Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Reaksi kimia adalah suatu proses alam yang selalu menghasilkan antar perubahan

senyawa kimia. Senyawa ataupun senyawa-senyawa awal yang terlibat dalam reaksi disebut

sebagai reaktan. Reaksi kimia biasanya dikarakterisasikan dengan perubahan kimiawi, dan

akan menghasilkan satu atau lebih produk yang biasanya memiliki ciri-ciri yang berbeda dari

reaktan. Secara klasik, reaksi kimia melibatkan perubahan pergerakan elektrondalam

pembentukan dan pemutusan ikatan kimia. Walaupun pada dasarnya konsep umum reaksi

kimia juga dapat diterapkan pada transformasi partikel-partikel elementer seperti pada reaksi

nuklir.

Senyawa organohalogen digunakan secara meluas dalam masyarakat modern. Sebagai

pelarut, insektisida dan bahan-bahan dalam sintesis senyawa organik. Kebanyakan senyawa

organohalogen adalah sintetik. Senyawa organohalogen agak jarang dijumpai dalam alam.

Tiroksina (thyroxine), suatu penyusun dari hormon tiroid tiroglobulin, adalah suatu senyawa

iod yang terdapat dalam alam. Senyawa halogen agak lebih lazim dalam organisme laut,

seperti ganggang dan rumput laut.

Beberapa tipe senyawa organohalogen adalah senyawa yang mengandung hanya

karbon, hidrogen, dan suatu atom halogen, dapat dibagi dalam tiga kategori : alkil halida, aril

halida (dalam mana sebuah halogen terikat pada sebuah karbon dari suatu cincin aromatik)

dan halida vinilik (dalam mana sebuah halogen terikat pada sebuah karbon berikatan-

rangkap).

1.4 Tujuan

1
Untuk mengetahui reaksi eliminasi E1 dan E2

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Reaksi Eliminasi

Reaksi eliminasi adalah pegurangan suatu gugus (molekul) dari suatu molekul

(kebalikan dari reaksi adisi. Bila suatu alkil halida diolah dengan basa kuat, dapat terjadi

reaksi eliminasi. Dalam reaksi ini sebuah molekul kehilangan atom-atom atau ion-ion dari

dalam strukturnya. Produk organik suatu reaksi eliminasi suatu alkil halida adalah suatu

alkena. Dalam tipe reaksi ini, unsur H dan X keluar dari dalam alkil halid; oleh karena itu

reaksi ini juga disebut reaksi dehidrohalogenasi. (Awalan de- berarti “minus” atau

“hilangnya”).

CH3 CH2

CH3 C Cl + -OH CH3 C + H2O + Cl-

CH3 CH3
2-kloro-2-metilpropana metilpropena

(t-butilklorida) (isobutilena)

2.2 Aturan Yang Meramalkan Produk Utama

2.2.1 Aturan Zaitsev

Selain menyubstitusi halida, nukleofili dapat berperan sebagai basa Lewis dan

mengeliminasi HX dengan reaksi pada hidrogen tetangga.

2
Hanya ada 1 produk alkena dihasilkan pada setiap reaksi berikut:

Dengan basa berukuran kecil seperti ion etoksida atau hidroksida, produk utama ialah

alkena yang lebih tersubstitusi, karena lebih stabil. Reaksi eliminasi terjadi dengan

memberikan alkena yang lebih tersubsitusi.

2.2.2 Aturan Hoffman


Produk utama dari suatu dehidrohalogenasi justru alkena yang kurang stabil dan kurang

tersubstitusi. Bila alkena yang kurang tersustitusi merupakan produk yang lebih melimpah,

dikatakan reaksi itu menghasilkan produk Hofmann.

Suatu gejala biasa yang menghasilkan alkena yang kurang tersubstitusi ialah rintangan

sterik (steric hindrance) dalam kedaan transisi yang seharusnya menghasilkan alkena yang

3
paling tersubstitusi. Rintangan sterik ini dapat meningkatkan energi keadaan transisi itu

sedemikian banyak sehingga reaksi mengikuti jalan lain dan menghasilkan alkena yang

paling tersubstitusi. Rintangan sterik ini dapat disebabkan oleh salah satu dari tiga faktor

berikut. Pertama, ukuran basa yang menyerang merupakan satu sebab. Dalam reaksi eliminasi

2-bromobutana dengan ion etoksida yang kecil itu, alkena yang lebih tersubstitusi akan

melimpah. Dengan ion t-butoksida yang lebih besar 1- dan 2-butena terbentuk sama banyak.

Kedua rintangan sterik mungkin disebabkan oleh meruahnya gugus-gugus yang

mengelilingi gugus pergi dalam alkil halida itu. 2-bromo-2,4,4-trimetilpentana yang

terintangi itu menghasilkan alkena yang kurang tersubstitusi dalam suatu reaksi E2, bahwa

dengan suatu basa kecil sekalipun, seperti ion etoksida.

Ketiga, jika gugus pergi itu sendiri besar dan meruah, produk Hofmann dapat lebih

melimpah.

2.3 Reaksi E1

4
Suatu karbokation adalah suatu zat antara yang tak stabil dan berenergi tinggi, yang

dengan segera bereaksi lebih lanjut. Salah satu cara karbokation mencapai produk yang stabil

ialah dengan bereaksi dengan sebuah nukleofil. Tentu saja ini ialah reaksi SN1. Namun

terdapat suatu alternatif karbokation itu dapat memberikan sebuah proton kepada suatu basa

dalam suatu reaksi eliminasi, dalam hal itu reaksi E1, menjadi sebuah alkena.

Substitusi (SN1) H2O

- H+
- Br-
(CH3)3CBr [(CH3)3C+] (CH3)3COH
t-butil bromida kation t-butil t-butil alkohol

HÖ H
Eliminasi (E1) H

- Br- +
+
(CH3)3CBr (CH3)3C CH2 (CH3)2C=CH2 + H3O:
Kation t-butil metilpropena
Tahap pertama dalam reaksi E1 identik dengan tahap pertama reaksi SN1 : ionisasi

alkil halida. Tahap ini adalah tahap lambat. Seperti reaksi SN1, suatu reaksi E1 yang khas

menunjukkan kinetika order-pertama, dengan laju reaksi bergantung hanya pada konsentrasi

alkil halida saja. Karena hanya melibatkan satu pereaksi dalam keadaan transisi (dari) tahap

penentu laju, reaksi E1 adalah unimolekul seperti reaksi SN1.

Tahap 1 ionisasi (lambat)

Dalam tahap kedua reaksi eliminasi, basa itu merebut sebuah proton dari sebuah atom

karbon yang terletak berdampingan dengan karbon positif. Elektron ikatan sigma karbon-

5
hidrogen in bergeser ke arah muatan positif, karbon itu mengalami rehibridasi dari keadaan

sp3 ke keadaan sp2, dan terbentuklah sebuah alkena.

Tahap 2 deprotonasi (cepat)

Karena suatu reaksi E1, seperti reaksi SN1, berlangsung lewat zat antara karbokation,

maka tak mengherankan bahwa alkil halida tersier bereaksi lebih cepat daripada alkil halida

lain.

Reaksi E1 (dari) alkil halida berlangsung pada kondisi yang sama seperti reaksi SN1

(pelarut polar, basa sangat lemah, dan sebagainya), oleh karena itu reaksi SN1 dan E1 adalah

reaksi bersaingan. Pada kondisi ringan yang diminta untuk reaksi-reaksi karbokation untuk

alkil halida ini, produk SN1 biasanya menang dibandingkan produk E1. Dari segi ini reaksi

E1 alkil halida dianggap relatif tidak penting.

2.4 Reaksi E2

Reaksi eliminasi alkil halida yang paling berguna ialah reaksi E2 (eliminasi

bimolekular). Reaksi E2 alkil halida cenderung dominan bila digunakan basa kuat, seperti –

OH dan –OR, dan temperatur tinggi. Secara khas reaksi E2 dilaksanakan dengan

memanaskan alkil halida dengan K+-OH atau Na+-OCH2CH3 dalam etanol.

CH3CH2OH
Br
kalor 6
CH3CHCH3 + CH3CH2O- CH3CH=CH2 + CH3CH2OH + Br-
E2
Reaksi E2 berjalan tidak lewat suatu karbokation sebagai zat-antara, melainkan

berupa reaksi serempak (concerted reaction) yakni terjadi pada satu tahap, sama seperti reaksi

SN2.

Contoh :

(1) Basa membentuk ikatan dengan hidrogen

(2) Elektron-elektron C-H membentuk ikatan pi

(3) Brom bersama sepasang elektronnya meninggalkan ikatan sigma C-Br

Persamaan diatas menunjukkan mekanisme, dengan anak panah bengkok menyatakan

“pendorongan elektron” (electron-pushing). Struktur keadaan transisi dalam reaksi satu-tahap

ini adalah :

7
Keadaan transisi E2

Dalam reaksi E2, seperti dalam reaksi E1, alkil halida tersier bereaksi paling cepat

dan alkil halida primer paling lambat. (Bila diolah dengan suat basa, alkil halida primer

biasanya begitu mudah bereaksi substitusi, sehingga hanya sedikit alkena terbentuk).

Dapat digambarkan energi yang terjadi dalam reaksi E2 (reaksi satu tahap).

2.4.1. Efek Isotop Kinetik


Sekelumit bukti eksperimen yang membantu orang memahami mekanisme E2 ialah

perbedaan dalam laju eliminasi antara alkil halida berdeuterium dan tak berdeuterium.

Perbedaan dalam laju reaksi antara senyawa yang mengandung isotop yang berbeda disebut

efek isotop kinetik.

Deuterium (21 H atau D) ialah isotop hidrogen yang intinya terdiri dari satu proton dan

satu neutron. Ikatan C-D lebih kuat daripada ikatan C-H sebanyak 1,2 kkal/mol. Telah

dipostulatkan bahwa pemutusan ikatan C-H adalah bagian dari integral (dari) tahap penentu

laju (satu-satunya tahap) dari suatu reaksi E2. Apa yang terjadi bila H yang akan

8
tereleminasikan digantikan oleh D? Pemutusan ikatan CD yang lebih kuat itu meminta lebih

banyak energi. Jadi Eakt harus lebih tinggi dan laju reaksi eliminasi akan lebih rendah.

Bila 2-bromopropana berikut ini dibiarkan bereaksi E2 dengan CH3CH2O- sebagai

basa, dijumpai bahwa senyawa berdeuterasi bereaksi hanya dengan 1/7 laju senyawa 2-

bromopropana. Fakta ini mendukung mekanisme E2 yag diuraikan di atas.

Br

CH3CH2O- + CH3CHCH3 CH3CH2OH + CH2=CHCH3 + Br-


Cepat

Br

CH3CH2O- + CH3CHCD3 CH3CH2OD + CD2=CHCD3 + Br-


lambat

2.4.2. Campuran Alkena


Seringkali reaksi E1 dan E2 dirujuk sebagai eliminasi beta ( β). Istilah ini

mencerminkan hidrogen mana yang dibuang dalam reaksi ini. Berbagai macam atom karbon

dan hidrogen dalam sebuah molekul dapat ditandai dengan α , β dan seterusnya, menurut

alfabet Yunani. Atom karbon yang mengikat gugus fungsional utama dalam sebuah molekul

disebut karbon alfa (α), dan karbon berikutnya karbon beta (β). Hidrogen yang terikat pada

karbon α disebut hidrogen-hidrogen α, sementara yang terikat pada karbon β adalah

hidrogen-hidrogen β. Dalam suatu eliminasi β, sebuah atom hidrogen β dibuang bila

terbentuk alkena. (Tentu saja, alkil halida yang tak mengandung hidrogen β tak dapat

melangsungkan eliminasi β).

Karbon dan hidrogen β dilingkari :

β Br CH3 CH3
9
CH3CHCH3 CH3 C Br CH3CH C Br
Jika 2-bromopropana atau t-butil bromida mengalami eliminasi, hanya akan diperoleh
CH3 CH3
satu macam produk alkena yang mungkin. Namun bila gugus alkil disekitar karbon α

berlainan dan terhadap lebih dari satu macam hidrogen β, maka akan diperoleh lebih dari satu

alkena. Reaksi E2 dari 2-bromobutana menghasilkan dua alkena karena dapat dieliminasi dua

macam atom hidrogen : sebuah hidrogen dari suatu gugus CH 3 atau sebuah hidrogen dari

sebuah gugus CH2.

HO- CH3 CH3

CH3 C Br CH2=C + H2O + Br-

CH3
CH3
t-butil bromida metilpropena
hanya satu macam Hβ satu-satunya alkena yang mungkin
2.4.3. Alkena Mana Yang Terbentuk
Dalam tahun 1875 seorang ahli kimia Rusia, Alexander Saytseff, merumuskan aturan

berikut, yang sekarang disebut aturan Saytseff : Alkena yang memiliki gugus alkil terbanyak

pada atom-atom karbon ikatan-rangkapnya, terdapat dalam jumlah terbesar dalam campuran

produk reaksi eliminasi. Alkena ini dirujuk sebagai alkena tersubstitusi lebih-tinggi. Aturan

Saytseff meramalkan 2-butena akan terdapat lebih banyak daripada 1-butena sebagai produk

dalam reaksi E2 dari 2-bromobutana. Hal ini memang terbukti. Dalam reaksi berikut,

campuran alkena terdiri 80% 2-butena dan hanya 20% 1-butena.


Dua R pada C=C Satu R pada C=C
tersubsitusi lebih tiggi

Na+ -OCH2CH3
CH3CH2CHCH3 CH3 CH=CH CH3 + CH3CH2CH=CH2
CH3CH2OH
2-bromobutana 2-butena 1-butena
(80%) (20%)

10
Telah ditetapkan bahwa alkena tersubstitusi lebih-tinggi lebih stabil daripada alkena

yang tersubstitusi-kurang tinggi. Oleh karena itu eliminasi E2 menghasilkan alkena yang

stabil.

CH2=CH2 CH3CH=CH2 CH3CH=CHCH3 (CH3)2C=C(CH3)2

Bertambahnya kereaktifan

2.4.4. Stereokimia Suatu Reaksi E2


Dalam keadaan transisi suatu eliminasi E2, basa yang menyerang dan gugus yang

pergi umumnya sejauh mungkin atau anti. Karena inilah maka eliminasi E2 seringkali dirujuk

sebagai anti-eliminasi.

Anti eliminasi :

2.4.5 Geometri Eliminasi E2

Antiperiplanar memungkinkan orbital bertumpang-tindih dan meminimalkan interaksi

efek sterik.

11
2.4.6 Prediksi Produk

E2 adalah stereospesifik. Meso-1,2-dibromo-1,2-difeniletana dengan basa

menghasilkan cis 1,2-difenil. RR atau SS 1,2-dibromo-1,2-difeniletana menghasilkan trans

1,2-difenil.

2.4.7 Pembentukan Sikloheksena

12
Proton diambil dan gugus lepas harus menyesuaikan trans-diaksial menjadi anti

periplanar (app) mendekati keadaan transisi. Gugus equatorial tidak benar-benar sejajar.

2.5 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Jalannya Reaksi Substitusi dan

Eliminasi dari Alkil Halida

2.5.1. Struktur Alkil Halida

Metil halida dan alkil halida primer cenderung menjalani reaksi SN2. Mereka tak

membentuk karbokation, jadi tak dapat bereaksi SN1 atau E1. Jika hanya bereaksi E2, alkil

halida primer bereaksi lambat dibandingkan alkil halida lain.

Alkil halida sekunder dapat bereaksi menurut jalan manapun, tetapi SN2 dan E2 lebih

lazim daripada E1 atau SN1. Reaksi-reaksi alkil halida sekunder lebih peka terhadap kondisi

reaksi dalam labu reaksi (konsentrasi nukleofil, pelarut, dan lain-lain) daripada reaksi alkil

halida lainnya.

13
Alkil halida tersier terutama bereaksi E2 dengan suatu basa kuat (seperti -OH atau –

OR), tetapi bereaksi SN1 dan dalam beberapa hal bereaksi E1, dengan basa sangat lemah

(seperti H2O dan ROH).

Halida alilik dan benzil halida mengalami reaksi substitusi dengan mudah :

umumnya SN1 dengan nukleofil lemah dan SN2 dengan nukleofil agak kuat.

2.5.2. Sifat Nukleofil atau Basa

Polarizabilitas suatu ion atau molekul, yang dapat mempengaruhi nukleofilisitas ion

atau molekul itu. Derajat nukleofilisitas lawan kebasaan dapat menentukan jalan reaksi.

Reaksi alkil halida primer dengan suatu nukleofil kuat mengikuti jalan SN2, bahkan juga bila

nukleofil itu suatu basa kuat. Tetapi untuk alkil halida tersier, basa agak kuat apa saja akan

memilih reaksi E2. Hanya basa-basa terlemah (H2O, ROH) menghasilkan substitusi (dengan

mengikuti jalan SN1).

Untuk alkil halida sekunder, nukleofil kuat (seperti CN-) menyukai reaksi SN2,

sementara nukleofil lemah (seperti H2O) menyukai reaksi-reaksi karbokation, terutama SN1

dengan sedikit E1. Basa-basa kuat (seperti –OH dan –OR) menyukai reaksi E2.

Nukleofil kuat : SN2

Nukleofil lemah : SN1

Basa kuat : E2

2.5.3. Sifat Pelarut

Pengaruh pelarut pada reaksi substitusi dan eliminasi terletak pada kemampuan atau

ketidakmampuannya mensolvasi ion-ion : karbokation, nukleofil atau basa, dan gugus-gugus

pergi. Kemampuan mensolvasi ion ditentukan oleh polaritas molekul pelarut itu, yang

biasanya dilaporkan sebagai sebagai tetapan dielektrik (dielectric constant).

14
Pada umumnya pelarut yang sangat polar (seperti air) mendorong reaksi S N1 dengan

membantu menstabilkan karbokation dengan jalan solvasi. Sebaliknya : pelarut yang kurang

polar (seperti aseton) memilih reaksi SN2 dan E2, karena pelarut itu tidak membantu ionisasi.

Di samping solvasi (dari) karbokation, solvasi nukleofil juga sangat penting.

Pemilihan pelarut benar-benar dapat mengubah urutan nukleofilisitas dalam suatu kelompok

nukleofil. Suatu pelarut yang dapat mensolvasi suatu anion (jadi menstabilkan anion itu) akan

mengurangi nukleofilisitasnya. Kebalikannya, suatu pelarut yang tak dapat mensolvasi suatu

anion, akan meningkatkan nukleofilisitas anion itu. Dalam dimetil formamida (DMF) ion

klorida tidak disolvasi sehingga bersifat nukleofil yang jauh lebih baik daripada dalam etanol

dimana ion ini disolvasi.

2.5.4. Kosentrasi Nukleofil atau Basa

Dengan mengatur konsentrasi nukleofil atau basa, seorang ahli kimia dapat langsung

mengkontrol laju reaksi SN2 dan E2. Naiknya konsentrasi nukleofil umumnya tidak

mempengaruhi laju reaksi SN1 atau E1, tetapi menaikkan laju reaksi S N2 atau E2 secara

proporsional.

Konsentrasi tinggi Nu:-atau basa : SN2 atau E2

Konsentrasi rendah Nu:-: SN1 atau E1

2.5.5 Temperatur

Kenaikan temperatur menaikkan laju semua reaksi subsitusi dan eliminasi. Tetapi

biasanya kenaikan laju reaksi-reaksi eliminasi lebih besar (karena reaksi eliminasi biasanya

memiliki Eakt yang lebih tinggi, dan temeperatur tinggi memungkinkan lebih banyak molekul

untuk sanggup mencapai keadaan transisi eliminasi).

2.6 Perbedaan Reaksi Eliminasi E1 dan E2

15
2.6.1 E1

1. Membentuk karbokation

2. Karbokation memberi proton pada basa lalu terbentuk alkena

3. Basa merebut proton dari atom C (beta, C yang berdampingan dengan C+)

4. Terjadi pada: konsentrasi basa rendah

5. Dengan pelarut basa

6. Dengan substrat tersier dan beresonansi (alkil halida)

2.6.2 E2

1. Nukleofil langsung mengambil proton dari atom C (beta) pada atom C gugus pergi

2. Tidak terjadi pembentukan karbokation

3. Pembentukan secara serempak

4. Terjadi pada: pada basa kuat dengan konsentrasi tinggi

  Alkil halida+basa kuat+panas  E2

  Alkil halida+asam kuat+panas E1

  Alkohol+asam kuat+panas  E1

16
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Reaksi eliminasi adalah pegurangan suatu gugus (molekul) dari suatu molekul

(kebalikan dari reaksi adisi. Bila suatu alkil halida diolah dengan basa kuat, dapat terjadi

reaksi eliminasi. Aturan yang meramalkan produk utama dibagi menjadi 2 yaitu aturan

zaitsev dan aturan hoffman. Bila alkena yang kurang tersustitusi merupakan produk yang

lebih melimpah, dikatakan reaksi itu menghasilkan produk Hofmann. Mekanisme E1

diawali disosiasi unimolekular ikatan C–X seperti pada reaksi SN1, tetapi tahap selanjutnya

ialah penyingkiran H+ dari karbon tetangga oleh basa. Mekanisme E2 berlangsung 1 tahap

(bimolekular) tanpa zat antara, analog dengan reaksi SN2. Dengan basa kuat (HO–, RO–),

ikatan C–H dan C–X putus bersamaan disertai pembentukan ikatan C=C. Faktor-Faktor Yang

Mempengaruhi Jalannya Reaksi Substitusi dan Eliminasi dari Alkil Halida adalah struktur

alkil halida, sifat nukleofil atau basa, sifat pelarut, konsentrasi nukleofil atau basa dan

temperatur.

17
18

Anda mungkin juga menyukai