Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

Odontologi Forensik berasal dari bahasa Yunani yaitu “odons” yang berarti

gigi dan “logis” yang berarti ilmu pengetahuan serta dari bahasa Romawi yaitu

“forensik” yang berarti berhubungan dengan pengadilan, sehingga Odontologi

Forensik atau disebut juga Ilmu Kedokteran Gigi Forensik merupakan ilmu yang

menggunakan pengetahuan gigi untuk membantu penegak hukum (Hoediyanto

dan Apuranto, 2012). Cabang ilmu ini berhubungan dengan pengambilan sampel,

pemeriksaan dan evaluasi bukti perkara berupa gigi (dental evidence) yang

menjadi bukti dalam suatu kasus perkara pidana (Wibisono, 2012). Awalnya

cabang ilmu ini berkembang untuk kebutuhan dalam proses penyidikan suatu

tindak pidana khususnya penyelesaian permasalahan kriminal, tetapi sejalan

dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan masalah sosial, cabang ilmu ini

berhubungan dengan berbagai kasus sipil seperti kecelakaan baik di darat, laut,

maupun udara, kasus terorisme, bencana alam, dan lain sebagainya

(Prawestiningtyas dan Algozi, 2009). Pada kasus-kasus seperti ini tidak jarang

terjadi kesulitan dalam melakukan identifikasi korban karena kerusakan yang

membuat jenazah sulit untuk dikenali, proses identifikasi tersebut menjadi penting

bukan hanya untuk menganalisis penyebab suatu kematian, namun juga untuk

memberikan ketenangan psikologis pada keluarga dengan adanya kepastian

korban (Prawestiningtyas dan Algozi, 2009).

Identifikasi individu dalam ruang lingkup antropologi kedokteran gigi

forensik dapat dilakukan melalui beberapa parameter yaitu identifikasi usia, ras,

1
dan jenis kelamin. Identifikasi jenis kelamin merupakan langkah pertama yang

penting dilakukan dalam proses identifikasi forensik karena dapat menentukan

50% probabilitas kecocokan dalam identifikasi individu serta dapat

mempengaruhi beberapa metode pemeriksaan lainnya, seperti estimasi usia dan

tinggi tubuh individu (Eboh, 2012).

Berdasarkan latar belakang diatas, maka makalah ini akan membahas

identifikasi jenis kelamin melalui gigi dan mulut dalam berbagai kasus odontologi

forensik.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Gigi dan Komponennya

Sebuah gigi mempunyai mahkota, leher, dan akar. Mahkota gigi

menjulang di atas gusi, lehernya dikelilingi gusi dan akarnya berada di

bawahnya. Gigi dibuat dari bahan yang sangat keras, yaitu dentin. Di dalam

pusat strukturnya terdapat rongga pulpa (Pearce, 1979).

Orang dewasa memiliki 32 gigi, 16 tertanam di dalam proses

alveolaris maksila dan 16 di dalam mandibula. Yang disebut gigi permanen

ini didahului oleh satu set sebanyak 20 gigi desidua, yang mulai muncul

sekitar 7 bulan setelah lahir dan lengkap pada umur 6-8 tahun. Gigi ini akan

tanggal antara umur enam dan tiga belas, dan diganti secara berangsur oleh

gigi permanen, atau suksedaneus. Proses penggantian gigi ini berlangsung

sekitar 12 tahun sampai gigi geligi lengkap, umumnya pada umur 18, dengan

munculnya molar ketiga atau gigi kebijakan (Fawcett, 2002).

Semua gigi terdiri atas sebuah mahkota yang menonjol di atas

gusi atau gingival, dan satu atau lebih akar gigi meruncing yang tertanam

di dalam lubang atau alveolus di dalam tulang maksila atau mandibula.

Batas antara mahkota dan akar gigi disebut leher atau serviks (Fawcett,

2002)

3
2.1.1 Susunan Gigi

Manusia memiliki susunan gigi primer dan sekunder, yaitu

(Fawcett, 2002) :

a. Gigi primer, dimulai dari tuang diantara dua gigi depan yang terdiri

dari 2 gigi seri, 1 taring, 3 geraham dan untuk total keseluruhan 20 gigi

b. Gigi sekunder, terdiri dari 2 gigi seri, 1 taring, 2 premolar dan 3

geraham untuk total keseluruhan 32 gigi.

Masing - masing gigi antara satu dengan yang lainnya memiliki

ciri khusus, yaitu (Hoediyanto dan Apuranto, 2012):

Gambar 2.1 Susunan Gigi (Fawcett, 2002).

a. Gigi seri (Incicivus) pertama

Memiliki bentuk pipih dan terletak pada kanan dan kiri garis

median. Selain itu gigi ini memiliki satu akar lurus dan mahkota lurus.

Incicivus atas lebih besar dan panjang dibandingkan yang bawah.

b. Gigi seri kedua

Memiliki bentuk pipih dan terletak pada distal dari gigi seri

pertama. Selain itu gigi ini memiliki satu akar lurus dengan ujung

kedistal dan lebih kecil dari gigi seri pertama. Gigi seri kedua bawah

4
lebih kecil dari gigi seri atas dan lebih besar dari gigi seri pertama

bawah.

c. Gigi taring (Caninus)

Memiliki bentuk yang lebih runcing, dimana gigi ini memiliki

satu akar dan paling panjang yang bentuknya bulat dan lebih besar.

Caninus atas lebih besar dan kuat dibandingkan yang bawah.

d. Premolar

Memiliki bentuk yang lebih kecil dan lebih pendek yang

terletak pada bagian lateral belakang dari gigi caninus. Mahkota

premolar mempunyai 2 cups yang terdiri dari buccal yang lebih besar

dan lingual atau palatal. Selain itu gigi premolar atas umumnya

memiliki dua akar. Premolar atas lebih besar dibandingkan yang

bawah.

e. Molar atas

Gigi molar satu ukurannya lebih besar dibandingkan molar tiga.

Memiliki tiga akar yaitu satu pada bagian palatal sedangkan dua

lainnya pada bagian buccal. Mahkota gigi memiliki empat cups yang

terdiri dari dua pada bagian palatal dan dua lainnya pada bagian

buccal. Groove pada gigi ini berbetuk seperti huruf “H”.

f. Molar bawah

Molar satu memiliki lima cups yang terdiri dari dua pada bagian

lingual, dua pada bagian buccal, dan satu lainnya pada bagian distal.

Molar dua dan tiga memiliki empat cups yang terdiri dari dua pada

bagian lingual dan dua lainnya pada bagian buccal. Gigi Molar bawah

5
masing-masing memiliki dua akar yaitu bagian messial dan bagian

distal. Groove pada gigi ini berbetuk seperti huruf “+”.

2.1.2 Komponen Gigi

Gambar 2.2 Komponen Gigi (Medscape, 2010).

Komponen-komponen gigi meliputi :

a. Email

Email gigi adalah substansi paling keras di tubuh. Ia berwarna

putih kebiruan dan hampir transparan. Sembilan puluh smebilan

persen dari beratnya adalah mineral dalam bentuk Kristal

hidroksiapatit besar-besar. Matriks organic hanya merupakan tidak

lebih dari 1% massanya (Fawcett, 2002).

b. Dentin

Dentin terletak di bawah email, terdiri atas rongga-rongga berisi

cairan. Apabila lubang telah mencapai dentin, cairan ini akan

menghantarkan rangsang ke pulpa, sehingga pulpa yang berisi

pembuluh saraf akan menghantarkan sinyal rasa sakit itu ke otak.

6
Dentin bersifat semitranslusen dalam keadaan segar, dan berwarna

agak kekuningan. Komposisi kimianya mirip tulang namun lebih

keras. Bahannya 20% organic dan 80% anorganik (Fawcett, 2002).

c. Pulpa

Pulpa merupakan bagian yang lunak dari gigi. Bagian atap

pulpa merupakan bentuk kecil dari bentuk oklusal permukaan gigi.

Pulpa mempunyai hubungan dengan jaringan peri- atau

interradikular gigi, dengan demikian juga dengan keseluruhan

jaringan tubuh. Oleh karena itu, jika ada penyakit pada pulpa,

jaringan periodontium juga akan terlibat. Demikian juga dengan

perawatan pulpa yang dilakukan, akan memengaruhi jaringan di

sekitar gigi (Tarigan, 2002).

Bentuk kamar pulpa hampir menyerupai bentuk luar dari

mahkota gigi, misalnya tanduk pulpa terletak di bawah tonjol gigi.

Pada gigi dengan akar lebih dari satu, akan terbentuk lantai kamar

pulpa yang mempunyai pintu masuk ke saluran akar, disebut

orifisum. Dari orifisum ke foramen apical disebut saluran akar.

Bentuk saluran akar ini sangat bervariasi, dengan kanal samping

yang beragam, selain kadang-kadang juga ditemukan kanal

tambahan (aksesori) yang ujungnya buntu, tidak bermuara ke

jaringan periodontal (Tarigan, 2002).

Bahan dasar pulpa terdiri atas 75% air dan 25% bahan densiti,

yaitu (Tarigan, 2002) :

- Glukosaminoglikan

7
- Glikoprotein

- Proteoglikan

- Fibroblas sebagai sintesis kondroitin sulfat dan dermatan

sulfat.

Pulpa gigi berisi sel jaringan ikat, pembuluh darah, dan serabut

saraf (Pearce, 1979). Pada saluran akar ditemui pembuluh darah,

jaringan limfe, juga jaringan saraf, yang masuk ke rongga pulpa dan

membentuk percabangan jaringan yang teratur serta menarik.

Jaringan yang memasok darah dari pulpa, masuk dari foramen

apical, tempat arteri dan vena masuk serta keluar. Selain pembuluh

darah dan jaringan limfe,jaringan saraf masuk juga ke pulpa melalui

foramen densit (Tarigan, 2002).

d. Sementum

Akar gigi ditutupi lapisan sementum tipis, yaitu jaringan

bermineral yang sangat mirip tulang. Melihat sifat fisik dan

kimiawinya, sementum lebih mirip tulang dari jaringan keras lain

dari gigi. Ia terdiri atas matriks serat-serat kolagen, glikoprotein, dan

mukopolisakarida yang telah mengapur. Bagian servikal dan lapis

tipis dekat dentin adalah sementum aselular. Sisanya adalah

sementum selular, dimana terkurung sel-sel mirip osteosit, yaitu

sementosit (Fawcett, 2002).

2.1.2 Permukaan Gigi

Ada beberapa istilah untuk menunjukan permukaan gigi (Fawcett,

2002):

8
a. Permukaan oklusal : permukaan pengunyahan gigi molar dan gigi pre–

molar.

b. Permukaan mesial : permukaan paling dekat dengan garis tengah tubuh

atau midline.

c. Permuaan lingual : permukaan paling dekat lidah di rahang bawah, di

rahang atas disebut dengan permukaan palatal.

d. Permukaan distal : permukaan paling jauh dari garis tengah.

e. Permukaan bukal : permukaan paling dekat dengan bibir dan pipi.

f. Tepi insisal : gigi insisivus dan gigi kaninus mempunyai tepi potong

sebagai pengganti permukaan oklusal.

g. Permukaan proksimal : permukaan–permukaan yang berdekatan

letaknya, misalnya permukaan mesial gigi tertentu dapat menyentuh

permukaan distal gigi sampingnya. Kedua permukaan itu disebut

dengan permukaan proksimal.

Gambar 2.3 Permukaan Gigi (Fawcett, 2002).

2.2 Identifikasi Odontologi Forensik

9
Ketika tidak ada yang dapat diidentifikasi, gigi dapat membantu

untuk membedakan usia seseorang, jenis kelamin dan ras. Hal ini dapat

membantu untuk membatasi korban yang sedang dicari atau untuk

membenarkan atau memperkuat identitas korban. Gigi memenuhi syarat

untuk dapat dijadikan sarana identifikasi karena mempunyai faktor derajat

individualitas yang sangat tinggi dimana kemungkinannya dapat mencapai

satu banding dua triliyun. Selain itu karena derajat kekuatan dan ketahanan

terhadap berbagai pengaruh kerusakan seperti trauma mekanis, termis,

kimiawi, dekomposisi dan sebagainya. Hal ini karena gigi di samping

strukturnya banyak mengandung bahan anorganik sehingga kuat, juga karena

gigi merupakan jaringan tubuh yang terdapat di bagian badan yaitu mulut

yang cukup memberikan perlindungan terhadap berbagai pengaruh kerusakan

(Gadro, 1999).

Identifikasi dengan sarana gigi dilakukan dengan cara

membandingkan antara dua gigi yang diperoleh dari pemeriksaan gigi orang

atau jenazah tidak dikenal (data postmortem) dengan data gigi yang pernah

dibuat sebelumnya dari orang yang diperkirakan (data antemortem).

Identifikasi dengan cara membandingkan data ini akan dapat memberi hasil

identifikasi sampai pada tingkat individual, yaitu dapat menunjuk siapa orang

yang diidentifikasi tersebut. Data gigi yang pernah dibuat sebelumnya

merupakan syarat utama harus ada apabila identifikasi dengan cara

membandingkan akan diterapkan. Data-data antemortem tersebut antara lain

dapat berupa (Gadro, 1999):

10
a. Dental record, yaitu keterangan tertulis berupa odontogram atau catatan

keadaan gigi pada pemeriksaan, pengobatan atau perawatan gigi.

b. Foto Rontgen gigi

c. Cetakan gigi

d. Prosthesis gigi atau alat orthodonsi

e. Foto close up muka atau profil daerah mulut dan gigi

f. Keterangan atau pernyataan dari orang-orang terdekat di bawah sumpah.

Selain syarat utama bahwa data antemortem harus ada, ketersediaan

data-data tersebut juga harus memenuhi keakuratan untuk dapat

diperbandingkan dengan data hasil pemeriksaan dari orang tidak dikenal yang

akan diidentifikasi. Apabila data gigi antemortem tidak ada, identifikasi

dengan sarana gigi dilakukan dengan cara merekonstruksi data gigi

postmortem, yaitu menilai data-data gigi yang diperoleh dari hasil

pemeriksaan jenazah atau kerangka tak dikenal untuk memperkirakan umur

(melalui pola waktu erupsi dan derajat atrisi gigi), ras, ciri-ciri khas gigi.

Meskipun tidak dapat mencapai hasil sampai pada tingkat individual,

keterangan-keterangan tahapan identitas demikian dapat memberi petunjuk

arah penyidikan. Untuk data postmortem yang perlu dicatat pada pemeriksaan

antara lain adalah (Gadro, 1999) :

a. Gigi yang ada dan yang tidak ada. Bekas gigi yang tidak ada apakah

baru atau lama.

b. Gigi yang ditambal, jenis bahan dan klasifikasi tambalannya.

c. Anomali bentuk dan posisi gigi.

d. Karies atau kerusakan gigi yang ada.

11
e. Atrisi atau keausan dataran kunyah gigi yang merupakan proses

fisiologis untuk fungsi mengunyah.

f. Gigi molar ketiga sudah tumbuh atau belum.

Ada beberapa jenis identifikasi melalui gigi – geligi dan rongga mulut

yang dapat dilakukan dalam terapan semua disiplin ilmu kedokteran gigi

yang terkait pada penyidikan demi kepentingan umum dan peradilan serta

dalam membuat surat keterangan ahli (Saputra, 2011).

Identifikasi ilmu kedokteran gigi forensik terdapat beberapa macam

antara lain (Saputra, 2011):

1. Identifikasi ras korban maupun pelaku dari gigi geligi dan antropologi

ragawi

2. Identifikasi sex atau jenis kelamin korban melalui gigi-geligi dan

tulang rahang serta antrolopogi ragawi

3. Identifikasi umur korban (janin) melalui benih gigi

4. Identifikasi umur korban melalui gigi sementara

5. Identifikasi umur korban melalui gigi campuran

6. Identifikasi umur korban melalui gigi tetap

7. Identifikasi korban melaluikebiasaan menggunakan gigi

8. Identifikasi korban dari pekerjaan menggunakan gigi

9. Identifikasi golongan darah korban melalui pulpa gigi

10. Identifikasi golongan darah korban melalui air liur

11. Identifikasi DNA korban dari analisa air liur dan jaringan dari sel

dalam rongga mulut

12. Identifikasi korban melalui gigi palsu yang dipakainya

12
13. Identifikasi wajah korban dari rekontruksi tulang rahang dan tulang

facial

14. Identifikasi wajah korban

15. Identifikasi korban melalui pola gigitan pelaku

16. Identifikasi korban melalui eksklusi pada korban massal

17. Radiologi ilmu kedokteran gigi forensik

18. Fotografi ilmu kedokteran gigi forensik

19. Victim Identification Form

2.3 Identifikasi Jenis Kelamin dari Gigi Geligi dan Tulang Rahang

2.3.1 Identifikasi Jenis Kelamin Melalui Gigi Geligi

Identifikasi jenis kelamin melalui gigi geligi antara pria dan wanita

dapat di buat tabel sebagai berikut (Saputra, 2011) :

Tabel 2.1 Identifikasi Jenis Kelamin Melalui Gigi Geligi

Gigi geligi Wanita Pria


Outline Bentuk gigi Relatif lebih kecil Relatif lebih besar

Lapisan Email dan Dentin Relatif lebih tipis Relatif lebih tebal
Bentuk Lengkung Gigi Cendrung oval Tapered
Ukuran Cervico Incisal Distal Lebih kecil Lebih besar

Caninus Bawah
Outline Incisive Pertama Atas Lebih bulat Lebih persegi
Lengkung Gigi Relatif lebih kecil Relatif lebih besar

2.3.2 Identifikasi Jenis Kelamin Melalui Tulang Rahang

13
Selain dengan pemeriksaan internal dan eksternal,perbedaaan pria

dan wanita dapat dilihat daritulang-tulang yang ada.salah satu tulang yang

dapat diidentifikasi untuk membedakan jenis kelamin tersebut adalah tulang

rahang (Saputra, 2011) :

1. Identifikasi Jenis Kelamin Melalui Lengkung Rahang Atas

Pada pria lengkung rahang lebih besar dari pada wanita karena

relative gigi geligi pria jarak mesio distal lebih panjang di banding kan

dengan wanita. Sedangkan palatum pada wanita lebih kecil dan bentuk

parabola, dan pada pria palatum lebih luas serta bentuk huruf U.

2. Identifikasi Jenis Kelamin Melalui Lengkung Rahang Bawah

Lengkung rahang bawah pria lebih besar dari wanita karena gigi

geligi wanita jarak mesio distalnya lebih kecil daripada pria.

3. Identifikasi Jenis Kelamin Melalui Tulang Rahang

Terdapat berbagai sudut pandang pada setiap region dan bentuk

serta besar dari rahang pria maupun wanita yang sangat berbeda.

Hal ini dapat digunakan sebagai sarana atau data identifikasi jenis

kelamin melalui tulang rahang bawah.

4. Identifikasi Jenis Kelamin Melalui Sudut Gonion

Sudut gonion pria lebih kecil dibandingkan sudut gonion wanita.

5. Identifikasi Jenis Kelamin Melalui Tinggi Ramus Ascendens

Ramus ascendens pria lebih tinggi dan lebih besar dari pada

wanita.

6. Identifikasi Jenis Kelamin Melalui Inter Processus

14
Jarak prosessus Condyloideus dan ganprosessus Coronoideus

pada pria lebih jauh di banding kan dengan wanita. dengan kata lain

pada pria mempunyai jarak lebih panjang di bandingkan dengan

wanita.

7. Identifikasi Jenis Kelamin Melalui Lebar Ramus Ascendens

Identifikasi jenis kelamin melalui Ramus Ascendens pada pria

mempunyai jarak yang lebih lebar di banding kan dengan wanita

8. Identifikasi Jenis Kelamin Melalui Tulang Menton (Dagu)

Identifikasi jenis kelamin melalui tulang menton pria atau tulang

dagu pria yang di maksut lebih ke anterior dan lebih besar.

9. Identifikasi Jenis Kelamin Melalui Pars Basalis Mandibula

Pada pria parsbasalis mandibular lebih panjang dibandingkan

dengan wanita dalam bidang horizontal.

10. Identifikasi Jenis Kelamin Melalui Processus Coronoideus

Tinggi prosessus Coronoideus pada pria lebih tinggi dibandingkan

dengan wanita dalam bidang vertical.

11. Identifikasi Jenis Kelamin Melalui Table Tulang Menton

Tulang menton pria dalam ukuran pabio lebih tebal dibandingkan

dengan wanita,hal ini kemungkinan masa pertumbuhan dan

perkembangan rahang pria lebih lama dibandingkan dengan wanita.

Ukuran ini sanganlah relative tergantung dari ras, subras dan hannya

dibandingkan sesama etnik.

12. Identifikasi Jenis Kelamin Melalui Lebar dan Tebal Prosessus

Condyloideus

15
Bentuk prosessus condyloideus bermacam-macam, baik pria

maupun wanita. Tetapi mempunyai tebal dan lebar yang sama

Pada pria ukuran diameter prosessusnya lebih besar di bandingkan

dengan wanita, hal ini karena ukuran anterior posterior dan Latero

medio lebih besar dibandingkan dengan wanita

2.4 Analisis Determinasi Jenis Kelamin

Untuk identifikasi jenis kelamin tersebut, dapat dilakukan dalam

berbagai metode. Identifikasi jenis kelamin dapat dilakukan dengan analisis

morfologi jaringan keras (odontometri, orthometri dan bermacam-mcam

keterangan lain) pada bagian oral dan perioral atau jaringan lunak (cetakan bibir-

cheiloscopy, pola rugae pada palatal-rugoscopy) atau analisis molekular

(Ramakrishnan, et al., 2015).

2.4.1 Analisis Morfologi

2.4.1.1 Analisis Jaringan Keras

a. Metode odontometri

Analisis jaringan keras metode odontometri terdiri dari (a) dimensi

mesiodistal (MD) dan dimensi buccolingual (BL) pada gigi (b) mean

canine index (MCI) (indeks gigi), dan (c) morfologi gigi. Dimorfisme

seksual terdapat pada ukuran dan bentuk gigi. Ukuran gigi terbaik

diukur selama awal gigi permanen, hal ini disebabkan karena pada

tahap ini merupakan tahap dimana gigi mendapatkan sedikit stimulus

baik eksternal maupun internal (Ramakrishnan, et al., 2015).

1. Dimensi mesiodistal (MD) dan dimensi buccolingual (BL)

16
Banyak penelitian yang melaporkan dimensi mesiodistal gigi

pada pria lebih besar dibandingkan dengan wanita. Bermacam teori

telah dibuat untuk menjelaskan dimorfisme seksual dari kanina.

Menurut Moss, hal tersebut disebabkan karena enamel pada pria

lebih besar dan tebal dibandingkan dengan enamel wanita karena

periode amelogenesis yang lebih lama atau karena kromosom Y

yang memperlambat maturasi pada pria. Penulis lain

merekomendasikan pengukuran dimensi BL dapat dipercaya untuk

mengidentifikasi jenis kelamin, hal ini disebabkan karena dimensi

BL pada pria lebih besar daripada wanita (Ramakrishnan, et al.,

2015).

Pada penelitian terbaru melaporkan bahwa dimensi

mesiodistal lebih baik digunakan untuk identifikasi jenis kelamin

daripada dimensi buccolingual, Sangat mungkin terdapat

ketidaksesuaian yang terjadi ketika mengukur dimensi mesiodistal

karena kontak yang terlalu dekat dengan gigi yang lain. Oleh karena

itu antara dimensi mesiodistal dan buccolingual, keduanya dapat

membantu sebagai alat yang lebih handal untuk identifikasi jenis

kelamin (Ramakrishnan, et al., 2015).

2. Mean canine index (MCI)

MCI adalah lebar mahkota mesiodistal pada kanina

mandibula, standar dari MCI adalah 0,274. Jika hasil MCI pada

spesimen tengkorak kurang dari atau sama dengan standar MCI

maka individu tersebut dikategorikan wanita. Jika hasilnya lebih

17
dari standar MCI maka individu tersebut adalah pria (Ramakrishnan,

et al., 2015).

3. Morfologi gigi

Fitur nonmetrik seperti tepi aksesori bagian distal, jumlah

kuspid di mandibula molar pertama dapat digunakan dalam penentu

jenis kelamin. Tepi aksesori bagian distal akan terlihat pada pria

dibanding wanita. Pada wanita lebih sedikit jumlah kuspid pada

mandibula molar pertama dibanding pria ( kuspid distobuccal atau

kuspid distal ) (Ramakrishnan, et al., 2015).

b. Metode orthometri

Metode orthometri meliputi morfologi tengkorak dan mandibula.

Pada pria umumnya memiliki ukuran yang lebih besar, rahang (os.

Mandibula) memiliki dagu yang lebih persegi atau dasarnya mendatar,

sudut rahang tampak lebih lancip (acute angle jaw) dan proseccus

mastoideus lebih menonjol. Sedangkan rahang (os. Mandibula) pada

wanita memiliki dagu yang lebih lancip atau dasarnya mendatar (square

chin). Sudut rahang juga tampak lebih lebar (widerangleof jaw) dan

proccesus mastoideus lebih tumpul atau tidak menonjol (Ramakrishnan,

et al., 2015).

18
2.4.1.2 Analisis Jaringan Lunak

a. Cheiloscopy

Ilmu yang mempelajari tentang sidik bibir disebut dengan

Cheiloscopy. Sidik bibir dapat diidentifikasi sejak usia enam minggu

dalam kandungan. Setelah itu sidik bibir tidak akan berubah lagi,

sehingga sidik bibir ini dapat sangat membantu dalam identifikasi

(Ramakrishnan, et al., 2015).

Area 10 mm pada bagian tengah dari bibir digunakan sebagai

area terbaik untuk dilakukannya sidik jari tersebut. Sidik bibir

merupakan lekukan yang terdapat pada tepian vermilion atau bagian

mereh bibir. Menurut Suzuki dan Tsuhihashi , klasifikasi dari sidik bibir

antara lain (Ramakrishnan, et al., 2015):

1) Tipe I, I’ – pola dominan pada wanita

2) Tipe II - pola dominan pada wanita

3) Tipe III - pola dominan pada pria

4) Tipe IV – pola pada pria

5) Tipe V – pola varisi pada pria

19
Gambar 2.4 Pola Sidik Bibir Oleh Suzuki dan Tsuchihashi
(Ramakrishnan, et al., 2015)

b. Rugoscopy

Rugoscopy adalah ilmu yang mempelajari pola ruga palatal untuk

mengidentifikasi seseorang (Ramakrishnan, et al., 2015).

Pola ruga palatal dapat diklasifikasikan berdasarkan nomer, panjang,

dan bentuknya. Klasifikasi berdasarkan panjang ruga yaitu

(Ramakrishnan, et al., 2015) :

1) Ruga primer ( 5-10mm )

2) Ruga sekunder ( 3-5mm)

3) Fragmen ruga ( <5mm )

Sedangkan menurut bentuknya diklasifikasi menjadi

20
(Ramakrishnan, et al., 2015) :

1) Kurva – berbentuk bulan sabit sederhana yang melengkung

2) Bergelombang

3) Lurus – berjalan langsung dari asal ke bagian akhir

4) Sirkular – berbentuk seperti cincin

2.4.2 Analisis Molekular

Pola morfologi dapat berubah-ubah dengan berjalannya waktu dan

dengan adanya faktor-faktor dari luar, sehingga metode yang digunakan

untuk identifikasi jenis kelamin dengan analisis molekuler DNA.

Pengambilan DNA dari gigi seseorang yang tidak diketahui identitasnya

dapat dibandingkan dengan sampel DNA antemortem. DNA terdapat di

darah, sisir, baju, atau sampel biopsi dapat digunakan sebagai smber DNA

antemortem (Ramakrishnan, et al., 2015).

a. Barr bodies

Secara mikroskopis atau histologis jenis kelamin dapat

dideteksi dengan melihat keberadaan kromatin seks yaitu; kromatin-

X dan kromatin-Y. Pada tahun 1949, Barr dan Bertam menemukan

perbedaan diantara keduanya. Mereka menemukan adanya

kondensasi kromatin yang berukuran kecil pada inti sel dari sel saraf

kucing betina tetapi tidak dimiliki oleh sel-sel kucing jantan.

Penemuan tersebut dinamakan sesuai dengan nama penemunya

yaitu Barr bodies. Pada manusia, kondensasi kromatin ini juga dapat

ditemukan di tulang, sel retina, sel mukosa rongga mulut, biopsi sel

21
kulit, darah, tulang rawan, akar batang rambut dan pulpa gigi. Barr

bodies dapat ditemukan pada sekitar 40% sel wanita sedangkan pada

sel pria tidak memiliki Barr bodies sehingga disebut kromatin

negatif (Ramakrishnan, et al., 2015).

Barr bodies sendiri adalah struktur basofilik dengan ukuran 0,8

x 1,1 mikron, yang memiliki bermacam bentuk seperti bulat, persegi

panjang, datar-cembung, bikonveks dan segitiga. Pada mikroskop

elektron bar body memiliki bentuk yang menyerupai abjad seperti

V, W, S atau X (Ramakrishnan, et al., 2015).

b. F-bodies

Kromoson Y mengandung F-bodies, sehingga dapat digunakan

untuk mengidentifikasi jenis kelamin. Banyak penelitian yang

dilakukan untuk identifikasi F-bodies dari jaringan pulpa. Kromatin

Y dapat diteliti di dalam sel selama masa interfase dengan

memberikan pewarnaan Quinacrine mustard, dimana dengan

pewarnaan tersebut keberadaan kromatin Y akan berfluoresensi

lebih terang dan dengan kehadirannya dapat secara konklusif

mengindikasikan kromosom Y dan jenis kelamin positif sebagai pria

(Khorate, et al., 2014).

c. Amelogenin

Amelogenin merupakan protein utama pada pembentukan

enamel pada gigi manusia yang dikode oleh gen yang berlokasi pada

kromosom seks AMELX (Xp22.1-Xp22.3) dan AMELY (Yp11.2).

Gen amelogenin memiliki perbedaan baik dalam ukuran maupun

22
sekuennya, namun gen ini juga memiliki bagian homolog yang

memungkinkan untuk dilakukan amplifikasi secara simultan

menggunakan sepasang primer tunggal. Variasi perbedaan panjang

intron pertama pada gen amelogenin X-Y homolog (AMELX dan

AMELY) dimanfaatkan untuk analisis penentuan jenis kelamin

dalam bidang forensik, analisis arkeologi dan analisis prenatal. Gen

AMEL pada wanita berlokasi pada kedua kromosom X dan

homozigot (46, XX). Pada pria gen AMEL hadir pada kedua

kromosom X dan Y namun heterozigot (46, XY) (Syafitri, et al.,

2013).

Beberapa variasi tes amelogenin telah dipublikasikan.

Metode yang paling sering digunakan adalah metode yang

dikembangkan oleh Sullivan dkk. Teknik ini membagi fragmen X

dan Y pada 106 bp dan 112 bp. Produk amplifikasi dengan metode

ini dapat diidentifikasi setelah proses elektroforesis kapiler,

pyrosequencing, serta gel poliakrilamid agarose. Protokol lain yang

dapat digunakan untuk mendeteksi keberadaan AMELX dan

AMELY yaitu protokol yang di desain oleh Nakahori dkk. protokol

ini membagi produk 977 bp (AMELX) dan 790 bp (AMELY) yang

dapat dengan mudah dipisahkan menggunakan elektroforesis gel

agarose. Pengujian terhadap gen AMEL dapat dilakukan dengan

cepat, lebih akurat, dan memerlukan kuantitas sampel yang kecil

(Syafitri, et al., 2013).

Amelogenesis dapat berkaitan dengan ukuran gigi,

23
kromosom Y mempengaruhi pembentukan enamel dan dentin

sedangkan kromosom X mempengaruhi pembentukan mahkota

terbatas pada enamel. Hal ini menjelaskan bahwa mahkota gigi pada

pria lebih besar daripada wanita akibat periode waktu amelogenesis

pada pria lebih lama dibandingkan pada wanita (Syafitri, et al.,

2013).

d. Sex-determining region (SRY)

Sex-determining region (SRY) merupakan gen yang berperan

dalam perkembangan karakteristik pria. Gen SRY berlokasi pada

lengan pendek (p) kromosom Y pada posisi 11.3. Terdiri dari satu

ekson yang mengkode 204 asam amino. SRY pada kromosom Y

menyebabkan embrio berkembang sebagai pria. Deteksi rangkaian

SRY akan membedakan sampel DNA pria dari sampel DNA wanita.

Penelitian terbaru dalam aplikasi analisis SRY yaitu pemeriksaan

menggunakan sel epitel yang diekstraksi dari akrilik gigi tiruan

sebagai sampel DNA untuk determinasi jenis kelamin. Peneliti

tersebut melaporkan bahwa sampel yang diteliti berhasil dalam

deteksi dan kuantifikasi DNA (Syafitri, et al., 2013).

e. Kromosom-Y marker (Y-STRs)

Y-STRs adalah short tandem repeat yang ditemukan pada

kromosom-Y spesifik merupakan gen koding yang ditemukan pada

lengan pendek kromosom Y, yang penting terhadap determinasi

jenis kelamin pria, spermatogenesis, dan fungsi lain terkait dengan

pria. Y-STRs bersifat polimorfik diantara pria yang tidak berkaitan

24
dan diturunkan melalui garis paternal. Pada dasarnya, ayah

mewariskan profil Y-STRs DNA mereka pada keturunan laki-laki,

dari generasi ke generasi, tanpa perubahan profil (Syafitri, et al.,

2013).

BAB III

25
KESIMPULAN

Peranan odontologi forensik pada berbagai kasus mulai dari kasus tindak

pidana hingga kasus lain seperti kecelakaan, bencana alam, hingga kasus

terorisme dan banyak kasus lainnya menjadi penting terutama saat identifikasi

korban sulit untuk dilakukan. Identifikasi individu dalam ruang lingkup

odontologi forensik dapat dilakukan melalui beberapa parameter yaitu identifikasi

usia, ras, dan jenis kelamin. Identifikasi jenis kelamin merupakan langkah pertama

yang penting dilakukan dalam proses identifikasi forensik karena dapat

menentukan 50% probabilitas kecocokan dalam identifikasi individu.

Proses identifikasi jenis kelamin korban melalui gigi dan mulut dapat

dilakukan mulai dari identifikasi berdasarkan gigi geligi, juga berdasarkan rahang

baik atas maupun bawah dan sebagainya. Hal tersebut dapat dilakukan dalam

metode analisis identifikasi secara morfologi dengan menggunakan analisis

jaringan keras yang meliputi variasi morfologi dari dimensi gigi (odontometri)

dan variasi morfologi tengkorak (ortometri), ataupun dengan menggunakan

analisis jaringan lunak yang meliputi Cheiloscopy dan Rugoscopy. Selain itu

identifikasi dapat dilakukan melalui analisis identifikasi secara molekuler yang

dapat dilakukan dengan menggunakan barr-boddies, F-bodies, sex determining

region Y gene, amel gene dan chromosom Y marker.

DAFTAR PUSTAKA

26
Eboh, D 2012, A Dimorphic Study of Maxillary First Molar Crown Dimensions

of Urbohos in Abraka, South-Southern Nigeria, J Morphol Sci, vol. 29,

no. 2, pp. 96-100.

Fawcett, DW 2002, Buku Ajar Histologi, Edisi 12, Penerbit EGC, Jakarta.

Gadro, SA 1999, Peran odontologi forensik sebagai salh satu sarana

pemeriksaan identifikasi jenasah tidak dikenal, Bagian Ilmu Kedokteran

Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada dan Instalasi

Kedokteran Forensik RSUP dr. Sardjito, Yogyakarta, vol. 31, no. 3, hal

195-199

Hoediyanto, Apuranto, H 2012, Buku Ajar Ilmu Kedokteran Forensik dan

Medikolegal, Edisi Kedelapan, Departemen Ilmu Kedokteran Forensik

dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya,

349-354.

Khorate, et al. 2014, Gender determination from pulpal tissue, vol.6(2), hal 107-

112, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4130012/

Pearce, EC 1979, Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis, Penerbit Gramedia,

Jakarta.

Prawestiningtyas, E, Algozi, AM 2009, Forensic Identification Based on Both

Primary and Secondary Examination Priority in Victim Identifiers on

Two Different Mass Disaster Cases, Jurnal Kedokteran Brawijaya, vol.

25, no. 2, pp. 87-94.

27
Ramakrishnan, K, Sharma, S, Vijayabanu, B, et al. 2015, Sex determination in

forensic odontology : A review,

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4606628/

Saputra, R 2011, Makalah Odontologi Forensik,

https://independent.academia.edu/RidhoSaputra11

Syafitri, K, et al. 2013, Metode pemeriksaan jenis kelamin melalui analisis

histologis dan DNA dalam identifikasi odontologi forensik, vol. 62, hal.

11-16, http://staff.ui.ac.id/system/files/users/elza.ibrahim/publication/59-

188-1-pb_ks_eia.pdF

Tarigan, R 2002, Perawatan Pulpa Gigi (Endodonti), Penerbit EGC, Jakarta.

Wibisono, G 2012, Kapita Selekta Gigi Forensik: Kuliah Ilmu Penyakit Gigi,

Fakultas Kedokteran Diponegoro, Semarang.

28

Anda mungkin juga menyukai