Anda di halaman 1dari 11

Profesionalisme Dalam Bidang Kedokteran,

Masa Kini Dan Yang Akan Datang


March 7, 2012Leave a reply

Pendahuluan
Pada awalnya profesional berarti „commitment“ pada jalan hidup tertentu. Kata kerja “profess”
berarti secara formal diterima dalam komunitas keagamaan, misalnya “monk” yang
mengucapkan sumpah keagamaan dalam aturan agama. Pada akhir abad ke 17 kata tersebut
menjadi lebih sekuler dan meluas di luar lingkup agama. Profesional termasuk mereka yang
“qualified to pursue a vocation or calling”. Hukum, kedokteran dan “egineering” menjadi
profesional karena mereka memerlukan “professed knowledge, shared values and wisdom, and
a fiduciary relationship with others”.
Batasan yang lebih kontemporer adalah :
 
A calling requiring specialized knowledge and often long and intensive preparation including instruction and
skill and methods as well as in the scientific, historical or scholarly principles, underlying such skills and
methods, maintaining by force or organization or concerned opinion, high standard of achievement and conduct,
and commiting its members to continue study and to a kind of work which has for its prime purpose the
rendering of public service.
 
(Dikutip dari Orasi Prof R Hariadi dr SpOG, pada PIT XIV, Juli 2004.)
 
Kalau melihat definisi di atas, ternyata untuk menjadi seorang profesional itu tidak mudah,
karena harus dimulai dengan upaya pembelajaran yang sistematik dan teratur, yang mencakup
teori, ketrampilan dan metoda, untuk kemudian, menjaga prestasi dan perilaku kerjanya
dengan standar yang tinggi, serta mengharuskan setiap anggotanya untuk selalu belajar, dan
mengarahkan mereka untuk mengutamakan kerjanya dalam bentuk pelayanan masyarakat.
Kalau kita kaji lebih dalam, yang diuraikan di atas itu sebetulnya telah memenuhi seluruh
dimensi keilmuan, yaitu cognitive, psychomotor dan affective, yang menggambarkan
kemampuan Intellegent Quatient (IQ) dan Emotional Quatient (EQ).
Karena dokter termasuk kelompok profesional, apakah definisi tersebut di atas sudah sesuai
dengan ciri-ciri profesi kedokteran ? Saya kira, kita para dokter, dapat menjawab pertanyaan
tersebut dengan penuh keyakinan dan kebanggaan bahwa kita memang termasuk kelompok
profesional. Bukankah kurikulum pendidikan dokter yang berlangsung selama enam tahun,
melalui tahapan sarjana dan profesi itu telah memenuhi kriteria pendidikan profesional, baik
dilihat dari tujuan, materi, cara dan lahan belajar maupun cara evaluasinya?
Kita telah sepakat bahwa dalam kesehari-hariannya, keprofesionalan seorang dokter harus
tampak dari kompetensi klinik dan kompetensi etika yang tinggi. Kompetensi yang pertama
terwujud dalam bentuk kemampuan ilmu teknologi dan ketrampilan yang tinggi. Sedangkan
yang kedua terlihat dari niat, sikap dan perilaku yang baik (etis).
Kita juga telah mempunyai organisasi profesi seperti IDI, POGI dll, dengan AD/ART yang
mantap, dan yang secara konsisten membina dan membela anggotanya.
Apakah dengan kurikulum pendidikan dokter yang sekarang kita dapat menjamin bahwa semua
dokter akan bersikap profesional? Belum tentu, karena ilmu dan teknologi itu selalu
berkembang, dan perkembangannya sangat cepat. Oleh karena itu, agar bisa tetap dianggap
profesional setiap dokter harus menerus mengikuti perkembangan iptek tersebut, baik dengan
mengikuti berbagai kegiatan ilmiah, telaah pustaka maupun pelatihan-pelatihan tertentu. Di
samping itu, dokter sebagai manusia biasa bisa berbuat kesalahan, khususnya dalam sikap dan
perilakunya terhadap penderita yang tidak sesuai dengan etika kedokteran. Oleh karena itu
setiap dokter harus selalu mawas diri agar tidak dituduh arogan, materialistik dan sikap-sikap
lain yang tidak terpuji.
Profesionalisme itu harus terwujud dalam bidang Pelayanan, Pendidikan dan Penelitian
Kesehatan, tetapi makalah ini lebih difokuskan kepada masalah Pelayanan dan Pendidikan,
masa kini dan yang akan datang. Masa kini akan mengangkat profesionalisme dalam Pelayanan
sebagai isu aktual yang berkembang di masyarakat, sedangkan masa yang akan datang akan
membahas profesionalisme dalam Pendidikan sebagai upaya untuk menetraliser isu-isu negatif
dalam Pelayanan.
 
Profesionalisme Kedokteran masa kini
Salah satu cara untuk menilai derajat profesionalisme dalam bidang kedokteran adalah dengan
membandingkan persepsi para dokter tentang jati dirinya dengan persepsi penderita atau
masyarakat tentang apa yang telah diperbuat oleh para dokter dan baik buruknya tindakan
tersebut bagi mereka. Masyarakat akan menganggap profesional bila mereka merasa puas
bukan hanya dari perbaikan fisik saja, tetapi juga puas dalam segi, mental, emosional dan
sosial. Kepuasaan tersebut tidak semuanya dapat diukur secara kuantitatif, terutama yang
berisifat non medis. Inilah salah satu kesukaran yang dihadapi para dokter.
Ada tiga paradigma yang selalu harus diingat oleh para dokter yang menganggap dirinya
profesional, yaitu :
1. Ciri-ciri profesionalisme adalah :
1. Memiliki ilmu dan teknologi yang kontemporer
2. Memiliki ketrampilan yang tinggi
3. Memiliki niat, sikap dan perilaku yang baik (etis)
 
2. Falsafah moral dari Etika Kedokteran yang berlaku secara universal adalah :
1. Beneficence : niat seorang dokter untuk selalu berbuat sesuatu bagi kepentingan penderita.
2. Autonomy  : hak penderita untuk mendapat informasi dan pelayanan yang terbaik dan ikut serta dalam
setiap keputusan klinik dalam kedudukan yang setara.
3. Justice          :   keadilan bagi seluruh masyarakat dalam bidang kesehatan.
 
3. Bentuk pelayanan harus sesuai dengan jiwa dari definisi Medicine yaitu :
 
Medicine is the Art and Science of the diagnosis and treatment of the disease and the maintainance of health
 
Science adalah dasar dari kompetensi klinik (ekspertis) dalam bentuk kemampuan membuat
diagnosis dan terapi yang benar tentang penyakit, yang sesuai dengan Evidence Based Medicine
(EBM), yang juga identik dengan kemampuan memberikan CURE. Sedangkan Art adalah seni
bagaimanan ekspertis yang EBM tersebut disampaikan kepada orang sakit dengan cara yang
etis, holistik dan humanistis (CARE)
     Jadi  pelayanan yang baik itu harus merupakan gabungan dari CURE dan CARE yang
proporsional. Makin akut kasusnya, porsi CURE lebih besar dan didahulukan. Tetapi pada kasus
yang kronis atau terminal, CARE lebih diutamakan.
Pembekalan untuk kemampuan CURE sebetulnya tidak sulit, karena setiap kurikulun sudah
mempunyai standar minimumnya. Yang diperlukan adalah mempertajamnya dengan
pengalaman dan pelatihan yang terus menerus.
Tetapi pembekalan tentang kemampuan CARE sampai sekarang belum ada sistem yang baku,
bahkan boleh dikatakan belum ada sistem sama sekali.
Kalau syarat profesionalisme itu diartikan bahwa setiap dokter harus melaksanakan ketiga
paradigma tersebut secara konsekuen, mungkin tidak ada seorang dokterpun dapat dianggap
sebagai profesional, apalagi dengan pembekalan dalam masalah CARE yang sangat minim.
Keadaan akan lebih buruk bila bila tuntutan masyarakat tentang hak otonominya dilaksanakan
secara ekstrem, posisi dokter akan makin terpojok.
Situasi inilah yang sekarang sedang terjadi, yaitu perubahan sikap masyarakat terhadap profesi
dokter.
Dahulu, hubungan dokter – penderita itu sifatnya paternalistik, dengan dokter sebagai fihak
yang dituakan. Dengan demikian, apa-apa yang  disarankan oleh dokter selalu harus diikuti
oleh penderita maupun keluarganya. Hal ini tidak akan menjadi masalah andaikata seluruh
keputusan klinik dokter tersebut benar sehingga penderita tidak dirugikan. Tetapi dokter itu,
sengaja atau tidak, dapat membuat kesalahan, bahkan mungkin tidak jarang. Bila hal ini terjadi,
dalam hubungan yang sifatnya paternalistik, sering kali penderita dan keluarganya tidak bisa
berbuat apa-apa.
Tetapi saat sekarang, dengan adanya hak otonomi dari penderita, mereka menuntut kesetaran.
Mereka ingin mendapat informasi dan pelayanan yang sebaik-baiknya dan diikutsertakan dalam
pengambilan keputusan klinik.
Tetapi status kesetaraan ini, untuk saat sekarang, belum dapat dilaksanakaan secara utuh di
negara kita ini, sebab masih banyak anggota masyarakat yang berpendidikan kurang, sehingga
mereka kurang mampu menyerap informasi yang diberikan. Masih banyak di antara mereka
yang menyerahkan sebagian besar atau seluruh keputusan kepada dokternya. Di samping itu,
masih ada anggota masyarakat yang tidak mau atau belum mau menggunakan hak otonominya
atau menuntut kesetaraan. Oleh karena itu, untuk kita, saat ini, hubungan paternalistik antara
dokter – penderita, masih mempunyai tempat, asal fihak dokter tidak bersikap otoriter dan mau
menerima saran.
Secara umum dapat dikatakan bahwa pada saat ini sikap masyarakat adalah ambivalen. Di satu
fihak mereka memuji dan bahkan memuja kemajuan dalam bidang teknologi kedokteran yang
telah berhasil meyelamatkan jiwa atau mengurangi penderitaan berjuta-juta manusia. Tetapi di
lain fihak mereka menghujat bahkan menuntut ke pengadilan atas sikapnya yang di anggap
arogan, materialistik dan kurang/tidak mempunya rasa empati. Hujatan dan tuntutan semacam
ini makin lama makin banyak, baik dalam bentuk tertutup maupun terbuka.
Kalau ketidakpuasan itu terletak pada ketidakmampuan CURE, maka bentuk protesnya bisa
berbentuk tuntutan ke pengadilan atas dasar malapraktek. Tetapi bila masalah CARE yang
dipersoalkan maka dokter tersebut akan dihujat karena sikapnya yang dianggap tidak etis.
Walaupun bentuk hujatan tidak menjadi tuntutan perdata atau pidana, tetapi nama dokter
tersebut sudah tercoreng, terlepas dari benar atau tidaknya isu tersebut. Apalagi sekarang
kecenderungan masyarakat untuk mengekspos dalam mass media, makin meningkat.
Kalau kita perhatikan, hujatan tentang masalah CARE lebih besar dari tuntutan tentang
kekurangmampuan CURE. Dengan lain perkataan, bukan kemampuan kliniknya yang
dipersoalkan, melainkan sikap dan perilakunyalah yang tidak bisa ditolerir. Banyak anggota
masyarakat yang merasa puas karena dirinya telah sembuh dan sehat lagi seperti sedia kala,
tetapi di samping itu mereka tetap menghujat dokternya karena sikap dan perilakunya yang
tidak menggambarkan ciri dokter yang berbudi luhur.
Sebaliknya pada mereka yang dituntut atas dasar malpraktek (masalah CURE), sering secara
otomatis dokter tersebut dianggap melanggar etika.
 
Contoh ekstrem hujatan masyarakat :
“Akan saya aduk-aduk para dokter sampai mereka hanya tinggal memakai celana kolor”
“Telah ada kelompok 29 pengacara yang akan membela secara gratis para pasien yang tidak berdaya menghadapi
malpraktek para dokter”
“Akan saya buka mata para dokter supaya mereka tidak arogan”
 
(Dikutip dari Orasi Prof R Hariadi dr SpOG, pada PIT XIV, Juli 2004)
Sudah seburuk itukah perilaku dokter-dokter kita itu? Sudah serendah itukah citra profesi
kedokteran itu? Untuk itu kita harus berani mengadakan introspeksi secara jujur, baik sendiri-
sendiri, maupun secara organisasi.
Menurut Jonsen dkk, agar tidak terjadi konflik antara dokter dan penderita, perlu
dikembangkan Etika Klinis atau Clinical Ethics, yang menurut mereka pengertiannya adalah
sebagai berikut :
 
Etika Klinis adalah disiplin praktis yang memberikan pendekatan terstruktur dalam membantu  mengambil
keputusan dengan mengidentifikasikan, menganalisis dan memecahkan isu etik dalam kedokteran klinik
 
Menurut mereka dalam pelaksanaan Etika Klinis ada empat topik yang terkait, yaitu :
1. Indikasi medis, adalah kemampuan seorang dokter untuk melakukan penilaian klinis yang mencakup
diagnosis dan intervensi, sebagai hasil pendidikan, pengalaman dan sikap profesionalismenya.
2. Preferensi atau pilihan penderita , adalah sikap penderita terhadap anjuran dokternya, berupa persetujuan
atau penolakan.
3. Quality of Life (QOL) atau Mutu Kehidupan. Perlu ditentukan apakah QOL penderita setelah sakit dan
mendapat pengobatan itu akan menurun, menetap atau bertambah baik.
4. Faktor-faktor kontekstual, adalah faktor eksternal yang ada kaitannya dengan pengobatan dan perawatan
penderita, seperti keluarga, sosekbud dan hukum.
 
Masalah etika dalam kasus  klinis akan terjadi, jika ada masalah dalam salah satu atau lebih dari keempat topik
tersebut.
 
Kalau keempat topik itu dilaksanaan dengan konsekuen, sebetulnya Jonsen telah menawarkan
gabungan pelayanan CURE dan CARE, seperti yang dimaksud dalam definisi Medicine tersebut
di atas.
Tcechekmedyan NS, pernah menawarkan bentuk pelayanan kesehatan semacam ini, dan
menyebutnya sebagai BiomedisPsikoSosioSpiritual. Biomedis tidak lain adalah CURE, yang hanya
dapat diberikan oleh dokter beserta timnya, sedangkan PsikoSosioSpiritual adalah CARE, yang
merupakan upaya gabungan Tim Kesehatan dengan fihak-fihak lain yang terkait, seperti
Pekerja Sosial, Ulama dll.
Kalau kita sepakat untuk memakai arahan Jonsen itu sebagai pegangan dalam melaksanakan
profesionalisme kita, dapatkah kita berasumsi bahwa isu-isu negatif tentang profesi
kedokteran yang berkembang di masyarakat saat ini, adalah sebagai akibat dari tidak
konsekuennya para dokter dalam melaksanakan paradigma tersebut?
Ada beberapa faktor yang memungkinkan para dokter bersikap demikian :
 
1. Dari semula dokter tersebut sudah berperilaku buruk. Hanya karena dia mempunyai IQ yang cukup
tinggilah maka dia bisa mengikuti dan menyelesaikan pendidikan dokter. Bagi dokter semacam ini, profesi
kedokteran hanya dianggap sebagai “Commodity Business” yang dapat diperjual belikan. Dokter semacam ini
akan sulit dibina. Saya yakin, tipe dokter semacam ini jumlahnya tidak  banyak.
2. Mungkin pada permulaannya dokter itu cukup “idealis”, dan mempunyai citra yang benar tentang profesi
dokter, tetapi karena kebutuhan, pengaruh lingkungan dan persaingan yang ketat, terpaksa bersikap “vivere
pericoloso”, sehingga tanpa disengaja melanggar etika atau melakukan malpraktek. Dokter itu adalah manusia
juga yang membutuhkan sarana hidup yang layak bagi diri sendiri dan keluarganya. Dengan lingkungan
masyarakat yang pada umumnya sudah materialistik, faktor kebutuhan ini semakin menonjol. Di samping itu,
karena jumlah dokter yang berpraktek makin lama makin banyak, terutama di kota-kota , maka tidak mudah
untuk seorang dokter untuk membina prakteknya dan mendapat penghasilan yang cukup. Tanpa keimanan, 
ketakwaan dan idealisme yang cukup tinggi, serta pembinaan yang terus menerus dari organisasi profesinya,
mereka akan mudah tergelincir. Saya kira jumlah dokter yang masuk golongan ini, cukup banyak dan akan
bertambah banyak. Tetapi kemungkinan untuk mengajak mereka kembali ke jalan yang benar, masih terbuka
luas. Jangan lupa bahwa kitapun masih banyak mempunyai dokter-dokter yang benar-benar profesional dengan
dedikasi yang tinggi. Harus ada usaha agar kedua kelompok dokter tersebut sering bertemu, baik dalam resmi
seperti Kongres dan PIT maupun yang tidak resmi, seperti Malam Klinik. Hendaknya pada pertemuan tersebut,
informasi tentang perkembangan ilmu dan teknologi selalu disertai dengan aspek etikanya.
3. Mungkinkah faktor pendidikan mempunyai peranan terhadap menurunnya citra profesi dokter di mata
masyarakat? Seperti kita ketahui, semua Fakultas Kedokteran bertujuan untuk menghasilkan dokter yang
mempunyai kompetensi klinik dan etika yang tinggi. Saat ini peserta pendidikan kedokteran, baik umum
maupun spesialis makin bertambah, sedangkan materi pendidikan, khususnya jumlah penderita yang dapat
digunakan untuk pendidikan, tidak bertambah, bahkan cenderung menurun. Walaupun sudah ditambah dengan
Rumah Sakit Jaringan di daerah, kebutuhan akan materi pendidikan tetap akan menjadi masalah besar. Hal ini
sudah sering diajukan oleh para koasisten. Secara teoritis, keadaan ini, ditambah dengan kenyataan bahwa
pembekalan dalam bidang etika masih kurang, sepertinya akan dapat menurunkan citra profesi dokter. Tetapi
dalam kenyataannya tidak harus demikian, karena profesionalisme masih selalu dapat ditingkatkan, walaupun
mereka sudah meninggalkan bangku kuliah. Kiatnya terletak pada niat dan upaya yang kuat dan teguh untuk
terus belajar. Pada saat mereka mulai melaksanakan kariernya, itikad  pertama yang harus mereka canangkan, 
bukan hanya akan mengamalkan apa yang mereka punyai, tetapi juga harus selalu menganggap dirinya masih
kurang, sehingga selalu merasa adanya kebutuhan mengisi kekurangan tersebut, khususnya dengan pengalaman.
Bukankah pengalaman itu adalah Guru yang terbaik? Jadi walaupun dari tahun ke tahun, kadar pembekalan itu
berbeda, tetapi selama dalam pendidikan itu ditanamkan keharusan untuk belajar seumur hidup, maka
kekurangan kuantitatif tersebut akan segera hilang, asal mau belajar dari pengalaman. Dengan demikian kita
tetap bisa menjaga citra profesi kita.
Dalam kaitan dengan ini Welch WH (1850-1930) mengatakan bahwa :
 
Medical education is not completed at medical school, it is only begun.
 
4. Faktor lain yang perlu kita fikirkan adalah tuntutan masyarakat yang makin meningkat. Jika masyarakat
menuntut hak otonominya secara ekstrem, tanpa memperhatikan hak integritas dokter, maka akan selalu terjadi
konflik. Apapun yang dilakukan fihak dokter mungkin tidak pernah akan memuaskan. Di samping mempunyai
hak otonomi, hendaknya penderita dan masyarakat mempunyai kearifan bahwa dokter itu manusia juga yang
mempunyai perasaan, keinginan, kebutuhan dan harapan seperti manusia-manusia lainnya. Di samping itu, dia
juga tidak bebas dari sifat khilaf, suka tidak suka, senang tidak senang, serta bisa berbuat kesalahan. Juga
mereka harus sadar bahwa penilaian mereka bisa salah, karena informasi tentang dunia kedokteran tidak
seluruhnya mereka kuasai, sehingga bisa menimbulkan salah tafsir. Karena itu diharapkan dari masyarakat, bila
dokter berbuat salah, hendaknya mereka meninjau masalah tersebut secara arif, sehingga tidak selalu harus
diikuti dengan hujatan secara terbuka. Kalau bisa, memaafkannya, selama kesalahan tersebut tidak terkait
dengan masalah hukum. Jangan lupa, bahwa para dokterpun sering menjumpai penderita yang menjengkelkan,
baik dalam sikap dan bicaranya, atau dalam cara menawar honor dokter seperti dalam kegiatan jual beli barang.
Atau mereka yang datang hanya untuk minta surat cuti sakit, walaupun dirinya jelas-jelas tidak sakit, seolah-
olah surat cuti sakit itu sesuatu yang dapat dibeli. Atau mereka yang meminta kuitansi yang melebihi honor
dokternya, karena mereka tidak mau rugi. Dua sikap terakhir ini sangat menggoda para dokter muda untuk
berbuat tidak etis. Andaikata para dokter itu boleh memilih, ingin sekali kita dihindarkan dari penderita
semacam itu.
5. Pengaruh globalisasi, kalau tidak ditanggapi secara arif dan bijaksana, dapat menyebabkan dua pengaruh
negatif terhadap citra profesi dokter. Pertama, perkembangan bioteknologi yang sangat cepat telah
menghasilkan berbagai alat-alat kedokteran, dari yang sederhana sampai yang super canggih. Kita sebagai
negara yang belum mampu memproduksi alat-alat tersebut, terpaksa menjadi konsumen yang setia. Tanpa
disadari terbentuklah citra, seolah-olah itulah kedokteran modern, dan kepemilikan atau penguasaan alat-alat
tersebut adalah ciri seorang dokter profesional. Tanpa disengaja persepsi semacam ini tertularkan kepada
masyarakat, sehingga seorang SpOG yang tidak mempunyai USG sendiri dianggap tidak atau kurang
profesional. Kedua, di samping masuknya hasil bioteknologi, masuk pula wawasan HAM dalam pelayanan
kesehatan, antara lain dalam bentuk Hak Reproduksi Wanita. Dalam kaitan dengan ini FIGO
merekomendasikan bahwa setiap wanita mempunyai hak untuk mengakhiri kehamilannya selama bayi masih
“non viable”, yang berarti 22 minggu ke bawah, dan berhak pula untuk mendapat pelayanan yang baik. Apakah
kita para dokter, agar dianggap sebagai dokter yang modern dan profesesional harus mengikuti arus globalisasi
tanpa reserve? Padahal sudah jelas bahwa kehadiran alat-alat canggih tersebut tidak dapat menurunkan angka
kematian ibu dan anak secara bermakna. Sementara itu, pengaplikasian HAM tanpa dipilah-pilah akan
menimbukan erosi kebudayaan.
 
Itulah citra profesi kedokteran di masa kini, penuh kontroversi, karena di satu fihak kita melihat
adanya keserasian hubungan antara para dokter dengan masyarakat yang menggembirakan,
tetapi di lain fihak banyak ditemukan gambaran dan isu-isu negatif yang merisaukan.
Di samping itu, penuh tantangan, karena ada keharusan untuk paling sedikit memperkecil
Konflik Klinik tersebut, sedangkan prospek keberhasilannya tidak secerah apa yang diharapkan,
sehubungan dengan  sebabnya yang bersifat multifaktorial.
 
Profesionalisme Kedokteran masa yang akan datang
Bagaimana gambaran profesionalisme dokter di masa yang akan datang? Akan lebih baik, tetap
atau bahkan lebih buruk? Yang jelas, karena faktor-faktor penyebab terjadinya konflik, seperti
telah diuraikan di atas masih tetap ada, maka Konflik Etika akan selalu terjadi. Di samping itu
bioteknologi akan terus berkembang dengan segala implikasi etiknya. Sedangkan
perkembangan HAM akan membawa manusia untuk lebih bersikap praktis  pragmatis
individualistis, dan kurang memberi nilai kepada aspek filosofis normatif moralnya.
Sass mengatakan bahwa perkembangan Bioetika di masa yang akan datang akan bergantung
pada upaya membangun dan memperkuat hubungan dokter-pasien, yang merupakan ciri etika
dari orang-orang terpelajar dan bertanggung jawab. Di samping itu, bergantung pula kepada
sejauh mana filosofi dan pengetahuan etika dapat diaplikasikan ke dalam praktek sehari-hari.
Pada bagian ini, saya tidak akan membahas citra profesi dokter sebagai masalah, tetapi akan
lebih menekankan kepada upaya untuk memperbaiki citra tersebut.
Karena Konflik Etika itu tidak mungkin dihilangkan sama sekali, maka kewajiban kita para
dokter adalah mengurangi isu konflik tersebut, baik kuantitatif maupun kualitatif, tanpa
mengurangi integritas masing-masing
Ada dua upaya yang dapat dilakukan yang oleh para dokter, yaitu :
 
1. Membenahi diri, baik secara pribadi, institusi pendidikan maupun pembinaan oleh organisasi profesi.
2. Mensosialisasikan hasil pembenahan diri kepada semua fihak yang terkait, khususnya penderita dan
masyarakat.
 
Pembenahan diri
Sebelum mulai dengan pembenahan, kita harus sepakat dahulu tentang jati diri kita, yaitu :
1. Bahwa kita para dokter adalah profesional dengan ketiga cirinya yang khas, yaitu iptek kontemporer,
ketrampilan tinggi dan etika yang baik.
2. Dasar filosofis moral etika adalah beneficence-autonomy-justice.
3. Aplikasi pelayanan harus berdasarkan definisi MEDICINE yang mengandung unsur CURE dan CARE,
yang salah satu bentuknya adalah paradigma Jonsen.
Kita juga harus sepakat bahwa isu negatif tentang citra beberapa dokter, yang kadang-kadang
di “blow up” menjadi seolah-olah merupakan gejala umum itu, memang sebagian ada
benarnya, walaupun tidak seluruhnya merupakan tanggung jawab para dokter. Atas dasar itu
maka kita perlu membenahi diri.
Pembenahan diri pribadi
Salah satu bentuk etik dari seorang dokter adalah bertanggung jawab dan jujur. Setiap kali dia
mendengar ada sejawatnya digugat, hendaknya dia bertanya-tanya apakah dia pernah
melakukan hal yang sama atau identik. Kalau pernah, sebaiknya dia bersyukur kepada Allah
SWT, karena dia masih terhindar dari gugatan, walaupun telah berbuat kekhilafan. Selanjutnya,
rasa tanggung jawabnya mengharuskan dia untuk berusaha sekuat mungkin dan berdoa agar
hal yang semacam itu tidak terjadi lagi pada dirinya. Ada baiknya bila masalah ini dibahas di
antara sejawat, agar dampak perbaikan bisa lebih besar.
 
Pembenahan institusional
Kalau kita bertolak dari filosofis moral etika, yang harus bersikap etis itu bukan hanya dokter
sebagai pribadi, tetapi semua jajaran kesehatan. Misalnya menghadapi hak otonomi pasien dan
justice atau keadilan bagi masyarakat, akan terlibat pula Rumah Sakit sebagai penyelenggara
pelayanan kesehatan, Departemen Kesehatan sebagai pengambil kebijakan teknik, serta
Pemerintah sebagai pengambil kebijakan umum.
Pada kesempatan ini saya hanya akan membahas pembenahan yang perlu dilakukan oleh
Fakultas Kedokteran sebagai institusi pendidikan yang diharapkan dapat menghasilkan dokter
yang profesional.
Titik beratnya bukan pada masalah kurikulum dengan segala atributnya, melainkan kepada
individu-individu yang berperan sangat penting dalam memberikan pengajaran, yaitu PARA
DOSEN.
Dari segi kurikulum, di samping pengembangannya yang selalu harus dinamis, perlu pula
difikirkan unsur-unsur yang berkaitan dengan dimensi keilmuan, seperti yang ditawarkan oleh
UNESCO, 1998, dalam The International Commisson on Higher Education for 21stCentury.
Seperti kita ketahui, setiap ilmu mengandung tiga dimensi, yaitu kognitif, psikomotor dan
afektif. Untuk dimensi kognitif yang diperlukan adalah kekuatan otak, akal atau IQ. Sedangkan
untuk psikomotor yang diutamakan adalah panca indra. Dimensi afektif adalah pekerjaan kalbu,
hati nurani atau perasaan yang memerlukan kekuatan EQ dan SQ.
UNESCO mengatakan bahwa dalam proses belajar perguruan tinggi, apapun jenis yang dicari,
agar bisa bermanfaat, harus mengandung empat unsur, yaitu :
1. Learning to know
Pada tahap ini yang dipelajari adalah dimensi kognitif yang menuntut sikap rasional. Yang
dipelajari adalah segala teori yang berkaitan dengan ilmu itu sendiri, baik Ontologi,
Epistemologi maupun Aksiologinya.
 
2. Learning to do
Pada tahap ini kita diwajibkan untuk menguasai ketrampilan tertentu yang berkaitan dengan
ilmu sebelumnya. Inilah yang disebut dimensi operatif atau psikomotor yang menuntut sikap
praktis.
 
3. Learning to be
Setiap orang dengan IQ yang cukup tinggi bisa saja mengikuti kuliah di Fakultas Kedokteran
sampai tahap 1 dan 2, tanpa harus mempunyai minat untuk menjadi dokter, tetapi tidak akan
bisa sampai tahap ketiga, karena “being a doctor” adalah dimensi emansipatif, emosional atau
afektif yang menutut sikap Etis.
 
4. Learning to live together
Pengakuan “being a doctor” itu tidak cukup dilakukan oleh diri sendiri saja, tetapi harus oleh
fihak lain. Di samping keluarga sendiri, ada tiga fihak yang harus mengakui keprofesionalan
kita, yaitu, penderita, masyarakat dan teman sejawat. Dengan mereka kita akan dan harus bisa
bekerja sama atas dasar kesetaraan dan saling menghormati, karena kita saling membutuhkan.
Tujuan pendidikan tahap ini tidak lain adalah untuk mengajar kita bagaimana hidup bersama
dengan lingkungan kita dalam keadaan koeksistensi damai. Oleh karena itu, tahap ini disebut
sebagai dimensi ekologis yang menuntut sikap kooperatif.
Kalau keempat unsur atau tahapan tersebut diperkenalkan sejak dini dalam bentuk sistem
pembelajaran yang nyata di dalam kurikulum kedokteran, maka mahasiswa sebagai calon
dokter akan lebih bisa menghayati, hubungan antara dimensi kognitif dan psikomotor yang
memerlukan sikap rasional dan praktis (IQ), dengan dimensi afektif emosional dan ekologis,
yang memerlukan sikap etis dan kooperatif (EQ ). Dengan demikian mereka akan lebih siap
untuk menjadi profesional.
Bagaimanapun sempurnanya kurikulum, tidak mungkin akan menghasilkan dokter yang
profesional, andaikata tidak didukung oleh pelaksana-pelaksananya yang bermutu, yaitu PARA
DOSEN. Para dosen inilah yang paling bertanggung jawab dalam memberikan pembekalan
sehingga anak didiknya bisa menjadi dokter yang profesional, atau paling sedikit secara
potensial bisa jadi profesional, baik dalam segi kompetensi klinik maupun etika.
Kita semua sadar bahwa dosen FK itu semuanya adalah AMATEUR. Kita tidak didik khusus untuk
menjadi GURU, walaupun harus diakui bahwa ada di antara kita yang mempunyai bakat untuk
jadi guru.
Barangkali kita bisa sepakat bahwa di samping pengembangan kurikulum secara dinamis, kita
dapat melakukan pembenahan melalui upaya-upaya sebagai berikut :
1. Semua dosen harus menganggap dirinya sebagai GURU yang sadar akan segala kewajiban dan tanggung
jawabnya.
2. Tiap dosen wajib untuk terus menerus meningkatkan profesionalismenya, baik dalam disiplin ilmunya
maupun kemampuan belajar mengajarnya, seperti PEKERTI dan AA.
3. Pembekalan kompetensi klinik (kognitif, psikomotor) yang baik, terlihat dari materi yang selalu “up to
date” dan cara pembelajaran yang “integrated” dan “student oriented”
4. Pembekalan kompetensi etika yang baik, antara lain, terlihat dari sikapnya yang penuh disiplin,
bertanggung jawab, jujur dan setara dalam menghadapi mahasiswa maupun penderita. Mengapa harus setara?
Karena ada kesan dari fihak luar, bahwa pendidikan kedokteran masih berbau “feodalistis”. Contoh dosen yang
tidak etis adalah bila seorang dosen telah berjanji untuk memberi kuliah atau ujian pada waktu yang telah
ditentukan, kemudian membatalkannya tanpa alasan yang syah. Ini adalah ciri dosen yang tidak disiplin dan
tidak bertanggung jawab. Ini dapat menjadi contoh buruk bagi calon dokter. Bisa saja suatu waktu dia
mengingkari janjinya kepada penderita, atau lebih buruk lagi bila pada suatu waktu menjadi dosen, dia akan
berbuat yang sama. Kalau benar ada kesan feodalistis, dikhawatirkan ini akan memupuk sifat arogansi profesi,
seperti yang sering dilontarkan oleh berbagai fihak. Pembekalan kompetensi klinik dan etika hendaknya
diberikan secara simultan dan integratif. Misalnya, pada saat membahas satu kasus, di samping aspek kliniknya
sekali gus dibahas aspek etikanya. Dengan demikian akan lebih mudah diserap.
5. Keberhasilan pembekalan sebaiknya tidak hanya dilihat jumlah lulusan dan nilai IPK, tetapi juga dari sikap
mahasiswa yang mandiri disertai keinginan untuk terus belajar, yang akan menjadi bekal untuk meningkatkan
profesionalismenya di kemudian hari.
 
Dapatkah kita menyusun suatu kurikulum kedokteran yang ideal ?
 
Saya yakin masih ada cara-cara lain untuk pembenahan, tetapi mungkin dapat memulai dengan
cara yang sederhana, seperti yang diuraikan di atas. Yang diperlukan adalah “political will” dari
pimpinan dan kebersaman serta komitmen dari  semua sivitas akademika.
 
 
Pembenahan melalui organisasi profesi
Kita semua tahu bahwa selama ini organisasi profesi seperti IDI, POGI, IDAI dll, telah berusaha
untuk membina anggotanya agar tetap bersikap profesional. Dalam pembinaan kompetensi
klinik memang banyak berhasil, tetapi dari etika, masih perlu ditingkatkan lagi. Di mata
masyarakat ada kesan bahwa organisasi profesi lebih banyak membela dari pada membina.
Walaupun hal ini tidak seluruhnya benar, sebaiknya ditanggapi secara wajar.
Saya harap dalam waktu yang tidak terlalu lama, peningkatan pembinaan etika melalui
organisasi profesi ini, segera terwujud.
 
Sosialisasi upaya pembenahan
Upaya ini tidak akan mudah, karena bisa dianggap sebagai pembelaan diri. Walaupun demikian
tetap harus diupayakan. Mungkin dalam hal ini kita bisa minta bantuan akhli komunikasi, agar
“pesan” kita bisa sampai secara utuh, dan tidak disalah tafsirkan.
Dalam upaya sosialisasi ini diharapkan agar masyarakat mau bersikap positif, terbuka dan
responsif, karena upaya perbaikan masalah konflik hanya akan berhasil, bila fihak-fihak terkait
mempunyai keinginan untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan itikad yang baik.
 
 
Rujukan
1. Martaadisoebrata D, Pengantar ke Dunia Profesi Kedokteran. Edisi pertama. Yayasan Bina Pustaka SP,
Jakarta, 2004
2. Dorland’s Medical Dictionary.
3. Welch WH. Dikutip dari : A Practical Guide For Medical Teachers. Eds. Dent JA, Harden RM. Harcourt
Publishers Limited 2001
4. Jonsen AR, Siegler M, Winslade WJ (1992). “Clinical Ethics, a Practical Approach to Ethical Decisions in
Clinical Medicine”
5. Techecmedyan NS, Cella DF. “Quality of Life in Current Oncology Practice and Research”. Oncology 4.
Special Issues, 1990.
6. International Women’s Health Coalition. The Cairo Consensus. 1994.
7. FIGO Recommendation on Ethical Issues in Obstetrics and Gynecology, August 2000.
8. Sass HM. Bioethics : Its Philosophical Basis and Application : BIOETHICS, Issues and Perspectives,
1990, Pan American Health Organization, Washington, USA.
9. UNESCO. World Declaration on Higher Education for the 21st  Century, Vision and Action, Paris, 1998.

Anda mungkin juga menyukai