unsur bahaya seperti bahan kimia, estrogen ataupun radiasi yang menyebabkan

kanker yang berpengaruh terhadap proses proliferasi jaringan termasuk jaringan

yang ada pada payudara (Sukmayenti & Sari, 2018).

Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa wanita yang

mengalami usia menarche yang < 12 tahun memiliki risiko yang lebih besar

terkena kanker payudara. Oleh karena itu wanita hendaknya menjaga pola hidup

menjadi polah hidup yang lebih sehat dengan mengkonsumsi makan yang

mengandung gizi seimbang serta aktifitas fisik dengan rajin berolahraga sehingga

terjadinya usia menarche dini dapat di minimalisir. Bagi Wanita yang mengalami
115

usia menarche dini sebaiknya rutin melakukan pemeriksaan SADARI (periksa

payudara Sendiri) satu minggu setelah menstruasi(Ekawati, 2018).

Semakin tua usia seorang wanita maka semakin lama terpapar estrogen,

terutama jika ia mendapatkan menarche pada usia dini, karena usia menarche

berpengaruh pada risiko kanker payudara, oleh sebab itu semua wanita yang telah

mendapatkan menarche sebaiknya melakukan pemeriksaan SADARI secara rutin

setiap bulan untuk mendeteksi secara dini adanya kelainan-kelainan pada

payudara, terutama bagi wanita yang mendapatkan menarche di usia <12 tahun

karena mengingat terdapat banyak kasus kanker payudara yang terdeteksi pada

stadium lanjut yang berisiko lebih besar terkena kanker payudara. Selain

pemeriksaan SADARI, wanita juga dapat melakukan pemeriksaan mammografi

untuk deteksi dini, pemeriksaan ke tenaga medis jika merasa ada kelainan pada

payudara dan mengubah pola hidup menjadi pola hidup sehat dengan

mengonsumsi makanan yang mengandung gizi seimbang (Prasetyowati &

Katharina, 2017).

Menurut pendapat peneliti, perbedaan hasil dari beberapa penelitian ini

terjadi karena adanya perbedaan pada karakteristik responden yang memiliki gaya

hidup dan riwayat lainya yang berbeda, sehingga kejadian kanker payudara dalam

beberapa penelitian ini kemungkinan disebabkan oleh faktor-faktor yang lainya.

Salah satunya adalah gaya hidup dengan mengkonsumsi makanan yang tinggi

lemak atau menggunakan bahan-bahan kimia (penyedap rasa), sehingga kejadian


116

kanker payudara di beberapa penelitian menunjukan hasil yang berbeda yang di

sebabkan oleh faktor lain.

4.2.2 Keterkaitan faktor menopause terhadap risiko terjadinya kanker

payudara pada wanita

Beberapa studi menyebutkan adanya keterkaitan antara faktor menopause

terhadap peningkatan risiko kejadian kanker payudara. Penelitian yang dilakukan

N. I. Y. Sari et al. (2019) menyebutkan bahwa didapatkan pengaruh positif

menopause dengan kejadian kanker payudara dengan nilai b=0,17, p=0,001 yang

dianggap signifikan. Menurut hasil penelitian Laamiri et al. (2015) yang

menyatakan lambat usia menopause > 55 tahun memiliki hubungan dengan kasus

kanker payudara dengan nilai Odds Ratio = 2,360 ; 95% CI = 1.911 ; 2,914 hal ini

di duga disebabkan oleh produksi hormon di ovarium yang terlalu lama pada

wanita yang mengalami menopause lambat.

Hasil penelitian yang dilakukan kepada wanita di China oleh Lee et al.

(2014) menyebutkan OR=1,28 (1,00-1,64) yang berarti di antara wanita China,

menopause terlambat dikaitkan dengan peningkatan risiko kanker payudara.

Hasil penelitian ini di dukung oleh hasil penelitian Anggorowati (2013)

yang menyebutkan menopause > 42 tahun terdapat hubungan yang signifikan

dengan kasus kanker payudara, hal ini karena menstruasi lebih awal dan

menopause terlambat yang ada kaitanya dengan lamanya paparan estrogen dan

progesterone pada wanita yang berpengaruh pada proses proliferasi jaringan di

payudara.
117

Paparan estrogen baik secara eksogen dengan TSH maupun secara

endogen seperti telambat menopause bisa meningkatkan paparan estrogen lebih

lama pada tubuh wanita, yang menyebabkan kanker payudara. Selain itu, juga

dapat meningkat jika wanita menopause mengalami BMI yang melebihi batas

normal, maka jaringan adiposa dalam lemak tubuh akan mengubah androgen

menjadi estrogen (Suparman & Suparman, 2014).

Peneltian lain yang sejalan dengan penelitian tersebut, oleh

Listyawardhani et al. (2018) penderita dengan usia saat menopause < 55 tahun

lebih mungkin terkena kanker payudara dari pada usia menopause > 55 tahun

dengan nilai OR = 1,07; 95% CI = 0,82-6,30 ; p= 0,001 yang menyatakan usia

wanita saat masuk menopause berpengaruh pada kasus kanker payudara, hal ini

disebabkan semakin lama seorang wanita memasuki masa menopause, semakin

lama tubuh akan terpapar hormon estrogen. Kadar hormon estrogen dan

progesteron yang tinggi akan memicu perkembangan dan perubahan kelenjar

payudara yang memiliki berbagai reseptor hormon. Paparan estrogen akan

meningkatkan faktor proliferasi sel dan jika tidak dikontrol secara biologis akan

meningkat berkembang menjadi kanker mengikuti tahapannya.

Hal ini tidak sejalan dengan penelitian oleh Hasnita et al. (2019)

menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara usia menopause

dengan kanker payudara dengan nilai p=0,150 (p>0,05) dan nilai OR= 1,45

artinya responden dengan usia menopause postmenopause mempunyai peluang

1,45 kali berisiko terkena kanker payudara dibandingkan responden dengan usia

menopause premenopause.
118

Perbedaan hasil penelitian disebabkan karena kemungkinan terdapat pada

faktor gizi yang tidak seimbang. Pada penelitian pada variabel usia terdapat

perbedaan antara kejadian kanker payudara di Kota Padang dengan negara Barat.

Onset wanita di Kota Padang biasanya terjadi pada usia yang lebih muda dengan

insiden cenderung menurun diatas usia 50 tahun, sedangkan negara Barat

cenderung meningkat pada usia diatas 50 tahun memasuki usia menopause.

4.2.3 Keterkaitan faktor paritas terhadap risiko terjadinya kanker

payudara pada wanita

Dari beberapa studi sebelumnya menyebutkan adanya keterkaitan antara

faktor paritas terhadap risiko terjadinya kanker payudara dan ada yang

menyatakan tidak ada hubungan paritas dengan kejadian kanker payudara.

Penelitian yang dilakukan oleh Ardiana and Negara (2013) menunjukkan bahwa

terdapat hubungan yang signifikan (p<0.05) antara paritas dengan kejadian kanker

payudara, paritas 1−2 memiliki risiko terjadinya kanker payudara sebesar 8,0 dan

paritas 3−4 adalah 2,18 jika dibandingkan dengan paritas >4. Selanjutnya hasil

analisis multivariat dengan regresi logistik menunjukkan faktor paritas paling

bermakna terhadap terjadinya kanker payudara dengan besar OR=6,38 (95%CI).

Hal yang sama didapatkan dari penelitian N. I. Y. Sari et al. (2019) yang

menunjukkan nilai b = 0,08, p = 0,031 yang berarti bahwa terdapat pengaruh

positif dari paritas terhadap kanker payudara.


119

Penelitian oleh Anggorowati (2013) dengan nilai p=0,00; OR=4,99;

CI=1,90-13,87, menyebutkan bahwa usia melahirkan anak pertama di atas 30

tahun dapat meningkatkan risiko perkembangan kejadian kanker payudara. Hal ini

dikarenakan periode diantara usia menarche dan usia kehamilan pertama terjadi

ketidakseimbangan hormon dan jaringan payudara sangat peka terhadap hal

tersebut, sehingga periode ini merupakan permulaan dari perkembangan kanker

payudara.

Penelitian lain yang sama pada penelitian di China oleh Lee et al. (2014)

dengan nilai OR=1,03 (0,79-1,35) yang berarti terdapat adanya hubungan antara

paritas dengan risiko terkena kanker payudara pada wanita di China. Penelitian ini

sejalan dengan penelitian terdahulu oleh Priyatin et al. (2013) Hasil analisis

statistik didapatkan nilai OR = 4,353 dan CI 95% = 0,463 – 40,898. Hasil analisis

tersebut menunjukkan bahwa OR > 1 = 4,353 yang dapat mempertinggi risiko, hal

ini berarti paritas berisiko mempertinggi kejadian kanker payudara. Besar CI batas

bawah 0,463 dan batas atas 40,898. Semakin kuat dugaan paritas berisiko

merupakan faktor risiko terjadinya kanker payudara. Wanita usia subur dengan

paritas berisiko (nulipara) memiliki risiko 4,353 kali lebih tinggi untuk mengalami

kanker payudara. Hal ini disebabkan karena wanita nullipara tidak pernah

menyusui, karena wanita yang menyusui kadar esterogen dan progesterone akan

tetap rendah selama menyusui sehingga mengurangi pengaruh hormon tersebut

terhadap proses poliferasi jaringan termasuk jaringan payudara.


120

Wanita hamil yang lebih tua mengalami lebih banyak siklus menstruasi

sebelum hamil. Selama setiap siklus menstruasi, lobus anterior hipofisis

melepaskan FSH (Follicle Stimulating Hormone), yang menyebabkan beberapa

folikel primer yang mungkin berkembang di ovarium. Biasanya satu folikel atau

bahkan lebih dari satu folikel berkembang menjadi folikel De Graff untuk

menghasilkan estrogen (Priyatin et al., 2013).

Siklus menstruasi akan menyebabkan beberapa perubahan pada jaringan

payudara akibat adanya hormon estrogen. Perubahan tersebut akan menyebabkan

beberapa kelainan pada proses regenerasi sel. Ini akan meningkatkan

kemungkinan terkena kanker payudara, dan wanita yang hamil di usia muda

memiliki siklus menstruasi yang lebih sedikit. Selain itu, karena rangsangan

pematangan sel payudara yang disebabkan oleh kehamilan, kehamilan pertama

pada usia > 35 tahun atau tidak pernah hamil dapat meningkatkan risiko kanker

payudara, yang membuat sel lebih sensitif terhadap perubahan tumor kearah

keganasan. Peningkatan risiko kanker payudara mungkin terkait dengan siklus

menstruasi selama ovulasi, dan mungkin terkait dengan paparan estrogen endogen

jika tidak ada konsentrasi progesteron serum yang cukup kuat. Kehamilan yang

lebih muda dapat mencegah dediferensiasi sel, dan kehamilan pertama yang

berusia lebih dari 35 tahun atau tidak pernah hamil bertindak sebagai promotor

tumor untuk sel-sel saluran payudara yang telah mengalami transformasi kearah

keganasan (Priyatin et al., 2013)


121

Ibu yang melahirkan anak pertama berusia > 30 tahun beresiko terkena

kanker payudara dikarenakan pada saat seorang ibu mengalami kehamilan

hormon progesteron akan menekan pertumbuhan hormon estrogen sehingga akan

mengurangi pengaruh hormon estrogen terhadap proliferasi jaringan payudara.

Pada usia >30 tahun hormon estrogen mengalami pertumbuhan yang sangat

produktif, sehingga dikhawatirkan pada saat wanita belum mengalmi kehamilan

ataupun melahirkan di usia >30 maka keterpaparan hormon esterogen semakin

berlebih dan dapat meningkatkan risiko kanker payudara (Agnessia et al., 2015).

Nuliparitas (wanita yang belum melahirkan) dan kehamilan pertama pada

umur tua (kehamilan pertama > 30 tahun) menjadi risiko terjadinya kanker

payudara karena adanya hormon yang memicu pertumbuhan sel. Kadar hormon

yang tinggi selama masa reproduktif wanita, terutama jika tidak diselingi oleh

perubahan hormonal karena kehamilan, tampaknya akan meningkatkan peluang

tumbuhnya sel-sel yang secara genetik telah mengalami kerusakan dan

menyebabkan kanker (Al-Insyirah, 2016).

Menurut asumsi dari peneliti, nulliparitas dan usia saat melahirkan anak

pertama > 30 tahun merupakan faktor risiko yang dapat meningkatkan terjadinya

kanker payudara. Tetapi dalam penelitian ini tidak terdapat keterkaitan antara usia

saat melahirkan anak pertama dengan kejadian kanker payudara. Hal ini mungkin

disebabkan pada saat ini risiko kanker payudara sudah tidak lagi pada wanita yang

usia melahirkan anak pertamanya diatas 30 tahun lagi tapi juga menjadi risiko

pada wanita yang melahirkan anak pertama > 25 tahun. Hal ini dapat dilihat dari
122

hasil penelitian pada pasien kanker payudara lebih banyak terjadi pada wanita

yang melahirkan anak pertamanya <30 tahun.

Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Sukmayenti and Sari (2018) dengan hasil uji statistik diketahui nilai p > 0,05

(0,476) dan Odds Ratio 0,4, Berarti tidak ada keterkaitan antara paritas dengan

kejadian kanker payudara, dimana responden hanya mempunyai kecenderungan

0,4 kali terkena kanker payudara dibanding responden dengan paritas tidak

berisiko.

Perbedaan penelitian terletak pada rata-rata responden memiliki anak >2

orang dan menyusui >1 tahun sehingga akan menurunkan risiko terkena kanker

payudara, karena wanita yang menyusui memiliki kadar estrogen dan progesteron

yang rendah sehingga dapat mengurangi pengaruh hormon terhadap proliferasi

jaringan termasuk pada jaringan payudara.

Hasil yang sama dikemukaan oleh penelitian di maroko yang dilakukan

oleh Laamiri et al. (2015) bahwa usia dini pada kehamilan pertama, multiparitas

dan menyusui dikaitkan secara negatif dengan kanker payudara yang

menunjukkan efek perlindungan dari faktor-faktor ini untuk kanker

payudara. Suatu peran pelindung multiparitas konsisten dengan data dalam

literatur yang menganggap multiparitas sebagai suatu faktor pelindung dalam

karsinogenesis payudara.

Paritas merupakan efek perlindungan jangka panjang terhadap risiko

terkena kanker payudara. Kehamilan menyebabkan diferensiasi yang dipercepat


123

dari jaringan payudara dan proliferasi epitel payudara yang cepat. Perubahan yang

dimulai selama kehamilan pertama, terutama jika terjadi lebih awal, ditingkatkan

dengan setiap kehamilan berikutnya, dan perkembangan kanker payudara terkait

dengan tingkat proliferasi sel epitel payudara dan berbanding terbalik dengan

derajat diferensiasinya. Peran protektif paritas meningkat secara proporsional

dengan jumlah anak dan usia dini pada kelahiran pertama. Dengan demikian,

kehamilan pertama < 30 tahun menurunkan risiko sebesar 25% dibandingkan

wanita yang tidak pernah melahirkan anak (Laamiri et al., 2015)

Efek dari paritas terhadap jumlah risiko kanker payudara telah lama

diteliti. Dalam suatu studi meta-analisis, dilaporkan bahwa wanita yang

melahirkan sekali mempunyai risiko 30% berkembang menjadi penyakit kanker

dibandingkan dengan wanita yang multipara (yang melahirkan lebih dari sekali)

(Sukmayenti & Sari, 2018).

Paritas yang dimaksud adalah berapa jumlah anak dari responden.

Terdapat 2 kelompok kategori dalam paritas, yaitu tidak memiliki anak (nullipara)

atau punya satu anak (primipara) dan mempunyai anak lebih dari 2 (multipara).

Wanita yang tidak mempunyai anak berarti tidak pernah menyusui, sementara

wanita yang menyusui kadar estrogen dan progesterone akan tetap rendah selama

menyusui sehingga mengurangi pengaruh hormon tersebut terhadap proliferasi

jaringan termasuk jaringan pada payudara. Berdasarkan hasil dari penelitian

terdapat responden yang memiliki usia berisiko namun belum menikah dan ada

yang tidak memiliki anak.


124

Perbedaan dari hasil penelitian ini terjadi karena perbedaan kriteria

responden yang diambil, sehingga kejadian kanker payudara dalam penelitian ini

kemungkinan disebabkan oleh faktor lain selain paritas seperti responden

menyusui anaknya sehingga mengurangi paparan hormon estrogen dalam tubuh

responden.

4.2.4 Keterkaitan faktor laktasi terhadap risiko terjadinya kanker

payudara pada wanita

Beberapa penelitian menunjukkan hasil adanya keterkaitan antara faktor

laktasi terhadap risiko terjadinya kanker payudara. Menurut Sukmayenti and Sari

(2018) menunjukkan adanya keterkaitan riwayat laktasi dengan kejadian kanker

payudara, dimana responden dengan Riwayat laktasi berisiko mempunyai

kecenderungan 5,6 kali terkena kanker payudara dibandingkan responden dengan

Riwayat menyusui tidak berisiko.

Penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Ardiana and

Negara (2013) Ibu yang tidak menyusui mempunyai hubungan yang bermakna

(p<0.05) dengan kejadian kanker payudara, dengan risiko sebesar 5,06 kali jika

dibandingkan dengan ibu yang menyusui. Hasil analisis multivariat dengan regresi

logistik ganda menunjukkan bahwa ibu yang tidak menyusui memberikan hasil

yang bermakna terhadap terjadinya kanker payudara dengan besar OR=4,24

(95%CI).

Menurut Prasetyowati and Katharina (2017) didapatkan hasil ada

hubungan yang bermakna antara tidak menyusui/ menyusui (laktasi) kurang dari 2
125

tahun dengan kejadian kanker payudara pada wanita di RSUD. Dr. H. Abdul

Moeloek Provinsi Lampung ( p value = 0,040) dan OR = 2,912, artinya wanita

yang tidak menyusui/ menyusui kurang dari 2 tahun mempunyai resiko 2,912 kali

untuk mengalami kanker payudara dibanding wanita yang menyusui.

Penelitian oleh Ekawati (2018) juga menyebutkan adanya hubungan antara

laktasi (tidak menyusui) dengan risiko terkena kanker payudara dengan nilai

OR=4,636; 95%; CI: 1,877-11,454. Riwayat menyusui berisiko sebesar 4,6 kali

mengalami kanker payudara di rumah sakit umum di Bahteramas. Sama dengan

penelitian oleh Munawarah (2018) dengan uji chi square menghasilkan hubungan

signifikan antara pemberian ASI dan kejadian kanker payudara (p-value 0,000 <

0,05).

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan

Agnessia et al. (2015) Berdasarkan hasil uji statistik menggunakan chi square

diperoleh nilai p=0,001 yang berarti p < 0,05 menunjukkan bahwa ada hubungan

bermakna antara riwayat menyusui dengan kejadian kanker payudara di Rumah

Sakit Umum Daerah Pringsewu Tahun 2014, dengan derajat keeratan OR = 6,6

yang berarti bahwa ibu yang tidak memberikan ASI mempunyai risiko 6,6 kali

lebih besar mengalami kanker payudara dibandingkan ibu yang memberikan ASI.

Menurut Anggorowati (2013) dengan nilai p=0,00; OR=5,49; CI=2,05-

14,74, yang berarti bahwa risiko wanita yang tidak menyusui akan lebih besar

terserang kanker. Kondisi ini dipengaruhi oleh mekanisme hormonal. Hal yang

sama dikemukaan oleh Priyatin et al. (2013) yang menunjukkan bahwa riwayat
126

menyusui berisiko (tidak menyusui) memiliki nilai Odds Ratio sebesar 2,118 atau

>1 yang artinya meningkatkan risiko kanker payudara. Wanita yang tidak pernah

menyusui akan memiliki risiko 2,118 kali lebih tinggi untuk mengalami kanker

payudara dibandingkan wanita yang pernah menyusui.

Demikian juga dengan penelitian oleh Laamiri et al. (2015) yang

menyebutkan bahwa laktasi dikaitkan secara negatif terhadap risiko terjadinya

kanker payudara yang menunjukkan efek perlindungan. Pengaruh menyusui

terhadap risiko kanker payudara telah menjadi bahan pembicaraan dari beberapa

penelitian dan hasilnya kontroversial. Wanita yang menyusui setidaknya selama

25 bulan mengurangi risiko 33%, dibandingkan dengan mereka yang tidak pernah

menyusui. Risiko kanker payudara berkurang lebih banyak dari 4% untuk setiap

periode menyusui 12 bulan, dan penurunan risiko ini lebih tinggi pada wanita

muda dibandingkan di antara wanita yang lebih tua. Dengan demikian, efek

perlindungan menyusui meningkat seiring dengan durasi menyusui. Hubungan

terbalik antara menyusui dan risiko kanker payudara dapat dijelaskan sebagai

berikut melalui mekanisme biologis:

- Laktasi dapat menekan terjadinya dan perkembangan kanker payudara,

dengan mengurangi kadar estrogen dan meningkatkan produksi

prolaktin, yang seharusnya mengurangi paparan kumulatif estrogen

pada wanita.

- Di sisi lain telah terbukti bahwa tingkat estrogen dalam darah wanita

menyusui secara bertahap meningkat dari kelahiran terakhir dan


127

berlanjut selama beberapa tahun sebelum mencapai tingkat yang

tercatat pada wanita nullipara.

- Ph susu dari payudara wanita yang belum menyusui meningkat secara

signifikan dibandingkan dengan yang berasal dari payudara wanita

yang telah menyusui. Selama menyusui, susu bersifat asam. Sel epitel,

dalam file lingkungan basa, mengalami perubahan seperti hiperplasia,

atipia, dan peningkatan aktivitas mitosis.

- Akhirnya, efek perlindungan menyusui karena perannya dalam

pergeseran pemulihan ovulasi (faktor risiko).

Menyusui tidak melindungi wanita dari kanker payudara tetapi menyusui

dapat mempengaruhi tingkat estrogen dalam tubuh wanita, yang mana hormon

estrogen pada wanita adalah bahan utama penyebab kanker payudara. Menyusui

dapat menurunkan kadar estrogen, karena itu risiko seorang wanita menderita

kanker payudara akan menurun setiap kali wanita hamil dan menyusui. Menyusui

akan menekan siklus menstruasi, menyusui dapat menyebabkan perubahan sel

payudara yang membuat sel wanita lebih tahan terhadap mutasi sel terkait kanker

(Priyatin et al., 2013).

Waktu menyusui yang lebih lama mempunyai efek yang positif dalam

menurunkan risiko kanker payudara dimana terjadi penurunan kadar hormon

estrogen dan pengeluaran bahan-bahan pemicu kanker selama proses menyusui,

semakin lama waktu menyusui semakin besar efek perlindungan terhadap kanker

payudara yang ada. Oleh karena itu risiko kanker payudara akan menurun jika
128

perempuan sering menyusui dan dalam jangka waktu yang lama atau 2 tahun

(Sukmayenti & Sari, 2018).

Mekanisme pemberian ASI terhadap penurunan kejadian kanker ini

disebabkan oleh hormon. Laktasi dimulai ketika hormon progestron menurun

secara tiba-tiba setelah persalinan. Kadar prolaktin juga menurun dengan cepat

pada saat postpartum tetapi akan dirangsang kembali pada setiap tahap menyusui

dan dengan demikian menjamin laktasi yang berkelanjutan. Laktasi berangsur-

angsur akan berkurang jika pengisapan puting dihentikan. Pengisapan puting juga

mengakibatkan pelepasan oksitosin dari hipofisis posterior. Oksitosin merangsang

kontraksi sehingga merangsang ASI untuk keluar dari dalam kelenjar payudara

Hormon oksitosin dan prolaktin ini mencegah naiknya hormon estrogen, yang

berpengaruh pada proliferasi sel sehingga meningkarkan risiko terkena kanker

payudara (Agnessia et al., 2015).

Dari beberapa penelitian diatas dapat disimpulkan, semakin sedikit waktu

dalam menyusui anak maka semakin besar juga risiko seseorang terkena kanker

payudara.

Perbedaan pada penelitian yang dilakukan oleh Laamiri et al. (2015) Rata-

rata responden memiliki anak >2 orang dan menyusui >1 tahun sehingga akan

menurunkan risiko terkena kanker payudara, karena wanita yang menyusui

memiliki kadar estrogen dan progesteron yang rendah sehingga dapat mengurangi

pengaruh hormon terhadap proliferasi jaringan termasuk pada jaringan payudara.


129

4.2.5 Keterkaitan faktor kontrasepsi hormonal terhadap risiko terjadinya

kanker payudara pada wanita

Beberapa studi menunjukkan hasil adanya keterkaitan faktor hormonal

terhadap risiko terjadinya kanker payudara. Menurut Al-Insyirah (2016), Dari

hasil analisis dengan menggunakan chi square, didapat hubungan yang bermakna

antara penggunaan kontrasepsi hormonal dengan kejadian kanker payudara (p

value = 0,008 < α = 0,05) dan nilai OR yang diperoleh dari hasil uji statistik 2,65

(95% CI = 1,34-5,24). Rata-rata responden menggunakan suntik KB dan lama

penggunaan kontrasepsi hormonal selama >4 tahun. Penelitian di New England

oleh Mørch et al. (2017) menunjukkan nilai p = 0,002 yang berarti Risiko kanker

payudara lebih tinggi pada wanita yang saat ini atau baru-baru ini menggunakan

kontrasepsi hormonal dibandingkan wanita yang tidak pernah menggunakan

kontrasepsi hormonal dan risiko ini meningkat dengan durasi penggunaan yang

lebih lama, namunpeningkatan absolut dalam risiko kecil.

Penelitian di Arab Saudi oleh Karim et al. (2015) dengan nilai OR =

0,297, 95% CI 0,158 -0,557, p = 0,001) yang berarti penggunaan kontrasepsi oral

dalam waktu lama (lebih dari 10 tahun) dapat dikaitkan dengan peningkatan risiko

kanker payudara pada wanita Arab Saudi.

Sama halnya dengan penelitian oleh Prasetyowati and Katharina (2017)

Hasil uji chi square didapatkan p value = 0,03, artinya bahwa ada hubungan yang

bermakna antara penggunaan kontrasepsi hormonal dengan kejadian kanker

payudara pada wanita di RSUD. Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung. Dari
130

hasil analisis diperoleh nilai OR=3,321, artinya wanita yang menggunakan

kontrasepsi hormonal mempunyai resiko 3,321 kali untuk mengalami kanker

payudara dibanding wanita yang tidak menggunakan kontrasepsi hormonal.

Penelitian di Afrika oleh Urban et al. (2012) Risiko kanker payudara

meningkat secara signifikan (OR 1,66,95% CI 1,28-2,16, p = 0,001) pada wanita

yang pernah menggunakan keduanya kontrasepsi oral maupun suntik dalam 10

tahun sebelumnya dan tidak berbeda secara signifikan (OR 1,11, 0,91-1,36, p =

0,3) pada mereka yang berhenti menggunakan dalam 10 tahun sebelumnya,

dibandingkan dengan wanita yang pernah tidak pernah menggunakan kontrasepsi

hormonal. Tidak ada perbedaan risiko yang signifikan antara pengguna

kontrasepsi oral secara eksklusif, pengguna kontrasepsi suntik secara eksklusif,

dan pengguna keduanya dalam 10 tahun terakhir, dengan OR 1,57 (1,03–2,40),

1,83 (1,31–2,55), dan 1,50 (1,04–2,17), masing-masing (p [heterogenitas] =

0,6). Pada wanita yang pernah menggunakan salah satu atau keduanya, risiko

tinggi ini menurun secara signifikan dengan meningkatkan waktu sejak

penggunaan terakhir kontrasepsi hormonal (p = 0,004) tetapi tidak secara

signifikan berhubungan dengan durasi penggunaan (p = 0,4).

Menurut Fransiska and Yulia (2017) dengan hasil uji statistik didapatkan

nilai p value (p< 0,05) artinya terdapat hubungan bermakna antara penggunaan

KB hormonal dengan kanker payudara. Kontrasepsi hormonal merupakan hormon

progesteron atau kombinasi estrogen dan progesteron, prinsipnya mencegah

pengeluaran sel telur dari kandung telur. Mengentalkan cairan di leher rahim
131

sehingga sulit ditembus sperma, membuat lapisan dalam rahim menjadi tipis dan

tidak layak untuk tumbuh hasil konsepsi, sehingga sel telur berjalan lambat dan

mengganggu waktu pertemuan sperma dan sel telur. Adanya hubungan bermakna

antara penggunaan KB hormonal dengan kejadian kanker payudara, hal ini

disebabkan karena hormon estrogen dan progesteron yang terkandung dalam

kontrasepsi tersebut dapat menyebabkan mutasi sel saat pembelahan menjadi

meningkat, dan hormon estrogen dan progesteron juga dapat merangsang

pertumbuhan sel-sel kanker di payudara.

Menurut penelitian oleh Nasution et al. (2018) Pemakaian kontrasepsi

hormonal dengan nilai OR = 8,169 (3,266- 20,431) yang berarti terdapat pengaruh

yang signifikan terhadap kejadian kanker payudara.

Penelitian yang sama dilakukan oleh Hermawan and Djamaludin (2016)

menyebutkan hubungan penggunaan alat kontrasepsi dengan kejadian kanker

payudara dengan hasil uji statistik diperoleh p-value = 0,010 yang berarti Ho

ditolak, maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan penggunaan alat

kontarasepsi hormonal dengan kejadian kanker payudara di Ruang Mawar RSUD

Dr. H. Abdul Moeloek tahun 2016. Dengan nilai OR = 4,327 (Lower 1.481 dan

Upper 12.647) berarti responden dengan penggunaan alat kontrasepsi hormonal

memiliki resiko 4,327 kali lebih besar terkena kanker payudara jika

dibandingakan dengan responden dengan penggunaan alat kontrasepsi non

hormonal.
132

Penelitian oleh Nissa et al. (2017) menyebutkan bahwa terdapat hubungan

antara penggunaan kontrasepsi hormonal, jenis kontrasepsi hormonal dan lama

penggunaan kontrasepsi hormonal dengan kejadian kanker payudara di RSUD Al-

Ihsan Bandung.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Agnessia et al. (2015) dari hasil uji statistik menggunakan chi square diperoleh

nilai p=0,008 yang berarti p< 0,05 menunjukkan bahwa ada hubungan bermakna

antara penggunaan kontrasepsi hormonal dengan kejadian kanker payudara di

Rumah Sakit Umum Daerah Pringsewu Tahun 2014. Nilai OR sebesar 3,75 yang

berarti bahwa ibu menggunakan kontrasepsi hormonal mempunyai risiko

mengalami kanker payudara 3,7 kali lebih besar dibandingkan wanita tidak

menggunakan kontrasepsi hormonal.

Menurut Hasnita et al. (2019) menunjukkan bahwa ada hubungan yang

signiifikan antara lama penggunaan kontrasepsi pil dengan kanker payudara

dengan nilai p=0,05 (p<0,05) dan nilai OR=3,16 artinya responden dengan lama

penggunaan kontrasepsi pil ≥5 tahun mempunyai peluang 3,16 kali beresiko

terkena kanker payudara dibandingkan responden dengan lama penggunaan

kontrasepsi pil < 5 tahun.

Hal yang sama oleh Laamiri et al. (2015) Kontrasepsi Oral (>6 tahun),

nilai OR= 1,252; 95% CI= 1,014-1,547; p<0,001 yang berarti ada keterkaitan

yang positif terhadap risiko kanker payudara. Penelitian lain yang serupa

dilakukan oleh Ekawati (2018) yang menyebutkan bahwa Kontrasepsi Hormonal


133

berisiko sebesar 5,5 kali mengalami kejadian kanker payudara di Rumah Sakit

Umum Bahteramas.

Demikian juga penelitian oleh N. I. Y. Sari et al. (2019) dengan nilai b =

0,11, p = 0,014 yang berarti terdapat keterkaitan yang signifikan antara faktor

kontrasepsi hormonal terhadap risiko kanker payudara. Sama juga pada penelitian

oleh Setiowati et al. (2016) Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa memakai KB

hormonal berisiko 2,990 kali lebih besar terkena kanker payudara dibandingkan

yang tidak memakai KB hormonal dengan nilai p=0,001. Demikian juga

penelitian oleh Listyawardhani et al. (2018) dengan nilai OR = 3,25 ; 95% CI =

1,20-9,63; p = 0,003 yang berarti Penggunaan kontrasepsi hormonal ≥10 tahun

merupakan faktor risiko yang kuat dari kanker payudara. Wanita dengan

penggunakan kontrasepsi hormonal ≥ 10 tahun lebih mungkin terkena kanker

payudara dibandingkan wanita dengan penggunaan kontrasepsi hormonal <10

tahun. Semakin lama menggunakan kontrasepsi hormonal akan memberikan efek

terhadap peningkatan risiko kanker payudara. Perempuan yang menggunakan

kontrasepsi hormonal < 10 tahun berisiko lebih rendah dibandingkan wanita yang

tidak pernah menggunakan kontrasepsi hormonal.

Hal ini tidak sejalan dengan penelitian oleh Priyatin et al. (2013)

menunjukkan hasil analisis statistik dengan didapatkan nilai OR = 0,513 dan CI

95% = 0,201 – 1,306. Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa OR < 1 = 0,513

yang dapat mengurangi risiko, hal ini berarti lama penggunaan kontrasepsi
134

hormonal berisiko mengurangi risiko kejadian kanker payudara. Besar interval

kepercayaan batas bawah 0,201 dan batas atas 1,306.

Hal yang sama pada penelitian N. Sari and Afni Amran (2019) didapatkan

bahwa ibu premenopause yang pernah menggunakan kontrasepsi oral lebih

banyak ditemukan pada ibu premenopause kanker payudara (58,8%)

dibandinghkan ibu yang tidak kanker payudara (41,2%). Namun, hasil uji statistik

Chi Square menunjukkan tidak ada hubungan antara riwayat penggunaan

kontrasepsi oral dengan kejadian kanker payudara (p > 0,05). Pada penelitian ini

lebih banyak ditemukan ibu yang menggunakan kontrasepsi oral pada yang

kanker payudara dibandingkan ibu yang tidak kanker payudara. Tidak ada

hubungan yang bermakna antara riwayat penggunaan kontrasepsi oral dengan

kejadian kanker payudara, meskipun demikian 10 ibu premenopause kanker

payudara yang menggunakan kontrasepsi oral 5 orang diantaranya dengan riwayat

≥5 tahun dan 5 orang <5 tahun pemakaian kontrasepsi oral.

Menurut N. Sari and Afni Amran (2019) tentunya penggunaan kontrasepsi

hormonal merupakan salah satu faktor risiko terjadinya kanker payudara, karena

semakin lama seseorang terpapar dengan hormon steroid eksogen maka akan

semakin tinggi risiko kanker payudara. Kontrasepsi oral merupakan kontrasepsi

yang harus dikonsumsi setiap hari, dengan mengkonsumsi kontrasepsi oral setiap

hari tentunya akan menambah peredaran hormon alami yang ada dalam tubuh,

selain dari itu akibat dari kontrasepsi oral juga dapat mengacaukan hormon alami

yang ada dalam tubuh.


135

Demikian juga penelitian pada wanita Thailand oleh Poosari et al. (2014)

yang menyatakan tidak menemukan adanya hubungan antara penggunaan

kontrasepsi hormonal dan perkembangan selanjutnya terhadap kanker payudara.

Penting untuk diperhatikan bahwa wanita yang menggunakan kontrasepsi

hormonal memperlihatkan adanya peningkatan risiko kanker payudara, di-

bandingkan mereka yang tidak menggunakan. Namun kejadian kanker tidak

hanya disebabkan oleh penggunaan pil KB saja. Terdapat banyak faktor lainnya

yang berpengaruh antara lain obesitas, usia menstruasi yang terlalu dini, riwayat

kelainan pada payudara, riwayat kanker payudara dalam keluarga dan tidak aktif

secara fisik. Masih belum jelas apakah kontrasepsi oral berperan dalam dalam

terbentuknya kanker payudara (Priyatin et al., 2013).

Efek hormonal dari kontrasepsi oral pada payudara sangat kompleks. Pada

wanita premenopause, mekanisme pengontrolan estrogen diatur oleh hipofisis.

Yang kemudian mengatur pengeluaran estrogen pada ovarium dan hanya sebagian

kecil yang berasal dari organ lain. Kandungan estrogen dan progesteron pada

kontrasepsi akan memberikan efek proliferasi berlebih pada kelenjar payudara

Sedangkan pada wanita postmenopause, estrogen terutama dihasilkan dari

aromatisasi androgen adrenal dan ovarium pada jaringan ekstragonadal seperti

hepar, otot, dan jaringan lemak (Agnessia et al., 2015).

Kandungan estrogen dan progesteron pada kontrasepsi oral akan

memberikan efek proliferasi berlebih pada kelenjar payudara. Wanita yang


136

menggunakan kontrasepsi oral untuk waktu yang lama mempunyai risiko untuk

berkembang menjadi kanker payudara (Agnessia et al., 2015).

Konsumsi pil KB (Keluarga Berencana) atau KB suntik, implant yang

sifatnya hormonal dalam jangka waktu yang lama (hingga dua tahun) turut

memicu terjadinya kanker. Hal ini dikarenakan penggunaan hormonal yang lama

dapat mengacaukan keseimbangan hormon estrogen dalam tubuh sehingga

mengakibatkan terjadi perubahan sel yang normal menjadi tidak normal (Al-

Insyirah, 2016).

Wanita yang menggunakan kontrasepsi hormonal dalam waktu yang lama

yakni > 4 tahun mempunyai risiko tinggi untuk mengalami kanker payudara. Hal

ini disebabkan karena sel-sel atau saluran kelenjar payudara sangat sensitif

terhadap rangsangan hormonal terutama hormon estrogen yang mengakibatkan

terjadinya perubahan sel yang normal menjadi tidak normal sehingga memicu

pertumbuhan sel kanker payudara. Untuk itu, wanita yang menggunakan

kontrasepsi hormonal dianjurkan untuk beralih mengggunakan kontrasepsi non

hormonal agar dapat mengurangi risiko kanker payudara (Al-Insyirah, 2016).

Perbedaan penelitian dimungkinkan karena kurangnya konsistensi temuan

dulu dan sekarang yang sulit untuk dijelaskan tetapi mungkin karena perbedaan

antara populasi yang dipelajari, seperti keterkinian penggunaan kontrasepsi

hormonal, lama penggunaan kontrasepsi hormonal, riwayat keluarga, dan jumlah

kasus. Pada penelitian wanita di Thailand berasal dari wawancara pada kohort. Ini

memungkinkan menjadi batasan, karena mungkin beberapa wanita sudah mulai


137

berhenti menggunakan kontrasepsi hormonal. Dan analisis sub kelompok

menunjukkan bahwa HR untuk penggunaan hormon berbeda antara wanita yang

lebih muda dan lebih tua. Jumlah kasus kanker payudara yang kecil (n=70)

membatasi penelitian ini.

4.2.6 Keterkaitan faktor penggunaan hormon pascamenopause terhadap

risiko terjadinya kanker payudara pada wanita

Penelitian yang dilakukan oleh Laamiri et al. (2015) menyatakan

Hormone Replacement Therapy, dengan nilai OR= 1,256; 95%CI= 0,491-3,217;

p= 0,634 yang berarti tidak ada peningkatan risiko terhadap kanker payudara.

Hal ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Barrett-Connor

et al. (2005) menyebutkan ada peningkatan risiko terhadap kanker payudara

dengan nilai OR= 1,26; 95%CI=1.00-1,59. Demikian juga oleh Chen et al. (2002)

menunjukkan nilai OR = 1,52; 95% CI=1,01-2,29 yang berarti ada keterkaitan

dengan kejadian kanker payudara.

Hal yang sama dikemukaan oleh Fahlén et al. (2013) yang menyebutkan

bahwa ada peningkatan risiko terhadap kanker payudara dengan nilai HR = 3,6;

95% CI = 1,2-10,9; p = 0,013. Penelitian lain yang sama dilakukan oleh Ahmad

(2019) yang menunjukkan bahwa penggunaan hormone replacement therapy

dalam jangka waktu yang panjang perlu diawasi dengan ketat karena berisiko

untuk meningkatkan kejadian ductal carsinoma in situ.


138

Hal yang sama pada penelitian Suparman and Suparman (2014) Risiko

kanker payudara meningkat pada pemakaian TSH kombinasi selama 3-4 tahun.

Pada wanita yang membutuhkan TSH, maka penggunaan dengan dosis yang

serendah mungkin dan durasi yang sesingkat-singkatnya.

Peningkatan proliferasi sel-sel payudara dan timbulnya keluhan nyeri pada

payudara terjadi oleh karena penggunaan TSH kombinasi. Terdapat Hipotesis lain

mengenai peran hormon eksogen terhadap kanker payudara yaitu terangsangnya

lesi keganasan yang telah ada dan tidak terdiagnosis sebelumnya oleh penggunaan

hormon tersebut. Pada mamografi terjadi peningkatan densitas payudara saat

menggunakan TSH kombinasi ataupun karena lesi yang terlalu kecil untuk dapat

ditemukan melalui palpasi maupun teknik pencitraan mengakibatkan lesi yang

tidak dapat terdiagnosis. Estrogen dikenal berperan penting dalam proliferasi dari

jaringan payudara (Suparman & Suparman, 2014).

Ketidaksesuaian hasil penelitian ini dengan penelitian sebelumnya secara

teoritis memiliki beberapa kemungkinan. Hal ini bisa terjadi apabila wanita yang

menggunakan terapi hormon pascamenopause lebih menjaga pola hidup sehat.

Sebaliknya, wanita yang tidak menggunakan terapi hormon pascamenopause

memiliki gaya hidup tidak sehat seperti konsumsi makan makanan berlemak dan

karsinogenik atau terkena paparan karsinogenik lainnya seperti radiasi.

4.3 KETERKAITAN FAKTOR HORMONAL TERHADAP RISIKO

TERJADINYA KANKER PAYUDARA PADA WANITA


139

Dari keseluruhan faktor hormonal yang ada dan dari keseluruhan jurnal

yang termasuk dalam literatur, maka peneliti melakukan penghitungn rata-rata

Odds Ratio untuk masing faktor hormonal yang ada. Faktor hormonal yang di

teliti dalam penelitian ini adalah usia menarche, menopause, paritas, laktasi,

kontrasepsi hormonal dan penggunaan hormon pascamneopause. Nilai rata-rata

Odds Ratio dari keseluruhan jurnal dalam penelitian dapat dilihat melalui diagram

berikut :

Faktor Hormonal Terhadap Risiko Kanker


Payudara
Nilai Rata-rata Odds Ratio

5.6
4.03 3.84
2.85
1.36 1.91

Usia Menarche Menopause Paritas Laktasi Kontrasepsi Hormon


Hormonal Menopause
Faktor Hormonal

Gambar IV.1 Grafik keterkaitan Faktor Hormonal Terhadap Risiko


Terjadinya Kanker Payudara Pada Wanita
Berdasarkan uji Odds Ratio (OR) pada gambar IV.1 untuk variabel usia

menarche didapatkan rata-rata nilai OR = 5,617 (95%CI=0,587-35,08), Hal ini

menunjukkan bahwa wanita yang mendapatkan usia menarche dini <12 tahun

memiliki risiko 5,617 kali lebih tinggi terkena kanker payudara dari pada wanita

mendapatkan menarche > 12 tahun, berarti menunjukkan adanya hubungan usia

menarche dengan kejadian kanker payudara pada wanita.


140

Berdasarkan uji Odds Ratio (OR) pada gambar IV.1 untuk variabel

menopause didapatkan rata-rata nilai OR = 1,355 (95%CI=0,35-9,23), wanita

yang terlambat usia menopause > 55 tahun memiliki hubungan dengan kasus

kanker payudara sebesar 1,355 kali lebh tinggi. Yang berkaitan dengan lamanya

paparan estrogen dan progesterone pada wanita yang berpengaruh pada proses

proliferasi jaringan di payudara.

Berdasarkan uji Odds Ratio (OR) pada gambar IV.1 untuk variabel paritas

didapatkan rata-rata nilai OR = 2,85 (95%CI=0,463-40,898), hal ini menunjukkan

bahwa wanita yang melahirkan sekali mempunyai risiko 2,98 kali berkembang

menjadi penyakit kanker payudara dibandingkan dengan wanita yang multipara

(yang melahirkan lebih dari sekali). Yang berarti menunjukkan adanya keterkaitan

antara faktor paritas dengan kejadian kanker payudara pada wanita.

Berdasarkan uji Odds Ratio (OR) pada gambar IV.1 untuk variabel laktasi

(tidak menyusui) didapatkan rata-rata nilai OR = 4,031 (95%CI=0,364-18,96), hal

ini menunjukkan bahwa ibu yang tidak memberikan ASI mempunyai risiko 4,031

kali lebih besar mengalami kanker payudara dibandingkan ibu yang memberikan

ASI. Yang berarti ada keterkaitan antara faktor laktasi (tidak menyusui) terhadap

risiko terjadinya kanker payudara pada wanita.

Berdasarkan uji Odds Ratio (OR) pada gambar IV.1 untuk variabel

kontrasepsi hormonal didapatkan rata-rata nilai OR = 3,848 (95%CI=0,65-

84,718), hal ini menunjukkan bahwa wanita yang menggunakan kontrasepsi

hormonal mempunyai resiko 3,310 kali untuk mengalami kanker payudara


141

dibanding wanita yang tidak menggunakan kontrasepsi hormonal. Yang berarti

ada keterkaitan antara faktor kontrasepsi hormonal terhadap risiko terjadinya

kanker payudara pada wanita.

Berdasarkan uji Odds Ratio (OR) pada gambar IV.1 untuk variabel

penggunaan hormon pascamenopause didapatkan rata-rata nilai OR = 1,909

(95%CI=0,491-3,217), hal ini menunjukkan bahwa ada peningkatan risiko

terhadap kanker payudara pada wanita.

Peneliti menyimpulkan mekanisme terjadinya kanker payudara dari

masing-masing etiologi antara lain usia menarche, menopause, paritas, laktasi,

kontrasepsi hormonal dan penggunaan hormon pascamenopause sehingga

merangsang pertumbuhan epitel sel payudara dan dapat menyebabkan kanker

payudara yang berkembang secara terus-menerus tanpa terkendali menyebabkan

sel abnormal tersebut mendesak jaringan sekitar, sel saraf, dan pembuluh darah

disekitar payudara. Kanker payudara berasal dari jaringan epithelial, dan paling

sering terjadi pada sistem duktal. (Azizah, 2019).

Sel mulai bermetastasis atau menyebar ke jaringan tubuh lain yaitu limfe

dan pembuluh darah. Sel-sel kanker yang telah metastase ke jaringan tubuh lain

disebut neoplasma ganas atau maligna. Apabila sistem imun di dalam tubuh gagal

menghancurkan sel abnormal dengan cepat menyebabkan sel-sel tumbuh besar.

Virus dan bakteri, agen fisik, agen kimia, agen hormonal, dan faktor genetik

merupakan alat yang berperan sebagai transportasi maligna atau

karsinomagenesis. Sel-sel ini akan berlanjut menjadi Carsinoma in situ dan


142

menginvasi stroma (Azizah, 2019). Kanker membutuhkan waktu 7 tahun untuk

bertumbuh dari sebuah sel tunggal sampai menjadi massa yang cukup besar untuk

dapat diraba ( kira- kira berdiameter 1 cm ). Pada ukuran itu, kira- kira seperempat

dari kanker payudara telah bermetastase. Gejala kedua yang paling sering terjadi

adalah cairan yang keluar dari muara duktus satu payudara, dan mungkin

berdarah. Jika penyakit telah berkembang lanjut, dapat pecahnya benjolan-

benjolan pada kulit ulserasi (Azizah, 2019).

Menurut onkolog Inggris menerangkan bahwa neoplasma adalah masa

jaringan abnormal, tumbuh berlebih, tidak seimbang dengan jaringan normal, dan

selalu tumbuh. Tumor terbentuk karena proliferasi neoplastik yang membuat

massa neoplasma menimbulan pembengkakan atau benjolan di jaringan tubuh.

Tumor dibedakan menjadi tumor jinak dan ganas. Jika tumor ganas itulah yang

disebut kanker (Azizah, 2019).

Sel kanker payudara yang invasif membuat massa tumor ganas mendesak

ke jaringan luar sehingga bentuk payudara asimetrik dengan benjolan yang tidak

teratur. Perfusi jaringan sekitar payudara yang terdapat tumor menjadi terganggu

sementara tumor terus membengkak kemudian pecah dan terjadi pendarahan,

biasanya bercampur ulkus atau nanah yang menimbulkan bau kurang sedap.

Pecahnya benjolan membuat luka terbuka pada payudara yang sangat mudah

terkontaminasi dengan bakteri lingkungan maka menimbulkan jaringan sekitar

payudara menghitam atau disebut nekrosis. Dari tahap-tahap terjadinya kanker

payudara dari faktor penyebab atau etiologi dan proses terbentuknya benjolan
143

yang membesar dan pecah sehingga terjadi gangguan integritas kulit (Azizah,

2019).

Mekanisme Ketidakseimbangan hormon estrogen dan


Hormonal progesteron (kelebihan)

Reseptor estrogen di epitel payudara berinteraksi dengan promoter pertumbuhan


dan faktor pertumbuhan fibroblast yang dikeluarkan sel kanker payudara

Terbentuk mekanisme autokrin


perkembangan sel kanker

Gangguan proliferasi jaringan epitel & sistem duktal

Hiperplasia pada sel jaringan epitel & sitem ductal


( Karsinoma Payudara )

Infiltrasi ke jaringan sekitar

 Suplai nutrisi Perubahan Invasi pada Melalui Mendesak


kejaringan Struktur stroma saluran pembuluh
kanker Payudara limfe darah

Invasi sel
Hyper- Adanya Obstruksi
kanker pada Pembesaran
metabolisme ke massa dan sirkulasi
jaringan yang limfe regional
jaringan teraba (aliran darah
peka pada
benjolan terhambat)
sensai nyeri
Suplai nutrisi (plexus saraf Edema
kejaringan lain Payudara & limfatik & Nekrosis
 bengkak periostenum kulit jaringan
bercawak
(peau
Suplai nutrisi Interupsi
Kulit d’orange) Daya tahan
kurang dari Ukuran sel saraf
kebutuhan payudara melekat ke tubuh 
tubuh abnormal jaringan
dibawahny Nyeri
a secara Mudah
BB , Benjolan tidak terpapar
Anoreksia, pecah normal patogen
Anemia

Ulserasi Retraksi Gangguan Risiko


Intoleransi kulit Integritas Infeksi
Aktivitas payudara / Kulit/Jaringan
berkerut
(dimpling)
144

Gambar IV. 2 Mekanisme Keterkaitan Faktor Hormonal Terhadap


Kejadian Kanker Payudara pada Wanita (Amalia, 2013; Susi Putri Dewi, 2019)
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 KESIMPULAN

Berdasarkan hasil dari studi penelusuran jurnal dan dilakukan review

tentang keterkaitan faktor hormonal terhadap risiko terjadinya kanker payudara

pada wanita, diperoleh kesimpulan sebagai berikut :

a. Ada keterkaitan antara faktor usia menarche terhadap risiko terjadinya

kanker payudara pada wanita dengan rata-rata nilai OR = 5,617

(95%CI=0,587-35,08).

b. Ada keterkaitan antara faktor menopause terhadap risiko terjadinya

kanker payudara pada wanita dengan rata-rata nilai OR = 1,355

(95%CI=0,35-9,23).

c. Ada keterkaitan antara faktor paritas terhadap risiko terjadinya kanker

payudara pada wanita dengan rata-rata nilai OR = 2,85 (95%CI=0,463-

40,898).

d. Ada keterkaitan antara faktor laktasi terhadap risiko terjadinya kanker

payudara pada wanita dengan rata-rata nilai OR = 4,031

(95%CI=0,364-18,96).
145

e. Ada keterkaitan antara faktor kontrasepsi hormonal terhadap risiko

terjadinya kanker payudara pada wanita dengan rata-rata nilai OR =

3,848 (95%CI=0,65-84,718).

f. Ada keterkaitan antara faktor penggunaan hormon pascamenopause

terhadap risiko terjadinya kanker payudara pada wanita dengan rata-


142
rata nilai OR = 1,909 (95%CI=0,491-3,217).

g. Dari keseluruhan jurnal dalam penelitian ini didapatkan nilai rata-rata

faktor hormonal yang tertinggi pertama adalah usia menarche dengan

didapatkan rata-rata nilai OR = 5,617 (95%CI=0,587-35,08), yang

kedua faktor laktasi dengan didapatkan rata-rata nilai OR = 4,031

(95%CI=0,364-18,96), yang ketiga kontrasepsi hormonal dengan

didapatkan rata-rata nilai OR = 3,848 (95%CI=0,65-84,718), yang

keempat faktor paritas dengan didapatkan rata-rata nilai OR = 2,85

(95%CI=0,463-40,898), dilanjutkan faktor penggunaan hormon

pascamenopause didapatkan rata-rata nilai OR = 1,909 (95%CI=0,491-

3,217) dan yang terakhir faktor menopause dengan didapatkan rata-

rata nilai OR = 1,355 (95%CI=0,35-9,23) menunjukkan bahwa ada

hubungan antara penggunaan hormon pascamenopause dengan risiko

terjadinya kanker payudara.

5.2 SARAN

Berdasarkan hasil penelitian literature review diatas. Maka saran yang

diperoleh antara lain sebagai berikut :

5.2.1 Bagi Masyarakat


146

a. Dengan adanya penelitian ini dapat menambah wawasan dan

pengetahuan wanita yang menderita kanker payudara khususnya lansia

tentang apa-apa saja faktor risiko kejadian kanker payudara.

b. Bagi wanita yang memiliki riwayat keluarga yang sedang atau pernah

menderita kanker payudara sebaiknya dapat menghindari faktor risiko

kanker payudara seperti tidak menunda kehamilan pertama atau

mengupayakan agar jarak antara menarche dengan kehamilan pertama

tidak terlalu jauh, menyusui anak dalam waktu yang lebih lama, dan

tidak menggunakan kontrasepsi hormonal.

c. Masyarakat (khususnya wanita) diharapkan untuk menjaga pola

konsumsi makanan seperti mengurangi makanan yang mengandung

tinggi lemak, makanan instan, dan makanan yang cara pengolahannya

dengan dibakar atau diasap.

d. Masyarakat hendaknya selalu menjaga kesehatan dan berprilaku hidup

sehat dengan menjauhi kebiasaan merokok, olahraga teratur, menjaga

berat badan seimbang/ideal, diet tinggi serat sehingga mencegah

kejadian kanker payudara.

e. Bagi wanita yang berisiko tinggi, seperti wanita yang mempunyai

riwayat genetik kanker payudara, adanya riwayat pernah menggunakan

alat kontrasepsi hormonal dalam waktu ≥10 tahun dan pernah

mengalami keguguran, untuk selalu melakukan pemeriksaan kesehatan

secara rutin serta memperhatikan perkembangan payudara.


147

f. Selain itu diharapkan : Melakukan pemeriksaan payudara sendiri setiap

bulan dari usia 20 tahun, Mammografi dilakukan setiap 1-2 tahun

mulai usia 40 – 49 tahun, Pemeriksaan payudara oleh dokter setiap 3

tahun sampai usia 39 tahun selanjutnya setiap tahun.

5.2.2 Bagi Peneliti Selanjutnya

a. Melakukan penelitian dengan desain studi yang lebih baik misalnya

case control disertai wawancara mendalam atau desain studi cohort.

b. Melakukan penelitian dengan menggunakan variabel yang berbeda

atau lebih bervariasi yang mampu menggambarkan faktor risiko

kanker payudara dengan jelas.

5.2.3 Bagi Institusi

a. Menambah informasi kepada institusi tentang penyakit kanker

payudara (faktor risiko, pengendalian dan cara deteksi dini kanker

payudara).

b. Penelitian ini menyarankan kepada dinas kesehatan dan tenaga

kesehatan untuk melakukan sosialisasi dan penyuluhan kepada para

remaja dibawah usia 12 tahun yang mengalami menarche dini karena

tingkat pengetahuan yang rendah tentang kanker payudara dan deteksi

dini pemeriksaan payudara sendiri, Melakukan pemantauan dan

deteksi dini terhadap wanita berisiko mengenai tanda-tanda kejadian

kanker payudara.
148

DAFTAR PUSTAKA

Abdulkareem, I. H. (2013). Aetio-Pathogenesis Of Breast Cancer. Nigerian


Medical Journal: Journal Of The Nigeria Medical Association, 54(6), 371.
Agnessia, M., Sary, L., & Andoko, A. (2015). Faktor Risiko Yang Berhubungan
Dengan Kanker Payudara Di Rsud Pringsewu Tahun 2014. Holistik Jurnal
Kesehatan, 9(1).
Agustina, R. (2015). Peran Derajat Differensiasi Histopatologik Dan Stadium
Klinis Pada Rekurensi Kanker Payudara. Jurnal Majority, 4(7), 129-134.
Ahmad, A. D. (2019). Hormone Replacement Therapy Pada Wanita Menopause
Meningkatkan Risiko Terjadinya Ductal Carsinoma In Situ. Jurnal
Majority, 8(2), 205-207.
Al-Insyirah, L. (2016). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian
Kanker Payudara Di Poliklinik Onkologi Rsud Arifin Achmad Provinsi
Riau. Al-Tamimi Kesmas: Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat (Journal Of
Public Health Sciences), 5(2), 84-92.
Anggarini, D. W., & Rahmawati, A. (2018). Hubungan Penggunaan Kontrasepsi
Hormonal Dengan Kejadian Kanker Payudara Di Rsup Dr. Sardjito
Yogyakarta. Poltekkes Kemenkes Yogyakarta,
Anggorowati, L. (2013). Faktor Risiko Kanker Payudara Wanita. Kemas: Jurnal
Kesehatan Masyarakat, 8(2).
Anggriawan, F. (2012). Asuhan Keperawatan Pada Ny. L Dengan Gangguan
Sistem Reproduksi: Ca. Mammae Sinistra Post Mastektomi Di Ruang
Multazam Rumah Sakit Pku Muhammadiyah Surakarta. Universitas
Muhammadiyah Surakrta,
Arafah, A. B. R., & Notobroto, H. B. (2017). Faktor Yang Berhubungan Dengan
Perilaku Ibu Rumah Tangga Melakukan Pemeriksaan Payudara Sendiri
(Sadari). The Indonesian Journal Of Public Health, 12(2), 143-153.
Ardiana, A., & Negara, H. W. (2013). Analisis Faktor Risiko Reproduksi Yang
Berhubungan Dengan Kejadian Kanker Payudara Pada Wanita. Jurnal
Keperawatan Padjadjaran, 1(2).
Ariani, & Sofi. (2015). Stop! Kanker / Ariani, Sofi. Yogyakarta Istana Media.
Arsittasari, T., Estiwidani, D., & Setiyawati, N. (2017). Faktor-Faktor Yang
Berhubungan Dengan Kejadian Kanker Payudara Di Rsud Kota
Yogyakarta Tahun 2016. Poltekkes Kemenkes Yogyakarta,
Asco. (2019). Breast Cancer - Inflammatory: Medical Illustrations. American
Society Of Clinical Oncology (Asco). Retrieved From
Https://Www.Cancer.Net/Cancer-Types/Breast-Cancer-
Inflammatory/Medical-Illustrations
Atlanta. (2019). Breast Cancer Facts&Figures 2019-2020. American Cancer
Society, 3. Retrieved From
Https://Www.Cancer.Org/Content/Dam/Cancer-Org/Research/Cancer-
149

Facts-And-Statistics/Breast-Cancer-Facts-And-Figures/Breast-Cancer-
Facts-And-Figures-2019-2020.Pdf
Aziza, R., & Wiriatarina, J. (2016). Asuhan Keperawatan Pada Ibu A. Yang
Mengalami Ca. Mammae Metastase Di Ruang Cempaka Rumah Sakit
Umum Daerah Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.
Baglietto, L., English, D. R., Hopper, J. L., Macinnis, R. J., Morris, H. A., Tilley,
W. D., . . . Giles, G. G. (2009). Circulating Steroid Hormone
Concentrations In Postmenopausal Women In Relation To Body Size And
Composition. Breast Cancer Research And Treatment, 115(1), 171-179.
Bagnardi, V., Rota, M., Botteri, E., Tramacere, I., Islami, F., Fedirko, V., . . .
Pasquali, E. (2015). Alcohol Consumption And Site-Specific Cancer Risk:
A Comprehensive Dose–Response Meta-Analysis. British Journal Of
Cancer, 112(3), 580-593.
Bakara, S. M., & Fikawati, S. (2018). Perceived Insufficient Milk (Pim) Among
Mothers Of 0-6 Months Infants In Cipayung Health Centre, Depok
Indonesia: A Qualitative Study. Paper Presented At The Proceedings Of
The International Conference On Applied Science And Health.
Cancer, C. G. O. H. F. I. B. (1997). Breast Cancer And Hormone Replacement
Therapy: Collaborative Reanalysis Of Data From 51 Epidemiological
Studies Of 52 705 Women With Breast Cancer And 108 411 Women
Without Breast Cancer. The Lancet, 350(9084), 1047-1059.
Cancer, C. G. O. H. F. I. B. (2012). Menarche, Menopause, And Breast Cancer
Risk: Individual Participant Meta-Analysis, Including 118 964 Women
With Breast Cancer From 117 Epidemiological Studies. The Lancet
Oncology, 13(11), 1141-1151.
Cancerhelps, T. (2010). Stop Kanker: Panduan Deteksi Dini & Pengobatan
Menyeluruh Berbagai Jenis Kanker: Agromedia.
Chabirah, S. (2019). Hubungan Posttraumatic Growth Terhadap Kualitas Hidup
Pasien Ca. Mammae Di Rsud Kota Makassar Tahun 2019. Universitas
Islam Negeri Alauddin Makassar,
Chen, W. Y., Rosner, B., Hankinson, S. E., Colditz, G. A., & Willett, W. C.
(2011). Moderate Alcohol Consumption During Adult Life, Drinking
Patterns, And Breast Cancer Risk. Jama, 306(17), 1884-1890.
Co, C. (2015). Facts & Figures 2015-2016.
Dashner, R. A. (2012). Clinical Anatomy Of The Breast. Advanced Anatomical
Services.
Desiyanti, I. W. (2015). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Terhadap Pernikahan
Dini Pada Pasangan Usia Subur Di Kecamatan Mapanget Kota Manado.
Jikmu, 5(3).
Dewi, G. A. T., & Hendrati, L. Y. (2015). Analisis Risiko Kanker Payudara
Berdasar Riwayat Pemakaian Kontrasepsi Hormonal Dan Usia Menarche.
Jurnal Berkala Epidemiologi, 3(1), 12-23.
Ekawati, Y. (2018). Faktor Risiko Kejadian Kanker Payudara Di Rsu Bahteramas.
Miracle Journal Of Public Health, 1(2), 197-213.
150

Fagundes, C. P., Glaser, R., Malarkey, W. B., & Kiecolt-Glaser, J. K. (2013).


Childhood Adversity And Herpesvirus Latency In Breast Cancer
Survivors. Health Psychology, 32(3), 337.
Faida, E. W. (2016a). Analisa Pengaruh Faktor Usia, Status Pernikahan Dan
Riwayat Keluarga Terhadap Pasien Kanker Payudara Di Rumah Sakit
Onkologi Surabaya. Jurnal Manajemen Kesehatan Stikes Yayasan Rs. Dr.
Soetomo, Vol.2 No.1, 1-7. Retrieved From Http://Jurnal.Stikes-
Yrsds.Ac.Id/Index.Php/Mk/Index
Faida, E. W. (2016b). Analisa Pengaruh Faktor Usia, Status Pernikahan Dan
Riwayat Keluarga Terhadap Pasien Kanker Payudara Di Rumah Sakit
Onkologi Surabaya. Jurnal Manajemen Kesehatan Yayasan Rs. Dr.
Soetomo, 2(1), 1-7.
Farid, N. D. N., Aziz, N. A., Al-Sadat, N., Jamaludin, M., & Dahlui, M. (2014).
Clinical Breast Examination As The Recommended Breast Cancer
Screening Modality In A Rural Community In Malaysia; What Are The
Factors That Could Enhance Its Uptake? Plos One, 9(9), E106469.
Fatmawati, S. (2020). Faktor Yang Berhubungan Dengan Kanker Payudara Pada
Wanita Pasangan Usia Subur Di Rsu Vina Estetica Tahun 2019. Institut
Kesehatan Helvetia,
Ferdian, F. A., & Rusminingsih, R. (2015). Hubungan Tingkat Pengetahuan
Sadari Terhadap Sikap Remaja Putri Dalam Pemeriksaan Payudara Sendiri
Di Sma Negeri 1 Ngaglik Yogyakarta. Stikes'aisyiyah Yogyakarta,
Fransiska, M., & Yulia, Y. (2017). Risk Factor Of Breast Cancer Incidence In
Elderly Women At Achmad Mochtar Hospital Bukittinggi 2016. Jurnal
Kesehatan, 9(1), 14-18.
Gabriel, C. A., & Domchek, S. M. (2010). Breast Cancer In Young Women.
Breast Cancer Research, 12(5), 212.
Gierisch, J. M., Coeytaux, R. R., Urrutia, R. P., Havrilesky, L. J., Moorman, P. G.,
Lowery, W. J., . . . Sanders, G. D. (2013). Oral Contraceptive Use And
Risk Of Breast, Cervical, Colorectal, And Endometrial Cancers: A
Systematic Review. Cancer Epidemiology And Prevention Biomarkers,
22(11), 1931-1943.
Guntari, G. A. S., & Suariyani, N. L. P. (2016). Gambaran Fisik Dan Psikologis
Penderita Kanker Payudara Post Mastektomi Di Rsup Sanglah Denpasar
Tahun 2014. Archive Of Community Health, 3(1), 24-35.
Handayani, L., Suharmiati, A. M., & Ayuningtyas, A. (2012). Menaklukkan
Kanker Serviks Dan Kanker Payudara Dengan 3 Terapi Alami:
Agromedia.
Hardiyanti, D. (2018). Pengaruh Pendidikan Kesehatan Berbasis Komunitas
Terhadap Pengetahuan, Sikap Dan Praktik Pemeriksaan Payudara Sendiri
(Sadari) Pada Perempuan Di Wilayah Puskesmas Martapura 1. Universitas
Airlangga,
Hartaningsih, N. M. D., & Sudarsa, I. W. (2014). Kanker Payudara Pada Wanita
Usia Muda Di Bagian Bedah Onkologi Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah
Denpasar Tahun 2002–2012. E-Jurnal Medika Udayana.
151

Hasnita, Y., Harahap, W. A., & Defrin, D. (2019). Pengaruh Faktor Risiko
Hormonal Pada Pasien Kanker Payudara Di Rsup. Dr. M. Djamil Padang.
Jurnal Kesehatan Andalas, 8(3), 522-528.
Heer, E., Harper, A., Escandor, N., Sung, H., Mccormack, V., & Fidler-
Benaoudia, M. M. (2020). Global Burden And Trends In Premenopausal
And Postmenopausal Breast Cancer: A Population-Based Study. The
Lancet Global Health, 8(8), E1027-E1037. Doi:10.1016/S2214-
109x(20)30215-1
Hermawan, D., & Djamaludin, D. (2016). Kejadian Kanker Payudara Dilihat Dari
Faktor Usia, Menstruasi Dini Dan Penggunaan Alat Kontrasepsi. Holistik
Jurnal Kesehatan, 10(2), 45-53.
Ho, P. J., Lau Hannah Si, H., Ho, W. K., Wong, F. Y., Yang, Q., Tan, K. W., . . .
Li, J. (2020). Incidence Of Breast Cancer Attributable To Breast Density,
Modifiable And Non-Modifiable Breast Cancer Risk Factors&#Xa0;In
Singapore. Scientific Reports (Nature Publisher Group), 10(1).
Doi:Http://Dx.Doi.Org/10.1038/S41598-019-57341-7
Hosseinzadeh, M., Eivazi Ziaei, J., Mahdavi, N., Aghajari, P., Vahidi, M., Fateh,
A., & Asghari, E. (2014). Risk Factors For Breast Cancer In Iranian
Women: A Hospital-Based Case-Control Study In Tabriz, Iran. Journal Of
Breast Cancer, 17(3), 236-243.
Hoy, J., & Lieberman, G. (2014). Recurrence Surveillance In Breast Cancer
Survivors. Hardvard: Hardvard Medical School.
Humans, I. W. G. O. T. E. O. C. R. T. (2010). Alcohol Consumption And Ethyl
Carbamate. Iarc Monographs On The Evaluation Of Carcinogenic Risks
To Humans, 96, 3.
Husnah, H. (2012). Tatalaksana Obesitas. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala, 12(2),
99-104.
Hutapea, M. (2017). Pengaruh Pelaksanaan Pemeriksaan Payudara Sendiri
(Sadari) Terhadap Pengetahuan Dan Kemampuan Siswi Dalam Upaya
Deteksi Dini Kanker Payudara Sma Swakarya Tahun 2017. Jurnal Riset
Hesti Medan Akper Kesdam I/Bb Medan, 2(2), 105-116.
Iqbal, J., Ferdousy, T., Dipi, R., Salim, R., Wu, W., Narod, S. A., . . . Ginsburg,
O. (2015). Risk Factors For Premenopausal Breast Cancer In
Bangladesh. International Journal Of Breast Cancer, 2015.
Isnaini, N., & Elpiana, E. (2017). Hubungan Usia, Usia Menarche Dan Riwayat
Keluarga Dengan Kejadian Kanker Payudara Dirumah Sakit Umum
Daerah Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung Tahun 2015. Jurnal
Kebidanan Malahayati, 3(2).
Jones, E. F., Ray, K. M., Li, W., Seo, Y., Franc, B. L., Chien, A. J., . . . Hylton, N.
M. (2017). Dedicated Breast Positron Emission Tomography For The
Evaluation Of Early Response To Neoadjuvant Chemotherapy In Breast
Cancer. Clinical Breast Cancer, 17(3), E155.
Karim, S. M., Baeshen, W., Neamatullah, S. N., & Bin, B. (2015). Oral
Contraceptives, Abortion And Breast Cancer Risk: A Case Control Study
In Saudi Arabia. Asian Pac J Cancer Prev, 16(9), 3957-3960.
152

Laamiri, F. Z., Bouayad, A., Hasswane, N., Ahid, S., Mrabet, M., & Amina, B.
(2015). Risk Factors For Breast Cancer Of Different Age Groups:
Moroccan Data? Open Journal Of Obstetrics And Gynecology, 5(02), 79.
Laksono, S. (2018). Asuhan Keperawatan Pada Ny E Dengan Karsinoma Mamae
Di Ruang Bougenvile Rsud Kota Yogyakarta. Poltekkes Kemenkes
Yogyakarta,
Lee, H., Li, J.-Y., Fan, J.-H., Li, J., Huang, R., Zhang, B.-N., . . . Tang, Z.-H.
(2014). Risk Factors For Breast Cancer Among Chinese Women: A 10-
Year Nationwide Multicenter Cross-Sectional Study. Journal Of
Epidemiology, 24(1), 67-76.
Liana, L. K., & Lirauka, F. (2013). Karakteristik Pasien Kanker Payudara Dan
Penanganannya Di Rsud Arifin Achmad Pekanbaru Periode Januari 2010–
Desember 2012 Patien Characteristic Of Breast Cancer And The
Treatment In Arifin Achmad General Hospital Pekanbaru. Therapy, 2012.
Listyawardhani, Y., Mudigdo, A., & Adriani, R. B. (2018). Risk Factors Of
Breast Cancer In Women At Dr. Moewardi Hospital, Surakarta, Central
Java. Journal Of Epidemiology And Public Health, 3(2), 118-127.
Macinnis, R. J., English, D. R., Gertig, D. M., Hopper, J. L., & Giles, G. G.
(2004). Body Size And Composition And Risk Of Postmenopausal Breast
Cancer. Cancer Epidemiology And Prevention Biomarkers, 13(12), 2117-
2125.
Manuaba, I. (2010). Panduan Penatalaksanaan Kanker Payudara Peraboi 2010.
Panduan Penatalaksanaan Kanker Solid: Sagung Seto, 17-50.
Maria, I. L., Sainal, A. A., & Nyorong, M. (2017). Risiko Gaya Hidup Terhadap
Kejadian Kanker Payudara Pada Wanita. Media Kesehatan Masyarakat
Indonesia Universitas Hasanuddin, 13(2), 157-166.
Medis, R. (2019). Pasien Kanker Payudara. In P. Bedah (Ed.). Gresik: Rsud Ibnu
Sina.
Mørch, L. S., Skovlund, C. W., Hannaford, P. C., Iversen, L., Fielding, S., &
Lidegaard, Ø. (2017). Contemporary Hormonal Contraception And The
Risk Of Breast Cancer. New England Journal Of Medicine, 377(23), 2228-
2239.
Mulyani, N. S., & Rinawati, M. (2013). Kanker Payudara Dan Pms Pada
Kehamilan Yogyakarta: Nuha Medika.
Munandar, A., & Wardaningsih, S. (2018). Nursing Provision In Psychological
Aspect Management Of Natural Disaster. Jurnal Keperawatan, 9(2), 72-81.
Munawarah, I. (2018). Hubungan Pemberian Air Susu Ibu Dengan Kejadian
Kanker Payudara Di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Zainoel Abidin,
Banda Aceh. Cermin Dunia Kedokteran, 45(7), 491-494.
Nadeak, N. M. (2016). Prevalensi Kanker Payudara Dengan Metastasis Di Hati Di
Rsup H. Aadam Malik Medan Tahun 2014.
Nadhila, D. C. (2017). Hubungan Penggunaan Kontrasepsi Hormonal Terhadap
Kejadian Kanker Payudara Pada Usia Dibawah 35 Tahun Di Rsup H.
Adam Malik.
153

Nahak, A. J. K., Berek, P. A., & Fouk, M. F. W. (2019). Gambaran Tingkat


Pengetahuan Mahasiswa Tentang Pemeriksaan Payudara Sendiri Di
Atambua. Jurnal Sahabat Keperawatan, 1(02), 1-15.
Nastiti, A. A., Armini, N. K. A., & Ulazzuharo, C. (2018). Hubungan Pengaruh
Interpersonal Dan Situasional Dengan Upaya Preventif Pada Perempuan
Penderita Kanker Payudara (Correlation Between Interpersonal And
Situational Influence With Preventive Efforts In Breast Cancer Survivor).
Jurnal Ners Lentera, 5(2), 156-168.
Nasution, W. M., Asfriyati, A., & Siregar, F. A. (2018). Pengaruh Pemakaian
Kontrasepsi Hormonal Dan Riwayat Keluarga Terhadap Kejadian Kanker
Payudara Di Rsud Dr. Pirngadi Medan Tahun 2017. Medika Respati:
Jurnal Ilmiah Kesehatan, 13(2), 39-47.
Nissa, P. A. E., Widjajanegara, H., & Purbaningsih, W. (2017). Kontrasepsi
Hormonal Sebagai Faktor Risiko Kanker Payudara Di Rsud Al-Ihsan
Bandung. Paper Presented At The Bandung Meeting On Global Medicine
& Health (Bamgmh).
Notoatmodjo, S. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. In: Jakarta: Rineka
Cipta.
Palu, M. B., & Nurdin, A. A. (2014). Potensi Yang Hilang Berdasarkan Health
Related Quality Of Life Pada Penderita Kanker Payudara Di Makassar
Sulawesi Selatan. Medula, 2(1).
Pamilih, H. (2009). Uji Sitotoksik Ekstrak Etil Asetat Herba Bandotan (Ageratum
Conyzoides L.) Terhadap Sel Kanker Payudara (T47d) Dan Profil
Kromatografi Lapis Tipis. Universitas Muhammadiyah Surakarta,
Pamungkas, Z. (2011). Deteksi Dini Kanker Payudara (E. Widayanti Ed. Cetakan
Pertama Ed.). Jogjakarta: Bukubiru.
Pane, A. R. S. (2019). Gambaran Karakateristik Penderita Kanker Di
Laboratorium Patologi Anatomi Rsud Prof. Dr.W.Z. Johannes Kupang
Tahun 2015-2018.
Poosari, A., Promthet, S., Kamsa-Ard, S., Suwanrungruang, K., Longkul, J., &
Wiangnon, S. (2014). Hormonal Contraceptive Use And Breast Cancer In
Thai Women. Journal Of Epidemiology, 24(3), 216-220.
Prasetyowati, P., & Katharina, K. (2017). Faktor-Faktor Yang Berhubungan
Dengan Kejadian Kanker Payudara Di Rsud Dr. H. Abdul Moeloek
Provinsi Lampung. Jurnal Kesehatan Metro Sai Wawai, 7(1), 75-84.
Price, S. A., & Wilson, L. M. (2006). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Jakarta: Egc, 4(2), 1127-1128.
Priyatin, C., Ulfiana, E., & Sumarni, S. (2013). Faktor Risiko Yang Berpengaruh
Terhadap Kejadian Kanker Payudara Di Rsup Dr. Kariadi Semarang.
Jurnal Kebidanan, 2(5), 9-19.
Pulungan, R. (2010). Karakteristik Penderita Kanker Payudara Rawat Inap Di Rs
Haji Medan Tahun 2005-2009. Skripsi. Fkm Usu Medan.
Purnomo, H. (2009). Penyakit Yang Paling Mematikan (Hipertensi). Buana
Pustaka. Jakarta.
154

Qoyyimah, A. U., & Yuliyani, T. (2016). Hubungan Usia Menarche Dengan


Kejadian Kanker Payudara Di Rsud Dr. Moewardi Surakarta Tahun 2015.
Jurnal Kebidanan, 8(01).
Rachman, S. (2015). The Role Of Radiology In Diagnostic Breast Tumor. Majalah
Kedokteran Andalas, 38, 9-11.
Rahayu, A. P. (2016). Panduan Praktikum Keperawatan Maternitas: Deepublish.
Rahmadani, W. (2015). Karakteristik Penderita Kanker Payudara Yang Dirawat
Inap Di Rsu Dr. Pirngadi Medan Tahun 2011-2013.
Rasjidi, I. (2010a). 100 Questions & Answers: Kanker Pada Wanita: Elex Media
Komputindo.
Rasjidi, I. (2010b). Epedemilogi Kanker Pada Perempuan. In: Jakarta: Cv. Sagung
Seto.
Rasjidi, I. (2010c). Epidemiologi Kanker Pada Wanita. Jakarta: Sagung Seto, 18-
22.
Ratnasari, P. D. (2020). Meta-Analisis Faktor Diet Terhadap Risiko Kanker
Payudara Pada Wanita. Wijaya Kusuma Surabaya University,
Ria, L. (2017). Hubungan Jenis Dan Lama Penggunaan Kontrasepsi Hormonal
Terhadap Gangguan Menstruasi Pada Wanita Usia Subur Di Wilayah
Kerja Poskesdes Bindu Uptd Puskesmas Lubuk Rukam Kecamatan
Peninjauan Tahun 2016. Universitas Muhammadiyah Palembang,
Rukmi, D. K., & Handayani, D. (2014). Faktor Risiko Kanker Payudara Pada
Wanita Di Rsud Panembahan Senopati Bantul. Media Ilmu Kesehatan,
3(3), 140-147.
Salam, D. M., Muhartono, M., Sukohar, A., & Bakri, S. (2019). Analisis
Hubungan Variabel Lingkungan Terhadap Kejadian Metastase Kanker
Payudara Di Rsud Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung Tahun 2018.
Paper Presented At The Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Biologi 4.
Sallika, N. (2010). Serba Serbi Kesehatan Perempuan: Apa Yang Perlu Kamu
Tahu Tentang Tubuhmu: Bukune.
Sandra, Y. (2011). Melatonin Dan Kanker Payudara. Majalah Kesehatan
Pharmamedika, 3(2), 286-291.
Sari, N., & Afni Amran, V. (2019). Hubungan Penggunaan Kontrasepsi Oral
Dengan Kanker Payudara Wanita Premenopause. Jurnal Ilmiah Kesehatan
Sandi Husada, 10(2), 132-137.
Sari, N. I. Y., Maringga, E. G., & Astuti, W. W. (2019). Path Analysis Of The
Effect Of Biological And Social Factors On The Case Of Breast Cancer.
Jurnal Info Kesehatan, 17(2), 88-100.
Sari, N. W. (2019). Karakteristik Kejadian Kanker Payudara Di Rsud Dr. Achmad
Mochtar Kota Bukittinggi. J-Hestech (Journal Of Health Educational
Science And Technology), 2(2), 73-82.
Savitri, A., Alina, L., & Utami, E. (2015). Kupas Tuntas Kanker Payudara, Leher
Rahim Dan Rahim. In: Yogyakarta: Pustaka Baru Press.
Sembiring, D. I. (2017). Gambaran Faktor-Faktor Risiko Non Genetik Pada
Penderita Kanker Payudara Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam
Malik 2017.
155

Setiowati, D., Eddy, H., & Roostantia, I. (2016). Hubungan Antara Pemakaian Kb
Hormonal Dengan Kejadian Kanker Payudara Di Poli Onkologi Satu Atap
Rsud Dr. Soetomo, Februari–April 2015. Indonesian Journal Of Cancer,
10(1), 11.
Sety, L. M. (2016). Jenis Pemakaian Kontrasepsi Hormonal Dan Gangguan
Menstruasi Di Wilayah Kerja Puskesmas. Jurnal Kesehatan, 5(1).
Siegel, R., Miller, K., & Jemal, A. (2016). American Cancer Society: Cancer
Facts And Figures 2016. Atlanta, Ga: American Cancer Society, 2016.
July, 11.
Sinaga, L. E., & Sarumpaet, S. M. (2015). Karakteristik Penderita Kanker
Payudara Yang Dirawat Inap Di Rs St. Elisabeth Medan Tahun 2011-
2013. Gizi, Kesehatan Reproduksi Dan Epidemiologi, 1(4).
Situmorang, M. L. Karakteristik Penderita Kanker Payudara Yang Dirawat Inap
Di Rsu Dr. Pirngadi Medan Tahun 2009-2010.
Sobri, F. B., Azhar, Y., Wibisana, I. G., & Rachman, A. (2018). Manajemen
Terkini Kanker Payudara: Cv. Sagung Seto.
Sukmayenti, S., & Sari, N. (2018). Hubungan Faktor Reproduksi Dengan
Kejadian Kanker Payudara Pada Wanita Di Rsup Dr. M. Djamil Padang.
Jurnal Riset Hesti Medan Akper Kesdam I/Bb Medan, 3(2), 58-63.
Suparman, E., & Suparman, E. (2014). Peran Estrogen Dan Progesteron Terhadap
Kanker Payudara. Jurnal Biomedik: Jbm, 6(3).
Suyatno, E. T. (2014). Bedah Onkologi Diagnosis Dan Terapi. Edisi Ke-2.
Tabaga, K. D., Durry, M. F., & Kairupan, C. (2015). Efek Seduhan Teh Hijau
(Camellia Sinensis) Terhadap Gambaran Histopatologi Payudara Mencit
Yang Diinduksi Benzo (Α) Pyrene. Ebiomedik, 3(2).
Tan, M.-M., Ho, W.-K., Yoon, S.-Y., Mariapun, S., Hasan, S. N., Lee, D. S.-C., . .
. Sivanandan, K. (2018). A Case-Control Study Of Breast Cancer Risk
Factors In 7,663 Women In Malaysia. Plos One, 13(9), E0203469.
Torre, L. A., Bray, F., Siegel, R. L., Ferlay, J., Lortet-Tieulent, J., & Jemal, A.
(2015). Global Cancer Statistics, 2012. Ca Cancer J Clin, 65(2), 87-108.
Doi:10.3322/Caac.21262
Trieu, P. D. Y., Mello-Thoms, C., Peat, J. K., Do, T. D., & Brennan, P. C. (2017).
Risk Factors Of Female Breast Cancer In Vietnam: A Case-Control Study.
Cancer Res Treat, 49(4), 990-1000. Doi:10.4143/Crt.2016.488
Urban, M., Banks, E., Egger, S., Canfell, K., O'connell, D., Beral, V., & Sitas, F.
(2012). Injectable And Oral Contraceptive Use And Cancers Of The
Breast, Cervix, Ovary, And Endometrium In Black South African Women:
Case–Control Study. Plos Med, 9(3), E1001182.
Utami, V. W., Anggraini, A., & Anisa, M. (2019). Faktor-Faktor Yang
Berhubungan Dengan Kejadian Kanker Payudara Di Rsud. Dr. H. Abdul
Moeloek Bandar Lampung Tahun 2015. Jurnal Kebidanan Malahayati,
5(3), 205-210.
Van Den Brandt, P. A., & Schulpen, M. (2017). Mediterranean Diet Adherence
And Risk Of Postmenopausal Breast Cancer: Results Of A Cohort Study
And Meta‐Analysis. International Journal Of Cancer, 140(10), 2220-2231.
156

Vogel, V. G. (2000). Breast Cancer Prevention: A Review Of Current Evidence.


Ca: A Cancer Journal For Clinicians, 50(3), 156-170.
Yosali, M. A., & Bintari, N. (2019). The Relationship Of Menarche Age With
Breast Cancer Events In Women Age 25-50 Years In The Short Center Of
Indonesia Breast Cancer Foundation (YKPI) Jakarta: Hubungan Usia
Menarche Dengan Kejadian Kanker Payudara Pada Wanita Usia 25-50
Tahun Di Rumah Singgah Yayasan Kanker Payudara Indonesia (Ykpi)
Jakarta. Jurnal Ilmiah Wijaya, 11(2), 155-165.
Yulianti, I., Santoso, H. S., & Sutinigsih, D. (2016). Faktor-Faktor Risiko Kanker
Payudara (Studi Kasus Pada Rumah Sakit Ken Saras Semarang). Jurnal
Kesehatan Masyarakat (E-Journal), 4(4), 401-409.
Yuliyani, I. D. (2016). Faktor–Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian
Kanker Payudara Pada Wanita (Studi Kasus Di Rumah Sakit Umum
Daerah Tugurejo Semarang). Universitas Negeri Semarang,
Yustiana, O. (2013). Kanker Payudara Dan Sadari. Yogyakarta: Nuha Media.
Zurazika, I., Hidayati, R. W., & Utami, I. (2019). Pengaruh Penyuluhan Dengan
Video Dan Leaflet Terhadap Pengetahuan Tentang Deteksi Dini Kanker
Payudara Pada Siswi Kelas X Smk N 2 Sewon Bantul.
157

Anda mungkin juga menyukai