Anda di halaman 1dari 3

PEMISAHAN DAN PEMURNIAN ZAT CAIR

Salah satu metode yang sangat baik untuk memurnikan zat cair adalah distilasi. Metode ini
memanfaatkan perbedaan titik didih masing-masing komponen. Titik didih merupakan
temperatur ketika jumlah tekanan parsial di atas fasa cair sama dengan tekanan luar yang
dikenakan pada sistem. Penurunan tekanan luar menyebabkan larutan akan mendidih pada
temperature lebih rendah. Pemanasan terhadap zat cair menyebabkan banyak molekul
memasuki fasa uap. Jumlah molekul yang memasuki fasa uap sangat bergantung pada
temperature, tekanan, dan kekuatan gaya tarik antarmolekul di dalam fasa cair dan volume
sistem. Distilasi ada dua macam yaitu distilasi sederhana dan distilasi bertingkat. Distilasi
bertingkat merupakan proses distilasi yang tidak melibatkan kolom fraksinasi atau distilasi
yang digunakan untuk memisahkan komponen zat cair yang perbedaan titik didihnya paling
sedikit 75C, sedangkan distilasi bertingkat merupakan distilasi yang melibatkan kolom
fraksinasi. Distilasi biasa tidak efektif untuk memisahkan komponen komponen dalam
campuran yang perbedaan titik didihnyatidak terlalu besar sedangkan distilasi bertingkat
dapat digunakan untuk mengatasinya.
a. Distilasi biasa
Pada percobaan ini kita menggunakan campuran antara metanol dengan air. Titik didih air
lebih tinggi dari pada metanol. Di dalam air dan metanol terdapat ikatan hidrogen antara
masing-masing molekulnya. Dalam tiap molekul air terdapat empat ikatan hidrogen
sedangkan dalam tiap molekul metanol hanya terdapat satu buah ikatan hidrogen. Adanya
ikatan antarmolekul ini yang berjumlah empat (yang kita telah tahu bahwa ikatan ini sangat
kuat apabila terdapat diantara molekulnya) menyebabkan air lebih stabil daripada metanol.
Kestabilan yang besar akan menyebabkan suatu sebyawa sukar diubah wujudnya.
Pada percobaan ini dihasilkan tetesan pertama dengan suhu 70C, yang berarti campuran
mulai mendidih pada suhu ini. Dari perhitungan indeks bias distilat yang telah di koreksi
adalah 1,33765, sedangkan indeks bias metanol dari literatur adalah 1,3288. Hal ini
menunjukkan bahwa distilat yang di peroleh belum benar benar murni, yang mungkin saja
dalam proses distilasi tersebut masih ad ada air yang ikut terkondensasi bersama metanol.
b. Distilasi bertingkat
Pada percobaan ini digunakan campuran sikloheksana dengan toluene. Sikloheksana
memiliki titik didih yang lebih rendah daripada toluena. Hal ini dikarenakan toluena lebih
stabil daripada sikloheksana. Toluena jauh lebih stabil karena dalam toluene sendiri terdapat
resonansi pada struktur molekulnya. Pada tetesan pertama dihasilkan suhu 36C, sedangkan
dari literatur, sikloheksana akan mulai menguap dan mengembun pada temperatur 81 oC,
sedangkan toluena memiliki titik didih pada temperatur 110,8 oC. Dari keterangan tersebut
dapat diketahui bahwa tetesan pertama yang keluar akan berupa sikloheksana dengan
temperatur 81 oC. Namun pada percobaan ini, hasil yang diperoleh tidak sesuai dengan teori
bahwa pada cmapuran ini sikloheksana akan mengalami penguapan dan pengembunan
terlebih dahulu dibandingkan dengan toluena. Hal ini jauh dari yang diharapkan, karena
perbedaan yang begitu jauh dari titik didh sikloheksana yang seharusnya. Namun hasil ini
sudah diprediksi oleh praktikan karena pada saat percobaan banyak kesalahan yang terjadi.
Pertama tama praktikan hanya menggunakan 2 selang, kemudian disuruh mengganti
menjadi 3 selang oleh asisten dan setelah di tunggu lama ternyata belum juga ada zat yang
menetes. Selain itu, bunsen juga sering mati di tengah tengah praktikum yang akan
menyebabkan suhu akan turun lagi sehingga proses distilasi tidak berjalan dengan baik. Pada
proses distilasi ini juga hanya dihasilkan suhu tetesan pertama karena faktor tersebut sehingga
praktikan tidak dapat menentukan indeks biasnya.
c. Distilasi azeotrop terner
Pada distilasi ini menggunakan campuran azeotrop antara metanol dengan air. Distilasi ini
mirip dengan distilasi sederhana dalam hal menggunakan campuran metanol-air tetapi alat
yang digunakan adalah alat untuk distilasi bertingkat. Selain itu pada campuran air-metanol
ditambahkan benzena yang befungsi membentuk ikatan yang lebih kuat antara air dengan
metanol. Ikatan yang kuat ini menyebabkan terbentuknya campuran yang bersifat azeotrop.
Suhu yang diperoleh pada tetesan pertama adalah 58C, yang berarti distilat mendidih pada
suhu ini. Adapun indeks bias distilat yang didapat pada percobaan ini adalah 1,352825
sedangkan indeks bias benzen dari literatur adalah 1,498. Hal ini menunjukkan bahwa distilah
yang diperoleh tidak benar benar murni dan bukan merupakan senyawa tunggal murni
karena indeks biasnya tidak sesuai dengan indeks bias air, metanol, maupun benzen. Hal ini
menunjukkan bahwa destilat juga merupakan sistem azeotrop, sehingga penambahan benzen
pada sistem azeotrop metanol-air tidak memiliki pengaruh untuk memecahkan ikatan
metanol-air tersebut. Kemungkinan lain adalah benzen yang ditambahkan tidak cukup kuat
untuk memecahkan ikatan metanol-air, dan hal ini dapat disebabkan oleh jumlah benzen yang
kurang atau konsentrasi benzen yang tidak memenuhi syarat.
Jika proses distilasi biasa dan distilasi bertingkat dialurkan dalam satu grafik maka akan
memberikan kurva yang memiliki informasi efesiensi pemisahan suatu komponen. Kelebihan
distilasi bertingkat daripada distlasi sederhana dapat dilihat pada datarnya kurva yang berarti
titik didih lebih akurat dan dapat digunakan untuk mengidentifikasi titik didih fraksi tiap
komponen. Akan tetapi, pada percobaan kali ini praktikan tidak dapat memberikan grafik dari
hasil percobaan dikarenakan tidak adanya data. Hal ini disebabkan adanya kesahalan
kesalaha yang terjadi selama percobaan dan minimnya waktu yang tersedia.
PEMISAHAN DAN PEMURNIAN ZAT PADAT
a. Asam Benzoat
Pada awalnya sampel asam benzoat kotor yang berwarna biru muda keputihan di larutkan
dalam pelarut panas dan di tambah norit untuk menyerap berbagai pengotor yang ada dalam
sampel. Hal ini dapat terjadi karena norit mempunyai daya absorpsi yang sangat besar. Sifat
ini berkaitan erat dengan struktur kimia norit yang berbentuk cincin dan didalamnya terdapat
rongga yang memiliki kekuatan untuk mengabsorpsi. Larutan kemudia dipanaskan dengan
tujuan untuk menghindari penyempitan rongga pada struktur norit agar dapat menyerap
pengotor dengan baik sehingga menghasikan kristal yang benar benar murni.
Setelah kristal di saring dengan corong Buchner dengan peralatan isap, akan didapat kristal
murni berwarna putih dengan berat 0,4 g, sedangkan berat sampel asam benzoat kotor 2 g.
Adanya pengurangan berat tersebut diakibatkan hilangnya zat pengotor yang terserap oleh
norit yang kemudian di saring. Akan tetapi hal ini juga dipengaruhi oleh adanya sebagian
kecil kristal yang masih menempel pada kertas saring dan tidak ikut tertimbang.
Setelah kristal di timbang, kita menguji kemurniannya dengan melakukan uji trayek titik
leleh dengan menggunakan cara kapiler (melting block). Semakin dekat trayek titik leleh
yang diperoleh dengan literatur maka kristal yang di peroleh semakin murni. Trayek yang
diperoleh adalah 116 118C. Hal ini berarti kristal mulai meleleh pada suhu 116C dan
meleleh semuanya pada suhu 118C. Adapun titik leleh kristal asam benzoat dalam literatur
adalah 122,4C. Hal ini menunjukkan bahwa kristal yang diperoleh dari percobaan belum
benar benar murni dan masih mengandung pengotor. Zat pengotor tersebut yang
menyebabkan penurunan titik leleh kristal (hukum Raoult tentang campuran ideal). Selain itu,
zat pengotor akan akan mengganggu struktur kristal dan memperlemah ikatan ikatannya
sehingga asam benzoat kotor akan mempunyai titik didih yang lebih rendah daripada asam
benzoaty murni. Hal ini juga dapat di bandingkan denga sampel asam bezoat kotor yang
belum direkristalisasi yang mempunyai trayek titik didih 98 100C yang berarti sampel ini
lebih tidak merni dari kristal yang diperoleh. Zat murni mempunyai titik leleh yang lebih
tinggi karena adanya kestabialn dalam struktur kristalnya.
Dalam percobaan ini, asam benzoat yang diperoleh belum benar benar murni. Hal ini
disebabkan oleh adanya banyak faktor antara lain adalah proses penyaringan yang tidak
sempurna sehingga masih ada pengotor yang masih ikut tersaring. Hal ini dikarenakan zat
yang mudah menggumpal dalam keadaan dingin dan menyebabkan melebar pada saat
penyaringa yang memungkinkan ada yang keluar dari kertas saring dan ikut jatuh ke tempat
penampungan. Hal ini juga dapat mempengaruhi jumlah kristal yang di peroleh karena
menggumpal dan menempel pada kertas saring. Hal lain yang mungkin terjadi adalah proses
pengeringan yang kurang sempurna sehingga kristal masih mengandung air yang dapat
menurunkan trayek titik lelehnya. Selain itu kesalahan yang mungkin di lakukan adalah
kekurangtepatan dalam membaca trayek titik leleh karena kurang koordinasi antara praktikan
yang mengamati asam benzoat dan praktikan yang membaca skala suhu pada termometer.
b. Sublimasi
Sublimasi merupakan salah satu cara pemisahan dan pemurnian zat padat yang mempunyai
tekanan uap relatif tinggi pada suhu dibawah titik lelehnya. Pemurnian dengan metode
sublimasi ini dapat di lakukan karena adanya perbedaan kemampuan untuk menyublim pada
suhu tertentu antara zat murni dengan pengotornya. Pada sublimasi kamper, kita langsung
memanaskan nya dalam cawan penguapan yang ditutup oleh kaca arloji yang diberi es batu
yang berfungsi untuk mendinhinka uap kamper sehingga kamper yang menyublim dapat
langsung berubah menjadi fasa padat dan dapt dipisahkan dari pengotornya. Pada percobaan,
trayek titik leleh yang di peroleh adalah 72 78C (zat mulai meleleh pada suhu 72C dan
meleleh semua pada suhu 78C) , sedangkan titik leleh dari literatur adalah 80,2C. Hal ini
menunjukkan bahwa zat yang diperoleh belum benar benar murni karena trayek titik leleh
masih jauh dari data literatur dan trayek masih lebar yaitu 6C.
Adanya hasil sublimasi yang kurang murni mungkin disebabkan oleh banyak hal, salah
satunya adalah pengaruh lingkungan terutama takanan dalam laboratorium yang tidak bisa di
kendalikan oleh praktikan. Sublimasi dapat terjadi jika terdapat zat padat denga tekanan uap
relatif tinggi pada suhu dibawah titik lelehnya, jika tekanan uap pada laboratorium pada
laboratirium berbeda maka tekanan uap kamper juga akan berubah yang akan menyebabkan
tidak semua pengotor dipisahkan dari kamper saat pemanasan dihentikan sehingga
mengurangi titik leleh kamper. Hal lain yang mungkin terjadi adalah ketidakcermatan dalam
pembacaan trayek titik leleh ketika melakukan uji titik leleh dengan cara kapiler.

Anda mungkin juga menyukai