Anda di halaman 1dari 13

DAMPAK PERANG DUNIA II TERHADAP SISTEM POLITIK JEPANG DI

ERA KAISAR HIROHITO

Disusun oleh :

Fajri Adha 201910360311131

Farrel Martiza Pambudi 201910360311333

Fitria Dwi Anggraini 201910360311189

Fitria Intan Permata Sari 201910360311171

Dosen Pengampu: Hamdan Nafiatur R., S.S., M.Si

Politik Pemerintahan Asia Timur C

Prodi Hubungan Internasional 2019/2020

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Muhammadiyah Malang


Daftar Halaman
ABSTRAK…….………………………………………...……………………………... 2
1. PENDAHULUAN………………………………………..……………….……….… 2
2. SISTEM PEMILU JEPANG ERA POST WAR……….….………………...…….. 4
Sistem Pemilu Jepang…………………………………………………………………. 4
Sistem Pemilu Jepang Sebelum Perang Dunia II………………………………...….. 4
Sistem Pemilu Jepang Sesudah Perang Dunia II………………………………….…. 4
3. BAGAIMANA PARTISIPASI POLITIK MASYARAKAT JEPANG DI ERA
POST WAR……………………………………………………………………...……... 6
Kondisi Sebelum Perang Dunia II…………………………………………………….. 6
Kondisi Sesudah Perang Dunia II………………………………………….…………. 7
4. PARTAI POLITIK DAN KAMPANYE JEPANG ERA POST WAR…….…….. 8
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………...…. 10

1
ABSTRAK
Perang Dunia II pada telah banyak membawa dampak dan pengaruh yang begitu besar
terhadap kondisi negara-negara di dunia. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa perang
ini dimenangkan oleh oleh Blok sekutu dan pihak yang mengalami kekalahan adalah Blok
Poros. Kekalahan ini pada dasarnya menjadi pukulan telak bagi Blok Poros, terlebih lagi
Jepang sebagai bagian dari Blok Poros yang pemimpin perang di wilayah Asia Pasifik.
Akibatnya, kondisi Jepang pasca Perang Dunia II banyak mengalami perubahan, terutama
pada sektor politik. Oleh karena itu, adanya penelitian ini bertujuan untuk mengulas lebih
dalam apa saja dampak yang diberikan PD II terhadap kondisi politik Jepang terutama
dari sisi pemilu, partisipasi politik masyarakat, dan partai politik serta kampanyenya yang
mana tiga hal ini merupakan salah satu tonggak dari sistem politik suatu negara.
Penelitian ini termasuk dalam penelitian kualitatif. Teknik pengumpulan data dalam
tulisan ini adalah teknik studi pustaka. Sedangkan untuk teknik analisis datanya adalah
teknik analisis data kualitatif model interaktif milik Miles dan Huberman. Hasil dari
tulisan ini nantinya akan menjelaskan tentang perbedaan sistem politik Jepang sebelum
dan sesudah PD II.
Kata kunci: Perang Dunia II, Sistem Politik, Jepang, Pemilu, Partai Politik, Partisipasi
Politik.

1. PENDAHULUAN
Perang Dunia II yang terjadi dari tahun 1939 hingga sampai 1945 pada dasarnya
memberikan dampak yang begitu besar terhadap negara-negara pada waktu tersebut, baik
negara ikut berperang maupun negara yang netral. Perang Dunia II dimulai ketika Jerman
menginvasi Polandia pada tanggal 1 September 1939. Hal ini kemudian direspon oleh
Perancis dan Inggris dengan pernyataan perang mereka terhadap Jerman. Dalam Perang
Dunia II, ada 2 blok yang saling bertentangan, yakni Blok Poros atau yang dikenal
dengan Axis dan Blok Sekutu. Blok Poros sendiri merupakan aliansi dari negara Jerman,
Jepang, Hungaria, Italia, Bulgaria, dan Rumania. Sedangkan Aliansi Blok Sekutu adalah
Inggris, Perancis, China, Belanda, Uni Soviet, Amerika Serikat, Polandia, dan Australia
(Kawer, 2019). Hingga akhirnya, perang ini kemudian dimenangkan oleh pihak sekutu
dengan ditandai menyerahnya dua negara besar blok poros, yakni Jerman dan Jepang
terhadap pihak sekutu. Penyerahan Jepang dan Jerman kepada pihak sekutu pada
dasarnya disebabkan pengeboman yang dilakukan oleh pihak sekutu di kota Dresden,
Jerman dan Hiroshima serta Nagasaki, Jepang (Feis, 2015).
Mengenai Jepang sendiri mungkin kita akan terbayang bahwa negara ini
merupakan salah satu negara maju di dunia. Tidak dapat kita pungkiri lagi bahwa
kemajuan ilmu pengetahuan, informasi, dan teknologi di “Negeri Matahari Terbit” dapat
kita sejajarkan dengan negara maju lainnya seperti Amerika Serikat, China, dan negara-
negara Eropa Barat. Bahkan masyarakat dunia mengenal Jepang dengan masyarakatnya
yang memiliki kedisiplinan yang tinggi (Eman Suherman, 2004). Sebelum tahun 1868,
tepatnya pada masa pemerintahan Shogun atau Syogun, Jepang masih menganut sistem
Feodalisme yang mana hal ini membuat Jepang mengisolasi diri dari dunia luar. Hingga
adanya restorasi Meiji yang terjadi tahun 1868 pada akhirnya membuat Jepang berusaha

2
untuk mengejar ketertinggalannya tersebut. Adanya Restorasi Meiji ini kemudian
membuat pertumbuhan di Jepang semakin meningkat, terlebih pada sektor industrialisasi
dan ekonomi. Ada perkembangan yang begitu pesat ini akhirnya membuat semangat
nasionalisme penduduk Jepang pada waktu itu melambung tinggi yang akhirnya
berdampak munculnya semangat militerisme Jepang (Poverty, Equality, and Growth: The
Politics of Economic Need in Postwar Japan - Deborah J. Milly - Google Buku, n.d.).
Selain adanya semangat militerisme, semangat nasionalisme ini membuat Jepang ingin
tampil sebagai bangsa terkuat di dunia, seperti halnya yang terjadi di Jerman. Hingga
akhirnya, fenomena semangat nasionalisme dan militerisme di Jepang ini menjadi salah
satu pemicu dari munculnya Perang Dunia II (Mulyana et al., 2017).
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, Jepang merupakan salah satu negara
yang tergabung dengan Blok Poros. Pada akhirnya, negara-negara yang beraliansi dalam
Blok Poros mengalami kekalahan dalam Perang Dunia II. Jepang sendiri setelah
mengalami kemenangan terus menerus dari tahun 1941 sampai 1944 pada akhirnya mulai
mengalami kekalahan beruntun. Salah satu kekalahan terbesar Jepang adalah serangan
bom atom yang dilakukan oleh pihak sekutu yang dijatuhkan di kota Hiroshima dan
Nagasaki. Jatuhnya bom atom di dua kota ini juga sekaligus menandai dari akhir Perang
Dunia (Perang Dunia II Di Eropa (Artikel Ringkas) | Ensiklopedia Holocaust, n.d.).
Perang Dunia II memiliki dampak yang begitu besar terhadap kondisi Jepang pada
waktu itu, terlebih lagi Jepang berada pihak yang kalah. Kekalahan Jepang ini pada
dasarnya menjadi beban sangat berat bagi mereka. Selain menanggung kerugian yang
cukup besar, Jepang juga dituntut oleh pihak sekutu untuk bertanggung jawab atas
kejahatan perang yang mereka lakukan (Funabashi, 1991). Pasca Perang Dunia 2, Jepang
mulai diduduki oleh pasukan sekutu, terutama Amerika Serikat. Adanya Amerika Serikat
ini pada dasarnya bertujuan untuk menormalisasikan sektor-sektor penting yang ada di
Jepang, seperti ekonomi, dan industri. Mengingat Jepang sendiri mengalami krisis bahan
pangan dan sandang dari akibat banyaknya kehancuran yang didapat dari perang. Hingga
akhirnya di tahun 1950-an ekonomi dan industrialisasi Jepang mulai kembali meningkat.
Pada tahun tersebut pertumbuhan ekonomi di Jepang mencapai rata-rata kurang lebih
10% (Eman Suherman, 2004).
Dari sisi politik, Jepang berusaha untuk membuat perkembangan rasional dan
berusaha untuk beradaptasi dengan kondisi politik pasca Perang Dunia II. Adanya perang
ini pada akhirnya membuat Jepang waspada dalam membuat kebijakan yang mengarah
pada kepemimpinan global dan regional. Sehingga Jepang sendiri pada pasca Perang
Dunia II tidak banyak memiliki penekanan dalam peranan kepemimpinan panggung
politik internasional (Muramatsu, 2013). Adanya hal tersebut selain disebabkan karena
kewaspadaan mereka sendiri, juga dikarenakan fokusnya Jepang untuk membangun
ekonomi mereka. Adanya Amerika Serikat di Jepang juga membawa perubahan baru bagi
politik Jepang. Amerika sendiri mulai menerapkan proses demokratisasi di Jepang
dengan didasari Konstitusi Showa yang ditetapkan pada tanggal 15 Desember 1945
(Laksana, 2018). Selain itu, ideologi politik yang dipakai Jepang pasca Perang Dunia II
lebih terfokus pada soft power dengan basis kemajuan ekonomi, ilmu pengetahuan, dan
kebudayaan mereka (Junnosuke, 1995).
Pada dasarnya, Perang Dunia II sendiri sangat memberikan pengaruh dan dampak
yang begitu besar terhadap seluruh sektornya, salah satunya adalah politik. Oleh karena

3
itu, adanya tulisan ini bertujuan untuk membahas lebih dalam lagi mengenai dampak dan
pengaruh PD II terhadap sistem politik Jepang.

2. SISTEM PEMILU JEPANG ERA POST WAR.


Sistem Pemilu Jepang
Bagi sebagian negara di dunia pemilihan umum (pemilu) merupakan sebuah pilar
bagi masyarakat untuk menentukan masa depan negara, pemilihan umum erat kaitannya
dengan politik yang menunjang suksesi pergantian kekuasaan yang aman, dijadikan
sebagai ruang bagi warga negara untuk menentukan calon yang layak sebagai wakil
rakyat (pemimpin negara) dengan harapan membangun negara yang adil dan makmur
(Kossah, 2017). Jepang menerapkan sistem pemerintahan monarki konstitusional dimana
raja, ratu, dan kaisar memiliki posisi tertinggi di dalam pemerintahan sebagai kepala
negara, pemerintahan monarki di Jepang merupakan sistem tertua yang telah ada sejak
dahulu yang merupakan warisan turun menurun. Pada pemerintahan monarki
konstitusional kepala negara dipimpin oleh seorang kaisar dan kepala pemerintahan
dipimpin oleh seorang perdana menteri (may, 2021)
Sistem Pemilu Jepang Sebelum Perang Dunia II
Pada tahun 1889 saat berlangsungnya Restorasi Meiji atau Konstitusi Meiji
menjadi awal mulai lahirnya sistem pemilihan umum, pemilihan Umum pertama Jepang
pada tahun 1890 dilangsungkan untuk memilih Shugiin atau Majelis Rendah, terdapat
batasan saat berlangsungnya pemilu, dimana hanya pria dewasa yang telah membayar
pajak sebesar ¥ 15 atau lebih, pada tahun 1900an jumlah pemilih melonjak 2x lipat,
pembayaran pajak yang dijadikan sebagai syarat pemilu diturunkan menjadi ¥ 3 saja, dan
pada tahun 1925 syarat pemilu dengan membayar pajak dihapuskan, kemudian pada
desember 1945 wanita dewasa diperbolehkan untuk melakukan pemilu. Majelis
perwakilan rakyat saat itu dibatasi oleh keturunan bangsawan, seperti Teikoku Gikai
menetapkan kekaisaran sebagai badan legislatif, dan Kizokuin dipilih melalui usulan dari
Kaisar, atau orang – orang berdarah bangsawan (Evantina, 2008)
Pemilihan umum pada sistem monarki konstitusional Jepang, Diet atau Kokai
yang bertindak sebagai aparatur negara menyebutkan parlemen Jepang terdiri dari
Shugiin (Majelis Rendah) memiliki masa jabatan selama empat tahun, dengan anggota
berjumlah 464 orang pada pemilu tahun 1946, dan mengalami pertambahan anggota
menjadi 491 orang. Sangiin atau Majelis Tinggi memiliki masa jabatan selama enam
tahun (Widarahesty dan Ayu, 2011).
Sistem Pemilu Jepang Setelah Perang Dunia II
Selama berlangsungnya Perang Dunia II setengah dari jumlah anggotanya dipilih
setiap tiga tahun sekali dengan anggota berjumlah 250 orang, dan mengalami
penambahan anggota menjadi 252 orang di tahun 1972 setelah kembalinya Okinama
kembali berkuasa di Jepang. Anggota parlemen Majelis Rendah dan Majelis Tinggi
dipilih langsung oleh rakyat, dan seorang yang telah menjabat di salah satu parlemen tidak
diperbolehkan untuk menduduki dua jabatan sekaligus (Sendra, 2014a), setelah terpilih
mereka yang akan memilih calon Perdana Menteri Jepang, serta memutuskan peraturan

4
perundang – undangan, kedua majelis yang telah dipilih melalui pemilu tersebut dipilih
dengan sistem yang disebut pemilihan paralel (Evantina, 2008)
Setelah berakhirnya Perang Dunia ke 2, pemilihan umum di Jepang kembali
diadakan pada tahun 1946, pemilihan untuk anggota legislatif, eksekutif, majelis kota dan
desa, gubernur dan walikota dipilih melalui pemilu, tetapi tidak dengan Perdana Menteri.
Pemilu pertama diadakan untuk memilih anggota Majelis Rendah, yang dimenangkan
oleh Partai Jiyutoo, yang dipimpin oleh Hatoyama Ichiro, dengan hasil menduduki jumlah
kursi terbanyak yaitu 141 kursi dari 464 kursi lainnya. Periode kabinet Hatoyama Ichiro
tidak berlangsung lama karena pemberlakuan SCAP (Supreme Commander for The
Allied Power) (Sendra, 2014b), program yang dijalankan Amerika sebagai bentuk
hukuman terhadap Jepang, Amerika Serikat dalam SCAP membuat serangkaian
kebijakan yang harus dipatuhi, seperti penghapusan sistem monarki, raja dalam
pemerintahan, meniadakan pelajaran terkait ideologi militer, ultranasionalis, dan
pelajaran etika (shuushin) pada sekolah – sekolah, menghapus sistem kasta atau
kebangsawanan pada angkatan darat dan angkatan laut (Jain, 1993). Kabinet Hatoyama
Ichiro kemudian digantikan oleh Yoshida Shigeru, Jiyutoo (Partai Liberal), dalam
perjalanan periodenya juga mendapatkan nasib yang buruk, karena tidak mampu
memulihkan situasi ekonomi Jepang setelah Perang Dunia II, serta hubungan masyarakat
terhadap pemerintah yang kurang baik, dan kecewa setelah insiden penyerahan Jepang
oleh Kaisar Hirohito, membuat publik tidak mempercayai parlemen (Richardson, 1974).
Pemilihan umum berlangsung kembali pada April tahun 1947, yang dimenangkan
oleh Nihon Shakaitoo (partai sosialis Jepang) menduduki 143 kursi, kemudian Jiyutoo
(Partai Liberal) mendapat posisi kedua dengan menduduki 131 kursi, di posisi ketiga ada
Minshutoo (Partai Demokrasi) atau Shinpotoo (Partai Progresif) menduduki 121 kursi.
Dari hasil pemilihan umum tersebut dibentuk pemerintahan koalisi yang dipimpin oleh
Katayama Tetsu sebagai Perdana Menteri dari Shakaitoo (Partai Sosialis). Jepang
mengalami krisis ekonomi yang luar biasa pasca Perang Dunia II, kepemimpinan
Katayama Tetsu nyatanya tidak berhasil membuat perekonomian Jepang pulih yang
membuat periodenya singkat dan Katayama memilih untuk mengundurkan diri pada
tahun 1948. Kemunduran Katayama Tetsu kemudian diganti oleh perwakilan Minshuutoo
(Partai Demokrasi) Ashida Hitoshi, sama seperti periode yang lalu, periode Ashida
Hitoshi Juga sangat singkat hingga dirinya turut mengundurkan diri pada Oktober tahun
1948, kemudian digantikan oleh Minshuujiyuutoo (Partai Libral Demokrasi) yang semula
Jiyutoo (Partai Liberal), dan merencanakan pemilihan umum di tahun 1949 (Sendra,
2014c). Januari 1949 diselenggaran kembali pemilihan umum yang dimenangkan oleh
Minshuujiyotoo (Partai Libral Demokrasi) dengan perolehan suara terbanyak yang
menduduki 264 kursi dari 466 kursi di Shuugiin (Majelis Rendah), kabinet
Minshuujiyotoo dibawah pimpinan Yoshida Shigeru sebagai Perdana Menteri dinilai
cukup baik dalam kinerjanya, periode Yoshida Shigeru berakhir pada Desember tahun
1954. Berakhirnya kepemimpinan Yoshida Shigeru digantikan oleh Hatoyama Ichiro dari
Kaishintoo (Partai Reformasi) yang semula bernama Minshuutoo (Partai Demokrasi).
Februari tahun 1955 saat melaksanakan pemilihan umum Uha Shakaitoo (Partai Sosialis
Sayap Kanan) dan Saha Shakaitoo (Partai Sosialis Sayap Kiri) berhasil memenangkan
pemilu. Kedua kubu tersebut kemudian berganti nama menjadi Nihon Shakaitoo (Partai
Sosialis Jepang) dengan tujuan menyatukan kekuatan keduanya. Pencapaian Nihon
Shakaitoo (Partai Sosialis Jepang) memicu Nihon Munshuutoo (Partai Demokrasi

5
Jepang) bersatu dengan Minshuujiyuutoo (Partai Libral Demokrasi) membentuk
Jiyuuminshuutoo/Jimintoo (Partai Demokrasi Libral) (Sendra, 2014d)
Sama halnya dengan beberapa negara lain, Jepang juga mengadakan kampanye
sebelum hari dilaksanakannya pemilu, majelis rendah mendapatkan 15 hari untuk
berkampanye, dan majelis tinggi memperoleh waktu 18 hari, selama melaksanakan
kampanye Jepang dinilai lebih teratur, dan transparan, Jepang tidak memiliki istilah
politik uang atau mengeluarkan biaya yang tinggi untuk mendapatkan banyak dukungan,
karena batasan dan ketatnya aturan yang diberlakukan (Sembiring, 2008).
PERBEDAAN
a. Sistem pemilu Jepang tidak jauh berbeda dengan sistem pemilu lainnya, seperti
adanya partai politik sebagai ruang bagi siapa saja yang berminat untuk terjun ke
dalam pemerintahan, pemilihan bagi anggota majelis dan sektor pemerintahan
lainnya dari pusat hingga tingkat yang lebih rendah.
b. Sebelum PD II hampir seluruh sektor pemerintahan dijalankan oleh kaum
bangsawan dan orang – orang yang terhubung dengan Kaisar, pemilihan umum
yang dilaksanakan bersifat terbatas bagi pria yang telah membayar pajak dengan
nominal tertinggi yang boleh memilih haknya
c. Setelah PD II, seluruh rakyat diperbolehkan untuk memilih wakil rakyat mereka
dengan ketentuan yang berlaku, tetapi tidak ada batasan pajak, dan perempuan
diperbolehkan untuk memilih. Berakhirnya PD II juga memberikan batasan
keterlibatan bangsawan dalam pemerintah.

3. BAGAIMANA PARTISIPASI POLITIK MASYARAKAT JEPANG DI ERA


POST WAR
KONDISI SEBELUM PERANG DUNIA II
Pada awal mula Kaisar Hirohito, partisipasi politik masyarakat Jepang masih
belum terlalu aktif. Pada waktu tersebut, hanya orang penting, elite politik, dan para
bangsawan yang dapat berpartisipasi dalam politik Jepang. Bahkan di mata sebagian
masyarakat Jepang, Kaisar Hirohito merupakan seorang keturunan Dewa dan segala
perintahnya merupakan perintah suci dan wajib untuk mentaati perintah tersebut. Pada
era ini, kaum petani dan penduduk desa hidup dalam keadaan sulit dan memiliki banyak
tanggungan. Selain dibebani dengan pajak yang tinggi, kaum petani juga tidak
diperbolehkan untuk ikut serta dalam partisipasi politik pada waktu itu. Terlebih lagi
adanya krisis yang melanda ekonomi dunia pada tahun 1933 juga membuat kaum petani
semakin mengalami penderitaan dan penekanan (Kohno, 1997). Belum lagi pesatnya
perkembangan ekonomi di kota semakin membuat masyarakat desa dan petani
terbelakang dan mengakibatkan adanya stratifikasi kelas sosial dan kesenjangan.
Sehingga bisa kita simpulkan bahwa partisipasi politik Jepang saat
sebelum Perang Dunia II masih didominasi oleh elite politik, bangsawan, dan beberapa
orang penting seperti orang yang berpendidikan, dan bayar pajak.

6
KONDISI PASCA PERANG DUNIA II
Setelah Jepang menyerah dengan pihak sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945,
dengan adanya siaran radio langsung oleh Kaisar Hirohito, Amerika Serikat langsung
menunjuk Jenderal Douglas Mac Arthur sebagai komandan untuk Supreme Commander
for the Allied Powers (SCAP). Adanya SCAP ini pada dasarnya bertujuan untuk
memulangkan dan melucuti seluruh tentara Jepang yang berada diluar wilayah mereka.
Namun disisi lain, Amerika juga menginginkan Jepang untuk menjadi negara bonekanya,
seperti halnya Uni Soviet dan negara-negara bawahannya. Bahkan posisi MacArthur
sendiri bisa dibilang melebihi dari dari kaisar, hal tersebut dikarenakan adanya pemberian
kekuasaan mutlak yang diberikan oleh Jepang pada waktu itu (Mulyana et al., 2017).
Setelah PD II, Jepang mulai kembali merekonstruksi seluruh sektornya, terlebih
lagi dalam sektor politik dan pemerintahannya. Dalam sektor politik, MacArthur mulai
menjalankan demokratisasi di Jepang. Proses demokratisasi di Jepang sendiri didasari
atas konstitusi Showa yang dibuat pada tanggal 15 Desember 1945. Konstitusi Showa
sendiri pada dasarnya memiliki 3 prinsip dasar, yakni penghormatan terhadap hak asasi
warga negara, persamaan hak bagi wanita, dan penghapusan sistem pemerintahan yang
otoriter (Rosenbluth & Thies, 2019). Konstitusi Showa sendiri kemudian disahkan pada
tanggal 6 Maret 1946 dengan menggantikan konstitusi sebelumnya, yakni Konstitusi
Meiji (Breen, 2010).
Jepang sendiri kemudian melaksanakan pemilu pertamanya pada tanggal 10 April
1948. Pemilihan Umum pertama ini pada dasarnya diikuti oleh 7 partai politik, yakni
Partai Sosial Jepang, Partai Liberal Demokrat, Partai Sosial Demokrat, Partai
Pemerintahan Bersih, Partai Komunis Jepang, Partai Gabungan Demokrat Sosial, dan
Himpunan Liberal Baru. Adanya pemilu ini sekaligus menandai awal baru bagi sistem
politik di Jepang pasca Perang Dunia II. Dalam pemilu ini, seluruh golongan masyarakat
Jepang dapat secara langsung untuk ikut dan aktif berpartisipasi pada pemilu pertama ini
(Gottlieb, 1994).
Proses Demokratisasi di Jepang sendiri pada dasarnya tidak dapat kita lepaskan
dari peranan SCAP. Untuk memudahkan proses demokratisasi ini, SCAP juga membuat
banyak kebijakan yang mengarah pada nilai-nilai demokrasi. Adapun kebijakan utama
yang diterapkan oleh SCAP adalah:
- Kaisar hanya sebatas simbol dari negara Jepang, sehingga kaisar tidak mempunyai
fungsi politik.
- Pemerintah Jepang harus menjamin hak kesamaan dan hak asasi manusia.
- Dalam sistem pemerintahan, harus ada pemisahan antara lembaga legislatif,
administratif, dan yudikatif.
- Kedaulatan pada dasarnya ada pada rakyat.
- Adanya penolakan perang dan pembatasan angkatan militer (Demiliterisasi)
(Scalapino & Masumi, 2020).
Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa partisipasi politik masyarakat Jepang
pasca PD II lebih aktif dan dapat diikuti oleh seluruh golongan masyarakat. Hal tersebut

7
dikarenakan adanya rekonstruksi ulang yang dilakukan oleh SCAP dan pemerintah
Jepang sendiri, dan juga usaha Jepang untuk beradaptasi dengan politik global pasca PD
II.

4. PARTAI POLITIK DAN KAMPANYE JEPANG ERA POST WAR


Jepang sudah mempunyai sebuah sistem pemilihan yg luas yg menggabungkan
seluruh level pemerintahan semenjak akhir Perang Dunia II. Dibawah ini peraturan
pemilihan waktu ini anggota setiap badan legislatif, termasuk majelis kota & desa, dipilih
melalui voting. Eksekutif politik, termasuk gubernur & walikota atau ketua bagian lain
berdasarkan pemerintahan lokal, jua dipilih melalui pemilihan. Perdana menteri yg dipilih
sang Diet, merupakan satu-satunya eksekutif politik yg nir dipilih melalui voting secara
langsung.(Sembiring, 2008)
Saat ini pemilihan buat ½ berdasarkan 252 anggota dewan diadakan setiap 3 tahun
pada sebuah adonan nasional & daerah. Dalam DPR, 511 anggota dipilih buat masa 4
tahun, spesifik pada pemilihan yg dilakukan secara tidak beraturan selesainya
pembubaran majelis sang kaisar atas permintaan perdana menteri. Pemilihan
dilaksanakan setiap 4 tahun sekali buat kebanyakan badan eksekutif lokal & badan-badan
lainnya. Dua badan legislatif nasional sudah dipilih pada wilayah multimember, namun
berukuran berdasarkan wilayah / distrik-distrik ini berubah setiap waktu (Keohane &
Milner, 1996).
Saat ini, 511 anggota DPR & kira-kira 1/3 berdasarkan 252 anggota berdasarkan
majelis dewan dipilih pada konstituensi multi anggota nir misalnya praktek pada negara
Eropa, pada pemilihan DPR nir terdapat perbandingan formula buat alokasi jumlah kursi
pada distrik multimember menurut berdasarkan pembagian voting partai. Agaknya,
pemenang diseleksi berdasarkan jumlah perolehan voting di setiap jumlah pemilih,
menggunakan masing masing pemilih mempunyai satu suara. Namun, dalam tahun 1983,
sebuah sistem perwakilan diperkenalkan pada pemilihan buat 100 kursi buat dewan
perwakilan yg dipilih pada basis nasional.
Dalam sebuah bisnis buat membangun kesamaan/keseimbangan perwakilan
antara wilayah-wilayah buat DPR, jumlah kursi Diet yg dialokasikan buat setiap
konstitusi ditetapkan dalam populasi dasar. Pada awal pertumbuhan populasi pada kota-
kota pada Jepang & wilayah pinggiran kota selesainya tahun 1950, jumlah kursi
dialokasikan dalam konstituensi urban & sub urban & konstituensi baru dibentuk. Ini
mengakibatkan pertumbuhan secara menyeluruh dalam majelis menurut 466 kursi di
tahun 1946 sebagai 511 kursi di tahun 1993. Di tahun 1991, jumlah rakyat yg diwakilkan
sang anggota Diet tunggal dalam wilayah populasi yg akbar (urban) masih 3 kali lebih
akbar menurut jumlah yg diwakilkan sang seorang anggota Diet tunggal dalam wilayah
populasi terkecil (Yoshimi, 2016).
Sistem konstituensi berukuran menengah (Chu Senkyoku Sei), dimana setiap
distrik mengirim perwakilan antara tig & 5 dalam majelis yg lebih rendah, sudah dikritik
dari tahun 1970-an menjadi dasar berdasarkan korupsi di bidang politik. Sebagai respon
berdasarkan kekacauan warga lantaran adanya “politik uang “yg terus berlanjut, dibuat
balik melalui pertimbangan yg berfokus bahwa akan diperkenalkan perwakilan yg

8
proporsional & wilayah pemilihan yg lebih mini kedalam pemilihan-pemilihan buat DPR
mulai di awal tahun 1990-an.
Sistem parlementer misalnya yg ditetapkan pada konstitusi tahun 1947 dalam
hakikatnya merupakan penerangan & pemugaran sistem yang secara impulsif
berkembang pada Jepang dalam tahun 1920-an. Dengan demikian gampang dipahami
sang seluruh orang Jepang & berlangsung relatif efisien. Perubahan-perubahan yg utama
merupakan buat mengakibatkan Diet secara konkret sebagai “badan kekuasaan negara yg
tertinggi” & “satu-satunya badan penghasil undang-undang”, & memberinya kekuasaan
buat menentukan perdana menteri. Ia dipilih berdasarkan kalangan anggota Diet,
khususnya sang mejelis rendah badan itu pada hal ini dapat persetujuan majelis tinggi, &
selanjutnya beliau menentukan menteri-menteri kabinet & pejabat-pejabat lain yg
diangkat.(Sembiring, 2008)
Majelis rendah Diet selalu berhak buat mengajukan mosi nir percaya pada
kabinet; pada hal ini perdana menteri wajib turun atau jibila nir membubarkan majelis
rendah & mengadakan pemilihan baru & berusaha memperoleh dukungan mayoritas. Ini
bukanlah bentuk demokrasi Amerika tetapi sahih-sahih sistem parlementer Inggris ; orang
Jepang sejak tahun 1920-an telah condong dalam sistem ini. Perubahan-perubahan krusial
lain sehabis perang pada sistem parlementer merupakan ekspansi hak pilih dalam seluruh
perempuan juga laki-laki pada atas 2 puluh tahun & perubahan sifat majelis tinggi. Suatu
Majelis Penasihat yang seluruhnya dipilih menggantikan bangsawan.pemilihannya tidak
selaras menggunakan Majelis Perwakilan, menggunakan maksud supaya pendukung atas
para anggotanya tidak begitu sempit (Bezruchka et al., 2008).
Seratus anggota Majelis Penasehat dipilih berdasarkan semua daerah negara
secara bebas, & dalam mulanya 150 anggota lain bertambah sebagai 152 anggota waktu
Okinawa dikembalikan pada Jepang, dipilih berdasarkan jumlah pemilih prefektur.
Setengah berdasarkan masing-masing golongan dipilih tiap 3 tahun buat masa enam
tahun. Tiap prefektur memiliki paling sedikit 2 kursi pada jumlah pemilih prefekturnya
supaya mempunyai paling sedikit satu kursi pada tiap pemilihan, & prefektur yg lebih
poly penduduknya memiliki kursi yg lebih poly pula.
Selaku badan yg dipilih sang rakyat, Majelis Penasihat nir merupakan pengawas
ortodok misalnya peranan yg dilakukan sang pendahulunya, & kekuasaannya,
bagaimanapun kentara tunduk dalam Majelis Rendah. Pemilihan perdana menteri
dilakukan sang Majelis Perwakilan, aturan belanja harus diajukan pertama-tama
kepadanya, & keputusan tentang aturan belanja sebagai berlaku dalam 3 puluh hari.
Sekalipun majelis tinggi nir setuju tetapi permanen bersidang.
Ketentuan ini pula berlaku bagi ratifikasi perjanjian-perjanjian. Untuk seluruh
perundang-undangan dibutuhkan 2 pertiga lebih banyak didominasi pada majelis rendah
buat membatalkan keputusan yg berupa penolakan Majelis Penasihat. Tetapi
amandemen–amandemen terhadap konstitusi memerlukan 2 pertiga bunyi di kedua
majelis, namun sejauh ini nir pernah dilakukan, misalnya pula nir pernah dilakukan
terhadap konstitusi tahun 1889, hingga apa yg dinamakan amandemen tadi mengubahnya
sebagai konstitusi yg seluruhnya baru pada tahun 1947.
Dalam kebanyakan cara yg lain, Diet berfungsi hampir sama seperti dalam tahun
1920-an, & mendasarkan tindakannya baik dalam contoh-contoh sebelum perang juga
setelah perang. Seperti sebelumnya, Majelis Rendah dipilih buat masa empat tahun,

9
walaupun umumnya dibubarkan sang perdana menteri sebelum hingga masa empat tahun
dalam waktu yg secara politis menguntungkan baginya atau bagi partainya. Sistem
pemilihan pula adalah sistem luar biasa yg sama, yg ditetapkan pada pembaruan Diet
tahun 1925. Malah pula besarnya majelis rendah pada tahun-tahun pertama sehabis
perang sama-sama empat ratus enam puluh enam orang jumlahnya, ditetapkan dalam
tahun 1925 (Takeshi, 1985).
Waktu kampanye pemilihan yg sah dipengaruhi merupakan 15 hari buat
pemilihan Majlis Rendah termasuk pemilihannya & 18 hari buat Majelis Tinggi. Periode-
periode ini sudah dipersingkat menurut 30 hari sang Undang-Undang pemilihan umum.
Kampanye pemilihan dihentikan sebelum periode ini, walaupun aktivitas buat ”Menguji
air” & persiapan kampanye diizinkan. Bagaimanapun, ada batasan yg baik antara
kampanye & aktivitas politik yg umum, & keadaan yg misalnya ini belakangan nir bisa
dihentikan.(Sembiring, 2008).

Daftar Pustaka
Bezruchka, S., Namekata, T., & Sistrom, M. G. (2008). Interplay of politics and law to
promote health: Improving economic equality and health: The case of postwar
Japan. American Journal of Public Health, 98(4), 589–594.
https://doi.org/10.2105/AJPH.2007.116012
Breen, J. (2010). “CONVENTIONAL WISDOM” AND THE POLITICS OF SHINTO
IN POSTWAR JAPAN. Politics and Religion Journal, 4(1), 68–82.
https://doi.org/10.54561/PRJ0401068B
Eman Suherman. (2004). Dinamika Masyarakat Jepang Dari Masa Eda Hingga
Pascaperang Dunia ii. Humaniora, 16(2), 201–210.
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=2955&val=297
Feis, H. (2015). The Atomic Bomb and the End of World War II.
https://doi.org/10.1515/9781400868261
Funabashi, Y. (1991). Japan and the New World Order. Foreign Affairs, 70(5), 58.
https://doi.org/10.2307/20045003
Gottlieb, N. (1994). Language and Politics: The Reversal of Postwar Script Reform
Policy in Japan. The Journal of Asian Studies, 53(4), 1175–1198.
https://doi.org/10.2307/2059238
Jain, P. C. (1993). A New Political Era in Japan: The 1993 Election. Asian Survey,
33(11), 1071–1082. https://doi.org/10.2307/2645000
Junnosuke, M. (1995). Contemporary Politics in Japan. Contemporary Politics in
Japan. https://doi.org/10.1525/9780520332799/HTML
Kawer, S. (2019). Dampak Perang Dunia Ii Terhadap Budaya Masyarakat Biak Timur.
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 11 No.2, 11(2), 82–83.
Keohane, R. O., & Milner, H. D. (1996). Internationalization and domestic politics.
Internationalization and Domestic Politics. https://doi.org/10.2307/2658167

10
Kohno, M. (1997). Japan’s Postwar Party Politics. Japan’s Postwar Party Politics.
https://doi.org/10.1515/9780691221618/HTML
Laksana, H. (2018). Politik Pembangunan Negara Jepang Pasca Perang Dunia Ke Ii.
Politik Pembangunan Negara Jepang Pasca Perang Dunia Ke II, 2, 44–48.
Mulyana, G. S., Mulyana, A., & Yulifar, L. (2017). Kaisar Amerika Di Negeri Sakura :
Peranan Douglas Macarthur Dalam Rekonstruksi Jepang Pasca Perang Dunia Ii.
FACTUM: Jurnal Sejarah Dan Pendidikan Sejarah, 6(2), 217–229.
https://doi.org/10.17509/factum.v6i2.9979
Muramatsu, M. (2013). Post-war Politics in Japan: Bureaucracy versus the Party/Parties
in Power. State and Administration in Japan and Germany.
https://doi.org/10.1515/9783110868951.13/HTML
Perang Dunia II di Eropa (Artikel Ringkas) | Ensiklopedia Holocaust. (n.d.). Retrieved
November 21, 2021, from
https://encyclopedia.ushmm.org/content/id/article/world-war-ii-in-europe-
abridged-article
Poverty, Equality, and Growth: The Politics of Economic Need in Postwar Japan -
Deborah J. Milly - Google Buku. (n.d.). Retrieved November 22, 2021, from
https://books.google.co.id/books?hl=id&lr=&id=0KPaDwAAQBAJ&oi=fnd&pg=
PR1&dq=japan+post+war+politics&ots=UfIR9yv_5k&sig=674afZKLBXibobsGX
snE5nIDMbk&redir_esc=y#v=onepage&q=japan post war politics&f=false
Richardson, B. M. (1974). The Political Culture of Japan. The Political Culture of
Japan. https://doi.org/10.1525/9780520333383/HTML
Rosenbluth, F. M., & Thies, M. F. (2019). Japan Transformed. Japan Transformed.
https://doi.org/10.1515/9781400835096/HTML
Scalapino, R. A., & Masumi, J. (2020). Parties and Politics in Contemporary Japan.
Parties and Politics in Contemporary Japan.
https://doi.org/10.1525/9780520317833/HTML
Sembiring, S. E. (2008). Pemilihan Umum Di Jepang (Sebelum Dan Sesudah Perang
Dunia Ii). UNIVERSITAS SUMATERA UTARA.
Takeshi, I. (1985). Peace-Making and Party Politics: The Formation of the Domestic
Foreign-Policy System in Postwar Japan. Journal of Japanese Studies, 11(2), 323.
https://doi.org/10.2307/132563
Widarahesty dan Ayu. (2011). Pengaruh Politik Isolasi (Sakoku) Jepang Terhadap
Nasionalisme Bangsa Jepang : Studi Tentang Politik Jepang dari Zaman Edo
(Feodal) Sampai Perang Dunia II. Jurnal Al-Azhar Indonesia Seri Pranata Sosial,
1(1), 46–62.
Yoshimi, S. (2016). `Made in Japan’: the cultural politics of `home electrification’ in
postwar Japan: Http://Dx.Doi.Org/10.1177/016344399021002002, 21(2), 149–171.
https://doi.org/10.1177/016344399021002002
May, Tasya. (2021). “Sistem Pemerintahan Jepang”, dilihat pada 21 November 2021.
Scribd

11
Sembiring, Serli. (2008). “Pemilihan Umum di Jepang (Sebelum dan Sesudah Perang
Dunia II)”, dilihat pada 21 November 2021.
Sendra, I Made. (2014). “Hubungan Segitiga Antara Birokrat Pengusaha dan Politikus
Partai Demokrasi Libral (Jimintoo) Dalam Pemilihan Umum di Jepang”. Dilihat
pada 21 November 2021.

12

Anda mungkin juga menyukai