Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
A. Reaksi Substitusi
Dalam reaksi substitusi alkil halida, halida itu disebut gugus pergi (leaving group)
suatu istilah yang berarti gugus apa saja yang dapat digeser dari ikatannya dengan
suatu atom karbon. Ion halida merupakan gugus pergi yang baik, karena ion-ion ini
merupakan basah yang sangat lemah. Basa kuat seperti misalnya OH , bukan gugus
pergi yang baik.

CH3-:- + CH3-CH2-CH2

l :
C

CH3-CH2-CH2

-CH3 + :

C lC :
Dalam reaksi substitusi alkil halida, ion iodida adalah halida yang paling mudah
digantikan,baru ion bromida dan kemudian klorida. Karena F merupakan basa yang
lebih kuat daripada ion halida lain, dan karena ikatan C-F lebih kuat daripada ikatan CX lain fluorida bukan gugus pergi yang baik. Dari segi praktis hanya Cl, Br, dan I
merupakan gugus pergi yang cukup baik,sehingga bermanfaat dalam reaksi-reaksi
substitusi. Dengan alasan ini, bila disebut RX, maka biasanya berarti alkil klorida,
bromida dan iodida.
RF

RCl

RBr

RI

Naiknya reaktivitas

Spesi yang menyerang suatu alkil halida dalam suatu reaksi substitusi disebut nukleofil
pencinta nukleus. Kebanyakan nukleofil adalah anion, namun beberapa molekul
polar yang netral (seperti HO, CHOH, dan CHNH) dapat juga bertindak sebagai
nukleofil. Subsitusi oleh nukleofil disebut Subsitusi Nukleofil atau Pengganti
Nukleofil.

1 | K i m i a O r g a n i k ( SN 1 dan SN 2)

Lawan nukleofil ialah elektrofil pecinta elektron, sering dilambangkan dengan E.


Suatu elektrofil ialah spesi apa saja yang tertarik ke suatu pusat negatif-jadi, suatu
elektrofil ialah suatu asam Lewis seperti H atau ZnCl.

B. Reaksi Eliminasi
Alkil halida diolah dengan suatu basa kuat, dapat terjadi suatu reaksi eleminasi.
Produk organik suatu reaksi eleminasi suatu alkil halida adalah suatu alkena. Reaksi
eleminasi ini, unsur H dan X keluar dari dalam alkil halida; oleh karena itu reaksi ini
disebut reaksi Dehidrohalogenasi.
CH3
CH3

CH2
Cl + OH

CH3

CH3

C + H2O + Cl

CH3

C. Reaksi-Reaksi Bersaingan
Ion hidroksida atau alkoksida (RO) dapat beraksi sebagai suatu nukleofil dalam suatu
reaksi eleminasi. Tipe reaksi bergantung pada sejumlah faktor, seperti struktur alkil
halida (primer 1,sekunder 2, dan tersier 3) kuat basa, macam pelarut dan temperatur.
Metil halida dan alkil halida primer menghasilkan produk subsitusi, bukan produk
eliminasi. Alkil halida tersier terutama menghasilkan produk eliminasi, bukan produk
subsitusi.
Seperti contoh gambar dibawah ini :
Alkil halida dan sebuah nukleofil atau basa, maka reaksi subsitusi dan reaksi eliminasi

dikatakan sebagai reaksi bersaingan.


D. Nukleofilisitas Lawan Kebasaan
2 | K i m i a O r g a n i k ( SN 1 dan SN 2)

Kebasaan ialah ukuran kemampuan pereaksi untuk menerima sebuah proton dalam
suatu reaksi asam-basa. Oleh karena itu kuat basa relatif dari sederet reaksi ditentukan
dengan membandingkan letak relatif kesetimbangan mereka dalam suatu reaksi asambasa seperti misalnya derajat ionisasi air.
Nukleofilisitas ialah ukuran kemampuan suatu pereaksi untuk menyebabkan
(terjadinya) suatu reaksi subsitusi. Nukleofilisitas relatif dari sederet pereaksi
ditentukan oleh laju relatif reaksi mereka dalam suatu reaksi subsitusi, misalnya suatu
reaksi subsitusi dengan bromoetana.
OH (suatu basa kuat) adalah nukleofil yang lebih baik daripada Cl atau HO (basa
lemah). Karena beberapa alkil halida dapat menjalani reaksi subsitusi dan eliminasi
yang saling bersaingan, pereaksi seperti OH dapat bertindak baik sebagai suatu
nukleofil maupun sebagai suatu basa dalam satu bejana reaksi.
1.2 Tujuan
1. Dapat membedakan antara nukleofilisitas dan kebasaan.
2. Dapat menjelaskan tentang reaksi substitusi nukleofil
3. Dapat membedakan reaksi Substitusi Nukleofil 1 dan Substitusi Nukleofil 2
1.3 Manfaat
1.

BAB II

3 | K i m i a O r g a n i k ( SN 1 dan SN 2)

PEMBAHASAN
2.1 REAKSI SN 1
Alkil halida tersier mengalami substitusi dengan suatu mekanisme yang berlainan yang
disebut Reaksi SN 1 (Substitusi, nukleofilik, uni molekular). Hasil eksperimen reaksi
yang diperoleh dalam reaksi SN 1 cukup berbeda dari hasil pada reaksi S N 2. Disimpulkan
bahwa pada umumnya pengaruh konsentrasi nukleofil pada laju keselurahan reaksi S N 1
sangat kecil (kontras dengan reaksi SN 2, dimana laju berbanding lurus dengan
konsentrasi nukleofil).
Untuk menerangkan hasil eksperimen akan dibuat mekanisme reaksi SN 1 dengan
menggunakan t-butil bromida dan air.
2.1.1 Mekanisme SN 1
Reaksi SN 1 adalah ion. Mekanismenya kompleks karena adanya antaraksi antara
molekul pelarut, molekul RX, dan ion-ion antara yang terbentuk.
Reaksi SN 1 suatu alkil halida tersier adalah reaksi bertahap (stepwise reaction).
Tahap pertama berupa pematahan alkil halida menjadi sepasang ion : ion halida dan
suatu karbo kation (zat antara intermediate dalam reaksi, struktur yang terbentuk dalam
reaksi dan bereaksi lebih lanjut akan menghasilkan produk), suatu ion dimana atom
karbon mempunyai suatu muatan positif. Karena reaksi S N 1 melibatkan ionisasi,
reaksi-reaksi dibantu oleh pelarut polar, seperti (H 2O2 yang dapat menstabilkan ion
dengan cara solvasi).
Tahap 1 :
- Pada tahap 1 (ionisasi) secara khas mempunyai E akt tinggi : pada tahap ini yang
dimaksud tahap lambat dalam proses keseluruhan. Harus tersedia cukup energi
agar alkil halida tersier mematahkan sigma C-X dan menghasilkan karbo kation
serta ion halida.
Reaksi :
Tahap 2 :
Penggabungan karbo kation dengan nukleofil

suatu alkohol berproton.

4 | K i m i a O r g a n i k ( SN 1 dan SN 2)

(H 2O) menghasilkan produk awal,

Reaksi SN 1 berupa reaksi antara karbo kation dengan nukleofil. Karbo kation
dengan nukleofil bereaksi dengan Eakt rendah, jadi menghasilkan suatu reaksi yang
cepat
Reaksi :

Tahap 3 :

Melepasnya H+ dari dalam alkohol berproton, dalam suatu reaksi asam basa yang

cepat dan reversible, dengan pelarut.


Reaksi :

Jadi reaksi keseluruhan t-butil bromida dengan air sebenarnya memiliki dua
reaksi yang terpisah :
Reaksi SN 1(ionisasi yang diikuti oleh kombinasi dengan nukleofil)
- Reaksi asam basa
-

2.1.2 Tahap Tahap Mekanisme SN 1


Tahap tahap diatas dapat di ringkaskan sebagai berikut :
1). Stereokimia suatu reaksi SN 1
Suatu karbo kation juga disebut ion karbonium adalah sebuah atom karbon, yang
mengikat hanya tiga gugus, bukan empat gugus seperti biasanya. Karena hanya tiga
gugus, maka ikatan ke gugus-gugus ini terletak dalam sebuah bidang, dan sudut yang
diapit oleh dua ikatan sekitar 120. Untuk mencapai geometri ini, karbon positif
berhibridisasi sp2 dan memiliki orbital p yang kosong.
2). Laju Suatu Reaksi SN 1
Laju reaksi SN 1 bergantung pada konsentrasi alkil halida, tidak bergantung pada
konsentrasi nukleofil. Rumus tersebut disebabkan oleh sangat cepatnya reaksi antara R
dan Nu: tetapi konsentrasi R sangat kecil. Kombinasi cepat R dan Nu hanya terjadi
bila karbo kation itu terbentuk. Oleh karena itu laju keseluruhan reaksi ditentukan
seluruhnya oleh cepatnya RX berionisasi dan membentuk karbo kation R.
Tahap ionisasi tersebut (pada tahap 1 dalam reaksi keseluruhan) disebut tahap penentu
laju atau tahap pembatas laju. Suatu reaksi SN 1 bersifat order pertama dalam laju, karna
laju itu berbanding lurus dengan hanya konsentrasi satu pereaksi (RX). Reaksi ini
5 | K i m i a O r g a n i k ( SN 1 dan SN 2)

disebut reaksi unimolekular, karena hanya memiliki satu partikel (RX0 yang terlibat
dalam keadaan transisi tahap penentu laju (angka 1 dalam SN 1 memiliki arti yang
merujuk ke unimolekular).
Tahap penentu laju :

3). Reaktivitas relatif dalam reaksi SN 1


Reaksi lkil halida akan mengalami substitusi 11,6 kali lebih cepat daripada suatu alkil
halida primer pada kondisi ini, sedangkan suatu alkil halida tersier bereaksi sejuta kali
lebih cepat daripada suatu alkil halida primer.
Reaksi :
Laju reaksi SN 1 alkil halida bergantung pada energi pengaktifan relatif yang

mengakibatkan terbentuknya karbo kation yang berlainan. Dalam reaksi ini, energi
keadaan transisi yang akan menghasilkan karbo kation sebagian besar ditentukan oleh
kestabilan karbo kation tersebut, yang telah setengah terbentuk dalam keadaan transisi.
Keadaan transisi tersebut mempunyai karakter karbo kation. Oleh karena itu reaksi yang
menghasilkan karbo kation berenergi rendah dan stabil, akan berjalan dengan laju yang
tinggi. Alkil halida tersier menghasilkan karbo kation yang lebih stabil daripada karbo
kation yang berasal dari suatu metil halida atau alkil halida primer, jadi reaksi tersebut
mempunyai laju yang tinggi.

6 | K i m i a O r g a n i k ( SN 1 dan SN 2)

4). Stabilitas Karbokation

Karbo kation pada reaksi tidak stabil dan dengan cepat bereaksi lebih lanjut.
Tipe-tipe Karbokation yang terlintas dalam pembahasan ini ialah :
Kation Metil (Karbokation yang dihasilkan oleh ionisasi Metil Halida)
Contoh :
CH (metil)
Karbokation Primer (dari alkil halida primer)
Contoh :
CHCH (primer)
Karbokation Sekunder (dari rantai alkil halida sekunder)
Contoh :
(CH)CH (sekunder)
Karbokation Tersier (dari alkil halida tersier)
Contoh :
(CH)C (tersier)
Atom karbon dapat meningkatkan stabilitas yang bermuatan positif karena dapat
menyebarkan muatan positif. Dalam kation alkil, gejala utama yang mendekskripsikan
muatan negatif ialah efek induktif, suatu istilah untuk menggambarkan polarisasi
ikatan oleh suatu atom elektron negatif atau elektro positif didekat ikatan tersebut.
Dalam suatu karbo kation, karbon yang bermuatan positif adalah suatu pusat elektron

positif. Kerapatan elektron dari ikatan ikatan sigma digeser kearah karbon positif.
Untuk menunjukan arah tarikan ini digunakan anak panah sebagai ganti ikatan garis.
Geseran rapatan menciptakan muatan positif parsial ( sebagian ) pada atom-atom yang
berdekatan. Muatan positif parsial selanjutnya mempolarisasi ikatan-ikatan sigma
berikutnya. Dengan cara tersebut muatan positif karbo kation sedikit disebar, dan karbo
kation itu terstabilkan sekadarnya. Gugus alkil mengandung banyak atom dan elektron
daripada dari sebuah atom hidrogen. Makin banyak gugus alkil terikat pada atom
karbon bermuatan positif, berati makin banyak atom yang dapat membantu membagi
muatan positif tersebut dan membantu menstabilkan karbokation. Karena kekurangan
kestabilan, biasanya metil halida dan alkil halida primer tidak membentuk karbokation.

7 | K i m i a O r g a n i k ( SN 1 dan SN 2)

5). Penataan ulang karbokation


Alkil bromida sekunder mengalami reaksi pelarutan dengan metanol. Namun disamping
itu produk yang diharapkan dijumpai pula produk substitusi yang kedua. Suatu karbo
kation sekunder mempunyai energi yang kira-kira 11 kkal/mol lebih besar daripada
suatu karbokation tersier. Energi karbokation khusus ini dapat diturunkan bila sebuah
gugus metil bersama elektron-elektron pengikatnya pindah dari atom karbon di dekat
karbon positif. Hasilnya ialah penataan ulang karbokation sekunder menjadi
karbokation yang lebih stabil.
Jika sebuah gugus alkil, sebuah gugus aril atau sebuah atom hidrogen (masing-masing
dengan elektron ikatannya) pada suatu atom karbon didamping karbon yang dapat
bergeser dan dengan demikian menghasilkan suatu karbokation yang lebih stabil, maka

suatu penataan ulang dapat terjadi. Penataan ulang juga dapat terjadi bila sepasang
karbokation memiliki kestabilan yang setara.
2.1.3 Ringkasan mekanisme SN 1 dan SN 2
Reaksi substitusi akil halida dengan nukleofil dapat terjadi oleh suatu jalur SN 1 atau
suatu jalur SN 2. metil halida, alkil halida primer dan sekunder terutama bereaksi dengan
jalur , laju reaksi SN 2 meningkat dengan bertambahnya nukleofilisitas spesies
penyerang. Nukleofil yang lazim baiknya adalah, OH OR dan CN Rintangan yang
meningkat disekitar karbon yang terhalogenkan mengurangi laju reaksi SN 2. Akil
halida tersier terlalu terintangi untuk menjalani reaksi dengan jalur S N 2, namun
menjalani reaksi dengan suatu jalur SN 1 ( lewat suatu karbon-antara suatu nukleofil
8 | K i m i a O r g a n i k ( SN 1 dan SN 2)

seperti H2O atau ROH . metil halida dan akil halida primer sama sekali tidak mengalami
reaksi SN 1. Alkil halida sekunder bereaksi lambat dengan jalur ini.

2.2 REAKSI SN 2
Reaksi bromoetana dengan ion hidroksida yang menghasilkan etanol dan ion bromida
adalah suatu reaksi SN 2 yang khas. Metil halida dan alkil halida beraksi SN 2 dengan
nukleofil yang agak kuat: OH, CN dan lain-lainnya. Metil halida dan alkil halida
primer juga bereaksi dengan nukleofil lemah, seperti HO, tetapi reaksi ini terlalu lambat
sehingga tidak bermanfaat. Alkil halida sekunder dapat beraksi SN 2, tetapi alkil halida
tersier tidak.
2.2.1 Mekanisme reaksi
Mekanisme reaksi adalah pemerian terinci mengenai bagaimana reaksi berlangsung.
Suatu mekanisme reaksi harus bisa menjelaskan semua fakta yang diketahui. Reaksi SN
2 adalah salah satu yang telah dipelajari secara meluas.
Agar beraksi pertama-tama molekul-molekul itu harus saling bertabakan. Kebanyakan
tabrakan antara molekul itu tidak mengakibatkan suatu reaksi, molekul-molekul itu
hanyalah tepental kembali. Agar beraksi, molekul-molekul yang bertabrakan itu harus
mengandung cukup energi potensial agar terjadi pematahan ikatan.
2.2.2 Tahap Tahap Mekanisme SN 2
1). Stereokimia reaksi SN 2
Dalam reaksi SN 2 antara bromoetana dan ion hidroksida, oksigen (dari) ion
hidroksida menabrak bagian belakang karbon ujung dan menggantikan ion bromida:

Bila sebuah nukleofil menabrak sisi belakang suatu atom karbon tetrahedral yang
terikat pada sebuah halogen, dua peristiwa terjadi sekaligus: (1) suatu ikatan baru
mulai terbentuk, dan (2) ikatan C-X mulai patah. Proses ini disebut proses setahap
9 | K i m i a O r g a n i k ( SN 1 dan SN 2)

atau proses serempak (concerted). Jika energi potensial kedua spesi

yang

bertabrakan cukup tinggi, tercapai suatu titik dimana, dilihat dari segi energi,
pembentukan ikatan baru dan pematahan ikatan C-X lama dimudahkan. Ketika
pereaksi diubah menjadi produk , mereka harus melewati suatu keadaan-antara, yang
memiliki energi potensial tinggi, dibandingkan dengan energi pereaksi atau produk.
Keadaan-antara ini disebut keadaan transisi (transition state) atau kompleks
teraktifkan (activated complex). Karena keadaan transisi melibatkan dua pratikel
(Nu dan RX), maka reaksi SN 2 dikatakan bersifat bimolekular.
Suatu keadaan transisi dalam reaksi apa saja adalah penataan berenergi-tinggi dan
sekilas pereaksi berubah menjadi produk. Untuk reaksi SN 2 itu, keadaan transisi
mencakup suatu rehibridisasi sementara (dari) atom karbon ujung, dari sp3 ke sp2 dan
akhirnya kembali ke sp3 lagi.

2). Energi dalam suatu Reaksi SN 2


Molekul yang bergerak dalam suatu larutan memiliki sejumlah tertentu energi potensial
dalam ikatan-ikatan mereka, dan sejumlah tertentu energi kinetik dalam gerakan
mereka. Energi potensial dan kinetik molekul-molekul ini tidak eksak sama; namun,
dapat digunakan pengertian energi rata-rata moleku. Energi total (dari) campuran
reaksi dapat ditambah, biasanya dengan memanasi larutan itu. Bila dipanasi, molekul
memperoleh tambahan energi kinetik, bertabrakan lebih sering dan lebih bertenaga, dan
menukar (mengubah) energi kinetik menjadi energi potensial. Agar suatu reaksi dapat
mulai terjadi, beberapa molekul dan ion yang bertabrakan dalam wadah itu harus
memiliki cukup energi untuk mencapai keadaan transisi pada waktu bertabrakan.
Gambar 5.1 menunjukan diagram energi untuk berlangsunya reaksi S N 2. Energi
potensial yang dibutuhkan untuk mencapai keadaan transisi membentuk suatu barier
energi ; dalam grafik barier ini ialah titik energi maksimum. Agar alkil halida dan
nukleofil yang bertabrakan dapat mencapai keadaan transisi, diperlukan sejumlah energi
yang disebut energi pengaktifan Eakt

(activation energy). Pada keadaan transisi

molekul-molekul mempunyai pilihan yang sama mudahnya ; kembali menjadi pereaksi


atau terus menjadi produk. Tetapi sekali melewati puncak, jalan dengan hambatan
terkecil ialah yang menuju ke produk. Selisih antara energi potensial rata-rata dan
produk, ialah perubahan entalpi H untuk reaksi itu.
10 | K i m i a O r g a n i k ( SN 1 dan SN 2)

3). Laju Reaksi SN 2


Tiap molekul yang bereaksi dan menghasilkan produk harus melewati keadaan transisi,
baik strukturnya maupun energinya. Karena energi molekul-molekul tidak sama, maka
diperlukan waktu agar semua molekul itu bereaksi. Persyaratan waktu ini menimbulkan
pengertian dan besaran yang disebut laju reaksi (rate of reaction). Laju reaksi kimia
ialah ukuran berapa cepat reaksi itu berlangsung; yakni berapa cepat pereaksi itu habis
dan produk terbentuk. Kinetika reaksi mempelajari dan mengukur laju-laju reaksi.
Menambah konsentrasi pereaksi yang mengalami reaksi SN , akan menambah laju
terbentuknya produk, karena akan menambah seringnya tabrakan antara molekulmolekul. Lazimnya laju reaksi SN 2 berbanding lurus dengan konsentrasi-konsentrasi
kedua pereaksi. Jika semua variable lainnya dibuat konstan dan konsentrasi alkil halida
dan nukleofil dilipatduakan, maka laju pembentukan produk juga berlipat dua. Jika salah
satu konsentrasi dilipat-tigakan, laju juga akan berlipat tiga.
Dalam persamaan ini, [RX] dan [Nu:] menyatakan konsentrasi dalam mol/liter masingmasing dari alkil halida dan nukleofil. Tetapan proporsionalitas k disebut tetapan laju
(rate constant). Harga K konstan untuk reaksi yang sama pada kondisi eksperimen yang
identik (pelarut, temperatur, dan sebagainya)
Karena laju suatu reaksi SN 2 bergantung pada konsentrasi dari dua partikel (RX dan
Na:) maka laju itu dikatakan order kedua (second order). Reaksi SN 2 dikatakan
mengikuti kinetika order kedua. (meskipun reaksi SN 2 juga bimolekuler, tidak setiap
11 | K i m i a O r g a n i k ( SN 1 dan SN 2)

reaksi bimolekuler adalah dari oerder-kedua dan tidak tiap reaksi order-kedua adalah
bimolekular.

4). Efek Eakt Pada Laju dan Pada Produk


Secara sederhana pengaruh energi pengaktifan terhadap laju relatif reaksi dapat
dirumuskan sebagai : pada kondisi yang sama, reaksi dengan Eakt rendah akan berjalan
dengan lebih cepat. Makin sedikit energi yang diperlukan untuk reaksi, akan makin
banyak molekul yang memiliki cukup energi untuk bereaksi.
Perhatikan satu kasus dimana satu bahan awal dapat mengalami dua reaksi berbeda yang
tak dapat balik (irreversible) dan yang menghasilkan dua produk yang berlainan (bila Eakt
dari reaksi balik jauh lebih besar daripada Eakt reaksi, maka reaksi ini bersifat eksoterm
dan pada hakikatnya tak reversible). Bila bahan awal dapat mengalami dua macam reaksi
semacam ini, maka produk dari reaksi yang lebih cepat (reaksi dengan Ea rendah) akan
lbih melimpah. Gambar 5.2 menunjukan kurva-kurva energi dari dua reaksi semacam
itu.
Eakt ialah energi keadaan transisi relatif terhadap pereaksi. Ole karena itu terdapat
hubungan antara laju relatif reaksi dan energi keadaan transisi. Diantara reaksi-reaksi
yang bersaing, dengan bahan awal sama, reaksi dengan energi keadaan transisi yang
rendah adalah reaksi yang lebih cepat. dari gambar 5.2 jelas bahwa keadaan transisi
berenergi rendah memiliki Eakt yang lebih kecil.
Suatu spesi dengan energi potensial rendah, akan lebih stabil dibandingkan dengan spesi
berenergi potensial tinggi. Oleh karena itu dapat juga dikatakan, reaksi dengan struktur
12 | K i m i a O r g a n i k ( SN 1 dan SN 2)

keadaan transisi yang lebih stabil adalah reaksi yang lebih cepat. konsep ini bermanfaat
dalam menganalisis reaksi-reaksi yang bersaing, untuk menentukan mana reaksi yang
menang.
5). Pengaruh Struktur Pada Laju

Kinetika reaksi memberikan suatu cara yang berharga untuk memeriksa efek-efek struktur
terhadap reaktifitas.
Perhatikan dua reaksi tersebut:

Keduanya reaksi SN2 dan keduanya menghasilkan alkohol. Kedua reaksi itu hanya
berbeda dalam bagian alkil dari alkil halida. Perbedaan dalam gugus

alkil ini

mempengaruhi laju reaksi SN2 atau tidak? Untuk menjawab pertanyaan ini, laju kedua
reaksi itu diukur pada kondisi reaksi yang sama (pelatur, konsentrasi dan temperatur
sama). Kemudian atau kedua tetapan laju (k1 atau k2) ditetapkan atau, lebih lazim, laju
relatif ditetapkan.
Dalam suatu studi dijumpai bahwa bromometana bereaksi 30 kali lebih cepat daripada
bromoetana. (jika reaksi bromoetana perlu satu jam untuk selesai separuh, maka reaksi
13 | K i m i a O r g a n i k ( SN 1 dan SN 2)

bromometana hanya memerlukan 1/30 kalinya, atau 2 menit, untuk menyelesaikan


separuh reaksi). Dapat disimpulkan bahwa memang beda yang besar antara gugus etil dan
metil dalam mempengaruhi laju reaksi.
Dalam cara serupa, laju relatif anekaragaman reaksi SN2 dari alkil halida telah ditetapkan.

Tabel 5.2 menunjukan laju relatif rata-rata (dibandingkan etil halida) dari reaksi S N2
sejumlah alkil halida.

TABLE 5.2 laju relatif rata rata beberapa alkil halida dalam reaksi SN2 yang lazim
Alkil halida
CH3X
CH3CH2X
CH3CH2CH2X
CH3CH2CH2CH2X
(CH3)2CHX
(CH3)2CX

laju relatif
30
1
0,4
0,4
0,025
~0

6). Rintangan sterik dalam Reaksi SN2


Dalam SN2 alkil halida yang dipaparkan dalam tabel 5.2, metil halida menunjukan laju
tertinggi, diikuti oleh alkil halida primer, kemudian alkil halida sekunder. Alkil halida
tersier tidaak bereaksi SN2 :
3RX

2RX

1RX

CH3X

NAIKNYA LAJU REAKSI


Dengan bertambahnya jumlah gugus alkil yang terikat pada karbon ujung
(CH3X
1
2
3), keadaan transisinya bertambah berjejal dengan atom.

14 | K i m i a O r g a n i k ( SN 1 dan SN 2)

Anda mungkin juga menyukai